Kategori
Uncategorized

HUKUMNYA CALON PENGANTIN PEREMPUAN BERSANDING DENGAN CALON PENGANTIN LAKI-LAKI KETIKA AKAD NIKAH.

Assalamualaikum.Deskripsi masalah .Sebagaima yang kita maklumi bahwa syarat sahnya nikah itu ada empat, yaitu wali, mempelai pria, dan dua orang saksi yang adil”

.ﻳُﺸْﺘَﺮَﻁُ ﻓِﻲْ ﺻِﺤَّﺔِ ﻋَﻘْﺪِ ﺍﻟﻨِّﻜَﺎﺡِ ﺣُﻀُﻮْﺭُ ﺃَﺭْﺑَﻌَﺔٍ ﻭَﻟِﻲٍّ ﻭَﺯَﻭْﺝٍ ﻭَﺷَﺎﻫِﺪَﻱْ ﻋَﺪْﻝٍ .

“Disyaratkan hadirnya empat orang dalam rangka sahnya akad nikah, yaitu wali, mempelai pria, dan dua orang saksi yang adil”.Namun yang terjadi dimasyarat itu terkadang cantin perempuan atau calon Istri itu ikut hadir dalam acara akad nikah bersanding bersama cantin laki-laki, sehingga dilihat dan disaksikan oleh undangan, bahkan ketika akad dianggap sah lalu suami bersalaman kepada semua undangan sementara istrinya menyemprotkan parfom kepada para undangan.

Pertanyaannya.

Bagaimana menurut hukum Islam terkait cantin perempuan bersanding dengan cantin laki-laki ketika akad nikah ..? Mohon jawabannya beserta dalilnya Wahai para kiyai.

Jawaban.

Sebelum akad dilaksanakan sebenarnya perempuan itu hanya sebatas calon istri bukanlah istri karena akad belum dilaksanakan, namun jika tujuannya untuk memperlihatkan dan mempersaksikan agar diketahui oleh para undangan bahwa cantin itu setelah akad dinyatakan sah adalah istrinya maka dalam kondisi sedemikian hukumnya boleh dengan syarat tidak menimbulkan fitnah karena pada umumnya yang menyaksikan para undangan itu adalah para laki-laki, akan tetapi jika hal tersebut menimbulkan fitnah misalkan dengan ikut dihadirkannya cantin bisa menyebabkan simpati dan syahwat diantara undangan maka hukumnya tidak boleh karena hadirnya calon istri dalam akad itu bukan syarat sahnya akad sebagaimana deskripsi.Jadi walaupun tidak hadir dan menyaksikan dengan berganding bersama calon suami tidak mengurangi terhadap syarat sahnya akad nikah.

(ادب الاءسلام،صحيفة ٦٠)ويستحب اظهاره واعلانه واشهاره بين الناس ليشهده الخاص والعام لقوله صلى الله عليه وسلم اعلنوا النكاح واجعلوه في المساجد واضربوا علبه بالدفوف،وفي روايته فافصل بين الحلال والحرام والاءعلان.وينبغي ان تحذر من الاءسراف والتفاخر في المظاهر الذي يسبب كثيرا من الفتن والمضار الدينية والدنيوية،وينبغي ان تجتنب العادة الفاسدة التي تجري بين الناس اليوم كدخول الزوج بين النساء ودخول اخوانه واهله معه واختلاط هؤلاء باءهل الزوجة واقاربها واخذهم الصور الفتوغرافية دون حياء من الله ودون غيرة على الحرمات – الى ان قال – وهو لعمري قبيح وبالحرمين اقبح.(رواءع البيان،جز ٢,صحيفة ١٦٧)

Dan disunnatkan untuk menampakkan nikah , mengumumkannya, dan memasyhurkannya sehingga publik dan pribadi dapat menyaksikannya, karena berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW: “Umumkan pernikahan dan lakukan di masjid-masjid. , dan pukul kotaknya dengan rebana.” Hindari kebiasaan buruk yang terjadi di kalangan manusia saat ini, seperti masuknya suami ke kalangan perempuan, masuknya saudara laki-laki dan keluarganya bersamanya, mencampurkan mereka dengan milik istri. keluarga dan kerabat, dan mereka mengambil foto tanpa rasa malu dari Tuhan dan tanpa kecemburuan atas banyak keharaman. 167)

ينبغي على الرجال ان يمنعوا النساء من كل ما يؤدي الى الفتنة والاءغراء كخروجهن بملابس ضيقة او ذات الوان جذابة ورفع اصواتهن وتعطرهن اذا خرجن للاءسواق وتبخترهن في المشية وتكسرهن في الكلام

Selayaknya orang Laki-laki itu harus mencegah perempuan dari segala hal yang mengarah pada hasutan dan godaan, seperti mereka keluar dengan pakaian ketat atau warna menarik, meninggikan suara mereka, memakai parfum ketika mereka pergi ke pasar, berjalan mondar-mandir, dan mereka melanggar terhadap kalam.

Referensi:

(رواءع البيان،جز ٢,صحيفة ١٦٧)وذهب ابن كثير رحمه الله الى ان المراءة منهية عن كل شيء يلفت النظر اليها او يحرك شهوة الرجال نحوها،ومن ذلك انها تنهى عن التعطر والتطيب عند خروجها من بيتها فيشم الرجال طيبها

Menut Ibnu Katsir: Seorang wanita diharamkan dari segala sesuatu yang menarik perhatiannya atau membangkitkan hasrat laki-laki terhadapnya, dan dari itu dia mengharamkan minyak wangi dan wewangian ketika dia keluar dari rumahnya agar laki-laki mencium baunya.

Kesimpulan

Terkait hal calon istri ikut hadir dalam acara nikah dengan cara bersanding bersama calon suami dengan tujuan untuk diketahui bahwa dirinya adalah istrinya setelah akad disahkan hukumya boleh dengan syarat tidak menimbulkan fitnah , namun alangkah baiknya untuk menjaga hal- hal yang tidak diinginkan seperti halnya fitnah lebih baik Calon istri tersebut tidak perlu ikut hadir dalam acara akad karena hadirnya calon istri bukanlah syarat sahnya nikah melainkan bagaimana Calon istri itu sebisa mungkin berada dikamar pengantinya bersabar menunggu kedatangan sang suaminya yang telah diakad sah oleh wali nikah, karena hal itu merupakan pertemuan pertama hidup berkeluarga secara halal dan sah menurut agama maupun pemerintah.

Wallahu A’lam bisshowab

Kategori
Uncategorized

HUKUM MEMAJANGKAN/ MEMAMERKAN PENGANTIN

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Dalam tradisi masyarakat, setiap resepsi pernikahan umumnya terdapat tempat khusus untuk kedua mempelai yang disebut dengan pelaminan, kuade, atau pajangan. Tempat ini berfungsi sebagai area untuk menampilkan pengantin kepada para tamu undangan, sehingga mereka dapat melihat langsung kedua mempelai, bahkan berfoto bersama untuk mengabadikan momen tersebut. Dalam praktiknya, pengantin sering kali berhias secara khusus sebelum ditempatkan di kuade. Selain itu, kuade atau pelaminan ini biasanya disewa dari penyedia jasa dekorasi pernikahan.

Pertanyaan:

Bagaimana hukum pengantin yang berhias dan dipajang di kuade sebagaimana deskripsi di atas? Bagaimana hukum menyewa kuade dalam acara pernikahan?

Waalaikum salam
Jawaban:

Hukum pengantin berhias dan berdandan dengan memajangkan diri di atas pentas atau pelaminan (kuade) ditafsil:

1. Haram, jika menimbulkan kemaksiatan, seperti dipertontonkan dan dilihat oleh orang banyak yang bukan mahramnya.


2. Boleh dan tidak haram, jika tidak menimbulkan fitnah atau kemaksiatan. Misalnya, sekadar untuk berfoto bersama keluarga guna mengabadikan momen pernikahan tanpa melibatkan orang lain yang bukan mahram.


3. Haram, jika bercampur baur antara kerabat dekat dan jauh dari pihak suami dan istri, karena menimbulkan ikhtilat (percampuran laki-laki dan perempuan yang bukan mahram).

 

Dalil-dalil yang mendukung:

1. Kitab Ihya Ulumuddin (Juz 2, hal. 160):

“Menghasilkan sesuatu yang dapat menimbulkan kemaksiatan adalah suatu kemaksiatan. Yang dimaksud dengan sesuatu yang dapat menimbulkan kemaksiatan adalah hal yang berpotensi besar menyebabkan seseorang terjerumus dalam maksiat, sehingga ia tidak dapat menghindar darinya.”


2. Kitab Adab al-Islam (hal. 60):

“Disunnahkan untuk menampakkan dan mengumumkan pernikahan, agar diketahui oleh khalayak, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: ‘Umumkanlah pernikahan dan lakukan di masjid-masjid, serta pukullah rebana.’ Namun, hendaknya menghindari sikap berlebihan dan pamer yang dapat menimbulkan banyak fitnah dan dampak negatif, baik dalam urusan agama maupun dunia. Demikian pula, kebiasaan buruk yang berkembang saat ini, seperti pengantin pria masuk ke kerumunan wanita, saudara-saudara laki-lakinya ikut serta, serta bercampur dengan keluarga istri tanpa rasa malu dan tanpa memperhatikan batasan agama.”


3. Kitab Rawa’i al-Bayan (Juz 2, hal. 167):

“Laki-laki wajib mencegah perempuan dari segala sesuatu yang dapat menimbulkan fitnah, seperti mengenakan pakaian ketat, berwarna mencolok, meninggikan suara, memakai wewangian ketika keluar rumah, berjalan dengan cara yang menggoda, dan berbicara dengan suara yang dibuat-buat.”


4. Kitab Fatwa al-Fiqhiyyah al-Kubro (Juz 1, hal. 199-200):

“Jika seorang wanita menampilkan dirinya dengan tujuan diperlihatkan, maka hukumnya tetap haram, meskipun ia menutupi auratnya. Bahkan jika tanpa niat diperlihatkan, tetapi menimbulkan syahwat bagi orang lain yang melihatnya, maka tetap haram.”

 

Kesimpulan:
Berdasarkan dalil-dalil di atas, pengantin yang berhias dan tampil di pelaminan hukumnya haram jika menimbulkan fitnah atau kemaksiatan, meskipun auratnya tertutup. Namun, diperbolehkan jika hanya untuk berfoto bersama keluarga tanpa adanya campur baur dan tanpa memancing perhatian laki-laki yang bukan mahram.

Jawaban No. 2: Hukum Menyewa Kuade untuk Pernikahan

Menyewa kuade atau pelaminan dalam acara pernikahan hukumnya mubah (boleh) selama tidak ada unsur yang bertentangan dengan syariat, seperti pemborosan (israf), kesombongan (takabbur), atau kemaksiatan lainnya.

1. Dalil Kebolehan Menyewa Kuade

Islam tidak melarang seseorang untuk berhias dan membuat acara pernikahan lebih indah selama tetap dalam batasan syariat. Dalam hadits Rasulullah ﷺ disebutkan:

“إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ”


“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Jika penyewaan kuade bertujuan untuk memperindah acara tanpa melanggar aturan syariat, maka hukumnya boleh.

2. Larangan dalam Penyewaan Kuade

Namun, jika penyewaan kuade disertai dengan unsur yang melanggar syariat, seperti:

Bermegah-megahan hingga melampaui batas kewajaran (mubazir). Menimbulkan campur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (ikhtilat). Adanya pertunjukan musik atau hiburan yang mengarah kepada kemaksiatan.

Maka hukumnya menjadi haram, sebagaimana dalam firman Allah:

“وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا، إِنَّ ٱلْمُبَذِّرِينَ كَانُوا۟ إِخْوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِ”


“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros itu adalah saudara setan.”
(QS. Al-Isra: 26-27)

Dalam Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali juga menyebutkan

وَتَحْصِيْلُ مَظِنَّةِ الْمَعْصِيَةِ مَعْصِيَةٌ


“Menciptakan sesuatu yang dapat menimbulkan kemaksiatan, hukumnya juga maksiat.”
(Ihya’ Ulumuddin, Juz 2, hal. 160)

3. Kesimpulan Boleh menyewa kuade jika hanya sebagai hiasan dan tidak melanggar syariat. Haram jika disertai pemborosan, kesombongan, atau kemaksiatan lainnya. Disunnahkan mengadakan pernikahan dengan sederhana namun tetap meriah, tanpa melampaui batas.

Referensi:

إحياء علوم الدين الجزء الثاني صحـ 160وَتَحْصِيْلُ مَظِنَّةِ الْمَعْصِيَةِ مَعْصِيَةٌ وَنَعْنِي بِالْمَظِنَّةِ مَا يَتَعَرَّضُ الْإِنْسَانُ لِوُقُوْعِ الْمَعْصِيَةِ غَالِباً بِحَيْثُ لَا يَقْدِرُ عَلَى الْاِنْكِفَافُ عَنْهَا

Dan menghasilkan pada prasangka kemaksiatan, dan yang kami maksud dengan prasangka curiga adalah apa yang diperlihatkan seseorang dapat menimbulkan terjadinya kemaksiatan, dengan sedemikian rupa sehingga tidak dapat berpaling darinya.(mengilak darinya)

(ادب الاءسلام،صحيفة ٦٠)
ويستحب اظهاره واعلانه واشهاره بين الناس ليشهده الخاص والعام لقوله صلى الله عليه وسلم اعلنوا النكاح واجعلوه في المساجد واضربوا علبه بالدفوف،وفي روايته فافصل بين الحلال والحرام والاءعلان.وينبغي ان تحذر من الاءسراف والتفاخر في المظاهر الذي يسبب كثيرا من الفتن والمضار الدينية والدنيوية،وينبغي ان تجتنب العادة الفاسدة التي تجري بين الناس اليوم كدخول الزوج بين النساء ودخول اخوانه واهله معه واختلاط هؤلاء باءهل الزوجة واقاربها واخذهم الصور الفتوغرافية دون حياء من الله ودون غيرة على الحرمات – الى ان قال – وهو لعمري قبيح وبالحرمين اقبح.

Dan disunnatkan untuk menampakkan nikah dan mengumumkannya dan memperlihatkannya, mengumumkannya, dan mengumumkannya agar publik dan pribadi dapat menyaksikannya, karena berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW,: “Umumkan pernikahan dan lakukan di masjid-masjid. , dan pukul kotaknya dengan rebana.” Hindari kebiasaan buruk yang terjadi di kalangan manusia saat ini, seperti masuknya suami ke kalangan perempuan, masuknya saudara laki-laki dan keluarganya bersamanya, mencampurkan mereka dengan milik istri. keluarga dan kerabat, dan mereka mengambil foto tanpa rasa malu dari Allah dan tanpa kecemburuan atas banyaknya keharaman – 167)

(رواءع البيان،جز ٢,صحيفة ١٦٧)
ينبغي على الرجال ان يمنعوا النساء من كل ما يؤدي الى الفتنة والاءغراء كخروجهن بملابس ضيقة او ذات الوان جذابة ورفع اصواتهن وتعطرهن اذا خرجن للاءسواق وتبخترهن في المشية وتكسرهن في الكلام

Hendaknya para lelaki mencegah para wanita dari segala sesuatu yang dapat menimbulkan fitnah dan menggoda, seperti keluar dengan pakaian ketat atau berwarna mencolok, meninggikan suara mereka, memakai wewangian saat keluar ke pasar, berjalan dengan cara yang menggoda, serta berbicara dengan gaya yang dibuat-buat dan dilembut-lembutkan.

Oleh karenanya Seorang wanita diharamkan dari segala sesuatu yang menarik perhatiannya atau membangkitkan hasrat laki-laki terhadapnya, dan dari itu dia mengharamkan minyak wangi dan wewangian ketika dia keluar dari rumahnya agar laki-laki mencium baunya.

