DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

HUKUM MENARIK KEMBALI PEMBERIAN YANG BERADA DIKOTAK AMAL

HUKUM MENARIK KEMBALI PEMBERIAN ( WAKAF ) YANG BERADA DIKOTAK AMAL

Assalamu’alaikum

DESKRIPSI MASALAH :

Disuatu desa ada sebuah masjid yang belum selesai di bangun , sebut saja Masjid Agung Baiturrahman. Masjid tersebut terletak di Banda Aceh, dan sampai sekarang masih membutuhkan bantuan dana, maka dalam rangka untuk mempercepat penyelesaian pembangunan masjid Baiturrahman pengurus masjid berinisiatif untuk meletakkan kotak amal disetiap rumah warga yang berada disekitar masjid tersebut, inisiatif tersebut telah disepakati bersama oleh pengurus yang nantinya akan diambil setiap bulan sedangkan salah satu petugas pengedar kotak amal berkata pada tiap-tiap penduduk

“SAYA ATAS NAMA PENGURUS MASJID MOHON BANTUAN DANA UNTUK MASJID” LETAKKAN BANTUAN DANA DI KOTAK AMAL INI”

Sebut saja Mas Bahrul, salah satu penduduk di desa tersebut Mas Bahrul merupakan salah satu penyumbang paling aktif di antara warga yang lain. Tapi suatu ketika ia dihadapkan suatu masalah, yang mana orang tua Mas Bahrul ini membutuhkan uang untuk kebutuhan hariannya. Sedangkan saat itu Mas Bahrul tidak mempunyai uang untuk diberikan kepada orang tuanya tersebut. akhirnya dengan kebingungan ia pun mengambil uang yang ada di kotak amal tersebut,dan menyerahkan kepada orang tuanya dan nantinya kalau sudah ada uang lagi dia akan memulai menyumbang seperti biasanya.(Tampa berinisiatif untuk mengembalikan uang yang telah ia ambil sebelumnya).

PERTANYAAN :
Bagaimana hukum Mas Bahrul mengambil uang yang sudah ia masukkan ke kotak amal masjid tersebut? Jika tidak boleh, bagaimana solusinya?

Jawaban:
Jika Mas Bahrul sudah meletakkan uangnya ( menghibahkan/mensedekahkan uangnya ) dikotak amal serta menyerahkannya kepada pengurus ta’mir masjid, dengan berkata:” Aku menjadikan uang ini sebagai sedekah/ wakaf untuk pembangunan masjid. Maka uang itu tidak boleh diambil lagi oleh Mas Bahrul, baik untuk keperluan pribadi atau orang tuanya karena mengambil kembali ( menarik kembali pemberian) tidak baik dan termasuk perbuatan yang hina sebagaimamana hadits berikut:

عن عبد الله بن عباس رضي الله عنهما مرفوعاً: “العائد في هِبَتِهِ، كالعائد في قَيْئِهِ”. وفي لفظ: “فإن الذى يعود في صدقته: كالكلب يَقِئ ُثم يعود في قيئه”.  
[صحيح] – [متفق عليه]



Dari Abdullah bin Abbas -raḍiyallāhu ‘anhumā- secara marfū’, “Orang yang mengambil kembali pemberiannya, bagaikan orang yang menelan kembali muntahnya.” Dalam satu redaksi, “Sesungguhnya orang yang mengambil kembali sedekahnya, laksana anjing yang muntah lalu memakan kembali muntahnya.”  
Hadis sahih – Muttafaq ‘alaih


Uraian
Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- memberikan perumpamaan dengan gambaran yang sangat buruk agar ( pendengarnya ) jera dari meminta/menarik kembali hadiah. Jadi orang yang mengambil kembali hadiah, laksana anjing yang muntah lalu menjilat kembali muntahnya kemudian memakannya. Hal ini menjadi dalil buruknya perbuatan dan hina serta rendahnya orang yang melakukannya.
Selain itu uang yang telah disedekahkan tersebut sudah bukan miliknya lagi melainkan milik masjid sesuai dengan pengertian wakaf yaitu: Bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, setelah prosedur perwakafan sempurna. Wakif tidak boleh melakukan apa pun terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan pemilik dengan cara pemiliknya kepada orang lain, baik dengan tukaran atau tidak. 
Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (penerima manfaat wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, dimana wakif tidak dapat melarang penyaluran sumbangannya tersebut. 
Apabila wakif melarangnya, maka Qadli atau pemerintah berhak memaksanya, agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Oleh karena itu, Mazhab Syafi’i mendefinisan wakaf adalah: tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus sebagai milik Allah SWT, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu kebajikan (sosial).
Dengan kata lain pengertian wakaf menurut Syafiiyah dan Hanabilah wakaf adalah menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan tetap kekalnya dzat harta itu sendiri dan  mantasharrufkan kemanfaatannya di jalan kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

PERTIMBANGAN
Jika masjid lebih membutuhkan dari pada dirinya untuk orang tuanya maka Bahrul tidak boleh menggunakan nya, Solusinya Bahrul pinjam Kepada orang lain. Akan tetapi jika lebih dibutuhkan oleh dirinya dari pada masjid karena faktor mendesak maka ” SOLUSI nya adalah.

  1. Pinjam dengan pemberitahuan kepada Takmir Masjid bukan dengan cara mengambilnya lalu tidak dikembalikan lagi, karena uang tersebut sudah milik masjid yang mana tidak boleh diambil kembali kecuali dengan ridhanya ( seidzin pengurusnya). لا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ “ Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridho pemiliknya” (HR. Ahmad 5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi).
  2. Jika Barul sendiri sebagai Takmir maka dia pemberitahuan kepada pengurus yang lainnya ( bendahara/sekretarisnya dll.),karena masjid didalamnya terdapat organisasi yang dibuat susunan kepengurusan dan aturan serta tugas dengan mengacu pada sebuah hadits:

الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ وَالصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ

“Muslim itu terikat dengan persyaratan (yang dibuat oleh) mereka. Mengadakan perjanjian adalah diperbolehkan antara sesama muslim”.(HR. Hakim).

Referensi:

تحذيب الأسماء واللغات ج٤ص١٩٤

ﺣﺒﺲ ﻣﺎﻝ ﻳﻤﻜﻦ ﺍﻻﻧﺘﻔﺎﻉ ﺑﻪ ﻣﻊ ﺑﻘﺎﺀ ﻋﻴﻨﻪ ﺑﻘﻄﻊ ﺍﻟﺘﺼﺮﻑ ﻓﻲ ﺭﻗﺒﺘﻪ ﻭﺗﺼﺮﻑ ﻣﻨﺎﻓﻌﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺒﺮ ﺗﻘﺮﺑﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ


Referensi.


كفاية الأخيار فى حل غاية الإختصار، سورابايا-دار العلم، ج، ١، ص. ٢٥٦
 وَحَدُّهُ فِي الشَّرْعِ حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ الْإِنْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ مَمْنُوعٌ مِنَ التَّصَرُّفِ فِي عَيْنِهِ وَتَصَرُّفُ مَنَافِعِهِ فِي الْبِرِّ تَقَرُّبًا إِلَى اللهِ – تقي الدين أبي بكر بن محمد الحسيني الحصني الدمشقي الشافعي،

WAKAF DENGAN UANG

Persoalannya bagaimana dengan wakaf uang sebagaimana Bahrul meletakkan uang kekotak Amal ? Dalam kasus ini ulama dikalangan madzhab Syafi’i berbeda pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa bahwa wakaf uang (waqf an-nuqud) secara mutlak tidak diperbolehkan.

وَأَمَّا وَقْفُ مَا لَا يُنْتَفَعُ بِهِ إلَّا بِالْإِتْلَافِ كَالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْمَأْكُولِ وَالْمَشْرُوبِ فَغَيْرُ جَائِزٍ فِي قَوْلِ عَامَّةِ الْفُقَهَاءِ ، وَالْمُرَادُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيرُ وَمَا لَيْسَ بِحُلِيٍّ  -الشيخ نظام وجماعة من علماء الهند، الفتاوى الهندية، بيروت-دار الفكر، ج، 2، ص. 362


“Adapun wakaf sesuatu yang tidak bisa diambil manfaatnya kecuali dengan melenyapkannya seperti emas, perak, makanan, dan minuman maka tidak boleh menurut mayoritas fuqaha. Yang dimaksud dengan emas dan perak adalah dinar dan dirham dan yang bukan dijadikan perhiasan”. (Syaikh Nizham dan para ulama India, al-Fatawa al-Hindiyah, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 2, h. 362)
Sedang pendapat kedua menyatakan bahwa wakaf uang diperbolehkan. Hal ini sebagaimana pandangan Ibnu Syihab az-Zuhri yang memperbolehkan wakaf dinar sebagaimana dinukil al-Bukhari.

وَقَدْ نُسِبَ الْقَوْلُ بِصِحَّةِ وَقْفِ الدَّنَانِيرِ إِلَى إبْنِ شِهَابٍ الزُّهْرِيِّ فِيمَا نَقَلَهُ الْإِمَامُ مُحَمَّدُ بْنُ إِسَمَاعِيلَ البُخَارِيُّ فِى صَحِيحِهِ حَيْثُ قَالَ: قَالَ الزُّهْرِيُّ: فِيْمَنْ جَعَلَ أَلْفَ دِينَارٍ فِى سَبِيلِ اللهِ وَدَفَعَهَا إِلَى غُلَامٍ لَهُ تَاجِرٍ فَيَتَّجِرُ وَجَعَلَ رِبْحَهُ صَدَقَةً لِلْمَسَاكِينِ وَالْأَقْرَبِينَ وَهَلْ لِلرَّجُلِ اَنْ يَأْكُلَ مِنْ رِبْحِ تِلْكَ الْأَلَفِ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ جَعَلَ رِبْحَهَا صَدَقَةً لِلْمَسَاكِينِ قَالَ لَيْسَ لَهُ اَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا-  ابو سعود محمد بن محمد مصطفى العمادي الأفندي الحنفي، رسالة فى جواز وفق النقود، بيروت-دار ابن حزم، الطبعة الأولى،
1417هـ/1997م، ص. 20-21)

“Telah dinisbatkan pendapat yang mensahkan wakaf dinar kepada Ibnu Syihab az-Zuhri dalam riwayat yang telah dinukil Imam Muhammad bin Isma’il al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Ia berkata, Ibnu Syihab az-Zuhri berkata mengenai seseorang yang menjadikan seribu dinar di jalan Allah (mewakafkan). Ia pun memberikan uang tersebut kepada budak laki-lakinya yang menjadi pedagang. Maka si budak pun mengelola uang tersebut untuk berdagang dan menjadikan keuntungannya sebagai sedekah kepada orang-orang miskin dan kerabat dekatnya. Lantas, apakah lelaki tersebut boleh memakan dari keuntungan seribu dinar tersebut jika ia tidak menjadikan keuntungannya sebagai sedekah kepada orang-orang miksin? Ibnu Syihab az-Zuhri berkata, ia tidak boleh memakan keuntungan dari seribu dinar tersebut” (Abu Su’ud Muhammad bin Muhammad Mushthafa al-‘Imadi al-Afandi al-Hanafi, Risalah fi Jawazi Waqf an-Nuqud, Bairut-Dar Ibn Hazm, cet ke-1, 1417 H/1997 M, h. 20-21).

Adapun cara kebolehan uang tunai bisa diwakafkan adalah bahwa hendaknya uang ditempatkan selayaknya, ain atau barang yang bisa disewakan.
Khilaf ini, sebagaimana telah disinngung oleh Iman Abu Ishaq az-Zirazi dalam kitabnya ,

إختلف أصحابنا فى الد راهيم والدنانير فإن أجاز إجارتها أجاز وقفها ومن لم يجز إجارتها لم يجز وقفها


Para Ash-Habus-Syafi’iy berbeda pendapat tentang dinar dan dirham, apabila keduanya bisa disewakan maka boleh dan sah diwakafkan, sebaliknya apabila keduanya tidak bisa disewakan maka tidak boleh dan tidak sah untuk diwakafkan. ( Abu Ishaq Az-Zirazi: Al-Muhadzzab fiy Fiqhil Imam As-Syafi’i Bairud : juz : 2: hal : 323)
Berdasar hal ini, maka uang ditempatkan posisinya layaknya perhiasan atau ( huliyyin) yang bisa diambil manfaatnya untuk dijadikan hiasan sehingga Usulnya bisa ditahbis ( ditahan ).
Contoh keterangan tentang Wakaf sebagai berikut:

Referensi:

Menurut pendapat yang ashoh,Ketika waqif(orang yang  mewaqofkan)itu berkata:

وقفت هذه الاءرض مسجدا

(waqoftu haadhihil ardho masjidan),
(aku mewaqofkan tanah ini sebagai masjid)
maka pada saat itu,tanah itu(dan bangunan masjid yang ada diatas tanah itu)dihukumi sebagai masjid.Walaupun dengan tanpa niat  mewaqofkan dari waqif(orang yang mewaqofkan).

Referensi:

:شروانى ج ٦ص٢٥١

والأصح وإن نازع فيه الأسنوى وغيره، أن قوله: جعلت البقعة مسجدا من غير نية صريح فحينئذ تصير به مسجدا وإن بات بلفظ مما مر لأن المسجد لايكون إلا وقفا .

……………………

[الأنصاري، زكريا ,أسنى المطالب في شرح روض الطالب ,٢/٤٦٢]
(فَرْعٌ)

لَوْ (قَالَ جَعَلْت هَذَا الْمَكَانَ مَسْجِدًا صَارَ) بِهِ (مَسْجِدًا وَلَوْ لَمْ يَقُلْ لِلَّهِ) وَلَمْ يَأْتِ بِشَيْءٍ مِنْ الْأَلْفَاظِ الْمُتَقَدِّمَةِ لِإِشْعَارِهِ بِالْمَقْصُودِ وَاشْتِهَارِهِ فِيهِ
…………………..

.
بغية المسترشدين ص ٦٤

مسالة ي :  اشترى بيتا ووقفه مسجدا صح واعطي حكمه الخ..


……………………
Tanah yg diwakafkan jadi masjid hukumnya langsung jadi masjid sejak diwakafkan tanah tersebut.

الخطيب الشربيني، مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج، ٥٣٤/٣]

(وَ)

الْأَصَحُّ (أَنَّ قَوْلَهُ جَعَلْت) هَذِهِ (الْبُقْعَةَ مَسْجِدًا) وَإِنْ لَمْ يَقُلْ لِلَّهِ (تَصِيرُ بِهِ) أَيْ بِمُجَرَّدِ هَذَا اللَّفْظِ (مَسْجِدًا) ؛ لِأَنَّ الْمَسْجِدَ لَا يَكُونُ إلَّا وَقْفًا فَأَغْنَى لَفْظُهُ عَنْ لَفْظِ الْوَقْفِ وَنَحْوِهِ،
والله تعالى أعلم بالصواب…………

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM