DASAR HUKUM ARISAN :
Firman Allah swt:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
Artinya: Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Qs Al Maidah: 2)54
Ayat di atas memerintahkan kita untuk saling tolong menolong di dalam kebaikan, sedang tujuan “arisan” itu sendiri adalah menolong orang yang membutuhkan dengan
cara iuran secara rutin dan bergiliran untuk mendapatkannya, maka termasuk dalam kategori tolong menolong yang
diperintahkan Allah swt.
Arisan sendiri pada dasarnya tidak masalah. Arisan dalam syariat Islam dibenarkan sebagaimana ketarangan dalam Hasyiyah Qalyubi berikut ini:
فَرْعٌ) الْجمعَةُ الْمَشْهُوْرَةُ بَيْنَ النِّسَاءِ بِأَنْ تَأْخُذَ امْرَأَةٌ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْ جَمَاعَةٍ مِنْهُنَّ قَدْرًا مُعَيَّنًا فِيْ كُلِّ جُمْعَةٍ وَتَدْفَعُهُ لِوَاحِدَةٍ بَعْدَ وَاحِدَةٍ إِلَى آخِرِهِنَّ جَائِزَةٌ كَمَا قَالَ الْوَالِيُّ الْعِرَاقِيُّ
Artinya, “Perkumpulan populer (semacam arisan) di kalangan wanita, di mana salah seorang wanita mengambil sejumlah tertentu (uang) dari peserta setiap jumatnya dan memberikannya kepada salah seorang dari mereka secara sampai wanita yang terakhir, maka tradisi demikian itu boleh, seperti pendapat Al-Wali Al-Iraqi,” (Lihat Qulyubi, Hasyiyah Qalyubi pada Hasyiyah Qalyubi wa ‘Umairah, [Mesir, Musthafa Al-Halabi: 1956], juz II, halaman 258).
PRAKTEK ARISAN DI MASYARAKAT :
1. Sistem diundi/ dikocok.
hal ini diperbolehkan apabila tidak ada yang dirugikan antara kedua belah pihak.
Semata melakukan undian, bukanlah hal tercela. Orang sholeh masa silam, termasuk para nabi, mereka melakukan undian.
Dulu, waktu Nabi Yunus bin Mata ‘alaihis salam naik perahu, ternyata perahu yang beliau tumpangi kelebihan penumpang. Sehingga salah satu diantara mereka harus menceburkan diri ke laut. Dilakukanlah undian, ternyata yang mendapat undian itu adalah Nabi Yunus. Allah menceritakan,
وَإِنَّ يُونُسَ لَمِنَ الْمُرْسَلِينَ . إِذْ أَبَقَ إِلَى الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ. فَسَاهَمَ فَكَانَ مِنَ الْمُدْحَضِينَ
”Sesungguhnya Yunus termasuk para rasul Allah. (ingatlah) ketika dia lari, ke kapal yang penuh muatan, Kemudian dia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah dalam undian. (QS. As-Shaffat: 139 – 141)
Dulu, ketika Maryam binti Imram masih kecil, ibunya menyerahkannya untuk berkhidmat bagi umat. Di saat itu ada beberapa orang yang berebut untuk mengasuh, ibunda nabi Isa. Salah satu yang terlibat adalah Nabi Zakariya. Ketika itu, beliau berharap memiliki anak, dan istri Zakariya adalah bibinya Maryam.
Ketika semua merasa berhak untuk mengasuh Maryam, akhirnya meraka berundi. Allah ceritakan dalam al-Quran,
ذَلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ
Itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa. (QS. Ali Imran: 44).
Undian Diantara Istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Beliau memiliki beberapa istri. Semua memiliki hak lahir yang sama. Istri muda tidak lebih berhak terhadap beliau dari pada istri tua. Sehingga, ketika beliau hendak berangkat safar, semua berhak untuk menemani untuk berangkat safar bersama beliau.
