Kategori
Uncategorized

M070. HUKUM JUAL BELI BAYI

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Diskripsi masalah :
Belakangan ini sering terjadi di masyarakat praktek transaksi bayi, Ironisya hal tersebut tanpa di beritaukan siapa orang tua anak tersebut.

Pertanyaanya :
Bagaimana hukum transaksi tersebut?

JAWABAN :

Wa alaikumussalaam Warohmatulloohi Wabarokaatuh.

Menjual belikan bayi hukumnya haram, merupakan dosa besar, dan sekaligus menunjukkan rusaknya masyarakat pada tingkat kerusakan yang hebat.

Keharamannya didasarkan pada hadits shahih yang mengharamkan jual beli manusia merdeka (bukan budak). Rasulullah SAW telah bersabda dalam sebuah hadits qudsi:

عن ابي هريرة رضي الله عنه : عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : قال الله : ثلاثة أنا خصمهم يوم القيامة رجل أعطي بي ثم غدر ورجل باع حراً فأكل ثمنه ورجل استأجر أجيراً فاستوفى منه ولم يعطه أجره

Dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: Allah berfirman: “Ada tiga golongan yang Aku (Allah) akan menjadi lawan mereka pada Hari Kiamat nanti; seorang yang bersumpah dengan menyebut nama-Ku lalu berkhianat, seorang yang menjual seorang yang merdeka (bukan budak) lalu memakan hasilnya, dan seorang yang mempekerjakan seorang pekerja (lantas) ketika pekerja itu menyelesaikan pekerjaannya, orang itu tidak membayar upahnya.” (HR. Muslim: no 2114).

بغية المسترشدين ١٤٣
لا بجوز بيع الاولاد لاحتياجهم للنفقة لحرمة بيع الحر فلو باعهم الاب او غيره كان ثمنهم متعلقا بذمة البائع و ليس لمشتريهم عليهم يد و نفقتهم فى بيت المال ثم مياسير المسلمين

Berdasarkan dalil tersebut jelas haram memperdagangkan bayi seperti yang terjadi pada masa sekarang, karena bayi pada masa sekarang hakikatnya adalah orang merdeka, bukan budak. Alasan apapun tak dapat membenarkannya, misalnya ibu si bayi sedang dililit kesulitan ekonomi, atau harga penjualan itu hanya untuk biaya persalinan dan sebagainya. Semuanya adalah alasan bathil yang tidak ada nilainya sama sekali dalam pandangan syariah Islam.

Dosanya akan semakin berlipat ganda, jika bayi itu adalah hasil dari hubungan helap atau zina. Karena perbuatan zinanya sendiri adalah dosa, apalagi kemudian hasil zinanya itu diperjualbelikan layaknya barang dagangan. Tentu lebih besar lagi dosanya. Na’uzhu billah min dzalik.

Perdagangan bayi yang terjadi saat ini menunjukkan rusaknya masyarakat pada tingkat kerusakan yang hebat. Mengapa? Karena 2 (dua) alasan utama : pertama, masyarakat terbukti semakin pragmatis tanpa peduli lagi halal haram. Yang diutamakan hanyalah materi saja, walaupun harus melanggar syariah islam. Kedua, masyarakat semakin luntur penghargaannya kepada manusia, karena memperlakukan manusia tak lebih dari sekedar barang dagangan lainya semisal sapi atau kambing.

Namun perlu diingat, sikap pragmatis dan anti-kemanuisaan itu tak tumbuh dengan sendirinya di masyarakat muslim. Kedua nilai itu hanya dapat tumbuh subur dalam masyarakat demokrasi-sekuler seperti yang ada saat ini. Karena dalam masyarakat demokrasi sekuler yang tidak menjalankan syariah Islam sajalah, pragmatisme dan sikap anti-kemanusiaan akan menemukan lahan suburnya untuk tumbuh.

Wallahu a’lamu bisshowab..

Kategori
Uncategorized

N068. PERWAKILAN PERWALIAN KEPALA KUA KEPADA ORANG LAIN

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz

Deskripsi Masalah :
Dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2005 telah ditetapkan, bahwa Wali Hakim adalah Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditunjuk oleh Menteri Agama untuk bertindak sebagai wali nikah bagi calon mempelai wanita yang tidak mempunyai wali.

Apabila kepala KUA Kecamatan yang bersangkutan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Seksi yang membidangi Tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota diberikuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk salah satu Penghulu pada kecamatan tersebut atau yang terdekat untuk sementara waktu menjadi wali hakim pada wilayahnya.

Pertanyaan :

a. Bolehkah Kepala KUA Kecamatan mewakilkan perwaliannya kepada orang lain seperti halnya wali nasab?

b. Dalam fikih, apa istilah pembentukan dan pengangkatan Kepala KUA Kecamatan oleh Menteri Agama? Qadhi, Naib, atau apa?

JAWABAN :

Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..

a. Berdasar Peraturan Menteri Agama No.30 Tahun 2005 Pasal 3 ayat 2, Kepala KUA tidak boleh istikhlaf/mewakilkan, untuk istikhlaf dibutuhkan izin dari Imam, sementara aturan yang berlaku menunjukkan tidak adanya izin dari Imam.

Dasar Pengambilan Hukum :
Umdat al Mufti wa al Mustafti Juz 2 Halaman 521

قال الشيخ الفقيه جمال الدين محمد بن عبد الرحمن بن حسن بن عبد الباري الأهدل رحمه الله : يشترط في متولي عقود الأنكحة أن يكون حرا ذكرا مسلما عدلا فقيها اى عارفا بأبواب النكاح و مقادير العدة وصريح الطلاق و الرجعة و كناياتها وللقاضي الإستخلاف و النيابة في ذلك ان أذن له الإمام او كثر عمله في الناحية التى هو متول فيها وعجز عن الإتيان بجميع ما وليه فله ان يستخلف في القدر المعجوز عنه وإلا فلا يجوز وصيغة التولية أن يقول من تجوز له التولية كالإمام والقاضي لمن يريد توليته وليتك عقوج الأنكحة او استخلفتك فيها فيقول قبلت ولو قال الإمام وليت من رغب في عقج النكاح من علماء بلد كذا لم يصح.

