Kategori
Uncategorized

M062 : MAFAHIM : PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH LUGHAWIYYAH

TERJEMAH KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHOHHAH

PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN

Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah karangan Assayyid Alhabib Muhammad bin Alawi Almaliky Alhasany

BAB I

Pembahasan Masalah

”AQIDAH”

”KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG”

PERBEDAAN PASTI ANTARA BID’AH SYAR’IYYAH DAN BID’AH LUGHAWIYYAH

Sebagian ulama mengkritik pengklasifikasian bid’ah dalam bid’ah terpuji dan tercela. Mereka menolak dengan keras orang yang berpendapat demikian. Malah sebagian ada yang menuduhnya fasik dan sesat disebabkan berlawanan dengan sabda Nabi saw. yang jelas: “Setiap bid’ah itu sesat”. Teks hadits ini jelas menunjukkan keumuman dan menggambarkan bid’ah sebagai sesat.

Karena itu Anda akan melihat ia berkata: Setelah sabda penetap syari’ah dan pemilik risalah bahwa setiap bid’ah itu sesat, apakah sah ungkapan: Akan datang seorang mujtahid atau faqih, apapun kedudukannya, lalu ia berkata, “Tidak, tidak, tidak setiap bid’ah itu sesat. Tetapi sebagian bid’ah itu sesat, sebagian baik dan sebagian lagi buruk. Berangkat dari pandangan ini banyak masyarakat terpedaya. Mereka ikut berteriak dan ingkar serta memperbanyak jumlah orang-orang yang tidak memahami tujuan-tujuan syari’ah dan tidak merasakan spirit agama Islam.

Tidak lama kemudian mereka terpaksa menciptakan jalan untuk memecahkan problem-problem yang mereka hadapi dan kondisi zaman yang mereka hadapi juga menekan mereka. Mereka terpaksa menciptakan perantara lain. Yang jika tanpa perantara ini mereka tidak akan bisa makan, minum dan diam. Malah tidak akan bisa mengenakan pakaian, bernafas, menikah serta berhubungan dengan dirinya, keluarga, saudara dan masyarakatnya.

Perantara ini ialah ungkapan yang dilontarkan dengan jelas: Sesungguhnya bid’ah terbagi menjadi dua ; 1) Bid’ah Diniyah (keagamaan) 2) Bid’ah Duniawiyyah (keduniaan). Subhanallah, mereka yang suka bermain-main ini membolehkan menciptakan klasifikasi tersebut atau minimal telah membuat nama tersebut. Jika kita setuju bahwa pengertian ini telah ada sejak era kenabian namun pembagian ini, diniyyah dan duniawiyyah, sama sekali tidak ada dalam era pembuatan undang-undang kenabian. Lalu dari mana pembagian ini? dan dari mana nama-nama baru ini datang?

Orang yang berkata bahwa pembagian bid’ah ke yang baik dan buruk itu tidak bersumber dari Syari’, maka saya akan menjawabnya bahwa pembagian bid’ah ke bid’ah diniyyah yang tidak bisa diterima dan ke duniawiyyah yang diterima, adalah tindakan bid’ah dan mengada-ada yang sebenarnya. Rasulullah saw. sebagai Syari’ bersabda: “Setiap bid’ah itu sesat”. Demikianlah beliau mengatakannya secara mutlak. Sedang ia mengatakan tidak, tidak, tidak semua bid’ah itu sesat. Tetapi bid’ah terbagi menjadi dua bagian; diniyyah yang sesat dan duniawiyyah yang tidak mengandung konsekuensi apa-apa. Karena itu harus kami jelaskan di sini sebuah persoalan penting yang dengannya banyak keganjilan akan menjadi jelas, insya Allah.

Dalam persoalan ini yang berbicara adalah Syari’ yang bijak. Lisan Syari’ adalah lisan Syar’i. Maka untuk memahami ucapannya harus menggunakan standar Syar’i yang dibawa Syari’. Jika Anda telah mengetahui bahwa bid’ah pada dasarnya adalah setiap hal yang baru dan diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya maka jangan sampai lenyap dari hatimu bahwa penambahan dan pembuatan yang tercela di sini adalah penambahan dalam urusan agama agar tambahan itu menjadi urusan agama, dan menambahi syari’at agar tambahan itu mengambil bentuk syari’ah.
Lalu akhirnya tambahan itu menjadi syari’at yang dipatuhi yang dinisbatkan kepada pemilik syari’ah. Bid’ah model inilah yang mendapat ancaman dari Nabi saw.:

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa menciptakan dalam agama kita, hal baru yang bukan bagian dari agama, maka ia ditolak.”
Garis pemisah dalam tema hadits ini adalah kalimat “فِى أَمْرِنَا هَذَا”. Oleh karena itu pengklasifikasian bid’ah menjadi bid’ah yang baik dan buruk dalam persepsi kami hanya berlaku untuk pengertian bid’ah yang ditinjau dari segi bahasa. Yakni, sekedar menciptakan hal baru. Kami semua tidak ragu bahwa bid’ah dalam kacamata syara’ tidak lain adalah sesat dan fitnah yang tercela, tidak diterima, dan dibenci. Jika mereka yang menolak memahami penjelasan bisa memahami penjelasan ini maka akan tampak bagi mereka bahwa titik temu dari perbedaan itu dekat dan sumber persengketaan itu jauh. Untuk lebih mendekatkan beberapa pemahaman, saya melihat mereka yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah, sebenarnya mengingkari pembagian bid’ah dalam tinjauan syara’, dengan bukti mereka membagi bid’ah dalam bid’ah diniyyah dan duniawiyyah, dan penilaian mereka bahwa pembagian ini adalah sebuah keniscayaan.

Mereka yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan sayyi’ah memandang bahwa pembagian ini dikaitkan dengan tinjauan bid’ah dari aspek bahasa. Sebab mereka mengatakanbahwa penambahan dalam agama dan syari’at adalah kesesatan dan perbuatan amat tercela. Keyakinan semacam ini tidak diragukan lagi di mata mereka. Dari dua cara pandang yang berbeda ini berarti perbedaan antara dua kelompok ini tidaklah substansial Hanya saja saya melihat bahwa kawan-kawan yang mengingkari pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dan yang berpendapat terbaginya bid’ah menjadi bid’ah diniyyah dan duniawiyyah tidak mampu menggunakan ekspresi bahasa dengan cermat. Hal ini disebabkan ketika mereka memvonis bahwa bid’ah diniyyah itu sesat, –ini adalah pendapat yang benar– dan bid’ah duniawiyyah tidak ada konsekuensi apapun, mereka telah keliru dalam menetapkanhukum. Sebab dengan sikap ini mereka memvonis semua bid’ah duniawiyyah itu boleh. Sikap ini jelas sangat berbahaya dan bisa menimbulkan fitnah dan bencana. Karena itu, persoalan ini wajib dan mendesak untuk dijelaskan secara mendetail.

Yakni mereka mengatakan bahwa bid’ah duniawiyyah ada yang baik dan ada yang buruk sebagaimana fakta yang terjadi, yang tidak diingkari kecuali oleh orang buta yang bodoh. Penambahan kalimat ini harus dilakukan. Untuk mendapatkan pengertian yang tepat, cukuplah kita menggunakan pendapat orang yang berpendapat bahwa bid’ah terbagi menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. Yang dimaksud bid’ah di sini sudah jelas adalah bid’ah dari aspek bahasa sebagaimana telah dipaparkan di atas. Bid’ah dalam pengertian inilah yang dikatakan dengan bid’ah duniawiyyah oleh mereka yang ingkar terhadap pembagiannya menjadi hasanah dan sayyiah. Pendapat bid’ah terbagi menjadi hasanah dan sayyiah adalah pendapat yang sangat cermat dan hati-hati. Karena pendapat ini mengumandangkan kepada setiap hal baru untuk mematuhi hukum syari’at dan kaidah-kaidah agama, dan mengharuskan kaum muslimin untuk menyelaraskan semua urusan dunia, baik yang bersifat umum atau khusus, sesuai dengan syariat Islam, agar mengetahui hukum Islam yang terdapat di dalamnya, betapapun besarnya bid’ah itu. Sikap semacam ini tidak mungkin direalisasikan kecuali dengan mengklasifikasikan bid’ah dengan tepat dan telah mendapat pertimbangan dari para aimmatul ushul.

Semoga Allah swt. meridloi para a’immatul ushul dan meridhoi kajian mereka terhadap lafadz-lafadz yang shahih dan mencukupi yang mengantar menuju pengertian-pengertian yang benar, tanpa pengurangan, perubahan atau interpretasi.

Kategori
Uncategorized

HADITS KE 189 : BOLEH MELETAKKAN SUATU OBJEK UNTUK MEMBATASI ORANG YANG SEDANG SHALAT

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB MEMBUAT PEMBATAS BAGI ORANG SHALAT

HADITS KE 189 :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَلْيَخُطَّ خَطًّا ثُمَّ لَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ ) أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَلَمْ يُصِبْ مَنْ زَعَمَ أَنَّهُ مُضْطَرِبٌ بَلْ هُوَ حَسَنٌ

Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Apabila seseorang di antara kamu sholat hendaklah ia membuat sesuatu di depannya jika ia tidak mendapatkan hendaknya ia menancapkan tongkat jika tidak memungkinkan hendaknya ia membuat garis namun hal itu tidak mengganggu orang yang lewat di depannya. Dikeluarkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah. Shahih menurut Ibnu Hibban. Hadits ini hasan dan tidak benar jika orang menganggapnya hadits mudltorib.

MAKNA HADITS :

Oleh kerana tujuan utama dibalik meletakkan pembatas itu adalah menjaga kemuliaan orang yang sedang shalat supaya tidak dilanggar yang terletak antara tempat berdiri hingga tempat sujudnya, maka syariat Islam sudah menganggap mencukupi meletakkan sesuatu objek yang menunjukkan bahwa orang itu sedang dalam shalat seperti garis yang dia goreskan dengan tangan berbentuk melengkung seperti bulan sabit sebagai pembatasnya. Menghamparkan sajadah dapat menggantikan kedudukan garis, menurut mazhab Imam Syafii, sebab sejadah itu sudah mencukupi sebagai syarat bahwa seseorang sedang shalat. Disamakan dengan sajadah adalah tindakan meletakkan pelana unta di hadapannya, sebagaimana yang
telah disebut di dalam hadits Ibnu Umar (r.a).

FIQH HADITS :

Disyariatkan membuat pembatas bagi orang yang hendak mengerjakan shalat dan pembatas ini tidak semestinya khusus dengan satu jenis, sebaliknya ia meliputi segala sesuatu yang boleh dijadikan sebagai pembatas oleh orang yang hendak mengerjakan shalat. Pembatas tersebut mestilah dibuat supaya orang lain memahami bahwa seseorang itu sedang mengerjakan shalat.
Imam al-Syafi’i menganggap hamparan sajadah sebagai pembatas, karena ia sudah mencukupi untuk memberikan kefahaman bahwa seseorang tersebut sedang shalat.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
Uncategorized

M082. HUKUM MENGGUNAKAN WIFI MASJID

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Deskripsi Masalah :

Di zaman sekarang ini, banyak masyarakat yang memerlukan jaringan internet sebagai sarana berkomunikasi. Termasuk di dalamnya banyak yang menggunakan WhatsApp, BBM, Facebook, Instagram dll. Di sisi lain banyak masjid-masjid yang dibangun dengan cukup megah tetapi tidak diimbangi dengan jumlah jamaah yang ada.

Melihat realita yang semacam ini, akhirnya ada seorang takmir masjid yang menyediakan fasilitas jaringan WI-FI bagi para jamaah yang singgah di masjid tersebut. Meskipun tak jarang keberadaan fasilitas jaringan WI-FI secara gratis tersebut disalah-gunakan untuk mengakses hal-hal yang negatif.

Pertanyaannya :

a. Bagaimana hukumnya menyediakan jaringan WI-FI di masjid?

b. Dan bagaimana hukumnya memanfaatkan jaringan WI-FI tersebut?

JAWABAN :

Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..

Jawaban a :

Penyediaan WI-FI hukumnya tidak diperbolehkan apabila nadzir punya dugaan kuat dipakai untuk mengakses hal-hal yang tidak bermanfaat, seperti game, situs-situs negatif, dll.

Referensi :

بغية المسترشدين ص : 65 (دار الفكر)

(مسئلة ب) يجوز للقيم شراء عبد للمسجد ينتفع به لنحو نزح إن تعينت المصلحة فى ذلك إذ المدار كله من سائر الأولياء عليها نهم لا نرى للقيم وجها فى تزويج العبد المذكور كولى اليتيم إلا أن يبعه بالمصلحة فيزوجه مشتريه ثم يرد للمسجد بنحو بيع مراعيا فى ذلك المصلحة ويجوز بل يندب للقيم أن يفعل ما يعتاد فى المسجد من قهوة ودخون ونحوهما مما يرغب نحو المصلين وإن لم يعتد قبل إذا زاد على عمارته.

فتح الاله المنان صـ 150

سئل رحمه الله تعالى عن رجل وقف اموالا كثيرة على مصالح المسجد الفلاني وهو الان معمور وفي خزنة المسجد من هذا الوقف الشئ الكثير فهل يجوز اخراج شئ من هذا الوقف لاقامة وليمة مثلا يوم الزينة ترغيبا للمصلين المواظبين ؟ فا جاب الحمد لله والله الموافق للصواب الموقوف على مصالح المساجد كما في مسئلة السؤال يجوز الصرف فيه البناء والتجصيص المحكم و في أجرة القيم والمعلم والامام والحصر والدهن وكذا فيما ير غب المصلين من نحو قهوة وبخور يقدم من ذلك الاهم فالاهم وعليه فيجوز الصرف في مسئلة السؤال لما ذكره السائل اذافضل عن عمارته ولم يكن ثم ما هو اهم منه من المصالح اهـ. قال فى البغية المشتر شدين نقلا عن العلامة الحبيب عبد الله بن حسين بافقيه ، ويجوز بل يندب للقيم أن يفعل ما يعتاد للمسجد من قهوة ودخون وغيرهما مما يرغب نحو المصلين ، وإن لم يعتد قبل ذلك اذا زادعلى عمارته . اهـ. وفى فتاوى باسودان ، مما وقف للمصالح تدخل فيه العمارة وغيرها مما يدعوا إلى الجماعة كالقهوة والدخون . اهـ. وفى مختصر فتاوى بامخرمة ، الموقوف لمصالح المسجد يجب فيه تقديم الأهم فالأهم .اهـ.

عمدة المفتي والمستفتي الجزء الأول صـ: 121

اعلم ان الله امر بتعظيم المسجد وتكريمها في قوله تعالى ( اذن الله ان ترفع) اي تعظم بحيث لا يقع فيها الفحش من القول وتطهر من النجاسة والاقذار وقال تعالى : (وطهر بيتي للطائفين والقائمين والركع السجود )وقال تعالى انما يعمر مساجد الله من امن بالله) الاية قال البيضاوي : (ومن عمارتها تزيينها بالفرش وتنويرها بالسراج وادامة العبادة والذكر والدرس العلم فيها وصيانتها عما لم تبن له كحديث الدنيا) وفي حديث اخرجه مسلم واحمد وابن ماجه من حديث بريدة مرفوعا :(انما بنيت المساجد لما بنيت له ) اي : من الصلاة وقراءة القرأن والعلم والمذاكرة في الخير قاله النووي يقول الفقير مفهوم حديث المسلم أن اشغال المسجد بغير ذلك وضع للشئ في غير محله وقد اعتيد في بعض البلدان إيقاع ختم القرأن مثلا في المسجد وتفرقة القهوة والحلوى والسمسم ونحوها ودخول الصبيان المسجد فيقع منهم تقذير المسجد وذلك حرم شديد التحريم والتصدق بذلك وإن كان قربة في ذاته إلا أن اقترانها بالمحرم وهو عدم احترام المسجد صيره محرما فإذا أريد فعل الختم فيه وتفرقة ما ذكر وجب المنع من المحرم في المسجد اعني تقذيره والإزدراء به ولغب الصبيان فيه كما قال إبو العباس الطنبداوي ما ملخصه ( المور المستحبة لا يمنع منها اذا اقترنت بها مفسدة وانما يمنع من تلك المفسدة كما لو وقع اختلات النساء بالرجال في الطواف فالطواف باق على مشروعيته وانما يؤمر الطائف بالبعد عنهن وغض الطرف بحيث يسلم من اغلمفسدة) انتهى كلامه واذا كان وقوع الختم في المسجد مع وقوع التلويث والازدراء واللعب ولم يتأت المنع من وقوع ما اقترن بالختم من الازدراء واللعب صار فعل الختم فيه حراما ففي فتاوي ابن حجر الحديثية ( إن المواليد التي تفعل بمكة أكثرها مشتمل على خير كصدقة وذكر وصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم وعلى شرور لو لم يكن منها الا رؤية النساء للرجال الاجانب وبعضها ليس فيه شئ لكنه قليل نادر قال ابن حجر ولاشك أن القسم الاول ممنوع للقاعدة المقررة المشهورة أن درء المفاسد مقدم على جلب المصالح فمن علم وقوع شئ من الحرام فيما يفعل من ذلك فهو أثم عاص فالحير فيه لايساوي شره ألا ترى أن الشارع اكتفى من الخير بما تيسر ومنع من جميع أنواع الشر حيث قال إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استعطم وإذا نهيتكم عن شئ فاجتنبوا ) -الى ان قال -فمتى كان وجود القهوة والحلوى ومحوهما سببا لحضور الصبيان وانتهاكهم حرمة المسجد كان المحضر اثما لان التسبب في المعصية معصية ويجب على إزالته إزالته – الى ان قال- تنبيه تقسيم القهوة في المسجد له اصل في السنة ذكر السيد عتد الرحمن بي سليمان: ان للتقسيم القهوة أي في المسجد أصلا في السنة وأنه قربة وهو لاينافي ما سبق أنه بدعة محرمة لان كلامه في الخالي عن الازراء بالمسجد وانتهاك حرمته وكلامنا في المقترن بذلك والحق فيه كما علم مما مر أنه مع الازراء المذكور حرام وأن الساعي فيه اثم وأن الصدقته لابساوي وزره. انتهى

تفسير آيات الأحكام الجزء الأول صـ 278

الحكم الأول : ما المراد بعمارة المساجد في الآية الكريمة؟ ذهب بعض العلماء إلى أن المراد بعمارة المساجد هو بناؤها وتشييدها وترميم ما تهدم منها ، وهذه هي ( العمارة الحسية ) ويدل عليه قوله عليه السلام : « من بنى الله مسجداً ولو كمِفْحَص قطاة بني الله له بيتاً في الجنة » . وقال بعضهم : المراد عمارتها بالصلاة والعبادة وأنواع القربات كما قال تعالى : { فِي بُيُوتٍ أَذِنَ الله أَن تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسمه } [ النور : 36 ] وهذه هي ( العمارة المعنوية ) التي هي الغرض الأسمي من بناء المساجد ، ولا مانع أن يكون المراد بالآية النوعين ( الحسية ) و ( المعنوية ) وهو اختيار جمهور العلماء لأن اللفظ يدل عليه ، والمقام يقتضيه. قال أبو بكر الجصاص : « وعمارة المسجد تكون بمعنيين : أحدهما : زيارته والمكث فيه ، والآخر : بناؤه وتجديد ما استرم منه ، وذلك لأنه يقال : اعتمر إذا زار ، ومنه العمرة لأنها زيارة البيت ، وفلان من عُمّار المساجد إذا كان كثير المضيّ إليها ، فاقتضت الآية منع الكفار من دخول المساجد ، ومن بنائها ، وتولّي مصالحها ، والقيام بها لانتظام اللفظ للأمرين » .

Jawaban b :

Sesuai dengan jawaban sub a, maka penggunaan WI-FI tidak diperbolehkan.

*Catatan:* Ketentuan di atas untuk penyediaan WI-FI wifi yang berada di dalam masjid. Jika penyediaan WI-FI tersebut diperuntukkan untuk kebutuhan kantor masjid atau kebutuhan yang lain yang manfaatnya kembali ke masjid maka hukum menggunakannya boleh dengan catatan:
(1) mendapat izin dari takmir, dan

(2) penggunaan sesuai dengan peruntukannya.

Referensi :

الحاوي للفتاوي (1/ 117)

فصل: إذا تحصل ريع الوقف عند الناظر أو المباشر أو الجابي فنودي عليه برخص نظر، فإن حصل منه تقصير في صرفه بأن شرط الواقف الصرف في كل شهر فحصل الريع في الشهر الثاني وأخر الصرف يوما واحدا مع حضور المستحقين في البلد عصى وأثم ولزمه ضمان ما نقص بالمناداة في ماله لأنه كالغاصب بوضع يده عليه وحبسه عن المستحقين، وإن نودي عليه والحالة هذه بزيادة كانت للوقف كما هو واضح، وإن لم يحصل منه تقصير بأن كان شرط الواقف الصرف في كل سنة مثلا فحصل الريع قبل تمام السنة أو حصل عند الوقت الذي شرط الصرف عنده بعض الريع وهو يسير جدا بحيث لا يمكن قسمته وأخر ليجتمع ما يمكن قسمته فهذا لا تقصير فيه، والنقص الحاصل يكون من ضمان الوقف، ولا يدخل على المستحقين منها شيء، كما لو رخصت أجرة عقار الوقف فإنه على الوقف، ولا ينقص بسببها شيء من معاليم المستحقين، ولو نودي عليه والحالة هذه بزيادة كانت للوقف، ثم عند الصرف إلى المستحقين يراعي ما قدمناه في الحالين المذكورين في الفصل الذي قبل هذا ويعمل بما يقتضيه.

فتح المعين – (ج 1 / ص 55)

( فائدة ) يحرم التطهر بالمسبل للشرب وكذا بماء جهل حاله على الأوجه وكذا حمل شيء من المسبل إلى غير محله.

رسالة الأماجد ص : 29

أقول وفهم مما ذكر نقل نحو المكبر للصوت للمسجد واستعماله لغير ذلك المسجد غير جائز اللهم إلا ان اشتراه الناظر بقصد إيجاره فيجوز استعماله للغير بأجرة لا مجانا.

Wallahu a’lamu bisshowab..

Kategori
Uncategorized

M061 : MAFAHIM : ANTARA SEBAIK-BAIK BID’AH DAN SEBURUK-BURUKNYA

TERJEMAH KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHOHHAH

PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN

Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah karangan Alhabib Muhammad bin Alwi Almaliky Alhasany

BAB I

Pembahasan Masalah

”AQIDAH”

”KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG”

ANTARA SEBAIK-BAIK BID’AH DAN SEBURUK-BURUKNYA

Di antara mereka yang mengklaim memahami substansi permasalahan adalah orang-orang yang menilai diri mereka sebagai salaf shalih. Mereka bangkit mendakwahkan gerakan salafiyah dengan cara biadab dan tolol, fanatisme buta, akal-akal yang kosong, pemahaman-pemahaman yang dangkal dan tidak toleran dengan memerangi segala hal yang baru dan menolak setiap kreativitas yang berguna dengan anggapan bahwa hal itu adalah bid’ah dan semua bid’ah adalah sesat tanpa memilah klasifikasinya padahal spirit syariah Islam mengharuskan kita membedakan bermacam-macam bid’ah dan mengatakan bahwa: “Sebagian bid’ah ada yang baik dan sebagian ada yang buruk”.

Klasifikasi ini adalah tuntutan akal yang cemerlang dan pandangan yang dalam. Klasifikasi bid’ah ini adalah hasil kajian mendalam para sarjana ushul fiqh dari generasi klasik kaum muslimin seperti al-Imam al-‘Izz ibn Abdissalam, an-Nawawi, as-Suyuthi, al-Mahalli dan Ibnu Hajar. Hadits-hadits Nabi itu saling menafsirkan dan saling melengkapi. Maka diharuskan menilainya dengan penilaian yang utuh dan komprehensif serta harus menafsirkannya dengan menggunakan spirit dan persepsi syariah dan yang telah mendapat legitimasi dari para pakar.

Karena itu kita menemukan banyak hadits mulia dalam penafsirannya membutuhkan akal yang jernih, fikiran yang dalam, pemahaman yang relevan, dan emosi yang sensitif yang digali dari samudera syariah, yang bisa memperhatikan kondisi dan kebutuhan umat, dan mampu menyesuaikan kondisi dan kebutuhan tersebut dalam batasan kaidah-kaidah syari’at dan teks-teks al-Qur’an dan hadits yang mengikat. Salah satu contoh dari hadits-hadits di muka adalah hadits:

كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Setiap bid’ah itu sesat.”

Bid’ah dalam hadits ini harus ditafsirkan sebagai bid’ah sayyi’ah (bid’ah tercela) yang tidak termasuk dalam naungan dalil syar’i.