Di saat itulah, dilakukan undian untuk menentukan siapa kanjeng ratu yang akan menemani suaminya.
Ibunda Aisyah Radhiyallahu ‘anha menceritakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ
Apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak safar, beliau mengundi diantara istrinya. Siapa yang namanya keluar, beliau akan berangkat bersama istrinnya yang menang. (HR. Bukhari 2593, Muslim 7196 dan yang lainnya).
JUAl – BELI NOMER ARISAN
Jual beli arisan pada dasarnya menjual uang, sedangkan menjuan uang harus memenui dua syarat
a. Tamatsul (sama)
b. Taqabud (serah terima langsung) sebagaimana hadits
عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: (لا تبيعوا الذهب بالذهب، إلا مثلا بمثل ولا تشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا الورق بالورق إلا مثلا بمثل، ولا تشفوا بعضها على بعض، ولا تبيعوا منها غائبا بناجز.) متفق عليه
“Dari sahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah engkau menjual/membarterkan emas dengan emas, melainkan sama-sama (beratnya) dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau membarterkan perak dengan perak malainkan sama-sama (beratnya), dan janganlah engkau lebihkan sebagian atas lainnya. Dan janganlah engkau menjual sebagian darinya dalam keadaan tidak ada di tempat berlangsungnya akad perniagaan dengan emas atau perak yang telah hadir di tempat berlangsungnya akad perniagaan.” (Muttafaqun ‘alaih)
Berangkat dari hadist diatas maka hukum menjual aresan tidak diperbolehkan, solusinya :
Yaitu orang yang mendapatkan giliran arisan itu menghibahkan uang arisannya kepada anggota arisan yang membutuhkan uang arisan itu.
بَابُ الْهِبَة { مَسْأَلَةٌ } فِي النُّزُولِ عَنْ الْوَظَائِفِ اسْتَنْبَطْتهَا مِنْ هِبَةِ سَوْدَةَ لَيْلَتَهَا لِعَائِشَةَ وَإِجَازَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ فَقُلْت : هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ كُلَّ مَنْ لَهُ حَقٌّ فَتَرَكَهُ لِشَخْصٍ مُعِينٍ يَصِحُّ وَيَكُونُ ذَلِكَ الشَّخْصُ أَحَقَّ بِهِ وَلَيْسَ لِلنَّاظِرِ أَنْ يُعْطِيَهُ لِغَيْرِهِ كَمَا لَيْسَ لِلزَّوْجِ أَنْ يَخُصَّ بِهِ مَنْ لَمْ تُعَيِّنْهَا الْوَاهِبَةُ وَلَا أَنْ يَجْعَلَهُ شَائِعًا بَيْنَ بَقِيَّةِ النِّسَاءِ بَلْ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ إمَّا أَنْ يَخُصَّ بِهِ الْمَوْهُوبَ لَهَا وَإِمَّا أَنْ يَمْنَعَ الْهِبَةَ وَتَبْقَى نَوْبَةُ الْوَاهِبَةِ عَلَى حَالِهَا كَذَلِكَ الْفَقِيهُ الطَّالِبُ فِي مَدْرَسَةٍ أَوْ الْخَطِيبُ أَوْ إمَامُ الْمَسْجِدِ أَوْ الْمُدَرِّسُ أَوْ الْمُعِيدُ أَوْ غَيْرُهُمْ مِمَّنْ بِيَدِهِ وَظِيفَةٌ إذَا نَزَلَ لِشَخْصٍ مُعَيَّنٍ عَنْهَا لَمْ يَكُنْ لِلنَّاظِرِ أَنْ يَنْزِلَ أَنَّ ذَلِكَ إسْقَاطٌ لَحَقِّهِ بِالْكُلِّيَّةِ حَتَّى يُوَلِّيَ غَيْرَهُمَا بَلْ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ إمَّا أَنْ يُنْزِلَ الْمَنْزُولَ لَهُ إنْ ظَهَرَ لَهُ أَنَّ ذَلِكَ مَصْلَحَةٌ دِينِيَّةٌ وَإِمَّا أَنْ لَا يَمْضِيَ هَذَا النُّزُولُ وَيَبْقَى النَّازِلُ عَلَى مَكَانِهِ وَلَا يَسْقُطُ حَقُّ النَّازِلِ إلَّا أَنْ يَتَّصِلَ النُّزُولُ بِتَوْلِيَةِ الْمَنْزُولِ لَهُ فَحِينَئِذٍ يَنْقَطِعُ حَقُّ النَّازِلِ اللَّهُمَّ إلَّا أَنْ يَقُولَ النَّازِلُ : نَزَلْت عَنْ حَقِّي مُطْلَقًا فَيَسْقُطُ كَمَا لَوْ قَالَتْ الزَّوْجَةُ : تَرَكْت حَقِّي مِنْ الْقِسْمِ مِنْ غَيْرِ تَعْيِينٍ وَلْيُنْظَرْ فِي مَوَادِّ ذَلِكَ وَنَظَائِرِهِ مِنْ حَقِّ الْحَجْرِ وَحَقِّ الشُّفْعَةِ وَغَيْرِهَا هَذَا فِي مُجَرَّدِ النُّزُولِ ، وَأَمَّا أَخْذُ الْعِوَضِ عَنْهُ فَلَا شَكَّ أَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ بِبَيْعٍ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَتَعَيَّنُ بِإِحْيَائِهِ وَلَا يَجْرِي فِيهِ الْخِلَافُ فِي حَقِّ الشُّفْعَةِ وَنَحْوِهِ لِمَا أَشَرْنَا إلَيْهِ ، لَكِنْ فِي جَوَازِ أَخْذِ الْعِوَضِ فِي مُقَابَلَةِ النُّزُولِ نَظَرٌ.
PRAKTEK-PRAKTEK ARESAN DI MASYARAKAT :
1.Memberi hak orang yang mendapatkan kepada orang lain hukumnya boleh sebgaimna di jelaskan di atas.
3. mengantikan hak nomer urut dalam arisan ke orang lain hukumya boleh karena termasuk hibah.
4. kumpulan arisan sdh ditentukan di awal, lalu diambil oleh yang lebih membutuhkan hukumnya tidak boleh tanpa ada kesepakatan dari semua peserta arisan.
5. Adanya pemotongan perolehan dalam pembagian nomer urut hukumnya haram karena merugikan sepihak.
6. Arisan uang namun berbentuk barang dalam perolehannya. selama nilai barang sesuai dengan jumlah perolehan uang dan disetujui oleh kedua belah pihak maka hukumnya boleh.
7. Arisan umroh/haji. hukumnya boleh asalkan tidak ada yang dirugikan, misalnya walaupun harga ongkos haji/ berubah mahal maka anggota tetap memberi iuran arisan sesuai yang disepakati pertamakali.
PRAKTEK ARISAN :
Sebelum kita mimijakkan kaki di medan arisan, sebaiknya kita ketahui lebih dahulu praktek dan cara- cara arisan tersebut. Nah, arisan adalah sebuah perkumpulan yang bersektor harta ( maliyyah ). Biasanya di pragakan dengan cara seperti ini : Si A dan teman- temannya ( misalnya 10 orang ) sepakat dengan akad ini, da untuk satu orang mengeluarkan Rp 100.000,- Jadi setiap kali ada perkumpulan, maka jumlah uang yang terkumpul adalah Rp 1000.000,- ( 1 juta ). Dan tentu, perkumpulan ini di lakukan beberapa kali tergantung jumlah orang yang mngikuti. Maka untuk contoh ini, tentu di adakan pengumpulan selama 10 kali. Untuk selanjutnya, ada yang memaka cara mengundinya setiap kali kumpul dan yang dengan cara mengundinya untuk pertama kali kumpul agar terketahui si A mendapat giliran nomer berapa, begitu juga B dan teman- teman.
Dari praktek yang seperti ini, sekilas nampak bahwa akad ini merupakan perjanjian hutang piutang dengan cara berjama’ah ( giliran memberi hutang ). Maka jelas hukumnya boleh. Adapan di pragakan dengan cara undian untuk menentukan giliran orang yang mendapatkan hutang saat itu, maka itupun boleh, untuk memutuskan pertententang agar di antara mereka tidak ada yang lebih berhak unutuk di tempatkan nomer paling depan dan belakangnya. Inilah ta’bir yang mengarah ke sini :
تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 19 / ص 184)
( قَوْلُهُ أَوْ فِي مَكْرُوهٍ ) وَلَمْ يَذْكُرْ الْمُبَاحَ وَيُمْكِنُ تَصْوِيرُهُ بِمَا إذَا دُفِعَ إلَى غَنِيٍّ بِسُؤَالٍ مِنْ الدَّافِعِ مَعَ احْتِيَاجِ الْغَنِيِّ إلَيْهِ فَيَكُونُ مُبَاحًا لَا مُسْتَحَبًّا ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَشْتَمِلْ عَلَى تَنْفِيسِ كُرْبَةٍ وَقَدْ يَكُونُ فِي ذَلِكَ غَرَضٌ لِلدَّافِعِ كَحِفْظِ مَالِهِ بِإِحْرَازِهِ فِي ذِمَّةِ الْمُقْتَرِضِ ا هـ ع ش
تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 32 / ص 16)
( وَالصَّحِيحُ ) فِيمَا إذَا لَمْ يَرْضَيْنَ فِي الِابْتِدَاءِ بِوَاحِدَةٍ بِلَا قُرْعَةٍ ( وُجُوبُ قُرْعَةٍ ) بَيْنَهُنَّ ( لِلِابْتِدَاءِ ) فِي الْقَسْمِ بِوَاحِدَةٍ مِنْهُنَّ تَحَرُّزًا عَنْ التَّرْجِيحِ مِنْ غَيْرِ مُرَجِّحٍ فَيَبْدَأُ بِمَنْ خَرَجَتْ قُرْعَتُهَا ثُمَّ يَقْرَعُ لِلْبَاقِيَاتِ
فتح الباري لابن حجر – (ج 8 / ص 212)
وَإِنَّمَا أَفَادَتْ الْقُرْعَة أَنْ لَا يَخْتَار وَاحِد مِنْهُمْ شَيْئًا مُعَيَّنًا فَيَخْتَارهُ الْآخَر فَيُقْطَع التَّنَازُع ، وَهِيَ إِمَّا فِي الْحُقُوق الْمُتَسَاوِيَة وَإِمَّا فِي تَعْيِين الْمِلْك ، فَمِنْ الْأَوَّل عَقْد الْخِلَافَة إِذَا اِسْتَوَوْا فِي صِفَة الْإِمَامَة ، وَكَذَا بَيْن الْأَئِمَّة فِي الصَّلَوَات وَالْمُؤَذِّنِينَ وَالْأَقَارِب فِي تَغْسِيل الْمَوْتَى وَالصَّلَاة عَلَيْهِمْ وَالْحَاضِنَات إِذَا كُنَّ فِي دَرَجَة وَالْأَوْلِيَاء فِي التَّزْوِيج وَالِاسْتِبَاق إِلَى الصَّفّ الْأَوَّل وَفِي إِحْيَاء الْمَوَات وَفِي نَقْل الْمَعْدِن وَمَقَاعِد الْأَسْوَاق وَالتَّقْدِيم بِالدَّعْوَى عِنْد الْحَاكِم وَالتَّزَاحُم عَلَى أَخْذ اللَّقِيط وَالنُّزُول فِي الْخَان الْمُسَبَّل وَنَحْوه وَفِي السَّفَر بِبَعْضِ الزَّوْجَات وَفِي اِبْتِدَاء الْقَسَم وَالدُّخُول فِي اِبْتِدَاء النِّكَاح وَفِي الْإِقْرَاع بَيْن الْعَبِيد إِذَا أُوصِي بِعِتْقِهِمْ وَلَمْ يَسَعهُمْ الثُّلُث ، وَهَذِهِ الْأَخِيرَة مِنْ صُوَر الْقِسْم الثَّانِي أَيْضًا وَهُوَ تَعْيِين الْمِلْك وَمِنْ صُوَر تَعْيِين الْمِلْك الْإِقْرَاع بَيْن الشُّرَكَاء عِنْد تَعْدِيل السِّهَام فِي الْقِسْمَة .
