DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

HUKUMNYA MENJUAL HARTA WARISAN ORANG TUA

HUKUMNYA MENJUAL HARTA WARISAN ORANG TUA.

Assalaamu alaikum

Deskripsi masalah.
Ahmad mendapatkan harta warisan dari ayahnya namun jauh dari rumahnya karena Ahmad sudah berkeluarga/ hidup berumah tangga artinya bikin rumah sendiri namun rumahnya jauh dari rumah asal ketika masih bersama orang tuanya.
Studi kasus ada tanah mau dijual didekat rumahnya namun dia tidak punya uang kecuali dengan menjual harta warisannya .

Pertanyaannya.

Bagaimana hukumnya menjual harta warisan orang tua?

Waalaikum salam.

Jawaban.

Menjual harta warisan (tirkat) dalam kondisi dhoruroh hukumnya boleh dengan catatan sudah dimiliki melalui pembagian warisan dengan secara sah akan tetapi sebaliknya jika belum terbagi maka tidak boleh kecuali dengan patang ridho(saling ridho).
Dan apabila harta tirkatnya berupa tanah atau rumah maka sebaiknya hasil dari penjualannya dibelikan hal yang serupa bukan barang yang bergerak. Mengapa harus dibelikan barang yang serupa tak bergerak, karena (tanah, rumah) memiliki banyak manfaat dan kecil risiko, kecil kemungkinan dicuri atau dirampas orang, berbeda dengan barang bergerak. Karenanya, lebih baik bila (tanah, rumah) tak dijual. Seandainya dijual lebih baik hasil penjualannya dirupakan yang semisalnya.
Adapun hukum yang dikandung, bahwa hadits Artinya“Barang siapa menjual rumah atau tanah, kemudian tidak menggunakan hasil penjualannya itu untuk membeli yang sejenisnya, maka dia tak layak mendapatkan berkah padanya” (HR. Ahmad, hadits hasan). ” ini tidak menunjukkan haramnya menjual tanah dan rumah, tapi berisi targhib (motivasi/dorongan) untuk mengelola tanah dan menjadikannya produktif. Hukum menjual tanah atau rumah ini berbeda-beda menurut situasi dan kondisi yang melatarinya.
Bagi yang memiliki tanah lebih atau rumah lebih dari yang dibutuhkan untuk diri dan keluarganya, tak mengapa menjualnya, demikian pula bila hasil penjualan itu digunakan untuk membeli yang sejenis.

Referensi:

الموسوعة الفقهية – 6285/31949
الْحُكْمُ التَّكْلِيفِيُّ:
٤ – التَّخَارُجُ جَائِزٌ عِنْدَ التَّرَاضِي، وَالأَْصْل فِي جَوَازِهِ مَا رُوِيَ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ تُمَاضِرَ بِنْتَ الأَْصْبَغِ الْكَلْبِيَّةَ فِي مَرَضِ مَوْتِهِ، ثُمَّ مَاتَ وَهِيَ فِي الْعِدَّةِ، فَوَرَّثَهَا عُثْمَانُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ مَعَ ثَلاَثِ نِسْوَةٍ أُخَرَ، فَصَالَحُوهَا عَنْ رُبْعِ ثُمُنِهَا عَلَى ثَلاَثَةٍ وَثَمَانِينَ أَلْفًا. قِيل مِنَ الدَّنَانِيرِ، وَقِيل مِنَ الدَّرَاهِمِ (٢)

Ensiklopedia Fiqh – 6285/31949
Hukum Taklifi:
4 – Mengalihkan hak waris dibolehkan dengan kesepakatan bersama( sama ridho), dan dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu menceraikan istrinya, Tumazir binti Ashbagh al-Kalbiyyah, ketika sakit keras. Kemudian ia meninggal dunia dan istrinya masih dalam masa iddah. Lalu Utsman radhiyallahu ‘anhu mewarisinya bersama tiga istrinya yang lain. Mereka kemudian berdamai dengannya (Tumazir) dengan memberikan seperempat bagian dari warisannya, yaitu sebesar tiga puluh delapan ribu. Ada yang mengatakan dalam bentuk dinar, ada yang mengatakan dalam bentuk dirham. (2)


حَقِيقَةُ التَّخَارُجِ:
٥ – الأَْصْل فِي التَّخَارُجِ أَنَّهُ عَقْدُ صُلْحٍ بَيْنَ الْوَرَثَةِ
لإِِخْرَاجِ أَحَدِهِمْ، وَلَكِنَّهُ يُعْتَبَرُ عَقْدَ بَيْعٍ إِنْ كَانَ الْبَدَل الْمُصَالَحُ عَلَيْهِ شَيْئًا مِنْ غَيْرِ التَّرِكَةِ. وَيُعْتَبَرُ عَقْدَ قِسْمَةٍ وَمُبَادَلَةٍ، إِنْ كَانَ الْبَدَل الْمُصَالَحُ عَلَيْهِ مِنْ مَال التَّرِكَةِ، وَقَدْ يَكُونُ هِبَةً أَوْ إِسْقَاطًا لِلْبَعْضِ، إِنْ كَانَ الْبَدَل الْمُصَالَحُ عَلَيْهِ أَقَل مِنَ النَّصِيبِ الْمُسْتَحَقِّ. (١) وَهَذَا فِي الْجُمْلَةِ.
وَيُشْتَرَطُ فِي كُل حَالَةٍ شُرُوطُهَا الْخَاصَّةُ.
مَنْ يَمْلِكُ التَّخَارُجَ:
٦ – التَّخَارُجُ عَقْدُ صُلْحٍ، وَهُوَ فِي أَغْلَبِ أَحْوَالِهِ يُعْتَبَرُ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ، وَلِذَلِكَ يُشْتَرَطُ فِيمَنْ يَمْلِكُ التَّخَارُجَ أَهْلِيَّةَ التَّعَاقُدِ، وَذَلِكَ بِأَنْ يَكُونَ عَاقِلاً غَيْرَ مَحْجُورٍ عَلَيْهِ، فَلاَ يَصِحُّ التَّخَارُجُ مِنَ الصَّبِيِّ الَّذِي لاَ يُمَيِّزُ، وَلاَ مِنَ الْمَجْنُونِ وَأَشْبَاهِهِ.
وَيُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ ذَا إِرَادَةٍ؛ لأَِنَّ التَّخَارُجَ مَبْنَاهُ عَلَى الرِّضَا. (ر: إِكْرَاهٌ) .
وَيُشْتَرَطُ فِيمَنْ يَمْلِكُ التَّخَارُجَ كَذَلِكَ أَنْ يَكُونَ مَالِكًا لِمَا يَتَصَرَّفُ فِيهِ. وَفِي تَصَرُّفِ الْفُضُولِيِّ خِلاَفٌ بَيْنَ مَنْ يُجِيزُهُ مَوْقُوفًا عَلَى إِجَازَةِالْمَالِكِ، وَهُمُ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ، وَبَيْنَ مَنْ لاَ يُجِيزُهُ، وَهُمُ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ. وَفِي ذَلِكَ تَفْصِيلٌ مَوْضِعُهُ مُصْطَلَحُ (فُضُولِيٌّ) .
وَقَدْ يَكُونُ مِلْكُ التَّصَرُّفِ بِالْوَكَالَةِ، وَحِينَئِذٍ يَجِبُ أَنْ يَقْتَصِرَ التَّصَرُّفُ عَلَى الْمَأْذُونِ بِهِ لِلْوَكِيل. (ر: وَكَالَةٌ) .
وَقَدْ يَكُونُ مِلْكُ التَّصَرُّفِ كَذَلِكَ بِالْوِلاَيَةِ الشَّرْعِيَّةِ كَالْوَلِيِّ وَالْوَصِيِّ، وَحِينَئِذٍ يَجِبُ أَنْ يَقْتَصِرَ تَصَرُّفُهُمَا عَلَى مَا فِيهِ الْحَظُّ لِلْمُوَلَّى عَلَيْهِ.
فَقَدْ نَقَل ابْنُ فَرْحُونَ عَنْ مُفِيدِ الْحُكَّامِ فِي الأَْبِ يُصَالِحُ عَنِ ابْنَتِهِ الْبِكْرِ بِبَعْضِ حَقِّهَا مِنْ مِيرَاثٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ، وَحَقُّهَا بَيِّنٌ لاَ خِصَامَ فِيهِ، أَنَّ صُلْحَهُ غَيْرُ جَائِزٍ، إِذْ لاَ نَظَرَ فِيهِ، أَيْ لاَ مَصْلَحَةَ، وَتَرْجِعُ الاِبْنَةُ بِبَقِيَّتِهِ عَلَى مَنْ هُوَ عَلَيْهِ. (١) وَيُنْظَرُ تَفْصِيل ذَلِكَ فِي: (وِصَايَةٍ، وِلاَيَةٍ) .

Hakikat Takharuj (Pengalihan Hak Waris):
* Dasar Hukum Takharuj adalah sebuah perjanjian damai di antara para ahli waris untuk mengeluarkan salah seorang dari mereka. Namun, perjanjian ini dianggap sebagai jual beli jika imbalan yang disepakati adalah sesuatu di luar harta warisan. Dan dianggap sebagai pembagian dan pertukaran jika imbalan yang disepakati adalah dari harta warisan. Bahkan bisa dianggap sebagai hibah atau penghapusan bagian jika imbalan yang disepakati lebih kecil dari bagian yang seharusnya. (1) Dan ini adalah rangkuman umumnya.
Setiap kasus memiliki syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi.
Siapa yang Berhak Melakukan Takharuj:
* Takharuj adalah perjanjian damai, dan dalam kebanyakan kasus dianggap sebagai salah satu jenis perjanjian timbal balik. Oleh karena itu, syarat bagi orang yang berhak melakukan takharuj adalah memiliki kapasitas untuk melakukan perjanjian, yaitu harus berakal sehat dan tidak dalam keadaan di bawah pengampuan. Sehingga takharuj yang dilakukan oleh anak kecil yang belum mengerti atau orang gila dan sejenisnya tidak sah.
Disyaratkan pula bahwa orang tersebut memiliki kemauan, karena takharuj didasarkan pada persetujuan. (Lihat: Paksaan).
Disyaratkan pula bagi orang yang berhak melakukan takharuj adalah memiliki kepemilikan atas apa yang diperjualbelikan. Mengenai tindakan orang yang tidak berhak (fuduli), terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Ada yang mengizinkannya dengan syarat mendapat izin dari pemilik, yaitu mazhab Hanafi dan Maliki, dan ada yang tidak mengizinkannya, yaitu mazhab Syafi’i dan Hanbali. Hal ini memiliki penjelasan lebih lanjut dalam pembahasan tentang (fuduli).
Kepemilikan untuk melakukan tindakan hukum juga bisa melalui perwakilan (wakalah), dan dalam hal ini tindakan hukum harus terbatas pada apa yang diizinkan kepada wakilnya. (Lihat: Wakalah).
Kepemilikan untuk melakukan tindakan hukum juga bisa melalui perwalian syar’i seperti wali dan wasi, dan dalam hal ini tindakan mereka harus terbatas pada apa yang menguntungkan bagi orang yang diwalikan.
Ibnu Farhun pernah menukil dari Mufid al-Hukkam tentang seorang ayah yang mendamaikan putrinya yang sulung dengan memberikan sebagian hak warisnya atau sesuatu yang lain, sedangkan hak putrinya sudah jelas dan tidak ada perselisihan, bahwa perdamaiannya tidak sah karena tidak ada pertimbangan (maslahat), dan sang putri berhak atas sisa bagiannya. (1) Penjelasan lebih detail dapat dilihat pada: (Wasiat, Wilayah).

