DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

HUKUM INSEMINASI BUATAN PADA HEWAN DALAM PERSPEKTIF FIQIH DAN MAQASID SYARIAH

“Hukum Inseminasi Buatan pada Hewan dalam Perspektif Fiqih dan Maqasid Syariah”

Assalamualaikum

Latar Belakang masalah.
Pada masa dahulu, masyarakat peternak sapi umumnya melakukan proses reproduksi secara alami, yaitu dengan mengawinkan hewan betina dan jantan secara langsung. Cara ini cukup berhasil dalam menghasilkan keturunan, namun memiliki beberapa keterbatasan, seperti kontrol yang minim terhadap kualitas genetik dan risiko penyebaran penyakit melalui kontak fisik antara hewan.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, metode reproduksi alami tersebut mulai digantikan dengan teknik-teknik yang baru lebih canggih, salah satunya adalah inseminasi buatan (IB). Inseminasi buatan adalah teknik reproduksi bantuan yang dilakukan dengan cara mengumpulkan sperma dari pejantan unggul dan menyuntikkannya langsung ke dalam saluran reproduksi betina, tanpa proses perkawinan alami. Teknik ini banyak digunakan dalam dunia peternakan, terutama pada sapi, untuk memperbaiki kualitas keturunan, meningkatkan produktivitas, dan mengendalikan penyebaran penyakit menular.

Inseminasi buatan memungkinkan peternak untuk memilih sperma dari pejantan yang memiliki sifat genetik unggul, seperti pertumbuhan yang cepat, produksi susu yang tinggi, atau daya tahan terhadap penyakit, yang pada akhirnya membantu meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil ternak.

Pertanyaannya.
Bagaimana hukumnya Inseminasi yang disuntikan pada hewan betina menurut perspektif fiqih dan maqasid syariah?

Waalaikum salam.

Jawaban

A. Perspektif Hukum Fiqih

Hukum Dasar Inseminasi Buatan: dari Perspektif Fiqih yang perlu diperhatikan terlebih adalah harus dilihat dari sisi hukum jual beli sperma hewan jantan sebagai dasar untuk menentukan pandangan hukumnya. Hal ini berkaitan dengan syarat barang yang boleh diperjualbelikan, serta sperma itu sendiri. Menurut hukum fiqih, suatu barang boleh diperjualbelikan dan sah apabila memenuhi beberapa syarat berikut:

  1. Barang tersebut ada saat akad berlangsung. Oleh karena itu, tidak sah menjual barang yang tidak ada.
  2. Barang tersebut adalah harta. Dalam hal ini, ulama Malikiyah dan Syafi’iyah mengartikan bahwa barang tersebut harus memberikan manfaat yang dapat digunakan.
  3. Barang tersebut dikuasai oleh pihak yang melakukan akad. Syarat ini berlaku ketika jual beli dilakukan secara langsung.
  4. Barang tersebut dapat diserahterimakan.
  5. Barang tersebut diketahui oleh kedua belah pihak yang bertransaksi.

Berkaitan dengan hukum asal jual beli sperma hewan ternak, banyak yang memandang bahwa hukum asalnya sama dengan kasus “‘asbul fahli”, yaitu jual beli penggunaan hewan pejantan dengan harapan sperma tersebut dapat membuahi hewan betina. Mereka mendasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma:
“Rasulullah SAW melarang ‘asbul fahli” (HR. Bukhari, Juz IV, halaman 461).

Berdasarkan hadits ini, mereka langsung memutuskan bahwa jual beli sperma hewan ternak haram. Namun, ada dua hal yang sering tidak diperhatikan:

  1. Dalam kasus ” asbul fahli “, ada proses persetubuhan antara hewan pejantan dan betina.
  2. Sperma yang dikeluarkan oleh pejantan tidak bisa dipastikan akan membuahi hewan betina, dan juga tidak diketahui ukurannya.

