Kategori
Hukum

Bolehkah Meminjam Dana Sekolah atau Masjid untuk Kepentingan Pribadi?

 

Deskripsi Kasus

Sekolah agama dan masjid merupakan lembaga yang bersifat umum dan dikelola oleh masyarakat sebagai wakaf. Oleh karena itu, aset dan dana yang dimiliki lembaga ini termasuk dalam kategori wakaf yang harus dikelola sesuai dengan hukum syariah. Dalam lembaga tersebut, terdapat pengurus dengan tugas masing-masing, termasuk bendahara yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan lembaga.

Sdr. Shiddiq, selaku bendahara, mengambil dana lembaga untuk kepentingan pribadinya dengan niat meminjam dan berencana mengembalikannya di kemudian hari, tanpa izin resmi dari pihak yang berwenang.

Pertanyaan

Apa hukum meminjam dana lembaga untuk kepentingan pribadi seperti yang dilakukan oleh Sdr. Shiddiq? Apakah hal ini diperbolehkan? Jika tidak diperbolehkan, bagaimana solusi yang sesuai dengan fiqih Islam?

Jawaban Hukum Penggunaan Dana Wakaf

Dana yang terdapat dalam kas sekolah agama atau masjid, baik berasal dari wakaf maupun sumbangan, memiliki ketentuan penggunaan yang diatur oleh syariat Islam. Kaidah fiqih menyatakan:

“Wakaf tidak boleh dijual, dihibahkan, atau diwariskan.”

Dengan demikian, dana wakaf harus digunakan sesuai dengan tujuan awalnya dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, meskipun dengan niat untuk meminjam.

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan:

“Lembaga umum (seperti sekolah dan masjid) memiliki kedudukan seperti masjid, sehingga dapat menerima hibah maupun wakaf yang diserahkan kepada pengelolanya.”
(Hawasyi Asy-Syarwani, 3/51)

Selain itu, harta wakaf diperlakukan seperti harta anak kecil atau orang yang berada dalam perwalian, sehingga tidak boleh dikelola sembarangan kecuali untuk kemaslahatan. Imam Amirah menyatakan:

“Hukum harta wakaf sama dengan harta anak kecil.”
(Amirah, 2/305)

Tanggung Jawab Amanah

Sebagai bendahara, Sdr. Shiddiq adalah pihak yang diberi amanah untuk menjaga dan mengelola dana lembaga. Islam mewajibkan seseorang untuk menjaga amanah dengan sebaik-baiknya. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Tunaikanlah amanah kepada yang memberi amanah kepadamu, dan janganlah berkhianat kepada orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud)

Mengambil dana lembaga tanpa izin dianggap sebagai pengkhianatan terhadap amanah, yang termasuk dalam ghasab.

Hukum Meminjam Dana Lembaga

Dalam Islam, pinjaman (qardh) adalah akad yang harus didasarkan pada kesepakatan antara pemberi pinjaman dan peminjam. Jika Sdr. Shiddiq mengambil dana lembaga tanpa izin dari pihak yang berwenang, maka hal itu tidak dianggap sebagai pinjaman yang sah, melainkan termasuk dalam kategori ghashb (pengambilan harta orang lain secara tidak sah).

Syaikh Zainuddin  dalam “Fathul Mu’in” menyatakan:

“Seorang wali tidak boleh meminjamkan harta anak asuhnya tanpa adanya kebutuhan mendesak.”
(Fathul Mu’in, Hasyiyah I’anatuth Thalibin, 3/51)

Imam Al-Mahalli dalam “Syarh Al-Minhaj” juga menegaskan:

“Pemberi pinjaman harus memiliki kelayakan untuk berderma, karena dalam pinjaman terdapat unsur pemberian. Oleh sebab itu, wali tidak diperbolehkan meminjamkan harta orang yang berada dalam perwaliannya tanpa adanya kebutuhan mendesak.”
(Syarh Al-Mahalli ‘ala Al-Minhaj, 2/258)

Dari penjelasan ini, jelas bahwa bendahara tidak memiliki hak untuk meminjamkan dana lembaga kepada dirinya sendiri tanpa izin resmi, karena ia bukan pemilik dana tersebut.

Solusi Syariah

Agar tindakan ini tidak melanggar syariat, beberapa solusi berikut dapat diterapkan:

Mendapatkan Izin Resmi
Jika Sdr. Shiddiq ingin meminjam dana lembaga, ia harus meminta izin resmi dari pihak yang berwenang dalam mengelola keuangan lembaga. Jika izin diberikan, maka ia dapat mengambil dana tersebut sebagai pinjaman dengan syarat pengembalian yang jelas.

Mencari Sumber Pinjaman Lain
Sebagai alternatif, Sdr. Shiddiq sebaiknya mencari sumber pinjaman lain yang tidak menyalahi amanah, seperti meminjam dari individu atau lembaga keuangan yang memperbolehkan pinjaman sesuai syariat.

Mengembalikan Dana yang Sudah Diambil
Jika ia telah mengambil dana lembaga tanpa izin, maka ia wajib segera mengembalikannya, memohon ampun kepada Allah, serta meminta maaf kepada pihak lembaga. Ia juga harus berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut.

Kesimpulan

Menggunakan dana lembaga tanpa izin, meskipun dengan niat meminjam, tidak diperbolehkan dalam Islam karena termasuk dalam pengkhianatan terhadap amanah dan bertentangan dengan ketentuan pengelolaan dana wakaf. Namun, jika dilakukan melalui prosedur yang sah, seperti mendapatkan izin resmi dari pihak berwenang, maka tindakan tersebut dapat dianggap sah secara syariat.

Referensi Hawasyi Asy-Syarwani, 3/51 Amirah, 2/305 Fathul Mu’in, Hasyiyah I’anatuth Thalibin, 3/51 Syarh Al-Mahalli ‘ala Al-Minhaj, 2/258

حُكْمُ اقْتِراضِ أَمْوَالِ المَدْرَسَةِ أَوِ المَسْجِدِ لِلأغراض الشَّخْصِيَّةِ

تُعد المدارس الدينية والمساجد من المؤسسات ذات الطابع العام، وتُدار من قبل المجتمع بوصفها أوقافًا. لذا، فإن الأموال والممتلكات التابعة لها تُعد من الأوقاف التي يجب إدارتها وفقًا لأحكام الشريعة الإسلامية. وفي هذه المؤسسات، يتم تعيين إداريين يتحملون مسؤوليات محددة، ومنهم أمين الصندوق المسؤول عن إدارة أموال المؤسسة.

السيد صِدِّيق، بصفته أمينًا للصندوق، يأخذ أموال المؤسسة لاستخدامه الشخصي بنية الاقتراض، مع عزمه على إعادتها لاحقًا، دون إذن رسمي من الجهة المخولة.

السؤال

ما حكم اقتراض السيد صِدِّيق لهذه الأموال لاستخدامه الشخصي؟ وهل يجوز ذلك؟ وإن لم يكن جائزًا، فما الحل وفقًا للفقه الإسلامي؟

الجواب حكم استخدام أموال الوقف

إن الأموال الموجودة في صندوق المدرسة الدينية أو المسجد، سواء كانت من الوقف أو التبرعات، تخضع لضوابط شرعية في استخدامها. وقد ورد في القاعدة الفقهية:

“الوقف لا يباع ولا يوهب ولا يورث”

وبناءً على ذلك، فإن أموال الوقف يجب أن تُستخدم وفقًا للغرض الذي وقِفت لأجله، ولا يجوز الانتفاع بها للأغراض الشخصية، حتى ولو كان ذلك بنية الاقتراض. قال العلامة ابن حجر الهيتمي:

“الجهة العامة بمنـزلة المسجد، فيجوز تمليكها بالهبة، كما يجوز الوقف عليها، فيقبلها القاضي” (حواشي الشرواني، 3/51).

كما أن مال الوقف له حكم خاص، شبيه بحكم أموال القُصَّر والمحجور عليهم، فلا يجوز التصرف فيه إلا بما يحقق مصلحته. قال العلامة عميرة:

“وحكم مال الوقف حكم مال الطفل” (عميرة، 2/305).

مسؤولية الأمانة

بصفته أمينًا للصندوق، فإن السيد صِدِّيق مؤتمن على هذه الأموال، ويجب عليه حفظ الأمانة وعدم التصرف فيها بغير وجه حق. وقد قال النبي ﷺ:

“أدِّ الأمانة إلى من ائتمنك، ولا تخن من خانك” (رواه أبو داود).

وأخذ أموال المؤسسة دون إذن يُعتبر خيانة للأمانة، وهو من الكبائر التي توعَّد الله عليها بالعقوبة.

حكم الاقتراض من أموال المؤسسة

الاقتراض في الإسلام عقدٌ يُشترط فيه التراضي بين المقرض والمقترض، ولا يكون صحيحًا إلا إذا تم بإذن صحيح من الجهة المالكة للمال أو من يمثلها. وإذا أخذ السيد صِدِّيق أموال المؤسسة دون إذن، فإن ذلك يُعد غصبًا، وليس اقتراضًا مشروعًا.

قال العلامة الشيخ زين الدين “في فتح المعين”:

“ويمتنع على وليٍّ قرض مال موليه بلا ضرورة” (فتح المعين، هامش إعانة الطالبين، 3/51).

كما أوضح الإمام المحلي في “شرح المنهاج”:

“ويشترط في المقرض أهلية التبرع، لأن في الإقراض تبرعًا، فلا يصح إقراض الولي مال المحجور عليه من غير ضرورة” (شرح المحلي على المنهاج، 2/258).

بناءً على ذلك، لا يجوز لأمين الصندوق أن يقرض نفسه أموال المؤسسة، لأنه ليس صاحب الحق في التصرف فيها.

الحلول الشرعية

لكي لا يكون هذا الفعل مخالفًا لأحكام الشريعة، يمكن اتباع الحلول التالية:

الحصول على إذن رسمي إذا أراد السيد صِدِّيق اقتراض أموال المؤسسة، فعليه أن يطلب إذنًا رسميًا من الجهة المخولة بإدارة المال. وإذا تم منحه الإذن، فيمكنه حينئذٍ أخذ المال كقرض بشروط واضحة للسداد.

البحث عن مصادر بديلة للاقتراض من الأفضل أن يلجأ السيد صِدِّيق إلى مصادر أخرى للاقتراض، مثل الاقتراض من شخص آخر أو من مؤسسة مالية، حتى لا يخلّ بالأمانة الموكلة إليه.

إعادة المال الذي تم أخذه دون إذن إذا كان قد أخذ المال بالفعل دون إذن، فيجب عليه أن يعيده فورًا، وأن يستغفر الله عز وجل، ويطلب العفو من إدارة المؤسسة، ويتعهد بعدم تكرار هذا الفعل.

الخاتمة

إن استخدام أموال المؤسسة دون إذن، حتى لو كان بنية الاقتراض، لا يجوز في الإسلام، لأنه يُعد خيانة للأمانة، ويتعارض مع أحكام إدارة أموال الوقف. ومع ذلك، إذا تم ذلك وفق إجراءات شرعية صحيحة، مثل الحصول على إذن رسمي من الإدارة المخولة، فيمكن اعتباره تصرفًا مشروعًا وفقًا للشريعة الإسلامية.

المراجع حواشي الشرواني، 3/51 عميرة، 2/305 فتح المعين، هامش إعانة الطالبين، 3/51 شرح المحلي على المنهاج، 2/258

Kategori
Hukum

Fida’: Menyembelih Hewan untuk Orang Sakit dalam Tinjauan Syariat

 

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Deskripsi Masalah

Di masyarakat, sejak dahulu hingga sekarang, terdapat praktik fida’, yaitu menyembelih kambing untuk orang sakit ketika penyakitnya semakin parah. Dagingnya kemudian disedekahkan dengan keyakinan sebagai fida’ atau tebusan dosa. Biasanya, jika penyakitnya bukan penyakit yang membawa kematian, orang tersebut akan segera sembuh dengan izin Allah. Namun, jika penyakitnya adalah penyakit yang menyebabkan kematian, maka orang tersebut akan wafat dalam waktu dekat. Saya telah mengetahui praktik ini sejak kecil di daerah saya, tetapi hingga usia 59 tahun ini, saya belum menemukan dalil yang jelas mengenai praktik tersebut.

Waalaikum salam

Jawaban

Jika yang dimaksud dengan fida’ adalah sedekah sebagai tebusan dosa (kafarah), maka hal ini tidak dibenarkan dalam syariat, karena dosa hanya dapat dihapus dengan taubat nasuha, yaitu taubat yang sungguh-sungguh disertai dengan memperbanyak istighfar serta meninggalkan perbuatan dosa tersebut. Allah berfirman:

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya…” (QS. Hud: 3)

Namun, jika penyembelihan hewan dilakukan sebagai bentuk sedekah, terutama dalam kondisi sakit, maka dalam hal ini sangatlah dianjurkan   dalam Islam, ( sunnat muakkad).

Referensi:

التقرير ات السديدة ص٤٢٩

وتأكد صدقة التطوع عند الأمور المهمة كالغزو والجماعة، وكذلك الكسوف والمرض والحج

Kenapa sedekah dalam kondisi tersebut sangat dianjurkan karena sedekah memiliki banyak keutamaan, di antaranya:
Sebagai Penghapus Kesalahan Rasulullah ﷺ bersabda:

الصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ

“Sedekah itu dapat menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi No. 2616, hasan shahih)

Dalam kitab ushfuriya hal: 11 dijelaskan bahwa sedekah terdapat  7 manfaat atau keutamaan.

شرح المواعظ العصفورية ص ١١

ﺍﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺳﺒﻊ ﺧﺼﺎﻝ :

{ ﺃﻭﻟﻬﺎ }

ﺃﻥ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺗﻔﻚ ﺭﻗﺒﺘﻚ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺇﻥ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻟﺘﺪﻓﻊ ﺳﺒﻌﻴﻦ ﺑﺎﺑﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﻼﺀ

Ketahuilah bahwa di dalam sedekah itu terdapat 7 perkara. Yang pertama, bahwasanya sedekah itu melepaskan ikatanmu. Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya sedekah itu menolah 70 pintu bala”

{ ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ }

ﺍﻧﻬﺎ ﻃﺒﻴﺒﻚ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺩﺍﻭﻭﺍ ﻣﺮﺿﺎﻛﻢ بالصدقة

Yang kedua, bahwasanya sedekah itu adalah dokter bagimu. Nabi SAW bersabda : “Obatilah penyakit kalian dengan bersedekah”

{ ﻭﺍﻟﺜﺎﻟﺚ }

ﺃﻧﻬﺎ ﺻﺎﺭﺕ ﺣﺎﺭﺳﻚ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺣﺼﻨﻮﺍﺃﻣﻮﺍﻟﻜﻢ ﺑﺎﻟﺼﺪﻗﺔ

Yang ketiga, bahwasanya sedekah itu akan menjadi penjagamu. Nabi SAW bersabda : “Bentengilah harta kalian
dengan sedekah

{ ﻭﺍﻟﺮﺍﺑﻊ }

ﺍﻧﻬﺎ ﺗﻄﻔﺊ ﻏﻀﺐ ﺍﻟﺮﺏ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺗﻄﻔﺊ ﻏﻀﺐ الرﺏ

Yang keempat, bahwasanya sedekah itu menghilangkan kemurkaan Allah. Nabi SAW bersabda: Sedekah itu menghilangkan kemurkaan Allah SWT

{ ﻭﺍﻟﺨﺎﻣﺲ }

ﺍﻧﻬﺎ ﺃﻟﻔﺔ ﻟﻺﺧﻮﺍﻥ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﻫﺪﻳﺔ ﺗﻬﺎﺩﻭﺍ ﺗﺤﺎﺑﻮﺍ

Yang kelima, bahwasanya sedekah itu membuat persaudaraan menjadi lebih harmonis. Nabi SAW bersabda : “Sedekah itu adalah hadiah, maka hendaklah kalian saling memberi hadiah sehingga kalian saling mencintai”

{ ﻭﺍﻟﺴﺎﺩﺱ }

ﺍﻧﻬﺎ ﺭﻗﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﻠﻮﺏ ﻗﺎﻝ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻣﻦ ﻭﺟﺪ فى قلبه ﻗﺴﺎﻭﺓ ﻓﻠﻴﻨﺸﺮ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ

Yang keenam, bahwasanya sedekah itu melembutkan hati. Nabi SAW bersabda :

“Barangsiapa yang merasa hatinya keras, maka tebarkanlah sedekah

{ والسابع }

إنها تزيد فى العمر قال النبي صلى الله عليه وسلم الصدقة ترد البلاء وتزيد فى العمر

Yang ketujuh, bahwasanya sedekah itu memanjangkan umur. Nabi SAW bersabda : “Sedekah itu menolak bala dan memperpanjang umur”.

Begitu juga tidak dibenarkan jika seseorang berkeyakinan dengan penyembelihan hewan untuk orang yang sakit  dalam waktu dekat  cepat meninggal , karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa sedekah dapat digunakan untuk mempercepat dan mengetahui waktu kematian seseorang karena hanya Allah yang mengetahui kapan seseorang akan meninggal. Allah berfirman:

وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ “

Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui apa yang akan dikerjakannya besok, dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati.” (QS. Luqman: 34) lihat tafsir Ibnu Katsir, berikut:

تفسير إبن كثير سورة لقمان اية ٣٤

إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ
الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

هذه مفاتيح الغيب التي استأثر الله تعالى بعلمها ، فلا يعلمها أحد إلا بعد إعلامه تعالى بها; فعلم وقت الساعة لا يعلمه نبي مرسل ولا ملك مقرب ، ( لا يجليها لوقتها إلا هو ) [ الأعراف : 187 ] ، وكذلك إنزال الغيث لا يعلمه إلا الله ، ولكن إذا أمر به علمته الملائكة الموكلون بذلك ومن شاء الله من خلقه . وكذلك لا يعلم ما في الأرحام مما يريد أن يخلقه [ الله ] تعالى سواه ، ولكن إذا أمر بكونه ذكرا أو أنثى ، أو شقيا أو سعيدا علم الملائكة الموكلون بذلك ، ومن شاء الله من خلقه . وكذلك لا تدري نفس ماذا تكسب غدا في دنياها وأخراها ، ( وما تدري نفس بأي أرض تموت ) في بلدها أو غيره من أي بلاد الله كان ، لا علم لأحد بذلك . وهذه شبيهة بقوله تعالى : ( وعنده مفاتح الغيب لا يعلمها إلا هو ) الآية [ الأنعام : ٥٩ ] . وقد وردت السنة بتسمية هذه الخمس : مفاتيح الغيب . قال الإمام أحمد : حدثنا زيد بن الحباب ، حدثني حسين بن واقد ، حدثني عبد الله بن بريدة ، سمعت أبي – بريدة – يقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : ” خمس لا يعلمهن إلا الله عز وجل : ( إن الله عنده علم الساعة وينزل الغيث ويعلم ما في الأرحام وما تدري نفس ماذا تكسب غدا وما تدري نفس بأي أرض تموت إن الله عليم خبير ) . هذا حديث صحيح الإسناد ، ولم يخرجوه . حديث ابن عمر : قال الإمام أحمد : حدثنا وكيع ، حدثنا سفيان ، عن عبد الله بن دينار ، عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مفاتيح الغيب خمس لا يعلمهن إلا الله : ( إن الله عنده علم الساعة وينزل الغيث ويعلم ما في الأرحام وما تدري نفس ماذا تكسب غدا وما تدري نفس بأي أرض تموت إن الله عليم خبير )

Sesungguhnya Allah memiliki pengetahuan tentang Kiamat, menurunkan hujan, mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui apa yang akan diperolehnya esok hari, serta tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal. (QS. Luqman: 34)

Inilah kunci-kunci keghaiban yang Allah SWT khususkan pengetahuannya bagi diri-Nya. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali setelah Allah memberitahukannya. Ilmu tentang waktu Kiamat tidak diketahui oleh nabi yang diutus maupun malaikat yang didekatkan. Sebagaimana firman-Nya:

“Tidak ada yang dapat menyingkapnya pada waktunya kecuali Dia.” (QS. Al-A’raf: 187)

Demikian pula, pengetahuan tentang turunnya hujan hanya diketahui oleh Allah. Namun, jika Allah telah memerintahkannya, maka para malaikat yang ditugaskan untuk itu akan mengetahuinya, begitu pula makhluk-makhluk lain yang dikehendaki-Nya.

Begitu juga, tidak ada yang mengetahui apa yang ada dalam rahim selain Allah, baik mengenai penciptaan-Nya, apakah janin itu akan menjadi laki-laki atau perempuan, serta apakah ia akan bahagia atau celaka. Namun, jika Allah telah memerintahkannya, maka para malaikat yang ditugaskan akan mengetahuinya, begitu pula siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Demikian pula, tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui apa yang akan diperolehnya esok hari, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Dan tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui di bumi mana ia akan meninggal, apakah di tempat asalnya atau di negeri lain dari negeri-negeri Allah. Tidak ada seorang pun yang memiliki ilmu tentang hal ini.

Ayat ini mirip dengan firman Allah:

“Dan di sisi-Nya kunci-kunci keghaiban; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia.” (QS. Al-An’am: 59)

Dalam hadits juga disebutkan bahwa lima perkara ini dinamakan kunci-kunci keghaiban.

Hadits-hadits yang berkaitan dengan lima perkara ghaib Hadits dari Buraidah
Imam Ahmad meriwayatkan:

“Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubab, telah menceritakan kepada kami Husain bin Waqid, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Buraidah, aku mendengar ayahku, Buraidah, berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Ada lima hal yang hanya diketahui oleh Allah: (Sesungguhnya Allah memiliki pengetahuan tentang Kiamat, menurunkan hujan, mengetahui apa yang ada dalam rahim, dan tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui apa yang akan diperolehnya esok hari, serta tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal).’”

Dari penjelasan ayat dan tafsir diatas dapat difahami bahwa ada Lima perkara dalam ayat tersebut merupakan kunci-kunci keghaiban yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Manusia, bahkan para nabi dan malaikat sekalipun, tidak dapat mengetahuinya kecuali jika Allah memberikan wahyu. Hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ menegaskan bahwa lima perkara ini berada di bawah kekuasaan mutlak Allah SWT.

Adapun dalil yang diajarkan oleh Nabi SAW kepada umatnya khususnya bagi seseorang yang tertimpa ujian dan musibah yang sangat berat adalah dianjurkan untuk memperbanyak do’a

اللهم أحيني ماكانت الحيات خير لي وتوفني ماكانت الوفات خير لي

“Ya Allah, hidupkanlah aku selama kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku.”

Kesimpulan

Jika penyembelihan hewan dilakukan sebagai tebusan dosa (fida’), maka hal ini tidak dibenarkan, karena dosa hanya dapat dihapus dengan taubat yang tulus dan memperbanyak istighfar.

Jika dilakukan sebagai sedekah dengan niat memohon kesembuhan kepada Allah, maka hal ini diperbolehkan dan dianjurkan, sebagaimana dijelaskan dalam dalil-dalil di atas.

Sedekah tidak dapat digunakan untuk mempercepat kematian karena hal tersebut bertentangan dengan hadits dan nash Al-Qur’an , sedangkan ilmu tentang kematian hanya diketahui oleh Allah.
Berikut kisah /hikayat tentang pengaruh atau kelebihan dari sedekah; dalam kitab Ushfuriyah

شرح المواعظ العصفورية ص١١

{ ﺣﻜﻲ }
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﺃﺗﺖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻗﺪ ﻳﺒﺴﺖ ﻳﺪﻫﺎ ﺍﻟﻴﻤﻨﻲ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﷲ ﺍﺩﻉ ﷲ ﺣﺘﻰ ﻳﺼﻠﺢ ﻳﺪﻱ ﻭﻳﻌﻴﺪﻫﺎ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺤﺎﻟﺔ ﺍﻷﻭﻟﻰ

Diceritakan dari Aisyah ra bahwasanya ada seorang wanita datang kepada Nabi SAW, tangan kanannya kaku, lalu ia berkata : Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah sehingga tanganku menjadi baik dan kembali seperti keadaan semula.

ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻣﺎ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﻳﺒﺲ ﻳﺪﻙ ﻗﺎﻟﺖ ﺭﺃﻳﺖ ﻓﻲ . ﻣﻨﺎﻣﻲ ﻛﺄﻥ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻗﺪ ﻗﺎﻣﺖ ﻭﺍﻟﺠﺤﻴﻢ ﻗﺪ ﺳﻌﺮﺕ ﻭﺍﻟﺠﻨﺔ ﺃﺯﻟﻔﺖ ﻭﺻﺎﺭﺕ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻣﺎ ﺍﻟﺬﻱ ﺃﻳﺒﺲ ﻳﺪﻙ ﻗﺎﻟﺖ ﺭﺃﻳﺖ ﻓﻲ ﻣﻨﺎﻣﻲ ﻛﺄﻥ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻗﺪ ﻗﺎﻣﺖ ﻭﺍﻟﺠﺤﻴﻢ ﻗﺪ ﺳﻌﺮﺕ ﻭﺍﻟﺠﻨﺔ ﺃﺯﻟﻔﺖ ﻭﺻﺎﺭﺕ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺃﻭﺩﻳﺔ ﻓﺮﺃﻳﺖ ﻓﻲ ﻭﺍﺩ ﻣﻦ ﺃﻭﺩﻳﺔ ﻓﺮﺃﻳﺖ ﻓﻲ ﻭﺍﺩ ﻣﻦ ﺃﻭﺩﻳﺔ ﺟﻬﻨﻢ ﻭﺍﻟﺪﺗﻲ ﻭﻓﻲ ﻳﺪﻫﺎ ﻗﻄﻌﺔ ﻣﻦ ﺷﺤﻢ ﻭﻓﻲ ﻳﺪﻫﺎ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﺧﺮﻗﺔ ﺻﻐﻴﺮﺓ ﺗﺘﻘﻰ ﺑﻬﺎ ﻣﻦ النار

Lalu Nabi SAW berkata kepadanya : “Apa yang menyebabkan tanganmu menjadi kaku?” Ia menjawab : Aku melihat di dalam mimpiku seakan- akan hari kiamat telah terjadi, dan neraka Jahim telah dinyalakan, surga telah didekatkan, dan neraka menjadi banyak lembah, lalu aku melihat ibuku di suatu lembah neraka Jahannam yang di tangannya ada sebongkah lemak daging (gajih) dan di tangannya yang lain terdapat sobekan kain yang kecil, ia berlindung dengannya dari api neraka

ﻗﻠﺖ ﻣﺎ ﻟﻲ ﺃﺭﺍﻙ ﻳﺎ ﺃﻣﺎﻩ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻮﺍﺩﻱ ﻭﻛﻨﺖ ﻣﻄﻴﻌﺔ ﻟﺮﺑﻚ ﻭﺭﺍﺽ ﻋﻨﻚ ﺯﻭﺟﻚ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻟﻲ ﻳﺎ ﺍﺑﻨﺘﻲ ﺇﻧﻲ ﻛﻨﺖ ﺑﺨﻴﻠﺔ ﻓﻰ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻓﻬﺬﺍ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﺒﺨﻼﺀ ﻗﻠﺖ ﻟﻬﺎ ﻣﺎ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺸﺤﻤﺔ ﻭﺍﻟﺨﺮﻗﺔ ﺍﻟﻠﺘﺎﻥ ﺃﺭﺍﻫﻤﺎ ﻓﻲ ﻳﺪﻙ

Aku berkata : Apa yang menyebabkan aku melihatmu wahai ibu di lembah neraka ini, padahal engkau adalah orang yang taat kepada Tuhanmu dan suamimu juga telah ridha kepadamu. Ibunya menjawab kepadaku : Wahai anakku , sesungguhnya dahulu aku adalah orang yang kikir di dunia, maka inilah tempat orang yang kikir. Aku berkata kepadanya : Lalu apa gajih dan sobekan kain ini yang aku lihat di tanganmu

ﻗﺎﻟﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﺪﻗﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﺼﺪﻗﺖ ﺑﻬﻤﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭﻣﺎ ﺗﺼﺪﻗﺖ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﻋﻤﺮﻱ ﺇﻻ ﺑﻬﺬﻩ ﺍﻟﺨﺮﻗﺔ ﻭﺍﻟﺸﺤﻤﺔ ﻓﺄﻋﻄﻴﺖ ﺫﻟﻚ ﻓﺄﻧﺎ ﺃﺗﻘﻰ ﺑﻬﻤﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻭﺍﻟﻌﺬﺍﺏ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻲ

Ibunya berkata : Ini adalah sedekah yang dahulu aku pernah sedekahkan di dunia, dan aku tidak pernah bersedekah lagi sepanjang hidupku kecuali dengan kain dan gajih ini, lalu aku berlindung dengan kedua ini dari api neraka dan adzab atas diriku

ﻗﻠﺖ ﻟﻬﺎ ﺃﻳﻦ ﺃﺑﻲ ﻗﺎﻟﺖ ﻫﻮ ﻛﺎﻥ ﺳﺨﻴﺎ ﻓﻬﻮ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻷﺳﺨﻴﺎﺀ ﻓﻰ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻓﺠﺌﺖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻭﺇﺫﺍ ﻭﺍﻟﺪﻱ ﻗﺎﺋﻢ ﻋﻠﻰ ﺷﻂ ﺣﻮﺿﻚ ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﷲ ﻳﺴﻘﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﺄﺧﺬ ﺍﻟﻜﺄﺱ ﻣﻦ ﻳﺪ ﻋﻠﻲ ﻭﻋﻠﻲ ﻣﻦ ﻳﺪ ﻋﺜﻤﺎﻥ ﻭﻋﺜﻤﺎﻥ ﻣﻦ ﻳﺪ ﻋﻤﺮ ﻭﻋﻤﺮ ﻣﻦ ﻳﺪ ﺃﺑﻲ ﺑﻜﺮ ﺍﻟﺼﺪﻳﻖ ﻭﺃﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻣﻨﻚ ﻳﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﷲ

Aku berkata kepadanya : Dimana ayahku? Ia menjawab : Dia adalah orang yang dermawan, dan dia berada di tempat orang-orang yang dermawan di surga. Lalu aku datang ke surga. Ketika itu, ayahku berdiri di pinggir telagamu Wahai Rasulullah, ia memberi minum orang-orang yang dia ambil gelas tersebut dari Ali, Ali dari Utsman, Utsman dari Umar, Umar dari Abu Bakar, dan Abu Bakar darimu Wahai Rasulullah

ﻓﻘﻠﺖ ﻳﺎ ﺃﺑﻲ ﺇﻥ ﻭﺍﻟﺪﺗﻲ ﺍﻣﺮﺃﺗﻚ ﺍﻟﻤﻄﻴﻌﺔ ﻟﺮﺑﻬﺎ ﻭﺭﺍﺽ ﺃﻧﺖ ﻋﻨﻬﺎ ﻭﻫﻲ ﻓﻲ ﻭﺍﺩﻱ ﻛﺬﺍﻓﻲ ﺟﻬﻨﻢ ﻭﺃﻧﺖ ﺗﺴﻘﻰ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﺣﻮﺽ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻭﻫﻲ ﻋﻄﺸﺎﻧﺔ ﻓﺎﻋﻄﻬﺎ ﺷﺮﺑﺔ ﻣﻦ ﻣﺎﺀ

Lalu aku berkata : Wahai ayahku, sesungguhnya ibuku adalah isterimu yang taat kepada Tuhannya, dan engkau telah ridha kepadanya, dan ia berada di lembah itu di dalam neraka Jahannam, sedangkan engkau memberi orang-orang minum dari telaga Nabi SAW, dia sangat haus, maka berikanlah ia seteguk air.

ﻓﻘﺎﻝ ﻳﺎ ﺍﺑﻨﺘﻲ ﺇﻥ ﻭﺍﻟﺪﺗﻚ ﻓﻲ ﻣﻮﺿﻊ ﺍﻟﺒﺨﻼﺀ ﻭﺍﻟﻌﺼﺎﺓ ﻭﺍﻟﻤﺬﻧﺒﻴﻦ ﻭﺍﻥ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺣﺮﻡ ﻣﺎﺀ ﺣﻮﺽ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺒﺨﻼﺀ ﻭﺍﻟﻌﺼﺎﺓ ﻭﺍﻟﻤﺬﻧﺒﻴﻦ

Lalu ia berkata : Wahai anakku, sesungguhnya ibumu berada di tempat orang-orang yang kikir, bermaksiat, dan berdosa. Sesungguhnya Allah SWT mengharamkan air dari telaga Nabi SAW ini atas orang-orang yang kikir, bermaksiat, dan berdosa

ﻗﺎﻟﺖ ﻓﺄﺧﺬﺕ ﻣﻨﻪ ﻛﺄﺳﺎ ﺑﻜﻒ ﻣﻦ ﻣﺎﺀﻟﺄﺷﺮﺑﻬﺎ ﻓﺴﻘﻴﺖ ﺑﻬﺎ ﺃﻣﻲ ﻓﻠﻤﺎ ﺷﺮﺑﺖ ﺳﻤﻌﺖ ﺻﻮﺗﺎ ﻳﻘﻮﻝ ﺃﻳﺒﺲ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﺪﻙ ﺟﺌﺖ ﺳﻘﻴﺖ ﺍﻟﻌﺎﺻﻴﺔ ﺍﻟﺒﺨﻴﻠﺔ ﻣﻦ ﺣﻮﺽ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻓﺎﻧﺘﺒﻬﺖ ﻓﺈﺫﺍ ﻳﺪﻱ ﻳﺒﺴﺖ

Ia berkata : Laluaku mengambil segelas air dengan telapak tangan untuk ia minum, lalu aku memberi ibuku minum. Ketika ia minum, aku mendengar suara yang berkata : “Semoga Allah SWT menjadikan kaku tanganmu, engkau datang dan memberi minum orang yang bermaksiat dan kikir dari telaga Nabi SAW, lalu aku sadar bahwa tanganku telah kaku

ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺃﺿﺮﺑﻚ ﺑﺨﻞ ﻭﺍﻟﺪﺗﻚ ﻓﻰ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻓﻜﻴﻒ ﻟﻬﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﻌﻘﺒﻲ ﺛﻢ ﻗﺎﻟﺖ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﷲ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻗﺪ ﻭﺿﻊ ﻋﺼﺎﻩ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻫﺎ ﻓﻘﺎﻝ ﺇﻟﻬﻲ ﺑﺎﻟﺮﺅﻳﺎ ﺍﻟﺘﻲ ﺣﻜﺖ ﻋﻨﻬﺎ ﺃﻥ ﺗﺼﻠﺢ ﻳﺪﻫﺎ ﻓﺼﻠﺤﺖ ﻳﺪﻫﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻓﺼﺎﺭﺕ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ

Lalu Nabi SAW berkata kepadanya : Kekikiran ibumu telah menyiksamu di dunia, lalu bagaimana kelak di akhirat? Kemudian Aisyah ra berkata, bahwasanya Nabi SAW meletakkan tongkatnya di tangan wanita tersebut, lalu beliau berkata : Wahai Tuhanku, atas mimpi yang telah ia ceritakan, maka sembuhkanlah tangannya. Lalu sembuhlah tangannya pada saat itu juga dan kembali seperti semula.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Kategori
Hukum

Urgensi Mengajar dan Berdakwah: Mana yang Harus Diutamakan?

 


Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Deskripsi Masalah:
Ada seorang guru agama yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah sekolah dasar. Selain mengajar, ia juga seorang mubaligh yang sering diundang untuk mengisi pengajian pada jam kerja. Hal ini mengakibatkan ia sering meninggalkan tugasnya sebagai guru, meskipun mendapatkan izin dari kepala sekolah yang merasa terpaksa memberikannya. Rekan-rekan sesama guru juga merasa kurang nyaman dengan kondisi tersebut.

Kasus serupa juga terjadi pada seorang Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK yang memiliki tugas pokok menyampaikan dakwah kepada masyarakat. Namun, ia juga mengajar di sekolah/madrasah, dan sering kali jadwal mengajarnya bertabrakan dengan jadwal dakwahnya.


Pertanyaan

Bagaiman hukum menghadapi dua kewajiban seperti ini?dan terkait gaji yang dia terima , maturnuwun.

Wassalamu’alaikum Wr Wb.

Walaikum salam.

Jawaban.

Hukum Menghadapi Dua Kewajiban yang Bertabrakan

Dalam situasi ini, yang harus didahulukan adalah tugas pokok (tupoksi) sebagai PNS/PPPK. Jika seseorang berstatus sebagai guru PNS/PPPK, maka tugas utama yang harus diprioritaskan adalah mengajar. Begitu pula jika seseorang adalah Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK, maka tugas utama yang harus diutamakan adalah berdakwah kepada masyarakat sesuai dengan tupoksinya.

Prinsip ini berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”
(QS. An-Nisa: 58)

Amanah sebagai pegawai pemerintah adalah kewajiban yang harus dijaga. Sering meninggalkan tugas pokok tanpa alasan yang sangat mendesak dapat termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan secara syar’i, karena mengabaikan hak orang lain, seperti hak siswa untuk mendapatkan pendidikan atau hak masyarakat untuk mendapatkan bimbingan agama.

Dakwah memang amal mulia, tetapi harus dilakukan tanpa mengorbankan kewajiban yang lebih utama. Seorang guru PNS telah memiliki kontrak kerja dengan negara, sehingga waktu kerja tersebut harus diprioritaskan. Begitu juga halnya dengan Penyuluh  Agama Islam PNS/PPPK.  Rasulullah ﷺ bersabda:

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikanlah pekerja upahnya sebelum kering keringatnya.”
(HR. Ibnu Majah no. 2443, dishahihkan Al-Albani)

Jika guru atau Penyuluh tersebut tetap menerima gaji penuh tetapi sering meninggalkan tugasnya, maka dia termasuk orang yang berkhianat  dan  korupsi.

(مرقاة صعود التصديق، ص ٧٥-٧٦).
والخيانة وهي ضد النصيحة فتشمل أي الخيانة الأفعال والأقوال والأحوال وقد يقال دلالة الحال أقوى من دلالة المقال قال الفيومي في المصباح وفرق العلماء بين الخائن والسارق والغاصب بأن الخائن هو الذي خان ما جعل عليه أمينًا والسارق من أخذ خفية من موضع كان ممنوعًا من الوصول إليه وربما قيل كل سارق خائن دون عكسه والغاصب من أخذ جهارًا معتدًا على قوته اهـ

(Sumber: Mirqāh Ṣu‘ūd at-Taṣdīq, hlm. 75-76).

Pengkhianatan adalah lawan dari nasihat, mencakup segala bentuk pengkhianatan baik dalam perbuatan, perkataan, maupun keadaan. Dikatakan bahwa indikasi keadaan (perbuatan) lebih kuat daripada indikasi ucapan.

Al-Fiymi dalam al-Mishbah menyebutkan bahwa para ulama membedakan antara pengkhianat, pencuri, dan perampas. Pengkhianat adalah orang yang berkhianat terhadap sesuatu yang ia dipercayakan untuk menjaganya.

Sedangkan pencuri adalah orang yang mengambil sesuatu secara diam-diam dari tempat yang dilarang untuk dimasuki.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa setiap pencuri adalah pengkhianat, tetapi tidak setiap pengkhianat adalah pencuri.

Adapun perampas (ghashib) adalah orang yang mengambil sesuatu secara terang-terangan dengan menggunakan kekuatan secara zalim.

Korupsi dalam Islam termasuk perbuatan haram karena merugikan orang lain, mengandung unsur pengkhianatan, dan memakan harta yang bukan haknya. Berikut beberapa dalil yang menjadi landasan haramnya korupsi:

1. Al-Qur’an a) Larangan Memakan Harta dengan Cara Batil

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًۢا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 188)

Ayat ini menunjukkan bahwa memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar, termasuk suap dan korupsi, adalah perbuatan terlarang.

a) Larangan Khianat terhadap Amanah

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
(QS. Al-Anfal: 27)

Korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang dipercayakan, baik dari negara maupun masyarakat.

2. Hadits Nabi ﷺ a) Larangan Pegawai Negara Mengambil Harta Secara Tidak Sah

Dari Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ

“Hadiah bagi para pegawai negara adalah ghulul (harta curian/korupsi).”
(HR. Ahmad, no. 23605; dinilai shahih oleh Al-Albani)

Hadits ini menegaskan bahwa pejabat yang menerima hadiah terkait jabatannya termasuk dalam kategori ghulul (penggelapan harta).

b) Ancaman Bagi Pengkhianat dan Pelaku Korupsi

Dari ‘Adi bin ‘Amirah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ، فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا، فَمَا فَوْقَهُ، كَانَ غُلُولًا، يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barang siapa yang kami angkat menjadi pegawai, lalu dia menyembunyikan sehelai jarum atau lebih dari jabatan tersebut (tidak jujur dalam mengelola harta publik), maka itu adalah ghulul (penggelapan), dan dia akan membawanya pada hari kiamat.”
(HR. Muslim, no. 1833)

Hadits ini menunjukkan bahwa korupsi, meskipun hanya dalam jumlah kecil, tetap dianggap sebagai pengkhianatan dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.

3. Ijma’ Ulama

Para ulama sepakat bahwa korupsi adalah bentuk kezaliman dan memakan harta haram. Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menyebutkan bahwa pejabat yang menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi termasuk orang yang berbuat zalim dan harus dihukum.


Solusi yang Dapat Dilakukan

  1. Mengatur Waktu dengan Baik
    • Bagi Guru PNS/PPPK: Jika ingin berdakwah, sebaiknya dilakukan di luar jam kerja, seperti saat sore, malam, atau akhir pekan agar tidak mengganggu tugas mengajar.
    • Bagi Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK: Jika ingin mengajar di sekolah, sebaiknya dilakukan di luar jam kerja penyuluh atau saat hari libur.
  2. Memanfaatkan Cuti Resmi
    Jika ada pengajian penting yang tidak bisa ditinggalkan, guru atau penyuluh dapat mengajukan cuti resmi sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, tugas pokoknya tidak terbengkalai dan tidak membebani rekan kerja lainnya.
  3. Meminta Izin dengan Kesepakatan yang Jelas
    Jika ada kebijakan yang memperbolehkan izin, maka izin tersebut harus diberikan dengan persetujuan kepala sekolah atau atasan, tanpa paksaan dan tanpa merugikan hak siswa atau masyarakat.
  4. Fokus pada Tupoksi Masing-Masing
    Jika seseorang merasa tidak mampu menjalankan kedua tugas sekaligus tanpa mengorbankan salah satunya, maka sebaiknya ia memilih salah satu yang lebih sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawabnya.

Kesimpulan

Dalam Islam, amanah sebagai guru maupun penyuluh agama adalah tanggung jawab besar yang harus dijaga. Jika sering meninggalkan tugas utama tanpa alasan yang mendesak, maka hal itu tidak dibenarkan secara syar’i.

  • Bagi Guru PNS/PPPK, berdakwah adalah kewajiban, tetapi tidak boleh mengorbankan tugas utamanya dalam mendidik siswa.
  • Bagi Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK, mengajar juga merupakan tugas mulia, tetapi tidak boleh mengorbankan amanah utamanya dalam membimbing masyarakat.

Dengan pengaturan waktu yang baik, memanfaatkan cuti, dan meminta izin sesuai aturan, kedua tugas ini dapat dijalankan dengan seimbang tanpa mengabaikan amanah utama.

Wallahu a’lam bish-shawab.

شرح رسالة مختصرة في أصول الفقه

قاعدة المصالح والمفاسد وَإِذَا تَزَاحَمَتْ مَصْلَحَتَانِ؛ قُدِّمَ أَعْلاَهُمَا، أَوْ مَفْسَدَتَانِ لاَ بُدَّ مِنْ فِعْلِ إِحْدَاهُمَا؛ ارْتُكِبَتْ أَخَفُّهُمَا مَفْسَدَةً. قال: (وإذا تزاحمت مصلحتان؛ قُدِّمَ أعلاهما أو مفسدتان لا بد من فعل إحداهما؛ ارْتُكِبَ أخفُّهما). هذه القاعدة تسمى عند العلماء: قاعدة المصالح والمفاسد، وقاعدة المصالح والمفاسد لها ثلاث صور، ذكر الشيخ صورتين، وترك الصورة الثالثة. الصورة الأولى: أن تتزاحم مصلحتان، والتزاحم معناه التعارض بين أمرين لا يمكن الجمع بينهما، فعندنا مصلحتان ولا يمكن الجمع بينهما، ولا بد أن نفعل مصلحة واحدة؛ فما الحكم؟! قال الشيخ: إنه يختار أعلى المصلحتين؛ مثل شخص اجتمع عليه دين ونفقة مستحبة؛ كصدقة، فقضاء الدين مصلحة، والنفقة المستحبة على الفقراء والمساكين مصلحة، فأيهما يُقَدِّمُ؟ يقدم قضاء الدين؛ لأن قضاء الدين واجب، هذا الآن تعارض بين مصلحتين إحداهما واجبة والأخرى مستحبة. طيب.. لو تعارضت مصلحتان واجبتان؛ مثل صلاة نذر وصلاة فرض، يُقدم صلاة الفرض على صلاة النذر؛ لأن الفرض ثبت بأصل الشرع، والنذر أوجبه المكلف على نفسه، وفي النفقة اللازمة للزوجات والأقارب تُقَدَّمُ نفقة الزوجات ثم الأقارب، إذا تعارض عند الزوجة أمر أبويها وأمر زوجها؛ يُقَدَّمُ أمر زوجها؛ لأنه آكد. إذا اجتمعت مصلحتان مسنونتان؛ قُدِّمَ أفضلهما، ويقدم ما فيه نفع متعدٍّ، فلو تعارض عند إنسان طلب علم وصلاة نفل؛ يقدم طلب العلم. تعليم العلم مع صلاة نفل، تعليم العلم، المقصود من هذا: أن الأعلى في المصالح يختلف من مصلحة إلى أخرى. ومن الأدلة على اختيار أعلى المصلحتين: ما ورد في الحديث الصحيح قول النبي -صلى الله عليه وسلم- كما في حديث ابن الزبير(١) عن عائشة قَالَ: «يَا عَائِشَةُ! لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ» قال ابن الزبير: بِكُفْرٍ، « لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ، فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ مِنْهُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ»(٢) فهنا عندنا مصلحتان: المصلحة الأول: نقض الكعبة وجعل لها بابين، وإذا كان لها بابان يكون أخفَّ وأسهل من كون الناس يدخلون ويخرجون مع باب واحد، والمصلحة الثانية: تأليف قلوب قريش؛ لأنهم لا يزالون حدثاء عهد بكفر، فماذا قدم الرسول -صلى الله عليه وسلم- من المصلحتين؟ قدم المصلحة الثانية، وهي تأليف القلوب. الصورة الثانية: إذا اجتمعت مفسدتان؛ ارتكب أخفهما، ومن أدلة هذا وأمثلته: ما ورد في الحديث الصحيح حديث أنس -رضي الله عنه- قال: جاء أعرابي فبال في المسجد فزجره الناس، فنهاهم النبي -صلى الله عليه وسلم-، فلما قضى بوله أمر بذنوب من ماء فأريق عليه(٣) البول في المسجد مفسدة، والاستمرار على البول مفسدة، والصحابة -رضي الله عنهم- أرادوا أن يقطعوا على الرجل بوله، يعني أرادوا أن لا يستمر البول. والرسول -صلى الله عليه وسلم- أراد أن يستمر البول. إذن: البول في المسجد مفسدة في حد ذاتها، واستمرار البول مفسدة، فأراد الرسول -صلى الله عليه وسلم- أن يقضوا على الاستمرار، فنَهوا هذا الرجل لأجل أن يقوم ويُكمل بوله خارجَ المسجد، لكن الرسول -صلى الله عليه وسلم- نهاهم. لماذا؟ لأن قطع البول مفسدته أعظم من مفسدة الاستمرار، والبول في المسجد، وكونه يستمر على بوله هذا أهون، وكونه يقوم ويخرج هذا أعظم، فارْتُكِبَتْ أدنى المفسدتين وأخف المفسدتين؛ لأنه إذا قام سيكون هناك ثلاث مفاسد: المفسدة الأولى: حبس البول، والإنسان إذا أراد أن يبول وحَبَسَ البول هذا مُضِرّ. المفسدة الثانية: أنه سينجس أكبر بقعة من المسجد، وبوله كانت بقعة معينة ما يعني تزيد على بضعة من السنتيمترات، لكن إذا قاموا وطردوه سيكون هناك شيء من البول يخرج هذه مفسدة ثانية. المفسدة الثالثة: أن ثيابه ستتنجس، لكن إذا بقي البول بالمسجد حصل ستتلاشى المفاسد هذه. إذن: الرسول -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا نهاهم أراد ارتكاب أدنى المفسدتين في مقابل أعلاهما. الصورة الثالثة: إذا تقابلت مصلحة ومفسدة وكانت المفسدة أعظم.. انظر الآن الصورة الأولى عندنا مصلحتان، والصورة الثانية عندنا مفسدتان، والصورة الثالثة عندنا مصلحة ومفسدة، ولكن المفسدة أعظم، فما الحكم؟ يُقدم دفع المفسدة ويُترك تحقيق المصلحة؛ لأن درء المفاسد مقدم على جلْب المصالح. ومن أدلة هذا قول الله -تعالى: ﴿ وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾(٤) سبوا آلهة المشركين هذه مصلحة، وهي تحقير دينهم وعبادتهم، وسب الله -تعالى- هذه مفسدة، ولما كان سيترتب على هذه المصلحة التي هي سب آلهة المشركين سيترتب عليها مفسدة وهي سب الله -تعالى- تُركت هذه المصلحة، قال -تعالى: ﴿ وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾. ومن الأمثلة على هذا ما ورد من زَوَّارَات القبور(٥) فزيارة القبور للنساء فيها مصلحة، وهي الاتعاظ ولكن فيها مصلحة أعظم وهي مفسدة فتنة الأحياء من جهة، وإيذاء الأموات من جهة أخرى، فقُدِّمَ درء المفسدة على جلب المصلحة. ومن الأمثلة أيضًا منْع الجار من أن يَتَصَرَّفَ في ملكه إذا أَدَّى إلى الإضرار بجاره، فكون الجار يتصرف في بيته هذه مصلحة، ولكن كونه يضر الجار هذه مفسدة. يعني لو أن إنسانا يبيع الغنم، وقال: الحوش بعيد عني، وسأجعل الغنم عندي بالبيت، فوضعهم في بيته، وبجانبه جدار جاره، كونه الآن قَرَّبَ الغنم له في بيته مصلحة له، ولكن جاره تأذى من رائحة الغنم هذه مفسدة أيهما الذي يُقَدِّمُ؟ يُقدم درء المفسدة، نكتفي بهذا القدر والله -سبحانه وتعالى- أعلم. يسأل أحد الإخوة؛ يقول: كيف نجمع بين قاعدة “الوسائل لها أحكام المقاصد” وبين قاعدة “الغاية لا تبرر الوسيلة”؟ أولا: العلماء يفرقون بين الوسيلة وبين الذريعة، وقد ذكرني السؤالُ، فقالوا: الوسيلة هي ما توصل إلى المقصود قطعا أو ظنا، والذريعة قد لا تُوصل إلى المقصود. المثال الذي يوضح: مصاحبة شخص منحرف أو مصادقة ومحبة شخص منحرف، أيهما أبلغ في التأثر؟ المصادقة والمحبة أبلغ في التأثر؛ إذن: نقول: المصادقة هذه وسيلة، ومجرد مصاحبة بطريق مثلا هذه تعتبر ذريعة. فالقول هنا بأن الغاية تبرر الوسيلة هذا عكس للقاعدة التي ذكرها العلماء؛ لأن العلماء ما يقولون: المقاصد لها أحكام الوسائل. إذن لا يُنظر إلى الغاية بحيث تبرر الوسيلة أو ما تبررها؛ وإنما يُنظر إلى الوسيلة نفسها هل تُؤدي إلى هذا المقصود أو لا. ثم إن قضية الغاية تبرر الوسيلة قد يُستدل بهذا على التطرق إلى الأمور المحرمة، بينما قضية الوسائل لها أحكام المقاصد هذه تَمنع وُلوجَ هذا الباب، هذا الفرق بينهما. يقول أيضًا: هل الوسائل لها أحكام المقاصد على إطلاقها؟ لأننا نرى أن الوفاء بنذر الطاعة واجب مع أن وسيلته -وهو النذر- مكروهة، فما توجيهكم؟ مسألة النذر هذه مسألة فيها خلاف بين العلماء، هو سأل عن النذر؟ أي نعم. هذه فيها خلاف بين العلماء هل الوفاء بالنذر واجب أو مستحب أو محرم؟ المسألة فيها خلاف بين أهل العلم، لكن على القول بأن ابتداء النذر، فالوفاء بالنذر واجب في الطاعة، لكن ابتداء النذر من أهل العلم من قال: “إنه مكروه”، ومن أهل العلم من قال: “إنه مستحب”، ومن أهل العلم من قال: “إنه محرم”. فالأقوال ثلاثة في ابتداء النذر وهذا يُشكل على هذه القاعدة فعلاً؛ لأنه على القول بأن ابتداء النذر مكروه، كيف يصير الوفاء بالنذر واجبا؟! هذا يعتبره العلماء مستثنى من القاعدة، والسبب في هذا أنه ورد أحاديث تنهى عن النذر؛ كما في حديث ابن عمر أن النبي -صلى الله عليه وسلم- نَهى عن النذر وقال: « إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ»(٦) وجاءت أدلة أخرى في المقابل توجب الوفاء بالنذر. فالحاصل من هذا أن القاعدة ليست على إطلاقها بالنسبة لمسألة النذر، ولهذا العلماء قالوا: “إن مسألة النذر تُشْكِلُ؛ كيف يُنهى عن الشيء، ثم يصير الوفاء به واجبا؟!   ١) عبد الله بن الزبير بن العوام بن خويلد بن أسد بن عبد العزي، القرشي، الأسدي. أبوه حواري رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وأمه بنت الصديق، وجدته صفية عمة رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وعمة أبيه خديجة بنت خويلد، وهو أول مولود ولد للمهاجرين بعد الهجرة. حنكه النبي -صلى الله عليه وسلم- وسماه باسم جده، وكناه بكنيته، وأحد من وَلِيَ الخلافة. قُتل -رضي الله عنه- في جمادى الأولى سنة ثلاث وسبعين من الهجرة. انظر: أسد الغابة (3/١٣٨ ترجمة ٢٩٤٧ الإصابة (٤/٨٩ ترجمة ٤٦٨٥/ ٢) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب العلم، باب من ترك بعض الاختيار مخافة أن يقصر فهم بعض الناس عنه فيقعوا في أشد منه (١٢٦) واللفظ له، مسلم: كتاب الحج ، باب نقض الكعبة وبنائها (١٣٣٣) ٣) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب الوضوء، باب ترك النبي والناس الأعرابي حتى فرغ من بوله في المسجد (٢١٩ ٢٢١ ٦٠٢٥)، ومسلم: كتاب الطهارة، باب: وجوب غسل البول وغيره من النجاسات إذا حصلت في المسجد وأن الأرض تطهر بالماء من غير حاجة إلى حفرها ٢٨٤، ٢٨٥ بنحوه من حديث أنس. (٤ الأنعام: ١٠٨. (٥) صحيح:أحمد في المسند (٨٤٤٩، ٨٤٥٢ ٨٦ الفقه

