Kategori
Hikmah

Besarnya Pahala Menafkahi Keluarga

 

Assalamualaikum

Deskripsi masalah

Dalam kehidupan bermasyarakat, pembangunan lembaga keagamaan seperti madrasah, masjid, dan musholla merupakan hal yang umum dilakukan, baik dalam bentuk pembangunan baru maupun renovasi. Banyak orang dengan usaha yang lancar dan rezeki berlimpah turut berkontribusi dengan penuh antusias dalam menyumbangkan hartanya untuk keperluan tersebut atau bersedekah dengan memberi makan fakir miskin.

Namun, ada pula orang yang penghasilannya terbatas, bahkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Meskipun demikian, mereka tetap memiliki keinginan kuat untuk bersedekah, baik dalam pembangunan sarana ibadah maupun membantu fakir miskin, dengan keyakinan bahwa sedekah dan infak merupakan bagian dari amal saleh serta bentuk perjuangan di jalan Allah (fisabilillah).

Pertanyaan:

Manakah yang lebih utama dan lebih besar pahalanya—menggunakan harta untuk menafkahi keluarga yang hidup dalam keterbatasan, ataukah menginfakkannya di jalan Allah dan bersedekah kepada fakir miskin?

Waalaiķum salam.

Jawaban:

Lebih utama dan lebih besar pahalanya menafkahi keluarga yang hidup dalam keterbatasan daripada bersedekah atau berinfak untuk kepentingan lain. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

بِدِينَارٍ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَبِدِينَارٍ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَبِدِينَارٍ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَبِدِينَارٍ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ. (رواه مسلم )

“Satu dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau gunakan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah dinar yang engkau belanjakan untuk keluargamu.”
(HR. Muslim: 995)

Hadits ini menunjukkan bahwa menafkahi keluarga lebih besar pahalanya dibandingkan dengan infak di jalan Allah, sedekah kepada fakir miskin, atau bahkan memerdekakan budak. Hal ini karena nafkah kepada keluarga adalah kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memberikan bantuan kepada pihak lain.

Dalam Islam, keseimbangan antara kewajiban dan ibadah sunnah sangat ditekankan. Jika seseorang memiliki rezeki terbatas, maka menafkahi keluarga menjadi prioritas utama, sebab keluarga adalah tanggung jawab yang langsung dibebankan kepadanya. Setelah kebutuhan keluarga tercukupi, barulah dianjurkan untuk bersedekah dan berinfak di jalan Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Syarah al-Nawawi ala Muslim sebagaimana berikut;

شرح النووي على مسلم ج٧ص ٨١-٨٣

(باب فَضْلِ النَّفَقَةِ عَلَى الْعِيَالِ والمملوك)

(وإثم من ضيعهم أو حبس نفقتهم عَنْهُمْ) مَقْصُودُ الْبَابِ الْحَثُّ عَلَى النَّفَقَةِ عَلَى الْعِيَالِ وَبَيَانُ عِظَمِ الثَّوَابِ فِيهِ لِأَنَّ مِنْهُمْ مَنْ تَجِبُ نَفَقَتُهُ بِالْقَرَابَةِ وَمِنْهُمْ مَنْ تَكُونُ مَنْدُوبَةً وَتَكُونُ صَدَقَةً وَصِلَةً وَمِنْهُمْ مَنْ تَكُونُ وَاجِبَةً بِمِلْكِ النِّكَاحِ أَوْ مِلْكِ الْيَمِينِ وَهَذَا كُلُّهُ فَاضِلٌ مَحْثُوثٌ عَلَيْهِ وَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ وَلِهَذَا [٩٩٥] قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رِوَايَةِ بن أَبِي شَيْبَةَ (أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ) مَعَ أَنَّهُ ذَكَرَ قَبْلَهُ النَّفَقَةَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَفِي الْعِتْقِ وَالصَّدَقَةِ وَرَجَّحَ النَّفَقَةَ عَلَى الْعِيَالِ عَلَى هَذَا كُلِّهِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ وَزَادَهُ تَأْكِيدًا [٩٩٦] بِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ (كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ) فَقُوتُهُ مَفْعُولُ يَحْبِسَ قَوْلُهُ (حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجَرْمِيُّ) هُوَ بِالْجِيمِ قَوْلُهُ (قَهْرَمَانُ) بِفَتْحِ الْقَافِ وَإِسْكَانِ الْهَاءِ وَفَتْحِ الرَّاءِ وَهُوَ الْخَازِنُ الْقَائِمُ بِحَوَائِجِ الْإِنْسَانِ وَهُوَ بِمَعْنَى الْوَكِيلِ وَهُوَ بِلِسَانِ الْفُرْسِ

(باب الِابْتِدَاءِ فِي النَّفَقَةِ بِالنَّفْسِ ثُمَّ أَهْلِهِ ثُمَّ الْقَرَابَةِ) [٩٩٧] فِيهِ حَدِيثُ جَابِرٍ (أَنَّ رَجُلًا أَعْتَقَ عَبْدًا لَهُ عَنْ دُبُرٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا يَقُولُ فَبَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِينِكَ وَعَنْ شِمَالِكَ) فِي هَذَا الْحَدِيثِ فَوَائِدُ مِنْهَا الِابْتِدَاءُ فِي النَّفَقَةِ بِالْمَذْكُورِ عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ وَمِنْهَا أَنَّ الْحُقُوقَ وَالْفَضَائِلَ إِذَا تَزَاحَمَتْ قُدِّمُ الْأَوْكَدُ فَالْأَوْكَدُ وَمِنْهَا أَنَّ الْأَفْضَلَ فِي صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ أَنْ يُنَوِّعَهَا فِي جِهَاتِ الْخَيْرِ وَوُجُوهِ الْبِرِّ بِحَسَبِ الْمَصْلَحَةِ وَلَا يَنْحَصِرُ فِي جِهَةٍ بِعَيْنِهَا وَمِنْهَا دَلَالَةٌ ظَاهِرَةٌ لِلشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيهِ فِي جَوَازِ بَيْعِ الْمُدَبَّرِ وَقَالَ مَالِكٌ وَأَصْحَابُهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ إِلَّا إِذَا كَانَ عَلَى السَّيِّدِ دَيْنٌ فَيُبَاعُ فِيهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ صَرِيحٌ أَوْ ظَاهِرٌ فِي الرَّدِّ عَلَيْهِمْ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بَاعَهُ لِيُنْفِقَهُ سَيِّدُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَالْحَدِيثُ صَرِيحٌ أَوْ ظَاهِرٌ فِي هَذَا وَلِهَذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا إِلَى آخِرِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Syarah Imam Nawawi atas Shahih Muslim (Juz 7, hlm. 81–83)

Bab Keutamaan Nafkah untuk Keluarga dan Hamba Sahaya serta Dosa Orang yang Menyia-nyiakan Mereka atau Menahan Nafkah dari Mereka

Maksud dari bab ini adalah anjuran untuk memberi nafkah kepada keluarga dan penjelasan tentang besarnya pahala dalam hal ini. Sebab, ada sebagian dari mereka yang nafkahnya wajib karena hubungan kekerabatan, ada yang nafkahnya dianjurkan sehingga menjadi sedekah dan bentuk silaturahmi, serta ada yang nafkahnya wajib karena kepemilikan dalam pernikahan atau kepemilikan sebagai hamba sahaya.

Semua jenis nafkah ini memiliki keutamaan dan sangat dianjurkan. Bahkan, nafkah kepada keluarga lebih utama daripada sedekah sunnah. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ dalam riwayat Ibn Abi Syaibah bersabda:

“Yang paling besar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.”

Padahal sebelumnya, beliau telah menyebutkan nafkah di jalan Allah, pembebasan budak, dan sedekah. Namun, beliau tetap mengutamakan nafkah kepada keluarga di atas semua itu karena alasan yang telah disebutkan.

Keutamaan ini semakin ditegaskan dalam hadis lain:

“Cukuplah seseorang menanggung dosa apabila ia menahan makanan dari orang yang berada dalam tanggungannya.”

Penjelasan Istilah:

(Said bin Muhammad al-Jarmi): Nama ini disebut dengan huruf “jīm” (ج). (Qahraman): Dibaca dengan qaf berharakat fathah (قَ), ha sukun (هْ), dan ra fathah (رَ). Maknanya adalah bendahara atau pengurus kebutuhan seseorang, yang dalam bahasa Persia memiliki arti yang sama dengan “wakil.” Bab Memulai Nafkah dari Diri Sendiri, Kemudian Keluarga, lalu Kerabat

Dalam bab ini, terdapat hadis Jabir yang meriwayatkan bahwa seorang laki-laki memerdekakan budaknya setelah wafatnya (dengan akad tadbir). Ketika hal ini sampai kepada Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:

“Apakah engkau memiliki harta lain selain itu?”

Orang itu menjawab, “Tidak.” Maka Nabi ﷺ menjual budak tersebut dan menyerahkan hasilnya kepada laki-laki itu, lalu bersabda:

“Mulailah dengan dirimu sendiri, lalu bersedekahlah untuknya. Jika ada kelebihan, maka untuk keluargamu. Jika masih ada kelebihan setelah keluargamu, maka untuk kerabatmu. Jika masih ada kelebihan setelah kerabatmu, maka seperti ini dan seperti ini,” seraya beliau menunjukkan ke arah depan, kanan, dan kiri.

Pelajaran dari Hadis Ini:

Urutan dalam memberi nafkah harus sesuai dengan yang disebutkan dalam hadis. Jika ada beberapa hak dan keutamaan yang bertabrakan, maka yang lebih kuat harus didahulukan. Sedekah sunnah yang paling utama adalah yang disalurkan ke berbagai bidang kebaikan dan tidak hanya terbatas pada satu jenis penerima. Hadis ini menjadi dalil bagi mazhab Syafi’i dan ulama yang sependapat dengannya bahwa budak yang ditadbir (dibebaskan setelah tuannya wafat) boleh dijual. Imam Malik dan murid-muridnya berpendapat bahwa budak yang ditadbir tidak boleh dijual kecuali jika tuannya memiliki utang, maka boleh dijual untuk melunasi utangnya. Namun, hadis ini dengan jelas menolak pendapat tersebut, karena Rasulullah ﷺ menjual budak tersebut agar hasilnya digunakan oleh pemiliknya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Maka dari itu, Nabi ﷺ bersabda:

“Mulailah dengan dirimu sendiri, lalu bersedekahlah untuknya…”

Hadits tersebut menegaskan bahwa kewajiban menafkahi keluarga tidak boleh diabaikan, bahkan menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, bagi seseorang yang memiliki rezeki terbatas, yang lebih utama adalah memastikan keluarganya terpenuhi kebutuhannya sebelum bersedekah atau berinfak untuk keperluan lain.

Namun, jika seseorang tetap ingin bersedekah meskipun dalam keadaan ekonomi yang sulit, hendaknya ia melakukannya tanpa mengorbankan kebutuhan pokok keluarganya. Sebab, Islam tidak membebani seseorang di luar kemampuannya, sebagaimana firman Allah ﷻ:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)

Dalam sebuah kaidah dijelaskan

وإذا تزامحت المصلحتان قدم بالأعلى # وإذا تزامحت المفسدتان أخذ بالأخذ بالأخف

Jika seseorang dihadapkan pada dua kemaslahatan maka dahulukan yang lebih tinggi nilai keutamaannya# Dan jika dihadapkan pada dua kerusakan maka ambillah yang lebih ringan

Kesimpulan: Menafkahi keluarga yang hidup dalam keterbatasan lebih utama dan lebih besar pahalanya dibandingkan dengan sedekah kepada fakir miskin atau infak di jalan Allah. Jika seseorang memiliki rezeki yang cukup, maka setelah menunaikan kewajiban nafkah kepada keluarga, ia dianjurkan untuk bersedekah dan berinfak sesuai kemampuannya. Islam mengajarkan keseimbangan dalam beramal, sehingga tidak dianjurkan bersedekah dengan mengorbankan kebutuhan pokok keluarga.

Wallahu a‘lam.

Kategori
Hikmah

Kisah Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir Alaihimassalam

Assalamualaikum
Deskripsi
Dikisahkan dalam Al-Qur’an tentang seorang hamba Allah yang saleh dan memiliki ilmu ladunni, sehingga Nabi Musa merasa penasaran dan ingin berguru kepadanya. Hamba Allah tersebut dikenal dengan nama Al-Khidir, yang merupakan sebuah laqab (gelar) yang berarti “hijau” atau “segar”.

Pertanyaannya:
Siapakah sebenarnya nama asli Khidir? Mohon penjelasan mengenai kisah pertemuan dan perjalanan Nabi Musa dengan Khidir.

Waalaikum salam.

Jawaban

Nama Asli Nabi Khidir adalah Balyan bin Malkan  Abul Abbas . Adapun rincian dan kisahnya adalah sebagai berikut:

BALYAN ( Adalah Alami Isim ) IBNU MALKA ( Adalah Alami Kun-ya ) Al-Khidir ( Adalah Alami Laqob ) Kenapa diberi laqob seperti itu karena ketika Balyan duduk dipermukaan bumi maka bergetar disekitarya tempat itulah lalu bersinarlah disekitarnya menjadi biru.

نور الظلام ص ٥-٦
وأما الخضر فقيل هو ولي وقيل
نبي وقيل رسول وخير الامور أوسطها تنبيه الخضر بفتح الحاء المعجمة وكسر الضاد المعجمة ويجوز اسكان الضاد مع كسر الحاء أو فتحها” “وإنما لقب به لأنه جلس على فروة بيضاء فإذا هي تهتز لمن خلفه خضراء والفروة وجه الأرض وكنيته أبو العباس واسمه بليا موحدة مفتوحة واللام ساكنة مثناة تحتية ابن ملكان بفتح الميم واسكان اللام وبالكاف وسمع من بعض العارفين من عرف اسمه  واسم أبيه وكنيته ولقبه دخل الجنة وهو يتعبد   بشريعة نبينا من يوم بعثه الله تعالى”

Adapun Al-Khidhir, ada yang berpendapat bahwa ia adalah seorang wali, ada yang mengatakan bahwa ia adalah seorang nabi, dan ada pula yang mengatakan bahwa ia adalah seorang rasul. Dan sebaik-baik perkara adalah yang pertengahannya.

Perhatian: Nama “Al-Khidhir” dibaca dengan fathahnya huruf ḥāʾ (الحاء) yang berharakat fathah dan mengkasrah huruf ḍād (الضاد), serta boleh juga mensukunkan ḍād dengan mengkasrah ḥāʾ atau membacanya dengan fathah.

Ia dijuluki dengan nama tersebut karena pernah duduk di atas tanah putih, lalu tanah tersebut bergetar dan menjadi hijau di belakangnya. Kata “al-farwah” (الفروة) dalam konteks ini berarti permukaan bumi.

Kunyah (gelar) Al-Khidhir adalah Abū al-ʿAbbās. Nama aslinya adalah Balyā (بليا) dengan huruf bāʾ berharakat fathah, lām sukun, dan yāʾ bertitik dua di bawah. Ia adalah putra Malkān (ملكــان), yang dieja dengan mīm berharakat fathah, lām sukun, dan kāf.

Diriwayatkan bahwa seorang arif berkata, “Barang siapa mengetahui nama Al-Khidhir, nama ayahnya, kunyah, dan julukannya, maka ia akan masuk surga.”

Al-Khidhir beribadah dengan syariat  syariat Nabi kita Muhammad ﷺ sejak diutus oleh Allah Ta’ala.

KISAH PETEMUAN NABI MUSA DAN NABI KHIDIR ALAIHIMASSALAM

قصة موسى والخضر عليهما السلام .المؤلف أبو إسحاق الخويني ص.٢ – ٣ .
روى البخاري ومسلم وغيرهما من حديث سعيد بن جبير رحمه الله، قال: قيل لـ ابن عباس رضي الله عنهما: إن نوفل المثالي يزعم أن موسى الذي صاحب الخضر ليس هو موسى بني إسرائيل، قال ابن عباس: كذب عدو الله، حدثني أبي بن كعب عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: (خطب موسى في بني إسرائيل يوماً حتى ذرفت العيون ووجلت القلوب، فلما انصرف تبعه رجل، فقال: يا نبي الله! هل هناك أعلم منك في الأرض؟ قال: لا.
فعتب الله عز وجل عليه إذ لم يرجع العلم إليه، قال: بلى، إن لي عبداً في مجمع البحرين هو أعلم منك، قال موسى: أي رب! وكيف لي به؟ قال: خذ حوتاً واجعله في مشكل) وفي رواية: (قال: خذ نوناً ميتاً -والنون: هو الحوت، وإليه نسب يونس عليه السلام ((وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا)) [الأنبياء:٨٧] ، فالنون هو الحوت، وكل سكان البحر يعد من الحيتان، فالسمك اسمه حوت، قال ابن عباس: اشتهيت حيتاناً، أي: أسماكاً- قال: خذ نوناً ميتاً واجعله في مشكل، فحيث فقدته فهو ثم -أي حيث فقدت هذا الحوت فالخضر هناك، فانطلقا، حتى إذا كانا ببقعة من الأرض قال موسى لفتاه: لا أكلفك كثيراً، أيقضني إذا رد الله الحياة في الحوت، قال: ما كلفت كثيراً، ثم إن الحوت ارتدت إليه الحياة وقفز في البحر، فأمسك الله عليه الماء وحبسه فلم يستطع أن يذهب.
فلما استيقظ موسى عليه السلام نسي غلامه أن يخبره أن الحوت قفز في الماء، فانطلقا بقية يومهما وليلتهما، فلما كانا من الغد قال موسى لفتاه: {آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا} [الكهف:٦٢] ، تذكر الفتى أن الحوت المشوي الذي كانا سيتغديان به قفز في الماء، قال: {أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ} [الكهف:٦٣] {فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا} [الكهف:٦٤] رجعا يقصان الآثار مرة أخرى.
فلما ذهبا إلى هناك وجدا عبداً مسجى ببردة خضراء تحت قدميه وتحت رأسه، كالذي يلتحف بلحاف فيجعله تحت رأسه وتحت قدميه، فسلم عليه موسى، فكشف عن وجهه، وقال: وهل بأرضي سلام؟ من أنت؟ قال: أنا موسى.
قال: أنت موسى بني إسرائيل؟ قال: نعم.
-هذا هو السؤال الذي من أجله قال ابن عباس: كذب عدو الله؛ لأن الخضر عليه السلام قال: أنت موسى بني إسرائيل؟ – قال: وما تريد؟ قال: أريد أن أتعلم.
قال: ((إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا)) [الكهف:٦٧] .
قال: {سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا} [الكهف:٦٩] .
فجاء عصفور فنثر من ماء البحر نثرة، فقال الخضر: يا موسى! إن مثل علمي وعلمك بجانب علم الله عز وجل كمثل الماء الذي أخذه هذا العصفور بمنقاره {فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا} [الكهف:٧٠] .
فانطلقا، ووقفا على شاطئ البحر، فمر مركب فأراد الخضر وموسى أن يركبا، فقال الغلمان: عبد الله الصالح لا نحمله بأجر، فعمد إلى مكان في السفينة فخلع منه لوحاً بقدوم ووضع مكانه خشبة، قال موسى: قوم حملونا بغير أجره تخلع لوحاً من سفينتهم لتغرق أهلها، لقد جئت شيئاً إمراً {قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا} [الكهف:٧٢] ، قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: وكانت هذه من موسى نسياناً.
فلما نزلا من السفينة وجدا أُغيلمة يلعبون، فعمد الخضر إلى ولد وضيء جميل ذكي، فأخذه من رأسه وأضجعه على الأرض وذبحه بالسكين، فقال موسى: عمدت إلى نفس لم تعمل الحل فقتلتها بغير نفس، لقد جئت شيئاً نكراً، قال الخضر عليه السلام: ((أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا)) [الكهف:٧٢] ، قال النبي صلى الله عليه وسلم: وكانت هذه شرطاًَ) ؛ لأن موسى عليه السلام قال له: {إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا} [الكهف:٧٦] وهناك فرق في التحذير بين المرة الأولى والثانية، ففي المرة الأولى قال له الخضر: {أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا} [الكهف:٧٢] ، وفي المرة الثانية قال له: {أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا} [الكهف:٧٥] ، فكأنه استدار إليه وأشار إليه، ولذلك فرق النبي عليه الصلاة والسلام بينهما وبين أن الأولى كانت من موسى نسياناً فلم يشدد الخضر عليه، وكانت الثانية شرطاً في المفارقة، لذلك كأنه التفت إليه وحذره وأشار: ألم أقل لك -أي: في المرة الثانية- إنك لن تستطع معي صبراً.
فدخلوا إلى قرية: {فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا} [الكهف:٧٧] {قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا} [الكهف:٧٨] ، قال النبي عليه الصلاة والسلام: (يرحم الله موسى -وفي رواية: رحمة الله علينا وعلى موسى- وددنا أنه صبر حتى يقص الله عز وجل علينا من أخبارنا

Kisah Musa dan Khidr (Alaihimas Salam)
Penulis: Abu Ishaq Al-Khuwayni (hlm. 2–3)
Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari hadits Sa‘id bin Jubair rahimahullah, bahwa dikatakan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Sesungguhnya Nauf Al-Bikali berpendapat bahwa Musa yang bertemu dengan Khidr bukanlah Musa Bani Israil.” Maka Ibnu Abbas berkata: “Musuh Allah telah berdusta!”
Ubay bin Ka‘b menceritakan kepadaku dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
“Suatu hari, Nabi Musa berkhutbah di hadapan Bani Israil hingga mata mereka bercucuran air mata dan hati mereka bergetar. Ketika ia beranjak pergi, seorang laki-laki mengikutinya dan bertanya: ‘Wahai Nabi Allah, adakah seseorang yang lebih berilmu darimu di bumi ini?’ Nabi Musa menjawab: ‘Tidak ada.’
Maka Allah ﷻ mencelanya karena tidak mengembalikan ilmu itu kepada-Nya. Lalu Allah ﷻ berfirman: ‘Ada seorang hamba-Ku di pertemuan dua lautan yang lebih berilmu darimu.’ Musa pun bertanya: ‘Wahai Rabbku, bagaimana aku dapat bertemu dengannya?’ Allah ﷻ berfirman: ‘Bawalah seekor ikan, lalu letakkan di dalam wadah. Ketika kamu kehilangan ikan itu, di situlah dia berada.’
Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Bawalah seekor ikan mati.’ (Kata nun berarti ikan, sebagaimana Nabi Yunus juga disebut Dzun-Nun dalam firman Allah ﷻ: وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا [Al-Anbiya: 87], yang berarti ‘pemilik ikan’).
Musa pun membawa seekor ikan mati dalam wadah. Ketika mereka sampai di suatu tempat, ia berkata kepada pembantunya: ‘Aku tidak akan membebanimu banyak, hanya saja bangunkan aku ketika ikan itu kembali hidup.’ Pembantunya pun berkata: ‘Ini bukan tugas yang berat.’
Lalu ikan itu hidup kembali dan melompat ke laut, sementara air laut tetap tertahan di sekitarnya, sehingga tidak bisa menyebar. Namun, pembantu Musa lupa memberitahunya. Mereka pun melanjutkan perjalanan sepanjang hari dan malam. Keesokan harinya, Musa berkata:
“Berikan makanan kita! Sungguh, kita telah merasa letih dalam perjalanan ini.” (QS. Al-Kahf: 62)
Barulah pembantunya teringat dan berkata:
“Ingatkah ketika kita berhenti di batu besar? Aku lupa tentang ikan itu, dan setanlah yang membuatku lupa mengingatnya.” (QS. Al-Kahf: 63)
Mereka pun kembali mengikuti jejak mereka hingga menemukan seorang hamba yang berbaring dengan selimut hijau menutupi kaki dan kepalanya. Musa memberi salam, lalu orang itu membuka wajahnya dan bertanya: “Adakah salam di negeri ini? Siapa kamu?”
Musa menjawab: “Aku Musa.”
Khidr bertanya: “Musa Bani Israil?”
Musa menjawab: “Ya.”
(Maka inilah alasan mengapa Ibnu Abbas berkata: “Musuh Allah telah berdusta,” karena Khidr sendiri menegaskan bahwa Musa ini adalah Musa Bani Israil).
Musa berkata: “Aku ingin belajar darimu.”
Khidr menjawab:
“Sungguh, kamu tidak akan mampu bersabar bersamaku.” (QS. Al-Kahf: 67)
Musa menjawab:
“Insya Allah, kamu akan mendapati aku sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.” (QS. Al-Kahf: 69)
Kemudian seekor burung datang dan mencelupkan paruhnya ke laut. Khidr berkata:
“Wahai Musa, perumpamaan ilmu yang aku dan kamu miliki dibanding ilmu Allah, ibarat air yang diambil burung ini dengan paruhnya dari laut.”
Lalu mereka berjalan dan sampai di tepi laut. Sebuah kapal melintas, lalu pemiliknya mengizinkan mereka naik tanpa meminta bayaran. Namun, tiba-tiba Khidr merusak salah satu papan kapal itu.
Musa pun protes:
“Mereka mengangkut kita tanpa meminta upah, tetapi kamu justru melubangi kapal mereka agar penumpangnya tenggelam? Sungguh, kamu telah melakukan perbuatan yang tercela!” (QS. Al-Kahf: 71)
Khidr berkata:
“Bukankah sudah kukatakan bahwa kamu tidak akan bisa bersabar bersamaku?” (QS. Al-Kahf: 72)
Nabi ﷺ bersabda: “Ini adalah bentuk kelupaan dari Musa.”
Ketika mereka turun dari kapal, mereka melihat sekelompok anak kecil bermain. Khidr mengambil salah satu dari mereka—seorang anak yang tampan dan cerdas—kemudian membunuhnya.
Musa berkata:
“Mengapa engkau membunuh jiwa yang tidak berdosa? Sungguh, ini adalah perbuatan keji!” (QS. Al-Kahf: 74)
Khidr menjawab:
“Bukankah sudah kukatakan bahwa kamu tidak akan bisa bersabar bersamaku?” (QS. Al-Kahf: 75)
Nabi ﷺ bersabda: “Kali ini adalah syarat pemisahan.” Karena Musa berkata sebelumnya:
“Jika aku bertanya lagi setelah ini, janganlah kau temani aku lagi. Sungguh, engkau telah memberikan uzur kepadaku.” (QS. Al-Kahf: 76)
Perbedaan antara peringatan pertama dan kedua adalah:

Pada pertama kali, Khidr hanya berkata: “Bukankah sudah kukatakan?”