Tuhfat al Muhtaj Juz 11 Halaman 282

(ولو وكل) غير الحاكم (قبل استئذانها) يعني إذنها (في النكاح لم يصح) النكاح (على الصحيح) لأنه لا يملك التزويج بنفسه حينئذ فكيف يفوضه لغيره أما بعد إذنها وإن لم يعلم به حال التوكيل فإنه يصح كما هو ظاهر اعتبارا بما في نفس الأمر أما الحاكم فله تقديم إنابة من يزوج موليته على إذنها له بناء على الأصح أن استنابته في شغل معين استخلاف لا توكيل

Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah Juz 33 Halaman 312

اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ الإْمَامَ إِذَا أَذِنَ لِلْقَاضِي فِي الاِسْتِخْلاَفِ فَلَهُ ذَلِكَ وَعَلَى أَنَّهُ إِذَا نَهَاهُ فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَسْتَخْلِفَ، وَذَلِكَ لأِنَّ الْقَاضِيَ إِنَّمَا يَسْتَمِدُّ وِلاَيَتَهُ مِنَ الإْمَامِ، فَلاَ يَمْلِكُ أَنْ يُخَالِفَهُ فِي تَعْيِينِ خَلَفٍ لَهُ مَتَى نَهَاهُ،كَالْوَكِيل مَعَ الْمُوَكِّل،أَمَّا إِنْ أَطْلَقَ الإْمَامُ فَلَمْ يَأْذَنْ وَلَمْ يَنْهَ فَهُنَاكَ اتِّجَاهَاتٌ فِي الْمَذَاهِبِ تَفْصِيلُهَا فِي مُصْطَلَحِ(اسْتِخْلاَف ف 2 )

Roudlotut Tholibin Juz 7 halaman 74

فرع في فتاوى البغوي أنه إذا لم يكن ولي سوى الحاكم فأمر يستأذنها رجلا بتزويجها فزوجها الرجل بإذنها هل يصح النكاح يبنى على أن استنابة القاضي في شغل معين كتحليف وسماع شهادة يجري مجرى الإستخلاف أم لا إن قلنا نعم جاز قبل استئذانها وصح النكاح وإلا فلا يصح على الأصح كتوكيل الولي قبل الإذن

b. Kepala KUA dalam kajian fiqh statusnya sebagai Mutawalli Li Uqudi al Ankihah atau Mustakhlaf.

Dasar Pengambilan Hukum :

Hasiyah al Bajuri ala Fath al Qarib Juz 3 Hal 229

ثم الحاكم. عاما كان او خاصا كالقاضي والمتولي لعقد الأنكحة او لهذا العقد بخصوصه

Umdat al Mufti wa al Mustafti Juz 2 Halaman 521

والمراد بمن يتولي عقود الأنكحة هو من يزوج من لا ولي لها او لها ولي غائب الى مرحلتين او عضلها وليها او كان محرما او فقد ولم يعرف موضعه هذا هو الذي تحتاج الي الشروط المذكرة أما لو جاء الولي والزوج الي شخص ليتوسط بينهما في العقد ويلقنهما فلايشترط فيه شيء من الشروط السابقة لأنه لو قال الولي للزوج بحضرة شاهدين عدلين زوجتك بنتي فقال قبلت نكاحها صح وان لم يكن بينهما قاض ولاعالم ولاغيرهما اذا تم ذلك.

Al Gharar al Bahiyyah Sharh al Bahjah al Wardiyah Juz 14 Hal. 243

( قَوْلُهُ : ثُمَّ السَّلْطَنَةُ ) قَالَ م ر الْمُرَادُ بِالسُّلْطَانِ هُنَا وَفِيمَا يَأْتِي مَنْ شَمِلَهَا وِلَايَتُهُ عَامًّا كَانَ أَوْ خَاصًّا كَالْقَاضِي وَالْمُتَوَلِّي لِعُقُودِ الْأَنْكِحَةِ .وَالْمُرَادُ بِالْمُتَوَلِّي لِعُقُودِ الْأَنْكِحَةِ مَنْ نَصَّبَهُ بَدَلَهُ فِي وِلَايَةِ الْعُقُودِ لَا مَنْ نَصَّبَهُ لِإِجْرَاءِ الْعَقْدِ بَيْنَ الزَّوْجِ وَالْوَلِيِّ كَمَا هُمْ الْآنَ

Wallahu a’lamu bisshowab..

Kategori
Uncategorized

N057. ANTARA WALI HAKIM DAN WALI AQROB

ANTARA WALI HAKIM DAN WALI AQROB

Dalam perkawinan, Islam menggariskan suatu aturan bahwa orang yang berhak menikahkan adalah wali mempelai perempuan, sehingga tidak boleh seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri atau orang lain yang tidak punya hubungan kerabat. Wali yang dimaksud adalah; ayah, kakek, saudara laki-laki sekandung (se-ayah dan se-ibu), saudara laki-laki se-ayah, paman (saudaranya ayah), anaknya paman (saudaranya ayah). Kemudian apabila orang-orang diatas tidak ada, maka wilayah annikah pindah kepada ahli ashobah binnafsih, yaitu; setiap orang laki-laki yang punya hubungan kerabat dan diantara mereka tidak dipisah orang perempuan, mereka adalah; anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, kakek, saudara laki-laki yang sekandung, saudara laki-laki yang se-ayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki yang se-ayah, paman yang sekandung dengan ayah, paman yang se-ayah dengan bapak, anaknya paman yang sekandung, anaknya paman yang se-ayah dengan bapak.
Daftar wali nikah diatas adalah urut-urutan orang yang berhak menikahkan anak perempuannya. Orang yang berada pada urutan yang paling atas disebut wali aqrob, sedangkan orang yang paling jauh dalam daftar urutan disebut wali ab’ad.