Yang dimaksud dengan larangan ‘asbul fahli dalam hadits di atas, menurut para fuqaha’, adalah karena sperma pejantan tersebut tidak bisa diukur dan tidak pasti kemanfaatannya. Oleh karena itu, jual beli seperti ini dianggap termasuk dalam kategori jual beli barang yang tidak diketahui.

B. Pendapat Ulama:
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum asal jual beli sperma hewan adalah boleh dengan syarat:

  1. Sperma tersebut dapat diukur.
  2. Ada kepastian bahwa sperma tersebut dapat membuahi, serta tidak dilakukan melalui proses persetubuhan langsung (jima’), karena persetubuhan langsung menimbulkan ketidak pastian dalam jumlah dan keberhasilan pembuahan.

C. Alasan yang Membolehkan Inseminasi Buatan:

Dalam inseminasi buatan, jumlah sperma yang akan diinjeksikan sudah diketahui dan disimpan dalam botol, sehingga termasuk barang yang ma’lum (diketahui), dan sesuai dengan syarat mabi'(barang) yang boleh diperjualbelikan.

Proses ini dianggap sebagai bentuk ikhtiar manusia untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hewan ternak, terutama untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dan pangan.

Tidak merugikan bagi yang menggunakan ataupun bagi hewan: Inseminasi buatan harus dilakukan tanpa menyebabkan penderitaan atau kerugian yang tidak perlu bagi hewan. Jika prosesnya aman dan tidak menyiksa, maka secara umum diperbolehkan. Sebagaimana banyak Ulama: kontemporer, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lembaga fatwa lainnya, tidak mengharamkan inseminasi buatan selama prosedurnya dilakukan dengan cara yang benar, dan tidak menimbulkan mudharat (kerugian) yang lebih besar dari manfaatnya. Dalam konteks ini, inseminasi buatan dapat dikategorikan sebagai metode yang halal dan diperbolehkan.

D. Perspektif Maqasid Syariah

  1. Hifz al-Nafs (Menjaga Kehidupan):

Salah satu tujuan maqasid syariah adalah menjaga kehidupan dan kesejahteraan semua makhluk hidup, termasuk hewan. Inseminasi buatan yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hewan ternak serta menjaga kesehatannya sejalan dengan tujuan syariah ini. Selama prosesnya tidak menimbulkan kerugian bagi hewan, maka praktik ini bisa dianggap memenuhi tujuan maqasid untuk melindungi kehidupan.

2. Maslahah (Manfaat):

Jika inseminasi buatan memberikan manfaat yang lebih besar daripada kerugiannya, baik dari segi peningkatan produktivitas ternak, kualitas genetik, maupun manfaat ekonomi bagi peternak, maka hal ini sejalan dengan prinsip maslahah dalam maqasid syariah. Dengan kata lain, tindakan ini membawa kebaikan yang nyata bagi masyarakat dalam bentuk ketahanan pangan dan pengembangan ekonomi.

3. Adalah (Keadilan):

Dalam maqasid syariah, aspek keadilan harus ditegakkan. Proses inseminasi buatan harus dilakukan secara etis dan adil, tanpa adanya eksploitasi atau penyiksaan terhadap hewan. Keseimbangan antara kepentingan manusia dan kesejahteraan hewan harus tetap dijaga agar tidak terjadi ketidakadilan dalam perlakuan terhadap makhluk Allah.

Kesimpulan

Dari perspektif ” fiqih ” inseminasi buatan dalam ternak hewan adalah halal dan diperbolehkan selama dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, seperti tidak menyakiti hewan dan tidak mengandung unsur penipuan dalam transaksi terkait. Dari perspektif maqasid syariah, tindakan ini dianggap sah selama memberikan manfaat besar bagi masyarakat, menjaga kesejahteraan hewan, dan dilakukan dengan cara yang adil dan tidak merugikan pihak mana pun.

Oleh karena itu, inseminasi buatan dalam ternak hewan dapat diterima dalam Islam, asalkan tetap dalam batasan etika dan kepatuhan syariah.

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

خلفية الموضوع:
في الماضي، كانت المجتمعات التي تربي الأبقار تعتمد على عملية التكاثر الطبيعية، وهي تزويج الإناث من الحيوانات بالذكور بشكل مباشر. وكان هذا الأسلوب ناجحًا إلى حد ما في إنتاج النسل، ولكنه كان يعاني من بعض القيود مثل قلة التحكم في الجودة الجينية وخطر انتشار الأمراض عبر الاتصال الجسدي بين الحيوانات.

ومع مرور الزمن وتطور العلوم والتكنولوجيا، بدأت الأساليب الطبيعية للتكاثر تُستبدل بتقنيات أكثر تقدمًا، ومنها تقنية التلقيح الاصطناعي (IB). التلقيح الاصطناعي هو تقنية مساعدة للتكاثر تتم عن طريق جمع السائل المنوي من الذكور الممتازة وحقنه مباشرة في الجهاز التناسلي للإناث دون الحاجة إلى عملية التزاوج الطبيعية. تُستخدم هذه التقنية بكثرة في عالم تربية المواشي، خاصة الأبقار، بهدف تحسين جودة النسل، وزيادة الإنتاجية، والتحكم في انتشار الأمراض المعدية.

يتيح التلقيح الاصطناعي للمربين اختيار السائل المنوي من الذكور التي تمتاز بخصائص جينية فائقة، مثل النمو السريع، أو إنتاج الحليب العالي، أو مقاومة الأمراض، مما يساعد في النهاية على تحسين جودة وكمية الإنتاج الحيواني.

السؤال:
ما هو حكم التلقيح الاصطناعي الذي يُحقن في الإناث من منظور الفقه ومقاصد الشريعة؟

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

الجواب

أ. منظور الفقه الإسلامي

المنظور الفقهي:

الحكم الأساسي للتلقيح الصناعي: من منظور الفقه الذي يجب مراعاته أولاً، هو النظر إلى جانب حكم بيع وشراء نطفة الحيوان الذكر كأساس لتحديد الحكم الشرعي. وهذا يتعلق بشروط البضاعة التي يجوز بيعها وشراؤها، وكذلك النطفة نفسها. وفقًا للفقه الإسلامي، يجوز بيع وشراء البضائع وتكون المعاملة صحيحة إذا استوفت الشروط التالية:

١. أن تكون البضاعة موجودة عند إتمام العقد. لذلك، لا يصح بيع ما ليس موجودًا.
٢. أن تكون البضاعة مالاً. في هذا الصدد، يفسر علماء المالكية والشافعية أن البضاعة يجب أن تكون مفيدة ويمكن الاستفادة منها.
٣. أن تكون البضاعة تحت سيطرة الطرف الذي يقوم بالعقد. ينطبق هذا الشرط عندما يتم البيع بشكل مباشر.
٤. أن تكون البضاعة قابلة للتسليم.
٥. أن تكون البضاعة معروفة لدى الطرفين المتعاقدين.

فيما يتعلق بحكم بيع نطفة الحيوانات، يرى كثيرون أن الحكم الأصلي لبيع نطفة الحيوانات يشبه قضية “عسب الفحل”، وهو بيع استخدام الذكر الحيواني على أمل أن يقوم بتلقيح الأنثى. يعتمدون في ذلك على الحديث الذي رواه الصحابي ابن عمر رضي الله عنهما:
“نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن عسب الفحل”(رواه البخاري، الجزء الرابع، الصفحة ٤٦١).

استنادًا إلى هذا الحديث، قرروا أن بيع نطفة الحيوانات محرم. ومع ذلك، هناك نقطتان غالبًا ما يتم تجاهلهما:

١. في قضية “عسب الفحل”، هناك عملية جماع بين الذكر والأنثى.
٢. لا يمكن التأكد من أن النطفة التي يفرزها الذكر ستقوم بتلقيح الأنثى، كما أن حجم النطفة غير معروف.

ما يقصده الحديث بمنع “عسب الفحل”وفقًا للفقهاء، هو أن نطفة الذكر لا يمكن قياسها ولا يُعرف مدى فائدتها. لذلك، يعتبر هذا البيع من بيع ما هو مجهول.

