Kategori
Hukum

Perbedaan Al-Qur’an, Hadis Qudsi, dan Hadis Nabawi dalam Perspektif Wahyu dan Kedudukannya

 

Assalamualaikum Saya bertanya dan Mohon jawaban ustadz.

Apa Perbedaan hadist Qudsi da Nabawi dan Al-Qur’an ?

Mengingat ada ayat didalam surah An-Najm

وما ينطق عن الهوى. ان هو الا وحيد يوحى

Apa yang dikatakan oleh Rasulullah bukan dari hwa nafsunya akan tetapi itu Wahyu .

 

Waalaikumsalam salam

Jawaban

1. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi ﷺ dengan lafaz dan maknanya sekaligus untuk dijadikan ibadah dengan membacanya, serta sebagai mukjizat yang menantang manusia agar mendatangkan sesuatu yang serupa dengan surat yang paling pendek darinya.

2. Hadits Qudsi diturunkan kepada Nabi ﷺ tanpa perantara malaikat pada umumnya, melainkan melalui ilham atau mimpi. Kadang diturunkan dengan lafaz dan maknanya sekaligus, atau hanya maknanya saja, lalu Nabi ﷺ menyampaikan dengan lafaz dari beliau sendiri namun tetap dinisbatkan kepada Allah Ta’ala. Hadits Qudsi tidak dimaksudkan untuk ibadah dalam membacanya, juga tidak dimaksudkan sebagai mukjizat.

3. Hadits Nabi hanya diwahyukan maknanya saja, kemudian Nabi ﷺ menyampaikannya dengan lafaz dari beliau sendiri, dan tidak dinisbatkan kepada Allah Ta’ala. Yang paling mulia dari semuanya adalah Al-Qur’an, kemudian hadits Qudsi.

تنوير القلوب ص ٥٥٠

تنبيه

الفرق بين الحديث القدسي والقرآن والحديث النبوي: أن القرآن أنزل على النبي ﷺ باللفظ والمعنى للتعبد بتلاوته، وإعجاز الخلق عن الإتيان بمثل أقصر سورة منه. والحديث القدسي أنزل عليه بغير واسطة الملك غالباً، بل بإلهام أو منام إما باللفظ والمعنى، وإما باللفظ فقط، ويعبر عنه النبي ﷺ بألفاظ من عنده وينسبه إليه تعالى لا للتعبد بتلاوته ولا للإعجاز. والحديث النبوي أوحي إليه معناه فقط، ويعبر عنه بألفاظ من عنده، ولا ينسبه إليه تعالى. وأشرف الكل القرآن، ثم الحديث القدسي

 

Adapun ayat dalam Surah An-Najm: 3-4, yang berbunyi:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

 

Artinya: “Dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara dari hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Ayat ini menegaskan bahwa seluruh perkataan Rasulullah SAW, baik yang bersumber dari Allah secara langsung (seperti Hadis Qudsi) maupun hasil penjelasan Rasulullah (Hadis Nabawi), berada di bawah bimbingan wahyu Allah. Dengan kata lain, beliau tidak mungkin berbicara berdasarkan keinginan pribadinya saja, melainkan selalu dalam koridor petunjuk Allah SWT.

Kesimpulan:

Meski berbeda dalam aspek tertentu, baik Hadis Qudsi maupun Hadis Nabawi sama-sama berstatus sebagai sumber ajaran Islam yang harus diikuti, sesuai kedudukannya masing-masing.

Referensi Perbedaan antara Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi dapat dipahami dari beberapa sisi, sebagai berikut:

1. Sumber Wahyu: Hadis Qudsi: Isi atau maknanya berasal langsung dari Allah SWT, tetapi lafaznya (kata-kata) disampaikan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah menyandarkan hadis ini kepada Allah dengan kalimat, “Allah berfirman…”. Hadis Nabawi: Baik makna maupun lafaznya berasal dari Rasulullah SAW, meskipun tetap di bawah bimbingan wahyu Allah.

2. Kandungan: Hadis Qudsi: Biasanya berkaitan dengan aspek keimanan, hubungan antara Allah dan hamba-Nya, seperti rahmat, ampunan, dan ancaman. Hadis Nabawi: Membahas berbagai aspek kehidupan, seperti akhlak, ibadah, muamalah, dan hukum.

3. Kedudukan: Hadis Qudsi: Tidak digunakan sebagai dasar hukum syariat yang mengikat seperti Al-Qur’an, tetapi lebih sebagai motivasi atau peringatan. Hadis Nabawi: Banyak menjadi dasar hukum syariat dalam Islam.

4. Cara Penyampaian: Hadis Qudsi: Disampaikan oleh Rasulullah SAW dengan menyebut bahwa perkataan tersebut adalah firman Allah, misalnya: “Qala Allahu ta’ala…” (Allah Ta’ala berfirman…).

Hadis Nabawi: Rasulullah SAW menyampaikannya sebagai sabdanya sendiri tanpa menyandarkan langsung kepada Allah. Adapun ayat dalam Surah An-Najm: 3-4, yang berbunyi:

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ

Artinya: “Dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara dari hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Ayat ini menegaskan bahwa seluruh perkataan Rasulullah SAW, baik yang bersumber dari Allah secara langsung (seperti Hadis Qudsi) maupun hasil penjelasan Rasulullah (Hadis Nabawi), berada di bawah bimbingan wahyu Allah. Dengan kata lain, beliau tidak mungkin berbicara berdasarkan keinginan pribadinya saja, melainkan selalu dalam koridor petunjuk Allah SWT. Kesimpulan: Meski berbeda dalam aspek tertentu, baik Hadis Qudsi maupun Hadis Nabawi sama-sama berstatus sebagai sumber ajaran Islam yang harus diikuti, sesuai kedudukannya masing-masing.

شرح الدردير على قصة المعراج ص٤٩

الكلام على بعض فوائد آية الإسراء وآيات من أول سورة النجم

قوله تعالى: ( وما ينطق عن الهوى ) [النجم: ٣]، نزلت لما قالت قريش أن محمداً يقول القرآن من تلقاء نفسه، وقوله: ( وما ينطق عن الهوى ) دليل على أنه ما ضل وما غوى تقديره كيف يضل أو يغوي وهو لا ينطق عن الهوى؟! وإنما يضل من اتبع هواه، ويدل عليه قوله تعالى: ( ولا تتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله ) [ص: ٢٦]، وقال تعالى أولاً: ما ضل وما غوى بصيغة الماضي، وقال هنا: وما ينطق بصيغة المضارع، وهو ترتيب في غاية الحسن؛ أي: ما ضل حين اعتزلكم وما تعبدون، وما غوى حين اختلي بنفسه، وما ينطق عن الهوى الآن حين أرسل إليكم، وجعل شاهدًا عليكم فلم يكن أولاً ضال ولا غاويا، وصار الآن منقذا من الضلال ومرشدا وهاديًا. ولم يقل: وما ينطق بالهوى ؛ لأن نفي نطقه عن الهوى، وأبلغ فإنه يتضمن أن نطقه لا يصدر عن هوى، وإذا لم يصدر عن هوى فكيف ينطق به؟ فتضمن نفي الأمرين نفي الهوى عن مصدر النطق ونفيه عن النطق، فنطقه بالحق ومصدره ٢٧٠ والرشاد لا الغي والضلال، فعن على ذلك على بابها، وهو أولى من جعلها بمعنى الباء؛ أي: وما ينطق بالهوى؛ أي: ما يتكلم بالباطل (١). والهوى مقصور مصدر هويته من باب تعب، وهو محبة من النفس الأمارة وإنما سمي الهوى هوى لأنه يهوي بصاحبه ، قال تعالى: ( أفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ ) [الجاثية: ٢٣]، وقال تعالى: ( ومن أضل ممن اتبع هواه بغير هدى من الله ) [القصص: ٥٠]. وقال ثَلَاتٌ مُنْجِبَاتٌ ، وَثَلَاتٌ مُهْلِكَاتٌ : فَأَمَّا الْمُنْجِيَاتُ : فَالْعَدْلُ فِي الْغَضَب   (١) قال ابن عادل: أي ما يصدر عن الهوى نطقه (فعن) على بابها. وقيل: بمعنى الباء، أي: وما ينطق بالهوى يريد لا يتكلم بالباطل، وذلك أنهم قالوا: إنَّ محمداً يقول القرآن من تِلْقَاءِ نَفْسِهِ. وفي فاعل (يَنْطِقُ) وجهان: أحدهما: هو ضمير النبي وهو الظاهر. والثاني: أنه ضمير القرآن كقوله تعالى: هَذَا كِتَبْنَا يَنطِقُ عَلَيْكُم بِالْحَقِّ [الجاثية: ٢٩].والله أعلم.

Firman Allah: ‘Dan Dia tidak berbicara menurut hawa nafsu’ (An-Najm: 3), turun ketika Quraisy mengatakan bahwa Muhammad mengucapkan Al-Qur’an dari dirinya sendiri. Dan firman-Nya: ‘Dan Dia tidak berbicara menurut hawa nafsu’ adalah bukti bahwa Dia tidak sesat dan tidak melenceng. Maksudnya: bagaimana mungkin Dia sesat atau melenceng padahal Dia tidak berbicara menurut hawa nafsu? Sesungguhnya yang sesat adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya. Dan hal ini didukung oleh firman Allah: ‘Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, niscaya ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah’ (Ash-Shaffat: 26). Dan Allah telah berfirman sebelumnya: ‘Dia tidak sesat dan tidak melenceng’ dengan bentuk lampau, kemudian Dia berfirman: ‘Dan Dia tidak berbicara’ dengan bentuk sekarang. Dan ini adalah susunan yang sangat baik; artinya: Dia tidak sesat ketika menjauhkan diri dari kalian dan apa yang kalian sembah, dan Dia tidak melenceng ketika menyendiri, dan Dia tidak berbicara menurut hawa nafsu sekarang ketika Dia diutus kepada kalian dan dijadikan saksi atas kalian. Maka Dia sebelumnya tidaklah sesat dan tidak melenceng, dan sekarang Dia menjadi penyelamat dari kesesatan, pembimbing, dan penunjuk jalan. Dan Allah tidak berfirman: ‘Dan Dia tidak berbicara dengan hawa nafsu’, karena menafikan bahwa Dia berbicara menurut hawa nafsu lebih tegas. Sebab, hal itu mengandung makna bahwa ucapan-Nya tidak berasal dari hawa nafsu. Dan jika tidak berasal dari hawa nafsu, maka bagaimana mungkin Dia berbicara dengannya? Sehingga penafian kedua hal ini mencakup penafian hawa nafsu dari sumber ucapan dan penafian hawa nafsu dari ucapan itu sendiri. Maka ucapan-Nya adalah kebenaran dan sumbernya adalah petunjuk dan kebaikan, bukan kesesatan dan keburukan. Maka pendapat ini lebih utama daripada menjadikan kata ‘عن’ bermakna ‘dengan’, yaitu: ‘Dan Dia tidak berbicara dengan hawa nafsu’, artinya: ‘Dan Dia tidak berbicara dengan kebatilan’ (1). Dan hawa nafsu adalah kata benda yang berasal dari kata kerja ‘هاوى’ yang berarti ‘mencintai’, dan itu adalah kecenderungan dari jiwa yang cenderung kepada sesuatu. Dan hawa nafsu dinamakan hawa nafsu karena ia menjatuhkan pemiliknya ke dalam keburukan. Allah berfirman: ‘Maka apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?’ (Al-Jathiyah: 23), dan Allah berfirman: ‘Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah?’ (Al-Qashas: 50). Dan dikatakan: ‘Tiga hal yang melahirkan kebaikan, dan tiga hal yang membinasakan. Adapun yang melahirkan kebaikan adalah adil dalam marah…

____________________’

(1)   Ibn ‘Adil berkata: Yaitu apa yang keluar dari hawa nafsu adalah ucapan-Nya (kata ‘عن’ pada ‘عن الهوى’ bermakna ‘dari’). Dan ada yang mengatakan: Bermakna ‘dengan’, yaitu: ‘Dan Dia tidak berbicara dengan hawa nafsu’, artinya: ‘Dan Dia tidak berbicara dengan kebatilan’. Itulah yang dikatakan oleh mereka yang mengatakan bahwa Muhammad mengucapkan Al-Qur’an dari dirinya sendiri. Dan dalam kata kerja ‘ينطق’ (berbicara) ada dua kemungkinan pelaku: Pertama: Adalah dhamir (kata ganti) yang kembali kepada Nabi, dan ini yang lebih jelas. Kedua: Adalah dhamir yang kembali kepada Al-Qur’an, seperti firman Allah: ‘Inilah kitab Kami, ia berbicara kepada kalian dengan benar’ (Al-Jathiyah: 29). Wallahu a’lam.”

Kategori
Hukum

Hukum Shalat Berjamaah

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Shalat berjamaah merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam karena memiliki banyak keutamaan, seperti melipatgandakan pahala hingga 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian. Pelaksanaannya mencerminkan nilai-nilai ukhuwah Islamiyah dan kebersamaan dalam masyarakat muslim. Namun, terdapat beberapa permasalahan hukum yang sering dibahas oleh para ulama terkait shalat berjamaah (lima waktu).
Permasalahan tersebut antara lain:

Hukum Shalat Berjamaah

1. Apakah hukum melaksanakan shalat berjamaah itu wajib ‘ain bagi setiap muslim laki-laki, wajib kifayah, atau sunnah muakkadah? dan bagaimana maksud dari ungkapan لاصلاة لجار المسجد إلا في المسجد

Lokasi Pelaksanaan Shalat Berjamaah

2. Apakah shalat berjamaah dianggap sah dan mencukupi jika dilakukan di rumah, walaupun tidak dilaksanakan di masjid?

Mohon Jawaban beserta dalilnya.

Waalaikumsalam salam

Jawaban

Jawaban No. 1
Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat berjamaah. Sebagian ulama berpendapat bahwa hukumnya sunnah muakkadah, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan. Pendapat lain menyatakan bahwa hukumnya fardhu kifayah, artinya jika di satu desa terdapat sekelompok orang yang telah melaksanakan shalat berjamaah, maka kewajiban tersebut gugur bagi yang lain, sehingga mereka tidak berdosa. Namun, jika dalam satu desa tidak ada yang melaksanakan shalat berjamaah sama sekali, maka seluruh penduduk desa tersebut berdosa.

Adapun Maksud dari jawaban terhadap ucapan Ali radhiyallahu ‘anhu:

“Tidak ada salat bagi tetangga masjid kecuali di masjid,” maknanya adalah salah satu dari dua kemungkinan:

Penafian kesempurnaan (yakni salatnya tidak sempurna jika tidak di masjid).

Salat di rumahnya tidak dianggap berjemaah bersama imam di masjid.

Adapun jawaban terhadap riwayat Ibnu Mas’ud, tujuannya adalah untuk menekankan keutamaan berjemaah dan anjuran menanggung kesulitan demi melaksanakannya. Riwayat ini tidak menunjukkan kewajiban salat berjemaah.

Adapun analogi dengan salat Jumat tidaklah sah, karena salat Jumat diwajibkan berjemaah karena berjemaah adalah syarat sahnya

Jawaban No. 2

Menurut pendapat Imam Syafi’i, orang yang melaksanakan shalat berjamaah baik di rumah maupun di masjid tetap dianggap sah dan mencukupi, artinya kewajiban fardhu kifayah telah terpenuhi. Akan tetapi, keutamaan shalat berjamaah di masjid lebih utama nilai pahalanya dibandingkan jika dilakukan di rumah, apalagi jumlah jamaahnya lebih banyak dimasjid, sedangkan jumlah minimal jamaah dalam shalat berjamaah adalah dua orang, yaitu seorang imam  dan seorang makmum, sedangkan maksimalnya tidak ada batasannya Wallahu a’lam.

حاوى الكبير ٣٠٣
وَرُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – رَأَى رَجُلًا قَدْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ بَعْدَ فَرَاغِ النَّاسِ مِنَ الصَّلَاةِ، فَقَالَ: مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ “، فَلَوْ كَانَتِ الْجَمَاعَةُ وَاجِبَةً لَأَنْكَرَ عَلَيْهِ تَأَخُّرَهُ، وَلَنَهَاهُ عَنْ مِثْلِهِ، وَلَمَا أَخْبَرَ أَنَّ الصَّلَاةَ معه صدقة عليه، ولأنها تؤدى صلاة جَمَاعَةً وَفُرَادَى فَوَجَبَ أَنْ لَا تَجِبَ الْجَمَاعَةُ فِيهَا كَالنَّوَافِلِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْله تَعَالَى: {وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ} [النساء: ١٠٢] فَالْمُرَادُ بِهَا تَعْلِيمُ صَلَاةِ الْخَوْفِ، وَبَيَانُهَا عِنْدَ مُلَاقَاةِ الْعَدُوِّ، لِأَنَّ ذَلِكَ أَبْلَغُ فِي حِرَاسَتِهِمْ، لِأَنَّهُمْ لَوْ صَلَّوْا مُنْفَرِدِينَ اشْتَغَلَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمْ بِنَفْسِهِ، فَلَمْ يُؤْمَنْ سَطْوَةُ الْعَدُوِّ بِهِمْ عِنْدَ انْتِهَازِ الْفُرْصَةِ مِنْهُمْ لِشُغْلِهِمْ، وَلَوْ أُمِرُوا أَنْ يُصَلُّوا مَعًا لَأَدَّى ذَلِكَ إِلَى الظَّفَرِ بِهِمْ وَأَمَرَ اللَّهُ تَعَالَى نَبِيَّهُ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – أَنْ يَفْتَرِقُوا فَرِيقَيْنِ فَيُصَلِّيَ بِفَرِيقٍ وَيَحْرُسَهُمْ فَرِيقٌ فَلَمْ يَكُنْ فِي الْآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِ الْجَمَاعَةِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” ثُمَّ أُخَالِفَ عَلَى رِجَالٍ لَمْ يَشْهَدُوا الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ ” هُوَ أَنَّ تَحْرِيقَ بُيُوتِهِمْ لِنِفَاقِهِمْ لَا لِتَخَلُّفِهِمْ عَنِ الْجَمَاعَةِ غَيْرَ أَنَّهُ اسْتَدَلَّ بِتَخَلُّفِهِمْ عَلَى نِفَاقِهِمْ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ الْوَعِيدَ لِأَجْلِ النِّفَاقِ لَا لِأَجْلِ التَّخَلُّفِ عَنِ الْجَمَاعَةِ شَيْئَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ حَرْقُ الدُّورِ، وَنَهْبُ الْأَمْوَالِ بِالتَّخَلُّفِ عَنِ الْجَمَاعَةِ وَالْإِجْمَاعِ والثاني: قوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فِي الْخَبَرِ: ” ثُمَّ أُخَالِفُ إِلَى رِجَالٍ لَمْ يَشْهَدُوا الصَّلَاةَ ” وَلَا خِلَافَ أَنَّ مَنْ لَمْ يَشْهَدِ الصَّلَاةَ بِنَفْسِهِ وَأَدَّاهَا جَمَاعَةً فِي مَنْزِلِهِ قد أدى أنه فَرْضَهُ مِنْ غَيْرِ إِثْمٍ وَلَا مَعْصِيَةٍ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ ” فَالْمُرَادُ بِهِ نِدَاءُ الْجُمُعَةِ الَّذِي قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ} [الجمعة: ٩] وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ: فَيُحْمَلُ عَلَى أَحَدِ أَمْرَيْنِ: إِمَّا عَلَى صَلَاةِ الْجُمُعَةِ، أَوْ عَلَى أَنَّهُ سَأَلَهُ عَنِ الْأَفْضَلِ وَالْأَكْمَلِ بِدَلِيلِ إِجْمَاعِنَا أَنَّ الضَّرِيرَ مَعْذُورٌ بِالتَّخَلُّفِ عَنْهَا وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” بيْننا وَبَيْنَ الْمُنَافِقِينَ أَنْ لَا يحضُروا الْمَغْرِبَ وَعِشَاءَ الْآخِرَةِ ” فَجَوَابَانِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّهُ قَصَدَ بِهِ طَائِفَةً مِنَ الْمُنَافِقِينَ مَعْرُوفِينَ كَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيِّ ابْنِ سَلُولٍ وَأَصْحَابِهِ لِتَخْصِيصِ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ مَعَ اسْتِوَاءِ حُكْمِ الْجَمَاعَةِ فِي كُلِّ الصَّلَوَاتِ وَالثَّانِي: أَنَّهُ أَخْرَجَ ذَلِكَ عَلَى جِهَةِ الْحَثِّ والترغيب كقوله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” بَشِّرِ الْمَشَّائِينَ فِي الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ” فَكَذَا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” لَوْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ لَضَلَلْتُمْ ” كَالْجَوَابِ عَنِ الْخَبَرِ الْمُتَقَدِّمِ فَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ قَوْلِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ” لَا صَلَاةَ لِجَارِ الْمَسْجِدِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ ” فَمَحْمُولٌ عَلَى أَحَدِ أَمْرَيْنِ إِمَّا عَلَى نَفْيِ الْكَمَالِ، أَوْ عَلَى أَنَّهُ لَا صَلَاةَ فِي بَيْتِهِ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي مَسْجِدِهِ وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ خَبَرِ ابْنِ مَسْعُودٍ فَمَقْصُودُهُ بِهِ التَّنْبِيهُ عَلَى فَضْلِ الْجَمَاعَةِ، وَتَحَمُّلِ الْمَشَقَّةِ لَهَا، وَلَيْسَ فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى وُجُوبِهَا وَأَمَّا قِيَاسُهُمْ عَلَى الْجُمُعَةِ فَالْمُخَالِفُ يُبْطِلُ الْقِيَاسَ عَلَى أَنَّ الْمَعْنَى فِي الْجُمُعَةِ أَنَّ الْجَمَاعَةَ إِنَّمَا وَجَبَتْ لَهَا؛ لِأَنَّ الْجَمَاعَةَ مِنْ شَرْطِ صِحَّتِهَا، وَلَمَّا لَمْ تَكُنِ الْجَمَاعَةُ مِنْ شَرْطِ سَائِرِ الصَّلَوَاتِ لَمْ تَكُنِ الْجَمَاعَةُ وَاجِبَةً لَهَا فَإِذَا تَقَرَّرَ مَا ذَكَرْنَا أَنَّ الْجَمَاعَةَ لَيْسَتْ فَرْضًا عَلَى الْأَعْيَانِ فَقَدْ ذَكَرْنَا فِيهِمَا وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا: هُوَ قَوْلُ أَبِي عَلِيِّ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَجَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِنَا أَنَّهَا سُنَّةٌ، وَدَلِيلُنَا مَا تَقَدَّمَ، فَعَلَى هَذَا لَوْ أَطْبَقَ أَهْلُ بَلَدٍ، أَوْ قَرْيَةٍ عَلَى تَرْكِ الْجَمَاعَةِ فَقَدْ أساؤا بِتَرْكِهَا، وَلَمْ يَأْثَمُوا وَيُؤْمَرُوا بِهَا، وَيُؤَاخَذُوا عَلَى تَرْكِهَا وَالْوَجْهُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي الْعَبَّاسِ بْنِ سُرَيْجٍ، وَأَبِي إِسْحَاقَ الْمَرْوَزِيِّ، وَغَيْرِهِمَا أَنَّهَا فَرْضٌ عَلَى الْكِفَايَةِ وَدَلِيلُنَا مَا رَوَاهُ أَبُو الدَّرْدَاءِ أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” مَا مِن ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ لَمْ تُقَمْ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إِلَّا اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ، عليكم بالجماعة وإن الذثب يَأْخُذُ الْقَاصِيَةَ ” فَعَلَى هَذَا إِنْ أَجْمَعَ أَهْلُ بَلَدٍ عَلَى تَرْكِهَا فَقَدْ عَصَوْا وَأَثِمُوا بِقُعُودِهِمْ عَنْهَا، وَوَجَبَ عَلَى السُّلْطَانِ قِتَالُهُمْ عَلَى تَرْكِهَا وَإِنْ قَامَ بِفِعْلِهَا مَنْ تَقَعُ بِهِ الْكِفَايَةُ مِنْهُمْ وَانْتَشَرَ ظُهُورُهَا بَيْنَهُمْ سَقَطَ فَرْضُ الْجَمَاعَةِ عَنْهُمْ، فَإِذَا كَانَتْ قَرْيَةً صَغِيرَةً، وَأُقِيمَتِ الْجَمَاعَةُ فِي مَسْجِدٍ وَاحِدٍ فَانْتَشَرَتْ وَظَهَرَتْ سَقَطَ الْفَرْضُ، وَكَانَ لِبَاقِي أَهْلِهَا أَنْ يُصَلُّوا مُنْفَرِدِينَ وَإِنْ كَانَ الْبَلَدُ وَاسِعًا لَمْ يَسْقُطِ الْفَرْضُ بِإِقَامَتِهَا فِي مَسْجِدٍ وَاحِدٍ، وَلَا بِإِقَامَتِهَا فِي الْمَنَازِلِ وَالْبُيُوتِ لِعَدَمِ ظُهُورِهَا، وَانْتِشَارِهَا، حَتَّى تُقَامَ فِي عِدَّةِ مَسَاجِدَ تَظْهَرُ بِهَا الْجَمَاعَةُ وَتَنْتَشِرُ فَيَسْقُطُ الْفَرْضُ عَنِ الْبَاقِينَ وَيَجُوزُ أَنْ يُصَلُّوا مُنْفَرِدِينَ

Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah melihat seorang laki-laki masuk masjid setelah orang-orang selesai melaksanakan salat, lalu beliau bersabda: “Siapa yang mau bersedekah kepada orang ini dengan salat bersamanya?” Seandainya salat berjemaah itu wajib, niscaya beliau akan mengingkari keterlambatannya, melarang perbuatannya, dan tidak akan menyebut salat bersamanya sebagai sedekah. Hal ini juga karena salat dapat dilakukan secara berjemaah maupun sendirian, sehingga tidak wajibnya berjemaah dapat dianalogikan dengan salat sunnah.
Adapun jawaban terhadap firman Allah Ta’ala:
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka lalu kamu hendak mendirikan salat bersama mereka…” (QS. An-Nisa: 102), ayat ini bermakna mengajarkan salat khauf (salat saat ketakutan) dan menjelaskan tata caranya saat menghadapi musuh, karena hal ini lebih efektif dalam menjaga keamanan mereka. Sebab, jika mereka salat sendiri-sendiri, masing-masing akan sibuk menjaga dirinya, sehingga mereka tidak aman dari serangan musuh yang memanfaatkan kesempatan tersebut. Jika mereka diperintahkan untuk salat bersama secara serentak, maka hal itu justru akan menyebabkan musuh mengalahkan mereka. Maka Allah memerintahkan Nabi-Nya ﷺ untuk membagi mereka menjadi dua kelompok, satu kelompok salat bersama beliau, sementara kelompok lainnya berjaga. Oleh karena itu, ayat ini tidak menunjukkan kewajiban salat berjemaah.
Adapun jawaban terhadap sabda Nabi ﷺ:
“Kemudian aku ingin mendatangi orang-orang yang tidak menghadiri salat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka.” Jawabannya adalah, tindakan membakar rumah mereka karena sifat munafik mereka, bukan semata-mata karena mereka tidak menghadiri salat berjemaah. Namun, ketidakhadiran mereka dijadikan bukti atas kemunafikan mereka. Bukti bahwa ancaman ini disebabkan kemunafikan, bukan semata-mata karena meninggalkan berjemaah, adalah:

Tidak diperbolehkan membakar rumah atau merampas harta hanya karena meninggalkan salat berjemaah, berdasarkan ijmak (kesepakatan ulama).

