Deskripsi Masalah:
Dalam Islam, Hari Raya merupakan momen istimewa yang diiringi dengan berbagai sunnah, termasuk berpakaian dengan baik dan bersih. Rasulullah ﷺ menganjurkan umatnya untuk mengenakan pakaian terbaik pada hari-hari besar, tanpa mewajibkan warna tertentu. Pakaian putih disukai karena mencerminkan kesucian dan kebersihan, namun tidak menjadi syarat utama. Sebagian orang lebih memilih memakai pakaian baru sebagai bentuk syiar kebahagiaan, sementara yang lain tetap mengenakan pakaian lama yang masih layak.
Pertanyaan
- Apa makna Hari Raya dalam Islam?
- Mana yang lebih utama, memakai pakaian putih yang masih layak meskipun sudah pernah dipakai sebelumnya, atau mengenakan pakaian baru meskipun bukan berwarna putih?
Waalaikum salam.
Jawaban No.1
Makna kata “Id” berasal dari kata al-‘awdu yang berarti sesuatu yang kembali. Hal ini bisa merujuk pada sesuatu yang kembali setiap tahun atau karena membawa kebahagiaan bagi kaum Muslimin. Mereka bergembira setiap kali hari raya tiba, bersuka cita karena ketaatan kepada Allah SWT. Pada Idul Fitri, mereka berbahagia karena telah menjalankan puasa Ramadan dan kini tiba waktunya berbuka. Sedangkan pada Idul Adha, mereka bergembira dengan ibadah haji, penyembelihan hewan kurban, dan hal-hal lainnya.
Hari Raya dalam Islam
Dalam Islam, terdapat tiga hari raya utama:
Hari Jumat: Disebut sebagai hari raya mingguan umat Islam, karena berhubungan dengan penyempurnaan shalat wajib dan memiliki banyak keutamaan.
Idul Fitri: Dirayakan setelah puasa Ramadhan sebagai tanda kemenangan dan syukur, diiringi dengan shalat dan sedekah.
Idul Adha: Lebih besar dari Idul Fitri, dikaitkan dengan ibadah haji dan pengorbanan.
Keutamaan Hari Jumat
Disebut sebagai “haji orang miskin.”
Menghadiri shalat Jumat menghapus dosa selama sepekan jika dihindari dosa besar.
Hari Jumat lebih utama dibandingkan Idul Fitri dan Idul Adha.
Makna Idul Fitri dan Idul Adha
Idul Fitri: Merupakan perayaan setelah penyempurnaan puasa Ramadhan, yang berfungsi sebagai ajang syukur dan permohonan ampunan.
Idul Adha: Hari raya terbesar yang dikaitkan dengan penyempurnaan ibadah haji, terutama wukuf di Arafah.
Hakikat Hari Raya
Hari raya dalam Islam bukan sekadar perayaan lahiriah, seperti mengenakan pakaian baru dan menikmati hidangan lezat, tetapi lebih kepada momentum spiritual untuk memperkuat hubungan dengan Allah, meningkatkan ketaatan, dan memperbaiki akhlak.
Hari raya yang sejati adalah ketika seorang Muslim keluar dari bulan Ramadhan dengan hati yang lebih bersih, akhlak yang lebih baik, serta ketaatan yang lebih kuat. Begitu pula dengan Idul Adha, kebahagiaan tidak hanya terletak pada penyembelihan hewan kurban, tetapi pada ketulusan dalam beribadah dan keikhlasan dalam berbagi.
Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama: “Hari raya bukanlah bagi mereka yang mengenakan pakaian baru, tetapi hari raya adalah bagi mereka yang ketaatannya bertambah.”
Jawaban No.2
Dalam Islam, berpakaian saat Hari Raya tidak ditentukan hanya berdasarkan warna atau apakah pakaian tersebut baru atau lama, melainkan lebih kepada kebersihan, kepantasan, dan kesesuaian dengan sunnah.
Keutamaan Pakaian Putih
Rasulullah ﷺ bersabda: “Kenakanlah pakaian kalian yang berwarna putih, karena itu adalah sebaik-baik pakaian kalian, dan kafanilah dengannya orang-orang mati kalian.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan ia berkata: Hadits hasan shahih).
Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ juga bersabda:”Kenakanlah pakaian putih, karena sesungguhnya itu lebih bersih dan lebih baik, dan kafanilah orang-orang mati kalian dengannya.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim, dan beliau berkata: Hadits shahih).
Hadits ini menunjukkan bahwa pakaian putih memiliki keutamaan, tetapi bukan berarti warna lain tidak boleh dipakai.
Bolehnya Mengenakan Warna Lain
Dalam Riyadus Shalihin, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ juga pernah mengenakan pakaian berwarna lain, seperti merah, hijau, dan hitam:
Pakaian merah
Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ mengenakan pakaian merah, dan aku tidak pernah melihat sesuatu pun yang lebih indah darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku melihat Rasulullah ﷺ di Makkah mengenakan pakaian merah.” (HR. Bukhari).
Pakaian hijau
Abu Rimtsah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku melihat Rasulullah ﷺ mengenakan dua pakaian hijau.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Sorban hitam
Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah ﷺ masuk ke Makkah saat Fathu Makkah dengan mengenakan sorban hitam.” (HR. Muslim).
Dari riwayat ini, dapat disimpulkan bahwa berbagai warna pakaian diperbolehkan, selama tidak melanggar syariat.
Keutamaan Berpakaian Terbaik di Hari Raya
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa mengenakan pakaian terbaiknya saat Hari Raya. Ini menunjukkan bahwa yang dianjurkan adalah memakai pakaian yang terbaik dan paling pantas, baik itu baru maupun lama, selama bersih dan rapi.
Allah Ta’ala berfirman::
(يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ)، وَقَالَ تَعَالَى: (وَجَعَلَ لَكُمْ
سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمُ بَأْسَكُمْ).