Referensi :

[1] المفتاح في النكاح /16-17

(الولي في النكاح واحق الأولياء بالتزويج) اولى اللأولياء واحقهم بالتزويج :

الأب
ثم الجد ابو الأب وان علا
ثم الأخ الشقيق
ثم الأخ لأب
ثم ابن الأخ الشقيق
ثم ابن الأخ لأب وان سفل
ثم العم الشقيق
ثم العم لأب
ثم ابن العم الشقيق
ثم ابن العم لأب وان سفل
ثم عم الأب
ثم ابنه وان سفل
ثم عم الجد
ثم ابنه وان سفل
ثم عم ابي الجد
ثم ابنه وان سفل

وهكذا على هذه الترتيب في سائر العصبات، ويقد الشقيق منهم على من كان لأب، فاذا لم يوجد احد من عصبات النسب فالمعتق فعصبته ثم معتق المعتق ثم عصبته ثم الحاكم او نائبه

*ترتيب الأولياء*
الاب : *بفاء*
الجد – *امبا*
(وإن علا) *بوجؤ ……*
الاخ الشقيق: *تريتان تفأ*
الاخ لاب: *تريتان توغكل بفأ*
ابن الاخ الشقيق: *فناكن تفأ*
ابن الاخ لاب- *فناكن توغكل بفأ*
وان سفل- *كومفوي فناكن ….*
العم الشقيق: *مجادئ تفأ*
العم لاب : *مجادئ توغكل بفأ*
ابن العم الشقيق: *سفوفوه تفأ*
ابن العم لاب- *سفوفوه توغكل بفأ*
وان سفل: *فناكن سفوفوه….*
عم الاب : *مجادئنه بفأ/امبا عيريغ*
ابن عم الاب: *مجادئ سفوفوه*
وان سفل : *دوفوفوه ……*
عم الجد : *مجادئنه أمبا/ بوجؤ عيريغ*
ابن عم الجد: *امبا سفوفوه*
وان سفل : *مجادئ دوفوفوه، فس انأنه (تلوفوفوه)*
عم ابي الجد : *مجادئنه بفأنه امبا/ جوجؤ عيريغ*
ابن عم ابي الجد: *أمبا دوفوفوه* – وان سفل: *مجادئ تلوفوفوه، فس انأنه ( امفأ فوفوه)*
*المفتاح لباب النكاح*
الكاتب نوائي شفيع الدين تدّان:

نعم، لوكان ابن العم لاب أخا لام قدم على ابن العم الشقيق ثم عم الاب الشقيق ثم عمه لاب ثم ابن عم الأب كذالك
والله اعلم بالصواب

(باكيّان ولي نكاح سي غلّي كا ولي أبعد)

وعَشْرةٌ سَوالبُ الولايَـة ** كُفرٌ , وفسقٌ , والصِّبا لغَـاية
رِقٌّ , جُنونٌ مُطبِقٌ , أوِ الخَبَلْ ** وأَخْرَسٌ جَوابُهُ قدِ اقْتَفَلْ
ذُو عَتَـهٍ , نظِيرُهُ مُبَرسَمُ ** وأبلَهٌ لاَ يَهتَدِي , وأبكَـمُ

(باكيّان سي غلّي كا حاكم)

وَقَدْ جَمَعَ بَعْضُهُمْ الْمَوَاضِعَ الَّتِي يُزَوِّجُ فِيهَا الْحَاكِمُ فِي أَبْيَاتٍ فَقَالَ:

وَتُزَوِّجُ الْحُكَّامُ فِي صُوَرٍ أَتَتْ … مَنْظُومَةً تَحْكِي عُقُودَ جَوَاهِرِ
عَدَمُ الْوَلِيِّ وَفَقْدُهُ وَنِكَاحُهُ … وَكَذَاكَ غَيْبَتُهُ مَسَافَةَ قَاصِرِ
وَكَذَاكَ إغْمَاءٌ وَحَبْسٌ مَانِعٌ … أَمَةً لِمَحْجُورٍ تَوَارِي الْقَادِرِ

إحْرَامُهُ وَتَعَزُّزٌ مَعَ عَضْلِهِ … إسْلَامُ أُمِّ الْفَرْعِ وَهِيَ لِكَافِرِ

https://drive.google.com/file/d/1ioFmqWKbW-YrUF4gtNEJrLM8r_wf4IpQ/view?usp=drivesdk

OTORITAS WALI HAKIM

1. الاقناع في حل ألفاظ أبي شجاع – (ج 2 / ص 155)
والأوجه إطلاق المتن لأن الحاكم يزوج للضرورة وقضاؤه نافذ أمام الإمام الأعظم فلا يقدح فسقه لأنه لا ينعزل به فيزوج بناته وبنات غيره بالولاية العامة تفخيما لشأنه فعليه إنما يزوج بناته إذا لم يكن لهن ولي غيره كبنات غيره

Menurut pendapat Awjah, otoritas hakim dalam mengawinkan perempuan itu bersifat dhorurot, kekuasaannya sebagai kepanjangan tangan dari Imam a’dhom (presiden), sehingga ia tidak cacat hukum hanya karena berbuat fasiq dan bisa dicopot kekuasaanya. Ia boleh mengawinkan anaknya sendiri atau anak orang lain, karena kekuasaanya itu bersifat umum, ia boleh mengawinkan anak orang lain apabila tidak ada wali dari kerabat yang bisa mengawinkannya.

2. تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 30 / ص 26)
( وَلَوْ غَابَ الْأَقْرَبُ إلَى مَرْحَلَتَيْنِ ) أَوْ أَكْثَرَ وَلَمْ يُحْكَمْ بِمَوْتِهِ وَلَا وَكَّلَ مَنْ يُزَوِّجُ مُوَلِّيَتَهُ إنْ خُطِبَتْ فِي غَيْبَتِهِ ( زَوَّجَ السُّلْطَانُ ) لَا الْأَبْعَدُ وَإِنْ طَالَتْ غَيْبَتُهُ وَجُهِلَ مَحَلُّهُ وَحَيَاتُهُ لِبَقَاءِ أَهْلِيَّةِ الْغَائِبِ وَالْأَصْلُ إبْقَاؤُهَا وَالْأَوْلَى أَنْ يَأْذَنَ لِلْأَبْعَدِ أَوْ يَسْتَأْذِنَهُ لِيَخْرُجَ مِنْ الْخِلَافِ.

Apabila wali mempelai perempuan yang terdekat sedang pergi pada radius dua marhalah (80 Km) atau lebih, sedang ia belum meninggal dunia atau tidak menyerahkan pernikahan puterinya yang telah dilamar kepada orang lain, maka hakim boleh menikahkanya. Sedangkan wali yang jauh (ab’ad) maka tidak diperbolehkan mengawinkannya, meskipun wali aqrob (yang terdekat) berada di tempat yang sangat jauh dan tidak diketahui tempat tinggalnya dan apakah ia masih hidup atau tidak. Demikian, karena yang berhak menikahkan adalah hakim (pihak KUA) dan hak bagi wali aqrob masih belum hilang. Namun demikian, yang lebih utama hendaklah hakim meminta izin (konfirmasi) kepada wali ab’ad sebagai solusi dari khilaf ulama’ yang mewajibkan pensyaratan meminta izin.

Wallahu a’lamu bisshowab..

Kategori
Uncategorized

HADITS KE 196 : MENGHINDAR DARI SEGALA HAL YANG MENGANGGU KHUSYUK KETIKA SHOLAT

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB ANJURAN KHUSYUK DALAM SOLAT

HADITS KE 196 :

وَعَنْهُ قَالَ : ( كَانَ قِرَامٌ لِعَائِشَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- سَتَرَتْ بِهِ جَانِبَ بَيْتِهَا فَقَالَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَمِيطِي عَنَّا قِرَامَكِ هَذَا فَإِنَّهُ لَا تَزَالُ تَصَاوِيرُهُ تَعْرِضُ لِي فِي صَلَاتِي ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ

وَاتَّفَقَا عَلَى حَدِيثِهَا فِي قِصَّةِ أَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ وَفِيهِ : ( فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي عَنْ صَلَاتِي )

Anas Radliyallaahu ‘anhu berkata: Adalah tirai milik ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu menutupi samping rumahnya. Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda kepadanya: Singkirkanlah tiraimu ini dari kita karena sungguh gambar-gambarnya selalu mengangguku dalam sholatku. Riwayat Bukhari.

Bukhari-Muslim juga menyepakati hadits dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu tentang kisah kain anbijaniyyah (yang dihadiahkan kepada Nabi dari) Abu Jahm. Dalam hadits itu disebutkan: Ia melalaikan dalam sholatku.

MAKNA HADITS :

Amal perbuatan merupakan jasad, sedangkan rohnya adalah ikhlas dan khusyuk. Oleh karena itu, tidak ada kehidupan bagi jasad tanpa roh. Sebagaimana sudah diketahui bahwa gambar memiliki kesan negatif terhadap hati yang bersih dan jiwa yang suci, terlebih lagi hati yang mimang tidak bersih. Oleh itu, Islam tidak menyukai setiap perkara yang bisa mengganggu ketenangan orang sholat dan menyibukkan hatinya hingga tidak dapat hadir sepenuh hati dalam sholatnya. Ini meliputi makruh sholat di atas hamparan sejadah yang di dalamnya terdapat gambar dan makruh mewarnai masjid dengan warna-warni yang terlampau terang.

Apa yang paling disukai oleh Nabi (s.a.w) adalah keadaan yang sama sekali tidak mengganggu ketenangannya ketika mengerjakan sholat supaya tidak lalai ketika menghadap Allah. Sungguhpun begitu, baginda pernah mengembalikan kain khamishah pemberian Abu Jahm sebagai satu ketetapan hukum umatnya, kemudian baginda meminta Abu Jahm memberikan baju anbijaniyah miliknya supaya dia tidak berkecil hati.

FIQH HADITS :

1. Dianjurkan menyingkirkan segala sesuatu yang bisa mengganggu seseorang dalam sholatnya, baik ia ada di dalam rumah ataupun di tempat sholat.

2. Boleh memakai baju yang ada sulamannya dan boleh memakainya ketika hendak mengerjakan sholat.

3. Dianjurkan khusyuk dalam sholat dan mengerjakannya dengan sepenuh hati serta menjauhi segala sesuatu yang mengganggunya.

4. Bersegera berpaling dari perhiasan duniawi dan fitnahnya.

5. Boleh menerima hadiah dari teman-teman.

6. Jika barang pemberian dikembalikan kepada orang yang memberinya tanpa wujud permintaan sebelumnya darinya, maka dia boleh menerimanya
lagi tanpa dimakruhkan.

7. Rasulullah (s.a.w) meminta baju anbijaniyah milik Abu Jahm supaya dia tidak berkecil hati kerana baju khamishah miliknya telah dikembalikan oleh baginda.
Hal ini sekali gus menjelaskan kepadanya bahwa pengembalian baju khamishah miliknya itu kerana ada sebab-sebab tertentu.

8. Kesibukan hati dalam sholat karena memikirkan perkara lain di luar sholat tidak mempengaruhi sahnya sholat.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
Uncategorized

M069. MAFAHIM : DALIL-DALIL TAWASSUL YANG DIPRAKTEKKAN KAUM MUSLIMIN

TERJEMAH KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHOHHAH

PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN

Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah karangan Assayyid Alhabib Muhammad bin Alawi Almaliky Alhasany

BAB I

Pembahasan Masalah

”AQIDAH”

”KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG”

DALIL-DALIL TAWASSUL YANG DIPRAKTEKKAN KAUM MUSLIMIN

Allah swt. berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ

Wasilah adalah segala sesuatu yang dijadikan Allah swt. sebagai faktor untuk mendekatkan kepada Allah swt. dan sebagai media untuk mencapai kebutuhan. Parameter dalam bertawassul adalah bahwa yang dijadikan wasilah itu memiliki kedudukan dan kemuliaan di mata yang ditawassulkan.

Lafadz al-Wasilah dalam ayat di atas bersifat umum sebagaimana anda lihat. Lafadz ini mencakup tawassul dengan sosok-sosok mulia dari kalangan para Nabi dan sholihin baik di dunia maupun sesudah mati dan tawassul dengan melakukan amal shalih sesuai dengan ketentuannya. Tawassul dengan amal shalih ini dilakukan setelah amal ini dikerjakan.
Dalam hadits dan atsar yang akan anda dengar terdapat keterangan yang menjelaskan keumuman ayat di atas. Maka perhatikan dengan seksama agar anda bisa melihat bahwa tawassul dengan Nabi saw. sebelum wujudnya beliau dan sesudahnya di dunia, sesudah wafat dalam alam barzakh dan sesudah dibangkitkan di hari kiamat, terdapat di dalamnya.

TAWASSUL DENGAN NABI MUHAMMAD SAW. SEBELUM WUJUD DI DUNIA

Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.
Di dalam sebuah hadits terdapat keterangan bahwa Nabi Adam as. bertawassul dengan Nabi Muhammad saw.
Dalam al-Mustadrok, Imam al-Hakim berkata: Abu Sa’id Amr ibnu Muhammad al-‘Adlu menceritakan kepadaku, Abul Hasan Muhammad Ibnu Ishak Ibnu Ibrahim al-Handhori menceritakan kepadaku, Abul Harits Abdullah ibnu Muslim al-Fihri menceritakan kepadaku, Abdurrahman ibnu Zaid ibnu Aslam menceritakan kepadaku, dari ayahnya dari kakeknya dari Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: ”Ketika Adam melakukan kesalahan, ia berkata Ya Tuhanku, Aku mohon kepadaMu dengan haqqnya Muhammad agar Engkau mengampuniku.” Allah berkata; Wahai Adam bagaimana engkau mengenal Muhammad padahal Aku belum menciptakanya. “ Wahai Tuhanku, karena ketika Engkau menciptakanku dengan kekuatanMu dan Engkau tiupkan nyawa pada tubuhku dari roh-Mu, maka aku tengadahkan kepalaku lalu saya melihat di kaki-kaki ‘Arsy terdapat tulisan “Laa Ilaha illa Allahu Muhammadur Rasulullah”, maka saya yakin Engkau tidak menyandarkan namaMu kecuali nama makhluk yang paling Engkau cintai,” jawab Adam. “Benar kamu wahai Adam, Muhammad adalah makhluk yang paling Aku cintai. Berdo’alah kepadaKu dengan haqqnya Muhammad maka Aku ampuni kamu. Seandainya tanpa Muhammad, Aku tidak akan menciptakanmu,” lanjut Allah.

Imam al-Hakim meriwayatkan hadits di atas dalam kitab Al Mustadrok dan menilainya sebagai hadits shahih ( vol. 2 hal. 615 ). Al Hafidh As Suyuthi meriwayatkan dalam kitab Al Khashais An Nabawiyah dan mengategorikan sebagai hadits shahih. Imam Al Baihaqi meriwayatkanya dalam kitab Dalail Nubuwah, dan beliau tidak meriwayatkan hadits palsu sebagaimana telah ia jelaskan dalam pengantar kitabnya. Al Qasthalani dan Az Zurqani dalam Al Mawahib Al Laduniyah juga menilainya sebagai hadits shahih. vol. 1 hal. 62. As Subuki dalam kitabnya Syifaussaqaam juga menilainyasebagai hadits shahih. Al Hafidh Al Haitami berkata, “At Tabrani meriwayatkan hadits di atas dalam Al Ausath dan di dalam hadits tersebut terdapat rawi yang tidak saya kenal.” Majma’uzzawaid vol. 8 hal. 253.

Terdapat hadits dari jalur lain dari Ibnu ‘Abbas dengan redaksi: “Jika tidak ada Muhammad maka Aku tidak akan menciptakan Adam, surga dan neraka.” ..HR. Al-Hakim dalam Al Mustadrak dengan isnad yang menurutnya shahih. Syaikhul Islam Al Bulqini dalam Fatawinya juga menilai hadits ini shahih. Hadits ini juga dicantumkan oleh Syaikh Ibnul Jauzi dalam Al Wafaa pada bagian awal kitab dan dikutip oleh Ibnu Katsir dalam Al Bidayah vol. 1 hlm. 180.

Sebagian ulama tidak sepakat atas keshahihan hadits tersebut lalu mengomentari statusnya, menolaknya dan memvonisnya sebagai hadits palsu (maudlu’) seperti Adz Dzahabi dan pakar hadits lain. Sebagian menilainya sebagai hadits dlo’if dan sebagian lagi menganggapnya sebagai hadits munkar. Dari penjelasan ini, tampak bahwa para pakar hadits tidak satu suara dalam menilainya. Karena itu persoalan ini menjadi polemik antara yang pro dan kontra berdasarkan perbedaan mereka menyangkut status hadits. Ini adalah kajian dari aspek sanad dan eksistensi hadits. Adapun dari aspek makna, maka mari kita simak penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengenai hadits tawassul ini.

DOKUMEN-DOKUMEN TENTANG HADITS TAWASSUL ADAM AS

Dalam konteks ini Ibnu Taimiyyah menyebut dua hadits seraya berargumentasi dengan keduanya. Ia berkata, “Abu al-Faraj Ibnu al-Jauzi meriwayatkan dengan sanadnya sampai Maisarah. Maisarah berkata, “Saya bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan engkau menjadi Nabi?” “Ketika Allah menciptakan bumi dan naik ke atas langit dan menyempurnakannya menjadi tujuh langit, dan menciptakan ‘arsy maka Allah menulis di atas kaki ( betis ) ‘arsy “Muhammad Rasulullah Khaatamul Anbiyaa’.” Dan Allah menciptakan sorga yang ditempati oleh Adam dan Hawwaa’. Lalu Dia menulis namaku pada pintu, daun, kubah dan kemah. Saat itu kondisi Adam berada antara ruh dan jasad. Ketika Allah menghidupkan Adam, ia memandang ‘arsy dan melihat namaku. Lalu Allah menginformasikan kepadanya bahwa Muhammad ( yang tercatat pada ‘arsy ) junjungan anakmu. Ketika Adam dan Hawwa’ terpedaya oleh syetan, keduanya bertaubat dan memohon syafa’at dengan namaku kepada-Nya.”

Abu Nu’aim Al-Hafidh meriwayatkan dalam kitab Dalaailu al-Nubuwwah dan melalui jalur Syaikh Abi al-Faraj. Menceritakan kepadaku Sulaiman ibn Ahmad, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Rasyid, menceritakan kepadaku Ahmad ibn Sa’id al-Fihri, menceritakan kepadaku Abdullah ibn Ismail al-Madani dari Abdurrahman ibn Yazid ibn Aslam dari ayahnya dari ‘Umar ibn al-Khaththab, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: “Ketika Adam melakukan kesalahan, ia mendongakkan kepalanya. “Wahai Tuhanku, dengan hak Muhammad, mohon Engkau ampuni aku,” ujar Adam. Lalu Adam mendapat pertanyaan lewat wahyu, “Apa dan siapakah Muhammad?” “Ya Tuhanku, ketika Engkau menyempurnakan penciptaanku, aku mendongakkan kepalaku ke arah ‘arsy-Mu dan ternyata di sana tertera tulisan “Laa Ilaaha illa Allaah MuhammadunRasulullaah”. Jadi saya tahu bahwa Muhammad adalah makhluk Engkau yang paling mulia di sisi-Mu. Karena Engkau merangkai namanya dengan nama-Mu,” jawab Adam. “Betul,” jawab Allah, “Aku telah mengampunimu, dan Muhammad Nabi terakhir dari keturunanmu. Jika tanpa dia, Aku tidak akan menciptakanmu.”

Hadits ini menguatkan hadits sebelumnya, dan keduanya seperti tafsir atas beberapa hadits shahih. (Al-Fatawa, vol. II hlm. 150).
Pendapat saya, fakta ini menunjukkan bahwa hadits di atas layak dijadikan penguat dan legitimasi. Karena hadits maudlu’ atau bathil tidak bisa dijadikan penguat di mata para pakar hadits. Dan anda melihat sendiri bahwa Syaikh Ibnu Taimiyyah menjadikannya sebagai penguat atas penafsiran.

Kategori
Uncategorized

HADITS KE 195 : HUKUM BERLUDAH KETIKA SHOLAT

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB ANJURAN KHUSYUK DALAM SOLAT

HADITS KE 195 :

وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ فِي اَلصَّلَاةِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ فَلَا يَبْزُقَنَّ بَيْنَ يَدَيْهِ وَلَا عَنْ يَمِينِهِ وَلَكِنْ عَنْ شِمَالِهِ تَحْتَ قَدَمِهِ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَفِي رِوَايَةٍ : ( أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ )

Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: Apabila seseorang di antara kamu sembahyang sebenarnya ia sedang bermunajat kepada Tuhannya. Maka janganlah sekali-kali ia meludah ke hadapannya dan ke samping kanannya tetapi ke samping kirinya di bawah telapak kakinya. Muttafaq Alaihi. Dalam suatu riwayat disebutkan: Atau di bawah telapak kakinya.

MAKNA HADITS :

Sholat adalah sarana roh bermikraj menuju tingkatan yang tertinggi, yaitu maqam al-munajah (kedudukan bermunajat kepada Allah (s.w.t). Kiblat merupakan salah satu syi’ar Allah dan mengagungkan syi’ar Allah merupakan bukti yang hati bertakwa. Oleh sebab itu, Nabi (s.a.w) melarang membuang ingus dan meludah ke arah kiblat ketika berada di dalam masjid atau di tempat lain ketika sedang dalam sholat karena menghormati arah kiblat. Dilarang pula meludah dan membuang ingus ke arah sebelah kanan karena menghormati sebelah kanan dan menghormati malaikat yang berada di sebelah kanan. Tetapi syariat memberikan rukhsah dimana diperbolehkan seseorang berbuat demikian ke sebelah kiri atau di bawah telapak kaki. Nabi (s.a.w) pernah berdiri membersihkan dahak yang berada di arah kiblat, lalu baginda mengeriknya dengan tangan kanannya, lalu memberi wewangian pada tempat itu kerana menghormatinya sekaligus menganjurkan kebersihan dan
sebagai peringatan supaya umat Islam tidak menghina arah kiblat.

FIQH HADITS :

1. Air ludah hukumnya suci, yakni tidak najis.

2. Dilarang meludah ke arah kiblat.

3. Dilarang meludah ke arah sebelah kanan.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
Uncategorized

M068. MAFAHIM : BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA

TERJEMAH KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHOHHAH

PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN

Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah karangan Assayyid Alhabib Muhammad bin Alawi Almaliky Alhasany

BAB I

Pembahasan Masalah

”AQIDAH”

”KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG”

BENTUK TAWASSUL YANG DISEPAKATI ULAMA

Tidak ada seorang pun kaum muslimin yang menolak keabsahan tawassul dengan amal shalih. Barangsiapa yang berpuasa, sholat, membaca al-Qur’an atau bersedekah berarti ia telah bertawassul dengan puasa, sholat, bacaan, dan sedekahnya. Malah tawassul model ini lebih besar peluangnya untuk diterima dan terkabulnya harapan. Tidak ada yang mengingkari hal ini.

Dalil diperbolehkannya tawassul dengan amal shalih adalah sebuah hadits yang mengisahkan tiga lelaki yang terperangkap dalam goa. Salah seorang bertawassul dengan pengabdiannya kepada kedua orangtua, yang lain dengan tindakannya menjauhi perbuatan zina setelah kesempatan itu terbuka lebar, dan yang ketiga dengan sikap amanah serta menjaga harta orang lain dan menyerahkan seluruhnya kepada orang tersebut. Allah pun menyingkirkan persoalan yang mendera mereka.

Tawassul model ini telah dikaji, dijelaskan dalil-dalinya dan dibahas secara mendalam oleh Syaikh Ibnu Taimiyyah dalam kitab-kitabnya, khususnya dalam risalahnya yang berjudul “Qa’idah Jalilah fi at-Tawassul wa al-Wasilah”.

Titik Perbedaan :

Sumber perbedaan dalam masalah tawassul adalah tawassul dengan selain amal orang yang bertawassul, seperti tawassul dengan dzat atau orang dengan mengatakan: “Ya Allah, aku bertawassul dengan NabiMu Muhammad saw, atau dengan Abu Bakar, Umar ibn Khaththab, ‘Utsman, atau Ali ra.” Tawassul model inilah yang dilarang oleh sebagian ulama.
Kami memandang bahwa pro kontra menyangkut tawassul sekedar formalitas bukan substansial. Karena tawassul dengan dzat pada dasarnya adalah tawassulnya seseorang dengan amal perbuatannya, yang telah disepakati merupakan hal yang diperbolehkan. Seandainya orang yang menolak tawassul yang keras kepala melihat persoalan dengan mata hati niscaya persoalan menjadi jelas, keruwetan terurai dan fitnah yang menjerumuskan mereka yang kemudian memvonis kaum muslimin telah musyrik dan sesat, pun hilang.

Akan saya jelaskan bagaimana orang yang tawassul dengan orang lain pada dasarnya adalah bertawassul dengan amal perbuatannya sendiri yang dinisbatkan kepadanya dan yang termasuk hasil usahanya.
Saya katakan: Ketahuilah bahwa orang yang bertawassul dengan siapa pun itu karena ia mencintai orang yang dijadikan tawassul tersebut. Karena ia meyakini keshalihan, kewalian dan keutamaannya, sebagai bentuk prasangka baik terhadapnya. Atau karena ia meyakini bahwa orang yang dijadikan tawassul itu mencintai Allah swt, yang berjihad di jalan Allah swt. Atau karena ia meyakini bahwa Allah swt. mencintai orang yang dijadikan tawassul, sebagaimana firman Allah swt.: “يحبّونهم ويحبّونه” atau sifat-sifat di atas seluruhnya pberada pada orang yang dijadikan obyek tawassul.

Jika anda mencermati persoalan ini maka anda akan menemukan bahwa rasa cinta dan keyakinan tersebut termasuk amal perbuatan orang yang bertawassul. Karena hal itu adalah keyakinan yang diyakini oleh hatinya, yang dinisbatkan kepada dirinya, dipertanggung jawabkan olehnya dan akan mendapat pahala karenanya.

Orang yang bertawassul itu seolah-olah berkata, “Ya Tuhanku, saya mencintai fulan dan saya meyakini bahwa ia mencintaiMu. Ia orang yang ikhlas kepadaMu dan berjihad di jalanMu. Saya meyakini Engkau mencintainya dan Engkau ridha terhadapnya. Maka saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepadanya dan dengan keyakinanku padanya, agar Engkau melakukan seperti ini dan itu.”

Namun mayoritas kaum muslimin tidak pernah menyatakan ungkapan ini dan merasa cukup dengan kemahatahuan Dzat yang tidak samar baginya hal yang samar, baik di bumi maupun langit. Dzat yang mengetahui mata yang berkhianat dan isi hati yang tersimpan.

Orang yang berkata : “Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan NabiMu,” itu sama dengan orang yang mengatakan: “Ya Allah, saya bertawassul kepadaMu dengan rasa cintaku kepada NabiMu.”
Karena orang yang pertama tidak akan berkata demikian kecuali karena rasa cinta dan kepercayaannya kepada Nabi. Seandainya rasa cinta dan kepercayaan kepada Nabi ini tidak ada maka ia tidak akan bertawassul dengan Nabi. Demikian pula yang terjadi pada selain Nabi dari para wali.

Berangkat dari paparan di muka, nyatalah bahwa pro kontra masalah tawassul sesungguhnya hanya formalitas yang tidak perlu berdampak perpecahan dan perseteruan dengan menjatuhkan vonis kufur terhadap orang-orang yang bertawassul dan mengeluarkan mereka dari lingkaran Islam.

سُبْحَانك هَذَا بُهْتَان عَظِيم

Kategori
Uncategorized

HADITS KE 194 : HUKUM MENOLEH KETIKA SHOLAT

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

BAB ANJURAN KHUSYUK DALAM SOLAT

HADITS KE 194 :

عَنْ عَائِشَةَ –رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا– قَالَتْ : ( سَأَلْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ اَلِالْتِفَاتِ فِي اَلصَّلَاةِ ? فَقَالَ : هُوَ اِخْتِلَاسٌ يَخْتَلِسُهُ اَلشَّيْطَانُ مِنْ صَلَاةِ اَلْعَبْدِ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ . وَلِلتِّرْمِذِيِّ : عَنْ أَنَسٍ – وَصَحَّحَهُ – ( إِيَّاكَ وَالِالْتِفَاتَ فِي اَلصَّلَاةِ فَإِنَّهُ هَلَكَةٌ فَإِنْ كَانَ فَلَا بُدَّ فَفِي اَلتَّطَوُّعِ )

‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam tentang (hukumnya) menoleh dalam sholat. Beliau menjawab: Ia adalah copetan yang dilakukan setan terhadap sholat hamba. Riwayat Bukhari. Menurut hadits shahih Tirmidzi: Hindarilah dari berpaling dalam shalat karena ia merusak jika memang terpaksa lakukanlah dalam sholat sunat.

MAKNA HADITS :

Menoleh di dalam sholat apabila disertai dengan seluruh anggota tubuhnya hingga berpaling dari arah kiblat menjadikan sholat yang dilakukan oleh seseorang itu batal. Jika hanya dia memalingkan kepala saja, maka hukumnya makruh, karena perbuatan ini mengurangi nilai khusyuk dan berpaling dari hadapan Allah (s.w.t).

Orang yang sedang sholat apabila memalingkan (menolehkan) wajahnya, maka Allah pun berpaling darinya seraya berfirman: “Kepada siapakah kamu berpaling? Apakah engkau berpaling kepada yang lebih baik daripada-Ku?”

Demikianlah menurut yang disebutkan di dalam satu hadis. Jika seseorang itu hanya menolehkan pandangan matanya, maka itu disebut khilaf al-awla
(menyalahi perbuatan yang lebih afdhal).

Dikecualikan dari masalah ini adalah menoleh karena adanya suatu keperluan, karena Nabi (s.a.w) pernah berbuat demikian. Sebagaimana sudah diketahui, syaitan adalah musuh yang nyata. Jika menemukan kesempatan untuk membuat orang yang sedang sholat lengah, ia segera membisikkan godaannya dan mencuri tumpuannya. Inilah yang diungkapkan oleh hadits dengan istilah al-ikhtilas.

FIQH HADITS :

1. Menoleh dalam sholat merupakan perbuatan tercela dan hukumnya makruh. Jika seseorang menoleh ketika dalam sholat, maka syaitan berjaya menguasai dirinya dan membuatnya lalai di dalam sholatnya. Ini adakalanya seseorang itu lupa atau keliru karena hatinya tidak hadir sepenuhnya hingga sibuk dengan
tujuan lain.

2. Ulama membolehkan menolehkan leher, bukannya dada, apabila keadaan menuntut untuk berbuat demikian dan hukumnya tidaklah makruh. Jika seseorang menoleh dengan seluruh tubuhnya hingga berpaling dari arah kiblat, maka batallah sholatnya menurut kesepakatan ulama. Jika dia hanya memalingkan dadanya, maka menurut mazhab al-Syafi’i dan mazhab Hanafi sholatnya batal. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan mazhab Hanbali, sholatnya tidak batal selagi seseorang itu tidak berada dalam keadaan yang membahayakan apabila dia melakukan sedikit miring dalam sholatnya, seperti seseorang yang sholat menghadap ke Ka’bah secara langsung. Dalam kaitan ini, sholat seseorang menjadi batal apabila memalingkan diri dari arah Ka’bah sehingga wajahnya atau salah satu anggota tubuhnya tidak lagi menghadap Ka’bah, meskipun kesangsian itu hanya sejauh satu jari dan anggota tubuh yang lain masih menghadap ke arah Ka’bah.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
Uncategorized

M067. HAK MILIK BARANG SETELAH DI DP (UANG MUKA)

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz

Deskripsi Masalah :
Ada kasus, Si A menjual pom bensin. Lalu Datang si B ingin membeli, dan dia memberi DP 10 juta. Si A memberi batas keterikatan selama 3 bulan. Harga yang disepakati 2 M. Jika sampai 3 bulan transaksi tidak dilanjutkan, maka DP hagus dan si A berhak membuka tawaran keluar. Selama 3 bulan berjalan, pom bensin ini tetap menghasilkan.

Pertanyaannya :

Jika si B sudah DP, Apakah sudah pindah Hak miliknya kepada si B?

JAWABAN :

Waalaikumussalam warohmatullahi wabarokatuh..

Selama si B belum melunasinya maka hak milik tetap haknya si A.

Hasil dari pom bensin itu adalah milik si A (pemilik pom bensin) selama si B (pembeli pom bensin) belum membayar sisa uang pembelian pom bensin tersebut yang mencapai 2 milyar.
Alasannya ialah: Bensin yang dijual itu harus hak milik orang yang memiliki bensin (dalam hal ini, orang yang memiliki bensin adalah pemilik pom bensin, selama si B (pembeli pom bensin) tidak melunasi harga pom bensin yang 2 milyar).

Atau bisa juga si B menjual bensin itu jika si A memberi idzin kepada si B untuk menjual bensin tersebut. Dan dalam hal ini maka si B menjadi wakil dari si A. Tapi hasil dari penjualan bensin tetap milik si A. Adapun si B hanya boleh mendapat uang hadiah (persen/tip) dari si A.
Alasannya ialah, karena jika si B menjual bensin tanpa idzin dari si A (pemilik pom bensin), maka hal ini termasuk بَيۡعٌ الۡفٌضٌوۡلِيٌِ (yaitu menjual barang, yang mana penjual bukan pemilik dari barang tersebut, dan bukan wakil dari pemilik barang, dan bukan wali dari pemilik barang) yang diharamkan.

(غايۃ البيان شرح زبد ابن رسلان, تاءليف: شمس الدين محمد بن احمد الرملي الاءنصاري,صحيفۃ ١٨٣-١٨٣)
كتاب البيع
(وانما يصح بالإيجاب ) اي من البائع وهو صريحا ما يدل علی التملك بعوض
(وبقبوله) اي المشتري وهو صريحا ما دل علی التمل دلالۃ قويۃ. (او استيجاب) فيقوم مقام الإيجاب كالإستقبال فإنه يقوم مقام القبول.
في طاهر) اي انما يصح البيع في طاهر ولو بالاءجتهاد او يطهر بالغسل كثوب تنجس. (منتفع به) اي ولا بد من كون المبيع منتفعا به حسا وشرعا
(قدر#تسليمه) اي وان يكون مقدورا علی تسليمه حسا وشرعا. (ملك لذي العقد) اي ان يكون مملوكا لصاحب العقد الواقع وهو العاقد او موكله او موليه اي يكون مملوكا لأحد الثلاثۃ, فلا يصح بيع الفضولي, (قوله فلا يصح بيع الفضولي هو من ليس مالكا ولا وكيلا ولا وليا) ولا سائر تصرفاته لأنه ليس بمالك ولا وكيل ولا ولي. نعم لو تصرف في مال مورثه ظانا حياته فبان ميتا صح, كما لو باع رقيقه ظانا بقاء كتابته او اباقه فبان فاسخا أو راجعا

Wallahu a’lamu bisshowab..

Kategori
Uncategorized

M066. MAFAHIM : PENGERTIAN TAWASSUL


TERJEMAH KITAB MAFAHIM YAJIBU AN TUSHOHHAH

PAHAM-PAHAM YANG HARUS DILURUSKAN

Terjemah Kitab Mafahim Yajibu An Tushohhah karangan Assayyid Alhabib Muhammad bin Alawi Almaliky Alhasany

BAB I

Pembahasan Masalah

”AQIDAH”

”KESALAHAN PARAMETER KEKUFURAN DAN KESESATAN DI ZAMAN SEKARANG”

PENGERTIAN TAWASSUL

Banyak kalangan keliru dalam memahami substansi tawassul. Karena itu kami akan menjelaskan pengertian tawassul yang benar dalam pandangan kami. Namun sebelumnya akan kami jelaskan dulu point-point berikut:

Tawassul adalah salah satu metode berdo’a dan salah satu pintu dari pintu-pintu untuk menghadap Allah swt. Maksud sesungguhnya adalah Allah swt.

Obyek yang dijadikan tawassul berperan sebagai mediator untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Siapapun yang meyakini di luar batasan ini berarti ia telah musyrik.

Orang yang melakukan tawassul tidak bertawassul dengan mediator tersebut kecuali karena ia memang mencintainya dan meyakini bahwa Allah swt. mencintainya. Jika ternyata penilaiannya keliru niscaya ia akan menjadi orang yang paling menjauhinya dan paling membencinya.

Orang yang bertawassul jika meyakini bahwa media yang dijadikan untuk bertawassul kepada Allah swt. itu bisa memberi manfaat dan derita dengan sendirinya sebagaimana Allah swt. atau tanpa izinNya, niscaya ia musyrik.

Tawassul bukanlah suatu keharusan dan terkabulnya do’a tidaklah ditentukan dengannya. Justru yang asli adalah berdoa kepada Allah swt. secara mutlak, sebagaimana firman Allah swt.:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahKu) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqarah:186)

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا

“Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah ar-Rahman dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asma’ al-Husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. al-Isra`:110)