شُرُوطُ صِحَّةِ التَّخَارُجِ:
لِلتَّخَارُجِ شُرُوطٌ عَامَّةٌ بِاعْتِبَارِهِ عَقْدَ صُلْحٍ،وَشُرُوطٌ خَاصَّةٌ بِصُوَرِ التَّخَارُجِ تَخْتَلِفُ بِاخْتِلاَفِ الصُّوَرِ، وَسَتُذْكَرُ عِنْدَ بَيَانِهَا.

أَمَّا الشُّرُوطُ الْعَامَّةُ فَهِيَ:
٧ – أ – يُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ التَّخَارُجِ أَنْ تَكُونَ التَّرِكَةُ – مَحَل التَّخَارُجِ – مَعْلُومَةً، إِذِ التَّخَارُجُ فِي الْغَالِبِ بَيْعٌ فِي صُورَةِ صُلْحٍ، وَبَيْعُ الْمَجْهُول لاَ يَجُوزُ، وَكَذَا الصُّلْحُ عَنْهُ، وَذَلِكَ إِذَا أَمْكَنَ الْوُصُول إِلَى مَعْرِفَةِ التَّرِكَةِ، فَإِذَا تَعَذَّرَ الْوُصُول إِلَى مَعْرِفَتِهَا جَازَ الصُّلْحُ عَنِ الْمَجْهُول، كَمَا إِذَا صَالَحَتِ الزَّوْجَةُ عَنْ صَدَاقِهَا، وَلاَ عِلْمَ لَهَا وَلاَ لِلْوَرَثَةِ بِمَبْلَغِهِ، وَهَذَا عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالإِْمَامِ أَحْمَدَ، وَبَعْضِ الْحَنَابِلَةِ الَّذِينَ لاَ يُجِيزُونَ الصُّلْحَ عَنِ الْمَجْهُول. وَالْمَشْهُورُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ جَوَازُ الصُّلْحِ عَنِ الْمَجْهُول مُطْلَقًا، سَوَاءٌ تَعَذَّرَ عِلْمُهُ أَوْ لَمْ يَتَعَذَّرْ. وَدَلِيل الصُّلْحِ عَنِ الْمَجْهُول عِنْدَ تَعَذُّرِ الْعِلْمِ بِهِ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال لِرَجُلَيْنِ اخْتَصَمَا فِي مَوَارِيثَ دَرَسَتِ: اقْتَسِمَا وَتَوَخَّيَا الْحَقَّ ثُمَّ اسْتَهِمَا ثُمَّ تَحَالاَّ. (١)
أَمَّا عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ فَلاَ يُشْتَرَطُ أَنْ تَكُونَ أَعْيَانُ
التَّرِكَةِ مَعْلُومَةً فِيمَا لاَ يَحْتَاجُ إِلَى قَبْضٍ؛ لأَِنَّهُ لاَ حَاجَةَ فِيهِ إِلَى التَّسْلِيمِ، وَبَيْعُ مَا لَمْ يُعْلَمْ قَدْرُهُ جَائِزٌ، كَمَنْ أَقَرَّ بِغَصْبِ شَيْءٍ، فَبَاعَهُ الْمُقَرُّ لَهُ مِنَ الْمُقِرِّ جَازَ وَإِنْ لَمْ يَعْرِفَا قَدْرَهُ؛ وَلأَِنَّ الْجَهَالَةَ هُنَا لاَ تُفْضِي إِلَى الْمُنَازَعَةِ، وَدَلِيل جَوَازِ ذَلِكَ أَثَرُ عُثْمَانَ فِي تَخَارُجِ تُمَاضِرَ امْرَأَةِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ (1) .

Syarat Sah Takharuj:
Takharuj memiliki syarat-syarat umum karena ia dianggap sebagai sebuah perjanjian damai, serta syarat-syarat khusus yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk takharujnya. Syarat-syarat khusus ini akan dijelaskan pada bagian yang sesuai.
Adapun syarat-syarat umumnya adalah:
* a) Harta Warisan (Mahal Takharuj) Harus Diketahui: Syarat sah takharuj adalah harta warisan yang menjadi objek takharuj harus diketahui dengan jelas. Hal ini dikarenakan takharuj pada umumnya dianggap sebagai jual beli dalam bentuk perdamaian, sedangkan jual beli terhadap sesuatu yang tidak diketahui tidak sah. Demikian pula perdamaian terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Namun, jika tidak mungkin mengetahui harta warisan tersebut, maka perdamaian terhadap sesuatu yang tidak diketahui diperbolehkan. Contohnya, seorang istri berdamai mengenai mas kawinnya, padahal baik istri maupun ahli waris tidak mengetahui jumlah pastinya. Pendapat ini dianut oleh mazhab Maliki, Syafi’i, Imam Ahmad, dan sebagian ulama Hanbali yang membolehkan perdamaian terhadap sesuatu yang tidak diketahui. Pendapat yang masyhur di kalangan ulama Hanbali adalah membolehkan perdamaian terhadap sesuatu yang tidak diketahui secara mutlak, baik diketahui jumlahnya atau tidak. Dalil yang mendukung perdamaian terhadap sesuatu yang tidak diketahui jika tidak mungkin diketahui adalah sabda Nabi SAW kepada dua orang yang berselisih tentang warisan yang tidak jelas, “Bagi dua dan pilihlah yang benar, lalu bersumpahlah dan saling memaafkan.” (1)
   Sedangkan menurut mazhab Hanafi, tidak disyaratkan bahwa benda-benda dalam harta warisan harus diketahui dengan jelas dalam hal yang tidak memerlukan penyerahan. Hal ini karena tidak ada kebutuhan untuk menyerahkannya, dan jual beli terhadap sesuatu yang jumlahnya tidak diketahui adalah sah. Contohnya, seseorang mengakui telah mengambil sesuatu secara paksa, kemudian orang yang mengakuinya menjual kembali kepada orang yang mengaku mengambil, meskipun mereka tidak mengetahui jumlahnya, maka jual beli tersebut sah. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan dalam hal ini tidak menimbulkan perselisihan. Dalil yang mendukung pendapat ini adalah tindakan Utsman dalam takharuj dengan istri Abdurrahman bin Auf. (1)

٨ – ب – أَنْ يَكُونَ الْبَدَل مَالاً مُتَقَوِّمًا مَعْلُومًا مُنْتَفَعًا بِهِ مَقْدُورًا عَلَى تَسْلِيمِهِ، فَلاَ يَصِحُّ أَنْ يَكُونَ الْبَدَل مَجْهُولاً جِنْسًا أَوْ قَدْرًا أَوْ صِفَةً، وَلاَ أَنْ يَكُونَ مِمَّا لاَ يَصْلُحُ عِوَضًا فِي الْبَيْعِ. وَهَذَا فِي الْجُمْلَةِ، إِذْ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ: إِذَا كَانَ الْعِوَضُ لاَ يَحْتَاجُ إِلَى تَسْلِيمٍ، وَكَانَ لاَ سَبِيل إِلَى مَعْرِفَتِهِ كَالْمُخْتَصِمِينَ فِي مَوَارِيثَ دَارِسَةٍ، فَإِنَّهُ يَجُوزُ مَعَ الْجَهَالَةِ. (٢)
٩ – ج – التَّقَابُضُ فِي الْمَجْلِسِ فِيمَا يُعْتَبَرُ صَرْفًا، كَالتَّخَارُجِ عَنْ أَحَدِ النَّقْدَيْنِ بِالآْخَرِ، وَكَذَا فِيمَا إِذَا اتَّفَقَ الْمُصَالَحُ عَنْهُ وَالْمُصَالَحُ عَلَيْهِ فِي عِلَّةِ الرِّبَا. وَهَذَا بِاتِّفَاقٍ فِي الأَْصْل، مَعَ الاِخْتِلاَفِ
فِي التَّفَاصِيل الَّتِي سَتَرِدُ عِنْدَ ذِكْرِ صُوَرِ التَّخَارُجِ. (١)
١٠ – د – تَوَافُرُ شُرُوطِ بَيْعِ الدَّيْنِ إِذَا كَانَ لِلتَّرِكَةِ دَيْنٌ عَلَى الْغَيْرِ، وَهَذَا عِنْدَ مَنْ يُجِيزُ بَيْعَ الدَّيْنِ لِغَيْرِ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ كَالْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ، أَوْ يُرَاعَى اسْتِعْمَال الْحِيلَةِ لِجَوَازِ التَّخَارُجِ كَالإِْبْرَاءِ أَوِ الْحَوَالَةِ بِهِ كَمَا يَقُول الْحَنَفِيَّةُ، (٢) وَسَيَأْتِي تَفْصِيل ذَلِكَ عِنْدَ ذِكْرِ الصُّوَرِ.
صُوَرُ التَّخَارُجِ:
لَمْ تَرِدْ صُوَرٌ مُفَصَّلَةٌ لِلتَّخَارُجِ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ، وَإِنَّمَا وَرَدَ ذَلِكَ مُفَصَّلاً عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ مَعَ الاِخْتِلاَفِ فِي الاِتِّجَاهَاتِ، وَلاَ تَظْهَرُ هَذِهِ الاِتِّجَاهَاتُ إِلاَّ بِذِكْرِ كُل مَذْهَبٍ عَلَى حِدَةٍ.

8- (b) Imbalan Harus Jelas: Imbalan yang diberikan sebagai ganti hak waris yang dilepaskan haruslah berupa harta yang jelas jenis, jumlah, dan manfaatnya, serta dapat diserahkan. Imbalan yang tidak jelas jenis, jumlah, atau sifatnya, atau imbalan yang tidak layak dijadikan sebagai pembayaran dalam jual beli, tidak diperbolehkan. Ini adalah pendapat umum, meskipun mazhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa jika imbalan tidak perlu diserahkan secara fisik dan tidak ada cara untuk mengetahuinya secara pasti (misalnya dalam kasus warisan yang tidak jelas), maka diperbolehkan meskipun dalam keadaan tidak pasti. (2)
9-(c) Penyerahan Seketika: Jika takharuj dilakukan dengan cara menukar satu jenis uang dengan jenis uang lainnya, atau jika kedua belah pihak sepakat atas sesuatu yang mengandung unsur riba, maka penyerahan harus dilakukan saat itu juga. Ini adalah pendapat yang disepakati secara umum, meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam hal detailnya yang akan dijelaskan kemudian saat membahas berbagai bentuk takharuj. (1)
10-(d) Memenuhi Syarat Jual Beli Utang: Jika harta warisan berupa piutang kepada pihak lain, maka syarat-syarat jual beli utang harus dipenuhi. Pendapat ini berlaku bagi mazhab Maliki dan Syafi’i yang membolehkan jual beli utang kepada pihak lain selain pemilik utang. Atau, menurut mazhab Hanafi, dapat digunakan cara-cara lain seperti pembebasan utang atau pengalihan utang untuk mencapai tujuan takharuj. Penjelasan lebih detail akan diberikan saat membahas berbagai bentuk takharuj.
Bentuk-bentuk Takharuj:
Mazhab Syafi’i dan Hanbali tidak menyebutkan secara rinci berbagai bentuk takharuj, sedangkan mazhab Hanafi dan Maliki memberikan penjelasan yang lebih detail, namun dengan perbedaan pendapat. Perbedaan-perbedaan ini akan dijelaskan secara terpisah untuk setiap mazhab.