Sabda beliau ﷺ: “Kemudian aku ingin mendatangi orang-orang yang tidak menghadiri salat.” Tidak ada perbedaan pendapat bahwa siapa saja yang tidak menghadiri salat berjemaah di masjid namun melaksanakannya di rumahnya bersama keluarga secara berjemaah telah melaksanakan kewajibannya tanpa dosa atau maksiat.

Adapun jawaban terhadap sabda Nabi ﷺ:
“Barang siapa mendengar azan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada salat baginya kecuali ada uzur.” Maksudnya adalah azan untuk salat Jumat, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah mengingat Allah…” (QS. Al-Jumu’ah: 9).
Adapun jawaban terhadap hadis ‘Itban bin Malik adalah salah satu dari dua kemungkinan:

Dimaksudkan untuk salat Jumat.

Dimaksudkan sebagai anjuran untuk memilih yang lebih utama dan sempurna. Hal ini ditunjukkan dengan ijmak kita bahwa orang buta diberi uzur untuk tidak menghadiri salat berjemaah.

Adapun jawaban terhadap sabda Nabi ﷺ:
“Di antara tanda kemunafikan adalah tidak menghadiri salat Magrib dan Isya berjemaah,” terdapat dua jawaban:

Sabda ini ditujukan kepada kelompok tertentu dari kalangan munafik yang dikenal, seperti Abdullah bin Ubay bin Salul dan para pengikutnya, karena dikhususkan pada salat Magrib dan Isya, padahal hukum salat berjemaah sama untuk semua salat.

Sabda ini dimaksudkan sebagai dorongan dan motivasi, sebagaimana sabda beliau ﷺ: “Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan dalam kegelapan menuju masjid bahwa mereka akan mendapatkan cahaya sempurna pada hari kiamat.”

Demikian juga jawaban terhadap sabda Nabi ﷺ:
“Jika kalian salat di rumah-rumah kalian, niscaya kalian akan tersesat.” Hal ini serupa dengan jawaban terhadap hadis sebelumnya.
Adapun jawaban terhadap ucapan Ali radhiyallahu ‘anhu:
“Tidak ada salat bagi tetangga masjid kecuali di masjid,” maknanya adalah salah satu dari dua kemungkinan:

Penafian kesempurnaan (yakni salatnya tidak sempurna jika tidak di masjid).

Salat di rumahnya tidak dianggap berjemaah bersama imam di masjid. Adapun jawaban terhadap riwayat Ibnu Mas’ud, tujuannya adalah untuk menekankan keutamaan berjemaah dan anjuran menanggung kesulitan demi melaksanakannya. Riwayat ini tidak menunjukkan kewajiban salat berjemaah.

Adapun analogi dengan salat Jumat tidaklah sah, karena salat Jumat diwajibkan berjemaah karena berjemaah adalah syarat sahnya. Sementara itu, berjemaah bukanlah syarat sah salat lainnya, sehingga tidak wajib berjemaah dalam salat tersebut.
Berdasarkan hal ini, disimpulkan bahwa salat berjemaah tidak wajib bagi setiap individu. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat:

Menurut Abu Ali bin Abi Hurairah dan sebagian ulama mazhab kami, salat berjemaah adalah sunnah. Pendapat ini didukung oleh dalil-dalil yang telah disebutkan sebelumnya. Jika penduduk suatu wilayah atau desa sepakat meninggalkan salat berjemaah, mereka berdosa karena meninggalkannya, tetapi tidak terkena hukuman. Mereka hanya diperintahkan melaksanakannya dan diingatkan atas kelalaian mereka.

Menurut Abu Abbas bin Suraij, Abu Ishaq al-Marwazi, dan lainnya, salat berjemaah adalah fardhu kifayah. Dalilnya adalah hadis Abu Darda bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“Tidak ada tiga orang di suatu kampung yang tidak mendirikan salat berjemaah, kecuali setan menguasai mereka. Maka hendaklah kalian berjemaah, karena serigala hanya memakan domba yang terpisah.”

Jika seluruh penduduk suatu wilayah meninggalkan salat berjemaah, maka mereka berdosa dan harus diperangi oleh penguasa atas kelalaian mereka. Namun, jika sebagian dari mereka melaksanakannya sehingga sudah cukup untuk memenuhi kewajiban, maka kewajiban tersebut gugur bagi yang lain.
Jika wilayah itu kecil dan salat berjemaah dilakukan di satu masjid sehingga terlihat dan diketahui, maka kewajiban gugur, dan sisanya boleh salat sendirian. Namun, jika wilayahnya luas, kewajiban tidak gugur dengan pelaksanaan di satu masjid atau di rumah, karena tidak tampaknya pelaksanaan berjemaah. Oleh karena itu, harus ada pelaksanaan di beberapa masjid sampai terlihat dan tersebar, sehingga kewajiban tersebut gugur bagi yang lain.

[(مسألة)] : قال الشافعي رضي الله عنه: ” وَإِنْ جَمَعَ فِي بَيْتِهِ أَوْ مَسْجِدٍ وَإِنْ صَغُرَ أَجْزَأَ عَنْهُ وَالْمَسْجِدُ الْأَعْظَمُ، وَحَيْثُ كَثُرَتِ الْجَمَاعَاتُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ ” قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: أَمَّا أَقَلُّ الْعَدَدِ الَّذِي يُدْرَكُ بِهِ الْجَمَاعَةُ فَهُوَ اثْنَانِ يَأْتَمُّ أَحَدُهُمَا بِالْآخَرِ فَيُدْرِكَانِ فَضِيلَةَ الْجَمَاعَةِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ -: ” الِاثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ ” وَإِذَا تَقَرَّرَ هَذَا فَالْجَمَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ الْأَعْظَمِ وَحَيْثُ كَثُرَتِ الْجَمَاعَةُ أَوْلَى وَأَفْضَلُ مِنْهَا فِي الْجَمْعِ الْيَسِيرِ وَالْجَمَاعَةُ الْيَسِيرَةُ فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَلُ مِنْهَا فِي الْمَنْزِلِ فَأَمَّا الدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّهَا فِي الْجَمْعِ الْكَثِيرِ أَفْضَلُ مَا رَوَاهُ أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” صَلَاةُ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مُنْفَرِدًا وَصَلَاةُ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَوْلَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الْوَاحِدِ كُلَّمَا كَثُرَ كَانَ أَحَبَّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى ” وَأَمَّا الدَّلَالَةُ عَلَى أَنَّهَا فِي الْمَسْجِدِ أَفْضَلُ مِنْهَا فِي الْمَنْزِلِ مَا رَوَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ جِبْرِيلُ إِلَى النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَقَالَ بَشِّرِ الْمَشَّائِينَ فِي الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِنُورٍ تَامٍّ فِي الْقِيَامَةِ ” وَرُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – قَالَ: ” يُكْتَبُ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ حَسَنَةٌ ” وَأَمَّا إذا لم يكن في المسجد قَبِيلَتِهِ، أَوْ مَحَلَّتِهِ مَنْ يُقِيمُ بِالْجَمَاعَةِ الْيَسِيرَةِ غَيْرُهُ وَكَانَ فِي ذَهَابِهِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَعْظَمِ، وَالْجَمْعِ الْأَكْبَرِ تَعْطِيلٌ لِجَمْعِ مَسْجِدِهِ الْيَسِيرِ، فَصَلَاتُهُ فِي مَسْجِدِهِ وَجَمْعِهِ الْيَسِيرِ فِيهِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهِ فِي الْجَمْعِ الْكَثِيرِ فِي الْمَسْجِدِ الْأَعْظَمِ، لِمَا فِي ذَلِكَ مِنْ قُوَّةِ ظُهُورِهَا، وَكَثْرَةِ انتشارها، أو عمارة الْمَسَاجِدِ بِإِقَامَتِهَا

(Masalah): Imam Syafi’i ra. berkata: “Jika seseorang mengadakan shalat berjamaah di rumahnya atau di masjid, meskipun masjid itu kecil, hal tersebut sudah cukup baginya. Namun, masjid yang lebih besar lebih utama. Shalat berjamaah di tempat yang jumlah jamaahnya lebih banyak lebih aku sukai.”

Al-Mawardi menjelaskan: Adapun jumlah minimal yang dapat dianggap sebagai jamaah adalah dua orang. Salah satu dari mereka menjadi makmum kepada yang lain, maka keduanya akan mendapatkan keutamaan berjamaah. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw.: “Dua orang atau lebih dianggap sebagai jamaah.”

Jika ini sudah dipahami, maka shalat berjamaah di masjid yang lebih besar dengan jamaah yang lebih banyak lebih utama dan lebih baik dibandingkan berjamaah dengan jumlah sedikit. Namun, berjamaah dengan jumlah sedikit di masjid tetap lebih baik dibandingkan melakukannya di rumah.

Adapun dalil yang menunjukkan bahwa berjamaah dengan jumlah besar lebih utama adalah hadis yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Shalat dua orang lebih baik daripada shalat sendirian, dan shalat seseorang bersama dua orang lebih utama daripada bersama satu orang. Semakin banyak jumlah jamaah, maka itu lebih dicintai oleh Allah Ta’ala.”

Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa shalat berjamaah di masjid lebih utama daripada di rumah adalah hadis yang diriwayatkan dari Umar bin Khattab ra., bahwa Jibril datang kepada Nabi saw. dan berkata:
“Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan dalam kegelapan menuju masjid dengan cahaya sempurna pada hari kiamat.”

Diriwayatkan pula dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda:
“Setiap langkahnya akan dicatat sebagai kebaikan.”

Namun, jika di masjid lingkungan atau kampungnya tidak ada orang lain yang melaksanakan shalat berjamaah selain dirinya, sedangkan jika ia pergi ke masjid yang lebih besar dan dengan jamaah yang lebih banyak akan menyebabkan tidak terlaksananya jamaah di masjid kecil di lingkungannya, maka shalatnya di masjid kecil tersebut lebih utama daripada di masjid besar dengan jamaah yang banyak. Hal ini karena shalatnya di masjid kecil itu mendukung kehadiran shalat berjamaah, meningkatkan penyebarannya, serta memakmurkan masjid dengan pelaksanaan shalat di dalamnya.Wallahu A’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Pengaruh Biaya Produksi Terhadap Kewajiban Zakat Pertanian

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Banyak petani saat ini merasa keberatan untuk mengeluarkan zakat dari hasil panen mereka karena tingginya biaya produksi, seperti biaya pupuk, panen, dan pestisida. Mereka timbul tanda tanya yaitu:

apakah biaya-biaya tersebut dapat mengurangi / pempengruhi jumlah zakat yang harus dikeluarkan atau bahkan menghapus kewajiban zakat.?

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Jawaban

Biaya produksi pertanian seperti pupuk, panen, dan pestisida tidak mengurangi persentase zakat yang harus dikeluarkan. Namun, biaya-biaya ini dapat mempengaruhi kewajiban mengeluarkan zakat itu sendiri.

Penjelasan

* Persentase Zakat Tetap: Jika hasil panen sudah mencapai nishab (batas minimal harta yang wajib dizakati) dan haul (satu tahun penuh), maka persentase zakat yang harus dikeluarkan tetap sesuai dengan ketentuan syariat, misalnya 10% untuk hasil pertanian tertentu.

* Pengaruh terhadap Kewajiban Zakat: Biaya produksi dapat mempengaruhi apakah zakat harus dikeluarkan atau tidak. Jika setelah dikurangi semua biaya, harta yang tersisa masih mencapai nishab dan haul, maka zakat tetap wajib. Namun, jika setelah dikurangi biaya, harta yang tersisa tidak mencapai nishab, maka zakat tidak wajib dikeluarkan.

Contoh:

Seorang petani memiliki hasil panen padi sebesar 10 ton. Setelah dikurangi biaya produksi sebesar 5 ton, sisanya masih 5 ton. Karena 5 ton masih mencapai nishab, maka petani tetap wajib mengeluarkan zakat dari 5 ton tersebut.

Hal Penting yang Perlu Diingat:

* Niat: Niat untuk mengeluarkan zakat adalah hal yang sangat penting. Meskipun biaya produksi tinggi, niat untuk menunaikan zakat harus tetap ada.

Referensi :

فقه الزكاة ليوسف القرضاوي،١/ ٣٤٦)

وَعَنْ عَطَاءٍ أَنــَّهُ يَسْقُطُ مِمَّا أصَابَ النَفَقَةَ فََإنْ بَقِىَ مِقْدَارُ مَا فِيْهِ الزَّكَاةُ زُكِّىَ، وَإلاَّ فَلاَ.

(فتاوى الأزهر، ١٧٩/١ )

وَتَعَرَّضَ إبْنُ الْعَرَبِىِّ فِي شَرْحِ الــتــُّرْْمُذِيِّ لِهَذِهِ الْمَسَألَةِ فَقَالَ: إخْتــَلَفَ قَوْلُ عُلَمَائِنَا، هَلْ تَحُطُّ الْمُؤْنـَةُ مِنَ الْمَالِ اْلمُزَكىَّ، وَحِيْنَئِذٍ تَجِبُ الزَّكَاةُ أيْ فِي الصَّافِي، أوْ تــَكُوْنَ مُؤنــَةُ الْمَالِ وَخِدْمَتِهِ حَتــَّى يَصِيْرَ حَاصِلاً فِي رَبِّ الْمَالِ، وَتـُؤْخَذُ الزَّكَاةُ مِنَ الرَّأْسِ أيْ مِنْ إجْمَالِيِّ اْلحَاصِلِ؟ فَذَهَبَ إلَى أنــَّهُ الصَّحِيْحُ أنْ تـــَحُطَّ وَتَرْفَعَ مِنَ اْلحَاصِلِ، وَأنَّ الْبَاقِيَ هُوَ الَّذِيْ يُؤْخَذُ عُشُرُهُ، وَاسْتَدَلَّ لِذَلِكَ بِحَدِيْثِ النَّبِيِّ  دَعُوْا الثــُلُثَ أوِ الرُّّبــُعَ وَأنَّ الثُّلُثَ أوِ الرُّبــُعَ يُعَادِلُ قَدْرَ اْلمُؤْنَةِ تَقْرِيْبًا، فَإذَا حُسِبَ مَا يَأْكُلُهُ رَطْبًا، وَمَا يُنْفِقُهُ مِنَ اْلمُؤْنــَةِ تَخَلَّصَ الْبَاقِي ثــَلاَثــَةَ أرْبَاعٍ، أوْ ثــُلُثــَيْنِ، قَالَ: وَلَقَدْ جَرَّبْنَاهُ فَوَجَدْنَاهُ كَذَلِكَ فِي اْلأغْلَبِ. إهـ (شرح الترمذي، ٣ /١٣٤

Referensi:

Fikih Zakat karya Yusuf al-Qaradawi, 1/346:

“Dan dari ‘Ata’ bahwa yang terkena biaya (nafkah) itu gugur. Jika masih tersisa sejumlah yang harus dizakati, maka dizakati, jika tidak, maka tidak.”

Fatawa al-Azhar, 1/179:

“Dan Ibnu al-‘Arabi dalam Syarh at-Tirmidzi membahas masalah ini lalu berkata: Berbeda pendapat ulama kami, apakah biaya (mu’nah) itu mengurangi harta yang dizakati, sehingga zakat hanya dikenakan pada sisa harta yang bersih, atau biaya pengelolaan harta itu termasuk beban hingga menjadi hasil bagi pemilik harta, sehingga zakat diambil dari keseluruhan hasil? Beliau berpendapat bahwa yang benar adalah biaya itu mengurangi hasil dan hanya sisa hasil itulah yang dikenakan sepersepuluh. Beliau dalilkan dengan hadits Nabi ﷺ yang berbunyi, ‘Tinggalkan sepertiga atau seperempat.’ Dan sepertiga atau seperempat itu hampir sama dengan jumlah biaya. Jika dihitung apa yang dikonsumsi dalam bentuk basah dan apa yang dikeluarkan sebagai biaya, maka sisanya adalah tiga perempat atau dua pertiga. Beliau berkata, ‘Kami telah mencobanya dan mendapati bahwa hal itu paling sering terjadi demikian.’”Wallahu Alam bisshowab

 

 

 

Kategori
Hukum

Mufaraqah dalam Sholat Berjamaah: Dilema antara Niat dan Gerakan

Deskripsi Masalah

Mufaraqoh dalam shalat berjamaah adalah tindakan seorang makmum memisahkan diri dari imam. Tindakan ini biasanya dilakukan karena adanya alasan syar’i, seperti kesalahan imam dalam bacaan atau gerakan shalat. Namun, bagaimana jika seorang makmum tetap mengikuti gerakan imam setelah memutuskan untuk mufaraqoh? Pertanyaan ini seringkali menimbulkan perdebatan di kalangan ulama.
Analisis Masalah
Skenario:
Seorang makmum mendengar bacaan imam yang dianggapnya membatalkan shalat. Ia kemudian berniat mufaraqoh. Namun, karena khawatir menimbulkan fitnah, ia tetap mengikuti gerakan imam hingga salam.

Pertanyaan Kunci:

1. Bagaimana hukum mufaroqoh sebagaimana Deskripsi?

2. Apakah sah sholatnya makmum  walaupun mufaroqoh sementara gerakan sholatnya tetap seperti bermakmum pada imam sampai salamnya ?

Waalaikumsalam salam

jawaban: Soal No.1

Mofaraqoh adalah Memutus ikatan dalam shalat jamaah. Di saat mufaraqah seseorang diharuskan berniat supaya shalatnya tidak dianggap batal, meskipun terkadang bisa menggugurkan fadhilah jamaah.
Seorang makmum dianjurkan mengikuti imam dalam setiap gerakannya. Namun, karena adanya hal lain,maka boleh mufaroqoh karena beberapa alasan, antara lain misalkan:
a). Kesalahan Imam: Imam melakukan kesalahan yang membatalkan shalat, seperti membaca ayat Al-Qur’an dengan bacaan yang tidak benar dalam Al-Quran atau melakukan gerakan yang bertentangan dengan sunnah.maka hukum nya wajib
b). Keraguan terhadap Imam: Makmum ragu-ragu terhadap kemampuan imam dalam memimpin shalat.Maka hukumnya sunnah
c). Khawatir Terbawa Kesalahan: Makmum khawatir terbawa kesalahan imam sehingga shalatnya menjadi tidak sah.

Referensi:

فتح المعين ص ١٧٤

وتجوز المفارقة بلا عذر، مع الكراهة، فتفوت فضيلة الجماعة والمفارقة بعذر: كمرخص ترك جماعة، وتركه سنة مقصودة كتشهد أول، وقنوت، وسورة، وتطويله وباامأموم ضعف أو شغل لا تفوت فضيلتها. وقد تجب المفارقة، كأن عرض مبطل لصلاة إمامه وقد علمه فيلزمه نيتها ؤضفورا وإلا بطلت، وإن لم يتابعه اتفاقا، كما في المجموع

Sebagaimana yang deijelasksan dalam kitab Fathul Mu’in hal. 174, karangan dari Syaikh Zanuddin Abd al Aziz al Malibary, bahwasanya hukum mufaraqah itu makruh dan bisa menggugurkan fadilah jamaah apabila mufaraqahnya tanpa sebab. Tetapi bisa menjadi mubah dan tidak menggugurkan fadhilah jamaah apabila makmum mufaraqah dikarenakan imamnya meninggalkan sunnah maqsudah seperti tasyahud awal, qunut, membaca surat sunnah atau imam yang memanjangkan bacaan shalatnya, sementara makmum dalam keadaan yang lemah atau dalam urusan tertentu. Adapun bisa menjadi wajib hukumnya, apabila shalat seorang imam batal dan makmum mengetahuinya. Maka dianjurkan makmum dengan segera mufaraqah dari imam tersebut. Seperti yang terdapat dalam kitab Majmu’.

Begitu juga keterangan dalam al-Mausuah al-fiqhiyah ada kalanya hukum mufarqoh wajib dan ada kalanya sunnah, makruh dan mubah

Jawaban soal No.2

Menurut pendapat yang ashah dalam madzhab Syafi’i, jika ada orang yang tidak berniat menjadi makmum atau sebelumnya ia niat makmum lalu niat mufaraqah, namun gerakannya mengikuti imam, maka shalat makmum tersebut hukumnya batal. Alasannya adalah dikarenakan shalatnya terhubung dengan orang yang tidak menjadi imamnya, selain itu orang yang mengerjakan hal tersebut dianggap sebagai orang yang mempermainkan shalat (mutala’ib bish shalah). Namun menurut sebagian ulama bahwa orang yang melakukannya shalatnya dihukumi batal hanya apabila ia memang mengerti ketentuan mengenai batalnya shalat apabila mengikuti gerakan imam tanpa niat menjadi makmum.

Dan juga hukum tersebut mengecualikan jika makmum tersebut tetap mengikuti imam (meskipun sudah niat mufaraqah) dengan tujuan untuk menghindarkan dirinya dari gunjingan dan celaan dari orang-orang yang melihatnya atau menghindari tekanan dari penguasa.

Kesimpulannya, makmum yang mufaraqah namun tetap mengikuti gerakan imam shalatnya dihukumi batal, kecuali: Jika seseorang mengikuti imam secara kebetulan atau karena alasan lain yang sah (misalnya menghindari celaan orang), maka shalatnya tidak batal.

حاشية إعانة الطالبين ج٢ص٢٥

اتفق نص الشافعي والأصحاب على أنه يشترط لصحة الجماعة أن ينوي المأموم الجماعة والاقتداء والائتمام قالوا وتكون هذه النية مقرونة بتكبيرة الإحرام كسائر ما ينويه فإن لم ينو في الابتداء وأحرم منفردا ثم نوى الاقتداء في أثناء صلاته ففيه خلاف ذكره المصنف بعد هذا وإذا ترك نية الاقتداء والانفراد وأحرم مطلقا انعقدت صلاته منفردا فإن تابع الإمام في أفعاله من غير تجديد نية فوجهان حكاهما القاضي حسين في تعليقه والمتولي وآخرون (أصحهما) وأشهرهما تبطل صلاته لأنه ارتبط بمن ليس بإمام له فأشبه الارتباط بغير المصلي وبهذا قطع البغوي وآخرون والثاني لا تبطل لأنه أتى بالأركان على وجهها وبهذا قطع الأكثرون

Hasyiyah I’anah ath Thalibin juz 2 hal. 25:
“Jika seseorang meninggalkan niat ini (niat mengikuti imam), atau ragu-ragu tentang niatnya, lalu mengikuti seorang yang sedang shalat dalam suatu gerakan, seperti ruku’ dengan mengikuti orang tersebut, atau dalam salam dengan maksud seperti itu tanpa niat mengikuti, dan penantiannya cukup lama, maka shalatnya batal.
(Kalimat: “Shalatnya batal”) artinya karena dia telah menjadikan shalatnya tergantung pada shalat orang lain tanpa ada hubungan antara keduanya. Dalam kitab an-Nihayah disebutkan: Apakah kebatilan ini berlaku umum bagi orang yang mengetahui larangan (haramnya) dan orang yang tidak tahu (jahil), atau hanya khusus bagi orang yang tahu? Al-Adzra’i berkata: Saya tidak menemukan sesuatu pun tentang hal ini, dan ini bisa jadi, dan yang lebih dekat adalah bahwa orang yang jahil dimaafkan.

حاشية البجيرمى على الخطيب شرح المنهاج ج١ ص ٣٣٠

فلو ترك هذه النية، أو شك فيها، وتابع مصليا في فعل، كأن هوى للركوع متابعا له، أو في سلام بأن قصد ذلك من غير اقتداء به وطال عرفا انتظاره له، بطلت صلاته
ـ (قوله: بطلت صلاته) أي لأنه متلاعب لكونه وقفها على صلاة غيره بلا رابط بينهما. قال في النهاية: هل البطلان عام في العالم بالمنع والجاهل أو مختص بالعالم؟ قال الأذرعي: لم أر فيه شيئا، وهو محتمل، والأقرب أنه يعذر
______

ـ (فلو تركها) أي هذه النية (أو شك) فيها (وتابع في فعل أو سلام بعد انتظار كثير) للمتابعة بطلت صلاته لأنه وقفها على صلاة غيره بلا رابط بينهما فلو تابعه اتفاقا أو بعد انتظار يسير أو انتظره كثيرا بلا متابعة لم يضر
ولم يذكر محترز قوله للمتابعة ومحترزه ما لو انتظره كثيرا لأجل غيرها كدفع لوم الناس عليه كأن كان لا يحب الاقتداء بالإمام لغرض ويخاف لو انفرد عنه حسا صولة الإمام أو لوم الناس عليه لاتهامه بالرغبة عن الجماعة فإذا انتظر الإمام كثيرا لدفع هذه الريبة فإنه لا يضر كما قرره شيخنا ح ف

Hasyiah al Bujairamiy ‘ala Syarh al Manhaj juz 1 hal. 330:
“(Jika seseorang meninggalkan niat ini) yaitu niat mengikuti imam (atau ragu-ragu) tentang niatnya (lalu mengikuti dalam suatu gerakan atau salam setelah menunggu lama) karena mengikuti, maka shalatnya batal karena dia telah menjadikan shalatnya tergantung pada shalat orang lain tanpa ada hubungan antara keduanya. Jika dia mengikuti secara kebetulan atau setelah menunggu sebentar, atau dia menunggu lama tanpa mengikuti, maka tidak mengapa.
Dan tidak disebutkan syarat untuk kalimat ‘mengikuti’ dan syaratnya adalah jika dia menunggu lama karena alasan lain, seperti untuk menghindari celaan orang, misalnya dia tidak suka mengikuti imam karena suatu alasan dan dia takut jika shalat sendirian akan terdengar suara keras imam atau dicela orang karena dianggap tidak suka berjamaah. Maka jika dia menunggu imam dalam waktu yang lama untuk menghindari kecurigaan ini, maka tidak mengapa, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh guruku, al-Hafizh.”
Penjelasan Singkat:
Kedua teks di atas membahas tentang syarat sahnya shalat berjamaah dalam mazhab Syafi’i. Secara umum, teks-teks ini menjelaskan bahwa:
* Niat mengikuti imam: Merupakan syarat wajib dalam shalat berjamaah. Jika seseorang tidak berniat mengikuti imam sejak awal atau ragu-ragu, lalu mengikuti gerakan imam, maka shalatnya batal.
* Alasan pembatalan: Pembatalan shalat dalam kasus ini dikarenakan seseorang menjadikan shalatnya tergantung pada shalat orang lain tanpa adanya hubungan yang sah antara keduanya.
* Pengecualian: Jika seseorang mengikuti imam secara kebetulan atau karena alasan lain yang sah (misalnya menghindari celaan orang), maka shalatnya tidak batal.
Kesimpulan:
Ibarat  sebagaimana yang disebutkan adalah menekankan pentingnya niat mengikuti imam dalam shalat berjamaah. Niat ini harus ada sejak awal shalat dan tidak boleh ragu-ragu. Jika syarat ini tidak terpenuhi, maka shalat seseorang akan dianggap batal..

المكتبة الشاملة
كتاب تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي[ابن حجر الهيتمي] ج٢ص٣٢٧

انْتِظَارُهُ لَهُ (بَطَلَتْ صَلَاتُهُ عَلَى الصَّحِيحِ) ؛ لِأَنَّهُ مُتَلَاعِبٌ، فَإِنْ وَقَعَ ذَلِكَ مِنْهُ اتِّفَاقًا لَا قَصْدًا أَوْ انْتَظَرَهُ يَسِيرًا أَوْ كَثِيرًا بِلَا مُتَابَعَةٍ لَمْ تَبْطُلْ جَزْمًا وَمَا اقْتَضَاهُ قَوْلُ الْعَزِيزِ وَغَيْرِهِ أَنَّ الشَّكَّ هُنَا كَهُوَ فِي أَصْلِ النِّيَّةِ مِنْ الْبُطْلَانِ بِانْتِظَارٍ طَوِيلٍ، وَإِنْ لَمْ يُتَابِعْ وَبِيَسِيرٍ مَعَ الْمُتَابَعَةِ غَيْرُ مُرَادٍ بِدَلِيلِ قَوْلِ الشَّيْخَيْنِ أَنَّهُ فِي حَالِ شَكِّهِ كَالْمُنْفَرِدِ وَمِنْ ثَمَّ أَثَّرَ شَكُّهُ فِي الْجُمُعَةِ إنْ طَالَ زَمَنُهُ، وَإِنْ لَمْ يُتَابِعْ أَوْ مَضَى مَعَهُ رُكْنٌ؛ لِأَنَّ الْجَمَاعَةَ فِيهَا شَرْطٌ فَهُوَ كَالشَّكِّ فِي أَصْلِ النِّيَّةِ وَيُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّهُ يُؤَثِّرُ الشَّكُّ فِيهَا بَعْدَ السَّلَامِ فَتُسْتَثْنَى مِنْ إطْلَاقِهِمْ أَنَّهُ هُنَا بَعْدَهُ لَا يُؤَثِّرُ؛ لِأَنَّهُ لَا يُنَافِي الِانْعِقَادَ ثُمَّ رَأَيْت بَعْضَهُمْ اسْتَثْنَاهَا وَاسْتَدَلَّ بِكَلَامٍ لِلزَّرْكَشِيِّ وَابْنِ الْعِمَادِ.
(وَلَا يَجِبُ تَعْيِينُ الْإِمَامِ) بِاسْمِهِ أَوْ وَصْفِهِ كَالْحَاضِرِ أَوْ الْإِشَارَةِ إلَيْهِ بَلْ يَكْفِي نِيَّةُ الِاقْتِدَاءِ وَلَوْ بِأَنْ يَقُولَ لِنَحْوِ الْتِبَاسٍ لِلْإِمَامِ بِغَيْرِهِ

[حاشية الشرواني]
لَظَهَرَ أَثَرُهُ وَيَحْتَمِلُ أَنَّ مَا هُنَا أَضْيَقُ وَهُوَ الْأَقْرَبُ وَيُوَجَّهُ بِأَنَّ الْمَدَارَ هُنَا عَلَى مَا يَظْهَرُ بِهِ كَوْنُهُ رَابِطًا صَلَاتَهُ بِصَلَاةِ إمَامِهِ وَهُوَ يَحْصُلُ بِمَا دُونَ ذَلِكَ (فَرْعٌ)
لَوْ انْتَظَرَهُ لِلرُّكُوعِ، وَالِاعْتِدَالِ، وَالسُّجُودِ وَهُوَ قَلِيلٌ فِي كُلٍّ وَلَكِنَّهُ كَثِيرٌ بِاعْتِبَارِ الْجُمْلَةِ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ مِنْ الْكَثِيرِ وَاعْتَمَدَ شَيْخُنَا الطَّبَلَاوِيُّ أَنَّهُ قَلِيلٌ سم عَلَى الْمَنْهَجِ أَقُولُ، وَالْأَقْرَبُ مَا قَالَهُ الطَّبَلَاوِيُّ ع ش وَقَالَ الْبُجَيْرِمِيُّ، وَالْمُرَادُ بِالِانْتِظَارِ الطَّوِيلِ هُوَ الَّذِي يَسَعُ الرُّكْنَ، وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ كَمَا قَرَّرَهُ شَيْخُنَا. اهـ. وَفِيهِ نَظَرٌ (قَوْلُهُ: انْتِظَارُهُ إلَخْ) وَاعْتِبَارُ الِانْتِظَارِ لِلرُّكُوعِ مَثَلًا بَعْدَ الْقِرَاءَةِ الْوَاجِبَةِ سم وَعِ ش (قَوْلُهُ: لَهُ) أَيْ لِلْمُتَابَعَةِ شَرْحُ الْمَنْهَجِ قَوْلُ الْمَتْنِ (بَطَلَتْ صَلَاتُهُ) هَلْ الْبُطْلَانُ عَامٌّ فِي الْعَالِمِ بِالْمَنْعِ وَالْجَاهِلِ، أَمْ مُخْتَصٌّ بِالْعَالِمِ قَالَ الْأَذْرَعِيُّ لَمْ أَرَ فِيهِ شَيْئًا وَهُوَ مُحْتَمِلٌ وَالْأَقْرَبُ أَنَّهُ يُعْذَرُ الْجَاهِلُ لَكِنْ قَالَ أَيْ الْأَذْرَعِيُّ فِي التَّوَسُّطِ الْأَشْبَهُ عَدَمُ الْفَرْقِ وَهُوَ الْأَوْجَهُ شَرْحُ م ر. اهـ. سم قَالَ ع ش بَقِيَ مَا لَوْ تَرَكَ نِيَّةَ الِاقْتِدَاءِ أَوْ قَصَدَ أَنْ لَا يُتَابِعَ الْإِمَامَ لِغَرَضٍ مَا فَسَهَا عَنْ ذَلِكَ فَانْتَظَرَهُ عَلَى ظَنِّ أَنَّهُ مُقْتَدٍ بِهِ فَهَلْ تَضُرُّ مُتَابَعَتُهُ حِينَئِذٍ أَوْ لَا فِيهِ نَظَرٌ وَلَا يَبْعُدُ عَدَمُ الضَّرَرِ ثُمَّ رَأَيْت الْأَذْرَعِيَّ فِي الْقُوتِ ذَكَرَ أَنَّ مِثْلَ الْعَالِمِ وَالْجَاهِلِ الْعَامِدُ وَالنَّاسِي فَيَضُرُّ. اهـ.

(قَوْلُهُ: ذَلِكَ) أَيْ الْمُتَابَعَةُ مُغْنِي وَشَرْحُ الْمَنْهَجِ (قَوْلُهُ: أَوْ انْتَظَرَهُ يَسِيرًا) أَيْ مَعَ الْمُتَابَعَةِ سم (قَوْلُهُ: أَوْ كَثِيرًا بِلَا مُتَابَعَةٍ) وَيَنْبَغِي أَنْ يَزِيدَ أَوْ كَثِيرًا وَتَابَعَ لَا لَأَجْلِ فِعْلِهِ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِ لَهُ سم وَع ش عِبَارَةُ الْبُجَيْرِمِيِّ وَلَمْ يَذْكُرْ مُحْتَرَزَ قَوْلِهِ لِلْمُتَابَعَةِ، وَمُحْتَرَزَهُ مَا لَوْ انْتَظَرَ كَثِيرًا لِأَجْلِ غَيْرِهَا كَأَنْ كَانَ لَا يَجِبُ الِاقْتِدَاءُ بِالْإِمَامِ لِغَرَضٍ وَيَخَافُ لَوْ انْفَرَدَ عَنْهُ حِسًّا صَوْلَةَ الْإِمَامِ أَوْ لَوْمَ النَّاسِ عَلَيْهِ لِاتِّهَامِهِ بِالرَّغْبَةِ عَنْ الْجَمَاعَةِ، فَإِذَا انْتَظَرَ الْإِمَامَ لِدَفْعِ نَحْوِ هَذِهِ الرِّيبَةِ فَلَا يَضُرُّ كَمَا قَرَّرَهُ شَيْخُنَا الْحِفْنِيُّ. اهـ.

أَيْ كَمَا فِي الْمَحَلِّيّ، وَالنِّهَايَةِ، وَالْمُغْنِي مَا يُفِيدُهُ (قَوْلُهُ: هُنَا) أَيْ فِي نِيَّةِ الِاقْتِدَاءِ (قَوْلُهُ: بِدَلِيلِ قَوْلِ الشَّيْخَيْنِ إلَخْ) فَمَا تَقَدَّمَ فِي مَسْأَلَةِ الشَّكِّ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ نِهَايَةٌ وَمُغْنِي (قَوْلُهُ: كَالْمُنْفَرِدِ) أَيْ وَالْمُنْفَرِدُ لَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُ بِالِانْتِظَارِ الطَّوِيلِ بِلَا مُتَابَعَةٍ (قَوْلُهُ: وَمِنْ ثَمَّ) أَيْ مِنْ أَجْلِ أَنَّ الشَّاكَّ فِي نِيَّةِ الْقُدْوَةِ كَالْمُنْفَرِدِ (قَوْلُهُ: أَوْ مَضَى إلَخْ) عَطْفٌ عَلَى طَالَ زَمَنُهُ (قَوْلُهُ: لِأَنَّ الْجَمَاعَةَ إلَخْ) مُقْتَضَاهُ أَنَّ الْمُعَادَةَ كَالْجُمُعَةِ فَيَكُونُ الشَّكُّ فِي نِيَّةِ الْقُدْوَةِ فِيهَا كَالشَّكِّ فِي أَصْلِ النِّيَّةِ بَصْرِيٌّ وَكُرْدِيٌّ (قَوْلُهُ: فَهُوَ) أَيْ الشَّكُّ فِي نِيَّةِ الْقُدْوَةِ فِي الْجُمُعَةِ (قَوْلُهُ: كَالشَّكِّ فِي أَصْلِ النِّيَّةِ) فَتَبْطُلُ الْجُمُعَةُ بِالشَّكِّ فِي الْقُدْوَةِ إنْ طَالَ زَمَنُهُ أَوْ مَضَى مَعَهُ رُكْنٌ (قَوْلُهُ: مِنْهُ) أَيْ مِنْ أَنَّ الشَّكَّ هُنَا فِي الْجُمُعَةِ كَالشَّكِّ فِي أَصْلِ النِّيَّةِ (قَوْلُهُ: فِيهَا) أَيْ فِي الْجُمُعَةِ سم (قَوْلُهُ: فَتُسْتَثْنَى إلَخْ) أَيْ الشَّكُّ فِي الْجُمُعَةِ بَعْدَ السَّلَامِ (قَوْلُهُ: مِنْ إطْلَاقِهِمْ) يَنْبَغِي أَنْ يُسْتَثْنَى مِنْهُ الْمُعَادَةُ أَيْضًا بَصْرِيٌّ أَيْ، وَالْمَجْمُوعُ بِالْمَطَرِ وَكَذَا الْمَنْذُورُ جَمَاعَةٌ عَلَى مَا يَأْتِي عَنْ النِّهَايَةِ (قَوْلُهُ: أَنَّهُ هُنَا بَعْدَهُ) أَيْ أَنَّ الشَّكَّ فِي الْقُدْوَةِ بَعْدَ السَّلَامِ سم (قَوْلُهُ: لِأَنَّهُ إلَخْ) مُتَعَلِّقٌ بِقَوْلِهِ لَا يُؤَثِّرُ وَعِلَّةٌ لِعَدَمِ التَّأْثِيرِ (قَوْلُهُ: اسْتَثْنَاهَا) أَيْ الْجُمُعَةِ يَعْنِي الشَّكَّ فِي الْقُدْوَةِ فِيهَا بَعْدَ السَّلَامِ.
قَوْلُ الْمَتْنِ (وَلَا يَجِبُ إلَخْ) أَيْ عَلَى الْمَأْمُومِ فِي نِيَّتِهِ نِهَايَةِ (قَوْلُهُ: بِاسْمِهِ) إلَى قَوْلِهِ كَمَا فِي عِبَارَةِ فِي النِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي (قَوْلُهُ: بِاسْمِهِ) أَيْ كَزَيْدٍ أَوْ عَمْرٍو مُغْنِي (قَوْلُهُ: أَوْ الْإِشَارَةِ) عَطْفٌ عَلَى اسْمِهِ (قَوْلُهُ: وَلَوْ بِأَنْ يَقُولَ لِنَحْوِ الْتِبَاسٍ لِلْإِمَامِ إلَخْ) وَيَنْبَغِي اشْتِرَاطُ إمْكَانِ الْمُتَابَعَةِ الْوَاجِبَةِ لِكُلٍّ مِنْ اُحْتُمِلَ أَنَّهُ الْإِمَامُ سم عَلَى حَجّ أَيْ ثُمَّ إنْ ظَهَرَ لَهُ قَرِينَةٌ تُعَيِّنُ الْإِمَامَ فَذَاكَ وَإِلَّا لَاحَظَهُمَا فَلَا يَتَقَدَّمُ عَلَى وَاحِدٍ مِنْهُمَا
ــ
[حاشية ابن قاسم العبادي]
الْبُطْلَانُ عَامٌّ فِي الْعَالِمِ بِالْمَنْعِ، وَالْجَاهِلِ أَوْ مُخْتَصٌّ بِالْعَالِمِ قَالَ الْأَذْرَعِيُّ لَمْ أَرَ فِيهِ شَيْئًا وَهُوَ مُحْتَمَلٌ، وَالْأَقْرَبُ أَنَّهُ يُعْذَرُ الْجَاهِلُ لَكِنْ قَالَ فِي التَّوَسُّطِ أَنَّ الْأَشْبَهَ عَدَمُ الْفَرْقِ وَهُوَ الْأَوْجَهُ شَرْحُ م ر (قَوْلُهُ: أَوْ انْتَظَرَهُ يَسِيرًا) أَيْ مَعَ الْمُتَابَعَةِ وَيَنْبَغِي أَنْ يُقَالَ أَوْ كَثِيرًا أَوْ تَابَعَ لَا لِأَجْلِ فِعْلِهِ أَخْذًا مِنْ قَوْلِ الْجَلَالِ الْمَحِلِّيِّ عَقِبَ قَوْلِ الْمُصَنِّفِ عَلَى الصَّحِيحِ؛ لِأَنَّهُ وَقَفَهَا عَلَى صَلَاةِ غَيْرِهِ مِنْ غَيْرِ رَبْطٍ بَيْنَهُمَا وَالثَّانِي يَقُولُ الْمُرَادُ بِالْمُتَابَعَةِ هُنَا أَنْ يَأْتِيَ بِالْفِعْلِ بَعْدَ الْفِعْلِ لَا لِأَجْلِهِ، وَإِنْ تَقَدَّمَهُ انْتِظَارٌ كَثِيرٌ فَلَا نِزَاعَ فِي الْمَعْنَى. اهـ.، وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْحَالَيْنِ أَنَّهُ فِي الْأَوَّلِ لَمْ يَقْصِدْ رَبْطَ فِعْلِهِ بِفِعْلِهِ، وَإِنَّمَا اخْتَارَ أَنْ يَتَأَخَّرَ فِعْلُهُ عَنْ فِعْلِهِ وَفِي الثَّانِي قَصَدَ الرَّبْطَ بَقِيَ أَنَّهُ مَتَى يَبْتَدِئُ الِانْتِظَارَ لِلرُّكُوعِ مَثَلًا وَيُتَّجَهُ أَنَّ ابْتِدَاءَهُ إذَا قَصَدَهُ بَعْدَ قِرَاءَةِ الْوَاجِبِ (قَوْلُهُ: غَيْرُ مُرَادٍ) كَذَا م ر (قَوْلُهُ: أَنَّهُ يُؤَثِّرُ الشَّكُّ فِيهَا) أَيْ الْجُمُعَةِ (قَوْلُهُ: أَنَّهُ) أَيْ الشَّكَّ هُنَا أَيْ فِي نِيَّةِ الْقُدْوَةِ بَعْدَ أَيْ بَعْدَ السَّلَامِ لَا يُؤَثِّرُ وَلَوْ شَكَّ بَعْدَ السَّلَامِ فِي أَنَّهُ نَوَى الِاقْتِدَاءَ مَعَ عِلْمِهِ بِمُتَابَعَتِهِ مَعَ الِانْتِظَارِ الْكَثِيرِ قَبْلَهُ فَهَلْ يُحْكَمُ بِبُطْلَانِ صَلَاتِهِ لِبُطْلَانِهَا بِالْمُتَابَعَةِ الْمَذْكُورَةِ وَلَوْ مَعَ الْجَهْل

Perpustakaan Syamilah
Kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj
Disertai Hasyiyah Syarwani dan Al-‘Abadi
[Oleh Ibnu Hajar Al-Haitami]
Halaman utama
Kategori kitab
Fiqih Syafi’i
Bab Kitab: [Kitab Shalat Berjamaah]
[Fasal tentang beberapa syarat mengikuti imam, banyak adabnya, dan hal-hal yang dimakruhkan]
Isi teks:
“Menunggu imam dengan sengaja membatalkan shalatnya menurut pendapat yang sahih.” Sebab, tindakan ini termasuk bermain-main dalam ibadah. Namun, jika perbuatan tersebut dilakukan secara tidak sengaja, atau menunggu imam dalam waktu singkat maupun lama tanpa disertai niat untuk mengikuti, maka shalatnya tidak batal secara pasti. Pendapat ini didukung oleh ucapan Imam Al-‘Aziz dan lainnya, yang menyamakan keraguan pada perkara ini dengan keraguan dalam niat shalat, sehingga membatalkan shalat jika penantian berlangsung lama. Tetapi jika penantian singkat atau dilakukan tanpa niat untuk mengikuti imam, maka shalatnya tidak batal.
Pendapat tersebut juga sesuai dengan pernyataan dua imam besar bahwa dalam kondisi ragu, makmum dianggap seperti orang yang shalat sendirian. Oleh karena itu, keraguan dalam shalat Jumat, apabila berlangsung lama atau melibatkan satu rukun, akan memengaruhi sahnya shalat. Sebab, berjamaah adalah syarat sahnya shalat Jumat, sehingga keraguan tersebut disamakan dengan keraguan dalam niat awal shalat.
Diambil kesimpulan bahwa keraguan tersebut juga memengaruhi shalat setelah salam. Maka, shalat Jumat dikecualikan dari pendapat umum yang menyatakan bahwa keraguan setelah salam tidak memengaruhi keabsahan shalat. Sebagian ulama, termasuk Az-Zarkasyi dan Ibnu Al-‘Imad, menyebutkan pendapat ini dalam kitab-kitab mereka.
Hasyiyah Syarwani dan Al-‘Abadi:
Tidak wajib menentukan imam dengan namanya atau sifatnya, seperti menyebutkan nama tertentu atau menunjuk dengan isyarat. Cukup berniat mengikuti imam, bahkan jika makmum mengucapkan niat seperti: “Saya mengikuti imam yang ada di depan.”
Apabila seseorang menunggu imam untuk rukuk, i’tidal, atau sujud yang sedikit dalam tiap gerakan, tetapi banyak jika dihitung secara keseluruhan, maka mayoritas ulama menganggapnya sebagai tindakan yang banyak. Namun, sebagian ulama seperti Syaikh Thablawi menyebutnya sebagai hal yang ringan. Pendapat ini didukung oleh ulama lainnya, yang menyatakan bahwa penantian panjang yang mencakup satu rukun dianggap banyak dan dapat memengaruhi shalat.
Makmum yang meninggalkan niat mengikuti imam, atau sengaja tidak mengikuti imam karena alasan tertentu, tetapi kemudian berubah pikiran dan mengikuti imam tanpa niat yang jelas, maka hal ini menjadi perdebatan di kalangan ulama. Sebagian pendapat mengatakan hal tersebut tidak membahayakan, sedangkan yang lain menganggapnya merusak keabsahan shalat. menjadi perdebatan di kalangan ulama. Sebagian pendapat mengatakan hal tersebut tidak membahayakan, sedangkan yang lain menganggapnya merusak keabsahan shalat. melibatkan satu rukun, akan memengaruhi sahnya shalat. Sebab, berjamaah adalah syarat sahnya shalat Jumat, sehingga keraguan tersebut disamakan dengan keraguan dalam niat awal shalat.
Diambil kesimpulan bahwa keraguan tersebut juga memengaruhi shalat setelah salam. Maka, shalat Jumat dikecualikan dari pendapat umum yang menyatakan bahwa keraguan setelah salam tidak memengaruhi keabsahan shalat. Sebagian ulama, termasuk Az-Zarkasyi dan Ibnu Al-‘Imad, menyebutkan pendapat ini dalam kitab-kitab mereka.
Hasyiyah Syarwani dan Al-‘Abadi:
Tidak wajib menentukan imam dengan namanya atau sifatnya, seperti menyebutkan nama tertentu atau menunjuk dengan isyarat. Cukup berniat mengikuti imam, bahkan jika makmum mengucapkan niat seperti: “Saya mengikuti imam yang ada di depan.”
Apabila seseorang menunggu imam untuk rukuk, i’tidal, atau sujud yang sedikit dalam tiap gerakan, tetapi banyak jika dihitung secara keseluruhan, maka mayoritas ulama menganggapnya sebagai tindakan yang banyak. Namun, sebagian ulama seperti Syaikh Thablawi menyebutnya sebagai hal yang ringan. Pendapat ini didukung oleh ulama lainnya, yang menyatakan bahwa penantian panjang yang mencakup satu rukun dianggap banyak dan dapat memengaruhi shalat.
Makmum yang meninggalkan niat mengikuti imam, atau sengaja tidak mengikuti imam karena alasan tertentu, tetapi kemudian berubah pikiran dan mengikuti imam tanpa niat yang jelas, maka hal ini menjadi perdebatan di kalangan ulama. Sebagian pendapat mengatakan hal tersebut tidak membahayakan, sedangkan yang lain menganggapnya merusak keabsahan shalat.

Referensi .

