Kategori
Hikmah

Makna Hikmah  Berdasarkan Ayat  Dan Ilmu Para  Ulama

Assalamu alaikum

Deskripsi Masalah:

Dalam berbagai acara keagamaan, seperti peringatan Maulid Nabi, Isra Mikraj, pernikahan, aqiqah, dan lain-lain, istilah “hikmah” seringkali digunakan oleh pembawa acara maupun penceramah. Mereka menyampaikan “hikmah” dari peristiwa-peristiwa tersebut, namun pengertian mendasar dari kata “hikmah” itu sendiri jarang dijelaskan. Mengingat “hikmah” berasal dari bahasa Arab, dan telah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari masyarakat Indonesia (terlepas dari latar belakang bahasa Arab mereka), muncul pertanyaan mengenai makna sebenarnya dari “hikmah.”

Apa sebenarnya pengertian atau makna dari “hikmah” yang sering kita dengar tersebut?

Mohon penjelasannya.

Waalaikumsalam

Jawaban

Dalam konteks berbagai acara keagamaan, istilah “hikmah” merujuk pada pelajaran berharga, nilai luhur, dan pemahaman mendalam yang kita peroleh dari suatu peristiwa atau ajaran agama. Hikmah ini bukan sekadar informasi, melainkan sesuatu yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menjadi lebih baik.
Jika kita menelusuri akarnya dari bahasa Arab, “hikmah” memiliki beberapa lapisan makna yang saling berkaitan yang diantaranya adalah:

  1. Ilmu yang Mendalam dan Penerapannya: Hikmah adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya, yang kemudian diamalkan dalam tindakan nyata. Jika disandarkan kepada Allah maka yang dimaksud hikmah, adalah ilmu tentang segala sesuatu dan merealisadikannya dengan tingkat kesempurnaan yang tinggi. Jika disandarkan kepada manusia maka yang dimaksud dengan hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran yang diiringi dengan pengaplikasian yang baik.
  2. Pemahaman Agama (Fiqh): Hikmah juga mencakup ilmu dan pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama.
  3. Hikmah dalam Al-Qur’an adalah bermakna kenabian atau bermakna Ilmu yang Bermanfaat dan Amal Saleh: Dalam Al-Qur’an, seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 269, dan menurut para ulama tafsir, hikmah adalah ilmu yang memberikan manfaat dan mendorong pada perbuatan yang benar. Ini juga mencakup pemahaman yang mendalam terhadap Al-Qur’an yang menghasilkan ketepatan dalam perkataan dan perbuatan. Bahkan, dalam konteks Al-Qur’an, hikmah juga bisa bermakna kenabian.
  4. Karunia Agung bagi Ulul Albab: Hikmah dipandang sebagai anugerah besar dari Allah yang membawa kebaikan yang melimpah. Hanya orang-orang yang berakal bersih (ulul albab) yang mampu mengambil pelajaran dan memahami betapa berharganya hikmah ini.
  5. Hikmah dalam Ushul Fiqh: Tujuan Pensyariatan Hukum: Dalam ilmu Ushul Fiqh, hikmah adalah tujuan di balik penetapan suatu hukum, yaitu untuk mendatangkan kemaslahatan atau menolak kemudaratan, atau setidaknya mengurangi dampak buruknya. Hikmah juga merupakan sifat yang sesuai dengan tujuan pensyariatan hukum itu sendiri.

Kesimpulan:
Secara garis besar, “hikmah” adalah lebih dari sekadar pengetahuan. Ia adalah ilmu yang mendalam dan bermanfaat, yang melahirkan pemahaman yang benar tentang agama dan kehidupan, serta mendorong perbuatan yang baik dan tepat. Hikmah adalah karunia berharga yang menuntun manusia menuju kebaikan dan kemaslahatan, baik di dunia maupun di akhirat. Dalam konteks acara keagamaan, penyampaian “hikmah” bertujuan untuk menginspirasi dan membekali pendengar dengan pelajaran hidup yang praktis dan bernilai spiritual.

Referensi

المكتبة الشاملة.
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ١٨ص٦٧
حِكْمَةٌ
التَّعْرِيفُ:
١ – الْحِكْمَةُ فِي اللُّغَةِ: الْعِلْمُ بِحَقَائِقِ الأَْشْيَاءِ عَلَى مَا هِيَ عَلَيْهِ فِي الْوُجُودِ وَالْعَمَل بِمُقْتَضَاهَا، وَهِيَ إِذَا أُضِيفَتْ إِلَى اللَّهِ يُرَادُ بِهَا الْعِلْمُ بِالأَْشْيَاءِ وَإِيجَادُهَا عَلَى غَايَةِ الإِْحْكَامِ، وَإِذَا أُضِيفَتْ إِلَى الإِْنْسَانِ يُرَادُ بِهَا مَعْرِفَةُ الْحَقِّ، وَفِعْل الْخَيْرَاتِ.
وَتُطْلَقُ عَلَى الْعِلْمِ، وَالْفِقْهِ، (١) وَرَدَ فِي الأَْثَرِ الصَّحِيحِ: لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ الْحِكْمَةَ فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا. (٢)
وَجَاءَتِ الْحِكْمَةُ فِي الْقُرْآنِ بِمَعْنَى النُّبُوَّةِ، (٣) قَال تَعَالَى: فِي مَعْرِضِ الاِمْتِنَانِ عَلَى نَبِيِّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ وَعَلَى نَبِيِّنَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ} (١) {وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْل الْخِطَابِ} (٢)
الْحِكْمَةُ عِنْدَ الأُْصُولِيِّينَ:
٢ – الْحِكْمَةُ عِنْدَ الأُْصُولِيِّينَ مَا يَتَرَتَّبُ عَلَى رَبْطِ الْحُكْمِ بِعِلَّتِهِ، أَوْ بِسَبَبِهِ مِنْ جَلْبِ مَصْلَحَةٍ أَوْ دَفْعِ مَضَرَّةٍ، أَوْ تَقْلِيلِهَا، وَتُطْلَقُ أَيْضًا عَلَى الْوَصْفِ الْمُنَاسِبِ لِشَرْعِ الْحُكْمِ

Al-Maktabah asy-Syamilah. Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah Juz 18 Halaman 67
HIKMAH
Definisi:

  • Hikmah secara bahasa: Ilmu tentang hakikat segala sesuatu sesuai dengan keadaannya dalam wujud dan mengamalkan konsekuensinya. Apabila disandarkan kepada Allah, yang dimaksud dengannya adalah ilmu tentang segala sesuatu dan mewujudkannya dengan tingkat kesempurnaan yang tinggi. Apabila disandarkan kepada manusia, yang dimaksud dengannya adalah pengetahuan tentang kebenaran dan melakukan kebaikan.
    Kata “hikmah” juga digunakan untuk makna ilmu dan pemahaman agama (fiqh). Disebutkan dalam hadis sahih: “Tidak ada hasad (iri yang dibolehkan) kecuali pada dua orang: seorang laki-laki yang Allah berikan harta lalu ia menggunakannya untuk kebenaran, dan seorang laki-laki yang Allah berikan hikmah lalu ia memutuskan perkara dengannya dan mengajarkannya.”
    Hikmah dalam Al-Qur’an juga bermakna kenabian, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam konteks pemberian nikmat kepada Nabi Daud ‘alaihis salam: {وَآتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ وَالْحِكْمَةَ} (Dan Allah memberinya kerajaan dan hikmah) dan {وَآتَيْنَاهُ الْحِكْمَةَ وَفَصْلَ الْخِطَابِ} (Dan Kami berikan kepadanya hikmah dan kemampuan membedakan perkataan yang benar dan yang salah).
    Hikmah menurut Ushuliyyin (Ahli Ushul Fiqh):
  • Hikmah menurut Ushuliyyin adalah apa yang dihasilkan dari menghubungkan hukum dengan ‘illah (alasan hukum) atau sebabnya, berupa mendatangkan kemaslahatan atau menolak kemudaratan, atau menguranginya. Hikmah juga digunakan untuk menyebut sifat yang sesuai dengan pensyariatan hukum.

تفسير الجلالين : معنى و تأويل الآية ٢٦٩

«يؤتي الحكمة» أي العلم النافع المؤدي إلى العمل «من يشاء ومن يُؤت الحكمة فقد أوتي خيرا كثيرا» لمصيره إلى السعادة الأبدية «وما يذَّكَّر» فيه إدغام التاء في الأصل في الذال يتعظ «إلا أولوا الألباب» أصحاب العقول

Tafsir Jalalain: Makna dan takwil ayat 269
“(Allah) memberikan hikmah,” yaitu ilmu yang bermanfaat yang mengantarkan pada perbuatan, “(kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa diberi hikmah, sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak,” karena kesudahannya menuju kebahagiaan abadi. “Dan tidak dapat mengambil pelajaran,” di dalamnya terdapat idgham ta pada dzal asalnya, yaitu yadzakkaru, menjadi yazzakkaru, “kecuali ulul albab,” yaitu orang-orang yang berakal.

Firman Allah Ta’ala:

{يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَما يَذَّكَّرُ إِلاّ أُولُوا الْأَلْبابِ}

(QS. Al-Baqarah: 269)

Makna Hikmah Berdasarkan Ayat dan Penjelasan Ulama:

Makna Lugawi dan Tafsir:

Kata hikmah berasal dari kata yang berarti ilmu yang bermanfaat yang mengarah kepada amal yang benar, dan bisa memberi pengaruh positif dalam jiwa seseorang.

