Kategori
Uncategorized

Hukum dan Tatacara Memandikan Mayit

 

Deskripsi Masalah:

Memandikan jenazah merupakan salah satu kewajiban kolektif (fardu kifayah) bagi umat Islam yang masih hidup. Tata cara pelaksanaannya telah diatur dalam syariat dengan ketentuan-ketentuan tertentu, termasuk meratakan air ke seluruh tubuh mayit serta membersihkan kotoran yang terdapat pada tubuhnya, seperti di hidung, telinga, dan bagian lainnya.
Dalam praktiknya, sebagian orang yang memandikan mayit mengangkat kepala dan dada mayit sedikit serta mengurut perutnya secara pelan untuk memastikan tidak ada kotoran yang keluar setelah jenazah disucikan.

Pertanyaan:

Apakah tindakan mengangkat kepala dan mengurut perut mayit saat memandikan memiliki dasar keterangan dalam syariat Islam? Kalau ada  bagaimana tatacara memandikan mayit?

Waalaikum salam.

Jawaban.

Tindakan mengangkat kepala dan mengurut perut mayit saat memandikan memang memiliki dasar dalam syariat Islam, yang diambil dari keterangan dalam beberapa kitab fiqih. Sebagai contoh, dalam Kitab al-Majmu’ (Juz 5, halaman 168), disebutkan:

“وَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ يُجْلِسَهُ إِجْلَاسًا رَفِيقًا وَيَمْسَحَ بَطْنَهُ مَسْحًا بَلِيغًا لِمَا رَوَى الْقَاسِمُ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ تُوُفِّيَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ فَغَسَلَهُ ابْنُ عُمَرَ فَنَفَضَهُ نَفْضًا شَدِيدًا وَعَصَرَهُ عَصْرًا شَدِيدًا ثُمَّ غَسَلَهُ.”

(Kitab al-Majmu’, Juz 5, halaman 168)

Artinya: “Dan disunnahkan untuk mendudukkannya (mayit) dengan cara yang lembut dan mengusap perutnya dengan usapan yang kuat, berdasarkan riwayat dari Qasim bin Muhammad yang berkata: Abdullah bin Abdurrahman meninggal dunia, lalu Abdullah bin Umar memandikannya, ia menggerakkannya dengan keras dan memerasnya dengan keras, kemudian membasuhnya kembali.”

Penjelasan:

“يُجْلِسَهُ إِجْلَاسًا رَفِيقًا”

(mendudukkannya dengan cara yang lembut):
Maksudnya adalah memindahkan jenazah ke posisi duduk dengan perlakuan yang hati-hati dan tidak kasar, agar tidak merusak tubuh jenazah.

“يَمْسَحَ بَطْنَهُ مَسْحًا بَلِيغًا”

(mengusap perutnya dengan usapan yang kuat):
Tujuan dari tindakan ini adalah untuk membantu mengeluarkan kotoran yang mungkin ada di dalam tubuh jenazah, seperti sisa-sisa makanan atau zat lainnya.

“نَفَضَهُ نَفْضًا شَدِيدًا”

(menggerakkannya dengan keras):
Hal ini dilakukan dengan hati-hati untuk menggerakkan tubuh jenazah agar dapat mengeluarkan kotoran yang ada pada tubuhnya.

Kategori
Hukum

Tradisi Air Barokah dalam Ziarah Wali

 

Deskripsi Masalah:

Di kalangan masyarakat Jawa dan Madura, telah menjadi tradisi untuk mengadakan perkumpulan keagamaan yang dikombinasikan dengan sistem arisan. Sebagian dari dana yang terkumpul digunakan untuk kegiatan ziarah (tour) ke makam Wali Songo dan para wali lainnya yang diyakini memiliki karomah.
Saat berziarah, para peziarah sering kali meletakkan sebotol air di depan atau di samping makam wali. Kemudian, mereka membuka tutup botol saat bertawassul dengan membaca Surah Al-Fatihah, Surah Yasin, dan tahlil. Tradisi ini telah mengakar kuat di kalangan Nahdliyyin, dengan keyakinan bahwa air tersebut dapat menyerap keberkahan dari para wali, sehingga membawa manfaat bagi yang meminumnya.

Pertanyaan:
  1. Apakah ada dasar yang menganjurkan kebiasaan tersebut?
  2. Apakah keberkahan dari para wali dapat diperoleh melalui air yang diletakkan di makam?
  3. Bagaimana pandangan fiqih terhadap orang yang meyakini bahwa air tersebut mendapatkan keberkahan dari para wali?
Jawaban:
  1. Ada, baik berdasarkan hadits maupun berbagai dalil yang membenarkan cara-cara tertentu dalam mencari keberkahan, termasuk meletakkan air di dekat makam wali.
  2. Bisa, karena keberkahan dapat tersalurkan melalui sarana tertentu, sebagaimana sebagian ahli sufi  berkata: “Sesungguhnya Allah mewakilkan seorang malaikat di kuburan wali untuk memenuhi berbagai hajat manusia. Terkadang wali itu sendiri keluar dari kuburnya dan langsung memenuhi hajat tersebut, dengan izin Allah.
  3. Keyakinan tersebut dapat dibenarkan selama tetap dalam koridor tauhid dan tidak mengandung unsur syirik.
تنوير القلوب للسيد آمين الكردي ص ٤٦٩

(فصل في فضل الأولياء وثبوت كراماتهم من الكتاب)
والسنة)
قال الله تعالى : (أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ)
وقال عليه الصلاة والسلام : ( إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ عِباداً يغبطهم الأنبياء والشهداء ) قيل : من هم يارسول الله لعلنا نحبهم ؟ قال : هُمْ قَوْم تحابوا بنور الله على غير أموال وأنساب . وُجُوهُهُمْ نور وهم على منابر من نور لا يخافون إذا خاف الناس، ولا يحزنون إذا حزن الناس ) رواه النسائي وابن حبان في صحيحه . ثم تلا الآية المذكورة . وظهور الكرامات على الأولياء جائز عقلا و واقع نقلا ؛ أما جوازه عقلا فلأنه ليس بمستحيل في قدرة الله تعالى بل هو من قبيل الممكنات كظهور معجزات الأنبياء ولا يلزم من جوازها ووقوعها محال وكل ما هذا شأنه فهو جائز الوقوع . وهي ثابتة لهم في الحياة وبعد الموت كما ذهب إليه جمهور أهل السنة، وليس في مذهب من المذاهب الأربعة قول بنفيها بعد الموت بل ظهورها حينئذ أولى لأن النفس حينئذ صافية من الأكدار ولذا قيل : من لم تظهر كرامته بعد موته كما كانت في حياته فليس بصادق . قال بعض المشايخ : إن الله يوكل بقبر الولى ملكا يقضى الحوائج وتارة يخرج الولى من قبره ويقضيها بنفسه ) والكرامة ( أمر خارق للعادة غير مقرون بدعوى النبوة ولاهو مقدمة لها ، يظهر على يد عبد ظاهر الصلاح ملتزم المتابعة في كاف بشريعته مصحوب بصحيح الاعتقاد والعمل الصالح علم بها أو لم يعلم، ثم اعلم أن الولى ليس بمعصوم ( إذ العصمة للنبي ( لا للولى بل هو محفوظ ومعنى الحفظ في حقه ( أنه لا يفعل معصية ) وإن فعلها ندم فوراً وتاب توبة تامة

Fasal dalam Keutamaan Para Wali dan Penetapan Karomah Mereka dari Al-Qur’an dan Hadits

Allah Ta’ala berfirman:

“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada sekelompok orang yang para nabi dan para syuhada merasa iri kepada mereka.” Lalu ada yang bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah? Semoga kami bisa mencintai mereka.” Maka beliau bersabda:

“Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan cahaya Allah, bukan karena harta atau nasab. Wajah-wajah mereka bercahaya, mereka berada di atas mimbar-mimbar cahaya, mereka tidak takut ketika manusia merasa takut, dan mereka tidak bersedih ketika manusia bersedih.”

Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasai dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Kemudian beliau ﷺ membaca ayat yang telah disebutkan.

Munculnya karomah pada para wali itu dapat diterima secara akal dan terbukti secara riwayat:

Secara akal, karomah bukanlah sesuatu yang mustahil dalam kekuasaan Allah Ta’ala. Bahkan, ia termasuk perkara yang mungkin terjadi, sebagaimana munculnya mukjizat para nabi. Tidak ada keharusan bahwa hal tersebut mustahil terjadi, sehingga keberadaannya menjadi sesuatu yang bisa terjadi.

Secara riwayat, karomah telah ditetapkan bagi para wali baik semasa hidup maupun setelah wafat, sebagaimana diyakini oleh mayoritas Ahlus Sunnah. Tidak ada satu pun mazhab dari empat mazhab yang menafikan karomah setelah kematian para wali. Bahkan, kemunculannya setelah wafat lebih utama, karena pada saat itu jiwa mereka telah suci dari berbagai kekeruhan dunia. Oleh sebab itu, dikatakan:

“Barang siapa yang tidak tampak karomahnya setelah wafat sebagaimana ketika ia hidup, maka ia bukanlah seorang wali yang sejati.”

Sebagian ulama sufi berkata:

“Sesungguhnya Allah mewakilkan seorang malaikat di kuburan wali untuk memenuhi berbagai hajat manusia. Terkadang wali itu sendiri keluar dari kuburnya dan langsung memenuhi hajat tersebut.”

Definisi Karomah

Karomah adalah suatu kejadian luar biasa yang tidak disertai dengan pengakuan kenabian dan bukan pula sebagai pendahuluan untuk menjadi nabi. Karomah muncul pada diri seorang hamba yang secara lahiriah terlihat shaleh, berpegang teguh pada syariat dalam seluruh aspeknya, serta memiliki akidah yang benar dan amal saleh. Ia bisa mengetahui atau tidak menyadari bahwa dirinya memiliki karomah.

Wali Tidak Maksum, tetapi Terjaga dari Dosa

Seorang wali tidak memiliki sifat maksum (terbebas dari dosa), karena kemaksuman hanya milik para nabi. Namun, wali tetap dijaga (mahfuzh) oleh Allah. Makna “terjaga” dalam hal ini adalah ia tidak terus-menerus melakukan dosa. Jika ia melakukannya, ia akan segera menyesal dan bertobat dengan taubat yang sempurna.

مفاهيم يجب أن تصحح – السيد محمد علوي المالكي الحسني ج١ ص (٣٧٢)
(مفهوم التبرك) يخطئ كثير من الناس في فهم حقيقة التبرك بالنبي ﷺ و آثاره وآل بيته ووراثه من العلماء والأولياء رضي الله عنهم فيصفون كل من يسلك ذلك المسلك بالشرك والضلال كما هي عادتهم في كل جديد يضيق عنه نظرهم ويقصر عن إدراكه تفكيرهم. وقبل أن نبين الأدلة والشواهد الناطقة بجواز ذلك بل بمشروعيته ينبغي أن نعلم أن التبرك ليس هو إلا توسلاً إلى الله سبحانه وتعالى بذلك المتبرك به سواء أكان أثراً أو مكاناً أو شخصاً. أما الأعيان فلاعتقاد فضلها وقربها من الله سبحانه وتعالى مع اعتقاد عجزها عن جلب خير أو دفع شر إلا بإذن الله. وأما الآثار فلأنها منسوبة إلى تلك الأعيان فهي مشرفة بشرفها ومكرمة ومعظمة ومحبوبة لأجلها. وأما الأمكنة فلا فضل لها لذاتها من حيث هي أمكنة وإنما لما يحل فيها ويقع من خير وبر كالصلاة والصيام وجميع أنواع العبادات مما يقوم به عباد الله الصالحون إذ تتنزل فيها الرحمات وتحضرها الملائكة وتغشاها السكينة وهذه هي البركة التي تطلب من الله في الأماكن المقصود لذلك. وهذه البركة تطلب بالتعرض لها في أماكنها بالتوجه إلى الله تعالى ودعائه واستغفاره وتذكر ما وقع في تلك الأماكن من حوادث عظيمة ومناسبات كريمة تحرك النفوس وتبعث فيها الهمة والنشاط للتشبه بأهلها أهل الفلاح والصلاح وإليك هذه النصوص المقتبسة من رسالتنا الخاصة في موضوع البركة

Mafahim Yajibu An Tushahhah – Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Juz 1, Halaman 372

(Konsep Tabarruk)

Banyak orang salah dalam memahami hakikat tabarruk (mengharap berkah) kepada Nabi ﷺ, peninggalannya, Ahlul Bait-nya, serta para pewarisnya dari kalangan ulama dan wali رضي الله عنهم. Mereka menuduh setiap orang yang menempuh jalan ini sebagai musyrik dan sesat, sebagaimana kebiasaan mereka dalam setiap perkara baru yang tidak bisa mereka pahami dan sulit mereka cerna dengan akal mereka yang terbatas.

Sebelum menjelaskan dalil dan bukti yang menunjukkan kebolehan bahkan pensyariatan tabarruk, kita perlu memahami bahwa tabarruk sejatinya hanyalah bentuk tawassul kepada Allah سبحانه وتعالى melalui sesuatu yang dijadikan sarana tabarruk, baik berupa peninggalan, tempat, atau orang tertentu.

Adapun tabarruk kepada zat tertentu, dilakukan dengan keyakinan akan keutamaannya serta kedekatannya kepada Allah سبحانه وتعالى, sambil tetap meyakini bahwa zat tersebut tidak memiliki kemampuan mendatangkan manfaat atau menolak bahaya kecuali dengan izin Allah.

Sedangkan tabarruk kepada peninggalan, karena benda-benda tersebut memiliki hubungan dengan orang-orang yang diberkahi, sehingga benda-benda tersebut pun ikut dimuliakan, dihormati, dan dicintai karena keterkaitannya dengan mereka.

Adapun tabarruk kepada tempat, maka tempat itu sendiri tidak memiliki keutamaan secara zatnya, melainkan karena di dalamnya terjadi berbagai kebaikan dan keberkahan, seperti shalat, puasa, serta berbagai bentuk ibadah yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang saleh. Di tempat-tempat tersebut turun rahmat, dihadiri oleh para malaikat, dan diliputi ketenangan. Inilah berkah yang dimohon dari Allah di tempat-tempat yang dimaksud.

Keberkahan ini diminta dengan mendekatkan diri kepadanya di lokasi-lokasi tertentu, dengan menghadap kepada Allah سبحانه وتعالى, berdoa, beristighfar, serta mengingat peristiwa-peristiwa agung dan momen-momen mulia yang terjadi di tempat tersebut. Hal ini membangkitkan semangat dan motivasi dalam diri seseorang untuk meneladani para penghuninya, yaitu orang-orang yang beruntung dan saleh.

Berikut ini beberapa teks yang diambil dari risalah kami yang khusus membahas tentang keberkahan.

صحيح البخاري – (ج ١ / ص ٣١٩)
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جُحَيْفَةً يقول  خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ فَأْتِيَ بوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلٍ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ وَقَالَ أَبُو مُوسَى دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ فِيهِ مَاءً فَغَسَلَ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ فِيهِ وَمَجٌ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهُمَا اشْرَبَا مِنْهُ وَأَفْرِغَا عَلَى وُجُوهِكُمَا وَنُحُورِكُمَا )

Hadits Shahih Al-Bukhari (Juz 1, Halaman 319):

Diriwayatkan dari Abu Juhaifah:

“Rasulullah ﷺ keluar pada siang hari yang sangat panas. Lalu beliau diberi air wudhu, kemudian beliau berwudhu. Orang-orang pun mengambil sisa air wudhunya dan mengusapkannya ke tubuh mereka. Setelah itu, Nabi ﷺ shalat Zuhur dua rakaat dan Ashar dua rakaat, sementara di hadapannya terdapat sebuah tombak kecil (‘anazah).
Abu Musa berkata, ‘Nabi ﷺ meminta sebuah bejana berisi air, lalu beliau mencuci tangan dan wajahnya di dalamnya serta berkumur di dalamnya. Kemudian beliau bersabda kepada mereka: “Minumlah dari air ini dan siramkan ke wajah serta leher kalian.”’”

أنوار البروق في أنواع الفروق (١٩٣/٣)
والذي يتجه أن يقال ولا يقع فيه خلاف أنه يحصل لهم بركة القراءة لا ثوابها كما تحصل لهم بركة الرجل الصالح يدفن عندهم أو يدفنون عنده فإن البركة لا تتوقف على الأمر فإن البهيمة يحصل لها بركة راكبها أو مجاورها وأمر البركات لا ينكر فقد كان رسول الله صلى الله عليه أنه وسلم تحصل بركته للبهائم من الخيل والحمير وغيرهما كما روي ضرب فرسا بسوط فكان لا يسبق بعد ذلك بعد أن كان بطيء الحركة وحماره عليه السلام كان يذهب إلى بيوت أصحاب رسول الله صلى  الله عليه وسلم يستدعيهم إليه بنطح رأسه الباب وغير ذلك من بركاته عليه السلام كما هو مروي في معجزاته وكراماته عليه السلام وهذه
المسألة وإن كانت مختلفا فيها فينبغي للإنسان أن لا يهملها فلعل الحق هو الوصول إلى الموتى فإن هذه أمور مغيبة عنا, وليس الخلاف في حكم شرعي إنما هو في أمر واقع هل هو كذلك أم لا, وكذلك التهليل الذي عادة الناس يعملونه اليوم ينبغي أن يعمل ويعتمد في ذلك على فضل الله تعالى وما ييسره ويلتمس فضل الله بكل سبب ممكن ومن الله الجود والإحسان هذا هو اللائق بالعبد

Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq (Juz 3, Halaman 193):

“Yang lebih tepat untuk dikatakan dan tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya adalah bahwa mereka memperoleh keberkahan dari bacaan (Al-Qur’an), bukan pahalanya. Sebagaimana keberkahan bisa diperoleh dari seorang lelaki saleh yang dimakamkan di sekitar mereka atau mereka dimakamkan di dekatnya.
Keberkahan tidak terbatas pada sesuatu yang diperintahkan saja. Bahkan seekor hewan pun bisa mendapatkan keberkahan dari penunggangnya atau sesuatu yang dekat dengannya. Keberadaan keberkahan bukanlah sesuatu yang bisa disangkal.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ keberkahannya bahkan sampai kepada hewan-hewan seperti kuda, keledai, dan lainnya. Sebagaimana disebutkan bahwa beliau pernah memukul seekor kuda dengan cambuknya, lalu setelahnya kuda itu tidak pernah kalah dalam perlombaan setelah sebelumnya dikenal lambat.
Keledai beliau ﷺ juga dikenal pergi ke rumah-rumah sahabat Rasulullah ﷺ dan memanggil mereka dengan menabrakkan kepalanya ke pintu. Ini adalah bagian dari keberkahan beliau ﷺ sebagaimana yang diriwayatkan dalam berbagai mukjizat dan karamahnya.
Meskipun masalah ini diperselisihkan, sebaiknya seseorang tidak mengabaikannya, karena bisa jadi kebenaran ada dalam keyakinan bahwa keberkahan sampai kepada orang-orang yang telah meninggal dunia. Ini adalah perkara gaib bagi kita, dan perbedaan pendapat bukan dalam hukum syar’i, tetapi dalam kenyataan apakah hal ini benar-benar terjadi atau tidak.
Begitu pula dengan dzikir tahlil yang menjadi kebiasaan masyarakat saat ini, seharusnya tetap dilakukan dan hendaknya seseorang bergantung pada karunia Allah serta mengharapkan kebaikan dengan segala sarana yang memungkinkan. Sesungguhnya, kemurahan dan kebaikan itu berasal dari Allah, dan ini adalah sikap yang paling sesuai bagi seorang hamba.”