Kemudian di dalam arisan biasa terjadi pertukaran nomer urut bersama anggota sendiri dan bahkan perjual belian nomer urut dengan non peserta. Misalnya, si A yang mendapat giliran nomer urut tujuh, karena sesuatu hal bertukar dengan si B yang mendapatkan nomer dua, dengan cara sukarela dari kedua pihak atau dengan cara merugikannya. Misalnya, A yang di dalam contoh ini semestinya mendapatkan satu juta rela mendapatkan sembilan ratus, asalkan B mau bergeser dengannya. Atau bertukar dengan non anggota. Contohnya, A yang mendapatkan nomer urut tujuh menjual nomer urut dengan segala hasil dan cicilan yang harus ia bayar kepada Z dengan harga sembilan ratus, dan untuk seterusnya Z-lah yang meneruskan pembayaran dan nantinya akan mendapat satu juta.
Nah, untuk contoh yang pertama bagian kedua ( menjual dengan cara merugi kepada anggota ) dan yang ketiga ( kepada Z ) tentu tidak boleh, dengan alas an bahwa hal tersebut adalah perdagangan hak semata, sedangkan hak tidaklah merupakan barang (‘ain ) atau manfaat yang boleh di jual. Inilah ta’bir yang mengarah ke situ :
تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 32 / ص 51)
وَلَوْ أَخَذَتْ عَلَى حَقِّهَا عِوَضًا لَزِمَهَا رَدُّهُ ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ عَيْنًا وَلَا مَنْفَعَةً فَلَا يُقَابَلُ بِمَالٍ لَكِنْ يَقْضِي لَهَا ؛ لِأَنَّهَا لَمْ تُسْقِطْ حَقَّهَا مَجَّانًا
مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (ج 13 / ص 161)
تَنْبِيهٌ : لَا يَجُوزُ لِلْوَاهِبَةِ أَنْ تَأْخُذَ عَلَى الْمُسَامَحَةِ بِحَقِّهَا عِوَضًا لَا مِنْ الزَّوْجِ وَلَا مِنْ الضَّرَائِرِ ، فَإِنْ أَخَذَتْ لَزِمَهَا رَدُّهُ وَاسْتَحَقَّتْ الْقَضَاءَ ؛ لِأَنَّ الْعِوَضَ لَمْ يُسَلَّمْ لَهَا ، وَإِنَّمَا لَمْ يَجُزْ أَخْذُ الْعِوَضِ عَنْ هَذَا الْحَقِّ ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِعَيْنٍ وَلَا مَنْفَعَةٍ ؛ لِأَنَّ مُقَامَهُ عِنْدَهَا لَيْسَ بِمَنْفَعَةٍ مَلَكَتْهَا عَلَيْهِ .
وَقَدْ اسْتَنْبَطَ السُّبْكِيُّ مِنْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَمِنْ خُلْعِ الْأَجْنَبِيِّ جَوَازَ النُّزُولِ عَنْ الْوَظَائِفِ ، وَاَلَّذِي اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ رَأْيُهُ أَنَّ أَخْذَ الْعِوَضِ فِيهِ جَائِزٌ وَأَخْذُهُ حَلَالٌ لِإِسْقَاطِ الْحَقِّ لَا لِتَعَلُّقِ حَقِّ الْمَنْزُولِ لَهُ ، بَلْ يَبْقَى الْأَمْرُ فِي ذَلِكَ إلَى نَاظِرِ الْوَظِيفَةِ يَفْعَلُ مَا تَقْتَضِيهِ الْمَصْلَحَةُ شَرْعًا وَبَسَطَ ذَلِكَ ، وَلِلْوَاهِبَةِ الرُّجُوعُ مَتَى شَاءَتْ ، فَإِذَا رَجَعَتْ خَرَجَ فَوْرًا
Kemudian, jika di katakan bahwa “A boleh menjualnya pada B dengan alasan bahwa setelah pertama kali putaran dan kedua yang akan di cairkan, maka A sudah menyimpan/menghutangi satu atau dua teman. Maka sama saja ia telah memiliki/ mengantongi 100/200. Maka penjualan tersebut pada hakikatnya adalah menjual barang yang sebagiannya adalah miliknya sendiri. Maka hukumnya boleh.”, maka alasan yang demikian pun tidak menjadikan sebab kebolehan, karena harta yang telah di setorkan oleh A saat penjualan tersebut tidak ada di tangan sehingga A sama sekali tidak bisa menguasai untuk di serahkan kepada B. Sedangkan jual beli harus ada sarat bisa menguasai barang dan tsaman.
حاشيتا قليوبي – وعميرة – (ج 6 / ص 302)
( الثَّالِثُ ) مِنْ شُرُوطِ الْمَبِيعِ ( إمْكَانُ تَسْلِيمِهِ ) بِأَنْ يَقْدِرَ عَلَيْهِ لِيُوثَقَ بِحُصُولِ الْعِوَضِ .
( فَلَا يَصِحُّ بَيْعُ الضَّالِّ وَالْآبِقِ وَالْمَغْصُوبِ ) لِلْعَجْزِ عَنْ تَسْلِيمِهَا فِي الْحَالِّ
حاشيتا قليوبي – وعميرة – (ج 6 / ص 306)
قَوْلُهُ : ( فِي الْحَالِ ) هَذَا يُفِيدُك أَنَّ الْمُضِرَّ الْعَجْزُ فِي الْحَالِ ، وَلَوْ أَمْكَنَ الْوُصُولُ إلَيْهِ بَعْدَ ذَلِكَ وَسَوَاءٌ عَرَفَ مَكَانَ الْآبِقِ وَالضَّالِّ أَمْ لَا وَالْحَاصِلُ أَنْ يَكُونَ عَاجِزًا بِحَيْثُ لَوْ شُرِعَ لَمْ يَتَيَسَّرْ لَهُ ذَلِكَ .
حاشية الجمل – (ج 10 / ص 214)
( وَ ) رَابِعُهَا ( وِلَايَةٌ ) لِلْعَاقِدِ عَلَيْهِ ( فَلَا يَصِحُّ عَقْدُ فُضُولِيٍّ ) وَإِنْ أَجَازَهُ الْمَالِكُ لِعَدَمِ وِلَايَتِهِ عَلَى الْمَعْقُودِ عَلَيْهِ
حاشية الجمل – (ج 10 / ص 216)
( قَوْلُهُ فَلَا يَصِحُّ عَقْدُ فُضُولِيٍّ ) وَكَذَا حَلُّهُ وَفَسْخُهُ ا هـ .
شَوْبَرِيٌّ ( قَوْلُهُ أَيْضًا فَلَا يَصِحُّ عَقْدُ فُضُولِيٍّ ) أَيْ سَوَاءٌ الْبَيْعُ وَالشِّرَاءُ وَغَيْرُهُمَا مِنْ سَائِرِ عُقُودِهِ أَوْ فِي عَيْنٍ لِغَيْرِهِ أَوْ فِي ذِمَّةِ غَيْرِهِ كَقَوْلِهِ اشْتَرَيْت لَهُ كَذَا بِأَلْفٍ فِي ذِمَّتِهِ وَالْفُضُولِيُّ هُوَ مَنْ لَيْسَ بِوَكِيلٍ وَلَا وَلِيٍّ وَلَا مَالِكٍ فِي الْقَدِيمِ وَحُكِيَ عَنْ الْجَدِيدِ إنَّ عَقْدَهُ مَوْقُوفٌ عَلَى رِضَا الْمَالِكِ إنْ أَجَازَهُ نَفَذَ وَإِلَّا فَلَا وَالْمُعْتَبَرُ إجَازَةُ مَنْ يَمْلِكُ التَّصَرُّفَ عِنْدَ الْعَقْدِ فَلَوْ بَاعَ مَالَ الطِّفْلِ فَبَلَغَ وَأَجَازَ لَمْ يَنْفُذْ وَمَحَلُّ الْخِلَافِ مَا لَمْ يَحْضُرْ الْمَالِكُ فَلَوْ بَاعَ مِلْكَ غَيْرِهِ بِحَضْرَتِهِ وَهُوَ سَاكِتٌ لَمْ يَصِحَّ قَطْعًا كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ ا هـ .
Lalu, bagaimaa jika A yang membutuhkan dana saat itu meminjam ( bukan menjual ) kepada orang lain sebesar 900 ( misalnya ) dengan janji akan embayarnya nanti sebesar 1 juta jika ia sudah mendapatkan giliran ( berarti A tetaplah orang yang membayar cicilan arisan )?. Maka, ini juga tidak boleh, karena walaupun di dalam uang kita ( fulus ) tida ada unsure ribawy ( menurut qoul shohih ), maka uang 1 juta jelas lebih manfaat dari pada 900. Toh, setiap hutang yang ada perjanjian menarik kemanfaatan adalah riba. Inilah ibaratnya :
حاشيتا قليوبي – وعميرة – (ج 7 / ص 350)
( وَلَا يَجُوزُ ) الْإِقْرَاضُ فِي النَّقْدِ وَغَيْرِهِ ( بِشَرْطِ رَدِّ صَحِيحٍ عَنْ مُكَسَّرٍ أَوْ ) رَدُّ ( زِيَادَةٍ ) أَوْ رَدُّ الْجَيِّدِ عَنْ الرَّدِيءِ وَيَفْسُدُ بَذْلُ الْعَقْدِ
ARISAN SEDULURAN
Deskripsi :
Sebuah perusahaan kecil, CV. ARISAN SEDULURAN menawarkan program arisan dengan ketentuan:
-Arisan dengan hasil undian mendapatkan Honda Revo seharga Rp. 14.000.000;
-Peserta satu group arisan minimal 30 orang;
-Undian dilakukan 1 bulan sekali selama 24 bulan;
-Iuran pada bulan pertama sebesar Rp. 1.000.000 dan bulan berikutnya sebesar Rp. 500.000;
-Peserta yang namanya keluar saat undian, berhak mendapat Honda Revo dan tidak berkewajiban menyetorkan iuran di bulan-bulan berikutnya;
-Enam peserta yang tidak keluar namanya dalam 24 kali putaran undian, akan otomatis mendapatkan Honda Revo di akhir periode.
Melihat minat dan antusiasme masyarakat yang cukup tinggi (khususnya di daerah Indramayu) mengikuti model arisan ini, pihak CV. ARISAN SEDULURAN berusaha mengembangkan programnya dengan menawarkan hasil undian yang cukup variatif, seperti HP, peralatan elektronik, rumah tangga dll., namun tetap dengan ketentuan yang sama dan juga membatasi jumlah minimal peserta.
Sekilas, arisan model seperti ini adalah bisnis nekat yang hanya akan merugikan pihak CV. Namun kenyataannya, dari kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan, bahkan pihak CV. dapat meraup keuntungan yang tidak sedikit. Keuntungan pihak CV ini bisa diperoleh dengan pembelian Honda Revo langsung dari distributor Honda dengan sistem paket kredit, yakni 30 unit motor bonus 3 motor, plus potongan harga normal. Atau, pihak CV akan memutar uang yang diterima dari iuran peserta untuk modal usaha, didepositokan di bank dll., sehingga pihak CV tetap memperoleh untung dari program arisan ini.
Praktek lain yang hampir mirip dengan model ARISAN SEDULURAN ini adalah arisan yang diadakan dalam sebuah jam’iyyah. Hanya saja yang membedakan, iuran ini dilabeli atau lebih pasnya diatasnamakan sedekah, dan peserta yang namanya keluar saat undian berhak mendapatkan kesempatan umrah.
Pertanyaan:
a. Termasuk akad apa transaksi antara pihak CV dengan peserta arisan di atas? Dan bagaimana hukumnya?
Sa’il: Kelas III Aliyah MHM 201
Jawaban
Ada dua kemungkinan:
-Akad jual beli yang tidak sah karena ketidakjelasan harga, bentuk barang, dan pelaku akad (peserta yang memperoleh honda Revo.
-Dan atau akad qardlu yang hukumnya juga tidak sah bila ketentuan mendapatkan honda Revo disebutkan dalam akad.
Catatan:
-Praktek di atas dapat direalisasikan dengan solusi: peserta ketika menyerahkan uang kepada penyelenggara dimaksudkan menghutangi kemudian ketika undian keluar dan mendapatkan honda Revo dilakukan akad istibdal, yakni hutang yang diterima diganti dengan sepeda Revo, maka hukumnya sah.
-Bila ada ketentuan berupa peserta yang tidak bisa melanjutkan atau berhenti arisan uang yang disetorkan akan hangus, maka di samping akad qardlunya tidak sah juga tidak ada solusi untuk mengesahkannya.
Referensi
1. Al-Qulyubi vol. II hlm. 321
2. I’anatuth Thalibin vol. III hlm. 65
3. I’anatuth Thalibin vol. III hlm. 52
4. Bughyatul Mustarsyidin 132
5. Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra vol. II hlm. 280
Pertanyaan
b. Kalau tidak diperbolehkan, apa kewajiban bagi pihak CV yang telah memanfaatkan uang iuran peserta, dan kewajiban peserta yang telah mendapatkan Honda Revo?
Jawaban :
Bagi kedua belah pihak (CV dan peserta arisan) harus mengembalikan barang yang telah diterima.
Referensi
1. Al-Bujairami al-Khatib vol. 3, hal. 13-14
2. Hasyiyah Jamal vol. 3, hal. 377
Pertanyaan
c. Bagaimana hukum mengikuti arisan seperti dalam sebuah jam’iyyah dengan hadiah umrah?
Jawaban :
Diperinci:
-Apabila saat menyerahkan uang tersebut penyumbang semata-mata bermaksud untuk mendapatkan undian hadiah umroh, maka tergolong qimar (judi) meskipun dibungkus sedekah, sebagaimana SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah).
-Apabila saat menyerahkan bermaksud sedekah meskipun disertai harapan mendapatkan hadiah umrah, maka tidak diperbolehkan jika biaya umrah diambil dari uang sumbangan yang terkumpul karena menggunakan uang sedekah tidak semestinya.
Referensi
1. Tuhfah al-Muhtaj vol. 6, hal. 309
2. Hasyiyah al-Qalyubi vol. 6, hal. 206
3. Fatawi wa Masyurat (Dr. Romdlon Buthi) vol. 2, hal. 49.
4. Al-Majmu’ Syarhul Muhadzab, vol. 15, hal. 370.