Menurut berbagai ulama tafsir:

As-Suddi: Hikmah adalah kenabian.

Ibnu Abbas: Hikmah adalah pemahaman terhadap Al-Qur’an, termasuk ayat-ayat yang muhkam (tegas) dan mutasyabih (samar), nasikh-mansukh, dan ilmu tafsir.

Qatadah dan Mujahid: Hikmah adalah fiqh dalam Al-Qur’an.

Mujahid (pendapat lain): Hikmah adalah ketepatan dalam ucapan dan perbuatan.

Ibnu Zaid: Hikmah adalah akal dalam beragama.

Imam Malik bin Anas: Hikmah adalah berpikir dalam urusan agama dan mengikuti perintah Allah, atau bisa disebut sebagai ketaatan dan pemahaman agama yang benar serta mengamalkannya.

Semua pendapat ini menunjukkan bahwa hikmah adalah gabungan antara ilmu yang benar, pemahaman yang dalam, serta penerapan yang tepat dalam kehidupan, baik dalam ucapan maupun perbuatan.

Kandungan Ayat:

Allah memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki.

Barangsiapa diberi hikmah, maka sungguh ia telah diberi kebaikan yang banyak.

Namun yang dapat mengambil pelajaran hanyalah orang-orang yang memiliki akal yang bersih dan sehat (ulul albab).

Kesimpulan :
Hikmah Menurut Ayat dan Tafsir

Hikmah adalah ilmu yang benar, pemahaman yang mendalam terhadap agama, khususnya Al-Qur’an, serta kemampuan untuk bertindak dan berkata dengan tepat.

Hikmah merupakan karunia besar dari Allah yang hanya diberikan kepada hamba pilihan-Nya.

Orang yang diberi hikmah, sejatinya telah mendapatkan kebaikan yang melimpah, karena hikmah menuntun seseorang kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Tidak semua orang bisa memahami pentingnya hikmah kecuali mereka yang memiliki akal bersih (ulul albab), yang mampu membedakan antara bisikan setan dan ilham kebenaran.

Referensi

تفسير المنير للزحيلي ج٣ ص ٦٢- ٦٥

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْراً كَثِيراً وَما يَذَّكَّرُ إِلاّ أُولُوا الْأَلْبابِ (٢٦٩)} الإعراب: {الشَّيْطانُ يَعِدُكُمُ} مبتدأ، وجملة {يَعِدُكُمُ} خبره، وسمي شيطانا (فيعالا) من شطن أي بعد؛ لأنه بعد عن رحمة الله، وقيل في وجه ضعيف: على وزن فعلان: من شاط‍ يشيط‍: إذا احترق. البلاغة: {يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشاءُ} وفي قراءة «تشاء» على الخطاب، وهو التفات إذ هو خروج من غيبة إلى خطاب. المفردات اللغوية: {يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ} أي يخوّفكم من الفقر إن تصدقتم، فتمسكون ما بأيدكم، فلا تنفقوه في مرضاة الله، والفقر: سوء الحال وضيق ذات اليد. {وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشاءِ} أي يغريكم بالبخل ومنع الزكاة {وَاللهُ يَعِدُكُمْ} على الإنفاق {مَغْفِرَةً مِنْهُ} صفحا من الله عن ذنوبكم. {وَفَضْلاً} رزقا وخلفا منه {وَاللهُ واسِعٌ} فضله {عَلِيمٌ} بالمنفق. {يُؤْتِي الْحِكْمَةَ} العلم النافع المؤدي إلى العمل، المؤثر في النفس، واختلف العلماء في الحكمةفقال السدي: هي النبوة. وقال ابن عباس: هي المعرفة بالقرآن فقهه ونسخه ومحكمه ومتشابهه وغريبه ومقدّمه ومؤخره (أي العلم بأصول الفقه). وقال قتادة ومجاهد: الحكمة: هي الفقه في القرآن. وقال مجاهد: الإصابة في القول والفعل. وقال ابن زيد: الحكمة: العقل في الدّين. وقال مالك بن أنس: الحكمة: التفكر في أمر الله والاتّباع له، أو هي طاعة الله والفقه في الدين والعمل به. وكل هذه الأقوال تشترك في أن الحكمة: هي الفهم الصحيح والعلم النافع واتباع المعلوم المؤدي إلى سعادة الدنيا والآخرة (١). {خَيْراً كَثِيراً} لأن الحكمة أوصلته إلى السعادة الأبدية {وَما يَذَّكَّرُ} يتعظ‍، وأصله: يتذكر، فأدغم التاء في الذال {أُولُوا الْأَلْبابِ} أصحاب العقول. التفسير والبيان: الشيطان عدو الإنسان من قديم، وهو الذي أقسم {فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ إِلاّ عِبادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ} [ص ٨٢/ ٣٨ – ٨٣] يوسوس للناس ويخوفهم من الفقر إذا تصدقوا أو أنفقوا في سبيل الله ويقول لهم: إن عاقبة إنفاقكم أن تفتقروا، ويحرضهم ويغريهم على البخل والإمساك إغراء الآمر للمأمور. والفاحش عند العرب: البخيل. والوعد: يستعمل في الخير والشر، قال الله تعالى: {النّارُ وَعَدَهَا اللهُ الَّذِينَ كَفَرُوا} [الحج ٧٢/ ٢٢]. وسمي ذلك التخويف وعدا: مبالغة في الإخبار بتحقق وقوعه، وكأن مجيئه بحسب إرادته، مع العلم بأن الوعد: هو الإخبار بما سيكون من جهة المخبر، والشيطان لم يقل: إني سأفقركم. ويوضح هذا التخويف: ما رواه ابن أبي حاتم عن عبد الله بن مسعود قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: «إن للشيطان لمّة (٢) بابن آدم، وللملك لمّة، فأما لمة الشيطان فإيعاد بالشر، وتكذيب بالحق، وأما لمة الملك فإيعاد بالخير، وتصديق بالحق، فمن وجد ذلك، فليعلم أنه من الله، فليحمد الله، ومن وجد الأخرى، فليتعوذ من الشيطان» ثم قرأ: {الشَّيْطانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ، وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشاءِ، وَاللهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلاً} (١). والله تعالى في مقابلة إغراءات الشيطان ووساوسه وأمره بالفحشاء (البخل) يعدكم على لسان نبيكم مغفرة بسبب الإنفاق لذنوبكم، وتعويضا وإخلافا في الدنيا لما أنفقتموه، والفضل: المال والخير، والله واسع الرحمة والفضل، فيحقق ما وعدكم به، وهو عليم بما تنفقون، فيجازيكم عليه أحسن الجزاء، كما قال تعالى: {وَما أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ، وَهُوَ خَيْرُ الرّازِقِينَ} [سبأ ٣٩/ ٣٤] وروى البخاري ومسلم أن النبي صلّى الله عليه وسلّم قال: «ما من يوم يصبح فيه العباد إلا ملكان ينزلان، يقول أحدهما: اللهم أعط‍ منفقا خلفا، ويقول الآخر: اللهم أعط‍ ممسكا تلفا» أي أن الأول يعوضه الله بتسهيل أسباب الرزق له، والآخر يذهب ماله. والله تعالى يؤتي الحكمة من يشاء من عباده، وليست الحكمة على الصحيح النبوة، ولكنها كما قال الجمهور: العلم والفقه والقرآن، فهي لا تختص بالنبوة، بل هي أعم منها، وأعلاها النبوة، والرسالة أخص، وذلك يرشد إلى تمييز الحقائق من الأوهام، والتفرقة بين الوسواس والإلهام. وآلة الحكمة: العقل، فمن عرف ما في القرآن من أحكام وأسرار، وأدرك بسلامة عقله ما في الإنفاق من فوائد تعود على الأمة بالخير وعلى المنفق بالثواب الجزيل، لم يتأثر بوساوس الشيطان، ولم يتردد في البذل والإنفاق في سبيل الله. عن ابن مسعود قال: سمعت رسول الله صلّى الله عليه وسلّم يقول: «لا حسد إلا في اثنتين: رجل آتاه الله مالا، فسلّطه على هلكته في الحق، ورجل آتاه الله الحكمة، فهو يقضي بها ويعلمها» (٢). ومن يوفقه الله للعلم النافع، وعلى التخصيص فهم القرآن والدين، ويرشده إلى هداية العقل، فقد هدي إلى خيري الدنيا والآخرة، وأدرك الأمور على حقيقتها. ولا يتعظ‍ بالعلم ويتأثر بالموعظة وينتفع بالتذكار إلا كل ذي عقل سليم يفهم به الخطاب الشرعي ومعنى الكلام الإلهي. فقه الحياة أو الأحكام: هذه الآية متصلة بما قبلها، فهي تحث المؤمن على الإنفاق في سبيل الله: سبيل الخير؛ لأن الله وعد بالمغفرة جزاء الإنفاق، وبالإخلاف والتعويض والإمداد بالفضل الإلهي من المال والرزق، والله تعالى يعطي من سعة، فلا تنفد خزائنه، ويعلم حيث يضع ذلك، ويعلم الغيب والشهادة. وتحذر الآية من وساوس الشياطين، فإن للشيطان مدخلا في تثبيط‍ الإنسان عن الإنفاق في سبيل الله، وهو مع ذلك يأمر بالبخل والفحشاء وهي المعاصي، والإنفاق فيها. ومن أعطي الحكمة (العلم النافع الصحيح) وفهم القرآن، فقد أعطي أفضل ما أعطي من جمع كتب علم الأولين من الصحف وغيرها. والآية تحض على العلم وترفع شأن الحكمة، وتهدي إلى استعمال العقل في أشرف ما خلق له. قال بعض الحكماء: من أعطي العلم والقرآن ينبغي أن يعرف نفسه، ولا يتواضع لأهل الدنيا لأجل دنياهم: فإنما أعطي أفضل ما أعطي أصحاب الدنيا؛ لأن الله تعالى سمى الدنيا متاعا قليلا

“Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki, dan barangsiapa dianugerahi hikmah, maka sungguh dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 269)

Makna Hikmah Berdasarkan Ayat dan Penafsiran Ulama 1. Makna Secara Bahasa dan Tafsir:

Kata hikmah secara bahasa berarti ilmu yang bermanfaat, yang mengarahkan seseorang kepada amal perbuatan yang benar dan berpengaruh secara positif dalam jiwa.