إرشاد السارى لشرح صحيح بخاري ج٣ ص ٤٢٨
(لما اشتكى النبي، ﷺ،) أي: مرض مرضه الذي مات فيه (ذكرت) ولأبي ذر، والأصيلي: ذكر (بعض نسائه) هما: أم سلمة وأم حبيبة، كما سيأتي (كنيسة) بفتح الكاف، معبد النصارى (رأينها بأرض الحبشة) بنون الجمع في: رأينها، على أن أقل الجمع اثنان، أو معهما غيرهما من النسوة (يقال لها) أي: للكنيسة (مارية) بكسر الراء وتخفيف المثناة التحتية، علم للكنيسة، (وكانت أم سلمة) بفتح اللام، أم المؤمنين: هند بنت أبي أمية المخزومية (وأم حبيبة) بفتح الحاء، أم المؤمنين أيضًا: رملة بنت أبي سفيان (﵄، أتتا أرض الحبشة، فذكرتا) بلفظ التثنية للمؤنث من الماضي (من حسنها وتصاوير فيها، فرفع) رسول الله، ﷺ: (رأسه فقال):

(أولئك) بكسر الكاف، ويجوز فتحها (إذا مات منهم) وفي نسخة: فيهم (الرجل الصالح وجواب، إذا، قوله: (بنوا على قبره مسجدًا ثم، صوروا فيه) أي: في المسجد (تلك الصورة) التي مات صاحبها، ولأبي الوقت: من غير اليونينية: تلك الصور، بالجمع.

قال القرطبي: وإنما صوّر أوائلهم الصور ليتأنسوا بها، ويتذكروا أفعالهم الصالحة، فيجتهدون كاجتهادهم، ويعبدون الله عند قبورهم، ثم خلفهم قوم جهلوا مرادهم، ووسوس لهم الشيطان أن أسلافهم كانوا يعبدون هذه الصور، يعظمونها، فحذر النبي ﷺ عن مثل ذلك، سدًّا للذريعة المؤدية إلى ذلك بقوله: (أولئك) بكسر الكاف وفتحها، ولأبي ذر: وأولئك (شرار الخلق عند الله). وموضع الترجمة قوله: بنوا على قبره مسجدًا، وهو مؤول على مذمة من اتخذ القبر مسجدًا، ومقتضاه التحريم. لا سيما وقد ثبت اللعن عليه، لكن صرح الشافعي، وأصحابه بالكراهة. وقال البندنيجي: المراد أن يسوى القبر مسجدًا، فيصلّى فيه. وقال إنه يكره أن يبنى عنده مسجد فيصلّى فيه إلى القبر، وأما المقبرة الدائرة إذا بني فيها مسجد ليصلّى فيه فلم أر فيه بأسًا، لأن المقابر وقف، وكذا المسجد، فمعناهما واحد.

قال البيضاوي: لما كانت اليهود والنصارى يسجدون لقبور الأنبياء تعظيمًا لشأنهم، ويجعلونها قبلة يتوجهون في الصلاة نحوها، واتخذوها أوثانًا، لعنهم النبي، ﷺ ومنع المسلمين عن مثل ذلك.
فأمَّا من اتخذ مسجدًا في جوار صالح، وقصد التبرك بالقرب منه، لا للتعظيم ولا للتوجه إليه، فلا يدخل في الوعيد المذكور

Ketika Nabi ﷺ jatuh sakit, yaitu sakit yang menyebabkan wafatnya, disebutkan oleh sebagian istri beliau—menurut riwayat Abu Dzar dan Al-Ashili disebut dengan lafaz dzakara—bahwa mereka melihat sebuah gereja di negeri Habasyah. Istri-istri tersebut adalah Ummu Salamah dan Ummu Habibah, sebagaimana akan disebutkan kemudian.

Mereka berkata bahwa gereja itu disebut Maria—dengan kasrah pada huruf ra dan tasydid pada huruf ya, yang merupakan nama gereja tersebut. Ummu Salamah, yang bernama Hindun binti Abi Umayyah Al-Makhzumiyyah, serta Ummu Habibah, yang bernama Ramlah binti Abu Sufyan—radhiyallahu ‘anhuma—pernah pergi ke negeri Habasyah. Lalu mereka menceritakan tentang keindahan gereja itu serta gambar-gambar (lukisan) yang terdapat di dalamnya.

Mendengar hal itu, Rasulullah ﷺ mengangkat kepala beliau dan bersabda:

“Mereka itu (yakni para pemilik gereja) jika ada seorang laki-laki saleh di antara mereka yang meninggal dunia—dalam sebagian riwayat disebutkan dengan lafaz fihim (di antara mereka)—mereka membangun sebuah masjid di atas kuburannya, lalu mereka membuat gambar-gambar di dalamnya.”

Menurut riwayat Abu Al-Waqt yang tidak berasal dari riwayat Yuniniyyah, lafaznya berbentuk jamak: tilka as-shuwar (gambar-gambar tersebut).

Al-Qurthubi menjelaskan bahwa generasi awal mereka pada mulanya hanya membuat gambar-gambar tersebut untuk mengenangnya, agar mereka bisa mengingat amal saleh orang-orang itu, lalu meniru kesungguhan mereka dalam beribadah kepada Allah di sisi kuburan mereka. Namun, generasi setelah mereka adalah orang-orang yang tidak memahami maksud tersebut. Setan pun membisikkan kepada mereka bahwa para pendahulu mereka dulu menyembah gambar-gambar itu dan mengagungkannya. Karena itu, Nabi ﷺ memperingatkan dari perbuatan semacam ini guna menutup pintu (menuju kesyirikan), dengan sabda beliau:

“Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah.”

Makna utama dari hadits ini adalah kecaman terhadap orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid. Ini menunjukkan keharaman perbuatan tersebut, terlebih karena dalam riwayat lain disebutkan adanya laknat bagi mereka yang melakukannya. Namun, Imam Asy-Syafi’i dan para pengikutnya secara jelas menyatakan bahwa hal tersebut makruh.

Al-Bandaniji menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah menjadikan kuburan sebagai tempat sujud dan salat. Ia menambahkan bahwa makruh membangun masjid di sekitar kuburan untuk dijadikan tempat salat yang mengarah ke kuburan. Namun, jika ada pemakaman umum dan di dalamnya dibangun sebuah masjid untuk salat, maka ia tidak melihat adanya masalah dalam hal itu, karena baik kuburan maupun masjid adalah wakaf (tanah yang diwakafkan), sehingga keduanya memiliki fungsi yang sama.

Al-Baidlawi juga menjelaskan bahwa Yahudi dan Nasrani dulunya bersujud di hadapan kuburan para nabi mereka sebagai bentuk penghormatan, bahkan menjadikannya sebagai kiblat dalam salat mereka, sehingga mereka akhirnya menyembah kuburan itu sebagaimana berhala. Oleh karena itu, Nabi ﷺ melaknat mereka dan melarang umat Islam dari perbuatan semacam itu.

Namun, jika ada seseorang yang membangun masjid di dekat kuburan seorang wali atau orang saleh, dengan tujuan mencari keberkahan dari keberadaannya di dekat tempat tersebut—bukan untuk mengagungkannya atau menghadap kepadanya dalam ibadah—maka hal itu tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits ini.

فيض الباري شرح البخاري – (٢ / ١٧٥)
قال الطيبي: وأما من اتخذ مسجدًا بجوار صالح بحيث يبقى قبره خارج المسجد، وقصد التبرك بالقرب منه لا التعظيم له ولا التوجه نحوه فلا بأس به ويرجى فيه النفع أيضًا

Faidul Bari Syarh Al-Bukhari (Juz 2, Halaman 175):

Al-Tibi berkata: “Adapun seseorang yang membangun masjid di dekat seorang hamba saleh dengan syarat kuburnya tetap berada di luar masjid, dan ia bertujuan untuk mencari keberkahan dengan berada di dekatnya—bukan untuk mengagungkannya atau menghadap ke arahnya dalam ibadah—maka hal ini tidak mengapa. Bahkan, diharapkan ada manfaat (keberkahan) dalam hal tersebut.”

أسنى المطالب في شرح روض الطالب – (١ / ٥٢٢)

ويحرم أخذ طيب الكعبة وأخذ سترها ومن أخذ منهم  شيئًا لزمه رده فمن أراد التبرك بها في طيب مسحها بطيب نفسه ثم يأخذه

Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh At-Talib (Juz 1, Halaman 522):

“Haram hukumnya mengambil minyak wangi (wewangian) dari Ka’bah atau mengambil kain penutupnya. Barang siapa yang mengambil sesuatu dari keduanya, maka ia wajib mengembalikannya. Jika seseorang ingin mencari keberkahan dari Ka’bah melalui minyak wanginya, maka hendaknya ia mengusapkan minyak wanginya sendiri ke Ka’bah, lalu mengambilnya kembali.” Wallah A’lam bisshowab.

Kategori
Hukum

Mengambil Sisa Makanan Tamu VS Mengambil Foto di Medsos Tanpa Izin

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:Bahwa tamu datang bersama rezekinya:

إِذَا دَخَلَ الضَّيْفُ عَلَى الْقَوْمِ دَخَلَ بِرِزْقِهِ وَإِذَا خَرَجَ خَرَجَ بِمَغْفِرَتِهِمْ (رواه الديلمي)

Artinya:
“Jika tamu mengunjungi suatu kaum, maka ia datang dengan membawa rezekinya sendiri. Dan jika ia pergi, maka ia keluar dengan membawa pengampunan bagi mereka (kaum tersebut).” (HR. Ad-Dailami)
Hadis ini menunjukkan bahwa keberadaan tamu mendatangkan rezeki bagi tuan rumah. Sejalan dengan keyakinan ini, sebagian masyarakat meyakini bahwa sisa makanan yang ditinggalkan oleh tamu, terutama ulama ( Kiyai ) memiliki keberkahan, bahkan dianggap sebagai obat. Oleh karena itu, tidak jarang pelayan , panitia acara pernikahan atau haflah mengambil sisa makanan tersebut tanpa meminta izin terlebih dahulu dari tamu yang bersangkutan.

Studi Kasus yang serupa

Pada zaman Milenial sudah banyak aplikasi yang dapat menampilkan foto seperti messenger FP dan What App, bagi pemilik Akun FB maupun WA sering menampilkan foto di media sosial. Permasalahan yang muncul adalah:

Bagaimana hukum mengambil sisa makanan tamu tanpa izin? Sementara tamu meninggalkan dan pulang dengan mendapatkan ampunan, begitu juga hukum mengambil foto di FB/ WA bolehkah atau tidak ?

Waalaikum salam

Jawaban

Jika ada dugaan kuat pememiliknya ridho ( rela ) maka hukumnya boleh mengambilnya, tetapi sebaliknya jika pemiliknya tidak rela maka ia wajib menggantinya. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra berikut :

الفتاوى الفقهية الكبرى (ج٤/ص١١٦)
وسئل بما لفظه هل جواز الأخذ بعلم الرضا من كل شيء أم مخصوص بطعام الضيافة فأجاب بقوله الذي دل عليه كلامهم أنه غير مخصوص بذلك وصرحوا بأن غلبة الظن كالعلم في ذلك وحينئذ فمتى غلب على ظنه أن المالك يسمح له بأخذ شيء معين من ماله جاز له أخذه ثم إن بان خلاف ظنه لزمه ضمانه وإلا فلا

Seseorang bertanya, “Apakah kebolehan mengambil sesuatu dengan dasar mengetahui kerelaan pemiliknya berlaku untuk segala sesuatu, ataukah khusus untuk makanan jamuan?” Maka dijawab: “Keterangan para ulama menunjukkan bahwa hal ini tidak khusus untuk makanan jamuan saja. Mereka juga menyatakan bahwa ghalabatuzh zhan (dugaan kuat) setara dengan pengetahuan dalam hal ini. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki dugaan kuat bahwa pemiliknya mengizinkan dia mengambil sesuatu dari harta miliknya, maka dibolehkan baginya untuk mengambilnya. Namun, jika ternyata dugaan tersebut keliru, maka ia wajib menggantinya. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban mengganti.” Dalil hadits

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridho pemiliknya” (HR. Ahmad 5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi).
Izin di sini boleh jadi:
(1) Izin secara langsung
(2) Izin tidak langsung (izin dalalah)

Adapun izin tidak langsung yaitu misalnya secara ‘urf (kebiasaan), hal seperti itu sudah dimaklumi tanpa ada izin lisan atau sudah diketahui ridhonya si pemilik jika barangnya dimanfaatkan.
Mengenai bentuk izin jenis kedua ini kita bisa berdalil dengan kisah Khidr yang menghancurkan perahu orang miskin yang nantinya akan dirampas oleh raja. Ia sengaja menghancurkannya karena ia tahu bahwa mereka (para pemilik) ridho akan perbuatan Khidr. Allah Ta’ala berfirman,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al Kahfi: 79).
Oleh karenanya, mengenai izin jenis kedua ini, Ibnu Taimiyah memiliki kaedah,

وَالْإِذْنُ الْعُرْفِيُّ كَالْإِذْنِ اللَّفْظِيِّ

“Izin secara ‘urf (kebiasaan) teranggap sama dengan izin secara lisan” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 427).
Di tempat lain, beliau rahimahullah mengatakan,

وَكُلُّ مَا دَلَّ عَلَى الْإِذْنِ فَهُوَ إذْنٌ

“Segala sesuatu yang bermakna izin maka dihukumi sebagai izin” (Majmu’ Al Fatawa, 28: 272). Begitu juga halnya  tamu yang pulangnya lebih dari tiga hari (bertanya lebih tiga hari)  walaupun tanpa izin tidaklah berdosa karena hal tersebut termasuk sedekah.

Berdasarkan hadits

 شرح النووي على مسلم ص٢٩-٣٠

(بَاب الضِّيَافَةِ وَنَحْوُهَا

[٤٨] قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامِ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ) وَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ وَفِي رِوَايَةٍ الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقِيمَ عِنْدَ أَخِيهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ قَالَ يُقِيمُ عِنْدَهُ وَلَا شئ له يقر بِهِ وَفِي رِوَايَةٍ إِنْ نَزَلْتُمْ بِقَوْمٍ فَأَمَرُوا لَكُمْ بِمَا يَنْبَغِي لِلضَّيْفِ فَاقْبَلُوا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوا فَخُذُوا مِنْهُمْ حَقَّ الضَّيْفِ الَّذِي يَنْبَغِي لَهُمْ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ مُتَظَاهِرَةٌ عَلَى الْأَمْرِ بِالضِّيَافَةِ وَالِاهْتِمَامِ بِهَا وَعَظِيمِ مَوْقِعِهَا وَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى الضِّيَافَةِ وَأَنَّهَا مِنْ مُتَأَكِّدَاتِ الْإِسْلَامِ ثُمَّ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ رَحِمَهُمُ اللَّهُ تعالى والجمهور هي سنة ليست بوجبة وَقَالَ اللَّيْثُ وَأَحْمَدُ هِيَ وَاجِبَةٌ يَوْمًا وَلَيْلَةً قال أَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هِيَ وَاجِبَةٌ يَوْمًا وَلَيْلَةً عَلَى أَهْلِ الْبَادِيَةِ وَأَهْلِ)الْقُرَى
دُونَ أَهْلِ الْمُدُنِ وَتَأَوَّلَ الْجُمْهُورُ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ وَأَشْبَاهَهَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ وَمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ وَتَأَكُّدِ حَقِّ الضَّيْفِ

Bab Keramahtamahan dan Hal-Hal yang Berkaitan Dengannya

[48] Sabda Rasulullah ﷺ:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya dengan pemberian yang pantas baginya.”

Para sahabat bertanya, “Apakah pemberian yang pantas itu, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Sehari semalam, dan keramahtamahan itu (berlaku) selama tiga hari. Setelah itu, (jika lebih dari tiga hari) maka itu menjadi sedekah baginya.”

Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Keramahtamahan itu selama tiga hari, dan pemberian yang pantas baginya adalah sehari semalam. Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menetap di tempat saudaranya hingga ia menjadikannya berdosa.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang bisa menjadikannya berdosa?”

Beliau menjawab, “Ia menetap di tempat saudaranya, sementara saudaranya tidak memiliki sesuatu untuk menjamunya.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika kalian singgah di suatu kaum, lalu mereka memberikan apa yang seharusnya diberikan kepada tamu, maka terimalah. Tetapi jika mereka tidak melakukannya, maka ambillah hak tamu yang seharusnya diberikan kepada kalian.”

Hadis-hadis ini secara keseluruhan menunjukkan perintah untuk menjamu tamu, perhatian terhadapnya, serta kedudukan pentingnya dalam Islam. Kaum Muslimin telah sepakat bahwa menjamu tamu adalah bagian dari ajaran Islam yang sangat ditekankan.

Imam Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa menjamu tamu adalah sunnah dan tidak wajib.

Sedangkan Imam Laits dan Ahmad berpendapat bahwa menjamu tamu hukumnya wajib selama sehari semalam.

Imam Ahmad menambahkan bahwa kewajiban ini berlaku bagi penduduk pedesaan dan perkampungan, tetapi tidak berlaku bagi penduduk kota-kota besar.