ب. رأي العلماء:

من الشرح السابق، يمكن الاستنتاج أن الأصل في بيع نطفة الحيوانات هو الجواز بشرط:
١. أن تكون النطفة قابلة للقياس.
٢. أن يكون هناك تأكيد بأن النطفة ستقوم بالتلقيح، وألا يتم ذلك من خلال الجماع المباشر (الجماع)، لأن الجماع المباشر يؤدي إلى عدم اليقين في الكمية ونجاح التلقيح.

ج. أسباب جواز التلقيح الصناعي:
١. في التلقيح الصناعي، تكون كمية النطفة التي سيتم حقنها معروفة وتُخزن في زجاجة، وبالتالي تُعد من السلع المعلومة، وتتوافق مع شرط المال الذي يمكن بيعه.
٢. تعتبر هذه العملية شكلًا من أشكال اجتهاد الإنسان لتحسين جودة وكمية الحيوانات، خاصة لتلبية الاحتياجات الاقتصادية والغذائية.
٣. لا تسبب ضررًا للمستخدمين أو للحيوان: يجب أن يتم التلقيح الصناعي دون التسبب في معاناة أو ضرر غير ضروري للحيوان. إذا كانت العملية آمنة ولا تسبب تعذيبًا، فإنها تعتبر مباحة بشكل عام. كما أن العديد من العلماء المعاصرين، بمن فيهم من مجمع الفقه الإسلامي الإندونيسي (MUI) والهيئات الفقهية الأخرى، لا يحرمون التلقيح الصناعي طالما تم إجراؤه بشكل صحيح، ولم يتسبب في ضرر أكبر من الفائدة. في هذا السياق، يمكن اعتبار التلقيح الصناعي طريقة حلال ومشروعة.

د. منظور مقاصد الشريعة

١. حفظ النفس:

أحد أهداف مقاصد الشريعة هو حفظ الحياة ورفاهية جميع الكائنات الحية، بما في ذلك الحيوانات. التلقيح الصناعي الذي يتم بهدف تحسين جودة الحيوانات والحفاظ على صحتها يتماشى مع هذا الهدف. طالما أن العملية لا تسبب ضررًا للحيوان، فإن هذه الممارسة يمكن اعتبارها تلبي هدف الشريعة في حماية الحياة.

٢. المصلحة:

إذا كانت الفائدة من التلقيح الصناعي أكبر من ضرره، سواء من حيث زيادة إنتاجية الحيوانات أو تحسين جودتها الوراثية، أو من حيث الفوائد الاقتصادية للمربين، فإن ذلك يتماشى مع مبدأ المصلحة في مقاصد الشريعة. بمعنى آخر، هذه العملية تجلب الخير للمجتمع في شكل الأمن الغذائي والتنمية الاقتصادية.

٣. العدالة:

إذا كانت الفائدة من التلقيح الصناعي أكبر من ضرره، سواء من حيث زيادة إنتاجية الحيوانات أو تحسين جودتها الوراثية، أو من حيث الفوائد الاقتصادية للمربين، فإن ذلك يتماشى مع مبدأ المصلحة في مقاصد الشريعة. بمعنى آخر، هذه العملية تجلب الخير للمجتمع في شكل الأمن الغذائي والتنمية الاقتصادية.

من منظور الفقه الإسلامي، التلقيح الصناعي في الحيوانات جائز ومباح طالما تم وفقًا لمبادئ الشريعة، مثل عدم إلحاق الأذى بالحيوانات وعدم وجود عناصر الغش في المعاملات المتعلقة به. من منظور مقاصد الشريعة، يعتبر هذا الإجراء مشروعًا طالما يجلب فوائد كبيرة للمجتمع ويحافظ على رفاهية الحيوانات ويتم بطريقة عادلة ولا يضر بأي طرف.

لذلك، يمكن قبول التلقيح الصناعي في الحيوانات في الإسلام، شريطة أن يتم ضمن حدود الأخلاق والامتثال للشريعة. والله أعلم بالصواب


للتوثيق الصحيح في البحث العلمي أو الفقهي، يمكن الاستناد إلى المراجع التالية التي تحتوي على الأسس الشرعية والقواعد الفقهية التي ذكرتها:

١. صحيح البخار
الإمام محمد بن إسماعيل البخاري. كتاب صحيح البخاري. يُنصح بالرجوع إلى كتاب البيوع، باب “النهي عن عسب الفحل” الحديث رقم (ح: ٤٦١).

٢. فتاوى العلماء المعاصرين

يمكن الرجوع إلى فتاوى مجمع الفقه الإسلامي، أو فتاوى مجلس الإفتاء الأعلى أو مجلس العلماء الإندونيسي المتعلقة بالتلقيح الصناعي للحيوانات.

٣. مراجع عن مقاصد الشريعة

كتابات العلماء في مقاصد الشريعة مثل كتاب الشاطبي “الموافقات في أصول الشريعة”، أو كتابات الشيخ يوسف القرضاوي حول فقه المقاصد.

٤. مراجع عن مقاصد الشريعة

كتابات العلماء في مقاصد الشريعة مثل كتاب الشاطبي “الموافقات في أصول الشريعة”، أو كتابات الشيخ يوسف القرضاوي حول فقه المقاصد.

٥.الموسوعة الفقهية الكويتية ص٥١٤٣- ٥١٤٥
شروط البيع

١- أن يكون موجودا حين العقد فلايصح بيع المعدوم وذلك باتفاق الفقهاء
٢-  أن يكون مالا وعبر المالكية والشافعية عن هذا الشرط بلفظ النفع أو الإنتفاع  
٣- أن يكون مملوكا لمن يلي العقد وذالك إذا كان يبيع بالإصالة واعتبر الحنفية هذا الشرط من شروط الإنعقاد  
٤-  أن يكون مقدور التسليم  
٥-   أن يكون معلوما لكل من العاقدين   .

٦.   فقه السنة ص ١٥٠٧- ١٥٠٨
شروط البيع:
لابد من أن يتوافر في البيع شروط حتى يقع صحيحا، وهذه الشروط: منها ما يتصل بالعاقد، ومنها ما يتصل بالمعقود أو محل التعاقد، أي المال المقصود نقله من أحد العاقدين إلى الاخر، ثمنا أو مثمنا، أي مبيعا (١) .

شروط العاقد:
أما العاقد فيشترط فيه العقل والتمييز فلا يصح عقد المجنون ولا السكران ولا الصبي غير المميز.
فإذا كان المجنون يفيق أحيانا ويجن أحيانا كان ما عقده عند الافاقة صحيحا وما عقده حال الجنون غير صحيح.
والصبي المميز عقده صحيح، ويتوقف على إذن الولي، فإن أجازه كان معتدا به شرعا.
شروط المعقود عليه: وأما المعقود عليه فيشترط في ستة شروط:
١ – طهارة العين.
٢ – الانتفاع به.
٣ – ملكية العاقد له.
٤ – القدرة على تسليمه.
٥ – العلم به.
٦ – كون المبيع مقبوضا.

٨.المجموع شرح المهذب ص ٤٦٩١

(أَمَّا) حُكْمُ الْمَسْأَلَةِ فَقَدْ سَبَقَ فِي أَوَّلِ كِتَابِ الْبُيُوعِ أَنَّ شُرُوطَ الْبَيْعِ خَمْسَةٌ أَنْ يَكُونَ طَاهِرًا مُنْتَفَعًا بِهِ مَقْدُورًا عَلَى تَسْلِيمِهِ مَعْلُومًا مَمْلُوكًا لِمَنْ وَقَعَ الْعَقْدُ لَهُ…الخ

هذه المصادر تتناول بالتفصيل المفاهيم الفقهية والشرعية المتعلقة بالمعاملات والأخلاق الحيوانية وفقًا للفقه الإسلامي. والله تعالى أعلم بالصواب

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM