BESARNYA PAHALA MENAFKAHI KELUARGA
Assalamualaikum
Deskripsi masalah
Dalam kehidupan bermasyarakat, pembangunan lembaga keagamaan seperti madrasah, masjid, dan musholla merupakan hal yang umum dilakukan, baik dalam bentuk pembangunan baru maupun renovasi. Banyak orang dengan usaha yang lancar dan rezeki berlimpah turut berkontribusi dengan penuh antusias dalam menyumbangkan hartanya untuk keperluan tersebut atau bersedekah dengan memberi makan fakir miskin.
Namun, ada pula orang yang penghasilannya terbatas, bahkan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Meskipun demikian, mereka tetap memiliki keinginan kuat untuk bersedekah, baik dalam pembangunan sarana ibadah maupun membantu fakir miskin, dengan keyakinan bahwa sedekah dan infak merupakan bagian dari amal saleh serta bentuk perjuangan di jalan Allah (fisabilillah).
Pertanyaan:
Manakah yang lebih utama dan lebih besar pahalanya—menggunakan harta untuk menafkahi keluarga yang hidup dalam keterbatasan, ataukah menginfakkannya di jalan Allah dan bersedekah kepada fakir miskin?
Waalaiķum salam.
Jawaban:
Lebih utama dan lebih besar pahalanya menafkahi keluarga yang hidup dalam keterbatasan daripada bersedekah atau berinfak untuk kepentingan lain. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
بِدِينَارٍ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَبِدِينَارٍ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ، وَبِدِينَارٍ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ، وَبِدِينَارٍ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ. (رواه مسلم )
“Satu dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau gunakan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang engkau belanjakan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya adalah dinar yang engkau belanjakan untuk keluargamu.”
(HR. Muslim: 995)
Hadits ini menunjukkan bahwa menafkahi keluarga lebih besar pahalanya dibandingkan dengan infak di jalan Allah, sedekah kepada fakir miskin, atau bahkan memerdekakan budak. Hal ini karena nafkah kepada keluarga adalah kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum memberikan bantuan kepada pihak lain.
Dalam Islam, keseimbangan antara kewajiban dan ibadah sunnah sangat ditekankan. Jika seseorang memiliki rezeki terbatas, maka menafkahi keluarga menjadi prioritas utama, sebab keluarga adalah tanggung jawab yang langsung dibebankan kepadanya. Setelah kebutuhan keluarga tercukupi, barulah dianjurkan untuk bersedekah dan berinfak di jalan Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Syarah al-Nawawi ala Muslim sebagaimana berikut;
شرح النووي على مسلم ج٧ص ٨١-٨٣
(باب فَضْلِ النَّفَقَةِ عَلَى الْعِيَالِ والمملوك)
(وإثم من ضيعهم أو حبس نفقتهم عَنْهُمْ) مَقْصُودُ الْبَابِ الْحَثُّ عَلَى النَّفَقَةِ عَلَى الْعِيَالِ وَبَيَانُ عِظَمِ الثَّوَابِ فِيهِ لِأَنَّ مِنْهُمْ مَنْ تَجِبُ نَفَقَتُهُ بِالْقَرَابَةِ وَمِنْهُمْ مَنْ تَكُونُ مَنْدُوبَةً وَتَكُونُ صَدَقَةً وَصِلَةً وَمِنْهُمْ مَنْ تَكُونُ وَاجِبَةً بِمِلْكِ النِّكَاحِ أَوْ مِلْكِ الْيَمِينِ وَهَذَا كُلُّهُ فَاضِلٌ مَحْثُوثٌ عَلَيْهِ وَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ وَلِهَذَا [٩٩٥] قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رِوَايَةِ بن أَبِي شَيْبَةَ (أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ) مَعَ أَنَّهُ ذَكَرَ قَبْلَهُ النَّفَقَةَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَفِي الْعِتْقِ وَالصَّدَقَةِ وَرَجَّحَ النَّفَقَةَ عَلَى الْعِيَالِ عَلَى هَذَا كُلِّهِ لِمَا ذَكَرْنَاهُ وَزَادَهُ تَأْكِيدًا [٩٩٦] بِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ (كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ) فَقُوتُهُ مَفْعُولُ يَحْبِسَ قَوْلُهُ (حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجَرْمِيُّ) هُوَ بِالْجِيمِ قَوْلُهُ (قَهْرَمَانُ) بِفَتْحِ الْقَافِ وَإِسْكَانِ الْهَاءِ وَفَتْحِ الرَّاءِ وَهُوَ الْخَازِنُ الْقَائِمُ بِحَوَائِجِ الْإِنْسَانِ وَهُوَ بِمَعْنَى الْوَكِيلِ وَهُوَ بِلِسَانِ الْفُرْسِ
(باب الِابْتِدَاءِ فِي النَّفَقَةِ بِالنَّفْسِ ثُمَّ أَهْلِهِ ثُمَّ الْقَرَابَةِ) [٩٩٧] فِيهِ حَدِيثُ جَابِرٍ (أَنَّ رَجُلًا أَعْتَقَ عَبْدًا لَهُ عَنْ دُبُرٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَلَكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ ثُمَّ قَالَ ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ فَإِنْ فَضَلَ عَنْ قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا يَقُولُ فَبَيْنَ يَدَيْكَ وَعَنْ يَمِينِكَ وَعَنْ شِمَالِكَ) فِي هَذَا الْحَدِيثِ فَوَائِدُ مِنْهَا الِابْتِدَاءُ فِي النَّفَقَةِ بِالْمَذْكُورِ عَلَى هَذَا التَّرْتِيبِ وَمِنْهَا أَنَّ الْحُقُوقَ وَالْفَضَائِلَ إِذَا تَزَاحَمَتْ قُدِّمُ الْأَوْكَدُ فَالْأَوْكَدُ وَمِنْهَا أَنَّ الْأَفْضَلَ فِي صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ أَنْ يُنَوِّعَهَا فِي جِهَاتِ الْخَيْرِ وَوُجُوهِ الْبِرِّ بِحَسَبِ الْمَصْلَحَةِ وَلَا يَنْحَصِرُ فِي جِهَةٍ بِعَيْنِهَا وَمِنْهَا دَلَالَةٌ ظَاهِرَةٌ لِلشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيهِ فِي جَوَازِ بَيْعِ الْمُدَبَّرِ وَقَالَ مَالِكٌ وَأَصْحَابُهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ إِلَّا إِذَا كَانَ عَلَى السَّيِّدِ دَيْنٌ فَيُبَاعُ فِيهِ وَهَذَا الْحَدِيثُ صَرِيحٌ أَوْ ظَاهِرٌ فِي الرَّدِّ عَلَيْهِمْ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا بَاعَهُ لِيُنْفِقَهُ سَيِّدُهُ عَلَى نَفْسِهِ وَالْحَدِيثُ صَرِيحٌ أَوْ ظَاهِرٌ فِي هَذَا وَلِهَذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا إِلَى آخِرِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
Syarah Imam Nawawi atas Shahih Muslim (Juz 7, hlm. 81–83)
Bab Keutamaan Nafkah untuk Keluarga dan Hamba Sahaya serta Dosa Orang yang Menyia-nyiakan Mereka atau Menahan Nafkah dari Mereka
Maksud dari bab ini adalah anjuran untuk memberi nafkah kepada keluarga dan penjelasan tentang besarnya pahala dalam hal ini. Sebab, ada sebagian dari mereka yang nafkahnya wajib karena hubungan kekerabatan, ada yang nafkahnya dianjurkan sehingga menjadi sedekah dan bentuk silaturahmi, serta ada yang nafkahnya wajib karena kepemilikan dalam pernikahan atau kepemilikan sebagai hamba sahaya.
Semua jenis nafkah ini memiliki keutamaan dan sangat dianjurkan. Bahkan, nafkah kepada keluarga lebih utama daripada sedekah sunnah. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ dalam riwayat Ibn Abi Syaibah bersabda:
“Yang paling besar pahalanya adalah yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.”
Padahal sebelumnya, beliau telah menyebutkan nafkah di jalan Allah, pembebasan budak, dan sedekah. Namun, beliau tetap mengutamakan nafkah kepada keluarga di atas semua itu karena alasan yang telah disebutkan.
Keutamaan ini semakin ditegaskan dalam hadis lain:
“Cukuplah seseorang menanggung dosa apabila ia menahan makanan dari orang yang berada dalam tanggungannya.”
Penjelasan Istilah:
(Said bin Muhammad al-Jarmi): Nama ini disebut dengan huruf “jīm” (ج). (Qahraman): Dibaca dengan qaf berharakat fathah (قَ), ha sukun (هْ), dan ra fathah (رَ). Maknanya adalah bendahara atau pengurus kebutuhan seseorang, yang dalam bahasa Persia memiliki arti yang sama dengan “wakil.” Bab Memulai Nafkah dari Diri Sendiri, Kemudian Keluarga, lalu Kerabat
Dalam bab ini, terdapat hadis Jabir yang meriwayatkan bahwa seorang laki-laki memerdekakan budaknya setelah wafatnya (dengan akad tadbir). Ketika hal ini sampai kepada Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
“Apakah engkau memiliki harta lain selain itu?”
Orang itu menjawab, “Tidak.” Maka Nabi ﷺ menjual budak tersebut dan menyerahkan hasilnya kepada laki-laki itu, lalu bersabda:
“Mulailah dengan dirimu sendiri, lalu bersedekahlah untuknya. Jika ada kelebihan, maka untuk keluargamu. Jika masih ada kelebihan setelah keluargamu, maka untuk kerabatmu. Jika masih ada kelebihan setelah kerabatmu, maka seperti ini dan seperti ini,” seraya beliau menunjukkan ke arah depan, kanan, dan kiri.
Pelajaran dari Hadis Ini:
Urutan dalam memberi nafkah harus sesuai dengan yang disebutkan dalam hadis. Jika ada beberapa hak dan keutamaan yang bertabrakan, maka yang lebih kuat harus didahulukan. Sedekah sunnah yang paling utama adalah yang disalurkan ke berbagai bidang kebaikan dan tidak hanya terbatas pada satu jenis penerima. Hadis ini menjadi dalil bagi mazhab Syafi’i dan ulama yang sependapat dengannya bahwa budak yang ditadbir (dibebaskan setelah tuannya wafat) boleh dijual. Imam Malik dan murid-muridnya berpendapat bahwa budak yang ditadbir tidak boleh dijual kecuali jika tuannya memiliki utang, maka boleh dijual untuk melunasi utangnya. Namun, hadis ini dengan jelas menolak pendapat tersebut, karena Rasulullah ﷺ menjual budak tersebut agar hasilnya digunakan oleh pemiliknya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Maka dari itu, Nabi ﷺ bersabda:
“Mulailah dengan dirimu sendiri, lalu bersedekahlah untuknya…”
Hadits tersebut menegaskan bahwa kewajiban menafkahi keluarga tidak boleh diabaikan, bahkan menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, bagi seseorang yang memiliki rezeki terbatas, yang lebih utama adalah memastikan keluarganya terpenuhi kebutuhannya sebelum bersedekah atau berinfak untuk keperluan lain.
Namun, jika seseorang tetap ingin bersedekah meskipun dalam keadaan ekonomi yang sulit, hendaknya ia melakukannya tanpa mengorbankan kebutuhan pokok keluarganya. Sebab, Islam tidak membebani seseorang di luar kemampuannya, sebagaimana firman Allah ﷻ:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam sebuah kaidah dijelaskan
وإذا تزامحت المصلحتان قدم بالأعلى # وإذا تزامحت المفسدتان أخذ بالأخذ بالأخف
Jika seseorang dihadapkan pada dua kemaslahatan maka dahulukan yang lebih tinggi nilai keutamaannya# Dan jika dihadapkan pada dua kerusakan maka ambillah yang lebih ringan
Kesimpulan: Menafkahi keluarga yang hidup dalam keterbatasan lebih utama dan lebih besar pahalanya dibandingkan dengan sedekah kepada fakir miskin atau infak di jalan Allah. Jika seseorang memiliki rezeki yang cukup, maka setelah menunaikan kewajiban nafkah kepada keluarga, ia dianjurkan untuk bersedekah dan berinfak sesuai kemampuannya. Islam mengajarkan keseimbangan dalam beramal, sehingga tidak dianjurkan bersedekah dengan mengorbankan kebutuhan pokok keluarga.
Wallahu a‘lam.