Namun pada peringatan kedua, ia berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu?” (QS. Al-Kahf: 75)

Seolah-olah ia menoleh langsung kepada Musa untuk menegaskan peringatan itu.
Kemudian mereka masuk ke sebuah desa dan meminta makanan, tetapi penduduknya menolak menjamu mereka. Di sana, Khidr mendapati sebuah dinding yang hampir roboh, lalu ia memperbaikinya.
Musa berkata:
“Jika engkau mau, engkau bisa meminta upah darinya.” (QS. Al-Kahf: 77)
Khidr menjawab:
“Inilah saat perpisahan antara aku dan kamu. Aku akan memberitahumu tafsir dari hal-hal yang tidak bisa kau sabari.” (QS. Al-Kahf: 78)
Nabi ﷺ bersabda:
“Semoga Allah merahmati Musa. Seandainya ia bersabar, tentu kita akan mendapatkan lebih banyak kisah tentang mereka.”

Referensi

قصة موسى والخضر عليهما السلام كما وردت فى صحيح البخاري تأليف على بن سلطان القاري. ص ٦٥- ١٤٤
وفى رواية : فإذا رجل مسجى ثوبا، فسلم عليه موسى ، فقال الخضر : وأني بأرضك السلام ؟ وفى رواية وعليك السلام وأني يكون هذا السلام بهذا الأرض ومن أنت قال موسى بني إسرائيل؟ نعم أتيتك لتعلمني مماعلمت رشدا.قال: إنك لن تستطيع معى صبرا ياموسى إني على علم من علم الله علمنيه ممالاتعلمه، وأنت على علم من علم الله علمك الله لاأعلمه. قال موسى : ستجدني إن شاء الله صابرا ولاأعصى لك أمرا فقال الخضر : فإن اتبعتني فلاتسألني عن شيئ حتى أحدث لك منه ذكرا . فانيليا يمشيان على ساحل البحر فمرت بهما سفينة ، فكلموهم أن يحملوهم، فعرفوا الخضر ، فحملوه (٤) بغير نول (٥) فلما ركبا فى السفينة لم يفجأ إلا والخضر قد قلع لوحا من الألواح السفينة بالقدوم وفى رواية ووتد (١) .فقال له موسى : قوم حملونا (٢) بغير نول عمدت إلى سفينتهم فخرقتها لتغرق أهلها ؟ لقد جئت شيأ إمرا (٣) قال ألم أقل إنك لن تستطيع معي صبرا ؟ قال لاتؤاخذني بمانسيت ولاترهقني من عمري عسرا(٤) قال: قال (٥) رسول الله صلى الله عليه وسلم وكانت (٦) الأولى من موسى نسيانا ، والوسطى شرطا، والثالثة عمدا.قال : وجاء(٧) عصفور فوقع على حرف السفينة ، فنقر فى البحر نقرة فقال له الخضر : ماعلمي وعلمك من (١) علم الله إلامثل مانقص هذا العصفور من هذا البحر. ثم خرجا من السفينة ، فبينما هما يمشيان على الساحل ، إذا أبصر الخضر غلاما يلعب مع الغلمان فأخذ الخضر رأسه بيده فاقتلعه (٢) وفى رواية : فأخذه وأضجعه ثم ذبحه بالسكين (٣) وفى أخرى : قال فأخذه بيده ثم أخذ حجرا فضرب به رأسه حتى أدمغه فقتله(٤) فقال له موسى :أقتلت نفسا زكية (١) بغير نفس ؟ لقد جئت شيأ نكرا (٢)قال ألم أقل لك إنك لن تستطيع معي صبرا ، قال هذا أشد من الأولى ، قال إن سألتك عن شيئ بعدها فلاتصاحبني قد بلغت من اللدني عذرا. فانطلقا حتى أتيا أهل قرية استطعما أهلها فأبوا أن يضيفوهما ،فوجدا جدارا يريد أن ينقض ، قال (٤) مائل ،فأقامه الخضر بيده فأقامه ، قال موسي: قوم أتيناهم فلم يطعمونا ولم يضيفونا، لو شئت عليه أجرا.قال هذا فراق بينى وبينك ………إلى أن قال والمراد بالعلم اللدني علم الباطن إلهاما(١)
_________________________
هذا أحد التعريفات للعلم ( اللدني) الذي ورد فى تفسير النسفى وتفسير البيضاوي، تفسير الآية  ٦٥ من سورة الكهف وقد عرف تعريفات أخرى كثيرة ، فيهاخلافات ومناقشة طويلة  أفردت لهاجانبا خاصا فى كتابي ( الخضر بين الواقع والتهويل .ط ١، ص ٧٥- ٨٣)
وقد يقرب الموضوع مااورده صاحب روح البيان حين قال: اعلم ان كل علم يعلمه الله تعالى عباده ويمكن للعباد أن يتعلموا ذلك من غير الله تعالى فإنه ليس من جملة العلم اللدني ، لأنه يمكن أن يتعلم من لدن غيره .يدل عليه قوله تعالى ( وعلمناه صنعة لبوس) ( الأنبياء:٨٠ ) فإن علم صنعة اللبوس مماعلمه الله داود عليه السلام ، فلايقال : إنه العلم اللدني ، لأنه يحتمل أن يتعلم من غير الله تعالى ، فيكون من لدن ذلك الغير . وايضا إن العلم اللدني مايتعلق بلدن الله تعالى وهو علم معرفة ذاته وصفاته تعالى (روح البيان ج ٢،ص ٤٩٩) والمبهم هنا هو أن العلم الذي أوتيه الخضر عليه السلام علم الرباني مخصوص به ، لم يَفُقْهُ فيه نبي بنى إسرآئيل، وهو أكبر علماء زمانه….(انظر الخضر بين الواقع والتهويل  ط ١، ص٧٨)
فالعلم الدني يسمى أيضا علم الحقيقة ، وعلم المكاشفة، وعلم الموهبة، وعلم الأسرار، والعلم المكنون، وعلم الوراثة (روح المعاني ج ١٦، ص ١٩) ويتعلق الموضوع بعلم الظاهر والباطن، أو الحقيقة والشريعة التي نبه علمائنا إلى عدم التفرق بينهما، فقد زعم بعضهم أن أحكام العلم الباطن وعلم الحقيقة مخالفة لاحكام الظاهر وعلم الشريعة ، وهو – كمايقول الآلوسي- زعم باطل عاطل وخيال فاسد كاسد (روم المعاني ج١٥، ص٣٣٠) وفى إحياء علوم الدين يقول الإمام الغزالي : من قال إن الحقيقة تخالف الشريعة أو الباطن يناقص الظاهر فهو إلى الكفر أقرب منه إلى الإيمان .(ج١، ص١٠٠)
وقد يحتاج بعضهم بقصة موسى والخضر ، ويظنون أن الخضر خرج عن الشريعة فيجوز لغيره من الأولياء مايجوز له من الخروج عن الشريعة .وهم فى هذا ضالين من وجهين: أحدها أن الخضر لم يخرج عن الشريعة ، بل الذي فعله كان جائزا فى شريعة موسى ، ولهذا لما بيّن له الأسباب أقره على ذلك ، ولو لم يكن جائزا لما أقره ، ولكن لم يكن موسى يعلم الأسباب التي بها أبيحت تلك، فظن أن الخضر كالملك الظالم ، فذكر ذلك له الخضر . والثاني أن الخضر لم يكن من أمة موسى ،ولاكان يجب عليه متابعته، بل قال له : إني على علم من علم الله علمنيه الله لاتعلمه، وأنت على علم من علم الله علمكه الله لاأعلمه. وذلك أن دعوة موسى لم تكن عامة، فإن النبي كان يبعث إلى قومه خاصة، ومحمد  صلى الله عليه وسلم  بعث إلى الناس كافة ، بل بعث إلى الإنس والجن باطنا وظاهرا، فليس لأحد أن يخرج عن طاعته ومتابعته، لافى الباطن ولافي الظاهر، لامن الخواص ولا من العوام ( مجموع فتاوى شيخ الإسلام أحمد بن تيمية ج١٣ص٢٦٦-٢٦٧) والله أعلم بالصواب

Kisah Nabi Musa dan Khidir sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari
Karya Ali bin Sultan al-Qari (hlm. 65–144)
Dalam sebuah riwayat: Ketika Musa mendekati seseorang yang berselimut dengan kain, ia memberi salam kepada orang itu. Lalu Khidir berkata, “Dari mana ada salam di negerimu ini?” Dalam riwayat lain, Khidir menjawab, “Wa ‘alaikas-salam. Bagaimana mungkin ada salam di negeri ini?” Musa bertanya, “Apakah engkau Khidir?” Khidir menjawab, “Ya.” Musa berkata, “Aku datang kepadamu untuk belajar ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu.” Khidir menjawab, “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku. Wahai Musa! Aku memiliki ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadaku dan engkau tidak mengetahuinya. Sedangkan engkau memiliki ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu, tetapi aku tidak mengetahuinya.” Musa berkata, “InsyaAllah engkau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentang perintahmu.” Khidir pun berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau bertanya kepadaku tentang sesuatu hingga aku sendiri yang menjelaskannya kepadamu.”
Kemudian keduanya berjalan di tepi pantai, hingga sebuah kapal melewati mereka. Mereka meminta agar diizinkan menumpang, dan para awak kapal mengenali Khidir sehingga mereka memberi tumpangan tanpa bayaran. Namun, ketika mereka sudah di kapal, tiba-tiba Khidir mengambil kapak dan mencabut salah satu papan kapal. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ia mencabutnya dengan pahat.
Musa pun bertanya, “Mereka telah memberi kita tumpangan tanpa bayaran, tetapi engkau malah merusak kapal mereka agar tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang mungkar!”
Khidir menjawab, “Bukankah aku telah mengatakan bahwa engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku?”
Musa berkata, “Jangan hukum aku karena kelupaanku, dan jangan bebani aku dengan sesuatu yang sulit.”
Rasulullah ﷺ bersabda, “Kesalahan pertama yang dilakukan oleh Musa adalah karena lupa, yang kedua merupakan syarat, dan yang ketiga adalah dengan sengaja.”
Kemudian seekor burung kecil datang dan hinggap di tepi kapal, lalu mematuk air laut dengan paruhnya. Khidir berkata, “Ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah hanyalah seperti air yang diambil burung ini dari laut.”
Mereka pun keluar dari kapal dan berjalan di tepi pantai. Kemudian mereka melihat seorang anak kecil sedang bermain dengan anak-anak lainnya. Khidir memegang kepala anak itu, lalu mencabutnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ia merebahkan anak itu dan menyembelihnya dengan pisau. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ia memegang anak itu, lalu mengambil batu dan menghantam kepalanya hingga pecah.
Musa berkata, “Apakah engkau telah membunuh jiwa yang suci tanpa alasan yang benar? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar!”
Khidir menjawab, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu bahwa engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku?”
Musa berkata, “Perbuatan ini lebih berat daripada yang pertama. Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka janganlah engkau lagi menemaniku. Sungguh engkau telah memberikan uzur bagiku.”
Lalu mereka pun berjalan hingga tiba di suatu desa. Mereka meminta makanan dari penduduknya, tetapi mereka menolak menjamu keduanya. Kemudian mereka menemukan sebuah dinding yang hampir runtuh, lalu Khidir menegakkan dinding itu dengan tangannya. Musa berkata, “Penduduk desa ini tidak mau menjamu kita, seharusnya engkau meminta upah atas pekerjaanmu itu.”
Khidir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dan engkau…”

Makna Ilmu Laduni

Ilmu laduni adalah ilmu batin yang diberikan Allah secara ilham. Dalam Tafsir an-Nasafi dan Tafsir al-Baidawi, terdapat berbagai definisi ilmu laduni yang telah dibahas dalam buku Al-Khidir: Antara Realita dan Mitos (edisi 1, hlm. 75–83).
Pendekatan mengenai ilmu ini disebutkan dalam kitab Ruh al-Bayan, yang menyatakan bahwa semua ilmu yang Allah ajarkan kepada hamba-Nya dan bisa dipelajari tanpa wahyu, bukan termasuk ilmu laduni. Contohnya adalah ilmu yang Allah ajarkan kepada Nabi Dawud tentang membuat baju besi sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:
“Dan Kami ajarkan kepadanya cara membuat baju besi…” (QS. Al-Anbiya: 80)
Ilmu laduni adalah ilmu khusus yang diberikan Allah kepada hamba pilihan-Nya dan tidak bisa dipelajari dari manusia. Dalam tafsir Ruh al-Ma’ani, ilmu laduni juga disebut sebagai ilmu hakikat, ilmu mukasyafah, ilmu wahbi, ilmu asrar, ilmu maknun, dan ilmu warisan (jilid 16, hlm. 19).
Namun, para ulama menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara ilmu syariat dan ilmu hakikat. Dalam Ihya’ Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali berkata:
“Barang siapa mengatakan bahwa hakikat bertentangan dengan syariat, atau bahwa ilmu batin berlawanan dengan ilmu zahir, maka dia lebih dekat kepada kekufuran daripada keimanan.” (jilid 1, hlm. 100)
Sebagian orang keliru dalam memahami kisah Musa dan Khidir. Mereka mengira bahwa Khidir bertindak di luar syariat, sehingga mereka menganggap bahwa wali-wali Allah juga boleh melakukan hal serupa. Ini adalah pemahaman yang salah dari dua sisi:

Khidir tidak bertindak di luar syariat. Perbuatannya tetap dalam batas yang dibolehkan dalam syariat Nabi Musa. Oleh karena itu, setelah Khidir menjelaskan sebab di balik tindakannya, Musa menerimanya. Jika perbuatan Khidir bertentangan dengan syariat, tentu Musa akan menolaknya.

Khidir tidak termasuk umat Nabi Musa. Ia memiliki ilmu khusus dari Allah yang tidak dimiliki Musa. Ketika itu, setiap nabi hanya diutus untuk kaumnya masing-masing. Adapun Nabi Muhammad ﷺ diutus untuk seluruh manusia dan jin, baik secara lahir maupun batin. Oleh karena itu, tidak seorang pun boleh keluar dari syariatnya, baik secara lahir maupun batin, baik orang awam maupun wali-wali Allah.

Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (jilid 13, hlm. 266–267):
“Tidak ada seorang pun yang boleh keluar dari ketaatan dan mengikuti Nabi Muhammad ﷺ, baik secara lahir maupun batin, baik orang khusus maupun orang awam.”
Wallahu A’lam.

Kategori
Hukum

Biogas Tinja Buat Masak: Begini Hukumnya!

 

Deskripsi Masalah

Dalam beberapa tahun terakhir, inovasi energi alternatif semakin berkembang, terutama di tengah kelangkaan dan mahalnya harga bahan bakar gas LPG. Salah satu inovasi yang muncul adalah pemanfaatan biogas dari hasil fermentasi kotoran manusia sebagai sumber energi untuk memasak. Biogas ini mengandung metana (CH₄) yang mudah terbakar dan dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif.

Pertanyaannya

Apakah asap atau nyala api yang dihasilkan dari pembakaran biogas yang berasal dari najis dapat mempengaruhi kesucian makanan yang dimasak dengannya serta status hukumnya—apakah tetap suci dan halal untuk dikonsumsi?

Walaikum salam

Jawaban

Status hukum Makanan yang dimasak dengan biogas dari kotoran manusia tetap suci dan halal dikonsumsi, karena yang terbakar adalah gas metana yang terbentuk setelah proses fermentasi, bukan zat najis itu sendiri. Berdasarkan pendapat ulama mengenai kesucian nyala api dan perbedaan antara asap dan uap, selama tidak ada partikel najis yang terbawa dalam proses pembakaran, maka tidak ada pengaruh terhadap kesucian makanan. Oleh karena itu, penggunaan biogas dari kotoran manusia sebagai bahan bakar tidak menjadikan makanan yang dimasak dengannya menjadi najis atau haram, karena bagaimanapun juga gas metana yang terbentuk setelah proses fermentasi, bukan zat najis itu sendiri dan sudah berubah menjadi api atau nyala api yang mana hakikat api adalah suci

Referensi:

اعانة الطالبين جز ١ص ٨٨

ويعفى عن يسير عرفا من دخان النجاسة وهو المتصاعد منها بواسطة النار…سمفى… بشرط ان لا توجد رطوبة فى المحل وان لا يكون بفعله والا فلا يعفى مطلقا لتنزيلهم الدخان منزلة العين

Referensi:

حاشية البجيرمي علي الخطيب ج١ ٢٩٧

قَوْلُهُ : ( وَعَنْ قَلِيلِ دُخَانٍ نَجِسٍ ) وَلَوْ مِنْ مُغَلَّظٍ ، وَقَيَّدَهُ م ر بِغَيْرِ الْمُغَلَّظِ وَبِعَدَمِ الرُّطُوبَةِ ، وَالْأَوْلَى قِرَاءَتُهُ بِالتَّنْوِينِ لِيَشْمَلَ دُخَانَ الْمُتَنَجِّسِ كَحَطَبٍ تَنَجَّسَ بِبَوْلٍ ، فَإِنَّهُ نَجِسٌ يُعْفَى عَنْ قَلِيلِهِ كَمَا قَالَهُ ز ي .

Referensi:

.(بغية المسترشدين ص.١٣)

(مسألة ب)

الفرق بين دخان النجاسة وبخارها ان الأول انفصل بواسطة نار والثانى لابواسطتها فاله الشيخ زكريا وفال ابو محرمة هما مترادفان فما انفصل بواسطة نار تنجس وما لا فلا اما نفس الشعلة اى لسان النار فطاهرة قطعا حتى لو اقتبس منها فى شمعة لم يحكم بنجاستها.

Referensi:

تحفة الحبيب على شرح الخطيب – (١ /١٣٦ -١٣٥)

قوله : ( وعن قليل دخان نجس ) ولو من مغلظ ، وقيده م ر بغير المغلظ وبعدم الرطوبة ، والأولى قراءته بالتنوين ليشمل دخان المتنجس كحطب تنجس ببول ، فإنه نجس يعفى عن قليله كما قاله زي ، لأنه إن قرىء بالإضافة لا يشمله ، وبه يعلم ما عمت به البلوى في الشتاء ، ولو نشف شيئاً رطباً على اللهب المجرد عن الدخان لم يتنجس وهو ظاهر ، وخرج بالدخان الهباب فظاهره أنه لا يعفى عنه كما قاله العناني ، ومال ع ش إلى طهارة اللهب الحاصل من الشمعة النجسة ولهب الجلة والحطب المتنجس الخالي عن الدخان ، ونقل بعضهم عن ابن العماد نجاسته اه برماوي . وكتب ا ج ظاهره ولو كان الدخان بفعله أو من دخان مغلظ ، وإطلاق م ر كما هنا يقتضي العفو مطلقاً ،

I‘anah at-Thalibin, Juz 1, Halaman 88 “Dimaafkan secara ‘urfi (menurut kebiasaan) sedikit asap dari benda najis yang naik karena api… Syaratnya adalah tidak ada kelembapan di tempat tersebut dan bukan disebabkan oleh perbuatannya. Jika tidak, maka tidak dimaafkan secara mutlak karena para ulama menyamakan asap dengan zat najis itu sendiri.”

Referensi:

Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khatib, Juz 1, Halaman 297 “Perkataannya: (Dan dimaafkan sedikit asap najis) meskipun berasal dari najis yang berat (mughalazhah). Mulla Ramli membatasinya hanya pada najis yang tidak berat serta dengan syarat tidak ada kelembapan. Cara baca yang lebih utama adalah dengan tanwin agar mencakup juga asap dari benda yang terkena najis, seperti kayu yang terkena air kencing, maka asapnya tetap dihukumi najis tetapi dimaafkan jika sedikit, sebagaimana dikatakan oleh Ziyadi.”

Referensi:

Bughyah al-Mustarsyidin, Halaman 13 “(Masalah B) Perbedaan antara asap najis dan uapnya adalah bahwa asap najis terbentuk karena perantara api, sedangkan uap tidak melaluinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Zakariya. Sedangkan menurut Abu Mahramah, keduanya adalah sinonim. Apa pun yang terbentuk melalui api maka hukumnya najis, sedangkan yang tidak, maka tidak najis. Adapun lidah api (nyala api) itu sendiri, hukumnya suci secara mutlak. Bahkan jika diambil nyala api tersebut untuk menyalakan lilin, maka lilin tersebut tidak dihukumi najis.”

Referensi:

Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib, Juz 1, Halaman 135-136 “Perkataannya: (Dan dimaafkan sedikit asap najis) meskipun berasal dari najis yang berat (mughalazhah). Mulla Ramli membatasinya hanya pada najis yang tidak berat serta dengan syarat tidak ada kelembapan. Cara baca yang lebih utama adalah dengan tanwin agar mencakup juga asap dari benda yang terkena najis, seperti kayu yang terkena air kencing, maka asapnya tetap dihukumi najis tetapi dimaafkan jika sedikit, sebagaimana dikatakan oleh Ziyadi. Sebab, jika dibaca dalam bentuk idhafah (tanpa tanwin), maka makna ini tidak tercakup.

Dari sini dapat diketahui bahwa kejadian yang sering terjadi di musim dingin juga termasuk dalam hukum ini. Namun, jika seseorang mengeringkan sesuatu yang lembap di atas nyala api yang tidak berasap, maka benda tersebut tidak menjadi najis, dan ini jelas.

Sedangkan yang keluar dari cakupan asap adalah jelaga (hibab), yang secara lahir tidak dimaafkan, sebagaimana dikatakan oleh al-‘Anani. Sedangkan asy-Syarqawi lebih cenderung kepada kesucian nyala api yang berasal dari lilin najis, begitu pula api yang berasal dari kotoran hewan atau kayu yang terkena najis selama tidak disertai asap. Beberapa ulama juga menukil dari Ibn al-‘Imad bahwa hal tersebut dihukumi najis.

Api itu suci bahkan barang najis yang dibakar dan berubah maka menjadi suci

الموسوعة الفقهية الكويتية ج ٢٩ص١٠٨

وَنَصَّ الْحَنَفِيَّةُ عَلَى أَنَّ مَا اسْتَحَالَتْ بِهِ النَّجَاسَةُ بِالنَّارِ، أَوْ زَال أَثَرُهَا بِهَا يَطْهُرُ. كَمَا تَطْهُرُ النَّجَاسَةُ عِنْدَهُمْ بِانْقِلاَبِ الْعَيْنِ، وَهُوَ قَوْل مُحَمَّدٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ، وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى، وَاخْتَارَهُ أَكْثَرُ الْمَشَايِخِ، خِلاَفًا لأَِبِي يُوسُفَ. وَمِنْ تَفْرِيعَاتِ ذَلِكَ مَا نَقَلَهُ ابْنُ عَابِدِينَ عَنِ الْمُجْتَبَى أَنَّهُ إِنْ جُعِل الدُّهْنُ النَّجِسُ فِي صَابُونٍ يُفْتَى بِطَهَارَتِهِ، لأَِنَّهُ تَغَيَّرَ، وَالتَّغَيُّرُ يُطَهِّرُ عِنْدَ مُحَمَّدٍ، وَيُفْتَى بِهِ لِلْبَلْوَى، وَعَلَيْهِ يَتَفَرَّعُ مَا لَوْ وَقَعَ إِنْسَانٌ أَوْ كَلْبٌ فِي قِدْرِ الصَّابُونِ فَصَارَ صَابُونًا يَكُونُ طَاهِرًا لِتَبَدُّل الْحَقِيقَةِ. قَال ابْنُ عَابِدِينَ: الْعِلَّةُ عِنْدَ مُحَمَّدٍ هِيَ التَّغَيُّرُ وَانْقِلاَبُ الْحَقِيقَةِ، وَإِنَّهُ يُفْتَى بِهِ لِلْبَلْوَى، وَمُقْتَضَاهُ: عَدَمُ اخْتِصَاصِ ذَلِكَ الْحُكْمِ بِالصَّابُونِ، فَيَدْخُل فِيهِ كُل مَا كَانَ فِيهِ تَغَيُّرٌ وَانْقِلاَبٌ حَقِيقَةً، وَكَانَ فِيهِ بَلْوَى عَامَّةٌ. كَمَا نَصَّ الْمَالِكِيَّةُ عَلَى أَنَّ الْخَمْرَ إِذَا تَحَجَّرَتْ فَإِنَّهَا تَطْهُرُ، لِزَوَال الإِْسْكَارِ مِنْهَا، وَأَنَّ رَمَادَ النَّجِسِ طَاهِرٌ؛ لأَِنَّ النَّارَ تَطْهُرُ. قَال الدُّسُوقِيُّ: سَوَاءٌ أَكَلَتِ النَّارُ النَّجَاسَةَ أَكْلاً قَوِيًّا أَوْ لاَ، فَالْخُبْزُ الْمَخْبُوزُ بِالرَّوْثِ النَّجِسِ طَاهِرٌ وَلَوْ تَعَلَّقَ بِهِ شَيْءٌ مِنَ الرَّمَادِ، وَتَصِحُّ الصَّلاَةُ قَبْل غَسْل الْفَمِ مِنْ أَكْلِهِ، وَيَجُوزُ حَمْلُهُ فِي الصَّلاَةِ (١)

Mazhab Hanafi menetapkan bahwa najis yang berubah karena api atau hilang bekasnya akibat api menjadi suci. Demikian pula, najis menjadi suci menurut mereka dengan perubahan zat (inqilāb al-‘ayn). Pendapat ini dipegang oleh Imam Muhammad dan Imam Abu Hanifah, serta menjadi fatwa yang diikuti oleh mayoritas ulama mazhab, berbeda dengan pendapat Abu Yusuf.

Salah satu cabang dari kaidah ini adalah apa yang dinukil oleh Ibnu ‘Abidīn dari kitab Al-Mujtaba, yaitu jika lemak najis dijadikan sabun, maka difatwakan kesuciannya karena zatnya telah berubah. Perubahan ini dianggap menyucikan menurut Imam Muhammad, dan fatwa tersebut diambil karena kondisi darurat (al-balwa). Atas dasar ini, jika seorang manusia atau anjing jatuh ke dalam wadah pembuatan sabun dan berubah menjadi sabun, maka sabun tersebut dianggap suci karena hakikatnya telah berubah.

Ibnu ‘Abidīn berkata: “Menurut Imam Muhammad, sebab kesucian adalah perubahan (taghayyur) dan pergantian hakikat (inqilāb al-haqīqah), serta difatwakan berdasarkan kondisi darurat. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa hukum ini tidak hanya khusus pada sabun, tetapi mencakup setiap zat yang mengalami perubahan dan pergantian hakikat serta dalam kondisi darurat yang umum.”

Mazhab Maliki juga menetapkan bahwa khamar yang membeku menjadi suci karena sifat memabukkannya telah hilang. Mereka juga berpendapat bahwa abuc dari benda najis adalah suci karena api menyucikan.

Ad-Dusuqi berkata: “Baik api membakar najis secara sempurna maupun tidak, tetap dihukumi suci. Oleh karena itu, roti yang dipanggang dengan kotoran hewan yang najis tetap dianggap suci, meskipun ada sedikit abu yang menempel padanya. Bahkan, sah melakukan salat sebelum mencuci mulut setelah memakannya, dan boleh membawanya dalam salat.” (1)

كتاب فتوى الكبرى ابن تيمية ج١ ص ٢٦٣
وَأَمَّا نَفْسُ اسْتِعْمَالِ النَّجَاسَةِ فَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ، وَالنِّزَاعُ فِي الْمَاءِ الْمُسَخَّنِ بِالنَّجَاسَةِ، فَإِنَّهُ طَاهِرٌ. لَكِنْ هَلْ يُكْرَهُ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ هُمَا رِوَايَتَانِ عَنْ أَحْمَدَ: إحْدَاهُمَا لَا يُكْرَهُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ. وَالثَّانِي: يُكْرَهُ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَلِلْكَرَاهَةِ مَأْخَذَانِ.

أَحَدُهُمَا: خَشْيَةُ أَنْ يَكُونَ قَدْ وَصَلَ إلَى الْمَاءِ شَيْءٌ مِنْ النَّجَاسَةِ، فَيُكْرَهُ لِاحْتِمَالِ تَنَجُّسِهِ، فَعَلَى هَذَا إذَا كَانَ بَيْنَ الْمُوقَدِ وَبَيْنَ النَّارِ حَاجِزٌ حَصِينٌ لَمْ يُكْرَهُ، وَهَذِهِ طَرِيقَةُ الشَّرِيفِ أَبِي جَعْفَرٍ، وَابْنِ عَقِيلٍ، وَغَيْرِهِمَا.

وَالثَّانِيَةُ: أَنَّ سَبَبَ الْكَرَاهَةِ كَوْنُ اسْتِعْمَالِ النَّجَاسَةِ مَكْرُوهًا؛ وَإِنَّ السُّخُونَةَ حَصَلَتْ بِفِعْلٍ مَكْرُوهٍ. وَهَذِهِ طَرِيقَةُ الْقَاضِي أَبِي يَعْلَى، وَمِثْلُ هَذَا طَبْخُ الطَّعَامِ بِالْوَقُودِ النَّجَسِ؛ فَإِنْ نَضِجَ الطَّعَامُ كَسُخُونَةِ الْمَاءِ؛ وَالْكَرَاهَةُ فِي طَبْخِ الْفَخَّارِ بِالْوَقُودِ النَّجَسِ تُشْبِهُ تَسْخِينَ الْمَاءِ الَّذِي لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ حَاجِزٌ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun tentang penggunaan benda najis itu sendiri, pembahasannya telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan mengenai air yang dipanaskan dengan benda najis, maka hukumnya adalah suci. Namun, apakah penggunaannya makruh? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang merupakan dua riwayat dari Imam Ahmad:

Pendapat pertama: Tidak makruh, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah serta asy-Syafi’i. Pendapat kedua: Makruh, dan ini adalah mazhab Malik.

Adapun alasan kemakruhannya ada dua:

Pertama: Karena dikhawatirkan ada bagian dari najis yang sampai ke dalam air, sehingga penggunaannya dimakruhkan karena kemungkinan menjadi najis. Dengan demikian, jika antara tempat pemanasan dan api terdapat penghalang yang kuat, maka tidak dimakruhkan. Pendapat ini dipegang oleh asy-Syarif Abu Ja’far, Ibnu ‘Aqil, dan lainnya.

Kedua: Sebab kemakruhannya adalah karena penggunaan benda najis itu sendiri hukumnya makruh, sehingga pemanasan air yang terjadi dengan cara makruh ini juga menjadi makruh. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Ya’la.

Hal yang serupa juga berlaku pada memasak makanan dengan bahan bakar najis: jika makanan tersebut sudah matang, maka hukumnya seperti air yang telah panas. Begitu juga kemakruhan dalam membakar gerabah dengan bahan bakar najis, yang serupa dengan memanaskan air tanpa adanya penghalang antara air dan api. Wallahu a‘lam.

 

Kategori
Hukum

Bolehkah Meminjam Dana Sekolah atau Masjid untuk Kepentingan Pribadi?

 

Deskripsi Kasus

Sekolah agama dan masjid merupakan lembaga yang bersifat umum dan dikelola oleh masyarakat sebagai wakaf. Oleh karena itu, aset dan dana yang dimiliki lembaga ini termasuk dalam kategori wakaf yang harus dikelola sesuai dengan hukum syariah. Dalam lembaga tersebut, terdapat pengurus dengan tugas masing-masing, termasuk bendahara yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan lembaga.

Sdr. Shiddiq, selaku bendahara, mengambil dana lembaga untuk kepentingan pribadinya dengan niat meminjam dan berencana mengembalikannya di kemudian hari, tanpa izin resmi dari pihak yang berwenang.

Pertanyaan

Apa hukum meminjam dana lembaga untuk kepentingan pribadi seperti yang dilakukan oleh Sdr. Shiddiq? Apakah hal ini diperbolehkan? Jika tidak diperbolehkan, bagaimana solusi yang sesuai dengan fiqih Islam?

Jawaban Hukum Penggunaan Dana Wakaf

Dana yang terdapat dalam kas sekolah agama atau masjid, baik berasal dari wakaf maupun sumbangan, memiliki ketentuan penggunaan yang diatur oleh syariat Islam. Kaidah fiqih menyatakan:

“Wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan.”

Dengan demikian, dana wakaf harus digunakan sesuai dengan tujuan awalnya dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, meskipun dengan niat untuk meminjam.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan:

“Lembaga umum (seperti sekolah dan masjid) memiliki kedudukan seperti masjid, sehingga dapat menerima hibah maupun wakaf yang diserahkan kepada pengelolanya.”
(Hawasyi Asy-Syarwani, 3/51)

Selain itu, harta wakaf diperlakukan seperti harta anak kecil atau orang yang berada dalam perwalian, sehingga tidak boleh dikelola sembarangan kecuali untuk kemaslahatan. Imam Amirah menyatakan:

“Hukum harta wakaf sama dengan harta anak kecil.”
(Amirah, 2/305)

Tanggung Jawab Amanah

Sebagai bendahara, Sdr. Shiddiq adalah pihak yang diberi amanah untuk menjaga dan mengelola dana lembaga. Islam mewajibkan seseorang untuk menjaga amanah dengan sebaik-baiknya. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tunaikanlah amanah kepada yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud)

Mengambil dana lembaga tanpa izin dianggap sebagai pengkhianatan terhadap amanah, yang termasuk dalam ghasab.

Hukum Meminjam Dana Lembaga

Dalam Islam, pinjaman (qardh) adalah akad yang harus didasarkan pada kesepakatan antara pemberi pinjaman dan peminjam. Jika Sdr. Shiddiq mengambil dana lembaga tanpa izin dari pihak yang berwenang, maka hal itu tidak dianggap sebagai pinjaman yang sah, melainkan termasuk dalam kategori ghashb (pengambilan harta orang lain secara tidak sah).

Syaikh Zainuddin  dalam “Fathul Mu’in” menyatakan:

“Seorang wali tidak boleh meminjamkan harta anak asuhnya tanpa adanya kebutuhan mendesak.”
(Fathul Mu’in, Hasyiyah I’anatuth Thalibin, 3/51)

Imam Al-Mahalli dalam “Syarh Al-Minhaj” juga menegaskan:

“Pemberi pinjaman harus memiliki kelayakan untuk berderma, karena dalam pinjaman terdapat unsur pemberian. Oleh sebab itu, wali tidak diperbolehkan meminjamkan harta orang yang berada dalam perwaliannya tanpa adanya kebutuhan mendesak.”
(Syarh Al-Mahalli ‘ala Al-Minhaj, 2/258)

Dari penjelasan ini, jelas bahwa bendahara tidak memiliki hak untuk meminjamkan dana lembaga kepada dirinya sendiri tanpa izin resmi, karena ia bukan pemilik dana tersebut.

Solusi Syariah

Agar tindakan ini tidak melanggar syariat, beberapa solusi berikut dapat diterapkan:

Mendapatkan Izin Resmi
Jika Sdr. Shiddiq ingin meminjam dana lembaga, ia harus meminta izin resmi dari pihak yang berwenang dalam mengelola keuangan lembaga. Jika izin diberikan, maka ia dapat mengambil dana tersebut sebagai pinjaman dengan syarat pengembalian yang jelas.

Mencari Sumber Pinjaman Lain
Sebagai alternatif, Sdr. Shiddiq sebaiknya mencari sumber pinjaman lain yang tidak menyalahi amanah, seperti meminjam dari individu atau lembaga keuangan yang memperbolehkan pinjaman sesuai syariat.

Mengembalikan Dana yang Sudah Diambil
Jika ia telah mengambil dana lembaga tanpa izin, maka ia wajib segera mengembalikannya, memohon ampun kepada Allah, serta meminta maaf kepada pihak lembaga. Ia juga harus berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.

Kesimpulan

Menggunakan dana lembaga tanpa izin, meskipun dengan niat meminjam, tidak diperbolehkan dalam Islam karena termasuk dalam pengkhianatan terhadap amanah dan bertentangan dengan ketentuan pengelolaan dana wakaf. Namun, jika dilakukan melalui prosedur yang sah, seperti mendapatkan izin resmi dari pihak berwenang, maka tindakan tersebut dapat dianggap sah secara syariat.

Referensi Hawasyi Asy-Syarwani, 3/51 Amirah, 2/305 Fathul Mu’in, Hasyiyah I’anatuth Thalibin, 3/51 Syarh Al-Mahalli ‘ala Al-Minhaj, 2/258

حُكْمُ اقْتِراضِ أَمْوَالِ المَدْرَسَةِ أَوِ المَسْجِدِ لِلأغراض الشَّخْصِيَّةِ

تُعد المدارس الدينية والمساجد من المؤسسات ذات الطابع العام، وتُدار من قبل المجتمع بوصفها أوقافًا. لذا، فإن الأموال والممتلكات التابعة لها تُعد من الأوقاف التي يجب إدارتها وفقًا لأحكام الشريعة الإسلامية. وفي هذه المؤسسات، يتم تعيين إداريين يتحملون مسؤوليات محددة، ومنهم أمين الصندوق المسؤول عن إدارة أموال المؤسسة.

السيد صِدِّيق، بصفته أمينًا للصندوق، يأخذ أموال المؤسسة لاستخدامه الشخصي بنية الاقتراض، مع عزمه على إعادتها لاحقًا، دون إذن رسمي من الجهة المخولة.

السؤال

ما حكم اقتراض السيد صِدِّيق لهذه الأموال لاستخدامه الشخصي؟ وهل يجوز ذلك؟ وإن لم يكن جائزًا، فما الحل وفقًا للفقه الإسلامي؟

الجواب حكم استخدام أموال الوقف

إن الأموال الموجودة في صندوق المدرسة الدينية أو المسجد، سواء كانت من الوقف أو التبرعات، تخضع لضوابط شرعية في استخدامها. وقد ورد في القاعدة الفقهية:

“الوقف لا يباع ولا يوهب ولا يورث”

وبناءً على ذلك، فإن أموال الوقف يجب أن تُستخدم وفقًا للغرض الذي وقِفت لأجله، ولا يجوز الانتفاع بها للأغراض الشخصية، حتى ولو كان ذلك بنية الاقتراض. قال العلامة ابن حجر الهيتمي:

“الجهة العامة بمنـزلة المسجد، فيجوز تمليكها بالهبة، كما يجوز الوقف عليها، فيقبلها القاضي” (حواشي الشرواني، 3/51).

كما أن مال الوقف له حكم خاص، شبيه بحكم أموال القُصَّر والمحجور عليهم، فلا يجوز التصرف فيه إلا بما يحقق مصلحته. قال العلامة عميرة:

“وحكم مال الوقف حكم مال الطفل” (عميرة، 2/305).

مسؤولية الأمانة

بصفته أمينًا للصندوق، فإن السيد صِدِّيق مؤتمن على هذه الأموال، ويجب عليه حفظ الأمانة وعدم التصرف فيها بغير وجه حق. وقد قال النبي ﷺ:

“أدِّ الأمانة إلى من ائتمنك، ولا تخن من خانك” (رواه أبو داود).

وأخذ أموال المؤسسة دون إذن يُعتبر خيانة للأمانة، وهو من الكبائر التي توعَّد الله عليها بالعقوبة.

حكم الاقتراض من أموال المؤسسة

الاقتراض في الإسلام عقدٌ يُشترط فيه التراضي بين المقرض والمقترض، ولا يكون صحيحًا إلا إذا تم بإذن صحيح من الجهة المالكة للمال أو من يمثلها. وإذا أخذ السيد صِدِّيق أموال المؤسسة دون إذن، فإن ذلك يُعد غصبًا، وليس اقتراضًا مشروعًا.

قال العلامة الشيخ زين الدين “في فتح المعين”:

“ويمتنع على وليٍّ قرض مال موليه بلا ضرورة” (فتح المعين، هامش إعانة الطالبين، 3/51).

كما أوضح الإمام المحلي في “شرح المنهاج”:

“ويشترط في المقرض أهلية التبرع، لأن في الإقراض تبرعًا، فلا يصح إقراض الولي مال المحجور عليه من غير ضرورة” (شرح المحلي على المنهاج، 2/258).

بناءً على ذلك، لا يجوز لأمين الصندوق أن يقرض نفسه أموال المؤسسة، لأنه ليس صاحب الحق في التصرف فيها.

الحلول الشرعية

لكي لا يكون هذا الفعل مخالفًا لأحكام الشريعة، يمكن اتباع الحلول التالية:

الحصول على إذن رسمي إذا أراد السيد صِدِّيق اقتراض أموال المؤسسة، فعليه أن يطلب إذنًا رسميًا من الجهة المخولة بإدارة المال. وإذا تم منحه الإذن، فيمكنه حينئذٍ أخذ المال كقرض بشروط واضحة للسداد.

البحث عن مصادر بديلة للاقتراض من الأفضل أن يلجأ السيد صِدِّيق إلى مصادر أخرى للاقتراض، مثل الاقتراض من شخص آخر أو من مؤسسة مالية، حتى لا يخلّ بالأمانة الموكلة إليه.

إعادة المال الذي تم أخذه دون إذن إذا كان قد أخذ المال بالفعل دون إذن، فيجب عليه أن يعيده فورًا، وأن يستغفر الله عز وجل، ويطلب العفو من إدارة المؤسسة، ويتعهد بعدم تكرار هذا الفعل.

الخاتمة

إن استخدام أموال المؤسسة دون إذن، حتى لو كان بنية الاقتراض، لا يجوز في الإسلام، لأنه يُعد خيانة للأمانة، ويتعارض مع أحكام إدارة أموال الوقف. ومع ذلك، إذا تم ذلك وفق إجراءات شرعية صحيحة، مثل الحصول على إذن رسمي من الإدارة المخولة، فيمكن اعتباره تصرفًا مشروعًا وفقًا للشريعة الإسلامية.

المراجع حواشي الشرواني، 3/51 عميرة، 2/305 فتح المعين، هامش إعانة الطالبين، 3/51 شرح المحلي على المنهاج، 2/258

Kategori
Hukum

Fida’: Menyembelih Hewan untuk Orang Sakit dalam Tinjauan Syariat

 

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Deskripsi Masalah

Di masyarakat, sejak dahulu hingga sekarang, terdapat praktik fida’, yaitu menyembelih kambing untuk orang sakit ketika penyakitnya semakin parah. Dagingnya kemudian disedekahkan dengan keyakinan sebagai fida’ atau tebusan dosa. Biasanya, jika penyakitnya bukan penyakit yang membawa kematian, orang tersebut akan segera sembuh dengan izin Allah. Namun, jika penyakitnya adalah penyakit yang menyebabkan kematian, maka orang tersebut akan wafat dalam waktu dekat. Saya telah mengetahui praktik ini sejak kecil di daerah saya, tetapi hingga usia 59 tahun ini, saya belum menemukan dalil yang jelas mengenai praktik tersebut.

Waalaikum salam

Jawaban

Jika yang dimaksud dengan fida’ adalah sedekah sebagai tebusan dosa (kafarah), maka hal ini tidak dibenarkan dalam syariat, karena dosa hanya dapat dihapus dengan taubat nasuha, yaitu taubat yang sungguh-sungguh disertai dengan memperbanyak istighfar serta meninggalkan perbuatan dosa tersebut. Allah berfirman:

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya…” (QS. Hud: 3)

Namun, jika penyembelihan hewan dilakukan sebagai bentuk sedekah, terutama dalam kondisi sakit, maka dalam hal ini sangatlah dianjurkan   dalam Islam, ( sunnat muakkad).

Referensi:

التقرير ات السديدة ص٤٢٩

وتأكد صدقة التطوع عند الأمور المهمة كالغزو والجماعة، وكذلك الكسوف والمرض والحج

Kenapa sedekah dalam kondisi tersebut sangat dianjurkan karena sedekah memiliki banyak keutamaan, di antaranya:
Sebagai Penghapus Kesalahan Rasulullah ﷺ bersabda:

الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ

“Sedekah itu dapat menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi No. 2616, hasan shahih)

Dalam kitab ushfuriya hal: 11 dijelaskan bahwa sedekah terdapat  7 manfaat atau keutamaan.

شرح المواعظ العصفورية ص ١١

ﺍﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺳﺒﻊ ﺧﺼﺎﻝ :

{ ﺃﻭﻟﻬﺎ }

ﺃﻥ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺗﻔﻚ ﺭﻗﺒﺘﻚ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺇﻥ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻟﺘﺪﻓﻊ ﺳﺒﻌﻴﻦ ﺑﺎﺑﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﻼﺀ

Ketahuilah bahwa di dalam sedekah itu terdapat 7 perkara. Yang pertama, bahwasanya sedekah itu melepaskan ikatanmu. Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya sedekah itu menolah 70 pintu bala”

{ ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ }

ﺍﻧﻬﺎ ﻃﺒﻴﺒﻚ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺩﺍﻭﻭﺍ ﻣﺮﺿﺎﻛﻢ بالصدقة

Yang kedua, bahwasanya sedekah itu adalah dokter bagimu. Nabi SAW bersabda : “Obatilah penyakit kalian dengan bersedekah”

{ ﻭﺍﻟﺜﺎﻟﺚ }

ﺃﻧﻬﺎ ﺻﺎﺭﺕ ﺣﺎﺭﺳﻚ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺣﺼﻨﻮﺍﺃﻣﻮﺍﻟﻜﻢ ﺑﺎﻟﺼﺪﻗﺔ

Yang ketiga, bahwasanya sedekah itu akan menjadi penjagamu. Nabi SAW bersabda : “Bentengilah harta kalian
dengan sedekah

{ ﻭﺍﻟﺮﺍﺑﻊ }

ﺍﻧﻬﺎ ﺗﻄﻔﺊ ﻏﻀﺐ ﺍﻟﺮﺏ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺗﻄﻔﺊ ﻏﻀﺐ الرﺏ

Yang keempat, bahwasanya sedekah itu menghilangkan kemurkaan Allah. Nabi SAW bersabda: Sedekah itu menghilangkan kemurkaan Allah SWT

{ ﻭﺍﻟﺨﺎﻣﺲ }

ﺍﻧﻬﺎ ﺃﻟﻔﺔ ﻟﻺﺧﻮﺍﻥ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻫﺪﻳﺔ ﺗﻬﺎﺩﻭﺍ ﺗﺤﺎﺑﻮﺍ

Yang kelima, bahwasanya sedekah itu membuat persaudaraan menjadi lebih harmonis. Nabi SAW bersabda : “Sedekah itu adalah hadiah, maka hendaklah kalian saling memberi hadiah sehingga kalian saling mencintai”

{ ﻭﺍﻟﺴﺎﺩﺱ }

ﺍﻧﻬﺎ ﺭﻗﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﻮﺏ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻣﻦ ﻭﺟﺪ فى قلبه ﻗﺴﺎﻭﺓ ﻓﻠﻴﻨﺸﺮ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ

Yang keenam, bahwasanya sedekah itu melembutkan hati. Nabi SAW bersabda :

“Barangsiapa yang merasa hatinya keras, maka tebarkanlah sedekah

{ والسابع }

إنها تزيد فى العمر قال النبي صلى الله عليه وسلم الصدقة ترد البلاء وتزيد فى العمر

Yang ketujuh, bahwasanya sedekah itu memanjangkan umur. Nabi SAW bersabda : “Sedekah itu menolak bala dan memperpanjang umur”.