Referensi:Kaidah dengan redaksi yang sedikit berbeda ( bentuk jama’) namun tujuannya adalah sama:

[إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى وإذا تزاحمت المفاسد ارتكبت بالأدنى ]

Jika seseorang dihadapkan pada banyak kemaslahatan maka dahulukanlah yang lebih tinggi nilai keutamaannya. Dan jika dihadapkan pada banyak kerusakan maka ambillah /lakukanlah yang lebih ringan .

كتاب شرح منظومة القواعد الفقهية للسعدي – حمد الحمد [حمد الحمد] الرئيسية أقسام الكتب علوم الفقه والقواعد الفقهية فصول الكتاب <<  <  ج:   ص:   >  >> مسار الصفحة الحالية: فهرس الكتاب  تزاحم المصالح والمفاسد  إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى  + – التشكيل [إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى ] قال المصنف رحمه الله: [فإن تزاحم عدد المصالح يقدم الأعلى من المصالح] إذا تزاحمت عندنا المصالح فإنا نقدم الأعلى منها، عندنا مصلحة ومصلحة وتعارضتا عند هذا المكلف، فإما أن يفعل هذه المصلحة وإما أن يفعل المصلحة الأخرى، فيقدم الأعلى منهما. إذا أتيت إلى المسجد وقد أقيمت صلاة الصبح فهل تشرع بنافلة الصبح القبلية أو تصلي الصبح؟ نقول: تصلي الفريضة مع الإمام؛ لأن النبي عليه الصلاة والسلام قال كما في صحيح مسلم: (إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة). إذاً: نقدم الفريضة على النافلة. وإذا كانت العبادة ذات نفع متعد كالعلم، وعارضتها عبادة ذات نفع لازم كصيام التطوع؛ فإنا نقدم العبادة ذات النفع المتعدي. إذاً: نقدم الأعلى من المصالح.

إذا تزاحمت المفاسد ارتكبت الأدنى] قال المصنف رحمه الله: [وضده تزاحم المفاسد يرتكب الأدنى من المفاسد] كذلك إذا تعارضت المفاسد وتزاحمت فإنا نرتكب الأدنى منها ونجتنب الأعلى، ولذا فإن النبي عليه الصلاة والسلام كما في الصحيحين من حديث أنس بن مالك: أنه لما بال الأعرابي في المسجد فزجره الناس، نهاهم النبي عليه الصلاة والسلام، وذلك لتعارض مفسدتين، الأولى: البول في المسجد فينجس. المفسدة الثانية: أن يحبس بوله فيتضرر، يعني: يلحق بدنه الضرر، وكذلك أيضاً قد ينتشر هذا في المسجد لأنه يقوم وتنتقل النجاسة إلى مواضع أخرى من المسجد. فنهاهم النبي عليه الصلاة والسلام من باب الوقوع في المفسدة الصغرى، فإذا تعارضت عندنا مفسدتان قدمنا المفسدة الصغرى في الوقوع، فنقع في المفسدة الصغرى ونجتنب المفسدة الكبرى. ومن ذلك قول النبي عليه الصلاة والسلام: (لولا أن قومك حديثو عهد بكفر لهدمت الكعبة وبنيتها على قواعد إبراهيم)، متفق عليه. فهنا عندنا مفسدة، وهي بقاء الكعبة فيها نقص من الجهة التي فيها حجر إسماعيل، فإن قريشاً قصرت بهم النفقة فقصروا البناء من جهة حجر إسماعيل، فالنبي عليه الصلاة والسلام أراد أن يهدم الكعبة ويبنيها على قواعد إبراهيم كاملة؛ لكنه خشي مفسدة أعظم، وهي أن يرتد الناس عن الإسلام لأنهم كانوا حديثي عهد بكفر.

Penjelasan Ringkas tentang Kaidah Mashlahat dan Mafsadah dalam Ushul Fiqh

Kaidah ini berbunyi:
“Jika terjadi pertentangan antara dua kemaslahatan, maka didahulukan yang lebih tinggi. Jika terjadi pertentangan antara dua mafsadah (kerusakan) dan harus dilakukan salah satunya, maka dipilih yang lebih ringan.”

Kaidah ini memiliki tiga bentuk:

1. Jika Bertemu Dua Kemaslahatan, Pilih yang Lebih Tinggi

Ketika seseorang dihadapkan pada dua kebaikan yang tidak bisa dilakukan sekaligus, maka ia harus memilih yang memiliki manfaat lebih besar.

Contoh:

Jika seseorang memiliki kewajiban membayar utang dan ingin bersedekah, maka membayar utang lebih diutamakan karena hukumnya wajib, sedangkan sedekah sunnah. Jika seseorang memiliki kewajiban salat fardu dan salat nazar, maka salat fardu lebih diutamakan karena sudah ditetapkan oleh syariat secara langsung, sedangkan nazar adalah kewajiban yang dibuat sendiri oleh seseorang. Jika seseorang memiliki pilihan antara menuntut ilmu atau salat sunnah, maka menuntut ilmu lebih diutamakan karena manfaatnya lebih luas dan berkelanjutan.

Dalil:
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, Nabi ﷺ ingin membangun kembali Ka’bah sesuai dengan pondasi Ibrahim, tetapi beliau tidak melakukannya karena masyarakat Quraisy saat itu masih baru masuk Islam dan khawatir mereka akan terpengaruh negatif. Ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ lebih mengutamakan kemaslahatan dakwah daripada membangun kembali Ka’bah.

2. Jika Bertemu Dua Mafsadah, Pilih yang Lebih Ringan

Jika seseorang dihadapkan pada dua keburukan yang tidak bisa dihindari seluruhnya, maka ia harus memilih keburukan yang dampaknya lebih kecil.

Contoh:

Kisah seorang Arab Badui yang kencing di masjid. Para sahabat ingin menghentikannya, tetapi Nabi ﷺ melarang mereka. Sebab, membiarkan orang itu menyelesaikan kencingnya lebih ringan mudaratnya dibandingkan menghentikannya di tengah jalan, yang bisa menyebabkan najis tersebar lebih luas dan membuatnya merasa malu secara berlebihan. 3. Jika Bertemu antara Mashlahat dan Mafsadah, Pilih Menghindari Mafsadah Jika Lebih Besar

Jika ada satu kebaikan yang bisa dicapai tetapi dalam prosesnya menimbulkan keburukan yang lebih besar, maka menghindari keburukan lebih diutamakan.

Contoh:

Allah melarang kaum Muslimin mencela berhala orang musyrik karena dapat menyebabkan mereka membalas dengan mencela Allah. Meskipun mencela berhala itu baik karena menunjukkan kebatilan mereka, tetapi jika menyebabkan penghinaan terhadap Allah, maka lebih baik dihindari. Islam melarang wanita untuk sering berziarah ke kuburan karena meskipun ada manfaat berupa nasihat dan peringatan, tetapi lebih besar mudaratnya, seperti timbulnya fitnah dan gangguan terhadap yang hidup maupun yang telah meninggal. Perbedaan antara “Al-Wasail Lahaa Ahkam Al-Maqashid” dan “Al-Ghayah La Tubarrir Al-Wasilah” Kaidah “Al-Wasail Lahaa Ahkam Al-Maqashid” berarti bahwa hukum suatu sarana mengikuti tujuan akhirnya. Jika tujuan itu baik, maka sarananya juga baik. Sedangkan “Al-Ghayah La Tubarrir Al-Wasilah” berarti bahwa tujuan yang baik tidak membolehkan penggunaan cara yang haram untuk mencapainya.

Contoh:

Menggunakan media sosial untuk dakwah diperbolehkan karena tujuan akhirnya baik. Namun, mencuri demi menyumbangkan hasilnya ke masjid tetap tidak diperbolehkan karena cara yang digunakan haram. Kesimpulan

Kaidah ini memberikan panduan dalam mengambil keputusan berdasarkan tingkat mashlahat dan mafsadah. Prioritasnya adalah:

Mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar. Jika terpaksa menghadapi dua mafsadah, pilih yang lebih ringan. Jika bertemu antara mashlahat dan mafsadah, cegah mafsadah jika lebih besar dari mashlahatnya.

Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Menghilangkan Bau Mulut karena Merokok ketika Akan Melaksanakan Shalat

 

Dalam Islam, menjaga kebersihan dan kesucian, termasuk kebersihan mulut, sangat dianjurkan, terutama sebelum melaksanakan shalat. Rasulullah ﷺ bersabda:

“Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Merokok dapat menyebabkan bau mulut yang tidak sedap, yang berpotensi mengganggu kekhusyukan shalat, baik bagi diri sendiri maupun orang lain di sekitarnya.

Pertanyaannya.
Bagaimana hukumnya menghilangkan bau badan ( mulut )  disebabkan merokok atau lainnya ketika akan sholat?

Waalaikumsalam

Jawaban

Hukum Menghilangkan  bau mulut karena sebab merokok atau pun lainnya seperti makan bawang maupun anggota badan lainnya ketika akan melakukan sholat adalah sunnah . Oleh karenanya  membiarkan badan yang berbau baik karena Merokok ataupun dengan makanan yang berbau, hukumnya makruh tanzih ,maka dari itu sunnah menghilangkan ketika akan shalat dengan cara berkumur-kumur.

المجموع شرح المهذب ص ٥٤٨

اما أَحْكَامُ الْفَصْلِ فَقَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ مَعَ الِاغْتِسَالِ لِلْجُمُعَةِ أَنْ يَتَنَظَّفَ بِإِزَالَةِ أَظْفَارٍ وَشَعْرٍ وَمَا يحتاج الي ازالتهما كَوَسَخٍ وَنَحْوِهِ وَأَنْ يَتَطَيَّبَ وَيَدَّهِنَ وَيَتَسَوَّكَ وَيَلْبَسَ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ وَأَفْضَلُهَا الْبِيضُ وَيُسْتَحَبُّ لِلْإِمَامِ أَكْثَرُ مِمَّا يُسْتَحَبُّ لِغَيْرِهِ مِنْ الزِّينَةِ وَغَيْرِهَا وَأَنْ يَتَعَمَّمَ وَيَرْتَدِيَ وَأَفْضَلُ ثِيَابِهِ الْبِيضُ كَغَيْرِهِ هَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ وَذَكَرَ الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ كَرَاهَةَ لِبَاسِهِ السَّوَادَ وَقَالَهُ قَبْلَهُ أَبُو طَالِبٍ الْمَكِّيُّ وَخَالَفَهُمَا الْمَاوَرْدِيُّ فَقَالَ فِي الْحَاوِي
يَجُوزُ لِلْإِمَامِ لُبْسُ الْبَيَاضِ وَالسَّوَادِ قَالَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْخُلَفَاءُ الْأَرْبَعَةُ يَلْبَسُونَ الْبَيَاضَ وَاعْتَمَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعِمَامَةٍ سَوْدَاءَ قَالَ وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ السَّوَادَ بَنُو العباس في خلاقتهم شِعَارًا لَهُمْ وَلِأَنَّ الرَّايَةَ الَّتِي عُقِدَتْ لِلْعَبَّاسِ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ كَانَتْ سَوْدَاءَ وَكَانَتْ رَايَةُ الْأَنْصَارِ صَفْرَاءَ قَالَ فَيَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَلْبَسَ السَّوَادَ إذَا كَانَ السُّلْطَانُ لَهُ مُؤْثِرًا لِمَا فِي تَرْكِهِ مِنْ مُخَالَفَتِهِ وَقَالَ فِي كِتَابِهِ الْأَحْكَامِ السُّلْطَانِيَّةِ يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يلبس السواد ويستدل بحديث عمرو ابن حُرَيْثٍ وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ يَلْبَسُ الْبَيَاضَ دُونَ السَّوَادِ إلَّا أَنْ يَغْلِبَ عَلَى ظَنِّهِ تَرَتُّبُ مَفْسَدَةٍ عَلَى ذَلِكَ مِنْ جِهَةِ السُّلْطَانِ أَوْ غَيْرِهِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
* وَاعْلَمْ أَنَّ هَذَا الْمَذْكُورَ مِنْ اسْتِحْبَابِ الْغُسْلِ وَالطِّيبِ وَالتَّنَظُّفِ بِإِزَالَةِ الشُّعُورِ الْمَذْكُورَةِ وَالظُّفْرِ وَالرَّوَائِحِ الْكَرِيهَةِ وَلُبْسِ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ لَيْسَ مُخْتَصًّا بِالْجُمُعَةِ بَلْ هُوَ مُسْتَحَبٌّ لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ حُضُورَ مَجْمَعٍ مِنْ مَجَامِعِ النَّاسِ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ وَغَيْرُهُمْ قَالَ الشَّافِعِيُّ أُحِبُّ ذَلِكَ كُلَّهُ لِلْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ وَكُلِّ مَجْمَعٍ تَجْتَمِعُ فِيهِ النَّاسُ قَالَ وَأَنَا لِذَلِكَ فِي الْجُمَعِ وَنَحْوِهَا أَشَدُّ اسْتِحْبَابًا قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَتُسْتَحَبُّ هَذِهِ الْأُمُورُ لِكُلِّ مَنْ أَرَادَ حُضُورَ الْجُمُعَةِ وَنَحْوِهَا سَوَاءٌ الرِّجَالُ وَالصِّبْيَانُ وَالْعَبِيدُ إلَّا النِّسَاءَ فَيُكْرَهُ لِمَنْ أَرَادَتْ مِنْهُنَّ الْحُضُورَ الطِّيبُ وَالزِّينَةُ وَفَاخِرُ الثِّيَابِ وَيُسْتَحَبُّ لَهَا قَطْعُ الرائحة الكريهة وازالة الظفر والشعور المكروهة

Adapun hukum-hukum dalam bab ini, para sahabat kami berkata: Disunnahkan bagi seseorang yang mandi untuk shalat Jumat agar membersihkan diri dengan memotong kuku, mencukur rambut, dan menghilangkan kotoran serta hal-hal lain yang perlu dihilangkan. Juga dianjurkan untuk memakai wewangian, menggunakan minyak rambut, bersiwak, serta mengenakan pakaian terbaiknya, yang paling utama adalah pakaian berwarna putih.

Disunnahkan bagi imam untuk berhias lebih banyak daripada selainnya, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Disunnahkan juga baginya untuk memakai sorban dan ridha (kain yang disampirkan di bahu), serta mengenakan pakaian terbaiknya, yang paling utama adalah warna putih, sebagaimana disunnahkan bagi selainnya. Ini adalah pendapat yang masyhur.

Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menyebutkan bahwa memakai pakaian hitam itu makruh. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Abu Thalib al-Makki sebelumnya. Namun, al-Mawardi berbeda pendapat dengan mereka. Dalam kitab Al-Hawi, ia mengatakan bahwa boleh bagi imam mengenakan pakaian berwarna putih maupun hitam. Ia juga menyebutkan bahwa Nabi ﷺ dan para khalifah yang empat mengenakan pakaian putih, serta Nabi ﷺ pernah memakai sorban hitam.

Al-Mawardi juga menjelaskan bahwa yang pertama kali menjadikan pakaian hitam sebagai simbol adalah Bani Abbas dalam masa kekhalifahan mereka, karena panji yang diberikan kepada al-Abbas pada hari Fathu Makkah dan Hunain berwarna hitam, sedangkan panji kaum Anshar berwarna kuning. Oleh karena itu, menurutnya, sebaiknya imam mengenakan pakaian hitam jika penguasa lebih menyukai hal itu, agar tidak bertentangan dengannya.

Dalam kitabnya Al-Ahkam as-Sulthaniyah, al-Mawardi menegaskan bahwa sebaiknya imam mengenakan pakaian hitam, dan ia berdalil dengan hadis dari ‘Amr bin Hurayts. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa imam lebih utama mengenakan pakaian putih daripada hitam, kecuali jika ia yakin bahwa meninggalkan pakaian hitam dapat menimbulkan kemudaratan dari pihak penguasa atau lainnya. Dan Allah lebih mengetahui.

Catatan: Ketahuilah bahwa anjuran mandi, memakai wewangian, membersihkan diri dengan memotong rambut, kuku, dan menghilangkan bau tidak sedap, serta mengenakan pakaian terbaik tidak hanya khusus untuk shalat Jumat. Hal ini juga dianjurkan bagi siapa saja yang hendak menghadiri perkumpulan manusia. Imam asy-Syafi’i telah menegaskan hal ini, dan para sahabatnya serta ulama lainnya juga menyepakatinya.

Imam asy-Syafi’i berkata: “Aku menyukai semua hal tersebut untuk shalat Jumat, dua hari raya, dan setiap majelis di mana manusia berkumpul.” Ia juga mengatakan, “Namun, untuk shalat Jumat dan semacamnya, aku lebih menekankan keutamaan hal tersebut.”

Asy-Syafi’i dan para sahabatnya juga berpendapat bahwa semua hal ini dianjurkan bagi siapa saja yang hendak menghadiri shalat Jumat dan semacamnya, baik laki-laki, anak-anak, maupun budak. Namun, bagi wanita yang hendak menghadiri shalat Jumat, dimakruhkan bagi mereka memakai wewangian, berhias, dan mengenakan pakaian mewah. Akan tetapi, mereka tetap dianjurkan untuk menghilangkan bau tidak sedap, memotong kuku, serta menghilangkan rambut yang tidak diinginkan.

(يسئلونك فى الدين والحياة، جـ ٢، صـ ٩٨)

. ويؤخذ من إلحاق الدخان بالثوم والبصل كراهته تحريما فى المسجد للنهي الوارد فى الثوم والبصل وهو ملحق بهما والظاهر كراهة تعاطيه جال القراءة (يعنى قراءة القرآن) لما فيه من الإخلال بتعظيم كتاب الله تعالى ولا يليق بالمسلم أن يشرب الدخان الدخان وهو فى بيت من بيوت الله عز وجل كما أنه لا يليق به ان يدخل المسجد وما زالت رائحة الدخان تفوح من فمه وقد يكون من المناسب ان تذكر عبادة زاجرة قالها الشيخ الشبراوى نقلا عن شيخه السجاعي فى شرب الدخان فى عند قراءة القرآن وهي الذي ندين الله عليه هو حرمة شرب الدخان فى مجلس القرآن ولا وجه للقول بالكراهة واذا كان الحديث النبوي فى مجلس القرآن منهما عنه فشرب الدخان فى مجلسه اولى بالنهي لما فيه من الرائحة الكريهة

“Diambil dari pengqiyasan (penyamaan hukum) asap rokok dengan bawang putih dan bawang merah, bahwa hukumnya adalah makruh tahrim (makruh yang mendekati haram) di dalam masjid, berdasarkan larangan yang telah disebutkan terhadap bawang putih dan bawang merah, dan rokok disamakan dengan keduanya. Tampaknya juga makruh mengonsumsi rokok saat membaca Al-Qur’an, karena hal itu termasuk dalam sikap yang tidak menghormati Kitab Allah Ta’ala. Tidak pantas bagi seorang Muslim untuk merokok di dalam salah satu rumah Allah ‘Azza wa Jalla, sebagaimana tidak pantas baginya untuk memasuki masjid sementara bau rokok masih tercium dari mulutnya.

Mungkin juga relevan untuk disebutkan suatu nasihat yang bersifat mengingatkan, yang disampaikan oleh Syaikh Asy-Syabrawi dengan mengutip dari gurunya, As-Suja’i, mengenai hukum merokok saat membaca Al-Qur’an. Ia berkata: ‘Yang kami yakini sebagai bagian dari agama (yakni yang kami yakini sebagai hukum yang benar) adalah haramnya merokok dalam majelis Al-Qur’an, dan tidak ada alasan untuk mengatakan hukumnya hanya makruh. Jika dalam majelis Al-Qur’an terdapat larangan untuk mengonsumsi bawang putih dan bawang merah, maka merokok dalam majelis tersebut lebih utama untuk dilarang, karena baunya yang tidak sedap.’”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ, الْبَقْلَةِ، الثّومِ (وَقَالَ مَرّةً: مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثّومَ وَالْكُرّاثَ) فَلاَ يَقْرَبَنّ مَسْجِدَنَا، فَإِنّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذّى مِمّا يَتَأَذّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ”. (رواه مسلم)

“Barangsiapa yang memakan biji-bijian ini, yakni bawang putih (suatu kali beliau mengatakan, “Barangsiapa yang memakan bawang merah, bawang putih dan kurrats -sejenis daun bawang-), maka janganlah ia mendekati masjid kami, sebab malaikat merasa terganggu dengan hal (bau) yang membuat manusia terganggu.”

Perhatikan Bau Mulut khususnya bagi pecandu/ Perokok

Dalam hadis di atas dijelaskan bahwa orang yang mulutnya bau karena memakan bawang putih saja tidak boleh menghadiri shalat berjamaah, maka bagaimana lagi dengan orang yang mulutnya bau rokok? Oleh karenanya dianjurkan untuk menghilangkannya tentu saja dengan berkumur-kumur terleh dahulu sebelum shalat

Setelah bau tersebut hilang maka dia dianjurkan untuk berangkat menuju masjid untuk melakukan shalat berjamaah
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa bau bawang itu hanya contoh saja. Bau yang dimaksud adalah semua bau yang menyengat dan tidak sedap. Beliau berkata

وقال ابن حجر : وقد ألْحَقَ بها الفقهاء ما في معناها من البقول الكريهة الرائحة ، كالفجل

“Para ulama ahli fikih menyamakan hal ini kepada sesuatu yang semakna dengannya (bawang) seperti sayuran (polongan) dan lobak yang menyengat.”
Al-Maziriy juga menjelaskan bahwa hal ini mencakup bau keringat, bau-bau karena pekerjaan dan sebagainya. Beliau berkata,

قال المازري : وألْحَق الفقهاء بالروائح أصحاب المصانِع : كالقصّاب والسَّمّاك . نقله ابن الملقِّن

“Para ulama ahli fikih menyamakannya dengan bau para pekerja pabrik seperti tukang giling daging dan tukang ikan.”[3]

Bau Tidak Sedap yang Timbul Dari Penyakit

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan bahwa termasuk juga apabila bau menyengat tersebut muncul akibat penyakit (misalnya terkena penyakit mulut yang sangat bau atau penyakit badan yang anggota tubuhnya ada yang membusuk), maka tidak boleh menghadiri shalat berjamaah sampai penyakitnya sembuh. Beliau berkata,

قال العلماء : إن ما كان من الله ، ولا صنع للآدمي فيه إذا كان يؤذي المصلين فإنه يَخرج ( يعني من المسجد ) ، كالبخر في الفم ، أو الأنف ، أو من يخرج من إبطيه رائحة كريهة ، فإذا كان فيك رائحة تؤذي فلا تقرب المسجد

“Para ulama berkata, jika penyakit tersebut dari Allah dan bukan karena perbuatan manusia, apabila berpotensi menggangu orang yang salat maka sebaiknya ia keluar dari masjid (tidak ikut salat berjamaah), seperti bau pada uap mulut (bau mulut), bau hidung atau apa yang keluar dari ketiaknya berupa bau yang menyengat. Maka jika pada mulutmu terdapat bau yang dapat menganggu maka jangalah anda mendekati masjid (jangan ikut salat berjamaah).”

الموسوعة الفقهية الكويتيه ج٣٤ص٢٢٥-٢٢٧
حُكْمُ أَكْلِهِ وَأَثَرُهُ فِي حُضُورِ الْجَمَاعَةِ. ٦ – اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ مِنَ الأَْعْذَارِ الَّتِي تُبِيحُ التَّخَلُّفَ عَنِ الْجَمَاعَةِ: أَكْل كُل ذِي رَائِحَةٍ كَرِيهَةٍ كَبَصَلٍ وَثُومٍ وَكُرَّاثٍ وَفُجْلٍ إِذَا تَعَذَّرَ زَوَال رَائِحَتِهِ (١) لِحَدِيثِ جَابِرٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: مَنْ أَكَل مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ الثُّومِ وَقَال مَرَّةً: مَنْ أَكَل الْبَصَل وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ (٢) وَالتَّفْصِيل فِي مُصْطَلَحِ (صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ ف ٣٣) . ٧ – وَهَذَا الْحُكْمُ فِيمَنْ أَرَادَ الذَّهَابَ إِلَى الْمَسْجِدِ، أَمَّا مَنْ لَمْ يُرِدِ الذَّهَابَ لِلْمَسْجِدِ فَصَرَّحَ الْفُقَهَاءُ أَيْضًا بِكَرَاهِيَةِ أَكْلِهِ إِلاَّ لِمَنْ قَدَرَ عَلَى إِزَالَةِ رِيحِهَا. قَال ابْنُ قُدَامَةَ: وَيُكْرَهُ أَكْل الْبَصَل وَالثُّومِ وَالْكُرَّاثِ وَالْفُجْل وَكُل ذِي رَائِحَةٍ كَرِيهَةٍ مِنْ أَجْل رَائِحَتِهِ، سَوَاءٌ أَرَادَ دُخُول الْمَسْجِدِ أَمْ لَمْ يُرِدْ (٣) ، لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ النَّاسُ (٤) . وَفِي حَاشِيَةِ الدُّسُوقِيِّ: وَأَمَّا أَكْلُهُ خَارِجَ الْمَسْجِدِ فِي غَيْرِ الْجُمُعَةِ فَمَكْرُوهٌ إِنْ لَمْ يُرِدِ الذَّهَابَ لِلْمَسْجِدِ، وَإِنْ أَرَادَ الذَّهَابَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَالْمُعْتَمَدُ أَنَّهُ حَرَامٌ (١) . وَقَال الْقَلْيُوبِيُّ: وَأَكْلُهَا مَكْرُوهٌ فِي حَقِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الرَّاجِحِ وَكَذَا فِي حَقِّنَا وَلَوْ فِي غَيْرِ الْمَسْجِدِ. نَعَمْ. قَال ابْنُ حَجَرٍ وَشَيْخُ الإِْسْلاَمِ: لاَ يُكْرَهُ أَكْلُهَا لِمَنْ قَدَرَ عَلَى إِزَالَةِ رِيحِهَا وَلاَ لِمَنْ لَمْ يُرِدِ الاِجْتِمَاعَ مَعَ النَّاسِ، وَيَحْرُمُ أَكْلُهَا بِقَصْدِ إِسْقَاطِ وَاجِبٍ كَالْجُمُعَةِ وَيَجِبُ السَّعْيُ فِي إِزَالَةِ رِيحِهَا (٢) . وَحَكَى النَّوَوِيُّ إِجْمَاعَ مَنْ يُعْتَدُّ بِهِ عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْبُقُول حَلاَلٌ (٣) . أَكْل الزَّوْجَةِ لِلْكُرَّاثِ: ٨ – صَرَّحَ الْفُقَهَاءُ بِأَنَّ مِنْ حَقِّ الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ أَكْل مَا لَهُ رَائِحَةٌ كَرِيهَةٌ كَثُومٍ أَوْ بَصَلٍ أَوْ كُرَّاثٍ لأَِنَّهُ يَمْنَعُ الْقُبْلَةَ وَكَمَال الاِسْتِمْتَاعِ. فَفِي فَتْحِ الْقَدِيرِ وَالْفَتَاوَى الْهِنْدِيَّةِ: وَلَهُ أَنْ يَمْنَعَهَا مِنْ أَكْل مَا يَتَأَذَّى مِنْ رَائِحَتِهِ. وَفِي الشَّرْحِ الصَّغِيرِ: يَجُوزُ لِلزَّوْجِ مَنْعُهَا مِنْ أَكْل كُل مَا لَهُ رَائِحَةٌ كَرِيهَةٌ مَا لَمْ يَأْكُلْهُ مَعَهَا أَوْ يَكُنْ فَاقِدَ الشَّمِّ وَأَمَّا هِيَ فَلَيْسَ لَهَا مَنْعُهُ مِنْ ذَلِكَ وَلَوْ لَمْ تَأْكُل (٤) .

Hukum Memakannya ( bawang ) dan Pengaruhnya terhadap Kehadiran dalam Shalat Berjamaah

6. Para ulama sepakat bahwa di antara uzur yang membolehkan seseorang tidak menghadiri shalat berjamaah adalah memakan sesuatu yang memiliki bau tidak sedap, seperti bawang merah, bawang putih, daun kucai, dan lobak, jika baunya sulit dihilangkan. Hal ini berdasarkan hadis Jabir dari Nabi ﷺ yang bersabda:

“Barang siapa yang memakan tanaman ini, yaitu bawang putih—dan dalam riwayat lain disebutkan: barang siapa yang memakan bawang merah, bawang putih, dan daun kucai—maka janganlah ia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa terganggu oleh apa yang mengganggu manusia.”

Perincian lebih lanjut dapat ditemukan dalam pembahasan Shalat Berjamaah (Bab 33).

7. Hukum ini berlaku bagi mereka yang ingin pergi ke masjid. Adapun bagi mereka yang tidak berniat ke masjid, para ulama juga menegaskan bahwa makruh hukumnya memakan makanan tersebut, kecuali bagi orang yang mampu menghilangkan baunya.

Ibn Qudamah berkata:
“Makruh hukumnya memakan bawang merah, bawang putih, daun kucai, lobak, dan segala sesuatu yang berbau tidak sedap karena baunya, baik ia ingin masuk masjid maupun tidak, karena Nabi ﷺ bersabda: ‘Sesungguhnya malaikat merasa terganggu oleh apa yang mengganggu manusia.’”

Dalam Hasyiyah ad-Dusuqi disebutkan:
“Adapun memakannya di luar masjid selain hari Jumat, maka hukumnya makruh jika tidak berniat pergi ke masjid. Namun, jika ia berniat pergi ke masjid, maka pendapat yang kuat menyatakan bahwa hukumnya haram.”

Al-Qalyubi berkata:
“Memakan makanan ini makruh bagi Nabi ﷺ menurut pendapat yang lebih kuat, demikian pula bagi kita, meskipun bukan di masjid.”

Ibn Hajar dan Syaikhul Islam berkata:
“Tidak makruh bagi orang yang mampu menghilangkan baunya, dan juga tidak bagi orang yang tidak berniat berkumpul dengan masyarakat. Namun, haram jika dikonsumsi dengan niat untuk menggugurkan kewajiban seperti shalat Jumat, dan wajib berupaya menghilangkan baunya.”

An-Nawawi menyebutkan adanya ijmak ulama yang dianggap valid bahwa tanaman-tanaman ini halal dimakan.

Hukum Istri Memakan Daun Kucai

8. Para ulama menyatakan bahwa suami memiliki hak untuk melarang istrinya memakan makanan yang berbau tidak sedap, seperti bawang putih, bawang merah, dan daun kucai, karena baunya menghalangi ciuman dan kenikmatan sempurna dalam berhubungan suami istri.

Dalam Fathul Qadir dan Fatawa al-Hindiyyah disebutkan:
“Suami berhak melarang istrinya memakan sesuatu yang baunya mengganggu.”

Dalam Syarh ash-Shaghir disebutkan:
“Suami boleh melarang istrinya memakan makanan yang berbau tidak sedap, kecuali jika ia memakannya bersama istrinya atau ia sendiri kehilangan indra penciuman. Namun, istri tidak memiliki hak untuk melarang suaminya, meskipun ia sendiri tidak memakannya.”

Kesimpulan

Sunnah menghilangkan bau mulut karena Merokok ataupun karena makan bawang mereka,  sedang membiarkannya ( tidak dihilangkan ) hukumnya makruh

Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Menyembelih Hewan yang Sedang Sakit

 

Deskripsi Masalah:

Pada musim pancaroba (perubahan cuaca yang ekstrem), sering kali hewan ternak, seperti ayam, mengalami penyakit. Pemilik hewan menghadapi beberapa pilihan, yaitu menyembelih ayam yang sakit agar dapat dimanfaatkan, merawatnya hingga sembuh, atau membiarkannya hingga mati dengan sendirinya.

Studi kasus yang serupa

Seseorang mempunyai kambing dalam kondisi mabuk karena keracunan lalu si pemilik merasa eman jika kambing nya mati begitu saja, sehingga berinisiatif untuk disembelih.

Pertanyaan:

Bagaimana hukum menyembelih hewan yang sedang dalam kondisi sakit atau mabuk sebagaimana deskripsi?

Walaikum salam

Selama hewan yang sakit masih punya Hayat mustaqirrah (kehidupan stabil) adalah kehidupan yang memungkinkan hewan tetap hidup selama satu atau dua hari. Bahkan ada sebagian yang berpendapat ada aliran darah ketika disembelih dan tidak memudhoratkan bagi yang mengkonsumsinya maka dalam keadaan demikian ,  hukumnya boleh dan halal.” Namun makruh jika tujuannya bukan untuk dimakan.

االمكتبة الشاملة كتاب الإنصاف في معرفة الراجح من الخلاف – ت التركي [المرداوي] الرئيسيةأقسام الكتب الفقه الحنبلي

فصول الكتاب ج: ص: ٣١٨

مسار الصفحة الحالية: فهرس الكتاب كتاب الأطعمة باب الذكاة

قالوا: الحياةُ المسْتَقِرَّةُ ما جازَ بقاؤُها أكثرَ اليومِ. وقالوا: إذا لم يَبْقَ فيه إلَّا حرَكَةُ المذْبوحِ، [لم يحِلَّ. فإنْ كان التَّقيِيدُ بأكثرِ اليوم صَحِيحًا، فلا معْنَى للتَّقْيِيدِ بحرَكَةِ المذْبوحِ] (١)؛ للحَظْرِ، وكذا بعَكْسِه، فإنَّ بينَهما أمَدًا بعيدًا. قال: وعندِي أنَّ الحياةَ المسْتَقِرَّةَ، ما ظُنَّ بقاؤُها زِيادَةً على أمَدِ حرَكَةِ المذْبوحِ لمِثْلِه، سِوَى أمَدِ الذَّبْحِ. قال: وما هو في حُكْمِ المَيِّتِ؛ كمَقْطوعِ الحُلْقومِ، ومُبانِ الحُشْوَةِ، فوُجودُها كعَدَم على الأصحِّ. انتهى. وقال الشَّيخُ تَقِيُّ الدِّينِ، رَحِمَه اللهُ: الأظْهَرُ، أنَّه لا يُشْتَرَطُ شيءٌ مِن هذه الأقْوالِ المُتَقَدِّمَةِ، بل متى ذُبِحَ، فخرَجَ منه الدَّمُ الأحْمَرُ، الذي يخْرُجُ مِنَ المُذَكَّى المذْبوحِ في العادَةِ، ليسَ دَمَ المَيِّتِ، فإنَّه يحِلُّ أكْلُه، وإنْ لم يتَحَرَّكْ. انتهى.

فائدة: حُكْمُ المرِيضَةِ حكمُ المُنْخَنِقَةِ. على الصَّحيحِ مِن المذهبِ، [خِلافًا ومذهبًا] (١). وقيل: لا تُعْتَبَرُ حرَكَةُ المرِيضَةِ، وإنِ اعْتَبَرْناها في غيرِها. [وتقدَّم كلامُه في «المُغْنِي» صريحًا] (١)، وحُكْمُ ما صادَه بشَبَكَةٍ، أو شَرَكٍ، أو أُحْبُولَةٍ، أو فَخٍّ، أو أنْقذَه مِن مَهْلَكَةٍ كذلك.

Kitab Al-Inṣāf fī Ma‘rifati ar-Rājiḥ min al-Khilāf karya al-Mardāwī:

Mereka berkata: “Kehidupan yang stabil (hayah mustaqirrah) adalah yang memungkinkan keberlangsungannya lebih dari sehari.” Mereka juga mengatakan: “Jika yang tersisa dalam tubuh hewan hanyalah gerakan refleks penyembelihan, maka tidak halal (untuk dimakan). Jika syarat ‘lebih dari sehari’ itu benar, maka tidak ada makna untuk mensyaratkan gerakan refleks penyembelihan.” Sebaliknya, jika hanya mempertimbangkan gerakan refleks, maka ada jarak waktu yang cukup jauh antara keduanya.

Beliau (al-Mardāwī) berkata: “Menurutku, kehidupan yang stabil adalah kehidupan yang diperkirakan dapat bertahan lebih lama dari durasi gerakan refleks hewan yang disembelih sejenisnya, selain dari waktu penyembelihan itu sendiri.”

Beliau juga berkata: “Adapun yang sudah dianggap dalam hukum mayit, seperti hewan yang terputus tenggorokannya atau terlepas isi perutnya, maka keberadaannya dianggap seperti tidak ada, menurut pendapat yang lebih shahih.”

Syaikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyyah), rahimahullah, berkata: “Yang lebih kuat adalah bahwa tidak disyaratkan syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, kapan saja hewan itu disembelih lalu keluar darah merah yang biasa keluar dari hewan yang disembelih pada umumnya—bukan darah mayit—maka dagingnya halal dimakan, meskipun hewan itu tidak bergerak sama sekali setelah disembelih.”

Faedah:

Hukum hewan yang sakit (yang tidak mampu bergerak) sama dengan hukum hewan yang mati karena tercekik (al-munkhaniqah), menurut pendapat yang shahih dalam mazhab. Ada juga yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan adanya gerakan pada hewan yang sakit, meskipun pada selainnya disyaratkan gerakan. Pendapat ini telah dinyatakan secara eksplisit dalam al-Mughnī. Adapun hukum hewan yang ditangkap dengan jaring, perangkap, jerat, atau jebakan, atau yang diselamatkan dari bahaya, hukumnya juga sama.

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ ﺫﻛﺮ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺃﺑﻮ ﺣﺎﻣﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﺼﺒﺎﻍ ﻭﺍﻟﻌﻤﺮﺍﻧﻲ ﻭﻏﻴﺮﻫﻢ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻣﺎ ﻳﺠﻮﺯ ﺃﻥ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻪ ﺍﻟﺤﻴﻮﺍﻥ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﻭﺍﻟﻴﻮﻣﻴﻦ ﻓﺈﻥ ﺫﻛﻴﺖ ﺣﻠﺖ

ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ

ﺍﻟﻤﺆﻟﻒ : ﺩ. ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺬﺍﻝ ﺍﻟﺠﺒﻠﻲ

ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺷﻬﺎﺏ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﻤﺎﺩ ﺍﻷﻗﻔﻬﺴﻲ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ )ﺕ(٨٠٨/ ﺗﺤﻘﻴﻖ ﺩ. ﺧﺎﻟﺪ ﺑﻦ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﻫﺬﺍﻝ ﺍﻟﺠﺒﻠﻲ

ﻣﻠﺨﺺ ﺍﻟﺒﺤﺚ: ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺮﺳﺎﻟﺔ ﻣﻦ ﺗﺼﻨﻴﻒ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺍﻟﻌﻤﺎﺩ ﺍﻷﻗﻔﻬﺴﻲ )ﺕ / ٨٠٨ ﻫــ،( ﺃﺣﺪ ﺃﺋﻤﺔ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻓﻲ ﻋﺼﺮﻩ.

ﻭﻣﻮﺿﻮﻋﻬﺎ: ﻫﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﻕ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ.

ﻓﺎﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮﺓ: ﻫﻲ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﺘﻲ ﺗﻜﻮﻥ ﻓﻲ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﻣﻦ ﺑﺪﺍﻳﺔ ﺧﻠﻘﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻧﻘﻀﺎﺀ ﺃﺟﻠﻪ.

ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮﺓ: ﻫﻲ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺍﻟﺮﻭﺡ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺴﺪ، ﻭﺗﻜﻮﻥ ﻣﻌﻬﺎ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭﻳﺔ ﻭﺍﻟﻮﻋﻲ، ﻣﻊ ﺍﻹﺻﺎﺑﺔ ﺍﻟﻔﺎﺩﺣﺔ.

ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ: ﻭﻫﻲ ﺍﻟﺘﻲ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻬﺎ ﺇﺑﺼﺎﺭ ﻭﻻ ﻧﻄﻖ ﻭﻻ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭﻳﺔ ﻭﻻ ﻭﻋﻲ.

ﺍﻟﻤﻮﺳﻮﻋﺔ ﺍﻟﻔﻘﻬﻴﺔ ﺍﻟﻜﻮﻳﺘﻴﺔ :

ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺠﻨﺎﻳﺔ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺇﻣّﺎ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﻣﺴﺘﻤﺮّﺓً، ﺃﻭ ﻣﺴﺘﻘﺮّﺓً، ﺃﻭ ﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ.

ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻤﺮّﺓ: ﻫﻲ ﺍﻟّﺘﻲ ﺗﺒﻘﻰ ﺇﻟﻰ ﺍﻧﻘﻀﺎﺀ ﺍﻷﺟﻞ ﺑﻤﻮﺕ ﺃﻭ ﻗﺘﻞ.

ﻭﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﻤﺴﺘﻘﺮّﺓ: ﺗﻜﻮﻥ ﺑﻮﺟﻮﺩ ﺍﻟﺮّﻭﺡ ﻓﻲ ﺍﻟﺠﺴﺪ ﻭﻣﻌﻬﺎ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭﻳّﺔ ﻭﺍﻹﺩﺭﺍﻙ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺤﺮﻛﺔ ﺍﻻﺿﻄﺮﺍﺭﻳّﺔ. ﻛﻢ ﻟﻮ ﻃﻌﻦ ﺇﻧﺴﺎﻥ ﻭﻗﻄﻊ ﺑﻤﻮﺗﻪ ﺑﻌﺪ ﺳﺎﻋﺔ ﺃﻭ ﻳﻮﻡ ﺃﻭ ﺃﻳّﺎﻡ ﻭﺣﺮﻛﺘﻪ ﺍﻻﺧﺘﻴﺎﺭﻳّﺔ ﻣﻮﺟﻮﺩﺓ.

ﻭﺣﻴﺎﺓ ﻋﻴﺶ ﺍﻟﻤﺬﺑﻮﺡ: ﻫﻲ ﺍﻟّﺘﻲ ﻻ ﻳﺒﻘﻰ ﻣﻌﻬﺎ ﺇﺑﺼﺎﺭ ﻭﻻ ﻧﻄﻖ ﻭﻻ ﺣﺮﻛﺔ ﺍﺧﺘﻴﺎﺭ.

Imam Nawawi berkata: “Syaikh Abu Hamid, Ibnu Shabbagh, Al-Imrani, dan lainnya menyebutkan bahwa hayat mustaqirrah (kehidupan stabil) adalah kehidupan yang memungkinkan hewan tetap hidup selama satu atau dua hari. Jika disembelih dalam keadaan demikian, maka hukumnya halal.”

Perbedaan antara Kehidupan Berkelanjutan, Kehidupan Stabil, dan Kehidupan Setelah Penyembelihan

Penulis: Dr. Khalid bin Zaid bin Hudzal al-Jabili

Perbedaan antara Kehidupan Berkelanjutan, Kehidupan Stabil, dan Kehidupan Setelah Penyembelihan – karya Imam Syihabuddin Ahmad bin Al-Imad Al-Aqfahsi Asy-Syafi’i (w. 808 H), dengan penelitian oleh Dr. Khalid bin Zaid bin Hudzal Al-Jabili.

Ringkasan penelitian:

Risalah ini merupakan karya Imam Ahmad bin Al-Imad Al-Aqfahsi (w. 808 H), salah satu ulama mazhab Syafi’i pada masanya.

Topik:

Risalah ini membahas perbedaan antara hayat mustamirrah (kehidupan berkelanjutan), hayat mustaqirrah (kehidupan stabil), dan hayat ‘aisy al-madzbuh (kehidupan setelah penyembelihan).

Kehidupan Berkelanjutan (الحياة المستمرة):
Ini adalah kehidupan yang berlangsung sejak penciptaan seseorang hingga akhir ajalnya.

Kehidupan Stabil (الحياة المستقرة):
Ini adalah kehidupan di mana ruh masih berada dalam tubuh, disertai dengan gerakan yang bersifat pilihan dan kesadaran, meskipun telah mengalami cedera fatal.

Kehidupan Setelah Penyembelihan (حياة عيش المذبوح):
Ini adalah kondisi di mana tidak ada lagi penglihatan, ucapan, gerakan pilihan, ataupun kesadaran.

Ensiklopedia Fikih Kuwait

Dalam kasus pelanggaran terhadap kehidupan, terdapat tiga kategori:

Kehidupan Berkelanjutan:
Kehidupan yang berlangsung hingga ajal tiba, baik karena kematian alami maupun pembunuhan.