Beberapa pendapat ulama tafsir:

As-Suddi: Hikmah adalah kenabian.

Ibnu Abbas: Hikmah adalah pemahaman terhadap Al-Qur’an, termasuk ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, serta ilmu tafsir.

Qatadah dan Mujahid: Hikmah adalah pemahaman (fiqh) terhadap Al-Qur’an.

Mujahid (pendapat lain): Hikmah adalah ketepatan dalam ucapan dan tindakan.

Ibnu Zaid: Hikmah adalah akal dalam beragama.

Imam Malik bin Anas: Hikmah adalah merenung dalam urusan agama dan menaati perintah Allah, atau ketaatan dan pemahaman agama yang benar serta mengamalkannya.

Semua pendapat ini menunjukkan bahwa hikmah adalah gabungan antara ilmu yang benar, pemahaman yang dalam, serta penerapan yang tepat, baik dalam ucapan maupun perbuatan.

Kandungan Ayat: Allah memberikan hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Orang yang diberi hikmah, berarti telah menerima kebaikan yang melimpah. Hanya orang yang memiliki akal bersih dan sehat (ulul albab) yang bisa mengambil pelajaran darinya. 3. Kesimpulan: Hikmah mencakup ilmu yang benar, pemahaman agama yang mendalam, khususnya terhadap Al-Qur’an, serta kemampuan bertindak dengan tepat. Hikmah merupakan karunia besar dari Allah, tidak diberikan kepada semua orang. Orang yang diberi hikmah sejatinya telah mendapatkan kebaikan yang luar biasa, karena hikmah membimbing kepada keselamatan dunia dan akhirat. Tidak semua orang bisa menyadari pentingnya hikmah, kecuali orang yang memiliki akal yang bersih dan hati yang sadar. Penjelasan Tambahan dari Tafsir Al-Munir (Wahbah Az-Zuhaili), Jilid 3 Halaman 62-65 Setan menakut-nakuti manusia dengan kemiskinan, agar enggan bersedekah atau berinfak, dan memerintahkan kepada perbuatan keji, seperti kikir dan pelit. Sebaliknya, Allah menjanjikan ampunan dan karunia (rezeki) kepada orang-orang yang berinfak di jalan-Nya. Hikmah tidak terbatas pada kenabian, melainkan juga mencakup ilmu, pemahaman agama, dan kemampuan membedakan antara ilham dari Allah dan bisikan setan. Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua hal: seseorang yang diberi harta lalu ia infakkan di jalan kebenaran, dan seseorang yang diberi hikmah, lalu ia menggunakannya untuk memberi keputusan dan mengajarkannya kepada orang lain.”
(HR. Bukhari dan Muslim) Pelajaran Kehidupan dan Hukum Fiqih (Fiqh al-Hayah): Ayat ini mendorong agar kita berinfak di jalan Allah karena Allah akan membalasnya dengan ampunan dan rezeki yang berlimpah. Setan selalu berusaha menghalangi manusia dari amal kebaikan, terutama dalam hal mengeluarkan harta. Hikmah adalah pemberian terbaik dari Allah, bahkan lebih mulia daripada harta dunia, karena dengannya manusia bisa menilai kebenaran, memahami syariat Allah, dan meraih keberuntungan dunia dan akhirat.Wallahu a’lam bishawab

 

Kategori
Hikmah

Besarnya Pahala Menafkahi Keluarga

 

Assalamualaikum

Deskripsi masalah

Dalam kehidupan bermasyarakat, pembangunan lembaga keagamaan seperti madrasah, masjid, dan musholla merupakan hal yang umum dilakukan, baik dalam bentuk pembangunan baru maupun renovasi. Banyak orang dengan usaha yang lancar dan rezeki berlimpah turut berkontribusi dengan penuh antusias dalam menyumbangkan hartanya untuk keperluan tersebut atau bersedekah dengan memberi makan fakir miskin.

Namun, ada pula orang yang penghasilannya terbatas, bahkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Meskipun demikian, mereka tetap memiliki keinginan kuat untuk bersedekah, baik dalam pembangunan sarana ibadah maupun membantu fakir miskin, dengan keyakinan bahwa sedekah dan infak merupakan bagian dari amal saleh serta bentuk perjuangan di jalan Allah (fisabilillah).

Pertanyaan:

Manakah yang lebih utama dan lebih besar pahalanya—menggunakan harta untuk menafkahi keluarga yang hidup dalam keterbatasan, ataukah menginfakkannya di jalan Allah dan bersedekah kepada fakir miskin?

Waalaiķum salam.

Jawaban:

Lebih utama dan lebih besar pahalanya menafkahi keluarga yang hidup dalam keterbatasan daripada bersedekah atau berinfak untuk kepentingan lain. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:

بِدِينَارٍ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَبِدِينَارٍ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَبِدِينَارٍ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَبِدِينَارٍ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ. (رواه مسلم )

“Satu dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau gunakan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah dinar yang engkau belanjakan untuk keluargamu.”
(HR. Muslim: 995)

Hadits ini menunjukkan bahwa menafkahi keluarga lebih besar pahalanya dibandingkan dengan infak di jalan Allah, sedekah kepada fakir miskin, atau bahkan memerdekakan budak. Hal ini karena nafkah kepada keluarga adalah kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memberikan bantuan kepada pihak lain.

Dalam Islam, keseimbangan antara kewajiban dan ibadah sunnah sangat ditekankan. Jika seseorang memiliki rezeki terbatas, maka menafkahi keluarga menjadi prioritas utama, sebab keluarga adalah tanggung jawab yang langsung dibebankan kepadanya. Setelah kebutuhan keluarga tercukupi, barulah dianjurkan untuk bersedekah dan berinfak di jalan Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Syarah al-Nawawi ala Muslim sebagaimana berikut;

شرح النووي على مسلم ج٧ص ٨١-٨٣

(باب فَضْلِ النَّفَقَةِ عَلَى الْعِيَالِ والمملوك)

(وإثم من ضيعهم أو حبس نفقتهم عَنْهُمْ) مَقْصُودُ الْبَابِ الْحَثُّ عَلَى النَّفَقَةِ عَلَى الْعِيَالِ وَبَيَانُ عِظَمِ الثَّوَابِ فِيهِ لِأَنَّ مِنْهُمْ مَنْ تَجِبُ نَفَقَتُهُ بِالْقَرَابَةِ وَمِنْهُمْ مَنْ تَكُونُ مَنْدُوبَةً وَتَكُونُ صَدَقَةً وَصِلَةً وَمِنْهُمْ مَنْ تَكُونُ وَاجِبَةً بِمِلْكِ النِّكَاحِ أَوْ مِلْكِ الْيَمِينِ وَهَذَا كُلُّهُ فَاضِلٌ مَحْثُوثٌ عَلَيْهِ وَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ وَلِهَذَا [٩٩٥] قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رِوَايَةِ بن أَبِي شَيْبَةَ (أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ) مَعَ أَنَّهُ ذَكَرَ قَبْلَهُ النَّفَقَةَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَفِي الْعِتْقِ وَالصَّدَقَةِ وَرَجَّحَ النَّفَقَةَ عَلَى الْعِيَالِ عَلَى هَذَا كُلِّهِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ وَزَادَهُ تَأْكِيدًا [٩٩٦] بِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ (كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ) فَقُوتُهُ مَفْعُولُ يَحْبِسَ قَوْلُهُ (حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجَرْمِيُّ) هُوَ بِالْجِيمِ قَوْلُهُ (قَهْرَمَانُ) بِفَتْحِ الْقَافِ وَإِسْكَانِ الْهَاءِ وَفَتْحِ الرَّاءِ وَهُوَ الْخَازِنُ الْقَائِمُ بِحَوَائِجِ الْإِنْسَانِ وَهُوَ بِمَعْنَى الْوَكِيلِ وَهُوَ بِلِسَانِ الْفُرْسِ

