Assamualaikum
Deskripsi Masalah
Di tengah gemerlap kota Riyadh, Uyuuni, seorang perawat asal Indonesia,suku Madura menemukan tambatan hatinya pada Nonog Efendi, seorang pengusaha muda Saudi yang memiliki visi modern namun tetap menjunjung tinggi tradisi. Cinta mereka melampaui perbedaan budaya dan bahasa. Ketika hari pernikahan tiba, ayah Uyuuni/wakil , dengan haru, mengucapkan ijab dalam bahasa Arab yang lembut. Nonong Efendi, dengan senyum tulus, menjawab kabul dalam bahasa Madura yang fasih. Meskipun berbeda dalam lafal, cinta dan kesepahaman yang mendalam di antara mereka menjadi saksi bisu bahwa hati dapat berkomunikasi melampaui batas-batas linguistik. Para saksi dan keluarga kedua belah pihak merasakan kehangatan dan ketulusan dalam momen sakral tersebut, menyadari bahwa esensi pernikahan terletak pada komitmen dan cinta, bukan semata-mata pada keseragaman bahasa.
Pertanyaan
Sahkah akad nikah beda bahasa: Ijab Arab, Kabul Madura)?
Waalaikumsalam
Jawaban
Ulama fiqih sepakat bahwa ijab kabul dengan bahasa berbeda hukumnya sah walaupun dengan bahasa ajami ( Madura ) yang penting jelas difahimi maksudnya. Wallahu A’lam Bisshowab.
Referensi:
[البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٣. ٣١٨-٣١٩
(قوله: أي ترجمة أحد اللفظين) أي الإيجاب والقبول، ومثله ترجمة اللفظين معا، فقوله أحد ليس بقيد (قوله: بأي لغة) أي من لغة العجم، والمراد بها ما عدا العربية (قوله: ولو ممن يحسن العربية) غاية في الصحة: أي صحة النكاح بترجمته بما عدا لغة العرب، ولو ممن يحسن العربية.
وهي للرد، كما يفيده عبارة المغني ونصها بعد قول المنهاج: ويصح بالعجمية في الأصح، والثاني لا تصح اعتبارا باللفظ الوارد، والثالث إن عجز عن العربية صح، وإلا فلا.
والمراد بالترجمة ترجمة معناه اللغوي كالضم، فلا ينعقد بألفاظ اشتهرت في بعض الاقطار للانكاح – كما أفتى به شيخنا المحقق الزمزمي – ولو عقد القاضي النكاح بالصيغة العربية لعجمي لا يعرف معناها الاصلي بل يعرف أنها موضوعة لعقد النكاح صح – كذا أفتى به شيخنا، والشيخ عطية – وقال في شرحي الارشاد والمنهاج: أنه لا يضر لحن العامي – كفتح تاء المتكلم، وإبدال الجيم زايا، أو عكسه.
وينعقد بإشارة أخرس مفهمة وقيل
ـــــــــــــــــــــــــــــ
نفسه وكلام الآخر: سواء اتفقت لغتهما أم اختلفت، فإن فهمها ثقة دونهما وأخبرهما بمعناها: فإن كان بعد الإتيان بها لم يصح، أو قبله صح، إن لم يطل الفصل، على الأوجه
Kitab I’ānat ath-Thālibīn (3/318-319):
“(Perkataan mushannif: yaitu terjemahan salah satu dari dua lafazh) maksudnya adalah terjemahan lafazh ijab dan kabul. Demikian pula terjemahan kedua lafazh secara bersamaan. Jadi, perkataan ‘salah satu’ tidaklah menjadi pembatas.
(Perkataannya: dengan bahasa apapun) maksudnya dari bahasa ‘ajam (non-Arab). Yang dimaksud dengannya adalah bahasa selain bahasa Arab.
(Perkataannya: walaupun dari orang yang fasih berbahasa Arab) ini adalah ghayah (puncak) dalam hal keabsahan, yaitu sahnya nikah dengan terjemahannya ke dalam bahasa selain Arab, walaupun dari orang yang fasih berbahasa Arab.