١١ – إِذَا تَخَارَجَ الْوَرَثَةُ مَعَ أَحَدِهِمْ عَنْ نَصِيبِهِ فِي التَّرِكَةِ عَلَى شَيْءٍ مِنَ الْمَال يَدْفَعُونَهُ لَهُ، فَلِذَلِكَ صُوَرٌ تَخْتَلِفُ بِحَسَبِ نَوْعِ الْبَدَل الَّذِي يَدْفَعُونَهُ، وَبِحَسَبِ نَوْعِيَّةِ التَّرِكَةِ، وَذَلِكَ كَمَا يَلِي:
أ – إِذَا كَانَتِ التَّرِكَةُ عَقَارًا أَوْ عَرَضًا، فَأَخْرَجَ الْوَرَثَةُ أَحَدَهُمْ مِنْهَا بِمَالٍ أَعْطَوْهُ إِيَّاهُ، جَازَ التَّخَارُجُ سَوَاءٌ أَكَانَ مَا أَعْطَوْهُ أَقَل مِنْ حِصَّتِهِ أَمْ أَكْثَرَ؛ لأَِنَّهُ أَمْكَنَ تَصْحِيحُهُ بَيْعًا، وَالْبَيْعُ يَصِحُّ بِالْقَلِيل وَالْكَثِيرِ مِنَ الثَّمَنِ. وَلاَ يَصِحُّ جَعْلُهُ إِبْرَاءً؛ لأَِنَّ الإِْبْرَاءَ مِنَ الأَْعْيَانِ غَيْرِ الْمَضْمُونَةِ لاَ يَصِحُّ.
وَلاَ يُشْتَرَطُ مَعْرِفَةُ مِقْدَارِ حِصَّتِهِ مِنَ التَّرِكَةِ؛ إِذِ الْجَهَالَةُ هُنَا لاَ تُفْسِدُ الْبَيْعَ؛ لأَِنَّهَا لاَ تُفْضِي إِلَى النِّزَاعِ؛ لأَِنَّ الْمَبِيعَ هُنَا لاَ يَحْتَاجُ إِلَى تَسْلِيمٍ.
ب – إِذَا كَانَتِ التَّرِكَةُ ذَهَبًا فَأَعْطَوْهُ فِضَّةً، أَوْ كَانَتْ فِضَّةً فَأَعْطَوْهُ ذَهَبًا جَازَ الصُّلْحُ أَيْضًا، سَوَاءٌ أَكَانَ مَا أَعْطَوْهُ أَقَل مِنْ نَصِيبِهِ أَمْ أَكْثَرَ؛ لأَِنَّهُ بَيْعُ الْجِنْسِ بِخِلاَفِ الْجِنْسِ، فَلاَ يُعْتَبَرُ التَّسَاوِي.
لَكِنْ يُشْتَرَطُ الْقَبْضُ فِي الْمَجْلِسِ لِكَوْنِهِ صَرْفًا غَيْرَ أَنَّ الْوَارِثَ الَّذِي فِي يَدِهِ بَقِيَّةُ التَّرِكَةِ إِنْ كَانَ جَاحِدًا وُجُودَهَا فِي يَدِهِ يَكْتَفِي بِذَلِكَ الْقَبْضِ؛ لأَِنَّهُ قَبْضُ ضَمَانٍ فَيَنُوبُ عَنْ قَبْضِ الصُّلْحِ.
وَالأَْصْل فِي ذَلِكَ أَنَّهُ مَتَى تَجَانَسَ الْقَبْضَانِ، بِأَنْ يَكُونَ قَبْضَ أَمَانَةٍ أَوْ قَبْضَ ضَمَانٍ نَابَ أَحَدُهُمَا مَنَابَ الآْخَرِ، أَمَّا إِذَا اخْتَلَفَا فَالْمَضْمُونُ يَنُوبُ عَنْ غَيْرِهِ.
وَإِنْ كَانَ الَّذِي فِي يَدِهِ بَقِيَّةُ التَّرِكَةِ مُقِرًّا، فَإِنَّهُ
لاَ بُدَّ مِنْ تَجْدِيدِ الْقَبْضِ، وَهُوَ الاِنْتِهَاءُ إِلَى مَكَانٍ يَتَمَكَّنُ مِنْ قَبْضِهِ؛ لأَِنَّهُ قَبْضُ أَمَانَةٍ، فَلاَ يَنُوبُ عَنْ قَبْضِ الصُّلْحِ.
ج – وَإِنْ كَانَتِ التَّرِكَةُ دَرَاهِمَ وَدَنَانِيرَ، وَبَدَل الصُّلْحِ كَذَلِكَ دَرَاهِمُ وَدَنَانِيرُ، جَازَ الصُّلْحُ كَيْفَمَا كَانَ، صَرْفًا لِلْجِنْسِ إِلَى خِلاَفِ جِنْسِهِ كَمَا فِي الْبَيْعِ، لَكِنْ لاَ بُدَّ مِنَ الْقَبْضِ فِي الْمَجْلِسِ لِكَوْنِهِ صَرْفًا.
د – وَإِنْ كَانَتِ التَّرِكَةُ ذَهَبًا وَفِضَّةً وَغَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْعُرُوضِ وَالْعَقَارِ، فَصَالَحُوهُ عَلَى أَحَدِ النَّقْدَيْنِ فَلاَ يَجُوزُ الصُّلْحُ، إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَا أُعْطِيَ لَهُ أَكْثَرَ مِنْ حِصَّتِهِ مِنْ ذَلِكَ الْجِنْسِ؛ لِيَكُونَ نَصِيبُهُ بِمِثْلِهِ، وَالزِّيَادَةُ تَكُونُ فِي مُقَابِل حَقِّهِ مِنْ بَقِيَّةِ التَّرِكَةِ احْتِرَازًا عَنِ الرِّبَا، وَلاَ بُدَّ مِنَ التَّقَابُضِ فِيمَا يُقَابِل نَصِيبَهُ؛ لأَِنَّهُ صُرِفَ فِي هَذَا الْقَدْرِ.

 

Bentuk -bentuk Takharuj
11. Jika para ahli waris melakukan takharuj dengan salah seorang dari mereka dengan memberikan imbalan berupa harta, maka terdapat berbagai bentuk takharuj yang berbeda-beda tergantung pada jenis imbalan yang diberikan dan jenis harta warisan. Berikut penjelasannya:
a. Harta Warisan berupa Tanah atau Barang: Jika ahli waris mengeluarkan salah seorang dari mereka dengan memberikan sejumlah uang, maka takharuj tersebut sah, baik jumlah uang yang diberikan lebih sedikit atau lebih banyak dari bagiannya. Hal ini karena tindakan tersebut dapat dianggap sebagai jual beli, dan jual beli sah dengan harga berapa pun. Namun, tindakan tersebut tidak dapat dianggap sebagai pembebasan utang, karena pembebasan utang atas benda tidak bergerak tidak sah.
Tidak perlu diketahui secara pasti berapa bagian harta warisan yang seharusnya diterima oleh orang yang dikeluarkan, karena ketidaktahuan dalam hal ini tidak membatalkan jual beli, sebab benda yang dijual tidak perlu diserahkan secara fisik.
b. Harta Warisan berupa Emas dan Imbalan Perak, atau Sebaliknya: Jika harta warisan berupa emas dan diberikan imbalan berupa perak, atau sebaliknya, maka takharuj tersebut juga sah, baik jumlah imbalan lebih sedikit atau lebih banyak dari bagiannya. Hal ini karena tindakan tersebut merupakan jual beli barang yang berbeda jenis, sehingga tidak perlu persamaan nilai.
Namun, penyerahan harus dilakukan saat itu juga karena tindakan ini termasuk dalam kategori tukar menukar. Kecuali jika ahli waris yang masih memegang sisa harta warisan mengingkari kepemilikannya, maka cukup dengan penyerahan simbolik. Hal ini karena penyerahan tersebut dianggap sebagai jaminan, sehingga menggantikan penyerahan dalam perjanjian takharuj.
Secara umum, jika kedua penyerahan memiliki sifat yang sama, seperti penyerahan sebagai jaminan, maka salah satu dapat menggantikan yang lainnya. Namun, jika berbeda, maka penyerahan yang bersifat jaminan tidak dapat menggantikan penyerahan dalam perjanjian takharuj.
Jika ahli waris yang masih memegang sisa harta waris mengakui kepemilikannya, maka harus dilakukan penyerahan secara fisik di tempat yang memungkinkan, karena penyerahan ini bersifat titipan dan tidak dapat menggantikan penyerahan dalam perjanjian takharuj.
c. Harta Warisan dan Imbalan berupa Uang: Jika harta warisan dan imbalan berupa uang (dirham dan dinar), maka takharuj tersebut sah, meskipun dilakukan dengan menukar jenis uang yang berbeda, sama seperti dalam jual beli. Namun, penyerahan harus dilakukan saat itu juga karena tindakan ini termasuk dalam kategori tukar menukar.
d. Harta Warisan Beragam dan Imbalan Tunai: Jika harta warisan terdiri dari emas, perak, dan barang-barang lainnya, dan diberikan imbalan berupa uang tunai, maka takharuj tersebut tidak sah kecuali jika jumlah uang yang diberikan lebih banyak dari bagiannya dalam jenis uang tersebut. Hal ini dilakukan agar orang yang dikeluarkan mendapatkan bagiannya yang setara, dan kelebihannya diberikan sebagai imbalan atas bagiannya dalam harta warisan lainnya. Tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya riba. Penyerahan untuk bagian yang setara harus dilakukan saat itu juga karena termasuk dalam kategori tukar menukar.

فَإِنْ كَانَ مَا أَعْطَوْهُ مُسَاوِيًا لِنَصِيبِهِ، أَوْ كَانَ أَقَل مِنْ نَصِيبِهِ بَطَل الصُّلْحُ لِوُجُودِ الرِّبَا؛ لأَِنَّهُ إِذَا كَانَ الْبَدَل مُسَاوِيًا تَبْقَى الزِّيَادَةُ مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْبَدَل خَالِيَةً عَنِ الْعِوَضِ، فَيَكُونُ رِبًا. وَإِنْ كَانَ الْبَدَل أَقَل مِنْ نَصِيبِهِ تَبْقَى الزِّيَادَةُ مِنْ جِنْسِ ذَلِكَ وَمِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ خَالِيَةً عَنِ الْعِوَضِ، فَيَكُونُ رِبًا. وَتَعَذَّرَ تَجْوِيزُهُ بِطَرِيقِ الْمُعَاوَضَةِ لِلُزُومِ الرِّبَا، وَلاَ يَصِحُّ تَجْوِيزُهُ بِطَرِيقِ الإِْبْرَاءِ عَنِ الْبَاقِي؛ لأَِنَّ الإِْبْرَاءَ عَنِ الأَْعْيَانِ بَاطِلٌ.
وَكَذَلِكَ يَبْطُل التَّخَارُجُ إِنْ كَانَ نَصِيبُهُ مَجْهُولاً
لاِحْتِمَال الرِّبَا؛ لأَِنَّ الْفَسَادَ عَلَى تَقْدِيرِ أَنْ يَكُونَ الْبَدَل مُسَاوِيًا لَهُ أَوْ أَقَل، فَكَانَ أَرْجَحَ وَأَوْلَى بِالاِعْتِبَارِ.
وَنُقِل عَنِ الْحَاكِمِ أَبِي الْفَضْل أَنَّ الصُّلْحَ إِنَّمَا يَبْطُل عَلَى أَقَل مِنْ نَصِيبِهِ فِي مَال الرِّبَا فِي حَالَةِ التَّصَادُقِ، أَمَّا فِي حَالَةِ التَّنَاكُرِ بِأَنْ أَنْكَرُوا وِرَاثَتَهُ فَالصُّلْحُ جَائِزٌ؛ لأَِنَّهُ فِي حَالَةِ الْمُنَاكَرَةِ يَكُونُ الْمَدْفُوعُ لِقَطْعِ الْمُنَازَعَةِ وَلاِفْتِدَاءِ الْيَمِينِ، أَوْ لِحَمْلِهِ عَلَى أَخْذِ عَيْنِ الْحَقِّ فِي قَدْرِ الْمَأْخُوذِ وَإِسْقَاطِ الْحَقِّ فِي الْبَاقِي، كَمَا قَالُوا فِي الصُّلْحِ عَنِ الدَّيْنِ بِأَقَل مِنْ جِنْسِهِ.
هـ – وَلَوْ كَانَتِ التَّرِكَةُ ذَهَبًا وَفِضَّةً وَغَيْرَ ذَلِكَ مِنَ الْعُرُوضِ وَالْعَقَارِ فَصَالَحُوهُ عَلَى عَرَضٍ جَازَ الصُّلْحُ مُطْلَقًا، سَوَاءٌ أَكَانَ مَا أَعْطَوْهُ أَقَل مِنْ نَصِيبِهِ أَوْ أَكْثَرَ.
و إِذَا كَانَتْ أَعْيَانُ التَّرِكَةِ مَجْهُولَةً وَالصُّلْحُ عَلَى الْمَكِيل أَوِ الْمَوْزُونِ فَفِيهِ اخْتِلاَفٌ. قَال الْمَرْغِينَانِيُّ: لاَ يَجُوزُ الصُّلْحُ لِمَا فِيهِ مِنَ احْتِمَال الرِّبَا، بِأَنْ يَكُونَ فِي التَّرِكَةِ مَكِيلٌ أَوْ مَوْزُونٌ مِنْ جِنْسِهِ، فَيَكُونُ فِي حَقِّهِ بَيْعُ الْمُقَدَّرِ بِجِنْسِهِ جُزَافًا.
وَقَال الْفَقِيهُ أَبُو جَعْفَرٍ: يَجُوزُ لاِحْتِمَال أَنْ لاَ يَكُونَ فِي التَّرِكَةِ مِنْ ذَلِكَ الْجِنْسِ، وَإِنْ كَانَ فِيهَا فَيُحْتَمَل أَنْ يَكُونَ نَصِيبُهُ مِنْ ذَلِكَ الْجِنْسِ فِي التَّرِكَةِ أَقَل مِمَّا وَقَعَ عَلَيْهِ الصُّلْحُ فَلاَ يَلْزَمُ الرِّبَا، وَاحْتِمَال أَنْ يَكُونَ نَصِيبُهُ مِنْ ذَلِكَ أَكْثَرَ، أَوْ مِثْل مَا وَقَعَ عَلَيْهِ الصُّلْحُ هُوَ احْتِمَال الاِحْتِمَال، فَفِيهِ شُبْهَةُ الشُّبْهَةِ وَلَيْسَتْ بِمُعْتَبَرَةٍ

Jika imbalan yang diberikan kepada ahli waris yang dikeluarkan sama dengan atau kurang dari bagiannya, maka perjanjian takharuj menjadi batal karena mengandung unsur riba. Hal ini dikarenakan:
* Jika imbalan sama dengan bagiannya: Sisa harta warisan yang berbeda jenis akan menjadi kelebihan yang tidak ada imbalannya, sehingga termasuk dalam kategori riba.
* Jika imbalan kurang dari bagiannya: Sisa harta warisan yang sama jenis maupun berbeda jenis akan menjadi kelebihan yang tidak ada imbalannya, sehingga termasuk dalam kategori riba.
Tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan dengan alasan saling mengganti kerugian, karena akan tetap mengandung unsur riba. Pembebasan utang atas sisa harta warisan juga tidak dapat dilakukan karena pembebasan utang atas benda tidak bergerak adalah tidak sah.
Demikian pula, jika bagian harta waris yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang dikeluarkan tidak diketahui jumlahnya, maka perjanjian takharuj menjadi batal karena berpotensi mengandung unsur riba. Hal ini dikarenakan kemungkinan terjadinya riba lebih besar jika imbalan yang diberikan sama dengan atau kurang dari bagiannya.
Al-Hakim Abu al-Fadl berpendapat bahwa perjanjian takharuj hanya batal jika imbalan yang diberikan kurang dari bagiannya dalam kasus harta yang mengandung unsur riba dan terdapat perselisihan mengenai hak waris. Namun, jika hak waris dibantah, maka perjanjian takharuj tetap sah karena imbalan yang diberikan dianggap sebagai ganti rugi atas perselisihan atau untuk menarik kembali sumpah, atau untuk memberikan hak yang sesuai dengan jumlah yang diterima dan melepaskan hak atas sisanya. Pendapat ini sama seperti dalam kasus perdamaian utang dengan jumlah yang lebih kecil.
Jika harta warisan terdiri dari berbagai jenis barang (emas, perak, barang dagangan, dan tanah) dan diberikan imbalan berupa barang dagangan, maka perjanjian takharuj sah secara mutlak, baik jumlah imbalan lebih sedikit atau lebih banyak dari bagiannya.
Jika jumlah harta warisan tidak diketahui secara pasti dan imbalan diberikan dalam bentuk barang yang diukur atau ditimbang, maka terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Al-Marghiyani berpendapat bahwa perjanjian takharuj tidak sah karena berpotensi mengandung unsur riba, yaitu jika dalam harta warisan terdapat barang yang sejenis dengan barang yang diberikan sebagai imbalan, sehingga terjadi jual beli barang yang diukur dengan harga yang tidak pasti.
Namun, ulama lain berpendapat bahwa perjanjian takharuj tersebut sah karena kemungkinan tidak adanya barang sejenis dalam harta warisan. Jika ada barang sejenis, mungkin saja bagian ahli waris dalam jenis barang tersebut lebih sedikit dari jumlah imbalan yang diberikan, sehingga tidak terjadi riba. Kemungkinan lain adalah bagian ahli waris sama dengan atau lebih banyak dari jumlah imbalan, namun ini adalah kemungkinan yang sangat kecil dan tidak perlu diperhitungkan.

وَقَوْل أَبِي جَعْفَرٍ هُوَ الصَّحِيحُ عَلَى مَا فِي الزَّيْلَعِيِّ وَفَتَاوَى قَاضِي خَانْ.
ز – وَإِنْ كَانَتْ أَعْيَانُ التَّرِكَةِ مَجْهُولَةً، وَهِيَ غَيْرُ مَكِيلٍ أَوْ مَوْزُونٍ فِي يَدِ بَقِيَّةِ الْوَرَثَةِ، وَكَانَ الصُّلْحُ عَلَى الْمَكِيل أَوِ الْمَوْزُونِ قِيل: لاَ يَجُوزُ؛ لأَِنَّهُ بَيْعُ الْمَجْهُول؛ لأَِنَّ الْمُصَالِحَ بَاعَ نَصِيبَهُ مِنَ التَّرِكَةِ وَهُوَ مَجْهُولٌ بِمَا أَخَذَ مِنَ الْمَكِيل وَالْمَوْزُونِ.
وَالأَْصَحُّ أَنَّهُ يَجُوزُ؛ لأَِنَّ الْجَهَالَةَ هُنَا لاَ تُفْضِي إِلَى الْمُنَازَعَةِ لِعَدَمِ الْحَاجَةِ إِلَى التَّسْلِيمِ، لِقِيَامِ التَّرِكَةِ فِي يَدِهِمْ، حَتَّى لَوْ كَانَتْ فِي يَدِ الْمُصَالِحِ أَوْ بَعْضِهَا لَمْ يَجُزِ الصُّلْحُ، مَا لَمْ يَعْلَمْ جَمِيعَ مَا فِي يَدِهِ لِلْحَاجَةِ إِلَى التَّسْلِيمِ. (1)
صُوَرُ التَّخَارُجِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ:
يُفَرِّقُ الْمَالِكِيَّةُ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ بَدَل التَّخَارُجِ مِنْ نَفْسِ التَّرِكَةِ، وَبَيْنَ أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِهَا.

أَوَّلاً: إِذَا كَانَ بَدَل التَّخَارُجِ مِنْ نَفْسِ التَّرِكَةِ:
12 – إِذَا كَانَتِ التَّرِكَةُ قَدِ اشْتَمَلَتْ عَلَى عَرَضٍ وَفِضَّةٍ وَذَهَبٍ، وَصَالَحَ الْوَرَثَةُ أَحَدَهُمْ عَنْ إِرْثِهِ. كَزَوْجَةٍ مَثَلاً مَاتَ زَوْجُهَا فَصَالَحَهَا الاِبْنُ عَلَى
مَا يَخُصُّهَا مِنَ التَّرِكَةِ، فَإِنَّ الصُّلْحَ يَجُوزُ فِي الْحَالاَتِ الآْتِيَةِ:
أ – إِذَا أَخَذَتْ ذَهَبًا مِنَ التَّرِكَةِ قَدْرَ حِصَّتِهَا مِنْ ذَهَبِ التَّرِكَةِ أَوْ أَقَل، أَوْ أَخَذَتْ دَرَاهِمَ مِنَ التَّرِكَةِ قَدْرَ حِصَّتِهَا مِنْ دَرَاهِمِ التَّرِكَةِ أَوْ أَقَل، وَذَلِكَ كَصُلْحِهَا بِعَشَرَةِ دَنَانِيرَ أَوْ أَقَل وَالذَّهَبُ ثَمَانُونَ عِنْدَ الْفَرْعِ الْوَارِثِ؛ لأَِنَّهَا أَخَذَتْ حَظَّهَا (أَيِ: الثَّمَنَ) مِنَ الدَّنَانِيرِ أَوْ بَعْضَهُ فَيَكُونُ الْبَاقِي كَأَنَّهُ هِبَةٌ لِلْوَرَثَةِ.
وَلَكِنْ يُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ الذَّهَبُ الَّذِي أَخَذَتْ مِنْهُ حَاضِرًا كُلَّهُ، أَوْ تَكُونَ الدَّرَاهِمُ حَاضِرَةً كُلَّهَا إِنْ أَخَذَتْ مِنْهَا، وَسَوَاءٌ حَضَرَ مَا عَدَا ذَلِكَ مِنَ التَّرِكَةِ أَمْ غَابَ؛ لأَِنَّ النَّوْعَ الَّذِي أَخَذَتْ مِنْهُ لَوْ كَانَ بَعْضُهُ غَائِبًا تَرَتَّبَ عَلَى ذَلِكَ صُورَةٌ مَمْنُوعَةٌ، وَهِيَ: اشْتِرَاطُ تَعْجِيل الثَّمَنِ فِي بَيْعِ الشَّيْءِ الْغَائِبِ بَيْعًا لاَزِمًا. (1)
ب – إِذَا أَخَذَتْ ذَهَبًا مِنَ التَّرِكَةِ زَائِدًا عَلَى حَظِّهَا دِينَارًا وَاحِدًا فَقَطْ. كَصُلْحِهَا بِأَحَدَ عَشَرَ مِنَ الثَّمَانِينَ الْحَاضِرَةِ؛ لأَِنَّهَا أَخَذَتْ نَصِيبَهَا مِنَ الدَّنَانِيرِ، وَبَاعَتْ لِبَاقِي الْوَرَثَةِ حَظَّهَا مِنَ الدَّرَاهِمِ وَالْعَرَضِ بِالدِّينَارِ الزَّائِدِ، فَجَمِيعُ مَا فِيهِ مِنَ الْبَيْعِ وَالصَّرْفِ دِينَارٌ؛ لأَِنَّهُ لاَ يَجُوزُ أَنْ يَجْتَمِعَ الْبَيْعُ وَالصَّرْفُ فِي أَكْثَرَ مِنْ دِينَارٍ. وَلَكِنْ يُشْتَرَطُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ أَنْ تَكُونَ التَّرِكَةُ كُلُّهَا مِنْ عَرَضٍ وَنَقْدٍ حَاضِرَةً

Pendapat Abu Ja’far:
Pendapat Abu Ja’far lebih tepat menurut Al-Zayla’i dan Qadhi Khan.
z. Harta Warisan Tidak Diketahui dan Imbalan Terukur:
Jika harta warisan tidak diketahui jumlahnya dan tidak berupa barang yang diukur atau ditimbang, sementara imbalan yang diberikan berupa barang yang diukur atau ditimbang, maka ada perbedaan pendapat:
* Pendapat pertama: Perjanjian takharuj tidak sah karena dianggap sebagai jual beli terhadap sesuatu yang tidak diketahui, karena ahli waris yang dikeluarkan menjual bagiannya yang tidak diketahui dengan imbalan yang diketahui.
* Pendapat yang lebih kuat: Perjanjian takharuj sah karena ketidaktahuan dalam hal ini tidak menimbulkan perselisihan, mengingat harta warisan masih berada di tangan ahli waris lainnya. Bahkan jika sebagian harta warisan berada di tangan ahli waris yang dikeluarkan, perjanjian tetap tidak sah jika ia tidak mengetahui seluruh harta yang dimilikinya, karena diperlukan penyerahan secara fisik.
Bentuk-Bentuk Takharuj menurut Mazhab Maliki:
Mazhab Maliki membedakan antara kasus di mana imbalan takharuj berasal dari harta warisan itu sendiri dan kasus di mana imbalan berasal dari harta di luar warisan.
Pertama: Imbalan berasal dari harta warisan:
* Jika harta warisan terdiri dari berbagai jenis barang (misalnya tanah, perak, dan emas) dan seorang ahli waris, misalnya seorang istri, ingin keluar dari warisan, maka perjanjian takharuj sah dalam kondisi berikut:
* Imbalan kurang dari atau sama dengan bagiannya: Jika istri mengambil emas dari harta warisan sejumlah atau kurang dari bagian emasnya, atau mengambil perak sejumlah atau kurang dari bagian peraknya, maka perjanjian sah. Misalnya, jika ia mengambil 10 dinar atau kurang dari 80 dinar emas yang ada, maka perjanjian sah karena ia telah mengambil sebagian atau seluruh bagiannya dalam bentuk dinar, dan sisanya dianggap sebagai hibah dari ahli waris lainnya. Namun, syaratnya adalah semua emas atau perak yang akan diambil harus ada secara fisik. Jika ada sebagian yang tidak ada, maka perjanjian menjadi tidak sah karena akan melibatkan jual beli terhadap barang yang belum ada.
* Imbalan lebih satu dinar dari bagiannya: Jika istri mengambil emas lebih satu dinar dari bagiannya, misalnya 11 dinar dari 80 dinar yang ada, maka perjanjian juga sah. Hal ini karena ia telah mengambil bagiannya dalam bentuk dinar, dan dinar tambahan dianggap sebagai pembayaran atas bagiannya dalam barang lainnya. Namun, syaratnya adalah semua harta warisan harus ada secara fisik

.
ج – إِذَا صُولِحَتْ بِذَهَبٍ مِنْ ذَهَبِ التَّرِكَةِ، وَكَانَ مَا أَخَذَتْهُ يَزِيدُ عَمَّا يَخُصُّهَا مِنَ الذَّهَبِ أَكْثَرَ مِنْ دِينَارٍ، جَازَ هَذَا الصُّلْحُ إِنْ قَلَّتِ الدَّرَاهِمُ الَّتِي تَسْتَحِقُّهَا عَنْ صَرْفِ دِينَارٍ، أَوْ قَلَّتْ قِيمَةُ الْعُرُوضِ الَّتِي تَسْتَحِقُّهَا عَنْ صَرْفِ دِينَارٍ، أَوْ قَلَّتِ الدَّرَاهِمُ وَالْعُرُوضُ عَنْ صَرْفِ دِينَارٍ.
وَإِنَّمَا جَازَ فِي هَذِهِ الْحَالاَتِ لاِجْتِمَاعِ الْبَيْعِ وَالصَّرْفِ فِي دِينَارٍ وَاحِدٍ فَقَطْ؛ لأَِنَّهُ لاَ يَجُوزُ أَنْ يَجْتَمِعَ الْبَيْعُ وَالصَّرْفُ فِي أَكْثَرَ مِنْ دِينَارٍ (1)
وَيُشْتَرَطُ أَنْ تَكُونَ التَّرِكَةُ كُلُّهَا مَعْلُومَةً وَحَاضِرَةً. فَإِنْ كَانَتِ الدَّرَاهِمُ وَقِيمَةُ الْعُرُوضِ أَكْثَرَ مِنْ صَرْفِ دِينَارٍ مُنِعَ الصُّلْحُ حِينَئِذٍ؛ لأَِنَّهُ يُؤَدِّي إِلَى اجْتِمَاعِ الْبَيْعِ وَالصَّرْفِ فِي أَكْثَرَ مِنْ دِينَارٍ.
د – إِذَا صُولِحَتْ بِعَرَضٍ مِنْ عُرُوضِ التَّرِكَةِ جَازَ الصُّلْحُ مُطْلَقًا، سَوَاءٌ أَكَانَ مَا أَخَذَتْهُ قَدْرَ نَصِيبِهَا أَمْ أَقَل أَمْ أَكْثَرَ.
ثَانِيًا: إِذَا كَانَ بَدَل التَّخَارُجِ مِنْ غَيْرِ التَّرِكَةِ:

C. Jika terjadi perdamaian dengan diberikan emas dari harta warisan, dan apa yang dia ambil lebih banyak dari bagian emasnya sebesar lebih dari satu dinar, maka perdamaian ini sah jika dinar yang seharusnya dia dapatkan nilainya lebih sedikit dari nilai tukar satu dinar, atau nilai barang yang seharusnya dia dapatkan nilainya lebih sedikit dari nilai tukar satu dinar, atau baik dinar maupun barang nilainya lebih sedikit dari nilai tukar satu dinar.
Perdamaian dalam kondisi ini sah karena jual beli dan tukar menukar hanya terjadi pada satu dinar saja. Hal ini karena tidak diperbolehkan menggabungkan jual beli dan tukar menukar dalam lebih dari satu dinar.
Disyaratkan pula bahwa seluruh harta warisan diketahui dan ada. Jika dinar dan nilai barang lebih dari nilai tukar satu dinar, maka perdamaian dilarang karena akan menyebabkan terjadinya jual beli dan tukar menukar dalam lebih dari satu dinar.
D. Jika terjadi perdamaian dengan diberikan barang dari harta warisan, maka perdamaian tersebut sah secara mutlak, baik apa yang dia ambil sama dengan bagiannya, lebih sedikit, atau lebih banyak.
Kedua: Jika pengganti keluarnya (dari harta warisan) adalah dari selain harta warisan:


13 – إِذَا كَانَ بَدَل التَّخَارُجِ مِنْ غَيْرِ التَّرِكَةِ فَإِنَّ حُكْمَ الصُّلْحِ يَخْتَلِفُ تَبَعًا لاِخْتِلاَفِ الْحَالاَتِ وَهِيَ:
أ – إِذَا كَانَتِ التَّرِكَةُ عُرُوضًا وَفِضَّةً وَذَهَبًا، وَصَالَحَهَا الْوَرَثَةُ بِذَهَبٍ مِنْ غَيْرِ ذَهَبِ التَّرِكَةِ، أَوْ
بِفِضَّةٍ مِنْ غَيْرِ فِضَّةِ التَّرِكَةِ، فَلاَ يَجُوزُ هَذَا الصُّلْحُ، قَل مَا أَخَذَتْهُ عَنْ نَصِيبِهَا أَوْ كَثُرَ؛ لأَِنَّهُ بَيْعُ ذَهَبٍ وَفِضَّةٍ وَعَرَضٍ بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ، وَهَذَا رِبَا فَضْلٍ، وَفِيهِ رِبَا النَّسَاءِ إِنْ غَابَتِ التَّرِكَةُ كُلُّهَا أَوْ بَعْضُهَا؛ لأَِنَّ حُكْمَهُ حُكْمُ النَّقْدِ إِذَا صَاحَبَهُ النَّقْدُ.
ب – إِذَا كَانَتِ التَّرِكَةُ كَمَا ذُكِرَ فِي الصُّورَةِ السَّابِقَةِ، وَصَالَحَ الْوَرَثَةُ الزَّوْجَةَ بِعَرَضٍ مِنْ غَيْرِ عَرَضِ التَّرِكَةِ جَازَ هَذَا الصُّلْحُ بِشُرُوطٍ هِيَ:
أَنْ تَكُونَ التَّرِكَةُ كُلُّهَا مَعْلُومَةً لِلْمُتَصَالِحِينَ لِيَكُونَ الصُّلْحُ عَلَى مَعْلُومٍ، وَأَنْ تَكُونَ التَّرِكَةُ جَمِيعُهَا حَاضِرَةً حَقِيقَةً فِي الْعَيْنِ أَوْ حُكْمًا فِي الْعَرَضِ، بِأَنْ كَانَتْ قَرِيبَةَ الْغَيْبَةِ بِحَيْثُ يَجُوزُ النَّقْدُ فِيهِ فَهُوَ فِي حُكْمِ الْحَاضِرِ، وَأَنْ يَكُونَ الصُّلْحُ عَنْ إِقْرَارٍ، وَأَنْ يُقِرَّ الْمَدِينُ بِمَا عَلَيْهِ إِنْ كَانَ فِي التَّرِكَةِ دَيْنٌ، وَأَنْ يَحْضُرَ وَقْتَ الصُّلْحِ إِذْ لَوْ غَابَ لاَحْتُمِل إِنْكَارُهُ، وَأَنْ يَكُونَ مُكَلَّفًا.
ج – إِذَا كَانَتِ التَّرِكَةُ دَرَاهِمَ وَعَرَضًا، أَوْ ذَهَبًا وَعَرَضًا، جَازَ الصُّلْحُ بِذَهَبٍ مِنْ غَيْرِ ذَهَبِ التَّرِكَةِ، أَوْ بِفِضَّةٍ مِنْ غَيْرِ التَّرِكَةِ بِشَرْطِ أَنْ لاَ يَجْتَمِعَ الْبَيْعُ وَالصَّرْفُ فِي أَكْثَرَ مِنْ دِينَارٍ.

13. Jika pengganti (yang diberikan dalam perdamaian) berasal dari luar harta warisan, maka hukum perdamaian tersebut berbeda-beda tergantung pada kondisinya, yaitu:

A. Jika harta warisan terdiri dari barang, perak, dan emas, dan ahli waris didamaikan dengan emas dari luar harta warisan, atau dengan perak dari luar harta warisan, maka perdamaian ini tidak sah, baik dia mengambil sedikit atau banyak dari bagiannya. Hal ini karena ini merupakan jual beli emas, perak, dan barang dengan emas atau perak, dan ini termasuk riba fadhl, dan di dalamnya terdapat riba nasaa’ jika seluruh atau sebagian harta warisan tidak ada. Hal ini karena hukumnya sama dengan hukum tunai jika disertai dengan tunai.
B. Jika harta warisan seperti yang disebutkan dalam kondisi sebelumnya, dan ahli waris mendamaikan istri dengan barang dari luar harta warisan, maka perdamaian ini sah dengan syarat-syarat sebagai berikut:
* Seluruh harta warisan diketahui oleh para pihak yang berdamai agar perdamaian dilakukan secara jelas.
* Seluruh harta warisan benar-benar ada secara fisik atau secara hukum dalam bentuk utang yang segera dapat dicairkan, sehingga dianggap sama dengan yang ada.
* Perdamaian dilakukan berdasarkan pengakuan.
* Debitor mengakui utangnya jika dalam harta warisan terdapat utang.
* Debitor hadir pada saat perdamaian karena jika dia tidak hadir, maka dikhawatirkan dia akan mengingkari.
* Debitor harus mampu menanggung akibat hukum dari perbuatannya.
C. Jika harta warisan terdiri dari dirham, barang, atau emas dan barang, maka perdamaian dengan emas dari luar harta warisan atau dengan perak dari luar harta warisan diperbolehkan dengan syarat tidak terjadi penggabungan jual beli dan tukar menukar dalam jumlah lebih dari satu dinar.


مَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ:
14 – يُفَرِّقُ الشَّافِعِيَّةُ فِي تَخَارُجِ الْوَرَثَةِ بَيْنَ مَا إِذَا كَانَ الصُّلْحُ بَيْنَهُمْ عَنْ إِقْرَارٍ أَوْ عَنْ إِنْكَارٍ، فَإِنْ كَانَ عَنْ إِقْرَارٍ، وَكَانَ الْبَدَل مِنْ غَيْرِ الْمُتَصَالَحِ عَلَيْهِ كَانَ بَيْعًا تَثْبُتُ فِيهِ أَحْكَامُ الْبَيْعِ، كَاشْتِرَاطِ الْقَبْضِ إِنِ اتَّفَقَ الْمُصَالَحُ عَنْهُ وَالْمُصَالَحُ عَلَيْهِ فِي عِلَّةِ الرِّبَا، وَكَاشْتِرَاطِ التَّسَاوِي إِذَا كَانَ جِنْسًا رِبَوِيًّا وَغَيْرَ ذَلِكَ.
وَإِنْ جَرَى الصُّلْحُ عَلَى بَعْضِ الْمُتَصَالَحِ عَنْهُ فَهُوَ هِبَةٌ لِلْبَعْضِ، وَتَثْبُتُ فِيهِ أَحْكَامُ الْهِبَةِ.
هَذَا بِالنِّسْبَةِ لِلصُّلْحِ عَنْ إِقْرَارٍ، أَمَّا الصُّلْحُ عَنْ إِنْكَارٍ فَهُوَ بَاطِلٌ عِنْدَهُمْ، لَكِنَّهُمْ يَسْتَثْنُونَ مِنْ بُطْلاَنِ الصُّلْحِ عَلَى الإِْنْكَارِ صُلْحَ الْوَرَثَةِ فِيمَا بَيْنَهُمْ لِلضَّرُورَةِ، لَكِنْ يُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ مَا يُعْطَى لِلْمُتَصَالِحِ مِنْ نَفْسِ التَّرِكَةِ لاَ مِنْ غَيْرِهَا، وَيَسْتَوِي أَنْ يَكُونَ التَّصَالُحُ عَلَى تَسَاوٍ أَوْ تَفَاوُتٍ. (1)
مَذْهَبُ الْحَنَابِلَةِ:
15 – لَمْ يَذْكُرِ الْحَنَابِلَةُ صُوَرًا لِلتَّخَارُجِ، وَهُوَ يَجْرِي عَلَى قَوَاعِدِ الصُّلْحِ الْعَامَّةِ الَّتِي قَدْ تَكُونُ بَيْعًا أَوْ هِبَةً أَوْ إِبْرَاءً.
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الْبَدَل مِنْ جِنْسِ الْمُتَصَالَحِ عَلَيْهِ وَمِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ، فَإِنْ كَانَ مِنْ جِنْسِ حَقِّهِ بِقَدْرِهِ فَهُوَ اسْتِيفَاءٌ لَهُ، وَإِنْ كَانَ دُونَهُ فَهُوَ اسْتِيفَاءٌ لِبَعْضِهِ وَتَرْكٌ لِلْبَعْضِ الآْخَرِ: إِمَّا عَلَى سَبِيل الإِْبْرَاءِ أَوْ عَلَى سَبِيل الْهِبَةِ.
وَإِنْ كَانَ الْبَدَل مِنْ غَيْرِ جِنْسِ الْمُتَصَالَحِ عَلَيْهِ كَانَ بَيْعًا تَجْرِي فِيهِ أَحْكَامُ الْبَيْعِ، وَتُرَاعَى شُرُوطُ الصَّرْفِ إِنْ كَانَ عَنْ نَقْدٍ بِنَقْدٍ وَهَكَذَا.

وَيُشْتَرَطُ – إِنْ كَانَ الصُّلْحُ عَنْ إِنْكَارٍ – أَنْ لاَ يَأْخُذَ الْمُتَصَالِحُ مِنْ جِنْسِ حَقِّهِ أَكْثَرَ مِمَّا يَسْتَحِقُّ؛ لأَِنَّ الزَّائِدَ لاَ مُقَابِل لَهُ، فَيَكُونُ ظَالِمًا بِأَخْذِهِ، بِخِلاَفِ مَا إِذَا أَخَذَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ؛ لأَِنَّهُ يَكُونُ بَيْعًا فِي حَقِّ الْمُدَّعِي؛ لاِعْتِقَادِهِ أَخْذَهُ عِوَضًا، وَيَكُونُ فِي حَقِّ الْمُنْكِرِ بِمَنْزِلَةِ الإِْبْرَاءِ؛ لأَِنَّهُ دَفَعَ الْمَال افْتِدَاءً لِيَمِينِهِ وَرَفْعًا لِلضَّرَرِ عَنْهُ. (1)

Mazhab Syafi’i:
14.Mazhab Syafi’i membedakan antara perdamaian yang dilakukan berdasarkan pengakuan dan yang dilakukan berdasarkan penolakan. Jika perdamaian dilakukan berdasarkan pengakuan dan penggantinya bukan dari harta yang dipermasalahkan, maka ini dianggap sebagai jual beli yang berlaku hukum jual beli, seperti syarat penyerahan jika kedua belah pihak sepakat mengenai hal yang membatalkan riba, dan syarat kesetaraan jika barang tersebut termasuk jenis yang terkena riba dan sebagainya.
Jika perdamaian hanya dilakukan pada sebagian harta yang dipermasalahkan, maka ini dianggap sebagai hibah (pemberian) kepada sebagian pihak, dan berlaku hukum hibah.
Ini berlaku untuk perdamaian berdasarkan pengakuan. Adapun perdamaian berdasarkan penolakan, menurut mereka, adalah batal. Namun, mereka membuat pengecualian untuk perdamaian antara ahli waris dalam keadaan darurat, dengan syarat apa yang diberikan kepada pihak yang berdamai berasal dari harta warisan itu sendiri, bukan dari luar. Perdamaian ini boleh dilakukan baik secara sama maupun tidak sama.
Mazhab Hanbali:

15. Mazhab Hanbali tidak menyebutkan bentuk-bentuk khusus dalam perdamaian, tetapi mengikuti kaidah umum perdamaian yang bisa berupa jual beli, hibah, atau pembebasan utang.


Pengganti (yang diberikan dalam perdamaian) boleh sejenis dengan harta yang dipermasalahkan atau berbeda jenis. Jika sejenis dan nilainya sama, maka ini merupakan pelunasan utang. Jika nilainya kurang, maka ini merupakan pelunasan sebagian utang dan sisanya dibebaskan, baik dengan cara pembebasan utang atau hibah.
Jika pengganti berbeda jenis, maka ini dianggap sebagai jual beli yang berlaku hukum jual beli, dan syarat-syarat tukar menukar harus diperhatikan jika dilakukan dengan uang tunai dan sebagainya.
Jika perdamaian dilakukan berdasarkan penolakan, maka pihak yang berdamai tidak boleh mengambil harta sejenis dengan haknya dalam jumlah yang lebih dari haknya karena kelebihannya tidak ada timbal baliknya, sehingga dia dianggap zalim. Berbeda halnya jika dia mengambil harta yang berbeda jenis, karena ini dianggap sebagai jual beli bagi pihak yang mengklaim haknya, karena dia menganggapnya sebagai ganti rugi, dan dianggap sebagai pembebasan utang bagi pihak yang mengingkari, karena dia memberikan harta untuk menebus sumpahnya dan menghindari kerugian /kemudhoratan darinya (1)

كَوْنُ بَعْضِ التَّرِكَةِ دَيْنًا قَبْل التَّخَارُجِ:
لَوْ كَانَ بَعْضُ التَّرِكَةِ دَيْنًا عَلَى النَّاسِ وَصَالَحَ الْوَرَثَةُ أَحَدَهُمْ عَلَى أَنْ يُخْرِجُوهُ مِنَ الدَّيْنِ وَيَكُونَ لَهُمْ، فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي جَوَازِ الصُّلْحِ حَسَبَ الاِتِّجَاهَاتِ الآْتِيَةِ:
16 – فَعِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ الصُّلْحُ بَاطِلٌ فِي الْعَيْنِ
وَالدَّيْنِ، أَمَّا فِي الدَّيْنِ فَلأَِنَّ فِيهِ تَمْلِيكَ الدَّيْنِ – وَهُوَ حِصَّةُ الْمُصَالِحِ – مِنْ غَيْرِ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ وَهْمُ الْوَرَثَةُ، وَأَمَّا فِي الْعَيْنِ فَلأَِنَّ الصَّفْقَةَ وَاحِدَةٌ، سَوَاءٌ بَيَّنَ حِصَّةَ الدَّيْنِ أَوْ لَمْ يُبَيِّنْ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ، وَهُوَ قَوْل صَاحِبَيْهِ عَلَى الأَْصَحِّ.
وَقَدْ ذَكَرَ الْحَنَفِيَّةُ بَعْضَ الصُّوَرِ لِتَصْحِيحِ هَذَا الصُّلْحِ وَهِيَ:
أ – أَنْ يَشْتَرِطَ الْوَرَثَةُ أَنْ يُبْرِئَ الْمُصَالِحُ الْغُرَمَاءَ مِنْ حِصَّتِهِ مِنَ الدَّيْنِ؛ لأَِنَّهُ حِينَئِذٍ يَكُونُ إِسْقَاطًا، أَوْ هُوَ تَمْلِيكُ الدَّيْنِ مِمَّنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ وَهُوَ جَائِزٌ.
ب – أَنْ يُعَجِّل الْوَرَثَةُ قَضَاءَ نَصِيبِ الْمُصَالَحِ مِنَ الدَّيْنِ مُتَبَرِّعِينَ وَيُحِيلُهُمْ بِحِصَّتِهِ. وَفِي هَذَيْنِ الْوَجْهَيْنِ ضَرَرُ بَقِيَّةِ الْوَرَثَةِ؛ لأَِنَّ فِي الأُْولَى لاَ يُمْكِنُهُمُ الرُّجُوعُ عَلَى الْغُرَمَاءِ بِقَدْرِ الْمُصَالَحِ بِهِ. وَكَذَا فِي الثَّانِيَةِ؛ لأَِنَّ النَّقْدَ خَيْرٌ مِنَ النَّسِيئَةِ. (1)
17 – وَالْحَنَابِلَةُ كَالْحَنَفِيَّةِ لاَ يَجُوزُ عِنْدَهُمْ بَيْعُ الدَّيْنِ لِغَيْرِ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ، وَلَكِنْ يَصِحُّ إِبْرَاءُ الْغَرِيمِ مِنْهُ أَوِ الْحَوَالَةُ بِهِ عَلَيْهِ. (2)
18 – أَمَّا عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ: فَإِنَّهُ يَجُوزُ بَيْعُ الدَّيْنِ لِغَيْرِ مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ بِشُرُوطِهِ، وَعَلَى ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَجُوزُ

الصُّلْحُ عَنِ الدَّيْنِ الَّذِي عَلَى الْغَيْرِ، حَيْثُ يَجُوزُ بَيْعُ الدَّيْنِ، وَيُمْتَنَعُ الصُّلْحُ عَنْهُ حَيْثُ يُمْتَنَعُ بَيْعُهُ. فَيَجُوزُ الصُّلْحُ عَنِ الدَّيْنِ إِذَا كَانَ الدَّيْنُ حَيَوَانًا أَوْ عَرَضًا أَوْ طَعَامًا مِنْ قَرْضٍ، وَبِشَرْطِ أَنْ يَكُونَ الْمَدِينُ حَاضِرًا، وَأَنْ يَكُونَ مُقِرًّا بِالدَّيْنِ، وَأَنْ يَكُونَ مُكَلَّفًا، وَيُمْتَنَعُ فِي غَيْرِ مَا تَقَدَّمَ. (1)
19 – وَالأَْظْهَرُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ – عَلَى مَا جَاءَ فِي مُغْنِي الْمُحْتَاجِ – بُطْلاَنُ بَيْعِ الدَّيْنِ لِغَيْرِ مَنْ عَلَيْهِ، وَالْمُعْتَمَدُ جَوَازُ بَيْعِهِ لِغَيْرِ مَنْ عَلَيْهِ بِشُرُوطِهِ، بِأَنْ يَكُونَ الْمَدِينُ مَلِيًّا مُقِرًّا وَالدَّيْنُ حَالًّا مُسْتَقِرًّا.
وَقَال النَّوَوِيُّ: لَوْ قَال أَحَدُ الْوَارِثِينَ لِصَاحِبِهِ: صَالَحْتُكَ مِنْ نَصِيبِي عَلَى هَذَا الثَّوْبِ، فَإِنْ كَانَتِ التَّرِكَةُ دُيُونًا عَلَى غَيْرِهِ فَهُوَ بَيْعُ دَيْنٍ لِغَيْرِ مَنْ عَلَيْهِ، وَإِنْ كَانَ فِيهَا عَيْنٌ وَدَيْنٌ عَلَى الْغَيْرِ – وَلَمْ نُجَوِّزْ بَيْعَ الدَّيْنِ لِغَيْرِ مَنْ هُوَ عَلَيْهِ – بَطَل الصُّلْحُ فِي الدَّيْنِ، وَفِي الْعَيْنِ الْقَوْلاَنِ فِي تَفْرِيقِ الصَّفْقَةِ.
وَلَوْ مَاتَ شَخْصٌ عَنِ ابْنَيْنِ، وَالتَّرِكَةُ أَلْفَا دِرْهَمٍ وَمِائَةُ دِينَارٍ، وَهِيَ دَيْنٌ فِي ذِمَّةِ الْغَيْرِ، فَصَالَحَ أَحَدُهُمَا أَخَاهُ مِنَ الدَّيْنِ عَلَى أَلْفَيْ دِرْهَمٍ جَازَ؛ لأَِنَّهُ إِذَا كَانَ فِي الذِّمَّةِ فَلاَ ضَرُورَةَ إِلَى تَقْدِيرِ الْمُعَاوَضَةِ فِيهِ، فَيُجْعَل مُسْتَوْفِيًا لأَِحَدِ الأَْلْفَيْنِ وَمُعْتَاضًا عَنِ الدَّنَانِيرِ الأَْلْفَ الآْخَرَ.

Adanya Utang dalam Harta Warisan sebelum Perdamaian:
Jika sebagian harta warisan merupakan utang dari orang lain dan para ahli waris berdamai dengan salah satu dari mereka dengan kesepakatan bahwa orang tersebut akan melunasi utang dan menjadi milik mereka, maka para ulama berbeda pendapat mengenai sah tidaknya perdamaian tersebut, yaitu:
* Mazhab Hanafi: Perdamaian ini batal baik untuk utang maupun harta benda lainnya. Untuk utang, karena ini berarti memindahkan kepemilikan utang – yang merupakan hak ahli waris yang berdamai – kepada orang lain tanpa persetujuan si berutang, yaitu para ahli waris lainnya. Sedangkan untuk harta benda lainnya, karena transaksi ini tunggal, baik disebutkan bagian utang atau tidak, menurut pendapat Abu Hanifah dan mayoritas pendapat kedua sahabatnya.
Namun, Mazhab Hanafi menyebutkan beberapa kondisi yang dapat membuat perdamaian ini sah, yaitu:
* Para ahli waris mensyaratkan agar orang yang berdamai membebaskan kreditur dari bagian utangnya, karena dengan demikian ini menjadi penghapusan utang atau pemindahan kepemilikan utang dari si berutang yang diperbolehkan.
* Para ahli waris segera membayar bagian utang dari orang yang berdamai sebagai hadiah dan menggantinya dengan bagian harta lainnya.
Kedua cara di atas merugikan ahli waris lainnya, karena pada cara pertama mereka tidak dapat menuntut kembali kepada kreditur sebesar bagian yang telah didamaikan, dan pada cara kedua, uang tunai lebih baik daripada piutang.
* Mazhab Hanbali: Sama seperti Mazhab Hanafi, Mazhab Hanbali juga tidak memperbolehkan penjualan utang kepada orang lain selain si berutang. Namun, diperbolehkan untuk membebaskan si berutang dari utang atau memindahkan utang tersebut kepadanya.
* Mazhab Maliki: Mazhab Maliki memperbolehkan penjualan utang kepada orang lain selain si berutang dengan beberapa syarat, dan dengan demikian perdamaian atas utang yang dimiliki orang lain juga diperbolehkan jika penjualan utang tersebut diperbolehkan. Perdamaian atas utang diperbolehkan jika utang tersebut berupa hewan, barang, atau makanan yang dipinjamkan, dengan syarat si berutang hadir, mengakui utang, dan mampu menanggung kewajibannya.
* Mazhab Syafi’i: Pendapat yang paling kuat dalam Mazhab Syafi’i adalah tidak sahnya penjualan utang kepada orang lain selain si berutang. Namun, pendapat yang lebih diterima adalah memperbolehkan penjualan utang dengan syarat si berutang mampu membayar, mengakui utang, dan utang tersebut sudah jatuh tempo.
Al-Nawawi menyatakan bahwa jika seorang ahli waris mengatakan kepada orang lain, “Saya berdamai denganmu atas bagianku dari baju ini”, maka jika harta warisan berupa utang kepada orang lain, maka ini merupakan penjualan utang kepada orang lain selain si berutang. Jika harta warisan terdiri dari barang dan utang kepada orang lain, dan penjualan utang kepada orang lain tidak diperbolehkan, maka perdamaian untuk bagian utang batal, sedangkan untuk bagian barang ada dua pendapat mengenai pemisahan transaksi.
Jika seseorang meninggal dan meninggalkan dua orang anak, dan harta warisan terdiri dari 1000 dirham dan 100 dinar yang merupakan utang dari orang lain, dan salah satu anak berdamai dengan saudaranya dengan imbalan 2000 dirham untuk bagian utangnya, maka perdamaian ini sah. Hal ini karena utang yang belum ditagih tidak memerlukan perhitungan nilai yang pasti, sehingga salah satu anak dianggap telah menerima 1000 dirham dan mengganti 1000 dirham lainnya dengan dinar.

Referensi:

سنن ابن ماجه | كتاب الرهون باب من باع عقارا ولم يجعل ثمنه في مثله (حديث رقم: 2490 )

2490- عن سعيد بن حريث، قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم، يقول: «من باع دارا أو عقارا فلم يجعل ثمنه في مثله، كان قمنا أن لا يبارك فيه»

“Barang siapa menjual rumah atau tanah, kemudian tidak menggunakan hasil penjualannya itu untuk membeli yang sejenisnya, maka dia tak layak mendapatkan berkah padanya” (HR. Ahmad, hadits hasan).

حدثنا محمد بن بشار قال: حدثنا عبيد الله بن عبد المجيد قال: حدثني إسماعيل بن إبراهيم بن مهاجر، عن عبد الملك بن عمير، عن عمرو بن حريث، عن أخيه سعيد بن حريث، عن النبي صلى الله عليه وسلم مثله

إسناده ضعيف لضعف إسماعيل بن إبراهيم بن مهاجر، وقد اختلف عليه فيه.
وعد الذهبي في ترجمته من “الميزان” هذا الحديث من مناكيره.
وأخرجه أحمد (١٨٧٣٩) عن وكيع، بهذا الإسناد.
وانظر ما بعده.
قوله: “كان قمنا” بفتح فكسر، أو بفتخين، أي: لائقا حقيقا.
إسناده ضعيف كسابقه.
وأخرجه أحمد (١٥٨٤٢)، والدارمي (٢٦٢٥)، والطحاوي في “شرح مشكل الآثار” (٣٩٤٩)، وأبو يعلى (١٤٥٨)، والبيهقي ٦/ ٣٤ من طرق عن إسماعيل بن إبراهيم بهذا الإسناد.
وأخرجه البيهقي ٦/ ٣٤ من طريق أبي حمزة محمد بن ميمون السكري، عن عبد الملك بن عمير، به.
ومحمد بن ميمون ثقة، لكن في السند إليه محمد بن موسى بن حاتم، وقد تكلموا فيه.
وأخرجه أحمد (١٦٥٠) من طريق قيس بن الربيع، عن عبد الملك بن عمير، عن عمرو بن حريث، عن سعيد بن زيد مرفوعا.
وقيس بن الربيع ضعيف، وقد وهم في اسم الصحابي فجعله من حديث سعيد بن زيد، والمحفوظ سعيد بن حريث، وأخطأ الشيخ الألباني في “الصحيحة” (٢٣٢٧) في عد حديث سعيد بن حريث شاهدا لحديث سعيد بن زيد هذا.
وأدى به هذا الخطأ إلى تحسين هذا الحديث بهذا الشاهد المتوهم.
وفي الباب عن حذيفة، وهو الآتي بعده.
وعن أبي ذر عند الطبراني في “الأوسط” (٧١٠٨)، قال الهيثمي في “مجمع الزوائد” ٤/ ١١١: فيه جماعة لم أعرفهم.
تنبيه: سبق لنا أننا ضعفنا حديث سعيد بن زيد في “المسند” (١٦٥٠)، وحسنا حديث سعيد بن حريث فيه (١٥٨٤٢)، والصواب أنه ضعيف، وقد بينا سبب الضعف هنا، فاقتضى التنبيه.

شرح حديث (من باع دارا أو عقارا فلم يجعل ثمنه في مثله كان قمنا أن لا يبارك فيه )

حاشية السندي على سنن ابن ماجه: أبو الحسن، محمد بن عبد الهادي نور الدين السندي (المتوفى: 1138هـ)
إزالة التشكيل
‏ ‏قَوْله ( فَلَمْ يَجْعَلْهُ فِي مِثْله ) ‏ ‏أَيْ مَنْ بَاعَ دَارًا يَنْبَغِي أَنْ يَشْتَرِيَ بِثَمَنِهَا مِثْلهَا أَيْ دَارًا أُخْرَى وَإِنْ لَمْ يَشْتَرِ دَارًا بَعْدَ أَنْ بَاعَ دَاره كَانَ حَقِيقًا أَنْ لَا يُبَارَكَ لَهُ فِيهِ وَقَوْله قَمِنًا أَيْ جَدِيرًا وَخَلِيقًا وَمَنْ فَتَحَ الْمِيم جَعَلَهُ مَصْدَرًا وَمَنْ كَسَرَهَا جَعَلَهُ وَصْفًا وَهُوَ الْأَقْرَب وَفِي الزَّوَائِد فِي إِسْنَاد حَدِيث سَعِيد بْن حُرَيْث إِسْمَاعِيل بْن إِبْرَاهِيم ضَعَّفَهُ الْبُخَارِيّ وَأَبُو دَاوُدَ وَغَيْرهمَا قَالَ وَلَيْسَ لِسَعِيدِ بْن حُرَيْث فِي الْكُتُب الْخَمْسَة شَيْء وَلَا لِلْمُصَنِّفِ سِوَى هَذَا الْحَدِيث ‏

حديث من باع دارا أو عقارا فلم يجعل ثمنه في مثله كان قمنا أن لا يبارك

الحديث بالسند الكامل مع التشكيل

‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏وَكِيعٌ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُهَاجِرٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏سَعِيدِ بْنِ حُرَيْثٍ ‏ ‏قَالَ ‏ ‏سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏يَقُولُ ‏ ‏مَنْ بَاعَ دَارًا أَوْ عَقَارًا فَلَمْ يَجْعَلْ ثَمَنَهُ فِي مِثْلِهِ كَانَ قَمِنًا أَنْ لَا يُبَارَكَ فِيهِ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ ‏ ‏حَدَّثَنَا ‏ ‏عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْمَجِيدِ ‏ ‏حَدَّثَنِي ‏ ‏إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُهَاجِرٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏عَمْرِو بْنِ حُرَيْثٍ ‏ ‏عَنْ ‏ ‏أَخِيهِ ‏ ‏سَعِيدِ بْنِ حُرَيْثٍ ‏ ‏عَنْ النَّبِيِّ ‏ ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ‏ ‏مِثْلَهُ

Hadis: “Barang siapa menjual rumah atau tanah, lalu tidak menjadikan hasilnya untuk membeli yang serupa, maka tidak akan diberkahi.”

Sanad Hadis:

Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Abi Syaibah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Waki’, dari Isma’il bin Ibrahim bin Muhajir, dari Abdul Malik bin Umair, dari Sa’id bin Huraith, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa menjual rumah atau tanah, lalu tidak menjadikan hasil penjualannya untuk membeli yang serupa dengannya, maka ia layak tidak diberkahi.”

Keterangan Sanad:

Sanad hadis ini lemah karena kelemahan Isma’il bin Ibrahim bin Muhajir. Para ulama seperti Al-Bukhari dan Abu Dawud menilainya lemah. Hadis ini juga termasuk dalam daftar hadis-hadis munkar yang disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Mizan.

Imam Ahmad juga meriwayatkan hadis ini (nomor 18739) melalui sanad yang sama. Dalam riwayat lain, terdapat tambahan periwayatan dari Muhammad bin Maimun as-Sakkari, yang dinilai tsiqah, tetapi sanadnya mengandung perawi bernama Muhammad bin Musa bin Hatim, yang diperselisihkan kredibilitasnya.

Penjelasan Makna Hadis:

Frasa “Falam yaj’alhu fī mithlihi” (lalu tidak menjadikannya untuk membeli yang serupa dengannya) berarti seseorang yang menjual rumah seharusnya membeli rumah lain dengan hasil penjualannya. Jika ia tidak melakukannya, maka ia tidak akan diberkahi.

Kata “qaminan” berarti layak atau pantas. Menurut sebagian ulama, ini berasal dari bentuk kata sifat, sementara sebagian lainnya memahaminya sebagai bentuk kata benda.

Kritik Hadis:

Para ulama hadis menyatakan bahwa hadis ini tidak memiliki dasar yang kuat karena:

1. Perawi utamanya, Isma’il bin Ibrahim bin Muhajir, dinilai lemah oleh ulama seperti Al-Bukhari dan lainnya.

2. Hadis ini juga menyebut nama Sa’id bin Huraith, yang tidak dikenal memiliki riwayat lain dalam kitab-kitab hadis utama selain hadis ini.

Kesimpulan:

Hadis ini tidak dapat dijadikan pegangan dalam penetapan hukum secara langsung karena kelemahan sanadnya. Namun, maknanya dapat dipahami sebagai bentuk peringatan untuk menjaga harta yang diberkahi dan tidak digunakan untuk hal-hal yang kurang maslahat. 

Referensi tambahan:

المكتبة الشاملة

كتاب المعتصر من المختصر من مشكل الآثار

[جمال الدين الملطي]

الفقه الحنفي:

فهرس الكتاب  كتاب جامع مما ليس في المؤطا  في بيع التالد

[في بيع التالد]
روي مرفوعا: “من باع تالدا سلط الله عليه تالفا” وما من عبد يبيع تالدا إلا سلط الله عليه تالفا التالد عند العرب هو القديم والمعنى والله أعلم أن من متعه الله بشيء طال مكثه عنده فقد أنعم عليه بذلك فإذا أباعه فقد استبدل به ضد ما أنعم الله عليه به فيسلط الله عز وجل عليه عقوبة له متلفا لما استبدل به لأن معنى تالف متلف قال العجاج: ومنزل هالك من تعرجا أي مهلك ومثله ما روي عن النبي صلى الله عليه وسلم: “من باع دارا أو عقارا ثم لم يجعل ثمنه في مثله وفي رواية من ثمنه في مثله لم يبارك له فيه وفي رواية فمن أن لا يبارك له فيه” قال ابن عيينة في قوله تعالى: {وَبَارَكَ فِيهَا وَقَدَّرَ فِيهَا أَقْوَاتَهَا} يعني: الأرض فكان من باع عقارا باع ما بارك الله عز وجل فيه فعاقبه إذا استبدل بغيره وإن يجعله غير مبارك له فيه.

Bab tentang Jual Beli Barang Lama (Tālid)

Diriwayatkan secara marfu’ (langsung dari Nabi):
“Barang siapa menjual barang lama (tālid), maka Allah akan menimpakan padanya sesuatu yang merusak (tālif).”
Tidak ada seorang hamba pun yang menjual barang lama kecuali Allah akan menimpakan padanya sesuatu yang merusak (tālif).

Barang lama (tālid) menurut orang Arab adalah barang yang sudah lama dimiliki. Maknanya, wallāhu a‘lam, bahwa siapa saja yang telah diberi kenikmatan oleh Allah dengan sesuatu yang sudah lama bersamanya, maka itu adalah bentuk karunia dari Allah. Jika ia menjualnya, berarti ia telah menggantinya dengan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah Allah anugerahkan kepadanya. Oleh karena itu, Allah akan menimpakan padanya hukuman berupa kerusakan pada apa yang ia ganti, karena makna “tālif” adalah “sesuatu yang merusak”. Sebagaimana yang dikatakan oleh al-‘Ajjāj:
“Dan tempat tinggal yang binasa bagi orang yang mendatanginya,” yang berarti tempat yang membawa kehancuran.

Demikian pula, sebagaimana diriwayatkan dari Nabi ﷺ:
“Barang siapa menjual rumah atau tanah, lalu tidak menjadikan hasil penjualannya untuk membeli yang serupa dengannya—dalam riwayat lain: dari hasilnya untuk membeli yang serupa dengannya—maka tidak akan diberkahi baginya. Dalam riwayat lain: sehingga tidak diberkahi baginya.”

Ibnu ‘Uyainah menjelaskan tentang firman Allah:
“Dan Dia memberkahinya dan menetapkan di dalamnya kadar kebutuhan (penghidupan) mereka” (QS. Fushshilat: 10),
bahwa yang dimaksud adalah bumi. Maka, siapa saja yang menjual tanah atau properti, berarti ia telah menjual sesuatu yang telah diberkahi oleh Allah. Sebagai bentuk hukuman, ia diganti dengan sesuatu yang tidak diberkahi.

 

Wallohu A’lam bisshowab

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM