DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Mengubah Niat Umrah ke Sedekah: Nazar atau Sekadar Keinginan?

Umroh
Hukum mengubah niat umrah ke sedekah

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah: Dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang yang berikhtiar dengan disertai niat tertentu sebagai bentuk rasa syukur jika usahanya berhasil. Salah satu bentuk niat tersebut adalah seseorang yang berniat untuk melaksanakan ibadah umrah jika berhasil dalam bisnisnya. Namun, ketika bisnisnya benar-benar sukses, ia justru memilih untuk menyedekahkan biaya umrah tersebut ke pesantren, bukan melaksanakan umrah sebagaimana yang diniatkannya sebelumnya.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan dari aspek fiqih Islam:

Apakah niat tersebut bersifat nazar yang wajib ditunaikan, atau sekadar keinginan hati yang boleh diubah tujuannya?

Jawaban: Dalam kasus ini, perlu diperinci terlebih dahulu niat yang diucapkan oleh orang tersebut. Apakah niatnya berupa nazar (نذر) atau hanya sekadar keinginan (niat tanpa keharusan).

Hukum Jika Itu Nazar

Jika orang tersebut bernazar untuk umrah apabila bisnisnya sukses, maka ia wajib melaksanakan umrah tersebut dan tidak boleh menggantinya dengan sedekah ke pesantren. Hal ini berdasarkan hadis Nabi:

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَ اللَّهَ فَلَا يَعْصِهِ

“Barang siapa bernazar untuk menaati Allah, maka hendaklah ia menaati-Nya. Dan barang siapa bernazar untuk bermaksiat kepada-Nya, maka janganlah ia bermaksiat kepada-Nya.” (HR. Al-Bukhari, no. 6696)

Dalam Mausu’atul Fiqhiyah (juz 40, hal. 162-163) dijelaskan bahwa siapa yang bernazar untuk melakukan ketaatan kepada Allah, maka ia wajib memenuhinya. Oleh karena itu, jika seseorang telah bernazar untuk melaksanakan umrah, maka ia harus menunaikannya.
Konsekuensi Jika Ingin Mengubah Nazar Jika seseorang ingin mengganti nazarnya, maka ia wajib membayar kafarah nazar sebagaimana kafarah sumpah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
“Maka kaffarahnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin…” (QS. Al-Maidah: 89)

Hukum Jika Itu Sekadar Niat atau Keinginan

Namun, jika niatnya hanya berupa keinginan atau tekad tanpa ada lafaz nazar yang jelas (seperti “Saya bernazar akan umrah”), maka ia tidak wajib umrah. Dalam hal ini, mengganti dengan sedekah tetap diperbolehkan karena tidak ada kewajiban yang mengikat.
Sebagaimana dijelaskan dalam Fathul Mu’in (hal. 312):
“Tidak sah nazar hanya dengan niat belaka sebagaimana akad-akad lainnya, kecuali dengan lafaz yang jelas.”
Dari penjelasan ini, jika tidak ada unsur nazar, maka ia bebas memilih apakah akan umrah atau menyedekahkan uangnya.

Kesimpulan

Jika ia bernazar untuk umrah,( Niat lalu diucapkan dengan lisan ) maka wajib umrah dan tidak boleh menggantinya dengan sedekah.

Jika itu hanya niat biasa,atau Keinginan saja dalam hati tanpa dilafadhkan, maka tidak ada kewajiban, dan ia boleh menyedekahkan uangnya.

Jika ada lafaz nazar tetapi ia ingin menggantinya dengan sedekah, ( melanggarnya ) maka ia wajib membayar kafarah nazar sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Al-Maidah: 89.

Oleh karena itu, yang perlu difahami adalah apakah ia benar-benar bernazar atau hanya berniat. Jika bernazar,(niat bernadzar yang di lafadhkan ) ia harus umrah

, jika melanggar maka wajib membayar kafarah, sedangkan jika hanya niat biasa/ keinginan saja maka ia bebas memilih, antara bersedekah atau berumroh.
Wallahu A’lam bisshawab.

Referensi

كتاب الموسوعة الفقهية الكويتية ج٤٠ص١٦٢-١٦٣

فَقَدْ أَفَادَ هَذَا الْحَدِيثُ أَنَّ مَنْ نَذَرَ طَاعَةً لِلَّهِ تَعَالَى لَزِمَهُ الْوَفَاءُ بِمَا الْتَزَمَهُ بِهَذَا النَّذْرِ، وَمَنْ نَذَرَ التَّصَدُّقَ بِكُل مَا يَمْلِكُ مِنْ مَالٍ، أَلْزَمَ نَفْسَهُ بِمَا هُوَ طَاعَةٌ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ، فَيَلْزَمُهُ الْوَفَاءُ بِهِ، وَالتَّصَدُّقُ بِكُل مَالِهِ.
وَوَجْهُ الْقِيَاسِ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّهُ يَدْخُل فِيهِ جَمِيعُ الأَْمْوَال لأَِنَّ الْمَال اسْمٌ لِمَا يُتَمَوَّل كَمَا أَنَّ الْمِلْكَ اسْمٌ لِمَا يُمْلَكُ فَيَتَنَاوَل جَمِيعَ الأَْمْوَال كَالْمِلْكِ (٢) .
الاِتِّجَاهُ الْخَامِسُ: يَرَى أَصْحَابُهُ أَنَّ مَنْ نَذَرَ التَّصَدُّقَ بِكُل مَالِهِ فَإِنَّهُ يُجْزِئُهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ مِنْهُ بِرُبْعِ الْعُشْرِ (أَيْ مِقْدَارِ الزَّكَاةِ) وَهُوَ رِوَايَةٌ أُخْرَى عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَثَالِثَةٌ عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَهُوَ قَوْل رَبِيعَةَ وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ الْمَاجِشُونِ أَنَّهُ اسْتَحْسَنَ قَوْل رَبِيعَةَ هَذَا (٣) .
وَاسْتَدَل أَصْحَابُ هَذَا الاِتِّجَاهِ بِمَا رُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي حَاضِرٍ قَال: حَلَفَتِ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ: مَالِي فِي سَبِيل اللَّهِ وَجَارِيَتِي حُرَّةٌ إِنْ لَمْ تَفْعَل كَذَا. فَقَال ابْنُ عَبَّاسٍ وَابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَمَّا الْجَارِيَةُ فَتُعْتَقُ، وَأَمَّا قَوْلُهَا: مَالِي فِي سَبِيل اللَّهِ فَيُتَصَدَّقُ بِزَكَاةِ مَالِهَا. وَقَالُوا: إِنَّ النَّذْرَ الْمُطْلَقَ، إِنِ الْتَزَمَ فِيهِ النَّاذِرُ التَّصَدُّقَ بِكُل مَالِهِ، مَحْمُولٌ عَلَى الْمَعْهُودِ فِي الشَّرْعِ، وَلاَ يَجِبُ فِي الشَّرْعِ إِلاَّ التَّصَدُّقُ بِمِقْدَارِ الزَّكَاةِ وَهُوَ رُبْعُ الْعُشْرِ (١) .
الاِتِّجَاهُ السَّادِسُ: يَرَى مَنْ ذَهَبَ إِلَيْهِ أَنَّ مَنْ قَال: مَالِي صَدَقَةٌ، لَزِمَهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِالأَْمْوَال الَّتِي تَجِبُ فِيهَا الزَّكَاةُ مِمَّا يَمْلِكُ، أَيْ يَتَصَدَّقُ بِجِنْسِ الأَْمْوَال الزَّكَوِيَّةِ وَإِنْ لَمْ تَبْلُغْ نِصَابَ الزَّكَاةِ، وَلاَ يَدْخُل فِي هَذِهِ الأَْمْوَال مَا لاَ زَكَاةَ فِيهِ، فَلاَ يَلْزَمُهُ أَنْ يَتَصَدَّقَ بِدُورِ السَّكَنِ وَالأَْثَاثِ وَالثِّيَابِ وَالْعُرُوضِ الَّتِي لاَ يُقْصَدُ بِهَا التِّجَارَةُ وَنَحْوُ ذَلِكَ. وَهُوَ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْحَنَفِيَّةُ، وَقَالُوا: إِنَّهُ اسْتِحْسَانٌ.
وَاسْتَدَلُّوا بِأَنَّ النَّذْرَ الَّذِي يُلْزِمُ بِهِ الْمَرْءُ نَفْسَهُ مُعْتَبَرٌ بِمَا أَمَرَ بِهِ الشَّارِعُ، لأَِنَّ الْوُجُوبَ فِي الْكُل بِإِيجَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِنَّمَا وُجِدَ مِنَ الْعَبْدِ مُبَاشَرَةً السَّبَبُ الدَّال عَلَى إِيجَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَالإِْيجَابُ الْمُضَافُ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى فِي الأَْمْرِ – وَهُوَ الزَّكَاةُ الْمَأْمُورُ بِهَا فِي قَوْلِهِ سُبْحَانَهُ خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

