Kategori
Uncategorized

SIGHAT MENGANGKAT WALI MUHAKKAM

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh

Latar Belakang


Dalam tradisi Islam, akad nikah adalah salah satu rukun pernikahan yang wajib dilaksanakan agar pernikahan sah secara syariat. Salah satu rukun yang sangat penting adalah adanya wali bagi mempelai wanita, yang berperan memberikan izin dan mewakili mempelai wanita dalam proses akad. Namun, terkadang wali nasab tidak dapat hadir atau melaksanakan tugasnya karena alasan tertentu, seperti ketidakhadiran, ketidaksanggupan, atau konflik keluarga.

Syariat Islam memberikan solusi dalam situasi tersebut melalui konsep wali muhakkam atau wali tahkim, yaitu wali yang diangkat berdasarkan kesepakatan atau penunjukan, khususnya dalam keadaan darurat atau ketidakmampuan wali nasab. Namun, dalam praktiknya, sering terjadi kebingungan di kalangan masyarakat mengenai tata cara pengangkatan wali muhakkam. Terutama, pertanyaan terkait bagaimana format atau shighat penunjukan wali muhakkam agar sah sesuai dengan ketentuan syariat sering kali muncul.

Pertanyaan ini penting untuk dijawab agar masyarakat memiliki pemahaman yang jelas tentang mekanisme penunjukan wali muhakkam, sehingga tidak terjadi keraguan terhadap keabsahan akad nikah yang dilakukan dengan wali tersebut.

Rumusan Pertanyaan
Bagaimana shighat atau tata cara penunjukan wali muhakkam sesuai dengan ketentuan syariat Islam?

Waalaikum salam

Jawaban:
Jika orang perempuan tidak mempunyai Wali nasab yaitu wali yang berhubungan tali darah dari pihak ayah perempuan yang akan nikah. Orang-orang yang termasuk ke dalam wali nasab juga dibagi menjadi dua, di antaranya sebagai berikut:

– Wali aqrab, yaitu:

Ayah kandung

Ayah dari ayah kandung (kakek)

Atau si perempuan tidak mempunyai Wali ab’ad

– Wali ab’ad, yaitu:

Saudara laki-laki kandung

Saudara laki-laki seayah

Anak saudara laki-laki kandung

Anak saudara laki-laki seayah

Paman kandung

Paman seayah

Anak paman kandung

Anak paman seayah

Maka orang tersebut wajib wali hakim

Wali Hakim

Wali hakim berlaku ketika semua urutan di atas sudah tidak bisa dipenuhi lagi karena sebab-sebab tertentu misal ghaib atau berada ditempat yang jauh atau walinya ada namun adlal ( walinya tidak mau menikahkan anaknya ) maka dalam hal ini pindah ke Wali hakim. Wali hakim adalah orang yang menjadi wali sebagai hakim atau penguasa yang diangkat oleh Negara yang telah ditauliyahkan sebagai wali hakim yaitu Kepala KUA.

Adapun sighat Ijab wali hakim adalah.

يامحمود إبن أحمد أنكحتك وزوجتك محطوبتك المحبوبة فاطمة بنت المرحوم فوزان مَوْلِيَتِيْ حاكما بمهر أدوات الصلاة حالا

Wahai Mahmud putra Ahmad Saya nikahkan kamu dan saya kawinkan kamu dengan tunaganmu yang kamu cintai ( Fatimah ) putri Fauzan yang mewalikan saya Hakim dengan maskawin seperangkat alat shalat.

Qabul

قبلت نكاحها وتزويجها بالمهر المذكور حالا

Saya terima nikahnya Fatimah dan Kawinnya Fatimah dengan maskawin yang telah disebutkan dengan dibayar kontan

Adapun jika wali hakim tidak ada, atau ada namun masih meminta bayaran uang , maka boleh kedua CANTIN mengangkat Wali Muhakkam atau Wali Tahkim.

Wali Muhakkam

Secara etemologi (bahasa), wali muhakkam merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua kata, yaitu wali dan muhakkam. Dalam Lisan al-Arab (juz 15, hal. 405), kata wali satu akar dengan kata wilayah yang menurut Ibnu Atsir berarti mengatur dan menguasai.
Menurut Sibawaih, wilayah juga berarti memerintah (imarah) dan mempersatukan (niqabah). Sedangkan menurut Ibnu as-Sakiit, kata wilayah berarti kekuasaan. Kata wali juga seakar dengan kata walayah, yang menurut Ibnu as-Sakiit berarti menolong (nushrah).
Kata muhakkam merupakan kata benda pasif (isim maf’ul) yang berasal dari kata hakkama-yuhakkimu-tahkiman, yang berarti mengangkat seseorang menjadi hakim dan menyerahkan persoalan hukum kepadanya. Kata muhakkam berarti seseorang yang diangkat sebagai hakim. (Al-Mau’su’at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 10, hal. 233).
Dalam hal pernikahan, wali muhakkam adalah orang biasa, bukan pejabat hakim resmi, yang ditunjuk oleh seorang perempuan untuk menjadi wali dan menikahkan dirinya dengan seorang lelaki yang telah melamarnya. (Al-Hawi al-Kabir, juz 16, hal. 648).
Pada prinsipnya, diperbolehkan menunjuk seseorang sebagai hakim (tahkim) guna menengahi dua orang atau lebih yang bertikai. Al-Qur’an sendiri menyuruh kita mendamaikan jika terjadi pertikaian di antara sesama mukmin (QS. al-Hujurat: 9-10). Al-Qur’an juga menganjurkan mengangkat penengah (hakam) dari kedua belah pihak, suami dan istri yang sedang bertikai (QS. an-Nisa: 35).

Regulasi Perkawinan

Dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sama sekali tidak dibahas secara detail tentang siapa dan bagaimana wali nikah. Namun, yang dibahas adalah masalah perwalian dalam konteks pengasuhan anak. Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), dibahas tentang wali pernikahan.
Menurut Pasal 20 ayat 2 KHI, hanya dikenal dua jenis wali pernikahan, yaitu wali nasab dan wali hakim. Sementara, menurut Pasal 1 poin b, wali hakim jelas adalah petugas resmi yang memang ditunjuk oleh Menteri Agama atau orang yang ditunjuk olehnya.
Begitu pula berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim, dalam Pasal 1 poin b, disebutkan bahwa wali hakim adalah adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 pasal 18 ayat 4, lebih spesifik disebutkan bahwa Kepala KUA kecamatan adalah wali hakim apabila calon istri tidak mempunyai wali nasab, wali nasabnya tidak memenuhi syarat, berhalangan atau adhal.
Pembahasan tentang wali muhakkam hanya terdapat dalam buku Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (1997: 30). Sekilas dijelaskan bahwa wali muhakkam ialah seorang yang diangkat oleh kedua calon suami istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah. Apabila pernikahan yang harus dilaksanakan dengan wali hakim, padahal tidak ada wali hakimnya, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakkam.

Jadi Yang dimaksud wali muhakam adalah orang yang diangkat oleh kedua calon mempelai untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal di tempat itu tidak ada wali hakim, atau ada namun masih meminta bayaran, maka pernikahan dilangsungkan dengan cara kedua calon suami Istri mengangkat wali muhakam. Akan tetapi jika masih ada Wali aqrob maupun Wali Ab’ad atau wali Hakim maka tidak boleh mengangkat wali Muhakkam. Alasannya ialah karena didalam Kewalian nikah ada urutannya, atau masih ada Wali hakim tapi dia minta/ mengabil bayaran untuk menikahkan kepada yang bersangkutan maka dalam hal ini boleh kedua mempelai/ Calon pengantin mengangkat Wali Muhakkam dengan Syarat Wali muhakkam yang diangkatnya adalah orang yang merdeka serta adil , sedangkan adil yang dimaksudkan adalah meletakkan sesuatu sesuai tempatnya dan Alim terhadap hukum agama.

Adapun bentuk shighat ( Ijab ) manakala seorang calon pengantin perempuan tidak ada wali nikah sama sekali maka keduanya (CALON PENGANTIN laki-laki dan perempuan) mengangkat Wali Muhakkam, dengan mengatakan :

حكمناك لتعقد لنا النكاح ورضينا بحكمك

(Kami mengangkat kamu sebagai muhakkam untuk meng akad nikah kepada kami , dan kami ridho terhadap keputusanmu).

قبلتكما لأعقد النكاح

Adapun shighat Ijabnya sebagaimana berikut:

Jawaban:

يامحمود إبن أحمد أنكحتك وزوجتك محطوبتك المحبوبة فاطمة بنت المرحوم فوزان موليتي محكما بمهر أدوات الصلاة حالا

Wahai Mahmud putra Ahmad Saya nikahkan kamu dan saya kawinkan kamu dengan tunaganmu yang kamu cintai ( Fatimah ) putri al-marhum Fauzan yang mewalikan saya sebagai wali Muhakkam dengan maskawin seperangkat alat shalat.

Qabul .

قبلت نكاحها وتزويجها بالمهر المذكور حالا

Saya terima nikahnya Fatimah dan Kawinnya Fatimah dengan maskawin yang telah disebutkan dengan dibayar kontan.

atau memakai shighat seperti berikut:

يامحمود إبن أحمد أنكحتك وزوجتك محطوبتك المحبوبة فاطمة بنت المرحوم فوزان بتحكيمك إليّ بمهر أدوات الصلاة حالا

Wahai Mahmud putra Ahmad Saya nikahkan kamu dan saya kawinkan kamu dengan tunaganmu yang kamu cintai (Fatimah ) putri al-marhum Fauzan dengan mengangkat wali muhakkam kamu kepada saya dengan maskawin seperangkat alat shalat.

Referensi :

(تنوير القلوب, ٣١٤ ).

فَإِنْ فُقِدَ الحَاكِمُ أَوْ كَانَ بِأَخْذِ دَرَاهِمَ لَهَا وَقَعَ بِالنِّسْبَةِ لَحَالِ الزَّوْجَيْنِ جَازَ وَلِيَّهُمَا اَنْ يُحَكِّمَا حُرًّا عَدْلاً لِيَعْقِدَلَهُمَا إهـ

 Artinya :” Maka apabila di tempat tersebut tidak ada Qadi ( wali hakim, Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan ) yang sah kekuasaannya, atau ada wali hakim , akan tetapi masih meminta uang kepadanya, maka hukumnya boleh keduanya mengangkat orang yang merdeka serta adil untuk mengakad menjadi wali muhakkam .                                      

Referensi

الباجورى على ابن قاسم .الجزء الثانى .ص. ١٠٦


( قوله ثم الحاكم )

عاما كان أو خاصا كالقاضى والمتولى لعقود الأنكحة أو لهذا العقد بخصوصه فإن فقد الحاكم أو كان يأخذ الدراهيم لها وقع جار للزوجين أن يحكما حرا عدلا ليعقد لهما وإن لم يكن مجتهدا ولو مع وجود المجتهد على ماهو ظاهر إطلاقهم بخلافه مع وجود الحاكم ولو حاكم ضرورة ولم يأخذ الدراهم المذكورة فإنه لايجوز أن يحكما إلا مجتهدا وصيغة التحكيم أن يقولا حكمناك لتعقد لنا النكاح ورضينا بحكمك

التحكيم والتولية
(مسألة: ب ش):

الحال في مسألة التحكيم أن تحكيم المجتهد في غير نحو عقوبة لله تعالى جائز مطلقاً، أي ولو مع وجود القاضي المجتهد، كتحكيم الفقيه غير المجتهد مع فقد القاضي المجتهد، وتحكيم العدل مع قد القاضي أصلاً أو طلبه مالاً وإن قل، لا مع وجوده ولو غير أهل بمسافة العدوى، وكذا فوقها إن شملت ولايته بلد المرأة، بناء على وجوب إحضار الخصم من ذلك الذي رجح الإمام الغزالي والمنهاج وأصله عدمه، ولا بد من لفظ من المحكمين كالزوجين في التحكيم كقول كل: حكمتك لتعقد لي أو في تزويجي، أو أذنت لك فيه، أو زوجني من فلانة أو فلان، وكذا وكلتك على الأصح في نظيره من الإذن للولي، بل يكفي سكوت البكر بعد قوله لها: حكميني أو حكمت فلاناً في تزويجك، ويشترط رضا الخصمين بالمحكم إلى صاحب الحكم لا فقد الولي الخاص، بل يجوز مع غيبته على المعتمد كما اختاره الأذرعي، ولا كون المحكم من أهل بلد المرأة، فلو حكمت امرأة باليمن رجلاً بمكة فزوّجها هناك من خاطبها صح وإن لم تنتقل إليه، نعم هو أولى لأن ولايته عليها ليست مقيدة بمحل، وبه فارق القاضي فإنه لا يزوج إلا من محل ولايته فقط، بل لو قالت: حكَّمتك تزوجني من فلان بمحل كذا لم يتعين إلا إن قالت: ولا تزوِّج في غيره
:(مسألة: ي)

غاب وليها مرحلتين ولم يكن ثم قاض صحيح الولاية بأن يكون عدلاً فقيهاً، أو ولاه ذو شوكة مع علمه بحاله بمسافة القصر حكَّمت هي والزوج عدلاً يقول كل منهما: حكمتك تزوجني من فلانة أو فلان، ولا بد من قبول المحكم على المعتمد ثم تأذن له في تزويجها، ويجوز تحكيم الفقيه العدل ولو مع وجود القاضي كغير الفقيه مع عدمه بمحل المرأة ولو مع وجود فقيه
بغية المسترشدين ص ٢٠٧ – ٢٠٨

Referensi:

____________________

الفتوى الشرعية.ص ١٨٣
عقد الزواج اذا ستوفى أركانه وشروطه تحل به المعاشرة بين الزوجين ، وليس من شرائطه الشرعية اثباته كتابة فى وثيقة رسمية ولاغير رسمية، وإنما التوثيق لدى المأذون أو الموظف المختص نظام اجابته اللواح والقوانين الخاصة بالمحاكم الشرعية خشية الجحود وحفظا للحقوق وحذرت من مخالفته لما له من النتائج الخطيرة عند الجحود. والله أعلم بالصواب

Penjelasan tentang Hakim dalam Akad Nikah
(Al-Bajuri, Jilid 2, hlm. 106)

(Kalimat: “Kemudian hakim”)
Hakim dapat berupa hakim umum atau khusus, seperti qadhi (hakim pengadilan), petugas yang bertugas melangsungkan akad nikah secara umum, atau secara khusus untuk akad tertentu.

Apabila hakim tidak ada, atau ada tetapi meminta bayaran untuk melangsungkan akad, maka dibolehkan bagi kedua mempelai untuk menunjuk seorang laki-laki merdeka yang adil untuk menjadi wakil mereka dalam akad nikah, meskipun wali tersebut bukan seorang mujtahid. Hal ini tetap berlaku meskipun terdapat mujtahid di tempat tersebut, sebagaimana yang tampak dalam pernyataan umum para ulama. Namun, berbeda halnya apabila hakim ada, meskipun hanya hakim darurat yang tidak meminta bayaran, maka tidak diperbolehkan menunjuk wali kecuali ia seorang mujtahid.

Adapun bentuk pelimpahan (tahkim) dari kedua mempelai adalah dengan mengucapkan:
“Kami menunjukmu untuk melangsungkan akad nikah bagi kami, dan kami meridhai keputusanmu.”

Tahkim dan Pelimpahan Wewenang
(Masalah, Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 207–208)

Dalam kasus tahkim (penunjukan wali), menunjuk seorang mujtahid untuk menangani masalah selain hudud (hukuman syariat Allah) adalah diperbolehkan secara mutlak, meskipun ada qadhi yang juga mujtahid. Hal ini juga berlaku untuk menunjuk seorang ahli fiqih non-mujtahid ketika qadhi mujtahid tidak ada, atau menunjuk seseorang yang adil ketika qadhi tidak ada sama sekali atau meminta bayaran, meskipun sedikit.

Namun, pelimpahan tersebut tidak berlaku jika qadhi hadir, meskipun ia tidak memenuhi syarat, dalam jarak yang memungkinkan pengaduan sampai kepadanya. Demikian pula jika jaraknya jauh tetapi masih dalam wilayah yang berada di bawah kewenangan qadhi tersebut. Sebab, menurut Imam al-Ghazali dalam al-Minhaj, menghadirkan pihak yang bersengketa ke hadapan qadhi adalah wajib apabila memungkinkan.

Pelimpahan ini harus disampaikan dengan lafaz yang jelas oleh kedua belah pihak (mempelai), seperti:
“Kami menunjukmu untuk menikahkan saya,”
atau “Kami izinkan kamu untuk menikahkan saya,” atau lafaz serupa. Bahkan cukup dengan diamnya seorang perempuan perawan setelah ia diberitahu:
“Kami menunjukmu.”

Dalam tahkim, yang menjadi syarat adalah kerelaan kedua belah pihak atas penunjukan tersebut. Pelimpahan ini tidak harus dilakukan karena ketiadaan wali khusus, tetapi boleh juga dilakukan jika wali tersebut tidak hadir. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dipilih oleh Imam al-Adzra’i.

Selain itu, wakil tidak harus berasal dari tempat perempuan tersebut. Misalnya, seorang perempuan yang berada di Yaman dapat menunjuk seseorang di Makkah untuk menikahkannya di sana. Jika wakil menikahkan perempuan tersebut dengan calon suami di tempat lain, akad tetap sah meskipun perempuan tersebut tidak berpindah ke lokasi tersebut. Namun, lebih baik jika perempuan tersebut hadir langsung untuk mempermudah pelaksanaan akad.

Berbeda dengan hakim, kewenangan seorang hakim hanya berlaku di wilayah tempat ia ditugaskan. Misalnya, jika perempuan berkata, “Kami menunjukmu untuk menikahkanku di tempat tertentu,” maka pelaksanaan akad hanya boleh dilakukan di tempat tersebut, kecuali perempuan memberikan izin untuk dilaksanakan di tempat lain.

(Masalah dari Bughyah al-Mustarsyidin)
Apabila wali perempuan berada pada jarak dua marhalah (kurang lebih 88 km), dan tidak ada qadhi yang memiliki kewenangan sah (adil dan ahli fiqih), atau qadhi tersebut diangkat oleh pihak berkuasa dengan mengetahui kondisi qadhi tersebut, maka perempuan dan calon suaminya boleh menunjuk wali yang adil.

Dalam hal ini, masing-masing pihak harus mengatakan:
“Kami menunjukmu untuk menikahkanku dengan fulan atau fulanah.” Penunjukan ini harus diterima oleh wali tersebut. Setelah itu, wali diberi izin untuk melangsungkan akad nikah.

Menunjuk seorang ahli fiqih yang adil juga diperbolehkan, meskipun ada qadhi di tempat tersebut. Hal ini berlaku di tempat keberadaan perempuan, meskipun di sana ada ahli fiqih lainnya.

Hukum Pencatatan Akad Nikah
(Al-Fatawa al-Syar’iyyah, hlm. 183)

Akad nikah yang telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya secara syar’i menjadikan hubungan suami istri halal. Pencatatan akad nikah dalam dokumen resmi atau tidak resmi bukan merupakan syarat sahnya akad nikah secara syar’i.

Namun, pelaksanaan pencatatan pada pejabat resmi, seperti penghulu atau petugas yang ditunjuk, adalah bagian dari aturan administratif yang diatur oleh peraturan dan undang-undang peradilan syariat. Aturan ini bertujuan untuk menghindari pengingkaran (gugatan) atas akad tersebut dan menjaga hak-hak pihak yang terlibat. Pelanggaran terhadap aturan ini dapat menimbulkan akibat yang serius, terutama jika terjadi pengingkaran.

Kesimpulan
Pencatatan akad nikah secara resmi bukanlah syarat sah nikah, tetapi hukumnya menjadi penting untuk mencegah perselisihan di kemudian hari dan melindungi hak-hak kedua belah pihak.

Wallahu A’lam Bisshawab.

Kategori
Uncategorized

TUKAR MENUKAR SEBIDANG TANAH

Deskripsi masalah.

Didairah Giliraja Gilingting ada saudara seayah seibu bernama Ahmad dan Muhammad keduanya sudah hidup mandiri namun kedua rumah saudara kakak beradik tersebut rumahnya berjauhan, Mereka berdua sama-sama punya bagian sebidang tanah, Tanah milik Si Ahmad berdekatan dengan rumah Si Muhammad dan sebaliknya ( Tanah milik Si Muhammd berdekatan dengan rumah Si Ahmad, maka kedua saudara tersebut bermusyawarah untuk tukar menukar lahan Tanah yang mereka miliki dan keduanya sudah sepakat, namun setelah jadi selang beberapa hari ( satu bulan ) Si Ahmad menggagalkan pertukaran tersebut.

Pertanyaan.

Bagaimana hukumnya tukar menukar sebidang tanah tersebut setelah sepakat dengan dasar musyawarah menurut hukum Islam..?

Jawaban:
Si Ahmad menukar hak milik tanahnya dengan Si Muhammad tersebut menurut agama Islam hukumnya adalah boleh.Seperti emas ditukar dengan emas.

Referensi:


إعانة الطالبين ٣/١٢
.وشرط في بيع ربوي وهو محصور في شيئين__وذهب بذهب حلول للعوضين وتقابض قبل تفرق ولو تقابضا البعض صح فيه فقط ومماثلة بين العوضين يقينا بكيل في مكيل و وزن في موزون

.
Setelah sekitar 1 bulan kemudian si Ahmad menggagalkan penukaran tanah tersebut, yang awalnya tanah tersebut diakad ditukar, berubah akad ditempati saja tapi tanah tetap punya saya (tidak jadi ditukar).
1. Bagaimana hukumnya Ahmad menggagalkannya? Sedangkan Si Muhammad kekeh dengan akad yang pertama yaitu ditukar (menjadi miliknya).

Jawaban:
Di dalam kitab fikih, ada yang disebut dengan khiyaarul majlis. Jika Ahmad menukar tanahnya dengan tanahnya Muhammad, maka sebelum Ahmad berpisah dengan Muhammad , jika didalam tanahnya Muhammad itu ada cela (aib) nya, maka diperbolehkan bagi Ahmad untuk menggagalkan penukaran tanah miliknya dengan tanahnya milik Muhammad.

Jadi jika Ahmad menukar tanah hak miliknya dengan tanahnya milik Muhammad ternyata dikemudian hari tanahnya Muhammad itu ada cela(aib)nya, sedangkan keduanya berpiah .Dan setelah satu bulan lalu Ahmad menggagalkannya , maka hal itu hukumya tidak boleh.

Referensi:

(الموسوعة الفقهية)
خيار القبول مع اتحاد المجلس:
10 – يثبت خيار القبول للمتعاقدين عند الحنفية ما داما جالسين ولم يتم القبول، ولكل منهما حق الرجوع ما لم يقبل الآخر (3) .
ولا يخالفهم الحنابلة في ذلك؛ لأن خيار المجلس عندهم يكون في ابتداء العقد وبعده واحدا، فخيار القبول مندرج تحت خيار المجلس (4) .
ولا خيار للقبول عند المالكية والشافعية، غير أنه يجوز الرجوع عند الشافعية ولو بعد القبول ما دام ذلك في المجلس، ولا يجوز الرجوع عند المالكية ولو قبل الارتباط بينهما إلا في حالة واحدة، وهي أن يكون الإيجاب أو القبول بصيغة المضارع ثم يدعي القابل أو الموجب أنه ما أراد البيع فيحلف ويصدق (5) .
(1) البحر الرائق 5 / 284، والحطاب 4 / 240، 241، والمغني مع الشرح 4 / 4
(2) شرح الروض 2 / 5، والشرواني على التحفة 4 / 223
(3) البحر الرائق 5 / 284
(4) مطالب أولي النهى 3 / 85
(5) البجيرمي على الخطيب 3 / 26، 27 ط الحلبي، والخرشي 5 / 7 ط دار صادر
……………………………………………………….

المجموع ج: 9 ص: 364

الشروط خمسة أضرب أحدها: ما هو من مقتضى العقد بأن باعه بشرط خيار المجلس أو تسليم المبيع أو الرد بالعيب أو الرجوع بالعهدة أو انتفاع المشتري كيف شاء وشبه ذلك فهذا لا يفسد العقد بلا خلاف لما ذكره المصنف ويكون شرطه توكيداً وبياناً لمقتضاه . الضرب الثاني: أن يشترط ما لا يقتضيه إطلاق العقد لكن فيه مصلحة للعاقد كخيار الثلاث والأجل والرهن والضمين والشهادة ونحوها، وكشرط كون العبد المبيع خياطاً أو كاتباً ونحوه فلا يبطل العقد أيضاً بلا خلاف بل يصح ويثبت المشروط الضرب الثالث: أن يشترط ما لا يتعلق به غرض يورث تنازعاً كشرط ألا يأكل إلا الهريسة، أو لا يلبس إلا الخز أو الكتان، قال إمام الحرمين وكذا لو شرط الإشهاد بالثمن وعين شهوداً وقلنا لا يتعينون فهذا الشرط لا يفسد العقد، بل يلغو ويصح البيع، هذا هو المذهب، وبه قطع إمام الحرمين والغزالي ومن تابعهما، وقال المتولي لو شرط التزام ما ليس بلازم بأن باع بشرط أن يصلي النوافل، أو رمضان أو يصلي الفرائض في أول أوقاتها بطل البيع لأنه ألزم، ما ليس بلازم، قال الرافعي مقتضى هذا فساد العقد في مسألة الهريسة ونحوها، والله سبحانه وتعالى أعلم الضرب الرابع: أن يبيعه عبداً أو أمة بشرط
أن يعتقه المشتري ففيه ثلاثة أقوال الصحيح المشهور الذي نص عليه الشافعي في معظم كتبه وقطع به المصنف وأكثر الأصحاب، أن البيع صحيح طاعة لازم يلزم الوفاء به ولثاني يصح البيع ويبطل الشرط، فلا يلزمه عتقه والثالث يبطل الشرط والبيع جميعـاً همام من الشروط، والمذهب صحتهما
…………


2. Apakah si Muhammad harus mengembalikannya atau harus mengikuti si Ahmad dengan cara menggagalkan pertukaran tanah tersebut..?

Jawaban:
Si Ahmad dan Si Muhammad karena keduanya sudah berpisah, maka Si Muhammd itu tidak harus mengembalikan tanahnya kepada Si Ahmad.

Referensi:


إعانة الطالبين ٣/١٢
.وشرط في بيع ربوي وهو محصور في شيئين__وذهب بذهب حلول للعوضين وتقابض قبل تفرق ولو تقابضا البعض صح فيه فقط ومماثلة بين العوضين يقينا بكيل في مكيل و وزن في موزون.
…………………….

.
Ahmad mengizinkan kepada Muhammad untuk menempati terhadap tanahnya ( Ahmad ).Maka dalam hukum Islam akad ini disebut akad ‘aariyah
(عارية)
(akad meminjamkan, akad meminjam).
Jadi akad tukar menukar tanah diantara Ahmad dan Muhammad itu tidak boleh diubah menjadi akad (‘aariyah/akad meminjamkan tanah).
…………………

Kategori
Uncategorized

Q.0010.HUKUM MENJUAL DAN MENGGANTI HEWAN QURBAN NADZAR MENURUT MADZHAB IMAM YANG EMPAT

Assalamu Alaikum

Deskripsi masalah.

Ahmad memiliki seekor sapi yang sedang hamil, namun kondisinya tidak sehat atau sakit. Dalam situasi tersebut, Ahmad bernadzar dengan mengucapkan, “Jika sapi saya ini sembuh, maka sapi ini akan saya kurbankan.” Beberapa hari kemudian, sapinya benar-benar sembuh dan bahkan melahirkan seekor anak. Namun, ketika Ahmad mengingat nadzarnya, ia merasa ragu untuk menyembelih sapi tersebut karena khawatir anak sapi yang baru lahir, yang usianya belum mencapai satu bulan, akan terancam keselamatannya.

Untuk mengatasi keraguan tersebut, Ahmad berpikir untuk menjual sapi induk yang telah dinadzarkan itu, lalu menggantinya dengan sapi lain yang lebih sehat dan berkualitas untuk memenuhi nazarnya. Langkah ini diambil Ahmad dengan tujuan memastikan kelangsungan hidup anak sapi tersebut sekaligus melaksanakan nazarnya.

Pertanyaannya.
Bolehkah qurban yang sudah dinadzarkan /takyin ( ditentukan) diganti sapi lain dengan tujuan karena merasa eman dan takut membahayakan terhadap anaknya

Waalaikum salam.
Jawaban .

Ulama fiqih berbeda pendapat terkait masalah hukum menjual dan mengganti hewan yang sudah dinadzarkan.

Menurut Malikiyah : Tidak boleh ( Haram) menjual dan mengganti barang yang dinadzarkan yang sudah ditakyin seperti halnya qurban, kecuali tidak ditentukan maka boleh namun makruh

Menurut Imam Syafi’ie : Hukumnya haram menjual dan mengganti hewan qurban nadzar atau hewan qurban yang telah ditentukan jenis maupun dzatnya.

Menurut Hanabilah : Boleh mengganti hewan kurban Nadzar dengan hewan lain yang lebih bagus.
Menurut Hanafiyah: Hukumnya makruh tahrim menjual dan mengganti hewan qurban yang telah dinadzarkan atau ditakyin.

الموسوعة الفقهية – ٢٨١٤/٣١٩٤٩

وقال المالكية: يحرم بيع الأضحية المعينة بالنذر وإبدالها، وأما التي لم تتعين بالنذر فيكره أن يستبدل بها ما هو مثلها أو أقل منها.
فإذا اختلطت مع غيرها واشتبهت وكان بعض المختلط أفضل من بعض كره له ترك الأفضل بغير قرعة. (٢)
وقال الشافعية: لا يجوز بيع الأضحية الواجبة ولا إبدالها ولو بخير منها، وإلى هذا ذهب أبو ثور واختاره أبو الخطاب من الحنابلة.
ولكن المنصوص عن أحمد – وهو الراجح عند الحنابلة – أنه يجوز أن يبدل الأضحية التي أوجبها بخير منها، وبه قال عطاء ومجاهد وعكرمة (٣) .
٤٧ – (الأمر الثالث) : – من الأمور التي تكره تحريما عند الحنفية قبل التضحية – بيع ما ولد للشاة المتعينة بالنذر أو بالشراء بالنية، وإنما كره بيعه، لأن أمه تعينت للأضحية، والولد يتبع الأم في الصفات الشرعية كالرق والحرية، فكان يجب الإبقاء عليه حتى يذبح معها. فإذا باعه وجب عليه التصدق بثمنه.
وقال القدوري: يجب ذبح الولد، ولو تصدق به حيا جاز، لأن الحق لم يسر إليه ولكنه متعلق به،

 “Menurut mazhab Maliki: Diharamkan menjual hewan kurban yang telah ditentukan melalui nazar dan menggantinya. Adapun hewan kurban yang belum ditentukan melalui nazar, maka makruh menggantinya dengan yang setara atau yang kurang darinya. Jika hewan tersebut bercampur dengan hewan lain sehingga tidak dapat dibedakan, dan sebagian hewan yang bercampur tersebut lebih baik dari yang lainnya, maka makruh meninggalkan yang lebih baik tanpa undian.

 Menurut mazhab Syafi’i: Tidak diperbolehkan menjual hewan kurban yang wajib ataupun menggantinya, meskipun dengan yang lebih baik. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Tsaur dan dipilih oleh Abu al-Khattab dari kalangan Hanbali.

 Namun, pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad—dan merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Hanbali—adalah bahwa diperbolehkan mengganti hewan kurban yang telah diwajibkan dengan yang lebih baik. Pendapat ini juga dipegang oleh ‘Atha, Mujahid, dan ‘Ikrimah.

Hal ketiga: Di antara perkara yang makruh tahrim (makruh mendekati haram) menurut mazhab Hanafi sebelum penyembelihan kurban adalah menjual anak hewan dari induk yang telah ditentukan untuk nazar atau yang dibeli dengan niat sebagai kurban. Penjualan anak hewan tersebut dimakruhkan karena induknya telah ditentukan sebagai kurban, dan anaknya mengikuti status induknya dalam hal sifat-sifat syar’i, seperti perbudakan atau kemerdekaan. Oleh karena itu, anak hewan tersebut harus dipertahankan hingga disembelih bersamanya. Jika anak tersebut dijual, maka wajib menyedekahkan harga jualnya.

 Menurut al-Quduri, wajib menyembelih anak hewan tersebut, tetapi jika anak tersebut disedekahkan dalam keadaan hidup, hal itu dibolehkan, karena hak nazar tidak sepenuhnya melekat pada anak tersebut, meskipun hak itu terkait dengannya.”

Referensi:

(الموسوعة الفقهية)

وصرح الشافعية بأن من نذر معينة، وبها عيب مخل بالإجزاء صح نذره، ووجب عليه ذبحها في الوقت، وفاء بما التزمه، ولا يجب عليه بدلها. ومن نذر أضحية في ذمته، ثم عين شاة بها عيب مخل بالإجزاء لم يصح تعيينه إلا إذا كان قد نذرها معيبة، كأن قال: علي أن أضحي بشاة عرجاء بينة العرج. وقال الحنابلة مثل ما قال الشافعية، إلا أنهم أجازوا إبدال المعينة بخير منها، لأن هذا أنفع للفقراء. ودليل وجوب الأضحية بالنذر: أن التضحية قربة لله تعالى من جنسها واجب كهدي التمتع، فتلزم بالنذر كسائر القرب، والوجوب بسبب النذر يستوي فيه الفقير والغني

(Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah)

 Mazhab Syafi’i menjelaskan bahwa seseorang yang bernazar untuk menyembelih hewan tertentu, tetapi hewan tersebut memiliki cacat yang menghalangi keabsahan penyembelihan, nazarnya tetap sah. Ia tetap wajib menyembelih hewan tersebut pada waktunya sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban yang telah ia tetapkan. Namun, ia tidak diwajibkan untuk menggantinya.

 Jika seseorang bernazar untuk menyembelih hewan kurban secara umum (di dalam tanggungan), lalu ia menentukan seekor hewan tertentu yang memiliki cacat yang menghalangi keabsahan penyembelihan, maka penentuan hewan tersebut tidak sah, kecuali jika ia memang bernazar untuk menyembelih hewan yang cacat, seperti dengan mengatakan: “Saya bernazar untuk berkurban dengan seekor kambing yang pincang secara jelas.”

Mazhab Hanbali memiliki pendapat yang serupa dengan mazhab Syafi’i, tetapi mereka membolehkan mengganti hewan yang telah ditentukan dengan hewan yang lebih baik, karena hal ini lebih bermanfaat bagi para fakir miskin.

Dalil wajibnya kurban karena nazar adalah bahwa berkurban merupakan bentuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan ibadah semacam ini ada yang bersifat wajib, seperti hady tamattu‘, sehingga berkurban menjadi wajib jika dinazarkan, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Kewajiban karena nazar ini berlaku baik bagi orang miskin maupun orang kaya.

Referensi:


الياقوت النفيسة ص ٨٢٤

والأضحية كما ذكرنا سنة وتجب بالنذر ويجب التصدق بلحم المنذورة كلها لأنها خرجت بالنذر من ملكه إلى ملك الفقراء


Jika dalam perkataan pemilik hewan, dia bermaksud untuk memberi kabar (ikhbar, insyak), maka hukum hewannya tetap menjadi qurban sunnah, ini berarti hewannya boleh dijual maupun diganti yang lain. Namun jika dalam perkataannya pemilik bermaksud untuk kurban wajib (nadzar, iqror), maka hukum kurbannya juga menjadi wajib, hewan tersebut tidak boleh dijual maupun diganti dengan hewan lain, bila mati maka wajib mengganti.


المجموع شرح المهذب ج ٨ ص ٢٦٩
ـ ( الشرح ) قال أصحابنا : إذا لزم ذمته أضحية بالنذر أو هدي بالنذر أو دم تمتع أو قران ، أو لبس أو غير ذلك مما يوجب شاة في ذمته . فقال : لله علي أن أذبح هذه الشاة عما في ذمتي لزمه ذبحها بعينها لما ذكره المصنف ، ويزول ملكه عنها فلا يجوز له بيعها ولا إبدالها ، هذا هو المذهب ، وبه قطع المصنف والجمهور

 “Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab,” jilid 8, halaman 269:

 (Penjelasan) Para ulama mazhab kami (Syafi’iyyah) berkata: Jika dalam tanggungannya terdapat kewajiban menyembelih hewan kurban karena nazar, atau menyembelih hadyu karena nazar, atau menyembelih dam sebagai akibat pelanggaran ibadah seperti tamattu’, qiran, memakai pakaian (saat ihram), atau perkara lain yang mewajibkan menyembelih seekor kambing dalam tanggungannya, kemudian ia berkata, “Karena Allah, aku bernazar untuk menyembelih kambing ini atas apa yang menjadi tanggunganku,” maka ia wajib menyembelih kambing itu secara spesifik sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Muzani.

Dengan ucapan tersebut, kepemilikannya atas kambing tersebut hilang, sehingga ia tidak diperbolehkan menjualnya atau menggantinya dengan kambing lain. Inilah pendapat yang menjadi mazhab, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam al-Muzani dan mayoritas ulama.

Berikut adalah dalil hadits tentang larangan mengganti dan menjual hewan yang sudah dinadzakan adalah hadits Nabi Muhammad SAW . riwayat Imam Albaihaqi dari Sayidina Umar, dia berkata;


اتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت يارسول الله اني اوجبت على نفسي بدنة وقد طلبت مني بأكثر من ثمنها فقال انحرها ولا تبعها ولوطلبت بمئة بعير


“Saya mendatangi Rasulullah Saw., lalu saya berkata; ‘Wahai Rasulullah, saya mewajibkan kepada diriku untuk berkurban dengan unta namun unta tersebut mau dibeli dengan harga yang lebih mahal. Kemudian Rasulullah Saw. menjawab; ‘Sembelihlah dan jangan dijual meskipun mau diganti dengan seratus ekor unta.

Selanjudnya Orang yang bernadzar ( Ahmad ) tidak diperbolehkan ( haram) makan daging hewan yang telah ditakyin tersebut.

Referensi: Al-Bajuri Ala Ibuni Qosim.Halaman: 300-301


قوله ولايؤكل ) أى لايجوز له الأكل فإن أكلها شيأ غرمه وقوله المضحى وكذا من تلزمه نفقته وقوله من الأضحية المنذورة أى معينة عما فى الذمة أو حكما كما لوا قال هذه أضحية فهذه واجبة بالجعل لكنها فى حكم المنذورة كما مر فاندفع إعتراض المحشي بقوله لو قال الواجبة لكان أولى والهدى المنذور ودم الجبران كالأضحية المنذورة فلايجوز الأكل من ذلك كذلك العقيقة المنذورة والطبخة المنذورة والتخلص من ذلك أن يضحي بأخرى أو يهدى أخرى أو يطبخ طبخة أخرى زائدة على واجبة فيجوز له الأكل منها لأنها زائدة على الواجبة وله مع الكراهة كما قاله الماوردي شرب اللبن الفاضل عن ولد الأضحية ولو واجبة وله سقيه غيره بلاعوض وله أكل ولدهابعدذبحه وجوبا فى وقت الأضحية إن كان ولد الأضحية الواجبة على المعتمد لأنه من فوائدها كاللبن خلافاللشيخ الإسلام فى قوله بأنه لايجوز له أكله كما لايجوز له الأكل من أمه ويمكن حمله على ماإذا ماتت أمه فيجر لم عليه الأكل منه لقيامه مقامها حينئذ وليس فى ذلك تضحية بحامل فإن الحمل قبل انفصاله لايسمى ولدا فصورة المسألة أنه إنفصل منها قبل التضحية بها على أنه لو نذر التضحية بها وكانت حاملا أو جعلها أضحية كذلك أو طرأ حملها بعد ذلك فيهما لم يضر فإن جاء وقت الأضحية وهى حامل ذبحها أضحية وإن جعلها بعد انفصاله ذبحها وذبح ولدها جوبا ويجوز له أكله بخلاف مالوعين معافى الذمة حاملا فإنه لا يصح وما لو عين حائلا فحملت بعد ذلك ثم جاء وقت التضحية فلايذبحها وهى حامل وله جزء صوفها وبركاته وشعرها أن ضرها بقاؤه للضرورة وإلا فلايجزه إن كانت واجبة لانتفاع المساكين به عند الذبح… إلخ

“Ucapannya ( Mushonnif) ‘dan tidak dimakan’ berarti tidak boleh baginya ( orang yang bernadzar) memakan dagingnya. Jika ia memakan sesuatu darinya, maka ia harus menggantinya. Ucapannya ‘orang yang berkurban’ juga berlaku bagi orang yang nafkahnya menjadi tanggung jawabnya. Ucapannya ‘dari hewan kurban yang dinazarkan’ maksudnya adalah hewan kurban yang telah ditentukan secara spesifik, baik untuk memenuhi kewajiban di tanggungannya atau secara hukum, seperti jika seseorang mengatakan, ‘Hewan ini adalah kurbanku.’ Maka hewan itu menjadi wajib dengan pernyataan tersebut, meskipun hanya dalam status hukum sebagai nazar, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Hal ini menolak keberatan penulis hasyiyah yang mengatakan bahwa jika menggunakan istilah ‘wajib’ akan lebih tepat.

 Hewan sembelihan nazar, dam jabr (tebusan pelanggaran ibadah), memiliki hukum yang sama dengan hewan kurban nazar, sehingga tidak diperbolehkan memakan dagingnya. Begitu pula aqiqah yang dinazarkan dan masakan yang dinazarkan. Untuk menyelesaikan hal ini, seseorang dapat menyembelih hewan lain sebagai tambahan dari yang wajib, atau memasak masakan lain di luar yang dinazarkan. Maka, ia boleh memakan dari tambahan itu karena tidak termasuk dalam yang wajib.

 Ia juga boleh, meskipun makruh sebagaimana dikatakan oleh Imam Mawardi, meminum susu yang berlebih dari kebutuhan anak hewan kurban meskipun hewan itu wajib. Ia juga boleh memberikan susu itu kepada orang lain tanpa imbalan. Ia boleh memakan anak hewan itu setelah disembelih secara wajib pada waktu kurban jika anak itu lahir dari hewan kurban wajib, menurut pendapat yang kuat. Sebab, anak hewan itu dianggap sebagai bagian dari manfaatnya, seperti halnya susu. Pendapat ini berbeda dengan Syaikhul Islam yang mengatakan bahwa ia tidak boleh memakan anaknya sebagaimana tidak boleh memakan induknya. Pendapat ini bisa diterima jika induknya mati, sehingga anaknya menggantikan posisi induknya pada saat itu.

Tidak ada dalam syariat menyembelih hewan yang sedang hamil karena janinnya, karena janin sebelum lahir tidak dianggap sebagai anak. Kasusnya adalah jika janinnya lahir sebelum induknya disembelih. Jika seseorang bernazar menyembelih hewan yang sedang hamil, menjadikannya kurban, atau hewan itu hamil setelah ditentukan untuk kurban, maka hal itu tidak menjadi masalah. Jika tiba waktu kurban sementara induknya hamil, maka hewan itu tetap disembelih sebagai kurban. Namun, jika janinnya lahir sebelum induknya disembelih, maka ia harus menyembelih induknya dan anaknya secara wajib, dan ia boleh memakan anaknya.

 Hal ini berbeda dengan jika seseorang menentukan hewan yang masih di kandungan sebagai kurban; maka hal itu tidak sah. Begitu pula jika seseorang menentukan hewan yang tidak sedang hamil, lalu ia menjadi hamil, dan tiba waktu kurban, maka hewan itu tidak disembelih ketika sedang hamil. Ia boleh memanfaatkan bulunya, susunya, dan rambutnya jika keberadaannya tidak membahayakan hewan tersebut untuk keperluan darurat. Jika tidak darurat, maka tidak boleh memanfaatkannya karena hak fakir miskin atas manfaat hewan itu saat disembelih.”

Penjelasan singkat 
HEWAN QURBAN yang telah dinadzarkan dan sudah ditentukan tidak boleh dijual atau diganti walaupun dalam kondisinya Ahmad merasa eman terhadap anak sapi tersebut, karena bagaimanapun juga anaknya sapi itu wajib disembelih sebagaimana induknya ,karena anak sapi tersebut ikut pada induknya, sedangkan Ahmad sudah terlepas dari hak kepemilikan hewan tersebut disebabkan adanya ucapan nadzarnya.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Kategori
Uncategorized

MEWAKILKAN WALI NIKAH SATU MINGGU SEBELUM PELAKSANAAN

Assalamu alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Deskripsi masalah.

Sebagaimana yang kita maklumi dimasyarakat ketika pelaksanaan akad nikah Wali nikah mewakilkan haknya ( wali nikah ) kepada orang lain ditempat pelaksanaan, namun demikian saya punya kakak dia mau menikahkan anak perempuannya bernama Maimunah dengan seorang laki-laki bernama Farhan, karena kakak saya mengharap barokah dari salah satu gurunya yang bernama Kiyai Ahmad , lalu kakak saya mewakilkan Wali nikah satu minggu sebelum peksanaan akad nikah anaknya kepada gurunya tersebut.

Pertanyaannya

  1. Apakah taukil wali itu ada batas waktu nya, atau terbatas hanya dalam waktu akad saja.
  2. Apakah boleh seorang wali mewakilkan akad nikah anaknya ( mewakilkan wali nikah ) kepada ulama’ , satu minggu sebelum aqad nikah .
  • Wassalamu alaikum wr wb.

Waalaikum salam
Jawaban. No.1

Taukil wali nikah itu ada batas waktu yaitu mulai berlaku sejak pelaksanaan urusan yang diwakilkan dan berakhir setelah selesai apa yang telah dikerjakan.

Jawaban .No.2

Menurut pendapat mayoritas ulama’ fiqìh boleh dan sah mewakilkan sesuatu pada zaman mustaqbal atau waktu yang akan datang sebagaimana deskripsi wali nikah mewakilkan satu minggu sebelum pelaksanaan akad nikah, namun demikian wakil tersebut berlaku sejak waktu pelaksanaan urusan yang diwakilkan dan berakhir waktu menjadi wakil setelah selesai apa yang telah dikerjakan. Dengan kata lain wakil tidak boleh melaksanakan hal sesuatu yang diwakilkan sebelum waktu yang ditentukan dan juga tidak boleh melakukan diluar waktu yang ditentukan, melainkan wakil harus melaksanakan tugasnya sesuai waktu yang telah diizinkan oleh muwakkil , karena wakil ada batas waktunya.

Wallahu A’lam bisshowab.

الموسوعة الفقهية – ٥٨٦/٣١٩٤٩


أضاف عقد الوكالة إلى زمن مستقبل، وقد صرح جمهور الفقهاء بصحة ذلك (١) .
ومثال الثاني: ما جاء في السلم، من إضافة العين المسلم فيها إلى زمن معلوم لقوله صلى الله عليه وسلم: من أسلف في شيء فليسلف في كيل معلوم أو وزن معلوم إلى أجل معلوم(٢)

وَمِثَال الثَّالِثِ: مَا إِذَا بَاعَ بِثَمَنٍ مُؤَجَّلٍ فَإِنَّهُ يَصِحُّ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ} . (٣))

*التَّوْقِيتِ* :
– وَهِيَ الْمُدَّةُ الْمُسْتَقْبَلَةُ الَّتِي يَسْتَمِرُّ فِيهَا تَنْفِيذُ الاِلْتِزَامِ حَتَّى انْقِضَائِهَا، وَذَلِكَ كَمَا فِي الْعُقُودِ الْمُؤَقَّتَةِ، كَمَا فِي الإِْجَارَةِ، فَإِنَّهَا لاَ تَصِحُّ إِلاَّ عَلَى مُدَّةٍ مَعْلُومَةٍ، أَوْ عَلَى عَمَلٍ مُعَيَّنٍ يَتِمُّ فِي زَمَنٍ، وَبِانْتِهَائِهَا يَنْتَهِي عَقْدُ الإِْجَارَةِ (4) وَمُدَّةُ عَقْدِ الإِْجَارَةِ تُعْتَبَرُ أَجَلاً. مِصْدَاقَ ذَلِكَ قَوْله تَعَالَى {قَال إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِينَ قَال ذَلِكَ بَيْنِي وَبَيْنَكَ أَيُّمَا الأَْجَلَيْنِ قَضَيْتُ فَلاَ عُدْوَانَ عَلَيَّ وَاللَّهُ عَلَى مَا نَقُول وَكِيلٌ} كَمَا أَنَّ اللُّغَةَ الْعَرَبِيَّةَ تَجْعَل ” التَّأْجِيل تَحْدِيدَ الْوَقْتِ ” ” وَالتَّوْقِيتَ تَحْدِيدَ الأَْوْقَاتِ، يُقَال: وَقَّتَهُ لِيَوْمِ كَذَا تَوْقِيتًا مِثْل أَجَّل “. (١)

الموسوعة الفقهية – ١٤٥٦٦/٣١٩٤٩

زيادة الوكيل عما حدده له الموكل:
– الوكيل لا يملك من التصرف إلا ما يقتضيه إذن موكله من جهة النطق أو جهة العرف؛ لأن تصرفه بالإذن فاختص بما أذن فيه، وهو مأمور بالاحتياط والغبطة، فلو وكله في التصرف في زمن مقيد لم يملك التصرف قبله ولا بعده؛ لأنه لم يتناوله إذنه مطلقا، ولا عرفا؛ لأنه قد يؤثر التصرف في زمن الحاجة إليه دون غيره (١) .
وتفصيل ذلك يذكره الفقهاء في الوكالة.

Referensi:


(مغني المحتاج)
(وَيُشْتَرَطُ) فِي الصِّيغَةِ (مِنْ الْمُوَكِّلِ لَفْظٌ) وَلَوْ كِنَايَةٌ (يَقْتَضِ رِضَاهُ) وَفِي مَعْنَاهَا مَا مَرَّ فِي الضَّمَانِ (كَوَكَّلْتُكَ فِي كَذَا أَوْ فَوَّضْته إلَيْك أَوْ أَنْتَ وَكِيلِي فِيهِ) أَوْ أَقَمْتُك مَقَامِي، أَوْ أَنَبْتُك، كَمَا يُشْتَرَطُ الْإِيجَابُ فِي سَائِرِ الْعُقُودِ؛ لِأَنَّ الشَّخْصَ مَمْنُوعٌ مِنْ التَّصَرُّفِ فِي مَالِ غَيْرِهِ إلَّا بِرِضَاهُ (فَلَوْ قَالَ: بِعْ أَوْ أَعْتِقْ حَصَلَ الْإِذْنُ) ؛ لِأَنَّهُ أَبْلَغُ مِمَّا سَبَقَ، وَإِنْ كَانَ كَمَا قَالَ الرَّافِعِيُّ لَا يُسَمَّى إيجَابًا وَإِنَّمَا هُوَ قَائِمٌ مَقَامَهُ، وَإِلَيْهِ يُشِيرُ قَوْلُ الْمُصَنِّفِ: حَصَلَ الْإِذْنُ (وَلَا يُشْتَرَطُ الْقَبُولُ) مِنْ الْوَكِيلِ (لَفْظًا) ؛ لِأَنَّ التَّوْكِيلَ إبَاحَةٌ وَرَفْعُ حَجْرٍ فَأَشْبَهَ إبَاحَةَ الطَّعَامِ، وَعَلَى هَذَا لَا يُشْتَرَطُ فِي صِحَّةِ الْوَكَالَةِ عِلْمُ الْوَكِيلِ بِهَا، فَلَوْ تَصَرَّفَ قَبْلِ عِلْمِهِ فَكَبَيْعِ مَالِ مُوَرِّثِهِ ظَانًّا حَيَاتَهُ فَبَانَ مَيِّتًا (وَقِيلَ يُشْتَرَطُ) فِيهِ كَغَيْرِهِ (وَقِيلَ يُشْتَرَطُ فِي صِيَغِ الْعُقُودِ كَوَكَّلْتُكَ، دُونَ صِيَغِ الْأَمْرِ كَبِعْ وَأَعْتِقْ) إلْحَاقًا لِصِيَغِ الْعَقْدِ بِالْعُقُودِ وَالْأَمْرِ بِالْإِبَاحَةِ.
تَنْبِيهٌ قَدْ يُشْتَرَطُ عَلَى الْأَوَّلِ الْقَبُولُ لَفْظًا فِيمَا لَوْ كَانَ لِإِنْسَانٍ عَيْنٌ مُعَارَةٌ أَوْ مُسْتَأْجَرَةٌ أَوْ مَغْصُوبَةٌ فَوَهَبَهَا لِآخَرَ فَقَبِلَهَا، وَأَذِنَ لَهُ فِي قَبْضِهَا، ثُمَّ إنَّ الْمَوْهُوبَ لَهُ وَكَّلَ فِي قَبْضِهَا الْمُسْتَعِيرَ أَوْ الْمُسْتَأْجِرَ أَوْ الْغَاصِبَ اُشْتُرِطَ قَبُولُهُ لَفْظًا، وَلَا يَكْفِي الْفِعْلُ، وَهُوَ الْإِمْسَاكُ؛ لِأَنَّهُ اسْتِدَامَةٌ لِمَا سَبَقَ، فَلَا دَلَالَةَ فِيهِ عَلَى الرِّضَا بِقَبْضِهِ عَنْ الْغَيْرِ، وَاحْتَرَزَ بِقَوْلِهِ لَفْظًا عَنْ الْقَبُولِ مَعْنًى فَإِنَّهُ إنْ كَانَ بِمَعْنَى الرِّضَا فَلَا يُشْتَرَطُ أَيْضًا عَلَى الصَّحِيحِ لِأَنَّهُ لَوْ أَكْرَهَهُ عَلَى بَيْعِ مَالِهِ، أَوْ طَلَاقِ زَوْجَتِهِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ صَحَّ كَمَا قَالَهُ الرَّافِعِيُّ فِي الطَّلَاقِ، أَوْ بِمَعْنَى عَدَمِ الرَّدِّ فَيُشْتَرَطُ جَزْمًا، فَلَوْ قَالَ: لَا أَقْبَلُ أَوْ لَا أَفْعَلُ بَطَلَتْ، فَإِنْ نَدِمَ بَعْدَ ذَلِكَ جُدِّدَتْ لَهُ، وَمَرَّ أَنَّ الْمَفْهُومَ إذَا كَانَ فِيهِ تَفْصِيلٌ لَا يُرَدُّ، وَتَكْفِي الْكِتَابَةُ وَالرِّسَالَةُ فِي الْوَكَالَةِ.

Kategori
Uncategorized

LOMBA BALAPAN BURUNG MERPATI

HUKUM LOMBA BALAPAN BURUNG MERPATI DI GILIGENTING

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarakatuh.

Saya Mahfudh dari Giligenting, sebelumnya mohon maaf kepada para Kiyai dan para Asatidz saya mau bertanya .

Deskripsi Masalah
Pada masa setahun terakhir ini sangat marak dan berkembang kegiatan lomba balapan burung merpati di masyarakat khususnya di Giligenting. Tidak sedikit warga masyarakat berlomba-lomba untuk memelihara dan membeli burung merpati tersebut dengan harga yang sangat mahal dan fantastik demi untuk mengikuti lomba tersebut. Konon seekor burung merpati ada yang mencapai harga 15 juta sampai dengan 25 juta. Bagaimana tidak tertarik, hadiah yang ditawarkan oleh panitia pada setiap kegiatan lomba juga sangat menggiurkan. Sehingga peserta lomba balapan burung tidak hanya berasal dari masyarakat Giligenting saja tapi juga dari orang luar Giligenting.
Adapun teknis pelaksanaan lomba balapan burung merpati, infomasi yang disampaikan warga sebagai berikut: Setiap peserta yang mendaftar menyerahkan uang 100 ribu (sekedar contoh) sebagai uang pendaftaran. Hasil uang pendaftatan tersebut sebagai sumber hadiah untuk para pemenang lomba balapan burung, bisa berupa uang atau barang tergantung kesepakatan antara peserta dan panitia. Kriteria penilaian lomba balapan burung berdasarkan kecepatan burung terbang mencapai garis finish yang ditentukan.
Ada pula model lain dalam istilah mereka “LEK-LEKAN” di mana para peserta lomba mendaftar dengan bentuk barang sebagai hadiahnya seperti Kulkas, beras, binatang ternak dan sebagainya. Dengan demikian kegiatan lomba tersebut di satu sisi sangat menguntungkan bagi para pemenang/juara, dan sangat merugikan bagi para peserta lainnya.
Berdasarkan deskripsi masalah di atas, ada beberapa masalah yang bisa dirumuskan:
Apa hukumnya kegiatan balapan burung merpati menurut hukum Islam?
Apa hukumnya model/bentuk lomba balapan burung merpati menurut hukum Islam sebagaimana deskripsi masalah di atas?
Apakah model/bentuk praktik lomba balapan burung merpati tersebut termasuk kategori maisir (perjudian) atau bukan?

Wa’alaikumsalam.

Jawaban dari tiga pertanyaan kami satukan.
Adapun lomba sebagaimana deskripsi adalah kegiatan lomba balapan burung merpati hukumnya haram, karena adanya unsur penyiksaan dan termasuk bagian dari judi yang diharamkan ,dimana pada satu sisi menguntungkan sedangkan disisi lain merugikan.
Adapun lomba yang diperbolehkan adalah lomba yang tidak ada unsur penyiksaan dan tidak ada uang taruhan dan tidak dipungut biaya pendaftaran (‘iwadh) namum hukum kebolehannya makruh.

(فرع)

اتخاذ الحمام للبيض أو الفرخ أو الانس أو حمل الكتب أي على أجنحتها مباح ويكره اللعب به بالتطيير والمسابقة ولا ترد به الشهادة روض مع شرح

“Memelihara merpati untuk diambil telurnya atau anaknya atau untuk kesenangan saja atau sebagai kurir pembawa surat hukumnya mubah, dan dimakruhkan bermain-main dengannya dengan menerbang-nerbangkannya atau dengan diadu, dan tidak tertolak karenanya persaksian”. [ Asnaa al-Mathaalib IV/344 ].

فلا يجوز المسابقة علي غيرها كبقر وطير وكلاب ونحوها بعوض فتحرم مع العوض وتجوز بغير عوض

“Maka tidak diperkenankan mengadu hewan pada selainnya seperti sapi, burung, anjing dan sejenisnya, bila dengan uang aduan maka haram, bila tanpa uang aduan maka boleh”. [ Al-Baajuuri II/307 ].

Berikut Larangan mengadu hewan ini tampak pada hadits riwayat HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Sahabat Ibnu Abbas RA. Imam Bukhari dalam Kitab Adabul Mufrad juga meriwayatkan hadits serupa

. عن ابن عباس قال نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ التَّحْرِيشِ بَيْنَ الْبَهَائِم

Artinya, “Dari sahabat Ibnu Abbas, ia berkata, Rasulullah SAW melarang  (kita) mengadu binatang,” (HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Lalu bagaimana hukum mengadu hewan-hewan itu? Dari keterangan hadits tersebut, ulama Mazhab Syafi’i menyatakan keharaman tindakan mengadu domba hewan-hewan apa pun jenisnya karena tindakan tersebut diduga keras dapat menyakiti hewan aduan.

. قَالَ الْحَلِيمِيُّ وَيَحْرُمُ التَّحْرِيشُ بَيْنَ الْكِلَابِ وَالدُّيُوكِ لِمَا فِيهِ مِنْ إيلَامِ الْحَيَوَانِ بِلَا فَائِدَةٍ وَقَالَ ابْنُ سُرَاقَةَ فِي أَدَبِ الشُّهُودِ وَيَحْرُمُ تَرْقِيصُ الْقُرُودِ لِأَنَّ فِيهِ تَعْذِيبًا لَهُمْ وَفِي مَعْنَاهُ الْهِرَاشُ بَيْنَ الدِّيكَيْنِ وَالنِّطَاحُ بَيْنَ الْكَبْشَيْنِ

Artinya, “Al-Halimi mengatakan bahwa hukum mengadu anjing dan (menyabung) ayam haram karena menyakiti hewan tanpa manfaat. Ibnu Suraqah dalam Kitab Adabus Syuhud menyatakan, hukum memaksa kera menari haram karena di dalamnya mengandung unsur penyiksaan. Serupa dengan pengertian ‘memaksa menari’ adalah menyabung dua ekor ayam dan mengadu dua ekor kambing,” (Lihat Ibnul Muqri, Raudhatut Thalib, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz XXII, halaman 415).

Referensi unsur penyiksaan bisa dilihat juga dalam Syarah sullamuttaufiq

مرقاد صعود التصديق فى شرح سلم التوفيق. فى فصل معاصى اليدين

( والمثلة)

بضم الميم وسكون الثاء أو بفتح الميم وضم الثاء أى التعذيب بالحيوان كقطع أذنه .لما روى عن علي كرم الله وجهه أنه قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إياكم والمثلة ولو بالكلب العقار.

وفى الصحيحين أنه صلى الله عليه وسلم قال عذبت إمرأة فى هرة حبستها حتى ماتت فدخلت فيها النار فلاهى أطعمتها وقتها لاهي تركتها تأكل من حشاس الأرض والحشاش الحشرات

Wallaahu A’lamu Bis Showaab.

Kategori
Uncategorized

SHOLAT JUM’AT DIGANTI DENGAN SHOLAT DZUHUR

Assalamualaikum wr wb

Deskripsi masalah .

Sudah lumrah disebagian masyarakat Jawa timur khususnya didaerah madura bekerja jualan sembako di Jakarta , Banten ada juga sebagian disurabaya dll menjaga Toko milik orang lain sedangkan yang menjaga dua orang secara Bergiliran maklum karena tokonya tidak tutup hal itu hawatir jika tidak dijaga kehilangan sehingga jika bertepatan pada hari jum’at harus giliran ( melaksanakan shalat jum’at).

Studi kasus yang serupa

Seorang petugas parkir ketika hari jum’at dia tidak bisa melakukan shalat jum’at dikarenakan menjaga kendaraan jamah sholat jum’at, yang kondisinya kebetulan sedang rawan terjadi pencurian,

Pertanyaan :
Bagaimana hukum seorang penjaga toko atau petugas parkir mengganti sholat jum’at dengan sholat dzuhur karena untuk tujuan menjaga keamanan dan keselamatan harta sebagaimana deskripsi?
Wassalamu’alaikum wr wb.

Jawaban :

Penjaga toko yang hawatir atas harta yang dititipkan oleh BOS atau pemilik Warung/toko begitu juga Satpam yang bekerja untuk menjaga sebuah masjid, kantor atau perusahaan tertentu tidak wajib baginya melaksanakan shalat Jumat apabila ia tidak memiliki kesempatan untuk menjalankan Jumat.Namun jika dua orang yang memungkinkan bergiliran maka boleh bagi yang tidak jum’at diganti dengan sholat dhuhur sebagian melakukan shalat Jum’at
Hal ini karena mempertimbangkan bahwa menjaga nyawa dan harta orang-orang yang dilindungi nyawanya merupakan kewajiban yang harus diprioritaskan.


Al-Imam al-Nawawi menegaskan:
ومنها أن يخاف على نفسه أو ماله أو على من يلزمه الذب عنه من سلطان أو غيره ممن يظلمه “

Di antara uzur-uzur (Jumat dan shalat jamaah) adalah adanya kekhawatiran atas nyawa atau harta, baik bagi dirinya sendiri atau pihak-pihak yang wajib dilindungi nyawanya baik dari pemerintah atau lainnya, dari orang zalim.”
(al-Imam al-Nawawi, Raudlatut Thalibin, juz.1, halaman 345)


Dalam perspektif mazhab Hanbali ditegaskan, termasuk uzur Jumat adalah kekhawatiran adanya kerugian dalam pekerjaan yang dibutuhkan untuk menghidupi keluarga atau dirampasnya harta yang ia disewa untuk menjaganya. Syekh Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi mengatakan:


ومما يعذر به في ترك الجمعة والجماعة خوف الضرر في معيشة يحتاجها أو مال استؤجر على حفظه


“Termasuk uzur dalam meninggalkan Jumat dan jamaah shalat adalah kekhawatiran kerugian dalam pekerjaan yang ia butuhkan, atau harta yang ia disewa untuk menjaganya.”

(Syekh Abu al-Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi, al-Inshaf, juz 2, halaman 212).

Kategori
Uncategorized

Q.009.HEWAN QURBAN/AQIQOH MELAHIRKAN ANAK TANPA DISANGKA

Assalamualaikum
Deskripsi masalah.
Sebelunya saya mohon maaf para Kiyai Saya Nour Shorin saya bernadzar ingin berqurban dan beraqiqoh dan Jauh sebelum pelaksanaan saya telah mempersiapkan hewan dan kambing tersebut namun tanpa disangka-sangka hewan tersebut melahirkan anak.

Pertanyaannya.
1-Apakah anak dari hewan qurban tersebut wajib disembelih mengingatkan yang menjadi hewan nadzar adalah induknya.
2- Bagaimana hukumnya Mudhahhiy ( orang yang berqurban) memakan daging anak sapi/kambing tersebut..? Mohon jawabannya karena ini betul-betul terjadi..

Walaikum salam.
Jawaban dari dua pertanyaan kami satukan.
Pada dasarnya hukumnya” Mudhohhiy” memakan daging qurban yang telah dinadzarkan dan sudah ditentukan tidak boleh dimakan (hukumnya haram), karena sudah ditakyin dan sudah menjadi qurban wajib, tetapi jika hewan tersebut melahirkan anak dalam konteks hewan tersebut tidak diketahui kehamilanya kemudian hewan tersebut hamil tanpa disangka ( Maklum susunya tidak kelihatan besar/Kampor maling: red , lalu hewan tersebut melahirkan anak dan terlepas dari induknya , maka hukumnya wajib disembelih. Alasannya karena termasuk dari tambahan kewajiban, namun demikian boleh mudho’hhiy memakan daging anak tersebut, berbeda dengan hewan yang ditentukan dalam kondisi diketahui kehamilannya ( ketika bernadzar ) maka dalam hal ini, hukumnya tidak boleh ( haram) dimakan.

Referensi Al-Bajuri Ala Ibuni Qosim.Halaman: 300-301

قوله ولايؤكل ) أى لايجوز له الأكل فإن أكلها شيأ غرمه وقوله المضحى وكذا من تلزمه نفقته وقوله من الأضحية المنذورة أى معينة عما فى الذمة أو حكما كما لوا قال هذه أضحية فهذه واجبة بالجعل لكنها فى حكم المنذورة كما مر فاندفع إعتراض المحشي بقوله لو قال الواجبة لكان أولى والهدى المنذور ودم الجبران كالأضحية المنذورة فلايجوز الأكل من ذلك كذلك العقيقة المنذورة والطبخة المنذورة والتخلص من ذلك أن يضحي بأخرى أو يهدى أخرى أو يطبخ طبخة أخرى زائدة على واجبة فيجوز له الأكل منها لأنها زائدة على الواجبة وله مع الكراهة كما قاله الماوردي شرب اللبن الفاضل عن ولد الأضحية ولو واجبة وله سقيه غيره بلاعوض وله أكل ولدهابعدذبحه وجوبا فى وقت الأضحية إن كان ولد الأضحية الواجبة على المعتمد لأنه من فوائدها كاللبن خلافاللشيخ الإسلام فى قوله بأنه لايجوز له أكله كما لايجوز له الأكل من أمه ويمكن حمله على ماإذا ماتت أمه فيجر لم عليه الأكل منه لقيامه مقامها حينئذ وليس فى ذلك تضحية بحامل فإن الحمل قبل انفصاله لايسمى ولدا فصورة المسألة أنه إنفصل منها قبل التضحية بها على أنه لو نذر التضحية بها وكانت حاملا أو جعلها أضحية كذلك أو طرأ حملها بعد ذلك فيهما لم يضر فإن جاء وقت الأضحية وهى حامل ذبحها أضحية وإن جعلها بعد انفصاله ذبحها وذبح ولدها جوبا ويجوز له أكله بخلاف مالوعين معافى الذمة حاملا فإنه لا يصح وما لو عين حائلا فحملت بعد ذلك ثم جاء وقت الأضحية فلايذبحها وهي حامل …….إلخ

Kesimpulan Dari ibarah dan pemaparan diatas, bahwa boleh memakan daging anak qurban yang tidak diketahui kehamilan induknya ketika bernadzar atau mentakyin, berbeda dengan kurban yang diketahui atas kehamilan sebelumnya, karena hal itu termasuk dari bagian faedah qurban sebagaimana keboleh meminum susu yang lebih dari anak hewan qurban walaupun adanya hewan qurban itu masuk dalam kategori qurban wajib .
Wallahu A’lam bisshowab.

Kategori
Uncategorized

PARFOM BERALKOHOL

PARFUM BERALKOHOL

Diskripsi masalah:

Mengetahui kakak kelas Udin memakai parfum beralkohol sebelum shalat, si Udin kemudian berkata pada Sibro, kakak kelasnya.
“Mas, ini kan minyak beralkohol. Bukannya alkohol najis?”

Pertanyaan:
Bolehkah memakai parfum beralkohol untuk sholat?

Jawaban:
Boleh, karena di-ma’fu(di maafkan). Namun, lebih baik tidak memakai parfum beralkohol , dan memakai parfum yang tanpa alkohol.

Referensi:

شرح الياقوت النفيس صـ: ۱۰۰ طبعة دار المنهاج

حُكْمُ الْآدَوِيَّةِ وَالأعْطَارِ الْإِفْرَنجَيَّةِ وَأَمَّا حُكْمُ الخَمْرِ وَالْآدَوِيَّةِ وَالْأَعْطَارِ الْإِفْرَنجِيَّةِ الَّتِي تَحْتَوِي عَلَى الْكُحُوْلِ وَالْكُحُولُ رُوْحُ الْخَمْرِ فَبَعْضُ الْعُلَمَاءِ قَالُوْا بِنَجَاسَةِ الخَمْرِ وَقَالَ آخَرُوْنَ بِطَهَارَتِهَا وَأَظُنُّ مِنْهُمُ الحَسَنُ وَغَيْرُهُ ، وَإِنَّمَا ذَكَرَ الله مِثْلَ مَا ذَكَرَ الْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ ، فَالْخَمْرُ نَجَسَةٌ لُغَةٌ وَمَعْنَى ، وَالْإِمَامُ النَّوَاوِيُّ فِي الْمَجْمُوعِ عَلَى اسْتِدْلَالِ الشَّافِعِيَّةِ بِالآيَةِ. وبِنَاءً عَلَى مَا ذَكَرْنَا تَكُونُ هَذِهِ الْأَدَوِيَّةُ (الكولونيا) وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ إِذَا تَحَقَّقْنَا وُجُوْدَ كُحُوْلٍ لَازِمٍ لَهَا يُعْفَى عَنْهَا إِذَا عَمَّتِ الْبَلْوَى وَلِلضَّرُورَةِ ، وَمَعَ هَذَا يَنْبَغِي لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَتَجَنَّبَهَا مَا اسْتَطَاعَ (۱)
(1) قَالَ السَّيِّدُ عَبْدُ الْقَادِرِ بنْ سَالِمِ السَّقَافُ (الرَوْشُ) الإِجْمَاعُ الْفِعْليُّ اَحْسَنُ مِنَ الْإِجْمَاعِ الْقَوْلِيَ ، فَالنَّاسُ أَكْثَرُهُمْ يَسْتَعْمِلُوْنَ هَذِهِ الْأَعْطَارَ وَمُجْمِعُوْنَ عَلَى طَهَارِتِهَا ، قَالَ أُسْتَاذُنَا مُحَمَّدٌ بنْ أَحْمَدَ الشَّاطِرِيُّ وَهَلْ هَؤُلَاءِ عُلَمَاءُ قَالَ الرَوْشُ حَضَرَنَا مجْلِسَ عِلْمٍ وَرَشَّوْهُمْ بِهَذِهِ الْأَعْطَارِ وَلَا أَحَدٌ امْتَنَعَ مِنْهُ ، قَالَ الْأُسْتَاذُ الشَّاطِرِيُّ لَا بَأْسَ لَكِنَّ عُلَمَاءَ آخَرُونَ يَقُولُونَ بِنَجَاسِتِهِ ، وَأَنَا لَسْتُ مُشَدّدًا بَلْ هُوَ رَأْيُ بَعْضِ الْإِخْوَانِ بَلْ وَمِنَ الحاضِرِينَ ، وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَأْءخُذَ بِالْأَحوَطِ فَهُوَ الْأَحْسَنُ ، وَعَلَى كُل فَالتَّيْسِيرُ مَظْلُوبٌ وَلِلسَّيِّدِ الْغُرْبَانِي فَتَوَى مَوْجُوْدَةً يَقُوْلُ فِيْهَا بِطَهَارَتِهَا. اهـ

Kategori
Uncategorized

HUKUM BERJABATAN TANGAN SESAMA MUSLIM (LAIN JENIS DAN BUKAN MAHROMNYA)

HUKUM BERJABAT TANGAN(MENYENTUH) SESAMA MUSLIM DAN BUKAN MAHROMNYA.

Deskripsi masalah.

Sebelumnnya perkenalkan nama saya Abd.Hamid asli madura Palakpak , namun sekarang saya menetap di Aceh.

Sebagaimana yang kita maklumi, manakala lebaran tiba, baik hari raya Idul Fitri atau Idul Adha kerap dimasyarakat saling silaturrahim dan saling bersalaman (berjabatan tangan ) kepada sanak famili, kerabat yang dekat maupun yang jauh dan kepada teman-teman antara yang satu dengan yang lainnya, bahkan hal berjabatan tangan terkadang terjadi bukan hanya dihari raya, melaikan karena baru datang dari safar, dan lain sebagainya, namun anehnya terkadang diantara mereka berjabatan tangan lain jenis Muslim dan muslimah yang bukan mahramnya .

PERTANYAAN :
Assalamualaikum.
Bagaimana hukumnya laki-laki islam berjabat tangan(menyentuh) kepada perempuan islam yang bukan mahramnya?

JAWABAN :
Wa’alaikumussalaam. Hukum berjabat tangan non mahrom diperinci :

1️⃣Hukum berjabat tangan antar lawan jenis secara langsung adalah haram, kecuali bagi anak kecil atau yang sudah lanjut usia yang tidak berpotensi menimbulkan efek negatif (syahwat dan fitnah).Fitnah adalah zina dan pendahuluan zina.

2️⃣Hukum berjabat tangan antar lawan jenis non-mahram dengan menggunakan kaos tangan dan penutup sejenisnya, berhukum jawaz(boleh) asalkan tidak berpotensi menimbulkan syahwat dan fitnah.
Tambahan hukum berjabat tangan dengan orang tua. Hukum berjabat tangan baik antara perempuan muda dengan laki-laki tua, laki-laki muda dengan perempuan tua, perempuan tua dengan laki-laki tua haram menurut syafi’iyah dan malikiyah. Boleh menurut hanafiyah dan hanabilah (Mausu’ah Fiqhiyyah 37/359).
Sebagaimana dimaklumi persentuhan ini menurut versi yang membolehkan hanya jika tidak disertai syahwat. Seandainya kita hendak beralih madzhab dengan memilih halal berjabat tangan dengan orang tua maka tentunya harus mengetahui detail persoalan dalam perspektif madzhab tersebut. Ambillah contoh madzhab hanafi. ‘Ajuuz dalam hanafiyah diistilahkan dengan “kabir ma’mun minasy syahwat” alias orang tua yang terjaga dari disyahwati (Ibnu Najim al-Hanafi dalam Bahr al-Ra-iq 8/219). Berkata Ibnu ‘Abidin, yang dikehendaki syahwat dalam permasalahan melihat dan menyentuh adalah:

🅰️Bagi laki-laki : condongnya hati dimana terkadang organ vitalnya ikut bereaksi. Menurut qaul lain (dan inilah yang mu’tamad) cukup dengan condongnya hati tanpa embel-embel ikut bereaksinya organ vital pria. Lalu oleh Abdul Ghani dijelaskan: maksud dari tanpa ada syahwat seperti halnya kita memandang ajnabi/ajnabiyah seolah sama saja dengan memandang putra-putri kandung kita.

🅱️Bagi wanita : tergeraknya hati dalam artian ada gelagat menikmati jabat tangan itu. (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 1/407 & 3/33).
Kesimpulannya : masih diperbolehkan berjabat tangan dengan orang tua dengan mengikuti madzhab hanafi / hanbali. dengan memandang kriteria syahwat yang ketat di atas tentunya yang dimaksud orang tua di sini adalah kakek/nenek tua renta. Bukan bapak-bapak separuh baya.
Bersalaman dengan anak kecil hukumnya boleh menurut hanafiyah, hanabilah, syafi’iyah dalam qaul ashah, dan malikiyah dengan definisi tersendiri tentang ‘anak kecil’. Sebagaimana dimaklumi kebolehan ini terlaku jika tidak disertai syahwat. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah 37/360-361, Bujairumi ‘ala Khatib 4/119-120).
Boleh melihat /menyentuh lain jenis karena ada hajat, dengan syarat harus ada mahrom yang menemani, tidak ada dokter yang sejenis dll, sebagaimana keterangan :

العزيز على شرح الوجيز الجزء السابع ص :٤٧٢
ومنها: انه يجوز النظر والمس للفصد والحجامة والمعالجة لعلة وليكن ذلك بحضور المحرم ويشترط فى جواز نظر الرجل الى المرأة أ لا يكون هناك امرأة تعالج وفى جواز نظر المرأة الى الرجل ألا يكون هناك رجل يعالجه كذلك ذكره ابو عبد الله الزبيري والقاضى الروياني ايضا وعن ابن القاص خلافه ثم اصل الحاجة كاف فى النظر الى الوجه واليدين ولذلك جاز النظر بسبب الرغبة فى النكاح وفى النظر الى سائر الأعضاء يعتبر التأكد وضبطه الإمام فقال مايجاوز الإنتقال بسببه من الماء الى التراب وفاقا او خلافا كشدة الضنى وما فى معنها يجوز النظر بسببه وفى النظر الى السوءتين يعتبر مزيد تأكد قال فى الوسيط :وذلك بأن تكون الحاجة بحيث لايعد التكشف بسببها هتكا للمروءة ويعذر فى العادات والى هذاالترتيب اشار فى تاكتاب بقوله: وليمن الظر الى السوءتين لحاجة مؤكدة.


الشروانى الجزء التاسع ص : ٣٩-٤١
ويباحان أي النظر المس لفصد وحجامة وعلاج للحاجة لكن بحضرة مانع خلوة كمحرم أو زوج أو إمرأة ثقة لحل خلوة رجل بامرأة ثقة لحل خلوة رجل بامرأتين ثقتين يحتشمها، إلى ان قال وبشرط عدم امرأة تحسن ذلك كعكسه وأن لا يكون غير أمين مع وجود أمين ولا ذميا مع وجود مسلم أو ذمية مع وجود مسلمة وبحث البلقينى إنه يقدم فى المرأة مسلمة فصبى مسلم غير مراهق فمراهق فكافر غير مراهق فمراهق فامرأة كافرة فمحرم مسلم فمحرم كافر فأجنبي مسلم فكافر اهـ ووافقه الأذرعى على تقديم الكافر على المسلم وفى تقديم المحرم نظر
والذى يتجه تقديم نحو محرم مطلقا على كافرة لنظره ما لا تنظر هى وممسوح على مراهق وأمهر ولومن غير الجنس والدين على غيره ووجود من لا يرضى إلا بأكثر من أجرة المثل كالعدم فيما يظهر ،بل لو وجد كافر يرضى بدونها ومسلم لا يرضى إلا بها احتمل ان المسلم كالعادم أيضا.


Semua madzhab mengharamkan jabat tangan pria-wanita non mahrom, berikut ta`birnya :
1). Madzhab Hanafiyah


تحفة الفقهاء لِعلاء الدين السمرقندي – (ج ٣ / ص ٣٣٣)
وأما المس فيحرم سواء عن شهوة أو عن غير شهوة وهذا إذا كانت شابة فإن كانت عجوزا فلا بأس بالمصافحة إن كان غالب رأيه أنه لا يشتهي ولا تحل المصافحة إن كانت تشتهي وإن كان الرجل لا يشتهي


2). Madzhab Malikiyah


حاشية الصاوي على الشرح الصغير – (ج ١١ / ص ٢٧٩)
وَلَا تَجُوزُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ الْمَرْأَةَ أَيْ الْأَجْنَبِيَّةَ وَإِنَّمَا الْمُسْتَحْسَنُ الْمُصَافَحَةُ بَيْنَ الْمَرْأَتَيْنِ لَا بَيْنَ رَجُلٍ وَامْرَأَةٍ أَجْنَبِيَّةٍ، وَالدَّلِيلُ عَلَى حُسْنِ الْمُصَافَحَةِ مَا تَقَدَّمَ وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَنْ قَالَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ قَالَ : لَا


3). Madzhab Syafi’iyyah


حاشية البجيرمي على الخطيب – (ج ١٠ / ص ١١٣)
وَتُسَنُّ مُصَافَحَةُ أَيْ عِنْدَ اتِّحَادِ الْجِنْسِ، فَإِنْ اخْتَلَفَ فَإِنْ كَانَتْ مَحْرَمِيَّةً أَوْ زَوْجِيَّةً أَوْ مَعَ صَغِيرٍ لَا يُشْتَهَى أَوْ مَعَ كَبِيرٍ بِحَائِلٍ جَازَتْ مِنْ غَيْرِ شَهْوَةٍ وَلَا فِتْنَةٍ؛ نَعَمْ يُسْتَثْنَى الْأَمْرَدُ الْجَمِيلُ فَتَحْرُمُ مُصَافَحَتُهُ كَمَا قَالَهُ الْعَبَّادِيُّ ا هـ مَرْحُومِيٌّ

.
4). Madzhab Hambaliyah


الإقناع في فقه الإمام لأحمد الحجاوي- (ج ١ / ص٢٣٩)
ولا يجوز مصافحة المرأة الأجنبية الشابة وأن سلمت شابة على رجل رده عليها وإن سلم عليها لم ترده وإرسال السلام إلى الأجنبية وإرسالها إليه لا بأس به للمصلحة وعدم المحذور

Demikian jawaban dari pertanyaan Ust. Abd.Hamid Aceh. Wallahu A’lam bisshowab.

Kategori
Uncategorized

MENIKAHI PEREMPUAN PEZINA


Assalamu Alaikum.

Pertanyaan:
Bagaimana hukumnya menikahi terhadap wanita yang pernah berbuat zina.

Wa Alaikumussalam.
Jawaban:
Menikahi orang yang pernah berbuat zina hukumnya boleh / sah tapi makruh, karena dengan berzina ia termasuk kategori orang fasiq(orang yang gemar berbuat dosa):
 


.ومما يكره من الأنكحة نكاح من لم يحتج الى الوطئ مع فقده الاهبة__ و نكاح الفاسقة وبنت الفاسق. الشرقاوي ٢/٢٤٨قوله و دينة أى نكاح المرأة الدينة التي وجدت فيها صفة العدالة أولى من نكاح الفاسقة ولو بغير نحو الزنا. اعانة الطالبين ٣/٢٧٠

الأم ج ٥ ص ١٢-١٣
أَخْبَرْنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ هَارُونَ بْنِ رِئَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ قَالَ «أَتَى رَجُلٌ إلَى رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّ لِي امْرَأَةً لَا تَرُدُّ يَدَ لَامِسٍ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَطَلِّقْهَا قَالَ إنِّي أُحِبُّهَا قَالَ فَأَمْسِكْهَا إذًا» وَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ الْمُشْرِكَاتِ مِنْ أَهْلِ الْأَوْثَانِ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ الزُّنَاةِ وَغَيْرِ الزُّنَاةِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا تَزَوَّجَ امْرَأَةً وَلَهَا ابْنَةٌ مِنْ غَيْرِهِ وَلَهُ ابْنٌ مِنْ غَيْرِهَا فَفَجَرَ الْغُلَامُ بِالْجَارِيَةِ فَظَهَرَ بِهَا حَمْلٌ فَلَمَّا قَدِمَ عُمَرُ مَكَّةَ رُفِعَ ذَلِكَ إلَيْهِ فَسَأَلَهَا فَاعْتَرَفَا فَجَلَدَهُمَا عُمَرُ الْحَدَّ وَحَرَصَ أَنْ يَجْمَعَ بَيْنَهُمَا فَأَبَى الْغُلَامُ.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ) : فَالِاخْتِيَارُ لِلرَّجُلِ أَنْ لَا يَنْكِحَ زَانِيَةً وَلِلْمَرْأَةِ أَنْ لَا تَنْكِحَ زَانِيًا فَإِنْ فَعَلَا فَلَيْسَ ذَلِكَ بِحَرَامٍ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا لَيْسَتْ مَعْصِيَةُ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي نَفْسِهِ تُحَرِّمُ عَلَيْهِ الْحَلَالَ إذَا أَتَاهُ قَالَ وَكَذَلِكَ لَوْ نَكَحَ امْرَأَةً لَمْ يَعْلَمْ أَنَّهَا زَنَتْ فَعَلِمَ قَبْلَ دُخُولِهَا عَلَيْهِ أَنَّهَا زَنَتْ قَبْلَ نِكَاحِهِ أَوْ بَعْدَهُ لَمْ تَحْرُمْ عَلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ أَخْذُ صَدَاقِهِ مِنْهَا وَلَا فَسْخُ نِكَاحِهَا وَكَانَ لَهُ إنْ شَاءَ أَنْ يُمْسِكَ وَإِنْ شَاءَ أَنْ يُطَلِّقَ وَكَذَلِكَ إنْ كَانَ هُوَ الَّذِي وَجَدَتْهُ قَدْ زَنَى قَبْلَ أَنْ يَنْكِحَهَا أَوْ بَعْدَمَا نَكَحَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ أَوْ بَعْدَهُ فَلَا خِيَارَ لَهَا فِي فِرَاقِهِ وَهِيَ زَوْجَتُهُ بِحَالِهَا وَلَا تَحْرُمُ عَلَيْهِ وَسَوَاءٌ حُدَّ الزَّانِي مِنْهُمَا أَوْ لَمْ يُحَدَّ أَوْ قَامَتْ عَلَيْهِ بَيِّنَةٌ أَوْ اعْتَرَفَ لَا يُحَرِّمُ زِنَا وَاحِدٍ مِنْهُمَا وَلَا زِنَاهُمَا وَلَا مَعْصِيَةٌ مِنْ الْمَعَاصِي الْحَلَالَ إلَّا أَنْ يَخْتَلِفَ دِينَاهُمَا بِشِرْكٍ وَإِيمَانٍ.

يجوز نكاح الحامل من الزنا سواء الزاني وغيره و وطؤها حينئذ مع الكراهة. بغية المسترشدين ص ٢٠١

Wanita berzina tidak ada ‘iddahnya, tapi dilarang menjima’ terhadap wanita yang berzina jika hamil agar tidak bercampur aduk antara benih yang baik dengan benih hasil zina.
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwasanya wanita yang berzina tidak memiliki masa ‘iddah, baik ia sedang hamil atau tidak hamil, tapi makruh menikahi terhadap wanita yang berzina. Sebab, disyari’atkannya iddah adalah untuk menjaga nasab, sedangkan zina tidak menyebabkan adanya hubungan nasab antara anak dengan laki-laki yang menghamili ibunya. Tapi masalah ini khilaf ulama’ tentang menjimak terhadap wanita hamil karena berzina. Ada ulama’ yang memperbolehkan menjimak terhadap wanita hamil karena berzina. Dan ada ulama’ yang tidak memperbolehkan menjimak terhadap wanita hamil karena berzina.

Referensi :

بداية المجتهد:ص،٥٣٦

فاختلفوا في الزنا هل يوجب من التحريم في هؤلاء ما يوجب الوطء في نكاح صحيح أو بشبهة؟ أعني الذي يدرأ فيه الحد، فقال الشافعي: الزنا بالمرأة لا يحرم نكاح أمها ولا ابنتها ولا نكاح أبي الزاني لها ولا ابنه؛ وقال أبي حنيفة: والثوري والأوزاعي: يحرم الزنا ما يحرم النكاح وأما مالك ففي المؤطأ عنه قول الشافعي أنه لا يحرم، وروى عنه ابن القاسم مثل قول أبي حنيفة أنه يحرم؛ وقال سحنون: أصحاب مالك يخالفون ابن القاسم فيها، ويذهبون إلى ما في المؤطأ؛ وقد روى عن الليث أن الوطء بشبهة لا يحرم وهو شاذ.

شرح المهذب ،ج، ١٦،ص:٢٤٢

إذا زنت المرأة لم يجب عليها العدة، سواء كانت حائلا أو حاملا، فإن كانت حائلا جاز للزاني ولغيره عقد النكاح عليها وإن حملت من الزنا فيكره.

كفاية الأخيار ، ص :٤٢٩

مذكور في العدد لو نكح شخص إمرأة حاملا من الزنا صح نكاحه بلا خلاف وهل له وطؤها قبل الوضع وجهان الأصح نعم إذ لا حرمة له ومنعه ابن الحداد والله أعلم

إعانة الطالبين: ص: ٢٨٢

قوله لامخلوقة من ماء زناه أى لايحرم نكاح مخلوقه من ماء زناه إذ لاحرمة من لماء الزنا لكن يكره نكاحها

Ketik Pencarian