Bagaimana jika kedua pengantin menutupi aurat apakah masih haram hukumnya. Maka jawabannya tetap haram karena niatannya adalah untuk diperlihatkan, bahkan walaupun tanpa ada tujuan untuk diperlihatkan tetapi orang lain melihat sehingga menarik syahwat maka hukumnya haram sebagaimana keterangan dalam kitab Fatwa al-Fiqhiyah al-Qubro berikut:


Referensi:

الفتاوى الفقهية الكبرى – (ج ١ /ص ١٩٩-٢٠٠)
(ﻭﺳﺌﻞ) – ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ – ﺃﻧﻪ ﻗﺪ ﻛﺜﺮ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ اﻷﺯﻣﻨﺔ ﺧﺮﻭﺝ اﻟﻨﺴﺎء ﺇﻟﻰ اﻷﺳﻮاﻕ ﻭاﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻟﺴﻤﺎﻉ اﻟﻮﻋﻆ ﻭﻟﻠﻄﻮاﻑ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﻓﻲ ﻣﺴﺠﺪ ﻣﻜﺔ ﻋﻠﻰ ﻫﻴﺌﺎﺕ ﻏﺮﻳﺒﺔ ﺗﺠﻠﺐ ﺇﻟﻰ اﻻﻓﺘﺘﺎﻥ ﺑﻬﻦ ﻗﻄﻌﺎ، ﻭﺫﻟﻚ ﺃﻧﻬﻦ ﻳﺘﺰﻳﻦ ﻓﻲ ﺧﺮوجهن ﻟﺸﻲء ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻗﺼﻰ ﻣﺎ ﻳﻤﻜﻨﻬﻦ ﻣﻦ ﺃﻧﻮاﻉ اﻟﺰﻳﻨﺔ ﻭاﻟﺤﻠﻲ ﻭاﻟﺤﻠﻞ ﻛﺎﻟﺨﻼﺧﻴﻞ ﻭاﻷﺳﻮﺭﺓ ﻭاﻟﺬﻫﺐ اﻟﺘﻲ ﺗﺮﻯ ﻓﻲ ﺃﻳﺪﻳﻬﻦ ﻭﻣﺰﻳﺪ اﻟﺒﺨﻮﺭ ﻭاﻟﻄﻴﺐ ﻭﻣﻊ ﺫﻟﻚ ﻳﻜﺸﻔﻦ ﻛﺜﻴﺮا ﻣﻦ ﺑﺪﻧﻬﻦ ﻛﻮﺟﻮﻫﻬﻦ ﻭﺃﻳﺪﻳﻬﻦ ﻭﻏﻴﺮ ﺫﻟﻚ ﻭﻳﺘﺒﺨﺘﺮﻥ ﻓﻲ ﻣﺸﻴﺘﻬﻦ ﺑﻤﺎ ﻻ ﻳﺨﻔﻰ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﻨﻈﺮ ﺇﻟﻴﻬﻦ ﻗﺼﺪا ﺃﻭ ﻻ ﻋﻦ ﻗﺼﺪ.
ﻓﻬﻞ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ اﻹﻣﺎﻡ ﻣﻨﻌﻬﻦ ﻭﻛﺬا ﻋﻠﻰ ﻏﻴﺮﻩ ﻣﻦ ﺫﻭﻱ اﻟﻮﻻﻳﺎﺕ ﻭاﻟﻘﺪﺭﺓ ﺣﺘﻰ ﻣﻦ اﻟﻤﺴﺎﺟﺪ ﻭﺣﺘﻰ ﻣﻦ ﻣﺴﺠﺪ ﻣﻜﺔ، ﻭﺇﻥ ﻟﻢ ﻳﻤﻜﻨﻬﻦ اﻹﺗﻴﺎﻥ ﺑﺎﻟﻄﻮاﻑ ﺧﺎﺭﺟﻪ ﺑﺨﻼﻑ اﻟﺼﻼﺓ ﺃﻭ ﻳﻔﺮﻕ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺑﺬﻟﻚ ﻭﻣﺎ اﻟﺬﻱ ﻳﺘﻠﺨﺺ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﻣﺬاﻫﺐ اﻟﻌﻠﻤﺎء اﻟﻤﻮاﻓﻘﻴﻦ ﻭاﻟﻤﺨﺎﻟﻔﻴﻦ ﺃﻭﺿﺤﻮا اﻟﺠﻮاﺏ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﺈﻥ اﻟﻤﻔﺴﺪﺓ ﺑﻬﻦ ﻗﺪ ﻋﻤﺖ، ﻭﻃﺮﻕ اﻟﺨﻴﺮ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺘﻌﺒﺪﻳﻦ ﻭاﻟﻤﺘﺪﻳﻨﻴﻦ ﻗﺪ اﻧﺴﺪﺕ ﺃﺛﺎﺑﻜﻢ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﺟﺰﻳﻞ اﻟﻤﻨﺔ ﻭﺭﻗﺎﻛﻢ ﺇﻟﻰ ﺃﻋﻠﻰ ﻏﺮﻑ اﻟﺠﻨﺔ ﺁﻣﻴﻦ.
(ﻓﺄﺟﺎﺏ) ﺑﺄﻥ اﻟﻜﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻳﺴﺘﺪﻋﻲ ﻃﻮﻻ ﻭﺑﺴﻄﺎ ﻻ ﻳﻠﻴﻖ ﻻ ﺑﺘﺼﻨﻴﻒ ﻣﺴﺘﻘﻞ. ﻓﻲ اﻟﻤﺴﺄﻟﺔ، ﻭﺣﺎﺻﻞ ﻣﺬﻫﺒﻨﺎ ﺃﻥ ﺇﻣﺎﻡ اﻟﺤﺮﻣﻴﻦ ﻧﻘﻞ اﻹﺟﻤﺎﻉ ﻋﻠﻰ ﺟﻮاﺯ ﺧﺮﻭﺝ اﻟﻤﺮﺃﺓ ﺳﺎﻓﺮﺓ اﻟﻮﺟﻪ ﻭﻋﻠﻰ اﻟﺮﺟﺎﻝ ﻏﺾ اﻟﺒﺼﺮ ﻭاﻋﺘﺮﺽ ﺑﻨﻘﻞ اﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻴﺎﺽ ﺇﺟﻤﺎﻉ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻋﻠﻰ ﻣﻨﻌﻬﺎ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ. ﻭﺃﺟﺎﺏ اﻟﻤﺤﻘﻘﻮﻥ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻧﻪ ﻻ ﺗﻌﺎﺭﺽ ﺑﻴﻦ اﻹﺟﻤﺎﻋﻴﻦ ﻷﻥ اﻷﻭﻝ ﻓﻲ ﺟﻮاﺯ ﺫﻟﻚ ﻟﻬﺎ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﺫاﺗﻬﺎ ﻣﻊ ﻗﻄﻊ اﻟﻨﻈﺮ ﻋﻦ اﻟﻐﻴﺮ ﻭاﻟﺜﺎﻧﻲ ﺑﺎﻟﻨﺴﺒﺔ ﺇﻟﻰ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻹﻣﺎﻡ ﻭﻧﺤﻮﻩ ﺃﻭ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻨﻊ اﻟﻨﺴﺎء ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺧﺸﻴﺔ اﻓﺘﺘﺎﻥ اﻟﻨﺎﺱ ﺑﻬﻦ. ﻭﺑﺬﻟﻚ ﺗﻌﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﺫﻛﺮ ﻣﻨﻊ اﻟﻨﺴﺎء ﻣﻦ اﻝﺧﺮﻭﺝ ﻣﻄﻠﻘﺎ ﺇﺫا ﻓﻌﻠﻦ ﺷﻴﺌﺎ ﻣﻤﺎ ﺫﻛﺮ ﻓﻲ اﻟﺴﺆاﻝ ﻣﻤﺎ ﻳﺠﺮ ﺇﻟﻰ اﻻﻓﺘﺘﺎﻥ ﺑﻬﻦ اﻧﺠﺮاﺭا ﻗﻮﻳﺎ. ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﺎ ﺫﻛﺮﻩ اﻹﻣﺎﻡ ﻳﺘﻌﻴﻦ ﺣﻤﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺇﺫا ﻟﻢ ﺗﻘﺼﺪ ﻛﺸﻔﻪ ﻟﻴﺮﻯ ﺃﻭ ﻟﻢ ﺗﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﺃﺣﺪا ﻳﺮاﻩ ﺃﻣﺎ ﺇﺫا ﻛﺸﻔﺘﻪ ﻟﻴﺮﻯ ﻓﻴﺤﺮﻡ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺫﻟﻚ ﻷﻧﻬﺎ ﻗﺼﺪﺕ اﻟﺘﺴﺒﺐ ﻓﻲ ﻭﻗﻮﻉ اﻟﻤﻌﺼﻴﺔ ﻭﻛﺬا ﻟﻮ ﻋﻠﻤﺖ ﺃﻥ ﺃﺣﺪا ﻳﺮاﻩ ﻣﻤﻦ ﻻ ﻳﺤﻞ ﻟﻪ ﻓﻴﺠﺐ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺳﺘﺮﻩ، ﻭﺇﻻ ﻛﺎﻧﺖ ﻣﻌﻴﻨﺔ ﻟﻪ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﻌﺼﻴﺔ ﺑﺪﻭاﻡ ﻛﺸﻔﻪ اﻟﺬﻱ ﻫﻲ ﻗﺎﺩﺭﺓ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻛﻠﻔﺔ ﻭﻗﺪ ﺻﺮﺡ ﺟﻤﻊ ﺑﺄﻧﻪ ﻳﺤﺮﻡ ﻋﻠﻰ اﻟﻤﺴﻠﻤﺔ ﺃﻥ ﺗﻜﺸﻒ ﻟﻠﺬﻣﻴﺔ ﻣﺎ ﻻ ﻳﺤﻞ ﻟﻬﺎ ﻧﻈﺮﻩ ﻣﻨﻬﺎ ﻫﺬا ﻣﻊ ﺃﻧﻬﺎ اﻣﺮﺃﺓ ﻣﺜﻠﻬﺎ ﻓﻜﻴﻒ ﺑﺎﻷﺟﻨﺒﻲ، ﻭﺗﺨﻴﻞ ﻓﺮﻕ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺑﺎﻃﻞ ﻭﺑﺄﻧﻪ ﻳﺠﺐ ﻋﻠﻴﻬﻦ اﻟﺴﺘﺮ ﻋﻦ اﻟﻤﺮاﻫﻖ ﻣﻊ ﺟﻮاﺯ ﻧﻈﺮﻩ ﻓﻜﻴﻒ ﺑﺎﻟﺒﺎﻟﻎ اﻟﺬﻱ ﻳﺤﺮﻡ ﻧﻈﺮﻩ ﻓﻨﺘﺞ ﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﻭﻣﻦ ﻏﻴﺮﻩ اﻟﻤﻌﻠﻮﻡ ﻟﻤﻦ ﺗﺪﺑﺮ ﻛﻼﻣﻬﻢ ﺃﻥ اﻟﺼﻮاﺏ ﺣﻤﻞ ﻛﻼﻡ اﻹﻣﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻗﺪﻣﺘﻪ ﻓﺈﻥ ﻗﻠﺖ ﻛﻴﻒ ﻳﺠﺐ ﻣﻨﻌﻬﻦ ﺇﺫا ﻓﻌﻠﻦ ﻣﺎ ﻳﺨﺸﻰ ﻣﻨﻪ اﻟﻔﺘﻨﺔ ﺣﺘﻰ ﻣﻦ ﻣﺴﺠﺪ ﻣﻜﺔ ﺇﺫا ﻗﺼﺪﺕ اﻟﻄﻮاﻑ اﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺘﺄﺗﻰ ﻟﻬﻦ ﻓﻲ ﺑﻴﻮﺗﻬﻦ ﻭﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﻓﺮﺿﺎ ﻋﻠﻴﻬﻦ ﻗﻠﺖ: ﻷﻥ ﺩﺭء اﻟﻤﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪﻡ ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ. ﻭﻷﻧﻬﻦ ﻳﺘﻤﻜﻦ ﻣﻦ اﻟﻤﺠﻲء ﺇﻟﻴﻪ ﻓﻲ ﺛﻴﺎﺏ ﺭﺛﺔ ﺑﺤﻴﺚ ﻻ ﻳﺨﺸﻰ ﻣﻨﻬﻦ اﻓﺘﺘﺎﻥ.

Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra – (Juz 1, hlm. 199-200)

(Pertanyaan)
Semoga Allah meridainya (penanya), sesungguhnya pada masa ini telah banyak terjadi perempuan keluar ke pasar dan masjid untuk mendengarkan ceramah, bertawaf, dan lainnya di Masjidil Haram dengan cara yang aneh yang pasti menimbulkan fitnah terhadap mereka. Hal ini karena mereka berhias semaksimal mungkin saat keluar rumah dengan berbagai jenis perhiasan, pakaian indah, seperti gelang kaki, gelang tangan, dan emas yang terlihat di tangan mereka, serta menggunakan dupa dan wewangian. Selain itu, mereka juga memperlihatkan banyak bagian tubuh mereka seperti wajah dan tangan, bahkan berjalan dengan gaya berlenggak-lenggok yang tidak tersembunyi dari pandangan orang yang melihat mereka, baik disengaja maupun tidak.

Apakah wajib bagi imam untuk melarang mereka, begitu juga bagi selain imam dari kalangan penguasa dan orang yang memiliki kemampuan untuk mencegah mereka, termasuk dari masjid, bahkan Masjidil Haram, meskipun mereka tidak dapat melakukan tawaf di luar masjid? Apakah ada perbedaan dalam hal ini antara shalat dan tawaf? Dan apa pendapat para ulama yang setuju dan yang menentang dalam masalah ini? Mohon jelaskan jawabannya, sebab kerusakan yang mereka timbulkan telah meluas dan jalan kebaikan bagi para ahli ibadah serta orang-orang saleh telah terhalang. Semoga Allah membalas dengan kebaikan atas jawaban ini dan mengangkat derajat Anda ke tempat tertinggi di surga, amin.

(Jawaban)
Masalah ini memerlukan pembahasan yang panjang dan rinci yang tidak pantas jika dituangkan dalam karya mandiri. Inti dari mazhab kami, Imam Haramain telah menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) tentang kebolehan perempuan keluar dengan wajah terbuka, dan kewajiban para lelaki untuk menundukkan pandangan. Namun, ada pernyataan Qadhi Iyadh yang menukil adanya ijma’ ulama tentang larangan bagi perempuan melakukan hal tersebut. Para peneliti menjelaskan bahwa kedua ijma’ ini tidak saling bertentangan, karena ijma’ pertama berkaitan dengan kebolehan perempuan keluar dari sudut pandang dirinya sendiri tanpa memperhatikan orang lain, sedangkan ijma’ kedua berkaitan dengan kewajiban imam atau penguasa untuk melarang perempuan keluar jika dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah terhadap orang lain.

Dari sini dapat dipahami bahwa para ulama yang melarang perempuan keluar secara mutlak jika mereka melakukan sesuatu yang disebutkan dalam pertanyaan, yang mengarah pada fitnah besar, berdasarkan kaidah bahwa menolak kerusakan didahulukan daripada mengambil manfaat. Imam Haramain sendiri menyatakan, jika seorang perempuan membuka wajahnya tanpa tujuan agar dilihat atau tanpa mengetahui bahwa ada orang yang melihatnya, maka hukumnya tidak haram. Namun, jika ia membuka wajahnya dengan tujuan agar dilihat, maka hal itu haram baginya karena ia bermaksud menjadi penyebab terjadinya maksiat. Demikian pula, jika ia mengetahui bahwa ada seseorang yang melihatnya (yang bukan mahramnya), maka wajib baginya untuk menutup wajahnya. Jika tidak, berarti ia membantu orang tersebut dalam bermaksiat dengan terus membuka wajahnya, padahal ia mampu menutupnya tanpa beban.

Telah dijelaskan oleh para ulama bahwa haram bagi perempuan muslimah untuk membuka auratnya kepada perempuan non-Muslim lebih dari apa yang tidak boleh dilihat oleh perempuan non-Muslim tersebut. Jika ini berlaku terhadap sesama perempuan, apalagi terhadap lelaki ajnabi (bukan mahram). Juga wajib bagi perempuan muslimah untuk menutup auratnya dari anak laki-laki yang hampir baligh, meskipun diperbolehkan baginya untuk melihat, apalagi dari lelaki dewasa yang diharamkan untuk melihatnya. Dengan demikian, yang benar adalah membawa pernyataan Imam Haramain pada pengertian ini.

Jika Anda bertanya, bagaimana bisa perempuan dilarang keluar jika mereka melakukan sesuatu yang dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah, bahkan di Masjidil Haram, meskipun dengan tujuan bertawaf yang tidak mungkin dilakukan di rumah mereka dan mungkin hukumnya wajib bagi mereka? Jawabannya adalah karena menolak kerusakan lebih didahulukan daripada mengambil manfaat. Selain itu, mereka masih bisa datang ke masjid dengan pakaian sederhana yang tidak menimbulkan fitnah.

Firman Allah dalam al-Qur’an: QS.Al-Ahzab.ayat.33

وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّة


Artinya: “Dan janganlah kalian memamerkan diri sebagaimana yang dilakukan oleh orang perempuan-perempuan jahiliyah yang terdahulu” (QS. al-Ahzab [33] :33)

“ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها

Dan Jangan kamu nampaknya perhiasannya (kepada lelaki lain)Kecuali yang nampak darinya.
Yang dimaksud dengan kalimat “yang biasa nampak daripadanya” adalah wajah dan kedua telapak tangan, dengan pertimbangan bahwa keduanya merupakan anggota tubuh yang tidak bisa dihindari oleh perempuan dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Selain keduanya tidak boleh untuk ditampakkan. Larangan ayat ini bersifat umum, mencakup siapapun orangnya, dimana saja, kapan saja, dan dalam kondisi apapun tidak boleh untuk menampakkan aurat selain wajah dan kedua telapak tangan.

 Referensi  tafsir pada Surat Al-Ahzab.Ayat:33

الأحزاب :٣٣

﴿ وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا﴾
[ سورة الأحزاب:

تفسير الجلالين التفسير الميسرتفسير السعدي تفسير البغوي التفسير الوسيط تفسير ابن كثيرتفسير الطبري تفسير القرطبي إعراب الآية

التفسير الميسر : وقرن في بيوتكن ولا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى

والْزَمْنَ بيوتكن، ولا تخرجن منها إلا لحاجة، ولا تُظهرن محاسنكن، كما كان يفعل نساء الجاهلية الأولى في الأزمنة السابقة على الإسلام، وهو خطاب للنساء المؤمنات في كل عصر.

Dan wajib perempuan itu menetapi rumahnya dan janganlah keluar rumah kecuali ada keperluan, dan wajib pula perempuan tidak memamerkan dirinya ( postur tubuhnya/kecantikannya /hiasannya) sebagaimana yang dilakukan perempuan terdahulu sebelum Islam dan sesudah Islam perkataan itu merupakan khithob kepada perempuan-perempuan yang mukmin disetiap zaman. ARTINYA: walaupun perempuan-perempuan sekarang sama aja .

وأدِّين -يا نساء النبي- الصلاة كاملة في أوقاتها، وأعطين الزكاة كما شرع الله، وأطعن الله ورسوله في أمرهما ونهيهما، إنما أوصاكن الله بهذا؛ ليزكيكنَّ، ويبعد عنكنَّ الأذى والسوء والشر يا أهل بيت النبي -ومنهم زوجاته وذريته عليه الصلاة والسلام-، ويطهِّر نفوسكم غاية الطهارة.

Dan laksanakan sholat dengan sempurna tepat pada waktunya wahai perempuan-perempuannya Nabi, dan berikanlah zakat sebagaimana Allah telah syariatkan, dan Ta’atilah Allah dan Rasulnya atas perintahnya dan larangannya. Bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu ini, agar dia membersihkanmu dan menjauhkanmu dari menyakiti dan kecejelekan dan keburukan, Wahai Ahlul Bait Nabi dan diantara mereka itu adalah istri-istri Nabi dan keturunannya, dan agar Allah membersihkan (mencucikan jiwamu)


المختصر في التفسير : شرح المعنى باختصار

واثبتن في بيوتكنّ، فلا تخرجن منها لغير حاجة، ولا تُظْهِرن محاسنكنّ صنيع من كنّ قبل الإسلام من النساء حيث كنّ يبدين ذلك استمالة للرجال، وأدِّين الصلاة على أكمل وجه، وأعطين زكاة أموالكنّ، وأطعن الله ورسوله، إنما يريد الله سبحانه أن يذهب عنكم الأذى والسوء، يا أزواج رسول الله ويا أهل بيته، ويريد أن يطهّر نفوسكم؛ بتحليتها بفضائل الأخلاق، وتخليتها عن رذائلها تطهيرًا كاملًا، لا يبقى بعده دَنَس.

تفسير الجلالين : معنى و تأويل الآية 33

(وقرن) بكسر القاف وفتحها (في بيوتكن) من القرار وأصله: اقررن بكسر الراء وفتحها من قررت بفتح الراء وكسرها نقلت حركة الراء إلى القاف وحذفت مع همزة الوصل (ولا تبرجن) بترك إحدى التاءين من أصله (تبرج الجاهلية الأولى) أي ما قبل الإسلام من إظهار النساء محاسنهن للرجال والإظهار بعد الإسلام مذكور في آية “ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها

Dan wajib perempuan itu menetapi rumahnya dan janganlah keluar rumah kecuali ada keperluan, dan wajib pula perempuan tidak memamerkan dirinya ( postur tubuhnya/kecantikannya /hiasannya) sebagaimana yang dilakukan perempuan terdahulu sebelum Islam dan sesudah Islam perkataan itu merupakan khithob kepada perempuan-perempuan yang mukmin disetiap zaman. ARTINYA: walaupun perempuan-perempuan sekarang sama aja .

RKH.Abdul Majid Rahimahullah Pengasuh Pondok pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata berakata dalam kitabya;” TARJUMAN” Orang pintar itu mesti ingin keselamatan diakhirat ..Dan baik seseorang itu tidak mengikuti Hawa Nafsu seperti senang memajangkan anak-anaknya disejajarkan sebagai pengantin ia jadikan lelucon dipertontonkan/dipamerkan kepada orang banyak.


[الخطيب الشربيني، مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج، ٢١٤/٤]

(وَ) الْأَصَحُّ (جَوَازُ نَظَرِ الْمَرْأَةِ) الْبَالِغَةِ الْأَجْنَبِيَّةِ (إلَى بَدَنِ) رَجُلٍ (أَجْنَبِيٍّ سِوَى مَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ إنْ لَمْ تَخَفْ فِتْنَةً) وَلَا نَظَرَتْ بِشَهْوَةٍ لِمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا – «أَنَّهَا نَظَرَتْ إلَى الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ» ، وَلِأَنَّ مَا سِوَى مَا بَيْنَهُمَا لَيْسَ بِعَوْرَةٍ مِنْهُ فِي الصَّلَاةِ (قُلْتُ: الْأَصَحُّ التَّحْرِيمُ) أَيْ تَحْرِيمُ نَظَرِهَا تَبَعًا لِجَمَاعَةٍ مِنْ الْأَصْحَابِ وَقَطَعَ بِهِ فِي الْمُهَذَّبِ وَغَيْرِهِ (كَهُوَ) أَيْ كَنَظَرِ الْأَجْنَبِيِّ (إلَيْهَا، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ) لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ} [النور: 31] [النُّورُ] وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا – قَالَتْ: «كُنْتُ عِنْدَ مَيْمُونَةَ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إذْ أَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – احْتَجِبَا مِنْهُ، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ هُوَ أَعْمَى لَا يُبْصِرُ؟ فَقَالَ أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ؟» رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ: حَدِيثٌ صَحِيحٌ.

تَنْبِيهٌ قَضِيَّةُ كَلَامِهِ أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الْمَرْأَةِ أَنْ تَنْظُرَ إلَى وَجْهِ الرَّجُلِ وَكَفَّيْهِ عِنْدَ الْأَمْنِ عَلَى الْأَصَحِّ. قَالَ الْجَلَالُ الْبُلْقِينِيُّ: وَهَذَا لَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِنْ الْأَصْحَابِ، وَاتَّفَقَتْ الْأَوْجُهُ عَلَى جَوَازِ نَظَرِهَا إلَى وَجْهِ الرَّجُلِ وَكَفَّيْهِ عِنْدَ الْأَمْنِ مِنْ الْفِتْنَةِ. اهـ.

وَيَدُلُّ لَهُ حَدِيثُ عَائِشَةَ الْمَارُّ، لَكِنَّ الْمُصَنِّفُ أَجَابَ عَنْهُ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ بِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ أَنَّهَا نَظَرَتْ إلَى وُجُوهِهِمْ وَأَبْدَانِهِمْ وَإِنَّمَا نَظَرَتْ لِلَعِبِهِمْ وَحِرَابَتِهِمْ، وَلَا يَلْزَمُ مِنْهُ تَعَمُّدُ النَّظَرِ إلَى الْبَدَنِ وَإِنْ وَقَعَ بِلَا قَصْدٍ صَرَفَتْهُ فِي الْحَالِ.

وَأَجَابَ عَنْهُ غَيْرُهُ بِأَنَّ ذَلِكَ لَعَلَّهُ كَانَ قَبْلَ نُزُولِ الْحِجَابِ، أَوْ كَانَتْ عَائِشَةُ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا – لَمْ تَبْلُغْ مَبْلَغَ النِّسَاءِ؛ إذْ ذَاكَ، وَفِي وَجْهٍ ثَالِثٍ أَنَّهَا تَنْظُرُ مِنْهَا مَا يَبْدُو فِي الْمَهْنَةِ فَقَطْ؛ إذْ لَا حَاجَةَ إلَى غَيْرِهِ، وَقَوَّاهُ بَعْضُهُمْ لِعُمُومِ الْبَلْوَى فِي نَظَرِهِنَّ فِي الطُّرُقَاتِ إلَى الرِّجَالِ، وَيُسْتَثْنَى عَلَى مَا صَحَّحَهُ الْمُصَنِّفُ مَا إذَا قَصَدَتْ نِكَاحَهُ فَلَهَا النَّظَرُ إلَيْهَا قَطْعًا، بَلْ يُنْدَبُ كَمَا مَرَّ، وَقَوْلُ الْمُصَنِّفُ كَهُوَ إلَيْهَا قَدْ يَقْتَضِيهِ

Al-Khaṭīb Asy-Syarbīnī: Mughni al-Muhtaj juz 4 hal 214

(Dan) pendapat yang lebih sahih adalah (bolehnya seorang wanita) yang sudah baligh dan bukan mahram (melihat tubuh) seorang laki-laki asing, kecuali bagian antara pusar dan lututnya, (jika tidak dikhawatirkan timbulnya fitnah) dan dia tidak melihatnya dengan syahwat. Hal ini berdasarkan hadis dalam Shahihain dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengatakan bahwa ia melihat orang-orang Habasyah sedang bermain di masjid. Selain itu, karena bagian tubuh selain antara pusar dan lutut bukanlah aurat dalam salat.

(Aku berkata: Pendapat yang lebih sahih adalah haramnya), yaitu haramnya seorang wanita melihat laki-laki, mengikuti pendapat sekelompok ulama mazhab dan ditegaskan dalam al-Muhadzdzab serta kitab-kitab lainnya. (Sebagaimana) haramnya seorang laki-laki asing melihat wanita.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:

“Dan katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman agar mereka menundukkan pandangan mereka” (QS. An-Nur: 31).

Juga berdasarkan hadis dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang berkata:

“Aku pernah berada di rumah Maimunah bersama Rasulullah ﷺ, lalu datanglah Ibnu Ummi Maktum. Maka Nabi ﷺ bersabda, ‘Berhijablah kalian darinya!’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, bukankah dia buta dan tidak bisa melihat kami?’ Beliau menjawab, ‘Apakah kalian berdua juga buta? Bukankah kalian bisa melihatnya?'” (HR. At-Tirmidzi, ia mengatakan: hadis ini sahih).

Catatan: Konteks pembahasan ini menunjukkan bahwa haram bagi wanita melihat wajah dan kedua tangan laki-laki ketika aman dari fitnah, menurut pendapat yang lebih sahih. Al-Jalāl al-Bulqīnī mengatakan bahwa pendapat ini tidak dipegang oleh seorang pun dari kalangan mazhab, dan seluruh pendapat dalam mazhab sepakat bolehnya wanita melihat wajah dan kedua tangan laki-laki saat aman dari fitnah.

Dalilnya adalah hadis Aisyah yang telah disebutkan. Namun, penulis kitab ini menjawabnya dalam Syarh Muslim bahwa tidak ada keterangan dalam hadis tersebut bahwa Aisyah melihat wajah dan tubuh mereka, melainkan ia melihat permainan dan senjata mereka. Maka, tidak bisa dijadikan dalil bahwa ia sengaja melihat tubuh mereka.

Sebagian ulama lain menjawab bahwa mungkin kejadian itu terjadi sebelum turunnya ayat hijab, atau saat itu Aisyah belum mencapai usia baligh. Pendapat lain mengatakan bahwa yang boleh dilihat hanyalah bagian tubuh yang biasa tampak dalam pekerjaan, karena tidak ada kebutuhan melihat lebih dari itu. Pendapat ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa wanita sering melihat laki-laki di jalanan.

Namun, berdasarkan pendapat yang dipilih oleh penulis, jika wanita itu berniat menikahinya, maka ia boleh melihatnya secara mutlak, bahkan dianjurkan, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Dan pernyataan penulis “Sebagaimana haramnya laki-laki melihat wanita” dapat dimaknai bahwa hukumnya sama.

 

الأحزاب :٣٣

﴿ وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ ۖ وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا﴾
[ سورة الأحزاب:

تفسير الجلالين التفسير الميسرتفسير السعدي تفسير البغوي التفسير الوسيط تفسير ابن كثيرتفسير الطبريتفسير القرطبي إعراب الآية

التفسير الميسر : وقرن في بيوتكن ولا تبرجن تبرج الجاهلية الأولى

والْزَمْنَ بيوتكن، ولا تخرجن منها إلا لحاجة، ولا تُظهرن محاسنكن، كما كان يفعل نساء الجاهلية الأولى في الأزمنة السابقة على الإسلام، وهو خطاب للنساء المؤمنات في كل عصر. وأدِّين – يا نساء النبي- الصلاة كاملة في أوقاتها، وأعطين الزكاة كما شرع الله، وأطعن الله ورسوله في أمرهما ونهيهما، إنما أوصاكن الله بهذا؛ ليزكيكنَّ، ويبعد عنكنَّ الأذى والسوء والشر يا أهل بيت النبي -ومنهم زوجاته وذريته عليه الصلاة والسلام-، ويطهِّر نفوسكم غاية الطهارة.

المختصر في التفسير : شرح المعنى باختصار

واثبتن في بيوتكنّ، فلا تخرجن منها لغير حاجة، ولا تُظْهِرن محاسنكنّ صنيع من كنّ قبل الإسلام من النساء حيث كنّ يبدين ذلك استمالة للرجال، وأدِّين الصلاة على أكمل وجه، وأعطين زكاة أموالكنّ، وأطعن الله ورسوله، إنما يريد الله سبحانه أن يذهب عنكم الأذى والسوء، يا أزواج رسول الله ويا أهل بيته، ويريد أن يطهّر نفوسكم؛ بتحليتها بفضائل الأخلاق، وتخليتها عن رذائلها تطهيرًا كاملًا، لا يبقى بعده دَنَس.

تفسير الجلالين : معنى و تأويل الآية 33

(وقرن) بكسر القاف وفتحها (في بيوتكن) من القرار وأصله: اقررن بكسر الراء وفتحها من قررت بفتح الراء وكسرها نقلت حركة الراء إلى القاف وحذفت مع همزة الوصل (ولا تبرجن) بترك إحدى التاءين من أصله (تبرج الجاهلية الأولى) أي ما قبل الإسلام من إظهار النساء محاسنهن للرجال والإظهار بعد الإسلام مذكور في آية “ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها


Hukum Kuade dikondisikan  Karena suatu yang Asalnya Boleh bisa menjadi Haram apabila digunakan Pada Kamaksiatan

الوسائل حكم المقاصد

والله اعلم

Kategori
Uncategorized

HUKUM JUAL BELI PRODUK MAKANAN YANG BERFORMALIN

JUAL BELI PRODUK MAKANAN BERFORMALIN.

Deskripsi masalah.
Produk makanan olahan lazim mencampurkan bahan tambahan yang secara medis dinyatakan berbahaya bagi kesehatan dan memicu penyakit yang membuat jadi menderita. Contoh boraks, bleng, formalin, melamin, zat pewarma tekstil. Bahan tambahan tersebut berfungsi untuk pengawetan, pembangkit selera (emulsion), pengembang adonan dan sebagainya.

Pertanyaan:
Bagaimana hukum memproduksi dan, menjual makanan olahan dengan campuran bahan tambahan yang secara medis berbahaya bagi kesehatan atau memicu penyakit tertentu?

Jawaban:
Haram dan tidak sah jual belinya.

Referensi:

(المواهب السنية شرح الفرائد البهية مع حاشيته لمحمد ياسين الفاداني ص: ٢٤٦ – ٢٤٧ )
(لا ضَرَرَ) أَيْ لَا يُبَاحُ فِي الْإِسْلَامِ وَلَا ضِرارَ) وَفِي رِوَايَةٍ (وَلَا ضْرَارَ)وفي رواية ولا اضرار وَالْمَعْنَى لَا يُبَاحُ إِدْخَالُ الضَّرَرِ عَلَى إِنسَانٍ فِيمَا تَحْتَ يَدِهِ مِنْ مِلْكٍ أَوْ مَنْفَعَةٍ وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ أَنْ يُضر أَخَاهُ الْمُسْلِمَ (قَوْلُهُ وَلَا يَجُوزُ لِأَحَدٍ إِلخ) تَفْسِيرُ لِقَوْلِهِ وَلَا ضِرارَ أَي لا يُضِرُّ الرَّجُلُ أَخَاهُ فَيَنْتَقِصُ شَيْئًا مِنْ حَقِهِ وَيُجَازِيهِ عَلَى إِضْرَارِهِ بِإِدْخَالِ الضَّرَرِ عَلَيْهِ ، فَالضَّرَرُ فِعْل الْوَاحِدِ ، وَالضَّرَارُ فِعْلُ الاثْنَيْنِ.

(حاشية البجيرمي على المنهج الجزء الثاني ص: ٣٢٨)
وَيَحْرُمُ مَا يُضِرُّ الْبَدَنَ أَوِ الْعَقْلَ كَالحَجَرِ وَالتَّرَابِ وَالزُّجَاجِ وَالسُّمَ كَالْأَفِيُونِ وَهُوَ لَبَنُ الْخَشْخَاشِ لِأَنَّ ذَلِكَ مُضِرُّ وَرُبَّمَا يَقْتُلُ وَقَدْ قَالَ تَعَالَى ( وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ) قَالَ الزَّرْكَشِيُّ فِي شَرْحِ التَّنْبِيهِ وَيَحْرُمُ أَكُلُ الشَّوَاءِ الْمَكْمُورِ وَهُوَ مَا يَكْفَأُء عَلَيْهِ غِطَاءُ بَعْدَ اسْتِوَائِهِ لِإِضْرَارِهِ بِالْبَدَنِ.

(نهاية المحتاج مع حاشيته للشبراملسي الجزء الثالث ص: 14 طبعة دار الكتب العلمية )
ويخرم بيعُ السُّمَ إِنْ قَتَلَ كَثِيرُهُ وَقَلِيلُهُ فَإِنْ نَفَعَ قَلِيلُهُ وَقَتَلَ كَثِيرُهُ كَالْأَفيونِ جَازَ (قَوْلُهُ وَيجْرُمُ) أَيْ وَلَا يَصِحُ بيع السمَ إِنْ قَتَلَ كَثِيرُهُ وَكَذَا إِنْ ضَرَّ كَثِيرُهُ وَقَلِيلُهُ (قَوْلُهُ فَإِنْ تَفَعَ قَلِيلُهُ) قَضِيَّتُهُ الْحَرْمَةُ فِيمَا لَوْ لَمْ يَنْفَعْ قلِيلُهُ وَضَرَّ كَثِيرُهُ ، وَالظَّاهِرُ أَنَّهَا غَيْرُ مُرَادَةٍ لأَنَّهُ لَا مَعْنى لِلْحُرِّمَةِ مَعَ انْتِفَاءِ الضَّرَرِ ، نَعَمْ قَدْ يُقَالُ بِفَسَادِ الْبَيْعِ وَبِالحَرْمَةِ لِعَدَمِ الانتفاع به كالخَشَرَاتِ وَحَبَّتى الحِنْطَةِ فَإِنَّ بَيْعَهَا بَاطِل لعدم النفْعِ وَإِنِ انْتَقَى الطَّرَرُ فَمَا هُنَا أَوْلَى لِوُجُودِ الضَّرَرِ فِيهِ ، وَهَلِ الْعِبْرَةُ بِالْمُتَعَاطِي لَهُ حَتَّى لَوْ كَانَ القَدْرُ الَّذِي يَتَناوَلُهُ لَا يَضُرُّ لِاعْتِيادِهِ عَلَيْهِ
وَيَضُرُّ غَيْرَهُ لَمْ يَحْرُمُ ، أوِ الْعِبْرَةُ بِغَالِبِ النَّاسِ فَيَحْرُمُ ذَلِكَ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَضُرُّهُ ، فِيهِ نَظَرُ وَالْأَقْرَبُ الثاني (قوله وَقَتَلَ كَثِيرُهُ) أَيْ أَوْ ضَرَّ

Wallahu A’lam bisshowab

Kategori
Uncategorized

HUKUM MINTA SUMBANGAN AMAL PEMBANGUNAN MASJID/MADRASAH DIJALAN

Assalamualakum

Deskripsi Masalah:

Dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan masjid semakin meningkat, sehingga panitia sering menggalang dana dengan berbagai cara agar pembangunan dapat segera terealisasi. Salah satu metode yang umum digunakan adalah meminta sumbangan di jalan raya atau tempat umum. Namun, dalam praktiknya, terdapat beberapa fenomena yang menimbulkan pertanyaan hukum, seperti:

  1. Sebagian petugas penggalang dana mengambil persentase dari hasil sumbangan sebagai upah. Misalnya, dalam satu hari mereka mengumpulkan Rp1.000.000, lalu 10% dari jumlah tersebut mereka ambil untuk diri sendiri.
  2. Seseorang meminta-minta di jalanan, padahal secara finansial ia termasuk orang yang mampu. Fenomena ini sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari, di mana seseorang yang sebenarnya memiliki kecukupan harta tetap meminta sumbangan dengan alasan tertentu.

Pertanyaan:

a. Bagaimana hukum meminta sumbangan di jalan raya atau tempat umum, baik untuk kepentingan pembangunan masjid maupun kepentingan pribadi?

b. Bagaimana status hukum uang “persenan” yang diambil oleh petugas penggalang dana dari hasil sumbangan, baik untuk pembangunan masjid maupun madrasah?

Jawaban :

a. Boleh dengan syarat :

  1. Tidak ada Dloror(bahaya).
  2. Tidak Idza’ (menyakiti orang yang lewat baik fisik atau perasaan).
  3. Tidak ada fitnah (seperti memandang perempuan yang bukan mahrom-nya)
  4. Tidak ada تضييق (mempersempit jalan).

Referensi :

  1. Dalilul Falihin Juz I Hal . 375 – 376.
  2. Hawasyi Syarwani Juz VI Hal.216
  3. Nihayah Juz IV Hal 392.

السابع عن ابي سعيد الخدري رضي الله عنه عن النبي قال اياكم والجلوس فى الطرقات فقالوا : يا رسول الله ما لنا من مجالسنا نتحدث فيها ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم فإذا أبيتم الا المجلس فاعطوا الطريق حقه . قالوا : وما حق الطريق يا رسول الله ؟ قال : غض البصر، وكف الأذى ، ورد السلام والأمر بالمعروف ، والنهي عن المنكر متفق عليه .(قال : غض البصر) أي كفه عن النطر ، (وكف الأذى) أي الإمتناع عن أذى المارة . وقال الحافظ فى فتح الباري أشار بالأول الى السلامة من التعرض للفتنة لمن يمر عليه من امرأة ونحوها .وبالثاني الى السلامة من الإحتقار والغيبة وبقوله (ورد السلام) الى اكرام المار (والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر) الى الإستعمال جميع ما يشرع (متفق عليه ) اهـ (دليل الفالحين الجزء ١ ٣٧٥ – ٣٧٦ )

ويجوز الجلوس والوقوف به ولو لذمي لاستراحة ومعاملة ونحوهما كانتظار اذا لم يضيق على المارة لخبر لاضرر ولاضرار فى الإسلام وصح النهي عن الجلوس فيه لنحو حديث الا أن يعطيه حقه من غض بصر ومن أذى وأمر بالمعروف .اهـ (حواشي الشرواني الجزء ٦ ص ٣٢٦)

( منفعة الشارع ) الأصلية ( مرور ) فيه ( وكذا جلوس ) ووقوف ولو بغير إذن الإمام ( لنحو حرفة ) كاستراحة وانتظار رفيق ( إن لم يضيق ) على المارة فيه عملا بما عليه الناس بلا إنكار إهـ . (بجيرمي على المنهج الجزء ٣ ص ١٩٥ )

Hadis Ketujuh:
Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:

“Berhati-hatilah kalian dari duduk di jalan-jalan!”

Mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak bisa meninggalkan tempat duduk kami di mana kami biasa berbincang-bincang di dalamnya.”

Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Jika kalian tetap ingin duduk, maka berikanlah hak jalan.”

Mereka bertanya, “Apa hak jalan itu, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Menahan pandangan, tidak mengganggu orang lain, menjawab salam, memerintahkan kebaikan, dan mencegah kemungkaran.” (Muttafaqun ‘alaih).

Penjelasan:
Sabda beliau (Menahan pandangan) maksudnya adalah menahan diri dari melihat sesuatu yang haram.

(Tidak mengganggu orang lain) maksudnya adalah tidak menyakiti para pejalan kaki.

Al-Hafizh dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa pada perintah pertama (menahan pandangan), Rasulullah ﷺ memberi isyarat untuk menghindari fitnah akibat melihat wanita atau hal lain yang dapat menimbulkan godaan.

Pada perintah kedua (tidak mengganggu orang lain), beliau menunjukkan pentingnya menghindari penghinaan dan ghibah.

Dengan sabda beliau (Menjawab salam), beliau menekankan penghormatan kepada para pejalan kaki.

Dengan sabda beliau (Memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran), beliau menegaskan kewajiban menerapkan semua ajaran yang disyariatkan.

(Muttafaqun ‘alaih).

(Diriwayatkan dalam Dalilul Falihin, Juz 1, hlm. 375–376).

Diperbolehkan duduk dan berdiri di jalan, bahkan bagi non-Muslim dzimmi, untuk beristirahat, berdagang, atau keperluan lain seperti menunggu seseorang, selama tidak menghalangi pejalan kaki. Hal ini berdasarkan hadis “Tidak boleh ada mudarat dan tidak boleh menimbulkan mudarat dalam Islam.”

Hadis yang sahih melarang duduk di jalan kecuali jika memberikan haknya, seperti menahan pandangan, tidak mengganggu orang lain, serta memerintahkan kebaikan. (Hasyiyah Asy-Syarwani, Juz 6, hlm. 216).

(Manfaat Jalan Raya)
Pada dasarnya, manfaat utama jalan raya adalah sebagai tempat lalu lintas pejalan kaki. Namun, duduk dan berdiri di jalan juga diperbolehkan, bahkan tanpa izin dari pemerintah, untuk keperluan seperti berdagang, beristirahat, atau menunggu teman, selama tidak menghalangi pejalan kaki. Hal ini didasarkan pada kebiasaan masyarakat yang telah berlangsung tanpa ada penolakan. (Bujairimi ‘ala al-Minhaj, Juz 3, hlm. 195).

(الطريق النافذ لا يتصرف فيه بما يضر المارة ) ( قوله المارة ) أي جنسهم وسيعلم ما هنا وفي الجنايات ان الضرر المنفي مالا يصبر عليه مما لا يعتاد لا مطلقا إهـ حج وكتب عليه سم : يفهم منه انه لا إعتبار بما لا يصبر عليه مما إعتيد فليراجع إهـ. أقول والظاهر أنه غير مراد فيضر لأن عدم الصبر عليه عادة يدل على ان المشقة فيه قوية .( منهاج الطالبين مع حاشية الشبر مليسي على النهاية الجزء ٤ ٤٩٢ )

“(Jalan umum yang tembus tidak boleh digunakan dengan cara yang membahayakan para pejalan kaki.)”

(Sabda beliau “para pejalan kaki”) maksudnya adalah semua golongan mereka. Akan dijelaskan dalam pembahasan jinayah bahwa mudarat yang dilarang adalah sesuatu yang tidak dapat ditoleransi dan bukan hal yang sudah menjadi kebiasaan.

Al-Haj (pengarang) berkata, dan atasnya As-Sam menulis: “Dapat dipahami dari pernyataan ini bahwa sesuatu yang dapat ditoleransi karena sudah menjadi kebiasaan tidak dianggap sebagai mudarat. Maka hendaknya ditinjau kembali.”

Saya (penulis) mengatakan: Yang tampak adalah hal ini bukanlah maksud sebenarnya, karena sesuatu yang biasanya tidak dapat ditoleransi menunjukkan bahwa kesulitannya sangat berat.

(Minhaj At-Thalibin dengan Hasyiyah Asy-Syabramallisi ‘ala An-Nihayah, Juz 4, hlm. 392).

Namun jika meminta-minta untuk kepentingan  pribadi  bukan untuk kepentingan ( Masjid /mushollah dan madrasah) maka dalam hal ini diperinci

a) Haram jika kondisinya secara finansial termasuk orang yang mampu

b).Boleh  dengan catatan tidak ada dhoror  sebagaimana  keterangan diatas, Nabi ﷺ bersabda:

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّةٍ سَوِيٍّ

“Sedekah itu tidak halal bagi orang kaya dan orang yang masih kuat bekerja.” (HR. Abu Dawud, No. 1634; An-Nasa’i, No. 2598)

Juga dalam hadis lain:

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

“Seseorang yang terus meminta-minta kepada manusia, kelak pada hari kiamat dia akan datang dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (HR. Bukhari No. 1405 dan Muslim No. 1040)

Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan larangan keras bagi orang yang meminta-minta tanpa alasan yang sah.

Bolehnya Mengemis dalam Keadaan Darurat 

Dalam Islam, keadaan darurat dapat mengubah hukum asal suatu perkara. Jika seseorang benar-benar dalam keadaan miskin dan tidak memiliki cara lain untuk bertahan hidup, maka meminta-minta diperbolehkan dengan syarat tidak berlebihan dan hanya sekadar memenuhi kebutuhan dasar. Rasulullah ﷺ bersabda:

إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ: لِرَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ، وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ، فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتٌ يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا

“Meminta-minta itu tidak halal kecuali bagi tiga orang:

Seseorang yang menanggung hutang besar, maka ia boleh meminta hingga ia bisa melunasinya. Seseorang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, maka ia boleh meminta sampai ia mendapatkan penghidupan yang layak. Seseorang yang tertimpa kemiskinan hingga tiga orang yang berakal dari kaumnya bersaksi bahwa dia memang miskin, maka ia boleh meminta sampai ia mendapatkan penghidupan yang layak.

Selain dari tiga hal itu, meminta-minta adalah haram, dan orang yang melakukannya berarti memakan harta haram.” (HR. Muslim No. 1044)

Jawaban : sub.b

Statusnya ongkosnya orang yang meminta amal untuk masjid:

Statusnya ujroh(upah)nya itu termasuk upah amal dari akad yang fasid (rusak). Alasannya ialah : sebab ongkosnya tidak di ketahui. Dengan akibat,bahwa upah tersebut harus disesuaikan dengan ujroh mitsil (ongkos sepadan), bila ongkosnya kurang maka harus ditambahi dan bila ongkosnya lebih maka dikembalikan pada fihak masjid.

Referensi :

Bughyatul Mustarsyidin Hal 168. Syarqowy Juz II Hal. 85 


انكسر مركب فى البحر فامر صاحبه ان كل من أخرج من المتاع شيئا فله ربعه مثلا فان كان المجعول عليه معلوما عند الجعيل بان شاهده قبل الغرق او وصفه له صح العقد واستحق المسمى والا فسد واستحق اجرة المثل ( بغية ص . ١٦٨ )

(والأجرة) أي وعلمهما بالأجرة فلا تصح الإجارة مع الجهل بها وتجب أجرة المثل بنحو أرضيك او ما ترى الا ما يسرك اولا تخشى من شيء ( الشرقاوي الجزء ٢/ ٨٥ ).


Sebuah kapal pecah di laut, lalu pemiliknya memerintahkan bahwa setiap orang yang berhasil menyelamatkan barang dari kapal akan mendapatkan seperempatnya, misalnya.

Jika barang yang dijanjikan tersebut sudah diketahui oleh pemberi janji—baik karena ia melihatnya sebelum tenggelam atau karena barang itu telah dideskripsikan kepadanya—maka akad tersebut sah, dan orang yang menyelamatkan barang berhak atas bagian yang telah ditentukan.

Namun, jika barang yang dijanjikan itu tidak diketahui oleh pemberi janji, maka akad menjadi tidak sah, dan orang yang menyelamatkannya hanya berhak atas upah sepadan (ujrah al-mitsl).

(Bughyah, hlm. 168).

“(Dan upah)” maksudnya adalah bahwa upah harus diketahui dengan jelas. Maka, akad ijarah (sewa-menyewa) tidak sah jika terdapat ketidakjelasan dalam besaran upah. Dalam kasus seperti ini, yang berlaku adalah pembayaran upah sepadan (ujrah al-mitsl), seperti dalam pernyataan: “Aku menyewakan kepadamu tanah ini dengan apa yang engkau anggap pantas,” atau “Aku menyewakan kepadamu tanpa ada kekhawatiran apa pun.”

(Syarh Asy-Syarqawi, Juz 2, hlm. 85).

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan sebagaimana mujawwib telah jelaskan, bahwa hukum meminta sumbangan amal pembangunan masjid atau madrasah dijalan selama menuhi syarat-syarat tersebut, maka boleh tetapi sebaliknya jika tidak memenuhi persyaratan tersebut diatas maka tidak boleh, misalkan membahayakan pada pengendara sepeda atau mobil dan orang lain, menimbulkan fitnah dan menyakiti orang yang lewat baik fisik atau perasaan serta menyempitkan jalan ). Wallahu A’lam bisshowab.

Kategori
Uncategorized

HUKUM ALIH FUNGSI NADZAR

HUKUM ALIH FUNGSI NADZAR

Assalamualaikum.
Deskripsi masalah.
Seseorang berprofesi sebagai petani pada suatu hari dia berkata; Jika saya sukses panen dan untung maka saya akan memberikan sapi kepada Kiyai Fulan, Namun setelah sukses panennya niatan sipenadzar berubah yakni nadzarnya itu akan dialihkan keacara lain.

Pertanyaannya.
Assalamualaikum.
Bolehkah orang yang bernadzar (ingin bersedekah sapi kepada Kiyai)namun dialihkan keacara lain.(nadzarnya tetap berupa sapi) tapi dialihkan kearah lain..?

Jawaban : Tidak boleh mengalihkan fungsi nadzar kepada yang lainnya alasannya sighat nadzar sudah ditentukan dengan tempatnya, hal ini sama dengan orang yang ingin melakukan i’tikaf ditempat masjidil Haram sementara ia melakukan i’tikaf dilain masjid yang telah ditentukan maka dalam hal ini hukum i’tikafnya tidak sah walaupun melakukan i’tikaf.Oleh karena itu penting mengetahui rukun-rukun Nadzar sebagaimana berukut;


وَأرْكَانُهُ ثَلاَثَةٌ: نَاذِرٌ وَمَنْذُورٌ وَصِيْغَةٌ … وَفِى الصِّيغَةٍ كَونُهَا لَفْظًا يُشْعِرُ بِاللإلْتِزَامِ وَفِى مَعْنَاهُ مَا مَرَّ فِى الضَّمَانِ كَللَّهِ عَلَيَّ كَذَا وَعَلَيَّ كَذَا فَلاَ تَصِحُّ بِالنِيَّةِ كَسَائِرِ العُقُودِ وَلاَ بِمَا لاَيُشْعِرُ بِالإلْتِزَامِ كَأَفْعَلُ كَذَا.


Rukun-rukun nadzar ada tiga:

  1. orang-rang yang nadzar
  2. perkara yang dinadzari
  3. sighat (ucapan yang menunjukkan nadzar)’ Dalam masalah sighat, adalah adanya lafal (ucapan) yang menunjukkan adanya penetapan dan dalam pengertian penetapan (mewajibkan) ini adalah keterangan bab dlaman (tanggungan). Yaitu seperti kata ‘Demi Allah wajib atasku perkara seperti ini atau wajib atasku perkara seperti ini. Maka sighat tidak sah hanya sekedar niat (tanpa diucapkan), sebagaimana juga tidak sah semua aqad hanya dengan niat. Juga tidak sah sighat yang tidak menunjukkan penetapan (mewajibkan) seperti ucapan: ‘Saya melakukan seperti ini’.
    Kitab Tadzhib halaman 254:
    … وَشَرْعًا الوَعْدُ بِالخَيْرِ خَاصَّةُ أو اِلْتِزَامُ قُرْبَةً لَمْ تَتَعَيَّنْ بِأصْلِ الشَّرْعِ… وَالثَّانِى أنْ يَكُونَ غَيْرَ مُعَلَّقٍ كَأنْ يَقُولَ للهِ عَلَيَّ صَوْمٌ أو حَجٌّ أو غَيْرُ ذَلِكَ.ٌ و َجٌّ و َيْرُ َلِكَ..
    ‘Pengertian nadzar secara syara’ berarti janji melakukan kebaikan tertentu atau menetapkan (mewajibkan dirinya) melakukan perkara yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, yang perkara tersebut pada hukum asalnya tidak wajib’ Yang kedua: adanya nadzar tersebut tidak diambangkan/digantungkan pada sesuatu seperti ucapan: ‘Demi Allah, wajib bagiku puasa atau haji atau yang lainnya.

Referensi tidak diperbolehkannya mengalihkan fungsi mandzur.(barang yang dinadzarkan)

الموسوعة الفقهية – 26216/31949

أ – نذر الاعتكاف في المسجد الحرام:
41 – من نذر الاعتكاف في المسجد الحرام فلا خلاف في أنه يجزئه أن يعتكف فيه. وإنما الخلاف بين الفقهاء في تعين هذا المسجد للاعتكاف المنذور بحيث لا يجزئ غيره من المساجد، أو عدم تعينه لذلك، على اتجاهين: الاتجاه الأول: يرى أن من نذر الاعتكاف في المسجد الحرام لم يجز له أن يعتكف فيما سواه، قال به زفر من الحنفية وإليه ذهب المالكية، وهو ما عليه مذهب الشافعية، والذي قطع به جمهورهم، وإليه ذهب الحنابلة (1) ، واستدلوا بالسنة النبوية والمعقول.
أما السنة النبوية فبما ورد عن ابن عمر رضي الله عنهما أن عمر رضي الله عنه قال: يا رسول الله إني نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام، فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: أوفبنذرك (1) ، فرسول الله صلى الله عليه وسلم أمر عمر رضي الله عنه بالوفاء بما نذر من الاعتكاف في المسجد الحرام، ولو كان يجزئ الاعتكاف في غيره من المساجد لبينه له، كما بين لمن نذر الصلاة في المسجد الأقصى أنه يجزئه أن يصلي ما نذره في مسجد مكة؛ لحديث جابر بن عبد الله أن رجلا قام يوم الفتح، فقال: يا رسول الله، إني نذرت لله إن فتح الله عليك مكة أن أصلي في بيت المقدس ركعتين، قال: صل ههنا، ثم أعاد عليه، فقال: صل ههنا، ثم أعاد عليه، فقال: شأنك إذن (2) ، فدل هذا على أنه لا يجزئ الناذر أن يعتكف في غيره من المساجد.
وأما المعقول فقالوا: إن المسجد الحرام أفضل من سائر المساجد، فلا يجوز أن يسقط فرضه بما دونه (3) .
وقالوا: إن الناذر قد أوجب على نفسه الاعتكاف في مكان مخصوص، فإذا أدى في غيره لم يكن مؤديا ما عليه، فلايخرج عن(1) عهدة الواجب

وَأَضَافُوا: إِنَّ مَا أَوْجَبَهُ الْعَبْدُ عَلَى نَفْسِهِ مُعْتَبَرٌ بِإِيجَابِ اللَّهِ تَعَالَى مُقَيَّدًا بِمَكَانٍ لاَ يَجُوزُ أَدَاؤُهُ فِي غَيْرِهِ، كَالنَّحْرِ فِي الْحَرَمِ، وَالْوُقُوفِ بِعَرَفَةَ، وَالطَّوَافِ بِالْبَيْتِ، وَالسَّعْيِ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، فَكَذَلِكَ مَا أَوْجَبَهُ الْعَبْدُ بِالنَّذْرِ، فَيَنْبَغِي أَنْ يَتَقَيَّدَ بِمَا قُيِّدَ بِهِ (2) .

الاِتِّجَاهُ الثَّانِي: يَرَى أَنَّ مَنْ نَذَرَ الاِعْتِكَافَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَإِنَّهُ لاَ يَتَعَيَّنُ بِالنَّذْرِ، وَيُجْزِئُهُ أَنْ يَعْتَكِفَ فِي غَيْرِهِ، إِلَى هَذَا ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ، وَهُوَ قَوْلٌ فِي مَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ (3) .
وَاسْتَدَلُّوا بِالْمَعْقُول وَوَجْهُهُ: أَنَّ الْمَقْصُودَ مِنَ النَّذْرِ هُوَ التَّقَرُّبُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَل، فَلاَ يَدْخُل تَحْتَ النَّذْرِ إِلاَّ مَا كَانَ قُرْبَةً، وَلَيْسَ فِي عَيْنِ الْمَكَانِ الَّذِي يَعْتَكِفُ فِيهِ قُرْبَةٌ؛ لأَِنَّهُ مَحَلٌّ تُؤَدَّى فِيهِ الْقُرْبَةُ، فَلَمْ يَكُنْ بِنَفْسِهِ قُرْبَةً، فَلاَ يَدْخُل الْمَكَانُ تَحْتَ نَذْرِهِ، فَلاَ يَتَقَيَّدُ بِهِ، فَكَانَ ذِكْرُهُ وَالسُّكُوتُ عَنْهُ بِمَنْزِلَةٍ وَاحِدَةٍ (4) .
وَقَالُوا: إِنَّ الْمَعْرُوفَ مِنَ الشَّرْعِ أَنَّ الْتِزَامَهُ مَا هُوَ قُرْبَةٌ مُوجِبٌ، تَخْصِيصِ الْعَبْدِ الْعِبَادَةَ بِمَكَانٍ، بَل إِنَّمَا عُرْفُ ذَلِكَ لِلَّهِ تَعَالَى، فَلاَ يَتَعَدَّى لُزُومُ أَصْل الْقُرْبَةِ بِالْتِزَامِهِ إِلَى لُزُومِ التَّخْصِيصِ بِمَكَانٍ، فَكَانَ مُلْغًى وَبَقِيَ لاَزِمًا بِمَا هُوَ قُرْبَةٌ (1) . يَثْبُتْ مِنَ الشَّرْعِ اعْتِبَارُ

Wallahu A’lam bisshowab.

Kategori
Uncategorized

Q.0012.PESTA PANITIA QURBAN

PESTA PANITIA QURBAN
Deskripsi Masalah
Di Daerah Perkotaan dan hampir setiap daerah ada panitia Qurban (wakil) memakan daging hewan qurban untuk di  masak dan di makan bersama².

Pertanyaan
Apakah diperbolehkan panitia Qurban memakan daging qurban tanpa sepengetahuan orang yang ber qurban (muwakkil)?

Jawaban
Hukum memakan daging kurban oleh panitia sebagaimana deskripsi di atas adalah TIDAK BOLEH kecuali apabila panitia sudah mendapat izin dari si mudhohi (orang yang berkurban).

NB:
Izin bisa dilakukan secara lafdi (ucapan) atau urf (kebiasaan) yang berlaku.

Referensi

  • Apabila kurban wajib, maka hukumnya tidak diperbolehkan kecuali apabila sudah mendapatkan izin dan panitia merupakan golongan faqir.
    –  Kadar daging yang boleh dimasak adalah sewajarnya, kecuali sudah ditentukan kadarnya oleh orang yang berkurban seperti satu kilo dan seterusnya.

. {الباجوري، ج ١ ص ٣٨٧}.١
ولا يجوز له أخذ شيئ الأ ان عين له الموكل قدرا منها

٢. {المجموع شرح المهذب، ج ١ ص ٣٥٠}
ولايملك الوكيل من التصرف الا ما يقتضيه اذن الموكل من جهة النطق او من جهة العرف

٣. [حاشية الشرقاوي، ٢/ ١٠٨]
وَلاَيَجُوْزُ لِلْوَكِيْلِ اْلأَخْذُ مِنْهَا لِاتِّحَادِ اْلقَابِضِ وَاْلمُقْبِضِ نَعَمْ اِنْ عَيَّنَ لَهُ قَدْرًا جَازَ لِاَنَّ اْلمُقْبِضَ حِيْنَئِذٍ هُوَالْمَالِكُ

٤. [روضة الطالبين، ٣/٥٢٣]
وَلَا يَصِحُّ قَبْضُهُ لِنَفْسِهِ، لِاتِّحَادِ الْقَابِضِ وَالْمُقْبِضِ، وَلِامْتِنَاعِ كَوْنِهِ وَكِيلًا لِغَيْرِهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ. وَفِي وَجْهٍ ضَعِيفٍ: يَصِحُّ قَبْضُهُ لِنَفْسِهِ، وَإِنَّمَا يَمْتَنِعُ قَبْضُهُ مِنْ نَفْسِهِ لِغَيْرِهِ.
٥. [مغني المحتاج، ٦/ ١٣٤ }
والأضحية الواجبة لا يجوز له الأكل منها، فإن أكل منها شيئا غرم بدله
٦. {موهبة ذى الفضل، ج ٤ ص ٦٩٨ }
(قوله فلا يجوز له) اى للناذر تفريع المتن (قوله اكل شيئ منها) اى من الاضحية المنذورة وما الحق بها ولا اطعام الاغنياء منها كما بحثه ابن قاسم
٧. توشيخ ابن قاسم (٢/١٥٣)
ولا يجوز له أخذ شيء منها إلا إن عين له الموكل قدرا منها لكن قال بعضهم يجوز لوكيل تفرقة لحم العقيقة أن يأخذ منه قدر كفاية يوم فقط للغداء والعشاء لأن العادة تتسامح بذلك

Kategori
Uncategorized

Q.0011.HUKUM MENDISTRIBUSIKAN DAGING QURBAN KEPADA NON MUSLIM

Assalamualaikum.


Idzin bertanya, wahai kiyai , di kampung kami semua orang mendapat daging kurban, walaupun non muslim(orang kafir).
Apa dasar non muslim(orang kafir)dapat daging kurban? Mohon pencerahan dan ibaroh nya.
Wassalamu’alaikum warahmatullah

Wa alaikumussalam.

Jawaban:
DIKALANGAN ULAMA’ MADZHAB YANG EMPAT BERBEDA PENDAPAT

Pengikut Madzhab Imam Ahmad Bin Hanbal (عند الحنابلة)

BOLEH karena berkurban itu merupakan sedekah. Sedangkan tidak ada larangan untuk memberikan sedekah kepada pihak non-Muslim. Namun kebolehan memberikan daging kurban kepada non-Muslim tidak bisa dipahami secara mutlak. Tetapi harus dibaca dalam konteks non-Muslim yang bukan harbi (non-Muslim yang tidak memusuhi orang Islam). Dan bukan kurban wajib, tetapi kurban sunnah.

✅Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisiy Al Hanbaliy rahimahullahu ta’ala menjelaskan dalam kitabnya Al Mughniy :

فَصْلٌ : وَيَجُوزُ أَنْ يُطْعِمَ مِنْهَا كَافِرًا .وَبِهَذَا قَالَ الْحَسَنُ ، وَأَبُو ثَوْرٍ ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ وَقَالَ مَالِكٌ : غَيْرُهُمْ أَحَبُّ إلَيْنَا .وَكَرِهَ مَالِكٌ وَاللَّيْثُ إعْطَاءَ النَّصْرَانِيِّ جِلْدَ الْأُضْحِيَّةِ . وَلَنَا أَنَّهُ طَعَامٌ لَهُ أَكْلُهُ فَجَازَ إطْعَامُهُ لِلذِّمِّيِّ ، كَسَائِرِ طَعَامِهِ ، وَلِأَنَّهُ صَدَقَةُ تَطَوُّعٍ ، فَجَازَ إطْعَامُهَا الذِّمِّيَّ وَالْأَسِيرَ ، كَسَائِرِ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ .فَأَمَّا الصَّدَقَةُ الْوَاجِبَةُ مِنْهَا ، فَلَا يُجْزِئُ دَفْعُهَا إلَى كَافِرٍ لِأَنَّهَا صَدَقَةٌ وَاجِبَةٌ ، فَأَشْبَهَتْ الزَّكَاةَ ، وَكَفَّارَةَ الْيَمِينِ
[انظر كتاب المغني : ج ٩ ص ٤٥٠ / مسألة الاستحباب أن يأكل ثلث أضحيته ويهدي ثلثها ويتصدق بثلثها / فصل يجوز إطعام الكافر من الأضحية / للإمام أبو محمد عبد الله بن أحمد بن محمد بن قدامة (٥٤١ – ٦٢٠ ه) على مختصر: أبي القاسم عمر بن حسين بن عبد الله بن أحمد الخرقي (المتوفى ٣٣٤ ه) / الناشر: مكتبة القاهرة، الطبعة: الأولى، (١٣٨٨ هـ = ١٩٦٨ مـ) – (١٣٨٩ هـ = ١٩٦٩ مـ)].

(Pasal): DAN BOLEH MEMBERIKAN MAKAN DARI HEWAN KURBAN KEPADA ORANG KAFIR. Inilah pandangan yang yang dikemukakan oleh Al-Hasanul Bashri, Abu Tsaur, dan kelompok rasionalis (ashhabur ra’yi). Imam Malik berkata, ‘Selain mereka (orang kafir) lebih kami sukai’. Menurut Imam Malik dan Al-Laits, makruh memberikan kulit hewan kurban kepada orang Nasrani. Sedang menurut kami, itu adalah makanan yang boleh dimakan karenanya boleh memberikan kepada kafir dzimmi sebagaimana semua makanannya,
[Lihat Kitab Al Mughniy : Juz 9 Hal 450. Karya Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisiy Al Hanbaliy].

✅Menurut Pengikut Madzhab Imam Malik (عند المالكية)

MAKRUH memberikan daging kurban kepada kafir dzimmi ataupun yang lainnya kecuali mereka masih kerabatnya

✅Imam Al Kharsyi Al Malikiy rahimahullahu ta’ala menjelaskan dalam kitabnya Syarhu Al Kharsyi ‘Ala Mukhtashar Khalil :

الْمَشْهُورُ مِنْ الْمَذْهَبِ أَنَّهُ يُكْرَهُ لِلْمُضَحِّي أَنْ يُطْعِمَ الْكَافِرَ سَوَاءٌ كَانَ ذِمِّيًّا أَوْ غَيْرَهُ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ لِأَنَّهَا قُرْبَةٌ وَلَيْسَ هُوَ مِنْ أَهْلِ الْقُرَبِ وَهَلْ مَحَلُّ الْكَرَاهَةِ أَيْ كَرَاهَةِ إطْعَامِ الْكَافِرِ مِنْهَا إذَا بَعَثَ لَهُ مِنْهَا إلَى مَنْزِلِهِ أَمَّا إنْ كَانَ فِي عِيَالِ الْمُضَحِّي كَالظِّئْرِ وَعَبْدِهِ النَّصْرَانِيِّ أَوْ وَلَدِهِ النَّصْرَانِيِّ فَلَا كَرَاهَةَ وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ حَبِيبٍ أَوْ الْكَرَاهَةُ مُطْلَقًا
[انظر كتاب شرح الخرشي على مختصر خليل : ج ٣ ص ٤١ / للامام أبو عبد الله محمد الخرشي المالكي / الناشر: المطبعة الكبرى الأميرية ببولاق مصر، الطبعة: الثانية، ١٣١٧ هـ].

Pandangan mazhab yang terkenal adalah tidak disukainya orang yang menyembelih kurban untuk memberi makan orang kafir, baik dia dzimmi atau orang lain dari kurbannya, karena itu termasuk ibadah dan dia bukan salah satu dari kerabat

Dan objek makruh yaitu makrooh memberi makan sebagian kepada orang kafir jika sebagian dikirim kepadanya ke rumahnya, tetapi jika ada di antara anak-anak kurban seperti lumbung dan budaknya yang beragama Kristen atau anak laki-lakinya yang beragama Kristen , maka tidak ada makruh, kata Ibnu Habib atau makruh sama sekali

✅Menurut Pengikut Madzhab Imam Imam Asy Syafi’iy (عند الشافعية)

a).MUTLAQ TIDAK BOLEH (BAIK DARI QURBAN SUNAT MAUPUN WAJIB), sebab, hewan kurban adalah jamuan Allah (dhiyafatullah) untuk mereka kaum muslimin yang fakir miskin pada hari raya Idul Adha.

Sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Nihayatul Muhtaj Ila Syarhi Al Minhaj oleh Imam Syamsuddin Ar Ramliy Asy Syafi’iy :

لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ أَوْ ارْتَدَّ فَلَا يَجُوزُ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا كَمَا لَا يَجُوزُ إطْعَامُ كَافِرٍ مِنْهَا مُطْلَقًا , وَيُؤْخَذُ مِنْ ذَلِكَ امْتِنَاعُ إعْطَاءِ الْفَقِيرِ وَالْمُهْدَى إلَيْهِ مِنْهَا شَيْئًا لِلْكَافِرِ , إذْ الْقَصْدُ مِنْهَا إرْفَاقُ الْمُسْلِمِينَ بِالْأَكْلِ لِأَنَّهَا ضِيَافَةُ اللَّهِ لَهُمْ فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ تَمْكِينُ غَيْرِهِمْ مِنْهُ لَكِنْ فِي الْمَجْمُوعِ أَنَّ مُقْتَضَى الْمَذْهَبِ الْجَوَازُ
[انظر كتاب نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج : ج ٨ ص ١٤١ / كتاب الأضحية / للإمام شمس الدين محمد بن أبي العباس أحمد بن حمزة شهاب الدين الرملي الشافعي (ت ١٠٠٤هـ) / الناشر: دار الفكر، بيروت، الطبعة: ط أخيرة – ١٤٠٤هـ/١٩٨٤مـ].

“Apabila seseorang berkurban untuk orang lain atau ia menjadi murtad, maka ia tidak boleh memakan daging kurban tersebut sebagaimana tidak boleh memberikan makan dengan daging kurban kepada orang kafir SECARA MUTLAK. Dari sini dapat dipahami bahwa orang fakir atau orang (kaya, pent) diberi yang kurban tidak boleh memberikan sedikitpun kepada orang kafir. Sebab, tujuan dari kurban adalah memberikan belas kasih kepada kaum Muslim dengan memberi makan kepada mereka, karena kurban itu sendiri adalah jamuan Allah untuk mereka. Maka tidak boleh bagi mereka memberikan kepada selain mereka. AKAN TETAPI MENURUT PENDAPAT KETENTUAN MADZHAB SYAFI’I CENDERUNG MEMBOLEHKANYA,”
[Lihat Kitab Nihayatu Al Muhtaj ila Syarhi Al Minhaj : Juz VIII, Hal 141. Karya Imam Syamsuddin Ar Ramliy Asy Syafi’iy].

Pendukung pendapat ini adalah bahwa tujuan kurban itu sendiri adalah untuk menunjukkan belas kasih kepada orang-orang Muslim dengan cara memberi makan kepada mereka. Sebab, hewan kurban adalah jamuan Allah (dhiyafatullah) untuk mereka pada hari raya Idul Adha. Konsekuensi logis dari cara pandangan seperti ini adalah TIDAK DIPERBOLEHKAN MEMBERIKAN DAGING KURBAN KEPADA NON-MUSLIM.

Dijelaskan oleh Imam Ibnu Hajar Al Haitamiy Asy Syafi’iy rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya Tuhfatu Al-Muhtaj:

( وَلَهُ ) أَيْ الْمُضَحِّي عَنْ نَفْسِهِ مَا لَمْ يَرْتَدَّ إذْ لَا يَجُوزُ لِكَافِرٍ الْأَكْلُ مِنْهَا مُطْلَقًا وَيُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّ الْفَقِيرَ وَالْمُهْدَى إلَيْهِ لَا يُطْعِمُهُ مِنْهَا وَيُوَجَّهُ بِأَنَّ الْقَصْدَ مِنْهَا إرْفَاقُ الْمُسْلِمِينَ بِأَكْلِهَا فَلَمْ يَجُزْ لَهُمْ تَمْكِينُ غَيْرِهِمْ مِنْهُ
[انظر كتاب تحفة المحتاج في شرح المنهاج : ج ٩ ص ٣٦٣ / كتاب الأضحية / للإمام أحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي الشافعي/ الناشر: المكتبة التجارية الكبرى بمصر لصاحبها مصطفى محمد، الطبعة: بدون طبعة، عام النشر: ١٣٥٧ هـ – ١٩٨٣ مـ].

(Dan baginya) yaitu, orang yang berkurban atasnama dirinya sendiri, selama dia tidak murtad, karena orang kafir TIDAK BOLEH MEMAKANNYA SAMA SEKALI (SECARA MUTLAK), yang diambil dari sembelihannya, dan diambil dari situ bahwa orang miskin dan orang yang diberikan hadiah kepadanya tidak boleh makan darinya, dan niatnya adalah untuk mengikat umat Islam untuk memakannya, maka tidak diperbolehkan bagi mereka untuk memberikan kesempatan/celah kemungkinan orang lain memakannya.

b).BOLEH JIKA DARI KURBAN SUNNAH, BANGET(SANGAT) KEFAKIRANNYA, dan BOLEH memberikan makanan kepada para tawanan, karena hal itu baik, dan pahala bisa diharapkan.

Yang memperbolehkan disyaratkan orang kafirnya harus faqiier sekali jikalau tidak memakannya bisa mati

Sebagaimana penjelasan Syaikh Sulaiman Al Bujairamiy Asy Syafi’iy rahimahullahu ta’ala dalam kitab Hasyiyyahnya :

لَكِنْ فِي الْمَجْمُوعِ أَنَّ مُقْتَضَى الْمَذْهَبِ الْجَوَازُ وَفِي ع ش عَلَى م ر.

(قَوْلُهُ: كَمَا لَا يَجُوزُ إطْعَامُ كَافِرٍ) دَخَلَ فِي الْإِطْعَامِ مَا لَوْ ضَيَّفَ الْفَقِيرُ أَوْ الْمُهْدَى إلَيْهِ الْغَنِيُّ كَافِرًا فَلَا يَجُوزُ، نَعَمْ لَوْ اضْطَرَّ الْكَافِرُ وَلَمْ يَجِدْ مَا يَدْفَعُ ضَرُورَتَهُ إلَّا لَحْمَ الْأُضْحِيَّةِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَدْفَعَ لَهُ مِنْهُ مَا يَدْفَعُ ضَرُورَتَهُ وَيَضْمَنُهُ الْكَافِرُ بِبَدَلِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَلَوْ كَانَ الدَّافِعُ لَهُ غَنِيًّا كَمَا لَوْ أَكَلَ الْمُضْطَرُّ طَعَامَ غَيْرِهِ فَإِنَّهُ يَضْمَنُهُ بِالْبَدَلِ، وَلَا تَكُونُ الضَّرُورَةُ مُبِيحَةً لَهُ إيَّاهُ مَجَّانًا (قَوْلُهُ: مُطْلَقًا) أَيْ فَقِيرًا أَوْ غَنِيًّا مَنْدُوبَةٌ أَوْ وَاجِبَةٌ
[انظر كتاب تحفة الحبيب على شرح الخطيب = حاشية البجيرمي على الخطيب : ج ٤ ص ٣٤٠ / كتاب الصيد والذبائح / فصل في الأضحية / للإمام سليمان بن محمد بن عمر البُجَيْرَمِيّ المصري الشافعي (ت ١٢٢١هـ) / الناشر: دار الفكر، تاريخ النشر: ١٤١٥هـ – ١٩٩٥مـ].

Akan tetapi dalam kitab Al Majmu’ disebutkan ketentuan Madzhab Asy Syafi’iy adalah BOLEH memberikan daging kurban kepada non-Muslim

“Pendapat yang mengatakan non muslim tidak boleh diberikan qurban, larangan tersebut termasuk juga ketika orang faqir atau orang muslim kaya yang diberikan hadiah daging qurban kedatangan tamu orang kafir maka dilarang memberikan jamuan qurban kepadanya. Tetapi bila orang kafir tersebut bertamu dan ia kelaparan sampai tidak ada makanan untuk menolong nyawanya melainkan daging qurban, maka BOLEH DIBERIKAN KEPADANYA SEUKURAN YANG DAPAT MENOLONG IA AGAR TIDAK MATI. Dan si non muslim tersebut harus memberikan ganti rugi uang sebesar harga daging yang ia makan, sekalipun yang memberikan makan kepadanya orang kaya. Sebagaimana orang yang mengalami dharurat (terpaksa) mencuri atau makan makanan orang lain tanpa izin, maka ia harus berikan ganti rugi (untuk menghalalkannya). Kondisi darurat (terpakasa) yang dialami seseorang tidak begitu saja menjadikan gratis barang yang ia makan. Perkataan kafir dilarang secara mutlak, yang dimaksud kafir adalah seluruhnya baik ia faqir atau kaya. Baik qurban sunnah atau juga qurban wajib.

✅Menurut Pengikut Madzhab Imam Abu Hanifah (عند الحنفية)

TIDAK BOLEH mengalokasikan denda kifarat, nadzar, sedekah zakat fitrah, dan daging kurban kepada orang kafir harbi (orang kafir yang memerangi Islam). Dan BOLEH MEMBERIKAN KEPADA KAFIR DZIMMI (kafir yang tidak memerangi orang Islam).

Imam ‘Alauddin Al Kasaniy Al Hanafiy rahimahullahu ta’ala menjelaskan dalam kitabnya Badai’u Ash Shanai’ Fi Tartibi Asy Syarai’ :

وَرُوِيَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ لَا يَجُوزُ، وَهَذِهِ الرِّوَايَةُ بِقَوْلِ أَصْحَابِنَا – رَحِمَهُمُ اللَّهُ -: أَشْبَهُ فَإِنَّهُمْ قَالُوا: إنَّهُ لَا يَجُوزُ صَرْفُ الْكَفَّارَةِ وَالنَّذْرِ وَصَدَقَةِ الْفِطْرِ وَالْأُضْحِيَّةِ إلَى الْحَرْبِيِّ الْمُسْتَأْمَنِ لِمَا فِيهِ مِنْ الْإِعَانَةِ عَلَى الْحِرَابِ، وَيَجُوزُ صَرْفُهَا إلَى الذِّمِّيِّ؛ لِأَنَّا مَا نُهِينَا عَنْ بِرِّ أَهْلِ الذِّمَّةِ
[انظر كتاب بدائع الصنائعفي ترتيب الشرائع : ج ٧ ص ٣٤١ / فصل في شرائط ركن الوصية / الشرط الذي يرجع إلى الموصى له / للامام علاء الدين، أبو بكر بن مسعود الكاساني الحنفي الملقب بـ «بملك العلماء» (ت ٥٨٧ هـ) ، الطبعة: الأولى ١٣٢٧ – ١٣٢٨ هـ].

Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah rahimahullahu bahwa itu tidak diperbolehkan, dan narasi ini sesuai dengan kata-kata sahabat kita (Hanafiyyah) – rahimahumullahu -: Mereka berkata: TIDAK BOLEH mengalokasikan denda kifarat, nadzar, sedekah zakat fitrah, dan daging kurban kepada orang kafir harbi (orang kafir yang memerangi Islam) yang diharapkan keamanannya, karena hali itu bisa membantu mereka memerangi (orang Islam). Dan BOLEH MEMBERIKAN KEPADA KAFIR DZIMMI (yang tidak memerangi orang Islam), karena kami tidak dilarang untuk berbuat kebaikan kepada orang-orang kafir dzimmi.
[Lihat Kitab Badai’u Ash Shanai’ Fi Tartibi Asy Syarai’ : Juz 7 Hal 347. Karya Imam ‘Alauddin Al Kasaniy Al Hanafiy].

Didalam kitab Al-Fatawa Al-‘Alamgiriyya atau Al-Fatawa Al-Hindiyya, dijelaskan :

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ أُضْحِيَّتِهِ وَيُطْعِمَ مِنْهَا غَيْرَهُ، وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِالثُّلُثِ وَيَتَّخِذَ الثُّلُثَ ضِيَافَةً لِأَقَارِبِهِ وَأَصْدِقَائِهِ، وَيَدَّخِرَ الثُّلُثَ، وَيُطْعِمَ الْغَنِيَّ وَالْفَقِيرَ جَمِيعًا، كَذَا فِي الْبَدَائِعِ. وَيَهَبُ مِنْهَا مَا شَاءَ لِلْغَنِيِّ وَالْفَقِيرِ وَالْمُسْلِمِ وَالذِّمِّيِّ، كَذَا فِي الْغِيَاثِيَّةِ.
[انظر كتاب الفتاوى العالمكيرية المعروفة بالفتاوى الهندية : ج ٥ ص ٣٠٠ / كتاب الأضحية وفيه تسعة أبواب الباب السادس في بيان ما يستحب في الأضحية والانتفاع بها / المؤلف: جماعة من العلماء
برئاسة الشيخ: نظام الدين البرنهابوري البلخي
بأمر السلطان: محمد أورنك زيب عالمكير، الطبعة: الثانية، ١٣١٠ هـ / الناشر: المطبعة الكبرى الأميرية ببولاق مصر – بدون السنة]

“DISUNNAHKAH agar dia memakan sendiri kurbannya dan memberikan kepada orang lain. Yang paling afdhol adalah dia bersedekah dengan sepertiganya, mengambil sepertiganya lagi untuk memberi makan tamu dan keluarganya, dan menyimpan sepertiga lagi. Dia juga boleh memberikannya kepada yang kaya maupun miskin, demikian dari kitab Al-Bada`i’. Atau dia BOLEH MEMBERIKANNYA SEMAUNYA DIA KEPADA ORANG FAKIR DAN KAYA, MUSLIM MAPUN DZIMMI.”
[Lihat kitab Al-Fatawa Al-‘Alamgiriyya atau Al-Fatawa Al-Hindiyya, dijelaskan : Juz 5 Hal 300. Disusun Oleh Para Ulama’ India Yang Diketuai Oleh Al-Sheikh Nizam Al-Din Al-Balkhi Dengan Perintah Sultan Abu Al-muzaffar Muhammad Aurangzeb Alamgiriyya. Ia Adalah Fatwa Yang Berlandaskan Madzhab Hanafiy].

Referensi :


فقه الزكاة دكتور يوسف القرضاوى الجزء الثانى

إعطاء أهل الذمة من الصدقات
أما أهل الذمة وهم أهل الكتاب ومن في حكمهم ممن يعيشون بين ظهراني المسلمين، حيث دخلوا في ذمتهم، وخضعوا لسلطان دولتهم، وقبلوا جريان أحكام الإسلام عليهم، واكتسبوا بذلك التبعية لدار الإسلام، أو ما يشبه “الجنسية” بلغة عصرنا، فهؤلاء في صرف الزكاة والصدقات إليهم، خلاف وتفصيل، نوضحه فيما يلي:
الإعطاء من صدقة التطوع:
لا جناح على المسلم أن يعطي غير المسلم من أهل الذمة مما يتطوع به من الصدقات رعاية للرابطة الإنسانية، ولحرمة العهد الذي بينهم وبين المسلمين. وكفرهم بالإسلام لا يمنع من البر بهم والإحسان إليهم – ما داموا غير محاربين للمسلمين – قال تعالى: (لا ينهاكم الله عن الذي لم يقاتلوكم في الدين ولم يخرجوكم من دياركم أن تبروهم وتقسطوا إليهم، إن الله يحب المقسطين) (الممتحنة: 8).

وقد نزلت هذه الآية ردًا على تحرج بعض المسلمين من برِّ أقاربهم المشركين.
وقبل هذا ما رواه عن ابن عباس: أنهم كانوا يكرهون الصدقة على أنسابهم وأقربائهم من المشركين، فسألوا فرخِّص لهم، ونزلت هذه الآية (ابن كثير: 4/349 – طبع الحلبي). (ليس عليك هداهم ولكن الله يهدي من يشاء، وما تنفقوا من خير فلأنفسكم، وما تنفقون إلا ابتغاء وجه الله، وما تنفقوا من خير يوف إليكم وأنتم لا تظلمون) (البقرة: 272).
ومعنى (وما تنفقون إلا ابتغاء وجه الله) – كما قال ابن كثير (الجزء الأول ص 224)- أن المتصدق إذا تصدق ابتغاء وجه الله فقد وقع أجره على الله، ولا عليه في نفس الأمر لمن أصاب: ألبرٍّ أو فاجر؟ أو مستحق أو غيره؟ وهو مثاب على قصده، ومستند هذا تمام الآية: (وما تنفقوا من خير يوف إليكم وأنتم لا تظلمون).
وقد مدح الله الأبرار من عباده بقوله: (ويطعمون الطعام على حبه مسكينًا ويتيمًا وأسيرًا) (الإنسان: 8).
وقد كان الأسرى حينئذ من أهل الشرك، كما جاء عن الحسن وغيره (مصنف ابن أبي شيبة: 4/39-40).


Memberi sedekah kepada para dhimmi, (Kristen dll)
Memberikan sedekah kepada orang kristen ,Ahli Kitab dan orang-orang yang serupa dengan mereka, yang hidup di tengah-tengah kaum Muslimin, di mana mereka memasuki dzimma mereka, tunduk pada Pemerintah negara mereka, menerima aliran hukum Islam atas mereka. , dan dengan demikian timbul ketergantungan pada keislaman, atau yang disamakan dengan “kebangsaan” dalam bahasa zaman kita ini. Dalam mengeluarkan zakat dan sedekah kepada mereka, terdapat perbedaan dan perincian, yang kami jelaskan sebagai berikut:
Memberi dari sukarela amal:
Tidak ada dosa bagi seorang Muslim jika dia memberikan kepada non-Muslim dari kaum Dhimmah apa yang dia berikan secara sukarela untuk memelihara ikatan manusia, dan untuk kesucian perjanjian antara mereka dan kaum Muslimin. Dan kekafiran mereka terhadap Islam tidak menghalangi mereka untuk berbuat baik kepada mereka dan memperlakukan mereka dengan baik – selama mereka tidak memerangi kaum Muslimin – Allah yang Maha Tinggi berfirman: (Allah tidak melarang kamu dari orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama. dan tidak mengusir kamu dari rumahmu, agar kamu bersikap baik kepada mereka dan memperlakukan mereka dengan adil, karena Allah menyukai orang-orang yang adil) (Al-Mumtahinah: 8).

Wallahu A’lam bisshowab

Kategori
Uncategorized

AKAD NIKAH TIDAK DALAM SATU MAJLIS

Assalamualaikum.

Studi Kasus.
Ketika akad nikah dimulai Wali nikah dan calon istri tidak dalam satu tempat melainkan wali dirumah sementara Calon suami disekolah, namun dalam kondisi pelaksanaan tersebut agar bisa terdengar ucapan ijab dan qobulnya memakai pengeras suara.

Pertanyaanya.
Sahkan akad nikah seseorang ketika dalam akad nikahnya dibatasi jarak antara Wali dan calon istri (tidak dalam satu majlis)?

Jawaban:
Hukum tentang akad nikah tidak dalam satu majlis sebagai mana kasus diatas setidaknya ada tiga pendapat dikalangan para Ulama fiqih

Menurut Hanafiyah: Tidak sah akad nikah yang kondisi pelaksanaannya tidak dalam satu majlis (tempat).
Menurut Malikiyah dan Syafi’iyah :Dalam akad nikah harus dalam satu majlis hal ini sama dengan pendapat diatas.
Menurut Hanabilah : Sah akad nikah walaupun berbeda tempat dan ada pemisah.

Adapun keabsahan dan tidaknya akad sebagaimana yang kami jelaskan diatas, jika akad nikah dalam satu majlis secara Hakiki.( artinya tidak berbeda tempat) maka sah menurut Hanafi Maliki dan Syafi’ie (artinya secara mafhum mukhalafah jika beda tempat dan terpisah maka tidak sah) . Demikian juga halnya pelaksanaan akad di satu majlis secara hukmi maka tidak ada perbedaan pendapat dikalangan Hanafiyah, dan Hanabilah bahwa hal yang sedemikan tidak masalah seperti majlis ilmu ( atau sekolah) walaupun wali dan cantin laki-laki berbeda tempat Yakni Wali nikah diruang satu sedangkan Calon istri diruang dua. Alasannya karena masih satu rumpun atau tempat secara hukmi yaitu disekolah.

الموسوعة الفقهية – 335/31949

اتحاد المجلس في عقد النكاح:
15 – للعلماء في ارتباط الإيجاب بالقبول في عقد النكاح مع اتحاد المجلس ثلاثة آراء:

الأول: اشتراط اتحاد المجلس، فلو اختلف المجلس لم ينعقد كما لو أوجب أحدهما فقام الآخر أو اشتغل بعمل آخر، ولا يشترط فيه الفور.
وهو مذهب الحنفية، وهو الصحيح عند
الحنابلة، وهو ما في المعيار عن الباجي من المالكية (1) .
الثاني: اشتراط الفورية بين الإيجاب والقبول في المجلس الواحد، وهو قول المالكية عدا ما تقدم عن الباجي، وهو قول الشافعية، غير أنهم اغتفروا فيه الفاصل اليسير. وضبط القفال الفاصل الكثير بأن يكون زمنا لو سكتا فيه لخرج الجواب عن كونه جوابا. والأولى ضبطه بالعرف (2) .
الثالث: صحة العقد مع اختلاف المجلس، وهو رواية للحنابلة. وعليها لا يبطل النكاح مع التفرق (3) .
وهذا كله عند اتحاد المجلس الحقيقي، أما مع اتحاد المجلس الحكمي فلا يختلف الأمر عند الحنفية في اشتراط القبول في مجلس العلم، وهو الصحيح عند الحنابلة (4) .
واشترط المالكية الفورية في الإيجاب حين العلم (5) . والصحيح عند الشافعية أنه لا ينعقد النكاح بالكتابة. وكذلك إن كان الزوج غائبا وبلغه الإيجاب من ولي الزوجة. وإذا صححنا في المسألتين فيشترط القبول في مجلس بلوغ الخبر وعلى الفور (6) .

Wallahu A’lam bisshowab

Kategori
Uncategorized

MAHAR DALAM AKAD NIKAH


Assalamu alaikum.wr.wb
Maaf sebelumnya kiyai mengganggu waktunya, mau bertanya.

Pertanyaannya:
Bagaimana akad nikah seorang yang dalam waktu ijab qobul penyebutan maharnya oleh orang yang meng akad nikah tidak sesuai dengan yang di minta oleh calon manten prempuan. Yang di minta oleh penganten perempuan mahar(maskawin)nya mas 2 gram ternyata oleh yang meng akad nikah menyebut 2 juta rupiah. Kemudian ada salah satu saksi menyatakan akad itu sah dengan alasan penyebutan mahar(maskawin )dalam akad nikah itu sunnah, dan manten laki-lakinya sudah paham(maklum) dengan mahar(maskawin )yang di minta oleh pihak manten perempuan. Mohon tanggapannya kiyai karena ini terjadi dengan tetangga saya.
Wassalamualaikum.
Mohon dengan ibaratnya klo ada..

Wa alaikumussalam.
Jawaban:

1)• Menurut Madzhab Imam Ahmad Bin Hanbal

Akad Nikah Sempurna tanpa menyebutkan mahar (maskawin) nya

قال ابن قدامة رحمه الله في “المغني” (7/182) :

“وَجُمْلَتُهُ أَنَّ النِّكَاحَ يَصِحُّ مِنْ غَيْرِ تَسْمِيَةِ صَدَاقٍ , فِي قَوْلِ عَامَّةِ أَهْلِ الْعِلْمِ , في قول عامة أهل العلم . وقد دل على هذا قول الله تعالى : (لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمْ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً) البقرة/236 ، وروي أن ابن مسعود سئل عن رجل تزوج امرأة , ولم يفرض لها صداقا , ولم يدخل بها حتى مات , فقال ابن مسعود : لها صداق نسائها , لا وكس ولا شطط , وعليها العدة , ولها الميراث . فقام معقل بن سنان الأشجعي , فقال : (قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم في بروع بنت واشق , امرأة منا مثل ما قضيت) أخرجه أبو داود والترمذي , وقال : حديث حسن صحيح ” انتهى

Ibn Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni (7/182):

“Kesimpulannya, pernikahan sah tanpa penentuan mahar menurut pendapat mayoritas ulama. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala:

(Tidak ada dosa atas kalian jika menceraikan wanita sebelum kalian menyentuh mereka atau sebelum kalian menentukan mahar bagi mereka) – (QS. Al-Baqarah: 236).

Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita tanpa menentukan mahar, lalu ia meninggal sebelum berhubungan dengannya. Maka Ibnu Mas’ud menjawab: Wanita itu berhak mendapatkan mahar yang setara dengan mahar wanita sejenisnya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Ia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.

Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata: Rasulullah ﷺ telah memutuskan perkara Buru’ binti Wasyiq, seorang wanita dari kaum kami, seperti yang engkau putuskan.

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi, yang mengatakan: Hadis ini hasan sahih.”

Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisiy Al Hanbaliy rahimahullahu ta’ala mengatakan dalam kitabnya Al Mughniy :

ويستحب أن لا يعرى النكاح عن تسمية الصداق؛ لأن النبي – صلى الله عليه وسلم – كان يزوج بناته وغيرهن ويتزوج، فلم يكن يخلي ذلك من صداق…. ولأنه أقطع للنزاع وللخلاف فيه، وليس ذكره شرطا

Dianjurkan agar ketika akad nikah tidak lepas dari penyebutan mahar (maskawin ). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan putri-putrinya dan wanita lainnya, serta ketika beliau sendiri menikah, semuanya tidak lepas dari penyebutan mahar (maskawin)….. disamping itu, penyebutan mahar (maskawin ) akan memangkas terjadinya perselisihan dalam keluarga, meskipun itu bukan syarat.
(Lihat Kitab al-Mughni, 7/210).

Oleh karena itu, mahar (maskawin ) ketika akad nikah statusnya lebih longgar. Mahar (maskawin ) boleh tidak disebutkan, atau mahar (maskawin) tidak harus disebutkan secara detail. Salah menyebut mahar ( maskawin ) tidak mempengaruhi keabsahan akad nikah. Yang penting, nikah harus ada mahar (maskawin) nya.

2)• Menurut Pengikut Madzhab Imam Asy Syafi’iy

Walaupun mahar (maskawin)wajib hukumnya namun hanya Sunnah menyebutkan mahar (maskawin) ketika akad nikah berlangsung

Al-Imam An-Nawawiy Asy Syafi’iy rahimahullah dalam kitab Rasudhatu Ath-Thalibin menyebutkan :

قَالَ الأَصْحَابُ : لَيْسَ الْمَهْرُ رُكْنًا فِي النِّكَاحِ بِخِلافِ الْمَبِيعِ وَالثَّمَنِ فِي الْبَيْعِ

Al-Ashab (Syafi’iyyah) berkata : Mahar (maskawin ) itu bukan rukun dalam nikah, berbeda dengan barang yang diperjual-belikan dan uang dalam jual-beli.

Apakah mahar (maskawin ) ini perlu disebutkan dalam akad nikah atau tidak, Syaikh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, 2000), hal. 234 menjelaskan :

[ويستحب تسمية المهر في] عقد [النكاح] … [فإن لم يُسَمَّ] في عقد النكاح مهرٌ [صح العقد]

“DISUNNAHKAN menyebutkan mahar (maskawin )dalam akad nikah… meskipun jika mahar ( maskawin) tidak disebutkan dalam akad, akad nikahnya tetap sah.”

Hal yang sama juga disampaikan oleh Imam An-Nawawiy Asy Syafi’iy rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzab,

ويجوز من غير صداق، لقوله تعالى (لا جناح عليكم إن طلقتم النساء ما لم تمسوهن أو تفرضوا لهن فريضة) فأثبت الطلاق مع عدم الفرض

”Boleh akad nikah tanpa menyebut mahar (maskawin), berdasarkan firman Allah (yang artinya), Tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur (betjima’) dengan istri-istri kamu dan sebelum kamu menentukan mahar (maskawin)nya. Allah menilai sah talak tanpa menentukan mahar.”
(Lihat Kitab al-Majmu’, 16/322)

Dan didalam kitab Fathul Mu’in disebutkan:

وينعقد النكاح بلاذكرمهر في العقد بل يسن ذكره فيه وكره اخلأه عنه

“Sah akad nikah yang tidak menyebutkan mahar (maskawin), tetapi disunnahkan menyebutkan mahar(maskawin ) dalam akad nikah dan makruh meninggalkan menyebutkan mahar (maskawin ) dalam akad nikah .”

الموسوعة الفقهية الكويتية ج٢٤ص٦٤

أ – الْمَهْرُ:
١٥ – الْمَهْرُ هُوَ الْمَال الَّذِي تَسْتَحِقُّهُ الزَّوْجَةُ عَلَى زَوْجِهَا بِالْعَقْدِ عَلَيْهَا أَوْ بِالدُّخُول بِهَا (١) . وَهُوَ حَقٌّ وَاجِبٌ لِلْمَرْأَةِ عَلَى الرَّجُل عَطِيَّةً مِنَ اللَّهِ تَعَالَى مُبْتَدَأَةً، أَوْ هَدِيَّةً أَوْجَبَهَا عَلَى الرَّجُل بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً} (٢) إِظْهَارًا لِخَطَرِ هَذَا الْعَقْدِ وَمَكَانَتِهِ، وَإِعْزَازًا لِلْمَرْأَةِ وَإِكْرَامًا لَهَا.
وَالْمَهْرُ لَيْسَ شَرْطًا فِي عَقْدِ الزَّوَاجِ وَلاَ رُكْنًا عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ، وَإِنَّمَا هُوَ أَثَرٌ مِنْ آثَارِهِ الْمُتَرَتِّبَةِ عَلَيْهِ، فَإِذَا تَمَّ الْعَقْدُ بِدُونِ ذِكْرِ مَهْرٍ صَحَّ بِاتِّفَاقِ الْجُمْهُورِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً} (٣) فَإِبَاحَةُ الطَّلاَقِ قَبْل الْمَسِيسِ وَقَبْل فَرْضِ صَدَاقٍ يَدُل عَلَى جَوَازِ عَدَمِ تَسْمِيَةِ الْمَهْرِ فِي الْعَقْدِ. وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يَعْرَى النِّكَاحُ عَنْ تَسْمِيَةِ الصَّدَاقِ، لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُزَوِّجُ بَنَاتِهِ وَغَيْرَهُنَّ، وَيَتَزَوَّجُ وَلَمْ يَكُنْ يُخَلِّي النِّكَاحَ مِنْ صَدَاقٍ.
وَقَال الْمَالِكِيَّةُ: يَفْسُدُ النِّكَاحُ إِنْ نَقَصَ صَدَاقُهُ عَنْ رُبُعِ دِينَارٍ شَرْعِيٍّ أَوْ ثَلاَثَةِ دَرَاهِمَ، وَيُتِمُّ النَّاقِصَ عَمَّا ذُكِرَ وُجُوبًا إِنْ دَخَل، وَإِنْ لَمْ مِنْهُمَا بِالآْخَرِ فَيَحِل لِلزَّوْجَةِ مِنْ زَوْجِهَا مَا يَحِل لَهُ مِنْهَا،

Mahar

15 – Mahar adalah harta yang berhak diterima oleh istri dari suaminya karena akad nikah atau karena telah terjadi hubungan suami istri. Mahar merupakan hak yang wajib diberikan kepada perempuan oleh laki-laki sebagai pemberian dari Allah Ta’ala sejak awal atau sebagai hadiah yang diwajibkan atas laki-laki, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh keikhlasan.” (QS. An-Nisa: 4)

Hal ini sebagai bentuk penghormatan terhadap kedudukan akad nikah serta untuk memuliakan dan menghargai perempuan.

Hukum Mahar dalam Pernikahan

Mahar bukanlah syarat dalam akad nikah dan bukan pula rukun menurut mayoritas ulama. Namun, ia merupakan salah satu konsekuensi yang timbul dari akad tersebut. Oleh karena itu, jika akad nikah dilakukan tanpa penyebutan mahar, maka tetap sah menurut kesepakatan mayoritas ulama, berdasarkan firman Allah Ta’ala:

“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita sebelum kamu menyentuh mereka atau sebelum menentukan mahar bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 236)

Diperbolehkannya perceraian sebelum terjadi hubungan suami istri dan sebelum penentuan mahar menunjukkan bahwa tidak wajib menyebutkan mahar dalam akad nikah.

Namun, disunnahkan agar pernikahan tidak lepas dari penyebutan mahar, karena Nabi ﷺ biasa menikahkan putri-putrinya dan wanita lain, serta beliau sendiri menikah, dan tidak pernah meninggalkan penyebutan mahar dalam pernikahan.

Adapun menurut mazhab Maliki, pernikahan dianggap fasid (rusak) jika mahar yang diberikan kurang dari ¼ dinar syar’i atau tiga dirham. Jika suami telah berhubungan dengan istrinya, maka wajib menyempurnakan kekurangan mahar tersebut hingga mencapai batas minimal yang disebutkan. Jika belum terjadi hubungan, maka masing-masing boleh membatalkan pernikahan.