Kehidupan Stabil:
Kehidupan yang masih memiliki ruh dalam tubuh, disertai gerakan pilihan dan kesadaran, meskipun tanpa gerakan refleks. Contohnya, seseorang yang tertikam dan diyakini akan meninggal setelah satu jam, sehari, atau beberapa hari, tetapi masih memiliki gerakan pilihan.

Kehidupan Setelah Penyembelihan:
Kondisi di mana seseorang tidak lagi memiliki penglihatan, ucapan, ataupun gerakan pilihan

Referensi :

فيض القدير، ٦/٢٥٠)

(مَنْ قَتَلَ عُصْفُوْرًا بِغَيْرِ حَقِّهِ) (سَأَلَهُ اللهُ عَنْهُ) فِي رِوَايَةٍ عَنْ قَتْلِهِ أَيْ عَاقَبَهُ وَعَذَبَهُ عَلَيْهِ (يَوْمَ الْقِيَامَةِ) تَمَامُهُ عِنْدَ مُخْرِجِهِ أَحْمَدِ وَغَيْرِهِ قِيْلَ: وَمَا حَقُّهَا يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: أَنْ تَذْبَحَهُ فَتَأْكُلَهُ وَلَا تَقْطَعْ رَأْسَهُ فَتَرْمِى بِهِا اِلَى اَنْ قَالَ; قَالَ الْبَغَوِيُّ: فِيْهِ كَرَاهَةُ ذَبْحِ الْحَيَوَانِ لِغَيْرِ الْأَكْلِ . ( وَمِنْهَا الْمُثْلَةُ بِالْحَيَوَانِ اَيْ تَقْطِيْعُ اَجْزَائِهِ وَتَغْيِيْرُ خِلْقَنِهِ وَهِيَ مِنَ الْكَبَائِرِ

(Barang siapa yang membunuh burung pipit tanpa haknya)—dalam riwayat lain disebutkan (akan ditanya oleh Allah tentang pembunuhannya), yaitu Allah akan menghukumnya dan mengazabnya (pada hari kiamat).

Hadis ini dilengkapi oleh perawinya, yaitu Imam Ahmad dan lainnya, bahwa dikatakan: “Apa hak burung itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Haknya adalah engkau menyembelihnya lalu memakannya, dan janganlah engkau memotong kepalanya lalu membuangnya.”

Hingga dikatakan bahwa Al-Baghawi berkata: “Di dalam hadis ini terdapat larangan (makruh) menyembelih hewan tanpa tujuan untuk dimakan.”

(Di antara bentuk larangan tersebut adalah menyiksa hewan), yaitu dengan memotong-motong anggota tubuhnya dan mengubah bentuk ciptaannya, dan ini termasuk dosa besar.

Rasulullah SAW bersabda:

(لاضرر ولا ضرار)

 رواه البيهقي وغيرهما وهو حديثٌ صحيح. وقال الإمام
النووي: كل ما أضر أكله كالزجاج والحجر والسم يحرم أكله] .

“(Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain).” Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan lainnya, serta merupakan hadis yang sahih.

Imam an-Nawawi berkata: “Segala sesuatu yang membahayakan jika dimakan, seperti kaca, batu, dan racun, hukumnya haram untuk dimakan.”

Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Shalat Berjamaah: antara Mengikuti Gerakan Imam dan Meneruskan Bacaan

 

Assalamualaikum

Deskripsi

Ada dua orang shalat berjamaah Dzuhur. Makmum tidak tahu kalau imam bacaannya cepat. Ketika makmum masih membaca doa iftitah, tiba-tiba imam sudah rukuk.

Pertanyaan:

1. Apakah makmum sebagaimana deskripsi termasuk makmum masbuq ataukah makmum Muwafiq?

2. Apa yang harus dilakukan makmum? Melanjutkan doa iftitah atau langsung rukuk?

Waalaikum salam.

Jawaban pertanyaan No1

✅ Tafsil (Diperinci):

a) Jika makmum ikut sejak awal shalat (takbiratul ihram bersama imam),dan mendapati waktu yang cukup untuk membaca fatihah dirakaat pertama, maka ia MUWAFIQ.

b) Jika makmum datang terlambat dan tidak mendapat waktu cukup untuk membaca Al-Fatihah di rakaat pertama, maka ia MASBUQ.

📌 Dalil & Referensi:

“وَإِن وجد الإِمَام فِي الْقيام قبل أَن يرْكَع وقف مَعَه فَإِن أدْرك مَعَه قبل الرُّكُوع زَمنا يسع الْفَاتِحَة بِالنِّسْبَةِ للوسط المعتدل فَهُوَ مُوَافق فَيجب عَلَيْهِ إتْمَام الْفَاتِحَة وَيغْتَفر لَهُ التَّخَلُّف بِثَلَاثَة أَرْكَان طَوِيلَة…”

(Nihayah az-Zain, hlm. 124

Jawaban No.2

✅ Tafsil ( Diperinci ):

🔹 Jika makmum MUWAFIQ (ikut sejak awal shalat):

Sunnah menghentikan doa iftitah dan langsung membaca Al-Fatihah. Jika bacaan Fatihahnya lambat (udzur), ia boleh tertinggal hingga 3 rukun panjang.Namun jika tidak ada udzur, tidak boleh tertinggal lebih dari 3 rukun panjang. Jika tertinggal lebih dari itu, wajib mufaraqah ( memisahkan diri dari Imam)

🔹 Jika makmum MASBUQ (datang terlambat dan tidak cukup waktu membaca Fatihah):

Tidak perlu membaca Fatihah, langsung rukuk bersama imam, karena  Fatihahnya ditanggung imam, tapi jika ada waktu maka bacalah sebagian dari fatihah

📌 Dalil & Referensi:

“وَإِن لم يدْرك مَعَ الإِمَام زَمنا يسع الْفَاتِحَة فَهُوَ مَسْبُوق يقْرَأ مَا أمكنه من الْفَاتِحَة وَمَتى ركع الإِمَام وَجب عَلَيْهِ الرُّكُوع مَعَه…”

(Nihayah az-Zain, hlm. 124)

Udzur yang Membolehkan Makmum Tertinggal dari Imam

Dalam kasus ini, makmum bisa tertinggal dari imam karena:

✅ 1. Tertinggal karena membaca doa iftitah
📌 Dalil & Referensi:

“وضِفْ مُوافِقاً لِسُنَّةٍ عَدَلْ”

(Atau sibuk dengan sunnah yang dianjurkan).

✅ 2. Bacaan lambat karena sebab bawaan (خلقي)
📌 Dalil & Referensi:

“من في قراءة لِعَجْزِهِ بَطِي”

(Makmum yang lambat membaca karena kondisi bawaan).

✅ 3. Menunggu saktah (diamnya) imam untuk membaca Al-Fatihah
📌 Dalil & Referensi:

“ومَن لِسَكْتَةِ انتظارِهِ حَصَلْ”

(Atau ia menunggu saktah imam untuk membaca Al-Fatihah).

Kesimpulan

Makmum bisa menjadi muwafiq atau masbuq tergantung kapan ia mulai ikut shalat.

Adapun langkah ( kondisi)  yang harus dilakukan oleh Makmum adalah :
1- Jika makmum muwafiq,( mengikuti imam dari awal ) Maka jika bacaan imam cepat makmum harus menghentikan doa iftitah dan langsung membaca Fatihah. Jika bacaan makmum memang kebiasannya lambat maka boleh tertinggal maksimal 3 rukun panjang, karena termasuk udzur
2- Jika makmum masbuq, ia langsung rukuk tanpa perlu menyelesaikan bacaan Fatihah.karena fatihahnya makmum telah ditanggung imam
3- Jika tertinggal lebih dari 3 rukun panjang tanpa uzur, maka wajib mufaraqah ( memisahkan diri dari imam)

Wallahu a’lam.

Referensi:

[نووي الجاوي ,نهاية الزين , ١٢٤]

وَإِن وجد الإِمَام فِي الْقيام قبل أَن يرْكَع وقف مَعَه فَإِن أدْرك مَعَه قبل الرُّكُوع زَمنا يسع الْفَاتِحَة بِالنِّسْبَةِ للوسط المعتدل فَهُوَ مُوَافق فَيجب عَلَيْهِ إتْمَام الْفَاتِحَة وَيغْتَفر لَهُ التَّخَلُّف بِثَلَاثَة أَرْكَان طَوِيلَة كَمَا تقدم وَإِن لم يدْرك مَعَ الإِمَام زَمنا يسع الْفَاتِحَة فَهُوَ مَسْبُوق يقْرَأ مَا أمكنه من الْفَاتِحَة وَمَتى ركع الإِمَام وَجب عَلَيْهِ الرُّكُوع مَعَه

وبل الغمام ص ٢٨ في أحكام المأموم و الإمام للسيد محمد الأهدل. مسئلة : إذا قرأ الإمام الفاتحة و ركع قبل أن يتم المأموم فاتحته فله حالتان : الأولى أن يكون المأموم مسبوقا و هو من أدرك مع الإمام بعد التحرم زمنا لا يسع الفاتحة فيجب أن يقطع القرآءة و يركع إذا ركع الإمام قبل أن يتم الفاتحة و عليه حمل الحديث ” من كان له إمام فقرآءة الإمام له قرآءة.ثم إذا ركع مع الإمام و ترك الباقي من الفاتحة أدرك الركعة بشرط أن يكون أهلا للتحمل و يشترط في هذه الصورة أن يطمئن معه في الركوع.

و الموافق : من أدرك مع الإمام زمنا يسع الفاتحة و إن لم يدرك أول القيام قال ابن قاسم عن الجمال الرملي أو أدرك أول القيام و إن لم يدرك زمنا يسعها .حكمه : أنه إذا ركع إمامه قبل إتمامه الفاتحة أو قبل قراءتها أصلا لكون الإمام سريع القرآءة و المأموم بطيعا بلا وسوسة ظاهرة فركع الإمام قبل قرآءته أو في أثنائها عذر في التخلف لقراءته الفاتحة أو ما بقي و هو مقتد قدوة حكمية و يجب عليه أن يسعى على ترتيب نفسه ما لم يسبقه الإمام بثلاثة أركان مقصودة و هي الطويلة و هي الركوع و السجودين و إن شئت قلت يشتغل بإتمام ما يجب عليه من الفاتحة ما دام الإمام في تلك الركعة فإذا قرأ ما عليه مشى على ترتيب نفسه ما لم يسبقه بثلاثة أركان . فإذا وصل الإمام إلى الرابع و لو يتمه كأن لم يفرغ المأموم من القرأءة إلا و الإمام قائم من السجود أو جالس للتشهد تخير المأموم بين أن يفارقه و يمشي على ترتيب نفسه أو يوافقه بأن يترك القرأءة و يتبعه في قيامه أو تشهده ثم يأتي بركعة بعد سلام الإمام . و لا يجوز له في هذه الحالة أي يمشي على ترتيب نفسه من غير نية مفارقة فإن فعل عامدا عالما بطلت صلاته لما فيه من المخالفة. فرع : فإن كان غير بطيء القراءة خلقة لكنه رتل قرأءته و أسرع الإمام فيها فهو مختلف بعذر كما يأخذ من كلام المنهاج و به جزم الأصل و هو ضعيف و الذي اعتمده الشهاب و ابن حجر أنه غير معذور. و الله أعلم.

التقرير ات السديدات .ص ٣٠٠-٣٠١

أعذار تخلف المأموم عن الإمام يُعذَرُ المأموم في التخلف عن إمامه بثلاثة أركان طويلة (١) في تسع حالات، فلا بد أن يركَعَ قبل ارتفاعِ الإمام من سجوده الثاني للتشهد أو للقيام (٢) ، فإذا لم يركع فيجب عليه أن ينوي المُفارقة أو يُتابع الإمام فيما هو فيه، وتفوته الركعة ويأتي بها بعد سلام الإمام، فإذا لم ينو المفارقة ولم يتابعه بطلت صلاته، وهذه الحالات مجموعة في قول بعضهم : إن شئت ضبطاً لِلَّذِي شَرْعاً عُذِرْ * حتى له ثلاث أركان اغْتَفِرْ من نام في تشهد أو اختلط *** كذا الذي يُكمل التشهدا أو شَكٍّ (هل قرا؟) ومَنْ لها نَسِي * ومن في قراءة لِعَجْزِهِ بَطِي ومن لِسَكْتَةِ انتظارِهِ حَصَل * عليه تكبير الإمـام مـا انضبط بعد إمام قام عنه قاصدا * وضاف مُوافِقاً لِسُنَّةٍ عَدَلْ والخُلْفُ في أواخر المسائل * محقق فلا تكن بذاهِل شرح الأبيات، أي: يُعذَرُ المأموم في التخلف عن الإمام بثلاثة أركان طويلة في تسع حالات وهي : ١ – (من في قراءةٍ لِعَجْزِهِ بَطِي) أي : إذا كان المأموم بطيء القراءة لِعَجْزِ خَلْقي ٢ – (أو شكٍّ (هل قرأ؟) أي : إذا شك : هل قرأ الفاتحة أم لا؟ ٣ – (ومَنْ لها نَسِي) أي : إذا نَسِيَ قراءة الفاتحة . ٤ – (وضِفْ مُوافِقاً لِسُنَّةٍ عَدَلْ ) أي : إذا كانَ موافقاً للإمام واشتغل بسنةٍ كدعاء الاستفتاح فركع الإمام. ٥ – (ومَن لِسَكْتَةِ انتظارِهِ حَصَلْ) أي : إذا انتظر سكتة الإمام ليقرأ هو سورة الفاتحة ، فركع الإمامُ ولم يتمكّن المأموم من قراءة الفاتحة كلها أو بعضها . فهذه الحالاتُ الخمسة المتقدّمة يُعذَرُ فيها المأموم إلى ثلاثة أركان طويلة بالاتفاق ، وبقي أربع حالات : ٦ – (مَنْ نامَ في تَشهُّدٍ) أي : إذا نام المأموم في التشهد الأول . ٧ – (أو اختلط عليه تكبير الإمام ما انضبط) أي : إذا اختلط عليه تكبيرة الإمام : كأعمى أو كانَ في ظُلْمَةٍ . ٨ – (كذا الذي يُكْمِلُ التشهدا بعد إمام قام عنه قاصدا) أي : إذا جلس في التشهد يُكمِّلُهُ بعد أن قام الإمام عنه . ٩ – مَن نَسِيَ القدوة ولم يتذكر إلا والإمام ساجد . وهذه الحالاتُ الأربعُ الأخيرةُ يُعذَرُ فيها عند الرملي إلى ثلاثة أركان طويلة ، وأما عند ابن حجر فحكم الحالة رقم : ٦ ، ٧ ، ٩ كحكم المسبوق ، فتسقط عنه الفاتحة ، وأما الحالة رقم 8 فلا يُعذر .

١) صورتها : يتأخر المأموم لعذر من الأعذار ، كبطء القراءة فيعذر لثلاثة أركان طويلة وهي : الركوع والسجود الأول والسجود الثاني. ٢) وهو الركن الرابع . والله أعلم بالصواب

1. Kitab Nihayat al-Zain

(نووي الجاوي ,نهاية الزين , ١٢٤)

“Jika makmum mendapati imam dalam keadaan berdiri sebelum rukuk, maka ia berdiri bersamanya. Jika ia mendapatkan imam dalam keadaan yang cukup baginya untuk membaca Al-Fatihah dengan ukuran kecepatan bacaan orang yang pertengahan (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat), maka ia dianggap muwafiq. Maka wajib baginya untuk menyempurnakan Al-Fatihah, dan diperbolehkan baginya tertinggal hingga tiga rukun panjang sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Namun, jika ia tidak mendapatkan waktu yang cukup untuk membaca Al-Fatihah bersama imam, maka ia dianggap masbuq. Dalam hal ini, ia membaca apa yang sempat dari Al-Fatihah, dan apabila imam rukuk, maka wajib baginya ikut rukuk bersama imam.”
2. Kitab Bal al-Ghamam, hlm. 28

(و بل الغمام ص ٢٨ في أحكام المأموم و الإمام للسيد محمد الأهدل)

Masalah: Jika imam telah membaca Al-Fatihah dan rukuk sebelum makmum menyelesaikan bacaannya, maka ada dua keadaan:

Jika makmum berstatus masbuq – yaitu orang yang tidak mendapatkan waktu cukup untuk membaca Al-Fatihah setelah takbiratul ihram – maka wajib baginya menghentikan bacaan dan langsung rukuk jika imam rukuk sebelum ia menyelesaikan Al-Fatihah. Hal ini berdasarkan hadis: “Barang siapa yang memiliki imam, maka bacaan imam adalah bacaan baginya.” Jika ia rukuk bersama imam dan meninggalkan sisa bacaan Al-Fatihah, maka ia tetap mendapatkan rakaat tersebut, dengan syarat ia masih dalam keadaan dapat menanggung kewajiban membaca Al-Fatihah dan melakukan rukuk dengan tuma’ninah bersama imam.

Jika makmum berstatus muwafiq – yaitu orang yang mendapatkan waktu cukup untuk membaca Al-Fatihah bersama imam, meskipun ia tidak mendapatkan bagian awal berdirinya imam. Menurut Ibnu Qasim dari al-Jamal ar-Ramli, atau jika ia mendapatkan awal berdiri imam tetapi tidak cukup waktu untuk membaca Al-Fatihah, maka hukumnya sebagai berikut: Jika imam rukuk sebelum ia menyelesaikan Al-Fatihah atau bahkan sebelum ia membacanya sama sekali karena imam terlalu cepat membaca, sedangkan makmum membacanya dengan lambat tanpa was-was berlebihan, maka ia tetap diperbolehkan tertinggal dari imam untuk menyelesaikan bacaan Al-Fatihah. Ia masih dianggap bermakmum secara hukum, dan ia harus tetap mengikuti urutan shalatnya sendiri, selama ia tidak tertinggal lebih dari tiga rukun panjang, yaitu rukuk dan dua kali sujud.
Jika imam sudah mencapai rukun keempat (misalnya, imam telah selesai dari sujud dan bangkit ke rakaat berikutnya, atau sudah dalam posisi duduk tasyahhud), maka makmum memiliki dua pilihan:

Memisahkan diri dari imam (mufaraqah) dan menyelesaikan shalat sesuai urutannya sendiri.

Mengikuti imam dalam posisi terakhirnya (misalnya, ikut berdiri atau duduk tasyahhud) dan mengganti rakaat yang tertinggal setelah imam salam.

Catatan: Tidak diperbolehkan bagi makmum dalam keadaan ini untuk tetap melanjutkan shalatnya sendiri tanpa niat mufaraqah. Jika ia melakukannya dengan sengaja dan sadar, maka shalatnya batal karena bertentangan dengan aturan berjamaah.
Cabang masalah: Jika makmum bukan orang yang lambat membaca secara alami, tetapi ia membaca Al-Fatihah dengan tartil sedangkan imam membacanya dengan cepat, maka menurut pendapat yang kuat dalam madzhab Syafi’i, ia tidak dianggap memiliki uzur.

3. Kitab Al-Taqrirat al-Sadidat, hlm. 300-301

(التقرير ات السديدات .ص ٣٠٠-٣٠١)

Uzur yang Membolehkan Makmum Tertinggal dari Imam hingga Tiga Rukun Panjang
Makmum diperbolehkan tertinggal dari imam hingga tiga rukun panjang dalam sembilan keadaan berikut. Namun, ia harus rukuk sebelum imam bangkit dari sujud kedua menuju tasyahhud atau berdiri ke rakaat berikutnya. Jika ia tidak rukuk tepat waktu, maka ia wajib niat mufaraqah atau mengikuti imam dalam keadaan tersebut, sehingga ia kehilangan rakaat tersebut dan harus menggantinya setelah imam salam. Jika ia tidak niat mufaraqah dan tidak mengikuti imam, maka shalatnya batal.
Sembilan keadaan ini dirangkum dalam bait syair berikut:

إن شئت ضبطاً لِلَّذِي شَرْعاً عُذِرْ
حتى له ثلاث أركان اغْتَفِرْ

(من في قراءةٍ لِعَجْزِهِ بَطِي) – Jika makmum membaca Al-Fatihah dengan lambat karena faktor alami (misalnya, gagap atau kesulitan berbicara).

(أو شكٍّ (هل قرأ؟) – Jika makmum ragu apakah ia sudah membaca Al-Fatihah atau belum.

(ومَنْ لها نَسِي) – Jika makmum lupa membaca Al-Fatihah.

(وضِفْ مُوافِقاً لِسُنَّةٍ عَدَلْ ) – Jika makmum membaca doa istiftah sehingga tertinggal dari imam.

(ومَن لِسَكْتَةِ انتظارِهِ حَصَلْ) – Jika makmum menunggu imam diam untuk membaca Al-Fatihah, tetapi imam sudah rukuk sebelum ia menyelesaikannya.

Lima keadaan di atas disepakati sebagai uzur yang membolehkan makmum tertinggal hingga tiga rukun panjang.
Adapun empat keadaan berikut masih diperselisihkan:

(مَنْ نامَ في تَشهُّدٍ) – Jika makmum tertidur dalam tasyahhud pertama.

(أو اختلط عليه تكبير الإمام ما انضبط) – Jika makmum bingung dengan takbir imam, misalnya karena buta atau berada dalam kondisi gelap.

(كذا الذي يُكْمِلُ التشهدا بعد إمام قام عنه قاصدا) – Jika makmum tetap duduk menyempurnakan tasyahhud pertama, sedangkan imam sudah bangkit.

(وَمَنْ نَسِيَ القدوة ولم يتذكر إلا والإمام ساجد) – Jika makmum lupa bahwa ia sedang bermakmum dan baru sadar ketika imam sudah dalam posisi sujud.

Menurut Imam Ramli, semua keadaan ini termasuk uzur yang membolehkan makmum tertinggal hingga tiga rukun panjang. Namun, menurut Ibnu Hajar, keadaan nomor 6, 7, dan 9 diperlakukan seperti masbuq, sehingga bacaan Al-Fatihah tidak wajib baginya. Adapun keadaan nomor 8, menurut Ibnu Hajar, tidak termasuk uzur, sehingga makmum tetap dianggap tertinggal dan harus mengikuti imam.

Kesimpulan

Dari referensi di atas, dapat disimpulkan bahwa:

Makmum muwafiq wajib menyelesaikan Al-Fatihah, bahkan jika harus tertinggal dari imam. Namun, ia hanya boleh tertinggal maksimal tiga rukun panjang.

Jika tertinggal lebih dari tiga rukun panjang tanpa uzur, maka makmum wajib mufaraqah dan menyelesaikan shalatnya sendiri.

Jika makmum memiliki uzur yang sah, ia boleh tertinggal hingga tiga rukun panjang, tetapi tetap harus rukuk sebelum imam bangkit dari sujud kedua.

Jika tidak rukuk sebelum imam bangkit, maka ia harus memilih antara mufaraqah atau mengikuti imam dan mengganti rakaat yang tertinggal setelah imam salam.

Wallahu a’lam bish-shawab.

 

Kategori
Hukum

Status Hukum Pemanfaatan Lahan Bekas Sungai dalam Perspektif Islam dan Peraturan di Indonesia

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Di era pemerintahan Jokowi, banyak sungai yang ditutup, disatukan alirannya, dan diratakan dengan tanah. Akibat perubahan alur sungai tersebut, tidak sedikit masyarakat sekitar yang berlomba-lomba menguasai lahan bekas sungai itu untuk membangun toko dan bangunan megah. Prinsip yang berlaku di kalangan mereka adalah “Siapa cepat, dia dapat.” Cukup dengan meratakan tanah dan memberi pembatas, lahan tersebut dianggap menjadi milik orang yang lebih dulu menguasainya.

Pertanyaan yang Diajukan:

Apakah tindakan menguasai lahan bekas sungai yang telah ditutup dan diratakan dengan tanah dapat dikategorikan sebagai ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati)?

Sampai sejauh mana masyarakat diperbolehkan memanfaatkan lahan bekas sungai tersebut menurut hukum Islam dan peraturan yang berlaku?

Waalaikumsalam salam

Jawaban

Analisis Hukum Islam dan Peraturan yang Berlaku

1. Perspektif Hukum Islam: Ihya’ Al-Mawat

Dalam fikih Islam, ihya’ al-mawat (إحياء الموات) atau “menghidupkan tanah mati” adalah proses menghidupkan tanah yang tidak ada pemiliknya, tidak dimanfaatkan, dan jauh dari kepemilikan umum atau negara. Landasannya di antaranya:

Hadis Rasulullah ﷺ:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

“Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ahmad)

Namun, ulama menyatakan bahwa syarat utama tanah yang boleh dihidupkan adalah bukan tanah yang sudah memiliki hak atau status tertentu dalam hukum Islam atau peraturan pemerintah.Dengan kata lain tanah yang boleh dihidupkan syaratnya harus merdeka bukan milik seseorang ataupun pemerintah.

Dengan demikian dalam kasus ini, tanah bekas sungai bukan termasuk tanah mati (al-mawat), melainkan tanah yang sebelumnya memiliki fungsi publik (al-milkiyyah al-‘ammah). Oleh karena itu, menguasainya tanpa izin otoritas yang sah tidak bisa dikategorikan sebagai ihya’ al-mawat.

Referensi:

فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب  أو القول المختار في شرح غاية الإختصار في باب أحكام  إحياء الموات

(فصل)

: في أحكام إحياء الموات وهو كما قال الرافعي في الشرح الصغير أرض لا مالك لها، ولا ينتفع بها أحد وإحياء الموات جائز بشرطين أحدهما أن يكون المحيي مسلماً فيسن له إحياء الأرض الميتة سواء أذن له الإمام أم لا، اللهم إلا أن يتعلق بالموات حتى كأن حمى الإمام قطعة منه، فأحياها شخص فلا يملكها إلا بإذن الإمام في الأصح، أما الذمي والمعاهد والمستأمن، فليس لهم الإحياء، ولو أذن لهم الإمام.
(و)

الثاني أن تكون الأرض حرة لا يجوز عليها ملك لسه وفي بعض النسخ أن تكون الأرض حرة والمراد من كلام المصنف أن ما كان معموراً وهو الآن خراب فهو لمالكه إن عرف مسلماً كان أو ذمياً ولا يملك هذا الخراب بالإحياء فإن لم يعرف مالكه والعمارة إسلامية فهذا المعمور مال ضائع الأمر فيه لرأي الإمام في حفظه أو بيعه وحفظ ثمنه وإن كان المعمور جاهلية ملك بالإحياء

2. Hukum Pemanfaatan Lahan Bekas Sungai

Dalam Islam, sungai dan lahan yang berkaitan dengan kepentingan umum masuk dalam kategori kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah), yang tidak bisa dimiliki secara pribadi tanpa izin otoritas yang berwenang. Rasulullah ﷺ bersabda:

. قال رسول الله ﷺ:
“الناس شركاء في ثلاث: في الماء، والكلأ، والنار.” (رواه أبو داود وابن ماجه)

.
“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Berdasarkan hadits ini, menguasai lahan bekas sungai tanpa izin dari pemerintah adalah tindakan yang tidak diperbolehkan.Dengan  demikian dapat dipahami bahwa hukum menempati sungai yang telah diratakan tanah  boleh dengan izin pemerintah dan sebaliknya

حاشية البجيرمي على المنهج(الجزء ج٤ص٢٣٢

قوله ( الأمر فيه إلى رأي الإمام ) ولو انحسر ماء النهر عن جانب من أرضه وصارت مكشوفة لم تخرج عما كانت عليه من كونها من حقوق النهر مستحقة لعموم المسلمين وليس للسلطان تمليكها لأحد فإنه ليس له تمليك شيء من النهر أو حريمه وإن انكشف عنه لأنه لا يخرج عما كان عليه بانكشاف الماء عنه لأنه بصدد أن يعود الماء إليه نعم له دفعها لمن يرتفق بها حيث لا يضر بالمسلمين ولو تعدى إنسان وزرعها ضمن أجرتها لمصالح المسلمين ولا يسقط عنه من الأجرة ما يخصه من المصالح كذا تحرر مع م ر في درسه بالمباحثة في ذلك وهو ظاهر وبالغ في إنكار ما نقل له عن بعضهم من أن البحر لو انحسر عن أرض بجانب قرية استحقها أهل القرية ا هـ سم وفي ق ل على الجلال أنه يسقط عنه قدر حصته إن كان له حصة في مال المصالح وعبارة م ر في شرحه وحريم النهر كالنيل ما تمس الحاجة له لتمام الانتفاع به وما يحتاج لإلقاء ما يخرج منه فيه لو أريد تنظيفه فيمتنع البناء فيه ولو مسجدا ويهدم ما يبنى فيه كما نقل عن إجماع الأئمة الأربعة ولقد عمت البلوى بذلك في عصرنا حتى ألف العلماء في ذلك لينزجر الناس فلم ينزجروا ولا يغير هذا الحكم كما أفاده الوالد رحمه الله ا هـ بحروفه

حواشي الشرواني والعبادي (٦/ ٢٠٧)

فرع: الانتفاع بحريم الانهار كحافاتها بوضع الاحمال والاثقال وجعل زريبة من قصب ونحوه لحفظ الامتعة فيها كما هو الواقع اليوم في ساحل بولاق ومصر القديم ونحوهما ينبغي أن يقال فيه إن فعله للارتفاق به ولم يضر بانتفاع غيره ولا ضيق على المارة ونحوهم ولا عطل أو نقص منفعة النهر كان جائزا ولا يجوز أخذ عوض منه على ذلك وإلا حرم ولزمته الاجرة لمصالح المسلمين وكذا يقال فيما لو انتفع بمحل انكشف عنه النهر في زرع ونحوه

3. Perspektif Peraturan yang Berlaku di Indonesia

Secara hukum positif, pengelolaan lahan bekas sungai diatur dalam berbagai peraturan, di antaranya:

UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang menegaskan bahwa sungai adalah bagian dari aset negara dan penggunaannya harus sesuai dengan regulasi. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan bahwa tanah yang berasal dari perubahan aliran sungai harus ditetapkan statusnya oleh negara sebelum bisa dimanfaatkan secara pribadi. Peraturan Menteri PUPR No. 28/PRT/M/2015 yang mengatur tata kelola dan pemanfaatan lahan bekas sungai, di mana lahan tersebut tidak serta-merta menjadi hak individu tanpa mekanisme hukum yang sah.

Dengan demikian, mengklaim lahan bekas sungai secara sepihak adalah tindakan ilegal dalam hukum negara dan tidak sesuai dengan prinsip Islam.

Kesimpulan dan Rekomendasi Menguasai lahan bekas sungai secara sepihak tidak bisa dianggap sebagai ihya’ al-mawat karena lahan tersebut bukan tanah mati, melainkan tanah yang memiliki status hukum sebagai aset publik atau negara. Dalam Islam, lahan yang sebelumnya menjadi milik umum tidak bisa dikuasai oleh individu tanpa izin resmi dari pemerintah. Menurut hukum negara, pemanfaatan lahan bekas sungai harus mengikuti regulasi yang berlaku. Masyarakat yang ingin menggunakan lahan bekas sungai sebaiknya mengajukan izin resmi ke instansi terkait agar tidak melanggar hukum dan mendapatkan hak penggunaan yang sah.

Wallahu a’lam.

Kategori
Hukum

Kepemilikan Tanaman yang Ditanam di Tanah Orang Lain: Studi kasus Tanah warisan dalam Perspektif Fiqih

 

Assalamualaikum WR WB. Bagaimana hukum tanaman yang ditanam ditanam ditanah orang ?? Deskripsi: *Kebiasaan orang dahulu _ketika sesaudara/sekeluarga tanah yg dimiliki orang tuanya langsung ditanami pohon contoh pohon rambutan ( punya si A dan si B ) langsung ditanam asal-asalan menanam. Sehingga ketika orang tuanya meninggal dan tanah itu dipeta-petakan sesuai dg permintaan sang orang tua. Maka ada pohon rambutan punya si A ada di tanah si B dan begitu pula sebalik._* Bagaimanakah kepemilikan pohon itu ??

Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kasus Pohon Rambutan yang Ditanam di Tanah Orang Lain:

Jika merujuk pada deskripsi, pohon ditanam oleh saudara di tanah milik keluarga secara asal-asalan (tanpa memperhatikan batas kepemilikan), lalu tanah dibagi setelah orang tua meninggal. Akibatnya, ada pohon milik A yang berada di tanah milik B, dan sebaliknya.

Dalam situasi ini, maka jawabannya terdapat pada kaidah-kaidah yang relevan berada di urutan No.1- 2 – 3 -5 dan no.6 adalah sebagai berikut :

1. Kaidah Pertama (Tanaman di Tanah Orang Lain Tanpa Izin Mutlak):

Hasil tanaman sebelum panen menjadi milik pemilik tanah dengan kewajiban membayar biaya tanam yang dikeluarkan oleh penanam.

Setelah panen, hasil tanaman menjadi milik penanam.

➔ Relevansi:

Jika pohon ditanam tanpa izin atau aturan jelas dari pemilik tanah (orang tua), maka hasil panennya bisa menjadi milik pemilik tanah (B), dengan kewajiban mengganti biaya tanam jika pohon belum menghasilkan.

2. Kaidah Kedua (Tanaman yang Memberikan Kerugian Lebih Besar):

Jika pohon yang ditanam merugikan pemilik tanah (misalnya mengurangi nilai tanah), status penanam dianggap seperti perampas (ghashib).

➔ Relevansi:

Jika pohon tersebut tidak menyebabkan kerugian, kaidah ini kurang relevan. Namun, jika pohon dianggap mengganggu, penanam harus bertanggung jawab atas kerugian.

3. Kaidah Kelima (Tanaman pada Tanah dengan Manfaat Tidak Berpindah):

Jika tanah dan manfaatnya tidak berpindah, penanam boleh membiarkan tanaman tersebut hingga selesai masa manfaatnya tanpa membayar.

➔ Relevansi:

Jika pohon ditanam ketika tanah masih dianggap milik bersama dan pembagian tanah belum terjadi, penanam memiliki hak untuk mempertahankan pohon hingga masa panen tanpa biaya.

4. Kaidah Keenam (Tanaman pada Tanah yang Kepemilikannya Berpindah):

Jika kepemilikan tanah dan manfaatnya berpindah, penanam tetap boleh mempertahankan tanaman hingga panen dengan membayar ujrah (sewa wajar) kepada pemilik baru.

➔ Relevansi:

Jika pohon berada di tanah yang sekarang menjadi milik B, A dapat mempertahankan haknya atas pohon tersebut dengan membayar sewa wajar kepada B.

Kesimpulan:

1. Kepemilikan pohon: Pohon tetap menjadi milik penanam (A), meskipun berada di tanah milik B.

2. Hak pemilik tanah (B): B berhak meminta kompensasi berupa:

Sewa tanah (ujrah al-mitsl) jika pohon tetap dibiarkan.

Kompensasi kerugian jika pohon dianggap merugikan (misalnya mengurangi nilai tanah).

3. Solusi terbaik: Menyesuaikan dengan kesepakatan keluarga untuk menghindari konflik, misalnya:

Penanam memindahkan pohon ke tanah miliknya sendiri.

Pemilik tanah menerima kompensasi dalam bentuk lain (sewa atau hasil panen).

Referensi

المكتبة الشاملة
كتاب شرح تحفة أهل الطلب في تجريد أصول قواعد ابن رجب
[عبد الكريم اللاحم] الحنبلي
علوم الفقه والقواعد الفقهية
ص:  ٢٥٩-٢٦٠

القاعدة الأولى: من زرع أرض غيره عدوانا محضا غير مستند إلى إذن بالكلية فالزرع بعد الحصاد له، وقبل الحصاد لمالك الأرض بنفقته (١). وقيل: بقيمته (٢). القاعدة الثانية: من زرع بأرض غيره ما هو أعظم ضررا مما أذن له فيه فهو كالغاصب (٣). القاعدة الثالثة: من زرع أرض غيره بعقد فاسد فعليه أجرة المثل للأرض، والزرع له (٤). القاعدة الرابعة: من زرع أرض غيره بعقد ممن لا ولاية له عليها ظانا ولايته فالزرع لمالك الأرض بنفقته (٥). وقيل: الزرع للزارع وعليه أجرة المثل للأرض (٦). وقيل: الزرع للزارع ومالك الأرض نصفين (٧). القاعدة الخامسة: إذا انتقلت ملكية الأرض دون منفعتها، وهي مشغولة بزرع مأذون فيه، فللزارع إبقاؤه مجانا إلى نهاية ملكه للمنفعة (٨)

Kaedah pertama:
Barang siapa menanam di tanah milik orang lain dengan melanggar hukum secara mutlak tanpa ada izin sama sekali, maka:

Hasil tanamannya setelah panen menjadi milik penanam. Sebelum panen, hasil tanaman tersebut menjadi milik pemilik tanah dengan biaya tanam yang dikeluarkan oleh penanam.
(1)

Ada pendapat lain yang mengatakan:

Hasil tanaman sebelum panen dihitung berdasarkan nilainya.
(2)

Kaedah kedua:
Barang siapa menanam di tanah milik orang lain dengan tanaman yang memberikan kerugian lebih besar daripada yang diizinkan, maka dia dihukumi sebagai perampas.
(3)

Kaedah ketiga:
Barang siapa menanam di tanah milik orang lain berdasarkan akad yang rusak (tidak sah), maka:

Dia wajib membayar upah tanah sesuai dengan nilainya. Hasil tanamannya tetap menjadi miliknya.
(4)

Kaedah keempat:
Barang siapa menanam di tanah milik orang lain berdasarkan akad dari seseorang yang tidak memiliki wewenang atas tanah tersebut, dengan menyangka bahwa ia memiliki wewenang, maka:

Hasil tanamannya menjadi milik pemilik tanah dengan biaya tanam yang ditanggung olehnya (pemilik tanah).
(5)

Ada pendapat lain yang mengatakan:

Hasil tanaman menjadi milik penanam, dan ia wajib membayar upah tanah sesuai dengan nilainya.
(6)

Pendapat lainnya mengatakan:

Hasil tanaman dibagi dua antara penanam dan pemilik tanah.
(7)

Kaedah kelima:
Apabila kepemilikan tanah berpindah tangan, tetapi manfaatnya (hak guna tanah) tidak ikut berpindah, sementara tanah tersebut ditanami dengan izin, maka:

Penanam diperbolehkan untuk membiarkan tanamannya tumbuh secara gratis hingga selesai masa manfaatnya.
(8)

القاعدة السادسة: إذا انتقلت ملكية الأرض بمنافعها، وهي مزروعة بمأذون فيه، فللزارع إبقاء الزرع إلى نهاية ملكه للمنفعة بأجرة المثل للثاني، في باقي المدة (١).

وقيل: بالأجرة السابقة، ويشترك المالك الثاني مع الأول بالنسبة من المدة الباقية (٢).

القاعدة السابعة: إذا زرعت الأرض بغير إذن صاحبها ببذر شخص آخر بغير إذنه، فهو كزرع المستأجر والمستعير (٣).

وقيل كزرع الغاصب (٤).

القاعدة الثامنة: من زرع أرض غيره بإذن غير لازم، كان له إبقاؤه مجانا إلى أوان حصاده (٥).

وقيل: بأجرة المثل من انتهاء الأذن (٦).

القاعدة التاسعة: من زرع في أرضه التي منع من التصرف فيها لحق غيره، وكان ذلك يضر صاحب الحق، فهو كالغاصب (٧)

Kaedah Keenam: Jika kepemilikan tanah beserta manfaatnya berpindah tangan, sedangkan tanah tersebut sedang ditanami dengan izin yang sah, maka penanam berhak mempertahankan tanaman tersebut hingga akhir masa manfaatnya, dengan membayar sewa sesuai nilai wajar (ujrah al-mitsl) kepada pemilik baru untuk sisa waktu yang ada (1).

Ada pula pendapat bahwa yang dibayarkan adalah sewa yang telah disepakati sebelumnya, dan pemilik baru berbagi dengan pemilik lama sesuai dengan bagian waktu yang tersisa (2).

Kaedah Ketujuh: Jika tanah ditanami tanpa izin pemiliknya, dengan benih milik orang lain tanpa izinnya pula, maka statusnya seperti tanaman milik penyewa atau peminjam tanah (3).

Ada juga pendapat bahwa statusnya seperti tanaman milik perampas (ghashib) (4).

Kaedah Kedelapan: Barang siapa menanam di tanah orang lain dengan izin yang tidak bersifat mengikat, maka ia berhak mempertahankan tanamannya tanpa membayar hingga masa panen (5).

Namun, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ia wajib membayar sewa sesuai nilai wajar (ujrah al-mitsl) setelah izin tersebut berakhir (6).

Kaedah Kesembilan: Barang siapa menanam di tanah miliknya sendiri yang tidak boleh ia pergunakan karena adanya hak pihak lain, dan perbuatan itu merugikan pemilik hak, maka statusnya seperti perampas (ghashib) (7).

كتاب السنن الكبرى – البيهقي – ط العلمية

[أبو بكر البيهقي]
ج:٦ص: ٢٢٥

بَابُ مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ غَيْرِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ أَوْ بِإِذْنِهِ عَلَى سَبِيلِ الْمُزَارَعَةِ ١١٧٤٢ – أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو، وَأَبُو صَادِقِ بْنُ أَبِي الْفَوَارِسِ، قَالُوا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ عَفَّانَ، ثنا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، ثنا شَرِيكٌ، ح وَأنبأ أَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمُزَكِّي، ثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، ثنا الْعَبَّاسُ بْنُ الْفَضْلِ الْأَسْفَاطِيُّ، ثنا أَبُو الْوَلِيدِ، ثنا شَرِيكٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ فِي الزَّرْعِ شَيْءٌ، وَتُرَدُّ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ ” هَذَا لَفْظُ حَدِيثِ أَبِي الْوَلِيدِ، وَفِي رِوَايَةِ يَحْيَى بْنِ آدَمَ قَالَ: يَرْفَعُهُ، وَقَالَ: ” فَلَهُ نَفَقَتُهُ، وَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ ” ١١٧٤٣ – وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو، وَأَبُو صَادِقٍ الْعَطَّارُ، قَالُوا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ، ثنا الْحَسَنُ، ثنا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، ثنا قَيْسٌ يَعْنِي ابْنَ الرَّبِيعِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَهُ ١١٧٤٤ – حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ الْأَصْبَهَانِيُّ، ثنا أَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ عِمْرَانَ الْقَاضِي، بِهُرَاةَ، ثنا أَبُو حَاتِمٍ عَبْدُ الْجَلِيلِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْهَرَوِيُّ، ثنا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُوسَى، أنبأ بُكَيْرٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي نُعْمٍ، أَنَّ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ زَرَعَ أَرْضًا أَخَذَهَا مِنْ بَنِي فُلَانٍ، فَمَرَّ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَسْقِي زَرْعَهُ فَسَأَلَهُ: ” لِمَنْ هَذَا؟ ” فَقَالَ: الزَّرْعُ لِي، وَهِيَ أَرْضُ بَنِي فُلَانٍ أَخَذْتُهَا، لِيَ الشَّطْرُ وَلَهُمُ الشَّطْرُ، قَالَ: فَقَالَ: ” انْفُضْ يَدَكَ مِنْ غُبَارِهَا، وَرُدَّ الْأَرْضَ إِلَى أَهْلِهَا، وَخُذْ نَفَقَتَكَ “، قَالَ: فَانْطَلَقْتُ فَأَخْبَرْتُهُمْ بِمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَأَخَذَ نَفَقَتَهُ وَرَدَّ إِلَيْهِمْ أَرْضَهُمْ ١١٧٤٥ – أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذْبَارِيُّ، أنبأ أَبُو بَكْرِ بْنُ دَاسَةَ، أنبأ أَبُو دَاوُدَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، ثنا يَحْيَى، ثنا أَبُو جَعْفَرٍ الْخَطْمِيُّ قَالَ: بَعَثَنِي عمي أَنَا وَغُلَامًا لَهُ إِلَى سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ: فَقُلْنَا لَهُ: شَيْءٌ بَلَغَنَا عَنْكَ فِي الْمُزَارَعَةِ، قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ لَا يَرَى بِهَا بَأْسًا حَتَّى بَلَغَهُ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ فِي حَدِيثٍ، فَأَتَاهُ، فَأَخْبَرَهُ رَافِعٌ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى بَنِي حَارِثَةَ فَرَأَى زَرْعًا فِي أَرْضِ ظُهَيْرٍ فَقَالَ: ” مَا أَحْسَنَ زَرْعَ ظُهَيْرٍ “، فَقَالُوا: لَيْسَ لِظُهَيْرٍ، قَالَ: ” ⦗٢٢٦⦘ أَلَيْسَ أَرْضَ ظُهَيْرٍ؟ ” قَالُوا: بَلَى، وَلَكِنَّهُ زَرْعُ فُلَانٍ، قَالَ: ” فَخُذُوا زَرْعَكُمْ وَرُدُّوا عَلَيْهِ النَّفَقَةَ “، قَالَ رَافِعٌ: فَأَخَذْنَا زَرْعَنَا، وَرَدَدْنَا إِلَيْهِ النَّفَقَةَ. قَالَ سَعِيدٌ: أَفْقِرْ أَخَاكَ أَوْ أَكِرْهُ بِالدَّرَاهِمِ. ظَاهِرُ هَذِهِ الْأَحَادِيثِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الزَّرْعَ يَتْبَعُ الْأَرْضَ، وَفُقَهَاءُ الْأَمْصَارِ عَلَى أَنَّ الزَّرْعَ يَتْبَعُ الْبَذْرَ، وَلَوْ ثَبَتَ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدٍ فِي خِلَافِهَا حُجَّةٌ، إِلَّا أَنَّ الْحَدِيثَ الْأَوَّلَ يَنْفَرِدُ بِهِ شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللهِ وَقَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ، وَقَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ ضَعِيفٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْحَدِيثِ، وَشَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللهِ مُخْتَلَفٌ فِيهِ، كَانَ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ لَا يَرْوِي عَنْهُ، وَيُضَعِّفُ حَدِيثَهُ جِدًّا، ثُمَّ هُوَ مُرْسَلٌ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْبُوَيْطِيِّ: الْحَدِيثُ مُنْقَطِعٌ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَلْقَ عَطَاءً رَافِعًا ١١٧٤٦ – أَخْبَرَنَا أَبُو سَعْدٍ الْمَالِينِيُّ، ثنا أَبُو أَحْمَدَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَدِيٍّ الْحَافِظُ قَالَ: كُنْتُ أَظُنُّ أَنَّ عَطَاءً عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ مُرْسَلٌ، حَتَّى تَبَيَّنَ لِي أَنَّ أَبَا إِسْحَاقَ أَيْضًا عَنْ عَطَاءٍ مُرْسَلٌ، قَالَ أَبُو أَحْمَدَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ، ثنا يُوسُفُ بْنُ سَعِيدٍ، ثنا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا شَرِيكٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رُفَيْعٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ، وَتُرَدُّ عَلَيْهِ قِيمَةُ نَفَقَتِهِ ” قَالَ يُوسُفُ: غَيْرُ حَجَّاجٍ لَا يَقُولُ عَبْدَ الْعَزِيزِ، يَقُولُ: عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ الشَّيْخُ: أَبُو إِسْحَاقَ كَانَ يُدَلِّسُ، وَأَهْلُ الْعِلْمِ بِالْحَدِيثِ يَقُولُونَ: عَطَاءٌ عَنْ رَافِعٍ مُنْقَطِعٌ. وَقَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيُّ: هَذَا الْحَدِيثُ لَا يَثْبُتُ عِنْدَ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِالْحَدِيثِ. قَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ: وَحَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ يَحْيَى عَنْ مُوسَى بْنِ هَارُونَ الْحَمَّالِ أَنَّهُ كَانَ يُنْكِرُ هَذَا الْحَدِيثَ وَيُضَعِّفُهُ وَيَقُولُ: لَمْ يَرْوِهِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ غَيْرُ شَرِيكٍ، وَلَا رَوَاهُ عَنْ عَطَاءٍ غَيْرُ أَبِي إِسْحَاقَ، وَعَطَاءٌ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ شَيْئًا، قَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ: وَضَعَّفَهُ الْبُخَارِيُّ أَيْضًا قَالَ الشَّيْخُ: وَقَدْ رَوَاهُ عُقْبَةُ بْنُ الْأَصَمِّ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ: حَدَّثَنَا رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ، وَعُقْبَةُ ضَعِيفٌ لَا يُحْتَجُّ بِهِ، ⦗٢٢٧⦘ وَأَمَّا حَدِيثُ بُكَيْرِ بْنِ عَامِرٍ الْبَجَلِيِّ عَنِ ابْنِ أَبِي نُعْمٍ عَنْ رَافِعٍ فَبُكَيْرٌ وَإِنِ اسْتَشْهَدَ بِهِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ فِي غَيْرِ هَذَا الْحَدِيثِ فَقَدْ ضَعَّفَهُ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ وَحَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَيَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، وَأَمَّا الْحَدِيثُ الثَّالِثُ فَرَوَاهُ أَبُو جَعْفَرٍ عُمَيْرُ بْنُ يَزِيدَ الْخَطْمِيُّ، وَلَمْ أَرَ الْبُخَارِيَّ وَلَا مُسْلِمًا احْتَجَّا بِهِ فِي حَدِيثٍ وَاللهُ أَعْلَمُ، وَرُوِيَ عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَعْنَاهُ، وَهُوَ مُنْقَطِعٌ

Bab: Barang siapa yang menanam di tanah orang lain tanpa izin atau dengan izin dalam bentuk kerja sama (muzara’ah).

Hadis pertama (No. 11742):
Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa menanam di tanah suatu kaum tanpa izin mereka, maka dia tidak memiliki hak atas tanaman tersebut, namun biaya yang telah dikeluarkan akan dikembalikan kepadanya.”

Riwayat lain:
Dalam riwayat lain disebutkan: “Dia berhak atas biaya yang dikeluarkan, tetapi tidak memiliki hak atas hasil tanaman.”

Hadis kedua (No. 11743):
Diriwayatkan dengan sanad lain, disebutkan hal yang sama sebagaimana hadis pertama.

Hadis ketiga (No. 11744):
Diceritakan oleh Rafi’ bin Khadij bahwa Rasulullah ﷺ melewati tanah yang sedang disirami oleh Rafi’. Ketika ditanya oleh Rasulullah, Rafi’ menjelaskan bahwa tanah tersebut milik Bani Fulan, tetapi tanaman dibagi setengah untuknya dan setengah untuk pemilik tanah. Rasulullah ﷺ memerintahkan agar Rafi’ meninggalkan tanah tersebut, mengembalikan tanah kepada pemiliknya, dan mengambil kembali biaya yang telah dikeluarkannya.

Hadis keempat (No. 11745):
Riwayat dari Sa’id bin Musayyib yang mengutip peristiwa di mana Rasulullah ﷺ mendapati tanaman yang ditanam di tanah milik orang lain tanpa izin. Rasulullah ﷺ memerintahkan agar tanaman diambil oleh pihak yang menanam, dan biaya pengelolaan tanah dikembalikan.

Penilaian Terhadap Kualitas Hadis:

Para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan hadis-hadis ini. Sebagian ulama hadis seperti Imam Bukhari, Abu Sulaiman Al-Khattabi, dan lainnya menyatakan bahwa hadis-hadis ini memiliki kelemahan dalam sanadnya. Penyebab kelemahan meliputi: Perawi hadis yang diperselisihkan, seperti Syarik bin Abdullah dan Qais bin Ar-Rabi’. Sanad yang terputus (munqathi’), karena ‘Atha’ tidak mendengar langsung dari Rafi’ bin Khadij. Perawi yang dianggap lemah, seperti ‘Uqbah bin Al-Asham dan Bukair bin ‘Amir.

Pendapat Ulama Fikih:

Mayoritas fuqaha (ulama fikih) berpendapat bahwa tanaman mengikuti benih, bukan tanah. Artinya, siapa yang menanam, dialah pemilik tanaman, meskipun di tanah orang lain. Namun, hak atas tanah tetap menjadi milik pemilik tanah. Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Buwaiti menyatakan bahwa hadis ini munqathi’ (terputus), sehingga tidak bisa dijadikan dasar hukum.

Catatan

Hukum utama: Tidak diperbolehkan menanam di tanah orang lain tanpa izin pemiliknya. Jika terjadi: Penanam tidak memiliki hak atas hasil tanaman. Penanam berhak mendapat ganti atas biaya yang telah dikeluarkan. Keabsahan hadis: Sebagian besar hadis dalam bab ini dinilai lemah atau terputus oleh para ahli hadis, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah yang kuat. Namun, prinsip hukum ini tetap berlaku berdasarkan kaidah umum dalam Islam terkait hak milik dan larangan mengambil hak orang lain tanpa izin.

كتاب شرح سنن أبي داود للعبادى( عبد المحسن العباد )
ص:  ٢٦

حكم من زرع في أرض غيره]
السؤال
إن لم يوافق صاحب الأرض على ما فعله ذلك الغاصب من الزرع في أرضه، فهل النفقة تكون لصاحب الأرض؟
الجواب
ورد الحديث بأن يكون للغاصب النفقة، وإذا حصلت خصومة ذهبوا إلى القاضي.

[Hukum Orang yang Menanam di Tanah Orang Lain]

Pertanyaan: Jika pemilik tanah tidak menyetujui tindakan orang yang menanam di tanahnya secara paksa, apakah biaya (yang dikeluarkan) menjadi tanggung jawab pemilik tanah?

Jawaban: Diriwayatkan dalam hadis bahwa biaya tersebut menjadi tanggung jawab si penggarap (yang menanam secara paksa). Namun, jika terjadi perselisihan, masalah ini akan dibawa kepada hakim.

روضة الطالبين وعمدة المفتين ج٤ ص

٤٤١ فَصْلٌ إِذَا حَمَلَ السَّيْلُ حَبَّاتٍ أَوْ نَوًى لِغَيْرِهِ إِلَى أَرْضِهِ، لَزِمَهُ رَدُّهَا إِلَى مَالِكِهَا إِنْ عَرَفَهُ، وَإِلَّا فَيَدْفَعُهَا إِلَى الْقَاضِي، وَلَوْ نَبَتَتْ فِي أَرْضِهِ، فَوَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: لَا يُجْبَرُ مَالِكُهَا عَلَى قَلْعِهَا؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَعَدٍّ. فَعَلَى هَذَا، هُوَ مُسْتَعِيرٌ، فَيُنْظَرُ فِي النَّابِتِ أَهُوَ شَجَرٌ، أَمْ زَرْعٌ؟ وَيَكُونُ الْحُكْمُ عَلَى مَا سَبَقَ. وَأَصَحُّهُمَا: يُجْبَرُ؛ لِأَنَّ الْمَالِكَ لَمْ يَأْذَنْ، فَهُوَ كَمَا لَوِ انْتَشَرَتْ أَغْصَانُ شَجَرَةٍ فِي هَوَاءِ دَارِ غَيْرِهِ، فَلَهُ قَطْعُهَا. وَلَوْ حَمَلَ مَا لَا قِيمَةَ لَهُ، كَنَوَاةٍ وَاحِدَةٍ، أَوْ حَبَّةٍ، فَهَلْ هِيَ لِمَالِكِ الْأَرْضِ لِأَنَّ التَّقَوُّمَ حَصَلَ فِي مِلْكِهِ؟ أَمْ لِمَالِكِ الْحَبَّةِ لِأَنَّهَا كَانَتْ مُحَرَّمَةَ الْأَخْذِ؟ وَجْهَانِ. فَعَلَى الثَّانِي: فِي قَلْعِ النَّابِتِ، الْوَجْهَانِ. قُلْتُ: الْأَصَحُّ: كَوْنُهَا لِمَالِكِ الْحَبَّةِ، وَهَذَا فِي حَبَّةٍ وَنَوَاةٍ لَمْ يُعْرِضْ عَنْهَا مَالِكُهَا، أَمَّا إِذَا أَعْرَضَ عَنْهَا أَوْ أَلْقَاهَا، فَيَنْبَغِي الْقَطْعُ بِكَوْنِهَا لِصَاحِبِ الْأَرْضِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ. وَلَوْ قَلَعَ صَاحِبُ الشَّجَرَةِ شَجَرَتَهُ، لَزِمَهُ تَسْوِيَةُ الْأَرْضِ؛ لِأَنَّهُ لِتَخْلِيصِ مِلْكِهِ.

Fasal

Jika air bah membawa butiran biji atau biji kurma milik orang lain ke tanahnya, maka ia wajib mengembalikannya kepada pemiliknya jika ia mengetahuinya. Jika tidak, maka ia harus menyerahkannya kepada hakim. Jika biji tersebut tumbuh di tanahnya, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama menyatakan bahwa pemiliknya tidak dipaksa untuk mencabutnya, karena ia tidak melakukan pelanggaran. Berdasarkan pendapat ini, ia dianggap sebagai peminjam (pengguna tanpa izin), sehingga perlu ditinjau apakah yang tumbuh itu berupa pohon atau tanaman, dan hukumnya mengikuti ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya.

Pendapat yang lebih sahih menyatakan bahwa pemiliknya wajib mencabutnya, karena pemilik tanah tidak memberikan izin. Ini serupa dengan kasus cabang pohon yang menjulur ke udara halaman milik orang lain, sehingga pemilik halaman berhak untuk memotongnya.

Jika air bah membawa sesuatu yang tidak memiliki nilai, seperti sebutir biji kurma atau sebutir biji tanaman, maka ada dua pendapat:

Apakah ia menjadi milik pemilik tanah, karena nilai ekonominya baru muncul setelah berada di propertinya? Ataukah tetap milik pemilik biji, karena sebelumnya pengambilannya dilarang?

Berdasarkan pendapat kedua, dalam hal pencabutan tanaman yang tumbuh, terdapat dua pendapat.

Aku (Imam Nawawi) berkata: Pendapat yang lebih sahih adalah bahwa biji tersebut tetap milik pemilik aslinya, selama ia belum berpaling atau membuangnya. Namun, jika pemiliknya telah membuangnya atau tidak lagi menginginkannya, maka seharusnya dipastikan bahwa biji itu menjadi milik pemilik tanah. Wallahu a’lam.

Jika pemilik pohon mencabut pohonnya, maka ia wajib meratakan kembali tanah tersebut, karena hal itu termasuk dalam tindakan menyelamatkan kepemilikannya.

فتوى إبن صالح ج٢ص ٥٩٣

٦٩٨ – مَسْأَلَة إِذا وصل رجل غصنا من شجرته شَجَرَة غَيره فوصلته فثمرة تِلْكَ الغصنة لمن يكون

قَالَ لَا يجوز للْغَيْر أَن يَفْعَله فَإِن فعله دون إِذن مَالك الشَّجَرَة ليقلعه مجَازًا فَإِن لم يقْلع حَتَّى أثمرت فثمرة تِلْكَ الغصنة لمَالِك الغصنة لَا لمَالِك الشَّجَرَة كمن غرس فِي أَرض الْغَيْر فثمرة الشَّجَرَة لمَالِك الشَّجَرَة لَا لمَالِك الأَرْض وَإِن وصل بِإِذن الْمَالِك ثمَّ بدا لمَالِك قطع الغصنة لَيْسَ لَهُ ذَلِك مجَّانا بل يَنْبَغِي أَن تخير بَين أحد الشَّيْئَيْنِ إِمَّا أَن يقر بالإجرة أَو يقلعه بِأَرْش النُّقْصَان أما التَّمَلُّك بِالْقيمَةِ فَلَا كَمَا لَو أعَار رَأس جِدَاره من رجل فَبنى عَلَيْهِ يتَخَيَّر بَين أَن يقلعه بِأَرْش النُّقْصَان أَو يقره لاأجرة وَلَيْسَ لَهُ أَن يتَمَلَّك بِالْقيمَةِ بِخِلَاف مَا لَو غرس فِي أرضه بِإِذْنِهِ لِأَن الْغِرَاس يكون تَابعا للْأَرْض وَالْبناء لَا يكون تَابعا للْبِنَاء والغصن للشجرة

Masalah 698 – Jika seseorang menyambungkan cabang dari pohonnya ke pohon milik orang lain, lalu cabang itu tumbuh, maka buah dari cabang tersebut menjadi milik siapa?

Ibnu Utsaimin menjawab: Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk melakukan hal ini tanpa izin pemilik pohon. Jika ia melakukannya tanpa izin, maka pemilik pohon berhak mencabutnya sebagai tindakan yang dibolehkan. Jika cabang itu tidak dicabut hingga berbuah, maka buah dari cabang tersebut menjadi milik pemilik cabang, bukan pemilik pohon. Ini serupa dengan seseorang yang menanam pohon di tanah milik orang lain; buah dari pohon tersebut tetap menjadi milik pemilik pohon, bukan pemilik tanah.

Namun, jika penyambungan dilakukan dengan izin pemilik pohon, lalu pemilik pohon ingin memotong cabang tersebut, ia tidak boleh melakukannya secara cuma-cuma. Sebaliknya, ia harus memilih salah satu dari dua opsi:

Membiarkan cabang itu tetap tumbuh dengan memberikan upah sewa. Mencabutnya dengan membayar ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan.

Adapun pemilik pohon tidak boleh memiliki cabang tersebut dengan membayarnya sesuai harga (nilai cabang itu), sebagaimana dalam kasus seseorang yang meminjamkan bagian atas temboknya kepada orang lain untuk dibangun di atasnya. Dalam kasus ini, ia harus memilih antara mencabutnya dengan membayar ganti rugi atas kerusakan atau membiarkannya tanpa meminta upah.

 

Namun, berbeda dengan kasus seseorang yang menanam di tanah orang lain dengan izin pemilik tanah. Dalam hal ini, tanaman menjadi bagian dari tanah, sedangkan bangunan tidak otomatis menjadi bagian dari bangunan lain, dan cabang tetap menjadi bagian dari pohon asalnya.

Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Meninggalkan Shalat karena Malas dalam Islam

 

Assalamualaikum.

Deskripsi/Latar Belakang:

Sholat merupakan salah satu kewajiban utama dalam Islam yang menjadi pilar kedua dari rukun Islam. Sholat lima waktu wajib dilakukan oleh setiap Muslim yang telah baligh, berakal, dan tidak memiliki uzur syar’i. Kewajiban ini ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad ﷺ, di antaranya dalam firman Allah:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ كَانَتْ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ كِتَٰبًۭا مَّوْقُوتًۭا

“Sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103).

Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit umat Islam yang meninggalkan sholat karena alasan tertentu, termasuk karena malas. Rasa malas ini dapat muncul akibat lemahnya keimanan, terbiasa menunda-nunda, atau kurangnya kesadaran akan pentingnya sholat sebagai ibadah yang menentukan kualitas hubungan seseorang dengan Allah.

Meninggalkan sholat karena malas sering menjadi permasalahan besar dalam kehidupan beragama. Dalam pandangan syariat, meninggalkan sholat dengan sengaja memiliki konsekuensi serius, baik dari sisi akidah maupun hukuman.

Pertanyaannya

1.Bagaimana hukum seseorang meninggalkan sholat lima waktu menurut madzhab yang empat,

2.Membunuh orang muslim hukumnya haram tapi bagaimana dengan membunuh muslim yang meninggalkan shalat karena malas ?

Waalaikumsalam salam

1. Hukum Meninggalkan Shalat karena Malas Menurut Mazhab Empat

Mazhab Hanafiyah:

Orang yang meninggalkan shalat karena malas dihukumi sebagai fasiq (pelaku dosa besar). Ia tidak dihukum mati, tetapi diberi hukuman ta‘zir dan dipenjara hingga ia bertaubat atau meninggal dunia.

Mazhab Maliki dan Syafi’i:
Orang yang meninggalkan shalat tetap dianggap muslim, tetapi berdosa besar. Hukuman bagi mereka adalah hukuman mati sebagai ta’zir (dalam pengaturan pemerintah), jika setelah diingatkan ia tetap enggan melaksanakan shalat.

Mazhab Hanbali:
Meninggalkan shalat dianggap sebagai kekufuran besar yang mengeluarkan seseorang dari Islam. Jika ia tidak bertaubat setelah diingatkan, maka hukumannya adalah hukuman mati.

2. Hukum Membunuh Muslim yang Meninggalkan Shalat karena Malas

Membunuh seorang muslim tanpa otoritas syar’i adalah haram, sebagaimana firman Allah:

وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًۭا مُّتَعَمِّدًۭا فَجَزَآؤُهُۥ جَهَنَّمُ خَـٰلِدًۭا فِيهَا

“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, ia kekal di dalamnya.”
(QS. An-Nisa: 93)
Namun, untuk pelaku yang meninggalkan shalat:

Dalam Pandangan Syariat:
Hukuman mati hanya dapat dijatuhkan oleh pemerintah atau hakim syar’i berdasarkan hukum Islam. Individu dilarang mengeksekusi hukuman sendiri.

Pendapat Ulama tentang Hukuman:

Imam Syafi’i: Jika seseorang meninggalkan shalat dengan mengakui kewajibannya tetapi tetap enggan melaksanakan, ia diberi waktu untuk bertaubat. Jika menolak, ia dihukum mati sebagai bentuk ta’zir.

Mazhab Hanbali: Meninggalkan shalat dianggap murtad. Jika tetap meninggalkan setelah diingatkan, hukumannya adalah mati sebagai bentuk hadd (hukuman tetap).

Dalil-dalil yang Mendukung Pandangan Ini

Dari Al-Qur’an:

فَخَلَفَ مِنۢ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلشَّهَوَٰتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّۭا
(مريم: ٥٩).

“Maka datanglah setelah mereka pengganti yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”QS. Maryam: 59:

{وَأَقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَلَا تَكُونُوا۟ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ}
(الروم: ٣١).

“Dan hendaknya mereka mendirikan shalat dan janganlah menjadi orang-orang yang musyrik.”
QS. Ar-Rum: 31:

Dari Hadits:

قال النبي ﷺ:
“إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ”
(رواه مسلم، رقم ٨٢).

Nabi ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya pembatas antara seseorang dengan syirik dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.”
(HR. Muslim no. 82)

حديث أنس بن مالك:
“إِذَا سَمِعْنَا الأَذَانَ لَمْ نُغِرْ عَلَيْهِمْ، وَإِنْ لَمْ نَسْمَعْهُ أَغَرْنَا عَلَيْهِمْ”
(رواه البخاري، رقم ٦١٠؛ ومسلم، رقم ١٣٦).

Hadits Anas bin Malik:
“Jika terdengar adzan, maka kami tidak menyerang mereka. Namun, jika tidak terdengar, maka kami serang.”
(HR. Bukhari no. 610, Muslim no. 1365)

Pendapat Sahabat:

قال عبد الله بن شقيق:
“كان أصحاب رسول الله ﷺ لا يرون شيئًا من الأعمال تركه كفر إلا الصلاة”
(رواه الترمذي، رقم ٢٦٢٢).

Abdullah bin Syaqiq berkata:
“Para sahabat Nabi tidak memandang ada amalan yang jika ditinggalkan menyebabkan kekufuran kecuali shalat.”
(HR. Tirmidzi no. 2622)

Kesimpulan

Meninggalkan shalat karena malas adalah dosa besar dengan hukuman yang bergantung pada pendapat mazhab:

Tidak kafir menurut jumhur ulama (Syafi’i, Maliki, Hanafi) tetapi tetap mendapatkan hukuman berat.

Dianggap kafir oleh Mazhab Hanbali.

Eksekusi hukuman terhadap pelaku hanya boleh dilakukan oleh pemerintah yang berwenang dalam penerapan syariat. Individu tidak diperkenankan melakukan pembunuhan atas dasar pribadi.

Nasihat dan Dakwah:
Orang yang meninggalkan shalat wajib diingatkan, didakwahi, dan diberi kesempatan bertaubat sebelum hukuman dijatuhkan.

Wallahu a’lam.

TAMBAHAN REFERENSI:

الموسوعة الفقهية الكويتيه ص ٥٣-٥٤

حُكْمُ تَارِكِ الصَّلاَةِ:

٥ – لِتَارِكِ الصَّلاَةِ حَالَتَانِ: إِمَّا أَنْ يَتْرُكَهَا جُحُودًا لِفَرْضِيَّتِهَا، أَوْ تَهَاوُنًا وَكَسَلاً لاَ جُحُودًا. فَأَمَّا الْحَالَةُ الأُْولَى: فَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ تَارِكَ الصَّلاَةِ جُحُودًا لِفَرْضِيَّتِهَا كَافِرٌ مُرْتَدٌّ يُسْتَتَابُ، فَإِنْ تَابَ وَإِلاَّ قُتِل كُفْرًا كَجَاحِدِ كُل مَعْلُومٍ مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ، وَمِثْل ذَلِكَ مَا لَوْ جَحَدَ رُكْنًا أَوْ شَرْطًا مُجْمَعًا عَلَيْهِ. وَاسْتَثْنَى الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ مِنْ ذَلِكَ مَنْ أَنْكَرَهَا جَاهِلاً لِقُرْبِ عَهْدِهِ بِالإِْسْلاَمِ أَوْ نَحْوِهِ فَلَيْسَ مُرْتَدًّا، بَل يَعْرِفُ الْوُجُوبَ، فَإِنْ عَادَ بَعْدَ ذَلِكَ صَارَ مُرْتَدًّا. وَأَمَّا الْحَالَةُ الثَّانِيَةُ: فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيهَا – وَهِيَ: تَرْكُ الصَّلاَةِ تَهَاوُنًا وَكَسَلاً لاَ جُحُودًا – فَذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ يُقْتَل حَدًّا أَيْ أَنَّ حُكْمَهُ بَعْدَ الْمَوْتِ حُكْمُ الْمُسْلِمِ فَيُغَسَّل، وَيُصَلَّى عَلَيْهِ، وَيُدْفَنُ مَعَ الْمُسْلِمِينَ؛ لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِل النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُول اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ، فَإِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلاَّ بِحَقِّ الإِْسْلاَمِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ (١) وَلأَِنَّهُ تَعَالَى أَمَرَ بِقَتْل الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ قَال: {فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَآتَوْا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ (٢) } وَقَال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَمْسُ صَلَوَاتٍ كَتَبَهُنَّ اللَّهُ عَلَى الْعِبَادِ فَمَنْ جَاءَ بِهِنَّ لَمْ يُضَيِّعْ مِنْهُنَّ شَيْئًا اسْتِخْفَافًا بِحَقِّهِنَّ كَانَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، وَمَنْ لَمْ يَأْتِ بِهِنَّ فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَهْدٌ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ وَإِنْ شَاءَ أَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ (٣) فَلَوْ كَفَرَ لَمْ يَدْخُل تَحْتَ الْمَشِيئَةِ. وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّ تَارِكَ الصَّلاَةِ تَكَاسُلاً عَمْدًا فَاسِقٌ لاَ يُقْتَل بَل يُعَزَّرُ وَيُحْبَسُ حَتَّى يَمُوتَ أَوْ يَتُوبَ. وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ: إِلَى أَنَّ تَارِكَ الصَّلاَةِ تَكَاسُلاً يُدْعَى إِلَى فِعْلِهَا وَيُقَال لَهُ: إِنْ صَلَّيْتَ وَإِلاَّ قَتَلْنَاكَ، فَإِنْ صَلَّى وَإِلاَّ وَجَبَ قَتْلُهُ وَلاَ يُقْتَل حَتَّى يُحْبَسَ ثَلاَثًا وَيُدْعَى فِي وَقْتِ كُل صَلاَةٍ، فَإِنْ صَلَّى وَإِلاَّ قُتِل حَدًّا، وَقِيل كُفْرًا، أَيْ لاَ يُغَسَّل وَلاَ يُصَلَّى عَلَيْهِ وَلاَ يُدْفَنُ فِي مَقَابِرِ الْمُسْلِمِينَ. لَكِنْ لاَ يُرَقُّ وَلاَ يُسْبَى لَهُ أَهْلٌ وَلاَ وَلَدٌ كَسَائِرِ الْمُرْتَدِّينَ

Hukum Orang yang Meninggalkan Shalat

Orang yang meninggalkan shalat memiliki dua keadaan:

Meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya. Meninggalkan shalat karena malas dan lalai tanpa mengingkari kewajibannya. Keadaan Pertama:

Para ulama sepakat bahwa orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya dihukumi sebagai kafir murtad. Ia diminta bertaubat, dan jika ia tidak bertaubat maka ia dibunuh dalam keadaan kafir, sebagaimana hukuman bagi siapa saja yang mengingkari perkara agama yang telah diketahui secara pasti (ma‘lum min ad-din bi ad-dharurah).
Demikian pula, orang yang mengingkari rukun atau syarat yang telah disepakati dalam shalat.

Namun, mazhab Syafi‘iyah dan Hanabilah memberikan pengecualian bagi orang yang mengingkari kewajiban shalat karena ketidaktahuan, seperti orang yang baru masuk Islam atau orang yang serupa dengannya. Orang tersebut tidak dianggap murtad, tetapi ia diberitahu tentang kewajibannya. Jika setelah diberitahu ia tetap mengingkari, maka ia dianggap murtad.

Keadaan Kedua:

Meninggalkan shalat karena malas dan lalai tanpa mengingkari kewajibannya.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum orang yang berada dalam keadaan ini:

Mazhab Malikiyah dan Syafi‘iyah:
Orang yang meninggalkan shalat karena malas atau lalai dihukum dengan hukuman mati sebagai had (sanksi syar‘i), tetapi ia tetap dianggap sebagai seorang muslim. Setelah wafat, jenazahnya dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan di pemakaman kaum muslimin.
Dalil mereka adalah sabda Nabi ﷺ:

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan itu, maka mereka telah menjaga darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam, dan perhitungan mereka ada pada Allah.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Juga firman Allah Ta‘ala:

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka lepaskanlah mereka.”
(QS. At-Taubah: 5)

Selain itu, Nabi ﷺ bersabda:

“Lima shalat yang Allah wajibkan atas hamba-Nya. Barang siapa yang menunaikannya tanpa meremehkan haknya, maka baginya janji Allah untuk memasukkannya ke surga. Namun, barang siapa yang tidak menunaikannya, maka ia tidak memiliki janji dengan Allah; jika Dia berkehendak, Dia mengazabnya, dan jika Dia berkehendak, Dia memasukkannya ke surga.”
(HR. Abu Dawud dan An-Nasa’i)

Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena malas tidak dihukumi kafir, karena ia masih berada di bawah kehendak Allah.

Mazhab Hanafiyah:
Orang yang meninggalkan shalat karena malas dihukumi sebagai fasiq (pelaku dosa besar). Ia tidak dihukum mati, tetapi diberi hukuman ta‘zir dan dipenjara hingga ia bertaubat atau meninggal dunia.

Mazhab Hanabilah:
Orang yang meninggalkan shalat karena malas dipanggil untuk melaksanakan shalat. Jika ia tetap tidak mau shalat, maka ia dihukum mati. Ia tidak langsung dihukum mati, tetapi terlebih dahulu ditahan selama tiga hari, dan setiap waktu shalat ia diajak untuk bertaubat. Jika ia masih tidak mau shalat, maka ia dihukum mati.