Begitu juga tidak dibenarkan jika seseorang berkeyakinan dengan penyembelihan hewan untuk orang yang sakit  dalam waktu dekat  cepat meninggal , karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa sedekah dapat digunakan untuk mempercepat dan mengetahui waktu kematian seseorang karena hanya Allah yang mengetahui kapan seseorang akan meninggal. Allah berfirman:

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ “

Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui apa yang akan dikerjakannya besok, dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati.” (QS. Luqman: 34) lihat tafsir Ibnu Katsir, berikut:

تفسير إبن كثير سورة لقمان اية ٣٤

إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ
الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

هذه مفاتيح الغيب التي استأثر الله تعالى بعلمها ، فلا يعلمها أحد إلا بعد إعلامه تعالى بها; فعلم وقت الساعة لا يعلمه نبي مرسل ولا ملك مقرب ، ( لا يجليها لوقتها إلا هو ) [ الأعراف : 187 ] ، وكذلك إنزال الغيث لا يعلمه إلا الله ، ولكن إذا أمر به علمته الملائكة الموكلون بذلك ومن شاء الله من خلقه . وكذلك لا يعلم ما في الأرحام مما يريد أن يخلقه [ الله ] تعالى سواه ، ولكن إذا أمر بكونه ذكرا أو أنثى ، أو شقيا أو سعيدا علم الملائكة الموكلون بذلك ، ومن شاء الله من خلقه . وكذلك لا تدري نفس ماذا تكسب غدا في دنياها وأخراها ، ( وما تدري نفس بأي أرض تموت ) في بلدها أو غيره من أي بلاد الله كان ، لا علم لأحد بذلك . وهذه شبيهة بقوله تعالى : ( وعنده مفاتح الغيب لا يعلمها إلا هو ) الآية [ الأنعام : ٥٩ ] . وقد وردت السنة بتسمية هذه الخمس : مفاتيح الغيب . قال الإمام أحمد : حدثنا زيد بن الحباب ، حدثني حسين بن واقد ، حدثني عبد الله بن بريدة ، سمعت أبي – بريدة – يقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ” خمس لا يعلمهن إلا الله عز وجل : ( إن الله عنده علم الساعة وينزل الغيث ويعلم ما في الأرحام وما تدري نفس ماذا تكسب غدا وما تدري نفس بأي أرض تموت إن الله عليم خبير ) . هذا حديث صحيح الإسناد ، ولم يخرجوه . حديث ابن عمر : قال الإمام أحمد : حدثنا وكيع ، حدثنا سفيان ، عن عبد الله بن دينار ، عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مفاتيح الغيب خمس لا يعلمهن إلا الله : ( إن الله عنده علم الساعة وينزل الغيث ويعلم ما في الأرحام وما تدري نفس ماذا تكسب غدا وما تدري نفس بأي أرض تموت إن الله عليم خبير )

Sesungguhnya Allah memiliki pengetahuan tentang Kiamat, menurunkan hujan, mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui apa yang akan diperolehnya esok hari, serta tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal. (QS. Luqman: 34)

Inilah kunci-kunci keghaiban yang Allah SWT khususkan pengetahuannya bagi diri-Nya. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali setelah Allah memberitahukannya. Ilmu tentang waktu Kiamat tidak diketahui oleh nabi yang diutus maupun malaikat yang didekatkan. Sebagaimana firman-Nya:

“Tidak ada yang dapat menyingkapnya pada waktunya kecuali Dia.” (QS. Al-A’raf: 187)

Demikian pula, pengetahuan tentang turunnya hujan hanya diketahui oleh Allah. Namun, jika Allah telah memerintahkannya, maka para malaikat yang ditugaskan untuk itu akan mengetahuinya, begitu pula makhluk-makhluk lain yang dikehendaki-Nya.

Begitu juga, tidak ada yang mengetahui apa yang ada dalam rahim selain Allah, baik mengenai penciptaan-Nya, apakah janin itu akan menjadi laki-laki atau perempuan, serta apakah ia akan bahagia atau celaka. Namun, jika Allah telah memerintahkannya, maka para malaikat yang ditugaskan akan mengetahuinya, begitu pula siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Demikian pula, tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui apa yang akan diperolehnya esok hari, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Dan tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui di bumi mana ia akan meninggal, apakah di tempat asalnya atau di negeri lain dari negeri-negeri Allah. Tidak ada seorang pun yang memiliki ilmu tentang hal ini.

Ayat ini mirip dengan firman Allah:

“Dan di sisi-Nya kunci-kunci keghaiban; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia.” (QS. Al-An’am: 59)

Dalam hadits juga disebutkan bahwa lima perkara ini dinamakan kunci-kunci keghaiban.

Hadits-hadits yang berkaitan dengan lima perkara ghaib Hadits dari Buraidah
Imam Ahmad meriwayatkan:

“Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab, telah menceritakan kepada kami Husain bin Waqid, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah, aku mendengar ayahku, Buraidah, berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Ada lima hal yang hanya diketahui oleh Allah: (Sesungguhnya Allah memiliki pengetahuan tentang Kiamat, menurunkan hujan, mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui apa yang akan diperolehnya esok hari, serta tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal).’”

Dari penjelasan ayat dan tafsir diatas dapat difahami bahwa ada Lima perkara dalam ayat tersebut merupakan kunci-kunci keghaiban yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Manusia, bahkan para nabi dan malaikat sekalipun, tidak dapat mengetahuinya kecuali jika Allah memberikan wahyu. Hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ menegaskan bahwa lima perkara ini berada di bawah kekuasaan mutlak Allah SWT.

Adapun dalil yang diajarkan oleh Nabi SAW kepada umatnya khususnya bagi seseorang yang tertimpa ujian dan musibah yang sangat berat adalah dianjurkan untuk memperbanyak do’a

اللهم أحيني ماكانت الحيات خير لي وتوفني ماكانت الوفات خير لي

“Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku.”

Kesimpulan

Jika penyembelihan hewan dilakukan sebagai tebusan dosa (fida’), maka hal ini tidak dibenarkan, karena dosa hanya dapat dihapus dengan taubat yang tulus dan memperbanyak istighfar.

Jika dilakukan sebagai sedekah dengan niat memohon kesembuhan kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan dan dianjurkan, sebagaimana dijelaskan dalam dalil-dalil di atas.

Sedekah tidak dapat digunakan untuk mempercepat kematian karena hal tersebut bertentangan dengan hadits dan nash Al-Qur’an , sedangkan ilmu tentang kematian hanya diketahui oleh Allah.
Berikut kisah /hikayat tentang pengaruh atau kelebihan dari sedekah; dalam kitab Ushfuriyah

شرح المواعظ العصفورية ص١١

{ ﺣﻜﻲ }
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺃﺗﺖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻗﺪ ﻳﺒﺴﺖ ﻳﺪﻫﺎ ﺍﻟﻴﻤﻨﻲ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﷲ ﺍﺩﻉ ﷲ ﺣﺘﻰ ﻳﺼﻠﺢ ﻳﺪﻱ ﻭﻳﻌﻴﺪﻫﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤﺎﻟﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ

Diceritakan dari Aisyah ra bahwasanya ada seorang wanita datang kepada Nabi SAW, tangan kanannya kaku, lalu ia berkata : Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah sehingga tanganku menjadi baik dan kembali seperti keadaan semula.

ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻣﺎ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﻳﺒﺲ ﻳﺪﻙ ﻗﺎﻟﺖ ﺭﺃﻳﺖ ﻓﻲ . ﻣﻨﺎﻣﻲ ﻛﺄﻥ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻗﺪ ﻗﺎﻣﺖ ﻭﺍﻟﺠﺤﻴﻢ ﻗﺪ ﺳﻌﺮﺕ ﻭﺍﻟﺠﻨﺔ ﺃﺯﻟﻔﺖ ﻭﺻﺎﺭﺕ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻣﺎ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﻳﺒﺲ ﻳﺪﻙ ﻗﺎﻟﺖ ﺭﺃﻳﺖ ﻓﻲ ﻣﻨﺎﻣﻲ ﻛﺄﻥ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻗﺪ ﻗﺎﻣﺖ ﻭﺍﻟﺠﺤﻴﻢ ﻗﺪ ﺳﻌﺮﺕ ﻭﺍﻟﺠﻨﺔ ﺃﺯﻟﻔﺖ ﻭﺻﺎﺭﺕ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺃﻭﺩﻳﺔ ﻓﺮﺃﻳﺖ ﻓﻲ ﻭﺍﺩ ﻣﻦ ﺃﻭﺩﻳﺔ ﻓﺮﺃﻳﺖ ﻓﻲ ﻭﺍﺩ ﻣﻦ ﺃﻭﺩﻳﺔ ﺟﻬﻨﻢ ﻭﺍﻟﺪﺗﻲ ﻭﻓﻲ ﻳﺪﻫﺎ ﻗﻄﻌﺔ ﻣﻦ ﺷﺤﻢ ﻭﻓﻲ ﻳﺪﻫﺎ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﺧﺮﻗﺔ ﺻﻐﻴﺮﺓ ﺗﺘﻘﻰ ﺑﻬﺎ ﻣﻦ النار

Lalu Nabi SAW berkata kepadanya : “Apa yang menyebabkan tanganmu menjadi kaku?” Ia menjawab : Aku melihat di dalam mimpiku seakan- akan hari kiamat telah terjadi, dan neraka Jahim telah dinyalakan, surga telah didekatkan, dan neraka menjadi banyak lembah, lalu aku melihat ibuku di suatu lembah neraka Jahannam yang di tangannya ada sebongkah lemak daging (gajih) dan di tangannya yang lain terdapat sobekan kain yang kecil, ia berlindung dengannya dari api neraka

ﻗﻠﺖ ﻣﺎ ﻟﻲ ﺃﺭﺍﻙ ﻳﺎ ﺃﻣﺎﻩ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﺍﺩﻱ ﻭﻛﻨﺖ ﻣﻄﻴﻌﺔ ﻟﺮﺑﻚ ﻭﺭﺍﺽ ﻋﻨﻚ ﺯﻭﺟﻚ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻟﻲ ﻳﺎ ﺍﺑﻨﺘﻲ ﺇﻧﻲ ﻛﻨﺖ ﺑﺨﻴﻠﺔ ﻓﻰ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻓﻬﺬﺍ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﺒﺨﻼﺀ ﻗﻠﺖ ﻟﻬﺎ ﻣﺎ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺸﺤﻤﺔ ﻭﺍﻟﺨﺮﻗﺔ ﺍﻟﻠﺘﺎﻥ ﺃﺭﺍﻫﻤﺎ ﻓﻲ ﻳﺪﻙ

Aku berkata : Apa yang menyebabkan aku melihatmu wahai ibu di lembah neraka ini, padahal engkau adalah orang yang taat kepada Tuhanmu dan suamimu juga telah ridha kepadamu. Ibunya menjawab kepadaku : Wahai anakku , sesungguhnya dahulu aku adalah orang yang kikir di dunia, maka inilah tempat orang yang kikir. Aku berkata kepadanya : Lalu apa gajih dan sobekan kain ini yang aku lihat di tanganmu

ﻗﺎﻟﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺼﺪﻗﺖ ﺑﻬﻤﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﻣﺎ ﺗﺼﺪﻗﺖ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﻋﻤﺮﻱ ﺇﻻ ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻟﺨﺮﻗﺔ ﻭﺍﻟﺸﺤﻤﺔ ﻓﺄﻋﻄﻴﺖ ﺫﻟﻚ ﻓﺄﻧﺎ ﺃﺗﻘﻰ ﺑﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻭﺍﻟﻌﺬﺍﺏ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻲ

Ibunya berkata : Ini adalah sedekah yang dahulu aku pernah sedekahkan di dunia, dan aku tidak pernah bersedekah lagi sepanjang hidupku kecuali dengan kain dan gajih ini, lalu aku berlindung dengan kedua ini dari api neraka dan adzab atas diriku

ﻗﻠﺖ ﻟﻬﺎ ﺃﻳﻦ ﺃﺑﻲ ﻗﺎﻟﺖ ﻫﻮ ﻛﺎﻥ ﺳﺨﻴﺎ ﻓﻬﻮ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻷﺳﺨﻴﺎﺀ ﻓﻰ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻓﺠﺌﺖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻭﺇﺫﺍ ﻭﺍﻟﺪﻱ ﻗﺎﺋﻢ ﻋﻠﻰ ﺷﻂ ﺣﻮﺿﻚ ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﷲ ﻳﺴﻘﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﺄﺧﺬ ﺍﻟﻜﺄﺱ ﻣﻦ ﻳﺪ ﻋﻠﻲ ﻭﻋﻠﻲ ﻣﻦ ﻳﺪ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ ﻣﻦ ﻳﺪ ﻋﻤﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﻣﻦ ﻳﺪ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﺍﻟﺼﺪﻳﻖ ﻭﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻣﻨﻚ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﷲ

Aku berkata kepadanya : Dimana ayahku? Ia menjawab : Dia adalah orang yang dermawan, dan dia berada di tempat orang-orang yang dermawan di surga. Lalu aku datang ke surga. Ketika itu, ayahku berdiri di pinggir telagamu Wahai Rasulullah, ia memberi minum orang-orang yang dia ambil gelas tersebut dari Ali, Ali dari Utsman, Utsman dari Umar, Umar dari Abu Bakar, dan Abu Bakar darimu Wahai Rasulullah

ﻓﻘﻠﺖ ﻳﺎ ﺃﺑﻲ ﺇﻥ ﻭﺍﻟﺪﺗﻲ ﺍﻣﺮﺃﺗﻚ ﺍﻟﻤﻄﻴﻌﺔ ﻟﺮﺑﻬﺎ ﻭﺭﺍﺽ ﺃﻧﺖ ﻋﻨﻬﺎ ﻭﻫﻲ ﻓﻲ ﻭﺍﺩﻱ ﻛﺬﺍﻓﻲ ﺟﻬﻨﻢ ﻭﺃﻧﺖ ﺗﺴﻘﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺣﻮﺽ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻭﻫﻲ ﻋﻄﺸﺎﻧﺔ ﻓﺎﻋﻄﻬﺎ ﺷﺮﺑﺔ ﻣﻦ ﻣﺎﺀ

Lalu aku berkata : Wahai ayahku, sesungguhnya ibuku adalah isterimu yang taat kepada Tuhannya, dan engkau telah ridha kepadanya, dan ia berada di lembah itu di dalam neraka Jahannam, sedangkan engkau memberi orang-orang minum dari telaga Nabi SAW, dia sangat haus, maka berikanlah ia seteguk air.

ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﺍﺑﻨﺘﻲ ﺇﻥ ﻭﺍﻟﺪﺗﻚ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﺒﺨﻼﺀ ﻭﺍﻟﻌﺼﺎﺓ ﻭﺍﻟﻤﺬﻧﺒﻴﻦ ﻭﺍﻥ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺣﺮﻡ ﻣﺎﺀ ﺣﻮﺽ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺨﻼﺀ ﻭﺍﻟﻌﺼﺎﺓ ﻭﺍﻟﻤﺬﻧﺒﻴﻦ

Lalu ia berkata : Wahai anakku, sesungguhnya ibumu berada di tempat orang-orang yang kikir, bermaksiat, dan berdosa. Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan air dari telaga Nabi SAW ini atas orang-orang yang kikir, bermaksiat, dan berdosa

ﻗﺎﻟﺖ ﻓﺄﺧﺬﺕ ﻣﻨﻪ ﻛﺄﺳﺎ ﺑﻜﻒ ﻣﻦ ﻣﺎﺀﻟﺄﺷﺮﺑﻬﺎ ﻓﺴﻘﻴﺖ ﺑﻬﺎ ﺃﻣﻲ ﻓﻠﻤﺎ ﺷﺮﺑﺖ ﺳﻤﻌﺖ ﺻﻮﺗﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻳﺒﺲ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﺪﻙ ﺟﺌﺖ ﺳﻘﻴﺖ ﺍﻟﻌﺎﺻﻴﺔ ﺍﻟﺒﺨﻴﻠﺔ ﻣﻦ ﺣﻮﺽ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻓﺎﻧﺘﺒﻬﺖ ﻓﺈﺫﺍ ﻳﺪﻱ ﻳﺒﺴﺖ

Ia berkata : Laluaku mengambil segelas air dengan telapak tangan untuk ia minum, lalu aku memberi ibuku minum. Ketika ia minum, aku mendengar suara yang berkata : “Semoga Allah SWT menjadikan kaku tanganmu, engkau datang dan memberi minum orang yang bermaksiat dan kikir dari telaga Nabi SAW, lalu aku sadar bahwa tanganku telah kaku

ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺃﺿﺮﺑﻚ ﺑﺨﻞ ﻭﺍﻟﺪﺗﻚ ﻓﻰ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻓﻜﻴﻒ ﻟﻬﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﻌﻘﺒﻲ ﺛﻢ ﻗﺎﻟﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻗﺪ ﻭﺿﻊ ﻋﺼﺎﻩ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻫﺎ ﻓﻘﺎﻝ ﺇﻟﻬﻲ ﺑﺎﻟﺮﺅﻳﺎ ﺍﻟﺘﻲ ﺣﻜﺖ ﻋﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﺗﺼﻠﺢ ﻳﺪﻫﺎ ﻓﺼﻠﺤﺖ ﻳﺪﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻓﺼﺎﺭﺕ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ

Lalu Nabi SAW berkata kepadanya : Kekikiran ibumu telah menyiksamu di dunia, lalu bagaimana kelak di akhirat? Kemudian Aisyah ra berkata, bahwasanya Nabi SAW meletakkan tongkatnya di tangan wanita tersebut, lalu beliau berkata : Wahai Tuhanku, atas mimpi yang telah ia ceritakan, maka sembuhkanlah tangannya. Lalu sembuhlah tangannya pada saat itu juga dan kembali seperti semula.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Kategori
Hukum

Urgensi Mengajar dan Berdakwah: Mana yang Harus Diutamakan?

 


Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Deskripsi Masalah:
Ada seorang guru agama yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah sekolah dasar. Selain mengajar, ia juga seorang mubaligh yang sering diundang untuk mengisi pengajian pada jam kerja. Hal ini mengakibatkan ia sering meninggalkan tugasnya sebagai guru, meskipun mendapatkan izin dari kepala sekolah yang merasa terpaksa memberikannya. Rekan-rekan sesama guru juga merasa kurang nyaman dengan kondisi tersebut.

Kasus serupa juga terjadi pada seorang Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK yang memiliki tugas pokok menyampaikan dakwah kepada masyarakat. Namun, ia juga mengajar di sekolah/madrasah, dan sering kali jadwal mengajarnya bertabrakan dengan jadwal dakwahnya.


Pertanyaan

Bagaiman hukum menghadapi dua kewajiban seperti ini?dan terkait gaji yang dia terima , maturnuwun.

Wassalamu’alaikum Wr Wb.

Walaikum salam.

Jawaban.

Hukum Menghadapi Dua Kewajiban yang Bertabrakan

Dalam situasi ini, yang harus didahulukan adalah tugas pokok (tupoksi) sebagai PNS/PPPK. Jika seseorang berstatus sebagai guru PNS/PPPK, maka tugas utama yang harus diprioritaskan adalah mengajar. Begitu pula jika seseorang adalah Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK, maka tugas utama yang harus diutamakan adalah berdakwah kepada masyarakat sesuai dengan tupoksinya.

Prinsip ini berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”
(QS. An-Nisa: 58)

Amanah sebagai pegawai pemerintah adalah kewajiban yang harus dijaga. Sering meninggalkan tugas pokok tanpa alasan yang sangat mendesak dapat termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan secara syar’i, karena mengabaikan hak orang lain, seperti hak siswa untuk mendapatkan pendidikan atau hak masyarakat untuk mendapatkan bimbingan agama.

Dakwah memang amal mulia, tetapi harus dilakukan tanpa mengorbankan kewajiban yang lebih utama. Seorang guru PNS telah memiliki kontrak kerja dengan negara, sehingga waktu kerja tersebut harus diprioritaskan. Begitu juga halnya dengan Penyuluh  Agama Islam PNS/PPPK.  Rasulullah ﷺ bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah pekerja upahnya sebelum kering keringatnya.”
(HR. Ibnu Majah no. 2443, dishahihkan Al-Albani)

Jika guru atau Penyuluh tersebut tetap menerima gaji penuh tetapi sering meninggalkan tugasnya, maka dia termasuk orang yang berkhianat  dan  korupsi.

(مرقاة صعود التصديق، ص ٧٥-٧٦).
والخيانة وهي ضد النصيحة فتشمل أي الخيانة الأفعال والأقوال والأحوال وقد يقال دلالة الحال أقوى من دلالة المقال قال الفيومي في المصباح وفرق العلماء بين الخائن والسارق والغاصب بأن الخائن هو الذي خان ما جعل عليه أمينًا والسارق من أخذ خفية من موضع كان ممنوعًا من الوصول إليه وربما قيل كل سارق خائن دون عكسه والغاصب من أخذ جهارًا معتدًا على قوته اهـ

(Sumber: Mirqāh Ṣu‘ūd at-Taṣdīq, hlm. 75-76).

Pengkhianatan adalah lawan dari nasihat, mencakup segala bentuk pengkhianatan baik dalam perbuatan, perkataan, maupun keadaan. Dikatakan bahwa indikasi keadaan (perbuatan) lebih kuat daripada indikasi ucapan.

Al-Fiymi dalam al-Mishbah menyebutkan bahwa para ulama membedakan antara pengkhianat, pencuri, dan perampas. Pengkhianat adalah orang yang berkhianat terhadap sesuatu yang ia dipercayakan untuk menjaganya.

Sedangkan pencuri adalah orang yang mengambil sesuatu secara diam-diam dari tempat yang dilarang untuk dimasuki.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa setiap pencuri adalah pengkhianat, tetapi tidak setiap pengkhianat adalah pencuri.

Adapun perampas (ghashib) adalah orang yang mengambil sesuatu secara terang-terangan dengan menggunakan kekuatan secara zalim.

Korupsi dalam Islam termasuk perbuatan haram karena merugikan orang lain, mengandung unsur pengkhianatan, dan memakan harta yang bukan haknya. Berikut beberapa dalil yang menjadi landasan haramnya korupsi:

1. Al-Qur’an a) Larangan Memakan Harta dengan Cara Batil

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًۢا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 188)

Ayat ini menunjukkan bahwa memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar, termasuk suap dan korupsi, adalah perbuatan terlarang.

a) Larangan Khianat terhadap Amanah

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
(QS. Al-Anfal: 27)

Korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang dipercayakan, baik dari negara maupun masyarakat.