(باب الِابْتِدَاءِ فِي النَّفَقَةِ بِالنَّفْسِ ثُمَّ أَهْلِهِ ثُمَّ الْقَرَابَةِ) [٩٩٧] فِيهِ حَدِيثُ جَابِرٍ (أَنَّ رَجُلًا أَعْتَقَ عَبْدًا لَهُ عَنْ دُبُرٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا يَقُولُ فَبَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِينِكَ وَعَنْ شِمَالِكَ) فِي هَذَا الْحَدِيثِ فَوَائِدُ مِنْهَا الِابْتِدَاءُ فِي النَّفَقَةِ بِالْمَذْكُورِ عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ وَمِنْهَا أَنَّ الْحُقُوقَ وَالْفَضَائِلَ إِذَا تَزَاحَمَتْ قُدِّمُ الْأَوْكَدُ فَالْأَوْكَدُ وَمِنْهَا أَنَّ الْأَفْضَلَ فِي صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ أَنْ يُنَوِّعَهَا فِي جِهَاتِ الْخَيْرِ وَوُجُوهِ الْبِرِّ بِحَسَبِ الْمَصْلَحَةِ وَلَا يَنْحَصِرُ فِي جِهَةٍ بِعَيْنِهَا وَمِنْهَا دَلَالَةٌ ظَاهِرَةٌ لِلشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيهِ فِي جَوَازِ بَيْعِ الْمُدَبَّرِ وَقَالَ مَالِكٌ وَأَصْحَابُهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ إِلَّا إِذَا كَانَ عَلَى السَّيِّدِ دَيْنٌ فَيُبَاعُ فِيهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ صَرِيحٌ أَوْ ظَاهِرٌ فِي الرَّدِّ عَلَيْهِمْ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بَاعَهُ لِيُنْفِقَهُ سَيِّدُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَالْحَدِيثُ صَرِيحٌ أَوْ ظَاهِرٌ فِي هَذَا وَلِهَذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا إِلَى آخِرِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Syarah Imam Nawawi atas Shahih Muslim (Juz 7, hlm. 81–83)

Bab Keutamaan Nafkah untuk Keluarga dan Hamba Sahaya serta Dosa Orang yang Menyia-nyiakan Mereka atau Menahan Nafkah dari Mereka

Maksud dari bab ini adalah anjuran untuk memberi nafkah kepada keluarga dan penjelasan tentang besarnya pahala dalam hal ini. Sebab, ada sebagian dari mereka yang nafkahnya wajib karena hubungan kekerabatan, ada yang nafkahnya dianjurkan sehingga menjadi sedekah dan bentuk silaturahmi, serta ada yang nafkahnya wajib karena kepemilikan dalam pernikahan atau kepemilikan sebagai hamba sahaya.

Semua jenis nafkah ini memiliki keutamaan dan sangat dianjurkan. Bahkan, nafkah kepada keluarga lebih utama daripada sedekah sunnah. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ dalam riwayat Ibn Abi Syaibah bersabda:

“Yang paling besar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.”

Padahal sebelumnya, beliau telah menyebutkan nafkah di jalan Allah, pembebasan budak, dan sedekah. Namun, beliau tetap mengutamakan nafkah kepada keluarga di atas semua itu karena alasan yang telah disebutkan.

Keutamaan ini semakin ditegaskan dalam hadis lain:

“Cukuplah seseorang menanggung dosa apabila ia menahan makanan dari orang yang berada dalam tanggungannya.”

Penjelasan Istilah:

(Said bin Muhammad al-Jarmi): Nama ini disebut dengan huruf “jīm” (ج). (Qahraman): Dibaca dengan qaf berharakat fathah (قَ), ha sukun (هْ), dan ra fathah (رَ). Maknanya adalah bendahara atau pengurus kebutuhan seseorang, yang dalam bahasa Persia memiliki arti yang sama dengan “wakil.” Bab Memulai Nafkah dari Diri Sendiri, Kemudian Keluarga, lalu Kerabat

Dalam bab ini, terdapat hadis Jabir yang meriwayatkan bahwa seorang laki-laki memerdekakan budaknya setelah wafatnya (dengan akad tadbir). Ketika hal ini sampai kepada Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:

“Apakah engkau memiliki harta lain selain itu?”

Orang itu menjawab, “Tidak.” Maka Nabi ﷺ menjual budak tersebut dan menyerahkan hasilnya kepada laki-laki itu, lalu bersabda:

“Mulailah dengan dirimu sendiri, lalu bersedekahlah untuknya. Jika ada kelebihan, maka untuk keluargamu. Jika masih ada kelebihan setelah keluargamu, maka untuk kerabatmu. Jika masih ada kelebihan setelah kerabatmu, maka seperti ini dan seperti ini,” seraya beliau menunjukkan ke arah depan, kanan, dan kiri.

Pelajaran dari Hadis Ini:

Urutan dalam memberi nafkah harus sesuai dengan yang disebutkan dalam hadis. Jika ada beberapa hak dan keutamaan yang bertabrakan, maka yang lebih kuat harus didahulukan. Sedekah sunnah yang paling utama adalah yang disalurkan ke berbagai bidang kebaikan dan tidak hanya terbatas pada satu jenis penerima. Hadis ini menjadi dalil bagi mazhab Syafi’i dan ulama yang sependapat dengannya bahwa budak yang ditadbir (dibebaskan setelah tuannya wafat) boleh dijual. Imam Malik dan murid-muridnya berpendapat bahwa budak yang ditadbir tidak boleh dijual kecuali jika tuannya memiliki utang, maka boleh dijual untuk melunasi utangnya. Namun, hadis ini dengan jelas menolak pendapat tersebut, karena Rasulullah ﷺ menjual budak tersebut agar hasilnya digunakan oleh pemiliknya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Maka dari itu, Nabi ﷺ bersabda:

“Mulailah dengan dirimu sendiri, lalu bersedekahlah untuknya…”

Hadits tersebut menegaskan bahwa kewajiban menafkahi keluarga tidak boleh diabaikan, bahkan menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, bagi seseorang yang memiliki rezeki terbatas, yang lebih utama adalah memastikan keluarganya terpenuhi kebutuhannya sebelum bersedekah atau berinfak untuk keperluan lain.

Namun, jika seseorang tetap ingin bersedekah meskipun dalam keadaan ekonomi yang sulit, hendaknya ia melakukannya tanpa mengorbankan kebutuhan pokok keluarganya. Sebab, Islam tidak membebani seseorang di luar kemampuannya, sebagaimana firman Allah ﷻ:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)

Dalam sebuah kaidah dijelaskan

وإذا تزامحت المصلحتان قدم بالأعلى # وإذا تزامحت المفسدتان أخذ بالأخذ بالأخف

Jika seseorang dihadapkan pada dua kemaslahatan maka dahulukan yang lebih tinggi nilai keutamaannya# Dan jika dihadapkan pada dua kerusakan maka ambillah yang lebih ringan

Kesimpulan: Menafkahi keluarga yang hidup dalam keterbatasan lebih utama dan lebih besar pahalanya dibandingkan dengan sedekah kepada fakir miskin atau infak di jalan Allah. Jika seseorang memiliki rezeki yang cukup, maka setelah menunaikan kewajiban nafkah kepada keluarga, ia dianjurkan untuk bersedekah dan berinfak sesuai kemampuannya. Islam mengajarkan keseimbangan dalam beramal, sehingga tidak dianjurkan bersedekah dengan mengorbankan kebutuhan pokok keluarga.

Wallahu a‘lam.

Kategori
Hikmah

Kisah Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir Alaihimassalam

Assalamualaikum
Deskripsi
Dikisahkan dalam Al-Qur’an tentang seorang hamba Allah yang saleh dan memiliki ilmu ladunni, sehingga Nabi Musa merasa penasaran dan ingin berguru kepadanya. Hamba Allah tersebut dikenal dengan nama Al-Khidir, yang merupakan sebuah laqab (gelar) yang berarti “hijau” atau “segar”.

Pertanyaannya:
Siapakah sebenarnya nama asli Khidir? Mohon penjelasan mengenai kisah pertemuan dan perjalanan Nabi Musa dengan Khidir.

Waalaikum salam.

Jawaban

Nama Asli Nabi Khidir adalah Balyan bin Malkan  Abul Abbas . Adapun rincian dan kisahnya adalah sebagai berikut:

BALYAN ( Adalah Alami Isim ) IBNU MALKA ( Adalah Alami Kun-ya ) Al-Khidir ( Adalah Alami Laqob ) Kenapa diberi laqob seperti itu karena ketika Balyan duduk dipermukaan bumi maka bergetar disekitarya tempat itulah lalu bersinarlah disekitarnya menjadi biru.

نور الظلام ص ٥-٦
وأما الخضر فقيل هو ولي وقيل
نبي وقيل رسول وخير الامور أوسطها تنبيه الخضر بفتح الحاء المعجمة وكسر الضاد المعجمة ويجوز اسكان الضاد مع كسر الحاء أو فتحها” “وإنما لقب به لأنه جلس على فروة بيضاء فإذا هي تهتز لمن خلفه خضراء والفروة وجه الأرض وكنيته أبو العباس واسمه بليا موحدة مفتوحة واللام ساكنة مثناة تحتية ابن ملكان بفتح الميم واسكان اللام وبالكاف وسمع من بعض العارفين من عرف اسمه  واسم أبيه وكنيته ولقبه دخل الجنة وهو يتعبد   بشريعة نبينا من يوم بعثه الله تعالى”

Adapun Al-Khidhir, ada yang berpendapat bahwa ia adalah seorang wali, ada yang mengatakan bahwa ia adalah seorang nabi, dan ada pula yang mengatakan bahwa ia adalah seorang rasul. Dan sebaik-baik perkara adalah yang pertengahannya.

Perhatian: Nama “Al-Khidhir” dibaca dengan fathahnya huruf ḥāʾ (الحاء) yang berharakat fathah dan mengkasrah huruf ḍād (الضاد), serta boleh juga mensukunkan ḍād dengan mengkasrah ḥāʾ atau membacanya dengan fathah.

Ia dijuluki dengan nama tersebut karena pernah duduk di atas tanah putih, lalu tanah tersebut bergetar dan menjadi hijau di belakangnya. Kata “al-farwah” (الفروة) dalam konteks ini berarti permukaan bumi.

Kunyah (gelar) Al-Khidhir adalah Abū al-ʿAbbās. Nama aslinya adalah Balyā (بليا) dengan huruf bāʾ berharakat fathah, lām sukun, dan yāʾ bertitik dua di bawah. Ia adalah putra Malkān (ملكــان), yang dieja dengan mīm berharakat fathah, lām sukun, dan kāf.

Diriwayatkan bahwa seorang arif berkata, “Barang siapa mengetahui nama Al-Khidhir, nama ayahnya, kunyah, dan julukannya, maka ia akan masuk surga.”

Al-Khidhir beribadah dengan syariat  syariat Nabi kita Muhammad ﷺ sejak diutus oleh Allah Ta’ala.

KISAH PETEMUAN NABI MUSA DAN NABI KHIDIR ALAIHIMASSALAM

قصة موسى والخضر عليهما السلام .المؤلف أبو إسحاق الخويني ص.٢ – ٣ .
روى البخاري ومسلم وغيرهما من حديث سعيد بن جبير رحمه الله، قال: قيل لـ ابن عباس رضي الله عنهما: إن نوفل المثالي يزعم أن موسى الذي صاحب الخضر ليس هو موسى بني إسرائيل، قال ابن عباس: كذب عدو الله، حدثني أبي بن كعب عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: (خطب موسى في بني إسرائيل يوماً حتى ذرفت العيون ووجلت القلوب، فلما انصرف تبعه رجل، فقال: يا نبي الله! هل هناك أعلم منك في الأرض؟ قال: لا.
فعتب الله عز وجل عليه إذ لم يرجع العلم إليه، قال: بلى، إن لي عبداً في مجمع البحرين هو أعلم منك، قال موسى: أي رب! وكيف لي به؟ قال: خذ حوتاً واجعله في مشكل) وفي رواية: (قال: خذ نوناً ميتاً -والنون: هو الحوت، وإليه نسب يونس عليه السلام ((وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا)) [الأنبياء:٨٧] ، فالنون هو الحوت، وكل سكان البحر يعد من الحيتان، فالسمك اسمه حوت، قال ابن عباس: اشتهيت حيتاناً، أي: أسماكاً- قال: خذ نوناً ميتاً واجعله في مشكل، فحيث فقدته فهو ثم -أي حيث فقدت هذا الحوت فالخضر هناك، فانطلقا، حتى إذا كانا ببقعة من الأرض قال موسى لفتاه: لا أكلفك كثيراً، أيقضني إذا رد الله الحياة في الحوت، قال: ما كلفت كثيراً، ثم إن الحوت ارتدت إليه الحياة وقفز في البحر، فأمسك الله عليه الماء وحبسه فلم يستطع أن يذهب.
فلما استيقظ موسى عليه السلام نسي غلامه أن يخبره أن الحوت قفز في الماء، فانطلقا بقية يومهما وليلتهما، فلما كانا من الغد قال موسى لفتاه: {آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا} [الكهف:٦٢] ، تذكر الفتى أن الحوت المشوي الذي كانا سيتغديان به قفز في الماء، قال: {أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ} [الكهف:٦٣] {فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا} [الكهف:٦٤] رجعا يقصان الآثار مرة أخرى.
فلما ذهبا إلى هناك وجدا عبداً مسجى ببردة خضراء تحت قدميه وتحت رأسه، كالذي يلتحف بلحاف فيجعله تحت رأسه وتحت قدميه، فسلم عليه موسى، فكشف عن وجهه، وقال: وهل بأرضي سلام؟ من أنت؟ قال: أنا موسى.
قال: أنت موسى بني إسرائيل؟ قال: نعم.
-هذا هو السؤال الذي من أجله قال ابن عباس: كذب عدو الله؛ لأن الخضر عليه السلام قال: أنت موسى بني إسرائيل؟ – قال: وما تريد؟ قال: أريد أن أتعلم.
قال: ((إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا)) [الكهف:٦٧] .
قال: {سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا} [الكهف:٦٩] .
فجاء عصفور فنثر من ماء البحر نثرة، فقال الخضر: يا موسى! إن مثل علمي وعلمك بجانب علم الله عز وجل كمثل الماء الذي أخذه هذا العصفور بمنقاره {فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلا تَسْأَلْنِي عَنْ شَيْءٍ حَتَّى أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا} [الكهف:٧٠] .
فانطلقا، ووقفا على شاطئ البحر، فمر مركب فأراد الخضر وموسى أن يركبا، فقال الغلمان: عبد الله الصالح لا نحمله بأجر، فعمد إلى مكان في السفينة فخلع منه لوحاً بقدوم ووضع مكانه خشبة، قال موسى: قوم حملونا بغير أجره تخلع لوحاً من سفينتهم لتغرق أهلها، لقد جئت شيئاً إمراً {قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا} [الكهف:٧٢] ، قال النبي صلى الله عليه وآله وسلم: وكانت هذه من موسى نسياناً.
فلما نزلا من السفينة وجدا أُغيلمة يلعبون، فعمد الخضر إلى ولد وضيء جميل ذكي، فأخذه من رأسه وأضجعه على الأرض وذبحه بالسكين، فقال موسى: عمدت إلى نفس لم تعمل الحل فقتلتها بغير نفس، لقد جئت شيئاً نكراً، قال الخضر عليه السلام: ((أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا)) [الكهف:٧٢] ، قال النبي صلى الله عليه وسلم: وكانت هذه شرطاًَ) ؛ لأن موسى عليه السلام قال له: {إِنْ سَأَلْتُكَ عَنْ شَيْءٍ بَعْدَهَا فَلا تُصَاحِبْنِي قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَدُنِّي عُذْرًا} [الكهف:٧٦] وهناك فرق في التحذير بين المرة الأولى والثانية، ففي المرة الأولى قال له الخضر: {أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا} [الكهف:٧٢] ، وفي المرة الثانية قال له: {أَلَمْ أَقُلْ لَكَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا} [الكهف:٧٥] ، فكأنه استدار إليه وأشار إليه، ولذلك فرق النبي عليه الصلاة والسلام بينهما وبين أن الأولى كانت من موسى نسياناً فلم يشدد الخضر عليه، وكانت الثانية شرطاً في المفارقة، لذلك كأنه التفت إليه وحذره وأشار: ألم أقل لك -أي: في المرة الثانية- إنك لن تستطع معي صبراً.
فدخلوا إلى قرية: {فَأَبَوْا أَنْ يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَنْ يَنقَضَّ فَأَقَامَهُ قَالَ لَوْ شِئْتَ لاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا} [الكهف:٧٧] {قَالَ هَذَا فِرَاقُ بَيْنِي وَبَيْنِكَ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا} [الكهف:٧٨] ، قال النبي عليه الصلاة والسلام: (يرحم الله موسى -وفي رواية: رحمة الله علينا وعلى موسى- وددنا أنه صبر حتى يقص الله عز وجل علينا من أخبارنا

Kisah Musa dan Khidr (Alaihimas Salam)
Penulis: Abu Ishaq Al-Khuwayni (hlm. 2–3)
Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari hadits Sa‘id bin Jubair rahimahullah, bahwa dikatakan kepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma: “Sesungguhnya Nauf Al-Bikali berpendapat bahwa Musa yang bertemu dengan Khidr bukanlah Musa Bani Israil.” Maka Ibnu Abbas berkata: “Musuh Allah telah berdusta!”
Ubay bin Ka‘b menceritakan kepadaku dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
“Suatu hari, Nabi Musa berkhutbah di hadapan Bani Israil hingga mata mereka bercucuran air mata dan hati mereka bergetar. Ketika ia beranjak pergi, seorang laki-laki mengikutinya dan bertanya: ‘Wahai Nabi Allah, adakah seseorang yang lebih berilmu darimu di bumi ini?’ Nabi Musa menjawab: ‘Tidak ada.’
Maka Allah ﷻ mencelanya karena tidak mengembalikan ilmu itu kepada-Nya. Lalu Allah ﷻ berfirman: ‘Ada seorang hamba-Ku di pertemuan dua lautan yang lebih berilmu darimu.’ Musa pun bertanya: ‘Wahai Rabbku, bagaimana aku dapat bertemu dengannya?’ Allah ﷻ berfirman: ‘Bawalah seekor ikan, lalu letakkan di dalam wadah. Ketika kamu kehilangan ikan itu, di situlah dia berada.’
Dalam riwayat lain disebutkan: ‘Bawalah seekor ikan mati.’ (Kata nun berarti ikan, sebagaimana Nabi Yunus juga disebut Dzun-Nun dalam firman Allah ﷻ: وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا [Al-Anbiya: 87], yang berarti ‘pemilik ikan’).
Musa pun membawa seekor ikan mati dalam wadah. Ketika mereka sampai di suatu tempat, ia berkata kepada pembantunya: ‘Aku tidak akan membebanimu banyak, hanya saja bangunkan aku ketika ikan itu kembali hidup.’ Pembantunya pun berkata: ‘Ini bukan tugas yang berat.’
Lalu ikan itu hidup kembali dan melompat ke laut, sementara air laut tetap tertahan di sekitarnya, sehingga tidak bisa menyebar. Namun, pembantu Musa lupa memberitahunya. Mereka pun melanjutkan perjalanan sepanjang hari dan malam. Keesokan harinya, Musa berkata:
“Berikan makanan kita! Sungguh, kita telah merasa letih dalam perjalanan ini.” (QS. Al-Kahf: 62)
Barulah pembantunya teringat dan berkata:
“Ingatkah ketika kita berhenti di batu besar? Aku lupa tentang ikan itu, dan setanlah yang membuatku lupa mengingatnya.” (QS. Al-Kahf: 63)
Mereka pun kembali mengikuti jejak mereka hingga menemukan seorang hamba yang berbaring dengan selimut hijau menutupi kaki dan kepalanya. Musa memberi salam, lalu orang itu membuka wajahnya dan bertanya: “Adakah salam di negeri ini? Siapa kamu?”
Musa menjawab: “Aku Musa.”
Khidr bertanya: “Musa Bani Israil?”
Musa menjawab: “Ya.”
(Maka inilah alasan mengapa Ibnu Abbas berkata: “Musuh Allah telah berdusta,” karena Khidr sendiri menegaskan bahwa Musa ini adalah Musa Bani Israil).
Musa berkata: “Aku ingin belajar darimu.”
Khidr menjawab:
“Sungguh, kamu tidak akan mampu bersabar bersamaku.” (QS. Al-Kahf: 67)
Musa menjawab:
“Insya Allah, kamu akan mendapati aku sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.” (QS. Al-Kahf: 69)
Kemudian seekor burung datang dan mencelupkan paruhnya ke laut. Khidr berkata:
“Wahai Musa, perumpamaan ilmu yang aku dan kamu miliki dibanding ilmu Allah, ibarat air yang diambil burung ini dengan paruhnya dari laut.”
Lalu mereka berjalan dan sampai di tepi laut. Sebuah kapal melintas, lalu pemiliknya mengizinkan mereka naik tanpa meminta bayaran. Namun, tiba-tiba Khidr merusak salah satu papan kapal itu.
Musa pun protes:
“Mereka mengangkut kita tanpa meminta upah, tetapi kamu justru melubangi kapal mereka agar penumpangnya tenggelam? Sungguh, kamu telah melakukan perbuatan yang tercela!” (QS. Al-Kahf: 71)
Khidr berkata:
“Bukankah sudah kukatakan bahwa kamu tidak akan bisa bersabar bersamaku?” (QS. Al-Kahf: 72)
Nabi ﷺ bersabda: “Ini adalah bentuk kelupaan dari Musa.”
Ketika mereka turun dari kapal, mereka melihat sekelompok anak kecil bermain. Khidr mengambil salah satu dari mereka—seorang anak yang tampan dan cerdas—kemudian membunuhnya.
Musa berkata:
“Mengapa engkau membunuh jiwa yang tidak berdosa? Sungguh, ini adalah perbuatan keji!” (QS. Al-Kahf: 74)
Khidr menjawab:
“Bukankah sudah kukatakan bahwa kamu tidak akan bisa bersabar bersamaku?” (QS. Al-Kahf: 75)
Nabi ﷺ bersabda: “Kali ini adalah syarat pemisahan.” Karena Musa berkata sebelumnya:
“Jika aku bertanya lagi setelah ini, janganlah kau temani aku lagi. Sungguh, engkau telah memberikan uzur kepadaku.” (QS. Al-Kahf: 76)
Perbedaan antara peringatan pertama dan kedua adalah:

Pada pertama kali, Khidr hanya berkata: “Bukankah sudah kukatakan?”

Namun pada peringatan kedua, ia berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu?” (QS. Al-Kahf: 75)

Seolah-olah ia menoleh langsung kepada Musa untuk menegaskan peringatan itu.
Kemudian mereka masuk ke sebuah desa dan meminta makanan, tetapi penduduknya menolak menjamu mereka. Di sana, Khidr mendapati sebuah dinding yang hampir roboh, lalu ia memperbaikinya.
Musa berkata:
“Jika engkau mau, engkau bisa meminta upah darinya.” (QS. Al-Kahf: 77)
Khidr menjawab:
“Inilah saat perpisahan antara aku dan kamu. Aku akan memberitahumu tafsir dari hal-hal yang tidak bisa kau sabari.” (QS. Al-Kahf: 78)
Nabi ﷺ bersabda:
“Semoga Allah merahmati Musa. Seandainya ia bersabar, tentu kita akan mendapatkan lebih banyak kisah tentang mereka.”

Referensi

قصة موسى والخضر عليهما السلام كما وردت فى صحيح البخاري تأليف على بن سلطان القاري. ص ٦٥- ١٤٤
وفى رواية : فإذا رجل مسجى ثوبا، فسلم عليه موسى ، فقال الخضر : وأني بأرضك السلام ؟ وفى رواية وعليك السلام وأني يكون هذا السلام بهذا الأرض ومن أنت قال موسى بني إسرائيل؟ نعم أتيتك لتعلمني مماعلمت رشدا.قال: إنك لن تستطيع معى صبرا ياموسى إني على علم من علم الله علمنيه ممالاتعلمه، وأنت على علم من علم الله علمك الله لاأعلمه. قال موسى : ستجدني إن شاء الله صابرا ولاأعصى لك أمرا فقال الخضر : فإن اتبعتني فلاتسألني عن شيئ حتى أحدث لك منه ذكرا . فانيليا يمشيان على ساحل البحر فمرت بهما سفينة ، فكلموهم أن يحملوهم، فعرفوا الخضر ، فحملوه (٤) بغير نول (٥) فلما ركبا فى السفينة لم يفجأ إلا والخضر قد قلع لوحا من الألواح السفينة بالقدوم وفى رواية ووتد (١) .فقال له موسى : قوم حملونا (٢) بغير نول عمدت إلى سفينتهم فخرقتها لتغرق أهلها ؟ لقد جئت شيأ إمرا (٣) قال ألم أقل إنك لن تستطيع معي صبرا ؟ قال لاتؤاخذني بمانسيت ولاترهقني من عمري عسرا(٤) قال: قال (٥) رسول الله صلى الله عليه وسلم وكانت (٦) الأولى من موسى نسيانا ، والوسطى شرطا، والثالثة عمدا.قال : وجاء(٧) عصفور فوقع على حرف السفينة ، فنقر فى البحر نقرة فقال له الخضر : ماعلمي وعلمك من (١) علم الله إلامثل مانقص هذا العصفور من هذا البحر. ثم خرجا من السفينة ، فبينما هما يمشيان على الساحل ، إذا أبصر الخضر غلاما يلعب مع الغلمان فأخذ الخضر رأسه بيده فاقتلعه (٢) وفى رواية : فأخذه وأضجعه ثم ذبحه بالسكين (٣) وفى أخرى : قال فأخذه بيده ثم أخذ حجرا فضرب به رأسه حتى أدمغه فقتله(٤) فقال له موسى :أقتلت نفسا زكية (١) بغير نفس ؟ لقد جئت شيأ نكرا (٢)قال ألم أقل لك إنك لن تستطيع معي صبرا ، قال هذا أشد من الأولى ، قال إن سألتك عن شيئ بعدها فلاتصاحبني قد بلغت من اللدني عذرا. فانطلقا حتى أتيا أهل قرية استطعما أهلها فأبوا أن يضيفوهما ،فوجدا جدارا يريد أن ينقض ، قال (٤) مائل ،فأقامه الخضر بيده فأقامه ، قال موسي: قوم أتيناهم فلم يطعمونا ولم يضيفونا، لو شئت عليه أجرا.قال هذا فراق بينى وبينك ………إلى أن قال والمراد بالعلم اللدني علم الباطن إلهاما(١)
_________________________
هذا أحد التعريفات للعلم ( اللدني) الذي ورد فى تفسير النسفى وتفسير البيضاوي، تفسير الآية  ٦٥ من سورة الكهف وقد عرف تعريفات أخرى كثيرة ، فيهاخلافات ومناقشة طويلة  أفردت لهاجانبا خاصا فى كتابي ( الخضر بين الواقع والتهويل .ط ١، ص ٧٥- ٨٣)
وقد يقرب الموضوع مااورده صاحب روح البيان حين قال: اعلم ان كل علم يعلمه الله تعالى عباده ويمكن للعباد أن يتعلموا ذلك من غير الله تعالى فإنه ليس من جملة العلم اللدني ، لأنه يمكن أن يتعلم من لدن غيره .يدل عليه قوله تعالى ( وعلمناه صنعة لبوس) ( الأنبياء:٨٠ ) فإن علم صنعة اللبوس مماعلمه الله داود عليه السلام ، فلايقال : إنه العلم اللدني ، لأنه يحتمل أن يتعلم من غير الله تعالى ، فيكون من لدن ذلك الغير . وايضا إن العلم اللدني مايتعلق بلدن الله تعالى وهو علم معرفة ذاته وصفاته تعالى (روح البيان ج ٢،ص ٤٩٩) والمبهم هنا هو أن العلم الذي أوتيه الخضر عليه السلام علم الرباني مخصوص به ، لم يَفُقْهُ فيه نبي بنى إسرآئيل، وهو أكبر علماء زمانه….(انظر الخضر بين الواقع والتهويل  ط ١، ص٧٨)
فالعلم الدني يسمى أيضا علم الحقيقة ، وعلم المكاشفة، وعلم الموهبة، وعلم الأسرار، والعلم المكنون، وعلم الوراثة (روح المعاني ج ١٦، ص ١٩) ويتعلق الموضوع بعلم الظاهر والباطن، أو الحقيقة والشريعة التي نبه علمائنا إلى عدم التفرق بينهما، فقد زعم بعضهم أن أحكام العلم الباطن وعلم الحقيقة مخالفة لاحكام الظاهر وعلم الشريعة ، وهو – كمايقول الآلوسي- زعم باطل عاطل وخيال فاسد كاسد (روم المعاني ج١٥، ص٣٣٠) وفى إحياء علوم الدين يقول الإمام الغزالي : من قال إن الحقيقة تخالف الشريعة أو الباطن يناقص الظاهر فهو إلى الكفر أقرب منه إلى الإيمان .(ج١، ص١٠٠)
وقد يحتاج بعضهم بقصة موسى والخضر ، ويظنون أن الخضر خرج عن الشريعة فيجوز لغيره من الأولياء مايجوز له من الخروج عن الشريعة .وهم فى هذا ضالين من وجهين: أحدها أن الخضر لم يخرج عن الشريعة ، بل الذي فعله كان جائزا فى شريعة موسى ، ولهذا لما بيّن له الأسباب أقره على ذلك ، ولو لم يكن جائزا لما أقره ، ولكن لم يكن موسى يعلم الأسباب التي بها أبيحت تلك، فظن أن الخضر كالملك الظالم ، فذكر ذلك له الخضر . والثاني أن الخضر لم يكن من أمة موسى ،ولاكان يجب عليه متابعته، بل قال له : إني على علم من علم الله علمنيه الله لاتعلمه، وأنت على علم من علم الله علمكه الله لاأعلمه. وذلك أن دعوة موسى لم تكن عامة، فإن النبي كان يبعث إلى قومه خاصة، ومحمد  صلى الله عليه وسلم  بعث إلى الناس كافة ، بل بعث إلى الإنس والجن باطنا وظاهرا، فليس لأحد أن يخرج عن طاعته ومتابعته، لافى الباطن ولافي الظاهر، لامن الخواص ولا من العوام ( مجموع فتاوى شيخ الإسلام أحمد بن تيمية ج١٣ص٢٦٦-٢٦٧) والله أعلم بالصواب

Kisah Nabi Musa dan Khidir sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari
Karya Ali bin Sultan al-Qari (hlm. 65–144)
Dalam sebuah riwayat: Ketika Musa mendekati seseorang yang berselimut dengan kain, ia memberi salam kepada orang itu. Lalu Khidir berkata, “Dari mana ada salam di negerimu ini?” Dalam riwayat lain, Khidir menjawab, “Wa ‘alaikas-salam. Bagaimana mungkin ada salam di negeri ini?” Musa bertanya, “Apakah engkau Khidir?” Khidir menjawab, “Ya.” Musa berkata, “Aku datang kepadamu untuk belajar ilmu yang telah diajarkan Allah kepadamu.” Khidir menjawab, “Sesungguhnya engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku. Wahai Musa! Aku memiliki ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadaku dan engkau tidak mengetahuinya. Sedangkan engkau memiliki ilmu dari ilmu Allah yang Dia ajarkan kepadamu, tetapi aku tidak mengetahuinya.” Musa berkata, “InsyaAllah engkau akan mendapatiku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentang perintahmu.” Khidir pun berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau bertanya kepadaku tentang sesuatu hingga aku sendiri yang menjelaskannya kepadamu.”
Kemudian keduanya berjalan di tepi pantai, hingga sebuah kapal melewati mereka. Mereka meminta agar diizinkan menumpang, dan para awak kapal mengenali Khidir sehingga mereka memberi tumpangan tanpa bayaran. Namun, ketika mereka sudah di kapal, tiba-tiba Khidir mengambil kapak dan mencabut salah satu papan kapal. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ia mencabutnya dengan pahat.
Musa pun bertanya, “Mereka telah memberi kita tumpangan tanpa bayaran, tetapi engkau malah merusak kapal mereka agar tenggelam? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang mungkar!”
Khidir menjawab, “Bukankah aku telah mengatakan bahwa engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku?”
Musa berkata, “Jangan hukum aku karena kelupaanku, dan jangan bebani aku dengan sesuatu yang sulit.”
Rasulullah ﷺ bersabda, “Kesalahan pertama yang dilakukan oleh Musa adalah karena lupa, yang kedua merupakan syarat, dan yang ketiga adalah dengan sengaja.”
Kemudian seekor burung kecil datang dan hinggap di tepi kapal, lalu mematuk air laut dengan paruhnya. Khidir berkata, “Ilmuku dan ilmumu dibandingkan dengan ilmu Allah hanyalah seperti air yang diambil burung ini dari laut.”
Mereka pun keluar dari kapal dan berjalan di tepi pantai. Kemudian mereka melihat seorang anak kecil sedang bermain dengan anak-anak lainnya. Khidir memegang kepala anak itu, lalu mencabutnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ia merebahkan anak itu dan menyembelihnya dengan pisau. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ia memegang anak itu, lalu mengambil batu dan menghantam kepalanya hingga pecah.
Musa berkata, “Apakah engkau telah membunuh jiwa yang suci tanpa alasan yang benar? Sungguh engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar!”
Khidir menjawab, “Bukankah aku telah mengatakan kepadamu bahwa engkau tidak akan mampu bersabar bersamaku?”
Musa berkata, “Perbuatan ini lebih berat daripada yang pertama. Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu setelah ini, maka janganlah engkau lagi menemaniku. Sungguh engkau telah memberikan uzur bagiku.”
Lalu mereka pun berjalan hingga tiba di suatu desa. Mereka meminta makanan dari penduduknya, tetapi mereka menolak menjamu keduanya. Kemudian mereka menemukan sebuah dinding yang hampir runtuh, lalu Khidir menegakkan dinding itu dengan tangannya. Musa berkata, “Penduduk desa ini tidak mau menjamu kita, seharusnya engkau meminta upah atas pekerjaanmu itu.”
Khidir berkata, “Inilah perpisahan antara aku dan engkau…”

Makna Ilmu Laduni

Ilmu laduni adalah ilmu batin yang diberikan Allah secara ilham. Dalam Tafsir an-Nasafi dan Tafsir al-Baidawi, terdapat berbagai definisi ilmu laduni yang telah dibahas dalam buku Al-Khidir: Antara Realita dan Mitos (edisi 1, hlm. 75–83).
Pendekatan mengenai ilmu ini disebutkan dalam kitab Ruh al-Bayan, yang menyatakan bahwa semua ilmu yang Allah ajarkan kepada hamba-Nya dan bisa dipelajari tanpa wahyu, bukan termasuk ilmu laduni. Contohnya adalah ilmu yang Allah ajarkan kepada Nabi Dawud tentang membuat baju besi sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an:
“Dan Kami ajarkan kepadanya cara membuat baju besi…” (QS. Al-Anbiya: 80)
Ilmu laduni adalah ilmu khusus yang diberikan Allah kepada hamba pilihan-Nya dan tidak bisa dipelajari dari manusia. Dalam tafsir Ruh al-Ma’ani, ilmu laduni juga disebut sebagai ilmu hakikat, ilmu mukasyafah, ilmu wahbi, ilmu asrar, ilmu maknun, dan ilmu warisan (jilid 16, hlm. 19).
Namun, para ulama menegaskan bahwa tidak ada perbedaan antara ilmu syariat dan ilmu hakikat. Dalam Ihya’ Ulum ad-Din, Imam al-Ghazali berkata:
“Barang siapa mengatakan bahwa hakikat bertentangan dengan syariat, atau bahwa ilmu batin berlawanan dengan ilmu zahir, maka dia lebih dekat kepada kekufuran daripada keimanan.” (jilid 1, hlm. 100)
Sebagian orang keliru dalam memahami kisah Musa dan Khidir. Mereka mengira bahwa Khidir bertindak di luar syariat, sehingga mereka menganggap bahwa wali-wali Allah juga boleh melakukan hal serupa. Ini adalah pemahaman yang salah dari dua sisi:

Khidir tidak bertindak di luar syariat. Perbuatannya tetap dalam batas yang dibolehkan dalam syariat Nabi Musa. Oleh karena itu, setelah Khidir menjelaskan sebab di balik tindakannya, Musa menerimanya. Jika perbuatan Khidir bertentangan dengan syariat, tentu Musa akan menolaknya.

Khidir tidak termasuk umat Nabi Musa. Ia memiliki ilmu khusus dari Allah yang tidak dimiliki Musa. Ketika itu, setiap nabi hanya diutus untuk kaumnya masing-masing. Adapun Nabi Muhammad ﷺ diutus untuk seluruh manusia dan jin, baik secara lahir maupun batin. Oleh karena itu, tidak seorang pun boleh keluar dari syariatnya, baik secara lahir maupun batin, baik orang awam maupun wali-wali Allah.

Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa (jilid 13, hlm. 266–267):
“Tidak ada seorang pun yang boleh keluar dari ketaatan dan mengikuti Nabi Muhammad ﷺ, baik secara lahir maupun batin, baik orang khusus maupun orang awam.”
Wallahu A’lam.

Kategori
Hikmah

Surga dan Neraka: Kekal atau Fana?

Surga dan Neraka: Kekal ( Abadi) atau Fana?

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Dalam surat Al-Qashash ayat 88

كل شيئ هالك إلاوجهه

disebutkan bahwa segala sesuatu akan rusak kecuali Dzat Allah.

Pertanyaannya, apakah surga dan neraka termasuk yang akan rusak

Waalaikumsalam

Jawaban
“Yang dimaksud dengan ‘rusak’ dalam ayat di atas adalah segala sesuatu selain Dzat Allah yang dapat mengalami kerusakan (jâ’iz), sedangkan Dzat Allah tidak dapat mengalami kerusakan.
Ada delapan hal yang dikecualikan dari ayat tersebut, yaitu tidak akan rusak karena tidak dikehendaki rusak oleh Allah. Di antaranya adalah surga dan neraka.
Referensi:
(Hasyiah al-‘Allamah al-Shawkani ‘ala Tafsir al-Jalalain, 3/229-230)

(قَوْلُهُ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ) أي وكل ما سوى الله تعالى قابل للهلاك وجائز عليه، لأن وجوده ليس ذاتيًا عليه إلى أن قال قيل المراد بالهلاك الإنعدام بالفعل، ويستثنى منه ثمانية أشياء نظهرها السيوطي: ثمانية حكم البقاء يعمها هو العرش والكرسي ونار وجنة من الخلق والباقون في حيز العدم وعجب وأرواح كذلك اللوح والقلم.”

“Dalam kitab Hasyiah al-‘Allamah al-Shawkani pada Tafsir al-Jalalain, jilid 3 halaman 229-230, disebutkan:
(Dan firman Allah Dan setiap sesuatu hancur/rusak ‘Kecuali wajah-Nya’) artinya, dan semua selain Allah SWT dapat mengalami kehancuran dan kerusakan, karena keberadaan mereka tidak bersifat kekal pada diri-Nya. Sampai kemudian disebutkan, yang dimaksud dengan ‘kehancuran’ di sini adalah ketiadaan secara mutlak. Dan dari hal ini, al-Suyuthi menyebutkan delapan hal yang dikecualikan dari kehancuran, yaitu delapan hal yang tetap ada selamanya, yaitu Arsy, Kursi, neraka dan surga yang diciptakan, serta segala sesuatu yang berada di alam ketiadaan, keajaiban, ruh, dan juga Lauh Mahfuz serta Qalam.”
Penjelasan Singkat:
Ayat yang disebutkan dalam teks ini mengisyaratkan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini bersifat fana atau tidak kekal, kecuali Allah SWT. Namun, ada beberapa hal yang dikecualikan dari sifat kefanaan ini, seperti Arsy, Kursi, surga, neraka, dan beberapa hal lainnya.
Penjelasan Lebih Detail:
✅ Hasyiah al-‘Allamah al-Shawkani: Merupakan kitab komentar atau catatan kaki terhadap kitab Tafsir al-Jalalain. Kitab ini ditulis oleh al-‘Allamah al-Shawkani untuk menjelaskan lebih detail beberapa poin yang terdapat dalam Tafsir al-Jalalain.
✅Tafsir al-Jalalain: Adalah kitab tafsir Al-Qur’an yang terkenal dan sering digunakan sebagai rujukan dalam pembelajaran tafsir.
✅Wajah-Nya: Merujuk kepada Allah SWT.
✅ Kehancuran: Maksudnya adalah ketiadaan secara mutlak atau berakhirnya keberadaan sesuatu.
✅Delapan hal yang dikecualikan: Yaitu Arsy, Kursi, neraka, surga, alam ketiadaan, keajaiban, ruh, Lauh Mahfuz, dan Qalam. Hal-hal ini dianggap kekal dan tidak akan pernah mengalami kehancuran.
Kesimpulan:
Ayat yang dijelaskan dalam teks ini menegaskan kekekalan Allah SWT dan kefanaan segala sesuatu selain-Nya. Namun, terdapat beberapa pengecualian yang dianggap kekal karena kehendak Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hikmah

Ghibah Lebih Berat dari Zina: Sebuah Kajian Tentang Dosa Sosial dan Individual

 

Latar Belakang Masalah:

Fenomena ghibah (menggunjing) menjadi salah satu kebiasaan buruk yang sering kali dianggap remeh dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal, dalam ajaran Islam, ghibah adalah dosa besar yang memiliki dampak buruk tidak hanya pada pelaku, tetapi juga pada orang lain dan masyarakat secara keseluruhan. Bahkan, terdapat ungkapan dalam hadits yang menyatakan bahwa “Ghibah lebih berat dosanya dibanding zina”.

Pertanyaan
Kenapa Ghibah lebih besar dosanya daripada zina? Mohon penjelasannya

Waalaikum salam.
Jawaban

Ungkapan “الغيبة أشد من الزنا” (ghibah lebih besar dosanya dari zina) berasal dari beberapa riwayat yang menunjukkan betapa seriusnya dosa ghibah (menggunjing). Salah satu hadits yang mendukung hal ini adalah:

 “الغيبة أشد من الزنا، قالوا: وكيف؟ قال: إن الرجل يزني فيتوب فيتوب الله عليه، وإن صاحب الغيبة لا يغفر له حتى يغفر له صاحبه”

(Ghibah itu lebih berat daripada zina. Para sahabat bertanya: Bagaimana bisa? Beliau menjawab: Sesungguhnya seorang yang berzina, ia bisa bertaubat dan Allah akan mengampuninya. Adapun pelaku ghibah, ia tidak akan diampuni hingga orang yang digunjingnya memaafkannya).
(HR. Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, no. 10003, meskipun sebagian ulama berbeda pendapat mengenai kekuatan sanadnya).

Penjelasan:

1. Ghibah (menggunjing) adalah berbicara tentang keburukan seseorang yang tidak hadir, meskipun keburukan itu benar adanya. Rasulullah ﷺ bersabda:

“الغيبة ذكرك أخاك بما يكره”

(Ghibah adalah engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia benci) (HR. Muslim, no. 2589).

Ghibah merusak hubungan sosial, menyebarkan kebencian, dan sulit untuk diperbaiki karena pelaku ghibah harus meminta maaf kepada orang yang ia gunjing.

2. Dosa zina meskipun besar, dampaknya cenderung lebih individual dan masih ada jalan untuk bertaubat langsung kepada Allah. Dalam banyak riwayat, Allah membuka pintu ampunan bagi pelaku zina jika ia benar-benar bertaubat.

3. Mengapa ghibah lebih berat?

Pelaku ghibah tidak hanya berdosa kepada Allah, tetapi juga kepada manusia. Taubatnya membutuhkan permintaan maaf kepada pihak yang dirugikan.

Ghibah merusak nama baik seseorang, yang dampaknya bisa meluas di masyarakat.

(كتاب غاية الوصول :صحيفة ١٠٠ )

أما الغيبة وهي ذكرك لإنسان بما تكرهه وإن كان فيه فصغيرة قاله صاحب العدة، وأقرّه الرافعي ومن تبعه لعموم البلوى بها. نعم قال القرطبي في تفسيره إنها كبيرة بلا خلاف، ويشملها تعريف الأكثر الكبيرة بما توعد عليه بخصوصه قال تعالى {أيحب أحدكم أن يأكل لحم أخيه ميتا} قال الزركشي وقد ظفرت بنص الشافعي في ذلك، فالقول بأنها صغيرة ضعيف أو باطل. قلت ليس كذلك لإمكان الجمع بحمل النص، وما ذكر على ما إذا أصر على الغيبة أو قرنت بما يصيرها كبيرة أو اغتاب عدلاً وقد أخرجتها بزيادتي غالبا.

Adapun ghibah (menggunjing), yaitu menyebutkan sesuatu tentang seseorang yang ia tidak sukai, meskipun hal tersebut memang ada padanya, adalah dosa kecil. Hal ini dikatakan oleh penulis kitab *Al-‘Uddah*, dan disepakati oleh Imam Ar-Rafi’i serta para pengikutnya karena banyaknya kejadian yang terjadi (umum al-balwa). Namun, Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan bahwa ghibah adalah dosa besar tanpa ada perbedaan pendapat. Hal ini mencakup definisi dosa besar menurut mayoritas ulama, yaitu sesuatu yang secara khusus diancam oleh syariat.
Allah Ta’ala berfirman:
“Apakah salah seorang di antara kalian suka memakan daging saudaranya yang telah mati?”

Imam Az-Zarkasyi berkata: “Saya menemukan nash dari Imam Asy-Syafi’i tentang hal ini, maka pendapat bahwa ghibah adalah dosa kecil adalah oendapat yang lemah atau batil.”

Saya (penulis) berkata: “Tidak demikian, karena memungkinkan untuk mengompromikan pendapat tersebut dengan membawa nash dan apa yang disebutkan pada kasus di mana seseorang terus-menerus melakukan ghibah, atau disertai hal-hal yang menjadikannya dosa besar, atau menggunjing (berghibah) kepada seseorang yang adil. Dalam hal ini, saya biasanya menjelaskan lebih rinci dengan tambahan-tambahan saya.”

(Kitab Ghooyatul Wushul, halaman 100)

Kesimpulan:

Meskipun kedua dosa ini besar, konteks “lebih beratnya” ghibah dalam hadits ini adalah karena sifatnya melibatkan hak sesama manusia (haqul adami). Dengan demikian, dosa ini memerlukan maaf dari pihak yang digunjing agar bisa diampuni. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga lisan dan kehormatan orang lain.