اسنى المطالب المكتبة الشاملة ص ١٢٩٧-١٢٩٨
[الْبَابُ الثَّانِي فِي حُكْمِ الصَّدَاقِ الْفَاسِدِ]
(الْبَابُ الثَّانِي فِي الصَّدَاقِ الْفَاسِدِ) (قَوْلُهُ وَلَهُ أَسْبَابٌ سِتَّةٌ) قَالَ الْبُلْقِينِيُّ بَقِيَ سَبَبٌ سَابِعٌ وَهُوَ أَنْ يُصْدِقَ الْمَحْجُورَ عَلَيْهَا مَا لَا يَبْقَى فِي مِلْكِهَا كَأَبِيهَا أَوْ أُمِّهَا.
(قَوْلُهُ أَوْ ثَوْبًا غَيْرَ مَوْصُوفٍ) أَوْ رَدَّ عَبْدِهَا الْآبِقِ أَوْ جَمَلَهَاالشَّرْطُ) بِتَفْصِيلٍ ذَكَرَهُ بِقَوْلِهِ (فَإِنْ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ غَرَضٌ) كَشَرْطِ أَنْ لَا تَأْكُلَ إلَّا كَذَا (أَوْ) تَعَلَّقَ بِهِ غَرَضٌ لَكِنَّهُ (وَافَقَ مُقْتَضَى النِّكَاحِ) كَشَرْطِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهَا أَوْ يَقْسِمَ لَهَا (لَمْ يُؤَثِّرْ) فِي النِّكَاحِ وَلَا فِي الصَّدَاقِ لِانْتِفَاءِ فَائِدَتِهِ.
(وَإِلَّا) أَيْ لَمْ يُوَافِقْ مُقْتَضَى النِّكَاحِ (فَإِنْ لَمْ يُخِلَّ بِمَقْصُودِ الْعَقْدِ كَشَرْطِ أَنْ لَا يُنْفِقَ أَوْ لَا يَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا أَوْ لَا يُسَافِرَ بِهَا أَوْ لَا يَقْسِمَ لَهَا أَوْ أَنْ يُسْكِنَهَا مَعَ ضَرَّتِهَا انْعَقَدَ) النِّكَاحُ لِعَدَمِ الْإِخْلَالِ بِمَقْصُودِهِ وَلِأَنَّهُ لَا يَتَأَثَّرُ بِفَسَادِ الْعِوَضِ فَبِفَسَادِ الشَّرْطِ أَوْلَى (بِمَهْرِ الْمِثْلِ لَا الْمُسَمَّى) لِفَسَادِ الشَّرْطِ لِأَنَّهُ إنْ كَانَ لَهَا فَلَمْ تَرْضَ بِالْمُسَمَّى وَحْدَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهَا فَلَمْ يَرْضَ الزَّوْجُ بِبَذْلِ الْمُسَمَّى إلَّا عِنْدَ سَلَامَةِ مَا شَرَطَهُ فَإِذَا فَسَدَ الشَّرْطُ وَلَيْسَ لَهُ قِيمَةٌ يَرْجِعُ إلَيْهَا وَجَبَ الرُّجُوعُ إلَى مَهْرِ الْمِثْلِ (وَإِنْ أَخَلَّ بِهِ كَشَرْطِ أَنْ يُطَلِّقَهَا) وَلَوْ بَعْدَ الْوَطْءِ (أَوْ أَنَّ لَهُ الْخِيَارَ) فِي النِّكَاحِ (أَوْ) أَنَّهَا لَا تَرِثُهُ (أَوْ) أَنَّهُ لَا يَرِثُهَا أَوْ أَنَّهُمَا لَا يَتَوَارَثَانِ أَوْ عَلَى أَنَّ النَّفَقَةَ عَلَى غَيْرِ الزَّوْجِ (بَطَلَ الْعَقْدُ) لِلْإِخْلَالِ الْمَذْكُورِ لَكِنَّ قَوْلَهُ أَوْ لَا تَرِثُهُ إلَى آخِرِ مَا زِدْته نَقَلَهُ الْأَصْلُ عَنْ الْحَنَّاطِيِّ ثُمَّ قَالَ وَفِي قَوْلٍ يَصِحُّ وَيَبْطُلُ الشَّرْطُ قَالَ الْبُلْقِينِيُّ وَغَيْرُهُ وَهَذَا هُوَ الْأَصَحُّ وَوَجْهُهُ أَنَّ الشَّرْطَ الْمَذْكُورَ لَا يُخِلُّ بِمَقْصُودِ الْعَقْدِ (لَا بِشَرْطِهِ) أَيْ الزَّوْجِ (أَنْ لَا يَطَأَهَا) فَلَا يَبْطُلُ الْعَقْدُ (كَمَا سَبَقَ) بَيَانُهُ فِي الْكَلَامِ عَلَى التَّحْلِيلِ (فَرْعٌ) (لَوْ نَكَحَهَا بِأَلْفٍ إنْ أَقَامَ) بِهَا فِي الْبَلَدِ (وَإِلَّا فَبِأَلْفَيْنِ أَوْ زَوَّجَ أَمَتَهُ بِعَبْدٍ) لِغَيْرِهِ (عَلَى أَنَّ الْأَوْلَادَ لِلسَّيِّدَيْنِ انْعَقَدَ) النِّكَاحُ (بِمَهْرِ الْمِثْلِ) لِمَا مَرَّ قَبْلَ الْفَرْعِ.
(وَكَذَا) يَنْعَقِدُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ (إنْ شَرَطَ الْخِيَارَ فِي الصَّدَاقِ) لِأَنَّهُ لَمْ يَتَمَحَّضْ عِوَضًا بَلْ فِيهِ مَعْنَى النِّحْلَةِ فَلَا يَلِيقُ بِهِ الْخِيَارُ (أَوْ) نَكَحَهَا بِأَلْفٍ (عَلَى أَنَّ لِأَبِيهَا أَلْفًا أَوْ) عَلَى (أَنْ يُعْطِيَهُ أَلْفًا) لِأَنَّهُ إنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ الصَّدَاقِ فَهُوَ شَرْطٌ عُقِدَ فِي عَقْدٍ وَإِلَّا فَقَدْ جَعَلَ بَعْضَ مَا الْتَزَمَهُ فِي مُقَابَلَةِ الْبُضْعِ لِغَيْرِ الزَّوْجَةِ فَيَفْسُدُ كَمَا فِي الْبَيْعِ (السَّبَبُ الثَّالِثُ تَفْرِيقُ الصَّفْقَةِ) فِي الِابْتِدَاءِ كَأَنْ أَصْدَقَهَا عَبْدَهُ وَعَبْدَ غَيْرِهِ أَوْ نَكَحَ امْرَأَتَيْنِ مَعًا بِعِوَضٍ وَاحِدٍ كَمَا سَيَأْتِي فِي الْفَصْلِ الْآتِي بِخِلَافِ تَفْرِيقِهَا فِي الدَّوَامِ وَفِي اخْتِلَافِ الْأَحْكَامِ وَمِنْ تَفْرِيقِهَا فِي الْأَجِيرِ مَا ذَكَرَهُ بِقَوْلِهِ (فَإِذَا زَوَّجَهُ بِنْتَه وَمَلَّكَهُ أَلْفًا مِنْ مَالِهَا بِعَبْدٍ صَحَّ الْمُسَمَّى) لِأَنَّ ذَلِكَ جَمْعٌ بَيْنَ عَقْدَيْنِ مُخْتَلِفَيْ الْحُكْمِ فِي صَفْقَةٍ إذْ بَعْضُ الْعَبْدِ صَدَاقٌ وَبَعْضُهُ مَبِيعٌ (وَوَزَّعْنَا الْعَبْدَ عَلَى الْأَلْفِ وَمَهْرِ الْمِثْلِ فَإِنْ كَانَ) مَهْرُ الْمِثْلِ (أَلْفًا أَيْضًا وَقِيمَةُ الْعَبْدِ أَلْفَيْنِ فَنِصْفُ الْعَبْدِ مَبِيعٌ) وَنِصْفُهُ صَدَاقٌ (قُلْت رُدَّ) الْعَبْدُ عَلَى الزَّوْجِ (بِعَيْبٍ رَجَعَتْ) زَوْجَتُهُ عَلَيْهِ (بِأَلْفٍ وَلَهَا) عَلَيْهِ (مَهْرُ الْمِثْلِ وَلَوْ رَدَّتْ) عَلَيْهِ (أَحَدَ النِّصْفَيْنِ) فَقَدْ (جَازَ) لِتَعَدُّدِ الْعَقْدِ.
(فَإِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ) بِهَا (رَجَعَ لِلزَّوْجِ) نِصْفُ الصَّدَاقِ وَهُوَ (رُبُعُ الْعَبْدِ فَقَطْ وَإِنْ فُسِخَ النِّكَاحُ بِعَيْبٍ) أَوْ نَحْوِهِ (رَجَعَ إلَيْهِ الصَّدَاقُ كُلُّهُ وَهُوَ نِصْفُ الْعَبْدِ وَإِنْ تَلِفَ الْعَبْدُ قَبْلَ الْقَبْضِ) لَهُ (اسْتَرَدَّتْ الْأَلْفَ وَطَالَبَتْ بِمَهْرِ الْمِثْلِ) وَلَوْ وَجَدَ الزَّوْجُ بِالثَّمَنِ عَيْبًا وَرَدَّهُ اسْتَرَدَّ الْمَبِيعَ وَهُوَ نِصْفُ الْعَبْدِ وَيَبْقَى لَهَا النِّصْفُ الْآخَرُ صَرَّحَ بِهِ الْأَصْلُ (فَإِنْ تَزَوَّجَهَا وَاشْتَرَى عَبْدَهَا بِأَلْفٍ صَحَّ) كُلٌّ مِنْ الصَّدَاقِ وَالشِّرَاءِ (وَقَسَّطَ) الْأَلْفَ عَلَى مَهْرِ الْمِثْلِ وَقِيمَةِ الْعَبْدِ فَمَا خَصَّ مَهْرَ الْمِثْلِ فَهُوَ صَدَاقٌ (فَإِنْ رَدَّ الْعَبْدَ) عَلَيْهَا (بِعَيْبٍ اسْتَرَدَّ) الزَّوْجُ (قِسْطَهُ) أَيْ قِسْطَ الْعَبْدِ مِنْ الْأَلْفِ (وَلَيْسَ لَهَا رَدُّ الْبَاقِي) وَالرُّجُوعُ إلَى مَهْرِ الْمِثْلِ لِأَنَّ الْمُسَمَّى صَحِيحٌ (هَذَا إنْ بَقِيَ النِّكَاحُ وَإِنْ) الْأَوْلَى فَإِنْ (فُسِخَ قَبْلَ الدُّخُولِ اسْتَرَدَّ) الزَّوْجُ (الْجَمِيعَ) أَيْ جَمِيعَ الْعِوَضِ (فَإِنْ خَرَجَ الْأَلْفُ مُسْتَحَقًّا اسْتَرَدَّتْ الْعَبْدَ وَوَجَبَ) لَهَا (مَهْرُ الْمِثْلِ فَإِنْ زَوَّجَهُ إيَّاهَا وَمَلَّكَهُ مِائَةَ دِرْهَمٍ لَهَا بِمِائَتَيْ دِرْهَمٍ بَطَلَ الْبَيْعُ وَالصَّدَاقُ) لِأَنَّهُ رِبًا فَإِنَّهُ مِنْ قَاعِدَةِ مُدِّ عَجْوَةٍ.

Bab Kedua: Hukum Mahar yang Fasid (Rusak)

Dalam kitab Asna Al-Mathalib disebutkan bahwa mahar yang fasid memiliki enam sebab. Al-Bulqini menyebutkan sebab ketujuh, yaitu apabila seseorang memberikan mahar kepada wanita yang berada dalam keadaan tidak memiliki hak kepemilikan penuh (mahjur ‘alaiha), seperti jika ia memberikan mahar berupa sesuatu yang bukan miliknya, misalnya milik ayah atau ibunya.

1. Mahar yang Tidak Jelas Sifatnya
Jika seseorang menetapkan mahar berupa pakaian yang tidak memiliki deskripsi jelas, mengembalikan budak yang kabur, atau unta yang tidak diketahui keberadaannya, maka hukumnya diperinci. Jika syarat yang ditetapkan dalam akad tidak memiliki pengaruh besar, seperti syarat bahwa istri hanya boleh makan makanan tertentu, maka syarat tersebut tidak berdampak pada keabsahan akad atau mahar karena tidak memiliki manfaat nyata.

2. Syarat yang Tidak Sesuai dengan Hakikat Pernikahan
Jika syarat yang diajukan tidak bertentangan dengan tujuan utama pernikahan, seperti suami tidak boleh menikah lagi, tidak boleh bepergian dengan istrinya, atau harus menyatukan istrinya dengan madunya dalam satu rumah, maka akad tetap sah. Namun, mahar yang disebutkan menjadi batal, dan wajib diganti dengan mahar mitsl (mahar yang sepadan). Hal ini karena dalam kondisi tersebut, istri tidak rela dengan mahar yang disebutkan saja, dan suami juga tidak setuju memberikan mahar tersebut tanpa terpenuhinya syarat yang ia inginkan.

3. Syarat yang Membatalkan Akad
Jika syarat yang diajukan merusak tujuan utama pernikahan, seperti syarat bahwa suami harus menceraikan istrinya setelah akad (baik sebelum atau sesudah berhubungan), atau syarat bahwa salah satu pihak tidak akan mewarisi pihak lainnya, atau syarat bahwa nafkah akan ditanggung oleh selain suami, maka akad pernikahan menjadi batal.

Namun, ada pendapat dalam Mazhab Syafi’i yang mengatakan bahwa akad tetap sah, tetapi syaratnya yang batal. Pendapat ini dinilai lebih kuat karena syarat-syarat tersebut tidak merusak inti dari akad pernikahan.

4. Mahar yang Bergantung pada Syarat
Jika seseorang menikahi seorang wanita dengan mahar 1.000 dirham dengan syarat ia harus menetap di suatu tempat, tetapi jika tidak, maka mahar menjadi 2.000 dirham, maka akadnya tetap sah, tetapi yang berlaku adalah mahar mitsl. Begitu pula jika seorang tuan menikahkan budaknya dengan budak lain dan menetapkan bahwa anak mereka nanti akan menjadi milik kedua tuan mereka, maka akad tetap sah dengan mahar mitsl.

5. Mahar yang Dicampur dengan Transaksi Lain
Jika mahar disertakan dalam transaksi jual beli atau akad lain yang bertentangan, seperti seseorang menikahi wanita dengan memberikan budaknya sebagai mahar, tetapi budak tersebut sebagian miliknya dan sebagian milik orang lain, maka akad tetap sah tetapi dengan mahar mitsl. Begitu juga jika seseorang menikahi dua wanita dalam satu akad dengan satu mahar yang sama, maka hukumnya akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya.

6. Perbedaan dalam Pembagian Mahar
Jika seseorang menikahi seorang wanita dan sebagai bagian dari akad, ia memberikan 1.000 dirham dari hartanya sendiri serta menjual budaknya kepadanya, maka mahar dan jual beli harus dipisahkan. Jika dalam perjalanan akad ini terjadi pembatalan karena cacat atau sebab lain, maka penyelesaian dilakukan berdasarkan bagian masing-masing.

7. Mahar yang Mengandung Unsur Riba
Jika seseorang menikahi seorang wanita dengan mahar berupa 100 dirham dan dalam waktu yang sama menjual sesuatu kepadanya seharga 200 dirham, maka baik akad jual beli maupun mahar menjadi batal karena mengandung unsur riba. Hal ini termasuk dalam kaidah riba yang dikenal sebagai muddu ‘ajwah (transaksi yang mengandung ketidakjelasan dan unsur riba).

Demikianlah berbagai keadaan yang menyebabkan mahar menjadi fasid atau rusak dalam hukum Islam.

Karena syarat dari pada mahar itu sama seperti syarat maqud alaih, yg dimana kalau perhiasan tersebut sudah dilihat maka itu menjadi maklum
Coba antum lihat di dobit (definisi )sodaq (definisi mahar/maskawin) di Al Yaquutun Nafis :

كل ما صح كونه مبيعا عوضا أو معوضا صح كونه صداقا


Mahar (maskawin) adalah semua barang yang sah dijadikan barang dagangan, maka barang itu juga dianggap sah sebagai maskawin.

Wallahu A’lam bisshowab

Kategori
Uncategorized

WAKIL WALI NIKAH TIDAK MUGUCAPKAN MUWAKKILIY KETIKA AKAD NIKAH

Assalamu alaikum.
Deskripsi masalah
Ketika penata acara meneruskan rentetan acaranya dan telah sampai pada acara inti yaitu Akad nikah, saya dan para Undangan sama-sama menyaksikan jalannya proses Akad nikah, namun sebelum Akad dimulai Sang Wali nikah ternyata mewakilkan hak kewaliannya kepada Modin dengan Ucapan saya memasrahkan wakil wali kepada sampeyan untuk menikahkan dan mengawinkan anak perempuan saya bernama Maimunah dengan seorang laki-laki bernama Mansur dengan maskawin emas dua gram, Si Modin mengatakan qobiltuka…..
Lalu Akad nikah dimulai oleh Sang Modin, anehnya ketika Modin mengakadnya dia tidak mengatakan Muwakkiliy bapaknya Maimunah kepadaku. Semisal .


يامنصور بن أحمد أنكحتك وزوجتك مخطبتك ميمونة بنت محمود بمهر جرمين من الذهب حالا. وقال منصور قبلت نكاحها وتزويجها بالمهر المذكور حالا

Pertanyaanya .

Sahkah Akad nikah ketika Modin dalam akad nikah tidak menyertakan ucapan kalimat Muwakkiliy Abuha /paknya (Maimunah) kepadaku.?

Waalaikumsalam warohmah.

Jawaban:

Menyebut ” muwakkili atau “alladzi wakkalani ” sebagai informasi bahwa dirinya adalah wakil wali saat akad nikah, status hukumnya tidak wajib ( bukan syarat ) ; jika (calon) suami dan para saksi sudah mengetahui sebelum nya ; bahwa dirinya adalah wakil wali.

Tapi jika (calon) suami dan para saksi tidak mengetahuinya, maka wajib ( disyaratkan ) menyebut ” muwakkili atau “alladzi wakkalani ” saat akad nikah, sebagai informasi bahwa dirinya adalah wakil wali, mengapa demikian. Karena jika wakil wali nikah tidak menjelaskan atas profesinya sebagai wakil wali maka akad nikahnya tidak sah.

Referensi:[

القليوبي ,حاشيتا قليوبي وعميرة: 3/23

(ولْيَقُلْ وَكِيلُ الْوَلِيِّ)

لِلزَّوْجِ (زَوَّجْتُك بِنْتَ فُلَانٍ)

قَوْلُهُ: (بِنْتَ فُلَانٍ) وَإِنْ لَمْ يَقُلْ مِنْ مُوَكِّلِي نَعَمْ إنْ لَمْ يَعْلَمْ الزَّوْجُ أَوْ الشُّهُودُ بِالْوَكَالَةِ وَجَبَ ذِكْرُهَا أَوْ إعْلَامُهُمْ بِهَا

تحفة المحتاج فى شرح المنهاج وحو اشي الشر اني والعبادي

وليَقُلْ وَكِيلُ الْوَلِيِّ) لِلزَّوْجِ (زَوَّجْتُك بِنْتَ فُلَانِ) بْنِ فُلَانٍ وَيَرْفَعُ نَسَبَهُ إلَى أَنْ يَتَمَيَّزَ ثُمَّ يَقُولُ: مُوَكِّلِي أَوْ وَكَالَةً عَنْهُ مَثَلًا إنْ جَهِلَ الزَّوْجُ أَوْ الشَّاهِدَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا وَكَالَتَهُ عَنْهُ وَإِلَّا لَمْ يَحْتَجْ لِذَلِكَ وَكَذَا لَا بُدَّ مِنْ تَصْرِيحِ الْوَكِيلِ بِهَا فِيمَا يَأْتِي إنْ جَهِلَهَا الْوَلِيُّ أَوْ الشُّهُودُ وَجَزَمَ بَعْضُهُمْ بِأَنَّهُ يَكْفِي فِي الْعِلْمِ هُنَا قَوْلُ الْوَكِيلِ وَقَدْ يُنَافِيهِ مَا مَرَّ أَنَّهُ لَا يَكْفِي إخْبَارُ الْعَبْدِ بِأَنَّ سَيِّدَهُ أَذِنَ لَهُ فِي التِّجَارَةِ لِأَنَّهُ مُتَّهَمٌ بِإِثْبَاتِ وِلَايَةٍ لِنَفْسِهِ وَهَذَا بِعَيْنِهِ جَارٍ فِي الْوَكِيلِ وَيُرَدُّ بِأَنَّ الْوَكِيلَ لَا تَثْبُتُ بِقَوْلِهِ وَكَالَتُهُ بَلْ إنَّ الْعَقْدَ مِنْهُ بِطَرِيقِ الْوَكَالَةِ الثَّابِتَةِ بِغَيْرِ قَوْلِهِ بِخِلَافِ الْعَبْدِ.
تنبيه .ظاهر كلامهم أن التصريح بالوكالة فيما ذكر شرط  لصحة العقد وفيه نظر واضح لقولهم العبرة فى العقود حتى النكاح بما فى نفس الأمر فالذي يتجه أنه شرط لحل الإذن لأن ذلك حينئذ توكيل

Wallahu A’lam bisshowab

Ketik Pencarian