الموسوعة الفقهية الكويتيه ص٢٤٤-٢٤٩

وَالْمُجَاوَزَةُ أَعَمُّ مِنَ الْمُفَارَقَةِ.
الأَْحْكَامُ الْمُتَعَلِّقَةِ بِالْمُفَارَقَةِ:
تَتَعَلَّقُ بِالْمُفَارَقَةِ أَحْكَامٌ مِنْهَا:
أَوَّلاً: الْمُفَارَقَةُ فِي الْعِبَادَاتِ:
الْمُفَارَقَةُ فِي صَلاَةِ الْجَمَاعَةِ.
الْمُرَادُ بِالْمُفَارَقَةِ فِي صَلاَةِ الْجَمَاعَةِ تَرْكُ أَحَدِ الْمُصَلِّينَ صَلاَةَ الْجَمَاعَةِ، وَهَذِهِ الْمُفَارَقَةُ قَدْ تَكُونُ مُمْتَنِعَةً، وَقَدْ تَكُونُ جَائِزَةً، وَقَدْ تَكُونُ وَاجِبَةً، وَبَيَانُ ذَلِكَ فِيمَا يَلِي:
امْتِنَاعُ مُفَارَقَةِ الْمَأْمُومِ صَلاَةَ الْجَمَاعَةِ بِدُونِ عُذْرٍ:
٤ – ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ وَالشَّافِعِيَّةُ فِي الْقَدِيمِ إِلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ أَنْ يُفَارِقَ الْمُقْتَدِي إِمَامَهُ بِدُونِ عُذْرٍ فَلاَ يَنْتَقِل مَنْ فِي جَمَاعَةٍ إِلَى الاِنْفِرَادِ، لأَِنَّ الْمَأْمُومِيَّةَ تَلْزَمُ بِالشُّرُوعِ، وَإِنْ لَمْ تَجِبِ ابْتِدَاءً كَمَا يَقُول الْمَالِكِيَّةُ (١) ، لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّمَا جُعِل الإِْمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ (٢) ، وَلأَِنَّهُ تَرَكَ مُتَابَعَةَ إِمَامِهِ وَانْتَقَل مِنَ الأَْعْلَى لِلأَْدْنَى بِغَيْرِ عُذْرٍ أَشْبَهَ مَا لَوْ نَقَلَهَا إِلَى النَّفْل (٣) .وَإِذَا انْتَقَل الْمَأْمُومُ مِنَ الْجَمَاعَةِ إِلَى الاِنْفِرَادِ بِدُونِ عُذْرٍ بَطَلَتْ صَلاَتُهُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَفِي أَصَحِّ الرِّوَايَتَيْنِ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ وَفِي الْقَوْل الْقَدِيمِ لِلشَّافِعِيَّةِ، لأَِنَّهُ مَنْ تَرَكَ الْمُتَابَعَةَ بِغَيْرِ عُذْرٍ أَشْبَهَ مَا لَوْ تَرَكَهَا مِنْ غَيْرِ نِيَّةِ الْمُفَارَقَةِ. وَلأَِنَّهُ كَمَا يَقُول الشَّافِعِيَّةُ فِي الْقَدِيمِ الْتَزَمَ الْقُدْوَةَ فِي كُل صَلاَتِهِ وَفِيهِ إِبْطَال الْعَمَل (١) ، وَقَدْ قَال اللَّهُ تَعَالَى: {وَلاَ تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ} (٢) .وَالْمَذْهَبُ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ وَالرِّوَايَةُ الثَّانِيَةُ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ أَنَّ الصَّلاَةَ صَحِيحَةٌ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ – أَيْ كَرَاهَةِ الْمُفَارَقَةِ -، وَاسْتَدَل الشَّافِعِيَّةُ عَلَى صِحَّةِ صَلاَةِ الْمَأْمُومِ مَعَ الْمُفَارَقَةِ بِأَنَّ صَلاَةَ الْجَمَاعَةِ إِمَّا سُنَّةٌ عَلَى قَوْلٍ وَالسُّنَنُ لاَ تَلْزَمُ بِالشُّرُوعِ إِلاَّ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، وَإِمَّا فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى الصَّحِيحِ فَكَذَلِكَ إِلاَّ فِي الْجِهَادِ وَصَلاَةِ الْجِنَازَةِ وَالْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ، وَلأَِنَّ الْفِرْقَةَ الأُْولَى فَارَقَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذَاتِ الرِّقَاعِ (٣) ، وَعَلَّل الْحَنَابِلَةُ الصِّحَّةَ – كَمَا قَال ابْنُ قُدَامَةَ – بِأَنَّ الْمُنْفَرِدَ لَوْ نَوَى كَوْنَهُ مَأْمُومًا لَصَحَّ فِي رِوَايَةٍ. فَنِيَّةُ الاِنْفِرَادِ أَوْلَى، فَإِنَّ الْمَأْمُومَ قَدْ يَصِيرُ مُنْفَرِدًا بِغَيْرِ نِيَّةٍ وَهُوَ الْمَسْبُوقُ إِذَا سَلَّمَ إِمَامُهُ، وَغَيْرُهُ لاَ يَصِيرُ مَأْمُومًا بِغَيْرِ نِيَّةٍ بِحَالٍ (١)
جَوَازُ مُفَارَقَةِ الْمَأْمُومِ صَلاَةَ الْجَمَاعَةِ بِعُذْرٍ:
٥ – ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ – الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ – إِلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْمَأْمُومِ أَنْ يُفَارِقَ صَلاَةَ الْجَمَاعَةِ وَيَنْوِيَ الاِنْفِرَادَ إِذَا كَانَ ذَلِكَ لِعُذْرٍ، وَلَمْ يُجِزِ الْحَنَفِيَّةُ الْمُفَارَقَةَ مُطْلَقًا وَلَوْ بِعُذْرٍ.وَاسْتَدَل الْقَائِلُونَ بِجَوَازِ الْمُفَارَقَةِ بِمَا رَوَاهُ جَابِرٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَال: كَانَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ بَنِي سَلَمَةَ فَيُصَلِّيهَا بِهِمْ، وَأَنَّ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَّرَ الْعِشَاءَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلاَّهَا مُعَاذٌ مَعَهُ ثُمَّ رَجَعَ فَأَمَّ قَوْمَهُ، فَافْتَتَحَ بِسُورَةِ الْبَقَرَةِ فَتَنَحَّى رَجُلٌ مِنْ خَلْفِهِ فَصَلَّى وَحْدَهُ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالُوا: نَافَقْتَ يَا فُلاَنُ. فَقَال: مَا نَافَقْتُ وَلَكِنِّي آتِي رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُخْبِرُهُ. فَأَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَال: يَا رَسُول اللَّهِ، إِنَّكَ أَخَّرْتَ الْعِشَاءَ الْبَارِحَةَ، وَإِنَّ مُعَاذًا صَلاَّهَا مَعَكَ ثُمَّ رَجَعَ فَأَمَّنَا فَافْتَتَحَ سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَتَنَحَّيْتُ فَصَلَّيْتُ وَحْدِي وَإِنَّمَا نَحْنُ أَهْل نَوَاضِحَ نَعْمَل بِأَيْدِينَا فَالْتَفَتَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مُعَاذٍ فَقَال: أَفَتَّانٌ أَنْتَ يَا مُعَاذُ؟ أَفَتَّانٌ أَنْتَ؟
اقْرَأْ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّك الأَْعْلَى، وَالسَّمَاءِ وَالطَّارِقِ، وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْبُرُوجِ، وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَاللَّيْل إِذَا يَغْشَى وَنَحْوِهَا، (١) وَلَمْ يَأْمُرِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُل بِالإِْعَادَةِ وَلاَ أَنْكَرَ عَلَيْهِ فِعْلَهُ (٢) . غَيْرَ أَنَّهُمُ اخْتَلَفُوا فِي الأَْعْذَارِ الَّتِي تَجُوزُ مَعَهَا الْمُفَارَقَةُ، فَمِنَ الأَْعْذَارِ الَّتِي تُجِيزُ مُفَارَقَةَ الإِْمَامِ تَطْوِيل الإِْمَامِ فِي الصَّلاَةِ طُولاً لاَ يَصْبِرُ مَعَهُ الْمَأْمُومُ لِضَعْفٍ أَوْ شُغْلٍ فَفِي هَذِهِ الْحَالَةِ يَجُوزُ لِلْمَأْمُومِ أَنْ يُفَارِقَ الإِْمَامَ وَيَنْوِيَ الاِنْفِرَادَ وَيُتِمَّ صَلاَتَهُ مُنْفَرِدًا لِمَا سَبَقَ فِي قِصَّةِ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ.وَهَذَا الْعُذْرُ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ بَيْنَ الْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَفِي الصَّحِيحِ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ (٣) .وَزَادَ الشَّافِعِيَّةُ مِنَ الأَْعْذَارِ الَّتِي يَجُوزُ لِلْمَأْمُومِ أَنْ يُفَارِقَ إِمَامَهُ فِي الصَّلاَةِ أَنْ يَتْرُكَ الإِْمَامُ سُنَّةً مَقْصُودَةً كَالتَّشَهُّدِ الأَْوَّل أَوِ الْقُنُوتِ فَلَهُ فِرَاقُهُ لِيَأْتِيَ بِتِلْكَ السُّنَّةِوَاعْتَبَرَ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ أَنَّ الأَْعْذَارَ الَّتِي يَجُوزُ مَعَهَا تَرْكُ الْجَمَاعَةِ ابْتِدَاءً تَجُوزُ مَعَهَا الْمُفَارَقَةُ أَثَنَاءَ الصَّلاَةِ (١) .وَقَال الْحَنَابِلَةُ: مَنْ أَحْرَمَ مَأْمُومًا ثُمَّ نَوَى الاِنْفِرَادَ لِعُذْرٍ يُبِيحُ تَرْكَ الْجَمَاعَةِ كَتَطْوِيل إِمَامٍ وَكَمَرَضٍ وَكَغَلَبَةِ نُعَاسٍ أَوْ غَلَبَةِ شَيْءٍ يُفْسِدُ صَلاَتَهُ كَمُدَافَعَةِ أَحَدِ الأَْخْبَثَيْنِ أَوْ خَوْفٍ عَلَى أَهْلٍ أَوْ مَالٍ أَوْ خَوْفِ فَوْتِ رُفْقَةٍ أَوْ خَرَجَ مِنَ الصَّفِّ مَغْلُوبًا لِشِدَّةِ زِحَامٍ وَلَمْ يَجِدْ مَنْ يَقِفُ مَعَهُ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الأَْعْذَارِ صَحَّ انْفِرَادُهُ فَيُتِمُّ صَلاَتَهُ مُنْفَرِدًا لِحَدِيثِ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ فِي قِصَّةِ مُعَاذٍ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ، قَالُوا: وَمَحِل إِبَاحَةِ الْمُفَارَقَةِ لِعُذْرٍ إِنِ اسْتَفَادَ مَنْ فَارَقَ لِتَدَارُكِ شَيْءٍ يُخْشَى فَوَاتُهُ أَوْ غَلَبَةِ نُعَاسٍ أَوْ خَوْفِ ضَرَرٍ وَنَحْوِهِ بِمُفَارَقَةِ إِمَامِهِ تَعْجِيل لُحُوقِهِ قَبْل فَرَاغِ إِمَامِهِ مِنْ صَلاَتِهِ لِيَحْصُل مَقْصُودُهُ مِنَ الْمُفَارَقَةِ فَإِنْ كَانَ الإِْمَامُ يَعْجَل وَلاَ يَتَمَيَّزُ انْفِرَادُهُ عَنْهُ بِنَوْعِ تَعْجِيلٍ لَمْ يَجُزْ لَهُ الاِنْفِرَادُ لِعَدَمِ الْفَائِدَةِ فِيهِ، وَأَمَّا مَنْ عُذْرُهُ الْخُرُوجُ مِنَ الصَّفِّ فَلَهُ الْمُفَارَقَةُ مُطْلَقًا لأَِنَّ عُذْرَهُ خَوْفُ الْفَسَادِ بِالْفِدْيَةِ وَذَلِكَ لاَ يُتَدَارَكُ بِالسُّرْعَةِ، وَفَصَّل الْحَنَابِلَةُ فِيمَا إِذَا نَوَى الْمَأْمُومُ الْمُفَارَقَةَ فَقَالُوا: وَإِذَا فَارَقَ الْمَأْمُومُ الإِْمَامَ لِعُذْرٍ مِمَّا تَقَدَّمَ فِي قِيَامٍ قَبْل قِرَاءَةِ الإِْمَامِ الْفَاتِحَةَ قَرَأَ الْمَأْمُومُ لِنَفْسِهِ لِصَيْرُورَتِهِ مُنْفَرِدًا
قَبْل سُقُوطِ فَرْضِ الْقِرَاءَةِ عَنْهُ بِقِرَاءَةِ الإِْمَامِ، وَإِنْ فَارَقَهُ بَعْدَ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ فَلَهُ الرُّكُوعُ فِي الْحَال لأَِنَّ قِرَاءَةَ الإِْمَامِ قِرَاءَةٌ لِلْمَأْمُومِ، وَإِنْ فَارَقَهُ فِي أَثْنَاءِ الْقِرَاءَةِ فَإِنَّهُ يُكَمِّل مَا بَقِيَ مِنَ الْفَاتِحَةِ. وَإِنْ كَانَ فِي صَلاَةِ سِرٍّ كَظُهْرٍ وَعَصْرٍ، أَوْ فِي الأَْخِيرَتَيْنِ مِنَ الْعِشَاءِ مَثَلاً وَفَارَقَ الإِْمَامَ لِعُذْرٍ بَعْدَ قِيَامِهِ وَظَنَّ أَنَّ إِمَامَهُ قَرَأَ لَمْ يَقْرَأْ، أَيْ لَمْ تَلْزَمْهُ الْقِرَاءَةُ إِقَامَةً لِلظَّنِّ مَقَامَ الْيَقِينِ، قَال الْبُهُوتِيُّ: الاِحْتِيَاطُ الْقِرَاءَةُ (١) .
وُجُوبُ الْمُفَارَقَةِ
مِنَ الأَْحْوَال الَّتِي يَجِبُ فِيهَا عَلَى الْمَأْمُومِ مُفَارَقَةُ صَلاَةِ الْجَمَاعَةِ مَا يَلِي:
أ – انْحِرَافُ الإِْمَامِ عَنِ الْقِبْلَةِ
٦ – ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّهُ إِذَا انْحَرَفَ الإِْمَامُ عَنِ الْقِبْلَةِ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمَأْمُومِ مُفَارَقَتُهُ وَيُصَلِّي مُنْفَرِدًا (٢) . وَلَوِ اجْتَهَدَ اثْنَانِ فِي الْقِبْلَةِ وَاتَّفَقَ اجْتِهَادُهُمَا وَصَلَّى أَحَدُهُمَا بِالآْخَرِ وَتَغَيَّرَ اجْتِهَادُ أَحَدِهِمَا لَزِمَهُ الاِنْحِرَافُ إِلَى الْجِهَةِ الَّتِي تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ إِلَيْهَا لأَِنَّهَا تَرَجَّحَتْ فِي ظَنِّهِ فَتَعَيَّنَتْ عَلَيْهِ وَأَتَمَّ صَلاَتَهُ وَيَنْوِي الْمَأْمُومُ الَّذِي ائْتَمَّ بِالآْخَرِ مُفَارَقَةَ إِمَامِهِ لِلْعُذْرِ الْمَانِعِ لَهُ مِنَ اقْتِدَائِهِ بِهِ وَهُوَ التَّغَيُّرُ (١) .وَقَال الْحَنَفِيَّةُ: وَالْمُقْتَدِي إِذَا ظَهَرَ لَهُ وَهُوَ وَرَاءَ الإِْمَامِ أَنَّ الْقِبْلَةَ غَيْرُ الْجِهَةِ الَّتِي يُصَلِّي إِلَيْهَا الإِْمَامُ لاَ يُمْكِنُهُ إِصْلاَحُ صَلاَتِهِ لأَِنَّهُ إِذَا اسْتَدَارَ خَالَفَ إِمَامَهُ فِي الْجِهَةِ قَصْدًا وَهُوَ يَفْسُدُ وَإِلاَّ كَانَ مُتِمًّا صَلاَتَهُ إِلَى مَا هُوَ غَيْرُ الْقِبْلَةِ عِنْدَهُ وَهُوَ مُفْسِدٌ أَيْضًا (٢) .
ب – تَلَبُّسُ الإِْمَامِ بِمَا يُبْطِل صَلاَتَهُ:
٧ – لَوْ رَأَى الْمَأْمُومُ فِي أَثْنَاءِ الصَّلاَةِ الإِْمَامَ مُتَلَبِّسًا بِمَا يُبْطِل الصَّلاَةَ كَأَنْ رَأَى عَلَى ثَوْبِهِ أَوْ بَدَنِهِ نَجَاسَةً أَوْ تَبَيَّنَ أَنَّ الإِْمَامَ مُحْدِثٌ أَوْ جُنُبٌ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمَأْمُومِ مُفَارَقَتُهُ وَيُتِمُّ صَلاَتَهُ مُنْفَرِدًا بَانِيًا عَلَى مَا صَلَّى مَعَ الإِْمَامِ، وَهَذَا عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ فِي الْجُمْلَةِ.قَال الْمَالِكِيَّةُ: إِنْ عَلِمَ الْمَأْمُومُ حَدَثَ إِمَامِهِ فِي الصَّلاَةِ وَلَمْ يَسْتَمِرَّ مَعَهُ بَل فَارَقَهُ وَصَلَّى لِنَفْسِهِ مُنْفَرِدًا أَوْ مُسْتَخْلِفًا فَتَصِحُّ لِلْمَأْمُومِينَ، وَمَفْهُومُهُ أَنَّهُ لَوْ عَلِمَ بِحَدَثِ إِمَامِهِ فِي الصَّلاَةِ وَاسْتَمَرَّ مَعَهُ بَطَلَتْ عَلَيْهِمْ. وَقَالُوا: لَوْ رَأَى الْمَأْمُومُ نَجَاسَةً عَلَى إِمَامِهِ وَأَرَاهُ إِيَّاهَا فَوْرًا وَاسْتَخْلَفَ الإِْمَامُ مِنْ حِينِ ذَلِكَ فَتَبْطُل صَلاَةُ الإِْمَامِ دُونَ الْمَأْمُومِينَ وَاخْتَارَ ابْنُ نَاجِي الْبُطْلاَنَ لِلْجَمِيعِ، وَقَال الشَّافِعِيَّةُ: إِنِ اسْتَمَرَّ الْمَأْمُومُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ عَلَى الْمُتَابَعَةِ لَحْظَةً أَوْ لَمْ يَنْوِ الْمُفَارَقَةَ بَطَلَتْ صَلاَتُهُ بِالاِتِّفَاقِ – أَيِ اتِّفَاقِ فُقَهَاءِ الشَّافِعِيَّةِ – لأَِنَّهُ صَلَّى بَعْضَ صَلاَتِهِ خَلْفَ مُحْدِثٍ مَعَ عِلْمِهِ بِحَدَثِهِ، وَمِمَّنْ صَرَّحَ بِبُطْلاَنِ صَلاَتِهِ إِذَا لَمْ يَنْوِ الْمُفَارَقَةَ وَلَمْ يُتَابِعْهُ فِي الأَْفْعَال الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ فِي تَعْلِيقِهِمَا وَالْمَحَامِلِيُّ وَخَلاَئِقُ مِنْ كِبَارِ الأَْصْحَابِ، وَسَوَاءٌ كَانَ الإِْمَامُ عَالِمًا بِحَدَثِ نَفْسِهِ أَمْ لاَ، لأَِنَّهُ لاَ تَفْرِيطَ مِنَ الْمَأْمُومِ فِي الْحَالَيْنِ، وَهَذَا هُوَ الْمَذْهَبُ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ كَمَا قَال النَّوَوِيُّ وَقَال الشَّافِعِيَّةُ أَيْضًا: لَوْ كَانَ الْمَأْمُومُ قَارِئًا وَكَانَ الإِْمَامُ أُمِّيًّا، أَوْ كَانَ الإِْمَامُ قَدْ قَامَ إِلَى رَكْعَةٍ خَامِسَةٍ أَوْ أَتَى الإِْمَامُ بِمُنَافٍ غَيْرِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمَأْمُومِ مُفَارَقَتُهُ وَيُتِمُّ صَلاَتَهُ مُنْفَرِدًا بَانِيًا عَلَى مَا صَلَّى مَعَ الإِْمَامِ (١) .وَالأَْصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ أَنَّ التَّنَحْنُحَ إِنْ ظَهَرَ مِنْهُ حَرْفَانِ يُبْطِل الصَّلاَةَ، وَاخْتَلَفُوا فِيمَا لَوْ تَنَحْنَحَ الإِْمَامُ فَبَانَ مِنْهُ حَرْفَانِ هَل يَجِبُ عَلَى الْمَأْمُومِ مُفَارَقَتُهُ أَمْ لاَ؟ فَالْمَذْهَبُ أَنَّهُ لاَ يُفَارِقُهُ حَمْلاً عَلَى الْعُذْرِ، لأَِنَّ الظَّاهِرَ تَحَرُّزُ الإِْمَامِ عَنِ الْمُبْطِل وَالأَْصْل بَقَاءُ الْعِبَادَةِ، لَكِنْ قَال السُّبْكِيُّ: إِنْ دَلَّتْ قَرِينَةُ حَال الإِْمَامِ عَلَى خِلاَفِ ذَلِكَ وَجَبَتِ الْمُفَارَقَةُ، وَلَوْ لَحَنَ الإِْمَامُ فِي الْفَاتِحَةِ لَحْنًا يُغَيِّرُ الْمَعْنَى وَجَبَتْ مُفَارَقَتُهُ، كَمَا لَوْ تَرَكَ وَاجِبًا، وَلَكِنْ هَل يُفَارِقُهُ فِي الْحَال أَوْ حَتَّى يَرْكَعَ لِجَوَازِ أَنَّهُ لَحَنَ سَاهِيًا، وَقَدْ يَتَذَكَّرُ فَيُعِيدُ الْفَاتِحَةَ؟ الأَْقْرَبُ الأَْوَّل – أَيِ الْمُفَارَقَةُ فِي الْحَال – لأَِنَّهُ لاَ يَجُوزُ مُتَابَعَتُهُ فِي فِعْل السَّهْوِ كَمَا قَال الزَّرْكَشِيُّ
وَقَال الْخَطِيبُ الشِّرْبِينِيُّ: بَل الأَْقْرَبُ الثَّانِي – أَيْ لاَ يُفَارِقُهُ حَتَّى يَرْكَعَ – لأَِنَّ إِمَامَهُ لَوْ سَجَدَ قَبْل رُكُوعِهِ لَمْ تَجِبْ مُفَارَقَتُهُ فِي الْحَال.
وَلاَ تَصِحُّ الصَّلاَةُ وَرَاءَ السَّكْرَانِ لأَِنَّهُ مُحْدِثٌ، قَال الشَّافِعِيُّ وَالأَْصْحَابُ: فَإِنْ شَرِبَ الْخَمْرَ وَغَسَل فَاهُ وَمَا أَصَابَهُ وَصَلَّى قَبْل أَنْ يَسْكَرَ صَحَّتْ صَلاَتُهُ وَالاِقْتِدَاءُ بِهِ، فَلَوْ سَكِرَ فِي أَثْنَاءِ الصَّلاَةِ بَطَلَتْ صَلاَتُهُ وَيَجِبُ عَلَى الْمَأْمُومِ مُفَارَقَتُهُ وَيَبْنِي عَلَى صَلاَتِهِ، فَإِنْ لَمْ يُفَارِقْهُ وَتَابَعَ مَعَهُ بَطَلَتْ صَلاَتُهُ (١) .
وَقَال ابْنُ عَقِيلٍ مِنَ الْحَنَابِلَةِ: إِنْ عَجَزَ الإِْمَامُ عَنْ إِتْمَامِ الْفَاتِحَةِ فِي أَثْنَاءِ الصَّلاَةِ صَحَّتْ صَلاَةُ الأُْمِّيِّ خَلْفَهُ لِمُسَاوَاتِهِ لَهُ، أَمَّا الْقَارِئُ فَإِنَّهُ يُفَارِقُ الإِْمَامَ لِلْعُذْرِ وَيُتِمُّ لِنَفْسِهِ لأَِنَّهُ لاَ يَصِحُّ ائْتِمَامُ الْقَارِئِ بِالأُْمِّيِّ، وَلَكِنْ قَال الْمُوَفَّقُ: الصَّحِيحُ أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَقْدِرْ عَلَى قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ تَفْسُدُ صَلاَتُهُ لأَِنَّهُ قَادِرٌ عَلَى الصَّلاَةِ بِقِرَاءَتِهَا فَلَمْ تَصِحَّ صَلاَتُهُ لِعُمُومِ قَوْلِهِ: صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ (٢) ، وَإِنِ اسْتَخْلَفَ الإِْمَامُ الَّذِي عَجَزَ عَنْ إِتْمَامِ الْفَاتِحَةِ فِي أَثْنَاءِ الصَّلاَةِ مَنْ يُتِمُّ بِهِمْ صَلاَتَهُمْ وَصَلَّى مَعَهُمْ جَازَ (٣) .
وَقَال الْحَنَابِلَةُ: إِذَا قَامَ الإِْمَامُ لِرَكْعَةٍ زَائِدَةٍ وَنَبَّهَهُ الْمَأْمُومُونَ فَلَمْ يَرْجِعْ وَجَبَتْ مُفَارَقَتُهُ وَبَطَلَتْ صَلاَتُهُ لِتَعَمُّدِهِ تَرْكَ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ، وَيُسَلِّمُ الْمَأْمُومُ الْمُفَارِقُ لإِِمَامِهِ بَعْدَ قِيَامِهِ لِزَائِدَةٍ وَتَنْبِيهِهِ وَإِبَائِهِ الرُّجُوعَ وَذَلِكَ إِذَا أَتَمَّ التَّشَهُّدَ الأَْخِيرَ (٤) .
أَمَّا إِنْ تَرَكَ الإِْمَامُ التَّشَهُّدَ الأَْوَّل مَعَ
الْجُلُوسِ لَهُ وَقَامَ لَزِمَ رُجُوعُهُ إِذَا لَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا، فَإِنِ اسْتَتَمَّ قَائِمًا كُرِهَ رُجُوعُهُ، وَيَحْرُمُ رُجُوعُهُ إِنْ شَرَعَ فِي الْقِرَاءَةِ أَمَّا الْمَأْمُومُ فَالْمُتَّجَهُ أَنْ يُفَارِقَ إِمَامَهُ وَيُتِمَّ صَلاَتَهُ لِنَفْسِهِ وَيُسَلِّمَ عَلَى قَوْلٍ، وَالْمَنْصُوصُ أَنَّ الْمَأْمُومَ إِذَا سَبَّحَ لإِِمَامِهِ قَبْل أَنْ يَعْتَدِل فَلَمْ يَرْجِعْ تَشَهَّدَ لِنَفْسِهِ وَتَبِعَهُ (١) .
وَقَال الْحَنَابِلَةُ: لاَ تَبْطُل صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ بِقَطْعِ صَفٍّ مِنْ صُفُوفِهَا سَوَاءٌ كَانَ وَرَاءَ الإِْمَامِ أَوْ عَنْ يَمِينِهِ لَكِنْ لَوْ كَانَ الصَّفُّ الَّذِي انْقَطَعَ عَنْ يَسَارِ الإِْمَامِ وَبَعُدَ بِقَدْرِ مَقَامِ ثَلاَثَةِ رِجَالٍ فَتَبْطُل صَلاَةُ هَذَا الصَّفِّ الْمُنْقَطِعِ وَهَذَا مَا لَمْ تَنْوِ الطَّائِفَةُ الْمُنْقَطِعَةُ مُفَارَقَةَ الإِْمَامِ، فَإِنْ نَوَتْ مُفَارَقَتَهُ صَحَّتْ صَلاَتُهَا (٢) .والله أعلم بالصواب

Kategori
Hukum

Analisis Kalimat “شيء لله ولهم الفاتحة” dalam Perspektif Bahasa dan Agama

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Dalam setiap kegiatan  acara itighasah ataupun tahlilan, atupun acacara lain yang sifatnya keagamaan tidak terlepas dari pembukaan atau tawassul dengan bacaan suratul fatihah hal tersebut  seringkali kita temui yang pemimpin acara  membaca kalimat “شيء لله ولهم الفاتحة”. Kalimat ini terkadang diucapkan sebelum membaca surat Al-Fatihah sebagai pembuka acara, atau setelah menyebutkan rangkaian nama-nama arwah yang akan didoakan.Namun demikian ada salah satu kiyai yang dengan tegas menyalahkan dalam ditinjau dari ilmu tatabahasa ( ilmu nahwu ) dengan alasan kata  شيء nakirah sedangkan susunan mubtadah harus terdiri isim ma’rifah

Pertanyaan:

Apakah ada dasar atau dalil yang mendukung pembacaan kalimat “شيء لله ولهم الفاتحة”? Walaupun dalam susunan ilmu tatabahasa,tidak benar dan bagaimana makna atau maksud dari kalimat tersebut?
Mohon jawaban

Waalaikumsalam salam

Jawaban:

Ada dasarnya  yaitu  perkataan ulama yang menjelaskan bahwa Kalimat ” شيئ لله ” adalah Ucapan  umum ( Nakirah/ bukan isim ma’rifah )  artinya ‘Segala sesuatu adalah milik Allah’ ini bukan bahasa Arab murni, tetapi merupakan ungkapan yang berkembang di kalangan ahli tasawuf. Walaupun bukan bahasa Arab murni (  sesuai dengan susunan ilmu nahwu). Tapi hal tersebut bukan berarti kalimat itu dilarang diucapkan, karena tujuannya hanya untuk menghormati nama-nama orang yang sudah meninggal yang disebutkan sebelumnya atau setelahnya. Kalimat ini tidak sampai melanggar aturan agama apa pun.
Bahkan, menurut seorang ulama bernama Syaikh Isma’il Usman Zain, kalimat ini sering digunakan di beberapa negara. Artinya adalah “Tujuan kami adalah apa yang Allah miliki”. Maksudnya, kita berharap hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain. Kalimat ini menunjukkan bahwa kita percaya hanya Allah yang mengatur segalanya, meskipun Allah bisa menggunakan manusia untuk menjalankan kehendaknya.
Adapun Inti, kalimat tersebut lebih kepada ungkapan penghormatan dan keyakinan kepada Allah, bukan sesuatu yang wajib atau dilarang dalam agama.

بغية المسترشدين (ص: ٦٤٠)

فائدة: سئل السيد عمر البصري عن قول الشخص: “شيء الله يا فلان” الخ، فأجاب: “قول العامة يا فلان شيء الله غير عربية لكنها من مولدات أهل العرف، ولم يحفظ لأحد من الأئمة نص في النهي عنها، وليس المراد بها في إطلاقهم شيئاً يستدعي مفسدة الحرام أو المكروه، لأنهم إنما يذكرونها استمداداً أو تعظيماً لمن يحسنون فيه الظن” اهـ.

قرة العين بفتاوى إسماعيل عثمان الزين؛ ص ٢١٠
أما المسألة الأولى فإن الجملة المذكورة وهي “شيء لله” مستعملة في بلادنا اليمن وفي حضرموت ومصر والمغرب والشام وهنا عندنا في الحجاز وخصوصا الحرمين الشريفين. ومعنى “شيء لله” مطلوبنا ومقصودنا “شيء لله” أي يستمد لوجه الله ابتغاء واستعدادا لا لغيره ولا من غيره. ففيها اعتراف بأن الذي يسوق المطالب ويحقق المآرب في الحقيقة هو الله تعالى، وإن أجرى ذلك على أيدي بعض عباده.

(Dalam buku “Baghyat al-Mustarshidin” halaman 640)
Kegunaan: Ditanyakan kepada Sayyid Umar al-Basri tentang ucapan seseorang, “Segala sesuatu adalah milik Allah, wahai fulan” dan seterusnya. Beliau menjawab, “Ucapan umum ‘Segala sesuatu adalah milik Allah’ ini bukan bahasa Arab murni, tetapi merupakan ungkapan yang berkembang di kalangan ahli tasawuf. Tidak ada seorang imam pun yang mencatat hadis yang melarang ucapan ini, dan yang dimaksud dengan ucapan ini bukanlah sesuatu yang mengarah pada keharaman atau kemungkaran, karena mereka hanya menyebutnya untuk memohon pertolongan atau memuliakan orang yang mereka anggap baik.”
(Dalam buku “Qarat al-‘Ain bi Fatawa Isma’il ‘Utsman al-Zain” halaman 210)
Adapun masalah pertama, yaitu kalimat “Segala sesuatu adalah milik Allah” yang sering digunakan di negeri kita, Yaman, Hadramaut, Mesir, Maghrib, Syam, dan di sini di Hijaz, khususnya di dua masjid suci. Makna dari “Segala sesuatu adalah milik Allah” adalah apa yang kita inginkan dan maksudkan, yaitu segala sesuatu berasal dari Allah, dengan tujuan mencari keridhaan-Nya dan bersiap diri hanya untuk-Nya, bukan untuk yang lain. Dalam kalimat ini terdapat pengakuan bahwa yang memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan sebenarnya adalah Allah SWT, meskipun Allah melaksanakannya melalui sebagian hamba-Nya.
Penjelasan Singkat
Kedua kutipan di atas membahas tentang penggunaan ungkapan “Segala sesuatu adalah milik Allah” dalam bahasa sehari-hari di kalangan umat Islam, khususnya di wilayah-wilayah Arab. Para ulama berpendapat bahwa ungkapan ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan sering digunakan sebagai bentuk pengakuan atas kekuasaan Allah dan sebagai doa untuk memohon pertolongan-Nya.
Point-point penting:
Asal usul ungkapan: Ungkapan ini bukan bahasa Arab murni, melainkan berkembang dari tradisi sufi.
Tujuan penggunaan: Untuk memohon pertolongan dan memuliakan Allah.
Hukum: Tidak ada larangan eksplisit dalam Islam untuk menggunakan ungkapan ini.
Makna mendalam: Mengakui bahwa segala sesuatu berasal dari Allah dan hanya kepada-Nyalah kita berharap.Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Inilah Dua Cara Membaca “Mâliki Yaum” dalam Shalat

 

Deskripsi Masalah:
Seorang Ahmad ( nama samaran)sering bepergian ketika mendengar adzan menunjukkan waktu shalat lalu dia berhenti dimasjid untuk melakukan shalat berjamaah, namun Sering terjadi, ketika seorang imam membaca surat al-Fatihah dan sampai pada ayat “Mâliki yaumid-dîn”, di rakaat pertama mîm-nya dipanjangkan, sedangkan pada rakaat kedua dipendekkan.

Pertanyaan:

Bagaimana Hukum praktik bacaan sebagaimana Deskripsi di atas?

Jawaban:

Hukumnya boleh, bahkan sebagian ulama membacanya dengan cara demikian (pendek pada rakaat kedua).

Referensi:
(Hâsyiyah al-Bâjûrî, 1/156)

وَكَانَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى مَالِك بِإِثْبَاتِ الْأَلِفِ وَفِي الثَّانِيَةِ مَلِك بِحَذْفِهَا لِأَنَّهُ يُسَنُّ طَوِيلُ الْأُولَى عَنْ الثَّانِيَةِ وَلَوْ بِحَرْفٍ اهـ

Referensi:
(Hâsyiyah al-Bâjûrî, 1/156)

“Sebagian ulama membaca pada rakaat pertama dengan ‘Mâlik’ (dengan menetapkan alif), dan pada rakaat kedua dengan ‘Malik’ (dengan menghilangkan alif), karena disunnahkan membaca rakaat pertama lebih panjang daripada rakaat kedua, meskipun hanya berbeda satu huruf.”

Intinya:
Perbedaan bacaan ini menunjukkan kekayaan dalam ilmu tajwid dan tafsir Al-Quran. Meskipun ada perbedaan pendapat, namun semua bacaan yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat dianggap sahih dan tidak mengurangi makna ayat.

المكتبة الشاملة
كتاب موسوعة التفسير المأثور
[مجموعة من المؤلفين]  ج: ٢ص٣١-٣٢

١١٨ – عن أنس، قال: صلَّيْت خلف النبي – صلى الله عليه وسلم – وأبي بكر وعمر وعثمان وعلي، كلهم كان يقرأ: {مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} (١). (١/ ٧٠)
١١٩ – عن بعض أزواج النبي – صلى الله عليه وسلم -، أنّ النبي – صلى الله عليه وسلم – قرأ: {مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} (٢). (١/ ٧٠)
١٢٠ – عن أبي هريرة، أنّ النبي – صلى الله عليه وسلم – كان يقرأ: «مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ» (٣). (١/ ٧٠)
١٢١ – عن أبي هريرة، أنّ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – كان يقرأ: «مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ» (٤). (١/ ٧٠)
١٢٢ – عن عبد الله بن مسعود: أنه قرأ على رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: {مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} بالألف، {غَيْرِ المَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ} خفضٌ (٥). (١/ ٧٠)
١٢٣ – عن عمر بن الخطاب -من طرق- أنّه كان يقرأ: {مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} بالألف (٦) .. (١/ ٧٠)
١٢٤ – عن أبي قِلابة، أنّ أُبَيَّ بن كعب كان يقرأ: {مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} (٧). (١/ ٧٠)
١٢٥ – عن أبي عبيدة، أنّ عبد الله [بن مسعود] قرأها: {مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} (٨). (١/ ٧٠)
١٢٦ – عن أبي هريرة: أنّه كان يقرؤها: {مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} بالألف (٩). (١/ ٧٠)
١٢٧ – عن يحيى بن وثاب -من طريق الأعمش- أنه كان يقرأ: {مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} (١) [١٩]. (ز)
١٢٨ – عن محمد بن الحسن الشَّيْبانيّ: أنّ أبا حنيفة صَلّى بهم في شهر رمضان، وقرأ حروفًا اختارها لنفسه من الحروف التي قَرَأَهُنَّ الصحابة والتابعون، فقرأ: (مَلَكَ يَوْمَ الدِّينِ) على مثال: فَعَل، ونصب اليومَ، جعله مفعولًا (٢). (ز)
١٢٩ – قال يحيى بن سلّام: من قرأ «مَلِكِ» فهو من باب: المُلْكِ؛ يقول: هو مَلِكُ ذلك اليوم. وأخبرني بَحْرٌ السَّقّاءُ، عن الزهري، أنّ رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وأبا بكر وعمر كانوا يقرؤونها: {مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} بكسر الكاف، وتفسيرها على هذا المقرأ: مالكه الذي يَمْلِكُه. وقرأ بعض القراء: (مالِكَ) بفتح الكاف، يجعله نداء: يا مالك
[١٩] رَجَّحَ ابنُ جرير (١/ ١٥١ – ١٥٤) قراءة «ملكِ يوم الدين» مُسْتَدِلاًّ على ذلك بإجماع القراء، وبالدلالات اللغوية؛ حيث إن لفظة «ملك» أعم من لفظة «مالك»، فكل ملكٍ فهو مالك، وليس كل مالكٍ ملِكًا، ومستدلاًّ بأن في قراءة «مَلِك» مع الآيات السابقة زيادة معنى ليست في قراءة {مالك} مع ما قبلها من الآيات؛ لأنه أخبر أنه مالك كل شيء بقوله: {رب العالمين} فتصير قراءة {مالك} تكريرًا لما قبلها من معنًى.
ورجّح ابن عطية (١/ ٧٤ – ٧٦) وابن كثير (١/ ٢١١) صِحَّة القراءتين معًا.
واستشهد ابن عطية بقراءة النبي – صلى الله عليه وسلم -: «مَلِك» و {مالك}.
وانتَقَدَ ابنُ عطية (١/ ٧٦ – ٧٧) قولَ مَن احتجَّ لقراءة {مَلِك} بأنّ لفظة «مَلِك» أعم من لفظة «مالِك» بقوله: «تتابع المفسرون على سَرْد هذه الحجة، وهي عندي غير لازمة؛ لأنهم أخذوا اللفظتين مطلقتين لا بنسبة إلى ما هو المملوك وفيه الملك، فأما إذا كانت نسبة الملك هي نسبة المالك، فالمالك أبلغ».
ووجّه ابن جرير (١/ ١٥٤ – ١٥٥) قراءة «مَلِك» بأنّ لله المُلْك يوم الدين خالصًا دون جميع خلقه الذين كانوا قبل ذلك في الدنيا ملوكًا جبابرة ينازعونه الملك، ويدافعونه الانفرادَ بالكبرياء والعظمة والسلطان والجبرية.
ووجّه قراءة {مالك} بمعنى: أنه يملك الحكمَ بينهم وفصلَ القضاء، متفرِّدًا به دون سائر خلقه.

“Kitab Ensiklopedia Tafsir Ma’tsur”
[Kumpulan Penulis] Jilid 2, Halaman 31-32
118 – Dari Anas, ia berkata: “Aku salat di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam, Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, semuanya membaca: ‘Malik yaumid din’ (Penguasa hari pembalasan).” (1/70)
119 – Dari beberapa istri Nabi shallallahu alaihi wasallam, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam membaca: ‘Malik yaumid din’.” (1/70)
120 – Dari Abu Hurairah, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam biasa membaca: “Malik yaumid din’.” (1/70)
121 – Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa membaca: “Malik yaumid din’.” (1/70)
122 – Dari Abdullah bin Mas’ud: Bahwa ia membaca kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ‘Malik yaumid din’ dengan alif, ‘ghairul magdhubi alaihim’ dengan rafa’ (1/70)
123 – Dari Umar bin Khattab – melalui beberapa jalur – bahwa ia biasa membaca: ‘Malik yaumid din’ dengan alif” (6) .. (1/70)
124 – Dari Abu Qilabah, bahwa Ubay bin Ka’ab biasa membaca: ‘Malik yaumid din’.” (1/70)
125 – Dari Abu Ubaidah, bahwa Abdullah [bin Mas’ud] membacanya: ‘Malik yaumid din’.” (1/70)
126 – Dari Abu Hurairah: Bahwa ia biasa membacanya: ‘Malik yaumid din’ dengan alif” (9). (1/70)
127 – Dari Yahya bin Wuhab – melalui jalur al-A’masy – bahwa ia biasa membaca: ‘Malik yaumid din’.” (1) [19]. (Z)
128 – Dari Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani: Bahwa Abu Hanifah salat bersama mereka di bulan Ramadhan, dan membaca huruf-huruf yang ia pilih sendiri dari huruf-huruf yang dibaca oleh para sahabat dan tabi’in, maka ia membaca: (Malik yaumid din) dengan pola fa’ala, dan nasab yaum, menjadikannya maf’ul (2). (Z)
129 – Yahya bin Sallam berkata: “Barangsiapa membaca ‘Malik’, maka itu dari bab al-mulk; ia berkata: ‘Ia adalah Malik (Penguasa) hari itu.’ Dan telah memberitahuku Bahru al-Saqqaa’, dari al-Zuhri, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Abu Bakar, dan Umar biasa membacanya: ‘Malik yaumid din’ dengan kasrah pada huruf kaf, dan tafsirnya menurut bacaan ini adalah: ‘Malik-Nya yang memiliki-Nya.’ Dan beberapa qari’ membaca: (Malik) dengan fathah pada huruf kaf, menjadikannya sebagai panggilan: ‘Ya Malik’.”
[19] Ibn Jarir (1/151-154) lebih meyakini bacaan “Malik yaumid din” dengan dalil ijma’ para qari’, dan dalil-dalil bahasa; karena kata “Malik” lebih umum daripada kata “Malik”, setiap Malik adalah Malik, tetapi tidak setiap Malik adalah Malik, dan beliau berdalil bahwa dalam bacaan “Malik” dengan ayat-ayat sebelumnya terdapat penambahan makna yang tidak ada dalam bacaan {Malik} dengan ayat-ayat sebelumnya; karena telah diberitakan bahwa Dia adalah Penguasa segala sesuatu dengan firman-Nya: {Rabbul ‘alamin}, sehingga bacaan {Malik} menjadi pengulangan dari makna sebelumnya.
Dan Ibn ‘Atiyyah (1/74-76) dan Ibn Kathir (1/211) lebih meyakini kebenaran kedua bacaan tersebut.
Dan Ibn ‘Atiyyah mengutip hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam yang membaca “Malik” dan {Malik}.
Dan Ibn ‘Atiyyah (1/76-77) mengkritik pendapat orang yang berdalil untuk bacaan {Malik} dengan mengatakan bahwa kata “Malik” lebih umum daripada kata “Malik” dengan mengatakan: “Para mufassir bersepakat dalam menyajikan dalil ini, namun menurutku tidaklah tepat; karena mereka mengambil kedua kata tersebut secara mutlak, tidak dengan nisbah kepada apa yang dimiliki dan di dalamnya terdapat kekuasaan, maka jika nisbah kekuasaan adalah nisbah pemilik, maka Malik lebih tepat.”
Dan Ibn Jarir (1/154-155) menjelaskan bacaan “Malik” dengan mengatakan bahwa bagi Allah-lah kekuasaan pada hari kiamat secara khusus tanpa semua makhluk-Nya yang sebelumnya di dunia menjadi raja-raja yang besar menyaingi-Nya dalam kekuasaan, dan mempertahankan kesendirian dalam kebesaran, keagungan, kekuasaan, dan ketegasan.
Dan beliau menjelaskan bacaan {Malik} dengan makna: bahwa Dia memiliki keputusan di antara mereka dan pemisahan peradilan, secara khusus tanpa makhluk-Nya yang lain.
Penjelasan Singkat:
Teks di atas membahas perbedaan bacaan dalam Al-Quran, khususnya pada kata “Malik” (Penguasa) dalam surat Al-Fatihah. Para sahabat dan ulama berbeda pendapat mengenai bacaan yang benar, ada yang membaca dengan alif (Malik) dan ada yang membaca dengan kasrah (Malik). Masing-masing pendapat memiliki dalil dan penafsiran yang berbeda.
Intinya:
Perbedaan bacaan ini menunjukkan kekayaan dalam ilmu tajwid dan tafsir Al-Quran. Meskipun ada perbedaan pendapat, namun semua bacaan yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat dianggap sahih dan tidak mengurangi makna ayat.

Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Khulu’ dengan Tebusan Donor Darah: Perspektif Fiqih Islam

 

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Deskripsi Masalah

Khulu’ adalah proses pembubaran ikatan pernikahan atas permintaan istri dengan memberikan tebusan (iwadh) kepada suami sebagai ganti rugi. Biasanya, tebusan berupa uang atau barang berharga, tetapi dalam kasus tertentu, tebusan tersebut dapat berupa sesuatu yang bernilai lain, seperti donor darah .Hal ini memicu pada suatu persoalan karena adanya syarat yang diajukan berupa sesuatu yang tidak lazim dalam khulu’, yaitu menjadikan donor darah sebagai bentuk tebusan. :

Pertanyaan

Apakah sah secara syariat jika khulu’ dilakukan dengan syarat tebusan (iwadh) berupa donor darah, mengingat tebusan tersebut tidak lazim ?

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Jawaban:

Khulu’ adalah perceraian atas permintaan istri dengan kompensasi yang diberikan kepada suami. Dalam kasus khulu’ dengan kompensasi berupa donor darah, hukumnya perlu ditinjau dari perspektif syariat terkait pengganti (al-‘iwaḍ) dalam khulu’.

1. Syarat Sah Pengganti (al-‘Iwaḍ) dalam Khulu’:

Para ulama sepakat bahwa pengganti dalam khulu’ harus memenuhi beberapa kriteria:

Bernilai (mutaqawwim): Sesuatu yang dianggap bernilai menurut syariat.

Diketahui secara jelas (ma‘lum): Jenis, jumlah, dan sifatnya diketahui oleh kedua pihak.

Halal: Tidak termasuk barang atau perbuatan yang diharamkan.

Dapat diserahkan (qudrat ‘alā al-taslīm): Sesuatu yang dapat diserahterimakan.

Dalam Kitab Tuhfatul Fuqaha’ (Al-Samarqandi, Juz 2, hal. 201) dinyatakan bahwa:

“Segala sesuatu yang tidak boleh dijadikan mahar karena keharamannya, seperti khamar, babi, bangkai, darah, atau orang merdeka, juga tidak boleh dijadikan sebagai pengganti (al-‘iwaḍ) dalam khulu’.”

2. Hukum Donor Darah sebagai Pengganti dalam Khulu’:

Darah Tidak Bernilai dalam Syariat:
Dalam pandangan fiqih, darah tidak dianggap sebagai sesuatu yang bernilai (mutaqawwim), kecuali dalam keadaan darurat medis, seperti transfusi darah, walaupun memiliki nilai yang sangat tinggi bagi kehidupan manusia, namun tidak memiliki harga pasar yang pasti. Oleh karenanya, donor darah secara umum tidak termasuk harta yang sah sebagai kompensasi dalam khulu’.

Talak Tetap Sah, tetapi Syaratnya Batal:
Jika kompensasi yang disepakati adalah donor darah, maka:

Talak tetap terjadi sebagai talak bain (tidak dapat dirujuk).

Kompensasi berupa donor darah dianggap batal, karena tidak sah menurut syariat. Oleh sebab itu, istri tidak wajib melaksanakan kompensasi tersebut.

3. Pendapat Ulama Terkait Khulu’ dengan Pengganti yang Tidak Bernilai:

Dalam Kitab Kifayah al-Akhyar (Taqiyuddin al-Husni, hal. 384):

> “Apabila khulu’ dilakukan dengan pengganti yang tidak bernilai (misalnya darah), maka khulu’ tetap sah sebagai talak bain. Namun, tidak ada kewajiban bagi istri untuk menyerahkan pengganti tersebut, karena syaratnya tidak sah.”

 

Dalam Syarh al-Yaqut al-Nafis (Juz 2, hal. 612):

> “Jika khulu’ dilakukan dengan syarat menyerahkan sesuatu yang tidak bernilai (seperti darah), maka talaknya hanya menjadi talak raj‘i jika belum ada dua talak sebelumnya.”

Kesimpulan:

1. Khulu’ tidak sah krn syarat donor darah sebagai kompensasi tidak sah dalam pandangan syariat.

2. Karena darah tidak dianggap sebagai sesuatu yang bernilai, maka istri tidak wajib melaksanakan syarat tersebut, dan tidak ada kewajiban untuk menggantinya.

3. Sebaiknya, kompensasi dalam khulu’ diganti dengan sesuatu yang sesuai syariat, seperti uang atau harta benda yang memiliki nilai.

 

Wallahu a’lam bish-shawab.

Referensi

المكتبة الشاملة
كتاب تحفة الفقهاء

[علاء الدين السمرقندي]ج ٢ص٢٠١

ثمَّ الْخلْع جَائِز بِكُل بدل يصلح مهْرا وَيلْزم الْمَرْأَة أَدَاؤُهُ إِلَى الزَّوْج
وَمَا ذكرنَا فِي الْمهْر أَن الزَّوْج فِيهِ بِالْخِيَارِ بَين أَن يُعْطي عينه أَو قِيمَته فَفِي الْخلْع الْمَرْأَة بِالْخِيَارِ كَمَا فِي العَبْد الْوسط وَنَحْوه
وكل مَا لَا يجوز أَن يكون مهْرا لِحُرْمَتِهِ كَالْخمرِ وَالْخِنْزِير وَالْميتَة وَالدَّم وَالْحر لَا يجوز أَن يكون بَدَلا فِي الْخلْع
لَكِن إِذا قبل الزَّوْج ذَلِك فِي الْخلْع تقع الْفرْقَة بَينهمَا وَلَا شَيْء على الْمَرْأَة من الْخلْع وَلَا يجب عَلَيْهَا أَن ترد من مهرهَا شَيْئا لِأَن هَذِه الْأَشْيَاء لَا تصلح عوضا فِي حق الْمُسلمين وَالزَّوْج رَضِي بِمَا لَا قيمَة لَهُ والبضع فِي حَال الْخُرُوج عَن ملكه لَا قيمَة لَهُ حَتَّى تجب الْقيمَة فَلَا يرجع عَلَيْهَا بِشَيْء بِخِلَاف النِّكَاح فَإِن ثمَّة يجب مهر الْمثل لِأَن الْبضْع مُتَقَوّم فِي حَال الدُّخُول فِي ملك الزَّوْج
ثمَّ الطَّلَاق على المَال وَالْخلْع فِي الْأَحْكَام سَوَاء إِلَّا فِي فصل وَاحِد وَهُوَ أَن الْخلْع مَتى وَقع على عوض لَا قيمَة لَهُ لَا يجب الْعِوَض وَلَا قيمَة الْبضْع وَيكون الطَّلَاق بَائِنا لِأَن الْخلْع من كنايات الطَّلَاق وَأما الطَّلَاق بعوض لَا قيمَة لَهُ إِذا بَطل الْعِوَض فالطلاق يكون رَجْعِيًا لِأَن صَرِيح الطَّلَاق يكون رَجْعِيًا
وَإِنَّمَا ثبتَتْ الْبَيْنُونَة لأجل الْعِوَض فَإِذا بَطل الْعِوَض بَقِي مُجَرّد صَرِيح الطَّلَاق فَيكون رَجْعِيًا

Kemudian khulu‘ (talak tebus) itu diperbolehkan dengan segala bentuk tebusan yang sah dijadikan mahar, dan wajib bagi perempuan menyerahkan tebusan tersebut kepada suaminya.

Apa yang telah disebutkan mengenai mahar bahwa suami memiliki pilihan antara memberikan barangnya atau nilainya, maka dalam khulu‘, perempuan memiliki pilihan, seperti halnya dalam masalah budak yang menengah dan yang sejenisnya.

Semua hal yang tidak boleh dijadikan mahar karena keharamannya, seperti khamar, babi, bangkai, darah, dan orang yang merdeka, juga tidak boleh dijadikan sebagai tebusan dalam khulu‘.

Namun, jika suami menerima barang-barang tersebut dalam khulu‘, maka perpisahan antara keduanya tetap sah, tetapi tidak ada kewajiban bagi perempuan untuk menyerahkan sesuatu pun sebagai tebusan khulu‘, dan ia tidak harus mengembalikan apa pun dari maharnya. Sebab, barang-barang tersebut tidak sah dijadikan pengganti menurut hukum Islam, dan suami telah rela menerima sesuatu yang tidak memiliki nilai, sedangkan hak suami atas hubungan pernikahan tersebut dalam keadaan keluar dari kepemilikannya tidak memiliki nilai hingga mengharuskan penggantian. Maka dari itu, suami tidak dapat meminta kembali apa pun, berbeda dengan nikah (biasa), di mana dalam nikah diwajibkan mahar yang sebanding (mahar mitsil), karena hak atas hubungan tersebut dianggap memiliki nilai ketika berada dalam kepemilikan suami.

Kemudian, antara talak dengan tebusan (khulu‘) dalam hukum-hukum syariat itu sama, kecuali dalam satu rincian saja, yaitu apabila khulu‘ terjadi dengan tebusan yang tidak memiliki nilai, maka tidak wajib mengganti tebusan tersebut, dan tidak ada kewajiban membayar nilai dari hubungan pernikahan tersebut. Talak tersebut tetap dianggap sebagai talak bain (tidak bisa dirujuk kembali). Hal ini karena khulu‘ termasuk kiasan talak.

Adapun talak dengan tebusan yang tidak memiliki nilai, jika tebusan tersebut batal, maka talaknya menjadi talak raj‘i (dapat dirujuk kembali). Hal ini karena talak yang diucapkan secara tegas (sharih) statusnya raj‘i.

Sesungguhnya, bain-nya status dalam khulu‘ ditetapkan karena adanya tebusan. Jika tebusan itu batal, maka yang tersisa hanyalah talak yang diucapkan secara tegas, sehingga statusnya menjadi talak raj‘i.

كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار — تقي الدين الحصني، ص ٣٨٤*
`وضابطه أَن كل مَا جَازَ أَن يكون صَدَاقا جَازَ أَن يكون عوضا فِي الْخلْع` لعُمُوم قَوْله تَعَالَى {فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ} وَلِأَنَّهُ عقد على بضع فَأشبه النِّكَاح وَيشْتَرط فِي عوض الْخلْع أَن يكون مَعْلُوما متمولاً مَعَ سَائِر شُرُوط الأعواض كالقدرة على التَّسْلِيم واستقرار الْملك وَغير ذَلِك لِأَن الْخلْع عقد مُعَاوضَة فَأشبه البيع وَالصَّدَاق وَهَذَا صَحِيح فِي الْخلْع الصَّحِيح — الى أن قال — `وَاعْلَم أَن الْخلْع على مَا لَيْسَ بِمَال وَلَكِن قد يقْصد يَقع بِهِ الطَّلَاق بَائِنا بِمهْر الْمثل كَمَا لَو خَالعهَا على خمر أَو حر أَو مَغْصُوب بِخِلَاف مَا لَو خَالعهَا على دم فَإِنَّهُ يَقع الطَّلَاق رَجْعِيًا وَفرق بِأَن الدَّم لَا يقْصد بِحَال فَكَأَنَّهُ لم يطْمع فِي شَيْء وَالْخلْع على الْميتَة كَالْخمرِ لَا كَالدَّمِ لِأَنَّهَا قد تقصد للضَّرُورَة والجوارح.`

*شرح الياقوت النفيس، ج ٢ ص ٦١٢*
شروط العوض اربعة : كونه مقصودا ويشبه الفقهاء العوض الذي لا يقصد بالدم `فلو خالعها على ان تعطيه ملء فنجان دما لا ينعقد خلعا، وانما يكون طلاق رجعيا ان لم يسبقه طلقتان` لكن اليوم اصبح دم الادمي مقصودا ويحقن به الشخص ولكننا نمثل بالعوض الذي لا يقصد بالحشرات ويسمونه عوضا فاسدا غير مقصود وهناك عوض فاسد مقصود مثل الخمر فيقع الخلع وله عليها مهر المثل.

Kifāyah al-Akhyār fī Ḥall Ghayah al-Ikhtiṣār — Taqiyuddin al-Ḥuṣni, hal. 384

“Ketentuan tentang apa yang boleh dijadikan sebagai pengganti (al-‘iwaḍ) dalam khulu‘”:
Setiap sesuatu yang boleh dijadikan mahar (ṣadāq) juga boleh dijadikan sebagai pengganti (al-‘iwaḍ) dalam khulu‘, sesuai dengan keumuman firman Allah Ta’ala:
“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang tebusan yang diberikan oleh pihak istri” (QS. Al-Baqarah: 229).
Selain itu, khulu‘ adalah akad yang berhubungan dengan kehalalan hubungan suami istri, sehingga hukumnya menyerupai pernikahan.

Disyaratkan dalam pengganti (al-‘iwaḍ) pada khulu‘ agar:

1. Sesuatu yang diketahui.

2. Sesuatu yang bernilai (mutaqawwim).

3. Memenuhi syarat-syarat lain seperti mampu diserahkan (qudrat ‘alā al-taslīm), kepemilikan yang sah, dan sebagainya.

Hal ini karena khulu‘ adalah akad yang bersifat pertukaran (‘aqd mu‘āwaḍah), sehingga hukumnya menyerupai jual-beli dan mahar.

Ketentuan ini berlaku untuk khulu‘ yang sahih. Namun, bila khulu‘ dilakukan dengan pengganti yang tidak sah (bukan harta yang bernilai), seperti khulu‘ atas khamr, budak yang merdeka, atau barang yang dirampas, maka tetap terjadi khulu‘, tetapi talak yang terjadi adalah talak bain dengan mahar mitsil (mahar yang setara).

Namun, jika khulu‘ dilakukan dengan pengganti berupa darah (dam), maka yang terjadi adalah talak raj‘i (talak yang dapat dirujuk), bukan talak bain. Perbedaannya, darah tidak memiliki tujuan tertentu (tidak bernilai) dalam segala keadaan, sehingga dianggap seolah-olah suami tidak mengharapkan apa pun dari khulu‘ tersebut.

Adapun khulu‘ atas bangkai (maytah) disamakan hukumnya dengan khamr, bukan darah. Sebab, bangkai terkadang dianggap bernilai dalam keadaan darurat atau kebutuhan tertentu, sedangkan darah tidak pernah dianggap demikian.

Syarḥ al-Yāqūt al-Nafīs, jilid 2, hal. 612

“Syarat-syarat pengganti (al-‘iwaḍ) dalam khulu‘”:
Ada empat syarat pengganti:

1. Sesuatu yang memiliki tujuan (maqsūd).

Para ahli fiqih membandingkan pengganti yang tidak memiliki tujuan dengan darah. Misalnya, jika seorang suami melakukan khulu‘ dengan pengganti berupa “mengisi secangkir darah,” maka khulu‘ tersebut tidak sah sebagai khulu‘, melainkan hanya menjadi talak raj‘i, jika belum ada dua talak sebelumnya.

Namun, dalam konteks saat ini, darah manusia sudah dianggap bernilai karena bisa digunakan untuk transfusi darah namun bukan secara umum. Oleh karena itu, perumpamaan “pengganti yang tidak bernilai” diganti dengan benda lain, seperti serangga, yang disebut “pengganti rusak dan tidak bernilai.”

Ada juga pengganti yang rusak tetapi memiliki nilai (maqsūd), seperti khamr (minuman keras). Dalam kasus ini, khulu‘ tidak sah, tetapi istri tetap memiliki kewajiban untuk membayar mahar mitsil (mahar yang setara).Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Status Konsumsi Makanan Aqiqah Setelah Disedekahkan kepada Fakir Miskin

Assalamualaikum,

Deskripsi Masalah

Seorang bernama Mahmud (nama samaran) melaksanakan ibadah aqiqah untuk anaknya atau untuk dirinya sendiri. Kambing aqiqah tersebut kemudian disedekahkan sepenuhnya (dipasrahkan) kepada seorang kyai yang tergolong fakir. Setelah itu, kambing tersebut disembelih oleh pak kyai, dimasak, dan akhirnya saya diberi satu piring dari masakan tersebut oleh pak kyai.

