
*HUKUMNYA TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE ( PEMESAN BARANG AKAD SALAM ) MELALUI TOKOPEDIA*
Deskripsi Masalah :
Tokopedia merupakan salah satu situs penyedia jasa jual beli barang yang sedang ramai dinikmati banyak orang.
Tokopedia hanya sebagai perantara bagi orang yang ingin menjual suatu barang atau ingin mencari barang yang hendak di beli.
Prakteknya jika ada seseorang ingin memajang barangnya guna dijual, dia hanya cukup mengunggah foto, harga, deskripsi barang beserta kontak yang bisa dihubungi.
Setelah diunggah maka setiap orang yang melihatnya di situs Tokopedia akan tahu bahwa barang tersebut dijual.
Kemudian jika ada orang yang ingin membeli, dia harus mentransfer sejumlah uang sesuai harga yang tertera kepihak Tokopedia, kemudian pihak Tokopedia mengkonfirmasi pemilik barang agar mengirimkan barangnya ke orang yang mentransfer tadi.
Dan setelah barang sampai di tangan pembeli pihak TOKOPEDIA mentransfer uang tadi ke pemilik barang yang awal.
Yang mungkin perlu dicermati adalah seluruh rangkaian itu hanya cukup dengan mengetuk-ngetuk layar HP, tanpa ada transaksi secara langsung (sighot).
Pertanyaan :
- Sahkah transaksi tersebut ?
- Jika tidak sah , bagaimana solusinya?
Jawaban : No1
- Bila gambar mabi’ (barang yang dijual) yang ditampilkan dalam Tokopedia adalah : ainul Mabii’ (sejatinya barang), maka termasuk transaksi : Bai’ Ainul Ghoibah (menjual barang yang tidak tampak) dan hukumnya khilaf (menurut qoul jadid “tidak sah”, sedangkan menurut qoul qodim dan aimmah tsalasah (imam Malik,imam Abu Hanifah,dan imam Ahmad)hukumnya “sah” dengan catatan adanya khiyar ru’yah/pembeli bisa memilih dengan cara pembeli bisa melihat kepada barang yang dijual).
- Bila gambar mabi’ (barang yang dijual)yang ditampilkan yang dalam Tokopedia adalah tidak Ainul mabii’(bukan barang yang akan dijual),maka termasuk akad bai syain maushufin fi dimmah (membeli terhadap barang yang dipesan)dengan memandang lafadz akad, atau termasuk akad salam jika kita memandang ma’nanya.
Adapun hukum akad keduanya adalah “tidak sah”, karena ta’yinus tsaman(menentukan terhadap harga)atau qobdus saman fi majilisil aqd(menerima terhadap harga di tempatnya akad pemesanan barang /akad salam)tidak ada.
SOLUSINYA
- Mengikuti madzab Maliky yang memperbolehkan qobdus tsaman (menerima terhadap harganya barang)sampai 3 hari.
- Atau menggunakan konsep “al- akhdzu bi dhonni ridho’(artinya : orang yang memesan barang itu mengambil terhadap barangnya orang yang dipesani barang, dalam keadaan orang yang memesan barang itu menyangka terhadap ridhonya orang yang dipesani barang,sama saja orang yang dipesani barang itu hadir atau jauh/sedang tidak ada)’.
- Atau pembeli menghubungi pihak penjual untuk melakukan akad baru setelah barang yang di beli sudah di terima.
Jawaban .No 2
Jawaban dari pertanyaan yang nomer 2 adalah sama dengan jawaban dari pertanyaan yang nomer 1.
Referensi :
تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج٤/ ص ٤١٦)
( وَمَتَى كَانَ الْعِوَضُ ) الثَّمَنُ أَوْ الْمُثَمَّنُ ( مُعَيَّنًا ) أَيْ مُشَاهَدًا ( كَفَتْ مُعَايَنَتُهُ ) ، وَإِنْ جَهِلَا قَدْرَهُ ؛ لِأَنَّ مِنْ شَأْنِهِ أَنْ يُحِيطَ التَّخْمِينُ بِهِ نَعَمْ يُكْرَهُ بَيْعُ مَجْهُولِ نَحْوُ الْكَيْلِ جُزَافًا ؛ لِأَنَّهُ يُوقِعُ فِي النَّدَمِ لِتَرَاكُمِ الصُّبَرِ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ غَالِبًا لَا الْمَذْرُوعِ ؛ لِأَنَّهُ لَا تَرَاكُمَ فِيهِ .( وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ ) فِي غَيْرِ نَحْوِ الْفُقَّاعِ كَمَا مَرَّ ( بَيْعُ الْغَائِبِ ) الثَّمَنِ أَوْ الْمُثَمَّنِ بِأَنْ لَمْ يَرَهُ أَحَدُ الْعَاقِدَيْنِ ، وَإِنْ كَانَ حَاضِرًا فِي مَجْلِسِ الْبَيْعِ وَبَالِغًا فِي وَصْفِهِ أَوْ سَمْعِهِ بِطَرِيقِ التَّوَاتُرِ كَمَا يَأْتِي أَوْ رَآهُ لَيْلًا وَلَوْ فِي ضَوْءِ إنْ سَتَرَ الضَّوْءُ لَوْنَهُ كَوَرِقٍ أَبْيَضَ فِيمَا يَظْهَرُ فَإِنْ قُلْت صَرَّحَ ابْنُ الصَّلَاحِ بِأَنَّ الرُّؤْيَةَ الْعُرْفِيَّةَ كَافِيَةٌ ، وَهَذَا مِنْهَا وَعِبَارَتُهُ لَوْ طَلَبَ الردَّ بِعَيْبٍ فِي عُضْوٍ ظَاهِرٍ قَالَ لَمْ أَرَهُ إلَّا الْآنَ فَلَهُ الرَّدُّ ؛ لِأَنَّ رُؤْيَةَ الْمَبِيعِ لَا يُشْتَرَطُ فِيهَا التَّحَقُّقُ بَلْ تَكْفِي الرُّؤْيَةُ الْعُرْفِيَّةُ قُلْت لَيْسَ الْعُرْفُ الْمُطَّرِدُ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ كَلَامَهُ
مُقَيَّدٌ بِمَا إذَا لَمْ يَكُنْ الْعَيْبُ ظَاهِرًا بِحَيْثُ يَرَاهُ كُلُّ مَنْ يَنْظُرُ إلَى الْمَبِيعِ وَحِينَئِذٍ
فالمراد بالرؤية الْعُرْفِيَّةِ هِيَ مَا يَظْهَرُ لِلنَّاظِرِ مِنْ غَيْرِ مَزِيدِ تَأَمُّلٍ وَرُؤْيَةُ نَحْوِ الْوَرِقِ لَيْلًا فِي ضَوْءٍ يَسْتُرُ مَعْرِفَةَ بَيَاضِهِ لَيْسَتْ كَذَلِكَ أَوْ مِنْ وَرَاءِ نَحْوِ زُجَاجٍ وَكَذَا مَاءٍ صَافٍ إلَّا الْأَرْضَ
وَالسَّمَكَ ؛ لِأَنَّ بِهِ صَلَاحَهُمَا وَصَحَّتْ إجَارَةُ أَرْضٍ مَسْتُورَةٍ بِمَاءٍ وَلَوْ كَدِرًا ؛ لِأَنَّهَا أَوْسَعُ لِقَبُولِهَا التَّأْقِيتَ وَوُرُودِهَا عَلَى مُجَرَّدِ الْمَنْفَعَةِ وَذَلِكَ لِلنَّهْيِ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ وَلِأَنَّ الرُّؤْيَةَ تُفِيدُ مَا لَمْ تُفِدْهُ الْعِبَارَةُ كَمَا يَأْتِي .( وَالثَّانِي ) وَبِهِ قَالَ الْأَئِمَّةُ الثَّلَاثَةُ ( يَصِحُّ )
الْبَيْعُ إنْ ذُكِرَ جِنْسُهُ ، وَإِنْ لَمْ يَرَيَاهُ (
وَيَثْبُتُ لْخِيَارُ ) لِلْمُشْتَرِي وَكَذَا الْبَائِعِ عَلَى خِلَافٍ فِيهِ ( عِنْدَ الرُّؤْيَةِ ) لِحَدِيثٍ فِيهِ ضَعِيفٍ بَلْ قَالَ الدَّارَقُطْنِيّ بَاطِلٌ وَكَالْبَيْعِ الصُّلْحُ وَالْإِجَارَةُ وَالرَّهْنُ وَالْهِبَةُ وَنَحْوُهَا بِخِلَافِ نَحْوِ الْوَقْفِ . وَ ) عَلَى الْأَظْهَرِ ( تَكْفِي ) فِي صِحَّةِ الْبَيْعِ ( الرُّؤْيَةُ قَبْلَ الْعَقْدِ فِيمَا لَا ) يُظَنُّ أَنَّهُ ( يَتَغَيَّرُ غَالِبًا إلَى وَقْتِ الْعَقْدِ.
Terjemah Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj (Juz 4, Halaman 416):
(Dan kapan saja ‘iwadh), yaitu harga atau barang yang dijadikan sebagai pengganti (ditentukan), yaitu dilihat secara langsung, (maka cukup dengan melihatnya) meskipun keduanya (penjual dan pembeli) tidak mengetahui ukurannya, karena biasanya dapat diperkirakan dengan taksiran.
Ya, makruh menjual sesuatu yang tidak diketahui seperti takaran secara sembarangan (jusafan), karena hal itu dapat menyebabkan penyesalan akibat tumpukan benda yang bertumpuk satu di atas lainnya. Berbeda dengan benda yang ditakar dengan cara ditanam (mazru’), karena tidak ada penumpukan di dalamnya.
(Dan pendapat yang lebih kuat adalah bahwa tidak sah)—kecuali dalam kasus tertentu seperti minuman beralkohol ringan (fuqqa’) sebagaimana telah disebutkan sebelumnya—(menjual barang yang tidak terlihat), baik harga maupun barang yang diperjualbelikan, dalam keadaan salah satu pihak dari dua orang yang melakukan akad tidak melihatnya.
Meskipun barang tersebut ada di majelis akad dan deskripsi tentangnya sudah sangat jelas atau telah didengar dengan cara mutawatir sebagaimana akan dijelaskan, atau telah melihatnya pada malam hari, meskipun dalam cahaya yang menutupi warnanya seperti kertas putih yang terkena cahaya, sebagaimana yang tampak.
Jika dikatakan bahwa Ibnus Shalah secara eksplisit menyebutkan bahwa cukup dengan ru’yah ‘urfiyyah (penglihatan secara umum sesuai kebiasaan), dan ini termasuk di dalamnya. Lafaznya: “Jika seseorang meminta pengembalian karena ada cacat pada bagian tubuh yang tampak, lalu ia berkata, ‘Saya baru melihatnya sekarang,’ maka ia berhak mengembalikan barang tersebut, karena syarat melihat barang dagangan tidak harus melihat dengan kepastian, tetapi cukup dengan penglihatan secara umum.”
Aku (pengarang) berkata: “Kebiasaan yang berlaku tidak demikian.” Selain itu, perkataan Ibnus Shalah tersebut dibatasi dalam kondisi di mana cacatnya tidak tampak sehingga setiap orang yang melihat barang tersebut dapat mengetahuinya.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ru’yah ‘urfiyyah adalah apa yang terlihat oleh pengamat tanpa perlu mengamati lebih dalam. Adapun melihat kertas pada malam hari dalam cahaya yang menutupi warna putihnya, itu tidak termasuk ru’yah ‘urfiyyah. Begitu juga jika melihatnya dari balik kaca atau air jernih, kecuali untuk tanah dan ikan, karena keduanya tetap terlihat dengan baik, sebagaimana diperbolehkannya menyewa tanah yang tertutup air meskipun keruh, karena tanah memiliki fleksibilitas dalam penerimaan waktu penyewaan dan sifat akadnya yang berdasarkan manfaat semata.
Ini semua berdasarkan larangan menjual sesuatu yang mengandung unsur gharar (ketidakjelasan). Selain itu, penglihatan lebih memberikan kejelasan dibandingkan sekadar deskripsi, sebagaimana akan dijelaskan nanti.
(Pendapat kedua), yang diikuti oleh tiga imam madzhab (Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad), menyatakan bahwa jual beli sah jika jenis barang telah disebutkan, meskipun keduanya belum melihatnya, (dan pembeli memiliki hak khiyar)—dan juga penjual menurut pendapat yang berbeda—(saat melihat barangnya), berdasarkan hadits yang dhaif, bahkan menurut Ad-Daruquthni hadits tersebut dianggap batil.
Hal ini juga berlaku untuk akad selain jual beli, seperti akad damai (shulh), sewa-menyewa (ijarah), gadai (rahn), hibah, dan lainnya, kecuali wakaf yang tidak termasuk dalam kategori ini.
(Menurut pendapat yang lebih kuat), cukup dengan (melihat sebelum akad) dalam jual beli yang barangnya (tidak diharapkan mengalami perubahan besar) sampai waktu akad berlangsung.
الفقه على المذاهب الأربعة – (ج ٢ / ص ١٥٥)
( الشافعية – قالوا : لا يصح بيع الغائب عند رؤية العاقدين أو أحدهما سواء كان المبيع غائبا عن مجلس العقد رأسا أو موجودا به ولكنه مستتر لم يظهر لهما ولا فرق في ذلك بين أن يوصف بصفة تبين جنسه كأن يقول : بعتك إردبا من القمح الهندي أو القمح البلدي أو لا كأن يقول : بعتك إردبا من القمح ولم يذكر أنه هندي أو بلدي فإنه ما دام غائبا عن رؤيتهما فإن بيعه لا يصح عل أي حال وهذا القول هو الأظهر عندهم . وهناك قول آخر خلاف الأظهر وهو أن يصح بيع الغائب إن علم جنسه بوصف يبينه كما في المثال الأول والقول الثاني موافق لما ذهب إليه الأئمة الثلاثة من صحة بيع الغائب المعلوم جنسه بالوصف على أن يكون للمشتري الخيار في رده عند رؤيته كما ستعرفه من التفصيل الآتي.
(Mazhab Syafi’i) – Mereka berpendapat bahwa tidak sah menjual barang yang tidak terlihat oleh kedua belah pihak yang berakad atau salah satunya, baik barang tersebut benar-benar tidak hadir dalam majelis akad maupun berada di majelis tetapi tertutup sehingga tidak dapat terlihat. Tidak ada perbedaan dalam hal ini antara barang yang dijelaskan sifatnya secara spesifik, seperti mengatakan: “Saya menjual kepadamu satu irdab gandum India atau gandum lokal”, atau tidak disebutkan secara spesifik, seperti mengatakan: “Saya menjual kepadamu satu irdab gandum”, tanpa menyebutkan apakah itu gandum India atau lokal. Selama barang tersebut tidak terlihat oleh kedua belah pihak, maka akad jual beli tidak sah dalam kondisi apa pun.
Pendapat ini merupakan pendapat yang lebih kuat menurut mereka. Namun, ada pendapat lain yang berbeda dari pendapat yang lebih kuat ini, yaitu bahwa jual beli barang yang tidak terlihat tetap sah jika jenisnya telah diketahui melalui deskripsi yang menjelaskannya, sebagaimana dalam contoh pertama. Pendapat kedua ini sesuai dengan pendapat tiga imam mazhab lainnya (Hanafi, Maliki, dan Hanbali), yang membolehkan jual beli barang yang tidak terlihat asalkan jenisnya diketahui melalui deskripsi. Namun, pembeli memiliki hak untuk membatalkan akad ketika melihat barangnya, sebagaimana akan dijelaskan dalam perincian berikutnya.
حاشية الجمل – (ج ٣ / ص ٤٩١)
( قَوْلُهُ : لِأَنَّهُ بِلَفْظِ الْبَيْعِ بَيْعٌ إلَخْ ) هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ وَيَنْبَنِي عَلَيْهِ أَنَّهُ تَصِحُّ الْحَوَالَةُ بِهِ وَعَلَيْهِ وَلَا يُشْتَرَطُ قَبْضُ الثَّمَنِ فِي الْمَجْلِسِ ، وَإِنْ كَانَ يُشْتَرَطُ تَعْيِينُهُ فِيهِ وَيَصِحُّ الِاسْتِبْدَالُ عَنْهُ وَيَدْخُلُهُ خِيَارُ الشَّرْطِ ، وَأَمَّا عَلَى الضَّعِيفِ فَلَا يَجْرِي فِيهِ وَاحِدٌ مِنْ هَذِهِ الْأَرْبَعَةِ .ا هـ .شَيْخُنَا وَفِي ق ل عَلَى الْجَلَالِ الْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ إنْ وَقَعَ بِلَفْظِ الْبَيْعِ كَانَ بَيْعًا اعْتِبَارًا بِاللَّفْظِ ، وَالْأَحْكَامُ فِيهِ تَابِعَةٌ لِلَّفْظِ فَلَا يُشْتَرَطُ قَبْضُ ثَمَنِهِ فِي الْمَجْلِسِ وَيَصِحُّ الِاعْتِيَاضُ عَنْهُ ، وَتَكْفِي الْحَوَالَةُ بِهِ وَعَلَيْهِ ، وَيَقْبِضُ بِعِتْقِهِ لَوْ كَانَ رَقِيقًا وَبِالْوَضْعِ بَيْنَ يَدَيْهِ وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْأَحْكَامِ نَعَمْ لَا بُدَّ مِنْ تَعْيِينِهِ أَوْ تَعْيِينِ مُقَابِلِهِ فِي الْمَجْلِسِ لِيَخْرُجَ عَنْ بَيْعِ الدَّيْنِ وَتَقَدَّمَ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ الِاعْتِيَاضُ عَنْ الْمَبِيعِ فِي الذِّمَّةِ وَلَوْ غَيْرَ مُسْلَمٍ فِيهِ ، وَمَا فِي الْمَنْهَجِ هُنَا مِنْ الِاضْطِرَابِ وَالتَّرْجِيحِ مِمَّا يُخَالِفُ مَا ذُكِرَ غَيْرُ مُعْتَمَدٍ اهـ.
Hasyiyah al-Jamal (Juz 3 / Halaman 491)
(Perkataan beliau: “Karena dengan lafaz jual beli, maka itu adalah jual beli, dll.”)
Pendapat ini adalah yang dipegang sebagai pendapat kuat (mu’tamad). Berdasarkan pendapat ini, diperbolehkan melakukan hawalah (pengalihan utang) dengan transaksi tersebut, baik dalam bentuk pengalihan kepada orang lain maupun dalam bentuk menerima pengalihan tersebut. Selain itu, tidak disyaratkan adanya penerimaan langsung harga di majelis akad. Namun, diperlukan adanya penentuan (ta’yin) dalam majelis akad. Juga, diperbolehkan adanya penggantian (istibdal) atasnya serta dapat dimasukkan syarat khiyar (hak pembatalan dalam jangka waktu tertentu).
Adapun menurut pendapat yang lemah (dha’if), maka tidak berlaku satupun dari keempat hukum di atas.
Pendapat ini juga ditegaskan dalam Qalyubi terhadap al-Jalal, bahwa pendapat yang mu’tamad adalah:
- Jika suatu transaksi dilakukan dengan lafaz jual beli, maka ia dihukumi sebagai jual beli, karena pertimbangan lafaz yang digunakan.
- Segala hukumnya mengikuti lafaznya, sehingga tidak disyaratkan penerimaan langsung harga di majelis akad, diperbolehkan menggantinya (i’tiyadh), cukup dengan pengalihan utang (hawalah), dan jika objek jual belinya adalah seorang budak, maka kepemilikan atasnya bisa diperoleh dengan membebaskannya.
- Penyerahan juga bisa dilakukan dengan meletakkan barang tersebut di hadapan pembeli, serta berbagai ketentuan lainnya.
Namun, wajib ada penentuan (ta’yin) barang atau harga penggantinya dalam majelis akad agar tidak termasuk dalam kategori jual beli utang.
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa tidak sah mengganti barang yang masih dalam tanggungan (dzimmah), meskipun bukan dalam bentuk salam (jual beli pesanan berjangka). Apa yang terdapat dalam kitab al-Minhaj berupa pertentangan dan tarjih yang menyelisihi pendapat ini tidak dianggap sebagai pendapat yang kuat (ghayru mu’tamad).
حاشية الشرقاوي (ج ٢- صـ ١٧)
والعين التي في الذمة يصح بيعها بذكرها مع جنسها وصفتها كعبد حبشي خماشي مع بقية الصفات التي تذكر في السلم وعد هذا بيعا لاسلما مع انها اي العين في الذمة اعتبارا بلفظه فلا يشترط فيه تسليم الثمن قبل التفرق الا ان يكون ذلك في ربوين فيشترط فيه التقابض قبله كما في العين الحاضرة وهذا ان لم يذكر مع ذلك لفظ السلم فان ذكر كأن قال بعتك كذا سلما او اشتريت منك سلما وعلى كون ذلك بيعا يشترط تعيين احد العوضين في المجلس والا يصير بيع دين بدين وهو باطل (قوله فلا يشترط) تفريع على كونه بيعا بل يشترط التعيين فقط على ما سيأتي ويتفرع عليه ايضا صحة الحوالة به وعليه والاستبدال عنه بخلافه على كونه فانه يشترط تسليم الثمن قبل التفرق ولا يصح فيه شيئ مما ذكر- الى ان قال- (قوله يشترط تعيين احد العوضين) اي غير ربوين ولا يشترط قبضه في لمجلس لان التعيين بمنزلة القبض لصيرورة المعين حالا لايدخله اجل ابدا.
Terjemahan:
Barang yang ada dalam tanggungan (dzimmah) sah dijual dengan menyebutnya bersama jenis dan sifatnya, seperti “seorang budak Habsyi yang bertubuh kecil,” beserta sifat-sifat lainnya yang biasa disebut dalam akad salam. Penjualan ini dianggap sebagai jual beli, bukan akad salam, meskipun barang tersebut masih dalam tanggungan, karena yang diperhitungkan adalah lafaznya. Oleh karena itu, tidak disyaratkan penyerahan pembayaran sebelum berpisah (majlis akad), kecuali jika transaksi itu melibatkan dua barang ribawi, maka disyaratkan serah terima (taqabudh) sebelum berpisah, sebagaimana halnya barang yang ada secara fisik.
Hal ini berlaku selama tidak disebutkan secara eksplisit lafaz “salam.” Namun, jika lafaz “salam” disebutkan, seperti dengan mengatakan: “Aku menjual kepadamu barang ini secara salam” atau “Aku membelinya darimu secara salam,” maka dalam kondisi tersebut akad dianggap sebagai akad salam. Dan berdasarkan anggapan bahwa akad ini adalah jual beli, disyaratkan agar salah satu dari dua pengganti (al-‘iwadhain) ditentukan dalam majlis akad. Jika tidak, maka akan menjadi transaksi jual beli utang dengan utang (bai‘ ad-dayn bid-dayn), yang hukumnya batal.
(Lafaz “falaa yusytarathu”) – “Maka tidak disyaratkan” – merupakan cabang dari anggapan bahwa akad ini adalah jual beli, sehingga yang disyaratkan hanyalah penentuan (ta‘yin) saja, sebagaimana akan dijelaskan nanti. Dari sini juga bercabang keabsahan pengalihan utang (hawalah) dengannya atau atasnya, serta kebolehan penggantian barang tersebut dengan barang lain. Berbeda halnya jika akad ini dianggap sebagai akad salam, maka dalam hal ini disyaratkan penyerahan pembayaran sebelum berpisah, dan tidak sah dilakukan salah satu dari hal-hal yang disebutkan sebelumnya.
Kemudian beliau berkata:
(Lafaz “yusytarathu ta‘yiinu ahadi al-‘iwadhain”) – “Disyaratkan penentuan salah satu dari dua pengganti (barang atau harga)” – yakni selain barang ribawi. Namun, tidak disyaratkan untuk menyerahkannya dalam majlis akad, karena penentuan (ta‘yin) itu sudah dianggap sebagai serah terima (qabd), sehingga barang yang telah ditentukan itu menjadi statusnya seperti barang yang sudah ada (hadir) dan tidak bisa lagi dimasukkan dalam tempo (ajal) selamanya.
الشرقاوى على التحرير الجزء ٢ صحـ ١٦- ١٧
(وَ)الْعَيْنُ(اَلَّتِي فِى الذِّمَّةِ يَصِحُّ بَيْعُهَا بِذِكْرِهَا مَعَ جِنْسِهَا وَصِفَتِهَا كَعَبْدِ حَبَشِيٍّ خمُاَشِيّ) مَعَ بَقِيَّةِ الصِّفَاتِ الَّتِي تُذْكَرُ فِى السَّلَمِ (وَعُدَّ) هَذَا (بَيْعًا لا سَلَمًا مَعَ أَنَّهَا) أَىْ الْعَيْنَ (فِى الذِّمَّةِ إِعْتِبَارًا بِلَفْظِهِ فَلا
يُشْتَرَطُ فِيْهِ تَسْلِيْمُ الثَّمَنِ قَبْلَ التَّفَرُّقِ) إِلا أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ فِى رِبَوَيِيْنَ فَيُشْتَرَطُ فِيْهِ التَّقَابُضِ قَبْلَهُ كَمَا فِى الْعَيْنِ الْحَاضِرَةِ وَهَذَا إِذَا لْمَ يُذْكَرْ مَعَ ذَلِكَ لَفْظُ السَّلَمِ فَإِنْ ذُكِرَ كَأَنْ قَالَ بِعْتُكَ كَذَا سَلَمًا أَوْ إِشْتَرَيْتُهُ مِنْكَ سَلَمًا وَعَلَى كَوْنِ ذَلِكَ بَيْعًا يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُ أَحَدِ الْعِوَضَيْنِ فِى الْمَجْلِسِ وَإِلا يَصِيْرُ بَيْعَ دَيْنٍ بِدَيْنٍ وَهُوَ بَاطِلٌ (قَوْلُهُ فَلا يُشْتَرَطُ) تَفْرِيْعٌ عَلَى كَوْنِهِ بَيْعًا أَىْ بَلْ يُشْتَرَطُ التَّعْيِيْنَ فَقَطْ عَلَى مَا سَيَأْتِى وَيَتَفَرَّعُ عَلَيْهِ أَيْضًا صِحَّةَ الْحِوَالَةِ بِهِ وَعَلَيْهِ وَالإِسْتِبْدَالِ عَنْهُ بِخَلافِهِ عَلَى كَوْنِهِ سَلَمًا فَإِنَّهُ يُشْتَرَطُ تَسَلِيْمُ الثَّمَنِ قَبْلَ التَّفَرُّقِ وَلا يَصِحُّ فِيْهِ شَيْئٌ مِمَّا ذُكْرَ – إِلَى أْنَ قَالَ – (قَوْلُهُ يُشْتَرَطُ تَعْيِيْنُ أَحَدِ الْعِوَضَيْنِ) أَىْ الْغَيْرِ الرِّبَوِيِيْنَ أَىْ وَلا يُشْتَرَطُ قَبْضُهُ فِى الْمَجْلِسِ لانَّ التَّعْيِيْنَ بِمَنْزِلَةِ الْقَبْضِ لِصَيْرُوْرَةِ الْمُعيْنَ حَالا لايَدْخُلُهُ أَجَلٌ أَبَدًا اهـ.
Al-Sharqawi ‘ala al-Tahrir, jilid 2, halaman 16-17:
Dan barang yang ada dalam tanggungan (dhaman) dapat sah dijual dengan menyebutnya beserta jenis dan sifatnya, seperti budak dari bangsa Habsyi (Ethiopia) atau Khumashi, dengan tambahan sifat-sifat lain yang biasa disebut dalam akad salam. Dan hal ini dianggap sebagai jual beli, bukan salam, meskipun barang tersebut ada dalam tanggungan, dengan mempertimbangkan lafalnya.
Maka tidak disyaratkan penyerahan pembayaran sebelum berpisah kecuali jika yang diperjualbelikan adalah barang ribawi, maka disyaratkan serah terima sebelum berpisah, sebagaimana dalam barang yang hadir (ada saat transaksi).
Dan ini berlaku apabila tidak disebutkan lafal salam dalam akad. Namun, jika disebutkan, seperti seseorang berkata: Aku menjual kepadamu barang ini secara salam atau Aku membelinya darimu secara salam, maka dianggap sebagai akad salam.
Dan dalam jual beli ini, salah satu dari dua imbalan (harga atau barang) harus ditentukan dalam majelis akad. Jika tidak, maka akad tersebut menjadi jual beli utang dengan utang (bay’ dayn bi dayn), yang hukumnya batal.
(Lafal falaa yusytarathu – maka tidak disyaratkan) merupakan cabang dari statusnya sebagai jual beli, yaitu cukup dengan penentuan salah satu imbalan saja, sebagaimana akan dijelaskan.
Konsekuensi lainnya adalah sahnya hawalah (pengalihan utang) baik untuk barang tersebut maupun terhadapnya, serta sahnya penggantian barang (istibdal). Berbeda halnya jika dianggap sebagai akad salam, maka disyaratkan penyerahan pembayaran sebelum berpisah, dan tidak sah dalam akad salam sesuatu yang telah disebutkan di atas.
(Lafal yusytarathu ta’yinu ahadil ‘iwadhain – disyaratkan penentuan salah satu dari dua imbalan) berarti selain barang ribawi, sehingga tidak disyaratkan penyerahannya dalam majelis akad. Karena penentuan tersebut kedudukannya seperti serah terima, sebab barang yang telah ditentukan menjadi bersifat hal (langsung ada), sehingga tidak boleh ada tempo dalam akadnya.
Wallahu a’lam.
حلية العلماء فى معرفةعلى مذاهب الفقهاء جز ٦ص ١٥-١٦
ولا يجوز بيع العين الغائبة اذا جهل جنسها او نوعها فإن ذكر الجنس والنوع . فقد قال فى الجديد : لا يصح البيع , فعلى هذا : اذا وصف المبيع بصفات المسلم صح.
Ḥilyah al-‘Ulamā’ fī Ma‘rifati Madhāhib al-Fuqahā’ (Juz 6, hlm. 15-16):
“Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak hadir (tidak terlihat) jika jenis atau macamnya tidak diketahui. Namun, jika jenis dan macamnya disebutkan, maka dalam pendapat yang baru (qaul jadid) dikatakan bahwa jual beli tersebut tidak sah. Berdasarkan pendapat ini, apabila barang yang dijual dijelaskan dengan sifat-sifat yang sesuai dengan jual beli salam, maka jual beli tersebut sah.”
شرح الياقوت النلفيس ٢ / ٢٢
والعبرة للعقود لمعانيها لا لصور الالفاظ. وعن البيع والشراء بواسطة التليفون والتلكس والبرقيات كل هذه الوسائل وامثالها معتمدة اليوم وعليها العمل.
Syarḥ al-Yāqūt al-Nafīs (2/22):
“Dalam akad, yang menjadi tolok ukur adalah maknanya, bukan sekadar bentuk lafaznya. Mengenai jual beli yang dilakukan melalui telepon, telex, dan telegram, semua sarana ini dan yang semisalnya diakui pada masa kini dan telah menjadi praktik yang berlaku.”
الحاوى الكبير الجزء الخامس صحـ ٨٩٨
قال الماوردي : وهذا كما قال ولا يصح السلم إلا بعد تسليم جميع الثمن قبل الافتراق فإن افترقا قبل قبضه بطل السلم وقال مالك إن تقابضا بعد الافتراق بزمان قريب حكم السلم إلى مدة ثلاثة أيام صح السلم وإن لم يتقابضا حتى مضت ” من أسلف فليسلف في كيل معلوم ” فأمر بسلف(الثلاث بطل وهذا خطأ لقوله المال فيه وذلك يقتضي التعجيل ولأن السلم مشتق من إسلام المال وهو تعجيله فلو جاز تأخيره عن المجلس لسلب معنى الاسم ولأن في السلم غررا فلو جاز فيه تأخير الثمن لازداد فيه الغرر وزيادة الغرر في العقد تبطله ولأن الثمن إذا عن بيع الدين بالدين(تأخر مع تأخير المثمن صار دينا بدين وقد نهى النبي فإذا ثبت أن تعجيل الثمن في السلم من شرط صحته تعجيل نصف الثمن وبقي النصف ثم افترقا فقد اختلف أصحابنا في هذا العقد على ثلاثة مذاهب أحدها وهو قول البصريين إن العقد يكون باطلا في الكل لأن من شرط صحته تسليم جميع ثمنه فإذا لم يسلم جميع الثمن عدم الشرط فبطل كله.
Al-Ḥāwī al-Kabīr (Juz 5, hlm. 898):
Al-Māwardī berkata: “Sebagaimana yang telah disebutkan, jual beli salam tidak sah kecuali setelah seluruh harga (pembayaran) diserahkan sebelum berpisah (dari majelis akad). Jika kedua belah pihak berpisah sebelum penyerahan harga, maka jual beli salam batal.
Imam Mālik berpendapat bahwa jika penyerahan harga dilakukan setelah berpisah dalam waktu yang dekat—hingga tiga hari—maka jual beli salam tetap sah. Namun, jika tidak dilakukan penyerahan harga hingga waktu tersebut berlalu, maka jual beli salam batal. Ini merupakan kekeliruan karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Barang siapa melakukan akad salam, maka hendaknya ia melakukannya dalam ukuran yang jelas.’ Hadis ini menunjukkan bahwa pembayaran dalam akad salam harus disegerakan.
Selain itu, istilah salam berasal dari kata islam al-māl yang berarti menyegerakan pembayaran. Jika penyerahan harga boleh ditunda setelah majelis akad, maka makna istilah tersebut akan hilang.
Juga, dalam akad salam terdapat unsur gharar (ketidakpastian). Jika pembayaran boleh ditunda, maka unsur gharar dalam akad ini akan semakin bertambah, sedangkan bertambahnya gharar dapat membatalkan akad.
Selain itu, jika harga dan barang yang dijual sama-sama tertunda, maka itu termasuk jual beli dīn bi dīn (utang dengan utang), sedangkan Nabi ﷺ melarangnya.
Dengan demikian, pembayaran harga secara penuh merupakan syarat sahnya akad salam. Jika hanya setengah harga yang dibayarkan sementara sisanya tertunda, lalu kedua belah pihak berpisah, maka ulama Syafi’iyyah memiliki tiga pendapat dalam masalah ini. Salah satu pendapat, yang dianut oleh ulama Basrah, menyatakan bahwa akad menjadi batal secara keseluruhan, karena syarat sahnya adalah penyerahan seluruh harga. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka akad batal secara keseluruhan.”
شرح الياقوت النفيس (لمحمد بن أحمد بن عمر الشاطري) صحـ ٣٦٥
والطرق التجارية اليوم التي تتم بين التجار ومندبي الشركات هل هي سلم ؟ تجد التاجر يتفق مع مندوب الشركة على توريد سلعة معينة يتفقان عليها إما بالوصف أو بمشاهدة عينة (نموذج) منها لكن لايتم قبض القيمة في المجلس فعلى مذهب الشافعي لا يصح هذ العقد لكن هناك اقوالا في المذاهب الاخرى تحملهم ومنهم مالك يقول يجوز ان يتأخر قبضه يومين وثلاثة وأكثر مالم يكن ذلك شرطا وفي الروضة حكى قولا بالجواز.
Syarḥ al-Yāqūt al-Nafīs (hlm. 365) oleh Muḥammad bin Aḥmad bin ‘Umar al-Shāṭirī:
“Bagaimana dengan metode perdagangan modern yang dilakukan antara para pedagang dan perwakilan perusahaan? Biasanya, seorang pedagang bersepakat dengan perwakilan perusahaan untuk memasok barang tertentu, baik dengan deskripsi atau berdasarkan sampel (contoh) barang. Namun, pembayaran tidak dilakukan di majelis akad.
Menurut mazhab Syafi’i, akad semacam ini tidak sah. Namun, ada pendapat dalam mazhab lain yang membolehkan, seperti Imam Mālik yang menyatakan bahwa pembayaran boleh ditunda selama dua atau tiga hari, atau lebih, selama penundaan itu tidak menjadi syarat dalam akad. Dalam al-Rauḍah, terdapat pendapat yang membolehkan akad tersebut.”
المنثور في القواعد – (ج ٢ / ص ٤٥٨)
قَالَ الْفُقَهَاءُ : كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا ، وَلَا ضَابِطَ لَهُ فِيهِ ، وَلَا فِي اللُّغَةِ يَحْكُمُ فِيهِ الْعُرْفُ وَمَثَّلُوهُ ( بِالْحِرْزِ ) فِي السَّرِقَةِ ، وَالتَّفَرُّقِ فِي الْبَيْعِ وَالْقَبْضِ ، وَوَقْتِ الْحَيْضِ وَقَدْرِهِ ، وَمُرَادُهُمْ أَنَّهُ يَخْتَلِفُ حَالُهُ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَالْأَزْمِنَةِ ، وَيَخْتَلِفُ الْحِرْزُ بِاخْتِلَافِ عَدْلِ السُّلْطَانِ وَجَوْرِهِ ، الْأَمْنِ وَالْخَوْفِ.
Al-Manthūr fī al-Qawā‘id (Juz 2, hlm. 458):
Para fuqaha mengatakan: “Setiap perkara yang disebutkan dalam syariat secara mutlak tanpa ada batasan dalam syariat maupun dalam bahasa, maka hukum dalam perkara tersebut ditentukan berdasarkan ‘urf (kebiasaan masyarakat).” Mereka mencontohkannya dengan ḥirz (tempat penyimpanan yang aman) dalam hukum pencurian, perpisahan dalam jual beli, penerimaan barang, waktu dan durasi haid. Maksudnya, perkara-perkara tersebut berbeda sesuai dengan keadaan dan zaman yang berbeda-beda. Misalnya, standar keamanan (ḥirz) berubah tergantung pada keadilan atau kezaliman penguasa serta kondisi aman atau takut dalam suatu masyarakat.
تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج ٢٣ / ص ١٨٠)
وَيَكْفِي وَضْعُ الْعَيْنِ بَيْنَ يَدَيْ الْمَالِكِ بِحَيْثُ يَعْلَمُ وَيَتَمَكَّنُ مِنْ أَخْذِهَا ، وَكَذَا بَدَلُهَا كَمَا عُلِمَ مِمَّا مَرَّ أَوَّلَ الْمَبِيعِ قَبْلَ قَبْضِهِ أَنَّهُ يَكْفِي ذَلِكَ فِي الدُّيُونِ كَالْأَعْيَانِ.
Tuḥfat al-Muḥtāj fī Sharḥ al-Minhāj (Juz 23, hlm. 180):
“Cukup dengan meletakkan barang di hadapan pemiliknya sehingga ia mengetahuinya dan dapat mengambilnya. Hal ini juga berlaku untuk penggantinya, sebagaimana yang telah diketahui dari pembahasan sebelumnya tentang barang yang dijual sebelum diterima. Cukup dengan cara tersebut dalam hal utang, sebagaimana berlaku pada barang berwujud (al-a‘yān).”
إسعاد الرفيق الجزء الأول ص : ١٢٦
فيحرم نحو البيع بلا إيجاب وقبول وإن صدر عن رضا المتعاملين بسبب تركهما ما تعبدهما الله به وقد ذكر حجة الإسلام الغزالى أنه يجب الإمتناع من معاملة من اشتهر بالمعاطاة في معاملته وإن حل للمشترى التصرف بأي وجه في المأخوذ بها وكذا البائع في الثمن قال في الفتح ولا ينعقد بالمعاطاة لكن اختير الإنعقاد بكل ما يتعارف البيع بها فيه كالخبز دون نحو الدواب والأراضى فعلى الأول المقبوض بها كالمقبوض بالبيع الفاسد اي في أحكام الدنيا أما في الآخرة فلا مطالبة بها ويجرى خلافها في سائر العقود وصورتها أن يتفقا على ثمن ومثمن وإن لم يوجد لفظ من أحدهما ويظهر أن
ما ثمنه قطعي الإستقرار كالرغيف بدرهم بمحل لا يختلف أهله في ذلك لا يحتاج فيه لاتفاق بل يكفي الأخذ والإعطاء مع سكوتهما وفي الإيعاب لك أن تقول الكلام جميعه مفروض فيمن لا يعلم أو يظن رضا المأخوذ منه ولو بلا بدل أما من علمه أو ظنه فلا يتأتى فيه خلاف المعاطاة لأنهم إذا جوزوا له الأخذا من ماله مجانا مع علم الرضا أو ظنه فلأن يجوز عند بذل العوض أولى لأن المدار على ظن الرضا أو علمه لا على وجود العوض أو عدمه فحيث وجد عمل بهوحينئذ لا يكون أخذه من باب البيع لتعذره بل من باب ظن الرضا ممن وصل اليه منه وعجيب من الأئمة كيف أغفلوا التنبيه على ما ذكرته وكأنهم وكلوه الى كونه معلوما اهـ
.
Is‘ād al-Rafīq (Juz 1, hlm. 126):
“Diharamkan melakukan jual beli tanpa adanya ijab dan qabul, meskipun dilakukan atas dasar kerelaan kedua belah pihak, karena mereka telah meninggalkan apa yang diwajibkan oleh Allah dalam akad.
Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa seseorang harus menghindari bertransaksi dengan orang yang dikenal melakukan jual beli dengan mu‘āṭāh (jual beli tanpa ijab qabul secara lisan), meskipun pembeli tetap halal untuk menggunakan barang yang diperolehnya, demikian pula penjual dengan harga yang diterimanya.
Dalam kitab al-Fatḥ, disebutkan bahwa akad tidak sah dengan mu‘āṭāh. Namun, dalam praktiknya, jual beli ini dianggap sah jika sudah menjadi kebiasaan masyarakat, seperti jual beli roti, tetapi tidak berlaku untuk hewan dan tanah.
Berdasarkan pendapat pertama, barang yang diperoleh melalui mu‘āṭāh dianggap seperti barang yang diperoleh melalui jual beli fasid (rusak) dalam hukum dunia, tetapi di akhirat tidak ada tuntutan atasnya. Perbedaan pendapat ini juga berlaku dalam akad-akad lainnya.
Contohnya adalah dua pihak sepakat mengenai harga dan barang yang dipertukarkan, meskipun tidak ada lafaz ijab qabul dari keduanya. Dalam al-I‘yāb, disebutkan bahwa jika suatu barang memiliki harga yang pasti dan stabil, seperti satu roti seharga satu dirham di tempat yang masyarakatnya tidak berbeda pendapat tentang harga tersebut, maka tidak diperlukan kesepakatan eksplisit. Cukup dengan mengambil dan memberikan barang tanpa perlu mengucapkan lafaz.
Dalam kasus lain, jika seseorang mengetahui atau menduga kuat kerelaan pemilik barang, bahkan tanpa adanya imbalan, maka hukum mu‘āṭāh tidak berlaku dalam kondisi tersebut. Sebab, jika seseorang boleh mengambil barang orang lain secara cuma-cuma dengan mengetahui atau menduga kuat kerelaannya, maka membayar imbalan tentu lebih utama untuk diperbolehkan.
Dengan demikian, standar utama dalam transaksi adalah dugaan kuat atau kepastian akan kerelaan pihak yang memberikan barang, bukan pada keberadaan imbalan atau tidak. Jika kerelaan telah dipastikan, maka transaksi tersebut bukan lagi masuk dalam kategori jual beli (bai‘), karena jual beli mensyaratkan adanya ijab qabul, tetapi masuk dalam kategori pengambilan barang berdasarkan kerelaan pemiliknya.
Anehnya, para ulama tidak banyak menyinggung hal ini, seakan-akan mereka menganggapnya sebagai perkara yang sudah dipahami secara otomatis.”
تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج ٣١ / ص ٤٤٣)
( وَلَهُ ) أَيْ الض
َّيْفِ مَثَلًا ( أَخْذُ مَا ) يَشْمَلُ الطَّعَامَ وَالنَّقْدَ وَغَيْرَهُمَا وَتَخْصِيصُهُ بِالطَّعَامِ رَدَّهُ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ فَتَفَطَّنْ لَهُ وَلَا تَغْتَرَّ بِمَنْ وَهِمَ فِيهِ ( يَعْلَمُ ) أَوْ يَظُنُّ أَيْ بِقَرِينَةٍ قَوِيَّةٍ بِحَيْثُ لَا يَخْتَلِفُ الرِّضَا عَنْهَا عَادَةً كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ ( رِضَاهُ بِهِ ) ؛ لِأَنَّ الْمَدَارَ عَلَى طِيبِ نَفْسِ الْمَالِكِ فَإِذَا قَضَتْ الْقَرِينَةُ الْقَوِيَّةُ بِهِ حَلَّ وَتَخْتَلِفُ قَرَائِنُ الرِّضَا فِي ذَلِكَ بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَالِ وَمَقَادِيرِ الْأَمْوَالِ وَإِذَا جَوَّزْنَا لَهُ الْأَخْذَ فَاَلَّذِي يَظْهَرُ أَنَّهُ إنْ ظَنَّ الْأَخْذَ بِالْبَدَلِ كَانَ قَرْضًا ضَمِينًا أَوْ بِلَا بَدَلٍ تَوَقَّفَ الْمِلْكُ عَلَى مَا ظَنَّهُ لَا يُقَالُ قِيَاسُ مَا مَرَّ فِي تَوَقُّفِ الْمِلْكِ عَلَى الِازْدِرَادِ أَنَّهُ هُنَا يَتَوَقَّفُ عَلَى التَّصَرُّفِ فِيهِ فَلَا يَمْلِكُهُ بِمُجَرَّدِ قَبْضِهِ لَهُ ؛ لِأَنَّا نَقُولُ الْفَرْقُ بَيْنَهُمَا وَاضِحٌ ؛ لِأَنَّ قَرِينَةَ التَّقْدِيمِ لِلْأَكْلِ ثَمَّ قَصَرَتْ الْمِلْكَ عَلَى حَقِيقَتِهِ وَلَا يَتِمُّ إلَّا بِالِازْدِرَادِ وَهُنَا الْمَدَارُ عَلَى ظَنِّ الرِّضَا فَأُنِيطَ بِحَسَبِ ذَلِكَ الظَّنِّ فَإِنْ ظَنَّ رِضَاهُ بِأَنَّهُ يَمْلِكُهُ بِالْأَخْذِ أَوْ بِالتَّصَرُّفِ أَوْ بِغَيْرِهِمَا عَمِلَ بِمُقْتَضَى ذَلِكَ وَعُلِمَ مِمَّا تَقَرَّرَ أَنَّهُ يَحْرُمُ التَّطَفُّلُ وَهُوَ الدُّخُولُ إلَى مَحَلِّ الْغَيْرِ لِتَنَاوُلِ طَعَامِهِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عِلْمِ رِضَاهُ أَوْ ظَنِّهِ بِقَرِينَةٍ مُعْتَبَرَةٍ بَلْ يَفْسُقُ بِهَذَا إنْ تَكَرَّرَ مِنْهُ لِلْحَدِيثِ الْمَشْهُورِ أَنَّهُ يَدْخُلُ سَارِقًا وَيَخْرُجُ مُغِيرًا وَإِنَّمَا لَمْ يَفْسُقْ بِأَوَّلِ مَرَّةٍ لِلشُّبْهَةِ وَلِأَنَّ شَرْطَ كَوْنِ السَّرِقَةِ فِسْقًا مُسَاوَاةُ الْمَسْرُوقِ لِرُبُعِ دِينَارٍ كَالْمَغْصُوبِ عَلَى مَا فِيهِمَا وَمِنْهُ أَنْ يَدَّعِيَ وَلَوْ صُوفِيًّا مَسْلَكًا وَعَالِمًا مُدَرِّسًا فَيَسْتَصْحِبُ جَمَاعَتَهُ مِنْ غَيْرِ إذْنِ الدَّاعِي وَلَا ظَنِّ رِضَاهُ بِذَلِكَ وَأَمَّا إطْلَاقُ بَعْضِهِمْ أَنَّ دَعْوَتَهُ تَتَضَمَّنُ دَعْوَةَ جَمَاعَتِهِ فَلَيْسَ فِي مَحَلِّهِ بَلْالصَّوَابُ مَا ذَكَرْته فِيهِ مِنْ التَّفْصِيلِ .
Tuhfatul Muhtaj fi Syarh al-Minhaj (Juz 31 / Halaman 443)
(Dan bagi tamu), misalnya, (boleh mengambil sesuatu), yang mencakup makanan, uang, dan selainnya. Pembatasannya hanya pada makanan telah ditolak dalam Syarh Muslim, maka perhatikanlah hal ini dan jangan tertipu oleh mereka yang keliru dalam memahaminya.
(Dengan syarat ia mengetahui) atau menduga kuat dengan indikasi yang jelas sehingga kebiasaan umumnya menunjukkan adanya keridaan, sebagaimana tampak jelas. (Ridanya terhadap hal itu), karena tolok ukur dalam hal ini adalah kerelaan pemilik harta. Jika terdapat indikasi kuat yang menunjukkan hal tersebut, maka hal itu menjadi halal. Indikasi keridaan dalam hal ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan jumlah harta.*
Jika diperbolehkan baginya untuk mengambil, maka yang tampak adalah bahwa jika ia menduga mengambilnya dengan ganti, maka hal itu dianggap sebagai pinjaman yang harus dikembalikan. Jika tanpa ganti, maka kepemilikannya bergantung pada dugaannya. Tidak bisa dikatakan bahwa berdasarkan analogi terhadap kasus kepemilikan yang bergantung pada menelan makanan, di sini pun kepemilikan bergantung pada penggunaan, sehingga ia tidak langsung memilikinya hanya dengan mengambilnya. Karena perbedaannya jelas: dalam kasus makanan, indikasi penyajiannya untuk dimakan membatasi kepemilikan hanya pada realitasnya, yaitu tidak sempurna kecuali dengan menelannya. Sedangkan dalam hal ini, tolok ukurnya adalah dugaan keridaan, sehingga ketentuannya bergantung pada dugaan tersebut. Jika ia menduga bahwa pemiliknya meridai kepemilikannya dengan sekadar mengambil, menggunakan, atau selainnya, maka ia harus bertindak berdasarkan dugaan tersebut.
Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa perbuatan tumpangan (bertamu tanpa izin) itu haram. Yakni, memasuki tempat milik orang lain untuk mengambil makanannya tanpa izinnya dan tanpa mengetahui keridaannya atau menduganya berdasarkan indikasi yang dapat diterima. Bahkan, jika hal itu dilakukan berulang kali, ia menjadi fasik. Hal ini berdasarkan hadis yang masyhur: ‘Ia masuk sebagai pencuri dan keluar sebagai perampok.’ Namun, ia tidak langsung dihukumi fasik sejak pertama kali karena ada unsur syubhat. Selain itu, syarat pencurian yang menyebabkan kefasikan adalah bahwa barang yang dicuri senilai seperempat dinar, sebagaimana dalam kasus ghasab (perampasan hak orang lain). Salah satu bentuknya adalah seseorang, meskipun ia seorang sufi atau guru, mengajak murid-muridnya menghadiri jamuan tanpa izin tuan rumah dan tanpa dugaan bahwa tuan rumah meridai hal itu. Adapun pendapat sebagian ulama yang menyatakan bahwa undangan seseorang mencakup undangan bagi jamaahnya, maka hal itu tidak tepat. Pendapat yang benar adalah sebagaimana penjelasan rinci yang telah disebutkan.
حواشي الشرواني والعبادي – (ج ٧ / ص ٤٣٦)
قوله: (أي الضيف) إلى التنبيه في النهاية إلا قوله وإذا جوزنا إلى وعلم وقوله ونازع الاذرعي إلى المتن قوله: (أو يظن) إلى قوله وإذا جوزنا في المغني قوله: (باختلاف الاحوال الخ) وبحال المضيف بالدعوة فإن شك في وقوعه في محل المسامحة فالصحيح في أصل الروضة التحريم اه. مغني. قوله: (إن ظن الاخذ) أي الرضا بالاخذ قوله: (إن ظن الاخذ بالبدل الخ) ينبغي أن يكون محله إذا ظن بالمثل حقيقة أو صورة أما إذا ظن الاخذ بالقيمة فينبغي أن يكون بيعا وإذا كان الانتفاع بعين ينبغي أن يكون إجارة ثم الاولى أن يقال كان قرضا حكميا وعلى هذا القياس لا ضمنياوينبغي أنه لو ظن رضا المالك بدون قيمة أو أجرة المثل ولم يرض المالك بذلك أن المدار على رضا المالك أخذا مما مر فلا تغفل اه. سيد عمر قوله: (على ما ظنه) أي الآتي تفصيله في قوله فإن ظن رضاه الخ قوله: (في توقف الملك الخ) لعل في بمعنى من البيانية قوله: (على حقيقته) أي الاكل وكذا ضمير لا يتم قوله: (وهنا) الاولى تأخيره عن المدار قوله: (فأنيط) أي الملك قوله: (أو بغيرهما) أي كالانتفاع بالعين قوله: (مما تقرر) أي في قوله لان المدار الخ قوله: (أنه يحرم) إلى قوله بل يفسق في المغني قوله: (بحرم التطفل الخ) وقيد ذلك الامام بالدعوة الخاصة أما العامة كان فتح الباب ليدخل من شاء فلا تطفل والطفيلي مأخوذ من التطفل وهو منسوب إلى طفيل رجل من أهل الكوفة كان يأتي الولائم بلا دعوة فكان يقال له طفيل الاعراس اه.
مغني قوله: (وهو الدخول لمحل غيره) وكحرمة الدخول لاكل طعام الغير دخوله ملك غيره بلا إذن مطلقا وإنما اقتصر على ما ذكر لانه مسمى التطفل ثم المراد بمحله ما يختص به بملك أو غيره وينبغي أن مثل ذلك ما لو وضعه في محل مباح كمسجد فيحرم على غير من دعاه ذلك اهـ.
Hasyiyah al-Syarwani wa al-‘Ibadi (Juz 7 / Halaman 436)
(Kalimat: “yaitu tamu”) sampai dengan penjelasan dalam kitab al-Nihayah, kecuali bagian “dan jika diperbolehkan” hingga “dan diketahui”. Sedangkan kalimat “dan al-Adzra’i berselisih” sampai bagian teksnya, juga dalam kitab al-Mughni.
(Kalimat: “atau menduga”) hingga bagian “dan jika diperbolehkan” terdapat dalam al-Mughni. (Kalimat: “berbeda sesuai keadaan”) dan juga sesuai dengan keadaan tuan rumah dalam undangan. Jika ada keraguan apakah masuk dalam kategori pemaafan, maka menurut pendapat yang sahih dalam Ushul al-Raudhah, hukumnya haram.
(Kalimat: “Jika ia menduga mengambil”) yaitu dugaan keridaan dalam mengambil. (Kalimat: “Jika ia menduga mengambil dengan ganti, dst.”) seharusnya diterapkan dalam kasus di mana ia menduga ganti tersebut benar-benar dalam bentuk yang setara, baik secara hakiki maupun secara tampilan. Namun, jika ia menduga mengambilnya dengan nilai harganya, maka itu dianggap sebagai jual beli. Jika yang diambil adalah manfaat dari suatu benda, maka itu dianggap sebagai sewa. Sebaiknya, dikatakan bahwa hal itu adalah pinjaman secara hukum, bukan secara otomatis menjadi tanggungan. Jika ia menduga pemiliknya meridai pengambilan tanpa nilai atau sewa yang sepadan, sedangkan pemiliknya tidak meridai, maka yang menjadi tolok ukur adalah keridaan pemilik, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Maka jangan sampai terlewatkan.*
(Kalimat: “Berdasarkan apa yang telah ditetapkan”) yaitu dalam pernyataan “karena tolok ukur adalah dugaan keridaan”. (Kalimat: “Bahwa perbuatan tumpangan itu haram”) dan hal ini dibatasi oleh Imam dengan undangan khusus. Adapun undangan umum, seperti jika pintu dibuka untuk siapa saja yang ingin masuk, maka itu tidak dianggap sebagai tumpangan. Kata “tumpangan” (التطفل) berasal dari nama seseorang bernama Tufail, seorang pria dari Kufah yang sering datang ke pesta pernikahan tanpa diundang, sehingga ia dijuluki Tufail al-‘Aras (Tufail sang pengunjung pesta pernikahan).
الفتاوى الفقهية الكبرى (٤/ ١١٦)
وسئل بما لفظه هل جواز الأخذ بعلم الرضا من كل شيء أم مخصوص بطعام الضيافة فأجاب بقوله الذي دل عليه كلامهم أنه غير مخصوص بذلك وصرحوا بأن غلبة الظن كالعلم في ذلك وحينئذ فمتى غلب على ظنه أن المالك يسمح له بأخذ شيء معين من ماله جاز له أخذه ثم إن بان خلاف ظنه لزمه ضمانه وإلا فلا.
Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (Juz 4 / Halaman 116)
Seseorang bertanya: “Apakah diperbolehkan mengambil sesuatu dengan menduga keridaan dari segala jenis harta, ataukah khusus pada makanan jamuan?”
Maka dijawab: “Berdasarkan pernyataan para ulama, hal ini tidak terbatas hanya pada makanan. Mereka bahkan menyatakan bahwa dugaan kuat sama kedudukannya dengan pengetahuan dalam hal ini. Oleh karena itu, kapan pun seseorang memiliki dugaan kuat bahwa pemilik harta merelakan ia mengambil sesuatu yang ditentukan dari hartanya, maka diperbolehkan baginya untuk mengambilnya. Namun, jika kemudian ternyata dugaan tersebut keliru, maka ia wajib menggantinya. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban baginya.”
حاشية الجمل (١٨/ ٣٩٩)
( وَلَهُ أَخْذُ مَا يَعْلَمُ رِضَاهُ بِهِ ) ( قَوْلُهُ وَلَهُ أَخْذُ مَا يَعْلَمُ إلَخْ ) ظَاهِرُهُ رُجُوعُ الضَّمَائِرِ لِلضَّيْفِ وَالْمُضِيفِ لَهُ وَلَا يَخْتَصُّ هَذَا الْحُكْمُ بِهِمَا بَلْ لِكُلِّ أَحَدٍ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ مَالِ غَيْرِهِ حَاضِرًا أَوْ غَائِبًا نَقْدًا أَوْ مَطْعُومًا أَوْ غَيْرَهُمَا مَا يَظُنُّ رِضَاهُ بِهِ ، وَلَوْ بِقَرِينَةٍ قَوِيَّةٍ فَالْمُرَادُ بِالْعِلْمِ مَا يَشْمَلُ الظَّنَّ بِدَلِيلِ مُقَابَلَتِهِ بِالشَّكِّ ، وَقَدْ يَظُنُّ الرِّضَا لِشَخْصٍ دُونَ آخَرَ وَفِي نَوْعٍ أَوْ وَقْتٍ أَوْ مَكَان دُونَ آخَرَ فَلِكُلٍّ حُكْمُهُ وَيَتَقَيَّدُ التَّصَرُّفُ فِي الْمَأْخُوذِ بِمَا يَظُنُّ جَوَازَهُ فِيهِ مِنْ مَالِكِهِ مِنْ أَكْلٍ أَوْ غَيْرِهِ وَمَا نُقِلَ عَنْ بَعْضِهِمْ هُنَا مِمَّا يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ مُؤَوَّلٌ عَلَى هَذَا أَوْ غَيْرُ مُرَادٍ فَرَاجِعْهُ وَتَأَمَّلْهُ.والله أعلم بالصواب
Hasyiyah Al-Jamal (18/399):
(Dan baginya mengambil sesuatu yang ia ketahui rida pemiliknya terhadapnya)
(Ucapan beliau: Dan baginya mengambil sesuatu yang ia ketahui, dll.) Secara lahiriah, dhamir (kata ganti) dalam ungkapan ini kembali kepada tamu dan tuan rumahnya. Namun, hukum ini tidak khusus bagi keduanya saja, melainkan berlaku untuk setiap orang. Setiap orang boleh mengambil harta milik orang lain—baik orang tersebut hadir atau tidak, baik berupa uang, makanan, atau selainnya—dengan syarat ia menduga kuat bahwa pemiliknya meridai hal tersebut, meskipun hanya berdasarkan indikasi (qarinah) yang kuat.
Maksud dari “pengetahuan” dalam konteks ini mencakup “dugaan kuat” (zhann), sebagaimana ditunjukkan oleh perbandingannya dengan “keraguan” (syakk). Terkadang, seseorang dapat menduga rida pemilik dalam satu situasi tetapi tidak dalam situasi lain, atau terhadap satu orang tetapi tidak terhadap orang lain, atau dalam satu jenis barang atau waktu atau tempat tertentu tetapi tidak dalam yang lain. Oleh karena itu, setiap kondisi memiliki hukumnya masing-masing.
Selain itu, tindakan yang dilakukan terhadap barang yang diambil harus dibatasi sesuai dengan dugaan bahwa pemiliknya mengizinkan tindakan tersebut, baik untuk dimakan atau lainnya. Adapun pendapat sebagian ulama yang tampaknya bertentangan dengan hal ini, dapat ditakwilkan agar sesuai dengan pemahaman ini, atau memang bukan maksud yang diinginkan. Maka, hendaknya seseorang meneliti dan mempertimbangkan dengan baik pendapat-pendapat tersebut. Wallahu A’lam bisshowab