Kategori
Hukum

Ghibah yang Diperbolehkan

 

Latar Belakang:
Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak terlepas dari hubungan sosial, sehingga sering terjadi pembicaraan tentang orang lain, baik dalam bentuk kritik maupun sekadar menceritakan keburukan mereka. Hal ini menimbulkan persoalan etika dan hukum dalam Islam, terutama terkait ghibah. Ghibah, yaitu membicarakan aib seseorang saat ia tidak hadir, dianggap sebagai dosa besar kecuali terdapat alasan yang dibenarkan oleh syariat. Namun, tidak semua orang memahami secara tepat batasan antara ghibah yang dilarang dan kondisi yang membolehkannya, sehingga penting untuk memberikan penjelasan yang mendalam mengenai hal tersebut.

Pertanyaan:

1. Apakah kebiasaan seseorang membicarakan keburukan orang lain termasuk ghibah yang diharamkan atau diperbolehkan ?

Waalaikum salam.

Jawaban

Ghibah (menggunjing) pada umumnya dilarang dalam agama. Namun, ada beberapa pengecualian yang diizinkan dalam kondisi tertentu, yaitu ketika ada tujuan syari’ yang tidak dapat tercapai kecuali dengan menyebutkan kekurangan seseorang.

Referensi:

Ihya Ulumuddin (3/162)

(بيان الأعذار المُرخَّصة في الغيبة اعلم أن المُرَخَّص فيه ذكر مساوئ الغير هو غرض صحيح في الشريعة لا يُمْكِنُ التَّوَصَلُ إِلَيْهِ إِلَّا بِهِ فَيَدْفَعُ ذلك اسم الغيبة وهو ستة أمور التظلم الاستعانة على تغيير المنكر ردّ المعاصي إلى منهج الصلاح الاستفتاء تخذير المسلم من الشر أن يكون الإنسان معروفاً بلقب أن يكون مجاهراً بفسقه اهـ)

“Penjelasan tentang alasan-alasan yang membolehkan ghibah. Ketahuilah bahwa yang dibolehkan dalam menyebutkan kekurangan orang lain adalah tujuan yang benar dalam syariat, yang tidak dapat dicapai kecuali dengan cara itu. Dengan demikian, hal tersebut dapat menghilangkan sifat ghibah. Adapun tujuan-tujuan tersebut ada enam hal: mengajukan pengaduan, meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran, mengembalikan pelaku maksiat ke jalan yang benar, meminta fatwa, memperingatkan seorang muslim dari bahaya, seseorang yang dikenal dengan julukan tertentu, atau seseorang yang terang-terangan berbuat fasik.”
Penjelasan Tambahan:
Ghibah: Mengatakan sesuatu tentang orang lain di belakangnya dengan tujuan mencela atau mempermalukan.
Ihya Ulumuddin: Sebuah kitab karya Imam al-Ghazali yang membahas berbagai aspek ilmu agama.
Syari’: Segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum agama Islam.
Intinya:
Walaupun ghibah umumnya dilarang, dalam kondisi tertentu dan dengan tujuan yang benar, maka ghibah tersebut dapat dibolehkan. Namun, perlu diingat bahwa ghibah tetaplah sesuatu yang tidak dianjurkan dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati.

Kategori
Hukum

Cara Mengqadha Shalat yang Ditinggalkan selama Bertahun-tahun

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:
Seorang muslim setelah baligh bertahun-tahun meninggalkan shalat, baik karena kesibukan maupun karena keimanannya yang masih lemah. Namun, ketika menginjak usia lanjut, ia mendapatkan hidayah dari Allah dan menyadari bahwa meninggalkan shalat adalah dosa besar. Ia pun berniat untuk mengqadha shalat-shalat yang telah ditinggalkan selama ini.

Pertanyaan:
Bagaimana tata cara mengqadha shalat yang telah ditinggalkan bertahun-tahun tersebut?

Wa’alaikumsalam

Jawaban
Cara mengqadha shalat yang ditinggalkan adalah dengan memperkirakan jumlah shalat yang diyakini telah ditinggalkan, berdasarkan dugaan kuat setelah melakukan penelitian yang hati-hati. Hal ini sebagaimana pendapat ulama yang diantaranya al-Imam Ghazali. Jika seseorang tidak pernah shalat sama sekali sejak kecil, maka ia wajib menghitung seluruh shalat yang ditinggalkan sejak ia baligh hingga bertobat, lalu mengqadhainya sesuai kemampuan.

Referensi

إحياء علوم الدين،   ٣٧/ ٤

وَشَرْطُ صِحَّتِهَا فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَاضِي، أَنْ يُرَدَّ فِكْرَتُهُ إِلَى أَوَّلِ يَوْمٍ بَلَغَ فِيهِ بِالسِّنِّ، أَوْ الِاحْتِلَامِ، فَيُفَتِّشُ عَمَّا مَضَى مِنْ عُمْرِهِ سَنَةً سَنَةً، وَشَهْرًا شَهْرًا، وَيَوْمًا يَوْمًا، فَنَفَسًا نَفَسًا، وَيَنْظُرُ إِلَى الظَّلَمَاتِ مَا الَّذِي قَصَّرَ فِيهِ مِنْهَا، أَوْ الْمَعَاصِي، مَا الَّذِي قَارَفَهُ مِنْهَا، فَإِنْ كَانَ قَدْ تَرَكَ صَلَاةً، أَوْ صَلَاهَا فِي ثَوْبٍ نَجِسٍ، أَوْ صَلَاهَا بِبِنْيَةٍ غَيْرِ صَحِيحَةٍ، لِجَهْلِهِ، يَشْرَعْ قَضَاءَهَا مَعَ أُجْرَةٍ أُخْرَى، فَإِنْ شَكَّ فِي عَدَدِ مَا فَاتَهُ مِنْهَا، حَسَبَ مِنْ أَدْنَى مَا يُتَصَوَّرُ. فَهَذَا هُوَ قَدْرُ الِاجْتِهَادِ الَّذِي اقْتَضَتْهُ الْعَادَةُ وَقَضَى بِهِ الْبَاقِي، وَقِيلَ إِنَّهُ يَأْخُذُ فِيهِ بِغَالِبِ الظَّنِّ، وَيَصِلُ أَبَدًا عَلَى سَبِيلِ الشُّكْرِ وَالِاجْتِهَادِ. اهـ

Dan syarat sahnya (taubat dan qadha) terkait dengan kewajiban di masa lalu, hendaklah ia mengembalikan perhatiannya kepada hari pertama ia baligh, baik melalui usia maupun ihtilam. Kemudian ia meneliti (mengevaluasi) dari usia yang telah berlalu, tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari, bahkan setiap napas yang telah ia lalui. Ia memperhatikan dosa-dosa dan kegelapan (maksiat) yang pernah ia lakukan, apakah ia meninggalkan shalat, atau shalat dengan pakaian yang najis, atau shalat dengan niat yang tidak sah karena ketidaktahuannya. Maka ia wajib mengqadha shalat itu beserta hal lainnya yang harus diganti.

Jika ia ragu terhadap jumlah shalat yang telah ia tinggalkan, maka ia memperkirakan jumlah paling sedikit yang mungkin terjadi. Demikianlah kadar ijtihad yang dituntut oleh kebiasaan, dan ia harus melakukannya secara terus-menerus sebagai bentuk syukur dan kesungguhan.

الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي ٢/‏١١٦١ — و الزحيلي (ت ١٤٣٦)
خامسًا – القضاء إن جهل عدد الفوائت: قال الحنفية: من عليه فوائت كثيرة لا يدري عددها، يجب عليه أن يقضي حتى يغلب على ظنه براءة ذمته. وعليه أن يعين الزمن، فينوي أول ظهر عليه أدرك وقته ولم يصله، أو ينوي آخر ظهر عليه أدرك وقته ولم يصله، وذلك تسهيلًا عليه.
`وقال المالكية والشافعية والحنابلة: يجب عليه أن يقضي حتى يتيقن براءة ذمته من الفروض، ولا يلزم تعيين الزمن، بل يكفي تعيين المنوي كالظهر أو العصر مثلًا.`

إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين — البكري الدمياطي, ج ١ ص ٣١
`قال شيخنا أحمد بن حجر رحمه الله تعالى: والذي يظهر أنه يلزمه صرف جميع زمنه للقضاء ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد منه، وأنه يحرم عليه التطوع،` ويبادر به – ندبا – إن فات بعذر كنوم لم يتعد به ونسيان كذلك.
_______________
(قوله: والذي يظهر أنه) أي من عليه فوائت فاتته بغير عذر.
`(قوله: ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد له منه) كنحو نوم، أو مؤنة من تلزمه مؤنته، أو فعل واجب آخر مضيق يخشى فوته.`
(قوله: وأنه يحرم عليه التطوع) أي مع صحته، خلافا للزركشي.
والله اعلم بالصواب

Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu oleh Wahbah Az-Zuhaili (2/1161)

Kelima: Qadha’ jika jumlah shalat yang terlewat tidak diketahui
Menurut mazhab Hanafi, seseorang yang memiliki banyak shalat yang terlewat dan tidak mengetahui jumlah pastinya wajib mengqadha hingga ia merasa yakin bahwa tanggungannya telah gugur. Ia juga harus menentukan waktu shalat tersebut, seperti berniat: “Ini adalah shalat Zuhur pertama yang saya tinggalkan waktunya dan belum saya tunaikan,” atau berniat: “Ini adalah shalat Zuhur terakhir yang saya tinggalkan waktunya dan belum saya tunaikan,” untuk mempermudah dirinya.

Adapun menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, seseorang wajib mengqadha hingga ia yakin bahwa tanggungannya telah gugur dari kewajiban shalat fardhu. Tidak diwajibkan menentukan waktu shalat tersebut, cukup dengan menentukan jenis shalat, seperti Zuhur atau Ashar.

I’anah Ath-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fathul Mu’in karya Al-Bakri Ad-Dimyathi (Jilid 1, hlm. 31)

Pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami:
“Yang tampak jelas adalah bahwa seseorang yang memiliki shalat terlewat tanpa uzur wajib menyisihkan seluruh waktunya untuk mengqadha, kecuali waktu yang diperlukan untuk hal-hal yang sangat penting. Selain itu, ia diharamkan melaksanakan shalat sunnah.”

Penjelasan tambahan:
Ia dianjurkan untuk segera mengqadha (secara sunnah) jika shalat tersebut terlewat karena uzur seperti tidur yang tidak disengaja atau kelupaan yang tidak disengaja.

Keterangan lebih lanjut:

1. “Yang tampak jelas adalah…” merujuk pada seseorang yang meninggalkan shalat tanpa uzur.

2. “Kecuali waktu yang diperlukan untuk hal-hal yang sangat penting,” seperti tidur, memenuhi nafkah orang yang menjadi tanggungannya, atau melaksanakan kewajiban lain yang waktunya sangat sempit dan dikhawatirkan akan terlewat.

3. “Diharamkan melaksanakan shalat sunnah,” jika ia dalam kondisi sehat, berbeda dengan pendapat Az-Zarkasyi. Wallahu a’lam bish-shawab.

Kategori
Hukum

Hukum Konsumsi Balut (Telur Embrio) dalam Perspektif Islam

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Deskripsi Masalah

Bismillahirrahmanirrahim.
Fenomena konsumsi balut sebagai makanan khas Filipina kini menjadi tren, bahkan di kalangan masyarakat Indonesia, terutama melalui konten mukbang di media sosial. Balut adalah telur itik atau ayam yang dieramkan hingga janinnya terbentuk hampir sempurna. Tiga hari sebelum menetas, telur ini direbus hingga matang, lalu isinya dikonsumsi, termasuk janin unggas di dalamnya.

Pertanyaan

Lantas, bagaimana hukum mengonsumsi makanan semacam ini dalam perspektif Islam?

Waalaikumsalam salam
Jawaban

Pernyataan bahwa janin unggas dalam balut adalah “buatan” tidak mengubah hukum kehalalannya. Dalam Islam, penentuan hukum makanan tidak hanya berdasarkan proses pembuatannya tetapi juga kondisi zatnya dan cara matinya. Berikut penjelasan dalam kitab Nihayah az-Zain dan Syarh Fath al-Jawad:

1. Konsep Hewan Buatan dalam Syariat

Dalam Islam, telur hewan halal (seperti itik atau ayam) tetap dihukumi suci, selama tidak tercampur najis. Jika di dalam telur terdapat embrio, maka hukum konsumsinya bergantung pada tahap perkembangan embrio tersebut:

Jika embrio belum sempurna (masih berupa mudghah atau segumpal daging), maka hukumnya tetap halal dimakan.

Jika embrio sudah sempurna tetapi belum ditiupkan ruh, maka embrio tersebut juga tetap halal dimakan, sesuai dengan penjelasan dalam Nihayah az-Zain dan Syarh Fath al-Jawad.

Namun, jika embrio telah mencapai tahap sempurna dan ruh telah ditiupkan, maka hukumnya berubah. Jika mati tanpa disembelih, statusnya menjadi bangkai, sehingga haram dimakan.

2. Status Hewan yang Mati Tanpa Disembelih

Al-Qur’an telah menjelaskan hukum bangkai dalam QS. Al-Ma’idah: 3:

“حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ…” (المائدة: 3).

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah…”

Menurut referensi dalam Nihayah az-Zain (Juz 1, Hal. 39):

Jika telur dipecahkan dan terdapat embrio yang belum sempurna atau belum memiliki ruh, maka embrio tersebut halal dikonsumsi.

Namun, jika embrio telah sempurna dan mati tanpa penyembelihan, maka ia dianggap bangkai.

Ini sesuai dengan kaidah syar’i bahwa hewan yang mati tanpa disembelih dihukumi haram, kecuali dalam kondisi darurat.

3. Fatwa Ulama tentang Telur yang Mengandung Embrio

Berikut penjelasan berdasarkan referensi:

Nihayah az-Zain:

Jika di dalam telur terdapat embrio yang belum sempurna bentuknya (seperti segumpal daging), maka hukumnya halal dimakan. Jika embrio telah sempurna tetapi belum ditiupkan ruh, tetap halal dimakan. Namun, jika ruh telah ditiupkan dan embrio mati tanpa disembelih, maka hukumnya haram karena termasuk bangkai.

Syarh Fath al-Jawad:

Jika embrio telah mencapai tahap sempurna dan menunjukkan tanda kehidupan seperti darah mengalir atau gerakan, maka statusnya adalah makhluk hidup yang memerlukan penyembelihan syar’i. Jika mati tanpa disembelih, hukumnya haram dikonsumsi.

4. Konteks Balut dalam Pandangan Fiqih

Berdasarkan penjelasan di atas, hukum balut tergantung pada tahapan perkembangan embrio di dalam telur:

1. Jika embrio belum sempurna atau belum memiliki tanda kehidupan (seperti darah mengalir atau gerakan), maka telur tersebut halal dikonsumsi.

2. Jika embrio telah sempurna tetapi belum ditiupkan ruh, maka statusnya tetap halal.

3. Jika embrio telah sempurna dan ruh telah ditiupkan, maka hukum berubah menjadi haram jika embrio mati tanpa penyembelihan yang sesuai syariat.

5. Kesimpulan

Berdasarkan referensi dalam Nihayah az-Zain dan Syarh Fath al-Jawad:

Jika balut mengandung embrio yang belum sempurna atau belum ditiupkan ruh, maka tetap halal.

Namun, jika embrio sudah mencapai tahap sempurna dan mati tanpa disembelih, maka hukumnya menjadi haram karena dianggap bangkai.

Penjelasan ini tidak bertentangan dengan keterangan kitab, melainkan memperjelas bahwa tahap perkembangan embrio menjadi faktor utama dalam menentukan kehalalan atau keharaman makanan tersebut.Walllahu a’lam

Referensi:

نهاية الزين ج: ١ ص: ٣٩
ويجوز أكل قشر البيض ولو من مأكول وإذا لم تفسد البيضة لكن اختلط بياضها بصفارها وأنتنت فهي طاهرة يحل أكلها سواء كان ذلك بلا سبب أو بسبب حضن دجاجة لها أو وضعها في مكان وإرسال الدخان عليها ليخرج الفرخ عنها كقطعة لحم أنتنت ودادت فإنه يحل أكلها على الصحيح ولو مع الدود الذي تولد منها ما لم تضر ولو كسرت بيضة حيوان مأكول ووجد في جوفها فرخ لم يكمل خلقه أو كمل خلقه لكن قبل نفخ الروح فيه جاز أكله بخلاف ما إذا كان بعد نفخ الروح وزالت حياته بغير ذكاة شرعية فإنه يكون ميتة وأما إذا كانت البيضة من مأكول ووجد في جوفها حيوان كامل كامل مأكول ولو صلقت البيضة بالماء المتنجس تنجس ظاهرها فقط دون بياضها وصفارها

 شرح فتح الجواد ص: ٧١-٧٢

ولو انقلبت البيضة دما كلا او بعضا وكان غير المنقلب مائعا حرم اكلها حيث لم تصلجح للتخلق لنجاسة الدم وتنجيسه لغير المنقلب المائع ويعلم ذلك بقول اهل الخبرة كما قال م ر في شرح العباب اما القشر وغير المنقلب من احشو اذا كان جامدا فيجوز اكلهما بعد تظهيرهما ولو مذرت بان احتلط بياضها بصفرتها او أنتنت فالاصح حل اكلها لان مجرد الاحتلاط وتغير الرائحة لا يفيد تنجيسا ولا تحريما ولا فرق في ذلك كما قال الطبلاوي على التبيان بين كون الاحتلاط وتغير الرائحة بلا سبب او بسبب حضن الدجاجة لها او وضعها في محل او ارسال الدخان عليها ليجيئ منها الفرخ ففسدت بسبب ذلك كقطعة لحم انتنت ودودت فانه يحل اكلها على الصحيح مع الكراهة مفردة ومع الدود الذي تولد منها قبل انفصاله عنها بخلاف دودها المنفرد عنها والذي طرأ عليها من غيرها وعاد اليها بعد انفصاله عنها فانه حينئذ لا يحل ولو كسرت بيضة طائر مأكول ووجد داخل جوفها فرح لم يكمل خلقه كأن صار قطعة لحم كالمضغة او كمل خلقه لكن كسرت عنه البيضة وخرج قبل نفخ الروح فيه جاز اكله لانه طاهر غير مستقذر كما قالوا بذلك في مضغة خرجت من حيوان مأكول من انها طاهرة وانها تحل بالذكاة لأمها بل الفرخ اولى بالطهارة من المضغة لانه مستحيل من طاهر بلا خلاف بخلاف المضغة فانها مستحيلة عن المني وفيه قول بالتنجيس اما اذا كانت بيضة غير مأكول فلا يحل لك اكل ما في جوفها من الفرخ لانه حيوان غير مأكول اهـ
Terjemah

1. Nihayah az-Zain Juz 1 Halaman 39:

Diperbolehkan memakan kulit telur, meskipun dari telur hewan yang halal dimakan, selama tidak merusak telur tersebut. Jika putih telur bercampur dengan kuningnya dan membusuk, maka tetap suci dan boleh dimakan, baik disebabkan oleh sesuatu maupun tidak, seperti karena dierami oleh ayam, diletakkan di suatu tempat, atau diasapi agar anak ayam keluar darinya. Hal ini seperti sepotong daging yang membusuk dan berulat, tetap boleh dimakan menurut pendapat yang shahih, baik bersama ulat yang tumbuh darinya selama tidak membahayakan.

Jika telur hewan halal dimakan dipecahkan dan di dalamnya terdapat embrio anak ayam yang belum sempurna bentuknya, atau sudah sempurna tetapi belum ditiupkan ruh, maka boleh dimakan. Namun, jika ruh telah ditiupkan dan ia mati tanpa disembelih secara syar’i, maka dianggap bangkai.

Adapun jika telur berasal dari hewan halal dimakan, kemudian ditemukan di dalamnya hewan utuh yang juga halal dimakan, maka boleh dimakan, bahkan jika telur tersebut direbus dengan air najis, hanya bagian luarnya saja yang terkena najis, sedangkan putih dan kuning telurnya tetap suci.

2. Syarh Fath al-Jawad Halaman 71-72:

Jika telur berubah menjadi darah seluruhnya atau sebagian, dan bagian yang tidak berubah masih cair, maka haram dimakan karena darah itu najis dan menajiskan bagian cair yang tidak berubah. Hal ini dapat diketahui melalui keterangan para ahli. Namun, kulit telur dan bagian yang tidak berubah jika berupa zat padat, boleh dimakan setelah disucikan.

Jika telur membusuk dan putihnya bercampur dengan kuningnya, pendapat yang lebih shahih menyatakan tetap boleh dimakan, karena campuran tersebut dan perubahan bau tidak menyebabkan kenajisan atau keharaman. Tidak ada perbedaan, baik pembusukan tersebut terjadi tanpa sebab atau karena dierami ayam, diletakkan di tempat tertentu, atau diasapi untuk menghasilkan anak ayam darinya. Ini seperti daging yang membusuk dan berulat, tetap boleh dimakan menurut pendapat yang shahih, meskipun makruh, baik bersama ulat yang tumbuh darinya selama belum terpisah.

Namun, ulat yang terpisah dari telur dan kembali kepadanya, atau berasal dari luar, tidak boleh dimakan. Jika telur hewan halal dimakan dipecahkan dan di dalamnya terdapat embrio ayam yang belum sempurna bentuknya, seperti potongan daging menyerupai mudghah (segumpal daging), atau telah sempurna bentuknya tetapi belum ditiupkan ruh, maka boleh dimakan karena suci dan tidak menjijikkan.

Berbeda halnya jika telur berasal dari hewan yang tidak halal dimakan, maka hewan utuh di dalamnya juga tidak boleh dimakan karena termasuk hewan yang haram dimakan. Wallahu a’lam

Kategori
Hukum

Shalat di Atas Kursi

SHALAT DIATAS KURSI BAGI ORANG YANG SAKIT

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:
Ketika saya ke Bali saya mendengar adzan dimasjid lalu saya shalat berjamaah. Ketika shalat ternyata ada orang sholat diatas kursi dan dia tidak sujud sebagaimana orang didepan saya, dan saya menyangka orang tersebut struke, namun dia hanya menundukkan punggungnya saat dia sujud , ( artinya dia tidak meletakkan anggota sujud ke tempat sujud, namun hanya membungkukkan badannya dengan posisi lebih rendah daripada rukuknya.)

Pertanyaan:

Bolehkah melakukan shalat sebagaimana deskripsi di atas?

Wa’alaikumsalam salam.
Jawaban .
Orang yang sakit dan tidak bisa untuk sujud sebagaimana biasanya boleh melakukan shalat diatas kursi walaupun ketika sujud dengan membungkukkan punggungnya ( kepala tidak menyentuh tempat sujud) hukum shalatnya sah.Alasannya karena ada udzur atau masyarakat yang berat disebabkan sakit

(١/٢٨٠ الشرقاوي)
من يقدر عليها أي الركوع والسجود لو وقع فصلى قاعدا ويُتمهما لا قائما ويؤمن بهما . باب كيفية وحكم صلاة المعذور الآتي بيانه. يُصلى المريض كيف أمكنه ولو مؤميا للضرورة ولا يعيد ما صلى لعومم عذره ولا ينقص ثوابه عن ثوابه لو صلى متيما للأركان لأنه معذور ولخبر البخاري إذا مرض العبد أو سافر كتب له ما كان يعمل صحيحا مقيما” والمعتبر في المرض المشقة الظاهرة أو خوف زيادة مرض أو نحوه.

Referensi
(1/280 Al-Syairkawi)
“Barangsiapa yang mampu melakukannya, yaitu rukuk dan sujud, jika ia jatuh maka ia shalat dalam keadaan duduk dan menyempurnakannya, tidak berdiri, dan ia beriman padanya. Bab mengenai cara dan hukum shalat orang yang berhalangan, berikut penjelasannya. Orang sakit shalat sesuai dengan kemampuannya, meskipun dengan isyarat jika terpaksa, dan ia tidak mengulangi shalat yang telah dilakukannya karena alasan sakitnya bersifat umum, dan pahalanya tidak berkurang dari pahala jika ia shalat sempurna untuk rukun-rukun shalat, karena ia berhalangan dan berdasarkan hadits Bukhari: ‘Jika seorang hamba sakit atau bepergian, maka dituliskan untuknya apa yang biasa ia kerjakan dalam keadaan sehat dan menetap.’ Dan yang dipertimbangkan dalam sakit adalah kesulitan yang tampak atau khawatir akan bertambah sakit atau semisalnya.”
Penjelasan Singkat:
Teks di atas membahas tentang hukum shalat bagi orang yang sakit atau memiliki keterbatasan fisik sehingga tidak mampu melakukan shalat secara sempurna seperti orang sehat. Islam memberikan keringanan bagi orang-orang tersebut dengan memperbolehkan mereka untuk shalat sesuai dengan kemampuan mereka.
Poin-poin penting:
* Orang sakit: Diperbolehkan shalat dalam keadaan duduk jika tidak mampu berdiri.
* Isyarat: Jika tidak mampu melakukan gerakan rukuk dan sujud, boleh digantikan dengan isyarat.
* Tidak perlu mengulang: Shalat yang telah dilakukan tidak perlu diulang karena alasan sakit.
* Pahala: Pahala shalat orang sakit sama dengan orang sehat yang melakukan shalat sempurna.
* Kriteria sakit: Yang dimaksud sakit di sini adalah sakit yang menyebabkan kesulitan dalam melakukan shalat atau dikhawatirkan akan bertambah parah jika dipaksakan.

Kategori
Hukum

Shalat Tahajud sebelum Tidur

 

Deskripsi Masalah:
Sebagaimana yang kita maklumi Keamanan pondok lazimnya, tidak tidur semalam demi untuk menjaga ketentraman santri berjaga di pos kamling. Dari sini, timbul seorang Mahmud katakanlah Nama samaranya sebelum Subuh ingin shalat Tahajud, tetapi ia belum tidur malam karena bejaga-jaga .

Pertanyaan:

1. Bolehkah shalat Tahajud dilakukan sebelum tidur?

Mohon jawabannya

Waalaikumsalam salam
Jawaban
Sholat tahajjud tidak boleh dilakukan sebelum tidur.( Ini adalah pendapat mayoritas ulama) Alasannya karena tahajjud sendiri mempunyai makna sholat yang dilakukan setelah tidur, dan sebagian mengatakan sholat malam. Namun tidak semua sholat malam dinamakan tahajjud jika tidak didahului tidur sebelumnya dan tidak diniatkan tahajud.
Jika terpaksa melakukan sholat tahajjud sebelum tidur apapun itu tetap tidak dinamakan sholat tahajjud, seperti witir sebelum tidur, maka tetap dinamakan witir meskipun berupa witir”) yakni, jika ia tidak melaksanakannya setelah tidur, tetapi melaksanakannya sebelum tidur, maka itu hanya dihitung sebagai witir dan bukan sebagai tahajud. Maka tidak setiap witir itu tahajud, tetapi setiap tahajud mencakup witir.
Walaupun ada yang mengatakan shalat tahjjud bisa dilakukan tanpa tidur seperti apa yang dikatakan oleh Imam Addasuki , namun pendapat ini adalah lemah.
Sebagaimana dikatakan

لايقال قيل الا ضعيف

Tidaklah diucapkan sebuah Qiil kecuali pendapat ini adalah lemah.Oleh karena itu mayoritas ulama berpendapat shalat tahajjud dapat dilakukan setelah tidur dan bukan sebelum tidur karena jika dilakukan sebelum tidur tidak sesuai dengan definisi tahajjud baik secara bahasa maupun istilah . Wallahu a’lam

حاشية البيجريمي على الخطيب ٣ ج ٤٦٠
(والنوافل المؤكدة) بعد الرواتب (ثلاثة الأول: صلاة الليل) وهو التهجد ولو عبر به لكان أولى لموافقته صلى الله عليه وسلم ولقوله تعالى {ومن الليل فتهجد به نافلة لك} وقوله تعالى {كانوا قليلاً من الليل ما يهجعون} وهو لغة رفع النوم واصطلاحاً صلاة التطوع في الليل بعد النوم كما قاله القاضي حسين. سمي بذلك لما فيه من ترك النوم، ويسمى المتهجد القائم، وهي القيام قبل الزوال بخلاف السحر للصائم لقوله صلى الله عليه وسلم: {استعينوا بالقيلولة على قيام الليل} رواه أبو داود.

المجموع شرح ٤٣/٤)
قال العلماء التهجد أصله الصلاة في الليل بعد النوم وقوله تعالى كانوا قليلاً من الليل ما يهجعون قال المفسرون وأهل اللغة الهجوع النوم في الليل واختلفوا في معنى الآية فقيل إن ما صلة والمعنى كانوا يهجعون قليلاً من الليل ويصلون أكثره وقيل معناه كان الليل الذي ينامونه قليلاً قبل الوقف قليلاً أي كانوا قليلاً من الناس ثم يبدؤون من الليل ما يهجعون أي لا ينامون شيئاً بعد ضعف هذا القول والإسحار جمع سحر والسحر الآخر ما قبل طلوع الفجر.

قال ابن زيد السحر السدس الأخير من الليل وقالوا في تفسيره كان جزءاً من الليل يقظة وجزءاً هجعة لسان العرب حكاهما ابن السكيت وغيره.

Hasyiyah al-Bujairimi atas al-Khatib (hal. 460, jilid 3)
“Shalat sunnah yang dianjurkan setelah shalat rawatib ada tiga. Yang pertama adalah shalat malam (qiyamullail), yaitu tahajjud. Jika istilah ‘tahajjud’ digunakan, itu lebih utama karena sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW dan firman Allah SWT: ‘Dan dari sebagian malam bertahajjudlah dengannya sebagai tambahan ibadah bagimu’ (QS. Al-Isra: 79). Dan firman Allah: ‘Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam’ (QS. Adz-Dzariyat: 17). Kata ‘yahja’uun’ secara bahasa berarti ‘mengangkat tidur’. Secara istilah, tahajjud adalah shalat sunnah malam yang dilakukan setelah tidur, sebagaimana dikatakan oleh Qadhi Husain. Dinamakan demikian karena meninggalkan tidur. Pelaku tahajjud disebut ‘qa’im’. Tahajjud dilakukan sebelum waktu sahur, berbeda dengan waktu sahur bagi orang yang berpuasa, berdasarkan sabda Nabi SAW: ‘Bersiaplah untuk bangun malam dengan tidur sejenak di siang hari (qailulah)’ (HR. Abu Dawud).”

Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (jilid 4, halaman 43)
Para ulama menjelaskan bahwa tahajjud pada dasarnya adalah shalat malam setelah tidur. Mengenai firman Allah SWT: ‘Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam’ (QS. Adz-Dzariyat: 17), para mufassir dan ahli bahasa menjelaskan bahwa ‘yahja’uun’ berarti tidur di malam hari. Mereka berbeda pendapat tentang makna ayat tersebut. Ada yang mengatakan bahwa kata ‘maa’ adalah tambahan, sehingga maknanya: ‘Mereka tidur sebentar di malam hari dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk shalat.’ Pendapat lain mengatakan maknanya adalah: ‘Sebagian kecil dari malam yang mereka habiskan untuk tidur.’ Oleh karena itu mayoritas ulama berpendapat tahajjud setelah tidur bukan sebelum tidur.

Ibnu Zaid menambahkan bahwa ‘waktu sahur’ adalah seperenam terakhir malam sebelum fajar, sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa malam dibagi menjadi dua bagian: waktu terjaga dan waktu tidur.

إعانة الطالبين ج١ص ٢٥٢

(قوله ثم إن فعل إلخ) أي ثم إن أخره وفعله بعد النوم حصل له بالوتر سنة التهجد لما مر من أن التهجد هو الصلاة بعد النوم (قوله وإن كان وترا) أي وإن لم يفعله بعد النوم بل فعله قبله كان وترا لا تهجدا فليس كل وتر تهجدا عكسه فيجمعان في صلاة بعد النوم بينة الوتر وينفرد الوتر بصلاة قبل النوم والتهجد بصلاة بعده من غير نية الوتر

(Perkataannya “kemudian jika ia melakukannya dan seterusnya”) yakni, kemudian jika ia menunda (shalatnya) dan melaksanakannya setelah tidur, maka ia mendapatkan sunnah tahajud dengan witir tersebut, sebagaimana telah dijelaskan bahwa tahajud adalah shalat yang dilakukan setelah tidur. (Pernyataannya “meskipun berupa witir”) yakni, jika ia tidak melaksanakannya setelah tidur, tetapi melaksanakannya sebelum tidur, maka itu hanya dihitung sebagai witir dan bukan sebagai tahajud. Maka tidak setiap witir itu tahajud, tetapi setiap tahajud mencakup witir. Keduanya dapat digabungkan dalam satu shalat setelah tidur dengan niat witir, sementara witir berdiri sendiri jika dilakukan sebelum tidur, dan tahajud berdiri sendiri jika dilakukan setelah tidur tanpa niat witir.

الموسوعة الفقهية الكويتية ٣٤/‏١١٨
وَأَمَّا فِي الاِصْطِلاَحِ: فَقَدْ ذَكَرَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ: أَنَّ التَّهَجُّدَ فِي الاِصْطِلاَحِ هُوَ صَلاَةُ التَّطَوُّعِ فِي اللَّيْل بَعْدَ النَّوْمِ، وَيُؤَيِّدُهُ مَا رُوِيَ مِنْ حَدِيثِ الْحَجَّاجِ بْنِ عَمْرٍو قَال: يَحْسِبُ أَحَدُكُمْ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْل يُصَلِّي حَتَّى يُصْبِحَ أَنَّهُ قَدْ تَهَجَّدَ، إِنَّمَا التَّهَجُّدُ: الْمَرْءُ يُصَلِّي الصَّلاَةَ بَعْدَ رَقْدَةٍ (١)، `وَقِيل: إِنَّهُ يُطْلَقُ عَلَى صَلاَةِ اللَّيْل مُطْلَقًا (٢) .`
___________
(١) ومغني المحتاج ١ / ٢٢٨.
(٢) حاشية الدسوقي ٢ / ٢١١.

الفقه واصوله ص٣٣٣
س : ۳۸۳- هل التهجد هو الصلاة بالليل بعد النوم؟
ج : ۳۸۳- والتهجد في اللغة: القيام بعد نوم، وفي عرف الشرع صلاة الليل مطلقا، `فالمصلى بالليل متهجد شرعا ولو لم ينم قبل الصلاة.`

Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah 34/118
Dalam istilah syariat: Qadhi Husain dari mazhab Syafi’iyah menyebutkan bahwa tahajjud secara istilah adalah salat sunnah di malam hari setelah tidur. Pendapat ini didukung oleh hadis yang diriwayatkan dari Al-Hajjaj bin Amr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
“Apakah salah seorang dari kalian mengira bahwa jika ia berdiri (salat) sepanjang malam hingga pagi, maka ia telah bertahajjud? Sesungguhnya tahajjud itu adalah seseorang yang melaksanakan salat setelah tidur.” (1)
Pendapat lain mengatakan bahwa istilah tahajjud mencakup seluruh salat malam secara umum. (2)

Catatan kaki:
(1) Mughni Al-Muhtaj, 1/228.
(2) Hashiyah Ad-Dusuqi, 2/211.

Al-Fiqh wa Ushuluhu, hal. 333
Soal 383: Apakah tahajjud adalah salat malam setelah tidur?
Jawaban 383: Tahajjud secara bahasa berarti bangun setelah tidur, sedangkan dalam pengertian syariat, tahajjud mencakup seluruh salat malam secara umum.
Maka, siapa pun yang salat malam, ia disebut telah bertahajjud secara syariat, meskipun ia belum tidur sebelum salat.

CATATAN:

Jika ada ungkapan kata “قيل” (dikatakan) adalah:

a. Menunjukkan adanya khilaf (perbedaan pendapat) pada wajah-wajah ashhab.

b. Menunjukkan pendapat yang lemah.

لايقال قيل إلا ضعيف

“Tidak dikatakan suatu perkatan “قيل” terkecuali lemah.

التقريرات السديدة ٢٨٧-٢٨٨

صلاة الليل ، أي : التَّهجد، وهُو الصّلاةُ بعد النوْمِ وصلاةِ العِشاء .
أفضَلُ وقُتِهِ : إِنْ قَسمَهُ نِصْفَيْنِ فِنِصْفُه الأخير، وإن قَسمَهُ أثلاثاً فثلثه
الأوسط، وإن قسمهُ اسْداساً فسدُسُهُ الرابع والخامس، وهو الأفضل مطلقاً (٤) .
فضله : قال تعالى: ﴿ وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ
الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا وَالَّذِينَ يَبِيتُونَ لِرَبِّهِمْ سُجَّدًا وَقِيمًا (٥) وقال
وانده هانی
(۱) لشبهها بالفرض في طلب الجماعة فيها فلا تغير عما ورد.
(۲) وصورته أن ينوي عشر ركعات ثم أراد أن ينقص فيجوز بشرط أن ينوي قبل أن
يشرع في النقصان ، أي : قبل النهوض من السجود وكذلك لو أراد الزيادة .
(۳) وكذلك يندب قضاء نفل مطلقٍ قَطَعَه ، وقضاء ما فاته من ورد لئلا يميله إلى التهاون .
(٤) لحديث الشيخين : أحب الصلاة إلى الله صلاة داود كان ينام نصف الليل ويقوم
ثلثه ، وينام سدسه) .
(۵) سورة الفرقان :

أيضاً : أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ ﴾ دورة في الليل ) ، وعليكم بقيام الليل فإنه دأب الصالحين قبلكم ومقربة إلى ربِّكُمْ، وَمَكْفَرَةٌ للستان ومَطْرَدَةٌ للدَاءِ عن الجسد (۳) .
سنن قيام الليل: أن يمسح وجهه إذا استيقظ، وأن ينظر إلى السماء ويقرأ الآيات من آخِرِ سُورةِ آلِ عمران (۱) ، وأن يفتتح التهجد بركعتين خفيفتين، والإكثار من الدعاء والاستغفار (٥) .
مكروهات قيام الليل : تخصيص ليلة الجمعة بقيام، وقيام الليل كله دائماً، وتَرْكُ تهجد اعتاده .
(1) سورة الزمر : … ٩.
(٢) أخرجه مسلم صحيحه (۲) : ۸۲۱) برقم (۱۱۶۳) من حديث أبي هريرة رضي الله عنه.
(۳) أخرجه الترمذي في جامعه (٣٥٤٩) وقال: حديث غريب، وأخرجه الطبراني في المعجم الأوسط (٢٥٩:٤ برقم (٣٢٧٧).
(٤) وهي قوله تعالى : ( إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ رَبَّنَا إِنَّكَ مَن تُدْخِلِ النَّارَ فَقَدْ أَخْزَيْتَهُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدتَّنَا عَلَىٰ رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ فَاسْتَجَابَ لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِّنكُم مِّن ذَكَرٍ أَوْ أُنثَىٰ ) [ سورة آل عمران : ۱۹۰-١٩٥]، والأفضل إلى آخر السورة.
(٥) وللإعانة على قيام الليل أسباب أهمها : نوم القيلولة، وترك المعصية، وترك كثرة الأكل، وترك الأعمال الشاقة.

Shalat Malam (Qiyamul Lail)

Shalat malam, yaitu tahajjud, adalah shalat yang dilakukan setelah tidur dan setelah shalat Isya.

Waktu yang paling utama:
Jika dibagi menjadi dua bagian, maka setengah bagian terakhir lebih utama. Jika dibagi menjadi tiga bagian, maka sepertiga bagian tengah lebih utama. Jika dibagi menjadi enam bagian, maka bagian keempat dan kelima adalah yang paling utama secara mutlak(4).

Keutamaannya:
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih itu adalah orang-orang yang berjalan di bumi dengan rendah hati, dan apabila orang-orang bodoh menyapa mereka, mereka mengucapkan (kata-kata) yang baik. Dan orang-orang yang menghabiskan malam mereka dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka.” (QS. Al-Furqan: 63-64)

Juga dalam firman-Nya:
“Apakah (orang yang taat itu sama dengan orang yang durhaka)? Orang yang beribadah di waktu malam dengan sujud dan berdiri, takut akan (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: ‘Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya hanya orang-orang yang berakal sehat yang dapat mengambil pelajaran.” (QS. Az-Zumar: 9)

Diriwayatkan dari Nabi ﷺ:
“Laksanakanlah qiyamul lail, karena itu adalah kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian, mendekatkan kalian kepada Tuhan kalian, menghapus dosa-dosa, dan mengusir penyakit dari tubuh.”(3)

Sunnah dalam Qiyamul Lail:

Mengusap wajah ketika bangun. Melihat ke langit dan membaca ayat-ayat terakhir dari Surah Ali Imran(1). Memulai tahajjud dengan dua rakaat ringan. Memperbanyak doa dan istighfar(5).

Hal-hal yang dimakruhkan dalam Qiyamul Lail:

Mengkhususkan malam Jumat untuk qiyamul lail. Melaksanakan qiyamul lail sepanjang malam terus-menerus. Meninggalkan tahajjud yang telah menjadi kebiasaan.

Dalil-dalil tambahan:
(1) QS. Az-Zumar: 9.
(2) Hadis riwayat Muslim dalam Shahih-nya (2:821), hadis no. 1163, dari Abu Hurairah r.a.
(3) Hadis riwayat At-Tirmidzi dalam Jami’-nya (3549), ia mengatakan: hadis ini gharib. Juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath (4:259, hadis no. 3277).
(4) Yakni firman Allah: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia; Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari azab neraka…'” (QS. Ali Imran: 190-195). Yang paling utama adalah membacanya hingga akhir surah.
(5) Faktor yang membantu dalam qiyamul lail adalah tidur siang (qailulah), menjauhi maksiat, tidak berlebihan dalam makan, dan menghindari pekerjaan yang terlalu melelahkan.

Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Hukum dan Etika Makmum Membantu Imam yang Lupa Bacaan Surat  Seteleh Fatihah dalam Shalat Berjamaah

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah/Latar Belakang

Dalam pelaksanaan shalat berjamaah, terjadi dinamika yang melibatkan imam dan makmum dalam menjaga kesempurnaan ibadah. Salah satu situasi yang sering terjadi adalah ketika imam membaca surat pendek setelah Al-Fatihah, tetapi lupa melanjutkan bacaan atau terhenti karena lupa ayat berikutnya. Dalam keadaan seperti ini, sebagian makmum spontan melanjutkan bacaan surat pendek tersebut untuk membantu imam mengingat ayat yang dilupakan.

Fenomena ini memunculkan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan hukum dan etika dalam shalat berjamaah. Mengingat bahwa shalat berjamaah memiliki aturan-aturan yang mengatur hubungan antara imam dan makmum, termasuk kewajiban makmum untuk mengikuti imam dalam rangka menjaga kekhusyukan dan tertib shalat. Oleh karena itu, situasi ini membutuhkan penjelasan dari sudut pandang fikih untuk memastikan ibadah tetap sesuai dengan syariat.

Pertanyaan

1.      Apakah shalat makmum tetap sah?

2.      Apakah tindakan makmum tersebut dibenarkan ?

Wa’alaikumsalam salam

Jawaban.

Kasus seperti ini memang sering menjadi perhatian dalam praktik shalat berjamaah. Berikut penjelasannya:

1. Apakah sah shalatnya makmum?

Shalat makmum tetap sah. Dalam kasus ini, makmum tidak bermaksud memimpin shalat atau menggantikan imam, tetapi hanya bermaksud membantu imam melanjutkan bacaan. Selama makmum mengikuti gerakan dan niat shalat berjamaah di bawah imam,dan juga diniatkan membaca Al-Qur’an maka shalatnya tetap sah.

2. Apakah tindakan makmum itu dibenarkan?

Tindakan makmum yang langsung melanjutkan bacaan imam secara umum tidak dianjurkan. Mengapa? Karena:

Kedudukan imam dalam shalat adalah pemimpin. Sebaiknya imam sendiri yang menyelesaikan bacaan, meskipun harus mengulang atau membaca surat yang mudah diingat.

Jika makmum membantu dengan melanjutkan bacaan, ini dikhawatirkan melanggar tata tertib shalat berjamaah, di mana makmum seharusnya hanya mengikuti imam tanpa mengambil alih.

Namun, ada pengecualian jika:

Imam meminta bantuan dengan diam sejenak atau memberi isyarat. Dalam hal ini, makmum boleh membantu melafalkan bacaan dengan pelan untuk mengingatkan imam.

Imam lupa dan tidak menyelesaikan bacaan, maka makmum tidak diperbolehkan melanjutkan bacaan dengan keras. Sebaiknya makmum memberikan isyarat tasbih (subhanallah) atau menyebutkan ayat pertama dari surat tersebut secara pelan untuk mengingatkan imam.

Kesimpulan:

Shalatnya makmum sah alasannya berbicara dengan ayat al-Qur’an walaupun sebenarnya tidak dianjurkan bagi makmum melanjutkan bacaan surat pendek imam. Jika ingin membantu, cukup dengan isyarat atau bacaan pelan untuk mengingatkan imam.

Adapun anjuran mengingatkan imam yang lupa adalah dengan bettasbih jika laki-laki dan bertepuk tangan bagi perempuan

Rujukan Dalil dan Pendapat Ulama

1.      Dalam shalat berjamaah, Rasulullah SAW bersabda:

إنماجعل الإمام ليؤتم به”

Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti, maka janganlah kalian menyelisihinya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ini menunjukkan bahwa makmum harus mengikuti imam, bukan mengambil alih tugasnya.

2.     Al-Qulyubi dan Umairoh

القليوبي وعميرة ١/١٨٧

“تبطل الصلاة بالنطق عمداً من غير القرآن (قوله من غير القرآن) دخل فيه المنسوخ والتلاوة والتوراة والإنجيل والأحاديث ولو قُدسية ولو قال الله أو قال النبي أو قاف أو صاد بطلت ما لم يقصد أنه من القرآن اهـ”

Kitab Hasyiyah al-Qalyubi wa Umairah (1/187):

“Shalat batal karena berbicara dengan sengaja selain (membaca) Al-Qur’an. (Ucapan) ‘selain Al-Qur’an’ mencakup (membaca) ayat yang telah dihapus (hukumnya) atau (membaca) kitab Taurat, Injil, hadis-hadis, meskipun hadis qudsi. Begitu juga jika ia mengucapkan ‘Allah berfirman’, ‘Rasulullah bersabda’, huruf-huruf seperti Qaf atau Shad, maka shalatnya batal, kecuali jika ia berniat bahwa itu bagian dari Al-Qur’an.”

Artinya Mafhum mukhalafah dari ibarat diatas jika yang diucapkan adalah ayat Al-Qur’an  maka tidaklah membatalkan shalat  .Wallahu a’lam bish-shawab

3. Hasyiah Ad-Dasuqi

(حاشية الدسوقي – (ج ٣ / ص ٢٨٢

قوله ( وكلام لإصلاحها بعد سلام ( حاصله أن الإمام إذا سلم من ركعتين مثلا فحصل كلام منه أو من المأموم أو منهما لأجل إصلاحها فلا تبطل به الصلاة ولا سجود عليه بل هو مطلوب لكن إن كان المتكلم لإصلاحها المأموم فيشترط في عدم بطلان صلاته أمران الأول أن لا يكثر الكلام فإن كثر بطلت والثاني أن يتوقف التفهيم على الكلام وإن كان الكلام لإصلاحها صادرا من الإمام فيشترط فيه زيادة على ما ذكر أمران أيضا أن يسلم معتقدا التمام وإن لا يطرأ له بعد سلامه شك في نفسه بأن لا يحصل له شك أصلا أو يحصل له من المأمومين واعلم أن الكلام لإصلاح الصلاة لا سجود فيه ولا بطلان به سواء وقع بعد السلام أو قبله كأن يسلم من اثنتين ولم يفقه بالتسبيح فكلمه بعضهم فسأل بقيتهم فصدقوه أو زاد أو جلس في غير محل الجلوس ولم يفقه بالتسبيح فكلمه بعضهم وكمن رأى في ثوب إمامه نجاسة فدنا منه وأخبره كلاما لعدم فهمه بالتسبيح وكالمستخلف بالفتح ساعة دخوله ولا علم له بما صلاه الإمام الذي استخلفه فيسألهم عن عدد ما صلى إذا لم يفقه بالإشارة إذا علمت هذا فقول الصنف بعد سلام إمامه لا مفهوم له وإنما نص على عدم السجود في الكلام بعد السلام لإصلاحها ردا على من قال إن الكلام بعد السلام لإصلاحها لا يجوز وتبطل به الصلاة وأن حديث ذي اليدين منسوخ كذا أجاب بعضهم وفيه أن الرد على من ذكر لا يكون بنفي السجود إنما يكون بإثبات الجواز بأن يقول وجاز كلام لإصلاحها بعد سلام

Hasyiah ad-Dasuqi (Juz 3, Halaman 282)

“Ucapan untuk memperbaiki (shalat) setelah salam”

Kesimpulannya adalah bahwa apabila imam mengucapkan salam dari dua rakaat, misalnya, lalu terjadi ucapan dari dirinya, makmum, atau keduanya untuk memperbaiki (shalat), maka shalat tersebut tidak batal karenanya, dan tidak ada sujud (sahwi) yang diwajibkan, bahkan hal itu disyariatkan. Namun, apabila yang berbicara untuk memperbaiki (shalat) adalah makmum, maka ada dua syarat agar shalatnya tidak batal:

1. Ucapannya tidak terlalu banyak. Jika terlalu banyak, maka shalatnya batal.

2. Penjelasan atau pemahaman (imam) tidak bisa dicapai tanpa ucapan tersebut.

Apabila ucapan untuk memperbaiki (shalat) berasal dari imam, maka ada dua syarat tambahan di samping syarat yang telah disebutkan:

1. Imam harus mengucapkan salam dengan keyakinan bahwa shalatnya telah sempurna.

2. Tidak ada keraguan yang muncul setelah salam, baik keraguan sama sekali tidak terjadi, atau keraguan itu muncul dari makmum.

Ketahuilah bahwa ucapan untuk memperbaiki shalat tidak menyebabkan kewajiban sujud (sahwi) dan tidak membatalkan shalat, baik ucapan itu terjadi setelah salam maupun sebelum salam. Misalnya, seorang imam mengucapkan salam setelah dua rakaat, tetapi tidak memahami isyarat tasbih dari makmum, kemudian makmum berbicara untuk mengingatkannya. Imam pun bertanya kepada makmum lain, dan mereka menguatkan (bahwa shalat belum sempurna). Atau imam menambah (rakaat) atau duduk di tempat yang bukan posisi duduk (yang benar), dan tidak memahami isyarat tasbih, lalu makmum berbicara untuk memperingatkannya. Begitu pula dengan kasus seseorang melihat ada najis pada pakaian imamnya, lalu ia mendekat dan mengingatkan dengan ucapan karena imam tidak memahami isyarat tasbih.

Hal serupa berlaku pada orang yang diangkat menjadi pengganti imam (mukhtalaf) saat masuk (untuk menggantikan), tetapi tidak tahu jumlah rakaat yang telah ditunaikan oleh imam sebelumnya, maka ia bertanya kepada makmum lain tentang jumlah rakaat yang telah dikerjakan, jika ia tidak memahami isyarat.

Jika kamu telah memahami ini, maka ucapan sang pengarang mengenai “setelah salam imamnya” tidak memiliki pemahaman yang berbeda. Ia hanya menyebutkan tidak ada kewajiban sujud dalam ucapan setelah salam untuk memperbaiki shalat, sebagai bantahan terhadap pendapat yang mengatakan bahwa ucapan setelah salam untuk memperbaiki shalat tidak diperbolehkan dan membatalkan shalat.

Pendapat ini menggunakan dalil bahwa hadis Dzul Yadain telah dimansukhkan. Namun, bantahan terhadap pendapat tersebut tidak dapat dilakukan hanya dengan menafikan kewajiban sujud (sahwi). Sebaliknya, harus ditegaskan kebolehan ucapan untuk memperbaiki shalat setelah salam.

4. Al-Majmu’ Syarah Muhadzzab

(المجموع شرح المهذب – (ج 4 / ص 15

(فرع) في مذاهب العلماء في كلام المصلي هو ثلاثة أقسام (أحدها) يتكلم عامدا لا لمصلحة الصلاة فتبطل صلاته بالإجماع نقل الإجماع فيه ابن المنذر وغيره لحديث معاوية بن الحكم السابق وحديث ابن مسعود وحديث جابر وحديث زيد بن أرقم وغيرها من الأحاديث التي سنذكرها إن شاء الله تعالى (الثاني) أن يتكلم لمصلحة الصلاة بأن يقوم الإمام إلى خامسة فيقول قد صليت أربعا أو نحو ذلك فمذهبنا ومذهب جمهور العلماء أنه تبطل الصلاة وقال الأوزاعي لا تبطل وهي رواية عن مالك وأحمد لحديث ذي اليدين ودليل الجمهور عموم الأحاديث الصحيحة في النهي عن الكلام ولقوله صلى الله عليه وسلم من نابه شيء في صلاته فليسبح الرجال وليصفق النساء ” ولو كان الكلام مباحا لمصلحتها لكان أسهل وأبين وحديث ذي اليدين جوابه ما سنذكره إن شاء الله تعالى

(Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz 4, Halaman 15)

(Cabang pembahasan) mengenai hukum berbicara saat shalat memiliki tiga kategori. (Pertama): Berbicara dengan sengaja tanpa ada kepentingan shalat, maka shalatnya batal berdasarkan ijma’. Kesepakatan ini telah dinukil oleh Ibnul Mundzir dan lainnya, berdasarkan hadits Mu’awiyah bin al-Hakam yang telah disebutkan sebelumnya, juga hadits Ibnu Mas’ud, hadits Jabir, hadits Zaid bin Arqam, serta hadits-hadits lainnya yang akan disebutkan, insya Allah Ta’ala. (Kedua): Berbicara untuk kepentingan shalat, seperti apabila imam berdiri untuk rakaat kelima, lalu seseorang berkata, “Engkau telah shalat empat rakaat” atau ucapan semisalnya. Menurut mazhab kami dan mayoritas ulama, hal ini membatalkan shalat. Namun, menurut al-Awza’i, shalat tidak batal. Ini juga merupakan salah satu riwayat dari Malik dan Ahmad, dengan dalil hadits Dzul Yadain. Sedangkan dalil mayoritas ulama adalah keumuman hadits-hadits shahih tentang larangan berbicara, serta sabda Nabi ﷺ, “Apabila seseorang menghadapi sesuatu dalam shalatnya, hendaklah kaum laki-laki bertasbih dan kaum perempuan bertepuk tangan.” Jika berbicara untuk kepentingan shalat itu diperbolehkan, tentu hal tersebut lebih mudah dan lebih jelas. Adapun hadits Dzul Yadain, jawabannya akan disebutkan, insya Allah Ta’ala.Wallahu a’lam bish-shawab

 

 

Kategori
Hukum

Menjaga Amal dan Menjauhi Dosa: Antara Wirid dan Perbuatan Maksiat

 

Assalamualaikum…
Saya bertanya ustadz….
sekarang kan bulan rajab penuh dengan amalan- amalan pagi sore….andaikan saya aktitf/istiqomah mengamalkan wiridan ini ustadz namun saya sering nonton film porno, apakah amalan saya selama bulan rajab tak memperoleh pahala ustadz dan apakah saya memperoleh dosa?…mohon jawaban ustadz

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Jawaban

Saudara yang dirahmati Allah, pertanyaan Anda sangat baik karena mencerminkan keinginan untuk memperbaiki diri. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.

Terkait pertanyaan diatas:

1. Amalan wirid dan pahala Amalan seperti membaca wirid, zikir, atau ibadah lainnya tetap memiliki nilai di sisi Allah, meskipun seseorang juga melakukan dosa. Namun, pahala dari amalan tersebut dapat berkurang atau bahkan tidak berdampak secara maksimal jika hati dan perilaku tidak selaras dengan ajaran Allah. Allah berfirman:

۞ وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ ابْنَيْ اٰدَمَ بِالْحَقِّۘ اِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ اَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْاٰخَرِۗ قَالَ لَاَقْتُلَنَّكَۗ قَالَ اِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللّٰهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ ۝٢٧

Bacakanlah (Nabi Muhammad) kepada mereka berita tentang dua putra Adam dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan kurban, kemudian diterima dari salah satunya (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti akan membunuhmu.” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang-orang yang bertakwa. (QS. Al-Maidah: 27)

Artinya, ayat tersebut menekankan bahwa menjaga ketakwaan—termasuk menjauhi dosa—sangat penting agar amal diterima dan bermanfaat.

2. Menonton film porno
Menonton film porno adalah dosa yang jelas dilarang dalam Islam karena melibatkan pandangan haram, merusak hati, dan memicu syahwat yang dilarang. Allah berfirman:

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوْا مِنْ اَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوْا فُرُوْجَهُمْۗ ذٰلِكَ اَزْكٰى لَهُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا يَصْنَعُوْنَ ۝٣٠

Katakanlah kepada laki-laki yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya dan memelihara kemaluannya. Demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang mereka perbuat.

(QS. An-Nur: 30)

Setiap kali seseorang melakukan dosa,maka ia memperoleh dosa kecuali bertaubat dengan sungguh-sungguh.

3. Bagaimana menyikapinya?

Istighfar dan taubat: Perbanyak istighfar dan taubat kepada Allah, serta niat kuat untuk meninggalkan perbuatan tersebut. Taubat yang diterima adalah taubat yang disertai penyesalan dan komitmen untuk tidak mengulanginya.

Konsistensi dalam kebaikan: Tetaplah istiqamah dalam wirid dan amalan baik lainnya, karena hal itu bisa menjadi wasilah untuk melemahkan hawa nafsu yang buruk.

Cari pengganti aktivitas: Hindari lingkungan, perangkat, atau situasi yang memudahkan dosa, dan sibukkan diri dengan aktivitas positif.

Ingatlah bahwa Allah Maha Pengampun dan selalu membuka pintu taubat. Jangan putus asa dari rahmat-Nya. Allah berfirman:

An-Nur · Ayat 31

وَقُلْ لِّلْمُؤْمِنٰتِ يَغْضُضْنَ مِنْ اَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوْجَهُنَّ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلٰى جُيُوْبِهِنَّۖ وَلَا يُبْدِيْنَ زِيْنَتَهُنَّ اِلَّا لِبُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اٰبَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اٰبَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤىِٕهِنَّ اَوْ اَبْنَاۤءِ بُعُوْلَتِهِنَّ اَوْ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اِخْوَانِهِنَّ اَوْ بَنِيْٓ اَخَوٰتِهِنَّ اَوْ نِسَاۤىِٕهِنَّ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُنَّ اَوِ التّٰبِعِيْنَ غَيْرِ اُولِى الْاِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ اَوِ الطِّفْلِ الَّذِيْنَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلٰى عَوْرٰتِ النِّسَاۤءِۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِاَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِيْنَ مِنْ زِيْنَتِهِنَّۗ وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ۝٣١

Katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. Hendaklah pula mereka tidak menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, ayah mereka, ayah suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, saudara-saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara laki-laki mereka, putra-putra saudara perempuan mereka, para perempuan (sesama muslim), hamba sahaya yang mereka miliki, para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Hendaklah pula mereka tidak mengentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.

(QS. An-Nur: 31)

Mengutip dalam khutbah Jum’at yang menyebutkan dua konsep utama:

١. “الحسنات يذهبن السيئات”

Artinya: Amal kebaikan dapat menghapuskan dosa-dosa. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an:

“وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ طَرَفَىِ ٱلنَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ ٱلَّيْلِ إِنَّ ٱلْحَسَنَـٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّٰكِرِينَ”

(QS. Hud: 114).
Ayat ini menjelaskan bahwa kebaikan, seperti ibadah atau amal shalih, dapat menjadi sarana untuk menghapus kesalahan yang telah dilakukan.

٢. “والسيئات يبطلن صالح الأعمال”

Artinya: Perbuatan buruk dapat membatalkan amal kebaikan. Ini merujuk pada bahaya dosa besar atau kezaliman, yang bisa menghapuskan pahala amal shalih. Isi Khotbah (Kata diatas) merujuk pada sebuah hadits yang disebutkan dalam kitab sunan Abi daud sebagaimana berikut:

سنن أبي داوود ٤٢٥٧: حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ الْبَغْدَادِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ يَعْنِي عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ عَمْرٍو حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي أَسِيدٍ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ أَوْ قَالَ الْعُشْبَ

Sunan Abu Daud 4257: Telah menceritakan kepada kami [Utsman bin Shalih Al Baghdadi] berkata: telah menceritakan kepada kami [Abu Amir] -maksudnya Abdul Malik bin Amru- berkata: telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Bilal] dari [Ibrahim bin Abu Asid] dari [Kakeknya] dari [Abu Hurairah] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jauhilah oleh kalian hasad (dengki), karena hasad dapat memakan kabaikan seperti api memakan kayu bakar atau rumput.”

Penjelasan Hadits

1. Makna Hasad
Hasad adalah perasaan iri terhadap nikmat yang dimiliki orang lain, dengan keinginan agar nikmat tersebut hilang darinya. Dalam Islam, hasad termasuk penyakit hati yang dilarang keras karena dapat menghancurkan hubungan sosial dan merusak amal ibadah seseorang.

2. Dampak Hasad
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa hasad dapat memakan kebaikan (amal shalih), sebagaimana api melahap kayu bakar atau rumput. Artinya, hasad bisa menghapus pahala dari amal ibadah seseorang, sehingga tidak tersisa apa-apa, meskipun seseorang telah melakukan banyak amal shalih.

3. Peringatan Keras
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan perumpamaan yang kuat untuk menegaskan bahaya hasad. Seperti api yang cepat menghanguskan kayu bakar, demikian pula hasad cepat menghancurkan kebaikan, begitu juga halnya perbuatan dosa lainnya.

4. Dua Pendapat dalam Perumpamaan
Dalam riwayat ini, terdapat keraguan (syak) pada perawi apakah Rasulullah menyebutkan “kayu bakar” atau “rumput.” Namun, hal ini tidak memengaruhi makna pokok dari hadits, yakni peringatan terhadap bahaya hasad.

Kesimpulan

1. Bahaya Hasad
Hasad adalah dosa besar yang dapat menghancurkan pahala amal shalih. Oleh karena itu, seorang muslim harus menjauhi penyakit hati ini.

2. Pentingnya Mengendalikan Hati
Islam sangat menekankan pengendalian hati agar terhindar dari sifat buruk seperti hasad. Sebagai gantinya, seorang muslim diajarkan untuk berdoa agar orang lain diberkahi dan turut bersyukur atas nikmat Allah.

3. Penyucian Jiwa
Untuk menghindari hasad, seorang muslim perlu memperbanyak dzikir, istighfar, dan memperbaiki niat dalam setiap amal ibadah.

Hadits ini menjadi peringatan bahwa selain menjauhi dosa yang bersifat lahiriah, seorang muslim juga wajib menjauhi dosa batin seperti hasad, yang dapat merusak hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Donor Darah dan Berbekam: Mana yang Utama dalam Islam

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah/Latar Belakang

Di tengah masyarakat, terdapat berbagai cara untuk menjaga kesehatan sekaligus berkontribusi bagi kebaikan sesama. Dua di antaranya adalah donor darah dan berbekam (atau dikenal juga dengan istilah acanduk di beberapa daerah). Donor darah merupakan tindakan medis yang bertujuan membantu orang lain yang membutuhkan transfusi darah, sedangkan berbekam adalah metode pengobatan tradisional yang disunnahkan dalam Islam untuk mengeluarkan darah kotor dari tubuh guna menjaga kesehatan.

Muncul pertanyaan dari masyarakat yaitu:
Mana lebih besar pahala dan manfaatnya di antara donor darah dan berbekam.

Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Jawaban

Pertanyaan yang sangat baik dan menarik untuk dibahas. Dalam Islam, perbuatan baik yang bermanfaat untuk orang lain sangat dianjurkan, baik itu donor darah maupun berbekam. Namun, keduanya memiliki keutamaan masing-masing yang berbeda tergantung pada niat, manfaat, dan kondisi. Berikut penjelasannya:

1. Keutamaan Donor Darah

Pahala Sedekah: Donor darah termasuk dalam bentuk sedekah karena memberikan sesuatu yang sangat berharga (darah) untuk menolong kehidupan orang lain. Allah berfirman:

مِنْ اَجْلِ ذٰلِكَۛ كَتَبْنَا عَلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اَنَّهٗ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا ۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ اَوْ فَسَادٍ فِى الْاَرْضِ فَكَاَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَمَنْ اَحْيَاهَا فَكَاَنَّمَآ اَحْيَا النَّاسَ جَمِيْعًاۗ وَلَقَدْ جَاۤءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اِنَّ كَثِيْرًا مِّنْهُمْ بَعْدَ ذٰلِكَ فِى الْاَرْضِ لَمُسْرِفُوْنَ

Oleh karena itu, Kami menetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa siapa yang membunuh seseorang bukan karena (orang yang dibunuh itu) telah membunuh orang lain atau karena telah berbuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh semua manusia. Sebaliknya, siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, dia seakan-akan telah memelihara kehidupan semua manusia. Sungguh, rasul-rasul Kami benar-benar telah datang kepada mereka dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Kemudian, sesungguhnya banyak di antara mereka setelah itu melampaui batas di bumi.(QS. Al-Maidah: 32).

Tafsir Wajiz

Tafsir Tahlili

Pembunuhan yang dilakukan Qabil ini ternyata berdampak panjang bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, kemudian Kami tetapkan suatu hukum bagi Bani Israil, dan juga bagi seluruh masyarakat manusia, bahwa barang siapa membunuh seseorang tanpa alasan yang dapat dibenarkan, dan bukan pula karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bumi, maka dengan perbuatannya itu seakan-akan dia telah membunuh semua manusia, karena telah mendorong manusia lain untuk saling membunuh. Sebaliknya, barang siapa yang siap untuk memelihara dan menyelamatkan kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan, dengan perilakunya itu, dia telah memelihara kehidupan semua manusia. Sesungguhnya, untuk menjelaskan ketetapan ini, Rasul Kami telah datang kepada mereka dengan membawa keterangan-keterangan yang jelas untuk mereka dan juga semua manusia sesudahnya. Tetapi kemudian banyak di antara manusia yang tidak memperhatikan dan melaksanakannya, sehingga mereka setelah itu bersikap melampaui batas dan melakukan kerusakan di bumi dengan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya.

Manfaat Sosial: Darah yang didonorkan dapat menyelamatkan nyawa seseorang, sehingga manfaatnya langsung dirasakan oleh banyak orang.

Niat yang Ikhlas: Jika dilakukan dengan niat mencari ridha Allah, maka donor darah bisa menjadi amal sedekah , dan Allah pasti akan membantu (membalas kebaikannya)

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda

خير الناس أنفعهم للناس

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
(HR. Ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath).
Dan beliau juga bersabda:

إن الله في عون العبد ماكان العبد فى عون أخيه

“Sesungguhnya Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya.”
(HR. Muslim, no. 2699).

2. Keutamaan Berbekam (Hijah)

Sunnah Nabi SAW: Berbekam adalah sunnah yang dianjurkan Nabi Muhammad SAW. Rasulullah bersabda:
“Kesembuhan itu terdapat dalam tiga hal: minum madu, berbekam, dan dengan besi panas (kauterisasi). Namun, aku melarang umatku menggunakan besi panas.”
(HR. Bukhari dan Muslim).

Manfaat Kesehatan: Berbekam membantu mengeluarkan darah kotor dan racun dalam tubuh sehingga dapat meningkatkan kesehatan. Ini termasuk ikhtiar menjaga kesehatan yang dianjurkan dalam Islam.

Manfaat Spiritual: Selain manfaat kesehatan, berbekam juga dianggap sebagai bentuk taat kepada sunnah Rasulullah.sebagamana keterangan berikut:

المكتبة الشاملة
كتاب شرح زاد المستقنع – عبد الكريم الخضير[عبد الكريم الخضير]
الفقه الحنبلي ص:   ١٧
يقول: ما فائدة الحجامة؟
فائدة الحجامة ما في شك أنها معروفة وملموسة تخفف النوم، وتخرج الدم الفاسد الزائد، وهي أيضاً جاء النص على أنها مفيدة، إن كان الشفاء ففي ثلاث، ومنها شرطة محجم

Kitab Syarah Zad al-Mustaqni’ – Abdul Karim al-Khudair [Abdul Karim al-Khudair]
Fiqh Hanbali, hal. 17

Seseorang bertanya: Apa manfaat hijamah (bekam)?

Manfaat hijamah tidak diragukan lagi sudah dikenal dan dirasakan. Hijamah dapat mengurangi rasa kantuk, mengeluarkan darah kotor yang berlebih, dan juga terdapat dalil yang menegaskan bahwa hijamah bermanfaat. Disebutkan dalam teks bahwa kesembuhan itu terdapat pada tiga hal, salah satunya adalah sayatan bekam (hijamah).

Referensi

المكتبة الشاملة
كتاب الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي[مجموعة من المؤلفين]

الفقه الشافعي ص٤٩

١ـ عند المداواة، لأن في التحريم حرجاً، والإسلام دين اليُسْر ورفع الحرج. قال تعالى:
{وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ} [الحرج: ٧٨]. فيُنظر إلى المواضع التي يحتاج إليها.
روى مسلم (السلام، باب: لكل داء ودواء واستحباب التداوي، رقم: ٢٢٠٦) عن جابر – رضي الله عنه -: (أن أم سلمة رضي الله عنهما استأذنت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – في الحجامة، فأمر النبي – صلى الله عليه وسلم – أبا طيبة أن يحجمها). فللرجل مداواة المرأة إذا كانت الضرورة تتطلب ذلك، ولم توجد امرأة تعالجها، وكذلك للمرأة مداواة الرجل إذا لم يوجد رجل يعالجه، ودعت الضرورة إلى ذلك، لكن لا يعالج الرجل المرأة إلا بحضرة مَحرَم، أو زوج، أ, امرأة ثقة. وإذا وجد الطبيب المسلم، لا يعدل إلى غيره.

Kitab “Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Al-Syafi’i”:

1. Ketika berobat: Karena pengharaman (melihat lawan jenis) dapat menyebabkan kesulitan, sedangkan Islam adalah agama yang mudah dan menghilangkan kesulitan. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan Dia tidak menjadikan kesulitan untukmu dalam agama” (QS. Al-Hajj: 78).

Oleh karena itu, dibolehkan melihat bagian tubuh yang dibutuhkan untuk pengobatan.

Dalam Shahih Muslim (Kitab As-Salam, Bab: “Setiap Penyakit Ada Obatnya dan Disunnahkan Berobat”, Hadis No. 2206), disebutkan dari Jabir -radhiyallahu ‘anhu-:

“Bahwa Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma meminta izin kepada Rasulullah ﷺ untuk melakukan hijamah (bekam), maka Nabi ﷺ memerintahkan Abu Thayyibah untuk membekamnya.”

Maka, laki-laki boleh mengobati perempuan jika ada kebutuhan mendesak dan tidak ditemukan perempuan yang dapat mengobatinya. Begitu juga perempuan boleh mengobati laki-laki jika tidak ditemukan laki-laki yang dapat mengobatinya dan ada kebutuhan mendesak. Namun, laki-laki tidak boleh mengobati perempuan kecuali dengan kehadiran mahram, suami, atau perempuan terpercaya.

Jika ada dokter Muslim, maka tidak boleh berpindah ke dokter non- muslim

Referensi

المكتبة الشاملة
كتاب شرح سنن أبي داود للعباد
[عبد المحسن العباد]
[الحجامة للحفظ]٤٤.ص
السؤال
هل تشرع الحجامة لأجل الحفظ؟
الجواب
حديث ابن عمر الذي فيه: (يزيد في العقل وفي الحفظ) لعله لمن احتاج إلى الاحتجام؛ لوجود الدم الفاسد فيه، وإذا أزيل الدم الفاسد فلا شك أنه فيه فائدة من ناحية صفاء الذهن، وقوة الحفظ، ولكن هذا لا يعني أن كل إنسان يحتجم من أجل أن يحفظ وهو ليس بحاجة إلى الحجامة، فالذي عافاه الله لا يحتاج إلى الحجامة ولا إلى العلاج، والحجامة هي علاج.

Kitab Syarah Sunan Abi Dawud – Al-‘Abbad
[Abdul Muhsin al-‘Abbad]
[Hijamah untuk Menguatkan Daya Ingat], hal. 44

Pertanyaan:
Apakah hijamah (bekam) disyariatkan untuk menguatkan daya ingat?

Jawaban:
Hadis dari Ibnu Umar yang menyebutkan: (Hijamah dapat meningkatkan akal dan daya ingat) barangkali berlaku bagi orang yang membutuhkan hijamah karena adanya darah kotor dalam tubuhnya. Jika darah kotor itu dihilangkan, tidak diragukan lagi hal tersebut bermanfaat dalam menjernihkan pikiran dan menguatkan daya ingat. Namun, ini tidak berarti setiap orang harus melakukan hijamah hanya untuk menguatkan daya ingat, padahal ia sebenarnya tidak memerlukannya. Orang yang telah diberikan kesehatan oleh Allah tidak memerlukan hijamah atau pengobatan. Hijamah adalah salah satu bentuk pengobatan.

Perbandingan Pahala dan Manfaat

Donor Darah memiliki pahala besar karena manfaatnya dirasakan langsung oleh orang lain yang membutuhkan. Ini juga mencerminkan kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama.

Berbekam lebih bersifat individual, fokus pada menjaga kesehatan diri sendiri, dan bernilai ibadah karena mengikuti sunnah Rasulullah SAW.

Referensi

المكتبة الشاملة
كتاب فتاوى الشبكة الإسلامية
[مجموعة من المؤلفين]
الرئيسيةأقسام الكتب الفتاوى
فصول الكتاب ج.١١
ص : ١٣٢.٨
رقم الحديث:
مسار الصفحة الحالية:
فهرس الكتاب  وصول القربات للميت ٢٣٦  حكم إهداء ثواب التبرع بالدم للميت
[حكم إهداء ثواب التبرع بالدم للميت]
[السُّؤَالُ]
ـ[توفيت جدتي رحمها الله، فلم يكن معي مال حتى أتصدق به على روحها فقمت بالتبرع بالدم على روحها، فهل هذا يعتبر صدقة أصلا، وهل تعتبر صدقة جارية؟]ـ
[الفَتْوَى]
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه أما بعد:
فقد بينا حكم التبرع بالدم وضوابطه وفضيلته في الفتوى رقم:
٥٠٩٠، والفتوى رقم: ١١٩٩٤.
ومن هذا تعلم أن التبرع بالدم بالضوابط المذكورة صدقة، ولكن ليس صدقة جارية، وقد اتفق أهل العلم على جواز إهداء ثواب الصدقة إلى الميت وأن الله ينفعه بذلك
والله أعلم.
[تَارِيخُ الْفَتْوَى]
٢١ ربيع الأول ١٤٢٣

Hukum Menghadiahkan Pahala Donor Darah untuk Orang yang Telah Meninggal

[Pertanyaan]
Nenek saya telah wafat, semoga Allah merahmatinya. Saya tidak memiliki uang untuk bersedekah atas namanya, sehingga saya mendonorkan darah atas namanya. Apakah ini dianggap sebagai sedekah, dan apakah termasuk sedekah jariyah?

[Jawaban]
Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya.

Kami telah menjelaskan hukum donor darah, ketentuannya,serta keutamaannya dalam Fatwa Nomor: 5090 dan Fatwa Nomor: 11994.

Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa donor darah yang dilakukan dengan memenuhi ketentuan yang disebutkan adalah bentuk sedekah. Namun, hal ini bukanlah sedekah jariyah. Para ulama sepakat bahwa menghadiahkan pahala sedekah kepada orang yang telah meninggal adalah diperbolehkan, dan Allah akan memberikan manfaat kepada si mayit dengan pahala tersebut.
[Tanggal Fatwa]
22 Rabiul Awal

Kesimpulan

Pahala donor darah lebih besar jika niatnya untuk menolong sesama dan mencari ridha Allah, karena manfaatnya langsung dirasakan oleh banyak orang.

Namun, berbekam juga sangat dianjurkan sebagai ikhtiar menjaga kesehatan dan menjalankan sunnah Rasulullah.

Keduanya memiliki keutamaan masing-masing, dan tidak ada yang perlu dibandingkan secara mutlak. Yang terpenting adalah niat ikhlas dan keinginan untuk berbuat baik sesuai kemampuan.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Kategori
Hukum

Perbedaan Pelafalan dalam Adzan dan Dzikir: Implikasi Hukum Islam

Latar Belakang
Dalam pelaksanaan ibadah Islam, terdapat dua permasalahan yang memerlukan klarifikasi hukum. Pertama, terkait pelafalan adzan, khususnya pada kalimat الصلاة خير من النوم, di mana beberapa orang membacakan النوم dengan cara memendekkan. Kedua, terkait dzikir dengan kalimat واعف عنا واغفر لنا, di mana huruf fa’ dan lam pada لنا dibaca panjang. Perbedaan pelafalan ini menimbulkan pertanyaan tentang validitas dan kesempurnaan ibadah.

Pertanyaan

1. Apakah membaca النوم dengan cara memendekkan atau pun memmanjangkan dalam adzan salah / berdosa ?

2. Apakah membaca واعف عنا واغفر لنا dengan huruf fa’ panjang dan لنا dengan lam panjang (لالنا) dibenarkan menurut ilmu tajwid ?

Waalaikumsalam salam

Jawaban.

Kalimat “النوم” (an-naum) pada kalimat adzan الصلاة خير من النوم  jika ditinjau dari ilmu tajwid termasuk dalam jenis bacaan Mad Lin. Mad lin atau mad layyin merupakan salah satu jenis mad dalam ilmu tajwid. Cara membacanya wajib dilafalkan dengan panjang 2, 4, atau 6 harakat. Setiap qori atau pembaca Al-Quran harus memahami bahasan mad dalam ilmu tajwid. Sebab, bacaan mad akan selalu ditemui dalam setiap surat Al-Quran. Secara bahasa, mad artinya panjang, sedangkan lin artinya lunak atau lentur.
Sebagai catatan, apabila pembaca Al-Quran sudah memutuskan untuk membaca mad lin dalam 2 harakat, pembacaan waqaf mad lin selanjutnya juga harus 2 harakat lagi secara konsisten. Demikian juga 4 harakat atau 6 harakat
Mad Lin adalah wawu mati atau ya’ mati yang terletak setelah huruf berbaris fathah. Mad layyin ini berguna pada saat bacaan berhenti, waqaf ditanda berhenti atau waqaf pada ujung ayat. Dikutip dari kitab Nihayatul Qaul al-Mufid, cara membaca mad layyin adalah dengan membaca huruf berharakat fathah lebih dulu. Kemudian, disambung dengan huruf ya atau wau sukun dengan cara dibaca panjang, kemudian dikunci menggunakan huruf hijaiyah setelahnya.
Panjang bacaan dari mad layyin boleh 2 harakat (1 alif), 4 harakat (2 alif), atau 6 harakat (3 alif), tergantung mana yang dipilih. Hukum ini tetap berlaku jika panjang bacaannya konsisten (tetap, rata, dan teratur).

Dengan kata lain Mad lin adalah  huruf mad yang mati jatuh setelah harkat fathah ,  dibaca panjang sedankangkan mim yang disukunkan pada kata tersebut ( النوم) sebagai pengunci . Hal ini dikarenakan adanya aturan dalam tajwid yang disebut “aridh Lissukun , karena waqof . Namun demikian membaca  kalimat النوم dalam adzan  sama dengan membaca hadis , di mana  yang penting  adalah makna atau lafadznya, bukan cara melafalkannya sehingga tidak berdosa karena bukan merupakan bagian dari ayat Al-Qur’an ( الصلاة خير من النوم ) Namun makruh jika yang panjang tidak dibaca panjang  dan yang pendek dibaca panjang dengan catatan tidak merubah makna  apabila merubah makna maka haram.

Adapun membaca Al-Qur’an. Setiap huruf dalam Al-Qur’an memiliki hukum bacaan yang sangat diperhatikan. Jika kita tidak mengikuti kaidah tajwid dalam membaca Al-Qur’an,  maka berdosa dan bisa jadi  berpotensi melakukan kesalahan yang dapat mengubah makna ayat. Oleh karena itu, mempelajari dan menerapkan ilmu tajwid sangat penting bagi setiap muslim.
Contoh seperti واعف عنا واغفر لنا maka huruf fa’ berharkat dhommah tidak boleh dipanjangkan begitu juga dengan huruf  lam  ( لنا) tidak boleh dibaca panjang ( menurut ilmu tajwid) adalah haram

Terkait dengan bacaan adzan, para ulama telah menetapkan hukum-hukum tertentu. Salah satunya adalah pentingnya menjaga ketepatan dalam melafalkan setiap huruf, baik dari segi makhraj (tempat keluarnya huruf) maupun sifat huruf (cara pengucapan). Hal ini bertujuan agar makna adzan tidak berubah. Jika sampai mengubah makna, maka bacaan adzan tersebut menjadi haram.

Referensi
Hadits yang berbunyi “سمى قارئ القرآن بغير تجويد فاسقا” (Barangsiapa membaca Al-Qur’an tanpa tajwid, maka dia adalah orang fasik) menunjukkan betapa pentingnya membaca Al-Qur’an dengan tajwid. Selain itu, Hasyiah Al-Syarqawi pada kitab Tahrif Tanqih Al-Lubab juga menjelaskan beberapa hal yang makruh dalam pelaksanaan adzan dan iqamat, seperti dilakukan oleh orang yang sedang hadats, bernyanyi, dan memanjangkan bacaan secara berlebihan.
.

المكتبة الشاملة  كتاب غاية المريد في علم التجويد ص٣٨

ومعرفة أحكام التجويد لها فضل كبير في مساعدة قارئ القرآن الكريم على عدم الإخلال بمباني الكلمات القرآنية ومعانيها.
وبلوغ نهاية الإتقان هو رياضة اللسان على الأداء باللفظ الصحيح الْمُتَلَقَّى عن فم المحسن المجيد للقراءة.
أما دليله من الإجماع:
فلقد أجمعت الأمة الإسلامية على وجوب تلاوة القرآن الكريم بالتجويد من زمن النبي -صلى الله عليه وآله وسلم- إلى زماننا هذا، ولم يختلف فيه منهم أحد، فلا يجوز لأي قارئ أن يقرأ القرآن بغير تجويد، وإلا كان من الذين شملهم الوعيد الشديد في قوله تعالى: {وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا} ١.
وإلى ضرورة العمل بالتجويد يشير الإمام ابن الجزري بقوله:
والأَخْذُ بالتجويدِ حَتْمٌ لازِمُ … من لم يُجَوِّدِ القُرْآنَ آثِمُ
لأنه به الإلهُ أنْزَلا … وهكذا منهُ إلينا وَصَلا
وهو أيضًا حِلْيةُ التِّلاوة … وزينةُ الأداءِ والقراءة
فقد جعله واجبًا شرعيًّا يأثم الإنسان بتركه، وبه قال أكثر العلماء والفقهاء، ذلك لأن القرآن نزل مجودًا، وقرأه الرسول -صلى الله عليه وآله وسلم- على جبريل كذلك، وأقرأه الصحابة فهو سنة نبوية٢.

Al-Kutub al-Shamilah, Tab Ghaayat al-Murīd fī ‘Ilmi al-Tajwīd
Dan mengetahui hukum-hukum tajwid memiliki keutamaan yang besar dalam membantu pembaca Al-Qur’an untuk tidak melakukan kesalahan dalam dasar-dasar kata-kata Al-Qur’an dan maknanya.
Dan mencapai kesempurnaan akhir adalah melatih lidah untuk melafalkan dengan lafaz yang benar yang diterima dari mulut orang yang mahir dan sempurna dalam membaca.
Adapun dalilnya dari ijma’ (kesepakatan ulama):
Maka sungguh seluruh umat Islam telah sepakat tentang wajibnya membaca Al-Qur’an dengan tajwid sejak zaman Nabi Muhammad SAW hingga zaman kita sekarang, dan tidak ada satupun di antara mereka yang berbeda pendapat tentang hal itu. Maka tidak halal bagi pembaca manapun untuk membaca Al-Qur’an tanpa tajwid, jika tidak maka dia termasuk orang-orang yang terkena ancaman keras dalam firman Allah SWT: “Barangsiapa yang mendurhakai Rasul setelah jelas baginya petunjuk dan ia mengikuti jalan selain jalan orang-orang yang beriman, Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah dia pilih dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahannam, dan neraka itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 115).
Dan tentang pentingnya mengamalkan tajwid, Imam Ibnul Jazari menyatakan:
“Mengambil (ilmu) tajwid adalah suatu keharusan yang mutlak. Barangsiapa yang tidak membaca Al-Qur’an dengan tajwid maka dia berdosa. Karena Allah telah menurunkannya dengan tajwid dan demikian pula sampai kepada kita. Dan ia juga merupakan perhiasan tilawah dan keindahan bacaan.”
Beliau telah menjadikan tajwid sebagai kewajiban syar’i yang jika ditinggalkan maka seseorang berdosa. Dan demikian pula pendapat sebagian besar ulama dan fuqaha. Itu karena Al-Qur’an diturunkan dengan tajwid, dan Rasulullah SAW membacakannya kepada Jibril demikian pula, dan beliau membacakannya kepada para sahabat, maka ini adalah sunnah Nabi.

المكتبة الشاملة  كتاب الحديث في علوم القرآن والحديث

[حسن أيوب] ص ٧٤-٧٥
من المهمات تجويد القرآن وقد أفرده جماعة كثيرون بالتصنيف منهم الداني وغيره، أخرج عن ابن مسعود أنه قال: جوّدوا القرآن. قال القراء: التجويد حلية القراءة، وهو إعطاء الحروف حقوقها، وترتيبها ورد الحرف إلى مخرجه وأصله وتلطيف النطق به على كمال هيئته من غير إسراف ولا تعسف ولا إفراط ولا تكلف، وإلى ذلك أشار صلّى الله عليه وسلم بقوله: «من أحب أن يقرأ القرآن غضّا كما أنزل فليقرأه على قراءة ابن أم عبد» يعني ابن مسعود، وكان رضي الله عنه قد أعطي حظّا عظيما في تجويد القرآن، ولا شك أن الأمة كما أنهم متعبدون بفهم معاني القرآن وإقامة حدوده، فهم متعبدون بتصحيح ألفاظه وإقامة حروفه على الصفة المتلقاة من أئمة القراء المتصلة بالحضرة النبوية.

وقد عدّ العلماء القراءة بغير تجويد لحنا، فقسموا اللحن إلى جليّ وخفيّ، فاللحن خلل يطرأ على الألفاظ فيخل بها، إلا أن الجلي يخل إخلالا ظاهرا يشترك في معرفته علماء القراءة وغيرهم وهو الخطأ في الإعراب، والخفي يخل إخلالا يختص بمعرفته علماء القراءة وأئمة الأداء الذين تلقوه من أفواه العلماء وضبطوه من ألفاظ أهل الأداء.

وكل منها واجب على من قدر عليه؛ لأن بهما يكون الفهم الصحيح.

قال ابن الجزري: ولا أعلم لبلوغ النهاية في التجويد مثل رياضة الألسن والتكرار على اللفظ المتلقى من فم المحسن.

وقاعدته ترجع إلى كيفية الوقف والإمالة والإدغام، وأحكام الهمزة والترقيق والتفخيم ومخارج الحروف. اه.

[كيفية تحمل القرآن الكريم]

اعلم أن حفظ القرآن فرض كفاية على الأمة، صرح به الجرجاني في «الشافي»، والعبادي وغيرهما .. قال الجويني: والمعنيّ فيه أن لا ينقطع عدد التواتر فيه، فلا يتطرق إليه التبديل والتحريف، فإن قام بذلك قوم يبلغون هذا العدد سقط عن الباقين وإلا أثم الكل.

وتعليمه- أيضا- فرض كفاية، وهو أفضل القرب، ففي الصحيح «خيركم من تعلم القرآن وعلّمه».

Pentingnya Tajwid dalam Membaca Al-Qur’an
Menjaga kualitas bacaan Al-Qur’an (tajwid) merupakan hal yang sangat penting sehingga banyak ulama yang membuat kitab khusus tentang tajwid, di antaranya adalah Al-Dani dan lainnya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda: “Perbaguslah bacaan Al-Qur’an kalian.” Para qari’ (pembaca Al-Qur’an) mengatakan, “Tajwid adalah perhiasan bagi bacaan. Tajwid berarti memberikan hak-hak setiap huruf, menempatkannya pada posisi yang benar, mengembalikan huruf pada tempat keluarnya dan asal bunyinya, serta melatih lidah untuk melafalkannya dengan sempurna tanpa berlebihan, memaksakan diri, atau berlebih-lebihan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Barangsiapa ingin membaca Al-Qur’an dengan cara yang sesuai dengan saat pertama kali diturunkan, maka hendaklah ia membacanya dengan cara bacaan Ibnu Umm Abd (Ibnu Mas’ud).’ Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memang diberi karunia yang luar biasa dalam tajwid Al-Qur’an. Tidak diragukan lagi bahwa umat Islam diwajibkan untuk memahami makna Al-Qur’an, menjalankan hukum-hukumnya, dan juga diwajibkan untuk membacanya dengan benar serta menjaga huruf-hurufnya sesuai dengan cara yang diterima dari para imam qari’ yang bersambung sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Para ulama menganggap membaca Al-Qur’an tanpa tajwid adalah kesalahan (lahn). Lahn dibagi menjadi dua: lahun yang jelas dan lahun yang tersembunyi. Lahun adalah kesalahan yang terjadi pada lafal sehingga mengubah makna. Lahun yang jelas adalah kesalahan yang terlihat jelas dan dapat dikenali oleh para ahli qiraat maupun orang awam, seperti kesalahan dalam irab. Sedangkan lahun yang tersembunyi adalah kesalahan yang hanya dapat dikenali oleh para ahli qiraat dan para imam qari’ yang mempelajarinya langsung dari para ulama dan mencatatnya dari ucapan para pembaca Al-Qur’an.
Kedua jenis lahun ini wajib dihindari oleh siapa saja yang mampu, karena dengan menghindari lahun, maka seseorang akan dapat memahami Al-Qur’an dengan benar.
Ibnu Jazari berkata, “Saya tidak mengetahui cara yang lebih baik untuk mencapai kesempurnaan dalam tajwid selain melatih lidah dan terus-menerus mengulang-ulang lafal yang didengar dari seorang guru yang mahir.”
Intinya, tajwid berkaitan dengan cara berhenti, memadankan huruf, menggabungkan huruf, hukum-hukum hamzah, meringankan dan mempertegas huruf, serta tempat keluarnya huruf.
Cara Menjaga Kelestarian Al-Qur’an
Ketahuilah bahwa menghafal Al-Qur’an adalah kewajiban fardhu kifayah bagi umat Islam. Al-Jurjani dalam kitabnya “As-Syafi” dan Al-Abbadi serta ulama lainnya telah menegaskan hal ini. Al-Juwaini berkata, “Maksudnya adalah agar jumlah para penghafal Al-Qur’an tidak pernah putus, sehingga Al-Qur’an terjaga dari perubahan dan penyimpangan. Jika sudah ada sekelompok orang yang mampu menjaga jumlah penghafal ini, maka kewajiban tersebut gugur dari orang lain. Jika tidak, maka semua umat Islam berdosa.”
Mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an juga merupakan kewajiban fardhu kifayah. Ini adalah ibadah yang paling utama. Dalam hadits sahih disebutkan, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.”

وأوجه التحمل السماع من لفظ الشيخ والقراءة عليه
أما القراءة على الشيخ فهي المستعملة سلفا وخلفا، وأما السماع من لفظ الشيخ فيحتمل أن يقال به هنا؛ لأن الصحابة رضي الله عنهم إنما أخذوا القرآن من النبي صلّى الله عليه وسلم. لكن لم يأخذ به أحد من القراءة، والمنع فيه ظاهر؛ لأن المقصود هنا كيفية الأداء، وليس كل من سمع من لفظ الشيخ يقدر على الأداء كهيئته بخلاف الحديث، فإن المقصود فيه المعنى أو اللفظ لا بالهيئات المعتبرة في أداء القرآن، وأما الصحابة فكانت فصاحتهم وطباعهم السليمة تقتضي قدرتهم على الأداء كما سمعوه من النبي صلّى الله عليه وسلم؛ لأنه نزل بلغتهم، ومما يدل للقراءة على الشيخ: عرض النبي صلّى الله عليه وسلم على جبريل في رمضان كل عام.
ويحكى أن الشيخ شمس الدين الجزري لما قدم القاهرة وازدحمت عليه الخلق، لم يتسع وقته لقراءة الجميع فكان يقرأ عليهم الآية، ثم يعيدونها عليه دفعة واحدة فلم يكتف بقراءته.
وتجوز القراءة على الشيخ ولو كان غيره يقرأ عليه في تلك الحالة بحيث لا يخفى عليه حالهم.
وقد كان الشيخ علم الدين السخاوي يقرأ عليه اثنان وثلاثة في أماكن مختلفة ويرد على كل منهم، وكذا لو كان الشيخ مشتغلا بشغل آخر كنسخ ومطالعة، وأما القراءة من الحفظ فالظاهر أنها ليست بشرط بل تكفي ولو من المصحف.
[كيفيات القراءة]
كيفيات القراءة ثلاث:
[إحداها: التحقيق وهو إعطاء كل حرف حقه، من إشباع المد]
وتحقيق الهمزة، وإتمام الحركات واعتماد الإظهار والتشديدات، وبيان الحروف وتفكيكها، وإخراج بعضها من بعض بالسكت والترتيل والتؤدة، وملاحظة الجائز من الوقوف بلا قصر للممدود ولا اختلاس للحروف ولا إسكان محرّك ولا إدغامه.
وهو يكون برياضة الألسن وتقويم الألفاظ، ويستحب الأخذ به على المتعلمين من غير أن يتجاوز فيه إلى حد الإفراط بتوليد الحروف من الحركات، وتكريم الراءات، وتحريك السواكن، وتطنين النونات بالمبالغة في الغنّات، كما قال حمزة لبعض من سمعه يبالغ في ذلك: أما علمت أن ما فوق البياض برص، وما فوق الجعودة قطط، وما فوق القراءة ليس بقراءة؟ وكذا يحترز من الفصل بين حروف الكلمة كمن يقف

Dan cara-cara memperoleh bacaan (Al-Qur’an) adalah dengan mendengarkan langsung dari seorang guru (syaikh) dan membaca di hadapannya.

Membaca Al-Qur’an di hadapan guru adalah cara yang sudah umum dilakukan oleh para pendahulu dan generasi setelahnya. Mempelajari bacaan langsung dari lisan guru juga bisa dibenarkan dalam konteks ini karena para sahabat Nabi saw. mempelajari Al-Qur’an langsung dari Nabi saw. Namun, tidak ada satu pun di antara mereka yang menjadikan cara ini sebagai suatu qiraat (cara membaca Al-Qur’an yang diakui). Larangan terhadap hal ini cukup jelas karena yang dimaksud di sini adalah cara melafalkan, dan tidak semua orang yang mendengarkan langsung dari guru mampu melafalkan dengan cara yang sama persis seperti guru. Berbeda dengan hadis, di mana yang penting adalah makna atau lafadznya, bukan cara melafalkannya yang memiliki kaidah-kaidah tertentu. Sedangkan para sahabat, kefasihan dan pemahaman bahasa Arab mereka yang sangat baik memungkinkan mereka melafalkan Al-Qur’an sebagaimana yang mereka dengar dari Nabi saw. karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa mereka.
Salah satu bukti bahwa membaca di hadapan guru adalah cara yang disunnahkan adalah kebiasaan Nabi saw. yang selalu mengulang bacaan Al-Qur’an kepada Jibril setiap bulan Ramadhan.
Ada kisah tentang Syeikh Syamsuddin al-Jaziri yang ketika datang ke Kairo dan banyak orang yang ingin belajar darinya, waktu beliau tidak mencukupi untuk mengajari mereka semua secara individual. Maka beliau membacakan satu ayat, kemudian mereka mengulanginya bersama-sama. Beliau tidak hanya puas dengan bacaannya sendiri.
Membaca di hadapan guru diperbolehkan meskipun ada orang lain yang juga sedang belajar darinya dalam waktu yang bersamaan, asalkan guru tersebut masih bisa memperhatikan semua muridnya.
Syeikh ‘Alauddin al-Sakhawi pernah mengajari dua atau tiga orang sekaligus di tempat yang berbeda dan beliau menanggapi setiap muridnya. Begitu juga jika seorang guru sedang sibuk dengan pekerjaan lain seperti menyalin atau membaca kitab, membaca di hadapannya tetap diperbolehkan.
Membaca dari hafalan bukanlah syarat mutlak, cukup membaca dari mushaf pun sudah sah.
Cara-cara Membaca Al-Qur’an
Ada tiga cara membaca Al-Qur’an:
* Tahqiq: Memberikan hak setiap huruf, seperti memanjangkan huruf mad, melafalkan hamzah dengan jelas, menyempurnakan harakat, menerapkan kaidah idgham dan izhar, membedakan huruf-huruf dengan jelas, dan memisahkan satu huruf dengan huruf lainnya dengan berhenti sejenak, merangkai kata dengan baik, dan memperhatikan tempat-tempat yang boleh berhenti tanpa memendekkan huruf mad, menghilangkan huruf, atau menghilangkan harakat pada huruf hidup.
Cara tahqiq ini diperoleh melalui latihan dan melatih lidah untuk mengucapkan kata-kata dengan benar. Cara ini dianjurkan untuk para pemula, tetapi tidak boleh berlebihan hingga menghasilkan suara yang tidak wajar seperti memanjangkan huruf ra, menggerakkan huruf sukun, atau mendengungkan huruf nun dengan berlebihan. Hamzah pernah berkata kepada seseorang yang berlebihan dalam membaca tahqiq, “Apakah kamu tidak tahu bahwa melebihi batas dalam hal putih adalah kekuningan, melebihi batas dalam duduk adalah berbaring, dan melebihi batas dalam membaca bukanlah membaca?” Begitu juga, kita harus menghindari memisahkan huruf-huruf dalam satu kata.
Semoga terjemahan ini bermanfaat. Jika ada pertanyaan atau bagian yang ingin diperjelas, jangan ragu untuk bertanya.

حاشية الشرقاوي على تحفة الطلاب بشرح تحرير تنقيح اللباب، ج ١ ص ٢٣٠*
ومكروهاتهما أى الأذان والإقامة وقوعهما من محدث `والتغني أى التطريب بهما والتمطيط أى التمديد،قوله والتغني أى الإنتقال من نغم إلى نغم آخر فالسنة أن يستمر على نغم واحد، قوله أى التمديد أى مد الحروف ولو بنغم واحد ومحل كراهته مالم يتغير به المعنى وإلا حرم.

`
Hasyiah Al-Syarqawi pada kitab Tahrif Tanqih Al-Lubab yang Anda berikan.
Terjemahan:
“Dan makruhnya keduanya, yaitu adzan dan iqamat, jika dilakukan oleh orang yang sedang hadats (junub atau najis). Dan berlagu, yaitu melantunkannya dengan suara merdu dan memanjangkan bacaan, yaitu memperpanjang bacaan.
Kata ‘berlagu artinya berpindah dari satu nada ke nada yang lain, sedangkan sunnahnya adalah tetap pada satu nada. Kata ‘memanjangkan bacaan’ artinya memperpanjang huruf-huruf, meskipun dengan satu nada. Makruhnya hal ini adalah jika tidak mengubah makna, jika mengubah makna maka menjadi haram.”
Penjelasan Singkat:
Hasyiah ini menjelaskan tentang hal-hal yang makruh (dibenci) dalam pelaksanaan adzan dan iqamat. Di antaranya:
* Dilakukan oleh orang yang sedang hadats: Orang yang sedang dalam keadaan junub atau najis tidak boleh mengumandangkan adzan dan iqamat.
* Bernyanyi: Melantunkan adzan dan iqamat dengan suara yang merdu dan berganti-ganti nada adalah makruh. Sunnahnya adalah menggunakan satu nada yang sama.
* Memanjangkan bacaan: Memperpanjang bacaan adzan dan iqamat juga makruh, kecuali jika perubahan panjang pendek bacaan itu mengubah makna dari kalimat yang dibaca. Jika sampai mengubah makna, maka menjadi haram.
Kesimpulan:
Hasyiah ini menegaskan pentingnya menjaga kesucian dan kesantunan dalam pelaksanaan adzan dan iqamat. Pelaksanaan keduanya harus  dengan sunnah dan menghindari hal-hal yang makruh.Wallahu a’lam bisshowab.

Kategori
Hukum

Hukum Penggunaan Semir dan Sampo Pewarna Rambut dalam Persefektif Fiqih

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Tren perawatan rambut, termasuk semir dan penggunaan sampo pewarna rambut, semakin berkembang di kalangan generasi milenial, baik di kalangan pria maupun wanita. Berbagai alasan mendorong fenomena ini, mulai dari keinginan untuk mengikuti tren, perubahan penampilan, hingga upaya meningkatkan rasa percaya diri dan daya tarik. Selain itu, tren ini juga diterapkan oleh sebagian orang tua yang ingin menutupi uban sebagai akibat dari penuaan.

Namun, di balik praktik ini, muncul berbagai pertanyaan yang perlu dikaji lebih lanjut dari perspektif fiqih,sebagaimana berikut:

1. Bagaimana hukum menyemir rambut bagi laki-laki, baik yang masih muda maupun yang sudah tua?

2. Bagaimana hukum mengubah warna rambut dengan menggunakan sampo khusus pewarna rambut?

Hukum Menyemir Rambut dalam Pandangan Fiqih

Waalaikum salam.
Jawaban

1. Hukum Umum Menyemir Rambut bagi Laki-laki dan Perempuan

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menyemir rambut, dengan pertimbangan jenis warna yang digunakan serta tujuan di baliknya. Perbedaan ini merujuk pada berbagai dalil dari hadis dan pendapat para sahabat serta tabi’in:

Haram: Menyemir rambut dengan warna hitam jika tujuannya untuk menipu atau menutupi usia sebenarnya, kecuali dalam kondisi tertentu seperti dalam situasi perang untuk menunjukkan kesan kuat dan berwibawa di hadapan musuh.

Sunnah: Menggunakan pewarna rambut selain hitam seperti warna kuning, cokelat, merah, atau warna alami lainnya, yang tidak bertujuan untuk penipuan dan tidak melanggar syariat. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah ﷺ:
“Ubah warna uban dan jangan menyerupai orang Yahudi dan Nasrani.”

Makruh: Tidak menyemir rambut jika di lingkungan tersebut menyemir rambut sudah menjadi kebiasaan baik yang diakui syariat, sehingga meninggalkannya dianggap kurang menjaga penampilan.

2. Hukum Menggunakan Sampo atau Produk Pewarna Rambut

Penggunaan sampo pewarna rambut pada dasarnya mengikuti hukum umum menyemir rambut di atas. Jika sampo tersebut digunakan untuk pewarnaan dengan tujuan yang dibolehkan, seperti menutupi uban atau untuk penampilan yang wajar dan tidak berlebihan, maka hukumnya diperbolehkan. Namun, jika digunakan untuk tujuan yang melanggar syariat, seperti menipu orang lain atau menyerupai kaum yang diharamkan untuk ditiru, maka hukumnya menjadi haram.

Dalil dan Pendapat Ulama

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (hal. 277), dijelaskan bahwa perbedaan pendapat ulama mengenai pewarnaan rambut berfokus pada warna dan tujuannya.

Asy-Syaukani menukil pendapat Qadhi Iyadh, yang menyatakan bahwa sebagian sahabat dan tabi’in lebih mengutamakan tidak mewarnai uban sebagai bentuk ketundukan dan penerimaan terhadap ketentuan Allah. Namun, sebagian lain berpendapat bahwa mewarnai uban lebih utama untuk menyelisihi kebiasaan orang Yahudi dan Nasrani.

Rasulullah ﷺ sendiri menganjurkan pewarnaan uban dengan bahan seperti henna (pacar) dan katam, sebagaimana diriwayatkan dalam beberapa hadis sahih.

Kesimpulan:

Laki-laki dan Perempuan: Diperbolehkan menyemir rambut dengan warna selain hitam, dengan syarat tidak bertujuan menipu atau menyerupai golongan yang diharamkan.

Warna Hitam: Diharamkan kecuali dalam kondisi tertentu seperti perang.

Sampo Pewarna: Hukumnya sama dengan pewarna rambut biasa, bergantung pada warna dan tujuan penggunaannya.

Referensi:

Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, Halaman 277

الموسوعة الفقهية الكويتية ص ٢٧٧
٥ – يَخْتَلِفُ حُكْمُ الْخِضَابِ تَبَعًا لِلَوْنِهِ، وَلِلْمُخْتَضِبِ، رَجُلاً كَانَ أَوِ امْرَأَةً. وَسَيَأْتِي.
الْمُفَاضَلَةُ بَيْنَ الاِخْتِضَابِ وَعَدَمِهِ:
٦ – نَقَل الشَّوْكَانِيُّ عَنِ الْقَاضِي عِيَاضٍ قَوْلَهُ (٢) : اخْتَلَفَ السَّلَفُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فِي الاِخْتِضَابِ، وَفِي جِنْسِهِ، فَقَال بَعْضُهُمْ: تَرْكُ الاِخْتِضَابِ أَفْضَل، اسْتِبْقَاءً لِلشَّيْبِ، وَرَوَى حَدِيثًا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّهْيِ عَنْ تَغْيِيرِ الشَّيْبِ (٣) .
وَقَال بَعْضُهُمْ: الاِخْتِضَابُ أَفْضَل لِقَوْل رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيِّرُوا الشَّيْبَ، وَلاَ تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ (٤) . وَفِي رِوَايَةٍ زِيَادَةُ ” وَالنَّصَارَى (٥) “،وَلِقَوْلِهِ: إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لاَ يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ (١) فَهَذِهِ الأَْحَادِيثُ تَدُل عَلَى أَنَّ الْعِلَّةَ فِي الصِّبَاغِ وَتَغْيِيرِ الشَّيْبِ هِيَ مُخَالَفَةُ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى. وَبِهَذَا يَتَأَكَّدُ اسْتِحْبَابُ الاِخْتِضَابِ. وَقَدْ كَانَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَالِغُ فِي مُخَالَفَةِ أَهْل الْكِتَابِ وَيَأْمُرُ بِهَا.
وَاخْتَضَبَ جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ لِلأَْحَادِيثِ الْوَارِدَةِ فِي ذَلِكَ. ثُمَّ قَدْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ يَخْتَضِبُ بِالصُّفْرَةِ، مِنْهُمُ ابْنُ عُمَرَ وَأَبُو هُرَيْرَةَ، وَاخْتَضَبَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ بِالْحِنَّاءِ وَالْكَتَمِ، وَبَعْضُهُمْ بِالزَّعْفَرَانِ، وَاخْتَضَبَ جَمَاعَةٌ بِالسَّوَادِ، مِنْهُمْ عُثْمَانُ بْنُ عَفَّانَ وَالْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ وَعُقْبَةُ بْنُ عَامِرٍ وَغَيْرُهُمْ.
وَنَقَل الشَّوْكَانِيُّ عَنِ الطَّبَرِيِّ قَوْلَهُ (٢) : الصَّوَابُ أَنَّ الأَْحَادِيثَ الْوَارِدَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَغْيِيرِ الشَّيْبِ وَبِالنَّهْيِ عَنْهُ كُلُّهَا صَحِيحَةٌ، وَلَيْسَ فِيهَا تَنَاقُضٌ. بَل الأَْمْرُ بِالتَّغْيِيرِ لِمَنْ شَيْبُهُ كَشَيْبِ أَبِي قُحَافَةَ، وَالنَّهْيُ لِمَنْ لَهُ شَمَطٌ (٣) فَقَطْ، وَاخْتِلاَفُ السَّلَفِ فِي فِعْل الأَْمْرَيْنِ بِحَسَبِ اخْتِلاَفِ أَحْوَالِهِمْ فِي ذَلِكَ، مَعَ أَنَّ الأَْمْرَ وَالنَّهْيَ فِي ذَلِكَ لَيْسَ لِلْوُجُوبِ بِالإِْجْمَاعِ، وَلِهَذَا لَمْ يُنْكِرْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ (٤) .
٧ – وَقَدْ جَاءَتْ أَحَادِيثُ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ تَدُل عَلَى اخْتِضَابِ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَاءَتْ أَحَادِيثُ تَنْفِي اخْتِضَابَهُ (١) ، فَمِنَ الأُْولَى: مَا وَرَدَ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَوْهَبٍ قَال: دَخَلْنَا عَلَى أُمِّ سَلَمَةَ فَأَخْرَجَتْ إِلَيْنَا مِنْ شَعْرِ رَسُول اللَّهِ فَإِذَا هُوَ مَخْضُوبٌ. (٢)
وَمِنْهَا مَا وَرَدَ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَصْبُغُ لِحْيَتَهُ بِالصُّفْرَةِ حَتَّى تَمْلأََ ثِيَابَهُ، فَقِيل لَهُ فِي ذَلِكَ، فَقَال: إِنِّي رَأَيْتُ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْبُغُ بِهَا، وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْهَا، وَكَانَ يَصْبُغُ بِهَا ثِيَابَهُ حَتَّى عِمَامَتَهُ (٣) .
وَمِنَ الثَّانِيَةِ قَوْل أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: مَا خَضَّبَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَّهُ لَمْ يَبْلُغْ مِنْهُ الشَّيْبُ إِلاَّ قَلِيلاً، وَلَوْ شِئْتُ أَنْ أَعُدَّ شَمَطَاتٍ كُنَّ فِي رَأْسِهِ لَفَعَلْتُ. (٤)
وَمِنْهَا قَوْل أَبِي جُحَيْفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: رَأَيْتُ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ مِنْهُ بَيْضَاءُ يَعْنِي عَنْفَقَتَهُ (٥)
مَا غَيَّرْتُمْ بِهِ الشَّيْبَ الْحِنَّاءُ وَالْكَتَمُ (١) ، فَإِنَّهُ يَدُل عَلَى أَنَّ الْحِنَّاءَ وَالْكَتَمَ مِنْ أَحْسَنِ الصِّبَاغَاتِ الَّتِي يُغَيَّرُ بِهَا الشَّيْبُ. وَأَنَّ الصَّبْغَ غَيْرُ مَقْصُورٍ عَلَيْهِمَا، بَل يُشَارِكُهُمَا غَيْرُهُمَا مِنَ الصِّبَاغَاتِ فِي أَصْل الْحُسْنِ (٢) لِمَا وَرَدَ مِنْ حَدِيثِ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال: اخْتَضَبَ أَبُو بَكْرٍ بِالْحِنَّاءِ وَالْكَتَمِ، وَاخْتَضَبَ عُمَرُ بِالْحِنَّاءِ بَحْتًا (٣) .
الاِخْتِضَابُ بِالْوَرْسِ وَالزَّعْفَرَانِ:
١٠ – الاِخْتِضَابُ بِالْوَرْسِ وَالزَّعْفَرَانِ يُشَارِكُ الاِخْتِضَابَ بِالْحِنَّاءِ وَالْكَتَمِ فِي أَصْل الاِسْتِحْبَابِ. وَقَدِ اخْتَضَبَ بِهِمَا جَمَاعَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ. رَوَى أَبُو مَالِكٍ الأَْشْجَعِيُّ، عَنْ أَبِيهِ، قَال: كَانَ خِضَابُنَا مَعَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْوَرْسَ وَالزَّعْفَرَانَ (٤) ، وَقَال الْحَكَمُ بْنُ عَمْرٍو الْغِفَارِيُّ: دَخَلْتُ أَنَا وَأَخِي رَافِعٌ عَلَى أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عُمَرَ، وَأَنَا مَخْضُوبٌ بِالْحِنَّاءِ، وَأَخِي مَخْضُوبٌ بِالصُّفْرَةِ، فَقَال عُمَرُ: هَذَا خِضَابُ الإِْسْلاَمِ. وَقَال لأَِخِي رَافِعٍ: هَذَا خِضَابُ الإِْيمَانِ (٥) .

Ensiklopedia Fiqih Kuwait, Halaman 277

5 – Hukum Menggunakan Pewarna Rambut Ulama berbeda pendapat Berdasarkan Warnanya dan Penggunanya, Baik Laki-Laki maupun Perempuan. Berikut  Penjelasannya.

Keutamaan antara Menggunakan Pewarna Rambut dan Tidak Menggunakannya:

6 – Asy-Syaukani menukil perkataan Qadhi Iyadh: Para salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat tentang menggunakan pewarna rambut dan sejenisnya (  seperti; pacar , katam, za’faran ataupun sampo dll.)

Sebagian dari mereka berpendapat bahwa meninggalkan pewarna rambut lebih utama sebagai bentuk menjaga uban. Mereka meriwayatkan hadis dari Nabi ﷺ yang melarang mengubah warna uban.

Sebagian lainnya berpendapat bahwa mewarnai rambut lebih utama berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
“Ubah warna uban dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”

Dalam riwayat lain ditambahkan, “dan Nasrani.”
Dalam sabda lain disebutkan:
“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani tidak mewarnai rambut mereka, maka selisihilah mereka.”

Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa alasan pewarnaan rambut dan mengubah uban adalah untuk menyelisihi Yahudi dan Nasrani. Oleh karena itu, sunnah pewarnaan rambut semakin ditekankan. Rasulullah ﷺ sangat menekankan perintah untuk menyelisihi Ahlul Kitab dan beliau memerintahkannya.

Sejumlah sahabat, tabi’in, dan generasi setelahnya menggunakan pewarna rambut karena adanya hadis-hadis yang menganjurkan hal tersebut. Kebanyakan dari mereka menggunakan warna kuning, di antaranya adalah Ibnu Umar dan Abu Hurairah. Sebagian lainnya menggunakan henna (pacar) dan katam. Sebagian lainnya menggunakan za’faran. Ada pula yang mewarnai dengan warna hitam, di antaranya adalah Utsman bin Affan, Hasan, Husein, Uqbah bin Amir, dan lainnya.

Asy-Syaukani juga menukil dari At-Thabari:
“Yang benar adalah bahwa hadis-hadis tentang perintah mengubah uban dan larangan melakukannya semuanya sahih dan tidak saling bertentangan. Perintah untuk mengubah uban berlaku bagi mereka yang ubannya sudah menyeluruh seperti uban Abu Quhafah, sedangkan larangan berlaku bagi yang hanya memiliki beberapa helai uban. Perbedaan para salaf dalam mengamalkan dua hadis tersebut bergantung pada kondisi mereka masing-masing. Selain itu, perintah dan larangan dalam masalah ini tidak bersifat wajib menurut kesepakatan ulama. Oleh karena itu, sebagian mereka tidak mengingkari sebagian lainnya.”

7 – Dalam Shahih Al-Bukhari, terdapat hadis yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ mewarnai rambutnya, dan ada pula hadis yang menafikan hal tersebut.

Di antara hadis yang menunjukkan bahwa beliau mewarnai rambutnya:

Hadis dari Utsman bin Abdullah bin Mauhab, ia berkata: “Kami masuk ke rumah Ummu Salamah, lalu beliau mengeluarkan rambut Rasulullah ﷺ. Ternyata rambut itu diwarnai.”

Hadis dari Ibnu Umar, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah ﷺ mewarnai rambut dengan warna kuning, dan beliau sangat menyukainya. Beliau juga mewarnai pakaian dan serbannya dengan warna tersebut.”

Sedangkan hadis yang menafikan pewarnaan rambut beliau:

Hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah ﷺ tidak mewarnai rambutnya, dan uban beliau hanya sedikit. Jika aku mau menghitung helai uban beliau, aku bisa melakukannya.”

Hadis dari Abu Juhaifah, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah ﷺ, dan di bagian dagunya terdapat rambut putih (uban).”

8 – Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa henna (pacar) dan katam adalah pewarna terbaik untuk mengubah uban. Namun, pewarnaan tidak terbatas hanya pada keduanya, tetapi juga dapat menggunakan pewarna lain yang memiliki keindahan serupa.

Hal ini diperkuat oleh hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Abu Bakar mewarnai rambut dengan henna dan katam, sedangkan Umar hanya dengan henna murni.”

Pewarnaan dengan Wars dan Za’faran:

9 – Pewarnaan dengan wars dan za’faran memiliki kesamaan dalam keutamaan seperti pewarnaan dengan henna dan katam. Sejumlah sahabat menggunakan pewarna ini.

Diriwayatkan oleh Abu Malik Al-Asyja’i dari ayahnya, ia berkata:
“Pewarna rambut kami bersama Rasulullah ﷺ adalah wars dan za’faran.”

Al-Hakam bin Amr Al-Ghifari berkata: “Aku dan saudaraku Rafi’ datang kepada Amirul Mukminin Umar, aku mewarnai rambut dengan henna, sedangkan saudaraku dengan warna kuning. Umar berkata kepadaku: ‘Ini adalah pewarna Islam.’ Dan kepada saudaraku: ‘Ini adalah pewarna iman.'”

Syekh Musthafa al-Khin, Musthafa al-Bugha, dan Ali asy-Syarbaji dalam kitabnya mengatakan, bahwa haram bagi laki-laki dan wanita untuk menyemir rambutnya menggunakan warna hitam, dan sunnah menggunakan warna yang lain, seperti kuning, merah, dan lainnya,

الفقه المنهجي  في مذهب الإمام الشافعي ص٩٩

[٣ – تحريم الخضاب بالسواد]
يحرم صبغ شعر الرأس واللحية بالسواد للرجال والنساء. ويستحب خضاب الشيب، وصبغ الشعر بغير السواد للرجال والنساء، بصفرة، أو حمرة.
ودليل ذلك ما رواه مسلم في [اللباس والزينة – باب – استحباب خضاب الشيب بصفرة أو حمرة، وتحريمه بالسواد، رقم ٢١٠٢] وغيره عن جابر – رضي الله عنه -، قال: أتي بأبي قحافة يوم الفتح، ورأسه ولحيته كالثغامة بياضاً، فقال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: ” غيروا هذا بشيء واجتنبوا السواد”.
[الثغامة: نبت له زهر أبيض، شبه بياض الشيب به.
أبو قحافة: والد أبي بكر الصديق رضي الله عنهما، واسمه عثمان أسلم عام الفتح].
وروى الترمذي في [اللباس -باب – ما جاء في الخضاب، رقم: ١٧٥٢] عن أبي هريرة – رضي الله عنه -، قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: ” غيروا الشيب، ولا تشبهوا باليهود”.
وروى البخاري في [اللباس – باب – الخضاب، رقم: ٥٥٥٩] ومسلم في [اللباس والزينة -باب – في مخالفة اليهود في الصبغ، رقم: ٢١٠٣]

عن أبي هريرة – رضي الله عنه -، أن النبي – صلى الله عليه وسلم – قال: ” إن اليهود والنصارى لا يصبغون فخالفوهم”.
[الخضاب: الصبغ].
[حكمة تحريم الخضاب بالسواد:]
ولعل الحكمة من تحريم الصبغ بالسواد إنما تعود لِما في الخضاب به من التزوير، وتغيير الواقع، فإن السواد يجعل من الكبير صغيراً، ومن المسنّة شابة، في أعين الناس، فيظنون أمرهما على خلاف ما هو عليه في الواقع.
أما ما عدا السواد، فقد لا يصل إلى هذا الحد من التغير، والتغرير، والتزوير.
ونقول بعد هذا: إن عامة هذه الموضوعات، إنما تقوم أحكامها على محض التعبد، وعلى الامتثال، والاختبار الخالصين.

Haram Mewarnai Rambut dengan Warna Hitam

Diharamkan mewarnai rambut kepala dan jenggot dengan warna hitam bagi laki-laki dan perempuan. Namun, disunnahkan mewarnai uban serta mewarnai rambut dengan selain warna hitam, seperti kuning atau merah, bagi laki-laki dan perempuan.

Dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dalam [Kitab Al-Libas wa Al-Zinah – Bab: Dianjurkannya Mewarnai Uban dengan Warna Kuning atau Merah dan Diharamkannya dengan Warna Hitam, No. 2102] dan selainnya, dari Jabir -raḍiyallāhu ‘anhu-, ia berkata:
“Pada hari penaklukan Makkah, Abu Quhafah dibawa, sementara rambut kepala dan jenggotnya memutih seperti bunga tsughamah. Maka Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Ubahlah warna ini dengan sesuatu, tetapi jauhilah warna hitam.'”

[Tsughamah: Tumbuhan yang memiliki bunga berwarna putih, diibaratkan dengan putihnya uban.
Abu Quhafah: Ayah Abu Bakar As-Shiddiq -raḍiyallāhu ‘anhumā-, bernama Utsman, masuk Islam pada tahun penaklukan Makkah].

At-Tirmidzi meriwayatkan dalam [Kitab Al-Libas – Bab: Hadis tentang Mewarnai Rambut, No. 1752] dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu ‘anhu-, ia berkata:
“Rasulullah -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: ‘Ubahlah warna uban dan jangan menyerupai orang Yahudi.'”

Al-Bukhari meriwayatkan dalam [Kitab Al-Libas – Bab: Mewarnai Rambut, No. 5559] dan Muslim dalam [Kitab Al-Libas wa Al-Zinah – Bab: Menyelisihi Orang Yahudi dalam Mewarnai Rambut, No. 2103] dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu ‘anhu-, bahwa Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
“Sesungguhnya orang Yahudi dan Nasrani tidak mewarnai rambut mereka, maka selisihilah mereka.”

[Al-Khidhab: Pewarnaan rambut].

[Hikmah Diharamkannya Mewarnai Rambut dengan Hitam:]
Hikmah diharamkannya mewarnai rambut dengan warna hitam mungkin karena adanya unsur penipuan dan perubahan realitas. Sebab, warna hitam dapat membuat orang tua tampak muda, dan perempuan lanjut usia tampak seperti gadis muda di mata orang lain, sehingga orang-orang mengira sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataannya.

Adapun selain warna hitam, umumnya tidak sampai pada tingkat perubahan, penipuan, dan pemalsuan seperti itu.

Akhirnya, dapat dikatakan bahwa hukum dalam masalah ini sebagian besar berdiri di atas dasar ketaatan, kepatuhan, dan ujian yang murni.

Penjelasan

“Diharamkan menyemir rambut dan jenggot dengan (semir) hitam bagi laki-laki dan perempuan. Dan, sunnah menyemir rambut dengan selain warna hitam bagi laki-laki dan perempuan, seperti warna kuning, atau warna merekah.” (Musthafa al-Khin, dkk, Fiqhu al-Manhaji ‘ala Mazhabil Imam asy-Syafi’i, [Damaskus, Darul Qalam: 1992], juz III, halaman 99).

Larangan menyemir rambut menggunakan warna hitam dan anjuran menggunakan warna lain sebagaimana penjelasan di atas, berdasarkan salah satu hadits Rasulullah setelah peristiwa Fathu Makkah. Saat itu, ia menyuruh sahabat Abu Quhafah untuk merubah warna rambutnya dengan selain warna hitam. Dalam sebuah hadits disebutkan:

أُتِىَ بِأَبِى قُحَافَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَرَأْسُهُ وَلِحْيَتُهُ كَالثَّغَامَةِ بَيَاضًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّه: غَيِّرُوا هَذَا بِشَىْءٍ وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ

Artinya, “Suatu hari ketika Fathu Makkah, Abu Quhafah dipanggil oleh Rasulullah. Saat itu, rambut kepala dan jenggotnya berwarna putih seperti merpati. Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Ubahlah warna ubanmu ini, namun jangan gunakan warna hitam.” (HR Jabir).

Ragam Pendapat Ulama

Imam Abu Zakaria Muhyiddin an-Nawawi (wafat 676 H) dalam salah satu kitabnya mengutip beberapa pendapat para ulama dalam mengomentari hadits di atas, yaitu: (1) kalangan mazhab Syafi’iyah (Ashabuna) menganjurkan laki-laki untuk mewarnai rambut dengan warna kuning atau merah, dan haram menggunakan warna hitam, dan ini merupakan pendapat paling sahih (ashah) dalam mazhab Syafi’i;  (2) menurut suatu pendapat (qil), mewarnai rambut dengan warna hitam hukumnya makruh tanzih (tidak berdosa jika dilakukan).

Selain itu, ada beberapa sahabat dan kalangan tabi’in yang menilai bahwa tidak mewarnai rambut lebih baik, pendapat ini diprakarsai oleh Imam al-Qadhi, karena menurutnya, sekalipun terdapat hadits yang menganjurkan kepada Abu Quhafah untuk mewarnai rambut, Rasulullah sendiri tidak mewarnai rambutnya.
Oleh karena itu, ia mengatakan:

تَرْكُ الخّضَابِ أَفْضَلُ

Artinya, “Tidak mewarnai rambut lebih baik.”

Namun demikian, ada juga sahabat dan kalangan tabi’in yang menilai bahwa mewarnai rambut lebih baik, bahkan beberapa figure saat itu memilih mewarnai rambut karena adanya hadits di atas, di antaranya adalah Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Uqbah bin Amir, Ibnu Sirin, Abu Bardah, dan beberapa figure lainnya. (Imam Nawawi, Syarhun Nawawi ‘alal Muslim, [Beirut, Darul Ihya’: 1392], juz 14, halaman 80).

Jika ditanya, “Lebih baik ikut yang mana? Dan bagaimana pengaplikasian hukum yang tepat dalam konteks saat ini?”

Dua pendapat dan komentar para ulama di atas pada hakikatnya sama-sama dalam konteks ijtihad dalam menyimpulkan hukum dari hadist perihal mewarnai rambut tersebut. Jika benar, maka mendapatkan dua pahala, dan jika salah maka mendapatkan satu pahala.

Hanya saja, Imam Nawawi menyebutkan bahwa dalam konteks mewarnai rambut, para ulama mempertimbangkan keadaan dan posisinya masing-masing. Dalam kitabnya disebutkan:

وَاخْتِلَافُ السَّلَفِ فِى فِعْلِ الْأَمْرَيْنِ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِمْ فِى ذَلِكَ مَعَ أَنَّ الْأَمْرَ وَالنَّهْىَ لَيْسَ لِلْوُجُوْبِ بِالْاِجْمَاعِ

Artinya, “Perbedaan ulama salaf dalam melakukan dua hal tersebut (mewarnai dan tidak), tergantung perbedaan keadaan mereka. Sebab, perintah (baca: anjuran) dan larangannya tidak menunjukkan wajib secara konsensus.” (Imam Nawawi, 14/80)
Maksud dari perbedaan keadaan dalam penjelasan di atas adalah, jika seseorang hidup di tempat yang mayoritas penduduknya menyemir rambut, maka hukum menyemir di tempat tersebut dianjurkan, dan makruh jika tidak melakukannya karena telah melanggar dari adat. Dan, jika mayoritas penduduknya tidak menyemir rambut, maka sunnah untuk tidak menyemirnya dan makruh jika melakukannya.

 Hikmah Diharamkannya Warna Hitam

Syekh Musthafa al-Khin, dkk, dalam kitabnya menjelaskan hikmah diharamkannya menyemir rambut dengan warna hitam. Menurutnya, menyemir rambut dengan warna tersebut merupakan penipuan, da nada unsur merubah kenyataan. Sebab, warna hitam akan menjadikan orang yang sudah tua terlihat muda, yang lanjut usia juga terlihat muda dalam pandangan manusia. (Musthafa al-Khin, Maksud dari perbedaan keadaan dalam penjelasan di atas adalah, jika seseorang hidup di tempat yang mayoritas penduduknya menyemir rambut, maka hukum menyemir di tempat tersebut dianjurkan, dan makruh jika tidak melakukannya karena telah melanggar dari adat. Dan, jika mayoritas penduduknya tidak menyemir rambut, maka sunnah untuk tidak menyemirnya dan makruh jika melakukannya.

Hikmah Diharamkannya Warna Hitam

Syekh Musthafa al-Khin, dkk, dalam kitabnya menjelaskan hikmah diharamkannya menyemir rambut dengan warna hitam. Menurutnya, menyemir rambut dengan warna tersebut merupakan penipuan, da nada unsur merubah kenyataan. Sebab, warna hitam akan menjadikan orang yang sudah tua terlihat muda, yang lanjut usia juga terlihat muda dalam pandangan manusia. (Musthafa al-Khin, dkk, 3/100).
, 3/100). Wallahu A’lam bish-shawab

Ketik Pencarian