Kategori
Hukum

HUKUM NIAT DAN DO’A MEMBERI DAN MENERIMA ZAKAT

Assalamualaikum

Deskripsi masalah

Zakat merupakan ibadah yang tidak hanya bersifat sosial, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Salah satu aspek penting dalam pelaksanaan zakat adalah niat, karena niat  membedakan antara ibadah dan adat , bahkan niat yang  dapat membedakan antara zakat sebagai ibadah dan sekadar pemberian biasa. Maka berangkat dari latar belakang atau Deskripsi tersebut maka timbul pertanyaan.

Apakah niat dalam zakat termasuk syarat sahnya zakat, kalau syarat sahnya zakat bagaimana niat zakat untuk diri sendiri, istri, anak dan keluarga yang menjadi tanggungan untuk menafkahi mereka?

Walaikum salam.

Jawaban.

*1.Nia Sebagai syarat  dalam mengeluarkan zakat*
     
Niat zakat  ( mengeluarkan zakat ) adalah syarat sahnya zakat.
Adapun yang dimaksud dengan niat disini adalah menyakini bahwa yang dikeluarkan adalah zakat yang wajib, oleh karenanya  jika seseorang tidak berniat – meskipun karena kebodohan atau lupa – maka zakatnya tidak sah, karena kebodohan atau kelupaannya menunjukkan bahwa ia memberikan harta tanpa maksud beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka perbuatan ini seperti perbuatan orang mati, atau gambar tanpa ruh. Dengan demikian hukum niat itu wajib baik  niat dari dirinya sendiri atau dari orang yang mengurus hartanya, baik anak kecil, orang gila, atau orang bodoh yang di bawah pengampuan, yaitu dengan berniat menunaikan apa  yang wajib dari hartanya atau dari harta orang yang di bawah pengampuannya , bahkan wajib berniat sekalipun  sekalipun dengan cara mewakilkan untuk mengeluarkan zakat.

Referensi

Hadits yang diriwayatkan oleh sayyina Umar radiyallahu anhu dia berkata: saya mendengar  Rasulullah ﷺ: bersabda

إنماالأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى

“Sesungguhnya sahnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan…” (HR. Bukhari & Muslim).

Referensi:

فقه الزكاة الجزء الثاني للشيخ الدكتور يوسف القرضاوي ص  ٧٩٢
الفصل الثاني
مكانه النية في الزكاة
الزكاة – من ناحية – عبادة وقربة إلى الله ؛ لأنها إحدى شعائر الإسلام وثالثة دعائم الإيمان ، والمقرونة بالصلاة في عشرات المواضع من كتاب الله وسنة رسوله … ولكنها مع ذلك عبادة خاصة متميزة . وهي من ناحية أخرى – ضريبة مقررة وحق مرتب في أموال الأغنياء للفقراء وسائر المستحقين الذين ذكرهم الله في كتابه ، ضريبة تتولى الدولة في الأصل جبايتها وصرفها ، وتأخذها ممن وجبت عليه كرها إن لم يدفعها طوعاً ، ولكنها أيضاً ضريبة خاصة متميزة . فهي إذن ضريبة تحمل معنى العبادة ، وعبادة تأخذ صورة الضريبة ولاشتمال الزكاة على هذين المعنيين رأينا بعض الاختلاف في نظرة الفقهاء إليها ، بعضهم يتغلب المعنى الأول ، وبعضهم يرجح المعنى الثاني .. وقد يرجح بعضهم أحد المعنيين في بعض الأحكام والمعنى الثاني في أحكام أخرى وقد رأينا صورة من هذا الخلاف في وجوب الزكاة في مال الصبي والمجنون وما قيل فيها . كما يبدو ذلك واضحاً في مسألة ( النية ) ومكانها من الزكاة .

Fikih Zakat Jilid 2 oleh Syekh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, hlm. 792
Bab Kedua
Kedudukan Niat dalam Zakat
Zakat – dari satu sisi – adalah ibadah dan pendekatan diri kepada Allah; karena ia adalah salah satu syiar Islam dan pilar ketiga dari rukun iman, serta digandengkan dengan shalat di puluhan tempat dalam Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya… Namun, bersamaan dengan itu, ia adalah ibadah khusus yang istimewa.
Dari sisi lain, ia adalah pajak yang ditetapkan dan hak yang diatur dalam harta orang kaya untuk orang miskin dan semua yang berhak yang disebutkan oleh Allah dalam Kitab-Nya. Pajak yang pada dasarnya dikelola oleh negara dalam pengumpulan dan penyalurannya, diambil dari mereka yang wajib membayarnya secara paksa jika mereka tidak membayarnya secara sukarela, tetapi ia juga merupakan pajak khusus yang istimewa.
Dengan demikian, ia adalah pajak yang mengandung makna ibadah, dan ibadah yang mengambil bentuk pajak. Karena zakat mencakup kedua makna ini, kami melihat adanya perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih tentangnya, sebagian dari mereka lebih mengutamakan makna pertama, dan sebagian lagi lebih menguatkan makna kedua… Dan sebagian dari mereka mungkin lebih mengutamakan salah satu makna dalam beberapa hukum dan makna kedua dalam hukum lainnya.
Kami telah melihat contoh perbedaan pendapat ini dalam kewajiban zakat pada harta anak kecil dan orang gila serta apa yang dikatakan tentangnya. Hal ini juga tampak jelas dalam masalah “niat” dan kedudukannya dalam zakat.

اشتراط النية في الزكاة:
هل تشترط النية في إخراج الزكاة أم لا؟
مذهب عامة الفقهاء: أن النية شرط في أداء الزكاة لأنها عبادة، والعبادة لا تصح إلا بنية. قال تعالى: (وما أمروا إلا ليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء ويقيموا الصلاة ويؤتوا الزكاة)، وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: (إنما الأعمال بالنيات). فإذا لم ينو – ولو جهلاً أو نسياناً – لم يجزئه، فإن جهله أو نسيانه دليل أنه أدى المال بدون قصد التعبد والتقرب إلى الله، فهو بهذا عمل ميت، أو صورة بلا روح.
والنية الواجبة إما أن تكون عن نفسه أو عمن يلي على ماله من صبي أو مجنون أو سفيه محجور عليه بأن ينوي أداء ما وجب في ماله أو في مال محجوره (١). فإذا دفع ولي الصبي والمجنون زكاة مالهما بغير نية لم تقع الموقع، وعليه الضمان (٢).
رأي الأوزاعي ومناقشته:
وخالف الأوزاعي قول الجمهور في اشتراط النية للزكاة، فقال: لا تجب لها النية، لأنها دين، فلا تجب لها النية كسائر الديون، ولهذا يخرجها ولي اليتيم، ويأخذها السلطان من الممتنع (٣). وقد ردوا عليه بحديث الرسول المشهور: (إنما الأعمال بالنيات)، وأداؤها عمل، ولأنها عبادة يتكرر وجوبها، وتتنوع إلى فرض ونفل، فافتقرت إلى النية كالصلاة. وهي تفارق قضاء الدين، لأنه ليس بعبادة، ولهذا يسقط بإسقاط مستحقه، بخلاف الزكاة، فلا يملك أحد إسقاطها عمن وجبت عليه. ولأن مصرف المال إلى الفقراء له جهات من زكاة ونذر وكفارة وصدقة تطوع فاعتبرت نية التمييز. أما ولي الصبي والسلطان فهما ينوبان عند الحاجة.

*Syarat Niat dalam Zakat:*

Apakah niat disyaratkan dalam mengeluarkan zakat atau tidak?
Mazhab mayoritas ulama: Niat adalah syarat dalam menunaikan zakat karena zakat adalah ibadah, dan ibadah tidak sah kecuali dengan niat. Allah Ta’ala berfirman: (“Padahal mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: (“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat”). Maka  jika seseorang tidak berniat – meskipun karena kebodohan atau lupa – maka zakatnya tidak sah, karena kebodohan atau kelupaannya menunjukkan bahwa ia memberikan harta tanpa maksud beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka perbuatan ini seperti perbuatan orang mati, atau gambar tanpa ruh.
Niat yang wajib adalah niat dari dirinya sendiri atau dari orang yang mengurus hartanya, baik anak kecil, orang gila, atau orang bodoh yang di bawah pengampuan, yaitu dengan berniat menunaikan apa yang wajib dari hartanya atau dari harta orang yang di bawah pengampuannya (1). Jika wali anak kecil dan orang gila membayar zakat harta mereka tanpa niat, maka zakat tersebut tidak sah, dan wali tersebut harus menanggungnya (2).
Pendapat Al-Auza’i dan Pembahasannya:
Al-Auza’i berbeda pendapat dengan mayoritas ulama tentang syarat niat dalam zakat, ia berkata: “Niat tidak wajib dalam zakat, karena zakat adalah hutang, maka niat tidak wajib seperti hutang lainnya, oleh karena itu wali yatim mengeluarkannya, dan penguasa mengambilnya dari orang yang menolak membayar zakat (3)”. Mereka membantah pendapatnya dengan hadits Rasulullah yang terkenal: (“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niat”), dan menunaikan zakat adalah perbuatan, dan karena zakat adalah ibadah yang kewajibannya berulang, dan zakat terbagi menjadi wajib dan sunnah, maka zakat memerlukan niat seperti shalat. Zakat berbeda dengan membayar hutang, karena membayar hutang bukan ibadah, oleh karena itu gugur dengan menggugurkan haknya, berbeda dengan zakat, tidak ada seorang pun yang berhak menggugurkan zakat dari orang yang wajib membayarnya. Dan karena penyaluran harta zakat kepada fakir miskin memiliki beberapa tujuan, seperti zakat, nadzar, kafarat, dan sedekah sunnah, maka niat dianggap sebagai pembeda.
Adapun wali anak kecil dan penguasa, mereka berdua bertindak sebagai pengganti dalam keadaan darurat.

ومثل قول الأوزاعي ما نقل عن بعض المالكية : ان الزكاة لا تفتقر إلى نية .
أخذاً من قول شاذ في المذهب : أن الفقراء شركاء في مال الزكاة ، ووصول الشريك إلى حقه مما بيد شريكه ، لا يشترط له نية ، لا نية القابض ، ولا نية الدافع .
ومن قول أهل المذهب : أن الممتنع من أداء الزكاة تؤخذ منه كرها ، وتجزئه ، مع ظهور المنافاة بين الاكراه والتقرب .
والمعتمد عند المالكية : أن النية شرط في إجزاء الزكاة . أما الزكاة المأخوذة من الممتنع كرها فسيأتي قول ابن العربي : انها تجزىء ولكن لا يحصل بها الثواب (١) .
بخلاف ما لو سرق المستحق من الغني بقدر الزكاة فلا تجزئه لعدم وجود النية (٢)

المراد بالنية في الزكاة

المراد بالنية : أن يعتقد أنها زكاته أو زكاة من يخرج عنه كالصبي والمجنون ومحلها القلب ؛ لأن محل الاعتقادات كلها هو القلب (٣) . والنية الحكمية كافية ، صرح بعض المالكية . فإذا عد دراهمه وأخرج ما يجب فيها ، ولم يلاحظ أن هذا المخرج زكاة ، ولكن لو سئل لأجاب أجزأه (٤) . ولو كان من عادته أن يعطي زيداً من الناس كل عام ديناراً مثلاً ، فلما أعطاه له نوى بعد الدفع انه من الزكاة وهو من أهلها لم يجزىء ، لأنه لم توجد نية حقيقية ولا حكمية (٥) .
هذه النية هي الفيصل الذي يميز العبادات والقربات من غيرها ، وباشتراط جمهور الفقهاء لها في الزكاة ، وأنها لا تقبل عند الله بغيرها ، يتضح لنا الجانب العبادي في الزكاة .

Pendapat yang serupa dengan Al-Auza’i, yang diriwayatkan dari sebagian ulama Malikiyah: Bahwa zakat tidak memerlukan niat.
Hal ini diambil dari pendapat yang jarang dalam mazhab: Bahwa orang-orang fakir adalah mitra dalam harta zakat, dan sampainya hak mitra kepada haknya yang ada di tangan mitranya, tidak mensyaratkan niat baginya, bukan niat penerima, dan bukan niat pemberi.
Dan dari pendapat para ulama mazhab: Bahwa orang yang menolak menunaikan zakat, diambil darinya secara paksa, dan itu sah, meskipun tampak adanya pertentangan antara paksaan dan pendekatan diri kepada Allah.
Yang dipegang kuat oleh ulama Malikiyah: Bahwa niat adalah syarat dalam sahnya zakat. Adapun zakat yang diambil dari orang yang menolak secara paksa, akan datang pendapat Ibnu Arabi: Bahwa itu sah, tetapi tidak mendapatkan pahala (1).
Berbeda halnya jika orang yang berhak mencuri dari orang kaya sejumlah zakat, maka itu tidak sah karena tidak adanya niat (2).

*2. Maksud dari Niat dalam Zakat:*

Maksud dari niat: Bahwa seseorang meyakini bahwa itu adalah zakatnya atau zakat dari orang yang ia keluarkan, seperti anak kecil dan orang gila, dan tempatnya adalah hati; karena tempat keyakinan semuanya adalah hati (3). Niat secara hukum sudah cukup, sebagaimana dijelaskan oleh sebagian ulama Malikiyah. Jika seseorang menghitung dirhamnya dan mengeluarkan apa yang wajib darinya, dan tidak memperhatikan bahwa yang dikeluarkan ini adalah zakat, tetapi jika ditanya ia akan menjawab, maka itu sah (4). Dan jika ia terbiasa memberikan kepada Zaid dari orang-orang setiap tahun satu dinar misalnya, lalu ketika ia memberikannya, ia berniat setelah pemberian bahwa itu adalah zakat dan ia termasuk orang yang berhak, maka itu tidak sah, karena tidak ada niat yang sebenarnya dan tidak ada niat secara hukum (5).
Niat ini adalah pemisah yang membedakan antara ibadah dan pendekatan diri kepada Allah dari yang lainnya, dan dengan mensyaratkan oleh mayoritas ulama untuk niat dalam zakat, dan bahwa zakat tidak diterima di sisi Allah tanpa niat, maka jelaslah bagi kita sisi ibadah dalam zakat.

النية في حالة أخذ السلطان للزكاة:

إذا أخذ السلطان الزكاة ، فإما أن يدفعها المالك إليه طوعاً ، وإما أن يمتنع فيأخذها منه كرهاً . فما حكم النية في كلا الحالين ؟ هل تقوم نية السلطان مقام نية المالك أم لا ؟ وهل تجزئه في كل الأحوال أم في بعضها ؟ وإذا أجزأت فهل تجزئه في الظاهر فقط أم في الظاهر والباطن ؟
أكثر الفقهاء على أن السلطان لا تجزىء نيته عن المالك في حالة الدفع الطوعي الاختياري . وعند الشافعي وجه بالإجزاء حتى ولو لم ينو السلطان ، وهو ظاهر نصه في المختصر . والوجه الثاني : أنها لا تجزئه ؛ لأن السلطان نائب المساكين ، ولو دفع المالك إلى المساكين بلا نية ، لم يجزئه ، فكذلك نائبهم (١) . قال النووي :
ثم إن نوى الممتنع حال الأخذ منه ، برئت ذمته ظاهراً وباطناً ، ولا حاجة إلى نية الإمام ، وإلا فإن نوى الإمام أجزأه في الظاهر ، ولا يطالب ثانياً . وهل يجزئه باطناً ؟ وجهان . أصحهما : يجزئه ، كولي الصبي ، تقوم نيته مقام نيته . وإن لم ينو الإمام لم يسقط الفرض في الباطن قطعاً ، ولا في الظاهر على الأصح . والمذهب أنه تجب النية على الإمام وأنه تقوم نيته مقام نية المالك .. وقيل : لا تجب ؛ لئلا يتهاون المالك فيما هو متعبد به (٢) .
وقال ابن قدامة في المغني :
أن أخذها الإمام قهراً أجزأت من غير نية ؛ لأن تعذر النية في حقه أسقط وجوبها عنه ، وهذا قول الشافعي ؛ لأن أخذ الإمام بمنزلة القسم بين الشركاء فلم يحتج إلى نية . ولأن للإمام ولاية في أخذها ، ولذلك يأخذها من الممتنع اتفاقاً . ولو لم يجزئه لما أخذها …

*3. Niat dalam Kasus Pengambilan Zakat oleh Penguasa:*

Jika penguasa mengambil zakat, maka ada dua kemungkinan: pemilik harta membayarnya secara sukarela, atau ia menolak sehingga penguasa mengambilnya secara paksa. Lalu, bagaimana hukum niat dalam kedua kasus tersebut? Apakah niat penguasa menggantikan niat pemilik harta atau tidak? Dan apakah zakat tersebut sah dalam semua kondisi atau hanya sebagiannya? Jika sah, apakah sah secara lahir saja atau lahir dan batin?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa niat penguasa tidak menggantikan niat pemilik harta dalam kasus pembayaran sukarela. Namun, Imam Syafi’i memiliki pendapat yang membolehkan, meskipun penguasa tidak berniat, dan ini adalah makna lahir dari teks ringkasannya. Pendapat kedua: bahwa niat penguasa tidak menggantikan, karena penguasa adalah wakil orang-orang miskin, dan jika pemilik harta memberikan zakat kepada orang-orang miskin tanpa niat, maka zakatnya tidak sah, demikian pula dengan wakil mereka (1). Imam Nawawi berkata:
Kemudian, jika orang yang menolak berniat saat zakat diambil darinya, maka ia terbebas dari kewajiban zakat secara lahir dan batin, dan tidak perlu niat dari penguasa. Jika penguasa berniat, maka zakatnya sah secara lahir, dan pemilik harta tidak dituntut lagi. Apakah zakatnya sah secara batin? Ada dua pendapat. Pendapat yang paling sahih: sah, seperti wali anak kecil, niatnya menggantikan niat anak kecil. Jika penguasa tidak berniat, maka kewajiban zakat tidak gugur secara batin, dan juga tidak secara lahir menurut pendapat yang lebih sahih. Mazhab berpendapat bahwa niat wajib bagi penguasa dan niatnya menggantikan niat pemilik harta. Pendapat lain mengatakan: tidak wajib, agar pemilik harta tidak meremehkan apa yang menjadi kewajibannya (2). Ibnu Qudamah berkata dalam kitab Al-Mughni:
Pengambilan zakat oleh penguasa secara paksa sah tanpa niat, karena ketidakmampuan pemilik harta untuk berniat menggugurkan kewajiban niatnya, dan ini adalah pendapat Imam Syafi’i; karena pengambilan zakat oleh penguasa sama dengan pembagian harta antara mitra, sehingga tidak memerlukan niat. Dan karena penguasa memiliki wewenang dalam pengambilan zakat, maka ia mengambilnya dari orang yang menolak secara sepakat. Jika pengambilan zakat tidak sah, maka ia tidak akan mengambilnya…

واختار أبو الخطاب وابن عقيل من الحنابلة : أنها لا تجزىء فيما بينه وبين الله تعالى إلا بنية رب المال ؛ لأن الإمام إما وكيله ، وإما وكيل الفقراء ، أو وكيلهما معاً . وأي ذلك كان ، فلا تجزىء نيته عن نية رب المال . ولأن الزكاة عبادة تجب لها النية فلا تجزىء عمن وجبت عليه بغير نية ، إن كان من أهل
النية كالصلاة . وإنما اخذت منه مع عدم الإجزاء حراسة للعلم الظاهر ، كالصلاة يجبر عليها ليأتي بصورتها ، ولو صلى بغير نية لم يجزئه عند الله تعالى . قال ابن عقيل : ومعنى قول الفقهاء : يجزىء عنه – أي في الظاهر –بمعنى أنه لا يطالب بادائها ثانياً ، كما قلنا في الإسلام . فإن المرتد مطالب بالشهادة فمتى أتى بها حكم بإسلامه ظاهراً ، ومتى لم يكن معتقداً صحة ما يلفظ به
لم يصح اسلامه باطناً – يعني لم يعتد به عند الله ( ۱ ) وكذلك قال القاضي ابن العربي المالكي : إن الزكاة إذا اخذت كرهاً تجزئ
ولا يحصل بها الثواب ( ۲ ) وهذا التخريج أشبه بطبيعة الزكاة ، وأقرب إلى السداد ؛ فأخذ ولي الأمر للزكاة بغير نية رب المال يجزىء من الناحية القانونية المحض ، بمعنى أنه لايطالب بادائها مرة أخرى .
وأما من ناحية المثوبة عليها عند الله ، فلا بد من تحقيق النية ما دام من أهلها ؛ فإن عملا بغير نية هيكل بلا روح ( إنما الأعمال بالنيات ) . والمفتى به عند الحنفية : أن الساعي لو أخذها كرهاً ممن وجبت عليه ،تُجْزِئُ عَنْهُ وَيَسْقُطُ الْفَرْضُ فِي الْأَمْوَالِ الظَّاهِرَةِ ؛ لِأَنَّ لَهُ وِلَايَةً فِي أَخْذِهَا ، وَلَا يَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنْهُ فِي الْأَمْوَالِ الْبَاطِنَةِ

Abu al-Khattab dan Ibnu Aqil dari mazhab Hanbali memilih pendapat bahwa zakat yang dikeluarkan tidak sah di antara hamba dan Allah kecuali dengan niat dari pemilik harta. Karena imam adalah wakilnya, atau wakil orang-orang fakir, atau wakil keduanya. Apapun itu, niatnya tidak sah menggantikan niat pemilik harta. Karena zakat adalah ibadah yang wajib disertai niat, maka tidak sah bagi orang yang wajib menunaikannya tanpa niat, jika ia termasuk orang yang wajib berniat seperti dalam shalat. Pendapat ini diambil dengan pertimbangan menjaga ilmu yang tampak, seperti shalat yang dipaksa untuk datang dengan bentuknya, meskipun ia shalat tanpa niat, itu tidak sah di sisi Allah.
Ibnu Aqil berkata: Makna ucapan para ahli fiqih: “sah darinya” – yaitu secara lahir – artinya ia tidak dituntut untuk membayarnya lagi, seperti yang kami katakan dalam Islam. Karena orang murtad dituntut untuk bersyahadat, maka ketika ia datang dengan syahadat, hukumnya adalah Islam secara lahir, dan ketika ia tidak meyakini kebenaran apa yang diucapkannya, maka Islamnya tidak sah secara batin – yaitu tidak diakui di sisi Allah (1).
Demikian pula Al-Qadhi Ibnu Arabi Al-Maliki berkata: Sesungguhnya zakat jika diambil secara paksa, maka sah dan tidak mendapatkan pahala (2).
Penjelasan ini lebih mirip dengan sifat zakat, dan lebih dekat kepada kebenaran; maka pengambilan zakat oleh penguasa tanpa niat pemilik harta sah dari sisi hukum murni, artinya ia tidak dituntut untuk membayarnya lagi.
Adapun dari sisi pahala di sisi Allah, maka wajib adanya niat selama ia termasuk orang yang berhak; karena amal tanpa niat adalah jasad tanpa ruh (sesungguhnya amal itu tergantung pada niat).
Dan yang menjadi fatwa dalam mazhab Hanafi: bahwa petugas jika mengambilnya secara paksa dari orang yang wajib menunaikannya,Cukup darinya dan gugur kewajiban pada harta yang tampak; karena dia memiliki wewenang untuk mengambilnya, dan tidak gugur kewajiban darinya pada harta yang tersembunyi

وَقْتُ النِّيَّةِ فِي الزَّكَاةِ :

وَإِذَا كَانَتِ النِّيَّةُ لِلزَّكَاةِ شَرْطًا فَمَتَى تَكُونُ ؟ نَصَّ الْحَنَفِيَّةُ عَلَى ضَرُورَةِ مُقَارَنَتِهَا لِلْأَدَاءِ ، وَالْمُرَادُ بِالْأَدَاءِ الدَّفْعُ إِلَى الْفُقَرَاءِ أَوْ إِلَى الْإِمَامِ ؛ لِأَنَّهُ نَائِبُ الْفُقَرَاءِ . وَإِنَّمَا اشْتَرَطُوا الْمُقَارَنَةَ لِأَنَّهَا الْأَصْلُ ، كَمَا فِي سَائِرِ الْعِبَادَاتِ .
وَالْمُقَارَنَةُ الْحُكْمِيَّةُ كَافِيَةٌ فِي الْإِجْزَاءِ . كَمَا لَوْ دَفَعَ بِلَا نِيَّةٍ ثُمَّ نَوَى وَالْمَالُ قَائِمٌ فِي يَدِ الْفَقِيرِ . أَوْ نَوَى عِنْدَ الدَّفْعِ لِلْوَكِيلِ ، ثُمَّ دَفَعَ الْوَكِيلُ بِلَا نِيَّةٍ ، أَوْ دَفَعَهَا لِذِمِّيٍّ لِيَدْفَعَهَا لِلْفُقَرَاءِ جَازَ ؛ لِأَنَّ الْمُعْتَبَرَ نِيَّةُ الْآمِرِ . كَمَا يَكْفِي أَنْ تَتَحَقَّقَ الْمُقَارَنَةُ لِعَزْلِ الْمِقْدَارِ الْوَاجِبِ مِنَ الزَّكَاةِ عَنْ بَقِيَّةِ مَالِهِ . وَإِنْ كَانَ خِلَافَ الْأَصْلِ ؛ لِأَنَّ الدَّفْعَ إِلَى الْمُسْتَحِقِّينَ يَتَفَرَّقُ ، فَيَتَحَرَّجُ بِاسْتِحْضَارِ النِّيَّةِ عِنْدَ كُلِّ دَفْعٍ . فَاكْتَفَى بِنِيَّةٍ وَاحِدَةٍ عِنْدَ الْعَزْلِ . مَنْعًا لِلْحَرَجِ . وَلَكِنْ لَا يَخْرُجُ عَنِ الْعُهْدَةِ بِالْعَزْلِ ، بَلْ بِالْأَدَاءِ لِلْفُقَرَاءِ . وَإِذَا تَصَدَّقَ بِكُلِّ مَالِهِ سَقَطَتْ عَنْهُ الزَّكَاةُ ، وَلَوْ نَوَى فِعْلًا ، أَوْ لَمْ يَنْوِ شَيْئًا أَصْلًا ؛ لِأَنَّ الْوَاجِبَ جُزْءٌ مِنْهُ ، وَقَدْ تَصَدَّقَ بِاللَّهِ بِالْكُلِّ . وَإِنَّمَا تُشْتَرَطُ النِّيَّةُ لِدَفْعِ الْمُزَاحِمِ . فَلَمَّا أَدَّى الْكُلَّ زَالَتِ الْمُزَاحَمَةُ (٢) وَعِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ : تَجِبُ نِيَّةُ الزَّكَاةِ عِنْدَ عَزْلِهَا أَوْ دَفْعِهَا لِمُسْتَحِقِّهَا . وَيَكْفِي أَحَدُهُمَا . فَإِنْ لَمْ يَنْوِ عِنْدَ الْعَزْلِ وَلَا الدَّفْعِ ، وَإِنَّمَا نَوَى بَعْدَهُ أَوْ قَبْلَهُمَا لَمْ تُجْزِهِ (٣) .وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَجْهَانِ فِي جَوَازِ تَقْدِيمِ النِّيَّةِ عَلَى تَفْرِقَةِ الزَّكَاةِ . وَالْأَصَحُّ

*4. Waktu Niat dalam Zakat:*

Jika niat zakat adalah syarat, maka kapan waktunya?
Ulama Hanafiyah menegaskan perlunya menyertainya dengan penunaian, dan yang dimaksud dengan penunaian adalah pembayaran kepada fakir miskin atau kepada imam; karena dia adalah wakil fakir miskin. Mereka mensyaratkan penyertaan karena itu adalah asal, seperti dalam ibadah lainnya.
Penyertaan hukum sudah cukup dalam pemenuhan. Seperti jika dia membayar tanpa niat kemudian berniat sementara harta masih ada di tangan fakir miskin. Atau dia berniat saat membayar kepada wakil, kemudian wakil membayar tanpa niat, atau dia membayarnya kepada seorang dzimmi untuk membayarkannya kepada fakir miskin, itu diperbolehkan; karena yang dianggap adalah niat pemberi perintah.
Cukup juga jika penyertaan terpenuhi dengan memisahkan jumlah wajib zakat dari sisa hartanya. Meskipun itu bertentangan dengan asal; karena pembayaran kepada orang-orang yang berhak itu terpisah-pisah, maka akan sulit untuk menghadirkan niat pada setiap pembayaran. Maka cukup dengan satu niat saat memisahkan. Untuk mencegah kesulitan. Tetapi tidak keluar dari tanggung jawab dengan pemisahan, melainkan dengan pembayaran kepada fakir miskin.
Jika dia bersedekah dengan seluruh hartanya, maka gugur zakat darinya, meskipun dia berniat untuk melakukannya, atau tidak berniat sama sekali; karena yang wajib adalah sebagian darinya, dan dia telah bersedekah dengan seluruhnya karena Allah. Niat hanya disyaratkan untuk pembayaran yang bersaing. Ketika dia telah membayar seluruhnya, maka hilanglah persaingan (2).
Menurut Malikiyah: Niat zakat wajib saat memisahkan atau membayarkannya kepada yang berhak. Salah satu dari keduanya sudah cukup. Jika dia tidak berniat saat memisahkan atau membayar, dan hanya berniat setelahnya atau sebelumnya, maka itu tidak cukup (3).
Menurut Syafi’iyah, ada dua pendapat tentang kebolehan mendahulukan niat dari pemisahan zakat. Dan yang paling sahih…

كما قال النووي – الإجزاء ، كالصوم ، للعسر في ايجاب المقارنة ولأن القصد سد حاجة الفقير . وعلى هذا يكفي نية الموكل عند الدفع إلى الوكيل . والقول الثاني : يشترط نية الوكيل عند الدفع إلى المساكين . قالوا : ولو وكل وكيلا وفوض النية إليه جاز ( ١ ) وعند الحنابلة كما في المغنى : يجوز تقديم النية على الأداء بالزمن اليسير كسائر العبادات . ولأن هذه تجوز النيابة فيها . فاعتبار مقارنة النية للاخراج يؤدي إلى التغرير بماله . ومع هذا التيسير في تحقق المقارنة شددوا في جانب آخر ، فقال في المغنى : إن دفع الزكاة إلى وكيله ، ونوى هو دون الوكيل ، جاز ، إذا لم تتقدم نيته الدفع بزمن طويل . وان تقدمت بزمن طويل لم يجز ، إلا أن يكون قد نوى حال الدفع إلى الوكيل ، ونوى الوكيل عند الدفع إلى المستحق . وقالوا فيما إذا تصدق بجميع ماله تطوعاً ولم ينو به الزكاة : لا يجزئه لأنه لم ينو به الفرض ، كما لو صلى مائة ركعة ولم ينو الفرض بها . وبهذا قال الشافعي أيضاً ( ٢ ) والذي أختاره في هذه الصور كلها هو التيسير والقول بالإجزاء والقبول . وحسب المسلم أن تكون عنده نية عامة باخراج زكاته .

Sebagaimana yang dikatakan An-Nawawi:
“Mencukupi, seperti puasa, karena kesulitan dalam mewajibkan penyertaan niat, dan karena tujuan dari zakat adalah memenuhi kebutuhan orang miskin. Oleh karena itu, niat pemberi zakat dianggap cukup ketika menyerahkan Tentu, berikut terjemahan teks tersebut ke dalam Bahasa Indonesia:
Sebagaimana yang dikatakan An-Nawawi:
“Mencukupi, seperti puasa, karena kesulitan dalam mewajibkan penyertaan niat, dan karena tujuan dari zakat adalah memenuhi kebutuhan orang miskin. Oleh karena itu, niat pemberi zakat dianggap cukup ketika menyerahkan zakat kepada wakilnya.
Pendapat kedua: Niat wakil disyaratkan ketika menyerahkan zakat kepada orang miskin. Mereka berkata: Jika seseorang mewakilkan orang lain dan menyerahkan niat kepadanya, maka itu diperbolehkan (1).”
Menurut Mazhab Hambali, sebagaimana dalam kitab Al-Mughni:
* “Diperbolehkan mendahulukan niat sebelum penyerahan zakat dalam waktu yang singkat, seperti ibadah-ibadah lainnya. Karena zakat ini diperbolehkan diwakilkan. Maka, menganggap penyertaan niat pada saat pengeluaran zakat akan menyebabkan keraguan terhadap harta seseorang.”
“Meskipun ada kemudahan dalam mewujudkan penyertaan niat, mereka memperketat dalam aspek lain. Dalam kitab Al-Mughni dikatakan: Jika seseorang menyerahkan zakat kepada wakilnya, dan dia (pemberi zakat) berniat tanpa wakilnya, maka itu diperbolehkan, asalkan niatnya tidak mendahului penyerahan zakat dalam waktu yang lama. Jika mendahului dalam waktu yang lama, maka itu tidak diperbolehkan, kecuali jika dia berniat pada saat menyerahkan zakat kepada wakilnya, dan wakilnya berniat pada saat menyerahkan zakat kepada orang yang berhak menerimanya.”
“Mereka juga berkata, jika seseorang menyedekahkan seluruh hartanya sebagai sedekah sunnah dan tidak berniat zakat dengannya, maka itu tidak mencukupi, karena dia tidak berniat untuk kewajiban, seperti jika dia shalat seratus rakaat dan tidak berniat untuk kewajiban dengannya. Pendapat ini juga dianut oleh Imam Syafi’i (2).”
“Pendapat yang saya pilih dalam semua kasus ini adalah kemudahan, penerimaan, dan mencukupi. Cukup bagi seorang Muslim untuk memiliki niat umum dalam mengeluarkan zakatnya.”
Inti dari Teks tersebut:
Teks tersebut membahas perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai waktu dan pihak yang harus berniat dalam pembayaran zakat, terutama ketika menggunakan jasa wakil. Terdapat perbedaan pendapat antara mazhab Syafi’i dan Hambali, dengan mazhab Hambali memberikan kelonggaran dalam hal waktu niat. Penulis teks tersebut cenderung memilih pendapat yang memudahkan, yaitu niat umum dari pemberi zakat sudah dianggap cukup.
kepada wakilnya.
* Pendapat kedua: Niat wakil disyaratkan ketika menyerahkan zakat kepada orang miskin. Mereka berkata: Jika seseorang mewakilkan orang lain dan menyerahkan niat kepadanya, maka itu diperbolehkan (1).”
Menurut Mazhab Hambali, sebagaimana dalam kitab Al-Mughni: “Diperbolehkan mendahulukan niat sebelum penyerahan zakat dalam waktu yang singkat, seperti ibadah-ibadah lainnya. Karena zakat ini diperbolehkan diwakilkan. Maka, menganggap penyertaan niat pada saat pengeluaran zakat akan menyebabkan keraguan terhadap harta seseorang.”
“Meskipun ada kemudahan dalam mewujudkan penyertaan niat, mereka memperketat dalam aspek lain. Dalam kitab Al-Mughni dikatakan: Jika seseorang menyerahkan zakat kepada wakilnya, dan dia (pemberi zakat) berniat tanpa wakilnya, maka itu diperbolehkan, asalkan niatnya tidak mendahului penyerahan zakat dalam waktu yang lama. Jika mendahului dalam waktu yang lama, maka itu tidak diperbolehkan, kecuali jika dia berniat pada saat menyerahkan zakat kepada wakilnya, dan wakilnya berniat pada saat menyerahkan zakat kepada orang yang berhak menerimanya.”
“Mereka juga berkata, jika seseorang menyedekahkan seluruh hartanya sebagai sedekah sunnah dan tidak berniat zakat dengannya, maka itu tidak mencukupi, karena dia tidak berniat untuk kewajiban, seperti jika dia shalat seratus rakaat dan tidak berniat untuk kewajiban dengannya. Pendapat ini juga dianut oleh Imam Syafi’i (2).”
“Pendapat yang saya pilih dalam semua kasus ini adalah kemudahan, penerimaan, dan mencukupi. Cukup bagi seorang Muslim untuk memiliki niat umum dalam mengeluarkan zakatnya.”
Inti dari Teks tersebut:
Teks tersebut membahas perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai waktu dan pihak yang harus berniat dalam pembayaran zakat, terutama ketika menggunakan jasa wakil. Terdapat perbedaan pendapat antara mazhab Syafi’i dan Hambali, dengan mazhab Hambali memberikan kelonggaran dalam hal waktu niat. Penulis teks tersebut cenderung memilih pendapat yang memudahkan, yaitu niat umum dari pemberi zakat sudah dianggap cukup.

5. *Melafalkan Niat *


Berikut ini adalah lafadh niat mengelurkan zakat baik untuk diri sendiri, istri anak maupun Sekeluarga.

a . Niat zakat fitrah untuk diri sendiri


نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِي فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى



Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya sendiri sebagai kewajiban karena Allah Ta’ala.”

b. Niat zakat fitrah untuk diri sendiri dan istri



نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِي وَزَوْجَتِي فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى


Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya sendiri dan istri saya sebagai kewajiban karena Allah Ta’ala.”

c. Niat zakat fitrah untuk diri sendiri, istri, dan anak laki-laki



نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِي وَزَوْجَتِي وَوَلَدِي فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى

Artinya: “Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya sendiri, istri saya, dan anak laki-laki saya sebagai kewajiban karena Allah Ta’ala.”

e..Niat Zakat Fitrah untuk Sekeluarga yang nafkahnya menjadi tanggunggannya



نَوَيْتُ أَنْ أُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ نَفْسِي وَعَنْ جَمِيعِ مَنْ يَلْزَمُنِي نَفَقَتُهُمْ فَرْضًا لِلَّهِ تَعَالَى



Artinya:”Saya niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diri saya sendiri dan untuk semua yang wajib saya nafkahi sebagai kewajiban karena Allah Ta’ala.”.

6. Do’a memberi dan menerima zakat

a. Do’a Ketika memberikan zakat:

اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا مَغْنَمًا وَلَا تَجْعَلْهَا مَغْرَمًا.

Artinya: “Ya Allah, jadikanlah ini sebagai keuntungan, dan jangan jadikan ini sebagai kerugian.”

Doa ini biasa diucapkan ketika mengeluarkan zakat, yang berarti seorang Muslim berdoa kepada Allah agar zakat yang dikeluarkannya menjadi penyebab bertambahnya kebaikan dan berkah baginya, dan bukan menjadi penyebab berkurangnya hartanya atau mengalami kerugian.

b. Doa Menerima Zakat

Salah satu doa yang dianjurkan bagi penerima zakat adalah doa yang pernah dibaca oleh Rasulullah ﷺ ketika menerima zakat dari para sahabat:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ



“Allahumma salli ‘alayhim.” Artinya: “Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada mereka.”

Atau sebut namanya; Misalkan Mahmud yang berzakat  atau dengan istrinya ananaknya maka ucapkan shalawat

اللهم صل على محمود واله


Doa ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an.

Referensi : QS AT-TAUBAH : 103


خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ


“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103) Selain doa tersebut, penerima zakat juga dapat mendoakan pemberi zakat dengan doa berikut:

جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا


“Jazakallahu khairan.”

Artinya: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan.” Atau dengan doa yang lebih panjang:


أَجَرَكَ اللَّهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُورًا وَبَارَكَ لَكَ اللهُ فِيْمَا أَبْقَيْتَ برحمتك ياأرحم الراحمين



Artinya: “Semoga Allah melindungimu dalam apa yang telah engkau berikan,dan menjadikannya penyucian bagimu.” memberkahi apa yang masih engkau miliki,

Dengan demikian dapat dipahami bahwa niat dan doa memiliki peran penting dalam zakat. Doa yang dipanjatkan baik oleh pemberi maupun penerima zakat dapat menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dengan niat yang benar dan doa yang tulus, zakat tidak hanya menjadi kewajiban yang tertunaikan, tetapi juga menjadi wasilah untuk mendapatkan keberkahan, membersihkan harta, serta meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. 


فقه الزكاة الجزء الثاني للشيخ الدكتور يوسف القرضاوي ص ٥٩٣

الدعاء لأصحاب الأموال : ومن الجوانب الروحية التي تميزت بها فريضة الزكاة عن الضرائب والمكوس الأخرى : أن الممول يدفعها عن طيب نفس سائلاً الله أن يتقبلها منه ، وأن الجابي الذي يأخذها منه مأمور أن يدعو له بنص كتاب الله الذي يقول ( خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها ، وصل عليهم إن صلاتك سكن لهم . ) عن عبد الله بن أبي أوفى : أن أباه جاء إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم بصدقة ماله فقال : اللهم صل على آل أبي أوفى (١)



Fiqih Zakat Dr.Yusuf al-Qaradawi ,hal:593

Doa untuk Para Pemilik Harta: Di antara aspek-aspek spiritual yang membedakan kewajiban zakat dari pajak dan pungutan lainnya adalah: bahwa orang yang wajib zakat membayarnya dengan hati yang lapang, memohon kepada Allah agar Dia menerimanya. Dan petugas yang mengambil zakat darinya diperintahkan untuk mendoakannya sesuai dengan teks kitab Allah yang berfirman (Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. ) Dari Abdullah bin Abi Aufa: Bahwa ayahnya datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa zakat hartanya, maka beliau bersabda: Ya Allah, berilah shalawat kepada keluarga Abu Aufa (1). Catatan: (1)  Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.

فقه الزكاة الجزء الثاني للشيخ الدكتور يوسف القرضاوي ص ٨٤٣

ما يقوله آخذ الزكاة ومعطيها :
ونرى الجانب الروحي الذي تمتاز به الزكاة عن الضرائب الوضعية في مظاهر عدة ، نظراً لما لها من صفة العبادة في نظام الإسلام :
منها : أن جابي الزكاة مأمور أن يدعو لأهلها عند دفعها له ، ترغيباً لهم في المسارعة وإشعاراً برابطة الأخوة بين الآخذ والمعطي ، وتمييزاً للمسلمين عن غيرهم من أهل الملل والديانات ودافعي المكوس الجائرة . وهذا امتثال لقوله تعالى : ( خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها ، وصل عليهم . إن صلاتك سكن لهم ) . ومعنى ( صل عليهم ( ادع لهم . وقد بين الله تعالى أثر هذا الدعاء في أنفس دافعي الصدقات ، وهو السكينة والطمأنينة والأمن والتثبت . وقد روى عبد الله بن أبي أوفى قال : كان رسول الله لا إذا أتاه قوم بصدقتهم قال : اللهم صل عليهم ، فأتاه أبي أبو او فى بصدقته فقال : اللهم صل على آل أبي أوفى ( ٣ ) وهذا الدعاء غير مقيد بصيغة معينة . وقال الإمام الشافعي : أحب أن يقول : أجرك الله فيما أعطيت ، وجعله لك طهوراً ، وبارك لك فيما أبقيت ( ١ ) .وقد روى النسائي أن النبي دعا لرجل بحث بناقة حسناء فقال : « اللهم بارك فيه وفي إبله ( ۲ ) » .
وهل هذا الدعاء واجب أو مستحب ؟ ظاهر الأمر في الآية يفيد الوجوب ، وهو قول الظاهرية وبعض الشافعية . وقال الجمهور : لو كان واجباً لعلمه النبي لسعاته وولاته كمعاذ وغيره ، غير أن ذلك لم ينقل ( ۳ ) وهذا الاعتراض مردود : الجواز اكتفائه الا بالآية ، التي لا تخفى على مثل معاذ رضي الله عنه .
وقالوا أيضاً : إن سائر ما يأخذه الإمام من الديون والكفارات وغيرها لا يجب عليه فيها الدعاء ، وكذلك الزكاة ( ٤ ) . وهذا أيضاً لا حجة فيه ؛ لثبوت الأمر في الزكاة بصريح الآية دون غيرها . وهذا لما لها من عظيم المنزلة في الدين ، ولأنها حق لازم دوري ، فحسن الترغيب فيه ، والتثبيت عليه

Apa yang diucapkan oleh pengambil dan pemberi zakat:
Kita melihat sisi spiritual yang membedakan zakat dari pajak konvensional dalam beberapa aspek, mengingat sifatnya sebagai ibadah dalam sistem Islam:
Salah satunya adalah bahwa pengumpul zakat diperintahkan untuk mendoakan para pembayar zakat ketika mereka menyerahkannya, sebagai dorongan bagi mereka untuk bersegera, sebagai indikasi ikatan persaudaraan antara pengambil dan pemberi, dan sebagai pembeda antara Muslim dan non-Muslim serta pembayar pajak yang tidak adil. Ini adalah pelaksanaan firman Allah Ta’ala: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka.” (QS. At-Taubah: 103). Makna dari “berdoalah untuk mereka” adalah doakanlah mereka. Allah Ta’ala telah menjelaskan pengaruh doa ini pada jiwa para pembayar zakat, yaitu ketenangan, ketentraman, keamanan, dan keteguhan. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata: Rasulullah SAW apabila ada suatu kaum datang membawa zakat mereka, beliau bersabda: “Ya Allah, berilah shalawat atas mereka.” Kemudian ayahku, Abu Aufa, datang membawa zakatnya, maka beliau bersabda: “Ya Allah, berilah shalawat atas keluarga Abu Aufa.” Doa ini tidak terbatas pada formula tertentu. Imam Syafi’i berkata: Aku suka jika dia berkata: “Semoga Allah memberikan pahala atas apa yang engkau berikan, menjadikannya sebagai pembersih bagimu, dan memberkahi apa yang engkau tinggalkan.” Diriwayatkan oleh An-Nasa’i bahwa Nabi SAW mendoakan seorang laki-laki yang datang dengan seekor unta betina yang bagus, beliau bersabda: “Ya Allah, berkahilah dia dan untanya.”
Apakah doa ini wajib atau sunnah? Zahir perintah dalam ayat tersebut menunjukkan kewajiban, dan ini adalah pendapat Zahiriyah dan sebagian Syafi’iyah. Mayoritas ulama berkata: Jika itu wajib, niscaya Nabi SAW akan mengajarkannya kepada para petugas dan gubernurnya seperti Mu’adz dan lainnya, namun hal itu tidak diriwayatkan. Bantahan terhadap keberatan ini: Cukup baginya dengan ayat tersebut, yang tidak tersembunyi dari orang seperti Mu’adz RA.
Mereka juga berkata: Sesungguhnya semua yang diambil oleh imam dari hutang, kafarat, dan lainnya, tidak wajib baginya untuk mendoakan mereka, begitu juga zakat. Ini juga tidak ada hujjahnya; karena perintah dalam zakat telah ditetapkan dengan jelas dalam ayat tersebut, tidak seperti yang lainnya. Ini karena kedudukan zakat yang agung dalam agama, dan karena ia adalah hak yang wajib dan berkala, maka baik untuk mendorongnya dan meneguhkannya.

وأما جعل الوجوب خاصاً به ، لكون صلاته سكناً لهم بخلاف غيره فهذا تثبيت للشبهة التي تعلق بذيلها المانعون للزكاة في عهد أبي بكر ، ولم يقبلها منهم أحد من الصحابة ، وكيف نجعل أول الآية عاماً وآخرها خاصاً بالرسول ؟
فالأرجح أن يبقى الأمر على أصل صيغته مفيداً للوجوب ، وهذا يوافق طبيعة الزكاة الخاصة ، ونظرة الإسلام إليها ، وما يميزها عن الضرائب التي يفرضها البشر .
ومنها : أن دافع الزكاة مطالب أن يكون طيب النفس بها ، داعياً الله أن يتقبلها منه ، وأن يجعلها مغنماً له ، لا مغرماً عليه . هكذا علمنا رسول الله حيث قال : « إذا أعطيتم الزكاة فلا تنسوا ثوابها ، أن تقولوا : اللهم  اجعلها مغنماً ولا تجعلها مغرماً (١) معنى الحديث ان على المكلف إذا أعطى الزكاة – للفقير المستحق أو للعامل عليها من قبل الإمام – ألا يهمل هذا الدعاء ليتم له ثوابها . ومعنى الدعاء : اللهم طيب نفسي بها ، حتى أري إخراجها مغنماً وربحاً لي في ديني ودنياي وآخرتي ، ولا أراها غرامة أغرمها وأخرجها وأنا كاره . وقد روي في حديث رواه الترمذي عن علي مرفوعاً : « إذا فعلت أمتي خمس عشرة خصلة حل بها البلاء .. وعد منها : إذا اتخذت الأمانة مغنماً والزكاة مغرماً (٢) » . وإذا سأل المسلم ربه ألا يجعل زكاته مغرماً ، فهو يجنب نفسه وأمته أسباب البلاء . وهذا بناء على أن فعل « أعطيتم » مبني للفاعل . وهذا المشهور . ويجوز بناؤه للمفعول كما قال المناوي ، فيكون الخطاب للمستحقين . أي إذا أعطيتم أيها المستحقون ، فلا تتركوا مكافأة المزكي على إحسانه بأن تقولوا : اللهم اجعلها له مغنماً ، ولا تجعلها عليه مغرماً (٣) . ومثل ذلك وكيل المستحقين وهو الإمام أو نائبه . وهو المفهوم من قوله تعالى « وصل عليهم » .

“Adapun menjadikan kewajiban itu khusus bagi beliau (Nabi Muhammad SAW), karena do’a beliau adalah ketenangan bagi mereka, berbeda dengan yang lain, maka ini adalah penetapan syubhat yang dipegang oleh orang-orang yang menolak zakat pada masa Abu Bakar, dan tidak seorang pun dari para sahabat yang menerima syubhat itu. Bagaimana kita menjadikan awal ayat umum dan akhirnya khusus untuk Rasulullah SAW?
Maka yang lebih kuat adalah membiarkan perintah itu pada bentuk aslinya, memberikan makna wajib, dan ini sesuai dengan sifat khusus zakat, pandangan Islam terhadapnya, dan apa yang membedakannya dari pajak yang dikenakan oleh manusia.
Di antaranya adalah: bahwa pembayar zakat dituntut untuk berlapang dada dengannya, berdoa kepada Allah agar menerimanya, dan menjadikannya keuntungan baginya, bukan kerugian baginya. Demikianlah yang diajarkan Rasulullah SAW, di mana beliau bersabda: ‘Jika kalian memberikan zakat, janganlah kalian melupakan pahalanya, yaitu dengan mengucapkan: Ya Allah, jadikanlah ia keuntungan bagiku, dan janganlah Engkau jadikan kerugian bagiku (1).’ Makna hadits ini adalah bahwa orang yang wajib zakat – kepada fakir miskin yang berhak atau kepada petugas zakat dari pihak imam – janganlah mengabaikan doa ini agar pahalanya sempurna baginya. Makna doa ini adalah: Ya Allah, lapangkanlah dadaku dengannya, sehingga aku melihat pengeluarannya sebagai keuntungan dan laba bagiku dalam agama, dunia, dan akhiratku, dan janganlah aku melihatnya sebagai denda yang aku keluarkan dengan terpaksa. Diriwayatkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Ali secara marfu’: ‘Jika umatku melakukan lima belas perkara, maka bencana akan menimpa mereka… dan di antaranya adalah: jika amanah dijadikan keuntungan dan zakat dijadikan kerugian (2).’ Jika seorang Muslim memohon kepada Tuhannya agar tidak menjadikan zakatnya sebagai kerugian, maka ia menjauhkan dirinya dan umatnya dari sebab-sebab bencana. Ini berdasarkan pada kata ‘a’thaitum’ (kalian memberikan) yang dibangun dalam bentuk aktif. Ini yang masyhur. Boleh juga dibangun dalam bentuk pasif, seperti yang dikatakan oleh al-Munawi, maka yang diajak bicara adalah orang-orang yang berhak. Yaitu, jika kalian diberi, wahai orang-orang yang berhak, maka janganlah kalian meninggalkan balasan bagi orang yang berzakat atas kebaikannya dengan mengucapkan: Ya Allah, jadikanlah ia keuntungan baginya, dan janganlah Engkau jadikan kerugian baginya (3). Demikian pula wakil orang-orang yang berhak, yaitu imam atau wakilnya. Inilah yang dipahami dari firman Allah SWT, ‘dan berdoalah untuk mereka’.”Wallahu a’lam

Kategori
Hukum

HUKUM AMIL ZAKAT MENGURANGI TAKARAN ZAKAT FITRAH DEMI PEMERATAAN

Assalamualaikum.

Deskripsi Masalah:

Seorang ustadz menerima titipan zakat fitrah sebanyak 9 bungkus untuk disalurkan kepada para mustahiq. Namun, jumlah mustahiq yang ada di tempat tersebut sebanyak 11 orang. Agar semua mustahiq mendapat bagian, ustadz membagi ulang 9 bungkus zakat fitrah tersebut menjadi 11 bagian, sehingga setiap mustahiq menerima bagian yang lebih sedikit dari takaran zakat fitrah yang seharusnya.

Pertanyaan:

Apakah tindakan ini sah sebagai zakat fitrah?

Jawaban:

Berdasarkan prinsip distribusi zakat dalam Islam, Amil memberikan zakat kepada lebih dari satu orang dengan jumlah berbeda maka hukumnya tetap sah.Karena Muzakki telah meng ijabkannya kepada Mustahik ( Amil zakat ) dalam mengeluarkan zakat dengan jumlah takaran zakat fitrah(satu Sho’ ),walaupun setelah sampai kepada amil zakat disamaratakan sebagaimana Deskripsi karena itu adalah sebuah kebijakan bukan kebijaksanaan, ( bukan pelanggaran )

Adapun alokasi harus dilakukan berdasarkan kebutuhan dan jumlah penerima, bukan sekadar pemerataan , dan tidak ada unsur kezaliman terhadap mustahiq yang berhak menerima.

Jika dana terbatas, boleh diberikan kepada satu individu atau satu golongan saja. Namun prioritas utama adalah tetap diberikan kepada fakir dan miskin .Dalam semua kondisi, pendistribusian harus sesuai dengan maslahat yang ditetapkan dalam syariat.

فقه الزكاة الجزء الثاني  للشيخ الدكتور  يوسف القرضاوي ص ٦٨٧- ٧٩٣

الفصل الثامن
مباحث حول الأصناف المستحقين
مذاهب الفقهاء في استيعاب الأصناف : ذكر الله تعالى مصارف الزكاة في كتابه الكريم ، وحصرها في ثمانية أصناف شرحناها وفصلنا القول في بيانها . وبقي هنا مسألة لا بد من توضيحها . وهي : هل يجب على مفرق الزكاة سواء أكان المالك أو الحاكم – أن يوزعها على جميع هؤلاء الأصناف الثمانية : وان يسوى بينهم في قدر ما يعطيه ؟ هكذا فهم بعض الفقهاء . منهم الإمام الشافعي الذي أطال في تفصيل هذه المسألة في كتاب ( الأم ) في فصول كثيرة . قال النووي في المجموع : قال الشافعي والأصحاب رحمهم الله : ان كان مفرق الزكاة هو المالك أو وكيله سقط نصيب العامل . ووجب صرفها إلى الأصناف السبعة الباقين ان وجدوا ، وإلا فالموجود منهم . ولا يجوز ترك صنف منهم مع وجوده ، فإن تركه ضمن نصيبه .. وبمذهبنا في استيعاب الاصناف قال عكرمة وعمر بن عبد العزيز والزهري وداود  . وعن أحمد رواية أيضاً توافق مذهب الشافعي : انه يجب تعميمهم والتسوية بينهم

Bab Kedelapan

Pembahasan tentang Golongan yang Berhak Menerima Zakat
Mazhab-mazhab Fikih dalam Mencakup Semua Golongan Penerima Zakat:
Allah Ta’ala telah menyebutkan tempat-tempat penyaluran zakat dalam Kitab-Nya yang mulia, dan membatasinya pada delapan golongan. Kami telah menjelaskan dan merinci perkataan mengenai hal ini. Namun, masih ada satu masalah yang perlu dijelaskan. Yaitu: Apakah wajib bagi orang yang membagikan zakat, baik pemilik harta atau penguasa, untuk menyalurkannya kepada semua delapan golongan ini, dan menyamakan mereka dalam jumlah yang diberikan? Demikianlah pemahaman sebagian ulama. Di antara mereka adalah Imam Syafi’i, yang telah panjang lebar menjelaskan masalah ini dalam kitabnya (Al-Umm) dalam beberapa bab.
An-Nawawi berkata dalam Al-Majmu’: Imam Syafi’i dan para sahabatnya, semoga Allah merahmati mereka, berkata: Jika orang yang membagikan zakat adalah pemilik harta atau wakilnya, maka bagian amil (pengelola zakat) gugur. Wajib menyalurkannya kepada tujuh golongan yang tersisa jika mereka ada, jika tidak, maka kepada yang ada di antara mereka. Tidak boleh meninggalkan salah satu golongan pun jika mereka ada, jika ia meninggalkannya, maka ia telah mengurangi bagian mereka… Dan menurut mazhab kami dalam mencakup semua golongan, (pendapat) Ikrimah, Umar bin Abdul Aziz, Az-Zuhri, dan Dawud
(1). Dan dari Ahmad, ada riwayat yang juga sesuai dengan mazhab Syafi’i: bahwa wajib untuk mencakup mereka semua dan menyamakan diantara mereka.

وأن يدفع من كل صنف إلى ثلاثة فصاعدا : لأنه أقل الجمع . إلا العامل : لأن ما يأخذه اجرة ، فجاز ان يكون واحداً ، وان تولى الرجل اخراجها بنفسه سقط العامل . وهذا اختيار أبي بكر من الحنابلة
واستحب أصبغ من المالكية مذهب الشافعي في تعميم الأصناف ، حتى
لا يندرس العلم باستحقاقهم . ولما فيه من الجمع بين مختلف المصالح لما فيه من سد الخلة والغزو ووفاء الدين . وغير ذلك ولما يوجبه من
دعاء الجميع  . قال ابن العربي : واتفقوا على انه لا يعطى جميعها للعاملين فيها لأن ذلك اخلال بالمقصود من شرعية الزكاة وهو سد خلة المسلمين . وسد خلة الإسلام كما قال الطبري . واعتمد أصحاب الشافعي على أن الله أضاف الصدقة بلام التمليك (للفقراء والمساكين .. الخ ) إلى مستحق حتى يصح منه الملك على وجه التشريك . فكان ذلك بياناً للمستحقين ، وهذا كما لو أوصى لاصناف معينين أو لقوم معينين . فيجب ان يعمهم جميعاً : واستدلوا من السنة بما رواه أبو داود عن زياد بن الحارث الصدائي قال : أتيت رسول الله ﷺ فبايعته فأتاه رجل فقال : اعطني من الصدقة . فقال له رسول الله ﷺ ان الله لم يرض بحكم نبي ولا غيره في الصدقات حتى حكم هو فيها فجزأها ثمانية أجزاء ، فإن كنت من أهل تلك الأجزاء أعطيتك
حقك . .وخالف الشافعي مالك وأبو حنيفة وأصحابهما ، ولم يوجبوا استيعاب الأصناف في القسمة . وقالوا : ان اللام في الآية ليست لام التمليك ، وإنما هي لام الأجل

Dan setiap golongan (penerima zakat) harus diberikan kepada tiga orang atau lebih, karena itu adalah jumlah minimal dari bentuk jamak. Kecuali amil zakat, karena apa yang mereka ambil adalah upah, maka boleh saja diberikan kepada satu orang. Dan jika seseorang bertanggung jawab atas pengeluaran zakat itu sendiri, maka gugurlah statusnya sebagai amil zakat. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Abu Bakar dari kalangan Hanabilah .
Ashbagh dari kalangan Malikiyah menganjurkan mazhab Syafi’i dalam menggeneralisasikan golongan-golongan (penerima zakat), agar ilmu tentang hak mereka tidak hilang. Dan karena di dalamnya terdapat pengumpulan antara berbagai kemaslahatan, seperti menutupi kebutuhan, berperang, menunaikan hutang, dan lain-lain, serta karena hal itu sesuai dengan seruan semua orang .
Ibnu Arabi berkata: Mereka sepakat bahwa zakat tidak diberikan semuanya kepada para amil yang bekerja di dalamnya (3), karena hal itu merusak tujuan dari pensyariatan zakat, yaitu menutupi kebutuhan orang-orang Muslim. Dan menutupi kebutuhan Islam, sebagaimana yang dikatakan oleh Thabari.
Para pengikut mazhab Syafi’i berpendapat bahwa Allah menambahkan kata “sedekah” dengan lam (huruf lam) kepemilikan (untuk fakir miskin… dst) kepada orang yang berhak, sehingga kepemilikan dari sedekah itu sah secara syirkah (bersama). Maka hal itu menjadi penjelasan bagi orang-orang yang berhak. Dan ini seperti jika seseorang mewasiatkan kepada golongan-golongan tertentu atau kaum tertentu (3). Maka wajib untuk mencakup mereka semua.
Mereka berdalil dari sunnah dengan riwayat Abu Dawud dari Ziyad bin Harits ash-Shuda’i, ia berkata: Aku mendatangi Rasulullah ﷺ dan membai’atnya, lalu datang seorang laki-laki dan berkata: Berikanlah aku sedekah. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: Sesungguhnya Allah tidak meridhai hukum seorang nabi atau selainnya dalam hal sedekah, sehingga Dia sendiri yang menetapkan hukumnya, lalu Dia membaginya menjadi delapan bagian. Jika kamu termasuk salah satu dari delapan bagian itu, maka akan aku berikan hakmu.
Mazhab Syafi’i berbeda dengan mazhab Maliki dan Abu Hanifah serta pengikut mereka, mereka tidak mewajibkan mencakup semua golongan dalam pembagian zakat.
Mereka berkata: Sesungguhnya lam (huruf lam) dalam ayat tersebut bukanlah lam kepemilikan, melainkan lam waktu.

كقولك : هذا السرج للدابة ، والباب للدار واستدلوا بقوله تعالى ( إن تبدوا الصدقات فنعما هي ، وإن تخفوها وتؤتوها الفقراء فهو خير لكم ) فلم يذكر لها في الآية مصرفاً إلا الفقراء . والصدقة متى اطلقت في القرآن فهي صدقة الفرض . وقال النبي صلى الله عليه وسلم أمرت أن آخذ الصدقة من أغنيائكم وأردها على فقرائكم . وهذا نص في ذكر أحد الأصناف قرآناً وسنة وقد روى أبو عبيد عن ابن عباس أنه قال : إذا وضعتها في صنف واحد من هذه الأصناف فحسبك ؛ إنما قال الله تبارك وتعالى ( إنما الصدقات للفقراء والمساكين ) وكذا وكذا ، لئلا يجعلها في غير هذه الأصناف » ، ونحوه عن حذيفة وعن ابن شهاب قال : أسعدهم بها أكثرهم عدداً وأشدهم فاقة . وعن ابراهيم قال : ما كانوا يسألون إلا عن الفاقة ( الفاقة : الفقر ) .وقال سفيان وأهل العراق ( أبو حنيفة وأصحابه ) : إذا وضعها في صنف واحد من الثمانية أجزأه وقال ابراهيم النخعي : إذا كان المال كثيراً ففرقه في الأصناف . وإذا كان قليلا فاعطه صنفاً واحداً . وروى مثل هذا عن عطاء  وقال أبو ثور : إن أخرجه صاحبه جاز له ان يضعه في قسم ، وان قسمه الإمام استوعب الأصناف . وقال مالك : الأمر عندنا في قسم الصدقات أن ذلك لا يكون إلا على وجه الاجتهاد من الوالي . فأي الأصناف كانت الحاجة فيه والعدد ، أوثر ذلك الصنف بقدر ما يرى الوالي ، وعسى أن ينتقل ذلك إلى الصنف الآخر بعد عام أو عامين أو أعوام ، فيؤثر أهل الحاجة والعدد حيثما كان ذلك .

Pendapat Mereka:

“Seperti ucapanmu: Pelana ini untuk hewan tunggangan, dan pintu ini untuk rumah.”
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya): “Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikannya itu lebih baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 271). Ayat ini tidak menyebutkan tempat penyaluran sedekah selain orang-orang fakir.
Dan sedekah, kapan pun disebutkan secara mutlak dalam Al-Qur’an, maka itu adalah sedekah wajib. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku diperintahkan untuk mengambil sedekah dari orang-orang kaya kalian dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir kalian.” Ini adalah nash (dalil tegas) dalam menyebutkan salah satu golongan (penerima sedekah) berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah
Abu Ubaid meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata: “Jika kamu meletakkannya (sedekah) pada satu golongan saja dari golongan-golongan ini, maka itu sudah cukup bagimu. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya sedekah-sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin…” dan seterusnya, agar tidak diletakkan pada selain golongan-golongan ini.” Dan yang serupa dengannya diriwayatkan dari Hudzaifah.
Dari Ibnu Syihab, ia berkata: “Orang yang paling bahagia dengan sedekah itu adalah yang paling banyak jumlahnya dan yang paling parah kefakirannya.”
Dari Ibrahim, ia berkata: “Mereka tidak bertanya kecuali tentang kefakiran (al-faqah: kemiskinan).”
Sufyan dan ulama Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya) berkata: “Jika seseorang meletakkannya (sedekah) pada satu golongan saja dari delapan golongan, maka itu sudah cukup.”
Ibrahim An-Nakha’i berkata: “Jika harta itu banyak, maka ia membaginya kepada semua golongan. Dan jika harta itu sedikit, maka ia memberikannya kepada satu golongan saja.” Pendapat yang serupa diriwayatkan dari Atha’ .
Abu Tsaur berkata: “Jika pemiliknya mengeluarkan (sedekah), maka ia boleh meletakkannya pada satu bagian saja. Dan jika imam yang membaginya, maka ia mencakup semua golongan.”
Malik berkata: “Pendapat kami dalam pembagian sedekah adalah bahwa itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan ijtihad dari penguasa. Golongan mana pun yang paling membutuhkan dan paling banyak jumlahnya, maka golongan itu yang diutamakan sesuai dengan apa yang dilihat oleh penguasa. Dan mungkin saja sedekah itu dipindahkan ke golongan lain setelah satu tahun, dua tahun, atau beberapa tahun, lalu orang-orang yang membutuhkan dan banyak jumlahnya diutamakan di mana pun mereka berada.”

وعلى هذا أدركت من أرضى من أهل العلم  وأوجه الأقوال المذكورة ما قاله النخعي وأبو ثور ومالك وهي – فيما أرى – يكمل بعضها بعضا.
تحقيق صاحب الروضة الندية :
وقد حقق ذلك صاحب الروضة الندية فقال : إن الله سبحانه جعل الصدقة مختصة بالأصناف الثمانية غير سائغة لغيرهم . واختصاصها بهم لا يستلزم أن تكون موزعة بينهم على السوية ، ولا أن يقسط كل ما حصل من قليل أو كثير عليهم . بل المعنى : أن جنس الصدقات الجنس هذه الأصناف . فمن وجب عليه شيء من جنس الصدقة ، ووضعه في جنس الأصناف فقد فعل ما أمره الله فيه وسقط عنه ما أوجبه الله عليه . ولو قيل : إنه يجب على المالك – إذا حصل له شيء تجب فيه الزكاة – تقسيطه على جميع الأصناف الثمانية على فرض وجودهم جميعاً ، لكان ذلك – مع ما فيه من الحرج والمشقة – مخالفاً لما فعله المسلمون سلفهم وخلفهم . وقد يكون الحاصل شيئاً حقيراً لو قسم على جميع الأصناف لما انتفع كل صنف بما حصل له ، ولو كان نوعاً واحداً فضلاً عن أن يكون عدداً !! وحديث زياد بن الحارث الذي قال له النبي : إن الله لم يرض بحكم نبي ولا غيره في الصدقات حتى حكم فيها هو فجزأها ثمانية أجزاء … هذا الحديث على فرض صلاحيته للاحتجاج ( ففي إسناده مقال ) فالمراد بتجزئة الصدقة تجزئة مصارفها ، كما هو مصارف الآية التي قصدها ﷺ . ولو كان المراد تجزئة الصدقة نفسها ، وأن كل جزء لا يجوز صرفه في غير الصنف المقابل له ، لما جاز صرف نصيب ما هو معدوم من الأصناف إلى غيره ، وهو خلاف الإجماع من المسلمين . وأيضاً لو سلم ذلك لكان باعتبار مجموع الصدقات التي تجتمع عند الإمام .

Dan atas dasar ini, saya menyadari dari orang-orang yang diridhai dari kalangan ulama (1).
Dan saya menafsirkan perkataan-perkataan yang disebutkan itu seperti yang dikatakan oleh An-Nakha’i, Abu Tsaur, dan Malik, yaitu – menurut pendapat saya – sebagiannya melengkapi sebagian yang lain.
Penelitian Pemilik Ar-Raudhah An-Nadiyah:
Pemilik Ar-Raudhah An-Nadiyah telah meneliti hal itu dan berkata: Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan sedekah khusus untuk delapan golongan, tidak sah untuk selain mereka. Pengkhususan mereka tidak mengharuskan pembagian yang sama rata di antara mereka, dan tidak pula harus membagi semua yang diperoleh dari sedikit atau banyak di antara mereka. Tetapi maknanya: bahwa jenis sedekah adalah jenis dari golongan-golongan ini. Maka barangsiapa yang wajib mengeluarkan sesuatu dari jenis sedekah, dan ia meletakkannya pada jenis golongan tersebut, maka ia telah melakukan apa yang diperintahkan Allah kepadanya dan gugur darinya apa yang diwajibkan Allah kepadanya. Jika dikatakan: bahwa pemilik wajib – jika ia memperoleh sesuatu yang wajib dizakati – membaginya kepada delapan golongan secara merata dengan asumsi bahwa mereka semua ada, maka hal itu – di samping adanya kesulitan dan kesusahan – bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh kaum Muslimin terdahulu dan yang kemudian. Dan bisa jadi hasil yang diperoleh adalah sesuatu yang sedikit, jika dibagikan kepada semua golongan, maka setiap golongan tidak akan memperoleh manfaat dari apa yang diperolehnya, apalagi jika hanya ada satu jenis, daripada jumlah yang banyak!!
Dan hadits Ziyad bin Al-Harits yang Nabi bersabda kepadanya: Sesungguhnya Allah tidak meridhai hukum seorang nabi atau selainnya dalam hal sedekah hingga Dia sendiri yang menetapkan hukumnya dan membaginya menjadi delapan bagian… Hadits ini, dengan asumsi kesahihannya untuk dijadikan hujjah (karena dalam sanadnya ada masalah), maka yang dimaksud dengan pembagian sedekah adalah pembagian tempat penyalurannya, sebagaimana tempat penyaluran ayat yang dimaksudkan. Jika yang dimaksud adalah pembagian sedekah itu sendiri, dan bahwa setiap bagian tidak boleh disalurkan kepada selain golongan yang sesuai, maka tidak boleh menyalurkan bagian dari golongan yang tidak ada kepada selainnya, dan ini bertentangan dengan ijma’ kaum Muslimin.
Dan juga, jika hal itu diterima, maka hal itu berdasarkan jumlah sedekah yang terkumpul di sisi imam.

لا باعتبار صدقة كل فرد . فلم يبق ما يدل على وجوب التقسيط . بل يجوز إعطاء بعض المستحقين بعض الصدقات واعطاء بعضهم بعضاً آخر . نعم إذا جمع الإمام جميع صدقات أهل قطر من الأقطار وحضر عنده جميع الأصناف الثمانية كان لكل صنف حق في مطالبته بما فرضه الله . وليس عليه تقسيط ذلك بينهم بالسوية ولا تعميمهم بالعطاء ، بل له ان يعطي بعض الأصناف أكثر من البعض الآخر . وله ان يعطي بعضهم دون بعض – إذا رأى ذلك صلاحاً عائداً على الإسلام وأهله . مثلا إذا جمعت لديه الصدقات وحضر الجهاد وحقت المدافعة عن حوزة الإسلام من الكفار أو البغاة فإن له ايثار أصناف المجاهدين بالصرف إليهم وان استغرق جميع الحاصل من الصدقات . وهكذا إذا اقتضت المصلحة ايثار غير المجاهدين ) اهـ

“Tidak dengan mempertimbangkan sedekah setiap individu. Maka tidak tersisa petunjuk yang menunjukkan kewajiban pembagian secara merata. Bahkan, boleh memberikan sebagian sedekah kepada sebagian orang yang berhak, dan memberikan sebagian lainnya kepada sebagian yang lain. Ya, jika imam mengumpulkan semua sedekah penduduk suatu daerah dari berbagai wilayah dan semua delapan golongan (penerima zakat) hadir di hadapannya, maka setiap golongan memiliki hak untuk menuntut apa yang telah diwajibkan Allah. Dan tidak wajib baginya untuk membagi sedekah itu di antara mereka secara merata, atau menyamaratakan pemberiannya. Bahkan, ia boleh memberikan sebagian golongan lebih banyak dari golongan lain. Dan ia boleh memberikan kepada sebagian golongan tanpa memberikan kepada sebagian yang lain – jika ia melihat hal itu membawa kebaikan bagi Islam dan pemeluknya. Misalnya, jika terkumpul di sisinya sedekah-sedekah dan jihad hadir, serta pembelaan terhadap wilayah Islam dari orang-orang kafir atau pemberontak menjadi hak, maka ia boleh mengutamakan golongan mujahid dalam memberikan sedekah kepada mereka, meskipun hal itu menghabiskan semua yang diperoleh dari sedekah. Demikian pula, jika kemaslahatan menuntut pengutamaan selain mujahid, maka demikianlah yang dilakukan.”

.إلى أن قال
الخلاصة في التوزيع على الأصناف :
وخلاصة القول بعد ذكر هذه الآراء والتحقيقات والترجيحات . نعرضها
فيما يلي :
١ – ينبغي تعميم الأصناف المستحقين إذا كثر المال ، ووجدت الأصناف وتساوت حاجاتهم أو تقاربت ، ولا يجوز حرمان صنف منهم مع قيام سبب استحقاقه ووجود حاجته . وهذا يتعين في حق الامام أو السلطة الشرعية التي تجمع الزكوات وتفرقها على المستحقين .
٢ – عند تعميم الأصناف الموجودين بالفعل من الثمانية ، ليس بواجب أن نسوي بين كل صنف وآخر في قدر ما يصرف له ، وإنما يكون ذلك حسب العدد والحاجة . فقد يوجد في اقليم ألف فقير ولا يوجد من الغارمين أو ابن السبيل إلا عشرة ، فكيف يعطى عشرة ما يعطاه ألف ؟ ! لهذا نرى الأوفق هنا ما ذهب إليه مالك ومن قبله ابن شهاب من ايثار الصنف الذي فيه العدد والحاجة بالنصيب الأكبر خلافاً لمذهب الشافعي .
٣ – يجوز صرف الزكاة كلها لبعض الأصناف خاصة ، لتحقيق مصلحة معتبرة شرعاً تقتضي التخصيص . كما أنه عند اعطاء صنف من الأصناف الثمانية لا يلزم التسوية بين جميع افراده في قدر ما يعطونه . بل يجوز المفاضلة بينهم حسب حاجاتهم . فإن الحاجات تختلف من فرد إلى آخر . المهم أن يكون التفضيل – إن وجد – لسبب ومصلحة لا لهوى وشهوة . ودون اجحاف بالآخرين من الأصناف أو الأفراد
٤ – ينبغي أن يكون الفقراء والمساكين هم أول الأصناف الذين تصرف لهم الزكاة ، فإن كفايتهم واغناءهم هو الهدف الأول للزكاة ، حتى إن الرسول ﷺ لم يذكر في حديث معاذ وغيره إلا هذا المصرف . « تؤخذ من أغنيائهم ، فترد على فقرائهم » ، وذلك لما لهذا المصرف من أهمية خاصة . فلا يجوز للحاكم أن يأخذ أموال الزكاة لينفقها على الجيش مثلاً ، ويدع الفئات الضعيفة المحتاجة من أهل الفقر والمسكنة يأكلها الجوع والعري والضياع ، ويحرقها الحقد والحسد والبغضاء . وكل هذا ما لم تطرأ ظروف خاصة مؤقتة تجعل علاجها مقدماً على علاج. وكل هذا ما لم تطرأ ظروف خاصة مؤقتة تجعل علاجها مقدماً على علاج الفقر والمسكنة . ٥ – ينبغي الأخذ بمذهب الشافعي في تعيين الحد الأقصى الذي يصرف للعاملين على الزكاة جباية وتوزيعاً . وقد حدده بمقدار « الثمن ، من حصيلة الزكاة . فلا يجوز الزيادة عليه . فإن مما يعاب على أكثر الضرائب الوضعية أن مقداراً كبيراً مما يجبى منها ينفق على الإدارات والأجهزة المكلفة بالجباية ، فلا تصل المبالغ المحصلة من الممولين إلى الخزانة إلا بعد أن تكون قد نقصت نقصاً ملحوظاً بسبب الاسراف في نفقات الجباية والتحصيل ، وما تستلزمه فخامة المناصب ، وأناقة المكاتب ، والعناية بالمظاهر ، والميل إلى التعقيد ، من تكاليف جمة وأموال طائلة . وهذا في الحقيقة إنما يؤخذ من الجهات المستحقة التي تصرف فيها حصيلة ما جبي من المال . وإلا ، زيد بقدره على المكلفين المرهقين .
٦ – عندما يكون مال الزكاة قليلاً ، كمال فرد واحد ليس بذي ثروة كبيرة . فهنا يعطى لصنف واحد ، كما قال النخعي وأبو ثور ، بل لفرد واحد ، كما قال أبو حنيفة ؛ فإن تفريق هذا القليل على عدة أصناف أو عدة أفراد من صنف واحد ، يضيع الفائدة المرجوة من الزكاة . وقد مربنا في مصرف الفقراء والمساكين ، ترجيح مذهب الشافعي في الإغناء بالزكاة . فهو أولى من اعطاء عدد من الأفراد دريهمات لكل منهم ، لا تشفي ولا تكفي . وهذا ما لم يكن العدد الموجود في حاجة شديدة إلى إسعاف بأي شيء ، ولو قليلاً . فالتفريق أفضل وأولى عندئذ

Kesimpulan dari pendistribusian zakat kepada golongan mustahik adalah sebagai berikut:
Penyebaran Zakat Jika Harta Banyak
Jika dana zakat banyak dan terdapat semua golongan mustahik dengan kebutuhan yang seimbang atau hampir sama, maka harus diberikan kepada semua golongan tersebut. Tidak diperbolehkan mengabaikan satu golongan yang berhak menerima zakat selama mereka masih membutuhkan. Hal ini lebih ditekankan bagi pemerintah atau otoritas yang mengumpulkan dan mendistribusikan zakat.
Perbedaan Alokasi Berdasarkan Kebutuhan
Dalam pendistribusian kepada golongan yang ada, tidak wajib memberikan jumlah yang sama kepada masing-masing golongan. Distribusi harus disesuaikan dengan jumlah penerima dan tingkat kebutuhan mereka. Misalnya, jika terdapat seribu fakir miskin di suatu wilayah sedangkan gharim (orang yang berutang) dan ibnu sabil (musafir yang kehabisan bekal) hanya berjumlah sepuluh orang, maka jelas golongan fakir miskin harus mendapatkan bagian lebih besar. Pendapat ini dipegang oleh Imam Malik dan Ibnu Syihab, berbeda dengan Imam Syafi’i yang menekankan pemerataan.
Boleh Memberikan Zakat kepada Sebagian Golongan Saja
Zakat boleh diberikan hanya kepada beberapa golongan saja jika ada kemaslahatan syar’i yang menuntut demikian. Begitu juga dalam satu golongan, tidak wajib memberikan jumlah yang sama kepada setiap individu. Alokasi dana bisa berbeda sesuai dengan tingkat kebutuhan masing-masing, asalkan perbedaan ini dilakukan dengan alasan yang jelas dan tidak berdasarkan hawa nafsu serta tidak menzalimi golongan atau individu lain.


Prioritas bagi Fakir dan Miskin

Fakir dan miskin adalah golongan utama dalam distribusi zakat, karena tujuan utama zakat adalah mencukupi kebutuhan mereka hingga tidak lagi membutuhkan bantuan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi ﷺ dalam hadis Mu’adz bin Jabal: “Diambil dari orang kaya mereka, lalu diberikan kepada orang fakir mereka.” Oleh karena itu, seorang pemimpin tidak boleh mengalokasikan dana zakat untuk kebutuhan lain seperti angkatan bersenjata sementara orang-orang miskin dibiarkan kelaparan dan menderita. Namun, dalam kondisi darurat tertentu, distribusi bisa berubah sesuai kebutuhan mendesak.

Pembatasan Upah Amil Zakat

Mengikuti pendapat Imam Syafi’i, upah bagi amil zakat harus dibatasi maksimal satu per delapan dari total zakat yang dikumpulkan. Tidak boleh lebih dari itu, karena dalam sistem pajak modern sering terjadi pemborosan besar dalam administrasi, sehingga dana yang dikumpulkan tidak sampai sepenuhnya kepada yang berhak akibat besarnya biaya operasional.
Zakat yang Jumlahnya Sedikit
Jika jumlah zakat sedikit, seperti zakat dari seseorang yang tidak memiliki harta berlimpah, maka boleh diberikan hanya kepada satu golongan saja, atau bahkan satu individu. Pendapat ini dipegang oleh Ibrahim An-Nakha’i, Abu Tsaur, dan Abu Hanifah. Sebab, jika dana zakat yang sedikit ini dibagi ke banyak orang atau banyak golongan, manfaatnya bisa hilang. Dalam konteks ini, pendapat Imam Syafi’i lebih unggul dalam memberikan zakat dalam jumlah cukup kepada satu orang agar mereka bisa keluar dari kemiskinan, daripada membagi dalam jumlah kecil yang tidak mencukupi kebutuhan siapa pun. Namun, jika ada banyak mustahik dalam kondisi sangat darurat, lebih baik zakat tersebut dibagi walaupun dalam jumlah kecil.

Kesimpulan Akhir

Berdasarkan poin-poin di atas, memberikan zakat kepada lebih dari satu orang dengan jumlah berbeda tetap sah, asalkan:
Alokasi dilakukan berdasarkan kebutuhan dan jumlah penerima, bukan sekadar pemerataan. Tidak ada unsur kezaliman terhadap mustahik yang berhak menerima. Jika dana terbatas, boleh diberikan kepada satu individu atau satu golongan saja. Prioritas utama tetap diberikan kepada fakir dan miskin. Dalam semua kondisi, pendistribusian harus sesuai dengan maslahat yang ditetapkan dalam syari’. Wallahu a’lam

Kategori
Hukum

MAKNA AID DAN ANJURAN BERPAKAIAN YANG UTAMA DALAM ISLAM

Deskripsi Masalah:

Dalam Islam, Hari Raya merupakan momen istimewa yang diiringi dengan berbagai sunnah, termasuk berpakaian dengan baik dan bersih. Rasulullah ﷺ menganjurkan umatnya untuk mengenakan pakaian terbaik pada hari-hari besar, tanpa mewajibkan warna tertentu. Pakaian putih disukai karena mencerminkan kesucian dan kebersihan, namun tidak menjadi syarat utama. Sebagian orang lebih memilih memakai pakaian baru sebagai bentuk syiar kebahagiaan, sementara yang lain tetap mengenakan pakaian lama yang masih layak.

Pertanyaan
  1. Apa makna Hari Raya dalam Islam?
  2. Mana yang lebih utama, memakai pakaian putih yang masih layak meskipun sudah pernah dipakai sebelumnya, atau mengenakan pakaian baru meskipun bukan berwarna putih?

Waalaikum salam.

Jawaban No.1

Makna kata “Id” berasal dari kata al-‘awdu yang berarti sesuatu yang kembali. Hal ini bisa merujuk pada sesuatu yang kembali setiap tahun atau karena membawa kebahagiaan bagi kaum Muslimin. Mereka bergembira setiap kali hari raya tiba, bersuka cita karena ketaatan kepada Allah SWT. Pada Idul Fitri, mereka berbahagia karena telah menjalankan puasa Ramadan dan kini tiba waktunya berbuka. Sedangkan pada Idul Adha, mereka bergembira dengan ibadah haji, penyembelihan hewan kurban, dan hal-hal lainnya.

Hari Raya dalam Islam

Dalam Islam, terdapat tiga hari raya utama:

Hari Jumat: Disebut sebagai hari raya mingguan umat Islam, karena berhubungan dengan penyempurnaan shalat wajib dan memiliki banyak keutamaan.

Idul Fitri: Dirayakan setelah puasa Ramadhan sebagai tanda kemenangan dan syukur, diiringi dengan shalat dan sedekah.

Idul Adha: Lebih besar dari Idul Fitri, dikaitkan dengan ibadah haji dan pengorbanan.

Keutamaan Hari Jumat

Disebut sebagai “haji orang miskin.”

Menghadiri shalat Jumat menghapus dosa selama sepekan jika dihindari dosa besar.

Hari Jumat lebih utama dibandingkan Idul Fitri dan Idul Adha.

Makna Idul Fitri dan Idul Adha

Idul Fitri: Merupakan perayaan setelah penyempurnaan puasa Ramadhan, yang berfungsi sebagai ajang syukur dan permohonan ampunan.

Idul Adha: Hari raya terbesar yang dikaitkan dengan penyempurnaan ibadah haji, terutama wukuf di Arafah.

Hakikat Hari Raya

Hari raya dalam Islam bukan sekadar perayaan lahiriah, seperti mengenakan pakaian baru dan menikmati hidangan lezat, tetapi lebih kepada momentum spiritual untuk memperkuat hubungan dengan Allah, meningkatkan ketaatan, dan memperbaiki akhlak.
Hari raya yang sejati adalah ketika seorang Muslim keluar dari bulan Ramadhan dengan hati yang lebih bersih, akhlak yang lebih baik, serta ketaatan yang lebih kuat. Begitu pula dengan Idul Adha, kebahagiaan tidak hanya terletak pada penyembelihan hewan kurban, tetapi pada ketulusan dalam beribadah dan keikhlasan dalam berbagi.
Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama: “Hari raya bukanlah bagi mereka yang mengenakan pakaian baru, tetapi hari raya adalah bagi mereka yang ketaatannya bertambah.”

Jawaban No.2

Dalam Islam, berpakaian saat Hari Raya tidak ditentukan hanya berdasarkan warna atau apakah pakaian tersebut baru atau lama, melainkan lebih kepada kebersihan, kepantasan, dan kesesuaian dengan sunnah.

Keutamaan Pakaian Putih

Rasulullah ﷺ bersabda: “Kenakanlah pakaian kalian yang berwarna putih, karena itu adalah sebaik-baik pakaian kalian, dan kafanilah dengannya orang-orang mati kalian.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dan ia berkata: Hadits hasan shahih).

Dalam hadits lain, Rasulullah ﷺ juga bersabda:”Kenakanlah pakaian putih, karena sesungguhnya itu lebih bersih dan lebih baik, dan kafanilah orang-orang mati kalian dengannya.” (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim, dan beliau berkata: Hadits shahih).

Hadits ini menunjukkan bahwa pakaian putih memiliki keutamaan, tetapi bukan berarti warna lain tidak boleh dipakai.

Bolehnya Mengenakan Warna Lain

Dalam Riyadus Shalihin, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ juga pernah mengenakan pakaian berwarna lain, seperti merah, hijau, dan hitam:

Pakaian merah

Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku pernah melihat Rasulullah ﷺ mengenakan pakaian merah, dan aku tidak pernah melihat sesuatu pun yang lebih indah darinya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku melihat Rasulullah ﷺ di Makkah mengenakan pakaian merah.” (HR. Bukhari).

Pakaian hijau

Abu Rimtsah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku melihat Rasulullah ﷺ mengenakan dua pakaian hijau.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Sorban hitam

Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah ﷺ masuk ke Makkah saat Fathu Makkah dengan mengenakan sorban hitam.” (HR. Muslim).

Dari riwayat ini, dapat disimpulkan bahwa berbagai warna pakaian diperbolehkan, selama tidak melanggar syariat.

Keutamaan Berpakaian Terbaik di Hari Raya

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa mengenakan pakaian terbaiknya saat Hari Raya. Ini menunjukkan bahwa yang dianjurkan adalah memakai pakaian yang terbaik dan paling pantas, baik itu baru maupun lama, selama bersih dan rapi.

Allah Ta’ala berfirman::

(يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ)، وَقَالَ تَعَالَى: (وَجَعَلَ لَكُمْ
سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمُ بَأْسَكُمْ).

“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasanmu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.”………………. (QS. Al-A’raf: 26).

Kesimpulan Jika baju putih yang lama masih bersih, rapi, dan layak pakai, maka tidak ada masalah untuk mengenakannya karena tetap mengikuti sunnah. Jika baju baru lebih pantas dan bersih, meskipun bukan berwarna putih, maka boleh memilihnya karena sesuai dengan anjuran berpakaian terbaik saat Hari Raya. Yang paling penting adalah niat untuk menghormati Hari Raya dengan berpakaian rapi, bersih, dan tidak berlebihan.

Wallahu a’lam

المكتبة الشاملة شرح كتاب الجامع لأحكام الصيام واعمال رمضان. ج.٣٥ص ١٨

[معنى كلمة العيد]

معنى كلمة العيد: مشتقة من العود، أي: شيء يعود، فإما أنه يعود في كل سنة، أو لأنه يعود على المسلمين بالفرح، يعني: يفرحون كلما يأتيهم العيد، فيفرحون بطاعة الله سبحانه وتعالى وبعيد الفطر، ويفرحون أنهم صاموا رمضان، وجاء وقت إفطارهم، ويفرحون في عيد الأضحى بالحج وبالأضاحي وبغير ذلك.


Makna kata “Id” berasal dari kata al-‘awdu yang berarti sesuatu yang kembali. Hal ini bisa merujuk pada sesuatu yang kembali setiap tahun atau karena membawa kebahagiaan bagi kaum Muslimin. Mereka bergembira setiap kali hari raya tiba, bersuka cita karena ketaatan kepada Allah SWT. Pada Idul Fitri, mereka berbahagia karena telah menjalankan puasa Ramadan dan kini tiba waktunya berbuka. Sedangkan pada Idul Adha, mereka bergembira dengan ibadah haji, penyembelihan hewan kurban, dan hal-hal lainnya..

Referensi:

لطائف المعارف ص:٤٧٩-٤٨٥
العيد هو موسم الفرح والسرور، وأفراح المؤمنين وسرورهم في الدنيا إنما هو بمولاهم، إذا فازوا بإكمال طاعته، وحازوا ثواب أعمالهم بوثوقهم بوعده لهم عليها بفضله ومغفرته، كما قال تعالى: ﴿قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ﴾. قال بعض العارفين: ما فرح أحد بغير الله إلا بغفلته عن الله؛ فالغافل يفرح بلهوه وهواه، والعاقل يفرح بمولاه. وأنشد سَمْنُون في هذا المعنى: وكان فؤادي خالياً قبل حبكم وكان بذكر الخلق يلهو ويمرح فلما دعا قلبي هواك أجابه فلست أراه عن فنائك يبرح رميت ببعد منك إن كنت كاذباً وإن كنت في الدنيا بغيرك أفرح وإن كان شيء في البلاد بأسرها إذا غبت عن عيني لعيني يملح فإن شئت واصلني وإن شئت لا تصل فلست أرى قلبي لغيرك يصلح لما قدم النبي ﷺ المدينة كان لهم يومان يلعبون فيهما، فقال: «إن الله قد أبدلكم بهما خيراً منهما: يوم الأضحى ويوم الفطر».


“Idul Fitri adalah musim kegembiraan dan kebahagiaan, dan kebahagiaan serta kegembiraan orang-orang beriman di dunia ini hanyalah karena Tuhan mereka, ketika mereka berhasil menyempurnakan ketaatan mereka, dan memperoleh pahala amal perbuatan mereka dengan kepercayaan mereka pada janji-Nya kepada mereka melalui karunia dan ampunan-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala: ‘Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan’. Beberapa orang arif berkata: Tidak ada seorang pun yang bergembira selain karena Allah kecuali karena kelalaiannya terhadap Allah; orang yang lalai bergembira dengan kesenangan dan hawa nafsunya, sedangkan orang yang berakal bergembira dengan Tuhannya. Samnun melantunkan syair dalam makna ini:
Hatiku kosong sebelum cintamu, dan ia bersenang-senang dan bergembira dengan menyebut makhluk.
Ketika hatiku memanggil cintamu, ia menjawabnya, maka aku tidak melihatnya berpaling dari halamanmu.
Aku merindukanmu jika aku berbohong, dan jika aku di dunia ini, aku tidak bergembira selain denganmu.
Dan jika ada sesuatu di seluruh negeri, jika engkau hilang dari pandanganku, mataku akan merindukannya.
Jika engkau ingin menyambungku, sambunglah, dan jika engkau ingin memutuskan, putuskanlah, aku tidak melihat hatiku condong kepada selainmu.
Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, mereka memiliki dua hari untuk bermain di dalamnya, maka beliau bersabda: ‘Sesungguhnya Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik: Hari Raya Idul Adha dan Hari Raya Idul Fitri’.”

أبدلكم يومين خيراً منهما ؛ يوم الفطر والأضحى (١). فأبدل الله هذه الأمة بيومي اللعب واللهو يومي الذكر والشكر والمغفرة والعفو. ففي الدنيا للمؤمنين ثلاثة أعياد: عيد يتكرر كل أسبوع ، وعيدان يأتيان في كُلِّ عام مرة مرة ، من غير تكرر في السنة. فأما العيد المتكرر ، فهو يوم الجمعة ، وهو عيد الأسبوع ، وهو مترتب على إكمال الصلوات المكتوبات ؛ فإنَّ الله عزّ وجلَّ فَرَضَ على المؤمنين في كل يوم وليلة خمس صلوات ، وأيام الدنيا تدور على سبعة أيام ، فكلما كمل دور أسبوع من أيام الدنيا ، واستكمل المسلمون صلواتهم فيه ، شرع لهم في يوم استكمالهم (٢) ، وهو اليوم الذي كمل فيه الخلق ، وفيه خُلِقَ آدم وأُدخل الجنة وأخرج منها ، وفيه ينتهي أمد الدنيا فتزول وتقوم الساعة (٣) ، وفيه (٤) الاجتماع على سماع الذكر والموعظة وصلاة الجمعة ، وجعل ذلك لهم عيداً ؛ ولهذا نهى عن إفراده بالصيام.

“Allah menggantikan dua hari (perayaan) yang lebih baik bagi kalian daripada keduanya; yaitu hari Idul Fitri dan Idul Adha (1). Maka Allah menggantikan bagi umat ini dua hari permainan dan kesenangan dengan dua hari dzikir, syukur, ampunan, dan maaf. Di dunia ini, bagi orang-orang mukmin ada tiga hari raya: hari raya yang berulang setiap minggu, dan dua hari raya yang datang setiap tahun sekali, tanpa pengulangan dalam setahun. Adapun hari raya yang berulang, yaitu hari Jumat, yang merupakan hari raya mingguan, dan berkaitan dengan penyempurnaan shalat-shalat wajib; karena Allah ‘azza wa jalla mewajibkan kepada orang-orang mukmin setiap siang dan malam lima shalat, dan hari-hari dunia berputar dalam tujuh hari, maka setiap kali putaran seminggu dari hari-hari dunia selesai, dan umat Islam telah menyempurnakan shalat mereka di dalamnya, Dia mensyariatkan bagi mereka pada hari penyempurnaan mereka (2), yaitu hari di mana penciptaan disempurnakan, di mana Adam diciptakan dan dimasukkan ke surga dan dikeluarkan darinya, dan di mana akhir dunia tiba lalu lenyap dan terjadilah hari kiamat (3), dan di dalamnya (4) terdapat perkumpulan untuk mendengarkan dzikir, nasihat, dan shalat Jumat, dan Dia menjadikannya sebagai hari raya bagi mereka; dan karena itu dilarang untuk mengkhususkannya dengan berpuasa.”

وَفِي شُهُودِ الْجُمُعَةِ شَبَهٌ مِنَ الْحَجِّ، وَرُوِيَ (٥) أَنَّهَا حَجُّ الْمَسَاكِينِ. وَقَالَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ: شُهُودُ الْجُمُعَةِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ حَجَّةِ نَافِلَةٍ، وَالتَّبْكِيرُ إِلَيْهَا يَقُومُ مَقَامَ الْهَدْيِ عَلَى قَدْرِ السَّبْقِ؛ فَأَوَّلُهُمْ كَالْمُهْدِي بَدَنَةً ثُمَّ بَقَرَةً، ثُمَّ كَبْشًا، ثُمَّ دَجَاجَةً، ثُمَّ بَيْضَةً (٦). وَشُهُودُ الْجُمُعَةِ يُوجِبُ تَكْفِيرَ الذُّنُوبِ إِلَى الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى إِذَا سَلِمَ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ مِنْ الْكَبَائِرِ، كَمَا أَنَّ الْحَجَّ الْمَبْرُورَ يُكَفِّرُ ذُنُوبَ تِلْكَ السَّنَةِ إِلَى الْحَجَّةِ الْأُخْرَى. وَقَدْ رُوِيَ: وَإِذَا سَلِمَتِ الْجُمُعَةُ سَلِمَتِ الْأَيَّامُ). وَرُوِيَ: إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَغْفِرُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ (٢). وَفِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: «مَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ وَلَا غَرَبَتْ عَلَى يَوْمٍ أَفْضَلَ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ (٣). وَفِي الْمُسْنَدِ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ قَالَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ: وَهُوَ أَفْضَلُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ الْأَضْحَى. فَهَذَا عِيدُ الْأُسْبُوعِ، وَهُوَ مُتَعَلِّقٌ بِإِكْمَالِ الصَّلَوَاتِ (٤) الْمَكْتُوبَةِ، وَهِيَ أَعْظَمُ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَمَبَانِيهِ بَعْدَ الشَّهَادَتَيْنِ. وَأَمَّا الْعِيدَانِ اللَّذَانِ لَا يَتَكَرَّرَانِ فِي كُلِّ عَامٍ، وَإِنَّمَا يَأْتِي كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِي الْعَامِ مَرَّةً وَاحِدَةً؛ فَأَحَدُهُمَا: عِيدُ الْفِطْرِ مِنْ صَوْمِ رَمَضَانَ، وَهُوَ مُرَتَّبٌ (١) عَلَى إِكْمَالِ صِيَامِ رَمَضَانَ، وَهُوَ الرُّكْنُ الثَّالِثُ مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَمَبَانِيهِ، فَإِذَا اسْتَكْمَلَ الْمُسْلِمُونَ صِيَامَ شَهْرِهِمُ الْمَفْرُوضَ عَلَيْهِمْ، وَاسْتَوْجَبُوا مِنَ اللَّهِ الْمَغْفِرَةَ وَالْعِتْقَ مِنَ النَّارِ؛ فَإِنَّ صِيَامَهُ يُوجِبُ مَغْفِرَةَ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الذُّنُوبِ، وَآخِرُهُ عِتْقٌ مِنَ النَّارِ، يُعْتَقُ فِيهِ مِنَ النَّارِ مَنِ اسْتَحَقَّهَا بِذُنُوبِهِ، فَشَرَعَ اللَّهُ تَعَالَى لَهُمْ عَقِيبَ إِكْمَالِهِمْ لِصِيَامِهِمْ عِيدًا يَجْتَمِعُونَ فِيهِ عَلَى شُكْرِ اللَّهِ وَذِكْرِهِ وَتَكْبِيرِهِ عَلَى مَا هَدَاهُمْ لَهُ. وَشَرَعَ لَهُمْ فِي ذَلِكَ الْعِيدِ الصَّلَاةَ وَالصَّدَقَةَ. وَهُوَ يَوْمُ الْجَوَائِزِ يَسْتَوْفِي الصَّائِمُونَ فِيهِ أَجْرَ صِيَامِهِمْ، وَيَرْجِعُونَ مِنْ عِيدِهِمْ بِالْمَغْفِرَةِ

“Dan dalam menghadiri shalat Jumat terdapat kemiripan dengan haji, dan diriwayatkan (5) bahwa ia adalah haji orang-orang miskin. Said bin Musayyib berkata: Menghadiri shalat Jumat lebih aku sukai daripada haji sunnah, dan berangkat pagi-pagi menuju shalat Jumat menempati kedudukan hewan kurban sesuai dengan urutan kedatangan; maka orang yang pertama datang seperti orang yang berkurban unta, kemudian sapi, kemudian kambing, kemudian ayam, kemudian telur (6). Menghadiri shalat Jumat menyebabkan penghapusan dosa-dosa hingga Jumat berikutnya jika seseorang selamat dari dosa-dosa besar di antara dua Jumat, sebagaimana haji mabrur menghapuskan dosa-dosa tahun itu hingga haji berikutnya. Diriwayatkan: Jika Jumat selamat, maka selamatlah hari-hari lainnya). Diriwayatkan: Sesungguhnya Allah Ta’ala mengampuni setiap Muslim pada hari Jumat (2). Dalam hadits shahih dari Nabi ﷺ disebutkan bahwa beliau bersabda: “Tidaklah matahari terbit dan terbenam pada hari yang lebih utama dari hari Jumat” (3). Dalam Musnad, dari beliau ﷺ disebutkan bahwa beliau bersabda pada hari Jumat: Hari itu lebih utama di sisi Allah daripada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Hari Jumat adalah hari raya mingguan, dan ia berkaitan dengan penyempurnaan shalat-shalat wajib (4), yang merupakan rukun Islam terbesar dan bangunannya setelah dua kalimat syahadat. Adapun dua hari raya yang tidak berulang setiap tahun, melainkan hanya datang sekali dalam setahun; salah satunya adalah Idul Fitri setelah puasa Ramadhan, dan ia diatur (1) setelah penyempurnaan puasa Ramadhan, yang merupakan rukun Islam ketiga dan bangunannya, maka jika kaum Muslimin telah menyempurnakan puasa bulan yang diwajibkan atas mereka, dan mereka berhak mendapatkan ampunan dan pembebasan dari api neraka dari Allah; maka sesungguhnya puasa mereka menyebabkan pengampunan dosa-dosa yang telah lalu, dan akhirnya pembebasan dari api neraka, dibebaskan darinya orang yang berhak mendapatkannya karena dosa-dosanya, maka Allah Ta’ala mensyariatkan bagi mereka setelah penyempurnaan puasa mereka hari raya di mana mereka berkumpul di dalamnya ber syukur kepada Allah, mengingat-Nya, dan mengagungkan-Nya atas petunjuk yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Dia mensyariatkan bagi mereka pada hari raya itu shalat dan sedekah. Dan itu adalah hari pemberian hadiah, di mana orang-orang yang berpuasa menerima pahala puasa mereka, dan mereka kembali dari hari raya mereka dengan ampunan

وَالْعِيدُ الثَّانِي: عِيدُ النَّحْرِ، وَهُوَ أَكْبَرُ الْعِيدَيْنِ وَأَفْضَلُهُمَا، وَهُوَ مُتَرَتِّبٌ عَلَى إِكْمَالِ الْحَجِّ، وَهُوَ الرُّكْنُ الرَّابِعُ مِنْ أَرْكَانِ الْإِسْلَامِ وَمَبَانِيهِ، فَإِذَا أَكْمَلَ الْمُسْلِمُونَ حَجَّهُمْ غُفِرَ لَهُمْ. وَإِنَّمَا يُكْمَلُ الْحَجُّ بِيَوْمِ عَرَفَةَ وَالْوُقُوفِ فِيهِ بِعَرَفَةَ؛ فَإِنَّهُ رُكْنُ الْحَجِّ الْأَعْظَمُ، كَمَا قَالَ: «الْحَجُّ عَرَفَةُ». وَيَوْمُ عَرَفَةَ هُوَ يَوْمُ الْعِتْقِ مِنَ النَّارِ، فَيُعْتِقُ اللَّهُ فِيهِ مِنَ النَّارِ مَنْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ وَمَنْ لَمْ يَقِفْ بِهَا مِنْ أَهْلِ الْأَمْصَارِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَلِذَلِكَ صَارَ الْيَوْمُ الَّذِي يَلِيهِ عِيدًا لِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ فِي جَمِيعِ أَمْصَارِهِمْ؛ مَنْ شَهِدَ الْمَوْسِمَ مِنْهُمْ وَمَنْ لَمْ يَشْهَدْهُ؛ لِاشْتِرَاكِهِمْ فِي الْعِتْقِ وَالْمَغْفِرَةِ يَوْمَ عَرَفَةَ. وَإِنَّمَا لَمْ يَشْتَرِكِ الْمُسْلِمُونَ كُلُّهُمْ فِي الْحَجِّ كُلَّ عَامٍ رَحْمَةً مِنَ اللَّهِ وَتَخْفِيفًا عَلَى عِبَادِهِ، فَإِنَّهُ جَعَلَ الْحَجَّ فَرِيضَةَ الْعُمُرِ لَا فَرِيضَةَ كُلِّ عَامٍ، وَإِنَّمَا هُوَ فِي كُلِّ عَامٍ فَرْضُ كِفَايَةٍ، بِخِلَافِ الصِّيَامِ؛ فَإِنَّهُ فَرِيضَةُ كُلِّ عَامٍ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ. فَإِذَا كَمَلَ يَوْمُ عَرَفَةَ، وَأَعْتَقَ اللَّهُ عِبَادَهُ الْمُؤْمِنِينَ مِنَ النَّارِ، اشْتَرَكَ الْمُسْلِمُونَ كُلُّهُمْ فِي الْعِيدِ عَقِبَ (١) ذَلِكَ. وَشَرَعَ لِلْجَمِيعِ التَّقَرُّبَ إِلَيْهِ بِالنُّسُكِ، وَهُوَ إِرَاقَةُ دِمَاءِ الْقَرَابِينِ.

Dan hari raya yang kedua: Hari Raya Kurban, dan itu adalah hari raya yang paling besar dan paling utama dari kedua hari raya, dan itu terkait dengan penyelesaian haji, dan itu adalah rukun keempat dari rukun-rukun Islam dan bangunannya, maka jika kaum Muslimin telah menyelesaikan haji mereka, mereka diampuni. Dan haji hanya sempurna dengan hari Arafah dan wukuf di sana di Arafah; karena itu adalah rukun haji yang paling agung, sebagaimana sabda Nabi: ‘Haji adalah Arafah’. Dan hari Arafah adalah hari pembebasan dari api neraka, maka Allah membebaskan dari api neraka orang yang wukuf di Arafah dan orang yang tidak wukuf di sana dari penduduk kota-kota dari kaum Muslimin, oleh karena itu hari setelahnya menjadi hari raya bagi seluruh kaum Muslimin di seluruh kota mereka; baik yang menyaksikan musim haji dari mereka maupun yang tidak menyaksikannya; karena mereka semua bersekutu dalam pembebasan dan ampunan pada hari Arafah. Dan sesungguhnya tidak semua kaum Muslimin bersekutu dalam haji setiap tahun adalah rahmat dari Allah dan keringanan atas hamba-hamba-Nya, maka Dia menjadikan haji sebagai kewajiban seumur hidup, bukan kewajiban setiap tahun, dan sesungguhnya itu adalah fardhu kifayah setiap tahun, berbeda dengan puasa; maka itu adalah fardhu ‘ain setiap tahun atas setiap Muslim. Maka jika hari Arafah telah sempurna, dan Allah telah membebaskan hamba-hamba-Nya yang beriman dari api neraka, maka seluruh kaum Muslimin bersekutu dalam hari raya setelah (1) itu. Dan Dia mensyariatkan bagi semua orang untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan menyembelih hewan kurban, yaitu menumpahkan darah hewan-hewan kurban.”

فَأَهْلُ الْمَوْسِمِ يَرْمُونَ الْجَمْرَةَ، فَيَشْرَعُونَ فِي التَّحَلُّلِ مِنْ إِحْرَامِهِمْ بِالْحَجِّ، وَيَقْضُونَ تَفَثَهُمْ (٢)، وَيُوفُونَ نُذُورَهُمْ، وَيُقَرِّبُونَ قَرَابِينَهُمْ مِنَ الْهَدَايَا، ثُمَّ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ. وَأَهْلُ الْأَمْصَارِ يَجْتَمِعُونَ عَلَى ذِكْرِ اللهِ وَتَكْبِيرِهِ وَالصَّلَاةِ لَهُ. قَالَ مُخَنِّفُ بْنُ سُلَيْمٍ (٣)، وَهُوَ مَعْدُودٌ مِنَ الصَّحَابَةِ: الْخُرُوجُ يَوْمَ الْفِطْرِ يَعْدِلُ عُمْرَةً، وَالْخُرُوجُ يَوْمَ الْأَضْحَى يَعْدِلُ حَجَّةً. ثُمَّ يَنْسُكُونَ عَقِيبَ ذَلِكَ نُسُكَهُمْ، وَيُقَرِّبُونَ قَرَابِينَهُمْ بِإِرَاقَةِ دِمَاءِ ضَحَايَاهُمْ؛ فَيَكُونُ ذَلِكَ شُكْرًا مِنْهُمْ لِهَذِهِ النِّعَمِ. وَالصَّلَاةُ وَالنَّحْرُ الَّذِي يَجْتَمِعُ فِي عِيدٍ

“Maka orang-orang yang berhaji melempar jumrah, lalu mereka mulai bertahallul dari ihram haji mereka, dan mereka menyelesaikan tafaats mereka (2), dan mereka menunaikan nadzar-nadzar mereka, dan mereka mendekatkan kurban-kurban mereka dari hadiah-hadiah, kemudian mereka thawaf di Baitul ‘Atiq. Dan penduduk kota-kota berkumpul untuk berdzikir kepada Allah, bertakbir kepada-Nya, dan shalat untuk-Nya. Berkata Mukhannif bin Sulaim (3), dan dia terhitung dari para sahabat: keluar pada hari Idul Fitri menyamai umrah, dan keluar pada hari Idul Adha menyamai haji. Kemudian mereka menyembelih setelah itu sembelihan mereka, dan mereka mendekatkan kurban-kurban mereka dengan menumpahkan darah hewan-hewan kurban mereka; maka hal itu menjadi syukur dari mereka atas nikmat-nikmat ini. Dan shalat dan penyembelihan yang berkumpul pada hari raya.”

النَّحْرُ أَفْضَلُ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّدَقَةِ الَّذِي فِي عِيدِ الْفِطْرِ، وَلِهَذَا أُمِرَ رَسُولُ اللهِ ﷺ أَنْ يَجْعَلَ شُكْرَهُ لِرَبِّهِ عَلَى إِعْطَائِهِ الْكَوْثَرَ أَنْ يُصَلِّيَ لِرَبِّهِ وَيَنْحَرَ، وَقِيلَ لَهُ: ﴿قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴾ (١). وَلِهَذَا وَرَدَ الْأَمْرُ بِتِلَاوَةِ هَذِهِ الْآيَةِ عِنْدَ ذَبْحِ الْأَضَاحِيِّ، وَالْأَضَاحِيُّ سُنَّةُ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَمُحَمَّدٍ ﷺ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَهَا لِإِبْرَاهِيمَ حِينَ فَدَى وَلَدَهُ الَّذِي أَمَرَهُ بِذَبْحِهِ، بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (٢). وَفِي حَدِيثِ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ، قِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا هَذِهِ الْأَضَاحِي؟ قَالَ: سُنَّةُ [أَبِيكُمْ] إِبْرَاهِيمَ. قِيلَ لَهُ: فَمَا لَنَا بِهَا؟ قَالَ: بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ. قِيلَ: فَالصُّوفُ؟ قَالَ: بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنَ الصُّوفِ حَسَنَةٌ. خَرَّجَهُ ابْنُ مَاجَهْ (٣) وَغَيْرُهُ. فَهَذِهِ أَعْيَادُ الْمُسْلِمِينَ فِي الدُّنْيَا، وَكُلُّهَا عِنْدَ إِكْمَالِ طَاعَةِ مَوْلَاهُمُ الْمَلِكِ الْوَهَّابِ، وَحِيَازَتِهِمْ لِمَا وَعَدَهُمْ مِنَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ. مَرَّ قَوْمٌ بِرَاهِبٍ فِي دَيْرٍ، فَقَالُوا لَهُ: مَتَى عِيدُ أَهْلِ هَذَا الدَّيْرِ؟ قَالَ: يَوْمَ يُغْفَرُ لِأَهْلِهِ. لَيْسَ الْعِيدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيدَ، إِنَّمَا الْعِيدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ (٤) تَزِيدُ. لَيْسَ الْعِيدُ لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوبِ (٥)، إِنَّمَا الْعِيدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوبُ. فِي لَيْلَةِ الْعِيدِ تُفَرَّقُ خِلَعُ الْعِتْقِ وَالْمَغْفِرَةِ عَلَى الْعَبِيدِ؛ فَمَنْ نَالَهُ مِنْهَا شَيْءٌ فَلَهُ عِيدٌ، وَإِلَّا فَهُوَ مَطْرُودٌ بَعِيدٌ. كَانَ بَعْضُ الْعَارِفِينَ يَنُوحُ عَلَى نَفْسِهِ لَيْلَةَ الْعِيدِ بِهَذِهِ الْأَبْيَاتِ: بِحُرْمَةِ غُرْبَتِي كَمْ ذَا الصُّدُودُ * أَلَا تَعْطِفُ عَلَيَّ أَلَا تَجُودُ سُرُورُ الْعِيدِ قَدْ عَمَّ النَّوَاحِي * وَحُزْنِي فِي ازْدِيَادٍ لَا يَبِيدُ فَإِنْ كُنْتُ اقْتَرَفْتُ خِلَالَ سُوءٍ * فَعُذْرِي فِي الْهَوَى أَنْ لَا أَعُودَ

“Menyembelih hewan kurban lebih utama daripada salat dan sedekah yang dilakukan pada Hari Raya Idulfitri. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ diperintahkan untuk menjadikan rasa syukurnya kepada Tuhannya atas pemberian nikmat Al-Kautsar dengan cara salat kepada Tuhannya dan menyembelih hewan kurban. Dikatakan kepadanya: ‘Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam’ (QS. Al-An’am: 162). Oleh karena itu, diperintahkan untuk membaca ayat ini saat menyembelih hewan kurban. Dan hewan kurban adalah sunnah Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad ﷺ. Sesungguhnya Allah mensyariatkannya untuk Ibrahim ketika ia menebus putranya yang diperintahkan untuk disembelih, dengan sembelihan yang agung (QS. Ash-Shaffat: 107). Dalam hadis Zaid bin Arqam, dikatakan: ‘Wahai Rasulullah, apa gerangan hewan-hewan kurban ini?’ Beliau menjawab: ‘Sunnah bapak kalian, Ibrahim.’ Dikatakan kepadanya: ‘Lalu apa (pahala) bagi kami dengannya?’ Beliau menjawab: ‘Setiap helai rambut (hewan kurban) ada kebaikannya.’ Dikatakan: ‘Bagaimana dengan bulu dombanya?’ Beliau menjawab: ‘Setiap helai bulu domba ada kebaikannya.’ Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (3) dan lainnya. Maka ini adalah hari raya umat Islam di dunia, dan semuanya adalah ketika mereka menyempurnakan ketaatan kepada Tuan mereka, Raja Pemberi Karunia, dan ketika mereka mendapatkan apa yang dijanjikan kepada mereka berupa pahala dan ganjaran. Suatu kaum melewati seorang rahib di biara, lalu mereka berkata kepadanya: ‘Kapan hari raya penduduk biara ini?’ Ia menjawab: ‘Hari ketika dosa-dosa penduduknya diampuni.’ Hari raya bukanlah bagi orang yang memakai pakaian baru, tetapi hari raya adalah bagi orang yang ketaatannya (4) bertambah. Hari raya bukanlah bagi orang yang berhias dengan pakaian dan kendaraan (5), tetapi hari raya adalah bagi orang yang dosa-dosanya diampuni. Pada malam Idulfitri, dibagikanlah pembebasan dari perbudakan dan ampunan kepada para hamba. Maka barang siapa mendapatkan sesuatu darinya, maka baginya ada hari raya, dan jika tidak, maka ia adalah orang yang terusir dan jauh. Dahulu sebagian orang arif meratap atas dirinya pada malam Idulfitri dengan bait-bait syair ini: Demi kehormatan pengasinganku, betapa besar penolakan ini * Tidakkah engkau mengasihiku, tidakkah engkau bermurah hati? Kegembiraan Idulfitri telah melanda seluruh penjuru * Dan kesedihanku terus bertambah, tidak akan hilang. Jika aku telah melakukan perbuatan buruk * Maka maafku dalam cinta ini adalah aku tidak akan kembali (berbuat buruk).”

:

Referensi

تنوير القلوب.ص٢٦٧-٢٦٧

ويسن الغسل للعيدين و يدخل وقته من نصف الليل والتطيب والتزين بأحسن الثياب ،

“Disunnahkan mandi untuk dua hari raya, dan waktunya masuk sejak tengah malam, serta memakai wewangian dan berhias dengan pakaian terbaik.”

رياض الصالحين ص ٣٦٣-٣٦٧

كتاب اللباس
باستحبَابِ الثَّوْبِ الْأَبْيَضِ وَجَوَازِ الْأَحْمَرِ وَالْأَخْضَرِ وَالْأَصْفَرِ وَالْأَسْوَدِ وَجَوَازِهِ مِنْ قُطْنٍ وَكَتَّانٍ وَشَعْرٍ وَصُوفٍ وَغَيْرِهَا إِلَى آخِرِهِ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: (يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ
وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ)، وَقَالَ تَعَالَى: (وَجَعَلَ لَكُمْ
سَرَابِيلَ تَقِيكُمُ الْحَرَّ وَسَرَابِيلَ تَقِيكُمُ بَأْسَكُمْ).

Bab Anjuran Pakaian Berwarna Putih dan Kebolehan (Pakaian) Berwarna Merah, Hijau, Kuning, dan Hitam, Serta Kebolehannya dari Katun, Linen, Bulu, Wol, dan Lainnya, Hingga Akhir.
Allah Ta’ala berfirman: “Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasanmu. Tetapi pakaian takwa, itulah yang lebih baik.” Dan Allah Ta’ala berfirman: “Dan Dia menjadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memeliharamu dari kekerasanmu.”

١- وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
قَالَ: الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ، فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ،
وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ، وَقَالَ:
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kenakanlah pakaianmu yang berwarna putih, karena sesungguhnya ia adalah sebaik-baik pakaianmu, dan kafanilah dengannya orang-orang mati kalian.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, dan ia berkata: “Hadits hasan shahih.”

٢- وَعَنْ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْبَسُوا الْبَيَاضَ فَإِنَّهَا أَظْهَرُ وَأَطْيَبُ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ، رَوَاهُ النَّسَائِيُّ وَالْحَاكِمُ، وَقَالَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ.

Dari Samurah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Kenakanlah pakaian putih, karena sesungguhnya itu lebih jelas dan lebih baik, dan kafanilah orang-orang mati kalian dengannya.” Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dan Al-Hakim, dan dia berkata, “Hadits shahih.”

٣.وَعَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرْبُوعًا، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ، مَا رَأَيْتُ شَيْئًا قَطُّ أَحْسَنَ مِنْهُ.

Dari Al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang berpostur sedang, dan aku telah melihatnya dalam pakaian merah, aku tidak pernah melihat sesuatu pun yang lebih indah darinya.”

٤.وَعَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ وَهْبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ وَهُوَ بِالْأَبْطَحِ وَقُبَّةٌ لَهُ حَمْرَاءُ مِنْ أَدَمٍ، فَخَرَجَ بِلَالٌ بِوَضُوئِهِ، فَمِنْ نَاضِحٍ وَنَائِلٍ، فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حُلَّةٍ حَمْرَاءَ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ سَاقَيْهِ فَتَوَضَّأَ وَأَذَّنَ بِلَالٌ، فَجَعَلْتُ أَتَتَبَّعُ فَاهُ هَهُنَا وَهَهُنَا يَقُولُ: يَمِينًا وَشِمَالًا حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، ثُمَّ رُكِزَتْ لَهُ عَنَزَةٌ فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى الظُّهْرَ بَيْنَ يَدَيْهِ الْكَلْبُ وَالْحِمَارُ لَا يُمْنَعُ.

Dari Abu Juhaifah Wahb bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah, dan beliau berada di Al-Abthah, dan ada kubah merah dari kulit untuk beliau. Bilal keluar dengan air wudhu beliau, maka ada yang memercikkan dan ada yang mengambilnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dengan pakaian merah, seolah-olah aku melihat putihnya kedua betis beliau, lalu beliau berwudhu dan Bilal mengumandangkan adzan. Aku mengikuti mulut beliau ke sana dan ke sini, beliau berkata: ke kanan dan ke kiri, ‘Hayya ‘alas shalah, hayya ‘alal falah.’ Kemudian ditancapkan tombak pendek untuk beliau, lalu beliau maju dan shalat zhuhur, anjing dan keledai lewat di depan beliau, tidak dicegah.”

٥.وَعَنْ أَبِي رِمْثَةَ رِفَاعَةَ التَّيْمِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ ثَوْبَانِ أَخْضَرَانِ، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ.

Dari Abu Rimtsah Rifa’ah At-Taimi radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau mengenakan dua pakaian hijau.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi dengan sanad shahih.

٦.وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ.

. Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk kota Makkah pada hari penaklukan Makkah, dan beliau memakai sorban hitam. (HR. Muslim)

٧. وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ قَدْ أَرْخَى طَرَفَهَا بَيْنَ كَتِفَيْهِ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ. وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ النَّاسَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ.

. Dari Abu Sa’id ‘Amr bin Huraits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Seolah-olah aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memakai sorban hitam, dan beliau menjulurkan ujungnya di antara kedua bahunya.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada orang-orang dengan memakai sorban hitam.

٨. وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كُفِّنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَلَاثَةِ أَثْوَابٍ بِيضٍ سَحُولِيَّةٍ مِنْ كُرْسُفٍ لَيْسَ فِيهَا قَمِيصٌ وَلَا عِمَامَةٌ، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. (السَّحُولِيَّةُ) بِفَتْحِ السِّينِ وَضَمِّهَا وَضَمِّ الْحَاءِ الْمُهْمَلَتَيْنِ: ثِيَابٌ تُنْسَبُ إِلَى سَحُولٍ: قَرْيَةٌ بِالْيَمَنِ. [وَالْكُرْسُفُ: الْقُطْنُ].

٩. وَعَنْهَا قَالَتْ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ غَدَاةٍ وَعَلَيْهِ مِرْطٌ مُرَحَّلٌ مِنْ شَعْرٍ أَسْوَدَ، رَوَاهُ مُسْلِمٌ. (الْمِرْطُ) بِكَسْرِ الْمِيمِ: هُوَ كِسَاءٌ. وَالْمُرَحَّلُ بِالْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ: هُوَ الَّذِي فِيهِ صُوَرُ رِحَالِ الْإِبِلِ، وَهِيَ الْأَكْوَارُ.

. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar pada suatu pagi, dan beliau memakai mantel bergaris dari bulu hitam.” (HR. Muslim). (Al-Mirthu) dengan kasrah mim: adalah kain. Dan (Al-Murahhal) dengan ha’ yang diabaikan: adalah yang di dalamnya terdapat gambar pelana unta, yaitu pelana punggung.

١٠. وَعَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ ذَاتَ لَيْلَةٍ وَمَسِيرِ فَقَالَ لِي: أَمَعَكَ مَاءٌ ؟ قُلْتُ: نَعَمْ ، فَنَزَلَ عَنْ رَاحِلَتِهِ فَشَى حَقَّ تَوَارَى فِي سَوَادِ اللَّيْلِ ثُمَّ جَاءَ فَأَفْرَغْتُ عَلَيْهِ مِنَ الْإِدَاوَةِ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ مِنْ صُوفٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ أَنْ يُخْرِجَ ذِرَاعَيْهِ مِنْ أَسْفَلِ الْجُبَّةِ ، فَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ ثُمَّ أَهْوَيْتُ لِأَنْزِعَ خُفَّيْهِ ، فَقَالَ: دَعْهُمَا ، فَإِنِّي أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ وَمَسَحَ عَلَيْهِمَا، مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَفِي رِوَايَةٍ وَعَلَيْهِ جُبَّةٌ شَامِيَّةٌ ضَيْقَةُ الْكُمَّيْنِ، وَفِي رِوَايَةٍ أَنَّ هَذِهِ الْقَضِيَّةَ كَانَتْ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ


Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Aku bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu malam dalam perjalanan, beliau (Nabi) berkata kepadaku, “Apakah engkau membawa air?” Aku menjawab, “Ya.” Lalu beliau turun dari kendaraannya dan pergi menyembunyikan diri di kegelapan malam, kemudian datang kembali. Aku tuangkan air dari wadah untuk beliau, lalu beliau membasuh wajahnya. Beliau memakai jubah dari wol, dan tidak bisa mengeluarkan kedua lengannya dari bagian bawah jubah, maka beliau membasuh kedua lengannya dan mengusap kepalanya. Kemudian aku membungkuk untuk melepas kedua khufnya, lalu beliau berkata, “Biarkan keduanya, karena aku memasukkan keduanya dalam keadaan suci.” Lalu beliau mengusap keduanya. (Muttafaq ‘alaih). Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau memakai jubah Syam yang sempit lengannya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa kejadian ini terjadi dalam perang Tabuk.


بَابُ اسْتِحْبَابِ الْقَمِيصِ
١. عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ أَحَبُّ الثِّيَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقَمِيصُ، رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ حَسَنٌ.

Bab Anjuran Memakai Gamis

. Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Pakaian yang paling disukai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah gamis.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, dan beliau berkata, “Hadits hasan.”

شرح مجالس السنية ص٧
اعْلَمُوا إِخْوَانِي وَفَّقَنِي اللَّهُ وَإِيَّاكُمْ لِطَاعَتِهِ أَنَّ هَذَا الْحَدِيثَ حَدِيثٌ عَظِيمٌ رَوَاهُ الْإِمَامُ مُسْلِمٌ بِهَذَا اللَّفْظِ وَالْبُخَارِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ بِمَعْنَاهُ وَهُوَ عَظِيمُ الْمَوْقِعِ وَالْجَلَالَةِ وَقَدْ اشْتَمَلَ عَلَى جَمِيعِ لَطَائِفِ الْعِبَادَاتِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ (قَوْلُهُ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ) يُسْتَفَادُ مِنْ ظَاهِرِهِ عَلَى تِلْكَ الْهَيْئَةِ الْحَسَنَةِ اسْتِحْبَابُ التَّجَمُّلِ لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَالْقُدُومِ عَلَى الْغَيْرِ وَهُوَ كَذَلِكَ قَالَ أَبُو الْعَالِيَةِ كَانَ الْمُسْلِمُونَ إِذَا تَزَاوَرُوا تَجَمَّلُوا وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنُ مَا زُرْتُمْ بِهِ اللَّهَ فِي قُبُورِكُمْ وَمَسَاجِدِكُمْ الْبَيَاضُ وَقَالَ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ لَا بَأْسَ بِلِبَاسِ شِعَارِ الْعُلَمَاءِ لِيُعْرَفُوا بِذَلِكَ فَيُقْتَدَى بِهِمْ كَمَا تَخَرَّجَ قَالَ كُنْتُ مُحْرِمًا فَأَنْكَرْتُ عَلَى جَمَاعَةٍ مُحْرِمِينَ لَا يَعْرِفُونِي مَا أَخَلُّوا بِهِ مِنْ آدَابِ الطَّوَافِ فَلَمْ يَقْبَلُوا فَلَمَّا لَبِسْتُ ثِيَابَ الْفُقَهَاءِ وَأَنْكَرْتُ عَلَيْهِمْ ذَلِكَ سَمِعُوا وَأَطَاعُوا فَإِذَا أُلْبِسَهَا لِمِثْلِ ذَلِكَ كَانَ فِيهِ أَجْرٌ لِأَنَّهُ سَبَبٌ لِامْتِثَالِ أَمْرِ اللَّهِ وَالِانْتِهَاءِ عَمَّا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ


Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku, semoga Allah memberikan taufik kepada saya dan kalian untuk menaati-Nya, bahwa hadits ini adalah hadits yang agung. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan lafaz ini dan oleh Imam al-Bukhari dari Abu Hurairah dengan maknanya. Hadits ini memiliki kedudukan yang agung dan keutamaan yang besar, serta mencakup berbagai aspek ibadah, baik yang lahir maupun yang batin.
Sabda Nabi: “Ketika kami sedang duduk di hadapan Rasulullah ﷺ pada suatu hari, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak tampak padanya tanda-tanda perjalanan, dan tidak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya.”
Dari zahirnya hadits ini, dapat dipahami bahwa dalam kondisi seperti itu terdapat anjuran untuk berhias (berpakaian rapi) bagi pencari ilmu dan saat berkunjung kepada orang lain. Hal ini juga diperkuat oleh perkataan Abu al-‘Aliyah:”Dahulu, kaum Muslimin apabila saling berkunjung, mereka berhias.”Rasulullah ﷺ juga bersabda:” Pakaian terbaik yang kalian gunakan untuk menghadap Allah di kuburan dan masjid-masjid kalian adalah pakaian berwarna putih. “Ibn Abdus Salam berkata:”Tidak mengapa memakai pakaian khas ulama agar mereka dikenal dan dijadikan teladan.”Diriwayatkan bahwa seseorang berkata: “Aku sedang dalam keadaan ihram, lalu aku mengingkari perbuatan sekelompok orang yang juga sedang berihram karena mereka tidak menjaga adab thawaf. Namun, mereka tidak menerima nasihatku. Ketika aku mengenakan pakaian para fuqaha, lalu aku menegur mereka, mereka pun mendengarkan dan menaati. Maka, jika seseorang mengenakan pakaian tersebut untuk tujuan seperti ini, maka ia mendapat pahala, karena itu menjadi sebab terlaksananya perintah Allah dan terhindarnya dari larangan-Nya.” Wallahu a’lam

Kategori
Hukum

Perkembangan Uang dalam Sejarah Ekonomi dan Kewajiban Zakat dalam Islam


Sejak zaman primitif, manusia telah melakukan pertukaran barang melalui sistem barter. Namun, sistem ini memiliki banyak kelemahan, seperti ketidakstabilan nilai barang dan sulitnya menemukan kesepakatan dalam pertukaran. Oleh karena itu, manusia mulai menggunakan uang sebagai alat tukar yang lebih efektif. Uang mengalami perkembangan dari bentuk sederhana hingga logam mulia seperti emas dan perak.
Dalam sejarah Islam, mata uang yang digunakan pada masa Nabi Muhammad ⁠ﷺ adalah dinar emas dan dirham perak, yang berasal dari kerajaan Romawi dan Persia. Kedua logam ini memiliki sifat unik seperti kestabilan nilai, daya tahan, serta kemudahan dalam transaksi. Dalam konteks zakat, emas dan perak memiliki kewajiban zakat berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Dalil-dalil yang menjelaskan kewajiban zakat atas emas dan perak menunjukkan bahwa keduanya memiliki peran penting dalam sistem keuangan Islam.
Di Indonesia, uang kertas mulai diperkenalkan pada masa kolonial Belanda melalui De Javasche Bank, yang kemudian berkembang menjadi Bank Indonesia. Uang kertas digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk mempermudah transaksi di masyarakat modern. Namun, perbedaannya dengan emas dan perak adalah tidak memiliki nilai intrinsik, melainkan hanya berdasarkan kepercayaan dan ketetapan pemerintah.
Pertanyaan

  1. Bagaimana perbedaan utama antara sistem barter, uang logam, dan uang kertas dalam sejarah ekonomi?
  2. Apa kelebihan dan kekurangan penggunaan uang kertas dibandingkan dengan emas dan perak dalam sistem ekonomi Islam?
  3. Bagaimana hukum Islam dalam memandang uang kertas sebagai alat tukar yang sah apa wajib zakat? Jika wajib zakat berapa zakat yang harus dikeluarkan semisal 180 juta?

Waalaikum salam.

Jawaban
  1. Perbedaan Utama antara Sistem Barter, Uang Logam, dan Uang Kertas dalam Sejarah Ekonomi.

Sistem Barter: Pertukaran barang dengan barang tanpa menggunakan alat tukar. Kelemahannya adalah sulitnya menemukan kesepakatan nilai barang (double coincidence of wants) dan tidak adanya satuan nilai yang standar.

Uang Logam (Emas dan Perak): Memiliki nilai intrinsik karena bahan pembuatannya berharga. Uang ini stabil dalam jangka panjang, tetapi sulit digunakan dalam jumlah besar.

Uang Kertas: Tidak memiliki nilai intrinsik, melainkan hanya berdasarkan kepercayaan dan ketetapan pemerintah (fiat money). Mudah dibawa dan digunakan, tetapi rentan terhadap inflasi.

  1. Kelebihan dan Kekurangan Uang Kertas dibandingkan dengan Emas dan Perak dalam Ekonomi Islam
Kelebihan Uang Kertas:
  • Praktis dan mudah digunakan dalam jumlah besar.
  • Memudahkan sistem perbankan dan transaksi modern.
  • Tidak bergantung pada cadangan emas dan perak.
Kekurangan Uang Kertas:
  • Rentan terhadap inflasi dan depresiasi nilai.
  • Bergantung pada kebijakan pemerintah, sehingga bisa mengalami ketidakstabilan ekonomi.
  • Tidak memiliki nilai intrinsik seperti emas dan perak.
  1. Hukum Islam dalam Memandang Uang Kertas sebagai Alat Tukar yang Sah untuk Zakat

Dalam fiqih Islam, ada dua pandangan utama mengenai uang kertas:

Pandangan yang Menyamakan dengan Emas dan Perak: Karena fungsinya sebagai alat tukar, sebagian ulama berpendapat bahwa uang kertas wajib dizakati sebagaimana emas dan perak, dengan nisab setara 85 gram emas.

Pandangan yang Menganggap sebagai Barang Berbeda: Sebagian ulama klasik tidak mewajibkan zakat atas uang kertas karena tidak termasuk emas dan perak, tetapi pendapat ini kurang relevan dalam konteks ekonomi modern.

  1. Zakat Uang Jika Mencapai 180 Juta Rupiah

Nisab zakat uang mengikuti nisab emas, yaitu 85 gram emas. Jika harga emas saat ini Rp 1.200.000 per gram, maka nisabnya sekitar Rp 102 juta. Jika seseorang memiliki Rp 180 juta dalam setahun dan sudah memenuhi syarat haul (1 tahun), maka wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari jumlah tersebut:
2,5%×180.000.000=4.500.0002,5\% \times 180.000.000 = 4.500.000
Jadi, seseorang yang memiliki uang Rp 180 juta selama satu tahun wajib mengeluarkan zakat sebesar Rp 4.500.000.

Referensi :

فقه الزكاة الجزء الأول للشيخ الدكتور يوسف القرضاوي ص ٢٧١

زكاة النقود الورقية
لم تعرف النقود الورقية إلا في العصر الحاضر، فلا نطمع أن يكون لعلماء السلف فيها حكم، وكل ما هنالك أن كثيرًا من علماء العصر يحاولون أن يجعلوا فتواهم تخريجًا على أقوال السابقين، فمنهم من نظر إلى هذه النقود نظرة فيها كثير من الحرفية والظاهرية، فلم ير هذه نقودًا: لأن النقود الشرعية إنما هي الفضة والذهب، وإذًا لا زكاة فيها.
وبهذا أفتى الشيخ عليش – مفتي المالكية في مصر في عصره، فقد استفتي في حكم «الكاغد» – الورق – الذي فيه ختم السلطان، ويتعامل به كالدراهم والدنانير فأفتى: أن لا زكاة فيه (٣).
وكذا أفتى بعض الشافعية بأن لا زكاة فيها، حتى تقبض قيمتها ذهبًا أو فضة، ويمضي على ذلك حول، بناء على أن المعاملة بها حوالة غير صحيحة.
١ – المرجع السابق ص ٦٥
٢ – المرجع السابق ص ٦٧
٣ – انظر: رسالة «التبيان في زكاة الأثمان» للشيخ محمد حسنين مخلوف العدوي ص ٣٣

Zakat Uang Kertas

Uang kertas tidak dikenal kecuali di zaman sekarang, maka kita tidak berharap bahwa para ulama terdahulu memiliki hukum tentangnya. Yang ada hanyalah bahwa banyak ulama zaman ini berusaha untuk menjadikan fatwa mereka sebagai takhrij (penjelasan) atas perkataan ulama sebelumnya. Di antara mereka ada yang melihat uang ini dengan pandangan yang penuh dengan literalitas dan zahiriyah, sehingga mereka tidak melihatnya sebagai uang: karena uang yang syar’i hanyalah perak dan emas, maka tidak ada zakat di dalamnya.
Dengan ini, Syaikh ‘Alish – Mufti Mazhab Maliki di Mesir pada masanya, telah dimintai fatwa tentang hukum “al-kaghid” – kertas – yang di dalamnya terdapat stempel sultan, dan diperlakukan seperti dirham dan dinar, lalu beliau berfatwa: tidak ada zakat di dalamnya (3).
Demikian pula, sebagian ulama Syafi’iyah berfatwa bahwa tidak ada zakat di dalamnya, sampai nilai uang tersebut dibeli dengan emas atau perak, dan berlalu satu tahun atasnya, berdasarkan bahwa transaksi dengannya adalah hawalah (pengalihan utang) yang tidak sah.
1 – Referensi sebelumnya, halaman 65
2 – Referensi sebelumnya, halaman 67
3 – Lihat: Risalah “At-Tibyan fi Zakat Al-Atsman” karya Syaikh Muhammad Hasnain Makhluf Al-Adawi, halaman 33
271

شرعاً ، لعدم الإيجاب والقبول اللفظيين (١ )
وفي كتاب : الفقه على المذاهب الأربعة ) ( ۲ ) الذي ألفته لجنة تمثل علماء هذه المذاهب في مصر نقرأ ما يأتي :
١ – الشافعية قالوا : الورق النقدي ، التعامل به من قبيل الحوالة على البنك بقيمته ، فيملك قيمته ديناً على البنك ، والبنك مليء مقر مستعد للدفع حاضر ، ومتى كان المدين بهذه الأوصاف وجبت زكاة الدين في الحال وعدم الإيجاب والقبول اللفظيين في الحوالة لا يبطلها حيث جرى العرف بذلك . على أن بعض أئمة الشافعية قال : المراد بالإيجاب والقبول كل ما . يشعر بالرضا من قول أو فعل ، والرضا هنا متحقق .
٢ – الحنفية قالوا : الأوراق المالية — البنكنوت – من قبيل الدين القوي ،
إلا أنها يمكن صرفها فضة فوراً فيجب فيها الزكاة فوراً .
٣ – المالكية قالوا : أوراق البنكنوت – وإن كانت سندات دين – إلا أنها
يمكن صرفها فضة فوراً ، وتقوم مقام الذهب في التعامل ، فيجب فيها الزكاة بشروطها .
٤ – الحنابلة قالوا : لا تجب زكاة الورق النقدي إلا إذا صرف ذهباً أو
فضة ، ووجدت فيه شروط الزكاة .
ومن هذه الأقوال المنسوبة إلى المذاهب ، نعلم أن أساسها هو اعتبار هذه الأوراق سندات دين على بنك الإصدار ، وأنها يمكن صرف قيمتها فضة فوراً ، فتجب الزكاة فيها فوراً عند المذاهب الثلاثة ، وعند الصرف فعلاً على مذهب الحنابلة . ونحن نعلم أن القانون أصبح يعفي أوراق النقد المصرفية البنكنوت ، من أن يلتزم البنك صرفها بالذهب أو الفضة ، وبهذا ينهار الأساس الذي بني عليه إيجاب الزكاة في هذه الأوراق .
١ – الفقه على المذاهب الأربعة ط ثانية .
٢ – الفقه ص ٤٨٦ ط خامسة .

Secara syar’i, karena tidak adanya ijab dan kabul secara lisan (1)
Dalam kitab: “Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah” (Fiqh Empat Mazhab) (2) yang ditulis oleh komite yang mewakili ulama dari mazhab-mazhab ini di Mesir, kami membaca sebagai berikut:

  • Mazhab Syafi’i mengatakan: Uang kertas, transaksinya termasuk kategori pengalihan (hawalah) kepada bank dengan nilainya. Maka seseorang memiliki nilai tersebut sebagai utang pada bank, dan bank adalah pihak yang mampu, tempat yang siap untuk membayar tunai. Dan kapan saja si peminjam memenuhi kriteria ini, maka wajib zakat atas utang tersebut saat itu juga. Dan tidak adanya ijab dan kabul secara lisan dalam pengalihan tidak membatalkannya, karena telah menjadi kebiasaan yang berlaku.
    Namun, sebagian imam mazhab Syafi’i mengatakan: Yang dimaksud dengan ijab dan kabul adalah segala sesuatu yang menunjukkan keridhaan, baik berupa ucapan maupun perbuatan, dan keridhaan di sini telah terpenuhi.
  • Mazhab Hanafi mengatakan: Uang kertas – banknotes – termasuk kategori utang yang kuat, hanya saja dapat ditukar dengan perak secara tunai, maka wajib zakat di dalamnya secara tunai.
  • Mazhab Maliki mengatakan: Uang kertas – meskipun berupa surat utang – dapat ditukar dengan perak secara tunai, dan menggantikan posisi emas dalam transaksi, maka wajib zakat di dalamnya dengan syarat-syaratnya.
  • Mazhab Hambali mengatakan: Tidak wajib zakat atas uang kertas kecuali jika ditukar dengan emas atau perak, dan terpenuhi syarat-syarat zakatnya.
    Dari pendapat-pendapat yang dinisbatkan kepada mazhab-mazhab ini, kita mengetahui bahwa dasarnya adalah menganggap uang kertas ini sebagai surat utang pada bank penerbit, dan bahwa nilainya dapat ditukar dengan perak secara tunai, maka wajib zakat di dalamnya secara tunai menurut tiga mazhab, dan wajib zakat setelah ditukar secara nyata menurut mazhab Hambali. Kita juga mengetahui bahwa undang-undang telah membebaskan uang kertas bank dari kewajiban bank untuk menukarnya dengan emas atau perak, sehingga runtuhlah dasar yang dibangun di atasnya kewajiban zakat dalam uang kertas ini.
    (1) Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, cetakan kedua.
    (2) Al-Fiqh, halaman 486, cetakan kelima.

هذا مع أن هذه الأوراق أصبحت هي أساس التعامل بين الناس ، ولم يعد يرى الناس العملة الذهبية قط ، ولا الفضية ، إلا في المبالغ التافهة . أما عماد الثروات والمبادلات فهو هذه العملة الورقية .
إن هذه الأوراق أصبحت – باعتماد السلطات الشرعية إياها ، وجريان التعامل بها – أثمان الأشياء ، ورؤوس الأموال ، وبها يتم البيع والشراء والتعامل داخل كل دولة ، ومنها تصرف الأجور والرواتب والمكافآت وغيرها ، وعلى قدر ما يملك المرء منها يعتبر غناه ، ولها قوة الذهب والفضة في قضاء الحاجات ، وتيسير المبادلات ، وتحقيق المكاسب والأرباح ، فهي بهذا الاعتبار أموال نامية أو قابلة للنماء ، شأنها شأن الذهب والفضة .
صحيح أن الذهب والفضة لهما قيمة مالية ذاتية من حيث إنهما معدنان نفیسان ، حتى لو بطل التعامل بهما نقدين لبقيت قيمتهما المالية معدنين ، نعم هذا صحيح ، ولكن الذي يفهم من روح الشريعة ونصوصها أنها لم توجب الزكاة في الذهب والفضة لمحض ماليتهما : إذ لم توجب الزكاة في كل مال ، بل في المال المعد للنماء ، والذهب والفضة إنما اعتبرهما الشارع مالاً معداً للنماء من جهة أنهما أثمان للأشياء وقيم لها ، فالثمنية مراعاة مع المالية أيضاً ، ولهذا كان عنوان زكاة الذهب والفضة في كثير من الكتب : زكاة الأثمان ، أو زكاة و النقدين .

“Hal ini seiring dengan fakta bahwa uang kertas telah menjadi dasar transaksi di antara masyarakat, dan orang-orang tidak lagi melihat mata uang emas sama sekali, atau perak, kecuali dalam jumlah yang sangat kecil. Sedangkan inti dari kekayaan dan pertukaran adalah mata uang kertas ini.
Sesungguhnya uang kertas ini telah menjadi – dengan pengakuan otoritas hukum atasnya, dan berjalannya transaksi dengannya – nilai tukar barang-barang, modal utama, dan dengannya jual beli dan transaksi terjadi di setiap negara, dan darinya pembayaran upah, gaji, tunjangan, dan lain-lain dilakukan, dan sesuai dengan jumlah yang dimiliki seseorang, kekayaannya dipertimbangkan, dan ia memiliki kekuatan emas dan perak dalam memenuhi kebutuhan, memfasilitasi pertukaran, dan mewujudkan keuntungan dan laba, maka dengan pertimbangan ini, ia adalah harta yang berkembang atau dapat berkembang, sama seperti emas dan perak.
Benar bahwa emas dan perak memiliki nilai finansial intrinsik karena keduanya adalah logam mulia, bahkan jika transaksi dengan keduanya sebagai uang telah batal, nilai finansial keduanya sebagai logam tetap ada, benar ini benar, tetapi yang dipahami dari semangat syariah dan teks-teksnya adalah bahwa ia tidak mewajibkan zakat pada emas dan perak semata-mata karena nilai finansialnya: karena ia tidak mewajibkan zakat pada setiap harta, tetapi pada harta yang disiapkan untuk berkembang, dan emas dan perak hanyalah dianggap oleh syariat sebagai harta yang disiapkan untuk berkembang dari sisi bahwa keduanya adalah nilai tukar barang-barang dan nilai baginya, maka nilai tukar dipertimbangkan bersama dengan nilai finansial juga, dan oleh karena itu judul zakat emas dan perak dalam banyak kitab adalah: zakat nilai tukar, atau zakat dan uang tunai.”


وَمِنْ أَجْلِ هَذَا لَا يَسُوغُ أَنْ يُقَالَ لِلنَّاسِ – إِنَّ بَعْضَ الْمَذَاهِبِ لَا يَرَى إِخْرَاجَ الزَّكَاةِ عَنْ هَذِهِ الْأَوْرَاقِ ، وَيُنْسَبُ ذَلِكَ إِلَى مَذْهَبِ أَحْمَدَ أَوْ مَالِكٍ أَوْ الشَّافِعِيِّ أَوْ غَيْرِهِمْ . فَالْحَقُّ أَنَّ هَذَا أَمْرٌ مُسْتَحْدَثٌ لَيْسَ لَهُ نَظِيرٌ فِي عَصْرِ الْأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِينَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – حَتَّى يُقَاسَ عَلَيْهِ وَيُلْحَقَ بِهِ . وَالْوَاجِبُ أَنْ يُنْظَرَ إِلَيْهِ نَظْرَةً مُسْتَقِلَّةً فِي ضَوْءِ وَاقِعِنَا وَظُرُوفِ حَيَاتِنَا وَعَصْرِنَا . وَإِنِّي لَأُسَجِّلُ بِالتَّقْدِيرِ هُنَا مَا كَتَبَهُ وَأَفْتَى بِهِ الْعَلَّامَةُ الشَّيْخُ مُحَمَّدٌ حَسَنَيْنِ مَخْلُوفُ الْعَدَوِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِي رِسَالَتِهِ “التِّبْيَانُ فِي زَكَاةِ الْأَثْمَانِ” إِذْ قَالَ مُعَقِّباً عَلَى تَخْرِيجِ زَكَاةِ الْأَوْرَاقِ الْمَالِيَّةِ عَلَى زَكَاةِ الدَّيْنِ الْمَعْرُوفِ عِنْدَ

Oleh karena itu, tidaklah pantas untuk mengatakan kepada orang-orang bahwa sebagian mazhab tidak memperbolehkan mengeluarkan zakat dari kertas-kertas (uang kertas) ini, dan menghubungkan hal itu dengan mazhab Ahmad, Malik, Syafi’i, atau lainnya. Faktanya, ini adalah masalah baru yang tidak ada bandingannya di zaman para imam mujtahid -semoga Allah meridhoi mereka- sehingga bisa diqiyaskan dan disamakan dengannya.
Wajib untuk melihatnya dengan pandangan yang independen dalam terang realitas kita, kondisi kehidupan kita, dan zaman kita. Saya mencatat dengan penghargaan di sini apa yang ditulis dan difatwakan oleh ulama besar Syekh Muhammad Hasanain Makhluf al-Adawi -rahimahullah- dalam risalahnya “At-Tibyan fi Zakat al-Atsman” (Penjelasan tentang Zakat Mata Uang), ketika beliau berkomentar tentang pengeluaran zakat dari surat-surat berharga (uang kertas) dengan mengqiyaskannya pada zakat utang yang dikenal di kalangan…”

الفقهاء القدامى، واعتبار هذه الأوراق سند دين (صكاً كالكمبيالة) لا تجب تزكيته إلا على مذهب من لا يشترط القبض في تزكية الدين إذا كان على مليء مقر – قال: ولا يخفى أن تخريج زكاة الأوراق المالية على زكاة الدين – مع كونه مجحفاً بحق الفقراء على غير ما ذهب إليه الشافعية – مبني على اعتبار القيمة المضمونة بهذه الأوراق كدين حقيقي في ذمة شخص مدين، وأن هذه الأوراق كمستندات ديون حقيقية.
مع أن هناك فرقاً بين هذه الأوراق، وما هو مضمون بها، وبين الدين الحقيقي وسنده المعروف عند الفقهاء، فإن الدين ما دام في ذمة المدين لا ينمو ولا ينتفع به ربه، ولا يجري التعامل بسنده رسماً. ولذلك قيل بعدم وجوب زكاته؛ لأنه ليس مالاً حاضراً معداً للنماء، بحيث ينتفع به ربه، بخلاف قيمة هذه الأوراق، فإنها نامية منتفع بها كما ينتفع بالأموال الحاضرة، وكيف يقال: إن هذه الأوراق من قبيل مستندات الديون، ومستند الدين ما أخذ على المدين للتوثق وخشية الضياع، لا لتنمية الدين في ذمة المدين، ولا للتعامل به؟! أو يقال لا تجب الزكاة فيها حتى يقبض بدلها نقداً ذهباً أو فضة، مع أن عدم الزكاة في الدين – كما علمت انما – هو لكونه ليس معداً للنماء، ولا محفوظاً بعينه في خزانة المدين؟

Para ahli hukum Islam terdahulu, menganggap surat-surat berharga ini sebagai surat utang (cek seperti promes) tidak wajib dizakati kecuali menurut mazhab yang tidak mensyaratkan kepemilikan dalam zakat utang jika itu pada orang yang mampu membayar dan mengakui – Dia berkata: Tidaklah samar bahwa mengeluarkan zakat surat-surat berharga keuangan atas zakat utang – meskipun merugikan hak fakir miskin berbeda dengan apa yang dianut oleh Syafi’iyah – didasarkan pada pertimbangan nilai yang dijamin dari surat-surat berharga ini sebagai utang nyata di tangan seseorang yang berutang, dan bahwa surat-surat berharga ini sebagai dokumen utang nyata.
Meskipun ada perbedaan antara surat-surat berharga ini, dan apa yang dikandungnya, dan antara utang nyata dan dasarnya yang dikenal di antara para ahli hukum Islam, maka utang selama di tangan orang yang berutang tidak bertambah dan pemiliknya tidak mengambil manfaat darinya, dan tidak ada transaksi yang dilakukan dengan dasarnya secara resmi. Oleh karena itu, dikatakan tidak wajib dizakati; karena itu bukan harta yang hadir yang disiapkan untuk pertumbuhan, sehingga pemiliknya mengambil manfaat darinya, berbeda dengan nilai surat-surat berharga ini, maka ia tumbuh dan diambil manfaatnya sebagaimana harta yang hadir diambil manfaatnya, dan bagaimana dikatakan: bahwa surat-surat berharga ini termasuk dokumen utang, dan dokumen utang adalah apa yang diambil dari orang yang berutang untuk jaminan dan kekhawatiran kehilangan, bukan untuk mengembangkan utang di tangan orang yang berutang, dan bukan untuk diperdagangkan?! Atau dikatakan tidak wajib zakat di dalamnya sampai penggantinya diambil secara tunai emas atau perak, padahal tidak adanya zakat dalam utang – sebagaimana yang Anda ketahui hanyalah – karena ia tidak disiapkan untuk pertumbuhan, dan tidak disimpan persis di brankas orang yang berutang?

والفقهاء إنما حكموا بعدم زكاة الدين ما دام في ذمة المدين حتى يقبضه المالك نظراً لهذه العلة ، واستثنى الشافعية دين الموسر إذا كان حالاً ، فإنه يزكي قبل قبضه كالوديعة ، نظراً إلى أنه في حكم الحاضر المعد للنماء ، فلو فرض نماؤه كما في بدل الأوراق المالية لما كان هناك وجه لتوقف الزكاة على القبض ، ولما خالف في ذلك أحد من العلماء .
فالحق أن هذا النوع من الدين نوع آخر مستحدث لا ينطبق عليه حقيقة الدين وشروطه المعروفة عند الفقهاء ، ولا يجري فيه الخلاف الذي جرى في زكاة الدين ، بل ينبغي أن يتفق على وجوب الزكاة فيه ، لما علمت أنه كالمال الحاضر .

“Para ahli hukum Islam (fuqaha) hanya memutuskan untuk tidak mewajibkan zakat atas utang selama masih berada di tangan orang yang berutang hingga pemiliknya menerima pembayaran, dengan mempertimbangkan alasan ini. Mazhab Syafi’i mengecualikan utang dari orang yang mampu jika sudah jatuh tempo, maka zakatnya dikeluarkan sebelum diterima, seperti halnya titipan, dengan pertimbangan bahwa itu termasuk harta yang hadir dan disiapkan untuk berkembang. Seandainya pertumbuhannya diandaikan seperti dalam penggantian surat berharga, maka tidak ada alasan untuk menunda kewajiban zakat hingga diterima, dan tidak ada seorang pun dari ulama yang berbeda pendapat dalam hal ini.
Yang benar adalah bahwa jenis utang ini adalah jenis baru yang muncul dan tidak sesuai dengan hakikat utang dan syarat-syaratnya yang dikenal di kalangan ahli hukum Islam, dan tidak termasuk dalam perbedaan pendapat yang terjadi dalam zakat utang, tetapi seharusnya disepakati kewajiban zakatnya, karena telah diketahui bahwa itu sama dengan harta yang hadir.”


إلى أن قال : ولو فرض أنه ليس في البنك شيء من النقود ، ونظر إلى تلك الأوراق في ذاتها بقطع النظر عما يعادلها ، وعن التزام التعهد المرقوم بها ، واعتبر وجهة إصدار الحكومة لها ، واعتبار العلة لها أثماناً رائجة ، لكانت كالنقدين تجب زكاتها على القول بأن الزكاة في النقدين معلولة بمجرد الثمنية ولو لم تكن خلقية كما تقدم في زكاة الفلوس وقطع الجلود والكواغد . فتحصل أن الأوراق المالية يصح أن تزكى باعتبارات أربعة :
الأول : باعتبار المال المضمون بها في ذمة البنك ، وأنه كمال حاضر مقبوض ، وإن لم يكن كالدين المعروف عند الفقهاء من كل وجه .
الثاني : زكاتها باعتبار الأموال المحفوظة بخزانة البنك ، وعلى هذين الاعتبارين فالزكاة واجبة فيها اتفاقاً .
الثالث : زكاتها باعتبار قيمتها ديناً في ذمة البنك فتزكى زكاة الدين الحال على ملىء كما ذهب إليه الشافعي .
الرابع : زكاتها باعتبار قيمتها الوضعية عند جريان الرسم بها في المعاملات واتفاق الملة على اتخاذها أثماناً للمقومات ، وعلى ذلك فوجوب الزكاة فيها ثابت بالقياس كزكاة الفلوس والنحاس ، اهـ .
أقول : هذا الاعتبار الأخير هو الذي يجب أن يعول عليه ، في حكم النقود الورقية الإلزامية التي هي عمدة التبادل والتعامل الآن ، والتي لم يعد يشترط أن يقابلها رصيد معدني بالبنك ، ولا يلتزم البنك صرفها بذهب أو فضة . وربما كان الخلاف في أمر هذه الأوراق مقبولاً في بدء استعمالها ، وعدم اطمئنان الجمهور إليها ، شأن كل جديد (١) ، أما الآن فالوضع قد تغير تماماً .
١ – مثال ذلك الخلاف الذي حدث عند ظهور قهوة البن : أيحل شربها أم يحرم ( وألفت في ذلك رسائل ثم استقر الأمر على الحل ، انظر : الفواكه العديدة المنقور ، جـ ١ ص ٤١٠ – ٤١٣ وقد نقل فيها أقوال ابن حجر الهيثمي الشافعي ، والشيخين : زروق والحطاب المالكيين ، وغيرهم .


Hingga ia berkata: “Seandainya diasumsikan bahwa tidak ada uang di bank, dan dilihat dari lembaran-lembaran itu sendiri tanpa mempedulikan apa yang diwakilinya, dan tanpa mempedulikan komitmen yang tertera di dalamnya, dan mempertimbangkan tujuan penerbitan pemerintah, dan menganggap alasan di balik itu sebagai nilai tukar yang berlaku, maka itu seperti uang tunai yang wajib dizakati, dengan dasar bahwa zakat dalam uang tunai disebabkan oleh nilai tukarnya saja, meskipun tidak bersifat penciptaan seperti yang telah dijelaskan dalam zakat uang dan barang-barang kulit serta kertas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa surat berharga dapat dizakati berdasarkan empat pertimbangan:
Pertama: Dengan mempertimbangkan harta yang dijamin di dalamnya oleh bank, dan bahwa itu adalah harta yang hadir dan dapat diambil, meskipun tidak seperti utang yang dikenal di kalangan ahli fikih dari segala sisi.
Kedua: Zakanya berdasarkan harta yang disimpan di brankas bank, dan berdasarkan kedua pertimbangan ini, zakatnya wajib disepakati.
Ketiga: Zakanya berdasarkan nilainya sebagai utang yang dijamin oleh bank, sehingga zakatnya seperti zakat utang yang jatuh tempo pada orang yang mampu, seperti yang dianut oleh Imam Syafi’i.
Keempat: Zakanya berdasarkan nilai nominalnya saat digunakan dalam transaksi dan kesepakatan umat untuk menjadikannya sebagai nilai tukar untuk kebutuhan pokok, dan berdasarkan itu, kewajiban zakatnya tetap berdasarkan qiyas seperti zakat uang dan tembaga, selesai.”
Saya katakan: “Pertimbangan terakhir ini adalah yang harus diandalkan, dalam hukum uang kertas wajib yang menjadi dasar pertukaran dan transaksi saat ini, dan yang tidak lagi mensyaratkan adanya cadangan logam di bank, dan bank tidak berkewajiban menukarkannya dengan emas atau perak. Dan mungkin perbedaan pendapat mengenai masalah lembaran-lembaran ini dapat diterima pada awal penggunaannya, dan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadapnya, seperti halnya setiap hal baru (1), namun sekarang situasinya telah berubah sepenuhnya.”
1 – Contoh perbedaan pendapat itu adalah perbedaan pendapat yang terjadi ketika kopi pertama kali muncul: apakah boleh diminum atau haram (dan risalah-risalah ditulis mengenai hal itu, kemudian masalahnya diselesaikan bahwa itu halal, 410-413. Dan di dalamnya dikutip perkataan Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, dan dua Syaikh: Zarruq dan al-Hattab al-Maliki, dan lainnya.

فقه الزكاة الجزء الأول دكتور يوسف القرضاوي ص ٢٧٦-٢٧٩

لَقَدْ أَصْبَحَتْ هَذِهِ الْأَوْرَاقُ النَّقْدِيَّةُ تُحَقِّقُ دَاخِلَ كُلِّ دَوْلَةٍ مَا تُحَقِّقُهُ النُّقُودُ الْمَعْدِنِيَّةُ، وَيَنْظُرُ الْمُجْتَمَعُ إِلَيْهَا نَظْرَتَهُ إِلَى تِلْكَ. إِنَّهَا تَدْفَعُ مَهْرًا، فَتُسْتَبَاحُ بِهَا الْفُرُوجُ شَرْعًا دُونَ أَيِّ اعْتِرَاضٍ. وَتَدْفَعُ ثَمَنًا، فَتَنْقُلُ مِلْكِيَّةَ السِّلْعَةِ إِلَى دَافِعِهَا بِلَا جِدَالٍ. وَتَدْفَعُ أَجْرًا لِلْجُهْدِ الْبَشَرِيِّ، فَلَا يَمْتَنِعُ عَامِلٌ أَوْ مُوَظَّفٌ مِنْ أَخْذِهَا جَزَاءً عَلَى عَمَلِهِ. وَتُدْفَعُ دِيَةٌ فِي الْقَتْلِ الْخَطَأِ أَوْ شِبْهِ الْعَمْدِ، فَتُبْرِئُ ذِمَّةَ الْقَاتِلِ، وَيَرْضَى أَوْلِيَاءُ الْمَقْتُولِ. وَتُسْرَقُ فَيَسْتَحِقُّ سَارِقُهَا عُقُوبَةَ السَّرِقَةِ بِلَا مِرَاءٍ مِنْ أَحَدٍ. وَتُدَّخَرُ وَتُمْلَكُ، فَيُعَدُّ مَالِكُهَا غَنِيًّا بِقَدْرِ مَا يَمْلِكُ مِنْهَا، فَكُلَّمَا كَثُرَتْ فِي يَدِهِ، عَظُمَ غِنَاهُ عِنْدَ النَّاسِ وَعِنْدَ نَفْسِهِ (١). وَمَعْنَى هَذَا كُلِّهِ: أَنَّ لَهَا وَظَائِفَ النُّقُودِ الشَّرْعِيَّةِ وَأَهَمِّيَّتَهَا وَنَظْرَةَ الْمُجْتَمَعِ إِلَيْهَا، فَكَيْفَ يَسُوغُ لَنَا أَنْ نَحْرِمَ الْفُقَرَاءَ وَالْمَسَاكِينَ وَسَائِرَ الْمُسْتَحِقِّينَ مِنَ الِانْتِفَاعِ بِهَذِهِ النُّقُودِ وَوَظَائِفِهَا الْمُتَعَدِّدَةِ الْوَفِيرَةِ؟ أَلَيْسَ النَّاسُ كُلُّ النَّاسِ يَسْعَوْنَ إِلَى تَحْصِيلِهَا جَاهِدِينَ؟ أَلَيْسَ مُلَّاكُهَا يَعُدُّونَهَا نِعْمَةً يَجِبُ أَنْ تُشْكَرَ؟ أَلَيْسَ الْفُقَرَاءُ يَتَطَلَّعُونَ إِلَيْهَا، وَيَسِيلُ لُعَابُهُمْ شَوْقًا إِلَيْهَا؟ أَلَيْسُوا يَفْرَحُونَ بِهَا إِذَا أُعْطُوا الْقَلِيلَ مِنْهَا؟ بَلَى وَاللَّهِ. وَأَخْتِمُ هَذِهِ النُّقْطَةَ بِمَا قَرَّرَهُ بَعْضُ أَسَاتِذَةِ الِاقْتِصَادِ: أَنَّهُ يُمْكِنُ الْقَوْلُ بِأَنَّ النُّقُودَ هِيَ كُلُّ مَا يُسْتَعْمَلُ مِقْيَاسًا لِلْقِيَمِ، وَوَاسِطَةً لِلتَّبَادُلِ، وَأَدَاةً لِلِادِّخَارِ. فَأَيُّ شَيْءٍ يُؤَدِّي إِلَى هَذِهِ الْوَظِيفَةِ يُعْتَبَرُ نُقُودًا، بِصَرْفِ النَّظَرِ عَنِ الْمَادَّةِ الْمَصْنُوعِ مِنْهَا، وَبِصَرْفِ النَّظَرِ عَنِ الْكَيْفِيَّةِ الَّتِي أَصْبَحَ بِهَا وَسِيلَةَ التَّعَامُلِ فِي مَبْدَأِ الْأَمْرِ. فَمَا دَامَتْ هُنَاكَ مَادَّةٌ يَقْبَلُهَا كُلُّ الْمُنْتِجِينَ فِي مُجْتَمَعٍ مَا لِلْمُبَادَلَةِ نَظِيرَ مَا يَبِيعُونَ، فَهَذِهِ الْمَادَّةُ نُقُودٌ (٢). ١- لَا مَعْنَى إِذَنْ لِمَا يَقُولُهُ بَعْضُ الْمُتَشَدِّقِينَ فِي عَصْرِنَا مِنْ أَنَّ النُّقُودَ الشَّرْعِيَّةَ هِيَ الذَّهَبُ وَالْفِضَّةُ؟ فَهِيَ الَّتِي تَجِبُ فِيهَا الزَّكَاةُ، وَهِيَ الَّتِي يَجْرِي فِيهَا الرِّبَا!! ٢- النُّظُمُ النَّقْدِيَّةُ وَالْمَصْرِفِيَّةُ ص ٩٢


Uang kertas kini telah berfungsi dalam setiap negara sebagaimana fungsi uang logam. Masyarakat memandangnya sebagaimana mereka memandang uang logam.

Uang kertas ini dapat digunakan untuk membayar mahar, sehingga dengannya hubungan suami-istri menjadi halal secara syar’i tanpa ada keberatan. Uang ini juga digunakan untuk membayar harga suatu barang, sehingga kepemilikan barang berpindah kepada pembeli tanpa ada perdebatan. Uang ini juga digunakan sebagai upah tenaga kerja, sehingga pekerja atau pegawai tidak menolak menerimanya sebagai imbalan atas pekerjaannya.

Uang kertas juga digunakan untuk membayar diyat dalam kasus pembunuhan tidak sengaja atau semi-sengaja, sehingga terbebaslah tanggungan pelaku, dan keluarga korban pun merasa puas. Jika uang ini dicuri, maka pencurinya berhak mendapatkan hukuman pencurian tanpa ada perdebatan. Uang ini juga dapat disimpan dan dimiliki, sehingga pemiliknya dianggap kaya sesuai dengan jumlah yang dimilikinya. Semakin banyak uang yang dimilikinya, semakin besar pula tingkat kekayaannya di mata orang lain dan di mata dirinya sendiri.

Semua ini menunjukkan bahwa uang kertas memiliki fungsi dan kedudukan sebagaimana uang yang sah menurut syariat, serta pandangan masyarakat terhadapnya. Maka, bagaimana mungkin kita melarang kaum fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerima manfaat dari uang ini dan berbagai fungsinya yang banyak dan melimpah? Bukankah semua orang berusaha keras untuk mendapatkannya? Bukankah para pemiliknya menganggapnya sebagai nikmat yang harus disyukuri? Bukankah kaum fakir sangat menginginkannya hingga air liur mereka menetes karena rindu akan uang ini? Bukankah mereka bergembira jika mendapatkan sedikit darinya? Demi Allah, benar adanya!

Saya akhiri pembahasan ini dengan pernyataan dari salah seorang profesor ekonomi yang mengatakan: “Dapat dikatakan bahwa uang adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai ukuran nilai, alat tukar, dan sarana penyimpanan. Maka, apa pun yang menjalankan fungsi tersebut dianggap sebagai uang, tanpa memandang bahan pembuatannya dan tanpa memperhatikan bagaimana ia pertama kali menjadi alat transaksi. Selama ada suatu benda yang diterima oleh seluruh produsen dalam suatu masyarakat untuk pertukaran barang dagangan mereka, maka benda tersebut adalah uang.”

Catatan:

Tidak ada makna bagi perkataan sebagian orang yang terlalu ekstrem di zaman kita bahwa uang syar’i hanyalah emas dan perak! Hanya emas dan perak yang wajib dizakati, dan hanya emas dan perak yang berlaku dalam hukum riba! Al-Nuzum al-Naqdiyyah wa al-Mashrafiyyah, hlm. 29.

شروط وجوب الزكاة في النقود
لم توجب الشريعة الإسلامية الزكاة في كل مقدار من النقود، قل أو أكثر، ولا في كل حين طال أو قصر. ولا على كل مالك للنقود بغض النظر عن ظروفه وحاجاته. بل اشترطت لوجوب الزكاة في النقود شروطاً معينة، شأنها في ذلك شأن كل مال فرضت فيه الزكاة:
١ – بلوغ النصاب
وأول هذه الشروط: أن تبلغ النقود نصاباً، والنصاب – كما عرفنا – هو الحد الأدنى للغنى في الشرع، وما دونه يعتبر مالاً قليلاً معفواً عنه، وصاحبه لا يعد بامتلاكه غنياً.
وقد عرفنا من الصفحات السابقة مقدار النصاب النقدي للزكاة بالعملة المعاصرة. واخترنا أن نصاب النقود هو: ما يساوي قيمة ٨٥ جراماً من الذهب. وهي المساوية للعشرين ديناراً التي جاءت بها الآثار واستقر عليها الأمر.هل يشترط أن يكون مالك النصاب واحداً؟إذا كانت هناك شركة تضم مجموعة من الأفراد مساهمين بمقادير من النقود تبلغ بمجموعها نصاباً أو نصباً، ولكن حصة كل فرد لا تبلغ نصاباً، فهل تجب في مال الشركة الزكاة؟
اختلفوا في ذلك، فعند أبي حنيفة ومالك: أن الشريكين لا يجب على أحدهما زكاة حتى يكون لكل واحد منهما نصاب. وعند الشافعي: أن المال المشترك حكمه حكم مال واحد.وسبب اختلافهم – كما ذكر ابن رشد – الإجمال الذي في قوله – عليه الصلاة والسلام – “ليس فيما دون خمس أواق صدقة”، فإن هذا القدر

Syarat-syarat Wajib Zakat pada Uang

Syariat Islam tidak mewajibkan zakat atas setiap jumlah uang, baik sedikit maupun banyak, dan tidak setiap waktu, baik lama maupun sebentar. Tidak juga atas setiap pemilik uang tanpa memandang kondisi dan kebutuhannya. Akan tetapi, diwajibkan untuk zakat pada uang syarat-syarat tertentu, sebagaimana halnya dengan setiap harta yang diwajibkan zakat:


1 – Mencapai Nishab: Syarat pertama ini adalah: bahwa uang mencapai nishab, dan nishab – sebagaimana yang kita ketahui – adalah batas minimal kekayaan dalam syariat, dan yang di bawahnya dianggap harta yang sedikit yang dimaafkan, dan pemiliknya tidak dianggap kaya dengan kepemilikannya.
Kita telah mengetahui dari halaman-halaman sebelumnya jumlah nishab uang untuk zakat dengan mata uang kontemporer. Dan kita memilih bahwa nishab uang adalah: apa yang setara dengan nilai 85 gram emas. Yang setara dengan dua puluh dinar yang disebutkan dalam atsar dan telah disepakati.
Apakah Disyaratkan Pemilik Nishab Itu Satu Orang?
Jika ada perusahaan yang terdiri dari sekelompok individu yang menyumbang dengan jumlah uang yang mencapai total nishab atau nishab, tetapi bagian setiap individu tidak mencapai nishab, apakah wajib zakat atas harta perusahaan?
Mereka berbeda pendapat dalam hal itu, menurut Abu Hanifah dan Malik: bahwa kedua mitra tidak wajib zakat sampai masing-masing memiliki nishab.
Dan menurut Syafi’i: bahwa harta bersama hukumnya sama dengan harta satu orang.
Dan sebab perbedaan pendapat mereka – sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd – adalah keumuman yang ada dalam sabdanya – semoga shalawat dan salam tercurah kepadanya – “Tidak ada sedekah pada yang kurang dari lima uqiyah”, maka jumlah ini

يمكن أن يفهم منه أنه إنما يخصه هذا الحكم إذا كان لمالك واحد فقط ، ويمكن أن يفهم منه أنه يخصه هذا الحكم ، كان لمالك واحد أو أكثر ، إلا أنه لما كان مفهوم اشتراط النصاب إنما هو الرفق ، فواجب أن يكون النصاب من شرطه أن يكون لمالك واحد – وهو الأظهر – والله أعلم .
والشافعي كأنه شبه الشركة بالخلطة – في الماشية – ولكن تأثير الخلطة غير متفق عليه (١).
والذي يتجه إليه هنا مذهب الجمهور : أن لا عبرة بما يسمى “الشخصية الاعتبارية ” أو ” المعنوية ” للشركة ، فقد يكون أعضاء هذه الشركة مجموعة من المساهمين الفقراء ، والزكاة إنما تؤخذ من الأغنياء لترد على الفقراء ، فهؤلاء حينئذ ممن ترد عليهم الزكاة لا ممن تؤخذ منهم واشتراك جماعة في نصاب لا يجعل فقيرهم غنياً .
ولكن مذهب الشافعي أيسر في التطبيق بالنظر إلى الحكومات في عصرنا ، ويمكن لولي الأمر أن يترك نسبة معينة من الزكاة لإدارة الشركة لتوزعها على مساهميها الفقراء فتجمع بين الحسنيين (٢).
٢ – حولان الحول :
والشرط الثاني لوجوب الزكاة في النقود بعد بلوغ النصاب : أن يحول عليه الحول ، وهذا – كما ذكرنا من قبل – مجمع عليه في غير المال المستفاد . بمعنى : أن الزكاة لا تجب في النقود إلا مرة واحدة في العام ، فكل مال زكي لا تجب فيه زكاة إلا بعد مرور حول .
وعند الحنفية : يشترط كمال النصاب في طرفي الحول فقط : في الابتداء للانعقاد ، وفي الانتهاء للوجوب ، فلا يضر نقصانه بينهما . فلو هلك كله
(١) – بداية المجتهد لابن رشد ج ١ ص ٢٥٠ ط الاستقامة .
(٢) – مما قلناه هناه هنا تأكيد لما ذكرنا في خلطة السوائم أن للإدارة التي تتولى أمر الزكاة أن تنظر إلى الشركات نظرتها إلى الشخص الواحد ، إذا احتاجت إلى ذلك لتنظيم أعمالها ، وتبسيط إجراءاتها ، تقليداً لمذهب الشافعي .

Dapat dipahami dari hal ini bahwa hukum ini hanya berlaku jika pemiliknya hanya satu orang, dan dapat juga dipahami bahwa hukum ini berlaku, baik pemiliknya satu orang atau lebih, hanya saja karena konsep syarat nishab adalah untuk memberi kemudahan, maka wajib bahwa nishab menjadi syarat bagi satu pemilik – dan ini yang paling jelas – dan Allah Maha Mengetahui.
Syafi’i seolah-olah menyamakan perusahaan dengan percampuran – dalam hewan ternak – tetapi pengaruh percampuran tidak disepakati (1).
Yang lebih condong di sini adalah mazhab jumhur: bahwa tidak ada pertimbangan terhadap apa yang disebut “kepribadian hukum” atau “moral” perusahaan, karena anggota perusahaan ini bisa jadi sekelompok pemegang saham yang miskin, dan zakat hanya diambil dari orang kaya untuk dikembalikan kepada orang miskin, maka mereka ini adalah orang-orang yang berhak menerima zakat, bukan orang-orang yang diambil zakatnya dari mereka. Dan gabungan sekelompok orang dalam nishab tidak menjadikan orang miskin mereka kaya.
Tetapi mazhab Syafi’i lebih mudah diterapkan jika dilihat dari pemerintah di zaman kita, dan waliyul amri dapat menyerahkan persentase tertentu dari zakat kepada manajemen perusahaan untuk didistribusikan kepada pemegang saham mereka yang miskin, sehingga menggabungkan dua kebaikan (2).

2 – Berlalunya Satu Tahun (Haul): Syarat kedua untuk wajibnya zakat pada uang setelah mencapai nishab: adalah berlalunya satu tahun, dan ini – sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya – disepakati dalam selain harta yang diperoleh. Artinya: bahwa zakat tidak wajib pada uang kecuali sekali dalam setahun, maka setiap harta yang dizakati tidak wajib zakatnya kecuali setelah berlalunya satu tahun.
Dan menurut Hanafiyah: disyaratkan kesempurnaan nishab di kedua ujung tahun saja: pada permulaan untuk penetapan, dan pada akhir untuk kewajiban, maka tidak masalah jika nishab berkurang di antaranya. Jika seluruhnya hilang
(1) – Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd jilid 1 hal. 250 cetakan Istiqamah.
(2) – Apa yang kami katakan di sini adalah penegasan dari apa yang kami sebutkan dalam percampuran hewan ternak bahwa manajemen yang menangani urusan zakat hendaknya melihat perusahaan sebagaimana melihat seseorang, jika perlu untuk mengatur pekerjaan mereka, dan menyederhanakan prosedur mereka, mengikuti mazhab Syafi’i.

في أثناء الحول ، بطل الحول ، فإذا استفاد فيه غيره استأنف له حولاً جديداً (١).
وعند الأئمة الثلاثة : يعتبر وجود النصاب في جميع الحول . مستدلين بحديث “لا زكاة في مال حتى يحول عليه الحول” (٢) وهو يقتضي مرور الحول على جميعه ، ولأن ما اعتبر في طرفي الحول ، اعتبر في وسطه كالملك والإسلام (٣).
أما المال المستفاد من النقود (كالمرتبات والأجور والمكافآت وإيراد ذوي المهن الحرة من الأطباء والمهندسين والمحامين وغيرهم ، أو إيراد رؤوس الأموال ، الثابتة : كالعمارات السكنية الاستغلالية ، والمصانع والفنادق : وغير الثابتة : كالسيارات والطائرات ونحوها) فقد ذهب الجمهور في هذا كله إلى اشتراط الحول . وقال أبو حنيفة : يضم المستفاد إلى النقود التي عنده في الحول فيزكيهما جميعاً ، عند تمام حول المال الذي كان عنده ، إلا أن يكون المستفاد عوضاً عن مال مزكى (٤).
وصح عن بعض الصحابة خلاف ذلك ، فأوجبوا تزكية المال المستفاد عند قبضه ، دون اشتراط للحول.
وسنعود لتفصيل القول في هذه المسألة عند حديثنا عن زكاة “كسب العمل والمهن الحرة” في الفصل التاسع من هذا الباب.
٣ – الفراغ من الدين :
ويشترط أن يكون النصاب النقدي الذي تجب فيه الزكاة فارغاً من الدين ، بحيث لا يستغرق الدين النصاب أو ينقصه . وقد بينا ذلك في الفصل الأول من هذا الباب ، وذكرنا الأدلة عليه هناك .
والدين الذي يمنع وجوب الزكاة عند الحنفية هو الذي له مطالب من جهة
(١) – الدر المختار ، وحاشيته رد المحتار ج ٢ ص ٤٥ .
(٢) – تقدم : إن الحديث ضعيف وسنتكلم عنه بتفصيل في الفصل التاسع .
(٣) – المغني – مع الشرح – ج ٢ ص ٤٩٩ .
(٤) – نفسه ص ٤٩٧ .

Di tengah-tengah tahun (haul), tahun itu batal, jika dia mendapatkan (harta) lain di dalamnya, maka dia memulai tahun baru (1).
Menurut tiga imam mazhab: keberadaan nishab dihitung di sepanjang tahun. Mereka berdalil dengan hadits “Tidak ada zakat pada harta sampai berlalu satu tahun atasnya” (2), yang mengharuskan berlalunya tahun atas seluruhnya, dan karena apa yang dihitung di kedua ujung tahun, dihitung juga di tengahnya, seperti kepemilikan dan Islam (3).
Adapun harta yang diperoleh dari uang (seperti gaji dan upah, bonus, dan pendapatan dari pemilik profesi bebas seperti dokter, insinyur, pengacara, dan lainnya, atau pendapatan dari modal, yang tetap: seperti bangunan tempat tinggal komersial, pabrik, dan hotel: dan yang tidak tetap: seperti mobil, pesawat, dan lain-lain), mayoritas ulama berpendapat dalam semua ini bahwa disyaratkan berlalunya satu tahun. Abu Hanifah berkata: yang diperoleh ditambahkan ke uang yang ada padanya di tahun itu, maka keduanya dizakati bersamaan, ketika genap satu tahun dari harta yang ada padanya, kecuali jika yang diperoleh adalah pengganti dari harta yang dizakati (4).
Dan sahih dari sebagian sahabat bahwa ada perbedaan pendapat dalam hal itu, mereka mewajibkan zakat atas harta yang diperoleh ketika diterima, tanpa mensyaratkan berlalunya satu tahun.
Dan kita akan kembali untuk merinci pendapat dalam masalah ini ketika kita membahas tentang zakat “penghasilan kerja dan profesi bebas” di bab kesembilan dari kitab ini.


3 – Bebas dari Hutang: Disyaratkan bahwa nishab uang yang wajib dizakati harus bebas dari hutang, sehingga hutang tidak menghabiskan nishab atau menguranginya. Dan kami telah menjelaskan hal itu di bab pertama dari kitab ini, dan kami telah menyebutkan dalil-dalilnya di sana.
Dan hutang yang mencegah wajibnya zakat menurut Hanafiyah adalah hutang yang memiliki penagih dari pihak
(1) – Ad-Durr al-Mukhtar, dan hasyiyahnya Radd al-Muhtar jilid 2 hal. 45.
(2) – Telah disebutkan: bahwa hadits itu lemah dan kita akan membahasnya secara rinci di bab kesembilan.
(3) – Al-Mughni – beserta penjelasannya – jilid 2 hal. 499.
(4) – Ibid hal. 497.

Kategori
Hukum

ZAKAT KENDARAAN YANG DIPAKAI UNTUK USAHA DAN PERTANIAN

 

Assalamualaikum

Deskripsi masalah

Seorang petani, sebut saja Pak Joko, memiliki banyak sawah. Setelah panen dan hasilnya melebihi nisab, ia mengeluarkan zakat sesuai dengan ketentuan syariat. Setelah itu, hasil panennya ia jual, lalu uangnya digunakan untuk membeli mobil dan truk. Mobil tersebut digunakan untuk keperluan pribadi, sedangkan truk dipakai untuk mengangkut barang sebagai bagian dari usaha memenuhi kebutuhan hidupnya. Selain itu, ia juga membeli 60 ekor sapi yang digunakan untuk membajak sawah.

Pertanyaan: Apakah mobil, truk, dan sapi sebagaimana deskripsi di atas wajib dizakati?

Waalaikum salam

Jawaban

Mobi/Truk dan sapi tidak wajib zakat karena tidak bertujuan untuk diperdagangkan, tetapi jika membelinya untuk diperdagangkan maka wajib zakat.

Referensi :

مرقاة صعود التصديق في شرح سلم التوفيق صـ ٣٨
(وَأَمْوَالِ التَّجَارَةِ)

وَهِيَ تَقْلِيْبُ الْمَالِ كَالْمُعَاوَضَةِ لَغَرْضِ الربح بنِيَّةِ التَّجَارَةِ عِنْدَ كُل تصرف

“Syarah Sullamut taufik, halaman 38.

(Dan harta perdagangan) yaitu memutar harta seperti pertukaran untuk tujuan keuntungan dengan niat berdagang pada setiap transaksi.”

Referensi :

مرقاة صعود التصديق في شرح سلم التوفيق صـ ٣٨
(وَ) لا يدَّ مِنْ أَنْ لا تَكُونَ ، أَي السَّائِمَةُ العَامِلَةً أَي فِي حَرْثِ الْأَرْضِ وَنَصَحَ الْمَاءَ فلا زكاة فِيهَا الْحَاقَّاهَا بِثيابِ الْبَدَنِ وَأمْتعَةِ الدارِ

Syarah  Sullamut taufik, halaman 38.

(Dan) tidak termasuk (dalam kewajiban zakat) hewan yang dipekerjakan, yaitu hewan yang bekerja membajak tanah dan mengangkut air. Maka tidak ada zakat padanya, karena disamakan dengan pakaian badan dan perabot rumah.”

Penjelasan

Referensi Pertama: Menjelaskan tentang harta perdagangan yang wajib dizakati. Harta perdagangan adalah harta yang diperjualbelikan dengan tujuan mencari keuntungan. Setiap transaksi yang dilakukan dengan niat berdagang, maka harta tersebut termasuk harta perdagangan yang wajib dizakati.

Referensi Kedua:  Menjelaskan tentang hewan yang tidak wajib dizakati. Hewan yang tidak wajib dizakati adalah hewan yang dipekerjakan untuk membajak tanah dan mengangkut air. Hewan-hewan ini disamakan dengan pakaian dan perabot rumah, yang tidak wajib dizakati. Wallahu a’lam.

Kategori
Hukum

ZAKAT, SEDEKAH DAN INFAK

 

Deskripsi masalah

Dalam ajaran Islam, terdapat berbagai konsep kedermawanan yang berfungsi untuk menyeimbangkan kehidupan sosial dan ekonomi umat. Tiga konsep utama dalam hal ini adalah zakat, infak, dan sedekah,

Pertanyaan

Adakah perbedaan antara zakat sedekah dan infak ? Mohon penjelasan!

Waalaikum salam

Jawaban

Perbedaan antara Zakat, Sedekah dan Infak dapat dijelaskan baik secara bahasa maupun istilah dan praktikmya sebagai berikut:

  1. Zakat “Definisi “: Secara bahasa, zakat berarti pertumbuhan dan peningkatan. Secara istilah, zakat adalah hak wajib yang harus ditunaikan dari harta tertentu kepada kelompok tertentu pada waktu tertentu.

Zakat telah diwajibkan sejak di Mekah, namun ketentuan mengenai kadar nisab, jenis harta yang wajib dizakati, serta golongan penerima zakat ditetapkan di Madinah pada tahun kedua hijriah.

Hukum Zakat

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang paling penting setelah syahadat dan shalat, serta merupakan rukun ketiga dalam Islam. Kewajiban zakat telah ditetapkan dalam syariat dengan kadar tertentu dan diberikan kepada golongan yang telah ditentukan dalam Al-Qur’an (8 asnaf dalam QS. At-Taubah: 60).

Jenis zakat meliputi zakat fitrah dan zakat maal (harta) seperti zakat pertanian, perdagangan, emas, perak, dan profesi.

Praktik :

Harus memenuhi syarat tertentu, seperti nisab, haul (untuk beberapa jenis), dan kepemilikan penuh.

Tidak boleh diberikan kepada orang tua, anak, atau pasangan karena mereka merupakan tanggungan wajib.

Contoh: Seseorang memiliki usaha dagang dengan keuntungan yang mencapai nisab, maka ia wajib mengeluarkan 2,5% dari keuntungannya sebagai zakat maal.

  1. Sedekah ” Definisi “: Secara etimologis, kata sedekah berasal dari akar kata shidq (kejujuran), sebagaimana dijelaskan oleh Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi:

“Makna penamaan zakat dengan sedekah diambil dari sifat jujur (shidq) dalam kesesuaian antara perbuatan, ucapan, dan keyakinan
Sedekah lebih luas dari zakat dan infak karena tidak terbatas pada harta.

Termasuk segala bentuk kebaikan, seperti senyum, menolong orang lain, atau perbuatan baik lainnya. Dengan kata lain sedekah lebih luas dari zakat walaupun zakat juga bisa disebut sedekah namun tidak semua sedekah disebut zakat karena sedekah beranika ragam.

Praktik :

Tidak ada batasan jumlah atau penerima.

Bisa berupa makanan, pakaian, tenaga, atau hal-hal non-materi.

Contoh: Seseorang membelikan makanan untuk orang miskin atau membantu tetangga tanpa meminta imbalan.

  1. InfakDefinisi “: Secara bahasa, infak berarti mengeluarkan sesuatu dari tangan.
    Makna infak dalam istilah adalah merujuk pada pengeluaran harta dalam ketaatan kepada Allah, baik yang wajib (seperti infak kepada keluarga ) maupun sunnah (seperti infak fisabilillah).Dengan demikian
    Infak lebih luas dibanding zakat dan tidak memiliki ketentuan nisab maupun haul. Bisa diberikan kepada siapa saja, baik kerabat, fakir miskin, ataupun untuk kepentingan umum seperti pembangunan masjid, sekolah, dakwah, dan lainnya.

Infak termasuk nafkah yang wajib, seperti memberi nafkah kepada orang tua, istri, anak, dan keluarga yang menjadi tanggungan.

Praktik :

Bisa bersifat wajib (nafkah kepada keluarga) atau sunnah (memberikan dana ke masjid, lembaga pendidikan, atau kegiatan sosial).

Contoh: Seseorang memberikan sejumlah uang kepada panitia pembangunan masjid atau membantu biaya hidup saudaranya yang kesulitan ekonomi.

Kesimpulan Praktis:

Zakat bersifat wajib, ada ketentuan nisab, haul, dan penerimanya terbatas.

Infak lebih luas, bisa wajib (nafkah keluarga) atau sunnah, dan bisa diberikan ke individu atau fasilitas umum.

Sedekah paling fleksibel, tidak terbatas pada harta, dan mencakup segala bentuk kebaikan.

Jadi, benar bahwa nafkah kepada orang tua tidak boleh menggunakan zakat tetapi wajib diberikan melalui infak. Begitu juga dengan dana untuk prasarana ibadah, gaji guru agama, atau acara keagamaan bisa dibiayai dari infak dan sedekah.

Wallahu a’lam


Referensi:

فقه الزكاة للشيخ الدكتور يوسف القرضاوي الجزء الاول
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
مَعْنَى الزَّكَاةِ لُغَةً وَشَرْعًا
الزَّكَاةُ لُغَةً: مَصْدَرُ زَكَا الشَّيْءُ إِذَا نَمَى وَزَادَ، وَزَكَا فُلَانٌ إِذَا صَلُحَ، فَالزَّكَاةُ هِيَ: الْبَرَكَةُ وَالنَّمَاءُ وَالطَّهَارَةُ وَالصَّلَاحُ (الْمُعْجَمُ الْوَسِيطُ ٣٩٨/١). قَالَ فِي لِسَانِ الْعَرَبِ وَأَصْلُ الزَّكَاةِ فِي اللُّغَةِ: الطَّهَارَةُ وَالنَّمَاءُ وَالْبَرَكَةُ وَالْمَدْحُ، وَكُلُّهُ قَدِ اسْتُعْمِلَ فِي الْقُرْآنِ وَالْحَدِيثِ. وَالْأَظْهَرُ – كَمَا قَالَ الْوَاحِدِيُّ وَغَيْرُهُ -: أَنَّ أَصْلَ مَادَّةِ “زَكَا” الزِّيَادَةُ وَالنَّمَاءُ. يُقَالُ زَكَا الزَّرْعُ يَزْكُو زَكَاءً. وَكُلُّ شَيْءٍ ازْدَادَ فَقَدْ زَكَا. وَلَمَّا كَانَ الزَّرْعُ لَا يَنْمُو إِذَا خَلَصَ مِنَ الدَّغَلِ كَانَتْ لَفْظَةُ “الزَّكَاةُ” تَدُلُّ عَلَى الطَّهَارَةِ أَيْضًا. وَإِذَا وُصِفَ الْأَشْخَاصُ بِالزَّكَاةِ – بِمَعْنَى الصَّلَاحِ – فَذَلِكَ يَرْجِعُ إِلَى زِيَادَةِ الْخَيْرِ فِيهِمْ، يُقَالُ: رَجُلٌ زَكِيٌّ، أَيْ زَائِدُ الْحَدِّ مِنْ قَوْمٍ أَزْكِيَاءَ، وَ “زَكَّى الْقَاضِي الشُّهُودَ” إِذَا بَيَّنَ زِيَادَتَهُمْ فِي الْخَبَرِ. وَالزَّكَاةُ فِي الشَّرْعِ تُطْلَقُ عَلَى الْحِصَّةِ الْمُقَدَّرَةِ مِنَ الْمَالِ الَّتِي فَرَضَهَا اللهُ لِلْمُسْتَحِقِّينَ. كَمَا تُطْلَقُ عَلَى نَفْسِ إِخْرَاجِ هَذِهِ الْحِصَّةِ (قَالَ الزَّمَخْشَرِيُّ فِي الْفَائِقِ: ٥٣٦/١ ط. أُولَى: “الزَّكَاةُ فُعْلَةٌ كَالصَّدَقَةِ، وَهِيَ مِنَ الْأَسْمَاءِ الْمُشْتَرَكَةِ، تُطْلَقُ عَلَى عَيْنٍ وَهِيَ الطَّائِفَةُ مِنَ الْمَالِ الْمُزَكَّى بِهَا، وَعَلَى مَعْنَى: وَهُوَ الْفِعْلُ الَّذِي هُوَ التَّزْكِيَةُ زَ. وَمِنَ الْجَهْلِ بِهَذَا أَتَى مَنْ ظَلَمَ نَفْسَهُ بِالطَّعْنِ عَلَى قَوْلِهِ – عَزَّ وَجَلَّ -: (وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ) ذَاهِبًا إِلَى الْعَيْنِ، وَإِنَّمَا الْمُرَادُ: الْمَعْنَى الَّذِي هُوَ الْفِعْلُ، أَعْنِي التَّزْكِيَةَ”). وَسُمِّيَتْ هَذِهِ الْحِصَّةُ الْمُخْرَجَةُ مِنَ الْمَالِ زَكَاةً لِأَنَّهَا تَزِيدُ فِي الْمَالِ الَّذِي أُخْرِجَتْ مِنْهُ، وَتُوَفِّرُهُ فِي الْمَعْنَى، وَتَقِيهِ الْآفَاتِ. كَمَا نَقَلَهُ النَّوَوِيُّ عَنِ الْوَاحِدِيِّ (الْمَجْمُوعُ: ٣٢٤/٥). وَقَالَ ابْنُ تَيْمِيَّةَ: نَفْسُ الْمُتَصَدِّقِ تَزْكُو، وَمَالُهُ يَزْكُو: يَطْهُرُ وَيَزِيدُ فِي الْمَعْنَى (مَجْمُوعُ فَتَاوَى شَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ: ٨/٢٥). وَالنَّمَاءُ وَالطَّهَارَةُ لَيْسَا مَقْصُورَيْنِ عَلَى الْمَالِ، بَلْ يَتَجَاوَزَانِهِ إِلَى نَفْسِ مُعْطِي الزَّكَاةِ كَمَا قَالَ تَعَالَى: (خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا) (التَّوْبَةُ: ١٠٣). وَقَالَ الْأَزْهَرِيُّ: إِنَّهَا تُنَمِّي الْفَقِيرَ، وَهِيَ لَفْتَةٌ جَمِيلَةٌ إِلَى أَنَّ الزَّكَاةَ تُحَقِّقُ نُمُوًّا مَادِّيًا وَنَفْسِيًّا لِلْفَقِيرِ أَيْضًا، بِجَانِبِ تَحْقِيقِهَا لِنَمَاءِ الْغَنِيِّ نَفْسِهِ وَمَالِهِ.

Makna Zakat secara Bahasa dan Syariat

Zakat secara bahasa merupakan bentuk masdar dari kata zakā yang berarti berkembang dan bertambah. Kata zakā fulān digunakan ketika seseorang menjadi baik. Dengan demikian, zakat bermakna keberkahan, pertumbuhan, kesucian, dan kebaikan (Al-Mu‘jam Al-Wasīṭ, 1/398).
Dalam Lisān al-‘Arab disebutkan bahwa asal makna zakat dalam bahasa adalah kesucian, pertumbuhan, keberkahan, dan pujian, dan semua makna ini digunakan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Pendapat yang lebih kuat—sebagaimana dikatakan oleh Al-Wāhidī dan lainnya—bahwa akar kata zakā adalah peningkatan dan pertumbuhan. Dikatakan, “tanaman itu tumbuh” (zakā az-zar‘u yazkū zakā’an). Segala sesuatu yang bertambah disebut zakā. Karena tanaman tidak bisa tumbuh dengan baik kecuali jika terbebas dari gulma, maka kata zakat juga bermakna kesucian. Jika seseorang digambarkan dengan zakat dalam arti kebaikan, maka maknanya kembali kepada bertambahnya kebaikan dalam dirinya. Dikatakan, “seorang laki-laki itu zaki” (suci dan baik), yakni lebih unggul di antara kaumnya yang bersih (azkiyā’). Istilah zakkā al-qāḍī as-suhūd berarti seorang hakim memverifikasi kejujuran para saksi.
Dalam syariat, zakat merujuk pada bagian tertentu dari harta yang diwajibkan Allah untuk diberikan kepada mereka yang berhak. Zakat juga digunakan untuk menyebut tindakan mengeluarkan bagian harta tersebut.
Az-Zamakhsyari dalam kitab Al-Fā’iq (1/536, cet. pertama) menyebutkan bahwa zakat adalah bentuk fu‘lah seperti ṣadaqah. Ia termasuk kata-kata musytarak (memiliki lebih dari satu makna), bisa bermakna suatu benda (harta yang dikeluarkan) maupun suatu tindakan (proses penyucian harta). Dari ketidaktahuan akan hal ini, sebagian orang salah dalam menafsirkan firman Allah: “Dan orang-orang yang berbuat zakat” (Al-Mu’minūn: 4), mereka mengiranya merujuk kepada benda (harta), padahal yang dimaksud adalah tindakan penyucian (tazkiyah).
Bagian harta yang dikeluarkan disebut zakat karena ia menambah keberkahan harta yang tersisa, melindunginya dari musibah, dan membersihkannya secara maknawi. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh An-Nawawi yang mengutip dari Al-Wāhidī dalam Al-Majmū‘ (5/324). Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa diri orang yang bersedekah menjadi suci, dan hartanya pun menjadi suci dan bertambah dalam makna yang lebih luas (Majmū‘ Fatāwā Syaikh al-Islām Ibn Taimiyah, 8/25). Pertumbuhan dan kesucian yang dihasilkan oleh zakat tidak hanya terbatas pada harta, tetapi juga meliputi diri orang yang menunaikannya. Allah berfirman:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka”. (At-Taubah: 103)
Al-Azhari menambahkan bahwa zakat juga berfungsi untuk menumbuhkan kesejahteraan fakir miskin, baik secara materi maupun mental. Ini adalah isyarat indah bahwa zakat tidak hanya memberikan manfaat bagi pertumbuhan jiwa dan harta orang kaya, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan fakir miskin.

وَنَقَلَ النَّوَوِيُّ عَنْ صَاحِبِ الْحَاوِيِّ قَالَ: “اعْلَمْ أَنَّ الزَّكَاةَ لَفْظَةٌ عَرَبِيَّةٌ مَعْرُوفٌ قَبْلَ وُرُودِ الشَّرْعِ، مُسْتَعْمَلَةٌ فِي أَشْعَارِهِمْ، وَذَلِكَ أَكْثَرُ مِنْ أَنْ يُسْتَدَلَّ لَهُ.” وَقَالَ دَاوُدُ الظَّاهِرِيُّ: لَا أَصْلَ لِهَذَا الِاسْمِ فِي اللُّغَةِ، وَإِنَّمَا عُرِفَ بِالشَّرْعِ. قَالَ صَاحِبُ الْحَاوِي: وَهَذَا الْقَوْلُ وَإِنْ كَانَ فَاسِدًا، فَلَيْسَ الْخِلَافُ فِيهِ مُؤَثِّرًا فِي أَحْكَامِ الزَّكَاةِ. (الْمَجْمُوعُ: ٥/٣٢٤) إِذَا عَرَفْنَا مَا تَقَدَّمَ لَمْ نَجِدْ مَجَالًا لِدَعْوَى الْمُسْتَشْرِقِ الْيَهُودِيِّ الْمَعْرُوفِ “شَاخْت” كَاتِبِ مَادَّةِ “زَكَاة” فِي دَائِرَةِ الْمَعَارِفِ الْإِسْلَامِيَّةِ الْمُتَرْجَمَةِ، حَيْثُ زَعَمَ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – اسْتَعْمَلَ كَلِمَةَ “زَكَاة” بِمَعْنًى أَوْسَعَ مِنْ اسْتِعْمَالِهَا اللُّغَوِيِّ بِكَثِيرٍ، آخِذًا مِنْ اسْتِعْمَالِهَا عِنْدَ الْيَهُودِ فِي الْيَهُودِيَّةِ – الْآرَامِيَّةِ “زَاكُوت”). قَالَ: وَكَانَ النَّبِيُّ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – وَهُوَ مَا يَزَالُ فِي مَكَّةَ يَسْتَعْمِلُ كَلِمَةَ “زَكَاة” وَمُشْتَقَّاتٍ مُخْتَلِفَةٍ مِنْ مَادَّةِ “زَكَا” بِمَعْنَى “ظَهَرَ” تَرْتَبِطُ بِالزَّكَاةِ، بِحَسَبِ الْإِحْسَاسِ اللُّغَوِيِّ عِنْدَ الْعَرَبِ، وَهَذِهِ الْمُشْتَقَّاتُ نَفْسُهَا لَا يَكَادُ يَكُونُ لَهَا فِي الْقُرْآنِ سِوَى ذَلِكَ الْمَعْنَى الَّذِي لَيْسَ عَرَبِيًّا أَصِيلًا، بَلْ هُوَ مَأْخُوذٌ عَنْ الْيَهُودِيَّةِ: وَهُوَ “التَّقْوَى” (دَائِرَةُ الْمَعَارِفِ الْإِسْلَامِيَّةِ: ١٠/ ٣٥٥، ٣٥٦). وَهَؤُلَاءِ الْمُسْتَشْرِقُونَ مِنْ شَاخْتَ وَأَمْثَالِهِ لَهُمْ غَرَامٌ جُنُونِيٌّ بِنِسْبَةِ كُلِّ مَا يَسْتَطِيعُونَهُ مِنْ مَفَاهِيمِ الْإِسْلَامِ، وَأَلْفَاظِهِ، وَأَحْكَامِهِ، وَأَفْكَارِهِ، وَأَخْلَاقِهِ إِلَى مَصَادِرَ يَهُودِيَّةٍ أَوْ نَصْرَانِيَّةٍ، أَوْ مَا شَاءُوا مِنْ مَصَادِرَ شَرْقِيَّةٍ أَوْ غَرْبِيَّةٍ، لَا يَتَّبِعُونَ فِي ذَلِكَ إِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْأَنْفُسُ. وَحَسْبُنَا فِي الرَّدِّ عَلَى هَذَا الْكَلَامِ أَمْرَانِ:

Imam An-Nawawi menukil dari penulis kitab Al-Hawi yang berkata: “Ketahuilah bahwa kata ‘zakat’ adalah lafaz dalam bahasa Arab yang sudah dikenal sebelum datangnya syariat, digunakan dalam syair-syair mereka, dan hal itu lebih banyak daripada sekadar membutuhkan dalil.” Sementara itu, Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bahwa kata ini tidak memiliki asal dalam bahasa Arab, melainkan hanya dikenal melalui syariat. Penulis Al-Hawi pun menanggapi: “Pendapat ini, meskipun keliru, namun perbedaan pandangan dalam hal ini tidak berpengaruh terhadap hukum zakat.” (Al-Majmu’ 5/324)

Jika kita telah memahami penjelasan di atas, maka tidak ada ruang untuk menerima klaim dari orientalis Yahudi terkenal, Schacht, yang menulis entri “Zakat” dalam Encyclopaedia of Islam yang telah diterjemahkan. Ia beranggapan bahwa Nabi Muhammad ﷺ menggunakan kata “zakat” dengan makna yang jauh lebih luas dibandingkan penggunaan bahasa aslinya. Ia menilai bahwa Nabi mengambil makna tersebut dari penggunaan kata ini dalam bahasa Yahudi-Aram, yaitu “Zakut”. Ia juga mengatakan bahwa sejak masih berada di Makkah, Nabi ﷺ telah menggunakan kata “zakat” dan berbagai bentuk turunannya dari akar kata “zaka” dalam makna “muncul” yang terkait dengan zakat, sebagaimana pemahaman bahasa Arab saat itu. Ia juga mengklaim bahwa turunan kata tersebut dalam Al-Qur’an hampir selalu digunakan dalam makna yang bukan asli bahasa Arab, melainkan berasal dari Yahudi, yakni dalam arti “ketakwaan”. (Encyclopaedia of Islam, 10/355-356)

Para orientalis seperti Schacht dan lainnya memiliki obsesi yang tidak rasional dalam mengaitkan setiap konsep dalam Islam—baik istilah, hukum, pemikiran, maupun akhlaknya—kepada sumber-sumber Yahudi, Nasrani, atau sumber Timur dan Barat lainnya. Mereka tidak mengikuti metode ilmiah, melainkan hanya sekadar mengikuti prasangka dan hawa nafsu.

Adapun bantahan terhadap pernyataan tersebut cukup dengan dua hal sebagaimana berikut:

الأَوَّلُ: أَنَّ الْقُرْآنَ اسْتَعْمَلَ الزَّكَاةَ فِي مَعْنَاهَا الْمَعْرُوفِ لَدَى الْمُسْلِمِينَ مُنْذُ أَوَائِلِ الْعَهْدِ الْمَكِّيِّ، كَمَا تَرَى ذَلِكَ فِي سُورَةِ الْأَعْرَافِ (آيَةُ ١٥٦)، وَسُورَةِ مَرْيَمَ (آيَةُ ٤١، ٥٥)، وَسُورَةِ الْأَنْبِيَاءِ (آيَةُ ٧٢)، وَسُورَةِ الْمُؤْمِنُونَ (آيَةُ ٤)، وَسُورَةِ النَّمْلِ (آيَةُ ٣)، وَسُورَةِ الرُّومِ (آيَةُ ٣٩)، وَسُورَةِ لُقْمَانَ (آيَةُ ٣)، وَسُورَةِ فُصِّلَتْ (آيَةُ ٧). وَمَعْرُوفٌ بِيَقِينٍ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَمْ يَكُنْ يَعْرِفُ الْعِبْرِيَّةَ، وَلَا أَيَّ لُغَةٍ غَيْرَ الْعَرَبِيَّةِ كَمَا أَنَّهُ لَمْ يَتَّصِلْ بِالْيَهُودِ إِلَّا بَعْدَ هِجْرَتِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ، فَمَتَى وَكَيْفَ أَخَذَ عَنِ الْيَهُودِ وَالْيَهُودِيَّةِ كَمَا زَعَمَ “شَاخْتُ”؟.
الثَّانِيُّ: أَنَّ مِنَ الْمُجَازَفَةِ الْمُنَافِيَةِ لِخُلُقِ الْعُلَمَاءِ وَمَنَاهِجِ التَّحْقِيقِ أَنْ يَزْعُمَ زَاعِمٌ نَقْلَ لُغَةٍ عَنْ أُخْرَى إِذَا وُجِدَ كَلِمَةٌ مُشْتَرَكَةٌ فِي مَعْنَاهَا بَيْنَ اللُّغَتَيْنِ، فَإِنَّ الِاشْتِرَاكَ لَا يَقْتَضِي ضَرُورَةً نَقْلَ إِحْدَى اللُّغَتَيْنِ عَنِ الْأُخْرَى. ثُمَّ إِنْ تَعَيَّنَ إِحْدَاهُمَا بِأَنَّهَا النَّاقِلَةُ وَالْأُخْرَى مَنْقُولَةٌ عَنْهَا – تَحَكُّمٌ بِلَا دَلِيلٍ، وَتَرْجِيحٌ بِلَا مُرَجِّحٍ، فَمَنِ اتَّخَذَ هَذَا النَّهْجَ لَهُ دَيْدَنًا، فَقَدْ بَرِئَ مِنْ أَمَانَةِ الْعِلْمِ، وَأَخْلَاقِ الْعُلَمَاءِ.

Pertama: Sesungguhnya Al-Qur’an telah menggunakan kata “zakat” dalam makna yang sudah dikenal oleh kaum Muslimin sejak awal masa Makkah. Hal ini dapat dilihat dalam Surah Al-A’raf (ayat 156), Surah Maryam (ayat 41 dan 55), Surah Al-Anbiya’ (ayat 72), Surah Al-Mu’minun (ayat 4), Surah An-Naml (ayat 3), Surah Ar-Rum (ayat 39), Surah Luqman (ayat 3), dan Surah Fussilat (ayat 7). Sudah diketahui dengan yakin bahwa Nabi ﷺ tidak mengetahui bahasa Ibrani atau bahasa selain Arab. Selain itu, beliau tidak pernah berhubungan dengan kaum Yahudi kecuali setelah hijrahnya ke Madinah. Maka, kapan dan bagaimana beliau dapat mengambil istilah dari ajaran Yahudi sebagaimana yang diklaim oleh “Shaqt”?

Kedua: Termasuk tindakan gegabah yang bertentangan dengan etika ilmuwan dan metode penelitian yang benar adalah klaim bahwa suatu bahasa mengambil kata dari bahasa lain hanya karena ada kesamaan makna dalam kedua bahasa tersebut. Sebab, kesamaan dalam suatu kata tidak serta-merta menunjukkan bahwa salah satu bahasa mengambilnya dari yang lain. Jika salah satu bahasa harus dianggap sebagai sumber dan yang lain sebagai hasil serapan tanpa bukti yang jelas, maka itu adalah tindakan yang sewenang-wenang dan pengutamaan tanpa dasar. Barang siapa yang menjadikan metode ini sebagai kebiasaannya, maka ia telah menyimpang dari amanah keilmuan dan etika para ulama.

الموسوعة الفقهية الكويتيه ج١ص ٢٣٠-٢٣٣

[١ – معنى الزكاة وحكمها وفضلها]

شرع الله لعباده عبادات متنوعة، منها ما يتعلق بالبدن كالصلاة، ومنها ما يتعلق ببذل المال المحبوب إلى النفس كالزكاة، والصدقة، ومنها ما يتعلق بالبدن وبذل المال كالحج والجهاد، ومنها ما يتعلق بكف النفس عن محبوباتها وما تشتهيه، كالصيام، ونوع الله العبادات ليختبر العباد، من يقدم طاعة ربه على هوى نفسه، وليقوم كل واحد بما يسهل عليه ويناسبه منها.
المال لا ينفع صاحبه إلا إذا توفرت فيه ثلاثة شروط: أن يكون حلالا، وأن لا يشغل صاحبه عن طاعة الله ورسوله، وأن يؤدي حق الله فيه.
الزكاة: هي النماء والزيادة، وهي حق واجب في مال خاص لطائفة مخصوصة في وقت خاص.

فرضت الزكاة في مكة، أما تقدير نصابها، وبيان الأموال التي تزكى، وبيان مصارفها فكان في المدينة في السنة الثانية من الهجرة.
[حكم الزكاة:]
الزكاة أهم أركان الإسلام بعد الشهادتين والصلاة، وهي الركن الثالث من أركان الإسلام. قال الله تعالى: (خذ من أموالهم صدقة تطهرهم وتزكيهم بها وصل عليهم إن صلاتك سكن لهم والله سميع عليم) (التوبة/١٠٣).

حكمة مشروعية الزكاة:]
ليس الهدف من أخذ الزكاة جمع المال وإنفاقه على الفقراء والمحتاجين فحسب، بل الهدف الأول أن يعلو بالإنسان عن المال، ليكون سيدا له لا عبدا له، ومن هنا جاءت الزكاة لتزكي المعطي والآخذ وتطهرهما. الزكاة وإن كانت في ظاهرها نقص من كمية المال لكن آثارها زيادة المال بركة، وزيادة المال كمية، وزيادة الإيمان في قلب صاحبها، وزيادة في خلقه الكريم، فهي بذل وعطاء، وبذل محبوب إلى النفس من أجل محبوب أعلى منه، وهو إرضاء ربه سبحانه، والفوز بجنته. نظام المال في الإسلام يقوم على أساس الاعتراف بأن الله وحده هو المالك الأصيل للمال، وله سبحانه وحده الحق في تنظيم قضية التملك، وإيجاب الحقوق في المال، وتحديدها وتقديرها، وبيان مصارفها، وطرق اكتسابها، وطرق إنفاقها. الزكاة تكفر الخطايا، وهي سبب لدخول الجنة، والنجاة من النار. شرع الله الزكاة وحث على أدائها لما فيها من تطهير النفس من رذيلة الشح والبخل، وهي جسر قوي يربط بين الأغنياء والفقراء، فتصفو النفوس، وتطيب القلوب، وتنشرح الصدور، وينعم الجميع بالأمن والمحبة والأخوة. والزكاة تزيد في حسنات مؤديها، وتقي المال من الآفات، وتثمره، وتنميه وتزيده، وتسد حاجة الفقراء والمساكين، وتمنع الجراثيم المالية كالسرقات، والنهب، والسطو

[1 – Makna Zakat, Hukumnya, dan Keutamaannya ]

Allah telah mensyariatkan berbagai bentuk ibadah bagi hamba-Nya. Ada ibadah yang berkaitan dengan fisik seperti shalat, ada yang berkaitan dengan pengeluaran harta yang dicintai seperti zakat dan sedekah, ada pula yang mencakup fisik sekaligus harta seperti haji dan jihad, serta ada yang berkaitan dengan menahan diri dari hal-hal yang disukai dan diinginkan seperti puasa. Allah menetapkan keberagaman ibadah ini sebagai ujian bagi manusia, untuk melihat siapa yang lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabb-nya dibanding hawa nafsunya, serta agar setiap orang dapat melaksanakan ibadah yang lebih mudah baginya sesuai dengan kemampuannya.

Harta tidak akan bermanfaat bagi pemiliknya kecuali jika memenuhi tiga syarat:

Harta tersebut harus halal. Harta itu tidak boleh melalaikan pemiliknya dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pemiliknya harus menunaikan hak Allah dalam harta tersebut. Zakat

Secara bahasa, zakat berarti pertumbuhan dan peningkatan. Secara istilah, zakat adalah hak wajib yang harus ditunaikan dari harta tertentu kepada kelompok tertentu pada waktu tertentu.

Zakat telah diwajibkan sejak di Mekah, namun ketentuan mengenai kadar nisab, jenis harta yang wajib dizakati, serta golongan penerima zakat ditetapkan di Madinah pada tahun kedua hijriah.

Hukum Zakat

Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang paling penting setelah syahadat dan shalat, serta merupakan rukun ketiga dalam Islam. Allah SWT berfirman: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At-Taubah: 103)

Hikmah Disyariatkannya Zakat

Tujuan utama dari zakat bukan sekadar mengumpulkan harta dan membagikannya kepada fakir miskin, melainkan lebih dari itu, yaitu mengangkat derajat manusia agar tidak diperbudak oleh harta. Dengan demikian, zakat menyucikan baik pemberi maupun penerimanya.

Meskipun secara lahiriah zakat tampak mengurangi jumlah harta, hakikatnya ia justru mendatangkan keberkahan dan pertumbuhan harta, baik secara jumlah maupun nilai keberkahannya. Zakat juga meningkatkan keimanan dalam hati orang yang menunaikannya, menumbuhkan akhlak mulia, serta melatih seseorang untuk memberikan sesuatu yang dicintai demi mendapatkan sesuatu yang lebih tinggi nilainya, yaitu keridhaan Allah SWT dan surga-Nya.

Sistem keuangan dalam Islam didasarkan pada prinsip bahwa kepemilikan mutlak atas harta adalah milik Allah SWT. Hanya Allah yang berhak mengatur hukum kepemilikan, menetapkan kewajiban dalam harta, serta menentukan penggunaannya, cara memperolehnya, dan cara membelanjakannya.

Zakat juga berfungsi sebagai penebus dosa, penyebab masuk surga, serta penyelamat dari api neraka. Allah mensyariatkan zakat dan mendorong umat Islam untuk menunaikannya karena zakat dapat membersihkan jiwa dari sifat kikir dan bakhil. Selain itu, zakat menjadi jembatan yang menghubungkan antara orang kaya dan fakir miskin, sehingga hati menjadi bersih, jiwa merasa tenteram, dada menjadi lapang, serta menciptakan keamanan, kasih sayang, dan persaudaraan dalam masyarakat.

Zakat menambah pahala orang yang menunaikannya, melindungi harta dari berbagai bencana, menyuburkan dan mengembangkannya, serta menutupi kebutuhan fakir miskin. Zakat juga menjadi sarana untuk mengatasi masalah kejahatan ekonomi seperti pencurian, perampokan, dan perampasan.

فقه الزكاة للشيخ الدكتور يوسف القرضاوي الجزء الأول

مَعْنَى الصَّدَقَةِ: وَالزَّكَاةُ الشَّرْعِيَّةُ قَدْ تُسَمَّى فِي لُغَةِ الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ “صَدَقَةً”، حَتَّى قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: “الصَّدَقَةُ زَكَاةٌ وَالزَّكَاةُ صَدَقَةٌ، يَفْتَرِقُ الِاسْمُ وَيَتَّفِقُ الْمُسَمَّى ذَكَرَهُ فِي أَوَّلِ الْبَابِ الْحَادِي عَشَرَ فِي وِلَايَةِ الصَّدَقَاتِ مِنَ الْأَحْكَامِ السُّلْطَانِيَّةِ). قَالَ تَعَالَى: (خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا) (التَّوْبَةُ: ١٠٣). مَعْنَى الصَّدَقَةِ: وَالزَّكَاةُ الشَّرْعِيَّةُ قَدْ تُسَمَّى فِي لُغَةِ الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ “صَدَقَةً”، حَتَّى قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: “الصَّدَقَةُ زَكَاةٌ وَالزَّكَاةُ صَدَقَةٌ، يَفْتَرِقُ الِاسْمُ وَيَتَّفِقُ الْمُسَمَّى ذَكَرَهُ فِي أَوَّلِ الْبَابِ الْحَادِي عَشَرَ فِي وِلَايَةِ الصَّدَقَاتِ مِنَ الْأَحْكَامِ السُّلْطَانِيَّةِ). قَالَ تَعَالَى: (خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا) (التَّوْبَةُ: ١٠٣). وَقَالَ: (وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ) (التَّوْبَةُ: ٥٨). وَقَالَ: (إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ .. الْآيَةَ (التَّوْبَةُ: ٦٠). إِلَى غَيْرِهَا مِنَ الْآيَاتِ ذَكَرَ أُسْتَاذُنَا الْمَرْحُومُ الدُّكْتُورُ مُحَمَّدُ يُوسُفَ مُوسَى فِي تَعْلِيقِهِ عَلَى “شَاخْتَ” فِي دَائِرَةِ الْمَعَارِفِ أَنَّ الْقُرْآنَ أَشَارَ أَوَّلًا إِلَى الزَّكَاةِ بِاسْمِ الصَّدَقَةِ ثُمَّ اسْتَعْمَلَ لَفْظَةَ الزَّكَاةِ وَلَكِنَّ الَّذِي يَتَأَمَّلُ الْقُرْآنَ الْمَكِّيَّ يَجِدُ أَنَّ الْكَلِمَةَ الَّتِي اسْتَعْمَلَهَا الْقُرْآنُ أَوَّلًا هِيَ الزَّكَاةُ وَلَمْ يَكَدْ يَسْتَخْدِمُ كَلِمَةَ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَاتِ إِلَّا فِي الْمَدِينَةِ). وَفِي الْحَدِيثِ: “لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسَةِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ” (رَوَاهُ الشَّيْخَانِ وَغَيْرُهُمَا. وَسَيَأْتِي). وَفِي حَدِيثِ إِرْسَالِ مُعَاذٍ إِلَى الْيَمَنِ: “أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ فِي أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ”. وَهَذِهِ النُّصُوصُ كُلُّهَا قَدْ جَاءَتْ فِي شَأْنِ الزَّكَاةِ عَبَّرَتْ عَنْهَا بِالصَّدَقَةِ، وَمِنْهُ سُمِّيَ الْعَامِلُ عَلَى الزَّكَاةِ مُصَدِّقًا لِأَنَّهُ يَجْمَعُ الصَّدَقَاتِ وَيُفَرِّقُهَا. بَيْدَ أَنَّ الْعُرْفَ قَدْ ظَلَمَ كَلِمَةَ الصَّدَقَةِ، وَأَصْبَحَتْ عُنْوَانًا عَلَى التَّطَوُّعِ وَمَا تَجُودُ بِهِ النَّفْسُ عَلَى مِثْلِ الْمُتَسَوِّلِينَ وَالشَّحَّاذِينَ. وَلَكِنَّ الْمَدْلُولَاتِ الْعُرْفِيَّةَ يَجِبُ أَنْ لَا تَخْدَعَنَا عَنْ حَقَائِقِ الْكَلِمَاتِ فِي لُغَةِ الْعَرَبِ فِي عَهْدِ نُزُولِ الْقُرْآنِ، وَمَادَّةُ الصَّدَقَةِ مَأْخُوذَةٌ مِنَ الصِّدْقِ. وَلِلْقَاضِي أَبِي بَكْرِ بْنِ الْعَرَبِيِّ كَلَامٌ قَيِّمٌ فِي مَعْنَى تَسْمِيَةِ الزَّكَاةِ صَدَقَةً، قَالَ: “وَذَلِكَ مَأْخُوذٌ مِنَ الصِّدْقِ فِي مُسَاوَاةِ الْفِعْلِ لِلْقَوْلِ وَالِاعْتِقَادِ”.

Makna Sedekah:

Zakat secara syar’i dalam bahasa Al-Qur’an dan Sunnah terkadang disebut dengan “sedekah”. Hingga Imam Al-Mawardi berkata “Sedekah adalah zakat, dan zakat adalah sedekah. Nama berbeda, tetapi maknanya sama. Hal ini disebutkannya dalam awal Bab Kesebelas tentang Wilayah Sedekah dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyyah. Allah Ta’ala berfirman:”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka” (At-Taubah: 103) Allah juga berfirman: “Di antara mereka ada yang mencelamu dalam pembagian sedekah, jika mereka diberi sebagian darinya, mereka rela. Tetapi jika tidak diberi, mereka marah” (At-Taubah: 58).Dan juga firman-Nya: “Sesungguhnya sedekah itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin…” (At-Taubah: 60).

Dalam Tafsir yang ditulis oleh guru kami yang telah wafat, Dr. Muhammad Yusuf Musa, saat mengomentari pendapat “Shacht” dalam Ensiklopedia Islam, disebutkan bahwa Al-Qur’an awalnya menyebut zakat dengan istilah sedekah. Kemudian, ia menggunakan istilah zakat. Namun, jika kita merenungkan Al-Qur’an yang turun di Makkah, kita akan menemukan bahwa kata yang pertama kali digunakan adalah zakat. Hampir tidak ditemukan penggunaan kata sedekah atau shadaqat kecuali setelah turunnya ayat-ayat di Madinah.
Dalam hadits disebutkan: “Tidak ada kewajiban zakat pada hasil pertanian yang kurang dari lima wasaq, tidak ada zakat pada unta yang kurang dari lima ekor, dan tidak ada zakat pada perak yang kurang dari lima uqiyah” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Dalam hadits tentang pengutusan Mu’adz ke Yaman, Nabi bersabda: “Beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka.”

Semua nash ini berbicara tentang zakat tetapi menggunakan istilah sedekah. Oleh karena itu, orang yang bertugas mengumpulkan zakat disebut mushaddiq karena ia mengumpulkan dan mendistribusikan shadaqat (sedekah). Namun, dalam pemahaman masyarakat, kata sedekah mengalami penyempitan makna dan hanya diidentikkan dengan pemberian sukarela kepada para peminta-minta dan fakir miskin. Padahal, makna bahasa aslinya dalam era turunnya Al-Qur’an tidak terbatas pada itu.

Secara etimologis, kata sedekah berasal dari akar kata shidq (kejujuran), sebagaimana dijelaskan oleh Qadhi Abu Bakar bin Al-Arabi: “Makna penamaan zakat dengan sedekah diambil dari sifat jujur (shidq) dalam kesesuaian antara perbuatan, ucapan, dan keyakinan

وَبِنَاءُ “صَدَقَ” يَرْجِعُ إِلَى تَحْقِيقِ شَيْءٍ بِشَيْءٍ وَعَضْدِهِ بِهِ، وَمِنْهُ صَدَاقُ الْمَرْأَةِ، أَيْ تَحْقِيقُ الْحِلِّ وَتَصْدِيقُهُ بِإِيجَابِ الْمَالِ وَالنِّكَاحِ عَلَى وَجْهِ مَشْرُوعٍ. وَيَخْتَلِفُ كُلُّهُ بِتَصْرِيفِ الْفِعْلِ، يُقَالُ صَدَقَ فِي الْقَوْلِ صَدَاقًا وَتَصْدِيقًا، وَتَصَدَّقْتُ بِالْمَالِ تَصَدُّقًا، وَأَصْدَقْتُ الْمَرْأَةَ إِصْدَاقًا، وَأَرَادُوا بِاخْتِلَافِ الْفِعْلِ الدَّلَالَةَ عَلَى الْمَعْنَى الْمُخْتَصِّ بِهِ فِي الْكُلِّ، وَمُشَابَهَةُ الصِّدْقِ هُنَا لِلصَّدَقَةِ أَنَّ مَنْ أَيْقَنَ مِنْ دِينِهِ أَنَّ الْبَعْثَ حَقٌّ، وَأَنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ هِيَ الْمَصِيرُ، وَأَنَّ هَذِهِ الدَّارَ قَنْطَرَةٌ إِلَى الْآخِرَةِ، وَبَابٌ إِلَى السُّوءِ أَوِ الْحُسْنَى – عَمِلَ لَهَا، وَقَدَّمَ مَا يَجِدُهُ فِيهَا، فَإِنْ شَكَّ فِيهَا أَوْ تَكَاسَلَ عَنْهَا، وَآثَرَ عَلَيْهَا – بَخِلَ بِمَالِهِ وَاسْتَعَدَّ لِآمَالِهِ، وَغَفَلَ عَنْ مَآلِهِ” (أَحْكَامُ الْقُرْآنِ – الْقِسْمُ الثَّانِي ص ٩٤٦ بِتَحْقِيقِ الْبَجَاوِيِّ) أَقُولُ: وَلِهَذَا جَمَعَ اللَّهُ بَيْنَ الْإِعْطَاءِ وَالتَّصْدِيقِ كَمَا جَمَعَ بَيْنَ الْبُخْلِ وَالتَّكْذِيبِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: (فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى وَأَمَّا مَنْ بَخِلَ وَاسْتَغْنَى وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى) (اللَّيْلِ:٥-١٠). فَالصَّدَقَةُ إِذَنْ دَلِيلُ الصِّدْقِ فِي الْإِيمَانِ وَالتَّصْدِيقِ بِيَوْمِ الدِّينِ. وَلِهَذَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “الصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ” (رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ).
الزَّكَاةُ فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ:
وَقَدْ تَكَرَّرَتْ كَلِمَةُ الزَّكَاةِ مُعَرَّفَةً إِنَّمَا قُلْنَا مُعَرَّفَةً، لِأَنَّهَا وَرَدَتْ مُنَكَّرَةً فِي آيَتَيْنِ بِمَعْنَى آخَرَ: (خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً) (الْكَهْفُ: ٨١) وَحَنَانًا مِنْ لَدُنَّا وَزَكَاةً) (مَرْيَمُ: ١٣) فِي الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ (٣٠) ثَلَاثِينَ مَرَّةً، ذُكِرَتْ فِي (٢٧) سَبْعٍ وَعِشْرِينَ مِنْهَا مُقْتَرِنَةً بِالصَّلَاةِ فِي آيَةٍ وَاحِدَةٍ، وَفِي مَوْضِعٍ مِنْهَا ذُكِرَتْ فِي سِيَاقٍ وَاحِدٍ مَعَ الصَّلَاةِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِي آيَتِهَا. وَذَلِكَ قَوْلُهُ تَعَالَى: (وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ) (الْمُؤْمِنُونَ: ٤) .. بَعْدَ آيَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: (الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ) (الْمُؤْمِنُونَ:٢).

Makna “Shadaqa” dan Hubungannya dengan Shadaqah

Kata kerja “shadaqa” merujuk pada merealisasikan sesuatu dengan sesuatu yang lain dan menguatkannya dengannya. Dari sini berasal istilah “shadaq” (mahar perempuan), yaitu realisasi dan penegasan kehalalan melalui pemberian harta dan akad nikah dengan cara yang disyariatkan. Makna ini bervariasi tergantung bentukt perubahannya dalam bahasa Arab. Dikatakan shadaqa dalam perkataan dengan makna “shadaqan” dan”tasdiqan” (membenarkan). Seseorang yang bersedekah dengan harta disebut tasaddaqtu dengan makna”tasaddaqan” (bersedekah). Sementara itu, seseorang yang memberikan mahar kepada perempuan dikatakan asdaqtu dengan makna “ishdaqan” (memberikan mahar).

Perbedaan dalam bentuk kata kerja ini menunjukkan makna khusus yang terkandung dalam setiap pemakaian. Kesamaan antara shidq (kejujuran) dan shadaqah (sedekah) adalah bahwa seseorang yang meyakini dengan benar ajaran agamanya—bahwa kebangkitan di akhirat adalah hakikat, bahwa negeri akhirat adalah tempat kembali, dan bahwa dunia ini adalah jembatan menuju akhirat serta gerbang menuju kebahagiaan atau kesengsaraan—akan beramal sesuai keyakinannya. Ia akan mendahulukan amal yang akan ditemuinya di akhirat. Namun, jika seseorang meragukannya, bermalas-malasan dalam beramal, atau lebih mengutamakan dunia daripada akhirat, maka ia akan bersikap kikir terhadap hartanya, mempersiapkan ambisi duniawinya, dan lalai terhadap akhir hidupnya. Oleh karena itu, Allah menggabungkan antara memberi dan membenarkan,sebagaimana Dia juga menggabungkan antara sifat kikir dan mendustakan dalam firman-Nya: “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, serta membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami akan mudahkan baginya jalan menuju kemudahan. Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka Kami akan mudahkan baginya jalan menuju kesulitan.” (QS. Al-Lail: 5-10)

Dengan demikian, sedekah merupakan bukti kejujuran iman dan keyakinan terhadap Hari Pembalasan. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ bersabda:”Sedekah adalah bukti (keimanan).” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)

Zakat dalam Al-Qur’an : Kata “zakat” dalam Al-Qur’an sering kali disebut dalam bentuk ma’rifah (dengan alif-lam), kecuali dalam dua ayat di mana ia disebut dalam bentuk nakirah (tanpa alif-lam) dengan makna yang berbeda: (Sesuatu) yang lebih baik darinya dalam hal kesucian (zakat) – (QS. Al-Kahfi: 81) Dan kasih sayang dari Kami serta kesucian (zakat) – (QS. Maryam: 13) Dalam Al-Qur’an, kata “zakat” disebut sebanyak 30 kali, dengan 27 kali di antaranya disebut bersama dengan shalat dalam satu ayat. Dalam satu tempat lainnya, zakat disebut dalam satu rangkaian dengan shalat, meskipun tidak dalam ayat yang sama, yaitu dalam firman Allah: “Dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (QS. Al-Mu’minun: 4) .Ayat ini datang satu ayat setelah firman-Nya: “Orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun: 2)

وَالْمُتَتَبِّعُ لِلْمَوَاضِعِ الثَّلَاثِينَ الَّتِي ذُكِرَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ يَجِدُ أَنَّ (٨) ثَمَانِيَةً مِنْهَا فِي السُّوَرِ الْمَكِّيَّةِ وَسَائِرُهَا فِي السُّوَرِ الْمَدَنِيَّةِ (رَاجِعْ الْمُعْجَمَ الْمُفَهْرَسَ لِأَلْفَاظِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ: كَلِمَةُ الزَّكَاةِ لِلْأُسْتَاذِ مُحَمَّد فُؤَاد عَبْد الْبَاقِي). وَقَدْ ذَكَرَ بَعْضُ الْمُؤَلِّفِينَ أَنَّ الزَّكَاةَ قُرِنَتْ بِالصَّلَاةِ فِي (٨٢) اِثْنَيْنِ وَثَمَانِينَ مَوْضِعًا مِنْ الْقُرْآنِ كَذَا فِي “الدُّرِّ الْمُخْتَارِ” وَ”الْبَحْرِ” وَ”النَّهْرِ” وَغَيْرِهَا مِنْ كُتُبِ الْفِقْهِ الْحَنَفِيِّ، وَنَقَلَ ابْنُ عَابِدِينَ فِي حَاشِيَتِهِ رَدَّ الْمُحْتَارِ تَصْوِيبَهُ بِاثْنَيْنِ وَثَلَاثِينَ، وَالْوَاقِعُ أَنَّ اقْتِرَانَهَا بِالصَّلَاةِ فِي (٢٨) مَوْضِعًا فَقَطْ… وَلَعَلَّ الْمُصَوِّبَ أَرَادَ عَدَدَ مَرَّاتِ وُرُودِهَا كُلِّهَا مَعْرِفَةً وَمُنَكَّرَةً، وَهُوَ عَدَدٌ مُبَالَغٌ فِيهِ وَيَرُدُّهُ الْإِحْصَاءُ الَّذِي ذَكَرْنَاهُ، حَتَّى لَوْ قَالُوا: الْمُرَادُ بِالزَّكَاةِ كُلُّ مَا يَدُلُّ عَلَيْهَا مِثْلُ “الْإِنْفَاقِ” وَ”الْمَاعُونِ” وَ”طَعَامِ الْمِسْكِينِ” وَنَحْوِ ذَلِكَ، لَمْ يَجْتَمِعْ لَنَا هَذَا الْعَدَدُ، وَالظَّاهِرُ أَنَّ الْعَدَدَ مُحَرَّفٌ مِنْ اثْنَيْنِ وَثَلَاثِينَ إِلَى اثْنَيْنِ وَثَمَانِينَ. أَمَّا كَلِمَةُ “الصَّدَقَةُ” وَ”الصَّدَقَاتُ” فَقَدْ وَرَدَتْ فِي الْقُرْآنِ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ مَرَّةً، كُلُّهَا فِي الْقُرْآنِ الْمَدَنِيِّ.

Orang yang meneliti tiga puluh tempat dalam Al-Qur’an yang menyebutkan zakat akan menemukan bahwa delapan di antaranya terdapat dalam surah-surah Makkiyah, sedangkan sisanya terdapat dalam surah-surah Madaniyah. (Lihat Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim, kata “zakat”, karya Ustadz Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi).

Beberapa ulama menyebutkan bahwa zakat disebutkan bersama dengan shalat dalam delapan puluh dua (82) tempat dalam Al-Qur’an. Hal ini disebutkan dalam kitab Ad-Durr al-Mukhtar, Al-Bahr, An-Nahr, dan kitab-kitab fikih Hanafi lainnya. Namun, Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar mengoreksi jumlah tersebut menjadi tiga puluh dua (32) tempat.

Pada kenyataannya, zakat disebutkan bersama dengan shalat hanya dalam dua puluh delapan (28) tempat. Mungkin orang yang mengoreksi tersebut bermaksud menghitung seluruh penyebutan kata “zakat” baik dalam bentuk ma’rifat maupun nakirah, tetapi jumlah tersebut berlebihan dan tidak sesuai dengan perhitungan yang telah disebutkan. Bahkan jika mereka memasukkan kata-kata yang berkaitan dengan zakat seperti “infaq”, “ma’un”, “thaa‘aam al-miskin” (makanan orang miskin), dan semisalnya, jumlah tersebut tetap tidak mencapai angka tersebut. Tampaknya jumlah yang benar telah terjadi kesalahan dalam penulisan dari tiga puluh dua (32) menjadi delapan puluh dua (82).

Adapun kata “shadaqah” dan “shadaqat” disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak dua belas (12) kali, dan semuanya terdapat dalam surah-surah Madaniyah.

الموسوعة الفقهية الكويتيه ج١ص ٢٦١-٢٦٣

حكمة مشروعية الصدقة:
دعا الإسلام إلى البذل وحض عليه رحمة بالضعفاء، ومواساة للفقراء، إلى جانب ما فيه من كسب الأجر، ومضاعفته، والتخلق بأخلاق الأنبياء، من البذل والإحسان.
 حكم الصدقة:]
الصدقة سنة مستحبة كل وقت، وتتأكد في زمان وأحوال:
١ – فالزمان: كرمضان، وعشر ذي الحجة.
٢ – والحالات: أوقات الحاجة أفضل: دائمة كفصل الشتاء، أو طارئة كان تحدث مجاعة، أو جدب ونحو ذلك، وأفضل الصدقة على ذي الرحم الكاشح، والكاشح: من يضمر العداوة

فضل الصدقة:]
١ – قال الله تعالى: (الذين ينفقون أموالهم بالليل والنهار سرا وعلانية فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون) (البقرة/٢٧٤).
٢ – عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من تصدق بعدل تمرة من كسب طيب، ولا يقبل الله إلا الطيب، وإن الله يتقبلها بيمينه، ثم يربيها لصاحبها كما يربي أحدكم فلوه، حتى تكون مثل الجبل)). متفق عليه (١). تسن صدقة التطوع بالفاضل عن كفايته وكفاية من يمونه، والصدقة تطفئ الخطيئة كما يطفئ الماء النار. أولى الناس بالصدقة أولاد المتصدق، وأهله، وأقاربه، وجيرانه، وخير صدقة تصدق بها المرء على نفسه وأهله، ويثبت أجر الصدقة وإن وقعت في يد غير أهلها. خير الصدقة ما كان عن ظهر غنى، وجهد المقل أفضل صدقة، وهو ما زاد عن كفايته وكفاية من يمونه. يجوز للمرأة أن تتصدق من بيت زوجها إذا علمت رضاه، ولها نصف الأجر، ويحرم إذا علمت أنه لا يرضى، فإن أذن لها فلها مثل أجره. الصدقة في حال الصحة أفضل منها في حال المرض، وفي حال الشدة أفضل منها في حال الرخاء إذا قصد بها وجه الله عز وجل. قال الله تعالى: (ويطعمون الطعام على حبه مسكينا ويتيما وأسيرا (٨) إنما نطعمكم لوجه الله لا نريد منكم جزاء ولا شكورا) (الإنسان/٨ – ٩).

النبي صلى الله عليه وسلم لا تحل له الزكاة الواجبة ولا صدقة التطوع، وبنو هاشم لا تحل لهم الزكاة الواجبة، وتحل لهم صدقة التطوع.
تجوز صدقة التطوع على الكافر تأليفا لقلبه، وسدا لجوعته، ويثاب عليها المسلم، وفي كل كبد رطبة أجر. يسن إعطاء السائل وإن صغرت العطية، لقول أم بجيد رضي الله عنها: يا رسول الله، صلى الله عليك، إن المسكين ليقوم على بابي، فما أجد له شيئا أعطيه إياه، فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إن لم تجدي له شيئا تعطينه إياه إلا ظلفا محرقا، فادفعيه إليه في يده)). أخرجه أبو داود والترمذي (٢).

Hikmah Pensyariatan Sedekah

Islam menganjurkan untuk berbagi dan mendorongnya sebagai bentuk kasih sayang kepada orang-orang lemah serta kepedulian terhadap fakir miskin. Selain itu, sedekah juga menjadi sarana memperoleh pahala yang berlipat ganda dan meneladani akhlak para nabi, yaitu kedermawanan dan kebaikan.

Hukum Sedekah

Sedekah merupakan sunnah yang dianjurkan setiap waktu, namun lebih ditekankan pada waktu-waktu tertentu dan dalam kondisi tertentu:

Dari sisi waktu: Seperti bulan Ramadan dan sepuluh hari pertama Dzulhijjah. Dari sisi keadaan: Saat adanya kebutuhan lebih utama, baik kebutuhan yang bersifat tetap seperti musim dingin, maupun yang bersifat darurat seperti terjadi kelaparan atau kekeringan. Sedekah yang paling utama adalah kepada kerabat yang memendam permusuhan (kasyih), yaitu orang yang menyimpan kebencian. Keutamaan Sedekah Allah berfirman: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya pada malam dan siang hari secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa bersedekah dengan sebiji kurma dari hasil usaha yang baik—dan Allah tidak menerima kecuali yang baik—maka Allah menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu Dia mengembangkannya sebagaimana salah seorang di antara kalian merawat anak kudanya, hingga sedekah itu menjadi sebesar gunung.”(Muttafaqun ‘alaih) Hukum dan Ketentuan Sedekah Disunnahkan sedekah dari kelebihan nafkah diri dan orang yang menjadi tanggungannya, karena sedekah dapat menghapus dosa sebagaimana air memadamkan api. Orang yang paling berhak menerima sedekah adalah anak-anaknya, keluarganya, kerabatnya, dan tetangganya. Sedekah terbaik adalah yang diberikan kepada diri sendiri dan keluarga. Pahala sedekah tetap diperoleh meskipun jatuh ke tangan orang yang tidak berhak menerimanya. Sedekah terbaik adalah yang diberikan dari harta yang cukup, dan sedekah orang miskin yang melebihi kebutuhannya lebih utama. Seorang istri boleh bersedekah dari harta suaminya jika ia mengetahui kerelaannya, dan ia mendapatkan separuh pahala dari suaminya. Namun, jika ia tahu suaminya tidak ridha, maka sedekahnya haram. Jika suami mengizinkan, maka pahalanya sama dengan pahala suaminya. Sedekah di saat sehat lebih utama dibandingkan saat sakit, dan sedekah dalam kondisi sulit lebih utama dibandingkan dalam kondisi lapang, jika dilakukan dengan niat karena Allah. Allah berfirman: “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan. Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu karena mengharap wajah Allah, kami tidak menghendaki balasan dan tidak pula ucapan terima kasih darimu.” (QS. Al-Insan: 8-9) Rasulullah ﷺ tidak diperbolehkan menerima zakat wajib maupun sedekah sunnah. Demikian pula Bani Hasyim tidak boleh menerima zakat wajib, tetapi mereka boleh menerima sedekah sunnah. Diperbolehkan memberikan sedekah sunnah kepada orang kafir untuk melunakkan hatinya atau untuk menghilangkan kelaparannya, dan seorang Muslim tetap mendapatkan pahala atas sedekah tersebut. Dalam setiap makhluk hidup terdapat pahala. Dianjurkan memberikan sesuatu kepada peminta-minta, meskipun jumlahnya kecil.
Dari Ummu Bujayd r.a., ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ: “Ya Rasulullah, ada seorang miskin yang datang ke pintu rumahku, tetapi aku tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepadanya.” Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika engkau tidak memiliki apa pun untuk diberikan kepadanya kecuali sepotong kaki kambing yang telah terbakar, maka berikanlah kepadanya.” (HR. Abu Dawud & Tirmidzi)

تفسير البسيط الواحدى ج ٢ ص ٧٦

وقوله تعالى: {ينفقون} معنى الإنفاق في اللغة: إخراج المال من اليد. ومن هذا يقال: نفق المبيع إذا كثر مشتروه، فخرج عن يد البائع، ونفقت الدابة إذا خرجت روحها (٢)، والنفق (٣) سرب له مخلص إلى مكان آخر يخرج منه (٤)، والنافقاء من جحرة اليربوع: وهو الذي يخرج منه إذا أخذ من جهة أخرى، ومنه المنافق، لخروجه عن الإيمان بما ينطوي عليه من الكفر (٥).
والمراد بالإنفاق هاهنا: إنفاق فيما يكون طاعة فرضا أو نفلا؛ لأن الله تعالى مدحهم بهذا الإنفاق (٦).
٤ – قوله تعالى: {والذين يؤمنون بما أنزل إليك}. قال مجاهد: الآيات الأربع من أول هذه السورة نزلت في جميع
المؤمنين (٧) سواء كانوا من العرب، أو من أهل الكتاب.

Dan firman Allah Ta’ala: {ينفقون} (mereka menginfakkan)—Makna infak dalam bahasa adalah mengeluarkan harta dari tangan. Dari makna ini juga dikatakan “نفق المبيع” (barang dagangan laris) jika banyak pembelinya, sehingga barang itu keluar dari tangan penjual. Juga dikatakan “نفقت الدابة” (hewan mati) jika ruhnya keluar.

Adapun “النفق” (terowongan), ia adalah lorong yang memiliki jalan keluar menuju tempat lain. “النافقاء” adalah salah satu lubang tempat tinggal hewan yurwa’ (sejenis gerbil gurun), yaitu lubang yang digunakan hewan tersebut untuk keluar jika ditangkap dari arah lain. Dari makna ini pula muncul istilah “المنافق” (munafik), karena ia keluar dari keimanan akibat kekufuran yang tersembunyi dalam dirinya.

Makna infak dalam ayat ini adalah menginfakkan harta dalam hal yang bernilai ketaatan, baik yang bersifat wajib maupun sunnah. Sebab, Allah Ta’ala memuji mereka karena infak tersebut.

(4) Firman Allah Ta’ala: {والذين يؤمنون بما أنزل إليك} (dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu).

Mujahid berkata: Empat ayat pertama dari surah ini turun mengenai seluruh kaum mukminin, baik dari kalangan bangsa Arab maupun Ahlul Kitab.

Penjelasan dari kutipan Tafsir al-Basith karya al-Wahidi ini membahas dua poin utama:

Makna”يُنْفِقُونَ” (menginfakkan)

Secara bahasa, infak berarti mengeluarkan sesuatu dari tangan. Contohnya: Nafaqa al-mabī‘ (نَفَقَ الْمَبِيعُ) artinya barang dagangan terjual laris karena keluar dari tangan penjual. Nafaqat ad-dābbah (نَفَقَتِ الدَّابَّةُ) artinya hewan mati karena ruhnya keluar dari tubuhnya. An-nafaq (النَّفَقُ) adalah sebuah terowongan yang memiliki jalan keluar ke tempat lain. An-nafiqā’ (النَّافِقَاءُ) adalah lubang khusus pada sarang hewan yurwa’ yang digunakan untuk keluar jika merasa terancam dari lubang lain.

Dari sini muncul istilah munafik (المنافق), yaitu seseorang yang secara lahiriah tampak beriman tetapi batinnya kufur, sebagaimana yurwa’ yang tampak di satu tempat tetapi keluar di tempat lain.

Makna infak dalam ayat ini merujuk pada pengeluaran harta dalam ketaatan kepada Allah, baik yang wajib (seperti infak kepada keluarga ) maupun sunnah (seperti infak fisabilillah). Allah memuji orang-orang yang berinfak karena perbuatan ini merupakan bagian dari keimanan yang benar.

Makna “وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ” (dan orang-orang yang beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu)

Mujahid menafsirkan bahwa empat ayat pertama dalam surah Al-Baqarah ini turun mengenai semua kaum mukminin, baik yang berasal dari bangsa Arab maupun Ahlul Kitab (orang-orang yang sebelumnya telah menerima wahyu seperti Yahudi dan Nasrani yang kemudian beriman kepada Islam).

Kesimpulannya, ayat ini menjelaskan dua sifat utama orang-orang beriman yang dipuji oleh Allah:

Mereka berinfak di jalan Allah, baik dalam perkara wajib maupun sunnah. Mereka beriman kepada wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, tanpa membeda-bedakan asal-usul mereka (baik dari kalangan Arab maupun Ahlul Kitab).

تفسير المنير الزحيلي ج٣ص٢٩٥-٢٩٦
{لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون}. وأخرج عبد بن حميد والبزار عن ابن عمر قال:
حضرتني هذه الآية: {لن تنالوا البر}، فذكرت ما أعطاني الله تعالى فلم أجد أحب إلي من مرجانة (جارية رومية) فقلت: هي حرة لوجه الله، فلو أني أعود في شيء جعلته لله تعالى لنكحتها، فأنكحتها نافعا (مولاه الذي كان يحبه). ولم يمت ابن عمر إلا وأعتق ألف رقبة.
أما معنى البر فاختلفوا في تأويله على أقوال ثلاث: الجنة، أو العمل الصالح، أو الطاعة، والتقدير على المعنى الأول: لن تنالوا ثواب البر حتى تنفقوا مما تحبون أي لن تصلوا إلى الجنة وتعطوها حتى تنفقوا مما تحبون، وعلى المعنى الثاني: لن تصلوا إلى العمل الصالح… وعلى المعنى الثالث وهو معنى جامع: لن تصلوا إلى الخير من صدقة أو غيرها من الطاعات حتى تنفقوا مما تحبون. وقال الحسن البصري: {حتى تنفقوا}: هي الزكاة المفروضة. والأولى أن يكون المراد كما قال الزمخشري: لن تبلغوا حقيقة البر حتى تكون نفقتكم من أموالكم التي تحبونها وتؤثرونها، كقوله: {أنفقوا من طيبات ما كسبتم} [البقرة ٢٦٧/ ٢].
وكان السلف رحمهم الله إذا أحبوا شيئا جعلوه لله تعالى.
فقه الحياة أو الأحكام:
دلت الآية على أمرين:
الأول-أن يكون الإنفاق في سبيل الله للوصول إلى حقيقة البر من أحب
الأموال وأفضلها عند مالكها، وبمقدار طيبها وحسنها يكون الثواب عليها.
الثاني-الترغيب والحث على إخفاء الصدقة، بعدا عن الرياء، وإخلاصا في العمل لوجه الله، وترفعا عن نفاذ الشيطان إلى قلب المؤمن الصالح.
انتهى الجزء الثالث ولله الحمد

Tafsir al-Munir, Jilid 27, Halaman 301-302

Kewajiban Berinfak dan Kepemilikan Allah atas Segala Sesuatu

Firman Allah: “Dan mengapa kalian tidak menginfakkan (harta) di jalan Allah, padahal milik Allah-lah warisan langit dan bumi?” (QS. Al-Hadid: 10). Maksudnya, tidak ada alasan bagi kalian untuk tidak berinfak di jalan Allah. Tidak perlu takut miskin, karena yang kalian infakkan adalah milik Allah, Tuhan yang memiliki langit dan bumi. Semua harta yang ada pada kalian akan kembali kepada-Nya, sebagaimana warisan kembali kepada ahli waris. Jika kalian tidak menginfakkannya saat hidup, kalian akan kehilangan kesempatan itu.

Allah berfirman: “Apa saja yang kalian infakkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dia sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Saba’: 39 “Apa yang ada di sisi kalian akan habis, sedangkan apa yang ada di sisi Allah akan kekal.” (QS. An-Nahl: 96) Ayat ini menegaskan bahwa berinfak adalah keutamaan. Bahkan, semakin cepat seseorang berinfak, semakin tinggi derajatnya. Oleh karena itu, Allah berfirman: “Tidaklah sama di antara kalian orang yang berinfak sebelum kemenangan dan berperang (bersama Rasulullah), mereka lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan orang yang berinfak setelahnya dan berperang.”

Mereka yang berinfak sebelum Fathu Makkah lebih utama karena saat itu kaum Muslim masih sedikit dan membutuhkan bantuan. Sedangkan setelah Fathu Makkah, umat Islam semakin kuat dan rezeki semakin melimpah. Namun, Allah tetap menjanjikan pahala bagi kedua golongan tersebut: “Mereka semua dijanjikan pahala yang baik, dan Allah Maha Mengetahui segala yang kalian kerjakan.” Dalam hadits, Nabi ﷺ menegur Khalid bin Walid ketika ia berdebat dengan Abdurrahman bin ‘Auf. Nabi ﷺ bersabda: “Janganlah kalian mencela para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian menginfakkan emas sebesar Gunung Uhud, kalian tidak akan mencapai keutamaan mereka walau setengahnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Pahala Berlipat bagi Orang yang Berinfak

Allah berfirman: “Siapakah yang mau memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakannya dan ia akan mendapatkan pahala yang mulia.” Yakni, siapa yang menginfakkan hartanya dengan ikhlas dan tanpa riya, maka Allah akan melipatgandakannya hingga tujuh ratus kali lipat atau lebih, tergantung keadaan dan keikhlasan orang tersebut.

Diriwayatkan bahwa ketika ayat ini turun, seorang sahabat bernama Abu Duhdah bertanya kepada Rasulullah ﷺ: “Wahai Rasulullah, apakah Allah menginginkan pinjaman dari kita?” Nabi ﷺ menjawab, “Ya.” Abu Duhdah pun berkata: “Aku telah meminjamkan kebunku kepada Allah.”

Kebun itu memiliki 600 pohon kurma, dan di dalamnya tinggal istri serta anak-anaknya. Ia pun mendatangi mereka dan berkata: “Keluarlah dari kebun ini, karena aku telah menyerahkannya kepada Allah.”

Tafsir al-Munir, Jilid 3, Halaman 295-296

Makna “Kalian Tidak Akan Meraih Kebajikan hingga Menginfakkan yang Kalian Cintai”

Ibnu Umar berkata: “Ketika ayat ini turun, aku melihat apa yang paling aku cintai dari hartaku. Aku tidak menemukan yang lebih aku cintai selain seorang budakku yang bernama Marjanah. Maka, aku pun membebaskannya karena Allah.”

Sebagian ulama mengatakan bahwa “al-birr” dalam ayat ini memiliki tiga tafsiran: Yaitu, Surga Amal saleh Ketaatan

Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa birr mencakup seluruh kebaikan, baik sedekah maupun bentuk ketaatan lainnya. Para ulama salaf, ketika mencintai sesuatu, mereka akan menyerahkannya kepada Allah.

Kesimpulan Hukum

Infak yang mendekatkan diri kepada Allah sebaiknya berasal dari harta yang paling dicintai oleh pemiliknya. Sedekah yang dilakukan secara sembunyi lebih utama karena menghindari riya dan menjaga keikhlasan.

Selesai jilid ketiga, segala puji bagi Allah.

الموسوعة الفقهية الكويتيه ج٣ص ١٤٩-٢٥١

فضل النفقة:.✔
أحوال الإنفاق على الزوجة:✔
النفقة على الآباء والأولاد والأقارب:✔
أحوال المنفق:✔
[ فضل النفقة:]
١ – قال الله تعالى: (الذين ينفقون أموالهم بالليل والنهار سرا وعلانية فلهم أجرهم عند ربهم ولا خوف عليهم ولا هم يحزنون) (البقرة/٢٧٤).
٢ – عن أبي مسعود الأنصاري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إذا أنفق المسلم نفقة على أهله وهو يحتسبها كانت له صدقة)). متفق عليه (١).
٣ – عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((الساعي على الأرملة والمسكين كالمجاهد في سبيل الله، أو القائم الليل الصائم النهار)). متفق عليه (٢).

[ أحوال الإنفاق على الزوجة:]
١ – نفقة الزوجة واجبة على زوجها من مأكل، ومشرب، وملبس، ومسكن ونحو ذلك بما يصلح لمثلها، وذلك يختلف باختلاف أحوال البلاد والأزمنة، وحال الزوجين وعاداتهما.
عن جابر بن عبدالله رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((إن دماءكم وأموالكم حرام عليكم … – وفيه- ((فاتقوا الله في النساء، فإنكم أخذتموهن بأمان الله، واستحللتم فروجهن بكلمة الله … ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف)). أخرجه مسلم (١).
٢ – يجب على الزوج نفقة زوجته المطلقة الرجعية وكسوتها وسكناها، لكن لا قسم لها.
٣ – الزوجة البائن بفسخ أو طلاق لها النفقة إن كانت حاملا، فإن لم تكن حاملا فلا نفقة لها ولا سكنى.
٤ – لا نفقة ولا سكنى لمتوفى عنها زوجها، فإن كانت حاملا وجبت نفقتها من نصيب الحمل من التركة، فإن لم يكن فعلى وارثه الموسر.
٥ – إذا نشزت المرأة أو حبست عنه سقطت نفقتها إلا أن تكون حاملا.

إذا غاب الزوج ولم ينفق على زوجته لزمته نفقة ما مضى. إذا أعسر الزوج بالنفقة، أو الكسوة، أو السكن، أو غاب ولم يدع للزوجة نفقة وتعذر أخذها من ماله فلها الفسخ إن شاءت بإذن الحاكم.

[ النفقة على الآباء والأولاد والأقارب:]
تجب النفقة لأبويه وإن علوا حتى ذوي الأرحام منهم، وتقدم الأم على الأب في البر والنفقة، وتجب لولده وإن سفل، حتى ذوي الأرحام منهم إن كان المنفق غنيا والمنفق عليه فقيرا، والوالد تجب عليه نفقة ولده كاملة ينفرد بها.
١ – قال الله تعالى: (والوالدات يرضعن أولادهن حولين كاملين لمن أراد أن يتم الرضاعة وعلى المولود له رزقهن وكسوتهن بالمعروف) (البقرة/٢٣٣).
٢ – عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رجل: يا رسول الله من أحق بحسن الصحبة؟ قال: ((أمك، ثم أمك، ثم أمك، ثم أبوك، ثم أدناك أدناك)). متفق عليه (١).

تجب النفقة على كل من يرثه المنفق بفرض أو تعصيب. يشترط لوجوب النفقة على القريب من غير الأصول والفروع أن يكون المنفق وارثا للمنفق عليه، فقر المنفق عليه، غنى المنفق، عدم اختلاف الدين. يجب على السيد نفقة رقيقه المملوك، وإن طلب نكاحا زوجه سيده أو باعه، وإن طلبته أمة خير سيدها بين وطئها، أو تزويجها، أو بيعها. تجب النفقة على ما يملكه الإنسان من البهائم والطيور ونحوها، فيقوم بإطعامها وسقيها وما يصلحها، ولا يحملها ما تعجز عنه، فإن عجز عن نفقتها أجبر على بيعها، أو إجارتها، أو ذبحها إن كانت مما يؤكل، ولا يجوز ذبحها للإراحة كالمريضة والكبيرة ونحوها، وعليه أن يقوم بما يلزمها.
[ أحوال المنفق:]
إن كان المنفق قليل المال وجب عليه أن يبدأ بالنفقات الواجبة من الزوجة، والفروع، والأصول، والمماليك فيبدأ بنفسه أولا، ثم من تجب نفقتهم مع العسر واليسر وهم: الزوجة، والمماليك، والبهائم.
ثم من تجب نفقتهما ولو لم يرثهم المنفق من الأصول، كالأم والأب، والفروع كالأولاد، ثم نفقة الحواشي إن كان المنفق يرثهم بفرض أو تعصيب، أما إن كان المنفق غنيا فينفق على الجميع.

Keutamaan Nafkah Allah berfirman:
“Orang-orang yang menafkahkan hartanya pada malam dan siang hari secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada rasa takut bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 274) Dari Abu Mas’ud Al-Anshari r.a., Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika seorang Muslim mengeluarkan nafkah untuk keluarganya dengan mengharap pahala, maka itu menjadi sedekah baginya.” (Muttafaqun ‘alaih) Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang yang berusaha memenuhi kebutuhan seorang janda dan orang miskin, pahalanya seperti mujahid di jalan Allah atau seperti orang yang shalat malam dan berpuasa di siang hari.” (Muttafaqun ‘alaih) Ketentuan Nafkah kepada Istri Nafkah istri wajib ditanggung suami, mencakup makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan lain yang layak baginya, sesuai dengan kondisi zaman, negara, dan kebiasaan pasangan.
Dari Jabir bin Abdullah r.a., Rasulullah ﷺ bersabda: “Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan, karena kalian telah mengambil mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan hubungan dengan mereka melalui kalimat Allah. Kewajiban kalian kepada mereka adalah memberikan rezeki dan pakaian dengan cara yang baik.” (HR. Muslim) Istri yang ditalak raj’i tetap mendapatkan nafkah dan tempat tinggal, tetapi tidak mendapatkan giliran. Istri yang ditalak bain (baik karena fasakh maupun talak tiga) tetap mendapatkan nafkah jika sedang hamil. Jika tidak hamil, maka tidak berhak mendapatkan nafkah atau tempat tinggal. Istri yang ditinggal wafat oleh suaminya tidak mendapatkan nafkah, kecuali jika sedang hamil. Dalam hal ini, nafkahnya diambil dari harta peninggalan untuk anak dalam kandungannya. Jika tidak ada harta peninggalan, maka nafkah ditanggung oleh ahli warisnya yang mampu. Jika istri membangkang atau dipenjara, maka nafkahnya tidak wajib diberikan, kecuali jika ia sedang hamil. Jika suami pergi dan tidak memberikan nafkah kepada istrinya, maka ia tetap berkewajiban membayar nafkah yang telah lalu. Jika suami tidak mampu menafkahi istri, atau ia pergi tanpa meninggalkan nafkah, maka istri berhak meminta fasakh (pembatalan pernikahan) melalui pengadilan. Ketentuan Nafkah kepada Orang Tua, Anak, dan Kerabat Nafkah kepada kedua orang tua, baik yang masih hidup maupun yang telah lanjut usia, hukumnya wajib, termasuk kepada kerabat dekat jika mereka fakir dan tidak mampu mencukupi kebutuhannya. Ibu lebih berhak mendapatkan nafkah dibandingkan ayah. Anak wajib diberi nafkah oleh ayahnya, mencakup seluruh kebutuhannya. Nafkah wajib diberikan kepada semua orang yang berhak menerima warisan dari pemberi nafkah. Jika seseorang memiliki sedikit harta, ia harus mendahulukan nafkah istri, anak, orang tua, dan budaknya sebelum kerabat lainnya. Nafkah terhadap hewan peliharaan juga wajib, termasuk memberi makan, minum, dan merawatnya dengan baik. Jika pemiliknya tidak mampu, ia harus menjual, menyewakan, atau menyembelihnya jika termasuk hewan yang boleh dimakan. Wallahu a’lam

Kategori
Hukum

Hukum Percikan Air dari Tempat Pencucian Kendaraan dalam Perspektif Fiqih

 

Sail: K.Syukron, Sumenep

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah/Latar Belakang

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita melewati tempat pencucian mobil atau sepeda motor. Saat melintas di dekatnya, terkadang kita terkena embun atau percikan air dari proses pencucian tersebut. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian orang yang sangat memperhatikan kebersihan dan kesucian dalam beribadah.

Permasalahan ini menjadi penting karena dalam ajaran Islam, kesucian merupakan syarat sah dalam beribadah, terutama dalam shalat. Jika air yang memercik berasal dari air yang telah digunakan untuk mencuci kotoran seperti lumpur, oli, atau kotoran lainnya, maka statusnya perlu ditinjau berdasarkan hukum fiqih. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang jelas mengenai hukum air yang memercik dari tempat pencucian kendaraan serta bagaimana dampaknya terhadap kesucian seseorang dalam menjalankan ibadah.

Pertanyaan:

Apakah jika melewati tempat pencucian mobil atau sepeda motor lalu terkena embun atau percikan air dari proses pencucian, maka air tersebut tergolong najis?