Dalam hal status hukumnya setelah wafat, ada dua pendapat di kalangan Hanabilah:

Pendapat pertama: Ia dihukum mati sebagai had, dan statusnya tetap sebagai seorang muslim. Jenazahnya dimandikan, dishalatkan, dan dikuburkan di pemakaman muslimin. Pendapat kedua: Ia dihukumi kafir. Oleh karena itu, jenazahnya tidak dimandikan, tidak dishalatkan, dan tidak dikuburkan di pemakaman muslimin. Namun, keluarganya tidak diperbudak, dan anak-anaknya tidak dijadikan tawanan sebagaimana perlakuan terhadap orang murtad pada umumnya.

شرح سلم التوفيق ص ١٨
“ويجب على ولاة الأمر من الإمام أو نائبه (قتل تارك الصلاة) أو تارك شرط من شروطها المجمع عليها أو كن من أركانها كذلك ودخل فيها الجمعة في محل الإجماع عليها (كلا) أي تساهلا وتهاونا بأن يعد ذلك سهلا هينا (إن لم يتب) أي لم يمتثل الأمر ولم يصل ويتوعد بالقتل إن تركها فإن فعلها بعد ذلك ترك وإلا قتل بضرب عنقه بنحو السيف ولا يقتل بالفائتة إلا إن توعد على تركها قبل وإذا قال صليت قبل منه وإن كان جالسا عندنا ولم نشاهد ذلك منه فلا يعتد بقتل الاحتمال إنه طرأ عذر جوز له الصلاة بالإيماء بخلاف ما لو قال صليت في الحجر لا يقبل منه لأنه من خوارق العادات التي لا يعتد بها شرعًا”

“Dan wajib bagi para pemimpin (imam atau wakilnya) untuk (membunuh orang yang meninggalkan shalat) atau orang yang meninggalkan syarat-syarat shalat yang telah disepakati atau rukun-rukunnya, dan termasuk di dalamnya shalat Jumat di tempat yang telah disepakati (keduanya). Artinya, bersikap lalai dan meremehkan dengan menganggap hal itu mudah dan ringan (jika tidak bertaubat), yaitu tidak mematuhi perintah dan tidak shalat, dan mengancam dengan hukuman mati jika dia meninggalkannya. Jika dia melakukannya setelah itu dan meninggalkannya lagi, maka dia dibunuh dengan cara dipenggal lehernya dengan pedang, dan tidak dibunuh karena meninggalkan shalat yang telah lewat kecuali jika dia telah mengancam untuk meninggalkannya sebelumnya. Dan jika dia mengatakan telah shalat, maka hal itu diterima darinya meskipun dia sedang duduk di hadapan kita dan kita tidak melihatnya melakukan shalat, karena kita tidak dapat menghukumi dengan dugaan bahwa dia sedang dalam keadaan uzur sehingga dibolehkan baginya untuk shalat dengan isyarat. Berbeda halnya jika dia mengatakan telah shalat di atas batu, hal itu tidak diterima darinya karena termasuk dalam kategori hal-hal yang aneh yang tidak dapat dijadikan dasar hukum.”
Penjelasan Singkat:
Ibarat di atas membahas tentang hukum bagi orang yang meninggalkan shalat dan kewajiban pemimpin dalam menegakkan hukum tersebut. Inti dari teks ini adalah:
✅Hukuman bagi yang meninggalkan shalat: Ibarat ini menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat atau syarat-syarat shalat yang telah disepakati harus dibunuh.
✅ Syarat-syarat pembunuhan: Pembunuhan hanya boleh dilakukan jika orang tersebut tidak bertaubat dan terus-menerus meninggalkan shalat.
✅ Pengecualian: Ada beberapa pengecualian dalam penerapan hukum ini, misalnya jika seseorang mengaku telah shalat namun tidak dapat dibuktikan, maka dia tidak dapat dihukum

الأم الشافعى ص ٢٩١- ٢٩٢

الْحُكْمُ فِي تَارِكِ الصَّلَاةِ.
أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ قَالَ قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -: مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ مِمَّنْ دَخَلَ فِي الْإِسْلَامِ قِيلَ لَهُ لِمَ لَا تُصَلِّي؟ فَإِنْ ذَكَرَ نِسْيَانًا قُلْنَا فَصَلِّ إذَا ذَكَرْت، وَإِنْ ذَكَرَ مَرَضًا قُلْنَا فَصَلِّ كَيْفَ أَطَقْت قَائِمًا أَوْ قَاعِدًا أَوْ مُضْطَجِعًا أَوْ مُومِيًا فَإِنْ قَالَ أَنَا أُطِيقُ الصَّلَاةَ، وَأُحْسِنُهَا، وَلَكِنْ لَا أُصَلِّي وَإِنْ كَانَتْ عَلَيَّ فَرْضًا قِيلَ لَهُ الصَّلَاةُ عَلَيْك شَيْءٌ لَا يَعْمَلُهُ عَنْك غَيْرُك، وَلَا تَكُونُ إلَّا بِعَمَلِك فَإِنْ صَلَّيْت، وَإِلَّا اسْتَتَبْنَاك فَإِنْ تُبْت، وَإِلَّا قَتَلْنَاك فَإِنَّ الصَّلَاةَ أَعْظَمُ مِنْ الزَّكَاةِ، وَالْحُجَّةُ فِيهَا مَا وَصَفْت مِنْ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ ” لَوْ مَنَعُونِي عِقَالًا مِمَّا أَعْطَوْا رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَقَاتَلْتهمْ عَلَيْهِ لَا تُفَرِّقُوا بَيْنَ مَا جَمَعَ اللَّهُ.
(قَالَ الشَّافِعِيُّ): يَذْهَبُ فِيمَا أَرَى، وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ إلَى قَوْلِ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: {وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ}: وَأَخْبَرَ أَبُو بَكْرٍ أَنَّهُ إنَّمَا يُقَاتِلُهُمْ عَلَى الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ، وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَاتَلُوا مَنْ مَنَعَ الزَّكَاةَ إذْ كَانَتْ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللَّهِ جَلَّ ثَنَاؤُهُ، وَنَصَبَ دُونَهَا أَهْلُهَا فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى أَخْذِهَا مِنْهُمْ طَائِعِينَ، وَلَمْ يَكُونُوا مَقْهُورِينَ عَلَيْهَا فَتُؤْخَذُ مِنْهُمْ كَمَا تُقَامُ عَلَيْهِمْ الْحُدُودُ كَارِهِينَ وَتُؤْخَذُ أَمْوَالُهُمْ لِمَنْ وَجَبَتْ لَهُ بِزَكَاةٍ أَوْ دَيْنٍ كَارِهِينَ أَوْ غَيْرَ كَارِهِينَ فَاسْتَحَلُّوا قِتَالَهُمْ وَالْقِتَالُ سَبَبُ الْقَتْلِ فَلَمَّا كَانَتْ الصَّلَاةُ، وَإِنْ كَانَ تَارِكُهَا فِي أَيْدِينَا غَيْرَ مُمْتَنِعٍ مِنَّا فَإِنَّا لَا نَقْدِرُ عَلَى أَخْذِ الصَّلَاةِ مِنْهُ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ بِشَيْءٍ يُؤْخَذُ مِنْ يَدَيْهِ مِثْلُ اللُّقَطَةِ، وَالْخَرَاجِ، وَالْمَالِ.
قُلْنَا إنْ صَلَّيْت، وَإِلَّا قَتَلْنَاك كَمَا يُفَكِّرُ فَنَقُولُ إنْ قَبِلْت الْإِيمَانَ، وَإِلَّا قَتَلْنَاك إذْ كَانَ الْإِيمَانُ لَا يَكُونُ إلَّا بِقَوْلِك، وَكَانَتْ الصَّلَاةُ، وَالْإِيمَانُ مُخَالِفَيْنِ مَعًا مَا فِي يَدَيْك، وَمَا نَأْخُذُ مِنْ مَالِك لِأَنَّا نَقْدِرُ عَلَى أَخْذِ الْحَقِّ مِنْك فِي ذَلِكَ، وَإِنْ كَرِهْت فَإِنْ شَهِدَ عَلَيْهِ شُهُودٌ أَنَّهُ تَرَكَ الصَّلَاةَ سُئِلَ عَمَّا قَالُوا فَإِنْ قَالَ كَذَبُوا، وَقَدْ يُمْكِنُهُ أَنْ يُصَلِّيَ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ صُدِّقَ، وَإِنْ قَالَ نَسِيت صُدِّقَ وَكَذَلِكَ لَوْ شَهِدُوا أَنَّهُ صَلَّى جَالِسًا، وَهُوَ صَحِيحٌ فَإِنْ قَالَ: أَنَا مَرِيضٌ أَوْ تَطَوَّعْت صُدِّقَ (قَالَ الشَّافِعِيُّ): وَقَدْ قِيلَ يُسْتَتَابُ تَارِكُ الصَّلَاةِ ثَلَاثًا، وَذَلِكَ إنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى حَسَنٌ فَإِنْ صَلَّى فِي الثَّلَاثِ، وَإِلَّا قُتِلَ، وَقَدْ خَالَفَنَا بَعْضُ النَّاسِ فِيمَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ إذَا أُمِرَ بِهَا، وَقَالَ: لَا أُصَلِّيهَا فَقَالَ: لَا يُقْتَلُ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: أَضْرِبُهُ وَأَحْبِسُهُ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ أَحْبِسُهُ، وَلَا أَضْرِبُهُ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَضْرِبُهُ، وَلَا أَحْبِسُهُ، وَهُوَ أَمِينٌ عَلَى صَلَاتِهِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ): فَقُلْت لِمَنْ يَقُولُ لَا أَقْتُلُهُ: أَرَأَيْت الرَّجُلَ تَحْكُمُ عَلَيْهِ بِحُكْمٍ بِرَأْيِك وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْفِقْهِ فَيَقُولُ قَدْ أَخْطَأْت الْحُكْمَ، وَوَاللَّهِ لَا أُسَلِّمُ مَا حَكَمْت بِهِ لِمَنْ حَكَمْت لَهُ قَالَ فَإِنْ قَدَرْتُ عَلَى أَخْذِهِ مِنْهُ أَخَذْتُهُ مِنْهُ، وَلَمْ أَلْتَفِتْ إلَى قَوْلِهِ، وَإِنْ لَمْ أَقْدِرْ، وَنَصَبَ دُونَهُ قَاتَلْتُهُ حَتَّى آخُذَهُ أَوْ أَقْتُلَهُ فَقُلْت لَهُ: وَحُجَّتُك أَنَّ أَبَا بَكْرٍ قَاتَلَ مَنْ مَنَعَ الزَّكَاةَ، وَقَتَلَ مِنْهُمْ، قَالَ: نَعَمْ، قُلْت: فَإِنْ قَالَ لَك: الزَّكَاةُ فَرْضٌ مِنْ اللَّهِ لَا يَسَعُ جَهْلُهُ، وَحُكْمُك رَأْيٌ مِنْك يَجُوزُ لِغَيْرِك عِنْدَك، وَعِنْدَ غَيْرِك أَنْ يَحْكُمَ بِخِلَافِهِ فَكَيْفَ تَقْتُلُنِي عَلَى مَا لَسْت عَلَى ثِقَةٍ مِنْ أَنَّك أَصَبْت فِيهِ كَمَا تَقْتُلُ مَنْ مَنَعَ فَرْضَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي الزَّكَاةِ الَّذِي لَا شَكَّ فِيهِ؟ قَالَ: لِأَنَّهُ حَقٌّ عِنْدِي وَعَلَيَّ جَبْرُك عَلَيْهِ.
(قُلْت): قَالَ لَك، وَمَنْ قَالَ لَك إنَّ عَلَيْك جَبْرِي عَلَيْهِ؟ قَالَ: إنَّمَا وُضِعَ الْحُكَّامُ لِيُجْبِرُوا عَلَى مَا رَأَوْا (قُلْت): فَإِنْ قَالَ لَك: عَلَيَّ مَا حَكَمُوا بِهِ مِنْ حُكْمِ اللَّهِ أَوْ السُّنَّةِ أَوْ مَا لَا اخْتِلَافَ فِيهِ؟ قَالَ: قَدْ يَحْكُمُونَ بِمَا فِيهِ الِاخْتِلَافُ (قُلْت): فَإِنْ قَالَ: فَهَلْ سَمِعْت بِأَحَدٍ مِنْهُمْ قَاتَلَ عَلَى رَدِّ رَأْيِهِ فَتَقْتَدِي بِهِ؟ فَقَالَ: وَأَنَا لَمْ أَجِدْ هَذَا فَإِنِّي إذَا كَانَ لِي الْحُكْمُ فَامْتَنَعَ مِنْهُ قَاتَلْتُهُ عَلَيْهِ (قُلْت): وَمَنْ قَالَ لَك هَذَا؟ (وَقُلْت): أَرَأَيْت لَوْ قَالَ لَك قَائِلٌ: مَنْ ارْتَدَّ عَنْ الْإِسْلَامِ إذَا عَرَضْتَهُ عَلَيْهِ فَقَالَ قَدْ عَرَفْتُهُ، وَلَا أَقُولُ بِهِ أَحْبِسُهُ وَأَضْرِبُهُ حَتَّى يَقُولَ بِهِ قَالَ: لَيْسَ ذَلِكَ لَهُ لِأَنَّهُ قَدْ بَدَّلَ دِينَهُ، وَلَا يُقْبَلُ مِنْهُ إلَّا أَنْ يَقُولَ بِهِ قُلْت: أَفَتَعْدُو الصَّلَاةُ إذْ كَانَتْ مِنْ دِينِهِ، وَكَانَتْ لَا تَكُونُ إلَّا بِهِ كَمَا لَا يَكُونُ الْقَوْلُ بِالْإِيمَانِ إلَّا بِهِ أَنْ يُقْتَلَ عَلَى تَرْكِهَا أَوْ يَكُونَ أَمِينًا فِيهَا كَمَا قَالَ بَعْضُ أَصْحَابِك: فَلَا نَحْبِسُهُ، وَلَا نَضْرِبُهُ؟ قَالَ لَا يَكُونُ أَمِينًا عَلَيْهَا إذَا ظَهَرَ لِي أَنَّهُ لَا يُصَلِّيهَا، وَهِيَ حَقٌّ عَلَيْهِ قُلْت أَفَتَقْتُلُهُ بِرَأْيِك فِي الِامْتِنَاعِ مِنْ حُكْمِك بِرَأْيِك، وَتَدَعُ قَتْلَهُ فِي الِامْتِنَاعِ مِنْ الصَّلَاةِ الَّتِي هِيَ أَبْيَنُ مَا افْتَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ بَعْدَ تَوْحِيدِ اللَّهِ وَشَهَادَةِ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَالْإِيمَانِ بِمَا جَاءَ بِهِ مِنْ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

Hukum tentang Orang yang Meninggalkan Shalat
Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami bahwa Imam al-Syafi’i rahimahullah berkata: “Barang siapa yang meninggalkan shalat wajib setelah masuk Islam, maka ia ditanya, ‘Mengapa kamu tidak shalat?’ Jika ia menjawab karena lupa, maka kami katakan kepadanya, ‘Shalatlah ketika kamu ingat.’ Jika ia menyebutkan sakit, kami katakan, ‘Shalatlah sesuai kemampuanmu, baik berdiri, duduk, berbaring, atau dengan isyarat.’ Jika ia berkata, ‘Aku mampu shalat dan menguasainya, tetapi aku tidak mau shalat meskipun itu kewajibanku,’ maka ia diberitahu, ‘Shalat adalah kewajiban yang hanya bisa dilakukan oleh dirimu sendiri, tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Maka, shalatlah atau kami akan memintamu bertobat. Jika kamu bertobat, maka itu baik. Jika tidak, kami akan membunuhmu karena shalat lebih besar (urgensinya) daripada zakat.’”
Imam al-Syafi’i kemudian berkata: “Dalil tentang hal ini adalah apa yang telah aku sampaikan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Seandainya mereka menahan seutas tali (untuk zakat) yang dahulu mereka berikan kepada Rasulullah ﷺ, aku akan memerangi mereka karenanya. Janganlah kalian memisahkan antara apa yang Allah gabungkan.’”
Al-Syafi’i melanjutkan: “Menurutku, Allah Ta’ala lebih mengetahui, dalil dari firman-Nya: {Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat}. Abu Bakar menyampaikan bahwa ia akan memerangi mereka karena meninggalkan shalat dan zakat. Para sahabat Rasulullah ﷺ juga memerangi orang-orang yang tidak mau menunaikan zakat karena zakat adalah salah satu kewajiban Allah. Mereka memerangi mereka hingga dapat mengambil zakat tersebut. Namun, shalat berbeda. Orang yang meninggalkannya berada di bawah kekuasaan kita, tetapi kita tidak bisa mengambil shalat darinya karena shalat bukanlah sesuatu yang bisa diambil seperti harta, pajak, atau barang.”
Al-Syafi’i berkata: “Kami berkata kepadanya, ‘Shalatlah atau kami akan membunuhmu, sebagaimana kami berkata kepada seseorang yang menolak iman: ‘Berimanlah, atau kami akan membunuhmu.’ Karena iman tidak bisa terjadi kecuali dengan pengakuanmu, begitu pula shalat adalah ibadah yang hanya bisa dilakukan oleh dirimu sendiri.”
Pendapat dalam Menyikapi Orang yang Meninggalkan Shalat
Al-Syafi’i berkata: “Ada pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat diberi waktu untuk bertobat selama tiga hari. Jika ia shalat dalam waktu tersebut, maka ia dibiarkan hidup. Jika tidak, ia dibunuh. Pendapat ini, insyaAllah, adalah baik. Namun, sebagian ulama berbeda pendapat dengan kami terkait hukum ini. Ada yang berpendapat bahwa orang tersebut tidak dibunuh, melainkan hanya dipukul atau dipenjara. Ada juga yang mengatakan cukup dipenjara tanpa dipukul, atau bahkan tidak dipukul dan tidak dipenjara, karena ia dianggap amanah terhadap shalatnya.”
Imam al-Syafi’i menjawab pendapat ini dengan berkata: “Jika seseorang menolak keputusan hakim dengan alasan bahwa keputusan itu salah, maka hakim akan tetap mengambil haknya dengan paksa. Begitu pula, Abu Bakar memerangi orang yang tidak menunaikan zakat karena zakat adalah kewajiban yang jelas dari Allah, sedangkan shalat memiliki kedudukan yang lebih tinggi.”
Kesimpulan Imam al-Syafi’i
Al-Syafi’i menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat tanpa uzur wajib diberi peringatan dan diminta bertobat. Jika tetap tidak mau shalat, maka ia dihukum mati, karena meninggalkan shalat adalah pelanggaran besar terhadap kewajiban utama setelah iman kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ.Wallahu A’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Larangan Membaca Al-Qur’an Secara Terbalik: Pentingnya Mematuhi Urutan Ayat dalam Surat  Al-Qur’an

 

Assalamu alaikum wr wb.
Yth para masyayikh dan asatidz dan saudara”ku sekalian yang dirahmati alloh swt.
Apa hukum nya membaca yasin atau surat”yang lain di dalam alqu’an dengan dibaca bersama sama dengan di pimpin seorang ustadz ,tapi bacaan nya ada yang terputus putus atau ada yang di loncat” atau putus di tengah karena tidak kuat nafas
Ada yang utuh dan ada yang loncat” dari ayat 5 loncat ke ayat 7 karena takut ketinggalan jamaah yang lain

Terima kasih banyak

Wassalamu alaikum wr wb.

Waalaikum Salam.

Jawaban.

Susunan Ayat Al-Qur’an: Pentingnya Membaca Sesuai Urutan Susunan ayat Al-Qur’an memiliki keistimewaan berupa i’jaz, makna mendalam, hikmah, keagungan, dan keindahan yang tak tertandingi. Urutan ayat-ayat ini bukan sekadar kebetulan, melainkan memiliki arti besar yang mencerminkan kesempurnaan Al-Qur’an. Oleh karena itu, membaca Al-Qur’an harus dilakukan secara tertib sesuai urutan ayat agar i’jaz, makna, dan keindahannya tetap terjaga. Membaca Al-Qur’an secara terbalik, dari ayat terakhir menuju ayat pertama dalam sebuah surat, atau melompat-lompat tanpa tertib, merupakan tindakan yang dilarang. Hal ini dapat merusak susunan ayat, mencederai bangunan makna, dan menghilangkan keindahan serta hikmah yang terkandung di dalamnya. Imam An-Nawawi secara tegas mengingatkan bahwa membaca Al-Qur’an dengan urutan terbalik dilarang keras dalam agama. Beliau menjelaskan: “Adapun pembacaan surat dalam Al-Qur’an secara terbalik dari ayat terakhir ke ayat pertama dilarang keras karena praktik tersebut dapat menghilangkan sebagian jenis i‘jaz Al-Qur’an dan melenyapkan hikmah urutan ayat-ayat Al-Qur’an.” (Imam An-Nawawi, At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Qur’an, [Kairo, Darus Salam: 2020 M/1441 H], hlm. 85). Imam An-Nawawi juga mengutip pendapat dua ulama besar, yaitu Ibrahim An-Nakha’i (ulama dari generasi Tabi’in) dan Imam Malik, yang menilai pembacaan Al-Qur’an secara terbalik sebagai tindakan yang tidak disukai dan dianggap aib besar. Sebagaimana riwayat: “Ibnu Abi Dawud meriwayatkan Ibrahim An-Nakha’ dan Imam Malik bahwa keduanya tidak menyukai cara demikian (pembacaan Al-Qur’an dari ayat terakhir ke ayat pertama). Imam Malik menilai tindakan tersebut sebagai kekeliruan besar dan mengatakan, ‘Tindakan ini adalah kekeliruan besar.’” (An-Nawawi, 2020 M/1441 H: hlm. 85).

Kesimpulan

Susunan ayat-ayat Al-Qur’an bukanlah hal yang sia-sia. Setiap urutan mengandung hikmah, makna, dan keindahan yang saling terhubung. Membaca Al-Qur’an secara terbalik tidak hanya menghilangkan sebagian dari i’jaz Al-Qur’an, tetapi juga merusak makna dan keindahan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, umat Islam diharapkan menjaga kesucian dan kesempurnaan Al-Qur’an dengan membaca sesuai urutan ayat yang telah ditetapkan.

ترتيب آيات القرآن الكريم: أهمية القراءة وفق التسلسل

إن ترتيب آيات القرآن الكريم يحتوي على إعجاز ومعانٍ عميقة وحِكم وعظمة وجمال لا مثيل له. هذا الترتيب ليس مجرد صدفة، بل يحمل معاني عظيمة تعكس كمال القرآن الكريم. لذلك، يجب قراءة القرآن الكريم بترتيب منتظم وفق تسلسل الآيات للحفاظ على الإعجاز والمعنى والجمال الكامن فيه.

إن قراءة القرآن بشكل مقلوب، من الآية الأخيرة إلى الأولى داخل السورة، أو القراءة بالقفز بشكل غير منتظم، تعتبر من الأفعال المحرّمة. لأن ذلك يؤدي إلى الإخلال بترتيب الآيات، وتشويه بناء المعنى، وإفساد الجمال والحكمة الموجودة في النصوص. وقد أكد الإمام النووي على تحريم قراءة القرآن بترتيب مقلوب بشكل قاطع.

المراجع

(الإمام النووي، التبيان في آداب حملة القرآن، [القاهرة، دار السلام: ٢٠٢٠ م/١٤٤١ هـ]، ص ٨٥).

“وأما قراءة السورة منكوسة من آخرها إلى أولها فممنوع منعا مؤكدا فإنه يذهب بعض ضروب الإعجاز ويزيل حكمة ترتيب الآيات.”

(الإمام النووي، ٢٠٢٠ م/١٤٤١ هـ: ص ٨٥).
كما نقل الإمام النووي آراء اثنين من كبار العلماء، وهما إبراهيم النخعي (من علماء التابعين) والإمام مالك، حيث عبّرا عن رفضهما الشديد لهذا الفعل، واعتبراه عيباً كبيراً. وجاء في الرواية:

“وقد روى ابن أبي داود عن إبراهيم النخعي والإمام مالك أنهما كرها ذلك (قراءة القرآن من آخر الآيات إلى أولها). وكان الإمام مالك يعيب هذا الفعل ويقول: ‘هذا عظيم’.”

الخلاصة

إن ترتيب آيات القرآن الكريم ليس أمراً عبثياً، بل يحمل حكمة ومعاني وجمالاً متكاملاً. قراءة القرآن بترتيب مقلوب لا تقتصر على إفساد بعض جوانب الإعجاز القرآني، بل تُفسد كذلك معانيه وجماله الفريد. لذلك، يجب على المسلمين الحفاظ على قدسية وكمال القرآن الكريم  بقراءته وفق الترتيب الذي تم وضعه بعناية وحكمة إلهية

والله أعلم بالصواب.

Ketik Pencarian