Kategori
Opini

Peran Pendidikan Pancasila dalam Menangkal Radikalisme

Ikaba.id – Isu tentang radikalisme yang mengusung konsep khilafah sempat mencuat dan mengundang perhatian publik. Sayangnya, gerakan semacam ini cenderung mengabaikan nilai-nilai kewarganegaraan yang seharusnya menjadi fondasi dalam kehidupan berbangsa. Ironisnya, paham ini juga menolak konstitusi dan ideologi negara, yang justru menjadi penopang utama kehidupan bernegara.

Pendidikan menjadi ruang publik yang sangat strategis dalam merawat dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Melalui pendidikan yang tepat, generasi penerus bangsa dapat diperkuat baik secara kognitif maupun dalam praktik nyata sebagai warga negara yang baik—sesuai dengan konstitusi dan ideologi negara. Dari sinilah kebenaran bisa dikenali, dirangkum, dan diterapkan dalam etika kehidupan sehari-hari.

Pancasila sebagai dasar negara dirancang dengan tujuan menciptakan kemakmuran dan stabilitas nasional. Sila pertama menekankan pentingnya keberadaan Tuhan dalam kehidupan setiap warga negara, tanpa membedakan agama. Kesadaran akan keberadaan Tuhan membawa hikmah dan kedalaman moral dalam diri seseorang.

Sila kedua menekankan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan. Makna dari sila ini adalah kemampuan untuk bersikap adil dan mencintai sesama tanpa memandang perbedaan. Dalam praktiknya, sikap ini bisa terlihat dalam hubungan antara orang tua dan anak yang didasari cinta kasih tanpa syarat.

Sila ketiga merujuk pada semangat persatuan, sebagaimana tercermin dalam Sumpah Pemuda. Walaupun berbeda suku, ras, atau agama, semua tetap satu dalam bingkai bangsa Indonesia. Hal ini diwujudkan melalui interaksi sosial yang saling menghargai dan menciptakan harmoni.

Menghormati sesama adalah bentuk etika yang wajib dijunjung tinggi, karena merupakan bagian dari toleransi. Setiap individu membutuhkan penghargaan, baik dari yang muda ke yang tua maupun sebaliknya. Nilai ini juga sangat penting dalam keluarga dan dalam hubungan antara rakyat dan pemimpinnya.

Sila keempat menekankan pentingnya musyawarah dan diskusi dalam setiap proses pengambilan keputusan. Melalui prinsip ini, terbentuklah kepemimpinan yang demokratis, nyaman, dan sesuai dengan harapan rakyat. Dalam setiap struktur pemerintahan, nilai musyawarah harus diutamakan.

Apabila keempat sila tersebut diterapkan dengan baik, maka kesenjangan sosial dan ekonomi dapat dikurangi. Lima sila Pancasila sebenarnya sangat cukup untuk dijadikan pedoman hidup sehari-hari. Bila dipahami dan diterapkan dengan sungguh-sungguh, maka akan terbentuk etika warga negara yang kuat dan tidak menyimpang dari konstitusi dan ideologi negara.

Sangat disayangkan bila ideologi negara seperti Pancasila sampai tergantikan. Tanpa nilai-nilai ini, etika akan luntur dan negara akan kehilangan arah. Pada dasarnya, etika yang terkandung dalam Pancasila adalah kunci menuju kemakmuran dan kedamaian Indonesia.

Kategori
Opini

Adab dan Hukum Pemutusan Bacaan Ayat Al-Qur’an Akibat Kehabisan Napas

Adab dan Hukum Pemutusan Bacaan Al-Qur’an Akibat Kehabisan Napas

Pendahuluan

Dalam praktik membaca Al-Qur’an, terutama dalam kegiatan tadarus atau pembacaan bersama seperti Yasinan, sering kali terjadi pemutusan bacaan akibat kehabisan napas, kurangnya kelancaran dalam membaca, atau ketidaksempurnaan pengucapan oleh sebagian jamaah. Contohnya, dalam pembacaan Surah Yasin, seseorang membaca:

يس ، وال ” ia hanya mengucapkan “وال ” (wal) lalu napasnya terputus atau ia lupa bagian selanjutnya, kemudian ia teringat dan melanjutkan dengan ” قرآن الحكيم” (Qur’aanil Hakiim), atau bahkan tidak mengingat bagian yang tersisa lalu berpindah ke kata lain,:

“على صراط مستقيم”

(Alaa Shiraathim Mustaqiim) Maka
Permasalahan  ini  penting untuk dibahas karena berkaitan dengan adab membaca Al-Qur’an, ketepatan makna ayat, serta bagaimana menjaga kesempurnaan bacaan dalam praktik berjamaah.

1. Hukum Membaca Al-Qur’an dengan Pemutusan Bacaan Akibat Kehabisan Napas atau Kurang Lancar

Membaca Al-Qur’an dengan pemutusan bacaan akibat kehabisan napas atau kurang lancar tidak membatalkan bacaan, tetapi perlu diperhatikan agar tidak menyebabkan perubahan makna ayat.
Dalam ilmu tajwid, dikenal istilah waqaf qabih (berhenti yang buruk), yaitu berhenti pada tempat yang dapat mengubah atau mengaburkan makna. Jika seseorang berhenti pada tempat yang salah, maka ia berdosa.
Sebagai contoh, jika seseorang membaca:

“يس وال  …..قران الحكيم”

(Yaa Siin. Wal-
Kemudian berhenti sejenak karena kehabisan napas,  lalu melanjutkan Qur’anil Hakim  atau dengan bacaan يس dengan:

“على صراط مستقيم”

(Alaa Shiraathim Mustaqiim)
Maka ini  kurang tepat ( keliru) karena seharusnya

“وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ”

(Wal-Qur’aanil Hakiim) tersambung dan terhubung dengan ayat setelahnya.
Namun, jika seseorang terpaksa berhenti karena kehabisan napas, lebih baik mengulang bacaan dari awal ayat atau dari tempat yang memiliki makna sempurna agar tidak terjadi perubahan makna.

2. Status Bacaan Jamaah Jika Ada yang Membaca Kurang Sempurna

Dalam pembacaan berjamaah, sering kali ada sebagian jamaah yang bacaannya kurang lancar, putus-putus, atau tidak sempurna. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

Jika imam atau ustadz yang memimpin membaca dengan benar, maka jamaah tetap mendapat pahala dengan cara mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik, sebagaimana firman Allah:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204)

Jika jamaah membaca secara serempak tetapi dengan kesalahan yang berbeda-beda, maka hal ini tidak menggugurkan pahala, tetapi tetap kurang sempurna jika tanpa bertajwid. Bisa jadi, kesalahan dalam bacaan menyebabkan perubahan makna yang dapat mengakibatkan dosa.

Syekh Al-Jazari berkata:

وَمَنْ لم يُجَوِّدِ الْقُرْآنَ فَهُوَ آثِمٌ

“Barang siapa yang tidak memperbaiki  bacaan Al-Qur’an dengan bertajwid, maka ia berdosa.”
Oleh karena itu, penting bagi jamaah untuk terus memperbaiki bacaan mereka agar lebih sempurna dan sesuai dengan kaidah tajwid.

3. Solusi agar Bacaan Jamaah Tetap Sesuai dengan Adab Membaca Al-Qur’an

Agar pembacaan Al-Qur’an dalam tadarus berjamaah tetap terjaga adab dan kelancarannya, beberapa solusi dapat diterapkan:

a. Latihan Nafas dan Teknik Membaca

Jamaah disarankan untuk berlatih teknik pernapasan agar dapat membaca dalam satu tarikan napas yang cukup.

Bacaan dilakukan secara perlahan dan tidak terburu-buru, sebagaimana firman Allah:

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا

“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil.” (QS. Al-Muzzammil: 4)

b. Metode Bacaan Secara Bergantian (Sima’i)

Daripada membaca bersama-sama tetapi tidak serempak, lebih baik menggunakan metode sima’i (satu orang membaca, yang lain menyimak).

Setiap orang membaca secara bergantian, sehingga lebih fokus dan dapat mengurangi kesalahan bacaan.

c. Pengulangan dan Koreksi

Setelah pembacaan, ustadz atau imam mengoreksi bagian yang salah agar jamaah bisa memperbaiki bacaan mereka.

Koreksi ini dapat dilakukan dengan metode talqin (ustadz membaca, jamaah mengulangi).

d. Mengutamakan Mendengarkan jika Tidak Mampu Membaca dengan Baik

Jika ada jamaah yang merasa belum lancar membaca, lebih baik mendengarkan dengan khusyuk daripada memaksakan membaca dengan banyak kesalahan.

Jamaah yang belum lancar bisa mufaraqah (membaca sendiri-sendiri) agar lebih fokus pada perbaikan bacaan.

Menurut Ibnu Hamam madzhab hanafi makruh berpindah satu ayat keayat yang lain

Kesimpulan

Membaca Al-Qur’an dengan pemutusan akibat kehabisan napas tidak membatalkan bacaan, tetapi harus berhati-hati agar tidak mengubah makna ayat. Jika sampai mengubah makna, maka termasuk kesalahan yang dapat berdosa.

Dalam pembacaan berjamaah, kesalahan bacaan jamaah tidak otomatis tertutupi oleh bacaan imam atau ustadz yang benar, tetapi jamaah tetap mendapat pahala dengan mendengarkan.

Solusi terbaik untuk menjaga adab dan kelancaran pembacaan Al-Qur’an dalam berjamaah adalah dengan:

Berlatih teknik pernapasan agar tidak sering terputus.

Menggunakan metode sima’i (bergantian membaca) untuk mengurangi kesalahan.

Melakukan pengulangan dan koreksi bacaan secara rutin.

Mengutamakan mendengarkan jika belum lancar membaca.

✅ Boleh membaca surah tidak sesuai urutan mushaf, meskipun yang lebih utama adalah mengikuti urutan mushaf.
❌ Tidak boleh membalik susunan ayat dalam satu surah, karena bersifat taufiqi dan wajib.

Dengan menerapkan solusi ini, diharapkan pembacaan Al-Qur’an dalam tadarus berjamaah menjadi lebih tertib, sesuai adab, dan berpahala sempurna.

Referensi

1-Nihayat al-Qaul al-Mufid, hlm. 166.Muqaddimah Ibnul Jazari.

2- Al-Qur’an QS. Al-A’raf: 204 dan QS. Al-Muzzammil: 4.
3- Kitab Fatawa Al-Shabakah Al-Islamiyyah
[Kumpulan Penulis]
Jilid: 2, Halaman: 684

_____________
نهاية قول المفيذ، 166).

(الفَصْلُ السَّادِسُ)

فِي بَيَانِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْوَقْفِ الْقَبِيْحِ هُوَ نَوْعَانِ الوَقْفُ عَلَى كَلَامٍ لَا يُفْهَمُ مِنْهُ مَعْنًى بِمَا بَعْدَهَ لَفْظًا-اِلَى اَنْ قَالَ-وَلِهَذَا قَالَ ابْنُ الْجَزَرِيُّ فِي مُقَدِّمَتِهِ: وَفِيْرٌ تَمٌّ قَبِيْحٌ وَلَهُ # يُوْقِفُ مُضْطِرًّا وَيَبْدُ اقبلة لِاَنَّ الْمَقْصُوْدَ بِعَيْنِ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى تَكْمِيْلُهَا فَالْوَقْفُ مُبَيِّنٌ وَفَاصِلُ بَعْضِهَا مِنْ بَعْضٍ وَبِذَلِكَ تَحْسُنُ التِّلَاوَةُ فَيَحِلُّ الْفَهْمُ وَالدِّرَايَةُ وَيَتَّضِحُ مِنْهَاجُ الْهِدَايَةِ وَلَنَذْكُرُ لَكَ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى فَائِدَةً للْمَوْقُوفِ الْقَبِيْحَةِ الَّتِي لَاتَجُوْزُ مِنْ هَذَا النَّوْعِ لِتَكْمِيْلِ الْفَائِدَةِ. وَاَمَّا الْحُكْمُ فِي قَطْعِ بَعْضِ الْكَلِمَةِ عَنْ بَعْضٍ بِاَنْ اَرَادَ أَنْ يَقُوْلَ الْحَمْدُ للهِ فَقَالَ أَلْ فَانْقَطَعَ نَفْسُهُ أَوْ نَسِيَ الْبَاقِيَ ثُمَّ تَذَكَّرَ فَقَالَ حَمْدُ للهِ أَوْ لَمْ يَتَذَكَّرْ فَتَرْكَ الْبَاقِيَ وَانْتَقَلَ إِلَى كَلِمَةٍ أُخْرَى فَقَدْ كَانَ الشَّيْخُ الِا مَامُ شَمْسُ الْأَئِمَّةِ الْحُلْوَانِيُّ يُفْتِي بِالْفَسَادِ فِي مِثْلِ ذَلِكَ وَعَامَّةُ الْمَشَايِخِ قَالُوا لَا تَفْسُدُ لِعُمُوْمِ الْبَلْوَى فِي انْقِطَاعِ النَّفْسِ وَالنِّسْيَانِ.

Bab Keenam: Penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan waqaf qabih (berhenti yang buruk).

Jenis pertama: Berhenti pada suatu kata yang tidak dapat dipahami maknanya tanpa melihat bagian setelahnya dalam lafaz.

Hingga dikatakan: Oleh karena itu, Ibnul Jazari berkata dalam Muqaddimah-nya:

“Ada waqaf yang sempurna namun buruk, dan hanya boleh berhenti di situ jika terpaksa, lalu melanjutkan kembali. Sebab tujuan dari kitab Allah Ta’ala adalah menyempurnakannya. Waqaf berfungsi sebagai penjelas dan pemisah antara bagian-bagian ayat. Dengan itu, bacaan menjadi lebih baik, pemahaman menjadi jelas, dan petunjuk menjadi terang.”

Kami akan menyebutkan, insya Allah Ta’ala, beberapa contoh waqaf qabih yang tidak diperbolehkan dalam kategori ini demi menyempurnakan pemahaman.

Hukum memutus sebagian kata dari sebagian lainnya:

Jika seseorang ingin mengucapkan “الحمد لله” (alhamdulillah), tetapi ia hanya mengucapkan “أل” (al) lalu napasnya terputus atau ia lupa bagian selanjutnya, kemudian ia teringat dan melanjutkan dengan “حمد لله” (hamdulillah), atau bahkan tidak mengingat bagian yang tersisa lalu berpindah ke kata lain, maka:

Syekh Imam Syamsul A’immah al-Halwani memberi fatwa bahwa dalam kasus semacam ini bacaannya menjadi rusak (fasid). Namun, mayoritas ulama menyatakan bahwa bacaannya tidak menjadi rusak, karena hal seperti ini banyak terjadi akibat kehabisan napas atau lupa, sehingga dimaafkan karena adanya ‘umum al-balwa (kesulitan yang umum terjadi).

كتاب فتح القدير للكمال بن الهمام
الفقه الحنفي  ج: ١ ص:  ٣٤٣

وَالِانْتِقَالُ مِنْ آيَةٍ مِنْ سُورَةٍ إلَى آيَةٍ مِنْ سُورَةٍ أُخْرَى أَوْ مِنْ هَذِهِ السُّورَةِ بَيْنَهُمَا آيَاتٌ مَكْرُوهٌ، وَكَذَا الْجَمْعُ بَيْنَ سُورَتَيْنِ بَيْنَهُمَا سُوَرٌ أَوْ سُورَةٌ فِي رَكْعَةٍ، أَمَّا فِي الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا سُوَرٌ أَوْ سُورَتَانِ لَا يُكْرَهُ، وَإِنْ كَانَ سُورَةٌ قِيلَ يُكْرَهُ، وَقِيلَ إنْ كَانَتْ طَوِيلَةً لَا يُكْرَهُ كَمَا إذَا كَانَتْ سُورَتَانِ قَصِيرَتَانِ، وَإِنْ قَرَأَ فِي رَكْعَةٍ سُورَةً وَفِي الثَّانِيَةِ مَا فَوْقَهَا أَوْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي رَكْعَةٍ فَهُوَ مَكْرُوهٌ، وَإِنْ وَقَعَ هَذَا مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ بِأَنْ قَرَأَ فِي الْأُولَى بِ ” قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ” يَقْرَأُ فِي الثَّانِيَةِ هَذِهِ السُّورَةَ أَيْضًا.

Berpindah dari satu ayat dalam sebuah surat ke ayat lain dari surat yang berbeda, atau berpindah antar-ayat dalam surat yang sama dengan melewatkan beberapa ayat di antaranya, hukumnya makruh. Demikian pula menggabungkan dua surat yang antara keduanya terdapat satu atau lebih surat lain dalam satu rakaat, juga dianggap makruh. Namun, jika dilakukan dalam dua rakaat, maka:

Jika di antara kedua surat itu terdapat satu atau dua surat lain, maka tidak makruh.

Jika hanya ada satu surat di antara keduanya, ada pendapat yang mengatakan bahwa hal itu makruh. Ada pula yang berpendapat bahwa jika suratnya panjang, maka tidak makruh, sebagaimana jika kedua surat itu pendek.

Jika seseorang membaca satu surat dalam satu rakaat dan membaca surat yang lebih tinggi urutannya dalam rakaat berikutnya, atau melakukan hal itu dalam satu rakaat, maka hukumnya makruh. Namun, jika hal itu terjadi tanpa disengaja, seperti membaca “Qul a‘ūdzu birabbi an-nās” dalam rakaat pertama, lalu membaca surat yang sama dalam rakaat kedua, maka tidak mengapa.