“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasanmu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.”………………. (QS. Al-A’raf: 26).
Kesimpulan Jika baju putih yang lama masih bersih, rapi, dan layak pakai, maka tidak ada masalah untuk mengenakannya karena tetap mengikuti sunnah. Jika baju baru lebih pantas dan bersih, meskipun bukan berwarna putih, maka boleh memilihnya karena sesuai dengan anjuran berpakaian terbaik saat Hari Raya. Yang paling penting adalah niat untuk menghormati Hari Raya dengan berpakaian rapi, bersih, dan tidak berlebihan.
Wallahu a’lam
المكتبة الشاملة شرح كتاب الجامع لأحكام الصيام واعمال رمضان. ج.٣٥ص ١٨
[معنى كلمة العيد]
معنى كلمة العيد: مشتقة من العود، أي: شيء يعود، فإما أنه يعود في كل سنة، أو لأنه يعود على المسلمين بالفرح، يعني: يفرحون كلما يأتيهم العيد، فيفرحون بطاعة الله سبحانه وتعالى وبعيد الفطر، ويفرحون أنهم صاموا رمضان، وجاء وقت إفطارهم، ويفرحون في عيد الأضحى بالحج وبالأضاحي وبغير ذلك.
Makna kata “Id” berasal dari kata al-‘awdu yang berarti sesuatu yang kembali. Hal ini bisa merujuk pada sesuatu yang kembali setiap tahun atau karena membawa kebahagiaan bagi kaum Muslimin. Mereka bergembira setiap kali hari raya tiba, bersuka cita karena ketaatan kepada Allah SWT. Pada Idul Fitri, mereka berbahagia karena telah menjalankan puasa Ramadan dan kini tiba waktunya berbuka. Sedangkan pada Idul Adha, mereka bergembira dengan ibadah haji, penyembelihan hewan kurban, dan hal-hal lainnya..
Referensi:
لطائف المعارف ص:٤٧٩-٤٨٥
العيد هو موسم الفرح والسرور، وأفراح المؤمنين وسرورهم في الدنيا إنما هو بمولاهم، إذا فازوا بإكمال طاعته، وحازوا ثواب أعمالهم بوثوقهم بوعده لهم عليها بفضله ومغفرته، كما قال تعالى: ﴿قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ﴾. قال بعض العارفين: ما فرح أحد بغير الله إلا بغفلته عن الله؛ فالغافل يفرح بلهوه وهواه، والعاقل يفرح بمولاه. وأنشد سَمْنُون في هذا المعنى: وكان فؤادي خالياً قبل حبكم وكان بذكر الخلق يلهو ويمرح فلما دعا قلبي هواك أجابه فلست أراه عن فنائك يبرح رميت ببعد منك إن كنت كاذباً وإن كنت في الدنيا بغيرك أفرح وإن كان شيء في البلاد بأسرها إذا غبت عن عيني لعيني يملح فإن شئت واصلني وإن شئت لا تصل فلست أرى قلبي لغيرك يصلح لما قدم النبي ﷺ المدينة كان لهم يومان يلعبون فيهما، فقال: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى ويوم الفطر».
“Idul Fitri adalah musim kegembiraan dan kebahagiaan, dan kebahagiaan serta kegembiraan orang-orang beriman di dunia ini hanyalah karena Tuhan mereka, ketika mereka berhasil menyempurnakan ketaatan mereka, dan memperoleh pahala amal perbuatan mereka dengan kepercayaan mereka pada janji-Nya kepada mereka melalui karunia dan ampunan-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: ‘Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan’. Beberapa orang arif berkata: Tidak ada seorang pun yang bergembira selain karena Allah kecuali karena kelalaiannya terhadap Allah; orang yang lalai bergembira dengan kesenangan dan hawa nafsunya, sedangkan orang yang berakal bergembira dengan Tuhannya. Samnun melantunkan syair dalam makna ini:
Hatiku kosong sebelum cintamu, dan ia bersenang-senang dan bergembira dengan menyebut makhluk.
Ketika hatiku memanggil cintamu, ia menjawabnya, maka aku tidak melihatnya berpaling dari halamanmu.
Aku merindukanmu jika aku berbohong, dan jika aku di dunia ini, aku tidak bergembira selain denganmu.
Dan jika ada sesuatu di seluruh negeri, jika engkau hilang dari pandanganku, mataku akan merindukannya.
Jika engkau ingin menyambungku, sambunglah, dan jika engkau ingin memutuskan, putuskanlah, aku tidak melihat hatiku condong kepada selainmu.
Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, mereka memiliki dua hari untuk bermain di dalamnya, maka beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik: Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri’.”
أبدلكم يومين خيراً منهما ؛ يوم الفطر والأضحى (١). فأبدل الله هذه الأمة بيومي اللعب واللهو يومي الذكر والشكر والمغفرة والعفو. ففي الدنيا للمؤمنين ثلاثة أعياد: عيد يتكرر كل أسبوع ، وعيدان يأتيان في كُلِّ عام مرة مرة ، من غير تكرر في السنة. فأما العيد المتكرر ، فهو يوم الجمعة ، وهو عيد الأسبوع ، وهو مترتب على إكمال الصلوات المكتوبات ؛ فإنَّ الله عزّ وجلَّ فَرَضَ على المؤمنين في كل يوم وليلة خمس صلوات ، وأيام الدنيا تدور على سبعة أيام ، فكلما كمل دور أسبوع من أيام الدنيا ، واستكمل المسلمون صلواتهم فيه ، شرع لهم في يوم استكمالهم (٢) ، وهو اليوم الذي كمل فيه الخلق ، وفيه خُلِقَ آدم وأُدخل الجنة وأخرج منها ، وفيه ينتهي أمد الدنيا فتزول وتقوم الساعة (٣) ، وفيه (٤) الاجتماع على سماع الذكر والموعظة وصلاة الجمعة ، وجعل ذلك لهم عيداً ؛ ولهذا نهى عن إفراده بالصيام.
“Allah menggantikan dua hari (perayaan) yang lebih baik bagi kalian daripada keduanya; yaitu hari Idul Fitri dan Idul Adha (1). Maka Allah menggantikan bagi umat ini dua hari permainan dan kesenangan dengan dua hari dzikir, syukur, ampunan, dan maaf. Di dunia ini, bagi orang-orang mukmin ada tiga hari raya: hari raya yang berulang setiap minggu, dan dua hari raya yang datang setiap tahun sekali, tanpa pengulangan dalam setahun. Adapun hari raya yang berulang, yaitu hari Jumat, yang merupakan hari raya mingguan, dan berkaitan dengan penyempurnaan shalat-shalat wajib; karena Allah ‘azza wa jalla mewajibkan kepada orang-orang mukmin setiap siang dan malam lima shalat, dan hari-hari dunia berputar dalam tujuh hari, maka setiap kali putaran seminggu dari hari-hari dunia selesai, dan umat Islam telah menyempurnakan shalat mereka di dalamnya, Dia mensyariatkan bagi mereka pada hari penyempurnaan mereka (2), yaitu hari di mana penciptaan disempurnakan, di mana Adam diciptakan dan dimasukkan ke surga dan dikeluarkan darinya, dan di mana akhir dunia tiba lalu lenyap dan terjadilah hari kiamat (3), dan di dalamnya (4) terdapat perkumpulan untuk mendengarkan dzikir, nasihat, dan shalat Jumat, dan Dia menjadikannya sebagai hari raya bagi mereka; dan karena itu dilarang untuk mengkhususkannya dengan berpuasa.”
وَفِي شُهُودِ الْجُمُعَةِ شَبَهٌ مِنَ الْحَجِّ، وَرُوِيَ (٥) أَنَّهَا حَجُّ الْمَسَاكِينِ. وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ: شُهُودُ الْجُمُعَةِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ حَجَّةِ نَافِلَةٍ، وَالتَّبْكِيرُ إِلَيْهَا يَقُومُ مَقَامَ الْهَدْيِ عَلَى قَدْرِ السَّبْقِ؛ فَأَوَّلُهُمْ كَالْمُهْدِي بَدَنَةً ثُمَّ بَقَرَةً، ثُمَّ كَبْشًا، ثُمَّ دَجَاجَةً، ثُمَّ بَيْضَةً (٦). وَشُهُودُ الْجُمُعَةِ يُوجِبُ تَكْفِيرَ الذُّنُوبِ إِلَى الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى إِذَا سَلِمَ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ مِنْ الْكَبَائِرِ، كَمَا أَنَّ الْحَجَّ الْمَبْرُورَ يُكَفِّرُ ذُنُوبَ تِلْكَ السَّنَةِ إِلَى الْحَجَّةِ الْأُخْرَى. وَقَدْ رُوِيَ: وَإِذَا سَلِمَتِ الْجُمُعَةُ سَلِمَتِ الْأَيَّامُ). وَرُوِيَ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَغْفِرُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ (٢). وَفِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: «مَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ وَلَا غَرَبَتْ عَلَى يَوْمٍ أَفْضَلَ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ (٣). وَفِي الْمُسْنَدِ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ قَالَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ: وَهُوَ أَفْضَلُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ الْأَضْحَى. فَهَذَا عِيدُ الْأُسْبُوعِ، وَهُوَ مُتَعَلِّقٌ بِإِكْمَالِ الصَّلَوَاتِ (٤) الْمَكْتُوبَةِ، وَهِيَ أَعْظَمُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَمَبَانِيهِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ. وَأَمَّا الْعِيدَانِ اللَّذَانِ لَا يَتَكَرَّرَانِ فِي كُلِّ عَامٍ، وَإِنَّمَا يَأْتِي كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي الْعَامِ مَرَّةً وَاحِدَةً؛ فَأَحَدُهُمَا: عِيدُ الْفِطْرِ مِنْ صَوْمِ رَمَضَانَ، وَهُوَ مُرَتَّبٌ (١) عَلَى إِكْمَالِ صِيَامِ رَمَضَانَ، وَهُوَ الرُّكْنُ الثَّالِثُ مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَمَبَانِيهِ، فَإِذَا اسْتَكْمَلَ الْمُسْلِمُونَ صِيَامَ شَهْرِهِمُ الْمَفْرُوضَ عَلَيْهِمْ، وَاسْتَوْجَبُوا مِنَ اللَّهِ الْمَغْفِرَةَ وَالْعِتْقَ مِنَ النَّارِ؛ فَإِنَّ صِيَامَهُ يُوجِبُ مَغْفِرَةَ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الذُّنُوبِ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ، يُعْتَقُ فِيهِ مِنَ النَّارِ مَنِ اسْتَحَقَّهَا بِذُنُوبِهِ، فَشَرَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُمْ عَقِيبَ إِكْمَالِهِمْ لِصِيَامِهِمْ عِيدًا يَجْتَمِعُونَ فِيهِ عَلَى شُكْرِ اللَّهِ وَذِكْرِهِ وَتَكْبِيرِهِ عَلَى مَا هَدَاهُمْ لَهُ. وَشَرَعَ لَهُمْ فِي ذَلِكَ الْعِيدِ الصَّلَاةَ وَالصَّدَقَةَ. وَهُوَ يَوْمُ الْجَوَائِزِ يَسْتَوْفِي الصَّائِمُونَ فِيهِ أَجْرَ صِيَامِهِمْ، وَيَرْجِعُونَ مِنْ عِيدِهِمْ بِالْمَغْفِرَةِ