2. Hadits Nabi ﷺ a) Larangan Pegawai Negara Mengambil Harta Secara Tidak Sah

Dari Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

“Hadiah bagi para pegawai negara adalah ghulul (harta curian/korupsi).”
(HR. Ahmad, no. 23605; dinilai shahih oleh Al-Albani)

Hadits ini menegaskan bahwa pejabat yang menerima hadiah terkait jabatannya termasuk dalam kategori ghulul (penggelapan harta).

b) Ancaman Bagi Pengkhianat dan Pelaku Korupsi

Dari ‘Adi bin ‘Amirah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ، فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا، فَمَا فَوْقَهُ، كَانَ غُلُولًا، يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang kami angkat menjadi pegawai, lalu dia menyembunyikan sehelai jarum atau lebih dari jabatan tersebut (tidak jujur dalam mengelola harta publik), maka itu adalah ghulul (penggelapan), dan dia akan membawanya pada hari kiamat.”
(HR. Muslim, no. 1833)

Hadits ini menunjukkan bahwa korupsi, meskipun hanya dalam jumlah kecil, tetap dianggap sebagai pengkhianatan dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

3. Ijma’ Ulama

Para ulama sepakat bahwa korupsi adalah bentuk kezaliman dan memakan harta haram. Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menyebutkan bahwa pejabat yang menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi termasuk orang yang berbuat zalim dan harus dihukum.


Solusi yang Dapat Dilakukan

  1. Mengatur Waktu dengan Baik
    • Bagi Guru PNS/PPPK: Jika ingin berdakwah, sebaiknya dilakukan di luar jam kerja, seperti saat sore, malam, atau akhir pekan agar tidak mengganggu tugas mengajar.
    • Bagi Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK: Jika ingin mengajar di sekolah, sebaiknya dilakukan di luar jam kerja penyuluh atau saat hari libur.
  2. Memanfaatkan Cuti Resmi
    Jika ada pengajian penting yang tidak bisa ditinggalkan, guru atau penyuluh dapat mengajukan cuti resmi sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, tugas pokoknya tidak terbengkalai dan tidak membebani rekan kerja lainnya.
  3. Meminta Izin dengan Kesepakatan yang Jelas
    Jika ada kebijakan yang memperbolehkan izin, maka izin tersebut harus diberikan dengan persetujuan kepala sekolah atau atasan, tanpa paksaan dan tanpa merugikan hak siswa atau masyarakat.
  4. Fokus pada Tupoksi Masing-Masing
    Jika seseorang merasa tidak mampu menjalankan kedua tugas sekaligus tanpa mengorbankan salah satunya, maka sebaiknya ia memilih salah satu yang lebih sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawabnya.

Kesimpulan

Dalam Islam, amanah sebagai guru maupun penyuluh agama adalah tanggung jawab besar yang harus dijaga. Jika sering meninggalkan tugas utama tanpa alasan yang mendesak, maka hal itu tidak dibenarkan secara syar’i.

  • Bagi Guru PNS/PPPK, berdakwah adalah kewajiban, tetapi tidak boleh mengorbankan tugas utamanya dalam mendidik siswa.
  • Bagi Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK, mengajar juga merupakan tugas mulia, tetapi tidak boleh mengorbankan amanah utamanya dalam membimbing masyarakat.

Dengan pengaturan waktu yang baik, memanfaatkan cuti, dan meminta izin sesuai aturan, kedua tugas ini dapat dijalankan dengan seimbang tanpa mengabaikan amanah utama.

Wallahu a’lam bish-shawab.

شرح رسالة مختصرة في أصول الفقه

قاعدة المصالح والمفاسد وَإِذَا تَزَاحَمَتْ مَصْلَحَتَانِ؛ قُدِّمَ أَعْلاَهُمَا، أَوْ مَفْسَدَتَانِ لاَ بُدَّ مِنْ فِعْلِ إِحْدَاهُمَا؛ ارْتُكِبَتْ أَخَفُّهُمَا مَفْسَدَةً. قال: (وإذا تزاحمت مصلحتان؛ قُدِّمَ أعلاهما أو مفسدتان لا بد من فعل إحداهما؛ ارْتُكِبَ أخفُّهما). هذه القاعدة تسمى عند العلماء: قاعدة المصالح والمفاسد، وقاعدة المصالح والمفاسد لها ثلاث صور، ذكر الشيخ صورتين، وترك الصورة الثالثة. الصورة الأولى: أن تتزاحم مصلحتان، والتزاحم معناه التعارض بين أمرين لا يمكن الجمع بينهما، فعندنا مصلحتان ولا يمكن الجمع بينهما، ولا بد أن نفعل مصلحة واحدة؛ فما الحكم؟! قال الشيخ: إنه يختار أعلى المصلحتين؛ مثل شخص اجتمع عليه دين ونفقة مستحبة؛ كصدقة، فقضاء الدين مصلحة، والنفقة المستحبة على الفقراء والمساكين مصلحة، فأيهما يُقَدِّمُ؟ يقدم قضاء الدين؛ لأن قضاء الدين واجب، هذا الآن تعارض بين مصلحتين إحداهما واجبة والأخرى مستحبة. طيب.. لو تعارضت مصلحتان واجبتان؛ مثل صلاة نذر وصلاة فرض، يُقدم صلاة الفرض على صلاة النذر؛ لأن الفرض ثبت بأصل الشرع، والنذر أوجبه المكلف على نفسه، وفي النفقة اللازمة للزوجات والأقارب تُقَدَّمُ نفقة الزوجات ثم الأقارب، إذا تعارض عند الزوجة أمر أبويها وأمر زوجها؛ يُقَدَّمُ أمر زوجها؛ لأنه آكد. إذا اجتمعت مصلحتان مسنونتان؛ قُدِّمَ أفضلهما، ويقدم ما فيه نفع متعدٍّ، فلو تعارض عند إنسان طلب علم وصلاة نفل؛ يقدم طلب العلم. تعليم العلم مع صلاة نفل، تعليم العلم، المقصود من هذا: أن الأعلى في المصالح يختلف من مصلحة إلى أخرى. ومن الأدلة على اختيار أعلى المصلحتين: ما ورد في الحديث الصحيح قول النبي -صلى الله عليه وسلم- كما في حديث ابن الزبير(١) عن عائشة قَالَ: «يَا عَائِشَةُ! لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ» قال ابن الزبير: بِكُفْرٍ، « لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ، فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ مِنْهُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ»(٢) فهنا عندنا مصلحتان: المصلحة الأول: نقض الكعبة وجعل لها بابين، وإذا كان لها بابان يكون أخفَّ وأسهل من كون الناس يدخلون ويخرجون مع باب واحد، والمصلحة الثانية: تأليف قلوب قريش؛ لأنهم لا يزالون حدثاء عهد بكفر، فماذا قدم الرسول -صلى الله عليه وسلم- من المصلحتين؟ قدم المصلحة الثانية، وهي تأليف القلوب. الصورة الثانية: إذا اجتمعت مفسدتان؛ ارتكب أخفهما، ومن أدلة هذا وأمثلته: ما ورد في الحديث الصحيح حديث أنس -رضي الله عنه- قال: جاء أعرابي فبال في المسجد فزجره الناس، فنهاهم النبي -صلى الله عليه وسلم-، فلما قضى بوله أمر بذنوب من ماء فأريق عليه(٣) البول في المسجد مفسدة، والاستمرار على البول مفسدة، والصحابة -رضي الله عنهم- أرادوا أن يقطعوا على الرجل بوله، يعني أرادوا أن لا يستمر البول. والرسول -صلى الله عليه وسلم- أراد أن يستمر البول. إذن: البول في المسجد مفسدة في حد ذاتها، واستمرار البول مفسدة، فأراد الرسول -صلى الله عليه وسلم- أن يقضوا على الاستمرار، فنَهوا هذا الرجل لأجل أن يقوم ويُكمل بوله خارجَ المسجد، لكن الرسول -صلى الله عليه وسلم- نهاهم. لماذا؟ لأن قطع البول مفسدته أعظم من مفسدة الاستمرار، والبول في المسجد، وكونه يستمر على بوله هذا أهون، وكونه يقوم ويخرج هذا أعظم، فارْتُكِبَتْ أدنى المفسدتين وأخف المفسدتين؛ لأنه إذا قام سيكون هناك ثلاث مفاسد: المفسدة الأولى: حبس البول، والإنسان إذا أراد أن يبول وحَبَسَ البول هذا مُضِرّ. المفسدة الثانية: أنه سينجس أكبر بقعة من المسجد، وبوله كانت بقعة معينة ما يعني تزيد على بضعة من السنتيمترات، لكن إذا قاموا وطردوه سيكون هناك شيء من البول يخرج هذه مفسدة ثانية. المفسدة الثالثة: أن ثيابه ستتنجس، لكن إذا بقي البول بالمسجد حصل ستتلاشى المفاسد هذه. إذن: الرسول -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا نهاهم أراد ارتكاب أدنى المفسدتين في مقابل أعلاهما. الصورة الثالثة: إذا تقابلت مصلحة ومفسدة وكانت المفسدة أعظم.. انظر الآن الصورة الأولى عندنا مصلحتان، والصورة الثانية عندنا مفسدتان، والصورة الثالثة عندنا مصلحة ومفسدة، ولكن المفسدة أعظم، فما الحكم؟ يُقدم دفع المفسدة ويُترك تحقيق المصلحة؛ لأن درء المفاسد مقدم على جلْب المصالح. ومن أدلة هذا قول الله -تعالى: ﴿ وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾(٤) سبوا آلهة المشركين هذه مصلحة، وهي تحقير دينهم وعبادتهم، وسب الله -تعالى- هذه مفسدة، ولما كان سيترتب على هذه المصلحة التي هي سب آلهة المشركين سيترتب عليها مفسدة وهي سب الله -تعالى- تُركت هذه المصلحة، قال -تعالى: ﴿ وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾. ومن الأمثلة على هذا ما ورد من زَوَّارَات القبور(٥) فزيارة القبور للنساء فيها مصلحة، وهي الاتعاظ ولكن فيها مصلحة أعظم وهي مفسدة فتنة الأحياء من جهة، وإيذاء الأموات من جهة أخرى، فقُدِّمَ درء المفسدة على جلب المصلحة. ومن الأمثلة أيضًا منْع الجار من أن يَتَصَرَّفَ في ملكه إذا أَدَّى إلى الإضرار بجاره، فكون الجار يتصرف في بيته هذه مصلحة، ولكن كونه يضر الجار هذه مفسدة. يعني لو أن إنسانا يبيع الغنم، وقال: الحوش بعيد عني، وسأجعل الغنم عندي بالبيت، فوضعهم في بيته، وبجانبه جدار جاره، كونه الآن قَرَّبَ الغنم له في بيته مصلحة له، ولكن جاره تأذى من رائحة الغنم هذه مفسدة أيهما الذي يُقَدِّمُ؟ يُقدم درء المفسدة، نكتفي بهذا القدر والله -سبحانه وتعالى- أعلم. يسأل أحد الإخوة؛ يقول: كيف نجمع بين قاعدة “الوسائل لها أحكام المقاصد” وبين قاعدة “الغاية لا تبرر الوسيلة”؟ أولا: العلماء يفرقون بين الوسيلة وبين الذريعة، وقد ذكرني السؤالُ، فقالوا: الوسيلة هي ما توصل إلى المقصود قطعا أو ظنا، والذريعة قد لا تُوصل إلى المقصود. المثال الذي يوضح: مصاحبة شخص منحرف أو مصادقة ومحبة شخص منحرف، أيهما أبلغ في التأثر؟ المصادقة والمحبة أبلغ في التأثر؛ إذن: نقول: المصادقة هذه وسيلة، ومجرد مصاحبة بطريق مثلا هذه تعتبر ذريعة. فالقول هنا بأن الغاية تبرر الوسيلة هذا عكس للقاعدة التي ذكرها العلماء؛ لأن العلماء ما يقولون: المقاصد لها أحكام الوسائل. إذن لا يُنظر إلى الغاية بحيث تبرر الوسيلة أو ما تبررها؛ وإنما يُنظر إلى الوسيلة نفسها هل تُؤدي إلى هذا المقصود أو لا. ثم إن قضية الغاية تبرر الوسيلة قد يُستدل بهذا على التطرق إلى الأمور المحرمة، بينما قضية الوسائل لها أحكام المقاصد هذه تَمنع وُلوجَ هذا الباب، هذا الفرق بينهما. يقول أيضًا: هل الوسائل لها أحكام المقاصد على إطلاقها؟ لأننا نرى أن الوفاء بنذر الطاعة واجب مع أن وسيلته -وهو النذر- مكروهة، فما توجيهكم؟ مسألة النذر هذه مسألة فيها خلاف بين العلماء، هو سأل عن النذر؟ أي نعم. هذه فيها خلاف بين العلماء هل الوفاء بالنذر واجب أو مستحب أو محرم؟ المسألة فيها خلاف بين أهل العلم، لكن على القول بأن ابتداء النذر، فالوفاء بالنذر واجب في الطاعة، لكن ابتداء النذر من أهل العلم من قال: “إنه مكروه”، ومن أهل العلم من قال: “إنه مستحب”، ومن أهل العلم من قال: “إنه محرم”. فالأقوال ثلاثة في ابتداء النذر وهذا يُشكل على هذه القاعدة فعلاً؛ لأنه على القول بأن ابتداء النذر مكروه، كيف يصير الوفاء بالنذر واجبا؟! هذا يعتبره العلماء مستثنى من القاعدة، والسبب في هذا أنه ورد أحاديث تنهى عن النذر؛ كما في حديث ابن عمر أن النبي -صلى الله عليه وسلم- نَهى عن النذر وقال: « إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ»(٦) وجاءت أدلة أخرى في المقابل توجب الوفاء بالنذر. فالحاصل من هذا أن القاعدة ليست على إطلاقها بالنسبة لمسألة النذر، ولهذا العلماء قالوا: “إن مسألة النذر تُشْكِلُ؛ كيف يُنهى عن الشيء، ثم يصير الوفاء به واجبا؟!   ١) عبد الله بن الزبير بن العوام بن خويلد بن أسد بن عبد العزي، القرشي، الأسدي. أبوه حواري رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وأمه بنت الصديق، وجدته صفية عمة رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وعمة أبيه خديجة بنت خويلد، وهو أول مولود ولد للمهاجرين بعد الهجرة. حنكه النبي -صلى الله عليه وسلم- وسماه باسم جده، وكناه بكنيته، وأحد من وَلِيَ الخلافة. قُتل -رضي الله عنه- في جمادى الأولى سنة ثلاث وسبعين من الهجرة. انظر: أسد الغابة (3/١٣٨ ترجمة ٢٩٤٧ الإصابة (٤/٨٩ ترجمة ٤٦٨٥/ ٢) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب العلم، باب من ترك بعض الاختيار مخافة أن يقصر فهم بعض الناس عنه فيقعوا في أشد منه (١٢٦) واللفظ له، مسلم: كتاب الحج ، باب نقض الكعبة وبنائها (١٣٣٣) ٣) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب الوضوء، باب ترك النبي والناس الأعرابي حتى فرغ من بوله في المسجد (٢١٩ ٢٢١ ٦٠٢٥)، ومسلم: كتاب الطهارة، باب: وجوب غسل البول وغيره من النجاسات إذا حصلت في المسجد وأن الأرض تطهر بالماء من غير حاجة إلى حفرها ٢٨٤، ٢٨٥ بنحوه من حديث أنس. (٤ الأنعام: ١٠٨. (٥) صحيح:أحمد في المسند (٨٤٤٩، ٨٤٥٢ ٨٦ الفقه

Referensi:Kaidah dengan redaksi yang sedikit berbeda ( bentuk jama’) namun tujuannya adalah sama:

[إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى وإذا تزاحمت المفاسد ارتكبت بالأدنى ]

Jika seseorang dihadapkan pada banyak kemaslahatan maka dahulukanlah yang lebih tinggi nilai keutamaannya. Dan jika dihadapkan pada banyak kerusakan maka ambillah /lakukanlah yang lebih ringan .

كتاب شرح منظومة القواعد الفقهية للسعدي – حمد الحمد [حمد الحمد] الرئيسية أقسام الكتب علوم الفقه والقواعد الفقهية فصول الكتاب <<  <  ج:   ص:   >  >> مسار الصفحة الحالية: فهرس الكتاب  تزاحم المصالح والمفاسد  إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى  + – التشكيل [إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى ] قال المصنف رحمه الله: [فإن تزاحم عدد المصالح يقدم الأعلى من المصالح] إذا تزاحمت عندنا المصالح فإنا نقدم الأعلى منها، عندنا مصلحة ومصلحة وتعارضتا عند هذا المكلف، فإما أن يفعل هذه المصلحة وإما أن يفعل المصلحة الأخرى، فيقدم الأعلى منهما. إذا أتيت إلى المسجد وقد أقيمت صلاة الصبح فهل تشرع بنافلة الصبح القبلية أو تصلي الصبح؟ نقول: تصلي الفريضة مع الإمام؛ لأن النبي عليه الصلاة والسلام قال كما في صحيح مسلم: (إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة). إذاً: نقدم الفريضة على النافلة. وإذا كانت العبادة ذات نفع متعد كالعلم، وعارضتها عبادة ذات نفع لازم كصيام التطوع؛ فإنا نقدم العبادة ذات النفع المتعدي. إذاً: نقدم الأعلى من المصالح.

إذا تزاحمت المفاسد ارتكبت الأدنى] قال المصنف رحمه الله: [وضده تزاحم المفاسد يرتكب الأدنى من المفاسد] كذلك إذا تعارضت المفاسد وتزاحمت فإنا نرتكب الأدنى منها ونجتنب الأعلى، ولذا فإن النبي عليه الصلاة والسلام كما في الصحيحين من حديث أنس بن مالك: أنه لما بال الأعرابي في المسجد فزجره الناس، نهاهم النبي عليه الصلاة والسلام، وذلك لتعارض مفسدتين، الأولى: البول في المسجد فينجس. المفسدة الثانية: أن يحبس بوله فيتضرر، يعني: يلحق بدنه الضرر، وكذلك أيضاً قد ينتشر هذا في المسجد لأنه يقوم وتنتقل النجاسة إلى مواضع أخرى من المسجد. فنهاهم النبي عليه الصلاة والسلام من باب الوقوع في المفسدة الصغرى، فإذا تعارضت عندنا مفسدتان قدمنا المفسدة الصغرى في الوقوع، فنقع في المفسدة الصغرى ونجتنب المفسدة الكبرى. ومن ذلك قول النبي عليه الصلاة والسلام: (لولا أن قومك حديثو عهد بكفر لهدمت الكعبة وبنيتها على قواعد إبراهيم)، متفق عليه. فهنا عندنا مفسدة، وهي بقاء الكعبة فيها نقص من الجهة التي فيها حجر إسماعيل، فإن قريشاً قصرت بهم النفقة فقصروا البناء من جهة حجر إسماعيل، فالنبي عليه الصلاة والسلام أراد أن يهدم الكعبة ويبنيها على قواعد إبراهيم كاملة؛ لكنه خشي مفسدة أعظم، وهي أن يرتد الناس عن الإسلام لأنهم كانوا حديثي عهد بكفر.

Penjelasan Ringkas tentang Kaidah Mashlahat dan Mafsadah dalam Ushul Fiqh

Kaidah ini berbunyi:
“Jika terjadi pertentangan antara dua kemaslahatan, maka didahulukan yang lebih tinggi. Jika terjadi pertentangan antara dua mafsadah (kerusakan) dan harus dilakukan salah satunya, maka dipilih yang lebih ringan.”

Kaidah ini memiliki tiga bentuk:

1. Jika Bertemu Dua Kemaslahatan, Pilih yang Lebih Tinggi

Ketika seseorang dihadapkan pada dua kebaikan yang tidak bisa dilakukan sekaligus, maka ia harus memilih yang memiliki manfaat lebih besar.

Contoh:

Jika seseorang memiliki kewajiban membayar utang dan ingin bersedekah, maka membayar utang lebih diutamakan karena hukumnya wajib, sedangkan sedekah sunnah. Jika seseorang memiliki kewajiban salat fardu dan salat nazar, maka salat fardu lebih diutamakan karena sudah ditetapkan oleh syariat secara langsung, sedangkan nazar adalah kewajiban yang dibuat sendiri oleh seseorang. Jika seseorang memiliki pilihan antara menuntut ilmu atau salat sunnah, maka menuntut ilmu lebih diutamakan karena manfaatnya lebih luas dan berkelanjutan.

Dalil:
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, Nabi ﷺ ingin membangun kembali Ka’bah sesuai dengan pondasi Ibrahim, tetapi beliau tidak melakukannya karena masyarakat Quraisy saat itu masih baru masuk Islam dan khawatir mereka akan terpengaruh negatif. Ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ lebih mengutamakan kemaslahatan dakwah daripada membangun kembali Ka’bah.

2. Jika Bertemu Dua Mafsadah, Pilih yang Lebih Ringan

Jika seseorang dihadapkan pada dua keburukan yang tidak bisa dihindari seluruhnya, maka ia harus memilih keburukan yang dampaknya lebih kecil.

Contoh:

Kisah seorang Arab Badui yang kencing di masjid. Para sahabat ingin menghentikannya, tetapi Nabi ﷺ melarang mereka. Sebab, membiarkan orang itu menyelesaikan kencingnya lebih ringan mudaratnya dibandingkan menghentikannya di tengah jalan, yang bisa menyebabkan najis tersebar lebih luas dan membuatnya merasa malu secara berlebihan. 3. Jika Bertemu antara Mashlahat dan Mafsadah, Pilih Menghindari Mafsadah Jika Lebih Besar

Jika ada satu kebaikan yang bisa dicapai tetapi dalam prosesnya menimbulkan keburukan yang lebih besar, maka menghindari keburukan lebih diutamakan.

Contoh:

Allah melarang kaum Muslimin mencela berhala orang musyrik karena dapat menyebabkan mereka membalas dengan mencela Allah. Meskipun mencela berhala itu baik karena menunjukkan kebatilan mereka, tetapi jika menyebabkan penghinaan terhadap Allah, maka lebih baik dihindari. Islam melarang wanita untuk sering berziarah ke kuburan karena meskipun ada manfaat berupa nasihat dan peringatan, tetapi lebih besar mudaratnya, seperti timbulnya fitnah dan gangguan terhadap yang hidup maupun yang telah meninggal. Perbedaan antara “Al-Wasail Lahaa Ahkam Al-Maqashid” dan “Al-Ghayah La Tubarrir Al-Wasilah” Kaidah “Al-Wasail Lahaa Ahkam Al-Maqashid” berarti bahwa hukum suatu sarana mengikuti tujuan akhirnya. Jika tujuan itu baik, maka sarananya juga baik. Sedangkan “Al-Ghayah La Tubarrir Al-Wasilah” berarti bahwa tujuan yang baik tidak membolehkan penggunaan cara yang haram untuk mencapainya.

Contoh:

Menggunakan media sosial untuk dakwah diperbolehkan karena tujuan akhirnya baik. Namun, mencuri demi menyumbangkan hasilnya ke masjid tetap tidak diperbolehkan karena cara yang digunakan haram. Kesimpulan

Kaidah ini memberikan panduan dalam mengambil keputusan berdasarkan tingkat mashlahat dan mafsadah. Prioritasnya adalah:

Mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar. Jika terpaksa menghadapi dua mafsadah, pilih yang lebih ringan. Jika bertemu antara mashlahat dan mafsadah, cegah mafsadah jika lebih besar dari mashlahatnya.

Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Menghilangkan Bau Mulut karena Merokok ketika Akan Melaksanakan Shalat

 

Dalam Islam, menjaga kebersihan dan kesucian, termasuk kebersihan mulut, sangat dianjurkan, terutama sebelum melaksanakan shalat. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Merokok dapat menyebabkan bau mulut yang tidak sedap, yang berpotensi mengganggu kekhusyukan shalat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya.

Pertanyaannya.
Bagaimana hukumnya menghilangkan bau badan ( mulut )  disebabkan merokok atau lainnya ketika akan sholat?