Jawaban ditafsil

Jika air atau embun yang memercik berasal dari air bersih atau tidak jelas najisnya, maka dihukumi suci berdasarkan prinsip asalnya adalah suci (al-ashlu fi al-asyya’ ath-thaharah). Jika air yang memercik bercampur najis dan jelas terlihat kotorannya, maka dianggap najis dan harus dibersihkan. Jika air yang memercik diyakini najis, tetapi dalam jumlah sedikit dan sulit dihindari, maka dimaafkan (ma’fu). Jika air yang memercik banyak dan diyakini najis, maka dihukumi najis dan wajib dibersihkan sebelum shalat

Dalam kaidah fiqih, jika sesuatu yang diyakini najis terkena badan atau pakaian dalam jumlah sedikit dan sulit dihindari, maka hal itu dimaafkan (معفو عنه). Sebagaimana disebutkan dalam kitab Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah:

وَأَمَّا مَا تَسْتَيْقِنُ نَجَاسَتُهُ فَيُعْفَى عَنِ القَلِيلِ مِنْهُ. وأمَّا الكَثِيْرُ فَلاَ يُعْفَى عنهُ كَسَائِرِ النَّجَاسَاتِ “

Adapun sesuatu (tempat) yang diyakini kenajisannya, maka hukumnya dimaafkan jika percikannya sedikit. Namun, jika percikan tersebut banyak, maka tidak dimaafkan, sebagaimana najis-najis lainnya.

Begitu juga dijelaskan dalam kitab yang sama:

وَطِينُ الشَّارِعِ الْمُتَيَقَّنِ نَجَاسَتَهُ يُعْفَى عَنْهُ عَمَّا يَتَعَذَّرُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ غَالِبًا “

Tanah jalan yang diyakini najisnya dimaafkan jika sulit untuk menghindarinya secara umum.”

Kesimpulannya, hukum terkena embun atau percikan air dari pencucian mobil atau sepeda tergantung pada kondisi air tersebut. Jika tidak jelas najisnya, maka dihukumi suci. Namun, jika diyakini bercampur najis dan dalam jumlah banyak, maka dihukumi najis dan harus dibersihkan.

وَأَمَّا مَا تَسْتَيْقِنُ نَجَاسَتُهُ فَيُعْفَى عَنِ القَلِيلِ مِنْهُ. وأمَّا الكَثِيْرُ فَلاَ يُعْفَى عنهُ كَسَائِرِ النَّجَاسَاتِ

“Dan adapun sesuatu ( tempat) yang diyakini kenajisannya maka hukumnya dimaafkan jika percikan tersebut hanya sedikit, namun jika percikan tersebut banyak maka tidak dimaafkan, sebagaimana hukumnya najis-najis yang lain.

Referensi:

[القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢٠٩/١]

(وَطِينُ الشَّارِعِ الْمُتَيَقَّنِ نَجَاسَتَهُ يُعْفَى عَنْهُ عَمَّا يَتَعَذَّرُ الِاحْتِرَازُ مِنْهُ غَالِبًا وَيَخْتَلِفُ بِالْوَقْتِ وَمَوْضِعِهِ مِنْ الثَّوْبِ وَالْبَدَنِ) فَيُعْفَى فِي زَمَنِ الشِّتَاءِ عَمَّا لَا يُعْفَى عَنْهُ فِي زَمَنِ الصَّيْفِ، وَيُعْفَى فِي الذَّيْلِ وَالرِّجْلِ عَمَّا لَا يُعْفَى عَنْهُ فِي الْكُمِّ وَالْيَدِ، وَمَا لَا يَتَعَذَّرُ الِاحْتِرَازُ عَنْهُ غَالِبًا لَا يُعْفَى عَنْهُ، وَمَا تُظَنُّ نَجَاسَتُهُ لِغَلَبَتِهَا فِيهِ قَوْلًا الْأَصْلُ، وَالظَّاهِرُ أَظْهَرُهُمَا طَهَارَتُهُ عَمَلًا بِالْأَصْلِ، وَمَا لَمْ يُظَنُّ نَجَاسَتُهُ لَا بَأْسَ بِهِ.

[القليوبي، حاشيتا قليوبي وعميرة، ٢٠٩/١] قَوْلُهُ: (وَطِينُ الشَّارِعِ) وَكَذَا مَاؤُهُ وَالْمُرَادُ بِهِ مَحَلُّ الْمُرُورِ. والله أعلم بالصواب

Dengan demikian maka dapat disimpulkan hukumnya badan dan pakaian yang terkena percikan air tersebut dikondisikan dengan adanya tanah jalan dan genangan air atau lumpur dijalan tersebut artinya jika jelas dengan kasat mata air bercampur najis maka paian dan badannya dihuhumi najis, dan jika tidak nampak atau diyakini kenajisannya namun karena sulitnya memelihara atau menghindarinya pada umumnya maka dimakfu dengan catatan percikannya air tersebut sedikit, apalagi tidak jelas kenajisan-Nya maka dihukumi suci, tetapi jika percikannya banyak dan diyakini najisnya maka hukumnya najis, Alasannya Karena Syariah hanya Menghukumi Zhahirnya saja sedangkan masalah yang samar ( Batin ) adalah Urusan Allah

كتاب التحبير شرح التحرير المكتبة الشاملة ص ٣٧٩٢

وَرُبمَا اسْتدلَّ على ذَلِك بِمَا رُوِيَ عَن النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنه قَالَ: ” نَحن نحكم بِالظَّاهِرِ، وَالله يتَوَلَّى السرائر “، كَمَا اسْتدلَّ بِهِ الْبَيْضَاوِيّ وَغَيره.لكنه حَدِيث لَا يعرف، لَكِن رَوَاهُ الْحَافِظ أَبُو طَاهِر إِسْمَاعِيل بن عَليّ بن إِبْرَاهِيم بن أبي الْقَاسِم الجنزوي فِي كِتَابه: ” إدارة الْأَحْكَام ” فِي قصَّة الْكِنْدِيّ والحضرمي الَّذين اخْتَصمَا إِلَى النَّبِي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -، وأصل حَدِيثهمَا فِي ” الصَّحِيحَيْنِ ” فَقَالَ الْمقْضِي عَلَيْهِ: قضيت عَليّ وَالْحق لي، فَقَالَ رَسُول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” إِنَّمَا نقضي بِالظَّاهِرِ وَالله يتَوَلَّى السرائر ” وَله شَوَاهِد. والله أعلم بالصواب

Dan mungkin dijadikan dalil dalam masalah ini dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:

“Kami menetapkan hukum berdasarkan yang tampak (zahir), sedangkan Allah yang mengurus perkara yang tersembunyi (batin).”

Sebagaimana dalil ini digunakan oleh Al-Baidhawi dan lainnya. Namun, hadits ini tidak dikenal (la yu’raf). Akan tetapi, hadits ini diriwayatkan oleh Al-Hafizh Abu Thahir Isma’il bin Ali bin Ibrahim bin Abi Al-Qasim Al-Janzawi dalam kitabnya Idarah Al-Ahkam, dalam kisah tentang Al-Kindi dan Al-Hadhrami yang mengajukan sengketa kepada Nabi ﷺ.

Asal kisah mereka terdapat dalam Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim), di mana orang yang diputuskan bersalah berkata: “Engkau telah memutuskan hukum atas diriku, padahal kebenaran ada di pihakku.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya kami hanya menetapkan hukum berdasarkan yang tampak (zahir), sedangkan Allah yang mengurus perkara yang tersembunyi (batin).”

Hadits ini memiliki syawahid (penguat). Wallahu a’lam bish-shawab.

Kategori
Uncategorized

Menelan Dahak ketika Shalat dan Puasa

 

Assalamualaikum

Sail: Ust. Hamid, Aceh

Deskripsi Masalah:

Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang bisa saja mengalami sakit, seperti flu atau batuk, yang menyebabkan produksi dahak berlebih. Dalam ibadah, terdapat ketentuan terkait menelan dahak, khususnya dalam salat dan puasa. Beberapa pendapat menyatakan bahwa menelan dahak dapat membatalkan ibadah tersebut. Oleh karena itu, penting untuk memahami batasan-batasannya secara jelas.

Pertanyaan:
  1. Apakah benar menelan dahak dapat membatalkan salat dan puasa ?
  2. Sampai sejauh mana batasan yang menyebabkan batalnya ibadah akibat menelan dahak?
  3. Apakah ada pendapat dari para ulama yang menyatakan bahwa menelan dahak tidak membatalkan salat?
Jawaban:
  1. Benar menelan dahak dapat membatalkan salat dan puasa jika dahak tersebut telah keluar dari batasan zhâhir (luar) lalu ditelan kembali ke dalam.
  2. Mengenai batasan zhâhir, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama: Imam ar-Rafi’i menetapkannya pada makhraj huruf khâ’ (ujung tenggorokan), sedangkan Imam an-Nawawi menetapkannya pada makhraj huruf hâ’ (tengah tenggorokan). Oleh karena itu, jika dahak telah melewati batasan tersebut dan kemudian ditelan kembali, maka hal itu dapat membatalkan salat atau puasa.
  3. Tidak ada pendapat ulama yang membolehkan menelan dahak dalam kondisi tersebut.
Referensi:

نهاية الزين.ص ١٨٧

وَيُفْطِرُ عَامِدًا عَالِمًا مُخْتَارًا بِجِمَاعِ وَاسْتِمْنَاءِ وَاسْتِقَاءَةِ لَا بِقَلْعِ نُخَامَةٍ، وَلَوْ نَزَلَتْ مِنْ دِمَاغِهِ أَوْ خَرَجَتْ مِنْ جَوْفِهِ وَوَصَلَتْ إِلَى حَظِّ الظَّاهِرِ وَجَبَ قَلْعُهَا وَمَجُّهَا، وَيُعْفَى عَمَّا أَصَابَتْهُ أَوْ كَانَتْ نَجِسَةً فَإِنْ كَانَتْ تَرْكُهَا مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى ذَلِكَ فَرَجَعَتْ إِلَى حَظِّ الْبَاطِنِ أَفْطَرَ لِتَقْصِيرِهِ وَلَوْ كَانَ فِي فَرْضِ صَلَاةٍ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى مَجِّهَا إِلَّا بِظُهُورِ حَرْفَيْنِ فَأَكْثَرَ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاتُهُ، بَلْ يَنْبَغِي ذَلِكَ مُرَاعَاةً لِمَصْلَحَتِهَا كَالتَّنَحْنُحِ لِتَعَذُّرِ الْقِرَاءَةِ الْوَاجِبَةِ. وَحَدُّ الظَّاهِرِ هُوَ مَخْرَجُ الْخَاءِ الْمُعْجَمَةِ عِنْدَ الرَّافِعِيِّ وَالْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ عِنْدَ النَّوَوِيِّ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ، فَإِنْ لَمْ تَصِلْ إِلَى حَظِّ الظَّاهِرِ الْمَذْكُورِ، بِأَنْ كَانَتْ دَاخِلًا عَمَّا ذُكِرَ أَوْ حَصَلَتْ فِي حَظِّ الظَّاهِرِ وَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى قَلْعِهَا وَمَجِّهَا لَمْ يَضُرَّ. اهـ.

Referensi:

(Nihayah az-Zain, 187)
“Seseorang batal puasanya jika melakukannya dengan sengaja, mengetahui, dan atas pilihannya sendiri, yaitu dengan berhubungan badan, mengeluarkan air mani, atau muntah, bukan dengan mengeluarkan dahak. Jika dahak turun dari otaknya atau keluar dari tenggorokannya dan mencapai batas zahir, maka wajib untuk mengeluarkannya dan memuntahkannya, dan dimaafkan jika ada yang mengenainya atau jika najis. Jika membiarkannya padahal mampu melakukannya, lalu kembali ke batas batin, maka batal puasanya karena kelalaiannya. Jika dia sedang dalam salat wajib dan tidak mampu memuntahkannya kecuali dengan mengeluarkan dua huruf atau lebih, maka salatnya tidak batal, bahkan hal itu dianjurkan untuk menjaga kemaslahatan salatnya, seperti berdeham karena kesulitan membaca bacaan wajib. Batas zahir adalah tempat keluarnya huruf kha’ yang bertitik menurut Imam ar-Rafii, dan huruf ha’ yang tidak bertitik menurut Imam an-Nawawi, dan inilah yang dipegang sebagai pendapat yang kuat. Jika dahak tidak mencapai batas zahir yang disebutkan, yaitu jika berada di dalam dari apa yang disebutkan atau terjadi di batas zahir namun tidak mampu mengeluarkannya dan memuntahkannya, maka tidak membahayakan. Selesai.”

كفاية الأخيار الجزء الأول صحـ : ٢٠٥ مكتبة دار إحياء الكتب

وَلَوْ نَزَلَتْ نُخَامَةٌ مِنْ رَأْسِهِ وَصَارَتْ فَوْقَ الْحُلْقُوْمِ نُظِرَ إِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى إِخْرَاجِهَا ثُمَّ نَزَلَتْ إِلَى الْجَوْفِ لَمْ يُفْطِرْ وَإِنْ قَدَرَ عَلَى إِخْرَاجِهَا وَتَرَكَهَا حَتَّى نَزَلَتْ بِنَفْسِهَا أَفْطَرَ أَيْضًا لِتَقْصِيْرِهِ اهـ

Kifâyah al-Akhyâr, Jilid 1, Halaman 205 (Maktabah Dâr Ihyâ’ al-Kutub):

“Jika dahak turun dari kepalanya dan berada di atas tenggorokan, maka ada perincian: Jika ia tidak mampu mengeluarkannya, lalu dahak itu turun ke dalam perut, maka puasanya tidak batal. Namun, jika ia mampu mengeluarkannya tetapi membiarkannya hingga dahak itu turun dengan sendirinya, maka ia tetap batal karena kelalaiannya.”

كتاب (بجيرمي على شرح المنهاج ، جز ٢ ، صحيفة ٧٢) (لَا) تَرْكُ (قَلْعِ نُخَامَةٍ وَمَجِّهَا) فَلَا يَجِبُ فَلَا يُفْطِرُ بِهِمَا؛ لِأَنَّ الْحَاجَةَ إلَيْهِمَا مِمَّا تَتَكَرَّرُ (وَلَوْ نَزَلَتْ) مِنْ دِمَاغِهِ وَحَصَلَتْ (فِي حَدِّ ظَاهِرِ فَمٍ فَجَرَتْ) إلَى الْجَوْفِ (بِنَفْسِهَا وَقَدَرَ عَلَى مَجِّهَا أَفْطَرَ) لِتَقْصِيرِهِ بِخِلَافِ مَا إذَا عَجَزَ عَنْهُ 

Kitab Bujairimi ‘ala Syarh al-Minhâj, Jilid 2, Halaman 72:

“Tidak wajib mengeluarkan dahak dan meludahkannya, sehingga tidak membatalkan puasa. Sebab, kebutuhan untuk itu sering terjadi. Namun, jika dahak turun dari otaknya dan sampai pada batas luar mulut, lalu mengalir ke dalam perut dengan sendirinya sementara ia mampu mengeluarkannya, maka puasanya batal karena kelalaiannya. Berbeda halnya jika ia tidak mampu mengeluarkannya.” Wallahu a’lam

Kategori
Uncategorized

Hukum Istri yang Menolak Pulang ke Rumah Suami dalam Perspektif Fiqih

 

Deskripsi:

Dalam kehidupan rumah tangga, salah satu kewajiban istri adalah menaati suaminya dalam hal-hal yang ma’ruf, termasuk tinggal di rumah yang telah disediakan suami sesuai dengan kemampuannya. Namun, bagaimana hukumnya jika seorang istri menolak diajak pulang atau boyongan ke rumah suaminya?

Apakah ini termasuk dalam kategori nusyuz?

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh.
Dalam hukum Islam, seorang istri yang menolak tinggal di rumah suaminya tanpa alasan yang dibenarkan syariat dapat dikategorikan sebagai nusyuz (pembangkangan terhadap suami). Sebab, salah satu kewajiban istri adalah tinggal bersama suami di tempat yang layak sesuai kemampuan suami, sebagaimana disebut dalam kitab-kitab fiqih.

Dalil dan Ibarat Kitab

Ibn Qudamah dalam Al-Mughni (Juz 11, Hal. 410) menyatakan:

١٣٩٨ – مسألة؛ قال: (والناشز لا نفقة لها، فإن كان لها منه ولد, أعطاها نفقة ولدها)
معنى النشوز معصيتها لزوجها فيما له عليها، مما أوجبه له (١) النكاح (٢)، وأصله من الارتفاع، مأخوذ من النشز، وهو المكان المرتفع، فكأن الناشز ارتفعت عن طاعة زوجها، فسميت ناشزا. فمتى امتنعت من فراشه، أو خرجت من منزله بغير إذنه، أو امتنعت من الانتقال معه إلى مسكن مثلها، أو من السفر معه، فلا نفقة لها ولا سكنى، في قول عامة أهل العلم؛ منهم الشعبى، وحماد، ومالك، والأوزاعى، والشافعي، وأصحاب الرأى، وأبو ثور. وقال الحكم: لها النفقة. وقال ابن المنذر: لا أعلم أحدا خالف هؤلاء إلا الحكم، ولعله يحتج بأن نشوزها لا يسقط مهرها، فكذلك نفقتها. ولنا، أن النفقة إنما تجب في مقابلة تمكينها، بدليل أنها لا تجب قبل تسليمها إليه، وإذا منعها النفقة كان لها (٣) منعه التمكين، فإذا منعته التمكين كان له منعها من النفقة، كما قبل الدخول. وتخالف المهر؛ فإنه يجب بمجرد العقد، ولذلك لو مات أحدهما قبل الدخول وجب المهر دون النفقة. فأما إذا كان له (٤) منها ولد، فعليه نفقة ولده؛ لأنها واجبة له، فلا يسقط حقه بمعصيتها، كالكبير، وعليه أن يعطيها إياها إذا كانت هي الحاضنة (٥) له، أو المرضعة له، وكذلك أجر رضاعها، يلزمه تسليمه (٦) إليها؛ لأنه أجر ملكته عليه بالإرضاع (٧)، لا في مقابلة الاستمتاع، فلا يزول بزواله.
فصل: وإذا سقطت نفقة المرأة بنشوزها، فعادت عن النشوز والزوج حاضر، عادت نفقتها؛ لزوال المسقط لها، ووجود التمكين المقتضى لها. وإن كان غائبا، لم تعد نفقتها حتى يعود التسليم بحضوره، أو بحضور (٨) وكيله، أو حكم الحاكم بالوجوب إذا مضى زمن الإمكان. ولو ارتدت امرأته، سقطت نفقتها، فإن عادت إلى الإسلام، عادت نفقتها بمجرد عودها؛ لأن المرتدة إنما سقطت نفقتها بخروجها (٩) عن الإسلام، فإذا عادت إليه، زال المعنى المسقط، فعادت النفقة،

(1398 – Masalah)
Penulis berkata: (“Wanita yang nusyuz tidak berhak mendapatkan nafkah. Namun, jika ia memiliki anak dari suaminya, maka suaminya wajib memberikan nafkah anaknya.”)
Makna nusyuz adalah durhaka seorang istri kepada suaminya dalam hal yang menjadi hak suami atasnya, yaitu dalam hal-hal yang diwajibkan oleh pernikahan. Secara asal, kata nusyuz berasal dari makna “meninggi”, yang diambil dari kata nasyz, yaitu tempat yang tinggi. Maka, istri yang nusyuz seakan-akan meninggikan dirinya dari ketaatan kepada suaminya, sehingga disebut nasiyah (wanita yang nusyuz).
Maka, jika seorang istri menolak berhubungan dengan suaminya, keluar dari rumahnya tanpa izin, menolak pindah ke tempat tinggal yang sepadan dengannya, atau menolak bepergian bersama suaminya, maka ia tidak berhak mendapatkan nafkah maupun tempat tinggal. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, di antaranya: Asy-Sya’bi, Hammad, Malik, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, para ulama madzhab Hanafi, dan Abu Tsaur.
Namun, Al-Hakam berpendapat bahwa istri yang nusyuz tetap berhak mendapatkan nafkah. Ibnu Mundzir berkata: “Saya tidak mengetahui adanya ulama yang menyelisihi pendapat mayoritas kecuali Al-Hakam. Mungkin dalilnya adalah bahwa nusyuz tidak menggugurkan mahar, maka demikian pula nafkahnya.”
Sedangkan dalil kami adalah bahwa nafkah diwajibkan sebagai imbalan atas kesediaan istri memberikan hak suami (dalam hubungan pernikahan). Hal ini dibuktikan dengan tidak diwajibkannya nafkah sebelum istri menyerahkan dirinya kepada suami. Jika suami menahan nafkahnya, maka istri berhak menahan dirinya dari suami. Demikian pula, jika istri menolak memberikan hak suami, maka suami pun berhak menahan nafkahnya, sebagaimana sebelum terjadinya hubungan suami-istri.
Adapun mahar, maka hukumnya berbeda, karena mahar menjadi hak istri sejak akad nikah berlangsung. Oleh karena itu, jika salah satu dari suami atau istri meninggal sebelum terjadinya hubungan suami-istri, mahar tetap wajib diberikan, sedangkan nafkah tidak demikian.
Namun, apabila istri yang nusyuz memiliki anak dari suaminya, maka suaminya tetap wajib memberikan nafkah kepada anaknya, karena nafkah anak adalah kewajiban yang tidak bisa gugur dengan sebab maksiat ibu. Hal ini sebagaimana nafkah untuk anak yang sudah dewasa, yang tetap wajib diberikan walaupun ibunya dalam keadaan nusyuz. Jika istri menjadi pengasuh atau menyusui anak tersebut, maka suami tetap wajib menyerahkan nafkah anak kepadanya serta membayar upah menyusuinya. Sebab, upah tersebut merupakan hak yang diperoleh istri karena pekerjaannya sebagai penyusu, bukan sebagai imbalan atas hubungan suami-istri, sehingga tidak gugur dengan hilangnya hubungan tersebut.

Fasal:

Apabila nafkah istri gugur karena nusyuz, lalu ia kembali taat kepada suaminya dan suaminya hadir, maka nafkahnya kembali wajib diberikan, karena sebab yang menggugurkannya telah hilang, dan kesediaan istri untuk taat telah kembali.
Namun, jika suami sedang tidak ada, maka nafkah istri tidak kembali wajib sampai ia benar-benar menyerahkan dirinya kepada suami setelah suaminya kembali, atau dengan kehadiran wakil suami, atau dengan keputusan hakim yang menetapkan kewajiban nafkah jika telah berlalu waktu yang memungkinkan penyerahan diri.
Jika seorang istri murtad, maka nafkahnya gugur. Namun, jika ia kembali masuk Islam, maka nafkahnya kembali wajib sejak saat ia kembali, karena gugurnya nafkah disebabkan oleh keluarnya ia dari Islam. Maka, ketika ia kembali masuk Islam, sebab yang menggugurkan nafkah telah hilang, sehingga haknya atas nafkah kembali.

Al-Khatib As-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj (Juz 4, Hal. 116) menjelaskan:

[مغني المحتاج

(وله دعاؤهن) إلى مسكنه وعليهن الإجابة؛ لأن ذلك حق له، ومن امتنعت منهن فهي ناشزة أي حيث لا عذر، فإن كان لعذر كمرض ونحوه عذرت وبقيت على حقها، قاله الماوردي. وقال ابن كج: إن منعها مرض عليه أن يبعث إليها من يحملها إليه وجمع بينهما بحمل الأول على المرض المعجوز معه عن الركوب. والثاني على غيره، واستثنى الماوردي ما إذا كانت ذات قدر وخفر ولم تعتد البروز فلا تلزمها إجابته، وعليه أن يقسم لها في بيتها. قال الأذرعي: وهو حسن وإن استغربه الروياني. وأما المطر والوحل الشديدان ونحوها، فإن بعث لها مركوبا ووقاية من المطر فلا عذر، وإلا فينبغي أن يكون عذرا، ويختلف هذا باختلاف الناس (والأصح تحريم ذهابه إلى بعض) من نسائه (ودعاء بعض) منهن لمسكنه لما فيه من الوحشة، ولما في تفضيل بعضهن على بعض من ترك العدل. والثاني: لا كما له المسافرة ببعض دون بعض، وهذا ما نص عليه في الإملاء، وقطع به العراقيون وغيرهم.
وأجاب من قال بالأول. قال الأذرعي: وهم الأقلون عن القياس على المسافرة بأنها تكون بالقرعة، وهي تدفع الوحشة وإن أقرع هنا. قال الرافعي: وجب أن يجوز، وعبر في الروضة بقوله: ينبغي القطع بالجواز أن يحمل النص على ما إذا كان ثم عذر كما نبه على ذلك بقوله (إلا لغرض كقرب مسكن من مضى إليها) دون الأخرى (أو خوف عليها) لكونها جميلة مثلا دون غيرها لكونها دميمة أو حصل تراض أو قرعة كما مر فلا يحرم عليه ما ذكر، ويلزم من دعاها الإجابة، فإن أبت بطل حقها.
(ويحرم أن يقيم بمسكن واحدة) منهن (ويدعوهن) أي من بقي منهن (إليه) لأن إتيان بيت الضرة شاق على النفس، ولا يلزمهن الإجابة، فإن أجبن فلصاحبة البيت المنع، وإن كان البيت ملك الزوج؛ لأن حق السكنى فيه لها كما قاله ابن داود.
تنبيه: التعبير بالإقامة يقتضي الدوام، وبحث الزركشي أن الحكم كذلك ولو مكث أياما لا على نية الإقامة وهو ظاهر، ولو رضين كلهن بذلك جاز، ولو قال: إلا برضاهن كالتي بعدها لكان أولى.
(و) يحرم (أن يجمع) ولو ليلة واحدة (بين ضرتين) فأكثر (في مسكن) أي بيت واحد لما بينهما من التباغض (إلا برضاهما) فيجوز الجمع بينهما؛ لأن الحق لهما، ولو رجعا بعد الرضا كان لهما ذلك.
تنبيه: التعبير بالمسكن يقتضي أنه لا يلزمه في السفر إفراد كل واحدة بخيمة ومرافق، وهو ظاهر لما في إيجاب ذلك من الضرر بالزوج، وضرر الزوجات لا يتأبد فيحتمل، وإذا رضيتا بالبيت الواحد. قال الشيخان: كره أن يطأ إحداهما بحضرة الأخرى؛ لأنه بعيد عن وله أن يرتب القسم على ليلة ويوم قبلها أو بعدها.
والأصل الليل، والنهار تبع، فإن عمل ليلا وسكن نهارا كحارس فعكسه.
وليس للأول دخول في نوبة على أخرى ليلا إلا لضرورة كمرضها المخوف،

Dalam kitab Mughni al-Muhtaj dijelaskan:
Suami Ia juga berhak memanggil mereka ke tempat tinggalnya, dan mereka wajib memenuhi panggilannya, kecuali jika ada uzur seperti sakit. Jika seorang istri menolak tanpa uzur, maka ia dianggap nusyuz (durhaka). Jika ada uzur seperti sakit, maka ia diberi keringanan dan tetap berhak atas gilirannya.

Imam al-Mawardi menyebutkan bahwa jika seorang istri sakit hingga tidak mampu berpindah ke tempat suaminya, maka suami harus mengutus seseorang untuk membawanya ke sana. Pendapat ini dibedakan oleh Ibn Kij antara sakit yang membuat seseorang benar-benar tidak mampu berpindah dan sakit ringan yang masih memungkinkan perpindahan.

Adapun jika seorang istri adalah wanita yang terhormat dan terbiasa menjaga diri dari keluar rumah, maka ia tidak diwajibkan untuk memenuhi panggilan suami ke rumahnya. Sebagai gantinya, suami wajib memberikan gilirannya di rumah istri tersebut. Pendapat ini dianggap baik oleh al-Adzra’i meskipun dinilai asing oleh al-Ruyani.

Jika ada hujan lebat atau jalanan berlumpur, maka jika suami menyediakan kendaraan dan pelindung dari hujan, maka tidak ada uzur untuk tidak datang. Namun, jika tidak ada fasilitas tersebut, maka hal itu bisa menjadi alasan yang dibenarkan, tergantung pada kondisi masing-masing orang.

Pendapat yang lebih shahih menyatakan bahwa haram bagi suami untuk hanya mendatangi sebagian istri sementara yang lain hanya dipanggil ke rumahnya. Hal ini karena dapat menimbulkan rasa sepi bagi istri yang tidak didatangi serta menimbulkan ketidakadilan. Pendapat kedua menyatakan bahwa hal ini boleh dilakukan, sebagaimana bolehnya suami bepergian dengan sebagian istrinya tanpa yang lain.

Jika ada alasan tertentu, seperti rumah istri yang dikunjungi lebih dekat dibanding yang lain, atau karena kekhawatiran terhadap keselamatan istri, seperti jika ia lebih cantik dibanding yang lain sehingga berisiko mendapat gangguan, atau jika ada kerelaan dan diundi melalui undian, maka tidak diharamkan. Istri yang dipanggil wajib datang, dan jika ia menolak, maka haknya atas giliran suami gugur.

Haram bagi suami untuk tinggal di rumah salah satu istrinya dan hanya memanggil yang lain untuk datang kepadanya, karena hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman bagi istri yang lain. Mereka tidak wajib memenuhi panggilannya, dan jika mereka tetap datang, maka istri pemilik rumah berhak menolak kehadiran mereka, meskipun rumah itu milik suami, karena hak tinggal tetap milik istri yang menjadi penghuninya.

Suatu catatan penting adalah bahwa istilah “tinggal” menunjukkan kondisi menetap dalam waktu lama. Namun, menurut al-Zarkasyi, hukum ini tetap berlaku meskipun suami hanya tinggal beberapa hari tanpa niat menetap. Jika semua istri rela, maka hal ini diperbolehkan.

Haram bagi suami untuk mengumpulkan dua istri atau lebih dalam satu tempat tinggal, bahkan untuk satu malam, karena kebencian yang bisa timbul di antara mereka, kecuali jika mereka rela. Jika mereka telah rela tetapi kemudian berubah pikiran, maka mereka berhak untuk menarik kembali persetujuannya.

Dalam perjalanan, tidak wajib bagi suami untuk menyediakan tenda dan fasilitas terpisah bagi masing-masing istri, karena hal itu menyulitkan. Namun, jika mereka rela berbagi tempat tinggal, maka hal ini diperbolehkan.

Para ulama sepakat bahwa makruh hukumnya jika suami berhubungan intim dengan salah satu istri di hadapan istri yang lain, karena hal itu bertentangan dengan adab dan kehormatan.

Suami boleh mengatur pembagian waktu dengan istri-istrinya, baik berdasarkan malam hari maupun siang hari sebelumnya atau sesudahnya. Namun, hukum asalnya adalah malam hari, sedangkan siang hari hanyalah konsekuensinya. Jika suami bekerja malam hari dan beristirahat di siang hari, maka aturan ini bisa dibalik.

Suami tidak boleh memasuki rumah istri lain di luar giliran tanpa alasan darurat, seperti jika istri tersebut sakit parah.

Kesimpulan

Jika istri menolak pindah ke rumah suami tanpa alasan yang syar’i (misalnya, rumah suami tidak layak, ada kekerasan, atau ada bahaya lainnya), maka ia dianggap nusyuz dan kehilangan hak nafkahnya. Namun, jika ada uzur yang dapat diterima menurut syariat, maka suami tidak boleh memaksanya.

Wallahu a’lam.

Kategori
Uncategorized

Hukum dan Keutamaan Ziarah ke Makam Auliya’ dan Kedua Orang Tua dalam Perspektif Syariah

 

Assalamualaikum

Latar Belakang:

Ziarah kubur merupakan salah satu amalan yang dianjurkan dalam Islam untuk mengingatkan manusia akan kematian serta mendoakan orang-orang yang telah meninggal. Dalam praktiknya, masyarakat memiliki kebiasaan berziarah ke makam orang tua, kerabat, serta para wali atau auliya’. Namun, muncul perbedaan pandangan di tengah masyarakat terkait keutamaan antara ziarah ke makam auliya’ atau kedua orang tua. Ada pula yang berpendapat bahwa seseorang tidak boleh berziarah ke makam auliya’ jika belum berziarah ke makam orang tuanya.

Pertanyaan
  1. Bagaimana hukum ziarah ke Maqbaroh Aulia’ dan kedua orang tua?
  2. Adakah yg lebih utama di antara keduanya?.
  3. Ada dua persepsi di masyarakat  diantara mereka berkata tidak usah ziarah ke maqbarah Aulia’ jika tidak ziarah kemaqbaroh  kedua orang tuanya tolong hal ini di jawab secara syar’ie!


Waalaikum salam

Jawaban
  1. Hukum Ziarah ke Maqbarah Auliya’ dan Kedua Orang Tua

Ziarah kubur, baik ke makam para wali (Auliya’) maupun ke makam kedua orang tua, hukumnya sunnah berdasarkan banyak dalil dari hadis Nabi ﷺ. Di antaranya:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ، فَزُورُوهَا، فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْآخِرَةَ

“Dulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) ziarahlah, karena ziarah itu mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Muslim No. 977)

Referensi:

(الدخيرة الثمينة،صحيفة ٦٤)

وقد تواتر ان الشافعي زار الليث بن سعد واثنى خيرا وقراء عنده ختمة،وقال ارجو ان تدوم فكان الاءمر كذالك


( kitab Addakhiirotutstsamiinah, halaman 64 ).

Dan sungguh di riwayatkan secara mutawatir (diriwayatkan oleh banyak ulama’) sesungguhnya imam Syafi’i itu berziaroh kepada kuburan gurunya imam Syafi’i yang bernama Laits ibnu Sa’din, dan imam Syafi’i itu memuji kebaikannya gurunya,dan imam Syafi’i membaca di samping kuburan gurunya itu satu kali Khatam Al Quran.Dan imam Syafi’i berkata:Aku berharap bahwa berziaroh ke kuburannya para waliyulloh dan menghatamkan Al Qur’an di samping kuburannya waliyulloh itu bisa di laksanakan untuk selamanya. Dan adalah perkaranya itu adalah seperti apa yang di katakan oleh imam Syafi’i

تنوير القلوب للسيد آمين الكردي ص ٤٦٩
. قال بعض المشايخ : إن الله يوكل بقبر الولى ملكا يقضى الحوائج وتارة يخرج الولى من قبره ويقضيها بنفسه )
.”

Sebagian ulama sufi berkata: “Sesungguhnya Allah mewakilkan seorang malaikat di kuburan wali untuk memenuhi berbagai hajat manusia. Terkadang wali itu sendiri keluar dari kuburnya dan langsung memenuhi hajat tersebut.”

Ziarah ke makam orang tua juga memiliki keutamaan tersendiri, sebagaimana dalam hadis:

مَن زارَ قَبرَ أبَوَيهِ، أو أحدِهِما كُلَّ جُمُعةٍ، غُفِرَ له وكُتِبَ بارًّا


“Barang siapa yang menziarahi kubur kedua orang tuanya atau salah satunya setiap hari Jumat, maka diampuni dosanya dan dicatat sebagai anak yang berbakti.” (HR. At-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir No. 261, dengan sanad yang dha’if tetapi didukung oleh riwayat lain).

Ziarah ke makam para Auliya’ juga dianjurkan untuk mengambil pelajaran dari kehidupan mereka yang saleh, serta untuk bertawassul dengan doa yang sesuai syariat. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (5/310) mengatakan:

وَيُسْتَحَبُّ زِيَارَةُ قُبُورِ الصَّالِحِينَ وَالْعُلَمَاءِ لِبَرَكَتِهِمْ وَالتَّأَسِّي بِهِمْ

“Dianjurkan ziarah ke makam orang-orang saleh dan ulama untuk mendapatkan berkah mereka dan mengambil teladan dari mereka.”

2. Mana yang Lebih Utama?

Dalam hal keutamaan, ziarah ke makam orang tua lebih utama karena merupakan bentuk birrul walidain (berbakti kepada orang tua) yang tetap berlangsung meskipun mereka telah wafat. Dalilnya:

إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ


“Sesungguhnya di antara kebaktian yang paling utama adalah seseorang menyambung hubungan dengan sahabat ayahnya setelah ayahnya meninggal.” (HR. Muslim No. 2552)

Sedangkan ziarah ke makam Auliya’ juga memiliki keutamaan dalam rangka mengingat akhirat dan meneladani mereka, tetapi dari sisi prioritas, ziarah ke makam orang tua lebih utama karena ada unsur bakti kepada mereka.

3. Apakah Tidak Sah Ziarah ke Auliya’ Jika Tidak Ziarah ke Orang Tua?

Pernyataan bahwa seseorang tidak boleh ziarah ke wali jika belum ziarah ke orang tua tidak memiliki dasar dalam syariat. Kedua bentuk ziarah tersebut dianjurkan secara terpisah dan tidak saling menggugurkan.
Namun, dari sisi adab, sebaiknya seseorang mendahulukan ziarah ke orang tua, karena itu adalah bentuk bakti yang diperintahkan. Tetapi jika seseorang hanya mampu ziarah ke salah satunya, maka itu tetap bernilai ibadah dan tidak berdosa.

Kesimpulan

Hukum ziarah kubur, baik ke orang tua maupun wali, adalah sunnah dan dianjurkan untuk mengingat akhirat.

Ziarah ke makam orang tua lebih utama karena termasuk bentuk birrul walidain (bakti kepada orang tua).

Tidak ada larangan syar’i untuk ziarah ke makam wali tanpa terlebih dahulu ziarah ke orang tua, tetapi dari sisi adab, mendahulukan orang tua lebih baik. Apalagi setelah itu ( mendahulukan orang tua ) lalu ke maqbarah waliyullah.

Referensi:
  1. Shahih Muslim No. 977, 2552
  2. kitab Addakhiirotutstsamiinah, halaman 64
  3. Tanwirul Qulub hal 469
  4. Al-Majmu’ (5/310) oleh Imam An-Nawawi
  5. Al-Mu’jam Al-Kabir oleh At-Thabarani No. 261

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Ketik Pencarian