Mayoritas ulama menafsirkan hadis-hadis tersebut sebagai anjuran dan bagian dari akhlak mulia serta penegasan terhadap hak tamu.

Kesimpulan

Berdasarkan keterangan di atas, hukum mengambil sisa makanan tamu tanpa izin tergantung pada dugaan kuat tentang kerelaan pemiliknya. Jika terdapat dugaan kuat bahwa tamu merelakan sisa makanannya untuk diambil, maka hal tersebut diperbolehkan. Sebaliknya, jika tamu tidak merelakan, maka orang yang mengambilnya wajib mengganti atau meminta maaf, sebagaimana kaidah dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra yang menyatakan bahwa dugaan kuat (ghalabatuzh zhan) tentang kerelaan pemilik dapat menjadi dasar kebolehan mengambil sesuatu, namun jika dugaan tersebut keliru, maka wajib menggantinya.
Dalil yang memperkuat kaidah ini adalah sabda Rasulullah ﷺ:

Tidak halal harta seseorang kecuali dengan kerelaan pemiliknya.”
(HR. Ahmad 5:72, dinilai shahih lighairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Dalam hal ini, izin dapat berupa:

Izin langsung (izin secara eksplisit dari pemilik).

Izin tidak langsung (izin yang dapat dipahami berdasarkan adat kebiasaan/’urf).

Pendapat ini diperkuat oleh kaidah Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa (11:427, 28:272) yang menyatakan bahwa izin berdasarkan kebiasaan (‘urf) dapat disamakan dengan izin secara lisan.
Adapun terkait mengambil foto dari media sosial (seperti Facebook atau WhatsApp), hukumnya sama. Jika ada dugaan kuat bahwa pemilik foto merelakan fotonya untuk diambil atau digunakan, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika pemilik tidak merelakan, maka mengambilnya tanpa izin merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dan memerlukan izin terlebih dahulu.
Untuk menghindari ketidakjelasan hukum, sebaiknya selalu meminta izin secara langsung sebelum mengambil sisa makanan tamu maupun foto dari media sosial.
Wallahu A’lam bish-Shawab.

Kategori
Hukum

Standarisasi Kutubul Mu’tabarah dalam Forum Bahtsul Masail

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Dalam berbagai forum bahtsul masail, baik di tingkat lokal (lingkup satu pesantren) maupun antar pesantren, sering kali muncul istilah kutubul mu’tabarah sebagai standar dalam menetapkan hukum suatu permasalahan.
Namun, ketika menghadapi problematika kontemporer, tidak jarang para peserta mengalami kesulitan dalam menemukan rujukan yang sesuai dari kitab-kitab klasik (salaf). Menariknya, setiap pesantren di wilayah Jawa-Madura memiliki standar dan metode seleksi yang berbeda dalam menentukan kitab-kitab yang dapat dijadikan landasan hukum. Sebagai contoh, beberapa kitab seperti:
Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu
Fifiq zakat Karya Dr.Yusuf Al-Qardhawi
Yas’alunak fi ad-Din wa al-Hayah
Fatawa Al-Azhar
Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyyah
Fiqih Sunnah Karya Sayyid Sabiq

Di sebagian forum bahtsul masail, kitab-kitab ini ditolak dan dianggap tidak bisa dijadikan rujukan hukum. Sementara itu, di forum lain, kitab-kitab ini diterima dan digunakan sebagai dasar dalam mengambil keputusan hukum. Perbedaan standar ini menimbulkan pertanyaan tentang kriteria dan otoritas dalam menetapkan sebuah kitab sebagai kutubul mu’tabarah.

Pertanyaan:
  1. Sejauh mana sebuah kitab dapat dikategorikan sebagai kutubul mu’tabarah?
  2. Siapa yang berhak menentukan standar kutubul mu’tabarah seperti dalam kasus kitab-kitab di atas?

Waalaikum Salam

Jawaban:

1. Sebuah kitab dapat dikategorikan sebagai kutubul mu’tabarah selama memenuhi kriteria berikut:

a). Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Sejalan dengan metodologi yang berkembang dalam masing-masing mazhab (madzahibul arba’ah).

b). Memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dalam keabsahan dan otoritasnya. Diterima secara luas dalam tradisi keilmuan yang telah berkembang.

c).Tidak terlalu ringkas sehingga hanya dapat dipahami oleh kalangan tertentu saja.

2. Standarisasi kutubul mu’tabarah bergantung pada kebijakan lembaga atau organisasi yang menggunakannya. Setiap lembaga memiliki pertimbangan sendiri dalam menentukan kitab-kitab yang dianggap valid sebagai rujukan hukum.

Dalam dunia pesantren, istilah kitab mu’tabarah (kitab yang diakui) mengacu pada kitab-kitab yang dijadikan rujukan utama dalam suatu mazhab atau sistem pendidikan tertentu. Jika ada kitab yang tidak dianggap sebagai rujukan di sebagian pondok pesantren, maka alasannya bisa beragam. Berikut beberapa alasan yang sering menjadi dasar mengapa suatu kitab tidak dianggap mu’tabarah:

1. Tidak Memiliki Sanad Keilmuan yang Jelas

Dalam tradisi pesantren, sanad atau jalur periwayatan ilmu sangat penting. Kitab-kitab yang dijadikan rujukan biasanya memiliki keterkaitan dengan ulama yang sanad keilmuannya bersambung hingga kepada para imam mazhab. Jika suatu kitab tidak memiliki sanad yang kuat atau tidak dikenal dalam jaringan keilmuan tradisional, maka bisa jadi kitab tersebut tidak diterima sebagai rujukan.

2. Tidak Sesuai dengan Mazhab yang Dianut

Sebagian besar pesantren di Indonesia mengikuti Mazhab Syafi’i. Jika suatu kitab ditulis oleh seorang ulama yang berbeda mazhab, atau meskipun bermazhab Syafi’i tetapi pendapatnya menyimpang dari kaidah yang umum diterima dalam mazhab tersebut, maka kitab tersebut bisa jadi tidak dianggap mu’tabarah.

3. Kurangnya Pengakuan dari Ulama Besar

Kitab-kitab yang diakui sebagai mu’tabarah biasanya mendapatkan pengakuan atau rekomendasi dari ulama-ulama besar yang otoritatif dalam bidangnya. Jika sebuah kitab tidak mendapatkan pengakuan dari ulama besar atau tidak banyak dikutip dalam kitab-kitab utama, maka kitab tersebut bisa dianggap kurang kredibel sebagai rujukan.

4. Metode Penyusunan yang Tidak Sesuai dengan Standar Keilmuan

Sebagian kitab mungkin disusun dengan metode yang dianggap kurang sistematis atau kurang teliti dalam mengutip sumber. Kitab yang tidak merujuk kepada dalil-dalil yang kuat atau memiliki kecenderungan menyimpulkan hukum tanpa metodologi yang jelas bisa saja tidak diterima sebagai rujukan di sebagian pesantren.

5. Adanya Unsur Kontroversial dalam Isi Kitab

Jika suatu kitab mengandung pandangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sudah mapan dalam mazhab atau menyajikan pendapat yang dianggap kontroversial tanpa dasar yang kuat, maka kitab tersebut bisa dikesampingkan dalam kurikulum pesantren.

6. Kebijakan dan Tradisi di Pesantren Tertentu

Beberapa pesantren memiliki kebijakan dan tradisi tersendiri dalam memilih kitab rujukan. Bisa jadi ada kitab yang sebenarnya memiliki nilai ilmiah yang baik, tetapi tidak digunakan karena tradisi pesantren lebih mengandalkan kitab-kitab yang telah lama diajarkan dan diwariskan secara turun-temurun.

Kesimpulan:

Penetapan sebuah kitab sebagai kutubul mu’tabarah dalam forum bahtsul masail bergantung pada kriteria kesesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadis, penerimaan luas dalam tradisi keilmuan, serta kelayakan metodologis dalam mazhab tertentu. Namun, standar penerimaan kitab dapat bervariasi antara pesantren atau lembaga yang berbeda, tergantung pada otoritas dan kebijakan yang mereka terapkan. Oleh karena itu, perbedaan dalam penggunaan kitab-kitab kontemporer sebagai rujukan hukum dalam bahtsul masail merupakan konsekuensi dari perbedaan metodologi dan otoritas keilmuan masing-masing lembaga.

Referensi:

كتاب الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي [وهبة الزحيلي]ج١ص٦-٧

– منهج هذا الكتاب:
– يمكن إبراز بعض مزايا هذا الكتاب في الفقه على النحو الجديد في التأليف تحقيقاً واستنباطاً وأسلوباً وتبويباً وتنظيماً وفهرسة واستدلالاً بما يأتي:

١ً – إنه كتاب فقه الشريعة الإسلامية المعتمد على الدليل الصحيح من القرآن والسنة والمعقول، لا فقه السنة وحدها، ولا فقه الرأي وحده، إذ ليس عمل المجتهد معتبراً بغير الاعتماد على القرآن والسنة. ومعرفة أحكام الشرع الفقهية التي هي مجرد أمر وصفي وبيان مسلَّمات، لاتكوِّن قناعة عقلية ولا متعة نفسية، ولا طمأنينة للعالم والمتعلم إذا جاءت من غير دليل، كما أن العلم بدليل الحكم يخرج من ربقة الجمود على التقليد المذموم في القرآن إلى الاتباع المقرون بالبصيرة الذي اشترطه الأئمة فيمن يتلقى العلم عنهم، ثم إن أدلة الأحكام هي روح الفقه، ودراستها رياضة للعقل، وتربية له، وتكوين للملكة الفقهية لدى كل متفقه.
– وبكلمة موجزة: يمتاز هذا الكتاب الشامل فقه المذاهب باعتماده ــ وهو اعتماد المذاهب الإسلامية نفسها ــ على استنباط أحكامه من مختلف مصادر التشريع الإسلامي النقلية والعقلية (الكتاب والسنة والاجتهاد بالرأي المعتمد على روح التشريع الأصلية العامة) فمن قصر الفقه الإسلامي على القرآن وحده فقد بتر أو مسخ الإسلام من جذوره، وكان أقرب لأعداء الدين، ومن حصر الفقه بالسنة وحدها فقد قصَّر وأساء، وعاش قاصر الطرف عن شؤون الحياة، وبعد عن التفاعل أو التجاوب مع متطلبات الناس، وتحقيق مصالحهم، ومن المعروف أنه حيثما وجدت المصلحة فثم شرع الله ودينه، وأن زعماء مدرسة الحديث (مالك والشافعي وأحمد) أخذوا بالمصالح المرسلة والعرف والعادة وسد الذرائع وغيرها من أدلة الاجتهاد بالرأي، كما أن زعماء مدرسة الرأي كالنخعي وربيعة الرأي وأبي حنيفة وأصحابه لم يهملوا بتاتاً سنة أو أثراً أو اجتهاداً عن السلف

Metodologi Kitab “Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu” oleh Wahbah al-Zuhaili

Kitab ini memiliki beberapa keunggulan dalam penyusunan, penggalian hukum, gaya penyampaian, sistematika, klasifikasi, referensi, dan penggunaan dalil, yang dapat dirangkum sebagai berikut:

Kitab Fiqh Syariat Islam yang Berdasarkan Dalil yang Sahih
Kitab ini tidak hanya mengandalkan fiqh berdasarkan hadis semata atau fiqh berdasarkan akal semata. Seorang mujtahid tidak dapat diterima pendapatnya tanpa bersandar pada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengetahui hukum-hukum fiqh tanpa dalil hanya menghasilkan pemahaman deskriptif yang tidak memberikan keyakinan intelektual, ketenangan jiwa, atau kepuasan bagi pencari ilmu. Sebaliknya, memahami dalil hukum menjauhkan seseorang dari taqlid buta yang tercela dalam Al-Qur’an dan membawanya kepada ittiba’ (mengikuti dengan ilmu). Dalil-dalil hukum adalah ruh fiqh, dan mempelajarinya melatih akal, mengasah pemikiran, serta membentuk kemampuan fiqh bagi setiap pencari ilmu.

Singkatnya, kitab ini merangkum fiqh dari berbagai mazhab dengan pendekatan yang diambil dari sumber-sumber syariat Islam, baik yang bersifat naqli (tekstual) maupun aqli (rasional), yakni Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad berbasis kaidah syariat yang umum. Membatasi fiqh Islam hanya pada Al-Qur’an akan merusak Islam dari akarnya, sedangkan membatasi fiqh hanya pada Sunnah juga tidak cukup, karena akan menghambat interaksi dengan realitas kehidupan dan kebutuhan manusia. Diketahui bahwa di mana terdapat maslahat, di situlah hukum Allah berlaku. Para ulama hadis seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad pun menerima maslahat mursalah, adat istiadat, serta kaidah sadd al-dzari’ah. Begitu pula ulama ahli ra’yu seperti Ibrahim al-Nakha’i, Rabi’ah al-Ra’yi, dan Imam Abu Hanifah, yang tetap mengakui pentingnya Sunnah dan atsar dalam istinbath.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج ١ / ص ١٤٩)
(تَنْبِيهٌ) مَا أَفْهَمَهُ كَلَامُهُ مِنْ جَوَازِ النَّقْلِ مِنَ الْكُتُبِ الْمُعْتَمَدَةِ وَنِسْبَةِ مَا فِيهَا لِمُؤَلِّفِيهَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَتَّصِلْ سَنَدُ النَّاقِلِ بِمُؤَلِّفِيهَا نَعَمْ النَّقْلُ مِنْ نُسْخَةِ كِتَابٍ لَا يَجُوزُ إِلَّا إِنْ وَثِقَ بِصِحَّتِهَا أَوْ تَعَدَّدَتْ تَعَدُّدًا يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ صِحَّتُهَا أَوْ رَأَى لَفْظَهَا مُنْتَظِمًا وَهُوَ خَبِيرٌ فَطِنْ يُدْرِكُ السَّقَطَ وَالتَّحْرِيفَ فَإِنْ انْتَفَى ذَلِكَ قَالَ وَجَدْتُ كَذَا أَوْ نَحْوَهُ وَمِنْ جَوَازِ اعْتِمَادِ الْمُفْتِي مَا يَرَاهُ فِي كِتَابٍ مُعْتَمَدٍ فِيهِ تَفْصِيلٌ لَا بُدَّ مِنْهُ ، وَدَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُ الْمَجْمُوعِ وَغَيْرِهِ وَهُوَ أَنَّ الْكُتُبَ الْمُتَقَدِّمَةَ عَلَى الشَّيْخَيْنِ لَا يُعْتَمَدُ شَيْءٌ مِنْهَا إِلَّا بَعْدَ مَزِيدِ الْفَحْصِ وَالتَّحَرِّي حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ الْمَذْهَبُ وَلَا يُغْتَرُّ بِتَتَابُعِ كُتُبٍ مُتَعَدِّدَةٍ عَلَى حُكْمٍ وَاحِدٍ فَإِنَّ هَذِهِ الْكَثْرَةَ قَدْ تَنْتَهِي إِلَى وَاحِدٍ أَلَا تَرَى أَنَّ أَصْحَابَ الْقَفَّالِ أَوِ الشَّيْخِ أَبِي حَامِدٍ مَعَ كَثْرَتِهِمْ لَا يُفَرِّعُونَ وَيُؤَصِّلُونَ إِلَّا عَلَى طَرِيقَتِهِ غَالِبًا ، وَإِنْ خَالَفَتْ سَائِرَ الْأَصْحَابِ فَتَعَيَّنَ سَبْرُ كُتُبِهِمْ هَذَا كُلُّهُ فِي حُكْمٍ لَمْ يَتَعَرَّضْ لَهُ الشَّيْخَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا ، وَإِلَّا فَالَّذِي أَطْبَقَ عَلَيْهِ مُحَقِّقُو الْمُتَأَخِّرِينَ وَلَمْ تَزَلْ مَشَايِخُنَا يُوصُونَ بِهِ وَيَنْقُلُونَهُ عَنْ مَشَايِخِهِمْ وَهُمْ عَمَّنْ قَبْلَهُمْ.

Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj (Jilid 1, Halaman 149)

(Tanbih) Peringatan: Apa yang dipahami dari perkataannya tentang kebolehan menukil dari kitab-kitab yang diakui keabsahannya serta menisbatkan isi kitab tersebut kepada pengarangnya adalah sesuatu yang telah disepakati, meskipun sanad orang yang menukil tidak bersambung langsung kepada pengarangnya.

Namun, menukil dari sebuah naskah kitab tidak diperbolehkan kecuali jika ia meyakini kebenaran naskah tersebut atau jika terdapat beberapa naskah yang jumlahnya cukup banyak sehingga menguatkan dugaan akan kebenarannya. Atau, jika ia melihat redaksinya tersusun dengan baik, dan ia adalah orang yang ahli dan cerdas sehingga mampu mendeteksi kesalahan berupa penghilangan atau perubahan teks. Jika hal itu tidak terpenuhi, maka hendaknya ia mengatakan: “Saya menemukan dalam kitab ini demikian,” atau ungkapan lain yang serupa.

Adapun kebolehan seorang mufti berpegang pada apa yang ia temukan dalam kitab yang diakui keabsahannya, maka dalam hal ini terdapat perincian yang harus diperhatikan. Hal ini juga ditegaskan dalam kitab Al-Majmu’ dan lainnya, yaitu bahwa kitab-kitab yang mendahului dua imam (Imam Rafi’i dan Imam Nawawi) tidak boleh dijadikan pegangan kecuali setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan lebih lanjut hingga kuat dugaan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat mazhab.

Jangan sampai seseorang tertipu dengan banyaknya kitab yang meriwayatkan suatu hukum yang sama, karena bisa jadi kesepakatan tersebut bersumber dari satu orang saja. Tidakkah engkau melihat bahwa murid-murid Imam Al-Qaffal atau Imam Abu Hamid, meskipun jumlah mereka banyak, mereka tetap membangun cabang hukum dan kaidah fikih berdasarkan metode guru mereka, meskipun metode tersebut bertentangan dengan mayoritas ulama mazhab? Maka, wajib dilakukan penelitian mendalam terhadap kitab-kitab mereka.

Semua ini berlaku dalam masalah yang tidak dibahas oleh dua imam (Imam Rafi’i dan Imam Nawawi) atau salah satu dari keduanya. Namun, jika mereka telah membahasnya, maka yang telah disepakati oleh para peneliti dari kalangan ulama muta’akhirin (belakangan), dan yang selalu diwasiatkan oleh para ulama kepada murid-murid mereka serta diteruskan dari generasi ke generasi, itulah yang harus dijadikan pegangan.

تبصرة الحكام في أصول الأقضية ومناهج الأحكام – (ج ١ / ص ١٧٢)
مَسْأَلَةٌ : وَمِثْلُ هَذَا مَا ذَكَرَهُ الْقَرَافِي فِي كِتَابٍ ( الْإِحْكَامُ فِي تَمْيِيزِ الْفَتَاوَى عَنْ الْأَحْكَامِ ) فَقَالَ كَانَ الْأَصْلُ يَقْتَضِي أَنْ لَا تَجُوزَ الْفُتْيَا إِلَّا بِمَا يَرْوِيهِ الْعَدْلُ عَنْ الْمُجْتَهِدِ الَّذِي يُقَلِّدُهُ الْمُفْتِي حَتَّى يَصِحَ ذَلِكَ عِنْدَ الْمُفْتِي كَمَا تَصِحُّ الْأَحَادِيثُ عِنْدَ الْمُجْتَهِدِ ؛ لِأَنَّهُ نَقُلْ لِدِينِ اللَّهِ – تَعَالَى – فِي الْمَوْضِعَيْنِ ، وَعَلَى هَذَا كَانَ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرُمَ غَيْرُ ذَلِكَ ، غَيْرَ أَنَّ النَّاسَ تَوَسَّعُوا فِي هَذَا الْعَصْرِ فَصَارُوا يُفْتُونَ مِنْ كُتُبِ يُطَالِعُونَهَا مِنْ غَيْرِ رِوَايَةٍ ، وَهُوَ خَطَرٌ عَظِيمٌ فِي الدِّينِ ، وَخُرُوجٌ عَنْ الْقَوَاعِدِ ، غَيْرَ أَنَّ الْكُتُبَ الْمَشْهُورَةَ ؛ لأجلِ شُهْرَتِهَا بَعُدَتْ بُعْدًا شَدِيدًا عَنْ التَّحْرِيفِ وَالتَّزْوِيرِ فَاعْتَمَدَ النَّاسُ عَلَيْهَا اعْتِمَادًا عَلَى ظَاهِرِ الْحَالِ ، وَلِذَلِكَ أَيْضًا أَهْمَلَتْ رِوَايَةُ كُتُبِ النَّحْوِ وَاللُّغَةِ بِالْعَنْعَنَةِ عَنْ الْعُدُولِ بِنَاءً عَلَى بُعْدِهَا عَنْ التَّحْرِيفِ ، وَإِنْ كَانَتْ اللُّغَةُ هِيَ أَسَاسُ الشَّرْعِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ ، فَإِهْمَالُ ذَلِكَ فِي النَّحْوِ وَاللُّغَةِ وَالتَّصْرِيفِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا يَعْضُدُ أَهْلَ الْعَصْرِ فِي إِهْمَالِ ذَلِكَ فِي كُتُبِ الْفِقْهِ بِجَامِعِ بُعْدِ الْجَمِيعِ عَنْ التَّحْرِيفِ ، وَعَلَى هَذَا تَحْرِيمُ الْفُتْيَا مِنَ الْكُتُبِ الْغَرِيبَةِ الَّتِي لَمْ تَشْتَهِرْ حَتَّى تَتَظَافَرَ عَلَيْهَا الْخَوَاطِرُ وَيُعْلَمَ صِحَّةُ مَا فِيهَا ، وَكَذَلِكَ الْكُتُبُ الْحَدِيثَةُ التَّصْنِيفِ إِذَا لَمْ يَشْتَهِرْ عَزْهُ مَا فِيهَا مِنَ الْمَنْقُولُ إِلَى الْكُتُبِ الْمَشْهُورَةِ ، أَوْ يُعْلَمُ أَنَّ مُصَنِّفَهَا كَانَ يَعْتَمِدُ هَذَا النَّوْعَ مِنْ الصِّحَّةِ وَهُوَ مَوْثُوقٌ بِعَدَالَتِهِ ، وَكَذَلِكَ حَوَاشِي الْكُتُبِ تَحْرُمُ الْفَتْوَى بِهَا ؛ لِعَدَمِ صِحَّتِهَا وَالْوُتُوقِ بِهَا انْتَهَى وَمُرَادُهُ إِنْ كَانَتْ الْحَوَاشِي غَرِيبَةَ النَّقْلِ ، وَأَمَّا إِذَا كَانَ مَا فِيهَا مَوْجُودًا فِي الْأُمَّهَاتِ أَوْ مَنْسُوبًا إِلَى مَحَلِّهِ ، وَهِيَ بِخَطِّ يَوْثُقُ بِهِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ سَائِرِ التَّصَانِيفِ وَلَمْ تَزَلْ الْعُلَمَاءُ وَأَئِمَّةُ الْمَذْهَبِ يَنْقُلُونَ مَا عَلَى حَوَاشِي كُتُبِ الْأَئِمَّةِ الْمَوْثُوقِ بِعِلْمِهِمْ بِخُطُوطِهِمْ ، وَذَلِكَ مَوْجُودٌ فِي كَلَامِ الْقَاضِي عِيَاضٍ وَالْقَاضِي أَبِي الْأَصْبَغِ بْنِ سَهْلٍ وَغَيْرِهِمَا ، إِذَا وَجَدُوا حَاشِيَةً يَعْرِفُونَ كَاتِبَهَا نَقَلُوا ذَلِكَ عَنْهُ وَنَسَبُوهَا إِلَيْهِ ، وَأَدْخَلُوا ذَلِكَ فِي مُصَنَّفَاتِهِمْ ، وَأَمَّا حَيْثُ يُجْهَلُ الْكَاتِبُ وَيَكُونُ النَّقْلُ غَرِيبًا فَلَا شَكِّ فِيمَا قَالَهُ الْقَرَافِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى ، وَمِنْ ذَلِكَ الطَّرَرُ لِأَبِي إِبْرَاهِيمَ

Masalah:

Seperti halnya yang disebutkan oleh Al-Qarafi dalam kitabnya Al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa ‘an al-Ahkam, ia berkata:

“Asal hukum mengharuskan bahwa tidak boleh memberi fatwa kecuali dengan riwayat dari seorang yang adil (terpercaya) yang meriwayatkan dari mujtahid yang diikuti oleh mufti, sehingga hal tersebut menjadi sah di sisi mufti sebagaimana kesahihan hadis di sisi mujtahid. Sebab, keduanya merupakan bentuk penyampaian ajaran agama Allah Ta’ala, baik dalam fatwa maupun dalam hadis. Berdasarkan hal ini, seharusnya dilarang memberi fatwa dengan cara selain itu.

Namun, pada masa ini, manusia telah memberi kelonggaran dalam hal ini. Mereka mulai memberi fatwa hanya berdasarkan kitab-kitab yang mereka baca tanpa adanya sanad periwayatan. Ini merupakan bahaya besar dalam agama dan penyimpangan dari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan.

Namun demikian, kitab-kitab yang sudah masyhur karena kemasyhurannya telah terhindar jauh dari penyimpangan dan pemalsuan, sehingga orang-orang pun mengandalkan kitab-kitab tersebut berdasarkan kepercayaan terhadap keadaan lahiriahnya. Oleh sebab itu, periwayatan dalam ilmu nahwu dan bahasa juga tidak lagi dilakukan dengan sistem sanad dari para perawi yang adil, karena kitab-kitab ini dianggap jauh dari kemungkinan adanya penyimpangan. Padahal, ilmu bahasa merupakan dasar utama dalam memahami syariat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Pengabaian sistem sanad dalam ilmu nahwu, bahasa, dan sharaf sejak dahulu hingga sekarang menjadi argumen bagi orang-orang di zaman ini untuk mengabaikan sanad dalam kitab-kitab fikih. Sebab, sama-sama dianggap telah jauh dari penyimpangan.

Berdasarkan ini, haram memberi fatwa berdasarkan kitab-kitab yang asing dan belum terkenal, sampai benar-benar telah banyak yang meneliti serta memastikan kebenaran isinya. Begitu pula kitab-kitab yang baru ditulis, jika belum diketahui sumber periwayatannya dari kitab-kitab yang sudah terkenal atau tidak diketahui apakah penulisnya benar-benar mengandalkan ketelitian dalam menukil dan ia memang terpercaya dalam keadilannya.

Demikian pula, haram berfatwa dengan keterangan yang ada di pinggiran (catatan pinggir) kitab jika tidak diketahui kebenarannya dan tidak dapat dipercaya. Akan tetapi, jika keterangan dalam catatan pinggir tersebut sudah ada dalam kitab-kitab induk atau disandarkan kepada sumbernya yang terpercaya serta ditulis dengan tulisan yang bisa dipercaya, maka tidak ada perbedaan antara catatan pinggir dan kitab-kitab lainnya.

Para ulama dan imam mazhab pun senantiasa mengutip keterangan dari catatan pinggir kitab-kitab para imam yang terpercaya ilmunya dan ditulis dengan tulisan tangan mereka sendiri. Hal ini juga disebutkan dalam perkataan Qadhi Iyadh, Qadhi Abu Ashbagh bin Sahl, dan ulama lainnya. Jika mereka menemukan catatan pinggir yang diketahui penulisnya, mereka mengutipnya dan menyandarkannya kepada penulisnya, lalu memasukkannya ke dalam karya-karya mereka.

Namun, jika penulis catatan pinggir tersebut tidak diketahui dan isi kutipannya asing, maka tidak ada keraguan dalam pendapat Al-Qarafi rahimahullah tersebut. Di antara contoh kasus ini adalah catatan pinggir yang ditulis oleh Abu Ibrahim.”

أهل العصر في إهمال ذلك في كتب الفقه بجامع بعد الجميع عن التحريف وعلى هذا تحرم الفتيا من الكتب الغريبة التي لم تشتهر حتى تتظافر عليها الخواطر ويعلم صحة ما فيها وكذلك الكتب الحديثة التصنيف اذا لم تشتهر عز وما فيها من النقود إلى الكتب المشهورة أو يعلم أن مصنفها كان يعتمد هذا النوع من الصحة وهو موثوق بعد الله وكذلك حواشي الكتب تحرم الفتوى بها لعدم صحتها والوثوق بها انتهى ومراده ان كان الحواشي غريبة النقل وأما إذا كان ما فيها موجودا في الأمهات او منسوبا إلى محله وهي بخط من يوثق به فلا فرق بينها وبين سائر التصانيف (مهمة) قال شيخنا نخبر ابن شيخنا ميمون مستدركا المقر المتقدمة وبالاستقراء والتبع أننا نحتاج إلى بعض تلك الكتب الجديدة خصوصا في المسائل المستجدة التي لم تكن في العصور الأولى وقد تغير الزمان وتطور تطورا بعيد المدى في جميع النواحي والقضايا لا ينكره الا أعمى أو متعافى فيجوز عند الضرورة الاعتبار بما في بعض تلك الكتب خصوصاً إذا كان مؤلفها من أهل العلم والفقه المعترف بهم في الشرق والغرب والمتخرجين من المدارس الكبرى من مدارس أهل السنة والجماعة ذات المستوى العالي في الفقه الديني مثل الشيخ القرضاوي والشيم ومثل صاحب الفقه الاسلامي أبي زهرة فليس بفقيه وأما صاحب يسألونك وانما هو داع عظيم من دعاة الاسلام وأما صاحب فقه السنة من أهل العلم الذين ينفخون دعوى الاجتهاد ودعوى الناس إليه كما سبقهم إلى ذلك أئمتهم مثل صاحب سبل السلام ونيل الأوطار من أحمد د الحكم من أمرائهم ومن كتبهم إلا فيما وتقوية ما لدى المذاهب الأربعة أو أحدها في غير المذاهب لنا حاجة في معرفة الأدلة الحديثة

Pendapat ulama mengenai fatwa dari kitab-kitab yang kurang dikenal dan kitab-kitab modern

Para ulama pada zaman ini cenderung mengabaikan kitab-kitab yang tidak terkenal dalam fiqih, dengan alasan bahwa semua ulama telah sepakat untuk menjauh dari penyimpangan. Oleh karena itu, haram memberikan fatwa berdasarkan kitab-kitab yang asing dan tidak terkenal, kecuali jika kitab tersebut telah banyak ditelaah oleh para ulama, sehingga diketahui kebenaran isinya. Begitu pula, kitab-kitab yang baru disusun tetapi belum terkenal dan tidak memiliki hubungan dengan kitab-kitab yang sudah masyhur, atau belum diketahui bahwa penulisnya benar-benar mengandalkan validitas hukum yang kuat serta dapat dipercaya, maka fatwa berdasarkan kitab tersebut juga tidak diperbolehkan.

Demikian pula dengan hâsyiyah (catatan pinggir dalam kitab-kitab fiqih), fatwa berdasarkan hâsyiyah tersebut diharamkan jika isi dan sumbernya tidak dapat dipercaya. Akan tetapi, jika isi hâsyiyah tersebut terdapat dalam kitab-kitab induk atau dinisbatkan kepada sumbernya yang valid, serta ditulis oleh seseorang yang terpercaya, maka tidak ada perbedaan antara hâsyiyah tersebut dengan kitab-kitab lainnya dalam aspek validitas hukum.

(Catatan penting)
Syaikh kami, yang merupakan anak dari syaikh kami Maimun, menyanggah pendapat yang disebutkan di atas. Dari hasil penelitian dan observasi, kita tetap membutuhkan sebagian kitab-kitab baru, terutama dalam masalah-masalah kontemporer yang tidak ada dalam kitab-kitab klasik. Hal ini disebabkan oleh perubahan zaman yang sangat pesat dalam berbagai aspek. Hanya orang buta atau mereka yang berpura-pura tidak tahu saja yang akan menyangkal kenyataan ini.

Oleh karena itu, dalam keadaan darurat, diperbolehkan untuk merujuk pada sebagian kitab-kitab modern, khususnya jika penulisnya merupakan ulama yang diakui dalam keilmuan dan fiqih di dunia Islam, serta merupakan lulusan dari lembaga pendidikan besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memiliki standar keilmuan tinggi dalam fiqih. Misalnya, Syaikh Yusuf Al-Qaradawi, atau ulama seperti Abu Zahrah dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami. Namun, perlu dicatat bahwa penulis kitab Yas’alunak bukanlah seorang faqih, melainkan seorang dai besar dalam dakwah Islam. Adapun penulis Fiqh As-Sunnah, termasuk ulama yang cenderung mendorong klaim ijtihad dan mengajak umat untuk berijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu mereka, seperti penulis Subulus Salam dan Nailul Authar.

Kitab-kitab yang berasal dari kalangan yang menolak otoritas mazhab kecuali hanya untuk memperkuat pendapat yang mereka inginkan, atau yang menolak mazhab yang empat dalam hal yang tidak dibutuhkan, maka kitab-kitab tersebut tidak boleh dijadikan sandaran, kecuali untuk meneliti dalil-dalil baru yang berkaitan dengan mazhab yang diakui.

وفى كتب سبعة مفيدة.٤٨

تتمة : قد منا عن فتح القدير كيفية الافتاء مما فى الكتب فلا يجوز الافتاء مما في الكتب الغريبة وفى شرح الاشباه لشيخنا المحقق هبة الله لبعلى قال شيخنا العلامة صالح الجينينى انه لا يجوز الافتاء من الكتب المختصرة كالنهر وشرح الكنز للعينى والدر المختار شرح تنوير الابصار اما لعدم الاطلاع على حال مؤلفيها كشرح الكنز لمنلا مسكين وشرح النقاية للقهستاني او لنقل الاقوال الضعيفة فيها كالقنية للزاهدى فلا يجوز الافتاء من هذه الا اذا علم المنقول عنه وأخذه منه وهو علامة في الفقه مشهور والعهدة عليه . اهـ أقول : وينبغى الحاق الاشباه والنظائر بها فإن فيها من الايجاز في التعبير ما لا يفهم معناه الا بعد الاطلاع على ماخذه بل فيها
في مواضع كثيرة الإيجاز المحل يظهر ذلك لمن مارس مطالعاتها مع الحواشي فلا يأمن المفتى من الوقوع في الغلط اذا اقتصر عليه فلا بد له من مراجعة ما كتب عليها من الحواشي او غيرها اهـ
وفيه تبصرة الحكام اما (مسئلة) ومثل هذا ما ذكره القرافي في كتاب الاحكام في تمييز الفتاوى عن الاحكام فقال كان الاصل يقتضي ان لا تجوز الفتيا الا بما يرويه العدل عن العدول عن المجتهد الذي يقلده المفتي حتى يصح ذلك عند المفتي وعلى هذا ينبغي أن يحرم غير ذلك غير ان الناس توسعوا في هذا العصر فصاروا يفتون من كتب يطالعونها من غير رواية وهو خطر عظيم في الدين وخروج عن القواعد غير ان الكتب المشهورة لأجل شهرتها بعدت بعدا شديدا عن التحريف والتزوير فاعتمد الناس عليها اعتمادا ظاهرا للحال وعلى هذا تحرم الفتيا من الكتب الغريبة التي لم تشتهر حتى تتظافر عليها الخواطر ويعلم صحة ما فيها وكذلك الكتب الحديثية التصنيف اذا لم يشتهر عزوا فيها من النقول الى الكتب المشهورة لو لم يعلم ان مصنفها كان يعتمد هذا النوع من الصحة وهو موثوق به بعد الله وكذلك حواشي الكتب تحرم الفتوى بها لعدم صحتها والوثوق بها اهـ ومراده ان كانت الحواشي غريبة النقل واما اذا كان ما فيها موجودا في الأمهات او منسوبا الى محله وهو يوثق به فلا فرق بينها وبين التصانيف اهـ

Dalam kitab Sab‘atu Mufīdah (Tujuh Kitab yang Bermanfaat) halaman 48 disebutkan:

Tambahan:

Kami telah mengutip dari Fath al-Qadīr tentang cara berfatwa berdasarkan kitab-kitab fiqih, yaitu tidak diperbolehkan berfatwa berdasarkan kitab-kitab yang tidak terkenal. Dalam Syarh al-Asybah karya Syaikh Hibatullah al-Lub‘alī, Syaikh al-‘Allāmah Shāliḥ al-Jīnīnī berkata:

“Tidak diperbolehkan berfatwa dari kitab-kitab ringkas seperti An-Nahr dan Syarh al-Kanz karya al-‘Ainī, serta Ad-Durr al-Mukhtār (syarah Tanwīr al-Absār). Sebab, ada kitab yang tidak diketahui keadaan penulisnya, seperti Syarh al-Kanz karya Mullā Miskīn dan Syarh an-Nuqāyah karya al-Quhustānī. Ada juga kitab yang memuat pendapat-pendapat lemah, seperti Al-Qunyah karya Az-Zāhidī. Maka, tidak diperbolehkan berfatwa dari kitab-kitab tersebut kecuali jika diketahui secara jelas siapa yang menjadi rujukan dalam kitab itu, diambil langsung dari sumbernya, dan sumber tersebut merupakan ulama fiqih yang terkenal. Jika demikian, maka tanggung jawab (validitasnya) ada pada ulama tersebut.”

Saya (penulis) berkata: Seyogianya kitab Al-Asybah wa an-Nazhā’ir juga termasuk dalam kategori ini karena kitab tersebut memiliki redaksi yang sangat ringkas sehingga maknanya tidak bisa dipahami kecuali setelah menelaah sumber aslinya. Bahkan, dalam banyak bagian kitab tersebut terdapat ringkasan yang membingungkan. Hal ini dapat diketahui oleh mereka yang sering menelaah kitab ini bersama dengan ḥāsyiyah (catatan pinggir). Oleh karena itu, seorang mufti tidak akan aman dari kesalahan jika hanya merujuk kitab ini tanpa membaca ḥāsyiyah-nya atau kitab lainnya yang menjelaskan isinya.

Dalam kitab Tabṣirat al-Ḥukkām disebutkan masalah serupa. Demikian pula, Al-Qarāfī dalam kitab Al-Aḥkām fī Tamīz al-Fatāwā ‘an al-Aḥkām menyatakan:

*”Secara prinsip, tidak diperbolehkan berfatwa kecuali dengan riwayat dari seorang yang adil, yang meriwayatkan dari orang-orang adil sebelumnya, yang mengambil dari mujtahid yang diikuti oleh mufti. Sehingga, fatwa tersebut benar-benar sah di mata mufti. Berdasarkan prinsip ini, berfatwa dengan sumber lain seharusnya dilarang.

Namun, manusia pada zaman ini telah memperluas cakupan dalam hal fatwa. Mereka mulai berfatwa hanya dengan membaca kitab tanpa memiliki sanad atau riwayat yang jelas, dan ini merupakan bahaya besar dalam agama serta penyimpangan dari kaidah yang benar.

Hanya saja, kitab-kitab yang sudah terkenal, karena kemasyhurannya, telah jauh dari distorsi dan pemalsuan, sehingga orang-orang mengandalkannya dalam fatwa secara umum. Oleh karena itu, diharamkan berfatwa dari kitab-kitab yang tidak terkenal, kecuali kitab tersebut sudah banyak dikaji oleh para ulama dan telah dipastikan kebenarannya.

Begitu pula, kitab-kitab baru yang belum terkenal tidak boleh dijadikan dasar fatwa, kecuali jika dalam kitab tersebut terdapat kutipan dari kitab-kitab fiqih yang sudah terkenal. Atau jika diketahui bahwa penyusunnya memiliki standar ketelitian dalam menulis dan ia merupakan ulama terpercaya setelah Allah.

Demikian pula, ḥāsyiyah (catatan pinggir kitab-kitab fiqih) tidak boleh dijadikan dasar fatwa, karena tidak ada jaminan kebenaran dan keandalannya. Akan tetapi, jika dalam ḥāsyiyah tersebut terdapat kutipan dari kitab-kitab induk atau dinisbatkan kepada sumber aslinya yang jelas serta ditulis oleh seseorang yang terpercaya, maka tidak ada perbedaan antara ḥāsyiyah tersebut dengan kitab-kitab lainnya dalam aspek validitasnya.”Wallahu A’lam bisshowab

Kategori
Hukum

Posisi Tangan Saat I’tidal: Bersedekap ataukah Lurus?

Assalamualakum

Deskripsi Masalah

Dalam pelaksanaan shalat, sebagian orang berbeda mengenai posisi tangan saat i’tidal (bangkit dari ruku’) ada sebagian kedua tangannya kembali disedekapkan seperti saat sebelum ruku’ dan ada sebagian dilepaskan di samping tubuh ( diluruskan)

Pertanyaan:

Bagaimana pandangan para ulama mengenai posisi tangan saat i’tidal ( bangkit dari ruku dalam shalat) apa lebih utama menyedekapkan tangan kembali atau melepaskannya saat i’tidal?

Waalaikum salam

Jawaban

Para ulama berbeda pendapat mengenai posisi tangan saat i’tidal (bangkit dari ruku’ dalam shalat). Perbedaan ini didasarkan pada interpretasi terhadap dalil-dalil yang ada.

1. Pendapat yang Menyatakan Tangan Kembali Disedekapkan

Sebagian ulama, seperti Imam Al-Baghawi, berpendapat bahwa mengembalikan tangan ke posisi sedekap setelah ruku’ adalah lebih utama. Beliau bahkan menyebutkan bahwa melepaskan tangan saat i’tidal adalah makruh, kecuali bagi orang yang khawatir melakukan gerakan yang berlebihan dalam shalat.

2.Pendapat yang menyatakakan tangan dilepaskan disamping tubuh ( diluruskan).

Pendapat mayoritas ulama, termasuk Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, menyatakan bahwa sunnahnya adalah melepaskan tangan setelah i’tidal. Imam Ibnu Hajar menegaskan bahwa pendapat yang menyatakan tangan kembali disedekapkan tidak memiliki dasar yang kuat.

Kesimpulan

Pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Syafi’i adalah melepaskan tangan setelah i’tidal, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi, Imam Rafi’i, dan Imam Ibnu Hajar. Dalil-dalil yang mendukung pendapat ini lebih kuat dibandingkan pendapat yang menyatakan tangan kembali disedekapkan. Namun, karena ada perbedaan pandangan di kalangan ulama, umat Islam yang mengikuti pendapat menyedekapkan tangan kembali tetap dihormati selama memiliki dasar dari ulama yang diikuti.

Referensi :

إعانة الطالبين – (ج ١ / ص ١٣٥)

( قوله وردهما ) أي الكفين بعد رفعهما وقوله إلى تحت الصدر متعلق برد ( قوله أولى من إرسالهما إلخ ) أي لما في ذلك من زيادة الحركة قال في شرح الروض بل صرح البغوي بكراهة الإرسال لكنه محمول على من لم يأمن العبث وقوله ثم استئناق هو بالجر معطوف على إرسالهما .

1. I‘anah al-Thalibin (Jilid 1, Hal. 135)

(Ucapan “mengembalikan keduanya”) – maksudnya adalah kedua tangan setelah mengangkatnya.
(Ucapan “ke bawah dada”) – berkaitan dengan “mengembalikan” tangan.
(Ucapan “lebih utama daripada melepaskannya”) – karena dalam hal ini terdapat tambahan gerakan.
Dalam Syarh al-Raudh disebutkan bahwa al-Baghawi secara tegas menyatakan makruh melepaskan tangan, tetapi hal itu ditafsirkan bagi orang yang tidak dapat menghindari perbuatan sia-sia.
(Ucapan “kemudian istinaq”) – kata ini dalam bentuk jar, diathafkan pada “melepaskannya”.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج ٢ / ص ٦٣-٦٧  )

( فَإِذَا انْتَصَبَ ) قَائِمًا أَرْسَلَ يَدَيْهِ وَمَا قِيلَ يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ كَالْقِيَامِ يَأْتِي قَرِيبًا رَدُّهُ
ﻭﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺳﻦ ﺭﻓﻊ ﻳﺪﻳﻪ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺑﻌﺪﻩ ﻟﻼﺗﺒﺎﻉ ﻭﺳﻨﺪﻩ ﺻﺤﻴﺢ ﺃﻭ ﺣﺴﻦ ﻭﻓﺎﺭﻕ ﻧﺤﻮ ﺩﻋﺎﺀ ﺍﻻﻓﺘﺘﺎﺡ ﻭﺍﻟﺘﺸﻬﺪ ﺑﺄﻥ ﻟﻴﺪﻳﻪ ﻭﻇﻴﻔﺔ ﺛﻢ ﻻ ﻫﻨﺎ. ﻭﻣﻨﻪ ﻳﻌﻠﻢ ﺭﺩ ﻣﺎ ﻗﻴﻞ : ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻓﻲ ﺍﻻﻋﺘﺪﺍﻝ ﺟﻌﻞ ﻳﺪﻳﻪ ﺗﺤﺖ ﺻﺪﺭﻩ ﻛﺎﻟﻘﻴﺎﻡ

“Ketika ia berdiri tegak, maka ia melepaskan kedua tangannya.”
Pendapat yang mengatakan bahwa ia meletakkan kedua tangannya di bawah dadanya seperti dalam keadaan berdiri akan segera dibantah.
Pendapat yang kuat adalah disunnahkan mengangkat tangan dalam semua bentuk qunut, shalat, dan salam setelahnya, karena adanya ittiba‘ (mengikuti sunnah Nabi) dan sanadnya shahih atau hasan.
Hal ini berbeda dengan doa istiftah dan tasyahhud karena tangan memiliki fungsi tertentu, sehingga tidak demikian.
Dari sini dapat dipahami bantahan terhadap pendapat yang menyatakan bahwa sunnah dalam i‘tidal adalah meletakkan tangan di bawah dada seperti dalam keadaan berdiri.

ﺭﻭﺿﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ – ﻣﺤﻴﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ – ﺝ ١ – ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ : ٣٥٧

ﻭﻳﺴﺘﺤﺐ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﻋﺘﺪﺍﻝ، ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻴﺪﻳﻦ ﺣﺬﻭ ﺍﻟﻤﻨﻜﺒﻴﻦ، ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻣﻦ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﺮﻓﻊ، ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺍﺑﺘﺪﺍﺀ ﺭﻓﻌﻬﻤﺎ، ﻣﻊ ﺍﺑﺘﺪﺍﺀ ﺭﻓﻊ ﺍﻟﺮﺃﺱ. ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻋﺘﺪﻝ ﻗﺎﺋﻤﺎ، ﺣﻄﻬﻤﺎ

3. Raudhah al-Talibin (Imam al-Nawawi, Jilid 1, Hal. 357)

Dianjurkan saat i‘tidal untuk mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu, sebagaimana telah dijelaskan tentang tata cara mengangkat tangan.
Mengangkat tangan dimulai bersamaan dengan mengangkat kepala.
Ketika telah berdiri tegak, maka ia menurunkan kedua tangannya

ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ – ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ ﺍﻟﺮﺍﻓﻌﻲ – ﺝ ٣ – ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ :٤٠٤ – ٤٠٣
ﻭﻳﺴﺘﺤﺐ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﻋﺘﺪﺍﻝ ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻴﺪﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺣﺬﻭ ﺍﻟﻤﻨﻜﺒﻴﻦ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻋﺘﺪﻝ ﻗﺎﺋﻤﺎ ﺣﻄﻬﻤﺎ

4. Fath al-‘Aziz (Abdul Karim al-Rafi‘i, Jilid 3, Hal. 403-404)

Dianjurkan saat i‘tidal untuk mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu.
Ketika telah berdiri tegak, maka ia menurunkan kedua tangannya

نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج (٤/ ٣٩٠)

( قَوْلُهُ : وَيَحُطُّ يَدَيْهِ ) أَيْ مِنْ الرَّفْعِ الْمُتَقَدِّمِ كَبَقِيَّتِهِ عِنْدَ تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ ، وَقَوْلُهُ بَعْدَ التَّكْبِيرِ تَحْتَ صَدْرِهِ : أَيْ فِي جَمْعِ الْقِيَامِ إلَى الرُّكُوعِ خَرَجَ بِهِ زَمَنُ الِاعْتِدَالِ فَلَا يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ بَلْ يُرْسِلُهُمَا سَوَاءٌ كَانَ فِي ذِكْرِ الِاعْتِدَالِ أَوْ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ الْقُنُوتِ كَمَا تَقَدَّمَتْ الْإِشَارَةُ إلَيْهِ فِي الِاعْتِدَالِ بَعْدَ قَوْلِ الْمَتْنِ فَإِذَا انْتَصَبَ إلَخْ

5. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (Jilid 4, Hal. 390)

(Ucapan: “dan ia menurunkan kedua tangannya”) – maksudnya dari angkatan sebelumnya, sebagaimana yang terjadi saat takbiratul ihram.
(Ucapan: “setelah takbir, di bawah dadanya”) – maksudnya dalam keadaan berdiri sebelum rukuk.
Hal ini tidak berlaku dalam posisi i‘tidal, sehingga ia tidak meletakkan kedua tangannya di bawah dada, tetapi melepaskannya, baik ketika sedang berdzikir dalam i‘tidal maupun setelah selesai dari qunut, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam pembahasan i‘tidal setelah ucapan matan: “Ketika ia berdiri tegak

بشرى الكريم ج ١ ص ٧٤
٠(و)عند (الإعتدال) يرفع يديه ،والأكمل كونهما بهيئتهما في التحرم وكون الرفع مع ابتداء رفع رأسه إلى انتصابه ، فإذا انتصب قائما أرسل يديه ، وقيل جعلهما تحت صدره كالقيام٠

6. Busyra al-Karim (Jilid 1, Hal. 74)

Saat i‘tidal, ia mengangkat kedua tangannya, dan yang lebih sempurna adalah posisinya seperti saat takbiratul ihram, serta mengangkat tangan bersamaan dengan mengangkat kepala hingga berdiri tegak.
Ketika telah tegak berdiri, maka ia melepaskan kedua tangannya.
Sebagian pendapat menyatakan bahwa ia meletakkannya di bawah dada seperti dalam keadaan berdiri.

فتاوى الفقهية الكبرى ج١ص١٤٠

( وَسُئِلَ )

نَفَعَ اللَّهُ بِعُلُومِهِ وَمَتَّعَ بِوُجُودِهِ الْمُسْلِمِينَ هَلْ يَضَعُ الْمُصَلِّيْ يَدَيْهِ حِينَ يَأْتِيْ بِذِكْرِ اِلاعْتِدَالِ كَمَا يَضَعُهُمَا بَعْدَ التَّحَرُّمِ أَوْ يُرْسِلُهُمَا
( فَأَجَابَ )

رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِقَوْلِهِ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ كَلاَمُ النَّوَوِيِّ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ أَنَّهُ يَضَعُ يَدَيْهِ فِي اِلاعْتِدَالِ كَمَا يَضَعُهُمَا بَعْدَ التَّحَرُّمِ وَعَلَيْهِ جَرَيْتُ فِي شَرْحِيْ عَلَى اْلإِرْشَادِ وَغَيْرِهِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ اهـ

7. Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (Jilid 1, Hal. 140)

Diajukan pertanyaan: Apakah seorang yang shalat meletakkan kedua tangannya ketika membaca dzikir dalam i‘tidal sebagaimana ia meletakkannya setelah takbiratul ihram, ataukah ia melepaskannya?
Maka dijawab: Pendapat yang ditunjukkan oleh ucapan Imam al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab adalah bahwa ia meletakkan kedua tangannya saat i‘tidal sebagaimana ia meletakkannya setelah takbiratul ihram. Inilah yang saya ikuti dalam Syarh al-Irsyad dan lainnya. Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala lebih mengetahui kebenaran yang tepat.” Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Uncategorized

Puasa Ramadan bagi Sopir Taksi yang selalu dalam Perjalanan

 

Deskripsi Masalah

Allah menciptakan manusia dengan beragam bentuk, warna, dan profesi yang berbeda-beda. Ada yang ditakdirkan menjadi guru, pedagang, sopir, dan berbagai profesi lainnya. Setiap manusia mampu menjalankan pekerjaannya sesuai dengan profesinya masing-masing.
Sebagaimana kita ketahui, seorang sopir taksi terkadang harus bepergian tanpa henti untuk mengantar penumpang ke berbagai tujuan, seperti dari Sumenep ke Jakarta, Bali, Banyuwangi, Banten, dan daerah lainnya.

Pertanyaan:

Bolehkah Orang yang jadi sopir angkot yang perjalanannya melebihi dua marhalah untuk tidak puasa di bulan Ramadhan?

Waalaikum salam

Jawaban:

Orang yang selalu dalam perjalanan seperti sopir angkot atau bus antar kota, memenuhi syarat sebagai musafir, begitu juga orang yang bukan sopir yang dalam kondisi pejalanan ( musafir). Dalam kondisi ini, mereka mendapat keringanan untuk tidak berpuasa berdasarkan pendapat yang kuat.
Namun, perlu diingat bahwa tidak semua ulama memperbolehkan hal ini. Oleh karena itu, sebaiknya supir angkot ataupun bukan sopir namun masuk dalam kategori musafir hendaknya harus mempertimbangkan beberapa hal sebelum memutuskan untuk tidak berpuasa:
✔️Jarak tempuh: Pastikan perjalanan benar-benar melebihi dua marhalah (sekitar 88 km).
✔️ Kondisi fisik: Jika kuat dan mampu, berpuasa tetap lebih utama.
✔️ Niat: Niatkan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan di hari lain

Kesimpulan:

Sopir angkot yang memenuhi syarat sebagai musafir boleh tidak berpuasa,begitu juga halnya musafir yang bukan sopir, namun tetap disarankan untuk mempertimbangkan kondisi fisik dan mengganti puasa di lain hari.

Referensi

حواشي الشرواني والعبادي (٣/ ٤٣٠)

و يباح تركه لنحو حصاد أو بناء لنفسه أو لغيره تبرعا أو بأجرة وإن لم ينحصر الأمر فيه أخذا مما يأتي في المرضعة خاف على المال إن صام وتعذر العمل ليلا أو لم يغنه فيؤدي لتلفه أو نقصه نقصا لا يتغابن به هذا هو الظاهر من كلامهم وسيأتي في إنقاذ المحترم ما يؤيده خلافا لمن أطلق في نحو الحصاد المنع ولمن أطلق الجواز ولو توقف كسبه لنحو قوته المضطر إليه هو أو ممونه على فطره فظاهر أن له الفطر لكن بقدر الضرورة و للمسافر سفرا طويلا مباحا للكتاب والسنة والإجماع ويأتي هنا جميع ما مر في القصر فحيث جاز جاز الفطر وحيث لا فلا نعم سيعلم من كلامه أن شرط الفطر في أول أيام سفره أن يفارق ما تشترط مجاوزته للقصر قبل طلوع الفجر وإلا لم يفطر ذلك اليوم ومر أنه إن تضرر بالصوم فالفطر أفضل وإلا فالصوم أفضل ولا يباح الفطر حيث لم يخش مبيح تيمم لمن قصد بسفره محض الترخص كمن سلك الطريق الأبعد للقصر ولا ينافيه قولهم لو حلف ليطأن في نهار رمضان فطريقه أن يسافر؛ لأن السفر هنا ليس لمجرد الترخص بل للتخلص من الحنث ولا لمن صام قضاء لزمه الفور فيه قال السبكي بحثا ولا لمن لا يرجو زمنا يقضي فيه لإدامته السفر أبدا وفيه نظر ظاهر فالأوجه خلافه

الشرح:
قوله ولا لمن لا يرجو زمنا يقضي فيه ينبغي أن يكون في معنى الزمن المذكور أن يفطر رمضان بقصد القضاء بعد في السفر فيجوز م راه سم.

قوله وفيه نظر ظاهر تقدم عن ع ش بيانه (قوله فالأوجه خلافه وفاقا للمغني عبارته ولا فرق في ذلك بين من يديم السفر أو لا خلافا لبعض المتأخرين اهـ.

Hasyiyah Asy-Syirwani dan Al-‘Abbadi (3/430)
Dan diperbolehkan tidak berpuasa bagi orang yang bekerja seperti memanen atau membangun untuk dirinya sendiri atau orang lain, baik secara sukarela atau dengan upah, meskipun pekerjaan tersebut tidak terbatas pada hal itu. Hal ini diambil dari penjelasan tentang wanita menyusui yang khawatir terhadap harta jika berpuasa dan tidak dapat bekerja di malam hari atau tidak mencukupi kebutuhannya, yang dapat menyebabkan kerusakan atau kekurangan yang tidak dapat diabaikan. Ini adalah pendapat yang paling jelas dari perkataan mereka dan akan datang pada pembahasan menyelamatkan orang yang dihormati yang mendukung pendapat ini, berbeda dengan orang yang berpendapat mutlak melarang dalam hal memanen dan orang yang berpendapat mutlak memperbolehkan.
Jika pencaharian seseorang untuk memenuhi kebutuhan mendesaknya atau orang yang menjadi tanggungannya bergantung pada tidak berpuasa, maka jelas bahwa ia boleh tidak berpuasa, tetapi sesuai dengan kadar kebutuhannya. Dan bagi musafir yang melakukan perjalanan jauh yang diperbolehkan, berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’. Dan akan datang di sini semua yang telah disebutkan dalam pembahasan qashar (meringkas shalat), maka di mana diperbolehkan qashar, diperbolehkan juga tidak berpuasa, dan di mana tidak diperbolehkan qashar, maka tidak diperbolehkan juga tidak berpuasa.
Ya, akan diketahui dari perkataannya bahwa syarat tidak berpuasa di hari pertama safarnya adalah ia harus meninggalkan tempat yang disyaratkan untuk melewatinya agar diperbolehkan qashar sebelum terbit fajar, jika tidak, maka ia tidak boleh tidak berpuasa pada hari itu. Dan telah disebutkan bahwa jika ia membahayakan dirinya dengan berpuasa, maka tidak berpuasa adalah lebih utama, jika tidak, maka berpuasa adalah lebih utama. Dan tidak diperbolehkan tidak berpuasa jika tidak dikhawatirkan adanya hal yang membolehkan tayamum bagi orang yang melakukan perjalanan dengan tujuan hanya untuk mencari keringanan, seperti orang yang menempuh jalan yang lebih jauh untuk qashar.
Dan tidak bertentangan dengan pendapat mereka bahwa jika seseorang bersumpah untuk berhubungan intim di siang hari Ramadhan, maka caranya adalah dengan melakukan perjalanan; karena perjalanan di sini bukan hanya untuk mencari keringanan, tetapi untuk menghindari pelanggaran sumpah. Dan juga tidak diperbolehkan bagi orang yang berpuasa qadha’ yang wajib baginya untuk segera melakukannya, kata As-Subki dalam penelitiannya. Dan juga tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak berharap mendapatkan waktu untuk mengqadha’nya karena terus-menerus dalam perjalanan selamanya, dan dalam hal ini ada pandangan yang jelas berbeda, maka pendapat yang lebih kuat adalah kebalikannya.
Penjelasan
Perkataannya, “Dan tidak bagi orang yang tidak berharap mendapatkan waktu untuk mengqadha’nya,” hendaknya maknanya adalah bahwa ia berbuka Ramadhan dengan niat untuk mengqadha’nya setelah perjalanan, maka ini diperbolehkan.
Perkataannya, “Dan dalam hal ini ada pandangan yang jelas berbeda,” telah disebutkan penjelasannya oleh ‘A. Sy. (Perkataannya, “Maka pendapat yang lebih kuat adalah kebalikannya,” sesuai dengan pendapat Al-Mughni, yaitu tidak ada perbedaan dalam hal ini antara orang yang terus-menerus dalam perjalanan atau tidak, berbeda dengan sebagian ulama muta’akhirin).

Referensi :

حاشية قليوبي وعميرة (۲) (۸۲) و يباح تركه للمسافر سفرا طويلا ( مباحا فإن تضرر به فالفطر أفضل وإلا فالصوم أفضل كما تقدم في باب صلاة المسافر
الشرح
قوله: ( وللمسافر ) قال شيخنا الزيادي والرملي وإن أدام السفر وغلب على ظنه الموت قبل القضاء وسواء رمضان والكفارة والمنذور ولو معينا في نذر صوم ولو للدهر، أو نذر إتمامه بعد شروعه فيه أو القضاء ولو لما تعدى بفطره أو ضاق وقته، وخالف السبكي في مديم السفر وفي النذر المعين. وفي شرح شيخنا موافقته والمنقول عنه الأول وابن حجر في المضيق والمتعدي بفطره والطبلاوي في نذر صوم الدهر والعباب فيمن غلب

Hasyiyah Qalyubi dan ‘Umairah (2) (82)
Dan diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir yang melakukan perjalanan jauh yang diperbolehkan. Jika ia membahayakan dirinya dengan berpuasa, maka tidak berpuasa adalah lebih utama. Jika tidak, maka berpuasa adalah lebih utama, seperti yang telah dijelaskan dalam bab shalat musafir.
Penjelasan
Perkataannya, “(Dan bagi musafir),” guru kami Az-Zayadi dan Ar-Ramli berkata, “Meskipun ia terus-menerus dalam perjalanan dan ia sangat yakin akan kematian sebelum mengqadha’ (puasa yang tertinggal), baik itu (puasa) Ramadhan, kafarat, atau nadzar, meskipun nadzar tersebut ditentukan dalam nadzar puasa atau untuk sepanjang tahun, atau nadzar untuk menyempurnakannya setelah memulainya atau (nadzar) qadha’ meskipun ia melampaui batas dengan tidak berbuka atau waktunya sempit, dan As-Subki berbeda pendapat tentang orang yang terus-menerus dalam perjalanan dan dalam nadzar yang ditentukan. Dalam penjelasan guru kami, disebutkan persetujuannya dengan pendapat pertama dan yang diriwayatkan darinya adalah pendapat pertama. Ibnu Hajar (berpendapat) dalam (masalah) orang yang berada dalam kesulitan dan orang yang melampaui batas dengan tidak berbuka, dan Ath-Thablawi (berpendapat) dalam nadzar puasa sepanjang tahun, dan Al-‘Ubab (berpendapat) dalam masalah orang yang sangat yakin.”

كاشفا ة السجا صحـ :

وَالصَّوْمُ لِلْمُسَافِرِ أَفْضَلُ مِنَ الْفِطْرِ إِنْ لَمْ يَشُقَّ عَلَيْهِ ِلأَنَّ فِيْهِ بَرَاءَة َلذِّمَّةِ فَإِنْ شَقَّ عَلَيْهِ بِأَنْ لَحِقَهُ مِنْهُ نَحْوُ أَلَمٍ يَشُقُّ احْتِمَالُهُ عَادَةً فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ أَمَّا إذَا خَشِيَ مِنْهُ تَلَفَ مَنْفَعَةِ عُضْوٍ فَيَجِبُ الْفِطْرُ فَإِنْ صَامَ عَصَى وَأَجْزَأَهُ وَمَحَلُّ جَوَازِ الْفِطْرِ لِلْمُسَافِرِ إِذَا رَجَا إِقَامَةً يَقْضِيْ فِيْهَا وَإِلاَّ بِأَنْ كَانَ مُدِيْمًا لَهُ وَلَمْ يُرْجَ ذَلِكَ فَلاَ يَجُوْزُ لَهُ الْفِطْرُ عَلَى الْمُعْتَمَدِ ِلأَدَائِهِ إِلَى إِسْقاَطِ الْوُجُوْبِ بِالْكُلِّيَّةِ قَالَ ابْنُ حَجَرٍ بِالْجَوَازِ فَائِدَتُهُ فِيْمَا إِذَا أَفْطَرَ فِيْ أَيَّامِ الطَّوِيْلَةِ أَنْ يَّقْضِيَهُ فِيْ أَيَّامٍ أَقْصَرُ مِنْهَا إِنْتَهَى مِنَ الشَّرْقَاوِي وَالزِّيَادِي اهـ

حاشيتا قليوبي وعميرة الجزء ٢ صحـ : ٨٨ مكتبة دار إحياء الكتب العربية

كَذَا قَالَهُ شَيْخُنَا وَنَقَلَ الْعَلاَمَةُ ابْنُ قَاسِمٍ عَنْ شَيْخِنَا الرَّمْلِيِّ أَنَّهُ يَكْفِي تَمَكُّنُهُ فِي الْعَامِ اْلأَوَّلِ وَبِهَذَا عُلِمَ أَنَّهُ لاَ فِدْيَةَ عَلَى نَحْوِ الْهَرَمِ بِتَأْخِيرِ الْفِدْيَةِ لِعَدَمِ الْقَضَاءِ فِيهِ وَلاَ عَلَى مُدِيمِ السَّفَرِ لاِسْتِمْرَارِ عُذْرِهِ كَمَا مَرَّ اهـ

إعانة الطالبين الجزء الثانى صحـ : ٢٦٧ مكتبة دار الفكر
وَيسْتَثْنَى مِنْ جَوَازِ الْفِطْرِ بِالسَّفَرِ مُدِيْمُ السَّفَرِ فَلاَ يُبَاحُ لَهُ الْفِطْرُ ِلأَنَّهُ يُؤَدِّيْ إِلَى إِسْقَاطِ الْوُجُوْبِ بِالْكُلَّيَّةِ إِلاَّ أَنْ يَقْصِدَ قَضَاءً فِيْ أَيَّامٍ أَخَرَ فِيْ سَفَرِهِ وَمِثْلُهُ مَنْ عَلِمَ مَوْتَهُ عَقِبَ الْعِيْدِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ الصَّوْمُ إِنْ كَانَ قَادِرًا فَجَوَازُ الْفِطْرِ لِلْمُسَافِرِ إِنَّمَا هُوَ فِيْمَنْ يَرْجُوْ إِقَامَةً يَقْضِيْ فِيْهَا وَهَذَا هُوَ مَا جَرَى عَلَيْهِ السُّبُكِيُّ وَاسْتَظْهَرَهُ فِي النِّهَايَةِ اهـ

الشرقاوي ١/٢٥٩
.و محل جواز الفطر للمسافر إذا رجا إقامة يقضي فيها و إلا بأن كان مديما له ولم يرج ذلك فلا يجوز له الفطر على المعتمد لأدائه إلى إسقاط الوجوب بالكلية وقال ابن حجر بالجواز و فائدته فيما إذا أفطر في الأيام الطويلة أن يقضيه في أيام
أقصر منها.

إعانة الطالبين ٢/٢٦٧
و يستثنى من جواز الفطر بالسفر مديم السفر فلا يباح له الفطر لأنه يؤدي إلى إسقاط الوجوب بالكلية إلا أن يقصد قضاء في أيام أخر في سفره.

Referensi Kasyifatussaja:

Puasa bagi Musafir Lebih Utama jika Tidak Memberatkan
Puasa bagi musafir lebih utama daripada berbuka jika tidak memberatkannya, karena dalam berpuasa terdapat pembebasan tanggungan. Namun, jika berpuasa memberatkannya, seperti menyebabkan rasa sakit yang sulit ditanggung secara umum, maka berbuka lebih utama. Jika puasa dikhawatirkan menyebabkan hilangnya fungsi anggota tubuh, maka berbuka menjadi wajib. Jika tetap berpuasa dalam kondisi ini, maka ia berdosa, tetapi puasanya tetap sah.
Ketentuan Bagi Musafir yang Berpuasa atau Berbuka
Diperbolehkannya berbuka bagi musafir berlaku jika ia mengharapkan adanya masa tinggal di mana ia bisa mengqadha puasanya. Jika tidak, seperti musafir yang terus-menerus dalam perjalanan tanpa ada harapan menetap, maka tidak diperbolehkan baginya berbuka menurut pendapat yang lebih kuat, karena hal itu akan menyebabkan gugurnya kewajiban puasa secara keseluruhan.
Ibn Hajar mengatakan bahwa kebolehan berbuka bagi musafir memiliki manfaat, yaitu jika ia berbuka pada hari-hari yang panjang, maka ia bisa mengqadha pada hari-hari yang lebih pendek. (Dikutip dari Al-Syarqawi dan Al-Ziyadi).
Hukuman Bagi Orang yang Tidak Bisa Mengqadha Puasa
Demikian juga, pendapat ini dikemukakan oleh guru kami dan dinukil oleh Al-‘Allamah Ibn Qasim dari guru kami, Al-Ramli, bahwa seseorang yang mampu mengqadha di tahun pertama sudah dianggap cukup (tidak perlu membayar fidyah). Oleh karena itu, orang yang sudah sangat tua (yang tidak bisa berpuasa) tidak wajib membayar fidyah akibat menunda pembayaran fidyahnya, karena ia memang tidak bisa mengqadha. Demikian pula, musafir yang terus-menerus dalam perjalanan tidak diwajibkan membayar fidyah karena uzurnya yang terus berlanjut.
Larangan Berbuka bagi Musafir yang Terus-Menerus Bepergian
Dikecualikan dari kebolehan berbuka karena safar adalah orang yang terus-menerus dalam perjalanan (mudîm al-safar), maka ia tidak diperbolehkan berbuka, karena hal itu akan menyebabkan gugurnya kewajiban puasa secara keseluruhan. Kecuali jika ia memang berniat untuk mengqadhanya di hari lain selama dalam safarnya.
Hal yang sama berlaku bagi seseorang yang mengetahui bahwa ia akan meninggal setelah Idulfitri, maka ia wajib berpuasa jika mampu. Oleh karena itu, kebolehan berbuka bagi musafir hanya berlaku bagi mereka yang mengharapkan adanya masa tinggal di mana ia bisa mengqadha puasanya. Pendapat ini dipegang oleh Al-Subki dan ditegaskan dalam kitab Al-Nihayah. Wallahu A’lam bisshowab

Kategori
Hukum

Shalat dengan Sarung Transparan?

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Dalam ibadah shalat, salah satu syarat sahnya adalah menutup aurat. Aurat laki-laki dalam shalat adalah antara pusar hingga lutut, sementara aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Pakaian yang digunakan harus cukup tebal sehingga tidak memperlihatkan warna kulit.
Namun, terdapat kasus di mana seseorang memakai sarung yang secara kasat mata tampak transparan atau tipis, tetapi warna kulitnya tidak terlihat. Hal ini menimbulkan pertanyaan:

apakah shalat dengan sarung semacam ini tetap sah, ataukah dianggap tidak memenuhi syarat menutup aurat? Bagaimana hukum fiqih terkait masalah ini?

Waalaikum salam

Jawaban

Terkait hukum shalat dengan memakai sarung yang transparan, maka hal ini perlu ditinjau terlebih dahulu:

Jika warna kulit terlihat, maka shalatnya batal (tidak sah).

Jika warna kulit tidak terlihat, maka shalatnya tetap sah.

Adapun cara mengukur apakah warna kulit terlihat atau tidak adalah dengan meminta seseorang untuk melihatnya secara langsung. Jika orang tersebut dapat melihat warna kulit saat berhadapan, maka pakaian tersebut tidak memenuhi syarat penutup aurat dan dapat membatalkan shalat.

Referensi :

(بجيرمى على الخاطيب, ١/٣٣٩).

وَشَرْطُ السَّاتِرِ جِرْمٌ يَمْنَعُ إِدْرَاك َلَوْنِ البَشَرَةِ لاَحَجْمَهَا وَلَوْ بِطِيْنٍ وَنَحْوِ مَاءٍ كَدِرٍ. (قَوْلُهُ يَمْنَعُ إِدْرَاكَ البَشَرَةَ) أي لِمُعْتَدِلِ البَصَرِ عَادَةٍ كَمَا فِى نَظَائِرِهِ كَذَا نُقِلَ بِالدَّرْسِ عَنْ فَتَاوِى الشَّارِحِ ع ش على م ر فَلاَ يَضُرُّ رُؤْيَةُ حَدِيْدِ البَصَرِ وَكَذَا إِذَا رَآهَا فِى الشَّمْسِ دُوْنَ الظِّلِّ ع ش وَقَدَّرَ الشَّارِحُ لَوْنَ لِيُفِيْدَ الإِكْتِفَاءَ بِمَا يَمْنَعُ اللَّوْنَ وَإِنْ لَمْ يَمْنَعْ الجِرْمَ كَالسَّرَاوِيْلَ الضَيِّقَةِ لَكِنَّهُ مَكْرُوْهٌ لِلْمَرْأَةِ اهـ

1. Referensi “حاشية البجيرمي على الخطيب” (Hasyiyah al-Bujairmi ‘ala al-Khatib, 1/339):

“Syarat penutup aurat adalah sesuatu yang memiliki massa (jirm) yang dapat menghalangi penglihatan terhadap warna kulit, bukan sekadar bentuk tubuh, meskipun dengan tanah liat atau air keruh sekalipun. (Kalimat ‘menghalangi penglihatan warna kulit’) maksudnya adalah bagi orang yang memiliki penglihatan normal sebagaimana dalam kasus-kasus serupa. Hal ini sebagaimana dinukil dalam pembelajaran dari fatwa-fatwa sang pensyarah (asy-Syarih) A. Sy. atas M. R., sehingga tidaklah merugikan jika masih dapat terlihat oleh orang yang memiliki penglihatan sangat tajam. Demikian pula, jika terlihat di bawah sinar matahari namun tidak terlihat di tempat teduh (A. Sy.). Sang pensyarah (asy-Syarih) menggunakan kata ‘warna’ agar menunjukkan bahwa cukup dengan sesuatu yang dapat menghalangi warna kulit, meskipun tidak menghalangi massa, seperti celana yang ketat. Namun, pemakaian semacam itu tetaplah makruh bagi perempuan

(البيان فى مذهب الإمام الشافعي, ٢/١٢٠).

مَسْأَلَةٌ (الثَّوْبُ الشَّفَافُ) وَيَجِبُ سَتْرُ العَوْرَةِ بِمَالَايَصِفُ لَوْنَ البَشَرَةِ وَهُوَ صِفَةُ جِلْدِهِ أَنَّهُ أَسْوَدُ أَوْ أَبْيَضُ وَذَلِكَ يَحْصُلُ بِالثَّوْبِ وَالجد وَمَاأَشْبَهَهُمَا اهـ

2. Referensi “البيان فى مذهب الإمام الشافعي”

(Al-Bayan fi Madzhab al-Imam asy-Syafi’i, 2/120):

“Masalah: (Kain yang transparan). Wajib menutup aurat dengan sesuatu yang tidak menampakkan warna kulit, yaitu warna asli kulitnya apakah hitam atau putih. Hal ini dapat dicapai dengan kain, kulit tebal, atau benda serupa lainnya.”
Terjemahan ini mempertahankan makna asli teks sambil tetap memperhatikan kelancaran bahasa. Jika ada bagian yang perlu diperjelas, silakan tanyakan.Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Status Kesucian Air Najis yang Telah Diolah melalui Penyulingan

 

Dalam fiqih Islam, air yang awalnya terkena najis dapat kembali menjadi air suci mensucikan jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Salah satu syarat utama adalah hilangnya sifat-sifat najis dari air tersebut, yaitu warna, rasa, dan bau. Jika air yang najis telah mengalami perubahan total sehingga tidak lagi memiliki sifat najisnya, maka ia dihukumi kembali sebagai air suci dan dapat digunakan untuk bersuci.
Perubahan ini bisa terjadi secara alami (misalnya dengan bercampur air suci dalam jumlah besar) atau melalui proses penyaringan dan pemurnian yang efektif.

Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, kini telah tersedia alat penyulingan yang mampu mengubah air asin menjadi air tawar dan bahkan menyaring air kotor/najis hingga menjadi air bersih yang tidak lagi berbau, berwarna, atau berasa najis.

Pertanyaan

Bagaimana status air najis berubah yang dikelola dengan alat bantu penyulingan najiskah atau suci menurut ulama’ fiqih?

Waalaikum salam

Jawaban
Hukum Air Najis yang Disucikan dengan Alat Penyulingan

Mayoritas ulama berpendapat bahwa air yang telah berubah secara total hingga kehilangan sifat najisnya, baik melalui proses alami maupun buatan (seperti penyulingan atau pemurnian), kembali menjadi air suci mensucikan. Dalam madzhab Syafi’i, air yang najis dapat menjadi suci kembali asalkan perubahan itu membuatnya kembali ke sifat asal air yang murni.
Oleh karena itu, air yang awalnya najis kemudian diproses dengan alat penyulingan hingga benar-benar bersih dan tidak lagi memiliki sifat najis, dihukumi sebagai air suci mensucikan dan dapat digunakan untuk wudhu, mandi, dan keperluan ibadah lainnya.

Namun, sebagian ulama dari madzhab Hanbali lebih ketat dalam hal ini dan menganggap bahwa meskipun air telah berubah dengan proses penyulingan, tetap tidak bisa kembali suci karena asalnya telah terkena najis. Pendapat ini lebih bersifat kehati-hatian.

Kesimpulan

Dalam pandangan mayoritas ulama, air najis yang telah disucikan dengan alat penyulingan hingga hilang sifat najisnya dianggap sebagai air suci mensucikan. Dengan demikian, air hasil pemurnian dapat digunakan untuk bersuci dan keperluan ibadah lainnya selama sudah benar-benar bersih dari najis.

Catatan Menurut Fatwa MUI kesucian air yang diolah harus memenuhi tiga syarat

ثلاث طرق لتطهير الماء النجس كما يلي:

أ. طريقة النضح

(Thariqat an-Nazh):

وهي بإزالة الماء الذي أصابته النجاسة أو الذي تغيرت صفاته، بحيث لا يبقى إلا الماء الذي لم تصبه النجاسة ولم تتغير صفاته.

Tiga cara mensucikan air najis sebagai berikut:

a.Thariqat an-Nazh: yaitu dengan cara menguras air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut; sehingga yang tersisa tinggal air yang aman dari najis dan yang tidak berubah salah satu sifatnya

b.Thariqah al-Mukatsarah: yaitu dengan cara menambahkan air suci lagi mensucikan (thahir muthahhir) pada air yang terkena najis (mutanajjis) atau yang berubah (mutaghayyir) tersebut hingga mencapai volume paling kurang dua kullah, serta unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah menjadi hilang

c. Thariqah Taghyir: yaitu dengan cara mengubah air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut dengan menggunakan alat bantu yang dapat mengembalikan sifat-sifat asli air itu menjadi suci lagi mensucikan (thahirmulthahhirmulthahhirmuthahhir), dengan syarat:

Volume airnya lebih dari dua kullah Alat bantu yang digunakan harus suci

ب. طريقة المكاثرة

(Thariqah al-Mukatsarah):

وهي بإضافة ماء طاهر مطهر إلى الماء المتنجس (المتنجس) أو المتغير (المتغير) حتى يصل حجمه إلى قُلَّتين على الأقل، بحيث تزول النجاسة وكل الصفات التي تسببت في تغيّر الماء.

ج. طريقة التغيير

(Thariqah at-

Taghyir): وهي باستخدام أدوات معالجة لإعادة الماء المتنجس أو المتغير إلى حالته الأصلية بحيث يصبح طاهرًا مطهرًا، بشرط:

أن يكون حجم الماء أكثر من قُلَّتين. أن تكون الأدوات المستخدمة

Referensi:

المجموع شرح المهذب ج١ص ١٣٢
(إذَا أَرَادَ تَطْهِيرَ الْمَاءِ النَّجِسِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ نَجَاسَتُهُ بِالتَّغَيُّرِ وَهُوَ أَكْثَرُ مِنْ قُلَّتَيْنِ طَهُرَ: بِأَنْ يَزُولَ التَّغَيُّرُ بِنَفْسِهِ أَوْ بِأَنْ يُضَافَ إلَيْهِ مَاءٌ آخَرُ: أَوْ بِأَنْ يُؤْخَذَ بعضه لان النجاسة
بالتغير وقد زال)

(الشرح)

 ادا زَالَ تَغَيُّرُ الْمَاءِ النَّجِسِ وَهُوَ أَكْثَرُ مِنْ قُلَّتَيْنِ نُظِرَ إنْ زَالَ بِإِضَافَةِ مَاءٍ آخَرَ إلَيْهِ طَهُرَ بِلَا خِلَافٍ سَوَاءٌ كَانَ الْمَاءُ الْمُضَافُ طَاهِرًا أَوْ نَجِسًا قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا وَسَوَاءٌ صُبَّ الْمَاءُ عَلَيْهِ أَوْ نَبَعَ عَلَيْهِ وَإِنْ زَالَ بِنَفْسِهِ أَيْ بِأَنْ لَمْ يَحْدُثْ فيه شيئا بَلْ زَالَ تَغَيُّرُهُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ أَوْ الرِّيحِ أَوْ مُرُورِ الزَّمَانِ طَهُرَ أَيْضًا عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ: وَحَكَى الْمُتَوَلِّي عَنْ أَبِي سعيد الاصطخرى أنه لا يطهر لانه شئ نجس فلا يطهر بنفسه: وهذا ليس بشئ لِأَنَّ سَبَبَ النَّجَاسَةِ التَّغَيُّرُ: فَإِذَا زَالَ طَهُرَ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَنْجَسْ وَإِنْ زَالَ بِأَخْذِ بَعْضِهِ طَهُرَ بِلَا خِلَافٍ بِشَرْطٍ أَنْ يَكُونَ الْبَاقِي بَعْدَ الْأَخْذِ قُلَّتَيْنِ: فَإِنْ بَقِيَ دُونَهُمَا لم يطهر بلا خلاف

Apabila seseorang ingin mensucikan air yang najis, maka harus dilihat terlebih dahulu. Jika kenajisannya terjadi karena adanya perubahan (warna, rasa, atau bau) dan jumlah air tersebut lebih dari dua qullah, maka air tersebut menjadi suci dengan beberapa cara:
Perubahan itu hilang dengan sendirinya Ditambahkan air lain ke dalamnya Sebagian air diambil, karena najisnya disebabkan oleh perubahan, dan perubahan itu telah hilang.
(Penjelasan) Apabila perubahan pada air yang najis telah hilang, sementara air tersebut lebih dari dua qullah, maka diperinci:
Jika perubahan itu hilang karena ditambahkan air lain, maka air itu menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat. Baik air yang ditambahkan itu suci maupun najis, baik sedikit maupun banyak, baik dituangkan ke dalam air yang najis atau mengalir ke dalamnya.
Jika perubahan itu hilang dengan sendirinya, seperti karena sinar matahari, angin, atau berlalunya waktu, maka air tersebut juga menjadi suci menurut pendapat yang dipegang dalam mazhab. Pendapat ini juga menjadi pegangan mayoritas ulama.
Namun, al-Mutawalli meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Istakhri bahwa air tersebut tidak menjadi suci, karena sesuatu yang najis tidak bisa menjadi suci dengan sendirinya. Tetapi pendapat ini tidak dapat diterima, sebab sebab utama kenajisan adalah perubahan. Jika perubahan itu hilang, maka air tersebut kembali suci, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
“Apabila air telah mencapai dua qullah, maka ia tidak menjadi najis.”
Jika perubahan itu hilang dengan cara mengambil sebagian airnya, maka air itu juga menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat, dengan syarat bahwa sisa air yang tertinggal setelah pengambilan masih berjumlah dua qullah. Jika jumlah yang tersisa kurang dari dua qullah, maka air tersebut tetap tidak suci tanpa ada perbedaan pendapat.

المجموع شرح المهذب ص ١٣٤

واعلم أن صُورَةَ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يَكُونَ كَدِرًا وَلَا و تَغَيُّرَ فِيهِ أَمَّا إذَا صَفَا فَلَا يَبْقَى خِلَافٌ بَلْ إنْ كَانَ التَّغَيُّرُ مَوْجُودًا فَنَجِسٌ قَطْعًا وَإِلَّا فَطَاهِرٌ قَطْعًا كَذَا صَرَّحَ بِهِ الْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ التَّغَيُّرُ بِالطَّعْمِ أَوْ اللَّوْنِ أَوْ الرَّائِحَةِ فَفِي الْجَمِيعِ القولان هذا هو الصوب: وقال الشيخ أبو عمر وبن الصَّلَاحِ رَحِمَهُ اللَّهُ عِنْدِي أَنَّ الْقَوْلَيْنِ إذَا تَغَيَّرَ بِالرَّائِحَةِ فَأَمَّا إذَا تَغَيَّرَ بِالطَّعْمِ أَوْ اللَّوْنِ فَلَا يَطْهُرُ قَطْعًا لِأَنَّهُ يَسْتَتِرُ بِالتُّرَابِ قَالَ وَهَذَا تَحْقِيقٌ لَوْ عُرِضَ عَلَى الْأَئِمَّةِ لَقَبِلُوهُ: وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ رَحِمَهُ اللَّهُ خِلَافُ ظَاهِرِ كَلَامِ الْأَصْحَابِ وَخِلَافُ مُقْتَضَى إطْلَاقِ مَنْ أَطْلَقَ مِنْهُمْ وَخِلَافُ تَصْرِيحِ الْبَاقِينَ فَقَدْ صَرَّحَ جَمَاعَةٌ مِنْ كِبَارِهِمْ بِأَنَّهُ لَا فَرْقَ قَالَ الْمَحَامِلِيُّ فِي التَّجْرِيدِ إنْ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ فَوَرَدَ عليه ماله لَوْنٌ كَالْخَلِّ فَأَزَالَ تَغَيُّرَهُ أَوْ تَغَيُّرَ رِيحِهِ فَوَرَدَ عَلَيْهِ مَا لَهُ رِيحٌ كَالْكَافُورِ فَأَزَالَهُ لَمْ يَطْهُرْ بِلَا خِلَافٍ قَالَ وَإِنْ طُرِحَ عَلَيْهِ مَا لَا رِيحَ لَهُ وَلَا لَوْنَ كَالتُّرَابِ وَغَيْرِهِ فَأَزَالَهُ فَقَوْلَانِ: وَقَالَ هُوَ فِي الْمَجْمُوعِ إذَا تَغَيَّرَ طَعْمُ الْمَاءِ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيحُهُ نَجِسَ وَيَطْهُرُ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهَا وَخَامِسٍ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَذَكَرَ زَوَالَهُ بِنَفْسِهِ وَبِمَا يُضَافُ إلَيْهِ أَوْ يَنْبَعُ فِيهِ أَوْ يُؤْخَذُ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ وَالْمُخْتَلَفُ فِيهِ أَنْ يَزُولَ بِالتُّرَابِ فَقَوْلَانِ ثُمَّ قَالَ وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ متى تغير طعم الماء فورد عليه ماله طعم: أو ريحه فورد عليه ماله ريح: أو لونه فورد عليه ماله لَوْنٌ لَمْ يَطْهُرْ بِلَا خِلَافٍ: وَإِنْ وَرَدَ عَلَيْهِ مَا لَا طَعْمَ لَهُ وَلَا لَوْنَ وَلَا رِيحَ فَأَزَالَ تَغَيُّرَهُ فَهَلْ يَطْهُرُ فِيهِ قَوْلَانِ هَذَا كَلَامُ الْمَحَامِلِيِّ

Ketahuilah bahwa bentuk permasalahan ini adalah jika air tersebut keruh tetapi tidak mengalami perubahan.
Adapun jika air tersebut menjadi jernih, maka tidak ada perbedaan pendapat lagi. Namun, jika perubahan tetap ada, maka air itu secara pasti menjadi najis. Jika tidak mengalami perubahan, maka tetap suci secara pasti. Hal ini telah ditegaskan oleh al-Mutawalli dan ulama lainnya.

Tidak ada perbedaan apakah perubahan itu terjadi pada rasa, warna, atau bau, sehingga dalam semua kasus ini terdapat dua pendapat. Inilah pendapat yang lebih kuat (ash-shawab).

Syaikh Abu ‘Umar Ibnus Shalah rahimahullah berkata:

“Menurut saya, dua pendapat ini berlaku apabila air berubah karena bau. Namun, jika perubahan terjadi karena rasa atau warna, maka air itu secara pasti tidak menjadi suci karena perubahan tersebut dapat tersembunyi dengan tanah.”

Ia berkata lagi:

“Pendapat ini merupakan suatu penelitian mendalam yang jika dikemukakan kepada para imam, mereka pasti akan menerimanya.”

Namun, pendapat yang dikemukakan oleh beliau (Ibnus Shalah) bertentangan dengan pendapat yang tampak dari kalam (ucapan) para ulama mazhab, bertentangan dengan ketetapan dari mereka yang menyatakannya secara mutlak, dan juga bertentangan dengan pernyataan eksplisit dari para ulama lainnya.

Sejumlah ulama besar telah menegaskan bahwa tidak ada perbedaan (dalam hukum perubahan air, baik karena rasa, warna, maupun bau).

Al-Mahamili dalam kitab At-Tajrid berkata:

“Jika warna air berubah, lalu ditambahkan sesuatu yang juga memiliki warna, seperti cuka, yang kemudian menghilangkan perubahan warna tersebut, atau jika bau air berubah, lalu ditambahkan sesuatu yang juga memiliki bau, seperti kapur barus, yang kemudian menghilangkannya, maka dalam hal ini air tetap tidak menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat.”

Beliau juga berkata:

“Namun, jika air tersebut dicampur dengan sesuatu yang tidak memiliki bau atau warna, seperti tanah dan sejenisnya, lalu perubahan air tersebut hilang, maka ada dua pendapat dalam hal ini.”

Dalam kitab Al-Majmu’, disebutkan:

“Jika rasa, warna, atau bau air berubah, maka air itu menjadi najis dan dapat disucikan dengan empat cara yang disepakati serta satu cara yang masih diperselisihkan.”

Cara yang disepakati adalah:

Hilangnya perubahan dengan sendirinya, Ditambahkan sesuatu padanya, Air tersebut bersumber dari mata air, Diambil sebagian dari air itu.

Kemudian beliau berkata:

“Cara yang masih diperselisihkan adalah jika perubahan tersebut dihilangkan dengan tanah, maka dalam hal ini ada dua pendapat.”

Selanjutnya beliau menyimpulkan:

“Kesimpulannya, jika perubahan terjadi pada rasa air lalu ditambahkan sesuatu yang memiliki rasa, atau perubahan terjadi pada baunya lalu ditambahkan sesuatu yang memiliki bau, atau perubahan terjadi pada warnanya lalu ditambahkan sesuatu yang memiliki warna, maka air itu tetap tidak menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat. Namun, jika ditambahkan sesuatu yang tidak memiliki rasa, warna, maupun bau sehingga menghilangkan perubahan air tersebut, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.”

مغني المحتاج ١/٢٢ :

(أو) زال تغيره ظاهرا كأن زال ريحه (بمسك و) لونه بنحو (زعفران) وطعمه بنحو خل (فلا) يطهر، لانا لا ندري أن أوصاف النجاسة زالت أو غلب عليها المطروح فسترها، وإذا كان كذلك فالاصل بقاؤها. فإن قيل: العلة في عدم عود الطهورية احتمال أن التغير استتر ولم يزل، فكيف يعطفه المصنف على ما جزم فيه بزوال التغير ؟ وذلك تهافت. أجيب بأن المراد زواله طاهرا كما قدرته وإن أمكن استتاره باطنا، فلو طرح مسك على متغير الطعم فزال تغيره طهر، إذ المسك ليس له طعم. وكذا يقال في الباقي

Mughnī al-Muhtāj 1/22:

 

“Atau hilang perubahan (pada air) secara lahiriah, seperti hilangnya baunya dengan misik, warnanya dengan sesuatu seperti za’faran, dan rasanya dengan sesuatu seperti cuka, maka (air tersebut) tidak menjadi suci. Sebab, kita tidak mengetahui apakah sifat-sifat najis itu benar-benar hilang atau hanya tertutupi oleh sesuatu yang ditambahkan sehingga menutupinya. Jika demikian, maka hukum asalnya tetap dianggap najis.”

 

Jika dikatakan: ‘Sebab tidak kembalinya sifat menyucikan air adalah karena ada kemungkinan bahwa perubahan itu hanya tertutupi dan tidak benar-benar hilang. Lalu bagaimana mungkin penyusun kitab ini menghubungkan (mengumpamakan) hal ini dengan keadaan di mana perubahan telah dipastikan hilang? Bukankah ini merupakan kontradiksi?’

 

Dijawab bahwa yang dimaksud adalah hilangnya perubahan itu secara lahiriah, sebagaimana yang telah ditetapkan (dalam hukum), meskipun ada kemungkinan perubahan itu masih tersembunyi secara batin. Maka, jika seseorang menambahkan misik ke dalam air yang berubah rasanya lalu perubahan itu hilang, maka air tersebut menjadi suci, karena misik tidak memiliki rasa. Hal yang sama juga berlaku untuk warna dan bau.”

.نهاية المحتاج ١/٧٧-٧٨

وحاصل ذلك أن شرط إناطة الحكم بالشك في زوال التغير أو استتاره حتى يحكم ببقاء النجاسة تغليبا لاحتمال الاستتار أنه لا بد من احتمال إحالة زوال التغير على الواقع في الماء من مخالط أو مجاور ، فحيث احتمال إحالته على استتاره بالواقع فالنجاسة باقية لكوننا لم نتحقق زوال التغير المقتضي [ ص: 78 ] للنجاسة بل يحتمل زواله واستتاره والأصل بقاؤها ، وحيث لم يحتمل ذلك فهي زائلة فيحكم بطهارته ، وعلم أن رائحة المسك لو ظهرت ثم زالت وزال التغير حكمنا بالطهارة ؛ لأنها لما زالت ولم يظهر التغير علمنا أنه زال بنفسه.

Nihāyah al-Muhtāj 1/77-78:

“Kesimpulannya adalah bahwa syarat dalam menggantungkan hukum pada keraguan terhadap hilangnya perubahan atau tersembunyinya perubahan hingga dihukumi tetap najis, lebih didasarkan pada kemungkinan bahwa hilangnya perubahan itu disebabkan oleh sesuatu yang bercampur atau berdekatan dengan air tersebut.

Jika ada kemungkinan bahwa hilangnya perubahan itu hanya tertutupi oleh sesuatu yang ditambahkan ke dalam air, maka air tetap dihukumi najis, karena kita tidak dapat memastikan bahwa perubahan yang menyebabkan kenajisan benar-benar hilang. Bisa jadi perubahan itu memang hilang, tetapi bisa juga hanya tertutupi, dan hukum asalnya tetap najis.

Namun, jika kemungkinan tersebut tidak ada, maka perubahan dianggap benar-benar hilang, sehingga air dihukumi suci.

Diketahui pula bahwa jika bau misik muncul kemudian menghilang, dan perubahan air juga ikut hilang, maka air dihukumi suci. Sebab, ketika bau misik menghilang dan perubahan air tidak muncul kembali, ini menunjukkan bahwa perubahan tersebut benar-benar hilang dengan sendirinya.”

Kategori
Hukum

Pelayanan dalam Rumah Tangga antara Suami dan Istri menurut Mazhab Fikih

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Dalam kehidupan rumah tangga, sudah menjadi kebiasaan bahwa istri yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Kebiasaan ini sering kali dianggap sebagai tanggung jawab istri, bahkan dianggap sebagai bagian dari kewajibannya dalam pernikahan. Padahal, kewajiban istri adalah mentaati suami selama tidak menyalahi syariat

Pertanyaan:

Bagaimana pandangan jumhur ulama terkait kewajiban istri dalam pekerjaan rumah tangga?

Mohon jawaban beserta dalilnya

Waalaikum salam

Jawaban

Jumhur ulama, terutama dari mazhab Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyah, berpendapat bahwa pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah bukanlah kewajiban istri. Mereka menegaskan bahwa tanggung jawab utama istri dalam rumah tangga adalah menaati suami dalam hal-hal yang sesuai dengan syariat, bukan melakukan pekerjaan rumah secara otomatis.

الموسوعة الفقهية الكويتية ج ٢٩ص٤٣-٤٥

خِدْمَةُ الزَّوْجَةِ لِزَوْجِهَا وَعَكْسُهُ:

١٨ – لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي أَنَّ الزَّوْجَةَ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَخْدُمَ زَوْجَهَا فِي الْبَيْتِ، سَوَاءٌ أَكَانَتْ مِمَّنْ تَخْدُمُ نَفْسَهَا أَوْ مِمَّنْ لاَ تَخْدُمُ نَفْسَهَا. إِلاَّ أَنَّهُمُ اخْتَلَفُوا فِي وُجُوبِ هَذِهِ الْخِدْمَةِ. فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ (الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ وَبَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ) إِلَى أَنَّ خِدْمَةَ الزَّوْجِ لاَ تَجِبُ عَلَيْهَا لَكِنَّ الأَْوْلَى لَهَا فِعْل مَا جَرَتِ الْعَادَةُ بِهِ. وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى وُجُوبِ خِدْمَةِ الْمَرْأَةِ لِزَوْجِهَا دِيَانَةً لاَ قَضَاءً، لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسَّمَ الأَْعْمَال بَيْنَ عَلِيٍّ وَفَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَجَعَل عَمَل الدَّاخِل عَلَى فَاطِمَةَ، وَعَمَل الْخَارِجِ عَلَى عَلِيٍّ. (١) وَلِهَذَا فَلاَ يَجُوزُ لِلزَّوْجَةِ – عِنْدَهُمْ – أَنْ تَأْخُذَ مِنْ زَوْجِهَا أَجْرًا مِنْ أَجْل خِدْمَتِهَا لَهُ. وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْمَالِكِيَّةِ وَأَبُو ثَوْرٍ، وَأَبُو بَكْر بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو إِسْحَاقَ الْجُوزَجَانِيُّ، إِلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْأَةِ خِدْمَةَ زَوْجِهَا فِي الأَْعْمَال الْبَاطِنَةِ الَّتِي جَرَتِ الْعَادَةُ بِقِيَامِ الزَّوْجَةِ بِمِثْلِهَا، لِقِصَّةِ عَلِيٍّ وَفَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، حَيْثُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى عَلَى ابْنَتِهِ فَاطِمَةَ بِخِدْمَةِ الْبَيْتِ، وَعَلَى عَلِيٍّ بِمَا كَانَ خَارِجَ الْبَيْتِ مِنَ الأَْعْمَال (٢) وَلِحَدِيثِ: لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَِحَدٍ لأََمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُل مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكَانَ نَوْلُهَا أَنْ تَفْعَل (١) قَال الْجُوزَجَانِيُّ: فَهَذِهِ طَاعَتُهُ فِيمَا لاَ مَنْفَعَةَ فِيهِ فَكَيْفَ بِمُؤْنَةِ مَعَاشِهِ؟ وَلأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ نِسَاءَهُ بِخِدْمَتِهِ فَيَقُول: يَا عَائِشَةُ أَطْعِمِينَا، يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ وَاشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ (٢) وَقَال الطَّبَرِيُّ: إِنَّ كُل مَنْ كَانَتْ لَهَا طَاقَةٌ مِنَ النِّسَاءِ عَلَى خِدْمَةِ بَيْتِهَا فِي خَبْزٍ، أَوْ طَحْنٍ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ أَنَّ ذَلِكَ لاَ يَلْزَمُ الزَّوْجَ، إِذَا كَانَ مَعْرُوفًا أَنَّ مِثْلَهَا يَلِي ذَلِكَ بِنَفْسِهِ (٣) . ١٩ – وَبِالنِّسْبَةِ لِخِدْمَةِ الزَّوْجِ زَوْجَتَهُ، فَقَدْ ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى جَوَازِ خِدْمَةِ الرَّجُل الْحُرِّ لِزَوْجَتِهِ وَلَهَا أَنْ تَقْبَل مِنْهُ ذَلِكَ.

وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الزَّوْجَةِ اسْتِخْدَامُ زَوْجِهَا الْحُرِّ بِجَعْلِهِ خِدْمَتَهُ لَهَا مَهْرًا، أَمَّا لَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنْ يَرْعَى غَنَمَهَا سَنَةً أَوْ يَزْرَعَ أَرْضَهَا فَتَسْمِيَةُ الْمَهْرِ صَحِيحَةٌ (١) . وَتَجُوزُ خِدْمَتُهُ لَهَا تَطَوُّعًا: وَقَال الْكَاسَانِيُّ: لَوِ اسْتَأْجَرَتِ الْمَرْأَةُ زَوْجَهَا لِيَخْدُمَهَا فِي الْبَيْتِ بِأَجْرٍ مُسَمًّى فَهُوَ جَائِزٌ؛ لأَِنَّ خِدْمَةَ الْبَيْتِ غَيْرُ وَاجِبَةٍ عَلَى الزَّوْجِ، فَكَانَ هَذَا اسْتِئْجَارًا عَلَى أَمْرٍ غَيْرِ وَاجِبٍ عَلَى الأَْجِيرِ

Pelayanan Istri kepada Suami dan Sebaliknya

18 – Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa istri boleh melayani suaminya di rumah, baik ia termasuk wanita yang biasa melayani dirinya sendiri maupun yang tidak. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai kewajiban layanan tersebut.

Mayoritas ulama (Syafi’iyyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyyah) berpendapat bahwa istri tidak wajib melayani suami, tetapi lebih utama baginya untuk melakukan pekerjaan rumah yang sudah menjadi kebiasaan umum.

Sementara itu, Hanafiyyah berpendapat bahwa pelayanan istri kepada suami hukumnya wajib secara agama (diānah), tetapi tidak dapat dipaksakan secara hukum (qaḍā’), berdasarkan kisah Nabi ﷺ yang membagi tugas antara Sayyidina Ali dan Fatimah رضي الله عنهما, di mana pekerjaan dalam rumah dibebankan kepada Fatimah dan pekerjaan di luar rumah kepada Ali. Oleh karena itu, menurut mereka, istri tidak boleh meminta upah dari suaminya karena layanan yang ia berikan kepadanya.

Mayoritas Malikiyyah, serta Abu Tsaur, Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan Abu Ishaq al-Juzajani, berpendapat bahwa istri wajib melayani suaminya dalam pekerjaan rumah tangga yang secara umum dikerjakan oleh wanita, berdasarkan kisah Ali dan Fatimah رضي الله عنهما, di mana Nabi ﷺ menetapkan Fatimah untuk mengurus rumah dan Ali untuk bekerja di luar rumah.

Mereka juga berdalil dengan hadis:

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya. Dan seandainya seorang suami menyuruh istrinya untuk memindahkan sesuatu dari gunung merah ke gunung hitam, atau dari gunung hitam ke gunung merah, maka kewajiban istri adalah menaatinya.”

Al-Juzajani berkata, “Jika ketaatan istri berlaku dalam hal yang tidak ada manfaatnya, maka bagaimana lagi dengan perkara yang berkaitan dengan nafkah suaminya?”

Selain itu, Nabi ﷺ juga memerintahkan istri-istrinya untuk melayani beliau. Beliau bersabda:

“Wahai Aisyah, berilah kami makan. Wahai Aisyah, bawakan pisau dan asahlah dengan batu.”

Menurut At-Tabari, wanita yang mampu melakukan pekerjaan rumah seperti memasak dan menggiling gandum tidak berhak menuntut suaminya untuk melakukannya, karena hal itu merupakan kebiasaan wanita pada umumnya.

19 – Pelayanan Suami kepada Istri

Mayoritas ulama (Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) membolehkan seorang suami membantu pekerjaan rumah tangga istrinya, dan istri boleh menerima bantuan tersebut.

Sedangkan Hanafiyyah berpendapat bahwa haram bagi seorang istri untuk menjadikan layanan suaminya sebagai bagian dari mahar. Namun, jika seorang suami menikahi istrinya dengan kesepakatan bahwa ia akan menggembalakan ternaknya selama setahun atau menggarap tanahnya, maka kesepakatan tersebut sah sebagai mahar.

Namun, suami boleh melayani istrinya secara sukarela. Al-Kasani berkata:

“Jika seorang istri menyewa suaminya untuk melayaninya di rumah dengan upah tertentu, maka hal itu diperbolehkan, karena pelayanan rumah tangga bukan kewajiban suami, sehingga ini dianggap sebagai akad ijarah (sewa) yang sah.”

Selain itu, dalam Khasyiyatul Jamal disebutkan bahwa seorang suami wajib memberitahu istrinya bahwa pekerjaan rumah tangga bukan kewajibannya, agar istri tidak merasa terbebani atau berpikir bahwa hak nafkahnya bergantung pada pelaksanaan pekerjaan tersebut. Jika istri melakukannya, hal itu didasarkan pada kesepakatan dan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat, bukan karena kewajiban syar’i.

Dalam Khasyiyatul Jamal juz 4 dikatakan:

وقع السؤال فى الدرس هل يجب على الرجل اعلام زوجته بأنها لاتجب عليها خدمة مما جرت به العادة من الطبخ والكنس ونحوهما مماجرت به عادتهن أم لا وأوجبنا بأن الظاهر الأول لأنها اذا لم تعلم بعدم وجوب ذلك ظنت أنه واجب وأنها لاتستحق نفقة ولاكسوة إن لم تفعله فصارت كأنهامكرهة على الفعل…

“Wajib atau tidakkah bagi suami memberitahu istrinya bahwa sang sitri tidak wajib  membantu memasak, mencuci dan sebagainya sebagaimana yang berlaku selama ini? Jawabnya adalah wajib bagi suami memberitahukan hal tersebut, karena jika tidak diberitahu seorang istri bisa menyangka hal itu sebagai kewajiban bahkan istri akan menyangka pula bahwa dirinya tidak mendapatkan nafkah bila tidak membantu (mencuci, memasak dan lainnya). Hal ini akan manjadikan istri merasa menjadi orang yang terpaksa.”

Kesimpulannya, menurut jumhur ulama, pekerjaan rumah tangga bukanlah kewajiban istri, tetapi jika istri melaksanakannya dengan kesadaran dan keikhlasan, hal itu merupakan bentuk kebaikan dalam kehidupan rumah tangga. Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Keutamaan Dzikir dan Niat dalam Amal

 

Ada sekelompok orang yang merasa kecil hati dan khawatir karena melihat diri mereka miskin, kasab dan penghasilannya pas-pasan bahkan tidak cukup untuk dirinya dan keluarganya, sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan ( tidak bisa beramal ) sebagaimana orang-orang yang diberi rezeki berlimpah. Mereka melihat orang kaya dapat bersedekah dan menginfakkan hartanya untuk kepentingan agama, membantu fakir miskin, serta membangun masjid dan musholla.

Pertanyaan:

Apa yang dapat dilakukan oleh orang miskin sebagai solusi agar tidak merasa kecil hati dan tetap dapat menyamai pahala orang-orang yang berderma?

Jawaban:

Seorang miskin hendaknya memperbanyak dzikir, seperti tahlil, tasbih, tahmid, dan takbir, serta melakukan amal-amal lain yang dianggap sebagai sedekah menurut agama, meskipun tidak berbentuk materi.

Referensi:

شرح الأربعين النووية لإبن دقيق العيد ص ٩١

[ذهب أهل الدثور بالأجور]

٢٥ – عن أبي ذر رضي الله عنه أيضا أن ناساً من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا للنبي صلى الله عليه وسلم: يا رسول الله ذهب أهل الدثور بالأجور: يصلون كما نصلي، ويصومون كما نصوم، ويتصدقون بفضول أموالهم. قال: “أوليس قد جعل الله لكم ما تصدقون؟ إن بكل تسبيحة صدقة، وكل تكبيرة صدقة، وكل تحميدة صدقة، وكل تهليلة صدقة، وأمر بمعروف صدقة، ونهي عن منكر صدقة، وفي بضع أحدكم صدقة”. قالوا: يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر؟ قال: “أرأيتم لو وضعها في حرام أكان عليه وزر؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر” رواه مسلم.

الدثور: بضم الدال جمع دثر بفتحها وهو المال الكثير.

وقوله: “أوليس قد جعل الله لكم ما تصدقون” الرواية فيها بتشديد الصاد والدال جميعاً ويجوز في اللغة تخفيف الصاد.

وفي هذا الحديث فضيلة التسبيح وسائر الأذكار، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وإحضار النية في المباحات وإنما تصير طاعات بالنيات الصادقات.

[ذهب أهل الدثور بالأجور]

25 – Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu juga, bahwa sekelompok sahabat Rasulullah ﷺ berkata kepada beliau:

“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi dengan banyak pahala! Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.”

Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

“Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf (menyuruh kepada kebaikan) adalah sedekah, nahi munkar (mencegah kemungkaran) adalah sedekah, dan pada kemaluan salah seorang di antara kalian pun terdapat sedekah.”

Para sahabat bertanya:

“Wahai Rasulullah, apakah seseorang mendatangi syahwatnya (berhubungan dengan istrinya) dan ia mendapatkan pahala darinya?”

Beliau menjawab:

“Bagaimana menurut kalian jika ia meletakkannya di tempat yang haram, apakah ia akan mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia meletakkannya di tempat yang halal, ia akan mendapatkan pahala.”

(HR. Muslim)

Keterangan:

الدثور (ad-dutsūr): Bentuk jamak dari دثر (datsar), yang berarti harta yang banyak.

“Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan?”

Dalam riwayat ini, terdapat bacaan dengan tasydid pada huruf ṣād (الصاد) dan dāl (الدال). Namun, dalam bahasa Arab, diperbolehkan juga membaca dengan meringankan ṣād (الصاد).

Hadis ini menunjukkan keutamaan tasbih, dzikir, amar ma’ruf, dan nahi munkar sebagai bentuk sedekah non-materi.

Hadis ini juga menekankan pentingnya niat yang benar, karena dengan niat yang baik, perbuatan mubah pun dapat menjadi amal ibadah yang berpahala.Wallahu a’lam bish-shawab

Ketik Pencarian