كتاب فتاوى الشبكة الإسلامية
[مجموعة من المؤلفين]  ج:٢ ص:  ٦٨٤

 فضل وآداب تلاوة القرآن وتعلمه ٧٥٤  حكم قراءة القرآن بغير ترتيب المصحف
[حكم قراءة القرآن بغير ترتيب المصحف]
[السُّؤَالُ]
ـ[/هل يجوز أن نقرأ القرآن بغير الترتيب الموجود في المصحف؟ وما هو الدليل على ذلك؟]ـ
[الفَتْوَى]
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد:
فإن الواجب في قراءة القرآن الكريم اتباع ترتيب المصحف الشريف في الآيات، لأن الترتيب في الآيات توقيفي باتفاق أهل العلم.
وأما الترتيب في السور فإنه واجب توقيفي، وقيل مستحب وهو الراجح إن شاء الله تعالى.
وذلك لما رواه مسلم في صحيحه عن حذيفة رضي الله عنه قال: صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة فافتتح البقرة … ثم افتتح النساء….
قال العلامة ابن مايابى الشنقيطي في كشف العمى عن حكم الترتيب:
وذاك في السور في القول الأحق * والقول في الآي عليه متفق
ويحرم التنكيس فيه والخبر * جاء بتنكيس قراءة السور
وعلى هذا؛ فيجوز قراءة السور من غير ترتيب المصحف، وإن كان الأولى ترتيب قراءتها كما في المصحف، أما الآيات فيجب ترتيبها ولا يجوز فيها التنكيس. ولمزيد من الفائدة نرجو الاطلاع على الفتوى رقم: ٢٢٥٧.والله أعلم.
[تَارِيخُ الْفَتْوَى]
٢١ رجب

Kategori
Opini Uncategorized

6 NIKMAT YANG PALING AGUNG MENURUT SAYYIDINA ALI R.A

ENAM NIKMAT ALLAH YANG PALING AGUNG MENURUT SAYYINA ALI R.A
Latar Belakang:
Allah ﷻ telah menganugerahkan begitu banyak nikmat kepada manusia, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 18: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Allah benar-benar Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Dalam ajaran Islam, memahami dan mensyukuri nikmat Allah merupakan hal yang sangat penting.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib RA, salah satu sahabat Nabi Muhammad ﷺ dan khalifah keempat dalam sejarah Islam, memberikan penekanan khusus pada enam nikmat utama yang harus disyukuri setiap Muslim. Dikutip dari kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syekh Nawawi al-Bantani, Sayyidina Ali menyebutkan enam nikmat yang paling utama, yaitu:

  1. Islam: Anugerah terbesar adalah petunjuk ke jalan yang lurus.
  2. Al-Qur’an: Sebagai pedoman hidup yang sempurna bagi umat manusia.
  3. Nabi Muhammad ﷺ: Sebagai Rasul dan pembawa risalah Allah yang terakhir.
  4. Kesehatan: Sehat wal afiat yang memungkinkan kita beribadah dan berkarya.
  5. Tertutupnya Aib: Allah menjaga kita dari rasa malu dengan menutup kekurangan dan kesalahan.
  6. Kecukupan: Tidak memerlukan bantuan orang lain dalam urusan dunia, yang berarti hidup dalam keadaan cukup.

Enam nikmat ini mencakup aspek spiritual, fisik, dan sosial dalam kehidupan seorang Muslim, sehingga memahami dan mensyukurinya menjadi hal penting agar tetap berada di jalan yang diridhai Allah.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengatakan, terdapat 6 Nikmat dari Allah yang paling utama.


اَلنِّعَمُ سِتَّةُ أَشْيَاءَ : اْلاِسْلَامُ وَاْلقُرْآنُ وَمُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ وَاْلعَافِيَةُ وَالسِّتْرُ وَاْلغِنَى عَنِ النَّاسِ


“Nikmat (yang paling utama) ada enam perkara, yaitu: Islam, Alquran, Nabi Muhammad Rasulullah, sehat wal afiat, tertutupnya aib, dan tidak memerlukan bantuan orang lain (dalam urusan dunia)”.

PEMBAHASAN

1. Nikmat Islam
Pengertian Islam.
MUI Mendefinisikan Islam berakar kata dari “aslama”, “yuslimu”, “islaaman” yang berarti tunduk, patuh, dan selamat. Islam berarti kepasrahan atau ketundukan secara total kepada Allah SWT. Orang yang beragama Islam berarti ia pasrah dan tunduk patuh terhadap ajaran-ajaran Islam. Seorang muslim berarti juga harus mampu menyelamatkan diri sendiri, juga menyelamatkan orang lain. Tidak cukup selamat tetapi juga menyelamatkan.
Secara istilah Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW untuk umat manusia agar dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.
Inti ajarannya (rukun Islam) adalah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji bila mampu.
Islam datang ke bumi untuk membangun manusia dalam kedamaian dengan sikap kepasrahan total kepada Allah SWT, sehingga seorang yang beragama Islam akan mengutamakan kedaiaman pada diri sendiri maupun pada orang lain.
Dengan kepasrahan dan kedamaian Islam sehingga ajarannya membawa Rahmatan Lil’alamin . Ajaran Islam sebenarnya bukan hal baru, basisnya sudah kuat di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, bahkan telah banyak diimplementasikan dalam sejarah Islam, baik pada abad klasik maupun pada abad pertengahan. Secara etimologis, Islam berarti “damai”, se­dangkan rahmatan lil ‘alamin berarti “kasih sayang bagi semesta alam”. Maka yang dimaksud dengan Islam Rahmatan lil’alamin adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidu­pan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.
Nikmat Islam sebagai nikmat terbesar merupakan keyakinan mendasar bagi setiap Muslim. Nikmat Islam adalah anugerah yang sangat berharga karena melalui Islam, seorang hamba dapat mengenal Allah ﷻ, mengikuti petunjuk-Nya, dan mengetahui jalan hidup yang benar sesuai dengan kehendak Sang Pencipta. Islam memberikan panduan lengkap dalam kehidupan, mulai dari akidah, ibadah, hingga akhlak, yang kesemuanya membawa pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Islam bukan hanya agama, tetapi juga sistem hidup yang sempurna yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan (hablun min Allah) dan dengan sesama manusia (hablun min an-nas). Melalui Islam, manusia mendapatkan rahmat dan petunjuk yang jelas untuk menavigasi kehidupan yang penuh ujian dan cobaan.
Di dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:


اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ فَمَنِ اضْطُرَّ فِيْ مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّاِثْمٍۙ فَاِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ


“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah: 3)
Ayat ini menegaskan bahwa Islam adalah nikmat yang sempurna dan merupakan pilihan Allah sebagai agama yang diridhai-Nya. Keimanan kepada Islam merupakan kunci bagi keselamatan di akhirat, dan inilah yang membuatnya menjadi nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah kepada manusia.
Tanpa Islam, manusia akan kehilangan arah, tidak memiliki pedoman yang jelas dalam menjalani hidup, dan berisiko terjerumus ke dalam kesesatan. Oleh karena itu, seorang Muslim harus senantiasa bersyukur atas nikmat Islam ini, menjaga dan mengamalkannya dengan baik, serta berusaha mendakwahkan ajarannya kepada orang lain dalam upaya mendapatkan kedamaian keselamatan didunia dan diakhirat.
Dalam sebuah hadits Nabi SAW dikatakan:


الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِه، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ

Artinya: Seorang muslim itu yang menyelamatkan muslim yang lain dari perkataannya, dan dari perbuatan tangannya, dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari sesuatu yang dilarang Allah. (HR. Nasa’i).
Maksud dari hadits ini adalah membahas tentang


Pertama: “Muslim yang Sejati”.

Hadits ini memberikan definisi tentang seorang muslim yang sejati, yaitu seseorang yang kehadirannya tidak membahayakan orang lain, baik melalui perkataan maupun perbuatannya. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga hubungan sosial yang harmonis, dan salah satu caranya adalah dengan menjaga lisan dari berkata buruk, menyakiti hati, atau menebar fitnah. Tangan juga dilambangkan sebagai tindakan fisik yang bisa menyakiti orang lain, seperti memukul, mencuri, atau berbuat zalim.
Oleh karena itu, seorang muslim sejati adalah yang bisa menjaga ucapan dan tindakannya agar tidak menimbulkan kerugian atau kesakitan bagi orang lain. Dengan kata lain, seorang muslim harus membawa kebaikan, ketenangan, dan keselamatan bagi sesamanya.


Kedua : Hijrah

Pengertian Hijrah: Hijrah tidak hanya diartikan secara fisik, seperti pindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi lebih luas dari itu. Hijrah yang dimaksud adalah meninggalkan segala perbuatan yang dilarang oleh Allah, yaitu segala bentuk maksiat, kejahatan, dan dosa. Seorang yang berhijrah sejati adalah yang berupaya menjauhkan diri dari segala yang buruk dan terus berusaha memperbaiki diri dengan mengikuti aturan dan petunjuk Allah.
Dengan demikian, hijrah bukan hanya perpindahan geografis, tetapi lebih pada perubahan sikap dan perilaku ke arah yang lebih baik sesuai dengan ajaran agama. Orang yang berhijrah adalah mereka yang terus menerus berusaha meninggalkan keburukan dan mendekatkan diri kepada kebaikan.

Berhijrah secara batiniah dengan meninggalkan segala bentuk larangan Allah dan terus memperbaiki diri menuju ketaatan kepada-Nya.

2. Nikmat Al-Qur’an

Nikmat kedua yang disebutkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah Al-Qur’an, yang merupakan mukjizat terbesar bagi umat Islam dan pedoman hidup yang sempurna. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ melalui malaikat Jibril sebagai petunjuk bagi umat manusia. Di dalamnya terdapat ajaran-ajaran tentang tauhid, hukum-hukum syariah, kisah-kisah para nabi, serta panduan untuk menjalani kehidupan yang lurus di dunia dan menuju keselamatan di akhirat.

Al-Qur’an bukan hanya sekadar kitab bacaan, tetapi merupakan sumber petunjuk yang penuh hikmah. Allah ﷻ berfirman:

“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 2)
Keistimewaan Al-Qur’an terletak pada kemampuannya yang tak lekang oleh waktu, relevan dalam setiap zaman dan situasi. Setiap ayatnya membawa manfaat dan hikmah yang mendalam, baik bagi pribadi, keluarga, masyarakat, maupun umat manusia secara keseluruhan. Al-Qur’an memberikan panduan dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari ibadah, muamalah (interaksi sosial), akhlak, hingga politik dan ekonomi.
Keindahan Al-Qur’an juga terletak pada bahasa dan susunan ayat-ayatnya yang tak tertandingi. Banyak ahli bahasa dan sastra yang mengakui bahwa keindahan bahasa Al-Qur’an adalah sesuatu yang di luar kemampuan manusia untuk menirunya. Allah ﷻ menantang manusia untuk membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Qur’an, namun tidak ada yang mampu melakukannya:
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan Al-Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.'” (QS. Al-Isra’: 88)
Selain itu, Al-Qur’an juga merupakan obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Dalam ayatnya disebutkan:
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82)

Mempelajari, menghafal, dan mengamalkan Al-Qur’an adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Dengan memahami isi Al-Qur’an, seorang Muslim akan mendapatkan cahaya hidayah yang akan membimbingnya dalam kehidupan. Membaca Al-Qur’an juga merupakan bentuk ibadah yang mendatangkan pahala besar, sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka dia akan mendapatkan satu kebaikan, dan satu kebaikan akan dilipatgandakan menjadi sepuluh. Aku tidak mengatakan bahwa ‘Alif Lam Mim’ adalah satu huruf, tetapi ‘Alif’ adalah satu huruf, ‘Lam’ adalah satu huruf, dan ‘Mim’ adalah satu huruf.” (HR. Tirmidzi)
Nikmat Al-Qur’an adalah nikmat yang tak ternilai harganya. Melalui Al-Qur’an, seorang Muslim dapat meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, hendaknya seorang Muslim selalu bersyukur atas nikmat ini dan senantiasa menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam setiap langkah hidupnya.

  1. Nikmat Muhammad Rasulullah

Nikmat ketiga yang disebutkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah Nabi Muhammad ﷺ, sebagai Rasulullah. Kehadiran Nabi Muhammad ﷺ di dunia ini merupakan nikmat yang luar biasa bagi seluruh umat manusia, terutama bagi umat Islam. Allah ﷻ mengutus beliau sebagai rahmat bagi seluruh alam, membawa risalah Islam, dan menjadi teladan sempurna dalam menjalani kehidupan.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)

Nabi Muhammad ﷺ bukan hanya seorang nabi, tetapi juga pemimpin, pengajar, pembawa cahaya kebenaran, dan teladan akhlak mulia bagi seluruh umat manusia. Melalui ajaran-ajarannya, beliau mengajarkan tentang tauhid, keadilan, kasih sayang, kesabaran, serta pengabdian kepada Allah ﷻ dengan penuh keikhlasan.
Keutamaan Rasulullah ﷺ terletak pada perannya yang begitu besar dalam membimbing umat manusia keluar dari kegelapan menuju cahaya kebenaran. Beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak, sebagaimana sabdanya:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad)

Nabi Muhammad ﷺ juga menjadi suri teladan terbaik (uswah hasanah) bagi setiap aspek kehidupan. Allah ﷻ berfirman:

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al-Ahzab: 21)

Beliau menunjukkan kepada umatnya cara terbaik untuk beribadah, bersikap dalam kehidupan sosial, dan bagaimana berinteraksi dengan keluarga, teman, bahkan dengan musuh. Kehidupan beliau penuh dengan hikmah, mulai dari kelembutan hatinya, kasih sayangnya kepada umatnya, hingga keberanian dan ketegasannya dalam menegakkan kebenaran.

Selain itu, salah satu keistimewaan besar dari Rasulullah ﷺ adalah syafaat beliau di hari kiamat. Beliau akan memberikan pertolongan kepada umatnya yang beriman, sehingga mendapatkan tempat yang mulia di sisi Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Setiap nabi mempunyai doa yang mustajab, dan setiap nabi telah berdoa dengan doa tersebut di dunia, tetapi aku menyimpan doaku sebagai syafaat bagi umatku pada hari kiamat.” (HR. Muslim)

Cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ juga merupakan bagian dari iman. Seorang Muslim diperintahkan untuk mencintai Rasulullah ﷺ lebih dari dirinya sendiri, sebagaimana beliau bersabda:

“Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga aku lebih dia cintai daripada anaknya, orang tuanya, dan seluruh manusia.”** (HR. Bukhari dan Muslim)

Nikmat Rasulullah ﷺ adalah nikmat yang harus senantiasa disyukuri oleh setiap Muslim. Dengan menjadikan beliau sebagai teladan dalam kehidupan, mempelajari sunnah-sunnahnya, dan mengamalkan ajaran-ajarannya, seorang Muslim akan meraih kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat.

  1. Nikmat Sehat Wal Afiat

Nikmat keempat yang disebutkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah nikmat sehat wal afiat, yaitu nikmat kesehatan dan keselamatan, baik fisik maupun mental. Sehat merupakan salah satu nikmat yang paling berharga dari Allah ﷻ, yang sering kali baru disadari pentingnya ketika kita jatuh sakit. Dalam Islam, kesehatan dipandang sebagai salah satu modal utama untuk dapat menjalani ibadah dan aktivitas sehari-hari dengan optimal.

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:

“Dua kenikmatan yang sering dilalaikan oleh kebanyakan manusia: nikmat kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menunjukkan betapa pentingnya nikmat kesehatan, namun sering kali manusia lalai untuk mensyukurinya. Dengan kesehatan yang baik, seseorang bisa beribadah, bekerja, belajar, dan melakukan berbagai kebaikan dalam kehidupan. Sehat bukan hanya terbatas pada tubuh yang bebas dari penyakit, tetapi juga mencakup keadaan jiwa yang tenang dan seimbang.

Dalam Islam, menjaga kesehatan merupakan bagian dari tanggung jawab seorang Muslim. Rasulullah ﷺ telah memberikan banyak petunjuk tentang pentingnya menjaga kesehatan, seperti anjuran untuk menjaga kebersihan, mengatur pola makan, berolahraga, serta menjauhi hal-hal yang membahayakan tubuh dan jiwa. Salah satu sabda beliau yang terkenal adalah:

Perut adalah sumber segala penyakit, dan penahan (makanan) adalah sumber segala pengobatan.”

Kesehatan juga merupakan syarat untuk melaksanakan berbagai ibadah dengan baik, seperti shalat, puasa, haji, dan jihad. Orang yang sehat akan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban agama tanpa banyak kesulitan. Oleh karena itu, nikmat kesehatan harus selalu disyukuri dengan menjaga amanah tubuh yang diberikan oleh Allah ﷻ, serta tidak menyia-nyiakannya untuk hal-hal yang buruk atau merusak.

Ketika seseorang diberikan kesehatan, maka ia memiliki peluang besar untuk memperbanyak ibadah, amal shaleh, dan berkontribusi positif kepada masyarakat. Oleh sebab itu, seorang Muslim hendaknya senantiasa bersyukur atas nikmat kesehatan dengan cara menggunakannya untuk kebaikan dan ibadah kepada Allah ﷻ.

Jika seseorang diuji dengan sakit, maka ia juga harus bersabar dan tetap bersyukur, karena sakit pun bisa menjadi penghapus dosa dan mendatangkan pahala jika dihadapi dengan keimanan. Rasulullah ﷺ bersabda:

Tidaklah seorang Muslim tertimpa kelelahan, penyakit, kesedihan, kesusahan, gangguan, atau kesedihan, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah akan menghapuskan dosa-dosanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Nikmat sehat wal afiat adalah salah satu nikmat yang paling besar, yang memungkinkan seseorang untuk menikmati hidup, menjalankan tanggung jawab, dan mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Oleh karena itu, hendaknya setiap Muslim senantiasa bersyukur atas nikmat kesehatan dan menjaga tubuh serta jiwa yang telah diamanahkan oleh Allah ﷻ dengan sebaik-baiknya

  1. Nikmat Tertutupnya Aib

Nikmat keenam yang disebutkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah nikmat tertutupnya aib. Aib di sini merujuk pada segala kekurangan, kesalahan, atau dosa yang seseorang lakukan, yang jika terbuka akan menyebabkan rasa malu atau penurunan martabat di hadapan orang lain. Allah ﷻ dalam kasih sayang-Nya sering kali menutupi aib dan kekurangan seseorang agar mereka tidak dipermalukan di dunia, memberikan kesempatan kepada mereka untuk memperbaiki diri.

Allah ﷻ berfirman:

“Dan Allah mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan.” (QS. An-Nahl: 19)

Tertutupnya aib adalah salah satu nikmat besar yang jarang disadari, namun sangat penting. Jika Allah ﷻ membuka semua aib dan dosa yang dilakukan oleh manusia, maka mungkin tidak ada yang mampu mempertahankan kehormatan di hadapan orang lain. Namun, Allah dengan rahmat-Nya menutupi banyak dari kesalahan-kesalahan kita, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar, sehingga kita tetap bisa berhubungan dengan orang lain tanpa merasa malu.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi (aib)nya di dunia dan di akhirat.” (HR. Muslim)

Hadis ini menunjukkan betapa besar nilai menjaga dan menutupi aib orang lain. Seorang Muslim dianjurkan untuk tidak mengumbar aib saudaranya, sebagaimana ia pun berharap Allah ﷻ menutupi aib-aibnya. Selain itu, menjaga kehormatan dan privasi orang lain adalah bagian dari akhlak mulia yang diajarkan dalam Islam.

Menjaga aib diri sendiri dan orang lain adalah bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Seorang Muslim yang mengetahui bahwa Allah menutupi aibnya, seharusnya merasa terdorong untuk memperbaiki diri dan bertaubat, bukan terus-menerus melakukan kesalahan dengan mengandalkan rahmat Allah yang menutupi aibnya. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

“Setiap umatku dimaafkan kecuali orang-orang yang terang-terangan (dalam berbuat dosa).” (HR. Bukhari dan Muslim)

Orang yang terang-terangan melakukan dosa atau menyebarkan aibnya sendiri berarti tidak menghargai nikmat tertutupnya aib dari Allah. Maka, penting bagi seorang Muslim untuk tidak mengungkap aib-aib dirinya kepada orang lain, kecuali dalam konteks yang benar, seperti meminta nasihat atau bantuan untuk bertaubat.

Nikmat tertutupnya aib mengajarkan kepada kita untuk senantiasa introspeksi diri, memperbaiki kekurangan, dan menjaga kehormatan kita serta orang lain. Dengan demikian, seorang Muslim dapat hidup dengan lebih tenang dan terhormat, baik di dunia maupun di akhirat, jika senantiasa memohon ampunan dan menjaga rahmat Allah ini.

6.Ghina ‘Anin Naas (Kaya dari Manusia)

Nikmat kelima yang disebutkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib adalah “Ghina ‘Anin Naas”, yang secara harfiah berarti “tidak memerlukan bantuan dari manusia” atau “merasa cukup dari manusia.” Maksud dari nikmat ini adalah kecukupan atau kekayaan hati yang membuat seseorang tidak bergantung pada orang lain, baik dalam hal materi maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki nikmat ini adalah orang yang tidak bergantung kepada manusia, tetapi bergantung sepenuhnya kepada Allah ﷻ.

Kekayaan yang dimaksud di sini bukan semata-mata harta atau materi, melainkan perasaan puas dan cukup (qana’ah) dengan apa yang dimiliki. Dalam Islam, memiliki rasa kecukupan dan tidak terus-menerus merasa kurang merupakan nikmat yang sangat besar, karena dengan demikian seseorang tidak akan mudah tergoda oleh dunia dan tidak akan merasa rendah diri atau bergantung kepada orang lain.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Bukanlah kekayaan itu diukur dari banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kekayaan hati membuat seseorang merasa tenang, puas, dan tidak mudah cemas dalam menghadapi kehidupan. Orang yang memiliki sifat ini akan lebih mudah bersyukur, lebih mampu menjaga martabatnya, dan tidak akan meminta-minta kepada orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari, dia akan selalu berusaha untuk mandiri dan tidak menjadi beban bagi orang lain.

Di sisi lain, ketergantungan pada manusia bisa menimbulkan berbagai masalah, seperti perasaan rendah diri, kehilangan kebebasan, dan bahkan bisa menjadi sumber tekanan batin. Oleh karena itu, Islam mengajarkan pentingnya memiliki jiwa yang kaya dan mandiri, serta mengandalkan Allah ﷻ dalam segala urusan. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Barang siapa yang menjaga dirinya dari meminta-minta (kepada orang lain), maka Allah akan mencukupinya. Barang siapa yang merasa cukup, maka Allah akan mencukupinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Selain itu, ghina ‘anin naas juga berarti tidak iri terhadap apa yang dimiliki orang lain. Seorang Muslim yang memiliki sifat ini tidak akan merasa iri atau dengki atas rezeki yang Allah berikan kepada orang lain, melainkan akan bersyukur dengan apa yang telah Allah berikan kepadanya. Ini adalah bentuk keseimbangan dalam hidup, di mana seseorang tidak hanya menjaga hubungan dengan Allah, tetapi juga menjaga diri dari perasaan tidak puas dan terlalu bergantung pada manusia.

Dengan memiliki perasaan “kaya dari manusia,” seseorang akan lebih mudah menjalani hidup dengan rasa syukur, lebih tenang, dan lebih fokus kepada ibadah serta pengabdian kepada Allah ﷻ. Dia akan memiliki sikap qana’ah (merasa cukup) dan tawakal (berserah diri) kepada Allah, sehingga kehidupannya dipenuhi dengan kebahagiaan sejati, yang tidak diukur oleh materi, tetapi oleh kedekatan dengan Allah dan ketenangan hati.

Nikmat-nikmat yang disebutkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib ini saling berkaitan dan memperlihatkan betapa besar kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya, yang meliputi aspek-aspek kehidupan dunia dan akhirat. Wallahu Alam bisshowab.

ستة نعم الله الأعظم وفقاً لسيدنا علي رضي الله عنه

الخلفية:
لقد أنعم الله ﷻ على البشر بالعديد من النعم، كما ورد في القرآن الكريم في سورة النحل الآية ١٨: “وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ”. في الإسلام، فهم نعم الله وشكرها أمر في غاية الأهمية.

سيدنا علي بن أبي طالب رضي الله عنه، أحد أصحاب النبي محمد ﷺ والخليفة الرابع في التاريخ الإسلامي، ركز بشكل خاص على ست نعم أساسية يجب أن يشكرها كل مسلم. ورد في كتاب نصائح العباد للشيخ نووي البنتاني أن سيدنا علي ذكر ست نعم هي الأعظم، وهي:

١. الإسلام: أعظم نعمة هي الهداية إلى الطريق المستقيم.
٢.القرآن الكريم: كدليل للحياة الكاملة للبشرية.
٣.النبي محمد ﷺ: باعتباره الرسول وحامل رسالة الله الأخيرة.
٤.الصحة:الصحة والعافية التي تمكننا من العبادة والعمل.
٥.ستر العيوب: أن الله يحفظنا من الخزي بستر العيوب والأخطاء.
٦.لاكتفاء: عدم الحاجة إلى مساعدة الآخرين في شؤون الدنيا، مما يعني العيش في حالة من الاكتفاء.

تشمل هذه النعم الست الجوانب الروحية والجسدية والاجتماعية في حياة المسلم، لذا فإن فهمها وشكرها أمر مهم للبقاء على الطريق الذي يرضي الله.

قال سيدنا علي بن أبي طالب إن هناك نعم من الله هي الأعظم:

النعم ستة أشياء: الإسلام، والقرآن، ومحمد رسول الله، والعافية، والستر، والغنى عن الناس.

“النعمة (الأعظم) هي ستة أمور: الإسلام، القرآن، النبي محمد رسول الله، الصحة والعافية، ستر العيوب، وعدم الحاجة إلى مساعدة الآخرين (في شؤون الدنيا)”.

المناقشة

١. نعمة الإسلام
تعريف الإسلام:
يعرف المجلس الإسلامي الأعلى (MUI)

الإسلام بأنه مأخوذ من الكلمات “أسلم”، “يسلم”، “إسلامًا” التي تعني الاستسلام والطاعة والسلام. الإسلام يعني الخضوع أو الاستسلام الكامل لله سبحانه وتعالى. الشخص الذي يعتنق الإسلام يعني أنه خاضع ومستسلم لتعاليم الإسلام. يجب على المسلم أيضًا أن يكون قادرًا على إنقاذ نفسه وإنقاذ الآخرين. ليس كافيًا أن يكون الإنسان سالمًا فقط بل يجب أن ينقذ أيضًا.
بالمصطلح، الإسلام هو الدين الذي جاء به النبي محمد صلى الله عليه وسلم للبشرية لتعيش حياة سعيدة في الدنيا والآخرة.
جوهر تعاليمه (أركان الإسلام) هو شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدًا هو رسول الله، وإقامة الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصيام رمضان، والحج إذا استطاع.
الإسلام جاء إلى الأرض لبناء الإنسان في سلام مع موقف الخضوع الكامل لله سبحانه وتعالى، لذا فإن الشخص الذي يعتنق الإسلام سيولي الأولوية للسلام لنفسه وللآخرين.
من خلال الاستسلام والسلام الذي يجلبه الإسلام، فإن تعاليمه تجلب رحمة للعالمين. تعاليم الإسلام ليست جديدة، بل لها أساس قوي في القرآن والسنة، وقد تم تنفيذها كثيرًا في تاريخ الإسلام، سواء في العصور الكلاسيكية أو العصور الوسطى.
إيتيمولوجيًا، تعني كلمة “إسلام” “السلام”، بينما “رحمة للعالمين” تعني “المحبة للعالم”. لذا، فإن معنى الإسلام رحمة للعالمين هو أن الإسلام الذي يتواجد في وسط حياة المجتمع يحقق السلام والمحبة للبشر وللطبيعة.
نعمة الإسلام كأعظم نعمة تعتبر قناعة أساسية لكل مسلم. نعمة الإسلام هي هبة ثمينة للغاية لأنها من خلال الإسلام، يستطيع العبد أن يعرف الله سبحانه وتعالى، ويتبع هديَه، ويعرف الطريق الصحيح للحياة وفقًا لإرادة الخالق. الإسلام يقدم دليلاً كاملاً في الحياة، من العقيدة، والعبادة، إلى الأخلاق، والتي جميعها تؤدي إلى السعادة في الدنيا والآخرة.
الإسلام ليس مجرد دين، بل هو نظام حياة كامل ينظم العلاقة بين الإنسان وربه (حبل من الله) ومع الآخرين (حبل من الناس). من خلال الإسلام، يحصل الإنسان على رحمة وهداية واضحة للتنقل في حياة مليئة بالاختبارات والشدائد.
في القرآن الكريم، قال الله تعالى:
“اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينًا، فمن اضطر في مخمصة غير متجانف لإثم فإن الله غفور رحيم.” (سورة المائدة: ٣)
تؤكد هذه الآية أن الإسلام هو نعمة كاملة وهو الخيار الذي ارتضاه الله كدين له. الإيمان بالإسلام هو المفتاح للسلامة في الآخرة، وهذا ما يجعله أعظم نعمة يمنحها الله للبشر.
بدون الإسلام، سيفقد الإنسان الاتجاه، ولن يمتلك دليلًا واضحًا في حياة، وقد يقع في الضلال. لذلك، يجب على المسلم أن يكون دائمًا شاكراً لهذه النعمة، ويحافظ عليها ويعمل بها بشكل جيد، ويسعى لنشر تعاليمها للآخرين في محاولة للحصول على السلامة في الدنيا والآخرة.
ترجمة:
“اليوم أكملت لكم دينكم، وأتممت عليكم نعمتي، ورضيت لكم الإسلام ديناً.” (سورة المائدة: ٣)
شرح الآية:
تؤكد هذه الآية أن الإسلام هو نعمة كاملة واختيار الله كدين مرضي. الإيمان بالإسلام هو مفتاح النجاة في الآخرة، وهذا ما يجعله أعظم نعمة أنعم الله بها على البشرية. بدون الإسلام، سيفقد الإنسان طريقه ولن يكون لديه دليل واضح في الحياة، ما قد يؤدي به إلى الضلال. لذلك، يجب على المسلم دائمًا أن يشكر الله على نعمة الإسلام، ويحافظ عليها ويعمل بها، وأن يسعى لنشر تعاليمه لتحقيق السلام والنجاة في الدنيا والآخرة.
في حديث النبي صلى الله عليه وسلم يقول:
“الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ.” (رواه النسائي)
معنى الحديث:
يشير الحديث إلى نقطتين أساسيتين


أ. “المسلم الحقيقي

: يصف الحديث المسلم الحقيقي بأنه شخص لا يؤذي الآخرين لا بلسانه ولا بيده. يشدد الإسلام على أهمية الحفاظ على العلاقات الاجتماعية المتناغمة، ومن ذلك تجنب الألفاظ الجارحة أو النميمة أو الفتنة. وكذلك اليد تشير إلى الأفعال الجسدية التي قد تؤذي الآخرين مثل الضرب أو السرقة أو الظلم. المسلم الحقيقي هو من يحافظ على كلامه وأفعاله بحيث لا تسبب ضرراً للآخرين. بعبارة أخرى، المسلم يجب أن يكون مصدر خير وطمأنينة وسلام لمن حوله.

ب . الهجرة

الهجرة في الإسلام ليست فقط بالانتقال من مكان إلى آخر، بل تشمل ترك جميع الأفعال المحرمة التي نهى الله عنها كالذنوب والمعاصي. المسلم الذي يهاجر بحق هو من يجتهد في الابتعاد عن كل ما يغضب الله ويسعى للإصلاح واتباع تعاليم الله.
الهجرة تعني أيضًا التغيير الداخلي، حيث يبتعد الشخص عن المحرمات ويسعى للتقرب إلى الله من خلال أعمال الطاعة والالتزام بالتعاليم الدينية


٢. نعمة القرآن
النعمة الثانية التي ذكرها سيدنا علي بن أبي طالب هي القرآن، الذي يُعد أعظم معجزة للمسلمين ودليل حياة كامل. القرآن هو كلام الله الذي أنزله على النبي محمد ﷺ عبر جبريل كهدى للبشرية. يحتوي القرآن على تعاليم التوحيد، أحكام الشريعة، قصص الأنبياء، وإرشادات للعيش المستقيم في الدنيا والوصول إلى النجاة في الآخرة.
القرآن ليس مجرد كتاب للقراءة، بل هو مصدر هداية مليء بالحكمة. قال الله ﷻ:
“ذلك الكِتَابٌ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ.” (البقرة: ٢)
تميز القرآن يكمن في قدرته التي لا تتغير بمرور الزمن، وهو دائمًا ملائم لكل عصر وحالة. كل آية تحمل منفعة وحكمة عميقة، سواء للفرد، الأسرة، المجتمع، أو للبشرية جمعاء. يقدم القرآن إرشادات في كل جانب من جوانب الحياة، من العبادات، المعاملات، الأخلاق، إلى السياسة والاقتصاد.
جمال القرآن أيضًا يكمن في لغته وترتيب آياته الذي لا يمكن تقليده. يعترف العديد من علماء اللغة والأدب بأن جمال لغة القرآن هو شيء يتجاوز قدرة الإنسان على تقليده. يتحدى الله ﷻ البشر أن يأتوا بشيء مشابه للقرآن، لكن لا أحد قادر على ذلك:
“قُلْ: لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَـٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا.” (الإسراء: ٨٨)
بالإضافة إلى ذلك، القرآن هو شفاء ورحمة للمؤمنين. في قوله:
“وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا.” (الإسراء: ٨٢)
دراسة القرآن، حفظه، وتطبيقه هي واجب على كل مسلم. من خلال فهم محتوى القرآن، يحصل المسلم على نور الهداية الذي سيرشده في حياته. قراءة القرآن أيضًا هي عبادة تجلب أجرًا كبيرًا، كما قال رسول الله ﷺ:
“مَن قَرَأَ حَرْفًا مِن كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرَةٍ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ أَلِفٌ لَامٌ مِيمٌ حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ.” (رواه الترمذي)
نعمة القرآن هي نعمة لا تقدر بثمن. من خلال القرآن، يمكن للمسلم أن ينال السعادة في الدنيا والآخرة. لذلك، يجب على المسلم أن يكون دائم الشكر على هذه النعمة وأن يجعل القرآن مرجعًا في كل خطوات حياته


٣. نعمة محمد رسول الله

النعمة الثالثة التي ذكرها سيدنا علي بن أبي طالب هي النبي محمد ﷺ، كرسول الله. قدوم النبي محمد ﷺ إلى هذا العالم هو نعمة عظيمة للبشرية كلها، خاصة للمسلمين. أرسل الله ﷻ له كرحمة للعالمين، حاملًا رسالة الإسلام، ومثالًا كاملًا في الحياة.
قال الله ﷻ في القرآن:
“وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ.”** (الأنبياء: ١٠٧)
النبي محمد ﷺ ليس مجرد نبي، بل هو قائد، معلم، حامِل لنور الحق، ومثال للأخلاق الحميدة للبشرية جمعاء. من خلال تعاليمه، علم عن التوحيد، العدالة، المحبة، الصبر، والإخلاص لله ﷻ.
تكمن مكانة رسول الله ﷺ في دوره الكبير في توجيه البشرية من الظلام إلى نور الحق. أرسل لإكمال الأخلاق، كما قال ﷺ:
“”إنما بُعثتُ لأتمم مكارم الأخلاق.”(رواه أحمد)
النبي محمد ﷺ أيضًا هو أفضل نموذج (أسوة حسنة) في كل جوانب الحياة. قال الله ﷻ:

“لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا.” (الأحزاب: ٢١)
أرشد الأمة إلى أفضل طريقة للعبادة، التصرف في الحياة الاجتماعية، والتفاعل مع العائلة والأصدقاء وحتى الأعداء. كانت حياته مليئة بالحكمة، من لطف قلبه، محبته لأمته، إلى شجاعته وحزمه في إقامة الحق.
علاوة على ذلك، إحدى الميزات الكبرى للنبي ﷺ هي شفاعته يوم القيامة. سيشفع لأمته المؤمنين، ليحصلوا على مكانة عالية عند الله. قال رسول الله ﷺ:
“إِنَّ كُلَّ نَبِيٍّ لَهُ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ، وَكُلُّ نَبِيٍّ قَدِ اسْتَجَابَ بِدَعْوَتِهِ فِي الدُّنْيَا، وَإِنَّمَا أَخَّرْتُ دَعْوَتِي شَفَاعَةً لِأُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ.” (رواه مسلم)
حب النبي محمد ﷺ هو أيضًا جزء من الإيمان. يُطلب من المسلم أن يحب رسول الله ﷺ أكثر من نفسه، كما قال ﷺ:
“لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.”(رواه البخاري ومسلم)

نعمة رسول الله ﷺ هي نعمة يجب على كل مسلم أن يكون شاكراً لها دائمًا. من خلال اتخاذه نموذجًا في الحياة، ودراسة سننه، وتطبيق تعاليمه، سيحصل المسلم على السعادة الحقيقية، سواء في الدنيا أو في الآخرة.

٤. نعمة الصحة والعافية،

وهي نعمة الصحة والسلامة، سواء الجسدية أو النفسية. الصحة هي واحدة من أعظم النعم التي يمنحها الله ﷻ، وغالباً ما ندرك قيمتها الحقيقية فقط عندما نمرض. في الإسلام، تُعتبر الصحة من أهم الأسس التي تساعد الإنسان على أداء العبادة والنشاطات اليومية بشكل أمثل.
قال رسول الله ﷺ:
“نعمتان مغبون فيهما كثير من الناس: الصحة والفراغ.” (رواه البخاري)
توضح هذه الحديث أهمية نعمة الصحة، ولكن كثيراً ما يغفل الناس عن شكرها. مع الصحة الجيدة، يمكن للإنسان أن يؤدي العبادة والعمل والدراسة وأداء العديد من الأعمال الصالحة. الصحة لا تقتصر فقط على الجسد الخالي من الأمراض، بل تشمل أيضاً حالة النفس الهادئة والمتوازنة.
في الإسلام، الحفاظ على الصحة هو جزء من مسؤولية المسلم. وقد قدم النبي ﷺ العديد من الإرشادات حول أهمية الحفاظ على الصحة، مثل التوصية بالنظافة، وتنظيم الغذاء، وممارسة الرياضة، وتجنب الأمور التي تضر بالجسم والنفس. من بين أقواله المشهورة:
“المعدة بيت كل داء، والحمية رأس الدواء.”
الصحة أيضاً شرط لأداء العبادات بشكل جيد، مثل الصلاة، والصوم، والحج، والجهاد. الشخص السليم سيكون قادراً على أداء الواجبات الدينية دون صعوبات كبيرة. لذلك، يجب دائماً شكر نعمة الصحة من خلال الحفاظ على الأمانة التي منحها الله ﷻ وعدم إهدارها في أمور ضارة أو مدمرة.
عندما يُعطى الشخص الصحة، فإنه يملك فرصة كبيرة لزيادة العبادة، والقيام بالأعمال الصالحة، والمساهمة بشكل إيجابي في المجتمع. لذلك، يجب على المسلم أن يكون شاكراً دائماً لنعمة الصحة ويستخدمها في الخير والعبادة لله ﷻ.
إذا تم اختبار الشخص بالمرض، فعليه أيضاً أن يتحلى بالصبر ويظل شاكراً، لأن المرض يمكن أن يكون كفارة للذنوب ويجلب الأجر إذا تم التعامل معه بالإيمان. قال رسول الله ﷺ:
“ما من مسلم يُصاب بمشقة، ولا مرض، ولا هم، ولا حزن، ولا أذى، ولا شوكة، إلا كفّر الله بها من خطاياه.” (رواه البخاري ومسلم)

نعمة الصحة والعافية هي من أعظم النعم، التي تمكن الإنسان من الاستمتاع بالحياة، وأداء المسؤوليات، والتقرب إلى الله ﷻ. لذلك، يجب على كل مسلم أن يكون شاكراً لنعمة الصحة ويحافظ على الجسد والنفس التي أودعها الله ﷻ بأفضل وجه.

٥. نعمة ستر العيوب

النعمة السادسة التي ذكرها سيدنا علي بن أبي طالب هي نعمة ستر العيوب. العيوب هنا تشير إلى أي نقص أو خطأ أو ذنب يرتكبه الإنسان، والذي إذا كُشف قد يسبب الحرج أو انخفاض المكانة أمام الآخرين. الله ﷻ برحمته غالباً ما يستر عيوب الناس ونقائصهم كي لا يتم إحراجهم في الدنيا، ويمنحهم فرصة لتصحيح أنفسهم.
قال الله ﷻ:
“وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُخْفُونَ وَمَا تُبْدُونَ.” (سورة النحل: ١٩

ستر العيوب هو من النعم الكبيرة التي نادراً ما نُدركها، لكنها مهمة جداً. لو فتح الله ﷻ جميع عيوب الإنسان وأخطائه، فقد لا يستطيع أحد الحفاظ على كرامته أمام الناس. لكن الله برحمته يستر الكثير من أخطائنا، سواء كانت عن علم أو جهل، لذا يمكننا الاستمرار في علاقاتنا مع الآخرين دون الشعور بالخجل.

قال رسول الله ﷺ:
“من ستر عورة مسلم ستر الله عورته في الدنيا والآخرة.” (رواه مسلم)
يوضح الحديث مدى أهمية الحفاظ على ستر عيوب الآخرين. يُشجع المسلم على عدم فضح عيوب إخوانه، كما أنه يأمل أن يستر الله عيوبه. بالإضافة إلى ذلك، فإن الحفاظ على كرامة وخصوصية الآخرين هو جزء من الأخلاق الفاضلة التي يُعلمها الإسلام.
الحفاظ على عيوب الذات والآخرين هو شكل من أشكال شكر هذه النعمة. المسلم الذي يعرف أن الله يستر عيوبه يجب أن يشعر بالدافع لتحسين نفسه والتوبة، بدلاً من الاستمرار في الأخطاء معتمداً على رحمة الله التي تستر عيوبه. قال النبي محمد ﷺ:

“كل أمتي معافى إلا المجاهرين.” (رواه البخاري ومسلم)

الشخص الذي يجاهر بمعصيته أو ينشر عيوبه بنفسه لا يقدر نعمة ستر الله. لذلك، من المهم للمسلم أن لا يكشف عيوبه للآخرين، إلا في سياق صحيح، مثل طلب النصيحة أو المساعدة للتوبة.

نعمة ستر العيوب تعلمنا أن نتأمل في أنفسنا، ونصلح نقائصنا، ونحافظ على كرامتنا وكرامة الآخرين. بذلك، يمكن للمسلم أن يعيش حياة أكثر هدوءاً وكرامة، سواء في الدنيا أو في الآخرة، إذا استمر في طلب المغفرة وحفظ رحمة الله هذه.

(٦. الاستغناء عن الناس (الثراء عن البشر

النعمة السادسة التي ذكرها سيدنا علي بن أبي طالب هي “الاستغناء عن الناس”، والتي تعني حرفياً “عدم الحاجة إلى مساعدة من البشر” أو “الشعور بالكفاية من الناس”. المقصود من هذه النعمة هو الكفاية أو غنى القلب الذي يجعل الشخص لا يعتمد على الآخرين، سواء من الناحية المادية أو في الاحتياجات الأخرى. بعبارة أخرى، الشخص الذي يمتلك هذه النعمة هو الذي لا يعتمد على البشر، بل يعتمد تماماً على الله ﷻ.
الكفاية هنا لا تعني فقط المال أو الممتلكات، بل تعني الشعور بالرضا والقناعة بما يمتلكه. في الإسلام، امتلاك شعور بالكفاية وعدم الإحساس بالنقص المستمر هو نعمة عظيمة، حيث يقي الإنسان من الانجذاب إلى الدنيا ومن الشعور بالدونية أو الاعتماد على الآخرين.
قال رسول الله ﷺ:
“ليس الغنى عن كثرة العرض، ولكن الغنى غنى النفس.”(رواه البخاري ومسلم)
غنى النفس يجعل الشخص يشعر بالهدوء والرضا، ويقلل من القلق في مواجهة الحياة. الشخص الذي يمتلك هذه الصفة سيكون أكثر قدرة على الشكر، وأقدر على الحفاظ على كرامته، ولن يتسول من الآخرين. في الحياة اليومية، سيسعى ليكون مستقلاً وألا يكون عبئاً على الآخرين.
من جهة أخرى، الاعتماد على البشر يمكن أن يسبب مشاكل متعددة، مثل الشعور بالدونية وفقدان الحرية، ويمكن أن يكون مصدراً للضغط النفسي. لذلك، يُعلم الإسلام أهمية امتلاك نفس غنية ومستقلة، والاعتماد على الله ﷻ في كل الأمور. قال رسول الله ﷺ:
“من يستعفف يعفه الله، ومن يستغنِ يغنه الله.” (رواه البخاري ومسلم)
بالإضافة إلى ذلك، الاستغناء عن الناس يعني أيضاً عدم الحسد لما يملكه الآخرون. المسلم الذي يمتلك هذه الصفة لن يشعر بالحسد أو الضغينة تجاه رزق الله الذي أعطاه للآخرين، بل سيشكر الله على ما أعطاه. هذه حالة من التوازن في الحياة، حيث يعتني الشخص بعلاقته مع الله ويحافظ على نفسه من مشاعر عدم الرضا والاعتماد المفرط على البشر.
بامتلاك شعور “الاستغناء عن البشر”، سيكون الشخص أكثر قدرة على عيش الحياة بالشكر، والهدوء، والتركيز على العبادة وخدمة الله ﷻ. سيكون لديه قناعة وتوكل على الله، مما يجعل حياته مليئة بالسعادة الحقيقية التي لا تقاس بالمال، بل بالقرب من الله وراحة القلب.
النعم التي ذكرها سيدنا علي بن أبي طالب مترابطة وتوضح مدى عظمة رحمة الله بعباده، التي تشمل جوانب الحياة الدنيا والآخرة. والله أعلم بالصواب.


تأليف الفقير الراجي إلى رحمة الله عبدالغني الجزائري
السبت ١٤ سبتمبر ٢٠٢٤

Kategori
Opini

PEKAN NGAJI MOMENTUM YANG SAKRAL

Event internasional pekan ngaji yang diselenggarakan setiap tahun sekali di Ponpes Mambaul Ulum Bata-bata dilatar belakangi oleh apresiasi semangat belajar santri Bata-bata yang di prakasai oleh alm. RKH. Moh. Thohir AH.

Di hari cerpen realita ini ditulis, event internasional pekan ngaji di Bata-bata berada ditahun kedelapan.

Ada dua kejadian minimalnya, yang agak mengganjal dalam amatan kami dan kemudian kami sebut sakral.

Pertama
Pada tahun 2016 kali pertama pekan ngaji di laksanakan Bapak Syaifullah Yusuf atau yang akrab dipanggil Gus Ipul menjadi salah satu tamu kehormatan mewakili publik figur Jawa timur di acara closing ceremony, saat itu ia masih menjabat wakil Gubernur.
Malam penutupan yang digelar di sekolah MA putra itu dihadiri oleh puluhan ribu orang dari berbagai kalangan, yakni santri, alumni, dan masyarakat umum yang ingin menyaksikan secara langsung momentum bergengsi itu.

Ditengah berlangsungnya acara closing ceremony, terdengar teriakan beberapa orang meminta para hadirin memberi jalan, mereka adalah para keamanan yang mengawal mobil Innova putih menuju area panggung kehormatan tempat acara di gelar. Di dalam mobil tersebut terlihat RKH. Abdul Hamid AMZ. duduk di depan sebalah kiri sopir. Melihat K. Hamid memasuki area pekan ngaji, tanpa diminta kembali ribuan hadirin membentuk jalan, seperti kisah Nabi Musa AS. saat membelah lautan. Suasana saat itu menjadi mendadak hening seakan dibungkam oleh kekuatan besar, semua mata tertuju pada mobil putih yang di tunggangi RKH. Abdul Hamid AMZ tersebut. Di depan panggung K. Thohir sudah siap menyambutnya kehadiran Ayahnya yang tidak disangka akan hadir di malam penutupan itu. Selang beberapa menit di depan panggung, setelah RKH Thohir dan beberapa tamu kehormatan menyalami RKH. Abdul Hamid AMZ, tanpa turun dari mobil lalu beliau meninggalkan area pekan ngaji itu di gelar. Setelah mobil Innova putih benar-benar meninggalkan area sekolah MA putra, acara kembali dilanjutkan.
K. Thohir dalam sambutannya pada malam itu berkata “beberapa tahun belakangan ini Abah saya, yakni RKH ABD. Hamid jarang menemui orang. Malam ini beliau sudi hadir sekedar menjenguk acara ini, saya yakin beliau meridhoi acara ini”. Atas pernyataan itu, suara takbir bergemuruh disertai tepuk tangah seluruh hadirin yang berbangga atas terlaksananya pekan ngaji yang telah direstui oleh RKH. Abdul Hamid AMZ. Kehadiran beliau di tengah-tengah penutupan pekan ngaji itu menjadi isyarat sebagai restu untuk gelaran acara internasional panji di bata-bata itu.

Kedua
Lima hari sebelum pekan ngaji 8 di gelar, lebih tepatnya tanggal 1 januari 2023, Gus Ishaq salah satu pemateri pekan ngaji tidak bisa hadir karena problem kesehatan. Pada waktu malam ia bermimpi ditegur oleh RKH. Ahmad Mahfudz Zayyadi dan RKH. Abdul Hamid AMZ.. Ia kaget terbangun sambil menangis menyesal atas ketidak siapannya. Keesokan harinya Gus Ishaq bertandang kerumah Gus Rifki (salah satu panitia pekan ngaji) menceritakan mimpinya dan menyatakan siap mengisi acara pekan ngaji.

Teguran kedua almarhum pengasuh dalam mimpi Gus Ishaq tersebut, juga mempertegas bahwa acara Pekan Ngaji Bata-bata merupakan acara yang penting dan layak jual.

Atas dua studi kasus di atas kami berasumsi event internasional pekan ngaji bata-bata itu sangat penting dan harus dipertahankan.

Kesimpulan
Dalam berbagai aktivitas Bata-bata dan gerak gerik santri dan alumni selalu dipantau oleh para almarhumin pengasuh bata-bata.
Banyak persaksian alumni, mereka bermimpi didatangi salah satu pengasuh bata-bata ketika aktivitas kesehariannya mulai berbelok arah.

Semoga semua santri, alumni dan siapapun yang membaca tulisan ini mendapatkan barokah para masyayikh Bata-bata. Amin

Surabaya 5/01/2023
JundundMuhammad

Sumber
Panitia pekan ngaji

Kategori
Opini

HIMBAUAN UNTUK MANDIRI EKONOMI DAN PANGAN

IMG_20200520_014718_130

Wujudkan Mandiri Pangan Dengan Kembali Ke Sektor Pertanian

Bersama R.KH. TOHIR ABDUL HAMID AMZ

Simak Videonya 👇👇

https://youtu.be/UnoL0ru813A

Semoga Bermanfaat..

@ikaba.net_official

Kategori
Opini

Kedudukan Perempuan dalam Islam

Posting di Website IKABA Pusat

Ikatan Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata

Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan yang kemudian meninggikan atau merendahkan seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Tuhan Yang Mahaesa.

Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di

Kategori
Opini

Makna Isra’ dan Mi’raj

Posting di Website Ikatan Alumni Bata-Bata (IKABA Pusat)

Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah Al-Quran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia. Peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.

Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi

Kategori
Opini

Peran Pemuda Dalam Konteks Melanjutkan Risalah Muhammad Saw di era Modern

Oleh; R.H.M Thohir Zain S.Pdi

Posting di Website IKABA Pusat

Ikatan Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata

Pemuda dalam gejolak pencarian jatidirinya tentu tidak dapat lepas dari kenyataan hidup di sekelilingnya. Dengan segenap potensi yang dimilikinya dan peran yang harus dimainkannya dalam konteks kehidupan sosial terutama di era modern dan dunia global, pemuda – yang notabene – sosok yang enerjik (penuh semangat) dan idealis dituntut untuk selalu membekali diri dengan kecerdasan spiritual, intelektual dan menguasai ilmu pengetahuan. Sehingga ia

Kategori
Opini

KEAUTENTIKAN AL-QUR’AN

Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara. Inna nahnu nazzalna al-dzikra wa inna lahu lahafizhun (Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya) (QS 15:9).

Demikianlah Allah menjamin keotentikan Al-Quran, jaminan yang diberikan atas dasar Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya, serta berkat upaya-upaya yang dilakukan oleh makhluk-makhluk-Nya, terutama oleh manusia.