Referensi

Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah Jilid 40 Halaman 162-163
Hadis ini menunjukkan bahwa siapa pun yang bernazar untuk taat kepada Allah Ta’ala, maka wajib baginya memenuhi apa yang telah ia wajibkan atas dirinya dengan nazar tersebut. Dan siapa pun yang bernazar untuk bersedekah dengan seluruh hartanya, berarti ia telah mewajibkan dirinya untuk melakukan suatu ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga ia wajib memenuhinya dan menyedekahkan seluruh hartanya.
Pendapat mazhab Hanafi dalam qiyas menyatakan bahwa seluruh harta masuk dalam kategori ini, karena kata maal (harta) mencakup segala sesuatu yang bernilai dan dapat dimiliki, sebagaimana istilah milk (kepemilikan) mencakup semua harta yang dimiliki.
Pendapat kelima dalam masalah ini menyatakan bahwa seseorang yang bernazar untuk bersedekah dengan seluruh hartanya, maka cukup baginya untuk bersedekah sebesar seperempat puluh (1/40) dari hartanya (yakni sebesar nisab zakat). Pendapat ini merupakan salah satu riwayat dari Ibnu Abbas, riwayat ketiga dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, serta pendapat Rabi’ah. Juga diriwayatkan bahwa Abdul Aziz bin al-Majisyun menyetujui pendapat Rabi’ah ini.
Pendukung pendapat ini berargumen dengan riwayat dari Utsman bin Abi Hadhir yang menyebutkan bahwa seorang wanita bersumpah, “Seluruh hartaku di jalan Allah dan budakku merdeka jika aku tidak melakukan ini.” Maka Ibnu Abbas dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Budaknya harus dimerdekakan, sedangkan pernyataannya mengenai hartanya di jalan Allah cukup dipenuhi dengan membayar zakat hartanya.” Mereka juga berpendapat bahwa nazar mutlak, jika seseorang mewajibkan dirinya untuk bersedekah dengan seluruh hartanya, maka nazarnya harus dipahami sesuai dengan kebiasaan syariat, yaitu tidak wajib menyedekahkan seluruh harta, melainkan hanya sebesar nisab zakat, yaitu seperempat puluh (1/40).
Pendapat keenam menyatakan bahwa siapa pun yang mengatakan, “Hartaku adalah sedekah,” maka ia wajib menyedekahkan harta yang terkena kewajiban zakat dari apa yang ia miliki. Artinya, ia hanya diwajibkan bersedekah dengan jenis harta yang terkena zakat, meskipun jumlahnya tidak mencapai nisab. Namun, harta yang tidak terkena zakat, seperti rumah tinggal, perabot, pakaian, dan barang dagangan yang tidak diperuntukkan untuk perdagangan, tidak wajib disedekahkan. Pendapat ini dipegang oleh mazhab Hanafi, yang menganggapnya sebagai bentuk istihsan.
Mereka berargumen bahwa nazar yang mengikat seseorang harus sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syariat, karena kewajiban sepenuhnya berasal dari perintah Allah Ta’ala. Seorang hamba hanya sekadar menyatakan sebab yang mengindikasikan kewajiban dari Allah Ta’ala. Oleh karena itu, kewajiban dalam hal ini dikembalikan kepada ketetapan syariat, yaitu dalam bentuk zakat sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.”