“Dan dalam menghadiri shalat Jumat terdapat kemiripan dengan haji, dan diriwayatkan (5) bahwa ia adalah haji orang-orang miskin. Said bin Musayyib berkata: Menghadiri shalat Jumat lebih aku sukai daripada haji sunnah, dan berangkat pagi-pagi menuju shalat Jumat menempati kedudukan hewan kurban sesuai dengan urutan kedatangan; maka orang yang pertama datang seperti orang yang berkurban unta, kemudian sapi, kemudian kambing, kemudian ayam, kemudian telur (6). Menghadiri shalat Jumat menyebabkan penghapusan dosa-dosa hingga Jumat berikutnya jika seseorang selamat dari dosa-dosa besar di antara dua Jumat, sebagaimana haji mabrur menghapuskan dosa-dosa tahun itu hingga haji berikutnya. Diriwayatkan: Jika Jumat selamat, maka selamatlah hari-hari lainnya). Diriwayatkan: Sesungguhnya Allah Ta’ala mengampuni setiap Muslim pada hari Jumat (2). Dalam hadits shahih dari Nabi ﷺ disebutkan bahwa beliau bersabda: “Tidaklah matahari terbit dan terbenam pada hari yang lebih utama dari hari Jumat” (3). Dalam Musnad, dari beliau ﷺ disebutkan bahwa beliau bersabda pada hari Jumat: Hari itu lebih utama di sisi Allah daripada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Hari Jumat adalah hari raya mingguan, dan ia berkaitan dengan penyempurnaan shalat-shalat wajib (4), yang merupakan rukun Islam terbesar dan bangunannya setelah dua kalimat syahadat. Adapun dua hari raya yang tidak berulang setiap tahun, melainkan hanya datang sekali dalam setahun; salah satunya adalah Idul Fitri setelah puasa Ramadhan, dan ia diatur (1) setelah penyempurnaan puasa Ramadhan, yang merupakan rukun Islam ketiga dan bangunannya, maka jika kaum Muslimin telah menyempurnakan puasa bulan yang diwajibkan atas mereka, dan mereka berhak mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka dari Allah; maka sesungguhnya puasa mereka menyebabkan pengampunan dosa-dosa yang telah lalu, dan akhirnya pembebasan dari api neraka, dibebaskan darinya orang yang berhak mendapatkannya karena dosa-dosanya, maka Allah Ta’ala mensyariatkan bagi mereka setelah penyempurnaan puasa mereka hari raya di mana mereka berkumpul di dalamnya ber syukur kepada Allah, mengingat-Nya, dan mengagungkan-Nya atas petunjuk yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Dia mensyariatkan bagi mereka pada hari raya itu shalat dan sedekah. Dan itu adalah hari pemberian hadiah, di mana orang-orang yang berpuasa menerima pahala puasa mereka, dan mereka kembali dari hari raya mereka dengan ampunan
وَالْعِيدُ الثَّانِي: عِيدُ النَّحْرِ، وَهُوَ أَكْبَرُ الْعِيدَيْنِ وَأَفْضَلُهُمَا، وَهُوَ مُتَرَتِّبٌ عَلَى إِكْمَالِ الْحَجِّ، وَهُوَ الرُّكْنُ الرَّابِعُ مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَمَبَانِيهِ، فَإِذَا أَكْمَلَ الْمُسْلِمُونَ حَجَّهُمْ غُفِرَ لَهُمْ. وَإِنَّمَا يُكْمَلُ الْحَجُّ بِيَوْمِ عَرَفَةَ وَالْوُقُوفِ فِيهِ بِعَرَفَةَ؛ فَإِنَّهُ رُكْنُ الْحَجِّ الْأَعْظَمُ، كَمَا قَالَ: «الْحَجُّ عَرَفَةُ». وَيَوْمُ عَرَفَةَ هُوَ يَوْمُ الْعِتْقِ مِنَ النَّارِ، فَيُعْتِقُ اللَّهُ فِيهِ مِنَ النَّارِ مَنْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ وَمَنْ لَمْ يَقِفْ بِهَا مِنْ أَهْلِ الْأَمْصَارِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَلِذَلِكَ صَارَ الْيَوْمُ الَّذِي يَلِيهِ عِيدًا لِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ فِي جَمِيعِ أَمْصَارِهِمْ؛ مَنْ شَهِدَ الْمَوْسِمَ مِنْهُمْ وَمَنْ لَمْ يَشْهَدْهُ؛ لِاشْتِرَاكِهِمْ فِي الْعِتْقِ وَالْمَغْفِرَةِ يَوْمَ عَرَفَةَ. وَإِنَّمَا لَمْ يَشْتَرِكِ الْمُسْلِمُونَ كُلُّهُمْ فِي الْحَجِّ كُلَّ عَامٍ رَحْمَةً مِنَ اللَّهِ وَتَخْفِيفًا عَلَى عِبَادِهِ، فَإِنَّهُ جَعَلَ الْحَجَّ فَرِيضَةَ الْعُمُرِ لَا فَرِيضَةَ كُلِّ عَامٍ، وَإِنَّمَا هُوَ فِي كُلِّ عَامٍ فَرْضُ كِفَايَةٍ، بِخِلَافِ الصِّيَامِ؛ فَإِنَّهُ فَرِيضَةُ كُلِّ عَامٍ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ. فَإِذَا كَمَلَ يَوْمُ عَرَفَةَ، وَأَعْتَقَ اللَّهُ عِبَادَهُ الْمُؤْمِنِينَ مِنَ النَّارِ، اشْتَرَكَ الْمُسْلِمُونَ كُلُّهُمْ فِي الْعِيدِ عَقِبَ (١) ذَلِكَ. وَشَرَعَ لِلْجَمِيعِ التَّقَرُّبَ إِلَيْهِ بِالنُّسُكِ، وَهُوَ إِرَاقَةُ دِمَاءِ الْقَرَابِينِ.