Pertanyaan:
Apakah saya diperbolehkan untuk memakan masakan tersebut?

Mohon jawaban dan penjelasan.

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Jawaban dan Penjelasan

Dalam konteks ini, hukum memakan makanan tersebut dapat dianalisis berdasarkan ketentuan ibadah aqiqah dan pengelolaannya. Berikut penjelasannya:

1. Hak Kepemilikan Setelah Disedekahkan

Ketika kambing aqiqah disedekahkan sepenuhnya kepada seorang fakir (dalam hal ini, pak kyai), maka kepemilikan kambing tersebut telah berpindah sepenuhnya kepada pak kyai. Sebagai pemilik baru, pak kyai memiliki hak penuh atas kambing tersebut, termasuk menyembelih, memasak, dan memberikan sebagian kepada orang lain.

2. Hukum Memakan Pemberian

Jika pak kyai memberikan satu piring masakan kepadamu, maka statusnya adalah pemberian atau sedekah dari pak kyai, bukan dari kambing aqiqah secara langsung. Dalam hal ini, kamu diperbolehkan memakannya karena hak kepemilikan kambing sudah sepenuhnya berada pada pak kyai, dan dia berhak memberikan bagian tersebut kepada siapa saja.

Berdasarkan penjelasan  diatas, setelah kambing disedekahkan, penerima memiliki hak penuh untuk mengelola harta tersebut, termasuk memberikan sebagian kepada orang lain.

Referensi

المكتبة الشاملة كتاب فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب [زكريا الأنصاري] الفقه الشافعي ج٢ص٢٣٤

وَذِكْرُ مَنْ يَعُقُّ مِنْ زِيَادَتِي ” وَهِيَ ” أَيْ الْعَقِيقَةُ ” كَضَحِيَّةٍ ” فِي جَمِيعِ أَحْكَامِهَا مِنْ جِنْسِهَا وَسِنِّهَا وَسَلَامَتِهَا وَنِيَّتِهَا وَالْأَفْضَلِ مِنْهَا وَالْأَكْلِ وَالتَّصَدُّقِ وَحُصُولِ السُّنَّةِ بِشَاةٍ وَلَوْ عَنْ ذَكَرٍ وَغَيْرِهَا مما يأتي فِي الْعَقِيقَةِ لَكِنْ لَا يَجِبُ التَّصَدُّقُ بِلَحْمٍ مِنْهَا نِيئًا كَمَا يُعْلَمُ مِمَّا يَأْتِي فَتَعْبِيرِي بِذَلِكَ أَعَمُّ مِنْ قَوْلِهِ وَسِنُّهَا وَسَلَامَتُهَا وَالْأَكْلُ والتصدق كالأضحية ” وسن لذكر شاتان وغيره ” مِنْ أُنْثَى وَخُنْثَى ” شَاةٌ ” إنْ أُرِيدَ الْعَقُّ بِالشِّيَاهِ لِلْأَمْرِ بِذَلِكَ فِي غَيْرِ الْخُنْثَى رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقِيسَ بِالْأُنْثَى الْخُنْثَى وَإِنَّمَا كَانَا عَلَى النِّصْفِ مِنْ الذَّكَرِ لِأَنَّ الْغَرَضَ مِنْ الْعَقِيقَةِ اسْتِبْقَاءُ النَّفْسِ فَأَشْبَهَتْ الدِّيَةَ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا فِدَاءٌ لِلنَّفْسِ وَذِكْرُ الْخُنْثَى مِنْ زِيَادَتِي ” وَ ” سُنَّ ” طَبْخُهَا ” كَسَائِرِ الْوَلَائِمِ إلَّا رِجْلَهَا فَتُعْطَى نِيئَةً لِلْقَابِلَةِ لِخَبَرِ الْحَاكِمِ الْآتِي ” وَ ” سُنَّ طَبْخُهَا ” بِحُلْوٍ ” مِنْ زِيَادَتِي تَفَاؤُلًا بِحَلَاوَةِ أَخْلَاقِ الْوَلَدِ وَلِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُحِبُّ الْحَلْوَى وَالْعَسَلَ وَإِذَا أُهْدِي لِلْغَنِيِّ مِنْهَا شَيْءٌ مَلَكَهُ بِخِلَافِهِ فِي الْأُضْحِيَّةِ كَمَا مَرَّ لِأَنَّ الْأُضْحِيَّةَ ضِيَافَةٌ عَامَّةٌ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى لِلْمُؤْمِنِينَ بِخِلَافِ الْعَقِيقَةِ ” وَأَنْ لَا يَكْسِرَ عَظْمَهَا ” تَفَاؤُلًا بِسَلَامَةِ أَعْضَاءِ الْوَلَدِ فَإِنْ كَسَرَ فَخِلَافُ الْأَوْلَى. ” وَأَنْ تُذْبَحُ سَابِعَ وِلَادَتِهِ ” أَيْ الْوَلَدِ وَبِهَا يَدْخُلُ وَقْتُ الذَّبْحِ وَلَا تَفُوتُ بِالتَّأْخِيرِ عَنْ السَّابِعِ وَإِذَا بَلَغَ بِلَا عَقٍّ سَقَطَ سُنُّ الْعَقِّ عَنْ غَيْرِهِ “

Fathul Wahhab bi Syarhi Minhajit Thullab (Zakariya al-Anshari), Juz 2, Halaman 234

Dan penyebutan siapa yang melakukan aqiqah (termasuk tambahan dari saya) “Dan ia” yaitu aqiqah, “seperti kurban” dalam semua hukumnya, dari jenisnya, usianya, kesehatannya, niatnya, mana yang lebih utama di antara jenisnya, hukum makan dan sedekah darinya, serta kesunnahan sudah tercapai dengan satu ekor kambing meskipun untuk anak laki-laki, dan lainnya sebagaimana yang akan dijelaskan dalam pembahasan aqiqah. Namun, tidak wajib bersedekah dengan dagingnya dalam keadaan mentah, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. Oleh karena itu, ungkapanku lebih umum dibandingkan perkataannya (pengarang kitab) yang hanya menyebutkan usia hewan, kesehatannya, hukum makan, dan sedekahnya seperti kurban.

“Dan disunnahkan untuk anak laki-laki dua ekor kambing, sedangkan untuk selainnya” yaitu perempuan dan khuntsa (orang dengan kelamin ganda) “satu ekor kambing” jika aqiqah dilakukan dengan kambing, karena adanya perintah dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (dan beliau berkata: hadis ini hasan sahih). Perempuan dan khuntsa dianalogikan dengan perempuan dalam jumlah hewan aqiqahnya. Hikmah perbedaan jumlah ini adalah karena tujuan aqiqah adalah sebagai bentuk keselamatan bagi anak, sehingga aqiqah menyerupai diyat (denda dalam hukum Islam), karena keduanya sama-sama sebagai tebusan bagi jiwa. Penyebutan khuntsa dalam hukum ini adalah tambahan dari saya.

“Dan disunnahkan untuk memasaknya” seperti dalam acara jamuan lainnya, kecuali kakinya yang diberikan dalam keadaan mentah kepada bidan (yang membantu kelahiran), sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim yang akan disebutkan nanti.

“Dan disunnahkan memasaknya dengan sesuatu yang manis” (tambahan dari saya) sebagai bentuk tabarruk (mengambil berkah) agar anak memiliki akhlak yang baik. Juga karena Rasulullah ﷺ menyukai makanan manis dan madu. Jika daging aqiqah dihadiahkan kepada orang kaya, maka ia berhak memilikinya, berbeda dengan daging kurban yang memiliki aturan berbeda. Hal ini karena kurban adalah bentuk jamuan umum dari Allah bagi seluruh kaum mukminin, berbeda dengan aqiqah yang merupakan jamuan khusus.

“Dan tidak boleh mematahkan tulangnya”, sebagai bentuk tabarruk agar anggota tubuh anak tetap sehat. Namun, jika tulangnya dipatahkan, maka hukumnya hanya makruh tanzih (lebih baik ditinggalkan, tetapi tidak haram).

“Dan hendaknya aqiqah disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya”, yaitu dihitung sejak hari lahirnya. Pada hari ketujuh ini, waktu penyembelihan aqiqah masuk dan tidak gugur jika dilakukan setelah hari ketujuh. Namun, jika seorang anak telah baligh dan belum diaqiqahi oleh orang tuanya, maka kesunnahan aqiqah tidak lagi berlaku bagi selain dirinya (tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua).

Kesimpulan:
Kamu diperbolehkan untuk memakan masakan tersebut, karena statusnya adalah pemberian dari pak kyai sebagai pemilik sah kambing yang telah disedekahkan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Referensi:

كتاب شرح سنن أبي داود للعباد
[عبد المحسن العباد] ج: ٢٠١ ص: ١٠

 إهداء الفقير للغني من الصدقة

[شرح حديث: (هو لها صدقة ولنا هدية)]
قال المصنف رحمه الله تعالى: [باب: الفقير يهدي للغني من الصدقة.
حدثنا عمرو بن مرزوق أخبرنا شعبة عن قتادة عن أنس رضي الله عنه (أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أتي بلحم، قال: ما هذا؟ قالوا: شيء تصدق به على بريرة، فقال: هو لها صدقة، ولنا هدية)].
قال الإمام أبو داود السجستاني رحمه الله تعالى: باب: الفقير يهدي للغني من الصدقة.
أي أن ذلك سائغ وجائز؛ لأن الصدقة إذا تصدق بها على الفقير صارت ملكا له يتصرف فيها كيف يشاء، فله أن يهديها، وله أن يدعو لأكلها، وإلى أكل طعامه الذي تصدق عليه به؛ فإن الشيء إذا تصدق به على الفقير فإنه يدخل في ملكه، وتصير ملكا له، وإذا أكلها غني بعد ذلك، أو أكلها من لا تحل له الصدقة؛ فإن ذلك لا بأس به، ولا محذور فيه، وقد سبق أن مرت بعض التراجم التي تماثل هذه الترجمة، وهنا جاءت بالنسبة للنبي صلى الله عليه وسلم، فلو كانت الترجمة: باب الفقير يهدي إلى من لا تحل له الصدقة، لكان أولى.
وسبق أن مرت بعض التراجم التي فيها أن فقيرا يهدي إلى غني، وفي بعض الأحاديث أنه يدعوه، فسواء أهدى إليه، أو دعاه لحضور وليمة، أو إلى أن يأكل من طعامه؛ فكل ذلك لا بأس به، لكن هذه الترجمة كان الأولى أن تكون كما ذكرت آنفا.
أورد أبو داود حديث أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم إليه لحم فقال: (ما هذا؟ قالوا: لحم تصدق به على بريرة، فقال عليه الصلاة والسلام: هو لها صدقة، ولنا هدية).
يعني: أنه وصل إليها عن طريق الصدقة فملكته، ثم وصل إلينا هدية، والنبي صلى الله عليه وسلم يأكل من الهدية ويقبلها، ولكنه لا يأخذ الصدقة صلى الله عليه وسلم، فوصول الصدقة إلى الفقير يصيرها ملكا له، فيتصرف فيها كيف يشاء، فإذا شاء أن يهديها إلى من لا تحل له الصدقة فله ذلك، وإن شاء أن يدعو إليها من لا تحل له الصدقة فله ذلك، فقد خرجت عن كونها صدقة؛ لكونها صارت ملكا للذي تصدق بها عليه، فيتصرف فيها كيف شاء.
ويدل هذا الحديث أيضا على سؤال الرجل عما يحصل في بيته مما يكون غريبا، فالنبي صلى الله عليه وسلم قال: (ما هذا؟)، وذلك أنه رأى اللحم، وكان حصول اللحم ليس معتادا لهم، فلما رآه عليه الصلاة والسلام سأل عنه، فأخبر عن حقيقته، وأنه تصدق به على بريرة، وأعطتهم بريرة إياه هدية، فقال عليه الصلاة والسلام: (هو لها صدقة، ولنا هدية).

Penjelasan Hadis: “Itu Sedekah untuknya, dan Hadiah untuk Kita”
Imam Abu Daud rahimahullah membuat bab: “Orang fakir memberi hadiah kepada orang kaya dari sedekah.”
Ini menunjukkan bahwa hal tersebut diperbolehkan dan dibolehkan. Karena sedekah yang diberikan kepada orang fakir menjadi miliknya, dan dia dapat menggunakannya sesuka hati. Dia boleh memberikannya sebagai hadiah, atau mengundang orang lain untuk memakannya. Jika orang kaya memakannya setelah itu, atau orang yang tidak berhak menerima sedekah memakannya, maka tidak ada masalah dan tidak ada larangan.
Sebelumnya telah disebutkan beberapa bab yang serupa dengan bab ini. Di sini, hal itu dikaitkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Alangkah lebih baiknya jika bab ini diberi judul: “Orang fakir memberi hadiah kepada orang yang tidak berhak menerima sedekah.”
Sebelumnya juga telah disebutkan beberapa bab yang menyebutkan bahwa orang fakir memberi hadiah kepada orang kaya, dan dalam beberapa hadis disebutkan bahwa dia mengundangnya. Baik dia memberinya hadiah, atau mengundangnya untuk menghadiri walimah, atau makan dari makanannya, semuanya diperbolehkan.
Abu Daud meriwayatkan hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi daging, lalu beliau bertanya: “Apa ini?” Mereka menjawab: “Daging yang disedekahkan kepada Barirah.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu sedekah untuknya, dan hadiah untuk kita.”
Artinya, daging itu sampai kepadanya melalui sedekah, sehingga dia memilikinya, lalu sampai kepada kita sebagai hadiah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memakan hadiah dan menerimanya, tetapi beliau tidak mengambil sedekah. Sedekah yang sampai kepada orang fakir menjadikannya miliknya, sehingga dia dapat menggunakannya sesuka hati. Jika dia ingin memberikannya sebagai hadiah kepada orang yang tidak berhak menerima sedekah, maka dia boleh melakukannya. Jika dia ingin mengundang orang yang tidak berhak menerima sedekah untuk memakannya, maka dia boleh melakukannya. Karena sedekah itu telah keluar dari statusnya sebagai sedekah, karena telah menjadi milik orang yang disedekahkan kepadanya, sehingga dia dapat menggunakannya sesuka hati.
Hadis ini juga menunjukkan bahwa seseorang boleh bertanya tentang hal-hal aneh yang terjadi di rumahnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa ini?” Karena beliau melihat daging itu, dan daging bukanlah sesuatu yang biasa mereka dapatkan. Ketika beliau melihatnya, beliau bertanya tentangnya, lalu diberi tahu tentang hakikatnya, yaitu bahwa daging itu disedekahkan kepada Barirah, dan Barirah memberikannya kepada mereka sebagai hadiah. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu sedekah untuknya, dan hadiah untuk kita.” Wallahu a’lam bisshowab

__________________________
زيادة المراجع فتوى السبكي ص ٢٨٨

[كِتَابُ الضَّحَايَا]

(مَسْأَلَةٌ)

إذَا أَهْدَى الْمُضَحِّي مِنْ أُضْحِيَّةٍ إلَى غَنِيٍّ شَيْئًا هَلْ يَجُوزُ لِلْغَنِيِّ أَنْ يُهْدِيَهُ إلَى غَيْرِهِ؟ إنْ قُلْتُمْ: يَجُوزُ فَمَا مَعْنَى قَوْلِ الرَّافِعِيِّ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُمَلِّكَ الْأَغْنِيَاءَ؟
(الْجَوَابُ)

قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ – رَحِمَهُ اللَّهُ -: الْأَصْلُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يُعْتَمَدَ فِي هَذَا الْبَابِ وَلَمْ أَرَهُ مَنْقُولًا وَلَكِنِّي قَرَّرْتُهُ تَفَقُّهًا لَمَّا رَأَيْت الْمَسَائِلَ لَا تَسْتَمِرُّ إلَّا عَلَيْهِ، وَالْقَوَاعِدَ، وَالْأَدِلَّةَ تَشْهَدُ لَهُ أَنَّ أُضْحِيَّةَ التَّطَوُّعِ يَزُولُ الْمِلْكُ عَنْهَا بِالذَّبْحِ لِلَّهِ تَعَالَى، وَمَصْرِفُهَا وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: الْفُقَرَاءُ تَمْلِيكًا، وَالثَّانِي: الْأَغْنِيَاءُ انْتِفَاعًا، وَالْمُضَحِّي أَحَدُهُمْ، وَلَهُ الْوِلَايَةُ عَلَى ذَلِكَ، وَقِسْمَتُهُ وَتَفْرِقَتُهُ، فَإِنَّ الْمُضَحِّيَ يَتَقَرَّبُ بِأُضْحِيَّتِهِ بِالذَّبْحِ، وَبِذَلِكَ تَنْتَقِلُ عَنْهُ إلَى اللَّهِ تَعَالَى، وَهَذَا مَعْنَى الْقُرْبَةِ فِيهَا، وَإِنْ جَازَ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا؛ لِأَنَّهُ مَأْذُونٌ فِي ذَلِكَ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِذَا عَلِمَ ذَلِكَ
فَإِذَا أَعْطَى مِنْهَا لِلْفُقَرَاءِ كَانَ تَمْلِيكًا وَلَيْسَ الْمَعْنَى يُمَلِّكُهُمْ بَلْ يُعْطِيهِمْ كَمَا يُعْطِيهِمْ لِلزَّكَاةِ فَيَمْلِكُونَهَا مِلْكًا تَامًّا يَتَصَرَّفُونَ فِيهِ بِالْبَيْعِ وَغَيْرِهِ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّهُمْ الْمَقْصُودُ الْأَعْظَمُ بِهَا، وَلَا يَحْصُلُ لَهُمْ التَّصَرُّفُ التَّامُّ إلَّا بِالتَّمْلِيكِ التَّامِّ فِي ذَلِكَ لِيَنْتَفِعُوا بِهَا وَبِثَمَنِهَا. فَمَعْنَى قَوْلِهِ: يُمَلِّكُ الْفُقَرَاءَ أَنَّهُ يُعْطِي لَهُمْ وَيُسَلِّطُهُمْ تَسْلِيطًا تَامًّا عَلَيْهَا، وَإِذَا أَكَلَ هُوَ مِنْهَا يَأْكُلُهَا وَلَيْسَتْ عَلَى مِلْكِهِ بَلْ الْإِذْنُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِذَا أَهْدَى مِنْهَا إلَى غَنِيٍّ فَقَدْ أَحَلَّ ذَلِكَ الْغَنِيَّ مَحَلَّهُ وَرَفَعَ يَدَهُ عَمَّا أَهْدَاهُ لَهُ، فَلِلْغَنِيِّ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ وَيُهْدِيَ أَيْضًا، وَلَيْسَ ذَلِكَ مِنْ بَابِ الْهَدِيَّةِ الَّتِي هِيَ التَّمْلِيكُ لِمَا قَدَّمْنَاهُ أَنَّهَا لَيْسَتْ مِلْكَهُ، وَإِنَّمَا مَعْنَاهُ رَفْعُ يَدِهِ وَتَسْلِيطُ غَيْرِهِ عَلَيْهَا، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَبِيعَ لِكَوْنِهِ غَيْرَ مِلْكٍ، وَإِنَّمَا لَمْ يَمْلِكْ لِكَوْنِهِ لَيْسَ هُوَ الْمَقْصُودَ الْأَعْظَمَ مِنْهَا لِمَا قَدَّمْنَا أَنَّ الْمَقْصُودَ الْأَعْظَمَ مِنْهَا الْفُقَرَاءُ، فَمَقْصُودُ الْأُضْحِيَّةِ تَمْلِيكُ الْفُقَرَاءِ، وَالْإِبَاحَةُ لِلْمُضَحِّي، وَالْأَغْنِيَاءِ هَذِهِ حَقِيقَتُهَا

Referensi

وللفقير التصرف في المأخوذ ولو بنحو بيع المسلم لملكه ما يعطاه ، بخلاف الغني فليس له نحو البيع بل له التصرف في المهدي له بنحو أكل وتصدق وضيافة ولو لغني ، لأن غايته أنه كالمضحي نفسه ، قاله في التحفة والنهاية

Referensi

إعانة الطالبين ج٢ ص ٣٧٩

(قوله: لا تمليكهم) أي لا يجوز تمليك الأغنياء منها شيئا. ومحله إن كان ملكهم ذلك ليتصرفوا فيه بالبيع ونحوه كأن قال لهم ملكتكم هذا لتتصرفوا في بما شئتم أما إذا ملكهم إياه لا لذلك بل للأكل وحده فيجوز، ويكون هدية لهم وهم يتصرفون فيه بنحو أكل وتصدق وضيافة لغني أو فقير لا ببيع وهبة وهذا بخلاف الفقراء، فيجوز تمليكهم اللحم ليتصرفوا فيه بما شاؤا ببيع أو غيره  .والله أعلم بالصواب

 Fatwa Al-Subki Halaman 288 [Kitab Al-Dhahayaa]

(Masalah)

Apabila seseorang yang berkurban memberikan sebagian daging kurbannya kepada orang kaya, apakah orang kaya tersebut boleh menghadiahkan daging itu kepada orang lain? Jika diperbolehkan, apa makna dari pernyataan Imam Al-Rafi’i bahwa tidak diperkenankan bagi yang berkurban untuk “mentamlikkan” (memberikan hak kepemilikan penuh) daging kurban kepada orang kaya?

(Jawaban)

Imam besar – semoga Allah merahmatinya – menjelaskan:
Dasar yang patut dijadikan pedoman dalam hal ini, yang meskipun saya tidak menemukannya secara eksplisit dalam referensi, namun telah saya tetapkan berdasarkan analisis hukum (tafaqquh) karena berbagai masalah dalam topik ini tidak dapat dipahami kecuali dengan dasar tersebut. Kaidah-kaidah dan dalil-dalil juga mendukungnya, yaitu:

Daging kurban yang bersifat sunnah menjadi milik Allah Ta’ala setelah disembelih. Pembagian manfaatnya terbagi menjadi dua bentuk:

1. Fakir miskin (tamlik): Daging kurban diberikan kepada mereka sebagai kepemilikan penuh sehingga mereka dapat memanfaatkannya, termasuk menjualnya.

2. Orang kaya (pemanfaatan): Mereka hanya diberi manfaat dari daging kurban tersebut tanpa kepemilikan penuh.

Orang yang berkurban juga termasuk dalam kategori yang diizinkan memanfaatkannya, dengan hak untuk membagi dan mendistribusikan daging tersebut. Ketika seseorang yang berkurban menyembelih hewan kurbannya, maka ia mendekatkan diri kepada Allah dengan sembelihan tersebut. Dengan demikian, kepemilikannya beralih kepada Allah Ta’ala. Namun, ia diizinkan memakan sebagian darinya karena ada izin dari Allah.

Jika daging tersebut diberikan kepada fakir miskin, pemberian itu bersifat tamlik (kepemilikan penuh), sehingga mereka bebas memanfaatkannya, termasuk menjualnya. Hal ini karena fakir miskin adalah tujuan utama dari pelaksanaan kurban. Untuk merealisasikan manfaat ini, diperlukan tamlik sepenuhnya.

Adapun jika daging diberikan kepada orang kaya, maka pemberian itu tidak untuk tamlik. Artinya, orang kaya hanya diberi izin untuk memanfaatkannya (seperti makan, menyedekahkan, atau menjamu tamu), tetapi tidak diizinkan menjualnya. Ini berbeda dengan fakir miskin yang menjadi tujuan utama kurban. Oleh karena itu, tujuan kurban adalah tamlik bagi fakir miskin, sedangkan bagi orang kaya dan yang berkurban hanya diberikan hak pemanfaatan (ibahah).

Referensi Tambahan

1. “Tuhfatul Muhtaj” dan “Nihayatul Muhtaj”:

Fakir miskin dapat memanfaatkan daging yang diterimanya secara penuh, termasuk menjualnya karena menjadi miliknya. Sedangkan bagi orang kaya, mereka tidak boleh menjual daging tersebut. Namun, mereka boleh memanfaatkannya, seperti memakan, menyedekahkan, atau menjamu tamu, baik kepada orang kaya maupun fakir. Hal ini karena mereka hanya disamakan kedudukannya dengan yang berkurban itu sendiri.

2. “I’anah Al-Thalibin”, Juz 2 Halaman 379:

Tidak diperkenankan memberikan daging kurban kepada orang kaya dengan cara tamlik untuk tujuan seperti menjualnya. Namun, jika pemberian itu hanya untuk dimakan atau dimanfaatkan (tanpa hak kepemilikan penuh), maka diperbolehkan. Dalam hal ini, pemberian tersebut dianggap sebagai hadiah, sehingga orang kaya dapat memanfaatkannya dengan memakan, menyedekahkan, atau menjamu tamu, tetapi tidak menjualnya. Sebaliknya, fakir miskin boleh menerima daging dengan tamlik penuh, sehingga mereka bebas memanfaatkannya,sesuka hatinya termasuk menjualnya.Wallahu A’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Mengalihkan Material Masjid yang tak Digunakan untuk Musholla

 

Deskripsi Masalah:

H. Faiz  merupakan ketua ta’mir masjid Al-Amien, beliau ingin merenovasi masjid agar lebih luas dan megah. Renovasi pun terjadi, ada beberapa bahan milik masjid yang sudah tidak dipakai karena sudah diganti dengan yang baru seperti genteng, kayu, tikar dan lain-lain. Sementara itu K.Mahmud Membangun Musholla untuk tempat ngaji setelah pondasi bangunan selesai ternyata ada kebutuhan mendesak seperti kayu dan genting dll. Oleh karena K.Mahmud meminta dengan hormat kepada H. Faiz agar kayu dan genting masjid  dialihkan kemusholla secara cuma-cuma . Jika tidak dikasih maka akan dibeli. Maka karena adanya kebutuhan musholla dan barang tersebut tidak dipakai,  H. Faiz merespon atas permohonan K.Mahmud untuk mengalihkan atau menjual barang sisa masjid tersebut .

Pertanyaan:

1.Bagaimana Hukum menggunakan barang masjid yang tidak laku dimanfaatkan untuk mussholla? Karena jika tidak digunakan maka akan rusak /hilang

2.Bagaimana hukum menjual barang masjid yang tidak digunakan tersebut

Jawaban.No.1
Prioritas Penggunaan:
1. Barang bekas renovasi masjid:

Prioritas pertama: Dialihkan ke masjid lain yang membutuhkan.

Jika tidak ada masjid yang membutuhkan: Dapat dialihkan ke wakaf umum lain seperti ribath, zawiyah, jembatan, atau sumur yang bermanfaat untuk umat Islam.

2. Pengalihan ke musholla:

Jika musholla statusnya setara dengan masjid (wakaf umum): Boleh digunakan, tetapi tetap lebih utama diberikan ke masjid lain terlebih dahulu.

Jika musholla bukan wakaf umum: Tidak diperbolehkan tanpa izin atau kejelasan dari pewakaf.

Jawaban No.2

Jika tidak dapat dimanfaatkan: Boleh dijual, dengan syarat hasil penjualan digunakan untuk keperluan masjid atau wakaf umum lainnya.

إعانة الطالبين ج٣ ص ٢١٦
غير جنسه كرباط وبئر – كالعكس – إلا إذا تعذر جنسه.والذي يتجه ترجيحه في ريع وقف المنهدم، أنه إن توقع عوده: حفظ له، وإلا صرف لمسجد آخر.فإن تعذر: صرف للفقراء، كما يصرف النقض لنحو رباط.

(وسئل)

شيخنا عما إذا عمر مسجد بآلات جدد، وبقيت آلاته القديمة: فهل يجوز عمارة مسجد آخر قديم بها أو تباع ويحفظ ثمنها؟
(فأجاب) بأنه يجوز عمارة مسجد قديم وحادث بها حيث قطع بعدم احتياج ما هي منه إليها قبل فنائها،
والنقض مثل قفل وحمل بمعنى المنقوض واقتصر الأزهري على الضم، قال: النقض اسم البناء المنقوض إذا هدم، وبعضهم يتقصر على الكسر ويمنع الضم، والجمع نقوض.
اه.
وقوله فينقض، أي يبطل بناؤه بالحيثية السابقة. وقوله ويحفظ، أي نقضه.وقوله أو يعمر به، أي بالنقض. وقوله إن رآه الحاكم، أي رأى تعمير مسجد آخر به أصلح (قوله: والأقرب إليه أولى) أي وعمارة المسجد الأقرب إلى المنهدم أولى من غير الأقرب.
قال ع ش: وبقي ما لو كان ثم مساجد متعددة واستوى قربه من الجميع، هل يوزع على الجميع أو يقدم الأحوج؟ فيه نظر.
والأقرب الثاني، فلو استوت الحاجة والقرب، جاز صرفه لواحد منها.
اه.
(قوله: ولا يعمر به غير جنسه) أي ولا يعمر بالنقض ما هو من غير جنس المسجد. وقوله كرباط وبئر، تمثيل لغير جنس المسجد، وقوله كالعكس: هو أن لا يعمر بنقض الرباط والبئر غير الجنس كالمسجد (قوله: إلا إذا تعذر جنسه) أي فإنه يعمر به غير الجنس (قوله: والذي يتجه ترجيحه الخ) في سم ما نصه، الذي اعتمده شيخنا الشهاب الرملي أنه إن توقع عوده حفظ، وإلا صرفه لأقرب المساجد، وإلا فللأقرب إلى الواقف، وإلا فللفقراء والمساكين أو مصالح المسلمين.
وحمل اختلافهم على ذلك.
اه.

(واعلم) أن الوقف على المسجد إذ لم يذكر له مصرف آخر بعد المسجد من منقطع الآخر، كما قال في الروض، وإن وقفها، أي الدار على المسجد صح، ولو لم يبين المصرف وكان منقطع الآخر إن اقتصر عليه ويصرف في مصالحه اه. وقد تقرر في منقطع الآخر أنه يصرف إلى أقرب الناس إلى الواقف، فقولهم هنا إنه إذا لم يتوقع عوده يصرف إلى مسجد آخر أو أقرب المساجد، يكون مستثنى من ذلك.
فليتأمل

“Tidak boleh digunakan untuk membangun yang berbeda jenisnya, seperti ribath (pondokan) dan sumur – begitu pula sebaliknya – kecuali jika tidak memungkinkan menggunakan jenisnya.”

Pendapat yang diunggulkan terkait hasil wakaf dari masjid yang runtuh:
Jika ada harapan masjid tersebut akan dibangun kembali, maka hasilnya harus disimpan. Namun, jika tidak memungkinkan untuk dibangun kembali, hasilnya disalurkan ke masjid lain. Jika tidak memungkinkan pula, maka disalurkan kepada fakir miskin, sebagaimana hasil penjualan bangunan wakaf lain seperti ribath.

Pertanyaan:
Syaikh kami pernah ditanya tentang masjid yang dibangun ulang dengan material baru, dan material lamanya masih tersisa. Apakah diperbolehkan menggunakan material lama tersebut untuk membangun masjid lain yang sudah ada atau menjualnya untuk menyimpan hasilnya?

Jawaban:
Beliau menjawab bahwa diperbolehkan menggunakan material lama tersebut untuk membangun masjid lain yang sudah ada atau masjid baru, asalkan dipastikan bahwa masjid asalnya tidak membutuhkan material tersebut hingga materialnya benar-benar habis.

Penjelasan:

“Material lama” di sini mencakup benda seperti pintu atau tiang bekas. Al-Azhari menyebutkan bahwa istilah naqdh (material lama) mengacu pada bangunan yang telah dibongkar.

Material lama dapat digunakan untuk membangun masjid lain jika dianggap lebih maslahat oleh hakim.

Dalam kasus terdapat beberapa masjid yang sama-sama dekat dengan lokasi masjid yang runtuh, maka yang lebih membutuhkan didahulukan. Jika kebutuhan dan jaraknya sama, boleh dialokasikan hanya kepada salah satu masjid tersebut.

Catatan:

Tidak diperbolehkan menggunakan material masjid untuk membangun bangunan selain masjid, seperti ribath atau sumur, kecuali jika tidak memungkinkan digunakan untuk masjid.

Pendapat yang lebih kuat menyebutkan bahwa jika ada harapan masjid tersebut akan dibangun kembali, maka hasil wakafnya disimpan. Namun, jika tidak ada harapan, hasilnya disalurkan ke masjid lain yang terdekat. Jika tidak memungkinkan, disalurkan kepada fakir miskin atau untuk kemaslahatan umum umat Islam.

Tambahan:
Jika wakaf untuk masjid tidak mencantumkan rincian penggunaan setelah masjid tersebut tidak ada, maka hasilnya tetap disalurkan untuk kemaslahatan masjid lain atau umat Islam, sesuai pandangan ulama seperti yang disebutkan dalam Ar-Raudh.

Adapun kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dalam konteks wakaf dapat mencakup musholla dan madrasah, terutama jika penggunaannya mendukung tujuan utama dari wakaf tersebut, yaitu manfaat bagi umat Islam. Berikut beberapa poin penjelasannya:

1. Definisi Kemaslahatan Umum
Kemaslahatan umum mengacu pada segala hal yang memberikan manfaat bagi masyarakat luas, khususnya dalam mendukung kebutuhan agama, pendidikan, dan sosial. Musholla dan madrasah masuk dalam kategori ini karena keduanya digunakan untuk ibadah, pendidikan agama, dan pembinaan umat.

2. Syarat dan Ketentuan

Jika tidak memungkinkan digunakan untuk masjid: Ketika material wakaf atau dana wakaf masjid tidak bisa digunakan untuk masjid, maka penyalurannya diperbolehkan ke fasilitas lain yang mendukung ibadah, seperti musholla.

Keselarasan dengan tujuan wakaf: Pengalihan penggunaan wakaf ke musholla atau madrasah harus tetap selaras dengan niat awal wakaf, yaitu mendukung agama Islam dan kemaslahatan umat.

3. Pendapat Ulama
Dalam Hasyiyah Asy-Syarwani dan Fathul Mu’in, disebutkan bahwa hasil atau manfaat wakaf masjid, jika tidak bisa digunakan untuk masjid lain, dapat dialihkan kepada keperluan umat Islam lainnya seperti lembaga pendidikan, madrasah, atau musholla.

4. Contoh Implementasi

Material bekas masjid dapat digunakan untuk pembangunan musholla jika musholla tersebut membutuhkan dan tidak ada masjid lain yang lebih membutuhkan.

Dana hasil wakaf dapat diberikan ke madrasah untuk mendukung pendidikan agama, seperti penyediaan fasilitas belajar atau pembangunan ruang kelas.

Namun, untuk memastikan keabsahan pengalihan ini, biasanya memerlukan keputusan hakim atau otoritas yang berwenang dalam pengelolaan wakaf agar tetap sesuai dengan syariat dan tidak menyalahi amanah wakaf:

Referensi

*بغية المسترشدين في تلخيص فتاوى بعض الأئمة المتأخرين، ص ١٣٤*
(مسألة : ك) انهدم مسجد وله وقف، فإن توقع عوده حفظ ريعه، وإلا جاز صرفه لمسجد آخر، فإن تعذر صرف للفقراء كما في التحفة ، وقال في النهاية : صرف لأقرب الناس إلى الواقف ثم الفقراء اهـ. قلت : وقال أبو مخرمة : وإذا عمر المسجد المنهدم رد عليه وقفه اهـ. فائدة : تعطل مسجد وتعذرت عمارته لخراب البلاد وقلة ما يحصل من غلته وخيف ضياعها باستيلاء ظالم ، جاز نقلها لمسجد آخر معمور على المعتمد من خمسة أوجه ، نعم المسجد الأقرب أولى ، وكذا يقال في البئر والقنطرة إذا تعذرت إعادتها أو استغني عنها ، أما المسجد في المكان العامر فتجمع غلاّت وقفه إلى أن يحصل منها ما يعمره ولا تنقل عنه اهـ حسن النجوق للعموي ، وبنحوه أفتى العلامة أحمد بن حسن الحداد قال : فإن تعذر وجود مسجد فلرباط أو زاوية أو قنطرة أو بئر ونحوها من الأوقاف العامة الأشبه فالأشبه ، ولا يبنى بها مسجد جديد مع إمكان صرفها لعامر اهـ.فائدة : لا يجوز للقيم بيع الفاضل مما يؤتى به لنحو المسجد من غير لفظ ، ولا صرفه في نوع آخر من عمارة ونحوها ، وإن احتيج إليه ما لم يقتض لفظ الآتي به أو تدل قرينة عليه ، لأن صرفه فيما جعل له ممكن وإن طال الوقت ، قاله أبو شكيل اهـ فتاوى ابن حجر.

Bughiyatul Mustarsyidin fi Talkhishi Fatawa Ba‘dhil Aimmatil Muta’akhkhirin, hlm. 134

(Masalah: K) Jika sebuah masjid runtuh dan memiliki harta wakaf, jika diharapkan masjid tersebut akan dibangun kembali, maka hasil wakafnya disimpan. Namun, jika tidak ada harapan untuk membangunnya kembali, maka diperbolehkan mengalihkan hasil wakaf tersebut ke masjid lain. Jika tidak memungkinkan, maka disalurkan kepada fakir miskin sebagaimana disebutkan dalam Tuhfah. Dalam Nihayah disebutkan: “Disalurkan kepada kerabat terdekat dari pewakaf, kemudian kepada fakir miskin.” Saya berkata: Abu Makhramah berkata, “Jika masjid yang runtuh tersebut dibangun kembali, maka hasil wakafnya dikembalikan kepada masjid itu.”

Faedah: Jika sebuah masjid tidak dapat digunakan dan tidak memungkinkan untuk diperbaiki karena kehancuran wilayah atau sedikitnya hasil wakafnya, serta dikhawatirkan hasil wakaf tersebut akan hilang akibat perampasan orang zalim, maka diperbolehkan memindahkan hasil wakaf tersebut ke masjid lain yang masih berfungsi. Pendapat ini merupakan yang paling kuat dari lima pendapat. Namun, masjid yang paling dekat lebih utama. Hal yang sama berlaku pada sumur atau jembatan jika tidak memungkinkan untuk diperbaiki atau jika keberadaannya sudah tidak diperlukan. Adapun masjid yang terletak di daerah yang masih dihuni, maka hasil wakafnya dikumpulkan hingga mencukupi untuk membangunnya kembali, dan tidak boleh dipindahkan. (Hasanun Nujum lil ‘Amuwi). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Al-‘Allamah Ahmad bin Hasan Al-Haddad yang berkata, “Jika tidak memungkinkan untuk menemukan masjid, maka hasil wakaf boleh dialihkan ke ribath, zawiyah, jembatan, sumur, atau tempat wakaf umum lainnya yang paling sesuai. Tidak diperbolehkan membangun masjid baru selama masih memungkinkan untuk memanfaatkan hasil wakaf tersebut pada masjid yang sudah ada.”

Faedah: Tidak diperbolehkan bagi pengelola wakaf untuk menjual kelebihan yang diberikan untuk masjid (tanpa adanya pernyataan eksplisit) atau mengalihkannya untuk jenis perbaikan lain seperti renovasi, kecuali jika hal tersebut diizinkan oleh orang yang memberikan atau ada indikasi yang jelas untuk itu. Karena memanfaatkan hasil wakaf untuk tujuan yang telah ditentukan masih memungkinkan meskipun membutuhkan waktu yang lama. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Abu Syaqil dalam Fatawa Ibn Hajar.

Berikut keterangan tentang
Menjual sisa-sisa barang masjid terjadi perbedaan pendapat:

1. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik tidak boleh dijual dan barang-barang yang masih dapat digunakan, diberikan kepada masjid lain yang membutuhkan.

2. Menurut Imam Ahmad boleh dijual dan uang hasil penjualan digunakan untuk membeli barang yang sama.

Menurut pendapat Syeikh Abu Bakar bin Ahmad Al-Khotiib bekas dari bangunan masjid baik berupa batu bata atau genteng boleh dijual jika tidak dibutuhkan lagi oleh masjid tersebut dan khawatir tersia-sia atau dicuri orang.

مواهب الفضال بفتوى بافضال الجزء ١ صح : ٢٢٨
وَسُئِلَ الْعَلامَةُ الشَّيْخُ أَبُو بَكْرِ ابْنُ مواهب الفضال بفتوى بافضال الجزء ١ صح : ٢٢٨
وَسُئِلَ الْعَلامَةُ الشَّيْخُ أَبُو بَكْرِ ابْنُ أَحْمَدَ الْخَطِيبُ مُفْتِي تَرِيْمٍ عَمَّا بَقِيَ فَتَاتُ النَّوْرَةِ وَالطِّينِ وَالأَخْشَابِ بَعْدَ الْهَدْمِ فَأَجَابَ بِجَوَابِ طَوِيلِ مَالَ بهِ إِلَى جَوَازِ بَيْعِهَا إِذَا لَمْ تَظْهَرْ حَاجَةً لَهَا لِلْمَسْجِدِ الْمَذْكُورِ وَلَوْ فِي الْمُسْتَقْبَلِ وَخِيفَ ضِيَاعُهُ أَوْ أَخَذَ ظَالِمٌ أَوْ غَاصِبٌ لَهَا عَمَّا إِذَا لَمْ يُخْشَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ فَتُحْفَظُ إِلَى آخِرِ مَا أَطَالَ بِهِ رَحِمَ اللهُ اهـ نَصُ الْوَارِدِ فِي حُكْمِ تَجْدِيدِ الْمَسْجِدِ لِلْعَلامَةِ عَلَوِي ابْنِ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ حُسَيْنِ – إلى أن قال – ثُمَّ اخْتَلَفُوا فِي جَوَازِ بَيْعِهِ وَصَرْفِ ثَمَنِهِ فِي مِثْلِهِ وَإِنْ كَانَ مَسْجِدًا فَقَالَ الْمَالِكُ وَالشَّافِعِيُّ يَبْقَى عَلَى حَالِهِ وَلاَ يُبَاعُ وَقَالَ أَحْمَدُ يَجُوزُ بَيْعُهُ وَصَرْفُ ثَمَنِهِ فِي مِثْلِهِ وَكَذَلِكَ فِي الْمَسْجِدِ إِذَا كَانَ لَا يُرْجَى عَوْدُهُ وَلَيْسَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ نَصَّ فِيَهَا اهـ
الْخَطِيبُ مُفْتِي تَرِيْمٍ عَمَّا بَقِيَ فَتَاتُ النَّوْرَةِ وَالطِّينِ وَالأَخْشَابِ بَعْدَ الْهَدْمِ فَأَجَابَ بِجَوَابِ طَوِيلِ مَالَ بهِ إِلَى جَوَازِ بَيْعِهَا إِذَا لَمْ تَظْهَرْ حَاجَةً لَهَا لِلْمَسْجِدِ الْمَذْكُورِ وَلَوْ فِي الْمُسْتَقْبَلِ وَخِيفَ ضِيَاعُهُ أَوْ أَخَذَ ظَالِمٌ أَوْ غَاصِبٌ لَهَا عَمَّا إِذَا لَمْ يُخْشَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ فَتُحْفَظُ إِلَى آخِرِ مَا أَطَالَ بِهِ رَحِمَ اللهُ اهـ نَصُ الْوَارِدِ فِي حُكْمِ تَجْدِيدِ الْمَسْجِدِ لِلْعَلامَةِ عَلَوِي ابْنِ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ حُسَيْنِ – إلى أن قال – ثُمَّ اخْتَلَفُوا فِي جَوَازِ بَيْعِهِ وَصَرْفِ ثَمَنِهِ فِي مِثْلِهِ وَإِنْ كَانَ مَسْجِدًا فَقَالَ الْمَالِكُ وَالشَّافِعِيُّ يَبْقَى عَلَى حَالِهِ وَلاَ يُبَاعُ وَقَالَ أَحْمَدُ يَجُوزُ بَيْعُهُ وَصَرْفُ ثَمَنِهِ فِي مِثْلِهِ وَكَذَلِكَ فِي الْمَسْجِدِ إِذَا كَانَ لَا يُرْجَى عَوْدُهُ وَلَيْسَ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ نَصَّ فِيَهَا .اهـ

“Dan ditanyakan kepada al-‘Allamah Syekh Abu Bakar bin Ahmad al-Khathib, Mufti Tarim, tentang sisa-sisa puing berupa kapur, tanah, dan kayu setelah pembongkaran bangunan. Maka beliau menjawab dengan jawaban panjang yang condong pada pendapat bolehnya menjual sisa-sisa tersebut apabila tidak ada kebutuhan yang nyata untuk masjid yang dimaksud, bahkan di masa mendatang, serta dikhawatirkan barang-barang tersebut akan hilang atau diambil oleh orang zalim atau perampas. Adapun jika tidak ada kekhawatiran terhadap hal-hal tersebut, maka barang-barang itu hendaknya disimpan. Hingga akhir jawaban panjangnya, semoga Allah merahmatinya.

Inilah teks yang disebutkan terkait hukum memperbarui masjid dari al-‘Allamah Alawi bin Abdullah bin Husain, hingga beliau berkata: ‘Kemudian terjadi perbedaan pendapat mengenai bolehnya menjual barang-barang tersebut dan menggunakan hasil penjualannya untuk hal serupa (perbaikan masjid atau keperluan sejenisnya). Jika berupa masjid, maka menurut pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i, barang-barang tersebut tetap dibiarkan sebagaimana adanya dan tidak dijual. Sedangkan Imam Ahmad berpendapat boleh menjualnya dan menggunakan hasil penjualannya untuk keperluan serupa. Begitu pula dalam kasus masjid apabila tidak diharapkan lagi penggunaannya. Adapun menurut Abu Hanifah, tidak terdapat teks (keterangan langsung) mengenai hal ini

هامش الشرواني جزء  ٦ ص ٢٨٢

( وَالْأَصَحُّ جَوَازُ بَيْعِ حُصْرِ الْمَسْجِدِ إذَا بَلِيَتْ وَجُذُوعِهِ إذَا انْكَسَرَتْ ) ، أَوْ أَشْرَفَتْ عَلَى الِانْكِسَارِ ( وَلَمْ تَصْلُحْ إلَّا لِلْإِحْرَاقِ ) لِئَلَّا تَضِيعَ فَتَحْصِيلُ يَسِيرٍ مِنْ ثَمَنِهَا يَعُودُ عَلَى الْوَقْفِ أَوْلَى مِنْ ضَيَاعِهَا وَاسْتُثْنِيَتْ مِنْ بَيْعِ الْوَقْفِ ؛ لِأَنَّهَا صَارَتْ كَالْمَعْدُومَةِ وَيُصْرَفُ ثَمَنُهَا لِمَصَالِحِ الْمَسْجِدِ… الى ان قال… وَالْخِلَافُ فِي الْمَوْقُوفَةِ وَلَوْ بِأَنْ اشْتَرَاهَا النَّاظِرُ وَوَقَفَهَا بِخِلَافِ الْمَمْلُوكَةِ لِلْمَسْجِدِ بِنَحْوِ شِرَاءِ فَإِنَّهَا تُبَاعُ جَزْمًا .

“Menurut pendapat ‘Ashoh’ adalah diperbolehkannya menjual karpet-karpet milik masjid jika bendanya telah rusak, robek atau hampir robek dan tidak layak kecuali untuk dibakar. Agar tidak sia-sia begitu saja, maka mendapatkan sedikit pemasukan (dari penjualan diatas) yang dimasukkan (ke dalam kas) wakaf, tentu lebih baik. Dan hal ini dikecualikan dari (larangan) penjualan benda wakaf, karena dihukumi seolah tidak ada, dan keuntunagannya dialokasikan untuk kepentingan masjid…. Dan khilaf Ulama terjadi pada benda-benda yang diwakafkan, meskipun telah dibeli oleh pihak yang menanganinya (Nadzir) lalu mewakafkannya. Berbeda halnya dengan infentarisir milik masjid yang diperoleh dengan cara membeli, maka sudah pasti boleh dijual kembali”

رسالة الاماجد فى احكام المسجد (٣١-٣٢)
`واعلم أن أموال المسجد تنقسم على ثلاثة أقسام، قسم للعمار كالموهوب والمتصدق به له وريع الموقوف عليه، وقسم للمصالح كالموهوب والمتصدق به لها وكذا ريع الموقوف عليها وربح التجارة وغلة أملاكه وثمن ما يباع من أملاكه وكذا ثمن الموقوف عله عند من جوز بيعه عند البلى والإنكسار وقسم مطلق كالموهوب والمتصدق به له مطلقا وكذا ريع الموقوف عليه مطلقا,` وهذا التقسيم مأخوذ من مفهوم أقوالهم فى كتب القفه المعتبرة والمعتمدة، والفرق بين العمارة والمصالح هو أن ما كان يرجع إلى عين الوقف حفظا وإحكاما كالبناء والترميم والتجصيص للإحكام والسلالم والسوارى والمكاسن وغير ذلك هو العمارة, أن ما كان يرجع إلى جميع ما يكون مصلحة وهذا يشمل العمارة وغيرها من المصالح كالمؤذن والإمام والدهن للسراج هو المصالح والذي اقتضاه افتاء با مخرمة ان هذه الثلاثة لا يجوز للناظر خلطها الا اذا اتحد مصرفها.

رسالة الاماجد فى احكام المسجد (٣١-٣٢)
`واعلم أن أموال المسجد تنقسم على ثلاثة أقسام، قسم للعمار كالموهوب والمتصدق به له وريع الموقوف عليه، وقسم للمصالح كالموهوب والمتصدق به لها وكذا ريع الموقوف عليها وربح التجارة وغلة أملاكه وثمن ما يباع من أملاكه وكذا ثمن الموقوف عله عند من جوز بيعه عند البلى والإنكسار وقسم مطلق كالموهوب والمتصدق به له مطلقا وكذا ريع الموقوف عليه مطلقا,` وهذا التقسيم مأخوذ من مفهوم أقوالهم فى كتب القفه المعتبرة والمعتمدة، والفرق بين العمارة والمصالح هو أن ما كان يرجع إلى عين الوقف حفظا وإحكاما كالبناء والترميم والتجصيص للإحكام والسلالم والسوارى والمكاسن وغير ذلك هو العمارة, أن ما كان يرجع إلى جميع ما يكون مصلحة وهذا يشمل العمارة وغيرها من المصالح كالمؤذن والإمام والدهن للسراج هو المصالح والذي اقتضاه افتاء با مخرمة ان هذه الثلاثة لا يجوز للناظر خلطها الا اذا اتحد مصرفها.

“Ketahuilah bahwa harta benda masjid terbagi menjadi tiga bagian:

1. Bagian untuk perbaikan bangunan seperti harta yang dihibahkan dan disedekahkan untuk itu, serta hasil dari harta wakaf yang diperuntukkan baginya.

2. Bagian untuk kepentingan umum seperti harta yang dihibahkan dan disedekahkan untuk keperluan itu, begitu juga hasil dari harta wakaf yang diperuntukkan baginya, keuntungan perdagangan, hasil dari properti milik masjid, serta harga dari properti yang dijual, termasuk harga wakaf yang dijual ketika mengalami kerusakan atau kehancuran menurut pendapat yang membolehkan penjualannya.

3. Bagian yang bersifat umum, yaitu harta yang dihibahkan dan disedekahkan untuk masjid secara umum, serta hasil dari harta wakaf yang diperuntukkan bagi masjid secara umum.

Pembagian ini diambil dari pemahaman pernyataan mereka dalam kitab-kitab fiqih yang terpercaya dan diakui.

Perbedaan antara perbaikan bangunan dan kepentingan umum adalah bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan perawatan dan penguatan fisik bangunan wakaf, seperti pembangunan, renovasi, pelapisan dengan plester untuk penguatan, tangga, tiang, dan alat-alat lainnya, termasuk dalam kategori perbaikan bangunan.
Adapun segala sesuatu yang menjadi manfaat secara umum, baik berupa perbaikan bangunan maupun lainnya, seperti gaji muadzin, imam, dan minyak untuk lampu, termasuk dalam kategori kepentingan umum.

Menurut fatwa Ibn Makhromah, ketiga jenis harta ini tidak boleh dicampurkan oleh pengelola (nadzar) kecuali jika penggunaannya sama.”

Kategori
Hukum

Komunikasi dengan Orang yang Sudah Wafat: Perspektif Islam dan Keabsahan Tawasul kepada Waliyyullah

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Kebanyakan umat Islam terutama masyarakat awam masih merasa  timbul tanda tanya  terhadap suatu berita yang menyebutkan bahwa orang yang sudah meninggal masih bisa berkomunikasi dengan orang yang masih hidup,Pasalnya  karena ada seseorang pernah sowan kepada salah satu Kiyai yang punya karomah ia berkomunikasi dengan orang sudah meninggal ( Waliyyullah) dengan mengucapkan salam terlebih duhulu  Kepada orang yang meninggal lalu membaca fatihah dikhususkan kepadanya ( orang yang meninggal). Tapi yang  sowan tidak melihatnya . Demikian juga ada yang mengatakan bahwa di dalam kuburan bersemayam seorang waliyyullah padahal sebelumnya tidak ada orang yang tahu.

Pertanyaan:

1. Apa ada keterangan yang menyatakan bahwa orang yang sudah meninggal masih bisa berkomunikasi dengan orang yang masih hidup?

2. Apakah dapat dibenarkan ucapan orang yang mengatakan bahwa di dalam kuburan ini bersemayam seorang waliyyullah?

3. Bagaimana hukumnya bertawasul kepada orang yang diduga seorang waliyyullah?

Waalaikumsalam salam

Jawaban

1. Apakah orang yang meninggal bisa berkomunikasi dengan orang yang masih hidup?

Dalam Al-Qur’an dan Hadis, tidak ada dalil yang secara eksplisit menyatakan bahwa orang yang meninggal dapat berkomunikasi langsung dengan orang yang masih hidup. Namun, terdapat beberapa riwayat yang menjelaskan kemungkinan interaksi antara ruh orang hidup dan ruh orang meninggal, khususnya dalam mimpi. Firman Allah dalam QS. Az-Zumar [39]: 42

“يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوتُ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمَّى إِنَّ فِي ذَلِكَ آيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Ayat ini menunjukkan bahwa ruh seseorang dapat bertemu dalam mimpi:

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya…”

Imam Ibn Qayyim dalam kitab Ar-Ruh menyebutkan bahwa ruh orang hidup dan ruh orang mati dapat bertemu dalam mimpi dan saling mengenal. Namun, ini adalah bentuk pertemuan ruh dan bukan komunikasi fisik langsung.

2. Benarkah klaim bahwa di kuburan tertentu bersemayam seorang waliyyullah?

Tidak ada dalil tegas dalam Al-Qur’an atau Hadis yang menyebutkan keberadaan waliyyullah di kuburan tertentu tanpa bukti yang jelas. Namun, ziarah kubur yang dilakukan untuk mendoakan ahli kubur adalah amalan sunnah. Mengklaim bahwa seseorang adalah waliyyullah harus berdasarkan bukti yang kuat, seperti kesalehan hidupnya yang masyhur di masyarakat. Dalam kitab Tuhfah At-Tathrib, disebutkan pentingnya mengetahui lokasi makam para orang saleh untuk ziarah dan menghormatinya, tetapi klaim tanpa bukti tidak dianjurkan.

3. Bagaimana hukum bertawasul kepada waliyyullah?

Bertawasul kepada Nabi Muhammad SAW, orang-orang saleh, atau waliyyullah yang sudah meninggal adalah hal yang  disepakati sebagai bagian dari ajaran Ahlus Sunnah wal Jamaah, bahkan hukumnya sunnah dengan syarat niat bertawasul adalah memohon kepada Allah melalui kedudukan mereka di sisi-Nya. Dalilnya terdapat dalam QS. Al-Ma’idah [5]: 35:

ياأيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (perantara) kepada-Nya…”

Dalam kitab Al-Hawi lil Fatawi oleh Imam As-Suyuthi disebutkan bahwa bertawasul adalah bagian dari akidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Selain itu, dalam Tabaqat Al-Kubra karya Imam Nawawi, dijelaskan bahwa karomah wali mencakup kemampuan memberi manfaat atau syafaat dengan izin Allah.

Kesimpulan:

a).Komunikasi semacam ini tidak terjadi secara fisik, melainkan dalam bentuk mimpi atau pertemuan ruh yang diizinkan Allah.

b).Pernyataan bahwa di suatu kuburan bersemayam wali harus didasarkan pada riwayat atau bukti yang kuat, bukan hanya dugaan.

c). Bertawasul kepada waliyyullah diperbolehkan dan merupakan sunnah, asalkan tidak menimbulkan keyakinan syirik bahwa wali tersebut memiliki kekuatan selain dari Allah.

Catatan Penting:

Karomah: Keistimewaan yang Allah berikan kepada wali-Nya sebagai tanda kedekatan mereka dengan Allah.

Penting untuk tetap berada dalam koridor tauhid, tidak menisbahkan kekuatan atau kemampuan kepada wali selain atas kehendak Allah.

Referensi Utama:

QS. Az-Zumar [39]: 42

QS. Al-Ma’idah [5]: 35

Ar-Ruh karya Ibn Qayyim

Al-Hawi lil Fatawi karya Imam As-Suyuthi

Tuhfah At-Tathrib dan Kitab lainnya sebagaimana ibarat berikut:

جامع كرامات الأولياء، صفحة ١٤
المسألة الثالثة: وهل تتلاقى أرواح الأحياء وأرواح الأموات أم لا؟
شواهد هذه المسألة وأدلتها كثيرة من أن يحصيها إلا الله تعالى والحس والواقع من أعدل الشُهود بها فتلاقى أرواح الأحياء والأموات كما تلاقى أرواح الأحياء وقد قال تعالى: “يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوتُ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمَّى إِنَّ فِي ذَلِكَ آيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ”. قال أبو عبد الله بن مندة حدثنا أحمد بن محمد بن إبراهيم حدثنا عبد الله بن حسين الحاراني حدثنا جدي أحمد بن شُعَيْبٍ حدثنا موسى بن عين عن مطرف عن جعفر بن أبي المغيرة عن سعيد بن جُبَيْرٍ عن ابن عباس في هذه الآية قال: بلغني أن أرواح الأحياء والأموات تلتقي في المنام فتسألون بينهم فيمسك الله أرواح الموتى ويرسل أرواح الأحياء إلى أجسادها. وقال ابن أبي حاتم في تفسيره حدثنا عبد الله بن سُلَيْمَانَ حدثنا الحسين حدثنا عامر حدثنا أسباط عن السدي وفي قوله تعالى “والَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا” (الزمر ٣٩:٤٩) قال: يتوفاها في منامها فيلتقي روح الحي وروح الميت فيتذاكران ويتعرفان قال: فترجع روح الحي إلى جسده في الدنيا إلى بقية أجله وتريد روح الميت أن ترجع إلى جسده فتحبس وهذا أحد القولين في الآية (الروح ٢٠).
المطلب الثاني في أنواع الكرامات. قال النووي في طبقات الكبرى للكرامات أنواع النوع الأول إحياء الموتى إلى أن قال النوع الثاني: (من الكرامة) كلام الموتى وهو أكثر من النوع قبله وروي مثله عن أبي سعيد الخراز ثم عن الشيخ عبد القادر وعن جماعة من آخرهم بعض مشايخ الشيخ الإمام الوالد يعني والده الإمام تقي الدين الشبكي رحمه الله. الثالث: أن جماعة من أئمة الشريعة نصوا على أن من كرامة الولي أنه يرى النبي ويجتمع به في اليقظة ويأخذ عنه ما قسم له من معارف ومواهب، وممن نص على ذلك من أئمة الشافعية الغزالي والبارزي والتاج بن السبكي والعفيف اليافعي ومن أئمة المالكية القرطبي وابن أبي جمرة وابن الحاج في المدخل وقد حكي عن بعض الأولياء أنه حضر مجلس فقيه فروا ذلك الفقيه حديثا فقال له الولي هذا الحديث باطل فقال الفقيه ومن أين لك هذا فقال هذا النبي واقف على رأسك يقول إني لم أقل هذا الحديث وكشف للفقيه فرآه وقال الشيخ أبو الحسن الشاذلي لو حجبني عن النبي طرفة عين ما عدت نفسي مع المسلمين فإذا كان هذا حال الأولياء مع النبي فعيسى النبي أولى بذلك أن يجتمع به في أي وقت شاء ويأخذ عنه ما أراد من أحكام شريعته من غير حاجة إلى اجتهاد ولا تقليد لحفاظ الحديث”
“والحاوي للفتاوي للسيوطي ٢/١٥٤”.
“واختلف أهل العلم هل يجوز أن يعلم أنه ولي أم لا فكان الإمام أبو بكر بن فورق رحمه الله تعالى يقول لا يجوز ذلك لأنه يسلب الخوف ويوجب له الأمان وكان الأستاذ أبو علي الدقاق رحمه الله تعالى يقول بجوازه وهو الذي تؤثره ونقول به وليس ذلك بواجب في جميع الأولياء حتى يكون كل ولي يعلم أنه ولي واجب بشكل واجب أنه ولي ولكن يجوز أن يعلم بعضهم ذلك كما يجوز أن يعلم بعضهم فإذا علم بعضهم أنه ولي كانت معرفته تلك كرامة له انفرد بها”.

Masalah Ketiga: Apakah ruh orang yang masih hidup dan ruh orang yang telah meninggal bisa saling bertemu atau tidak?
Dalil-dalil dan bukti-bukti terkait masalah ini sangat banyak, bahkan hanya Allah yang mampu menghitungnya. Kenyataan dan fakta menjadi saksi paling adil atas adanya pertemuan antara ruh orang yang hidup dan ruh orang yang telah meninggal, sebagaimana ruh-ruh orang yang hidup dapat saling bertemu. Allah Ta’ala berfirman:

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia lepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.” (QS. Az-Zumar [39]: 42).

Abu Abdullah bin Mandah meriwayatkan: “Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Husain al-Harani telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Kakekku Ahmad bin Syu’aib telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Musa bin Ayyun telah menceritakan kepada kami dari Mutarrif dari Ja’far bin Abi al-Mughirah dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas tentang ayat ini, ia berkata: Aku mendengar bahwa ruh orang yang hidup dan ruh orang yang meninggal bertemu dalam mimpi, lalu mereka saling bertanya satu sama lain. Maka Allah menahan ruh orang yang telah meninggal dan mengembalikan ruh orang yang masih hidup ke jasadnya.”

Ibn Abi Hatim dalam tafsirnya berkata: “Abdullah bin Sulaiman telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Husain telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Amir telah menceritakan kepada kami, ia berkata: Asbath telah menceritakan kepada kami dari al-Suddi tentang firman Allah Ta’ala: ‘Dan yang belum mati di waktu tidurnya’ (QS. Az-Zumar [39]: 42). Ia berkata: Allah mencabut ruh seseorang di saat tidurnya, lalu ruh orang yang hidup bertemu dengan ruh orang yang mati. Mereka saling berbincang dan saling mengenal. Kemudian ruh orang yang hidup dikembalikan ke jasadnya di dunia hingga sisa ajalnya, sedangkan ruh orang yang telah meninggal ingin kembali ke jasadnya, tetapi tertahan.” Ini adalah salah satu pendapat tentang ayat tersebut. (Kitab al-Ruh, hal. 20).

Bagian Kedua: Tentang Jenis-jenis Karomah.
Imam al-Nawawi dalam Tabaqat al-Kubra menyebutkan bahwa karomah memiliki beberapa jenis:

1. Jenis pertama adalah menghidupkan orang yang telah meninggal.

2. Jenis kedua adalah (dari karomah) berbicara dengan orang yang telah meninggal. Jenis ini lebih sering terjadi dibandingkan jenis sebelumnya. Hal ini diriwayatkan dari Abu Said al-Kharraz, kemudian dari Syekh Abdul Qadir, dan sekelompok ulama lainnya hingga sebagian guru besar Syekh Imam ayahnya, yakni Imam Taqiyuddin al-Subki, rahimahullah.

3. Jenis ketiga adalah sebagian imam syariat menegaskan bahwa salah satu karomah seorang wali adalah ia dapat melihat Nabi Muhammad SAW, bertemu dengannya dalam keadaan terjaga, dan mengambil darinya ilmu pengetahuan serta anugerah yang telah dibagi untuknya.

Di antara yang menyebutkan hal ini dari kalangan ulama mazhab Syafi’i adalah Imam al-Ghazali, al-Barizi, Tajuddin al-Subki, dan al-‘Afif al-Yafi’i. Dari kalangan ulama mazhab Maliki adalah Imam al-Qurthubi, Ibn Abi Jamrah, dan Ibn al-Hajj dalam kitab al-Madkhal.

Diriwayatkan bahwa salah seorang wali menghadiri majelis seorang faqih. Sang faqih meriwayatkan sebuah hadis, lalu wali tersebut berkata: “Hadis ini batil.” Sang faqih bertanya: “Dari mana kamu tahu itu?” Ia menjawab: “Ini Nabi SAW berdiri di belakangmu dan berkata: ‘Aku tidak pernah mengatakan hadis ini.’” Lalu sang wali menunjukkan kepada faqih tersebut sehingga ia pun melihat Nabi SAW.

Syekh Abu Hasan al-Syadzili berkata: “Seandainya aku terhalang dari Nabi SAW walau sekejap mata, aku tidak akan menganggap diriku sebagai seorang Muslim.” Jika ini adalah keadaan para wali dengan Nabi SAW, maka Nabi Isa AS tentu lebih berhak bertemu dengannya kapan pun ia mau, mengambil darinya hukum-hukum syariat tanpa perlu ijtihad atau taqlid kepada para hafiz hadis. (Kitab al-Hawi lil Fatawi oleh Imam al-Suyuthi, jilid 2, hal. 154).

Perbedaan Pendapat tentang Apakah Seorang Wali Mengetahui Dirinya sebagai Wali atau Tidak.
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Imam Abu Bakr bin Furak, rahimahullah, mengatakan: “Tidak boleh bagi seorang wali untuk mengetahui bahwa dirinya adalah wali karena hal itu dapat menghilangkan rasa takut dan menyebabkan rasa aman.”

Sedangkan Ustadz Abu Ali al-Daqqaq, rahimahullah, berpendapat: “Hal itu boleh diketahui.” Pendapat ini yang diunggulkan, dan kami mengikutinya. Namun, hal tersebut tidak wajib bagi semua wali sehingga setiap wali harus mengetahui dirinya sebagai wali. Hal ini hanya terjadi pada sebagian wali, sebagaimana mungkin sebagian mereka mengetahuinya. Jika seorang wali mengetahui bahwa dirinya adalah wali, maka pengetahuan tersebut adalah karomah baginya yang menjadi keistimewaannya.

“الرسالة التفسيرية (٣٥٤)”.
“وذكر ابن حبان في صحيحه أن قبر موسى بمدين بين المدينة وبيت المقدس واعترض عليه الحافظ ضياء الدين المقدسي وقال فيه نظر واستدل بهذا الحديث قال ومدين ليست قريبة من بيت المقدس ولا من الأرض المقدسة وقد اشتهر أن قبرا قريبا من أريحا وهي من الأرض المقدسة يزار ويقال إنه قبر موسى وعنده كثيب أحمر وطريق وقد حدثنا عنه غير واحد ممن زاره انتهى”.

“Ar-Risalah At-Tafsiriyah (354)”
Ibnu Hibban menyebutkan dalam kitab Shahih-nya bahwa makam Nabi Musa berada di Madyan, antara Madinah dan Baitul Maqdis. Pernyataan ini dibantah oleh Al-Hafizh Dhiyauddin Al-Maqdisi. Ia mengatakan bahwa pendapat tersebut perlu ditinjau ulang dan mendukung argumennya dengan hadits ini. Al-Maqdisi menyatakan, ‘Madyan tidak dekat dengan Baitul Maqdis maupun dengan tanah suci. Telah masyhur bahwa ada sebuah makam dekat Ariha (Jericho), yang termasuk tanah suci, sering diziarahi dan dikatakan sebagai makam Nabi Musa. Di sana terdapat bukit kecil berwarna merah dan sebuah jalan. Beberapa orang yang telah menziarahinya menceritakan hal tersebut kepada kami.’ Selesai.

دقائق الأخبار فى باب الحادي عشر فى ذكر نداء الروح بعد الخروج  ص١١

وعلى هذا حكاية أبي قلابة  رضي الله عنه وهى ماروى أنه رأى فى المنام كان القبور قد انشقت وأمواتها قد خرجوا منها وقعدوا على شفير القبور وكان بين يدي كل واحد منهم طبق من نور ورأى فيما بينهم رجلا من جيرانهم ولم ير من بين يديه شيأ فسألته فقلت مالي لاأدري بين يديك نور فقال الميت إن لهؤلاء أولادا وأصدقاء يهدون إليهم خيرا ويتصدقون لأجلهم وهذالنور ممايهدونه إليهم وكان لي إبن غير صالح ولايدعو لي ولايتصدق لأجلي ولهذا لانور لي وأنا خجل بين جيراني فلما انتبة أبو قلابة دعا إبنه وأخبره بما رأى فقال ابن أنا تبت على يدك فلاأعود الى ماكنت عليه أبدا فاستغل بالطاعة والدعاء والتصدق عن أبيه لأجله فلما مضى عليه  زمان رأى أبو قلابة مرة أخرى فى منامه تلك المقبرة على حالها ورأى نور بين يدي ذلك الجل أضوأ من الشمس أكثر من نور أصحابه فقال لي ياأباقلابة جزاك الله خيرا فقد نجوت من خجلة الجيران

Disebutkan dalam kitab Daqoiqul Akhbar pada bab 11 yang menerangkan tentang seruan ruh setelah keluar

Dan atas dasar ini ada sebuah HIKAYAT dari Abi qilabah ra. dan hikayat itu menerangkan bahwa di dalam mimpi Abi Qilabah ada suatu kejadian seakan-akan suatu perkuburan telah terbelah lalu keluarlah semau ahli kubur darinya. Mereka duduk-duduk di tepi kubur, sedangkan di hadapan masing-masing mereka terdapat sebuah talam dari cahaya, dan Abu Qilabah melihat bahwa salah satu di antara ahli kubur itu terdapat seorang yang tidak cahaya sedikitpun di mukanya ( wajahnya) . Lalu dia( Abu Qilabah ) bertanya kepadanya : “Apa sebabnya tidak aku lihat di mukamu secerah cahayapun?” maka mayat tersebut menjawab : “Sesungguhnya mereka-mereak itu yang bercahaya  adalah (tetangga ku ) mempunyai anak dan sahabat-sahabat yang sama-sama menghadiahkan amal kebaikan dan shadaqah bagi mereka. Dan cahaya  itulah adalah sebagai bukti dari hadiah-hadiah mereka. Sedangkan saya mempunyai anak yang tholeh ( durhaka) ia  tidak bershadaqah untuk diriku, maka dari itu tiada secercahpun cahaya yang aku miliki, hingga aku merasa malu kepada tetanggaku.” Ketika Abi Qilabah terbangun maka dia memanggil anak dari mayat yang diimpikan tersebut dan menceritakan kepdanya tentang apa yang dilihatnya dalam mimpi ( bertemu dengan ahli kubur ) Maka anak tersebut berkata : “Aku bertaubat di mukamu dan tidaklah aku akan kembali kepada perbuatanku yang lalu  untuk selama-lamanya.” Maka anak tersebut mulai menyibukkan diri dengan semua ketaatan, dan berdoa serta bershadaqah demi ayahnya. Ketika selang beberapa waktu Abi Qilabah melihat perkuburan  itu yang kedua kalinya dalam mimpi, maka terlihat olehnya nur di muka mayit tersebut yang lebih terang dari cahaya matahari dan lebih banyak dari nur para tetangganya, seraya mayat tersebut berkata : “Wahai Abi Qilabah, mudah-mudahan Allah SWT. membalas kebaikan bagimu karena aku telah selamat dari rasa malu di antara tetangga-tetanggaku.

“طرح التثريب ص٣١٨/٤
الثامنة الكثيب بالتاء المثلة قطعة من الرمـل مستطيلة محدودة سُمِّيَ بذلك؛ لأنَّهُ انصبَّ في مكان فاجتمع فيه وفيه استحباب معرفة قبور الصالحين لزيارتها والقيام بحقها، وقد ذكر النبي لقبر السيد موسى علامة موجودة في قبر مشهور عند الناس الآن بأنه قبره والظاهر أن الموضع المذكور هو الذي أشار إليه النبي عليه الصلاة والسلام، وقد دل على ذلك حكايات ومنامات وقال الحافظ الضياء حدثني الشيخ سالم التل قال: ما رأيت استحباب الدعاء أسرع منه عند هذا القبر، وحدّثني الشيخ عبد الله بن يونس المعروف بالأرميني أنه زار هذا القبر وأنه نام فرأى في منامه قبة عنده وفيها شخص أسمر فسلم عليه وقال له أنت موسى كليم الله أو قال نبي الله فقال نعم فقلت قل لي شيئاً فأومأ إلي بأربع أصابع ووصف طولهن فانتبهت فلم أدر ما قال فأخبرت الشيخ ذيال بذلك فقال: يولد لك أربعة أولاد فقلت أنا قد تزوجت امرأة فلم أقرّبها فقال: تكون غير هذه فتزوجت أخرى فولدت لي أربعة أولاد انتهى وليس في قبور الأنبياء ما هو محقق سوى قبر نبينَا وأما قبر موسى فمظنون بالعلامة التي في الحديث وقبر إبراهيم الخليل ومن معه عليهم السلام أيضاً مظنون بمنامات وأنحوها”

“Tuhfah At-Tathrib, hal. 318/4”
_Poin kedelapan: ‘Katsib’ dengan huruf ta’ adalah gundukan pasir memanjang yang terbatas. Dinamakan demikian karena pasir tersebut mengalir ke suatu tempat dan berkumpul di sana. Dari situ disunnahkan untuk mengetahui makam orang-orang saleh guna menziarahinya dan menunaikan haknya. Nabi telah memberikan tanda mengenai makam Nabi Musa, yang sesuai dengan makam yang kini masyhur di kalangan masyarakat sebagai makam beliau. Tampaknya tempat tersebut adalah lokasi yang ditunjukkan Nabi ﷺ. Hal ini diperkuat dengan kisah-kisah dan mimpi-mimpi. Al-Hafizh Adh-Dhiya’ berkata: ‘Syaikh Salim At-Til menceritakan kepadaku bahwa ia tidak pernah melihat doa yang lebih cepat terkabul dibandingkan di makam ini.’

Syaikh Abdullah bin Yunus, yang dikenal dengan sebutan Al-Armini, menceritakan bahwa ia pernah mengunjungi makam tersebut. Ia tidur di sana dan bermimpi melihat sebuah kubah dengan seseorang berkulit sawo matang. Ia menyapanya dan bertanya, ‘Apakah engkau Musa, Kalimullah (yang diajak bicara oleh Allah) atau Nabi Allah?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Lalu saya berkata, ‘Katakanlah sesuatu kepadaku.’ Ia mengisyaratkan dengan empat jarinya yang panjang. Ketika saya terbangun, saya tidak memahami maksudnya. Saya pun menceritakannya kepada Syaikh Dhiyaa’. Ia berkata, ‘Akan lahir bagimu empat orang anak.’ Saya berkata, ‘Saya telah menikahi seorang wanita, tetapi belum berhubungan dengannya.’ Ia berkata, ‘Itu akan terjadi dengan wanita lain.’ Saya kemudian menikahi wanita lain dan memiliki empat anak darinya. Selesai._

Tidak ada makam para nabi yang benar-benar pasti kecuali makam Nabi kita ﷺ. Adapun makam Nabi Musa hanya bersifat dugaan berdasarkan tanda dalam hadits. Sedangkan makam Nabi Ibrahim dan orang-orang bersamanya juga hanya bersifat dugaan berdasarkan mimpi-mimpi dan hal serupa.

طرح التثريب ص ٣١٩/٤
(سُئِلَ) عمن أسلم وأبواه كافران ثم تردد بعد موتهما في إسلامهما هل يدعو لوالديه بالرحمة أم لا؟ (فأجاب) بأنه إن غلب على الظن إسلامهما جاز الدعاء لهما بالمغفرة والرحمة ونحوهما وإلا فلا يجوز ذلك لكن يستحب أن يدعو بالمغفرة والرحمة لكل من أسلم من والديه على سبيل الإيهام فيدخل أبواه في ذلك إن كانا أسلمّا.

Tahrir at-Tathrib (hal. 319, jilid 4):
(Pertanyaan): Seorang yang masuk Islam sedangkan kedua orang tuanya masih kafir, lalu setelah keduanya meninggal ia ragu apakah keduanya telah masuk Islam atau tidak. Apakah ia boleh mendoakan rahmat untuk kedua orang tuanya?
(Jawaban): Jika kuat dugaan bahwa keduanya telah masuk Islam, maka diperbolehkan baginya untuk mendoakan ampunan, rahmat, dan sebagainya untuk mereka. Namun, jika tidak ada dugaan seperti itu, maka tidak diperbolehkan. Akan tetapi, dianjurkan baginya untuk berdoa dengan lafaz yang mencakup setiap orang tua yang masuk Islam secara umum, sehingga kedua orang tuanya termasuk dalam doa tersebut jika memang mereka telah masuk Islam.

نهاية الرملي ٢/٢٧٠

(فائدة): زيارة القبور إما لمجرد تذكر الموت والآخرة فتكون برؤية القبور من غير معرفة أصحابها أو لنحو دعاء فتسن لكل مسلم أو للتبرك فتسن لأهل الخير لأن لهم في برزخهم تصرفات وبركات لا يحصى مَدَدُها أو لأداء حق كصديق ووالد لخبر: من زار قبر والديه أو أحدهما يوم الجمعة كان كحجة وفي رواية غفر له وكتب له براءة من النار أو رحمة وتأنيس لما روي: أنس ما يكون الميت في قبره إذا زاره من كان أحبه في الدنيا اهـ إيهاب.

Nihayah ar-Ramli (jilid 2, hal. 270):
(Faedah): Ziarah kubur bisa dilakukan dengan beberapa tujuan:

1. Untuk sekadar mengingat kematian dan akhirat, yang bisa dilakukan hanya dengan melihat kuburan tanpa mengenal pemiliknya.

2. Untuk mendoakan mayit, yang disunnahkan bagi setiap muslim.

3. Untuk mencari keberkahan, yang disunnahkan dilakukan terhadap kuburan orang-orang saleh, karena mereka memiliki pengaruh dan keberkahan di alam barzakh yang tidak terhitung.

4. Untuk menunaikan hak terhadap teman atau orang tua, berdasarkan hadis: “Barang siapa yang menziarahi kuburan kedua orang tuanya atau salah satunya pada hari Jumat, maka ia seperti telah melaksanakan haji.” Dalam riwayat lain disebutkan: “Dosa-dosanya diampuni, ia ditulis sebagai orang yang terbebas dari neraka, dan mendapatkan rahmat.”

5. Untuk menghibur mayit, sebagaimana diriwayatkan bahwa keadaan mayit di kuburnya paling menyenangkan saat diziarahi oleh orang yang dicintainya di dunia

بغية المسترشدين (٢٠١)
(فائدة): رجل مر بمقبرة فقرأ الفاتحة وأهدى ثوابها لأهلها فهل يقسم أو يصل لكل منهم مثل ثوابها كاملاً؟ أجاب ابن حجر بقوله: أفتى جمع بالثاني وهو اللائق بسعة رحمة الله

تعالى اهـ.

Bughyah al-Mustarsyidin (hal. 201):
(Faedah): Seorang lelaki melewati pemakaman, lalu ia membaca Surah al-Fatihah dan menghadiahkan pahalanya untuk penghuni kubur tersebut. Apakah pahala itu terbagi atau masing-masing penghuni kubur mendapatkan pahala utuh? Ibn Hajar menjawab bahwa sebagian ulama memberi fatwa bahwa setiap penghuni kubur mendapatkan pahala yang utuh, dan hal ini sesuai dengan keluasan rahmat Allah Ta’ala.

بغية المسترشدين ص : ٢٩٧

التوسل بالأنبياء والأولياء في حياتهم وبعد وفاتهم مباح شرعا كما وردت به السنة الصحيحة،______وأما التوسل بالأنبياء والصالحين فهو أمر محبوب ثابت في الأحاديث الصحيحة وقد أطبقوا على طلبه بل ثبت التوسل بالأعمال الصالحة وهي أعراض فبالذوات أولى.

“Tawassul kepada para nabi dan wali saat mereka hidup maupun setelah wafat hukumnya mubah secara syariat, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Tawassul kepada para nabi dan orang-orang saleh adalah sesuatu yang disukai dan telah ditetapkan dalam hadits-hadits shahih, bahkan para ulama telah sepakat akan kebolehannya. Bahkan, tawassul dengan amal saleh yang merupakan sesuatu yang bersifat non-fisik telah terbukti kebolehannya, maka tawassul dengan zat (diri) mereka lebih utama.”

بغية المسترشدين ص : ٢٩٧
.أما جعل الوسائط بين العبد وبين ربه فإن كان يدعوهم كما يدعو الله تعالى في الأمور ويعتقد تأثيرهم في شيئ من دون الله فهو كفر وإن كان مراده التوسل بهم إلى الله تعالى في قضاء مهماته مع اعتقاده أن الله هو النافع الضار المؤثر في الأمور فالظاهر عدم كفره وإن كان فعله قبيحا.

“Tawassul kepada para nabi dan wali saat mereka hidup maupun setelah wafat hukumnya mubah secara syariat, sebagaimana telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih. Tawassul kepada para nabi dan orang-orang saleh adalah sesuatu yang disukai dan telah ditetapkan dalam hadits-hadits shahih, bahkan para ulama telah sepakat akan kebolehannya. Bahkan, tawassul dengan amal saleh yang merupakan sesuatu yang bersifat non-fisik telah terbukti kebolehannya, maka tawassul dengan zat (diri) mereka lebih utama.”

بغية المسترشدين ص : ٢٩٧
.أما جعل الوسائط بين العبد وبين ربه فإن كان يدعوهم كما يدعو الله تعالى في الأمور ويعتقد تأثيرهم في شيئ من دون الله فهو كفر وإن كان مراده التوسل بهم إلى الله تعالى في قضاء مهماته مع اعتقاده أن الله هو النافع الضار المؤثر في الأمور فالظاهر عدم كفره وإن كان فعله قبيحا.

“Adapun menjadikan perantara antara hamba dengan Rabb-nya, jika ia memanggil mereka sebagaimana ia memanggil Allah dalam berbagai urusan, serta meyakini bahwa mereka memiliki pengaruh dalam sesuatu tanpa Allah, maka hal tersebut adalah kekufuran. Namun, jika maksudnya adalah bertawassul dengan mereka kepada Allah untuk memenuhi kebutuhannya, dengan keyakinan bahwa Allah-lah yang memberikan manfaat dan mudarat serta yang berkuasa dalam segala urusan, maka menurut pendapat yang kuat, hal tersebut tidak dianggap kufur meskipun perbuatannya buruk (tidak terpuji).” Wallahu Alam bisshowab.

Ketik Pencarian