Penafsiran semacam ini terjadi pula dalam hadits lain seperti:

لاَ صَلاَةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلاَّ فِى الْمَسْجِدِ

“Tidak ada sholatnya seseorang yang tinggal di dekat masjid kecuali dilakukan di masjid.”

Hadits ini meskipun menunjukkan pengkhususan akan tidak sahnya sholat tetangga masjid kecuali di masjid namun keumuman-keumuman hadits memberikan batasan bahwa sholat tersebut tidak sempurna bukan tidak sah, di samping masih adanya perbedaan dalam kalangan ulama.
Seperti hadits:

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ

“Tidak ada sholat di hadapan makanan”.

Para ulama menafsirkan bahwa sholat tersebut tidak sempurna.

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

“Tidak beriman salah satu dari kalian sehingga mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya.”

واللهِ لا يُؤْمِن والله لا يؤمن والله لا يؤمن قيل: مَن يا رسول الله؟ قال:مَنْ لَمْ يَأْمَنْ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman, demi Allah, tidak beriman. Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah wahai Rasulullah”. “Seseorang yang tetangganya merasa terganggu dengannya”.

Para ulama menafsirkan dengan tidak adanya iman yang sempurna.

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ….., لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعُ رَحِمٍ وعاق لوالديه

“Tidak akan masuk sorga orang yang suka mengadu domba…….tidak akan masuk sorga orang yang memutus hubungan kerabat dan yang durhaka kepada kedua orang tuanya.”

Para ulama menegaskan bahwa yang dimaksud tidak akan masuk surga ialah tidak akan masuk pertama kali atau tidak masuk surga jika menilai perbuatan tercela tersebut halal dilakukan. Walhasil, para ulama tidak memahami hadits di atas secara tekstual tapi menafsirkannya dengan bermacam-macam penafsiran yang sesuai.

Hadits di atas yang menjelaskan bid’ah termasuk dalam kategori ini. Keumuman-keumuman hadits dan keadaan-keadaan sahabat memberi kesimpulan bahwa bid’ah yang dimaksud adalah bid’ah tercela yang tidak berada dalam naungan prinsip umum. Dalam sebuah hadits dijelaskan:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْر مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Siapapun yang mengawali tradisi yang terpuji maka ia memperoleh pahala darinya dan dari pahala mereka yang mengamalkannya sampai hari kiamat.”

“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin sesudah wafatku.”

Umar ibn Khaththab berkomentar mengenai sholat tarawih: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (sholat tarawih berjama’ah dalam satu masjid dengan seorang imam)”.

Kategori
Uncategorized

HADITS KE 188 : PENTINGNYA MEMBUAT PEMBATAS KETIKA SHALAT

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB MEMBUAT PEMBATAS BAGI ORANG SHALAT

HADITS KE 188 :

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ إِلَى شَيْءٍ يَسْتُرُهُ مِنْ اَلنَّاسِ فَأَرَادَ أَحَدٌ أَنْ يَجْتَازَ بَيْنَ يَدَيْهِ فَلْيَدْفَعْهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُقَاتِلْهُ فَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانٌ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَفِي رِوَايَةٍ : ( فَإِنَّ مَعَهُ اَلْقَرِينَ )

Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Apabila seseorang di antara kamu sholat dengan memasang batas yang membatasinya dari orang-orang lalu ada seseorang yang hendak lewat di hadapannya maka hendaklah ia mencegahnya. Bila tidak mau perangilah dia sebab dia sesungguhnya adalah setan. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa dia bersama setan.

MAKNA HADITS :

Manusia senantiasa disertai oleh dua jenis teman. Pertama, teman yang jujur dan menganjurkan kepada kejujuran, yaitu dari kalangan malaikat. Ia senantiasa menyuruh kebaikan dan mencegah perbuatan jahat. Kedua, teman jahat sekaligus musuh manusia, yaitu dari kalangan syaitan. Ia senantiasa menyuruh kejahatan dan mencegah perbuatan baik. Maka berhati-hatilah anda, wahai orang muslim. Janganlah anda biarkan diri anda dipedaya oleh teman jahat itu yang senantiasa menyuruh diri anda berani lewat di hadapan orang yang sedang shalat, karena anda pasti menerima dampaknya berupa perlakuan keras darinya, sedangkan azab di akhirat kelak lebih dahsyat dan lebih kekal untukmu.

FIQH HADITS :

1. Disyariatkan meletakkan tanda ketika hendak mengerjakan shalat walau apa pun bentuknya, baik berupa dinding ataupun lain-lain, dan melarang orang lewat di antara orang yang sedang shalat dengan pembatasnya itu.

2. Al-Muqatalah, yakni menolak dengan keras orang yang hendak lewat di hadapannya apabila orang tersebut tetap memaksa meskipun telah diberikan isyarat terhadapnya. Hal ini dilakukan apabila dia telah meletakkan pembatas dalam shlatnya. Tetapi jika dia tidak meletakkan pembatas, maka tidak ada hak baginya untuk menolak orang yang lewat di hadapannya.

3. Boleh menggunakan lafaz “syaitan” kepada manusia yang ingin merusak shalat orang yang sedang mengerjakannya dan ingin memfitnah agamanya.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
Uncategorized

M060. MAFAHIM : RISALAH PENTING LAIN KARYA SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB  DALAM  MASALAH  PENTAKFIRAN

TERJEMAH KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHOHHAH

PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN

Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah karangan Alhabib Muhammad bin Alwi Almaliky Alhasany

BAB I

Pembahasan Masalah

”AQIDAH”

”KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG”

RISALAH PENTING LAIN KARYA SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB DALAM MASALAH PENTAKFIRAN

Risalah ini dikirimkan kepada as-Suwaidi, seorang ulama Iraq. Sebelumnya as-Suwaidi mengirimkan buku dan menanyakanmengenai apa yang diperbincangkan masyarakat. Kemudian Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab menjawab dalam risalahnya :

“Tersebarnya kebohongan adalah hal yang membuat orang yang berakal merasa malu untuk menceritakannya apalagi untuk membuat-buat hal-hal yang tidak ada faktanya. Sebagian dari apa yang kalian katakan adalah bahwasanyasaya mengkafirkan semua orang kecuali mereka yang mengikutiku. Sungguh aneh, bagaimana mungkin kebohonganini masuk ke akal orang yang berakal? Dan bagaimana mungkin seorang muslim akan melontarkan ucapan demikian?

Dan apa yang kalian katakan: Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Nabi saw. niscaya saya akan merealisasikannya, membakar dalailul khairaat jika mampu dan melarang bersholawat kepada Nabi dengan ungkapan sholawat apapun. Perkataan-perkataan ini dikategorikan kebohongan. Dalam hati seorang muslim tidak terbesit dalam hatinya sesuatu yang lebih agung melebihi al-Qur’an.
Pada halaman 64 dari kitab yang sama Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab berkata:
“Apa yang kalian katakan bahwa saya telah mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, mengkafirkan Bushoiri karena ungkapannya: Wahai makhluk paling mulia, mengingkari diperkenankannya ziarah kubur Nabi saw, kuburan kedua orang tua dan kuburan-kuburan orang lain serta mengkafirkan orang yang bersumpah menggunakan nama selain Allah, maka jawaban saya atas semua tuduhan ini adalah Firman Allah: “Maha suci Engkau ( ya Tuhan kami ), ini adalah Dusta yang besar.” (QS. an-Nur:16)

Kategori
Uncategorized

HADITS KE 187 : RESIKO BAGI ORANG SHALAT TIDAK MEMAKAI PEMBATAS DI DEPANNYA

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB MEMBUAT PEMBATAS BAGI ORANG SHALAT

HADITS KE 187 :

وَعَنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( يَقْطَعُ صَلَاةَ اَلْمَرْءِ اَلْمُسْلِمِ – إِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ اَلرَّحْلِ – اَلْمَرْأَةُ وَالْحِمَارُ وَالْكَلْبُ اَلْأَسْوَدُ اَلْحَدِيثَ ) وَفِيهِ ( اَلْكَلْبُ اَلْأَسْوَدِ شَيْطَانٌ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

وَلَهُ : عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه نَحْوُهُ دُونَ : اَلْكَلْبِ

وَلِأَبِي دَاوُدَ وَالنَّسَائِيِّ : عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ – رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- نَحْوُهُ دُونَ آخِرِهِ وَقَيَّدَ اَلْمَرْأَةَ بِالْحَائِضِ

Dari Abu Dzar Al-Ghifary Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Yang akan memutuskan sholat seorang muslim bila tidak ada tabir di depannya seperti kayu di bagian belakang kendaraan adalah wanita keledai dan anjing hitam. Di dalam hadits disebutkan: Anjing hitam adalah setan. Dikeluarkan oleh Imam Muslim.

Menurut riwayat Muslim dari hadits Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu terdapat hadits semisal tanpa menyebut anjing.

Menurut riwayat Abu Dawud dan Nasa’i dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu ada hadits semisal tanpa menyebutkan kalimat akhir (yaitu anjing) dan membatasi wanita dengan yang sedang haid.

MAKNA HADITS :

Shalat adalah bermunajat kepada Allah tuhan semesta alam. Shalat di tempat yang ada wanita di sekelilingnya, kemudian wanita itu lalu lalang di hadapan orang yang sedang shalat tentu keadaan ini membuat orang yang shalat itu melakukan perkara-perkara yang bertentangan dengan tuntutan shalatnya yang benar, karena fitnah selalu ditimbulkan oleh wanita. Keledai memiliki kedudukan yang sama dengan syaitan, kerana ringkikannya secara mengejutkan dapat mengganggu orang yang sedang shalat. Anjing itu adalah syaitan, terlebih lagi anjing yang berwarna hitam. Anjing hitam gemar mengganggu keadaan melalui lolongannya. Ia adalah anjing yang paling ganas, paling kotor dan paling sedikit manfaatnya serta paling banyak tidur.

FIQH HADITS :

Pahala orang shalat yang tidak memasang penghalang atau pembatas akan berkurang. Pahala shalat itu berkurang karena menjadi jalan bagi wanita, keledai dan anjing hitam.

Imam Malik, Imam al-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa pahala shalat tidak berkurang karena ada sesuatu yang lewat di depan atau berdekatan dengan seseorang. Mereka menguatkan pendapatnya dengan hadis no.190 yang lafaznya:

لا يقطع الصلاة شيء وادرءوا ماستطعتم

“Tidak ada sesuatu apapun yang bisa mengurangi pahala shalat dan tolaklah oleh kamu dengan semampu kamu.” Kemudian mereka menyanggah hadits ini dengan mengatakan bahwa apa yang dimaksudkan “mengurangi pahala shalat” di sini ialah memutuskan kekhusyukan dan zikir karena terganggu oleh perkara-perkara tersebut hingga tumpuan seseorang yang sedang shalat tertuju kepadanya, tetapi tidak merusak shalatnya.

Imam Ahmad berkata: “Shalat menjadi batal apabila ada anjing hitam lewat di hadapannya, sedangkan pendapat yang lain apabila lewat di depannya tidak
membatalkan atau memutuskan shalat.”

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
Uncategorized

M059. MAFAHIM : SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB MENYANGKUT TAKFIR

PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN

Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah karangan Alhabib Muhammad bin Alwi Almaliky Alhasany

BAB I
Pembahasan Masalah
”AQIDAH”
”KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG”

SIKAP SYAIKH MUHAMMAD IBN ABDUL WAHHAB MENYANGKUT TAKFIR

Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab rahimahullah memiliki sikap mulia dalam hal pentakfiran. Sebuah sikap yang dipandang aneh oleh mereka yang mengklaim sebagai pendukungnya kemudian memvonis kafir secara serampangan terhadap siapapun yang berbeda jalan dan menolak pemikiran mereka. Padahal Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab sendiri menolak semua pandangan-pandangan tak berharga yang dialamatkan kepadanya. Dalam sebuah risalah yang dikirimkannya kepada penduduk Qashim pada bahasan tentang aqidah ia menulis sebagai berikut :

”Telah jelas bagi kalian bahwa telah sampai kepadaku berita mengenai risalah Sulaiman ibn Suhaim yang telah sampai kepada kalian dan bahwa sebagian ulama di daerah kalian menerima dan membenarkan isi risalah tersebut. Allah mengetahui bahwa Sulaiman ibn Suhaim mengada-ada atas nama saya ucapan-ucapan yang tidak pernah aku katakan dan kebanyakan tidak terlintas sama sekali di hatiku.”
Di antaranya: Ucapan Sulaiman bahwa saya menganggapsesat semua kitab madzhab empat. Bahwa manusia semenjak 600 tahun yang silam tidak menganut agama yang benar.Saya mengklaim mampu berijtihad dan lepas dari taqlid. Perbedaan para ulama adalah malapetaka dan saya mengkafirkan orang yang melakukan tawassul dengan orang-orang shalih, dan saya mengkafirkan Imam al-Bushiri karena ucapannya: Wahai makhluk paling mulia.

Seandainya saya mampu meruntuhkan kubah Rasulullah saw. maka saya akan melakukannya dan jika mampu mengambil talang Ka’bah yang terbuat dari emas maka saya akan menggantinya dengan talang kayu. Saya mengharamkan ziarah ke makam Nabi saw, mengingkari ziarah ke makam kedua orang tua dan makam orang lain, saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah, mengkafirkan Ibnu Faridl dan Ibnu ‘Araby, dan bahwasanya saya membakar kitab Dalailul Khairaat dan Raudhat ar-Rayahin yang kemudian saya namakan Raudhat asy-Syayathin.

Jawaban saya atas tuduhan telah mengucapkan perkataan-perkataan di atas adalah firman Allah: “Maha suci Engkau (ya Tuhan kami), ini adalah dusta yang besar.” ( QS. an-Nur:16)
Sebelum apa yang saya alami terjadi, peristiwa mirip pernah dialami Nabi saw. Beliau dituduh telah memaki Isa ibn Maryam dan orang-orang shalih. Hati mereka yang melakukan perbuatan terkutuk ini sama persis sebab menciptakan kebohongan dan ucapan palsu. Allah swt. berfirman:”Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah.” (Q.S. an-Nahl:105)
Kafir Qurays melontarkan tuduhan palsu bahwa Nabi saw. mengatakan bahwa Malaikat, Isa dan ‘Uzair berada di neraka. Lalu Allah menurunkan firmanNya :”Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami. Mereka itu dijauhkan dari neraka.” (QS. al-Anbiya`:101)

Kategori
Uncategorized

HADITS KE 186 : UKURAN PEMBATAS BAGI ORANG SHALAT

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB MEMBUAT PEMBATAS BAGI ORANG SHALAT

HADITS KE 186 :

وَعَنْ سَبْرَةَ بْنِ مَعْبَدٍ اَلْجُهَنِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لِيَسْتَتِرْ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ وَلَوْ بِسَهْمٍ ) أَخْرَجَهُ اَلْحَاكِمُ

Dari Sabrah Ibnu Ma’bad al-Juhany bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Hendaknya seseorang di antara kamu membuat batas pada waktu sholat walaupun hanya dengan anak panah. Dikeluarkan oleh Hakim.

MAKNA HADITS :

Oleh karena tujuan utama meletakkan pembatas ini untuk mencegah supaya orang
lain tidak lewat di hadapan orang yang sedang shalat, maka syariat Islam sama sekali tidak bermaksud menyusahkannya seperti meletakkan objek tertentu yang ukuran dan spesifikasi tertentu. Dalam hal itu, syariat Islam memperbolehkan menjadikan pembatas ini hanya dengan sebatang anak panah, seperti bagian belakang pelana unta. Tetapi yang lebih utama ialah hendaklah pembatas tersebut diletakkan di sebelah kanan mengingat sebelah kanan itu mesti dimuliakan.

FIQH HADITS :

Disyariatkan membuat pembatas untuk shalat. Ulama berbeda pendapat mengenai ukuran lebar dan ketinggiannya.

Imam Malik mengatakan bahwa batasan minimum pembatas tersebut ialah setebal tombak dan setinggi satu hasta. Jika kurang dari itu, maka dia tidak memperoleh pahala Sunnah.

Imam al-Nawawi, salah seorang pengikut mazhab al-Syafi’i, berkata:
“Hendaklah panjang pembatas itu sama dengan bagian belakang pelana unta.
Tidak ada ketentuan lebar dan ukuran tertentu bagi pembatas ini. yang penting adanya pembatas ketika sedang mengerjakan shalat.”

Imam Abu Hanifah berkata: “Ketebalan pembatas hendaklah sama dengan tebal jari tangan dan ketinggiannya hendaklah satu hasta.”

Imam Ahmad berkata:
“Sudah mencukupi hanya dengan sebuah anak panah.”

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
Uncategorized

M058. MAFAHIM : LARANGAN MENJATUHKAN VONIS KUFUR ( TAKFIR ) SECARA MEMBABI BUTA

TERJEMAH KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHOHHAH

PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN

Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah karangan Alhabib Muhammad bin Alwi Almaliky Alhasany

BAB I

Pembahasan Masalah

”AQIDAH”

”KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG”

LARANGAN MENJATUHKAN VONIS KUFUR ( TAKFIR ) SECARA MEMBABI BUTA

Banyak orang keliru dalam memahami substansi faktor-faktor yang membuat seseorang keluar dari Islam dan divonis kafir. Anda akan menyaksikan mereka segera memvonis kafir seseorang hanya karena ia memiliki pandangan berbeda. Vonis yang tergesa-gesa ini bisa membuat jumlah penduduk muslim di dunia tinggal sedikit. Kami, karena husnuddzon, berusaha memaklumi tindakan tersebut serta berfikir barangkali niat mereka baik. Dorongan kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar mungkin mendasari tindakan mereka. Sayangnya, mereka lupa bahwa kewajiban mempraktekkan amar ma’ruf nahi munkar harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak dan tutur kata yang baik (bi al-Hikmah wa al-Mau’idzoh al–Hasanah). Jika kondisi memaksa untuk melakukan perdebatan maka hal ini harus dilakukan dengan metode yang paling baik sebagaimana disebutkandalam QS. an-Nahl:125:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
Praktek amar ma’ruf nahi munkar dengan cara yang baik ini perlu dikembangkan karena lebih efektif untuk menggapai hasil yang diharapkan. Menggunakan cara yang negatif dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar adalah tindakan yang salah dan tolol.

Jika Anda mengajak seorang muslim yang sudah taat mengerjakan sholat, melaksakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan Allah, menjauhi hal-hal yang diharamkan-Nya, menyebarkan dakwah, mendirikan masjid, dan menegakkansyi’ar-syi’ar-Nya untuk melakukan sesuatu yang Anda nilai benar sedangkan dia memiliki penilaian berbeda dan para ulama sendiri sejak dulu berbeda pendapat dalam persoalan tersebut kemudian dia tidak mengikuti ajakanmu lalu kamu menilainya kafir hanya karena berbeda pandangan denganmu maka sungguh kamu telah melakukan kesalahan besar yang Allah melarang kamu untuk melakukannya dan menyuruhmuuntuk menggunakan cara yang bijak dan tutur kata yang baik.

Al-‘Allamah al-Imam as-Sayyid Ahmad Masyhur bin Thoha al-Haddad mengatakan,
“Telah ada konsensus ulama untuk melarang memvonis kufur ahlul qiblat (ummat Islam) kecuali akibat dari tindakan yang mengandung unsur meniadakan eksistensi Allah, kemusyrikan yang nyata yang tidak mungkin ditafsirkan lain, mengingkari kenabian, prinsip-prinsip ajaran agama Islam yang harus diketahui ummat Islam tanpa pandang bulu (ma ‘ulima min ad-din bi adh-dharurat), mengingkari ajaran yang dikategorikan mutawatir atau yang telah mendapat konsensus ulama dan wajib diketahui semua ummat Islam tanpa pandang bulu.”

Ajaran-ajaran yang dikategorikan wajib diketahui semua ummat Islam seperti masalah ke-Esaan Allah, kenabian, diakhirinya kerasulan dengan Nabi Muhammad saw, kebangkitan di hari akhir, hisab (perhitungan amal), balasan, surga dan neraka bisa mengakibatkan kekafiran orang yang mengingkarinya dan tidak ada toleransi bagi siapapun umat Islam yang tidak mengetahuinya kecuali orang yang baru masuk Islam maka ia diberi toleransi sampai mempelajarinya kemudian sesudahnya tidak ada toleransi lagi.
Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan sekelompokperawi yang mustahil melakukan kebohongan kolektif dan diperoleh dari sekelompok perawi yang sama. Kemutawatir bisa dipandang dari :

1. Aspek isnad seperti hadits :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ, قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

“Barangsiapa berbohong atas namaku maka carilah tempatnya di neraka” (HR. Muslim)
2. Aspek tingkatan kelompok perawi.
Seperti kemutawatiran al-Qur’an yang kemutawatirannya terjadi di muka bumi ini dari wilayah barat hingga timur dari aspek kajian, pembacaan, dan penghafalan serta ditransferdari kelompok perawi satu kepada kelompok lain dari berbagai tingkatannya sehingga ia tidak membutuhkan isnad.
Kemutawatiran ada juga yang dikategorikan mutawatir dari aspek praktikal dan turun-temurun (tawuturu ‘amalin wa tawarutsin) seperti praktik atas sesuatu hal sejak zaman nabi sampai sekarang, atau mutawatir dari aspek informasi (tawaturu ‘ilmin) seperti kemutawatiran mu’jizat-mu’jizat. Karena mu’jizat-mu’jizat itu meskipun satu persatunya malah sebagian ada yang dikategorikan hadits ahad namun benang merah dari semua mu’jizat tersebut mutlak mutawatir dalam pengetahuan setiap muslim.
Memvonis kufur seorang muslim di luar konteks di muka adalah tindakan fatal. Dalam sebuah hadits disebutkan :

إِذَا قَالَ الرجلُ لأَخِيه : يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

“Jika seorang laki-laki berkata kepada saudara muslimnya; Hai kafir, maka vonis kufur telah jatuh pada salah satu dari keduanya.” ( HR.Bukhari)
Vonis kufur tidak boleh dijatuhkan kecuali oleh orang yang mengetahui seluk-beluk keluar masuknya seseorang dalam lingkaran kufur dan batasan-batasan yang memisahkan antara kufur dan iman dalam hukum syari’at Islam.

Tidak diperkenankan bagi siapapun memasuki wilayah ini dan menjatuhkan vonis kufur berdasarkan prasangka dan dugaan tanpa kehati-hatian, kepastian dan informasi akurat. Jika vonis kufur dilakukan dengan sembarangan maka akan kacau dan mengakibatkan penduduk muslim yang berada di dunia ini hanya tinggal segelintir.
Demikian pula, tidak diperbolehkan menjatuhkan vonis kufur terhadap tindakan-tindakan maksiat sepanjang keimanan dan pengakuan terhadap syahadatain tetap terpelihara. Dalam sebuah hadits dari Anas ra. Rasulullah saw. bersabda :

ثَلَاثٌ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ : الْكَفُّ عَمَّنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَلَا نُكَفِّرُهُ بِذَنْبٍ وَلَا نُخْرِجُهُ مِنْ الْإِسْلَامِ بِعَمَلٍ ، وَالْجِهَادُ مَاضٍ مُنْذُ بَعَثَنِي اللَّهُ إِلَى أَنْ يُقَاتِلَ آخِرُ أُمَّتِي الدَّجَّالَ لَا يُبْطِلُهُ جَوْرُ جَائِرٍ وَلَا عَدْلُ عَادِلٍ وَالْإِيمَانُ بِالْأَقْدَارِ

“Tiga hal merupakan pokok iman; menahan diri dari orang yang menyatakan tiada Tuhan kecuali Allah, tidak memvonis kafir akibat dosa dan tidak mengeluarkannya dari agama Islam akibat perbuatan dosa. Jihad berlangsung terus semenjak Allah mengutusku sampai akhir umatku memerangi Dajjal. Jihad tidak bisa dihapus oleh kelaliman orang yang lalim dan keadilan orang yang adil dan meyakini kebenaran takdir”. (HR. Abu Daud)

Al-Imam al-Haramain pernah berkata:
“Jika ditanyakan kepadaku: Tolong jelaskan dengan detail ungkapan-ungkapan yang menyebabkan kufur dan tidak”. Maka saya akan menjawab,” Pertanyaan ini adalah harapan yang bukan pada tempatnya. Karena penjelasan secara detail persoalan ini membutuhkan argumentasi mendalam dan proses rumit yang digali dari dasar-dasar ilmu Tauhid. Siapapun yang tidak dikarunia puncak-puncak hakikat maka ia akan gagal meraih bukti-bukti kuat menyangkut dalil-dalil pengkafiran”.
Berangkat dari paparan di muka kami ingatkan untuk menjauhi pengkafiran secara membabi buta di luar poin-poin yang telah dijelaskan di atas. Karena tindakan pengkafiran bisa berakibat sangat fatal.
Hanya Allah swt. yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus dan hanya kepada-Nya lah tempat kembali.