Dan hari raya yang kedua: Hari Raya Kurban, dan itu adalah hari raya yang paling besar dan paling utama dari kedua hari raya, dan itu terkait dengan penyelesaian haji, dan itu adalah rukun keempat dari rukun-rukun Islam dan bangunannya, maka jika kaum Muslimin telah menyelesaikan haji mereka, mereka diampuni. Dan haji hanya sempurna dengan hari Arafah dan wukuf di sana di Arafah; karena itu adalah rukun haji yang paling agung, sebagaimana sabda Nabi: ‘Haji adalah Arafah’. Dan hari Arafah adalah hari pembebasan dari api neraka, maka Allah membebaskan dari api neraka orang yang wukuf di Arafah dan orang yang tidak wukuf di sana dari penduduk kota-kota dari kaum Muslimin, oleh karena itu hari setelahnya menjadi hari raya bagi seluruh kaum Muslimin di seluruh kota mereka; baik yang menyaksikan musim haji dari mereka maupun yang tidak menyaksikannya; karena mereka semua bersekutu dalam pembebasan dan ampunan pada hari Arafah. Dan sesungguhnya tidak semua kaum Muslimin bersekutu dalam haji setiap tahun adalah rahmat dari Allah dan keringanan atas hamba-hamba-Nya, maka Dia menjadikan haji sebagai kewajiban seumur hidup, bukan kewajiban setiap tahun, dan sesungguhnya itu adalah fardhu kifayah setiap tahun, berbeda dengan puasa; maka itu adalah fardhu ‘ain setiap tahun atas setiap Muslim. Maka jika hari Arafah telah sempurna, dan Allah telah membebaskan hamba-hamba-Nya yang beriman dari api neraka, maka seluruh kaum Muslimin bersekutu dalam hari raya setelah (1) itu. Dan Dia mensyariatkan bagi semua orang untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan menyembelih hewan kurban, yaitu menumpahkan darah hewan-hewan kurban.”
فَأَهْلُ الْمَوْسِمِ يَرْمُونَ الْجَمْرَةَ، فَيَشْرَعُونَ فِي التَّحَلُّلِ مِنْ إِحْرَامِهِمْ بِالْحَجِّ، وَيَقْضُونَ تَفَثَهُمْ (٢)، وَيُوفُونَ نُذُورَهُمْ، وَيُقَرِّبُونَ قَرَابِينَهُمْ مِنَ الْهَدَايَا، ثُمَّ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ. وَأَهْلُ الْأَمْصَارِ يَجْتَمِعُونَ عَلَى ذِكْرِ اللهِ وَتَكْبِيرِهِ وَالصَّلَاةِ لَهُ. قَالَ مُخَنِّفُ بْنُ سُلَيْمٍ (٣)، وَهُوَ مَعْدُودٌ مِنَ الصَّحَابَةِ: الْخُرُوجُ يَوْمَ الْفِطْرِ يَعْدِلُ عُمْرَةً، وَالْخُرُوجُ يَوْمَ الْأَضْحَى يَعْدِلُ حَجَّةً. ثُمَّ يَنْسُكُونَ عَقِيبَ ذَلِكَ نُسُكَهُمْ، وَيُقَرِّبُونَ قَرَابِينَهُمْ بِإِرَاقَةِ دِمَاءِ ضَحَايَاهُمْ؛ فَيَكُونُ ذَلِكَ شُكْرًا مِنْهُمْ لِهَذِهِ النِّعَمِ. وَالصَّلَاةُ وَالنَّحْرُ الَّذِي يَجْتَمِعُ فِي عِيدٍ
“Maka orang-orang yang berhaji melempar jumrah, lalu mereka mulai bertahallul dari ihram haji mereka, dan mereka menyelesaikan tafaats mereka (2), dan mereka menunaikan nadzar-nadzar mereka, dan mereka mendekatkan kurban-kurban mereka dari hadiah-hadiah, kemudian mereka thawaf di Baitul ‘Atiq. Dan penduduk kota-kota berkumpul untuk berdzikir kepada Allah, bertakbir kepada-Nya, dan shalat untuk-Nya. Berkata Mukhannif bin Sulaim (3), dan dia terhitung dari para sahabat: keluar pada hari Idul Fitri menyamai umrah, dan keluar pada hari Idul Adha menyamai haji. Kemudian mereka menyembelih setelah itu sembelihan mereka, dan mereka mendekatkan kurban-kurban mereka dengan menumpahkan darah hewan-hewan kurban mereka; maka hal itu menjadi syukur dari mereka atas nikmat-nikmat ini. Dan shalat dan penyembelihan yang berkumpul pada hari raya.”
النَّحْرُ أَفْضَلُ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ الَّذِي فِي عِيدِ الْفِطْرِ، وَلِهَذَا أُمِرَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ يَجْعَلَ شُكْرَهُ لِرَبِّهِ عَلَى إِعْطَائِهِ الْكَوْثَرَ أَنْ يُصَلِّيَ لِرَبِّهِ وَيَنْحَرَ، وَقِيلَ لَهُ: ﴿قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴾ (١). وَلِهَذَا وَرَدَ الْأَمْرُ بِتِلَاوَةِ هَذِهِ الْآيَةِ عِنْدَ ذَبْحِ الْأَضَاحِيِّ، وَالْأَضَاحِيُّ سُنَّةُ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَمُحَمَّدٍ ﷺ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَهَا لِإِبْرَاهِيمَ حِينَ فَدَى وَلَدَهُ الَّذِي أَمَرَهُ بِذَبْحِهِ، بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (٢). وَفِي حَدِيثِ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا هَذِهِ الْأَضَاحِي؟ قَالَ: سُنَّةُ [أَبِيكُمْ] إِبْرَاهِيمَ. قِيلَ لَهُ: فَمَا لَنَا بِهَا؟ قَالَ: بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ. قِيلَ: فَالصُّوفُ؟ قَالَ: بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنَ الصُّوفِ حَسَنَةٌ. خَرَّجَهُ ابْنُ مَاجَهْ (٣) وَغَيْرُهُ. فَهَذِهِ أَعْيَادُ الْمُسْلِمِينَ فِي الدُّنْيَا، وَكُلُّهَا عِنْدَ إِكْمَالِ طَاعَةِ مَوْلَاهُمُ الْمَلِكِ الْوَهَّابِ، وَحِيَازَتِهِمْ لِمَا وَعَدَهُمْ مِنَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ. مَرَّ قَوْمٌ بِرَاهِبٍ فِي دَيْرٍ، فَقَالُوا لَهُ: مَتَى عِيدُ أَهْلِ هَذَا الدَّيْرِ؟ قَالَ: يَوْمَ يُغْفَرُ لِأَهْلِهِ. لَيْسَ الْعِيدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيدَ، إِنَّمَا الْعِيدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ (٤) تَزِيدُ. لَيْسَ الْعِيدُ لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوبِ (٥)، إِنَّمَا الْعِيدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوبُ. فِي لَيْلَةِ الْعِيدِ تُفَرَّقُ خِلَعُ الْعِتْقِ وَالْمَغْفِرَةِ عَلَى الْعَبِيدِ؛ فَمَنْ نَالَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلَهُ عِيدٌ، وَإِلَّا فَهُوَ مَطْرُودٌ بَعِيدٌ. كَانَ بَعْضُ الْعَارِفِينَ يَنُوحُ عَلَى نَفْسِهِ لَيْلَةَ الْعِيدِ بِهَذِهِ الْأَبْيَاتِ: بِحُرْمَةِ غُرْبَتِي كَمْ ذَا الصُّدُودُ * أَلَا تَعْطِفُ عَلَيَّ أَلَا تَجُودُ سُرُورُ الْعِيدِ قَدْ عَمَّ النَّوَاحِي * وَحُزْنِي فِي ازْدِيَادٍ لَا يَبِيدُ فَإِنْ كُنْتُ اقْتَرَفْتُ خِلَالَ سُوءٍ * فَعُذْرِي فِي الْهَوَى أَنْ لَا أَعُودَ
“Menyembelih hewan kurban lebih utama daripada salat dan sedekah yang dilakukan pada Hari Raya Idulfitri. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk menjadikan rasa syukurnya kepada Tuhannya atas pemberian nikmat Al-Kautsar dengan cara salat kepada Tuhannya dan menyembelih hewan kurban. Dikatakan kepadanya: ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam’ (QS. Al-An’am: 162). Oleh karena itu, diperintahkan untuk membaca ayat ini saat menyembelih hewan kurban. Dan hewan kurban adalah sunnah Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad ﷺ. Sesungguhnya Allah mensyariatkannya untuk Ibrahim ketika ia menebus putranya yang diperintahkan untuk disembelih, dengan sembelihan yang agung (QS. Ash-Shaffat: 107). Dalam hadis Zaid bin Arqam, dikatakan: ‘Wahai Rasulullah, apa gerangan hewan-hewan kurban ini?’ Beliau menjawab: ‘Sunnah bapak kalian, Ibrahim.’ Dikatakan kepadanya: ‘Lalu apa (pahala) bagi kami dengannya?’ Beliau menjawab: ‘Setiap helai rambut (hewan kurban) ada kebaikannya.’ Dikatakan: ‘Bagaimana dengan bulu dombanya?’ Beliau menjawab: ‘Setiap helai bulu domba ada kebaikannya.’ Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (3) dan lainnya. Maka ini adalah hari raya umat Islam di dunia, dan semuanya adalah ketika mereka menyempurnakan ketaatan kepada Tuan mereka, Raja Pemberi Karunia, dan ketika mereka mendapatkan apa yang dijanjikan kepada mereka berupa pahala dan ganjaran. Suatu kaum melewati seorang rahib di biara, lalu mereka berkata kepadanya: ‘Kapan hari raya penduduk biara ini?’ Ia menjawab: ‘Hari ketika dosa-dosa penduduknya diampuni.’ Hari raya bukanlah bagi orang yang memakai pakaian baru, tetapi hari raya adalah bagi orang yang ketaatannya (4) bertambah. Hari raya bukanlah bagi orang yang berhias dengan pakaian dan kendaraan (5), tetapi hari raya adalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni. Pada malam Idulfitri, dibagikanlah pembebasan dari perbudakan dan ampunan kepada para hamba. Maka barang siapa mendapatkan sesuatu darinya, maka baginya ada hari raya, dan jika tidak, maka ia adalah orang yang terusir dan jauh. Dahulu sebagian orang arif meratap atas dirinya pada malam Idulfitri dengan bait-bait syair ini: Demi kehormatan pengasinganku, betapa besar penolakan ini * Tidakkah engkau mengasihiku, tidakkah engkau bermurah hati? Kegembiraan Idulfitri telah melanda seluruh penjuru * Dan kesedihanku terus bertambah, tidak akan hilang. Jika aku telah melakukan perbuatan buruk * Maka maafku dalam cinta ini adalah aku tidak akan kembali (berbuat buruk).”
:
Referensi
تنوير القلوب.ص٢٦٧-٢٦٧
ويسن الغسل للعيدين و يدخل وقته من نصف الليل والتطيب والتزين بأحسن الثياب ،
“Disunnahkan mandi untuk dua hari raya, dan waktunya masuk sejak tengah malam, serta memakai wewangian dan berhias dengan pakaian terbaik.”
رياض الصالحين ص ٣٦٣-٣٦٧
كتاب اللباس
باستحبَابِ الثَّوْبِ الْأَبْيَضِ وَجَوَازِ الْأَحْمَرِ وَالْأَخْضَرِ وَالْأَصْفَرِ وَالْأَسْوَدِ وَجَوَازِهِ مِنْ قُطْنٍ وَكَتَّانٍ وَشَعْرٍ وَصُوفٍ وَغَيْرِهَا إِلَى آخِرِهِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: (يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ
وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ)، وَقَالَ تَعَالَى: (وَجَعَلَ لَكُمْ
سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمُ بَأْسَكُمْ).
Bab Anjuran Pakaian Berwarna Putih dan Kebolehan (Pakaian) Berwarna Merah, Hijau, Kuning, dan Hitam, Serta Kebolehannya dari Katun, Linen, Bulu, Wol, dan Lainnya, Hingga Akhir.
Allah Ta’ala berfirman: “Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasanmu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.” Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan Dia menjadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memeliharamu dari kekerasanmu.”
١- وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
قَالَ: الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ، فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ،
وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ:
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kenakanlah pakaianmu yang berwarna putih, karena sesungguhnya ia adalah sebaik-baik pakaianmu, dan kafanilah dengannya orang-orang mati kalian.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, dan ia berkata: “Hadits hasan shahih.”
٢- وَعَنْ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْبَسُوا الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا أَظْهَرُ وَأَطْيَبُ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ، رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَالْحَاكِمُ، وَقَالَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ.
Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Kenakanlah pakaian putih, karena sesungguhnya itu lebih jelas dan lebih baik, dan kafanilah orang-orang mati kalian dengannya.” Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan Al-Hakim, dan dia berkata, “Hadits shahih.”
٣.وَعَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْبُوعًا، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ، مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ.
Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang berpostur sedang, dan aku telah melihatnya dalam pakaian merah, aku tidak pernah melihat sesuatu pun yang lebih indah darinya.”
٤.وَعَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ وَهْبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ وَهُوَ بِالْأَبْطَحِ وَقُبَّةٌ لَهُ حَمْرَاءُ مِنْ أَدَمٍ، فَخَرَجَ بِلَالٌ بِوَضُوئِهِ، فَمِنْ نَاضِحٍ وَنَائِلٍ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ سَاقَيْهِ فَتَوَضَّأَ وَأَذَّنَ بِلَالٌ، فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَهُنَا وَهَهُنَا يَقُولُ: يَمِينًا وَشِمَالًا حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، ثُمَّ رُكِزَتْ لَهُ عَنَزَةٌ فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى الظُّهْرَ بَيْنَ يَدَيْهِ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ لَا يُمْنَعُ.
Dari Abu Juhaifah Wahb bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah, dan beliau berada di Al-Abthah, dan ada kubah merah dari kulit untuk beliau. Bilal keluar dengan air wudhu beliau, maka ada yang memercikkan dan ada yang mengambilnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan pakaian merah, seolah-olah aku melihat putihnya kedua betis beliau, lalu beliau berwudhu dan Bilal mengumandangkan adzan. Aku mengikuti mulut beliau ke sana dan ke sini, beliau berkata: ke kanan dan ke kiri, ‘Hayya ‘alas shalah, hayya ‘alal falah.’ Kemudian ditancapkan tombak pendek untuk beliau, lalu beliau maju dan shalat zhuhur, anjing dan keledai lewat di depan beliau, tidak dicegah.”
٥.وَعَنْ أَبِي رِمْثَةَ رِفَاعَةَ التَّيْمِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَخْضَرَانِ، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ.
Dari Abu Rimtsah Rifa’ah At-Taimi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengenakan dua pakaian hijau.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dengan sanad shahih.
٦.وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ.
. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk kota Makkah pada hari penaklukan Makkah, dan beliau memakai sorban hitam. (HR. Muslim)
٧. وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ قَدْ أَرْخَى طَرَفَهَا بَيْنَ كَتِفَيْهِ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ.
. Dari Abu Sa’id ‘Amr bin Huraits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Seolah-olah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai sorban hitam, dan beliau menjulurkan ujungnya di antara kedua bahunya.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada orang-orang dengan memakai sorban hitam.
٨. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كُفِّنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ بِيضٍ سَحُولِيَّةٍ مِنْ كُرْسُفٍ لَيْسَ فِيهَا قَمِيصٌ وَلَا عِمَامَةٌ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. (السَّحُولِيَّةُ) بِفَتْحِ السِّينِ وَضَمِّهَا وَضَمِّ الْحَاءِ الْمُهْمَلَتَيْنِ: ثِيَابٌ تُنْسَبُ إِلَى سَحُولٍ: قَرْيَةٌ بِالْيَمَنِ. [وَالْكُرْسُفُ: الْقُطْنُ].
٩. وَعَنْهَا قَالَتْ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ غَدَاةٍ وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ مِنْ شَعْرٍ أَسْوَدَ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ. (الْمِرْطُ) بِكَسْرِ الْمِيمِ: هُوَ كِسَاءٌ. وَالْمُرَحَّلُ بِالْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ: هُوَ الَّذِي فِيهِ صُوَرُ رِحَالِ الْإِبِلِ، وَهِيَ الْأَكْوَارُ.
. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada suatu pagi, dan beliau memakai mantel bergaris dari bulu hitam.” (HR. Muslim). (Al-Mirthu) dengan kasrah mim: adalah kain. Dan (Al-Murahhal) dengan ha’ yang diabaikan: adalah yang di dalamnya terdapat gambar pelana unta, yaitu pelana punggung.
١٠. وَعَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ ذَاتَ لَيْلَةٍ وَمَسِيرِ فَقَالَ لِي: أَمَعَكَ مَاءٌ ؟ قُلْتُ: نَعَمْ ، فَنَزَلَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَشَى حَقَّ تَوَارَى فِي سَوَادِ اللَّيْلِ ثُمَّ جَاءَ فَأَفْرَغْتُ عَلَيْهِ مِنَ الْإِدَاوَةِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ مِنْ صُوفٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُخْرِجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ ، فَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ ، فَقَالَ: دَعْهُمَا ، فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ وَمَسَحَ عَلَيْهِمَا، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَفِي رِوَايَةٍ وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ شَامِيَّةٌ ضَيْقَةُ الْكُمَّيْنِ، وَفِي رِوَايَةٍ أَنَّ هَذِهِ الْقَضِيَّةَ كَانَتْ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu malam dalam perjalanan, beliau (Nabi) berkata kepadaku, “Apakah engkau membawa air?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu beliau turun dari kendaraannya dan pergi menyembunyikan diri di kegelapan malam, kemudian datang kembali. Aku tuangkan air dari wadah untuk beliau, lalu beliau membasuh wajahnya. Beliau memakai jubah dari wol, dan tidak bisa mengeluarkan kedua lengannya dari bagian bawah jubah, maka beliau membasuh kedua lengannya dan mengusap kepalanya. Kemudian aku membungkuk untuk melepas kedua khufnya, lalu beliau berkata, “Biarkan keduanya, karena aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.” Lalu beliau mengusap keduanya. (Muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau memakai jubah Syam yang sempit lengannya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa kejadian ini terjadi dalam perang Tabuk.
بَابُ اسْتِحْبَابِ الْقَمِيصِ
١. عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقَمِيصُ، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ.
Bab Anjuran Memakai Gamis
. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Pakaian yang paling disukai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah gamis.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, dan beliau berkata, “Hadits hasan.”
شرح مجالس السنية ص٧
اعْلَمُوا إِخْوَانِي وَفَّقَنِي اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ لِطَاعَتِهِ أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ حَدِيثٌ عَظِيمٌ رَوَاهُ الْإِمَامُ مُسْلِمٌ بِهَذَا اللَّفْظِ وَالْبُخَارِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ بِمَعْنَاهُ وَهُوَ عَظِيمُ الْمَوْقِعِ وَالْجَلَالَةِ وَقَدْ اشْتَمَلَ عَلَى جَمِيعِ لَطَائِفِ الْعِبَادَاتِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ (قَوْلُهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ) يُسْتَفَادُ مِنْ ظَاهِرِهِ عَلَى تِلْكَ الْهَيْئَةِ الْحَسَنَةِ اسْتِحْبَابُ التَّجَمُّلِ لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَالْقُدُومِ عَلَى الْغَيْرِ وَهُوَ كَذَلِكَ قَالَ أَبُو الْعَالِيَةِ كَانَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا تَزَاوَرُوا تَجَمَّلُوا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنُ مَا زُرْتُمْ بِهِ اللَّهَ فِي قُبُورِكُمْ وَمَسَاجِدِكُمْ الْبَيَاضُ وَقَالَ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ لَا بَأْسَ بِلِبَاسِ شِعَارِ الْعُلَمَاءِ لِيُعْرَفُوا بِذَلِكَ فَيُقْتَدَى بِهِمْ كَمَا تَخَرَّجَ قَالَ كُنْتُ مُحْرِمًا فَأَنْكَرْتُ عَلَى جَمَاعَةٍ مُحْرِمِينَ لَا يَعْرِفُونِي مَا أَخَلُّوا بِهِ مِنْ آدَابِ الطَّوَافِ فَلَمْ يَقْبَلُوا فَلَمَّا لَبِسْتُ ثِيَابَ الْفُقَهَاءِ وَأَنْكَرْتُ عَلَيْهِمْ ذَلِكَ سَمِعُوا وَأَطَاعُوا فَإِذَا أُلْبِسَهَا لِمِثْلِ ذَلِكَ كَانَ فِيهِ أَجْرٌ لِأَنَّهُ سَبَبٌ لِامْتِثَالِ أَمْرِ اللَّهِ وَالِانْتِهَاءِ عَمَّا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku, semoga Allah memberikan taufik kepada saya dan kalian untuk menaati-Nya, bahwa hadits ini adalah hadits yang agung. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafaz ini dan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah dengan maknanya. Hadits ini memiliki kedudukan yang agung dan keutamaan yang besar, serta mencakup berbagai aspek ibadah, baik yang lahir maupun yang batin.
Sabda Nabi: “Ketika kami sedang duduk di hadapan Rasulullah ﷺ pada suatu hari, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak tampak padanya tanda-tanda perjalanan, dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.”
Dari zahirnya hadits ini, dapat dipahami bahwa dalam kondisi seperti itu terdapat anjuran untuk berhias (berpakaian rapi) bagi pencari ilmu dan saat berkunjung kepada orang lain. Hal ini juga diperkuat oleh perkataan Abu al-‘Aliyah:”Dahulu, kaum Muslimin apabila saling berkunjung, mereka berhias.”Rasulullah ﷺ juga bersabda:” Pakaian terbaik yang kalian gunakan untuk menghadap Allah di kuburan dan masjid-masjid kalian adalah pakaian berwarna putih. “Ibn Abdus Salam berkata:”Tidak mengapa memakai pakaian khas ulama agar mereka dikenal dan dijadikan teladan.”Diriwayatkan bahwa seseorang berkata: “Aku sedang dalam keadaan ihram, lalu aku mengingkari perbuatan sekelompok orang yang juga sedang berihram karena mereka tidak menjaga adab thawaf. Namun, mereka tidak menerima nasihatku. Ketika aku mengenakan pakaian para fuqaha, lalu aku menegur mereka, mereka pun mendengarkan dan menaati. Maka, jika seseorang mengenakan pakaian tersebut untuk tujuan seperti ini, maka ia mendapat pahala, karena itu menjadi sebab terlaksananya perintah Allah dan terhindarnya dari larangan-Nya.” Wallahu a’lam