Kata wa hiya lir-radd (dan ini untuk menolak), sebagaimana yang difahami dari ungkapan kitab al-Mughni dan nashnya setelah perkataan kitab al-Minhaj: ‘Dan sah (nikah) dengan bahasa ‘ajam menurut pendapat yang lebih shahih. Pendapat kedua mengatakan tidak sah, dengan pertimbangan lafazh yang warid (datang dari syara’). Pendapat ketiga mengatakan jika tidak mampu berbahasa Arab maka sah, jika mampu maka tidak sah.’
Yang dimaksud dengan terjemahan adalah terjemahan makna lughawi (bahasa) seperti kata adh-dhammu (mengumpulkan). Maka tidak sah akad nikah dengan lafazh yang masyhur di sebagian daerah untuk pernikahan – sebagaimana fatwa guru kami al-Muhaqqiq az-Zamzami –. Walaupun seorang qadhi (hakim) menikahkan dengan sighat (ucapan akad) bahasa Arab kepada orang ‘ajam yang tidak mengetahui makna aslinya, tetapi mengetahui bahwa lafazh tersebut diperuntukkan untuk akad nikah, maka sah – demikian fatwa guru kami, dan Syaikh Athiyyah –. Beliau berkata dalam syarah (penjelasan) kitab al-Irshad dan al-Minhaj: bahwa tidak mengapa lafazh yang salah dari orang awam – seperti memfathahkan ta’ mutakallim (kata ganti orang pertama), mengganti huruf jim dengan zai, atau sebaliknya.
Dan sah akad nikah dengan isyarat orang bisu yang dapat difahami, dan dikatakan…”
Dirinya sendiri dan perkataan orang lain: Baik bahasa keduanya sama maupun berbeda, maka pemahamannya adalah kepercayaan tanpa keduanya. Dan beritahukan keduanya maknanya: jika setelah mengucapkannya tidak sah, atau sebelumnya sah, jika tidak terlalu lama jedanya, menurut pendapat yang kuat.
وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي،٥ ٦
الألفاظ غير العربية
الألفاظ غير العربية: اتفق أكثر الفقهاء على أن الأجنبي غير العربي العاجز عن النطق بالعربية يصح انعقاد زواجه بلغته التي يفهمها ويتكلم بها؛ لأن العبرة في العقود للمعاني، ولأنه عاجز عن العربية، فسقط عنه النطق بالعربية كالأخرس. وعليه أن يأتي بمعنى التزويج أو الإنكاح بلسانه، بحيث يشتمل على معنى اللفظ العربي.
أما إذا كان العاقد يحسن التكلم بالعربية: فيجوز عند الجمهور في الأصح عند الشافعية النطق بكل لغة يمكن التفاهم بها؛ لأن المقصود هو التعبير عن الإرادة، وذلك واقع كل لغة، ولأنه أتى بلفظه الخاص، فانعقد به، كما ينعقد بلفظ العربية.ا. والله أعلم بالصواب
Fiqh al-Islāmi wa Adillatuh (9/6526):
Lafazh selain bahasa Arab: Mayoritas fuqaha bersepakat bahwa orang asing non-Arab yang tidak mampu mengucapkan bahasa Arab, sah akad nikahnya dengan bahasa yang ia fahami dan ia gunakan untuk berbicara; karena yang menjadi pertimbangan dalam akad adalah maknanya, dan karena ia tidak mampu berbahasa Arab, maka gugurlah kewajiban mengucapkan bahasa Arab darinya, seperti halnya orang bisu. Dan ia wajib mengucapkan lafazh yang mengandung makna tazwij (menikahkan) atau inkah (menikahkan) dalam bahasanya, sehingga mencakup makna lafazh bahasa Arab.
Adapun jika orang yang berakad mampu berbicara dengan bahasa Arab: maka menurut jumhur (mayoritas ulama) dalam pendapat yang lebih shahih menurut ulama Syafi’iyah, boleh mengucapkan dengan bahasa apapun yang dapat dipahami; karena maksudnya adalah mengungkapkan kehendak, dan hal itu terwujud dalam setiap bahasa, dan karena ia telah mengucapkan dengan lafazh khususnya, maka sah akad dengannya, sebagaimana sah dengan lafazh bahasa Arab. Wallahu a’lam bish-shawab (Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran).”