Waalaikumsalam

Jawaban

Hukum Menghilangkan  bau mulut karena sebab merokok atau pun lainnya seperti makan bawang maupun anggota badan lainnya ketika akan melakukan sholat adalah sunnah . Oleh karenanya  membiarkan badan yang berbau baik karena Merokok ataupun dengan makanan yang berbau, hukumnya makruh tanzih ,maka dari itu sunnah menghilangkan ketika akan shalat dengan cara berkumur-kumur.

المجموع شرح المهذب ص ٥٤٨

اما أَحْكَامُ الْفَصْلِ فَقَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ مَعَ الِاغْتِسَالِ لِلْجُمُعَةِ أَنْ يَتَنَظَّفَ بِإِزَالَةِ أَظْفَارٍ وَشَعْرٍ وَمَا يحتاج الي ازالتهما كَوَسَخٍ وَنَحْوِهِ وَأَنْ يَتَطَيَّبَ وَيَدَّهِنَ وَيَتَسَوَّكَ وَيَلْبَسَ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ وَأَفْضَلُهَا الْبِيضُ وَيُسْتَحَبُّ لِلْإِمَامِ أَكْثَرُ مِمَّا يُسْتَحَبُّ لِغَيْرِهِ مِنْ الزِّينَةِ وَغَيْرِهَا وَأَنْ يَتَعَمَّمَ وَيَرْتَدِيَ وَأَفْضَلُ ثِيَابِهِ الْبِيضُ كَغَيْرِهِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ وَذَكَرَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ كَرَاهَةَ لِبَاسِهِ السَّوَادَ وَقَالَهُ قَبْلَهُ أَبُو طَالِبٍ الْمَكِّيُّ وَخَالَفَهُمَا الْمَاوَرْدِيُّ فَقَالَ فِي الْحَاوِي
يَجُوزُ لِلْإِمَامِ لُبْسُ الْبَيَاضِ وَالسَّوَادِ قَالَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءُ الْأَرْبَعَةُ يَلْبَسُونَ الْبَيَاضَ وَاعْتَمَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعِمَامَةٍ سَوْدَاءَ قَالَ وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ السَّوَادَ بَنُو العباس في خلاقتهم شِعَارًا لَهُمْ وَلِأَنَّ الرَّايَةَ الَّتِي عُقِدَتْ لِلْعَبَّاسِ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ كَانَتْ سَوْدَاءَ وَكَانَتْ رَايَةُ الْأَنْصَارِ صَفْرَاءَ قَالَ فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَلْبَسَ السَّوَادَ إذَا كَانَ السُّلْطَانُ لَهُ مُؤْثِرًا لِمَا فِي تَرْكِهِ مِنْ مُخَالَفَتِهِ وَقَالَ فِي كِتَابِهِ الْأَحْكَامِ السُّلْطَانِيَّةِ يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يلبس السواد ويستدل بحديث عمرو ابن حُرَيْثٍ وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَلْبَسُ الْبَيَاضَ دُونَ السَّوَادِ إلَّا أَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ تَرَتُّبُ مَفْسَدَةٍ عَلَى ذَلِكَ مِنْ جِهَةِ السُّلْطَانِ أَوْ غَيْرِهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
* وَاعْلَمْ أَنَّ هَذَا الْمَذْكُورَ مِنْ اسْتِحْبَابِ الْغُسْلِ وَالطِّيبِ وَالتَّنَظُّفِ بِإِزَالَةِ الشُّعُورِ الْمَذْكُورَةِ وَالظُّفْرِ وَالرَّوَائِحِ الْكَرِيهَةِ وَلُبْسِ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِالْجُمُعَةِ بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ حُضُورَ مَجْمَعٍ مِنْ مَجَامِعِ النَّاسِ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ وَغَيْرُهُمْ قَالَ الشَّافِعِيُّ أُحِبُّ ذَلِكَ كُلَّهُ لِلْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ وَكُلِّ مَجْمَعٍ تَجْتَمِعُ فِيهِ النَّاسُ قَالَ وَأَنَا لِذَلِكَ فِي الْجُمَعِ وَنَحْوِهَا أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَتُسْتَحَبُّ هَذِهِ الْأُمُورُ لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ حُضُورَ الْجُمُعَةِ وَنَحْوِهَا سَوَاءٌ الرِّجَالُ وَالصِّبْيَانُ وَالْعَبِيدُ إلَّا النِّسَاءَ فَيُكْرَهُ لِمَنْ أَرَادَتْ مِنْهُنَّ الْحُضُورَ الطِّيبُ وَالزِّينَةُ وَفَاخِرُ الثِّيَابِ وَيُسْتَحَبُّ لَهَا قَطْعُ الرائحة الكريهة وازالة الظفر والشعور المكروهة

Adapun hukum-hukum dalam bab ini, para sahabat kami berkata: Disunnahkan bagi seseorang yang mandi untuk shalat Jumat agar membersihkan diri dengan memotong kuku, mencukur rambut, dan menghilangkan kotoran serta hal-hal lain yang perlu dihilangkan. Juga dianjurkan untuk memakai wewangian, menggunakan minyak rambut, bersiwak, serta mengenakan pakaian terbaiknya, yang paling utama adalah pakaian berwarna putih.

Disunnahkan bagi imam untuk berhias lebih banyak daripada selainnya, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Disunnahkan juga baginya untuk memakai sorban dan ridha (kain yang disampirkan di bahu), serta mengenakan pakaian terbaiknya, yang paling utama adalah warna putih, sebagaimana disunnahkan bagi selainnya. Ini adalah pendapat yang masyhur.

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyebutkan bahwa memakai pakaian hitam itu makruh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Thalib al-Makki sebelumnya. Namun, al-Mawardi berbeda pendapat dengan mereka. Dalam kitab Al-Hawi, ia mengatakan bahwa boleh bagi imam mengenakan pakaian berwarna putih maupun hitam. Ia juga menyebutkan bahwa Nabi ﷺ dan para khalifah yang empat mengenakan pakaian putih, serta Nabi ﷺ pernah memakai sorban hitam.

Al-Mawardi juga menjelaskan bahwa yang pertama kali menjadikan pakaian hitam sebagai simbol adalah Bani Abbas dalam masa kekhalifahan mereka, karena panji yang diberikan kepada al-Abbas pada hari Fathu Makkah dan Hunain berwarna hitam, sedangkan panji kaum Anshar berwarna kuning. Oleh karena itu, menurutnya, sebaiknya imam mengenakan pakaian hitam jika penguasa lebih menyukai hal itu, agar tidak bertentangan dengannya.

Dalam kitabnya Al-Ahkam as-Sulthaniyah, al-Mawardi menegaskan bahwa sebaiknya imam mengenakan pakaian hitam, dan ia berdalil dengan hadis dari ‘Amr bin Hurayts. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa imam lebih utama mengenakan pakaian putih daripada hitam, kecuali jika ia yakin bahwa meninggalkan pakaian hitam dapat menimbulkan kemudaratan dari pihak penguasa atau lainnya. Dan Allah lebih mengetahui.

Catatan: Ketahuilah bahwa anjuran mandi, memakai wewangian, membersihkan diri dengan memotong rambut, kuku, dan menghilangkan bau tidak sedap, serta mengenakan pakaian terbaik tidak hanya khusus untuk shalat Jumat. Hal ini juga dianjurkan bagi siapa saja yang hendak menghadiri perkumpulan manusia. Imam asy-Syafi’i telah menegaskan hal ini, dan para sahabatnya serta ulama lainnya juga menyepakatinya.

Imam asy-Syafi’i berkata: “Aku menyukai semua hal tersebut untuk shalat Jumat, dua hari raya, dan setiap majelis di mana manusia berkumpul.” Ia juga mengatakan, “Namun, untuk shalat Jumat dan semacamnya, aku lebih menekankan keutamaan hal tersebut.”

Asy-Syafi’i dan para sahabatnya juga berpendapat bahwa semua hal ini dianjurkan bagi siapa saja yang hendak menghadiri shalat Jumat dan semacamnya, baik laki-laki, anak-anak, maupun budak. Namun, bagi wanita yang hendak menghadiri shalat Jumat, dimakruhkan bagi mereka memakai wewangian, berhias, dan mengenakan pakaian mewah. Akan tetapi, mereka tetap dianjurkan untuk menghilangkan bau tidak sedap, memotong kuku, serta menghilangkan rambut yang tidak diinginkan.

(يسئلونك فى الدين والحياة، جـ ٢، صـ ٩٨)

. ويؤخذ من إلحاق الدخان بالثوم والبصل كراهته تحريما فى المسجد للنهي الوارد فى الثوم والبصل وهو ملحق بهما والظاهر كراهة تعاطيه جال القراءة (يعنى قراءة القرآن) لما فيه من الإخلال بتعظيم كتاب الله تعالى ولا يليق بالمسلم أن يشرب الدخان الدخان وهو فى بيت من بيوت الله عز وجل كما أنه لا يليق به ان يدخل المسجد وما زالت رائحة الدخان تفوح من فمه وقد يكون من المناسب ان تذكر عبادة زاجرة قالها الشيخ الشبراوى نقلا عن شيخه السجاعي فى شرب الدخان فى عند قراءة القرآن وهي الذي ندين الله عليه هو حرمة شرب الدخان فى مجلس القرآن ولا وجه للقول بالكراهة واذا كان الحديث النبوي فى مجلس القرآن منهما عنه فشرب الدخان فى مجلسه اولى بالنهي لما فيه من الرائحة الكريهة

“Diambil dari pengqiyasan (penyamaan hukum) asap rokok dengan bawang putih dan bawang merah, bahwa hukumnya adalah makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) di dalam masjid, berdasarkan larangan yang telah disebutkan terhadap bawang putih dan bawang merah, dan rokok disamakan dengan keduanya. Tampaknya juga makruh mengonsumsi rokok saat membaca Al-Qur’an, karena hal itu termasuk dalam sikap yang tidak menghormati Kitab Allah Ta’ala. Tidak pantas bagi seorang Muslim untuk merokok di dalam salah satu rumah Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana tidak pantas baginya untuk memasuki masjid sementara bau rokok masih tercium dari mulutnya.

Mungkin juga relevan untuk disebutkan suatu nasihat yang bersifat mengingatkan, yang disampaikan oleh Syaikh Asy-Syabrawi dengan mengutip dari gurunya, As-Suja’i, mengenai hukum merokok saat membaca Al-Qur’an. Ia berkata: ‘Yang kami yakini sebagai bagian dari agama (yakni yang kami yakini sebagai hukum yang benar) adalah haramnya merokok dalam majelis Al-Qur’an, dan tidak ada alasan untuk mengatakan hukumnya hanya makruh. Jika dalam majelis Al-Qur’an terdapat larangan untuk mengonsumsi bawang putih dan bawang merah, maka merokok dalam majelis tersebut lebih utama untuk dilarang, karena baunya yang tidak sedap.’”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ, الْبَقْلَةِ، الثّومِ (وَقَالَ مَرّةً: مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثّومَ وَالْكُرّاثَ) فَلاَ يَقْرَبَنّ مَسْجِدَنَا، فَإِنّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذّى مِمّا يَتَأَذّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ”. (رواه مسلم)

“Barangsiapa yang memakan biji-bijian ini, yakni bawang putih (suatu kali beliau mengatakan, “Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih dan kurrats -sejenis daun bawang-), maka janganlah ia mendekati masjid kami, sebab malaikat merasa terganggu dengan hal (bau) yang membuat manusia terganggu.”

Perhatikan Bau Mulut khususnya bagi pecandu/ Perokok

Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa orang yang mulutnya bau karena memakan bawang putih saja tidak boleh menghadiri shalat berjamaah, maka bagaimana lagi dengan orang yang mulutnya bau rokok? Oleh karenanya dianjurkan untuk menghilangkannya tentu saja dengan berkumur-kumur terleh dahulu sebelum shalat

Setelah bau tersebut hilang maka dia dianjurkan untuk berangkat menuju masjid untuk melakukan shalat berjamaah
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa bau bawang itu hanya contoh saja. Bau yang dimaksud adalah semua bau yang menyengat dan tidak sedap. Beliau berkata

وقال ابن حجر : وقد ألْحَقَ بها الفقهاء ما في معناها من البقول الكريهة الرائحة ، كالفجل

“Para ulama ahli fikih menyamakan hal ini kepada sesuatu yang semakna dengannya (bawang) seperti sayuran (polongan) dan lobak yang menyengat.”
Al-Maziriy juga menjelaskan bahwa hal ini mencakup bau keringat, bau-bau karena pekerjaan dan sebagainya. Beliau berkata,

قال المازري : وألْحَق الفقهاء بالروائح أصحاب المصانِع : كالقصّاب والسَّمّاك . نقله ابن الملقِّن

“Para ulama ahli fikih menyamakannya dengan bau para pekerja pabrik seperti tukang giling daging dan tukang ikan.”[3]

Bau Tidak Sedap yang Timbul Dari Penyakit

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan bahwa termasuk juga apabila bau menyengat tersebut muncul akibat penyakit (misalnya terkena penyakit mulut yang sangat bau atau penyakit badan yang anggota tubuhnya ada yang membusuk), maka tidak boleh menghadiri shalat berjamaah sampai penyakitnya sembuh. Beliau berkata,

قال العلماء : إن ما كان من الله ، ولا صنع للآدمي فيه إذا كان يؤذي المصلين فإنه يَخرج ( يعني من المسجد ) ، كالبخر في الفم ، أو الأنف ، أو من يخرج من إبطيه رائحة كريهة ، فإذا كان فيك رائحة تؤذي فلا تقرب المسجد

“Para ulama berkata, jika penyakit tersebut dari Allah dan bukan karena perbuatan manusia, apabila berpotensi menggangu orang yang salat maka sebaiknya ia keluar dari masjid (tidak ikut salat berjamaah), seperti bau pada uap mulut (bau mulut), bau hidung atau apa yang keluar dari ketiaknya berupa bau yang menyengat. Maka jika pada mulutmu terdapat bau yang dapat menganggu maka jangalah anda mendekati masjid (jangan ikut salat berjamaah).”

الموسوعة الفقهية الكويتيه ج٣٤ص٢٢٥-٢٢٧
حُكْمُ أَكْلِهِ وَأَثَرُهُ فِي حُضُورِ الْجَمَاعَةِ. ٦ – اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ مِنَ الأَْعْذَارِ الَّتِي تُبِيحُ التَّخَلُّفَ عَنِ الْجَمَاعَةِ: أَكْل كُل ذِي رَائِحَةٍ كَرِيهَةٍ كَبَصَلٍ وَثُومٍ وَكُرَّاثٍ وَفُجْلٍ إِذَا تَعَذَّرَ زَوَال رَائِحَتِهِ (١) لِحَدِيثِ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ أَكَل مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ الثُّومِ وَقَال مَرَّةً: مَنْ أَكَل الْبَصَل وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ (٢) وَالتَّفْصِيل فِي مُصْطَلَحِ (صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ ف ٣٣) . ٧ – وَهَذَا الْحُكْمُ فِيمَنْ أَرَادَ الذَّهَابَ إِلَى الْمَسْجِدِ، أَمَّا مَنْ لَمْ يُرِدِ الذَّهَابَ لِلْمَسْجِدِ فَصَرَّحَ الْفُقَهَاءُ أَيْضًا بِكَرَاهِيَةِ أَكْلِهِ إِلاَّ لِمَنْ قَدَرَ عَلَى إِزَالَةِ رِيحِهَا. قَال ابْنُ قُدَامَةَ: وَيُكْرَهُ أَكْل الْبَصَل وَالثُّومِ وَالْكُرَّاثِ وَالْفُجْل وَكُل ذِي رَائِحَةٍ كَرِيهَةٍ مِنْ أَجْل رَائِحَتِهِ، سَوَاءٌ أَرَادَ دُخُول الْمَسْجِدِ أَمْ لَمْ يُرِدْ (٣) ، لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ النَّاسُ (٤) . وَفِي حَاشِيَةِ الدُّسُوقِيِّ: وَأَمَّا أَكْلُهُ خَارِجَ الْمَسْجِدِ فِي غَيْرِ الْجُمُعَةِ فَمَكْرُوهٌ إِنْ لَمْ يُرِدِ الذَّهَابَ لِلْمَسْجِدِ، وَإِنْ أَرَادَ الذَّهَابَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَالْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ حَرَامٌ (١) . وَقَال الْقَلْيُوبِيُّ: وَأَكْلُهَا مَكْرُوهٌ فِي حَقِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الرَّاجِحِ وَكَذَا فِي حَقِّنَا وَلَوْ فِي غَيْرِ الْمَسْجِدِ. نَعَمْ. قَال ابْنُ حَجَرٍ وَشَيْخُ الإِْسْلاَمِ: لاَ يُكْرَهُ أَكْلُهَا لِمَنْ قَدَرَ عَلَى إِزَالَةِ رِيحِهَا وَلاَ لِمَنْ لَمْ يُرِدِ الاِجْتِمَاعَ مَعَ النَّاسِ، وَيَحْرُمُ أَكْلُهَا بِقَصْدِ إِسْقَاطِ وَاجِبٍ كَالْجُمُعَةِ وَيَجِبُ السَّعْيُ فِي إِزَالَةِ رِيحِهَا (٢) . وَحَكَى النَّوَوِيُّ إِجْمَاعَ مَنْ يُعْتَدُّ بِهِ عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْبُقُول حَلاَلٌ (٣) . أَكْل الزَّوْجَةِ لِلْكُرَّاثِ: ٨ – صَرَّحَ الْفُقَهَاءُ بِأَنَّ مِنْ حَقِّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ أَكْل مَا لَهُ رَائِحَةٌ كَرِيهَةٌ كَثُومٍ أَوْ بَصَلٍ أَوْ كُرَّاثٍ لأَِنَّهُ يَمْنَعُ الْقُبْلَةَ وَكَمَال الاِسْتِمْتَاعِ. فَفِي فَتْحِ الْقَدِيرِ وَالْفَتَاوَى الْهِنْدِيَّةِ: وَلَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ أَكْل مَا يَتَأَذَّى مِنْ رَائِحَتِهِ. وَفِي الشَّرْحِ الصَّغِيرِ: يَجُوزُ لِلزَّوْجِ مَنْعُهَا مِنْ أَكْل كُل مَا لَهُ رَائِحَةٌ كَرِيهَةٌ مَا لَمْ يَأْكُلْهُ مَعَهَا أَوْ يَكُنْ فَاقِدَ الشَّمِّ وَأَمَّا هِيَ فَلَيْسَ لَهَا مَنْعُهُ مِنْ ذَلِكَ وَلَوْ لَمْ تَأْكُل (٤) .

Hukum Memakannya ( bawang ) dan Pengaruhnya terhadap Kehadiran dalam Shalat Berjamaah

6. Para ulama sepakat bahwa di antara uzur yang membolehkan seseorang tidak menghadiri shalat berjamaah adalah memakan sesuatu yang memiliki bau tidak sedap, seperti bawang merah, bawang putih, daun kucai, dan lobak, jika baunya sulit dihilangkan. Hal ini berdasarkan hadis Jabir dari Nabi ﷺ yang bersabda:

“Barang siapa yang memakan tanaman ini, yaitu bawang putih—dan dalam riwayat lain disebutkan: barang siapa yang memakan bawang merah, bawang putih, dan daun kucai—maka janganlah ia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa terganggu oleh apa yang mengganggu manusia.”

Perincian lebih lanjut dapat ditemukan dalam pembahasan Shalat Berjamaah (Bab 33).

7. Hukum ini berlaku bagi mereka yang ingin pergi ke masjid. Adapun bagi mereka yang tidak berniat ke masjid, para ulama juga menegaskan bahwa makruh hukumnya memakan makanan tersebut, kecuali bagi orang yang mampu menghilangkan baunya.

Ibn Qudamah berkata:
“Makruh hukumnya memakan bawang merah, bawang putih, daun kucai, lobak, dan segala sesuatu yang berbau tidak sedap karena baunya, baik ia ingin masuk masjid maupun tidak, karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya malaikat merasa terganggu oleh apa yang mengganggu manusia.’”

Dalam Hasyiyah ad-Dusuqi disebutkan:
“Adapun memakannya di luar masjid selain hari Jumat, maka hukumnya makruh jika tidak berniat pergi ke masjid. Namun, jika ia berniat pergi ke masjid, maka pendapat yang kuat menyatakan bahwa hukumnya haram.”

Al-Qalyubi berkata:
“Memakan makanan ini makruh bagi Nabi ﷺ menurut pendapat yang lebih kuat, demikian pula bagi kita, meskipun bukan di masjid.”

Ibn Hajar dan Syaikhul Islam berkata:
“Tidak makruh bagi orang yang mampu menghilangkan baunya, dan juga tidak bagi orang yang tidak berniat berkumpul dengan masyarakat. Namun, haram jika dikonsumsi dengan niat untuk menggugurkan kewajiban seperti shalat Jumat, dan wajib berupaya menghilangkan baunya.”

An-Nawawi menyebutkan adanya ijmak ulama yang dianggap valid bahwa tanaman-tanaman ini halal dimakan.

Hukum Istri Memakan Daun Kucai

8. Para ulama menyatakan bahwa suami memiliki hak untuk melarang istrinya memakan makanan yang berbau tidak sedap, seperti bawang putih, bawang merah, dan daun kucai, karena baunya menghalangi ciuman dan kenikmatan sempurna dalam berhubungan suami istri.

Dalam Fathul Qadir dan Fatawa al-Hindiyyah disebutkan:
“Suami berhak melarang istrinya memakan sesuatu yang baunya mengganggu.”

Dalam Syarh ash-Shaghir disebutkan:
“Suami boleh melarang istrinya memakan makanan yang berbau tidak sedap, kecuali jika ia memakannya bersama istrinya atau ia sendiri kehilangan indra penciuman. Namun, istri tidak memiliki hak untuk melarang suaminya, meskipun ia sendiri tidak memakannya.”

Kesimpulan

Sunnah menghilangkan bau mulut karena Merokok ataupun karena makan bawang mereka,  sedang membiarkannya ( tidak dihilangkan ) hukumnya makruh

Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Menyembelih Hewan yang Sedang Sakit

 

Deskripsi Masalah:

Pada musim pancaroba (perubahan cuaca yang ekstrem), sering kali hewan ternak, seperti ayam, mengalami penyakit. Pemilik hewan menghadapi beberapa pilihan, yaitu menyembelih ayam yang sakit agar dapat dimanfaatkan, merawatnya hingga sembuh, atau membiarkannya hingga mati dengan sendirinya.

Studi kasus yang serupa

Seseorang mempunyai kambing dalam kondisi mabuk karena keracunan lalu si pemilik merasa eman jika kambing nya mati begitu saja, sehingga berinisiatif untuk disembelih.

Pertanyaan:

Bagaimana hukum menyembelih hewan yang sedang dalam kondisi sakit atau mabuk sebagaimana deskripsi?

Walaikum salam

Selama hewan yang sakit masih punya Hayat mustaqirrah (kehidupan stabil) adalah kehidupan yang memungkinkan hewan tetap hidup selama satu atau dua hari. Bahkan ada sebagian yang berpendapat ada aliran darah ketika disembelih dan tidak memudhoratkan bagi yang mengkonsumsinya maka dalam keadaan demikian ,  hukumnya boleh dan halal.” Namun makruh jika tujuannya bukan untuk dimakan.

االمكتبة الشاملة كتاب الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف – ت التركي [المرداوي] الرئيسيةأقسام الكتب الفقه الحنبلي

فصول الكتاب ج: ص: ٣١٨

مسار الصفحة الحالية: فهرس الكتاب كتاب الأطعمة باب الذكاة

قالوا: الحياةُ المسْتَقِرَّةُ ما جازَ بقاؤُها أكثرَ اليومِ. وقالوا: إذا لم يَبْقَ فيه إلَّا حرَكَةُ المذْبوحِ، [لم يحِلَّ. فإنْ كان التَّقيِيدُ بأكثرِ اليوم صَحِيحًا، فلا معْنَى للتَّقْيِيدِ بحرَكَةِ المذْبوحِ] (١)؛ للحَظْرِ، وكذا بعَكْسِه، فإنَّ بينَهما أمَدًا بعيدًا. قال: وعندِي أنَّ الحياةَ المسْتَقِرَّةَ، ما ظُنَّ بقاؤُها زِيادَةً على أمَدِ حرَكَةِ المذْبوحِ لمِثْلِه، سِوَى أمَدِ الذَّبْحِ. قال: وما هو في حُكْمِ المَيِّتِ؛ كمَقْطوعِ الحُلْقومِ، ومُبانِ الحُشْوَةِ، فوُجودُها كعَدَم على الأصحِّ. انتهى. وقال الشَّيخُ تَقِيُّ الدِّينِ، رَحِمَه اللهُ: الأظْهَرُ، أنَّه لا يُشْتَرَطُ شيءٌ مِن هذه الأقْوالِ المُتَقَدِّمَةِ، بل متى ذُبِحَ، فخرَجَ منه الدَّمُ الأحْمَرُ، الذي يخْرُجُ مِنَ المُذَكَّى المذْبوحِ في العادَةِ، ليسَ دَمَ المَيِّتِ، فإنَّه يحِلُّ أكْلُه، وإنْ لم يتَحَرَّكْ. انتهى.

فائدة: حُكْمُ المرِيضَةِ حكمُ المُنْخَنِقَةِ. على الصَّحيحِ مِن المذهبِ، [خِلافًا ومذهبًا] (١). وقيل: لا تُعْتَبَرُ حرَكَةُ المرِيضَةِ، وإنِ اعْتَبَرْناها في غيرِها. [وتقدَّم كلامُه في «المُغْنِي» صريحًا] (١)، وحُكْمُ ما صادَه بشَبَكَةٍ، أو شَرَكٍ، أو أُحْبُولَةٍ، أو فَخٍّ، أو أنْقذَه مِن مَهْلَكَةٍ كذلك.

Kitab Al-Inṣāf fī Ma‘rifati ar-Rājiḥ min al-Khilāf karya al-Mardāwī:

Mereka berkata: “Kehidupan yang stabil (hayah mustaqirrah) adalah yang memungkinkan keberlangsungannya lebih dari sehari.” Mereka juga mengatakan: “Jika yang tersisa dalam tubuh hewan hanyalah gerakan refleks penyembelihan, maka tidak halal (untuk dimakan). Jika syarat ‘lebih dari sehari’ itu benar, maka tidak ada makna untuk mensyaratkan gerakan refleks penyembelihan.” Sebaliknya, jika hanya mempertimbangkan gerakan refleks, maka ada jarak waktu yang cukup jauh antara keduanya.

Beliau (al-Mardāwī) berkata: “Menurutku, kehidupan yang stabil adalah kehidupan yang diperkirakan dapat bertahan lebih lama dari durasi gerakan refleks hewan yang disembelih sejenisnya, selain dari waktu penyembelihan itu sendiri.”

Beliau juga berkata: “Adapun yang sudah dianggap dalam hukum mayit, seperti hewan yang terputus tenggorokannya atau terlepas isi perutnya, maka keberadaannya dianggap seperti tidak ada, menurut pendapat yang lebih shahih.”

Syaikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyyah), rahimahullah, berkata: “Yang lebih kuat adalah bahwa tidak disyaratkan syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, kapan saja hewan itu disembelih lalu keluar darah merah yang biasa keluar dari hewan yang disembelih pada umumnya—bukan darah mayit—maka dagingnya halal dimakan, meskipun hewan itu tidak bergerak sama sekali setelah disembelih.”

Faedah:

Hukum hewan yang sakit (yang tidak mampu bergerak) sama dengan hukum hewan yang mati karena tercekik (al-munkhaniqah), menurut pendapat yang shahih dalam mazhab. Ada juga yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan adanya gerakan pada hewan yang sakit, meskipun pada selainnya disyaratkan gerakan. Pendapat ini telah dinyatakan secara eksplisit dalam al-Mughnī. Adapun hukum hewan yang ditangkap dengan jaring, perangkap, jerat, atau jebakan, atau yang diselamatkan dari bahaya, hukumnya juga sama.

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﺼﺒﺎﻍ ﻭﺍﻟﻌﻤﺮﺍﻧﻲ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻣﺎ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻪ ﺍﻟﺤﻴﻮﺍﻥ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻭﺍﻟﻴﻮﻣﻴﻦ ﻓﺈﻥ ﺫﻛﻴﺖ ﺣﻠﺖ

ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ

ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ : ﺩ. ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺬﺍﻝ ﺍﻟﺠﺒﻠﻲ

ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺷﻬﺎﺏ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﻤﺎﺩ ﺍﻷﻗﻔﻬﺴﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ )ﺕ(٨٠٨/ ﺗﺤﻘﻴﻖ ﺩ. ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺬﺍﻝ ﺍﻟﺠﺒﻠﻲ

ﻣﻠﺨﺺ ﺍﻟﺒﺤﺚ: ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻣﻦ ﺗﺼﻨﻴﻒ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﻤﺎﺩ ﺍﻷﻗﻔﻬﺴﻲ )ﺕ / ٨٠٨ ﻫــ،( ﺃﺣﺪ ﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻓﻲ ﻋﺼﺮﻩ.

ﻭﻣﻮﺿﻮﻋﻬﺎ: ﻫﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ.

ﻓﺎﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ: ﻫﻲ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻣﻦ ﺑﺪﺍﻳﺔ ﺧﻠﻘﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻧﻘﻀﺎﺀ ﺃﺟﻠﻪ.

ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ: ﻫﻲ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺴﺪ، ﻭﺗﻜﻮﻥ ﻣﻌﻬﺎ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭﻳﺔ ﻭﺍﻟﻮﻋﻲ، ﻣﻊ ﺍﻹﺻﺎﺑﺔ ﺍﻟﻔﺎﺩﺣﺔ.

ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ: ﻭﻫﻲ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻬﺎ ﺇﺑﺼﺎﺭ ﻭﻻ ﻧﻄﻖ ﻭﻻ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭﻳﺔ ﻭﻻ ﻭﻋﻲ.

ﺍﻟﻤﻮﺳﻮﻋﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﺍﻟﻜﻮﻳﺘﻴﺔ :

ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺠﻨﺎﻳﺔ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺇﻣّﺎ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﺴﺘﻤﺮّﺓً، ﺃﻭ ﻣﺴﺘﻘﺮّﺓً، ﺃﻭ ﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ.

ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮّﺓ: ﻫﻲ ﺍﻟّﺘﻲ ﺗﺒﻘﻰ ﺇﻟﻰ ﺍﻧﻘﻀﺎﺀ ﺍﻷﺟﻞ ﺑﻤﻮﺕ ﺃﻭ ﻗﺘﻞ.

ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮّﺓ: ﺗﻜﻮﻥ ﺑﻮﺟﻮﺩ ﺍﻟﺮّﻭﺡ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺴﺪ ﻭﻣﻌﻬﺎ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭﻳّﺔ ﻭﺍﻹﺩﺭﺍﻙ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻻﺿﻄﺮﺍﺭﻳّﺔ. ﻛﻢ ﻟﻮ ﻃﻌﻦ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﻭﻗﻄﻊ ﺑﻤﻮﺗﻪ ﺑﻌﺪ ﺳﺎﻋﺔ ﺃﻭ ﻳﻮﻡ ﺃﻭ ﺃﻳّﺎﻡ ﻭﺣﺮﻛﺘﻪ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭﻳّﺔ ﻣﻮﺟﻮﺩﺓ.

ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ: ﻫﻲ ﺍﻟّﺘﻲ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻬﺎ ﺇﺑﺼﺎﺭ ﻭﻻ ﻧﻄﻖ ﻭﻻ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭ.

Imam Nawawi berkata: “Syaikh Abu Hamid, Ibnu Shabbagh, Al-Imrani, dan lainnya menyebutkan bahwa hayat mustaqirrah (kehidupan stabil) adalah kehidupan yang memungkinkan hewan tetap hidup selama satu atau dua hari. Jika disembelih dalam keadaan demikian, maka hukumnya halal.”

Perbedaan antara Kehidupan Berkelanjutan, Kehidupan Stabil, dan Kehidupan Setelah Penyembelihan

Penulis: Dr. Khalid bin Zaid bin Hudzal al-Jabili

Perbedaan antara Kehidupan Berkelanjutan, Kehidupan Stabil, dan Kehidupan Setelah Penyembelihan – karya Imam Syihabuddin Ahmad bin Al-Imad Al-Aqfahsi Asy-Syafi’i (w. 808 H), dengan penelitian oleh Dr. Khalid bin Zaid bin Hudzal Al-Jabili.

Ringkasan penelitian:

Risalah ini merupakan karya Imam Ahmad bin Al-Imad Al-Aqfahsi (w. 808 H), salah satu ulama mazhab Syafi’i pada masanya.

Topik:

Risalah ini membahas perbedaan antara hayat mustamirrah (kehidupan berkelanjutan), hayat mustaqirrah (kehidupan stabil), dan hayat ‘aisy al-madzbuh (kehidupan setelah penyembelihan).

Kehidupan Berkelanjutan (الحياة المستمرة):
Ini adalah kehidupan yang berlangsung sejak penciptaan seseorang hingga akhir ajalnya.

Kehidupan Stabil (الحياة المستقرة):
Ini adalah kehidupan di mana ruh masih berada dalam tubuh, disertai dengan gerakan yang bersifat pilihan dan kesadaran, meskipun telah mengalami cedera fatal.

Kehidupan Setelah Penyembelihan (حياة عيش المذبوح):
Ini adalah kondisi di mana tidak ada lagi penglihatan, ucapan, gerakan pilihan, ataupun kesadaran.

Ensiklopedia Fikih Kuwait

Dalam kasus pelanggaran terhadap kehidupan, terdapat tiga kategori:

Kehidupan Berkelanjutan:
Kehidupan yang berlangsung hingga ajal tiba, baik karena kematian alami maupun pembunuhan.

Kehidupan Stabil:
Kehidupan yang masih memiliki ruh dalam tubuh, disertai gerakan pilihan dan kesadaran, meskipun tanpa gerakan refleks. Contohnya, seseorang yang tertikam dan diyakini akan meninggal setelah satu jam, sehari, atau beberapa hari, tetapi masih memiliki gerakan pilihan.

Kehidupan Setelah Penyembelihan:
Kondisi di mana seseorang tidak lagi memiliki penglihatan, ucapan, ataupun gerakan pilihan

Referensi :

فيض القدير، ٦/٢٥٠)

(مَنْ قَتَلَ عُصْفُوْرًا بِغَيْرِ حَقِّهِ) (سَأَلَهُ اللهُ عَنْهُ) فِي رِوَايَةٍ عَنْ قَتْلِهِ أَيْ عَاقَبَهُ وَعَذَبَهُ عَلَيْهِ (يَوْمَ الْقِيَامَةِ) تَمَامُهُ عِنْدَ مُخْرِجِهِ أَحْمَدِ وَغَيْرِهِ قِيْلَ: وَمَا حَقُّهَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: أَنْ تَذْبَحَهُ فَتَأْكُلَهُ وَلَا تَقْطَعْ رَأْسَهُ فَتَرْمِى بِهِا اِلَى اَنْ قَالَ; قَالَ الْبَغَوِيُّ: فِيْهِ كَرَاهَةُ ذَبْحِ الْحَيَوَانِ لِغَيْرِ الْأَكْلِ . ( وَمِنْهَا الْمُثْلَةُ بِالْحَيَوَانِ اَيْ تَقْطِيْعُ اَجْزَائِهِ وَتَغْيِيْرُ خِلْقَنِهِ وَهِيَ مِنَ الْكَبَائِرِ

(Barang siapa yang membunuh burung pipit tanpa haknya)—dalam riwayat lain disebutkan (akan ditanya oleh Allah tentang pembunuhannya), yaitu Allah akan menghukumnya dan mengazabnya (pada hari kiamat).

Hadis ini dilengkapi oleh perawinya, yaitu Imam Ahmad dan lainnya, bahwa dikatakan: “Apa hak burung itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Haknya adalah engkau menyembelihnya lalu memakannya, dan janganlah engkau memotong kepalanya lalu membuangnya.”

Hingga dikatakan bahwa Al-Baghawi berkata: “Di dalam hadis ini terdapat larangan (makruh) menyembelih hewan tanpa tujuan untuk dimakan.”

(Di antara bentuk larangan tersebut adalah menyiksa hewan), yaitu dengan memotong-motong anggota tubuhnya dan mengubah bentuk ciptaannya, dan ini termasuk dosa besar.

Rasulullah SAW bersabda:

(لاضرر ولا ضرار)

 رواه البيهقي وغيرهما وهو حديثٌ صحيح. وقال الإمام
النووي: كل ما أضر أكله كالزجاج والحجر والسم يحرم أكله] .

“(Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain).” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan lainnya, serta merupakan hadis yang sahih.

Imam an-Nawawi berkata: “Segala sesuatu yang membahayakan jika dimakan, seperti kaca, batu, dan racun, hukumnya haram untuk dimakan.”

Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Shalat Berjamaah: antara Mengikuti Gerakan Imam dan Meneruskan Bacaan

 

Assalamualaikum

Deskripsi

Ada dua orang shalat berjamaah Dzuhur. Makmum tidak tahu kalau imam bacaannya cepat. Ketika makmum masih membaca doa iftitah, tiba-tiba imam sudah rukuk.

Pertanyaan:

1. Apakah makmum sebagaimana deskripsi termasuk makmum masbuq ataukah makmum Muwafiq?

2. Apa yang harus dilakukan makmum? Melanjutkan doa iftitah atau langsung rukuk?

Waalaikum salam.

Jawaban pertanyaan No1

✅ Tafsil (Diperinci):

a) Jika makmum ikut sejak awal shalat (takbiratul ihram bersama imam),dan mendapati waktu yang cukup untuk membaca fatihah dirakaat pertama, maka ia MUWAFIQ.

b) Jika makmum datang terlambat dan tidak mendapat waktu cukup untuk membaca Al-Fatihah di rakaat pertama, maka ia MASBUQ.

📌 Dalil & Referensi:

“وَإِن وجد الإِمَام فِي الْقيام قبل أَن يرْكَع وقف مَعَه فَإِن أدْرك مَعَه قبل الرُّكُوع زَمنا يسع الْفَاتِحَة بِالنِّسْبَةِ للوسط المعتدل فَهُوَ مُوَافق فَيجب عَلَيْهِ إتْمَام الْفَاتِحَة وَيغْتَفر لَهُ التَّخَلُّف بِثَلَاثَة أَرْكَان طَوِيلَة…”

(Nihayah az-Zain, hlm. 124

Jawaban No.2

✅ Tafsil ( Diperinci ):

🔹 Jika makmum MUWAFIQ (ikut sejak awal shalat):

Sunnah menghentikan doa iftitah dan langsung membaca Al-Fatihah. Jika bacaan Fatihahnya lambat (udzur), ia boleh tertinggal hingga 3 rukun panjang.Namun jika tidak ada udzur, tidak boleh tertinggal lebih dari 3 rukun panjang. Jika tertinggal lebih dari itu, wajib mufaraqah ( memisahkan diri dari Imam)

🔹 Jika makmum MASBUQ (datang terlambat dan tidak cukup waktu membaca Fatihah):

Tidak perlu membaca Fatihah, langsung rukuk bersama imam, karena  Fatihahnya ditanggung imam, tapi jika ada waktu maka bacalah sebagian dari fatihah

📌 Dalil & Referensi:

“وَإِن لم يدْرك مَعَ الإِمَام زَمنا يسع الْفَاتِحَة فَهُوَ مَسْبُوق يقْرَأ مَا أمكنه من الْفَاتِحَة وَمَتى ركع الإِمَام وَجب عَلَيْهِ الرُّكُوع مَعَه…”

(Nihayah az-Zain, hlm. 124)

Udzur yang Membolehkan Makmum Tertinggal dari Imam

Dalam kasus ini, makmum bisa tertinggal dari imam karena:

✅ 1. Tertinggal karena membaca doa iftitah
📌 Dalil & Referensi:

“وضِفْ مُوافِقاً لِسُنَّةٍ عَدَلْ”

(Atau sibuk dengan sunnah yang dianjurkan).

✅ 2. Bacaan lambat karena sebab bawaan (خلقي)
📌 Dalil & Referensi:

“من في قراءة لِعَجْزِهِ بَطِي”

(Makmum yang lambat membaca karena kondisi bawaan).

✅ 3. Menunggu saktah (diamnya) imam untuk membaca Al-Fatihah
📌 Dalil & Referensi:

“ومَن لِسَكْتَةِ انتظارِهِ حَصَلْ”

(Atau ia menunggu saktah imam untuk membaca Al-Fatihah).

Kesimpulan

Makmum bisa menjadi muwafiq atau masbuq tergantung kapan ia mulai ikut shalat.

Adapun langkah ( kondisi)  yang harus dilakukan oleh Makmum adalah :
1- Jika makmum muwafiq,( mengikuti imam dari awal ) Maka jika bacaan imam cepat makmum harus menghentikan doa iftitah dan langsung membaca Fatihah. Jika bacaan makmum memang kebiasannya lambat maka boleh tertinggal maksimal 3 rukun panjang, karena termasuk udzur
2- Jika makmum masbuq, ia langsung rukuk tanpa perlu menyelesaikan bacaan Fatihah.karena fatihahnya makmum telah ditanggung imam
3- Jika tertinggal lebih dari 3 rukun panjang tanpa uzur, maka wajib mufaraqah ( memisahkan diri dari imam)

Wallahu a’lam.

Referensi:

[نووي الجاوي ,نهاية الزين , ١٢٤]

وَإِن وجد الإِمَام فِي الْقيام قبل أَن يرْكَع وقف مَعَه فَإِن أدْرك مَعَه قبل الرُّكُوع زَمنا يسع الْفَاتِحَة بِالنِّسْبَةِ للوسط المعتدل فَهُوَ مُوَافق فَيجب عَلَيْهِ إتْمَام الْفَاتِحَة وَيغْتَفر لَهُ التَّخَلُّف بِثَلَاثَة أَرْكَان طَوِيلَة كَمَا تقدم وَإِن لم يدْرك مَعَ الإِمَام زَمنا يسع الْفَاتِحَة فَهُوَ مَسْبُوق يقْرَأ مَا أمكنه من الْفَاتِحَة وَمَتى ركع الإِمَام وَجب عَلَيْهِ الرُّكُوع مَعَه

وبل الغمام ص ٢٨ في أحكام المأموم و الإمام للسيد محمد الأهدل. مسئلة : إذا قرأ الإمام الفاتحة و ركع قبل أن يتم المأموم فاتحته فله حالتان : الأولى أن يكون المأموم مسبوقا و هو من أدرك مع الإمام بعد التحرم زمنا لا يسع الفاتحة فيجب أن يقطع القرآءة و يركع إذا ركع الإمام قبل أن يتم الفاتحة و عليه حمل الحديث ” من كان له إمام فقرآءة الإمام له قرآءة.ثم إذا ركع مع الإمام و ترك الباقي من الفاتحة أدرك الركعة بشرط أن يكون أهلا للتحمل و يشترط في هذه الصورة أن يطمئن معه في الركوع.

و الموافق : من أدرك مع الإمام زمنا يسع الفاتحة و إن لم يدرك أول القيام قال ابن قاسم عن الجمال الرملي أو أدرك أول القيام و إن لم يدرك زمنا يسعها .حكمه : أنه إذا ركع إمامه قبل إتمامه الفاتحة أو قبل قراءتها أصلا لكون الإمام سريع القرآءة و المأموم بطيعا بلا وسوسة ظاهرة فركع الإمام قبل قرآءته أو في أثنائها عذر في التخلف لقراءته الفاتحة أو ما بقي و هو مقتد قدوة حكمية و يجب عليه أن يسعى على ترتيب نفسه ما لم يسبقه الإمام بثلاثة أركان مقصودة و هي الطويلة و هي الركوع و السجودين و إن شئت قلت يشتغل بإتمام ما يجب عليه من الفاتحة ما دام الإمام في تلك الركعة فإذا قرأ ما عليه مشى على ترتيب نفسه ما لم يسبقه بثلاثة أركان . فإذا وصل الإمام إلى الرابع و لو يتمه كأن لم يفرغ المأموم من القرأءة إلا و الإمام قائم من السجود أو جالس للتشهد تخير المأموم بين أن يفارقه و يمشي على ترتيب نفسه أو يوافقه بأن يترك القرأءة و يتبعه في قيامه أو تشهده ثم يأتي بركعة بعد سلام الإمام . و لا يجوز له في هذه الحالة أي يمشي على ترتيب نفسه من غير نية مفارقة فإن فعل عامدا عالما بطلت صلاته لما فيه من المخالفة. فرع : فإن كان غير بطيء القراءة خلقة لكنه رتل قرأءته و أسرع الإمام فيها فهو مختلف بعذر كما يأخذ من كلام المنهاج و به جزم الأصل و هو ضعيف و الذي اعتمده الشهاب و ابن حجر أنه غير معذور. و الله أعلم.

التقرير ات السديدات .ص ٣٠٠-٣٠١

أعذار تخلف المأموم عن الإمام يُعذَرُ المأموم في التخلف عن إمامه بثلاثة أركان طويلة (١) في تسع حالات، فلا بد أن يركَعَ قبل ارتفاعِ الإمام من سجوده الثاني للتشهد أو للقيام (٢) ، فإذا لم يركع فيجب عليه أن ينوي المُفارقة أو يُتابع الإمام فيما هو فيه، وتفوته الركعة ويأتي بها بعد سلام الإمام، فإذا لم ينو المفارقة ولم يتابعه بطلت صلاته، وهذه الحالات مجموعة في قول بعضهم : إن شئت ضبطاً لِلَّذِي شَرْعاً عُذِرْ * حتى له ثلاث أركان اغْتَفِرْ من نام في تشهد أو اختلط *** كذا الذي يُكمل التشهدا أو شَكٍّ (هل قرا؟) ومَنْ لها نَسِي * ومن في قراءة لِعَجْزِهِ بَطِي ومن لِسَكْتَةِ انتظارِهِ حَصَل * عليه تكبير الإمـام مـا انضبط بعد إمام قام عنه قاصدا * وضاف مُوافِقاً لِسُنَّةٍ عَدَلْ والخُلْفُ في أواخر المسائل * محقق فلا تكن بذاهِل شرح الأبيات، أي: يُعذَرُ المأموم في التخلف عن الإمام بثلاثة أركان طويلة في تسع حالات وهي : ١ – (من في قراءةٍ لِعَجْزِهِ بَطِي) أي : إذا كان المأموم بطيء القراءة لِعَجْزِ خَلْقي ٢ – (أو شكٍّ (هل قرأ؟) أي : إذا شك : هل قرأ الفاتحة أم لا؟ ٣ – (ومَنْ لها نَسِي) أي : إذا نَسِيَ قراءة الفاتحة . ٤ – (وضِفْ مُوافِقاً لِسُنَّةٍ عَدَلْ ) أي : إذا كانَ موافقاً للإمام واشتغل بسنةٍ كدعاء الاستفتاح فركع الإمام. ٥ – (ومَن لِسَكْتَةِ انتظارِهِ حَصَلْ) أي : إذا انتظر سكتة الإمام ليقرأ هو سورة الفاتحة ، فركع الإمامُ ولم يتمكّن المأموم من قراءة الفاتحة كلها أو بعضها . فهذه الحالاتُ الخمسة المتقدّمة يُعذَرُ فيها المأموم إلى ثلاثة أركان طويلة بالاتفاق ، وبقي أربع حالات : ٦ – (مَنْ نامَ في تَشهُّدٍ) أي : إذا نام المأموم في التشهد الأول . ٧ – (أو اختلط عليه تكبير الإمام ما انضبط) أي : إذا اختلط عليه تكبيرة الإمام : كأعمى أو كانَ في ظُلْمَةٍ . ٨ – (كذا الذي يُكْمِلُ التشهدا بعد إمام قام عنه قاصدا) أي : إذا جلس في التشهد يُكمِّلُهُ بعد أن قام الإمام عنه . ٩ – مَن نَسِيَ القدوة ولم يتذكر إلا والإمام ساجد . وهذه الحالاتُ الأربعُ الأخيرةُ يُعذَرُ فيها عند الرملي إلى ثلاثة أركان طويلة ، وأما عند ابن حجر فحكم الحالة رقم : ٦ ، ٧ ، ٩ كحكم المسبوق ، فتسقط عنه الفاتحة ، وأما الحالة رقم 8 فلا يُعذر .

١) صورتها : يتأخر المأموم لعذر من الأعذار ، كبطء القراءة فيعذر لثلاثة أركان طويلة وهي : الركوع والسجود الأول والسجود الثاني. ٢) وهو الركن الرابع . والله أعلم بالصواب

1. Kitab Nihayat al-Zain

(نووي الجاوي ,نهاية الزين , ١٢٤)

“Jika makmum mendapati imam dalam keadaan berdiri sebelum rukuk, maka ia berdiri bersamanya. Jika ia mendapatkan imam dalam keadaan yang cukup baginya untuk membaca Al-Fatihah dengan ukuran kecepatan bacaan orang yang pertengahan (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat), maka ia dianggap muwafiq. Maka wajib baginya untuk menyempurnakan Al-Fatihah, dan diperbolehkan baginya tertinggal hingga tiga rukun panjang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun, jika ia tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk membaca Al-Fatihah bersama imam, maka ia dianggap masbuq. Dalam hal ini, ia membaca apa yang sempat dari Al-Fatihah, dan apabila imam rukuk, maka wajib baginya ikut rukuk bersama imam.”
2. Kitab Bal al-Ghamam, hlm. 28

(و بل الغمام ص ٢٨ في أحكام المأموم و الإمام للسيد محمد الأهدل)

Masalah: Jika imam telah membaca Al-Fatihah dan rukuk sebelum makmum menyelesaikan bacaannya, maka ada dua keadaan:

Jika makmum berstatus masbuq – yaitu orang yang tidak mendapatkan waktu cukup untuk membaca Al-Fatihah setelah takbiratul ihram – maka wajib baginya menghentikan bacaan dan langsung rukuk jika imam rukuk sebelum ia menyelesaikan Al-Fatihah. Hal ini berdasarkan hadis: “Barang siapa yang memiliki imam, maka bacaan imam adalah bacaan baginya.” Jika ia rukuk bersama imam dan meninggalkan sisa bacaan Al-Fatihah, maka ia tetap mendapatkan rakaat tersebut, dengan syarat ia masih dalam keadaan dapat menanggung kewajiban membaca Al-Fatihah dan melakukan rukuk dengan tuma’ninah bersama imam.

Jika makmum berstatus muwafiq – yaitu orang yang mendapatkan waktu cukup untuk membaca Al-Fatihah bersama imam, meskipun ia tidak mendapatkan bagian awal berdirinya imam. Menurut Ibnu Qasim dari al-Jamal ar-Ramli, atau jika ia mendapatkan awal berdiri imam tetapi tidak cukup waktu untuk membaca Al-Fatihah, maka hukumnya sebagai berikut: Jika imam rukuk sebelum ia menyelesaikan Al-Fatihah atau bahkan sebelum ia membacanya sama sekali karena imam terlalu cepat membaca, sedangkan makmum membacanya dengan lambat tanpa was-was berlebihan, maka ia tetap diperbolehkan tertinggal dari imam untuk menyelesaikan bacaan Al-Fatihah. Ia masih dianggap bermakmum secara hukum, dan ia harus tetap mengikuti urutan shalatnya sendiri, selama ia tidak tertinggal lebih dari tiga rukun panjang, yaitu rukuk dan dua kali sujud.
Jika imam sudah mencapai rukun keempat (misalnya, imam telah selesai dari sujud dan bangkit ke rakaat berikutnya, atau sudah dalam posisi duduk tasyahhud), maka makmum memiliki dua pilihan:

Memisahkan diri dari imam (mufaraqah) dan menyelesaikan shalat sesuai urutannya sendiri.

Mengikuti imam dalam posisi terakhirnya (misalnya, ikut berdiri atau duduk tasyahhud) dan mengganti rakaat yang tertinggal setelah imam salam.

Catatan: Tidak diperbolehkan bagi makmum dalam keadaan ini untuk tetap melanjutkan shalatnya sendiri tanpa niat mufaraqah. Jika ia melakukannya dengan sengaja dan sadar, maka shalatnya batal karena bertentangan dengan aturan berjamaah.
Cabang masalah: Jika makmum bukan orang yang lambat membaca secara alami, tetapi ia membaca Al-Fatihah dengan tartil sedangkan imam membacanya dengan cepat, maka menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i, ia tidak dianggap memiliki uzur.

3. Kitab Al-Taqrirat al-Sadidat, hlm. 300-301

(التقرير ات السديدات .ص ٣٠٠-٣٠١)

Uzur yang Membolehkan Makmum Tertinggal dari Imam hingga Tiga Rukun Panjang
Makmum diperbolehkan tertinggal dari imam hingga tiga rukun panjang dalam sembilan keadaan berikut. Namun, ia harus rukuk sebelum imam bangkit dari sujud kedua menuju tasyahhud atau berdiri ke rakaat berikutnya. Jika ia tidak rukuk tepat waktu, maka ia wajib niat mufaraqah atau mengikuti imam dalam keadaan tersebut, sehingga ia kehilangan rakaat tersebut dan harus menggantinya setelah imam salam. Jika ia tidak niat mufaraqah dan tidak mengikuti imam, maka shalatnya batal.
Sembilan keadaan ini dirangkum dalam bait syair berikut:

إن شئت ضبطاً لِلَّذِي شَرْعاً عُذِرْ
حتى له ثلاث أركان اغْتَفِرْ

(من في قراءةٍ لِعَجْزِهِ بَطِي) – Jika makmum membaca Al-Fatihah dengan lambat karena faktor alami (misalnya, gagap atau kesulitan berbicara).

(أو شكٍّ (هل قرأ؟) – Jika makmum ragu apakah ia sudah membaca Al-Fatihah atau belum.

(ومَنْ لها نَسِي) – Jika makmum lupa membaca Al-Fatihah.

(وضِفْ مُوافِقاً لِسُنَّةٍ عَدَلْ ) – Jika makmum membaca doa istiftah sehingga tertinggal dari imam.

(ومَن لِسَكْتَةِ انتظارِهِ حَصَلْ) – Jika makmum menunggu imam diam untuk membaca Al-Fatihah, tetapi imam sudah rukuk sebelum ia menyelesaikannya.

Lima keadaan di atas disepakati sebagai uzur yang membolehkan makmum tertinggal hingga tiga rukun panjang.
Adapun empat keadaan berikut masih diperselisihkan:

(مَنْ نامَ في تَشهُّدٍ) – Jika makmum tertidur dalam tasyahhud pertama.

(أو اختلط عليه تكبير الإمام ما انضبط) – Jika makmum bingung dengan takbir imam, misalnya karena buta atau berada dalam kondisi gelap.

(كذا الذي يُكْمِلُ التشهدا بعد إمام قام عنه قاصدا) – Jika makmum tetap duduk menyempurnakan tasyahhud pertama, sedangkan imam sudah bangkit.

(وَمَنْ نَسِيَ القدوة ولم يتذكر إلا والإمام ساجد) – Jika makmum lupa bahwa ia sedang bermakmum dan baru sadar ketika imam sudah dalam posisi sujud.

Menurut Imam Ramli, semua keadaan ini termasuk uzur yang membolehkan makmum tertinggal hingga tiga rukun panjang. Namun, menurut Ibnu Hajar, keadaan nomor 6, 7, dan 9 diperlakukan seperti masbuq, sehingga bacaan Al-Fatihah tidak wajib baginya. Adapun keadaan nomor 8, menurut Ibnu Hajar, tidak termasuk uzur, sehingga makmum tetap dianggap tertinggal dan harus mengikuti imam.

Kesimpulan

Dari referensi di atas, dapat disimpulkan bahwa:

Makmum muwafiq wajib menyelesaikan Al-Fatihah, bahkan jika harus tertinggal dari imam. Namun, ia hanya boleh tertinggal maksimal tiga rukun panjang.

Jika tertinggal lebih dari tiga rukun panjang tanpa uzur, maka makmum wajib mufaraqah dan menyelesaikan shalatnya sendiri.

Jika makmum memiliki uzur yang sah, ia boleh tertinggal hingga tiga rukun panjang, tetapi tetap harus rukuk sebelum imam bangkit dari sujud kedua.

Jika tidak rukuk sebelum imam bangkit, maka ia harus memilih antara mufaraqah atau mengikuti imam dan mengganti rakaat yang tertinggal setelah imam salam.

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Kategori
Opini

Adab dan Hukum Pemutusan Bacaan Ayat Al-Qur’an Akibat Kehabisan Napas

Adab dan Hukum Pemutusan Bacaan Al-Qur’an Akibat Kehabisan Napas

Pendahuluan

Dalam praktik membaca Al-Qur’an, terutama dalam kegiatan tadarus atau pembacaan bersama seperti Yasinan, sering kali terjadi pemutusan bacaan akibat kehabisan napas, kurangnya kelancaran dalam membaca, atau ketidaksempurnaan pengucapan oleh sebagian jamaah. Contohnya, dalam pembacaan Surah Yasin, seseorang membaca:

يس ، وال ” ia hanya mengucapkan “وال ” (wal) lalu napasnya terputus atau ia lupa bagian selanjutnya, kemudian ia teringat dan melanjutkan dengan ” قرآن الحكيم” (Qur’aanil Hakiim), atau bahkan tidak mengingat bagian yang tersisa lalu berpindah ke kata lain,:

“على صراط مستقيم”

(Alaa Shiraathim Mustaqiim) Maka
Permasalahan  ini  penting untuk dibahas karena berkaitan dengan adab membaca Al-Qur’an, ketepatan makna ayat, serta bagaimana menjaga kesempurnaan bacaan dalam praktik berjamaah.

1. Hukum Membaca Al-Qur’an dengan Pemutusan Bacaan Akibat Kehabisan Napas atau Kurang Lancar

Membaca Al-Qur’an dengan pemutusan bacaan akibat kehabisan napas atau kurang lancar tidak membatalkan bacaan, tetapi perlu diperhatikan agar tidak menyebabkan perubahan makna ayat.
Dalam ilmu tajwid, dikenal istilah waqaf qabih (berhenti yang buruk), yaitu berhenti pada tempat yang dapat mengubah atau mengaburkan makna. Jika seseorang berhenti pada tempat yang salah, maka ia berdosa.
Sebagai contoh, jika seseorang membaca:

“يس وال  …..قران الحكيم”

(Yaa Siin. Wal-
Kemudian berhenti sejenak karena kehabisan napas,  lalu melanjutkan Qur’anil Hakim  atau dengan bacaan يس dengan:

“على صراط مستقيم”

(Alaa Shiraathim Mustaqiim)
Maka ini  kurang tepat ( keliru) karena seharusnya

“وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ”

(Wal-Qur’aanil Hakiim) tersambung dan terhubung dengan ayat setelahnya.
Namun, jika seseorang terpaksa berhenti karena kehabisan napas, lebih baik mengulang bacaan dari awal ayat atau dari tempat yang memiliki makna sempurna agar tidak terjadi perubahan makna.

2. Status Bacaan Jamaah Jika Ada yang Membaca Kurang Sempurna

Dalam pembacaan berjamaah, sering kali ada sebagian jamaah yang bacaannya kurang lancar, putus-putus, atau tidak sempurna. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Jika imam atau ustadz yang memimpin membaca dengan benar, maka jamaah tetap mendapat pahala dengan cara mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik, sebagaimana firman Allah:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204)

Jika jamaah membaca secara serempak tetapi dengan kesalahan yang berbeda-beda, maka hal ini tidak menggugurkan pahala, tetapi tetap kurang sempurna jika tanpa bertajwid. Bisa jadi, kesalahan dalam bacaan menyebabkan perubahan makna yang dapat mengakibatkan dosa.

Syekh Al-Jazari berkata:

وَمَنْ لم يُجَوِّدِ الْقُرْآنَ فَهُوَ آثِمٌ

“Barang siapa yang tidak memperbaiki  bacaan Al-Qur’an dengan bertajwid, maka ia berdosa.”
Oleh karena itu, penting bagi jamaah untuk terus memperbaiki bacaan mereka agar lebih sempurna dan sesuai dengan kaidah tajwid.

3. Solusi agar Bacaan Jamaah Tetap Sesuai dengan Adab Membaca Al-Qur’an

Agar pembacaan Al-Qur’an dalam tadarus berjamaah tetap terjaga adab dan kelancarannya, beberapa solusi dapat diterapkan:

a. Latihan Nafas dan Teknik Membaca

Jamaah disarankan untuk berlatih teknik pernapasan agar dapat membaca dalam satu tarikan napas yang cukup.

Bacaan dilakukan secara perlahan dan tidak terburu-buru, sebagaimana firman Allah:

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil.” (QS. Al-Muzzammil: 4)

b. Metode Bacaan Secara Bergantian (Sima’i)

Daripada membaca bersama-sama tetapi tidak serempak, lebih baik menggunakan metode sima’i (satu orang membaca, yang lain menyimak).

Setiap orang membaca secara bergantian, sehingga lebih fokus dan dapat mengurangi kesalahan bacaan.

c. Pengulangan dan Koreksi

Setelah pembacaan, ustadz atau imam mengoreksi bagian yang salah agar jamaah bisa memperbaiki bacaan mereka.

Koreksi ini dapat dilakukan dengan metode talqin (ustadz membaca, jamaah mengulangi).

d. Mengutamakan Mendengarkan jika Tidak Mampu Membaca dengan Baik

Jika ada jamaah yang merasa belum lancar membaca, lebih baik mendengarkan dengan khusyuk daripada memaksakan membaca dengan banyak kesalahan.

Jamaah yang belum lancar bisa mufaraqah (membaca sendiri-sendiri) agar lebih fokus pada perbaikan bacaan.

Menurut Ibnu Hamam madzhab hanafi makruh berpindah satu ayat keayat yang lain

Kesimpulan

Membaca Al-Qur’an dengan pemutusan akibat kehabisan napas tidak membatalkan bacaan, tetapi harus berhati-hati agar tidak mengubah makna ayat. Jika sampai mengubah makna, maka termasuk kesalahan yang dapat berdosa.

Dalam pembacaan berjamaah, kesalahan bacaan jamaah tidak otomatis tertutupi oleh bacaan imam atau ustadz yang benar, tetapi jamaah tetap mendapat pahala dengan mendengarkan.

Solusi terbaik untuk menjaga adab dan kelancaran pembacaan Al-Qur’an dalam berjamaah adalah dengan:

Berlatih teknik pernapasan agar tidak sering terputus.

Menggunakan metode sima’i (bergantian membaca) untuk mengurangi kesalahan.

Melakukan pengulangan dan koreksi bacaan secara rutin.

Mengutamakan mendengarkan jika belum lancar membaca.

✅ Boleh membaca surah tidak sesuai urutan mushaf, meskipun yang lebih utama adalah mengikuti urutan mushaf.
❌ Tidak boleh membalik susunan ayat dalam satu surah, karena bersifat taufiqi dan wajib.

Dengan menerapkan solusi ini, diharapkan pembacaan Al-Qur’an dalam tadarus berjamaah menjadi lebih tertib, sesuai adab, dan berpahala sempurna.

Referensi

1-Nihayat al-Qaul al-Mufid, hlm. 166.Muqaddimah Ibnul Jazari.

2- Al-Qur’an QS. Al-A’raf: 204 dan QS. Al-Muzzammil: 4.
3- Kitab Fatawa Al-Shabakah Al-Islamiyyah
[Kumpulan Penulis]
Jilid: 2, Halaman: 684

_____________
نهاية قول المفيذ، 166).

(الفَصْلُ السَّادِسُ)

فِي بَيَانِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْوَقْفِ الْقَبِيْحِ هُوَ نَوْعَانِ الوَقْفُ عَلَى كَلَامٍ لَا يُفْهَمُ مِنْهُ مَعْنًى بِمَا بَعْدَهَ لَفْظًا-اِلَى اَنْ قَالَ-وَلِهَذَا قَالَ ابْنُ الْجَزَرِيُّ فِي مُقَدِّمَتِهِ: وَفِيْرٌ تَمٌّ قَبِيْحٌ وَلَهُ # يُوْقِفُ مُضْطِرًّا وَيَبْدُ اقبلة لِاَنَّ الْمَقْصُوْدَ بِعَيْنِ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى تَكْمِيْلُهَا فَالْوَقْفُ مُبَيِّنٌ وَفَاصِلُ بَعْضِهَا مِنْ بَعْضٍ وَبِذَلِكَ تَحْسُنُ التِّلَاوَةُ فَيَحِلُّ الْفَهْمُ وَالدِّرَايَةُ وَيَتَّضِحُ مِنْهَاجُ الْهِدَايَةِ وَلَنَذْكُرُ لَكَ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى فَائِدَةً للْمَوْقُوفِ الْقَبِيْحَةِ الَّتِي لَاتَجُوْزُ مِنْ هَذَا النَّوْعِ لِتَكْمِيْلِ الْفَائِدَةِ. وَاَمَّا الْحُكْمُ فِي قَطْعِ بَعْضِ الْكَلِمَةِ عَنْ بَعْضٍ بِاَنْ اَرَادَ أَنْ يَقُوْلَ الْحَمْدُ للهِ فَقَالَ أَلْ فَانْقَطَعَ نَفْسُهُ أَوْ نَسِيَ الْبَاقِيَ ثُمَّ تَذَكَّرَ فَقَالَ حَمْدُ للهِ أَوْ لَمْ يَتَذَكَّرْ فَتَرْكَ الْبَاقِيَ وَانْتَقَلَ إِلَى كَلِمَةٍ أُخْرَى فَقَدْ كَانَ الشَّيْخُ الِا مَامُ شَمْسُ الْأَئِمَّةِ الْحُلْوَانِيُّ يُفْتِي بِالْفَسَادِ فِي مِثْلِ ذَلِكَ وَعَامَّةُ الْمَشَايِخِ قَالُوا لَا تَفْسُدُ لِعُمُوْمِ الْبَلْوَى فِي انْقِطَاعِ النَّفْسِ وَالنِّسْيَانِ.

Bab Keenam: Penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan waqaf qabih (berhenti yang buruk).

Jenis pertama: Berhenti pada suatu kata yang tidak dapat dipahami maknanya tanpa melihat bagian setelahnya dalam lafaz.

Hingga dikatakan: Oleh karena itu, Ibnul Jazari berkata dalam Muqaddimah-nya:

“Ada waqaf yang sempurna namun buruk, dan hanya boleh berhenti di situ jika terpaksa, lalu melanjutkan kembali. Sebab tujuan dari kitab Allah Ta’ala adalah menyempurnakannya. Waqaf berfungsi sebagai penjelas dan pemisah antara bagian-bagian ayat. Dengan itu, bacaan menjadi lebih baik, pemahaman menjadi jelas, dan petunjuk menjadi terang.”

Kami akan menyebutkan, insya Allah Ta’ala, beberapa contoh waqaf qabih yang tidak diperbolehkan dalam kategori ini demi menyempurnakan pemahaman.

Hukum memutus sebagian kata dari sebagian lainnya:

Jika seseorang ingin mengucapkan “الحمد لله” (alhamdulillah), tetapi ia hanya mengucapkan “أل” (al) lalu napasnya terputus atau ia lupa bagian selanjutnya, kemudian ia teringat dan melanjutkan dengan “حمد لله” (hamdulillah), atau bahkan tidak mengingat bagian yang tersisa lalu berpindah ke kata lain, maka:

Syekh Imam Syamsul A’immah al-Halwani memberi fatwa bahwa dalam kasus semacam ini bacaannya menjadi rusak (fasid). Namun, mayoritas ulama menyatakan bahwa bacaannya tidak menjadi rusak, karena hal seperti ini banyak terjadi akibat kehabisan napas atau lupa, sehingga dimaafkan karena adanya ‘umum al-balwa (kesulitan yang umum terjadi).

كتاب فتح القدير للكمال بن الهمام
الفقه الحنفي  ج: ١ ص:  ٣٤٣

وَالِانْتِقَالُ مِنْ آيَةٍ مِنْ سُورَةٍ إلَى آيَةٍ مِنْ سُورَةٍ أُخْرَى أَوْ مِنْ هَذِهِ السُّورَةِ بَيْنَهُمَا آيَاتٌ مَكْرُوهٌ، وَكَذَا الْجَمْعُ بَيْنَ سُورَتَيْنِ بَيْنَهُمَا سُوَرٌ أَوْ سُورَةٌ فِي رَكْعَةٍ، أَمَّا فِي الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا سُوَرٌ أَوْ سُورَتَانِ لَا يُكْرَهُ، وَإِنْ كَانَ سُورَةٌ قِيلَ يُكْرَهُ، وَقِيلَ إنْ كَانَتْ طَوِيلَةً لَا يُكْرَهُ كَمَا إذَا كَانَتْ سُورَتَانِ قَصِيرَتَانِ، وَإِنْ قَرَأَ فِي رَكْعَةٍ سُورَةً وَفِي الثَّانِيَةِ مَا فَوْقَهَا أَوْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي رَكْعَةٍ فَهُوَ مَكْرُوهٌ، وَإِنْ وَقَعَ هَذَا مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ بِأَنْ قَرَأَ فِي الْأُولَى بِ ” قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ” يَقْرَأُ فِي الثَّانِيَةِ هَذِهِ السُّورَةَ أَيْضًا.

Berpindah dari satu ayat dalam sebuah surat ke ayat lain dari surat yang berbeda, atau berpindah antar-ayat dalam surat yang sama dengan melewatkan beberapa ayat di antaranya, hukumnya makruh. Demikian pula menggabungkan dua surat yang antara keduanya terdapat satu atau lebih surat lain dalam satu rakaat, juga dianggap makruh. Namun, jika dilakukan dalam dua rakaat, maka:

Jika di antara kedua surat itu terdapat satu atau dua surat lain, maka tidak makruh.

Jika hanya ada satu surat di antara keduanya, ada pendapat yang mengatakan bahwa hal itu makruh. Ada pula yang berpendapat bahwa jika suratnya panjang, maka tidak makruh, sebagaimana jika kedua surat itu pendek.

Jika seseorang membaca satu surat dalam satu rakaat dan membaca surat yang lebih tinggi urutannya dalam rakaat berikutnya, atau melakukan hal itu dalam satu rakaat, maka hukumnya makruh. Namun, jika hal itu terjadi tanpa disengaja, seperti membaca “Qul a‘ūdzu birabbi an-nās” dalam rakaat pertama, lalu membaca surat yang sama dalam rakaat kedua, maka tidak mengapa.

كتاب فتاوى الشبكة الإسلامية
[مجموعة من المؤلفين]  ج:٢ ص:  ٦٨٤

 فضل وآداب تلاوة القرآن وتعلمه ٧٥٤  حكم قراءة القرآن بغير ترتيب المصحف
[حكم قراءة القرآن بغير ترتيب المصحف]
[السُّؤَالُ]
ـ[/هل يجوز أن نقرأ القرآن بغير الترتيب الموجود في المصحف؟ وما هو الدليل على ذلك؟]ـ
[الفَتْوَى]
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد:
فإن الواجب في قراءة القرآن الكريم اتباع ترتيب المصحف الشريف في الآيات، لأن الترتيب في الآيات توقيفي باتفاق أهل العلم.
وأما الترتيب في السور فإنه واجب توقيفي، وقيل مستحب وهو الراجح إن شاء الله تعالى.
وذلك لما رواه مسلم في صحيحه عن حذيفة رضي الله عنه قال: صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة فافتتح البقرة … ثم افتتح النساء….
قال العلامة ابن مايابى الشنقيطي في كشف العمى عن حكم الترتيب:
وذاك في السور في القول الأحق * والقول في الآي عليه متفق
ويحرم التنكيس فيه والخبر * جاء بتنكيس قراءة السور
وعلى هذا؛ فيجوز قراءة السور من غير ترتيب المصحف، وإن كان الأولى ترتيب قراءتها كما في المصحف، أما الآيات فيجب ترتيبها ولا يجوز فيها التنكيس. ولمزيد من الفائدة نرجو الاطلاع على الفتوى رقم: ٢٢٥٧.والله أعلم.
[تَارِيخُ الْفَتْوَى]
٢١ رجب

Ketik Pencarian