فتح المعين ص٣١٢
وخرج بلفظ النية فلا يصح بمجرد النية كسائر العقود إلا باللفظ وقيل يصح بالنية وحدها.
فيلزم عليه ما التزمه حالا في منجز وعند وجود صفة في معلق.
وظاهر كلامهم أنه يلزمه الفور بأدائه عقب وجود المعلق عليه خلافا لقضية كلام ابن عبد السلام.
ولا يشترط قبول المنذور له في قسمي النذر ولا القبض بل يشترط عدم رده.
ويصح النذر بما في ذمة المدين ولو مجهولا فيبرأ حالا وإن لم يقبل خلافا للجلال البلقيني ولو نذر لغير أحد أصليه أو فروعه من ورثته بماله قبل مرض موته بيوم ملكه كله من غير مشارك لزوال ملكه عنه ولا يجوز للأصل الرجوع فيه وينعقد معلقا في نحو: إذا مرضت فهو نذر قبل مرضي بيوم وله التصرف قبل حصول المعلق عليه ويلغو قوله: متى حصل لي الأمر الفلاني أجئ لك بكذا ما لم يقترن به لفظ التزام أو نذر.
وأفتى جمع فيمن أراد أن يتبايعا فاتفقا على أن ينذر كل على أن ينذر كل للآخر

Fathul Mu’in Halaman 312
Seseorang tidak dianggap bernazar hanya dengan niat semata, sebagaimana dalam akad-akad lainnya, kecuali jika diungkapkan dengan lafaz tertentu. Namun, ada pendapat yang menyatakan bahwa nazar sah hanya dengan niat.
Maka, seseorang wajib memenuhi nazarnya secara langsung jika nazar tersebut berbentuk mujaz (langsung) atau ketika syarat yang disebut dalam mu’allaq (bersyarat) terpenuhi. Dari perkataan para ulama, tampak bahwa seseorang wajib segera memenuhi nazarnya setelah syarat terpenuhi, berbeda dengan pemahaman dari pernyataan Ibnu Abdus Salam.
Tidak disyaratkan adanya penerimaan dari pihak yang menerima nazar dalam kedua bentuk nazar ini, juga tidak disyaratkan serah terima (qabul), namun disyaratkan tidak adanya penolakan.
Nazar juga sah meskipun berkaitan dengan utang yang masih ada dalam tanggungan orang lain, meskipun tidak diketahui jumlahnya. Dalam hal ini, seseorang langsung terbebas dari tanggungannya meskipun tanpa adanya penerimaan, berbeda dengan pendapat Jalal al-Balqini.
Jika seseorang bernazar untuk selain ayah atau anaknya dari para ahli warisnya dengan hartanya sehari sebelum ia sakit yang menyebabkan kematiannya, maka hartanya sepenuhnya menjadi milik penerima nazar tanpa ada bagian untuk ahli waris lain, karena kepemilikannya telah hilang. Orang tua tidak boleh menarik kembali harta tersebut. Nazar juga dianggap bersyarat jika seseorang mengatakan, “Jika aku sakit, maka ini menjadi nazar sehari sebelum sakitku.”
Namun, seseorang tetap dapat mengelola hartanya sebelum kondisi yang disebutkan dalam syarat nazar terjadi. Pernyataan seperti, “Jika terjadi hal tertentu, aku akan memberimu sesuatu,” tidak dianggap sebagai nazar kecuali jika disertai dengan kata-kata yang menunjukkan keharusan atau niat untuk bernazar.
Beberapa ulama berfatwa bahwa jika dua orang ingin melakukan transaksi jual beli, lalu mereka sepakat untuk bernazar satu sama lain, maka nazar tersebut tetap berlaku. Wallahu A’lam bisshowab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM