Kategori
Hukum

Naik Haji dengan Berjalan Kaki Menurut Empat Mazhab

Assalamualaikum

Deskripsi:

Seorang Muslim melakukan perjalanan haji dengan berjalan kaki dari rumahnya hingga ke Makkah.Setelah melakukan rukun-rukun haji, seperti diantaranya thawaf, melempar jumroh,  dan wukuf diarafah lalu kembali lagi ke kampung halamannya, meskipun terdapat fasilitas kendaraan seperti mobil, kapal, dan pesawat yang dapat mempermudah perjalanan. Perjalanan ini tentu sangat melelahkan dan memerlukan waktu yang lama, tetapi orang tersebut tetap memilih cara ini dengan alasan tertentu, baik karena keyakinan, nazar, atau alasan pribadi lainnya.

Dalam Islam, kemampuan finansial dan fisik menjadi syarat utama bagi seseorang yang wajib menunaikan haji. Maka, muncul pertanyaan sebagai berikut:

Bagaimana hukumnya haji kebaitullah dengan berjalan kaki menurut Madzhab yang empat?

Waalaikum Salam

Jawaban

Hukum Haji ke Baitullah dengan Berjalan Kaki Menurut Empat Mazhab

1. Mazhab Hanafi

Dalam Mazhab Hanafi, seseorang dianggap memiliki kemampuan fisik untuk berhaji jika ia sehat dan mampu bertahan di atas kendaraan. Haji tidak wajib bagi orang yang tidak memiliki kendaraan dan tidak mampu berjalan kaki. Namun, bagi orang yang tinggal dekat Mekah (kurang dari tiga hari perjalanan), ia wajib berhaji meskipun dengan berjalan kaki jika mampu.

2. Mazhab Maliki

Mazhab Maliki berpendapat bahwa jika seseorang mampu berjalan kaki ke Mekah, maka ia wajib berhaji meskipun tidak memiliki kendaraan. Bahkan, seorang tunanetra yang mampu berjalan dengan bantuan pemandu tetap wajib berhaji. Namun, jika perjalanan dengan berjalan kaki menimbulkan kesulitan luar biasa yang melampaui kebiasaan, maka haji tidak wajib baginya.

3. Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i menetapkan bahwa seseorang yang tinggal jauh dari Mekah (lebih dari dua marhalah / ±89 km) wajib memiliki kendaraan. Kemampuan berjalan kaki tidak menggugurkan kewajiban memiliki kendaraan. Namun, jika jaraknya kurang dari dua marhalah dan ia mampu berjalan kaki, maka ia wajib berhaji dengan berjalan kaki.
Adapun jika bernadzar atau bersumpah untuk berjalan kaki kebaitullah,( haji) maka ia wajib berjalan kaki, namun jika tidak mampu maka ia wajib membayar kaffarat

4. Mazhab HanbaliMazhab Hanbali menyatakan bahwa seseorang yang tidak memiliki kendaraan tetapi mampu berjalan kaki atau bekerja di perjalanan tanpa meminta-minta, maka disunnahkan baginya untuk berhaji. Berjalan kaki dianggap menunjukkan kesungguhan dalam ibadah dan keluar dari perbedaan pendapat tentang wajibnya berjalan kaki bagi yang mampu.

Kesimpulan

Menurut Mazhab Maliki, seseorang yang mampu berjalan kaki wajib berhaji meskipun tanpa kendaraan. Sementara dalam Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, seseorang yang tidak memiliki kendaraan tidak wajib berhaji, kecuali jika jaraknya dekat atau mampu berjalan kaki tanpa kesulitan yang luar biasa.

فقه الإسلامي وأدلته للزحيلي ج.٣ ٢٠٨٢-٢٩٠
٤ – الاستطاعة البدنية والمالية والأمنية الموجبة للحج: وهي القدرة على الوصول إلى مكة، لقوله تعالى: {ولله على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيلاً} [آل عمران:٩٧/ ٣]، لكن للفقهاء بعض الاختلافات في حدود ووجوه الاستطاعة.
قال الحنفية (١): الاستطاعة أنواع ثلاثة: بدنية ومالية وأمنية، أما الاستطاعة البدنية: فهي صحة البدن، فلا حج على المريض والزَّمِن والمُقْعَد والمفلوج والأعمى وإن وجد قائداً، والشيخ الكبير الذي لا يثبت على الراحلة بنفسه، والمحبوس، والممنوع من قبل السلطان الجائر عن الخروج إلى الحج؛ لأن الله تعالى شرط الاستطاعة لوجوب الحج، والمراد منها استطاعة التكليف: وهي سلامة الأسباب ووسائل الوصول. ومن جملة الأسباب: سلامة البدن عن الآفات المانعة من القيام بما لا بد منه في سفر الحج، فسر ابن عباس {من استطاع إليه سبيلاً} [آل عمران:٩٧/ ٣] أن السبيل أن يصح بدن العبد، ويكون له ثمن زاد وراحلة، من غير أن يحجب.
وأما الاستطاعة المالية: فهي ملك الزاد والراحلة، بأن يقدر على الزاد ذهاباً وإياباً، وعلى الراحلة ـ وسيلة الركوب، زائداً ذلك عن حاجة مسكنه وما لا بد منه كالثياب وأثاث المنزل والخادم ونحو ذلك؛ لأنها مشغولة بالحاجة الأصلية، وزائداً أيضاً عن نفقة عياله الذين تلزمه نفقاتهم إلى حين عودته.
ويشترط في القدرة على الراحلة شروط:
أـ أن تكون مختصة به، فلا يكفي القدرة على راحلة مشتركة يركبها مع غيره على التعاقب. والقدرة اليوم بالاشتراك في السيارات أو البواخر أو الطائرات.
ب ـ أن تكون بحسب أحوال الناس: فمن لا يستطيع الركوب على القتَب (وهو الرَّحْل أو الإكاف الصغير حول سنام البعير) ولم يجد شيئاً آخر كالهودج أو المحمل، لايجب عليه الحج.
جـ ـ أن تطلب بالنسبة للآفاقي: وهو من كان بعيداً عن مكة بثلاثة أيام فأكثر. أما المكي أو القريب من مكة (وهو من كان بينه وبين مكة أقل من ثلاثة أيام)، فيجب عليه الحج متى قدر على المشي.
وأما الاستطاعة الأمنية: فهي أن يكون الطريق آمناً بغلبة السلامة ولو بالرشوة؛ لأن استطاعة الحج لا تثبت بدونه، وهو شرط وجوب، في المروي عن أبي حنيفة. وقال بعضهم: إنه شرط أداء.
وأمن المرأة: أن يكون معها أيضاً مَحْرم بالغ عاقل أو مراهق مأمون غير فاسق، برحم أو صِهْريّة، أو زوج، يحج بها على نفقتها، ويكره تحريماً أن تحج المرأة بغير المحرم أو الزوج، إذا كان بينها وبين مكة مدة سفر: وهي مسيرة ثلاثة أيام ولياليها فصاعداً، فلو حجت بلا محرم جاز مع الكراهة، والأصح أنه لا يجب عليها التزوج عند فقد المحرم، ووجود المحرم شرط وجوب، وقيل: شرط أداء. لكن لاتسافر المرأة مع أخيها رضاعاً في زماننا لغلبة الفساد، لكراهة الخلوة بها كالصهرة (الحماية) الشابة.
والذي اختاره الكمال بن الهمام في الفتح أن وجود المحرم مع توافر الصحة وأمن الطريق شروط وجوب الأداء، فيجب الإيصاء إن منع المرض أو خوف الطريق، أو لم يوجد زوج ولا محرم.
ثم إن شرط وجوب الحج من الزاد والراحلة وغير ذلك يعتبر وجودها وقت خروج أهل بلده، فإن جاء وقت الخروج والمال في يده، فليس له أن يصرفه في غيره.
وقال المالكية (١): الاستطاعة: هي إمكان الوصول إلى مكة بحسب العادة، إما ماشياً أو راكباً، أي الاستطاعة ذهاباً فقط، ولا تعتبر الاستطاعة في الإياب إلا إذا لم يمكنه الإقامة بمكة أو في أقرب بلد يمكنه أن يعيش فيه، ولا يلزم رجوعه لخصوص بلده.
وتكون الاستطاعة بثلاثة أشياء، وهي:
أـ قوة البدن: أي إمكان الوصول لمكة إمكاناً عادياً بمشي أو ركوب، ببرّ أو بحر، بلا مشقة فادحة، أي عظيمة خارجة عن العادة، أما المشقة المعتادة فلا بد منها، إذ السفر قطعة من العذاب. والاستطاعة بالقدرة على المشي مما تفرد به المالكية. حتى إن الأعمى القادر على المشي يجب عليه الحج إذا وجد قائداً يقوده. ويكره للمرأة الحج بمشي بعيد.

Fiqih Islam wa Adillatuhu – Wahbah Az-Zuhaili, Juz 3, Hal. 2082-2090

4. Kemampuan Fisik, Finansial, dan Keamanan yang Mewajibkan Haji

Kemampuan yang dimaksud adalah kesanggupan untuk mencapai Mekah, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan haji ke Baitullah bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana.” (QS. Ali Imran: 97)
Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai batasan dan bentuk kemampuan ini.

Pendapat Mazhab Hanafi

Menurut mazhab Hanafi, kemampuan terbagi menjadi tiga jenis: kemampuan fisik, finansial, dan keamanan.

Kemampuan Fisik

Seseorang dikatakan memiliki kemampuan fisik jika memiliki tubuh yang sehat.

Tidak wajib haji bagi orang yang sakit, lumpuh, cacat, atau orang tua renta yang tidak bisa bertahan di atas kendaraan.

Orang buta yang memiliki pemandu juga tidak diwajibkan haji.

Orang yang dipenjara atau dicegah oleh penguasa zalim juga tidak wajib haji.

Ibn Abbas menafsirkan ayat “bagi yang mampu mengadakan perjalanan ke sana” bahwa yang dimaksud adalah seseorang yang sehat tubuhnya, memiliki biaya perjalanan, serta tidak ada halangan yang mencegahnya.

Kemampuan Finansial

Seseorang dikatakan mampu secara finansial jika memiliki bekal dan kendaraan untuk pergi dan pulang dari haji.

Bekal dan kendaraan tersebut harus melebihi kebutuhan pokok, seperti tempat tinggal, pakaian, perabotan rumah tangga, dan biaya nafkah keluarga yang ditinggalkan selama perjalanan.

Syarat kemampuan memiliki kendaraan:
a. Kendaraan tersebut harus khusus untuk dirinya, tidak boleh kendaraan bersama yang digunakan secara bergantian. Pada zaman sekarang, kemampuan ini diperhitungkan dengan ketersediaan kendaraan umum seperti mobil, kapal, atau pesawat.
b. Kendaraan tersebut harus sesuai dengan kondisi fisik orang tersebut. Jika seseorang tidak mampu naik kendaraan sederhana seperti pelana unta, tetapi tidak memiliki alternatif seperti tandu atau kereta, maka ia tidak wajib haji.
c. Kemampuan memiliki kendaraan ini hanya berlaku bagi orang yang tinggal jauh dari Mekah (tiga hari perjalanan atau lebih). Orang yang tinggal dekat Mekah (kurang dari tiga hari perjalanan) wajib haji jika mampu berjalan kaki.

Kemampuan dalam Keamanan

Jalur perjalanan harus aman dengan dominasi keselamatan, bahkan jika harus membayar suap agar bisa melewati jalan yang aman.

Dalam mazhab Hanafi, keamanan ini dianggap sebagai syarat wajib haji, menurut riwayat dari Abu Hanifah. Namun, menurut sebagian ulama lain, ini adalah syarat sahnya pelaksanaan haji.

Keamanan bagi perempuan:

Wanita harus ditemani mahram baligh, berakal, amanah, dan bukan fasik dari kalangan keluarga atau suami yang ikut berhaji bersamanya dengan biaya wanita tersebut.

Jika perjalanan haji memakan waktu tiga hari atau lebih, maka haram bagi wanita bepergian tanpa mahram atau suami. Jika tetap berangkat tanpa mahram, hajinya tetap sah tetapi makruh.

Wanita tidak wajib menikah demi mendapatkan mahram untuk berhaji.

Dalam pandangan sebagian ulama, keberadaan mahram adalah syarat wajib haji, sementara menurut pendapat lain, ini adalah syarat sahnya pelaksanaan haji.

Di zaman sekarang, wanita tidak dianjurkan bepergian hanya dengan saudara sepersusuan karena dikhawatirkan terjadinya fitnah, begitu juga dengan mertua muda (suami dari saudari iparnya).

Pendapat Al-Kamal bin Al-Humam dalam Fathul Qadir: Syarat mahram, kesehatan tubuh, dan keamanan perjalanan adalah syarat sahnya pelaksanaan haji. Jika seseorang terhalang oleh sakit, ketakutan di perjalanan, atau tidak memiliki mahram/suami, maka ia wajib berwasiat agar dihajikan jika memungkinkan.

Syarat finansial (bekal dan kendaraan) harus terpenuhi saat waktu keberangkatan dari negaranya. Jika sudah ada dana ketika waktu berangkat tiba, maka tidak boleh digunakan untuk keperluan lain.

Pendapat Mazhab Maliki

Mazhab Maliki mendefinisikan kemampuan sebagai kesanggupan mencapai Mekah sesuai kebiasaan, baik dengan berjalan kaki maupun berkendara.

Kemampuan hanya diperhitungkan untuk perjalanan pergi. Tidak wajib memiliki biaya pulang kecuali jika ia tidak bisa menetap di Mekah atau di daerah lain yang layak ditinggali.

Kemampuan ini terbagi menjadi tiga aspek:

Kemampuan Fisik

Seseorang harus mampu mencapai Mekah dengan cara yang wajar, baik dengan berjalan kaki maupun berkendara, baik melalui jalur darat atau laut.

Jika perjalanannya menyebabkan kesulitan luar biasa yang melampaui kebiasaan, maka ia tidak diwajibkan haji. Namun, kesulitan biasa tetap harus diterima karena safar adalah bagian dari kesulitan.

Mazhab Maliki memiliki keunikan dalam hal ini: jika seseorang bisa berjalan kaki ke Mekah, maka ia wajib haji meskipun tidak memiliki kendaraan.

Bahkan, seorang tunanetra yang mampu berjalan dengan bimbingan seorang pemandu tetap wajib berhaji.

Wanita tidak dianjurkan berhaji dengan berjalan kaki jika perjalanannya jauh, karena dikhawatirkan akan mengalami kesulitan.

ب ـ ووجود الزاد المبلِّغ بحسب أحوال الناس وبحسب عوائدهم، ويقوم مقام الزاد الصنعة إذا كانت لا تزري بصاحبها وتكفي حاجته.
ويدل ذلك على أن المالكية لم يشترطوا وجود الزاد والراحلة بالذات، فالمشي يغني عن الراحلة لمن قدر عليه، والصنعة التي تدر ربحاً كافياً تغني عن اصطحاب الزاد أو النفقة عليه.
وتتحقق الاستطاعة بالقدرة على الوصول إلى مكة، ولو بثمن شيء يباع على المفلس من ماشية وعقار وكتب علم وآلة صانع ونحوها، أو حتى ولو صار فقيراً بعد حجه، أو ولو ترك أولاده ومن تلزمه نفقته للصدقة عليهم من الناس إن لم يخش عليهم هلاكاً أو أذىً شديداً، بأن كان الشأن عدم الصدقة عليهم أو عدم من يحفظهم.
ولا يجب الحج بالاستدانة ولو من ولده إذا لم يرج وفاء، وبالعطية من هبة أو صدقة بغير سؤال، ولا بالسؤال مطلقاً أي سواء أكانت عادته السؤال أم لا، لكن الراجح أن من عادته السؤال بالحضر، وعلم أو ظن الإعطاء في السفر ما يكفيه، يجب عليه الحج، أي أن معتاد السؤال في بلده يجب عليه الحج بشرط ظن الإعطاء، وإلا فلا يجب عليه.
جـ ـ توافر السبيل: وهي الطريق المسلوكة بالبر أو بالبحر متى كانت السلامة فيه غالبة، فإن لم تغلب فلا يجب الحج إذا تعين البحر طريقاً. ويكره للمرأة الحج في ركوب بحر إلا أن تختص بمكان في السفينة.
وهذا يتطلب كون الطريق آمناً على النفس والمال من غاصب وسارق وقاطع طريق: إذا كان المال ذا شأن بالنسبة للمأخوذ منه، فقد يكون الدينار ذا بال بالنسبة لشخص، ولا شأن له بالنسبة لآخر.
ويزاد في حق المرأة: أن يكون معها زوج أو محرم بنسب أو رضاع أو صهرية (١) من محارمها، أو رفقة مأمونة عند عدم الزوج أو المحرم في حج الفرض ومنه النذر والحنث، سواء أكانت الرفقة نساء فقط، أم مجموعاً من الرجال والنساء. وإذا كانت المرأة معتدة من طلاق أو وفاة وجب عليها البقاء في بيت العدة، فلو فعلت صح حجها مع الإثم.
وقال الشافعية (٢): للاستطاعة المباشرة بالنفس بحج أو عمرة لمن كان بعيداً عن مكة مسافة القصر (٨٩ كم) شروط سبعة تشمل أنواع الاستطاعة الثلاثة السابقة:
الأول ـ القدرة البدنية: بأن يكون صحيح الجسد، قادراً أن يثبت على الراحلة بلا ضرر شديد أو مشقة شديدة، وإلا فهو ليس بمستطع بنفسه. وعلى الأعمى الحج والعمرة إن وجد قائداً يقوده ويهديه عند نزوله، ويركبه عند ركوبه. والمحجور عليه بسفه يجب عليه الحج كغيره، لكن لا يدفع المال إليه لئلا يبذره، بل يخرج معه الولي بنفسه إن شاء لينفق عليه في الطريق بالمعروف، أو يرسل معه شخصاً ثقة ينوب عن الولي، ولو بأجرة مثله، إن لم يجد متبرعاً كافياً، لينفق عليه بالمعروف.
الثاني ـ القدرة المالية: بوجود الزاد وأوعيته، ومؤنة (كلفة) ذهابه لمكة وإيابه (أي رجوعه منها إلى بلده، وإن لم يكن له فيها أهل وعشيرة).
فإن كان يكتسب كل يوم ما يفي بزاده، وسفره طويل (مرحلتان فأكثر أي ٩٨ كم)، لم يكلف الحج، حتى ولو كسب في يوم كفاية أيام؛ لأنه قد ينقطع عن الكسب لعارض، وإذا قدر عدم الانقطاع، فالجمع بين تعب السفر والكسب، فيه مشقة عظيمة. وذلك خلافاً لمذهب المالكية السابق في الاكتفاء بالصنعة أثناء السفر. أما إن كان السفر قصيراً، كأن كان بمكة، أو على دون مرحلتين منها، وهو يكتسب في يوم كفايةأيام، كُلِّف الحج، لقلة المشقة حينئذ.
الثالث ـ وجود الراحلة (وسيلة الركوب) الصالحة لمثله بشراء بثمن المثل، أو استئجار بأجرة المثل، لمن كان بينه وبين مكة مرحلتان فأكثر، قدر على المشي أم لا، خلافاً للمالكية، ولكن يستحب للقادر على المشي الحج خروجاً من خلاف من أوجبه. وهذا الشرط من القدرة المالية أيضاً.
ومن كان بينه ومن مكة دون مرحلتين، وهو قوي على المشي، يلزمه الحج، فإن ضعف عن المشي، بأن عجز أو لحقه ضرر ظاهر، فهو كالبعيد، فيشترط في حقه وجود الراحلة.

Pendapat Mazhab Maliki (Lanjutan)

B. Kemampuan Finansial

Kemampuan finansial ditentukan oleh ketersediaan bekal yang cukup untuk mencapai Mekah sesuai dengan kebiasaan dan adat masyarakat.

Keahlian atau keterampilan yang bisa menghasilkan pendapatan selama perjalanan dapat menggantikan kebutuhan membawa bekal atau nafkah.

Mazhab Maliki tidak mensyaratkan keberadaan bekal dan kendaraan secara khusus. Jika seseorang mampu berjalan kaki, maka kendaraan tidak menjadi syarat wajib haji. Begitu pula jika ia memiliki keterampilan yang bisa digunakan untuk mencari nafkah selama perjalanan.

Seseorang tetap dianggap mampu berhaji jika ia bisa mencapai Mekah meskipun dengan menjual harta seperti hewan ternak, tanah, buku keilmuan, atau peralatan kerja.

Haji tetap wajib meskipun setelahnya ia menjadi miskin atau meninggalkan keluarganya dalam kondisi yang mengharuskan mereka menerima sedekah, asalkan mereka tidak sampai terlantar atau mengalami kesulitan berat.

Tidak wajib haji jika harus berutang, baik kepada anaknya sendiri maupun orang lain, kecuali jika ada harapan kuat untuk bisa melunasinya.

Tidak wajib berhaji dengan menerima hibah atau sedekah kecuali jika pemberian tersebut diberikan tanpa ia meminta.

Tidak wajib berhaji dengan mengemis, kecuali jika seseorang memang terbiasa mengemis di daerahnya dan yakin atau menduga kuat bahwa selama perjalanan ia akan mendapatkan sedekah yang cukup untuk menutupi kebutuhan hajinya.

C. Keamanan Perjalanan

Jalan yang ditempuh harus umumnya aman, baik melalui darat maupun laut. Jika satu-satunya jalur perjalanan adalah laut dan keamanannya tidak terjamin, maka tidak wajib berhaji.

Wanita dilarang bepergian sendirian menggunakan kapal laut, kecuali jika ada ruangan khusus yang terjaga dalam kapal.

Keamanan ini mencakup keselamatan jiwa dan harta dari perampokan, pencurian, atau ancaman lainnya. Jika seseorang memiliki sedikit harta tetapi cukup berarti bagi dirinya, maka ancaman kehilangan tetap menjadi pertimbangan dalam kewajiban haji.

Bagi wanita, selain faktor keamanan umum, harus ada suami atau mahram (baik hubungan darah, sepersusuan, atau pernikahan) yang menemaninya dalam perjalanan haji.

Jika tidak ada suami atau mahram, maka dalam haji fardu (termasuk haji karena nadzar atau kafarat), wanita boleh berangkat dengan rombongan terpercaya, baik yang terdiri dari wanita saja maupun gabungan pria dan wanita yang amanah.

Wanita yang masih dalam masa iddah karena talak atau wafat suami tidak boleh berhaji sebelum masa iddahnya selesai. Jika tetap berangkat, hajinya tetap sah tetapi berdosa.

Pendapat Mazhab Syafi’i

Mazhab Syafi’i menetapkan tujuh syarat kemampuan untuk seseorang yang ingin berhaji atau berumrah sendiri jika jaraknya lebih dari dua marhalah (±89 km) dari Mekah. Ketujuh syarat ini mencakup tiga jenis kemampuan yang telah disebutkan sebelumnya (fisik, finansial, dan keamanan).

Kemampuan Fisik

Harus sehat dan mampu bertahan di atas kendaraan tanpa mengalami kesulitan yang berlebihan.

Orang buta wajib berhaji jika memiliki pemandu yang dapat menuntunnya saat berjalan, membantunya naik kendaraan, dan membimbingnya selama perjalanan.

Orang yang mengalami gangguan akal (safih/mubazir) tetap wajib haji, tetapi hartanya tidak boleh diberikan langsung kepadanya karena dikhawatirkan akan dihamburkan.

Dalam kasus ini, walinya boleh:

Menemani langsung untuk mengurus kebutuhannya selama perjalanan.

Mengutus seseorang yang dapat dipercaya untuk mengurusnya, dengan biaya dari hartanya sendiri atau biaya sewa yang wajar jika tidak ada orang yang bersedia secara sukarela.

Kemampuan Finansial

Harus memiliki bekal dan biaya perjalanan yang cukup untuk pergi dan kembali ke tanah airnya.

Jika seseorang mampu mencari nafkah harian tetapi perjalanannya jauh (lebih dari dua marhalah / 98 km), ia tidak wajib haji. Sebab, kemungkinan ia tidak bisa mencari nafkah selama perjalanan dan perjalanan jauh dapat menyebabkan kesulitan besar.

Namun, jika perjalanan kurang dari dua marhalah, misalnya seseorang tinggal di Mekah atau dekat dengannya, dan ia mampu mencari nafkah harian yang mencukupi kebutuhannya, maka ia tetap wajib haji karena beban perjalanannya lebih ringan.

Keberadaan Kendaraan (Transportasi)

Jika jaraknya dua marhalah atau lebih dari Mekah, maka wajib memiliki kendaraan yang layak untuk dirinya, baik dengan membelinya maupun menyewanya dengan harga wajar.

Kemampuan berjalan kaki tidak menggugurkan kewajiban memiliki kendaraan bagi orang yang tinggal jauh dari Mekah, berbeda dengan pandangan Mazhab Maliki. Namun, disunnahkan untuk berjalan kaki bagi yang mampu, guna keluar dari perbedaan pendapat yang mewajibkannya.

Jika jaraknya kurang dari dua marhalah dan ia kuat berjalan kaki, maka ia wajib berhaji dengan berjalan kaki. Jika tidak mampu berjalan kaki karena sakit atau kelemahan, maka ia sama seperti orang jauh yang membutuhkan kendaraan.

ويشترط كون الزاد والراحلة فاضلين عن دينه الحال أو المؤجل، لآدمي أم لله تعالى كنذر وكفارة، وعن مؤنة (١) أي نفقة من تلزمه نفقته مدة ذهابه وإيابه، لئلا يضيعوا، وقد قال صلّى الله عليه وسلم: «كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يقوت» (٢).
والأصح كون الزاد والراحلة فاضلين أيضاً عن مسكنه اللائق به وعن خادمه المحتاج إليه لمنصب أو عجز، لاحتياجه لهما في الحال.
والأصح أنه يلزم المرء صرف مال تجارته إلى الزاد والراحلة وتوابعهما. ويلزم من له مستغلات (أماكن أو دور للاستثمار) يحصل منها نفقته أن يبيعها ويصرفها لما ذكرفي الأصح، كما يلزمه صرفها لوفاء دينه.

الرابع ـ وجود الماء والزاد وعلف الدابة في المواضع المعتاد حمله منها، بثمن المثل: وهو القدر المناسب به في ذلك الزمان والمكان، وإن غلت الأسعار. فإن لم يوجدوا، أو وجد أحدهم، أو وجد بأكثر من ثمن المثل، لم يلزمه النسك (الحج والعمرة). وهذا شرط أيضاً في القدرة المالية.
الخامس ـ الاستطاعة الأمنية: أمن الطريق ولو ظناً على نفسه وماله في كل مكان بحسب ما يليق به، والمراد هو الأمن العام، فلو خاف على نفسه أو زوجه أو ماله سبعاً أو عدواً أو رَصديّاً (وهو من يرصد أي يرقب من يمر ليأخذ منه شيئاً)، ولا طريق له سواه، لم يجب الحج عليه، لحصول الضر.
وإذا تحقق الأمن بالخفارة أو الحراسة في غالب الظن، وجب استئجار الحارس على الأصح، إن كان قادراً على أجر المثل.
السادس ـ أن يكون مع المرأة زوج، أو مَحْرم بنسب أو غيره، أو نسوة ثقات؛ لأن سفرها وحدها حرام، وإن كانت في قافلة أو مع جماعة، لخوف استمالتها وخديعتها، ولخبر الصحيحين: «لا تسافر المرأة يومين إلا ومعها زوجها أو ذو محرم» ولا يشترط كون الزوجة والمحرم ثقة؛ لأن الوازع الطبيعي أقوى من الشرعي.
وأما النسوة فيشترط فيهن الثقة لعدم الأمن، والبلوغ، لخطر السفر، ويكتفى بالمراهقات في رأي المتأخرين، وأن يكنَّ ثلاثاً غير المرأة؛ لأنه أقل الجمع، ولا يجب الخروج مع امرأة واحدة. وهذا كله شرط للوجوب. أما الجواز فيجوز للمرأة أن تخرج لأداء حجة الإسلام (الفرض) مع المرأة الثقة على الصحيح. والأصح أنه لا يشترط وجود محرم لإحداهن، والأصح أنه يلزم المرأة أجرة المحرم إذا لم يخرج إلا بها.
أما حج التطوع وغيره من الأسفار التي لا تجب، فليس للمرأة أن تخرج إليه مع امرأة، بل ولا مع النسوة الخلص، لكن لو تطوعت بحج، ومعها محرم، فمات، فلها إتمامه، ولها الهجرة من بلاد الكفر وحدها.
السابع ـ إمكان المسير: وهو أن يبقى من وقت الحج بعد القدرة بأنواعها ما يكفي لأدائه. وتعتبر الاستطاعة عند دخول وقته وهو شوال إلى عشر ذي الحجة، فلا يجب الحج إذا عجز في ذلك الوقت.
وقال الحنابلة (١): الاستطاعة المشترطة: هي القدرة على الزاد والراحلة؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلم فسر الاستطاعة بالزاد والراحلة، فوجب الرجوع إلى تفسيره: «سئل النبي صلّى الله عليه وسلم ما السبيل؟ قال: الزاد والراحلة» (٢) روى ابن عمر: «جاء رجل إلى النبي صلّى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، مايوجب الحج؟ قال: الزاد والراحلة» (٣).
واتفق الشافعية في الأصح والحنابلة على أنه لا يلزم الحج إذا بذل المال ولد أو أجنبي، ولا يجب قبوله، لما في قبول المال من المنة.
ورأى الحنابلة كالشافعية أن من تكلف الحج ممن لا يلزمه، وأمكنه ذلك من غير ضرر يلحق بغيره، مثل أن يمشي ويكتسب بصناعة ونحوها، ولايسأل الناس، استحب له الحج، لقوله تعالى: {يأتوك رجالاً وعلى كل ضامر} [الحج:٢٧/ ٢٢] فقدم الرجال أي المشاة، ولأن في ذلك مبالغة في طاعة الله عز وجل، وخروجاً من الخلاف. ويكره الحج لمن حرفته السؤال.
والزاد المشروطة عند الحنابلة كالشافعية: وهو ما يحتاج إليه في ذهابه
ورجوعه، من مأكول ومشروب وكسوة، ويلزمه شراؤه بثمن المثل، أو بزيادة يسيرة لا تجحف بماله.
ويلزمه حمل الزاد والماء وعلف البهائم إن لم يجده في طريقه، فإن وجده في المنازل المعتادة، لم يلزمه حمله؛ لأن هذا يشق عليه ولم تجر العادة به.

Pendapat Mazhab Syafi’i (Lanjutan)

Ketersediaan Air, Bekal, dan Pakan Hewan

Bekal perjalanan harus melebihi kebutuhan dasar dan tidak mengganggu kewajiban lain seperti melunasi utang yang telah jatuh tempo (baik kepada manusia maupun kepada Allah, seperti nazar dan kafarat).

Bekal juga harus melebihi nafkah keluarga yang menjadi tanggungannya selama ia pergi haji, agar mereka tidak terlantar. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”

Harta yang tidak wajib dijual untuk biaya haji:

Rumah tinggal yang layak bagi dirinya.

Pembantu yang dibutuhkan karena jabatan atau kelemahan fisik.

Harta yang wajib dijual untuk biaya haji:

Modal usaha (uang dagangan).

Properti investasi (seperti rumah atau tempat usaha yang tidak digunakan untuk keperluan dasar).

Jika seseorang tidak menemukan air, bekal, atau pakan hewan di tempat yang biasa tersedia dengan harga normal, atau hanya bisa didapatkan dengan harga yang sangat tinggi, maka ia tidak wajib berhaji.

Keamanan Perjalanan

Jalur perjalanan harus aman, baik bagi diri sendiri maupun harta bendanya.

Jika ada ancaman serius seperti binatang buas, perampok, atau penyergapan, dan tidak ada jalan lain yang lebih aman, maka kewajiban haji gugur.

Jika keamanan bisa diperoleh dengan menyewa pengawal dan ia mampu membayarnya dengan harga wajar, maka wajib baginya untuk menyewa pengawal tersebut.

Persyaratan Tambahan bagi Wanita

Wanita tidak boleh bepergian sendirian. Ia harus disertai oleh Suami, atau mahram dari hubungan darah, persusuan, atau pernikahan, atau rombongan wanita terpercaya, terutama dalam haji wajib.

Hadis Rasulullah ﷺ:
“Seorang wanita tidak boleh bepergian selama dua hari kecuali bersama suaminya atau mahramnya.” (HR. Bukhari & Muslim)

Suami atau mahram tidak disyaratkan harus orang yang sangat terpercaya, karena ikatan darah atau pernikahan sudah cukup sebagai penghalang.

Jika seorang wanita hanya memiliki satu teman wanita untuk menemaninya, itu tidak cukup. Minimal harus ada tiga wanita di luar dirinya.

Dalam haji fardu, wanita boleh berangkat dengan seorang wanita lain yang terpercaya, meskipun tanpa mahram.

Dalam haji sunnah atau perjalanan lain yang tidak wajib, wanita tidak boleh bepergian tanpa mahram, bahkan meskipun dengan rombongan wanita terpercaya.

Jika seorang wanita sedang dalam perjalanan haji sunnah bersama mahramnya, kemudian mahramnya meninggal dunia di tengah perjalanan, ia boleh melanjutkan hajinya sendirian.

Seorang wanita boleh berhijrah dari negeri kafir ke negeri Islam meskipun sendirian.

Jika seorang wanita tidak menemukan mahram yang bersedia menemani kecuali dengan bayaran, maka ia wajib membayar mahram tersebut.

Waktu yang Cukup untuk Berangkat

Jika seseorang hanya memperoleh kemampuan (fisik, finansial, atau keamanan) setelah waktu haji hampir habis sehingga tidak cukup untuk menunaikannya, maka haji tidak wajib bagi dirinya pada tahun itu.

Kewajiban haji dilihat ketika awal musim haji (bulan Syawal hingga 10 Dzulhijjah). Jika seseorang tidak mampu di rentang waktu ini, maka ia tidak terkena kewajiban haji.

Pendapat Mazhab Hanbali

Definisi Kemampuan dalam Haji

Mazhab Hanbali berpendapat bahwa kemampuan finansial dalam haji hanya mencakup:

  • Bekal yang cukup.
  • Kendaraan yang layak untuk perjalanan.

Hal ini didasarkan pada hadis:
“Rasulullah ﷺ ditanya: ‘Apa yang dimaksud dengan sabīl (jalan) dalam haji?’ Beliau menjawab: ‘Bekal dan kendaraan’.” (HR. Tirmidzi)

Dalam riwayat lain, seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah ﷺ:
“Wahai Rasulullah, apa yang mewajibkan haji?” Beliau menjawab: “Bekal dan kendaraan.”

Tidak Wajib Menerima Hibah atau Pemberian Orang Lain

Jika seorang anak atau orang lain menawarkan biaya haji kepada seseorang, ia tidak wajib menerimanya, karena menerima pemberian bisa dianggap sebagai beban moral. Pandangan ini juga dianut oleh Mazhab Syafi’i.

Haji dengan Berjalan Kaki atau Mencari Nafkah di Perjalanan

Jika seseorang tidak memiliki harta tetapi mampu berjalan kaki atau bekerja selama perjalanan tanpa meminta-minta, maka disunnahkan baginya untuk berhaji.

Allah berfirman:
“Mereka datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus.” (QS. Al-Hajj: 27)

Berjalan kaki menunjukkan kesungguhan dalam ibadah dan keluar dari perbedaan pendapat tentang wajibnya berjalan kaki bagi yang mampu.

Namun, dilarang bagi orang yang kebiasaannya mengemis untuk berhaji dengan cara meminta-minta.

Persyaratan Bekal dalam Pandangan Hanbali

Bekal yang wajib dipersiapkan adalah yang mencakup kebutuhan makanan, minuman, dan pakaian selama perjalanan pergi dan pulang.

Jika tidak ada bekal di sepanjang perjalanan, maka wajib membawanya dari awal.

Jika bekal tersedia di rute perjalanan, maka tidak wajib membawanya dari awal, karena ini akan menjadi beban berat yang tidak lazim dilakukan.

ويشترط أيضاً القدرة على وعاء الزاد والماء؛ لأنه لا بد منه.
ويعتبر الزاد مع قرب المسافة وبعدها إن احتاج إليه؛ لأنه لا بد منه، فإن لم يحتج إليه لم يعتبر.
وأما الراحلة أو المركوب: فيشترط أن تكون صالحة لمثله، إما بشراء أو بكراء لذهابه ورجوعه، وأن يجد ما يحتاج إليه من آلتها التي تصلح لمثله. ويطلب وجود الراحلة مع بعد المسافة فقط عن مكة، ولو قدر على المشي، لأن الاستطاعة هي الزاد والراحلة، وبعد المسافة: ما تقصر فيه الصلاة، أي مسيرة يومين معتدلين، ولا تعتبر الراحلة فيما دون مسافة القصر، من مكي وغيره بينه وبين مكة دون المسافة، ويلزمه المشي للقدرة على المشي فيها غالباً، ولأن مشقتها يسيرة، ولا يخشى فيها المشي للقدرة على المشي فيها غالباً، ولا يخشى فيها عطب إذا حدث انقطاع بها، إلا مع عجز لكبر ونحوه كمرض، فتعتبر الراحلة، حتى فيما دون المسافة للحاجة إليها إذن. ولا يلزمه السير حبواً وإن أمكنه لمزيد مشقته.
ويشترط أن يكون الزاد والراحلة فاضلاً عما يحتاج إليه لنفقة عياله الذين تلزمه مؤونتهم في مضيه ورجوعه، دون ما بعد رجوعه؛ لأن النفقة متعلقة بحقوق الآدميين، وهم أحوج، وحقهم آكد، وقد قال صلّى الله عليه وسلم: «كفى بالمرء إثماً أن يضيع من يقوت» (١).

Syarat Kemampuan dalam Haji

Memiliki Wadah untuk Bekal dan Air

Seseorang harus memiliki tempat atau wadah untuk menyimpan bekal makanan dan air karena ini merupakan kebutuhan utama dalam perjalanan.

Kebutuhan bekal ini dipertimbangkan baik untuk jarak dekat maupun jauh jika memang diperlukan. Namun, jika seseorang tidak memerlukan bekal, maka syarat ini tidak diberlakukan baginya.

Memiliki Kendaraan yang Layak

Kendaraan atau tunggangan yang digunakan harus layak dan sesuai dengan kondisinya, baik dengan cara membeli atau menyewanya untuk perjalanan pergi dan pulang.

Ia juga harus memiliki segala perlengkapan yang diperlukan untuk kendaraan tersebut agar dapat digunakan dengan baik.

Kewajiban Memiliki Kendaraan Berdasarkan Jarak Perjalanan

Jika jarak perjalanan jauh (≥ 2 hari perjalanan normal atau sekitar 80-90 km): Seseorang wajib memiliki kendaraan meskipun ia mampu berjalan kaki.

Ini karena dalam hadis, “kemampuan (istitha’ah) dalam haji adalah memiliki bekal dan kendaraan.”

Jika jarak perjalanan dekat (< 2 hari perjalanan):

Tidak disyaratkan memiliki kendaraan, baik bagi penduduk Makkah maupun yang tinggal dalam jarak tersebut.

Ia wajib berjalan kaki jika mampu, karena biasanya orang masih kuat berjalan dalam jarak tersebut dan tingkat kesulitannya ringan.

Namun, jika ia mengalami kelemahan fisik (seperti usia tua atau sakit), maka kendaraan tetap menjadi syarat, meskipun jaraknya dekat.

Ia tidak wajib merangkak (berjalan dengan tangan dan lutut), meskipun secara teori memungkinkan, karena hal itu terlalu sulit.

Bekal dan Kendaraan Harus Berlebih dari Kebutuhan Keluarga

Bekal dan kendaraan yang dimiliki harus melebihi kebutuhan nafkah keluarga yang menjadi tanggungannya selama masa keberangkatan hingga kepulangan.

Tidak disyaratkan lebih dari kebutuhan setelah ia pulang, karena yang menjadi prioritas adalah memastikan keluarganya tidak terlantar selama kepergiannya.

Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah ﷺ:
“Cukuplah seseorang dianggap berdosa jika ia menyia-nyiakan orang yang menjadi tanggungannya.”

Dengan demikian, seseorang tidak wajib berhaji jika:

  • Ia tidak memiliki kendaraan dalam jarak jauh.
  • Ia tidak memiliki wadah untuk membawa bekal dan air.

Bekal dan kendaraan yang dimilikinya masih dibutuhkan oleh keluarganya untuk kehidupan dasar mereka selama ia pergi haji.

كتاب الأم للشافعى ج٧ص٧١
مَنْ نَذَرَ أَنْ يَمْشِيَ إلَى بَيْتِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -): وَمَنْ نَذَرَ تَبَرُّرًا أَنْ يَمْشِيَ إلَى بَيْتِ اللَّهِ الْحَرَامِ لَزِمَهُ أَنْ يَمْشِيَ إنْ قَدَرَ عَلَى الْمَشْيِ، وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ رَكِبَ وَأَهْرَاقَ دَمًا احْتِيَاطًا لِأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِمَا نَذَرَ كَمَا نَذَرَ، وَالْقِيَاسُ أَنْ لَا يَكُونَ عَلَيْهِ دَمٌ مِنْ قِبَلِ أَنَّهُ إذَا لَمْ يُطِقْ شَيْئًا سَقَطَ عَنْهُ كَمَنْ لَا يُطِيقُ الْقِيَامَ فِي الصَّلَاةِ فَيَسْقُطُ عَنْهُ وَيُصَلِّي قَاعِدًا وَلَا يُطِيقُ الْقُعُودَ فَيُصَلِّي مُضْطَجِعًا وَإِنَّمَا فَرَّقْنَا بَيْنَ الْحَجِّ، وَالْعُمْرَةِ وَالصَّلَاةِ أَنَّ النَّاسَ أَصْلَحُوا أَمْرَ الْحَجِّ بِالصِّيَامِ وَالصَّدَقَةِ وَالنُّسُكِ وَلَمْ يُصْلِحُوا أَمْرَ الصَّلَاةِ إلَّا بِالصَّلَاةِ

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -): وَلَا يَمْشِي أَحَدٌ إلَى بَيْتِ اللَّهِ إلَّا حَاجًّا، أَوْ مُعْتَمِرًا لَا بُدَّ لَهُ مِنْهُ (قَالَ الرَّبِيعُ) وَلِلشَّافِعِيِّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -: قَوْلٌ آخَرُ إنَّهُ إذَا حَلَفَ أَنْ يَمْشِيَ إلَى بَيْتِ اللَّهِ الْحَرَامِ فَحَنِثَ فَكَفَّارَةُ يَمِينٍ تَجْزِيهِ مِنْ ذَلِكَ إنْ أَرَادَ بِذَلِكَ الْيَمِينَ (قَالَ الرَّبِيعُ) وَسَمِعْت الشَّافِعِيَّ أَفْتَى بِذَلِكَ رَجُلًا فَقَالَ هَذَا قَوْلُك يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ؟ فَقَالَ هَذَا هُوَ قَوْلُ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي قَالَ وَمَنْ هُوَ؟ قَالَ عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -): وَمَنْ حَلَفَ بِالْمَشْيِ إلَى بَيْتِ اللَّهِ فَفِيهَا قَوْلَانِ أَحَدُهُمَا مَعْقُولُ مَعْنَى قَوْلِ عَطَاءٍ إنَّ كُلَّ مَنْ حَلَفَ بِشَيْءٍ مِنْ النُّسُكِ صَوْمٍ، أَوْ حَجٍّ، أَوْ عُمْرَةٍ فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ إذَا حَنِثَ وَلَا يَكُونُ عَلَيْهِ حَجٌّ وَلَا عُمْرَةٌ وَلَا صَوْمٌ وَمَذْهَبُهُ أَنَّ أَعْمَالَ الْبِرِّ لِلَّهِ لَا تَكُونُ إلَّا بِفَرْضٍ يُؤَدِّيهِ مِنْ فَرْضِ اللَّهِ عَلَيْهِ، أَوْ تَبَرُّرًا يُرِيدُ اللَّهَ بِهِ.

فَأَمَّا عَلَى غَلْقِ الْأَيْمَانِ فَلَا يَكُونُ تَبَرُّرًا وَإِنَّمَا يَعْمَلُ التَّبَرُّرَ لِغَيْرِ الْغَلْقِ، وَقَدْ قَالَ غَيْرُ عَطَاءٍ: عَلَيْهِ الْمَشْيُ كَمَا يَكُونُ عَلَيْهِ إذَا نَذَرَهُ مُتَبَرِّرًا.

(قَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى -): وَالتَّبَرُّرُ أَنْ يَقُولَ لِلَّهِ عَلَيَّ إنْ شَفَى اللَّهُ فُلَانًا، أَوْ قَدِمَ فُلَانٌ مِنْ سَفَرِهِ أَوْ قَضَى عَنِّي دَيْنًا، أَوْ كَانَ كَذَا أَنْ أَحُجَّ لَهُ نَذْرًا فَهُوَ التَّبَرُّرُ، فَأَمَّا إذَا قَالَ إنْ لَمْ أَقْضِك حَقَّك فَعَلَيَّ الْمَشْيُ إلَى بَيْتِ اللَّهِ فَهَذَا مِنْ مَعَانِي الْأَيْمَانِ لَا مِنْ مَعَانِي النُّذُورِ وَأَصْلُ مَعْقُولِ قَوْلِ عَطَاءٍ فِي مَعَانِي النُّذُورِ مِنْ هَذَا أَنَّهُ يَذْهَبُ إلَى أَنَّ مَنْ نَذَرَ نَذْرًا فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَلَا كَفَّارَةٌ فَهَذَا يُوَافِقُ السُّنَّةَ، وَذَلِكَ أَنْ يَقُولَ لِلَّهِ عَلَيَّ إنْ شَفَانِي، أَوْ شَفَى فُلَانًا أَنْ أَنْحَرَ ابْنِي، أَوْ أَنْ أَفْعَلَ كَذَا مِنْ الْأَمْرِ الَّذِي لَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَفْعَلَهُ، فَمَنْ قَالَ هَذَا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ فِيهِ وَفِي السَّائِبَةِ وَإِنَّمَا أَبْطَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ النَّذْرَ فِي الْبَحِيرَةِ وَالسَّائِبَةِ؛ لِأَنَّهَا مَعْصِيَةٌ وَلَمْ يَذْكُرْ فِي ذَلِكَ كَفَّارَةً.

وَكَانَ فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ مَنْ نَذَرَ مَعْصِيَةً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ لَا يَفِيَ وَلَا كَفَّارَةَ عَلَيْهِ وَبِذَلِكَ جَاءَتْ السُّنَّةُ (أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ) قَالَ أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ الْمَلِكِ الْأَيْلِيِّ

Barangsiapa yang Bernazar untuk Berjalan ke Baitullah

(Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): “Barangsiapa yang bernazar sebagai bentuk ibadah (tabarrur) untuk berjalan menuju Baitullah al-Haram, maka wajib baginya berjalan jika mampu. Jika ia tidak mampu berjalan, maka ia harus berkendara dan menyembelih hewan sebagai bentuk kehati-hatian, karena ia tidak dapat memenuhi nazarnya sebagaimana yang ia janjikan. Namun, secara qiyas, sebenarnya ia tidak wajib menyembelih hewan, karena jika seseorang tidak mampu melakukan sesuatu, maka kewajiban itu gugur darinya. Seperti orang yang tidak mampu berdiri dalam shalat, maka ia shalat dengan duduk, dan jika tidak mampu duduk, ia shalat dengan berbaring.

Kami membedakan antara haji dan umrah dengan shalat karena manusia telah menetapkan solusi dalam ibadah haji dengan puasa, sedekah, dan penyembelihan, sementara dalam shalat, mereka tidak menetapkan solusi kecuali dengan shalat itu sendiri.”

(Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): “Tidak ada seorang pun yang berjalan menuju Baitullah kecuali untuk haji atau umrah yang memang diwajibkan baginya.”

(Ar-Rabi’ berkata): “Dan Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – memiliki pendapat lain bahwa jika seseorang bersumpah untuk berjalan ke Baitullah al-Haram lalu melanggar sumpahnya, maka kaffarah sumpah sudah mencukupi baginya, jika niatnya adalah bersumpah.”

(Ar-Rabi’ berkata): “Aku mendengar asy-Syafi’i memberikan fatwa kepada seseorang tentang hal ini, lalu orang itu bertanya, ‘Apakah ini pendapatmu, wahai Abu Abdillah?’ Maka beliau menjawab, ‘Ini adalah pendapat orang yang lebih baik dariku.’ Orang itu bertanya, ‘Siapa dia?’ Beliau menjawab, ‘Atha’ bin Abi Rabah.'”

(Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): “Barangsiapa yang bersumpah untuk berjalan ke Baitullah, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Salah satunya adalah sesuai dengan makna pendapat Atha’, yaitu bahwa setiap orang yang bersumpah untuk melakukan salah satu bentuk ibadah seperti puasa, haji, atau umrah, maka kaffarah sumpah sudah mencukupi baginya jika ia melanggarnya, dan tidak wajib baginya haji, umrah, atau puasa.

Mazhab beliau adalah bahwa amalan kebaikan karena Allah tidak terjadi kecuali dengan kewajiban yang diperintahkan oleh Allah atau dalam bentuk ibadah sunah yang dilakukan dengan niat mendekatkan diri kepada Allah.

Adapun dalam konteks sumpah yang bersifat ‘ghalaq’ (menekan diri sendiri), maka itu bukan ibadah tabarrur (mendekatkan diri kepada Allah), karena tabarrur dilakukan bukan dalam kondisi keterpaksaan.

Sebagian ulama selain Atha’ berpendapat bahwa orang yang bersumpah untuk berjalan ke Baitullah wajib memenuhinya sebagaimana jika ia bernazar dengan niat tabarrur.”

(Imam asy-Syafi’i – rahimahullah – berkata): “Tabarrur adalah jika seseorang berkata, ‘Demi Allah, jika Allah menyembuhkan si fulan, atau jika si fulan kembali dari safarnya, atau jika utangku terlunasi, maka aku akan berhaji sebagai nazar.’ Inilah tabarrur.

Namun, jika ia berkata, ‘Jika aku tidak melunasi hakmu, maka wajib atasku berjalan ke Baitullah,’ maka ini termasuk makna sumpah, bukan nazar.

Pendapat Atha’ dalam hal ini sejalan dengan makna nazar, yaitu bahwa barangsiapa yang bernazar dalam maksiat kepada Allah, maka ia tidak wajib menunaikannya dan tidak ada kaffarah baginya.

Hal ini sesuai dengan sunnah, sebagaimana seseorang yang berkata, ‘Jika Allah menyembuhkanku atau menyembuhkan si fulan, maka aku akan menyembelih anakku,’ atau ‘Aku akan melakukan sesuatu yang diharamkan,’ maka tidak ada kewajiban apapun baginya.

Demikian pula dalam nazar yang berkaitan dengan bahirah dan saibah, yang telah Allah batalkan karena itu merupakan bentuk maksiat, dan Allah tidak menetapkan kaffarah dalam hal tersebut.”

“Dalam hal ini, terdapat dalil bahwa barangsiapa yang bernazar dalam maksiat kepada Allah, maka ia tidak wajib memenuhinya dan tidak ada kaffarah baginya, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam sunnah.”

(Ar-Rabi’ berkata): “Imam asy-Syafi’i memberitahukan kepada kami, bahwa Imam Malik meriwayatkan dari Thalhah bin Abdul Malik al-Aili…” WALLAHU A’LAM BISH-SHAWAB.

Kategori
Hukum

Tradisi Air Barokah dalam Ziarah Wali

 

Deskripsi Masalah:

Di kalangan masyarakat Jawa dan Madura, telah menjadi tradisi untuk mengadakan perkumpulan keagamaan yang dikombinasikan dengan sistem arisan. Sebagian dari dana yang terkumpul digunakan untuk kegiatan ziarah (tour) ke makam Wali Songo dan para wali lainnya yang diyakini memiliki karomah.
Saat berziarah, para peziarah sering kali meletakkan sebotol air di depan atau di samping makam wali. Kemudian, mereka membuka tutup botol saat bertawassul dengan membaca Surah Al-Fatihah, Surah Yasin, dan tahlil. Tradisi ini telah mengakar kuat di kalangan Nahdliyyin, dengan keyakinan bahwa air tersebut dapat menyerap keberkahan dari para wali, sehingga membawa manfaat bagi yang meminumnya.

Pertanyaan:
  1. Apakah ada dasar yang menganjurkan kebiasaan tersebut?
  2. Apakah keberkahan dari para wali dapat diperoleh melalui air yang diletakkan di makam?
  3. Bagaimana pandangan fiqih terhadap orang yang meyakini bahwa air tersebut mendapatkan keberkahan dari para wali?
Jawaban:
  1. Ada, baik berdasarkan hadits maupun berbagai dalil yang membenarkan cara-cara tertentu dalam mencari keberkahan, termasuk meletakkan air di dekat makam wali.
  2. Bisa, karena keberkahan dapat tersalurkan melalui sarana tertentu, sebagaimana sebagian ahli sufi  berkata: “Sesungguhnya Allah mewakilkan seorang malaikat di kuburan wali untuk memenuhi berbagai hajat manusia. Terkadang wali itu sendiri keluar dari kuburnya dan langsung memenuhi hajat tersebut, dengan izin Allah.
  3. Keyakinan tersebut dapat dibenarkan selama tetap dalam koridor tauhid dan tidak mengandung unsur syirik.
تنوير القلوب للسيد آمين الكردي ص ٤٦٩

(فصل في فضل الأولياء وثبوت كراماتهم من الكتاب)
والسنة)
قال الله تعالى : (أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ)
وقال عليه الصلاة والسلام : ( إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ عِباداً يغبطهم الأنبياء والشهداء ) قيل : من هم يارسول الله لعلنا نحبهم ؟ قال : هُمْ قَوْم تحابوا بنور الله على غير أموال وأنساب . وُجُوهُهُمْ نور وهم على منابر من نور لا يخافون إذا خاف الناس، ولا يحزنون إذا حزن الناس ) رواه النسائي وابن حبان في صحيحه . ثم تلا الآية المذكورة . وظهور الكرامات على الأولياء جائز عقلا و واقع نقلا ؛ أما جوازه عقلا فلأنه ليس بمستحيل في قدرة الله تعالى بل هو من قبيل الممكنات كظهور معجزات الأنبياء ولا يلزم من جوازها ووقوعها محال وكل ما هذا شأنه فهو جائز الوقوع . وهي ثابتة لهم في الحياة وبعد الموت كما ذهب إليه جمهور أهل السنة، وليس في مذهب من المذاهب الأربعة قول بنفيها بعد الموت بل ظهورها حينئذ أولى لأن النفس حينئذ صافية من الأكدار ولذا قيل : من لم تظهر كرامته بعد موته كما كانت في حياته فليس بصادق . قال بعض المشايخ : إن الله يوكل بقبر الولى ملكا يقضى الحوائج وتارة يخرج الولى من قبره ويقضيها بنفسه ) والكرامة ( أمر خارق للعادة غير مقرون بدعوى النبوة ولاهو مقدمة لها ، يظهر على يد عبد ظاهر الصلاح ملتزم المتابعة في كاف بشريعته مصحوب بصحيح الاعتقاد والعمل الصالح علم بها أو لم يعلم، ثم اعلم أن الولى ليس بمعصوم ( إذ العصمة للنبي ( لا للولى بل هو محفوظ ومعنى الحفظ في حقه ( أنه لا يفعل معصية ) وإن فعلها ندم فوراً وتاب توبة تامة

Fasal dalam Keutamaan Para Wali dan Penetapan Karomah Mereka dari Al-Qur’an dan Hadits

Allah Ta’ala berfirman:

“Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada rasa takut atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Yunus: 62)

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah ada sekelompok orang yang para nabi dan para syuhada merasa iri kepada mereka.” Lalu ada yang bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah? Semoga kami bisa mencintai mereka.” Maka beliau bersabda:

“Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai dengan cahaya Allah, bukan karena harta atau nasab. Wajah-wajah mereka bercahaya, mereka berada di atas mimbar-mimbar cahaya, mereka tidak takut ketika manusia merasa takut, dan mereka tidak bersedih ketika manusia bersedih.”

Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasai dan Ibnu Hibban dalam Shahih-nya. Kemudian beliau ﷺ membaca ayat yang telah disebutkan.

Munculnya karomah pada para wali itu dapat diterima secara akal dan terbukti secara riwayat:

Secara akal, karomah bukanlah sesuatu yang mustahil dalam kekuasaan Allah Ta’ala. Bahkan, ia termasuk perkara yang mungkin terjadi, sebagaimana munculnya mukjizat para nabi. Tidak ada keharusan bahwa hal tersebut mustahil terjadi, sehingga keberadaannya menjadi sesuatu yang bisa terjadi.

Secara riwayat, karomah telah ditetapkan bagi para wali baik semasa hidup maupun setelah wafat, sebagaimana diyakini oleh mayoritas Ahlus Sunnah. Tidak ada satu pun mazhab dari empat mazhab yang menafikan karomah setelah kematian para wali. Bahkan, kemunculannya setelah wafat lebih utama, karena pada saat itu jiwa mereka telah suci dari berbagai kekeruhan dunia. Oleh sebab itu, dikatakan:

“Barang siapa yang tidak tampak karomahnya setelah wafat sebagaimana ketika ia hidup, maka ia bukanlah seorang wali yang sejati.”

Sebagian ulama sufi berkata:

“Sesungguhnya Allah mewakilkan seorang malaikat di kuburan wali untuk memenuhi berbagai hajat manusia. Terkadang wali itu sendiri keluar dari kuburnya dan langsung memenuhi hajat tersebut.”

Definisi Karomah

Karomah adalah suatu kejadian luar biasa yang tidak disertai dengan pengakuan kenabian dan bukan pula sebagai pendahuluan untuk menjadi nabi. Karomah muncul pada diri seorang hamba yang secara lahiriah terlihat shaleh, berpegang teguh pada syariat dalam seluruh aspeknya, serta memiliki akidah yang benar dan amal saleh. Ia bisa mengetahui atau tidak menyadari bahwa dirinya memiliki karomah.

Wali Tidak Maksum, tetapi Terjaga dari Dosa

Seorang wali tidak memiliki sifat maksum (terbebas dari dosa), karena kemaksuman hanya milik para nabi. Namun, wali tetap dijaga (mahfuzh) oleh Allah. Makna “terjaga” dalam hal ini adalah ia tidak terus-menerus melakukan dosa. Jika ia melakukannya, ia akan segera menyesal dan bertobat dengan taubat yang sempurna.

مفاهيم يجب أن تصحح – السيد محمد علوي المالكي الحسني ج١ ص (٣٧٢)
(مفهوم التبرك) يخطئ كثير من الناس في فهم حقيقة التبرك بالنبي ﷺ و آثاره وآل بيته ووراثه من العلماء والأولياء رضي الله عنهم فيصفون كل من يسلك ذلك المسلك بالشرك والضلال كما هي عادتهم في كل جديد يضيق عنه نظرهم ويقصر عن إدراكه تفكيرهم. وقبل أن نبين الأدلة والشواهد الناطقة بجواز ذلك بل بمشروعيته ينبغي أن نعلم أن التبرك ليس هو إلا توسلاً إلى الله سبحانه وتعالى بذلك المتبرك به سواء أكان أثراً أو مكاناً أو شخصاً. أما الأعيان فلاعتقاد فضلها وقربها من الله سبحانه وتعالى مع اعتقاد عجزها عن جلب خير أو دفع شر إلا بإذن الله. وأما الآثار فلأنها منسوبة إلى تلك الأعيان فهي مشرفة بشرفها ومكرمة ومعظمة ومحبوبة لأجلها. وأما الأمكنة فلا فضل لها لذاتها من حيث هي أمكنة وإنما لما يحل فيها ويقع من خير وبر كالصلاة والصيام وجميع أنواع العبادات مما يقوم به عباد الله الصالحون إذ تتنزل فيها الرحمات وتحضرها الملائكة وتغشاها السكينة وهذه هي البركة التي تطلب من الله في الأماكن المقصود لذلك. وهذه البركة تطلب بالتعرض لها في أماكنها بالتوجه إلى الله تعالى ودعائه واستغفاره وتذكر ما وقع في تلك الأماكن من حوادث عظيمة ومناسبات كريمة تحرك النفوس وتبعث فيها الهمة والنشاط للتشبه بأهلها أهل الفلاح والصلاح وإليك هذه النصوص المقتبسة من رسالتنا الخاصة في موضوع البركة

Mafahim Yajibu An Tushahhah – Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Juz 1, Halaman 372

(Konsep Tabarruk)

Banyak orang salah dalam memahami hakikat tabarruk (mengharap berkah) kepada Nabi ﷺ, peninggalannya, Ahlul Bait-nya, serta para pewarisnya dari kalangan ulama dan wali رضي الله عنهم. Mereka menuduh setiap orang yang menempuh jalan ini sebagai musyrik dan sesat, sebagaimana kebiasaan mereka dalam setiap perkara baru yang tidak bisa mereka pahami dan sulit mereka cerna dengan akal mereka yang terbatas.

Sebelum menjelaskan dalil dan bukti yang menunjukkan kebolehan bahkan pensyariatan tabarruk, kita perlu memahami bahwa tabarruk sejatinya hanyalah bentuk tawassul kepada Allah سبحانه وتعالى melalui sesuatu yang dijadikan sarana tabarruk, baik berupa peninggalan, tempat, atau orang tertentu.

Adapun tabarruk kepada zat tertentu, dilakukan dengan keyakinan akan keutamaannya serta kedekatannya kepada Allah سبحانه وتعالى, sambil tetap meyakini bahwa zat tersebut tidak memiliki kemampuan mendatangkan manfaat atau menolak bahaya kecuali dengan izin Allah.

Sedangkan tabarruk kepada peninggalan, karena benda-benda tersebut memiliki hubungan dengan orang-orang yang diberkahi, sehingga benda-benda tersebut pun ikut dimuliakan, dihormati, dan dicintai karena keterkaitannya dengan mereka.

Adapun tabarruk kepada tempat, maka tempat itu sendiri tidak memiliki keutamaan secara zatnya, melainkan karena di dalamnya terjadi berbagai kebaikan dan keberkahan, seperti shalat, puasa, serta berbagai bentuk ibadah yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang saleh. Di tempat-tempat tersebut turun rahmat, dihadiri oleh para malaikat, dan diliputi ketenangan. Inilah berkah yang dimohon dari Allah di tempat-tempat yang dimaksud.

Keberkahan ini diminta dengan mendekatkan diri kepadanya di lokasi-lokasi tertentu, dengan menghadap kepada Allah سبحانه وتعالى, berdoa, beristighfar, serta mengingat peristiwa-peristiwa agung dan momen-momen mulia yang terjadi di tempat tersebut. Hal ini membangkitkan semangat dan motivasi dalam diri seseorang untuk meneladani para penghuninya, yaitu orang-orang yang beruntung dan saleh.

Berikut ini beberapa teks yang diambil dari risalah kami yang khusus membahas tentang keberkahan.

صحيح البخاري – (ج ١ / ص ٣١٩)
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا الْحَكَمُ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا جُحَيْفَةً يقول  خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْهَاجِرَةِ فَأْتِيَ بوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلٍ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ فَصَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ وَالْعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ وَقَالَ أَبُو مُوسَى دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ فِيهِ مَاءً فَغَسَلَ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ فِيهِ وَمَجٌ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهُمَا اشْرَبَا مِنْهُ وَأَفْرِغَا عَلَى وُجُوهِكُمَا وَنُحُورِكُمَا )

Hadits Shahih Al-Bukhari (Juz 1, Halaman 319):

Diriwayatkan dari Abu Juhaifah:

“Rasulullah ﷺ keluar pada siang hari yang sangat panas. Lalu beliau diberi air wudhu, kemudian beliau berwudhu. Orang-orang pun mengambil sisa air wudhunya dan mengusapkannya ke tubuh mereka. Setelah itu, Nabi ﷺ shalat Zuhur dua rakaat dan Ashar dua rakaat, sementara di hadapannya terdapat sebuah tombak kecil (‘anazah).
Abu Musa berkata, ‘Nabi ﷺ meminta sebuah bejana berisi air, lalu beliau mencuci tangan dan wajahnya di dalamnya serta berkumur di dalamnya. Kemudian beliau bersabda kepada mereka: “Minumlah dari air ini dan siramkan ke wajah serta leher kalian.”’”

أنوار البروق في أنواع الفروق (١٩٣/٣)
والذي يتجه أن يقال ولا يقع فيه خلاف أنه يحصل لهم بركة القراءة لا ثوابها كما تحصل لهم بركة الرجل الصالح يدفن عندهم أو يدفنون عنده فإن البركة لا تتوقف على الأمر فإن البهيمة يحصل لها بركة راكبها أو مجاورها وأمر البركات لا ينكر فقد كان رسول الله صلى الله عليه أنه وسلم تحصل بركته للبهائم من الخيل والحمير وغيرهما كما روي ضرب فرسا بسوط فكان لا يسبق بعد ذلك بعد أن كان بطيء الحركة وحماره عليه السلام كان يذهب إلى بيوت أصحاب رسول الله صلى  الله عليه وسلم يستدعيهم إليه بنطح رأسه الباب وغير ذلك من بركاته عليه السلام كما هو مروي في معجزاته وكراماته عليه السلام وهذه
المسألة وإن كانت مختلفا فيها فينبغي للإنسان أن لا يهملها فلعل الحق هو الوصول إلى الموتى فإن هذه أمور مغيبة عنا, وليس الخلاف في حكم شرعي إنما هو في أمر واقع هل هو كذلك أم لا, وكذلك التهليل الذي عادة الناس يعملونه اليوم ينبغي أن يعمل ويعتمد في ذلك على فضل الله تعالى وما ييسره ويلتمس فضل الله بكل سبب ممكن ومن الله الجود والإحسان هذا هو اللائق بالعبد

Anwar Al-Buruq fi Anwa’ Al-Furuq (Juz 3, Halaman 193):

“Yang lebih tepat untuk dikatakan dan tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya adalah bahwa mereka memperoleh keberkahan dari bacaan (Al-Qur’an), bukan pahalanya. Sebagaimana keberkahan bisa diperoleh dari seorang lelaki saleh yang dimakamkan di sekitar mereka atau mereka dimakamkan di dekatnya.
Keberkahan tidak terbatas pada sesuatu yang diperintahkan saja. Bahkan seekor hewan pun bisa mendapatkan keberkahan dari penunggangnya atau sesuatu yang dekat dengannya. Keberadaan keberkahan bukanlah sesuatu yang bisa disangkal.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ keberkahannya bahkan sampai kepada hewan-hewan seperti kuda, keledai, dan lainnya. Sebagaimana disebutkan bahwa beliau pernah memukul seekor kuda dengan cambuknya, lalu setelahnya kuda itu tidak pernah kalah dalam perlombaan setelah sebelumnya dikenal lambat.
Keledai beliau ﷺ juga dikenal pergi ke rumah-rumah sahabat Rasulullah ﷺ dan memanggil mereka dengan menabrakkan kepalanya ke pintu. Ini adalah bagian dari keberkahan beliau ﷺ sebagaimana yang diriwayatkan dalam berbagai mukjizat dan karamahnya.
Meskipun masalah ini diperselisihkan, sebaiknya seseorang tidak mengabaikannya, karena bisa jadi kebenaran ada dalam keyakinan bahwa keberkahan sampai kepada orang-orang yang telah meninggal dunia. Ini adalah perkara gaib bagi kita, dan perbedaan pendapat bukan dalam hukum syar’i, tetapi dalam kenyataan apakah hal ini benar-benar terjadi atau tidak.
Begitu pula dengan dzikir tahlil yang menjadi kebiasaan masyarakat saat ini, seharusnya tetap dilakukan dan hendaknya seseorang bergantung pada karunia Allah serta mengharapkan kebaikan dengan segala sarana yang memungkinkan. Sesungguhnya, kemurahan dan kebaikan itu berasal dari Allah, dan ini adalah sikap yang paling sesuai bagi seorang hamba.”

إرشاد السارى لشرح صحيح بخاري ج٣ ص ٤٢٨
(لما اشتكى النبي، ﷺ،) أي: مرض مرضه الذي مات فيه (ذكرت) ولأبي ذر، والأصيلي: ذكر (بعض نسائه) هما: أم سلمة وأم حبيبة، كما سيأتي (كنيسة) بفتح الكاف، معبد النصارى (رأينها بأرض الحبشة) بنون الجمع في: رأينها، على أن أقل الجمع اثنان، أو معهما غيرهما من النسوة (يقال لها) أي: للكنيسة (مارية) بكسر الراء وتخفيف المثناة التحتية، علم للكنيسة، (وكانت أم سلمة) بفتح اللام، أم المؤمنين: هند بنت أبي أمية المخزومية (وأم حبيبة) بفتح الحاء، أم المؤمنين أيضًا: رملة بنت أبي سفيان (﵄، أتتا أرض الحبشة، فذكرتا) بلفظ التثنية للمؤنث من الماضي (من حسنها وتصاوير فيها، فرفع) رسول الله، ﷺ: (رأسه فقال):

(أولئك) بكسر الكاف، ويجوز فتحها (إذا مات منهم) وفي نسخة: فيهم (الرجل الصالح وجواب، إذا، قوله: (بنوا على قبره مسجدًا ثم، صوروا فيه) أي: في المسجد (تلك الصورة) التي مات صاحبها، ولأبي الوقت: من غير اليونينية: تلك الصور، بالجمع.

قال القرطبي: وإنما صوّر أوائلهم الصور ليتأنسوا بها، ويتذكروا أفعالهم الصالحة، فيجتهدون كاجتهادهم، ويعبدون الله عند قبورهم، ثم خلفهم قوم جهلوا مرادهم، ووسوس لهم الشيطان أن أسلافهم كانوا يعبدون هذه الصور، يعظمونها، فحذر النبي ﷺ عن مثل ذلك، سدًّا للذريعة المؤدية إلى ذلك بقوله: (أولئك) بكسر الكاف وفتحها، ولأبي ذر: وأولئك (شرار الخلق عند الله). وموضع الترجمة قوله: بنوا على قبره مسجدًا، وهو مؤول على مذمة من اتخذ القبر مسجدًا، ومقتضاه التحريم. لا سيما وقد ثبت اللعن عليه، لكن صرح الشافعي، وأصحابه بالكراهة. وقال البندنيجي: المراد أن يسوى القبر مسجدًا، فيصلّى فيه. وقال إنه يكره أن يبنى عنده مسجد فيصلّى فيه إلى القبر، وأما المقبرة الدائرة إذا بني فيها مسجد ليصلّى فيه فلم أر فيه بأسًا، لأن المقابر وقف، وكذا المسجد، فمعناهما واحد.

قال البيضاوي: لما كانت اليهود والنصارى يسجدون لقبور الأنبياء تعظيمًا لشأنهم، ويجعلونها قبلة يتوجهون في الصلاة نحوها، واتخذوها أوثانًا، لعنهم النبي، ﷺ ومنع المسلمين عن مثل ذلك.
فأمَّا من اتخذ مسجدًا في جوار صالح، وقصد التبرك بالقرب منه، لا للتعظيم ولا للتوجه إليه، فلا يدخل في الوعيد المذكور

Ketika Nabi ﷺ jatuh sakit, yaitu sakit yang menyebabkan wafatnya, disebutkan oleh sebagian istri beliau—menurut riwayat Abu Dzar dan Al-Ashili disebut dengan lafaz dzakara—bahwa mereka melihat sebuah gereja di negeri Habasyah. Istri-istri tersebut adalah Ummu Salamah dan Ummu Habibah, sebagaimana akan disebutkan kemudian.

Mereka berkata bahwa gereja itu disebut Maria—dengan kasrah pada huruf ra dan tasydid pada huruf ya, yang merupakan nama gereja tersebut. Ummu Salamah, yang bernama Hindun binti Abi Umayyah Al-Makhzumiyyah, serta Ummu Habibah, yang bernama Ramlah binti Abu Sufyan—radhiyallahu ‘anhuma—pernah pergi ke negeri Habasyah. Lalu mereka menceritakan tentang keindahan gereja itu serta gambar-gambar (lukisan) yang terdapat di dalamnya.

Mendengar hal itu, Rasulullah ﷺ mengangkat kepala beliau dan bersabda:

“Mereka itu (yakni para pemilik gereja) jika ada seorang laki-laki saleh di antara mereka yang meninggal dunia—dalam sebagian riwayat disebutkan dengan lafaz fihim (di antara mereka)—mereka membangun sebuah masjid di atas kuburannya, lalu mereka membuat gambar-gambar di dalamnya.”

Menurut riwayat Abu Al-Waqt yang tidak berasal dari riwayat Yuniniyyah, lafaznya berbentuk jamak: tilka as-shuwar (gambar-gambar tersebut).

Al-Qurthubi menjelaskan bahwa generasi awal mereka pada mulanya hanya membuat gambar-gambar tersebut untuk mengenangnya, agar mereka bisa mengingat amal saleh orang-orang itu, lalu meniru kesungguhan mereka dalam beribadah kepada Allah di sisi kuburan mereka. Namun, generasi setelah mereka adalah orang-orang yang tidak memahami maksud tersebut. Setan pun membisikkan kepada mereka bahwa para pendahulu mereka dulu menyembah gambar-gambar itu dan mengagungkannya. Karena itu, Nabi ﷺ memperingatkan dari perbuatan semacam ini guna menutup pintu (menuju kesyirikan), dengan sabda beliau:

“Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk di sisi Allah.”

Makna utama dari hadits ini adalah kecaman terhadap orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid. Ini menunjukkan keharaman perbuatan tersebut, terlebih karena dalam riwayat lain disebutkan adanya laknat bagi mereka yang melakukannya. Namun, Imam Asy-Syafi’i dan para pengikutnya secara jelas menyatakan bahwa hal tersebut makruh.

Al-Bandaniji menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah menjadikan kuburan sebagai tempat sujud dan salat. Ia menambahkan bahwa makruh membangun masjid di sekitar kuburan untuk dijadikan tempat salat yang mengarah ke kuburan. Namun, jika ada pemakaman umum dan di dalamnya dibangun sebuah masjid untuk salat, maka ia tidak melihat adanya masalah dalam hal itu, karena baik kuburan maupun masjid adalah wakaf (tanah yang diwakafkan), sehingga keduanya memiliki fungsi yang sama.

Al-Baidlawi juga menjelaskan bahwa Yahudi dan Nasrani dulunya bersujud di hadapan kuburan para nabi mereka sebagai bentuk penghormatan, bahkan menjadikannya sebagai kiblat dalam salat mereka, sehingga mereka akhirnya menyembah kuburan itu sebagaimana berhala. Oleh karena itu, Nabi ﷺ melaknat mereka dan melarang umat Islam dari perbuatan semacam itu.

Namun, jika ada seseorang yang membangun masjid di dekat kuburan seorang wali atau orang saleh, dengan tujuan mencari keberkahan dari keberadaannya di dekat tempat tersebut—bukan untuk mengagungkannya atau menghadap kepadanya dalam ibadah—maka hal itu tidak termasuk dalam ancaman yang disebutkan dalam hadits ini.

فيض الباري شرح البخاري – (٢ / ١٧٥)
قال الطيبي: وأما من اتخذ مسجدًا بجوار صالح بحيث يبقى قبره خارج المسجد، وقصد التبرك بالقرب منه لا التعظيم له ولا التوجه نحوه فلا بأس به ويرجى فيه النفع أيضًا

Faidul Bari Syarh Al-Bukhari (Juz 2, Halaman 175):

Al-Tibi berkata: “Adapun seseorang yang membangun masjid di dekat seorang hamba saleh dengan syarat kuburnya tetap berada di luar masjid, dan ia bertujuan untuk mencari keberkahan dengan berada di dekatnya—bukan untuk mengagungkannya atau menghadap ke arahnya dalam ibadah—maka hal ini tidak mengapa. Bahkan, diharapkan ada manfaat (keberkahan) dalam hal tersebut.”

أسنى المطالب في شرح روض الطالب – (١ / ٥٢٢)

ويحرم أخذ طيب الكعبة وأخذ سترها ومن أخذ منهم  شيئًا لزمه رده فمن أراد التبرك بها في طيب مسحها بطيب نفسه ثم يأخذه

Asna Al-Mathalib fi Syarh Raudh At-Talib (Juz 1, Halaman 522):

“Haram hukumnya mengambil minyak wangi (wewangian) dari Ka’bah atau mengambil kain penutupnya. Barang siapa yang mengambil sesuatu dari keduanya, maka ia wajib mengembalikannya. Jika seseorang ingin mencari keberkahan dari Ka’bah melalui minyak wanginya, maka hendaknya ia mengusapkan minyak wanginya sendiri ke Ka’bah, lalu mengambilnya kembali.” Wallah A’lam bisshowab.

Kategori
Hukum

Mengambil Sisa Makanan Tamu VS Mengambil Foto di Medsos Tanpa Izin

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:Bahwa tamu datang bersama rezekinya:

إِذَا دَخَلَ الضَّيْفُ عَلَى الْقَوْمِ دَخَلَ بِرِزْقِهِ وَإِذَا خَرَجَ خَرَجَ بِمَغْفِرَتِهِمْ (رواه الديلمي)

Artinya:
“Jika tamu mengunjungi suatu kaum, maka ia datang dengan membawa rezekinya sendiri. Dan jika ia pergi, maka ia keluar dengan membawa pengampunan bagi mereka (kaum tersebut).” (HR. Ad-Dailami)
Hadis ini menunjukkan bahwa keberadaan tamu mendatangkan rezeki bagi tuan rumah. Sejalan dengan keyakinan ini, sebagian masyarakat meyakini bahwa sisa makanan yang ditinggalkan oleh tamu, terutama ulama ( Kiyai ) memiliki keberkahan, bahkan dianggap sebagai obat. Oleh karena itu, tidak jarang pelayan , panitia acara pernikahan atau haflah mengambil sisa makanan tersebut tanpa meminta izin terlebih dahulu dari tamu yang bersangkutan.

Studi Kasus yang serupa

Pada zaman Milenial sudah banyak aplikasi yang dapat menampilkan foto seperti messenger FP dan What App, bagi pemilik Akun FB maupun WA sering menampilkan foto di media sosial. Permasalahan yang muncul adalah:

Bagaimana hukum mengambil sisa makanan tamu tanpa izin? Sementara tamu meninggalkan dan pulang dengan mendapatkan ampunan, begitu juga hukum mengambil foto di FB/ WA bolehkah atau tidak ?

Waalaikum salam

Jawaban

Jika ada dugaan kuat pememiliknya ridho ( rela ) maka hukumnya boleh mengambilnya, tetapi sebaliknya jika pemiliknya tidak rela maka ia wajib menggantinya. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra berikut :

الفتاوى الفقهية الكبرى (ج٤/ص١١٦)
وسئل بما لفظه هل جواز الأخذ بعلم الرضا من كل شيء أم مخصوص بطعام الضيافة فأجاب بقوله الذي دل عليه كلامهم أنه غير مخصوص بذلك وصرحوا بأن غلبة الظن كالعلم في ذلك وحينئذ فمتى غلب على ظنه أن المالك يسمح له بأخذ شيء معين من ماله جاز له أخذه ثم إن بان خلاف ظنه لزمه ضمانه وإلا فلا

Seseorang bertanya, “Apakah kebolehan mengambil sesuatu dengan dasar mengetahui kerelaan pemiliknya berlaku untuk segala sesuatu, ataukah khusus untuk makanan jamuan?” Maka dijawab: “Keterangan para ulama menunjukkan bahwa hal ini tidak khusus untuk makanan jamuan saja. Mereka juga menyatakan bahwa ghalabatuzh zhan (dugaan kuat) setara dengan pengetahuan dalam hal ini. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki dugaan kuat bahwa pemiliknya mengizinkan dia mengambil sesuatu dari harta miliknya, maka dibolehkan baginya untuk mengambilnya. Namun, jika ternyata dugaan tersebut keliru, maka ia wajib menggantinya. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban mengganti.” Dalil hadits

لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridho pemiliknya” (HR. Ahmad 5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi).
Izin di sini boleh jadi:
(1) Izin secara langsung
(2) Izin tidak langsung (izin dalalah)

Adapun izin tidak langsung yaitu misalnya secara ‘urf (kebiasaan), hal seperti itu sudah dimaklumi tanpa ada izin lisan atau sudah diketahui ridhonya si pemilik jika barangnya dimanfaatkan.
Mengenai bentuk izin jenis kedua ini kita bisa berdalil dengan kisah Khidr yang menghancurkan perahu orang miskin yang nantinya akan dirampas oleh raja. Ia sengaja menghancurkannya karena ia tahu bahwa mereka (para pemilik) ridho akan perbuatan Khidr. Allah Ta’ala berfirman,

أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al Kahfi: 79).
Oleh karenanya, mengenai izin jenis kedua ini, Ibnu Taimiyah memiliki kaedah,

وَالْإِذْنُ الْعُرْفِيُّ كَالْإِذْنِ اللَّفْظِيِّ

“Izin secara ‘urf (kebiasaan) teranggap sama dengan izin secara lisan” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 427).
Di tempat lain, beliau rahimahullah mengatakan,

وَكُلُّ مَا دَلَّ عَلَى الْإِذْنِ فَهُوَ إذْنٌ

“Segala sesuatu yang bermakna izin maka dihukumi sebagai izin” (Majmu’ Al Fatawa, 28: 272). Begitu juga halnya  tamu yang pulangnya lebih dari tiga hari (bertanya lebih tiga hari)  walaupun tanpa izin tidaklah berdosa karena hal tersebut termasuk sedekah.

Berdasarkan hadits

 شرح النووي على مسلم ص٢٩-٣٠

(بَاب الضِّيَافَةِ وَنَحْوُهَا

[٤٨] قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامِ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ) وَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ وَفِي رِوَايَةٍ الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقِيمَ عِنْدَ أَخِيهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ قَالَ يُقِيمُ عِنْدَهُ وَلَا شئ له يقر بِهِ وَفِي رِوَايَةٍ إِنْ نَزَلْتُمْ بِقَوْمٍ فَأَمَرُوا لَكُمْ بِمَا يَنْبَغِي لِلضَّيْفِ فَاقْبَلُوا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوا فَخُذُوا مِنْهُمْ حَقَّ الضَّيْفِ الَّذِي يَنْبَغِي لَهُمْ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ مُتَظَاهِرَةٌ عَلَى الْأَمْرِ بِالضِّيَافَةِ وَالِاهْتِمَامِ بِهَا وَعَظِيمِ مَوْقِعِهَا وَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى الضِّيَافَةِ وَأَنَّهَا مِنْ مُتَأَكِّدَاتِ الْإِسْلَامِ ثُمَّ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ رَحِمَهُمُ اللَّهُ تعالى والجمهور هي سنة ليست بوجبة وَقَالَ اللَّيْثُ وَأَحْمَدُ هِيَ وَاجِبَةٌ يَوْمًا وَلَيْلَةً قال أَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هِيَ وَاجِبَةٌ يَوْمًا وَلَيْلَةً عَلَى أَهْلِ الْبَادِيَةِ وَأَهْلِ)الْقُرَى
دُونَ أَهْلِ الْمُدُنِ وَتَأَوَّلَ الْجُمْهُورُ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ وَأَشْبَاهَهَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ وَمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ وَتَأَكُّدِ حَقِّ الضَّيْفِ

Bab Keramahtamahan dan Hal-Hal yang Berkaitan Dengannya

[48] Sabda Rasulullah ﷺ:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya dengan pemberian yang pantas baginya.”

Para sahabat bertanya, “Apakah pemberian yang pantas itu, wahai Rasulullah?”

Beliau menjawab, “Sehari semalam, dan keramahtamahan itu (berlaku) selama tiga hari. Setelah itu, (jika lebih dari tiga hari) maka itu menjadi sedekah baginya.”

Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Keramahtamahan itu selama tiga hari, dan pemberian yang pantas baginya adalah sehari semalam. Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menetap di tempat saudaranya hingga ia menjadikannya berdosa.”

Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang bisa menjadikannya berdosa?”

Beliau menjawab, “Ia menetap di tempat saudaranya, sementara saudaranya tidak memiliki sesuatu untuk menjamunya.”

Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika kalian singgah di suatu kaum, lalu mereka memberikan apa yang seharusnya diberikan kepada tamu, maka terimalah. Tetapi jika mereka tidak melakukannya, maka ambillah hak tamu yang seharusnya diberikan kepada kalian.”

Hadis-hadis ini secara keseluruhan menunjukkan perintah untuk menjamu tamu, perhatian terhadapnya, serta kedudukan pentingnya dalam Islam. Kaum Muslimin telah sepakat bahwa menjamu tamu adalah bagian dari ajaran Islam yang sangat ditekankan.

Imam Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa menjamu tamu adalah sunnah dan tidak wajib.

Sedangkan Imam Laits dan Ahmad berpendapat bahwa menjamu tamu hukumnya wajib selama sehari semalam.

Imam Ahmad menambahkan bahwa kewajiban ini berlaku bagi penduduk pedesaan dan perkampungan, tetapi tidak berlaku bagi penduduk kota-kota besar.

Mayoritas ulama menafsirkan hadis-hadis tersebut sebagai anjuran dan bagian dari akhlak mulia serta penegasan terhadap hak tamu.

Kesimpulan

Berdasarkan keterangan di atas, hukum mengambil sisa makanan tamu tanpa izin tergantung pada dugaan kuat tentang kerelaan pemiliknya. Jika terdapat dugaan kuat bahwa tamu merelakan sisa makanannya untuk diambil, maka hal tersebut diperbolehkan. Sebaliknya, jika tamu tidak merelakan, maka orang yang mengambilnya wajib mengganti atau meminta maaf, sebagaimana kaidah dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra yang menyatakan bahwa dugaan kuat (ghalabatuzh zhan) tentang kerelaan pemilik dapat menjadi dasar kebolehan mengambil sesuatu, namun jika dugaan tersebut keliru, maka wajib menggantinya.
Dalil yang memperkuat kaidah ini adalah sabda Rasulullah ﷺ:

Tidak halal harta seseorang kecuali dengan kerelaan pemiliknya.”
(HR. Ahmad 5:72, dinilai shahih lighairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)

Dalam hal ini, izin dapat berupa:

Izin langsung (izin secara eksplisit dari pemilik).

Izin tidak langsung (izin yang dapat dipahami berdasarkan adat kebiasaan/’urf).

Pendapat ini diperkuat oleh kaidah Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa (11:427, 28:272) yang menyatakan bahwa izin berdasarkan kebiasaan (‘urf) dapat disamakan dengan izin secara lisan.
Adapun terkait mengambil foto dari media sosial (seperti Facebook atau WhatsApp), hukumnya sama. Jika ada dugaan kuat bahwa pemilik foto merelakan fotonya untuk diambil atau digunakan, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika pemilik tidak merelakan, maka mengambilnya tanpa izin merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dan memerlukan izin terlebih dahulu.
Untuk menghindari ketidakjelasan hukum, sebaiknya selalu meminta izin secara langsung sebelum mengambil sisa makanan tamu maupun foto dari media sosial.
Wallahu A’lam bish-Shawab.

Kategori
Hukum

Standarisasi Kutubul Mu’tabarah dalam Forum Bahtsul Masail

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Dalam berbagai forum bahtsul masail, baik di tingkat lokal (lingkup satu pesantren) maupun antar pesantren, sering kali muncul istilah kutubul mu’tabarah sebagai standar dalam menetapkan hukum suatu permasalahan.
Namun, ketika menghadapi problematika kontemporer, tidak jarang para peserta mengalami kesulitan dalam menemukan rujukan yang sesuai dari kitab-kitab klasik (salaf). Menariknya, setiap pesantren di wilayah Jawa-Madura memiliki standar dan metode seleksi yang berbeda dalam menentukan kitab-kitab yang dapat dijadikan landasan hukum. Sebagai contoh, beberapa kitab seperti:
Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu
Fifiq zakat Karya Dr.Yusuf Al-Qardhawi
Yas’alunak fi ad-Din wa al-Hayah
Fatawa Al-Azhar
Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyyah
Fiqih Sunnah Karya Sayyid Sabiq

Di sebagian forum bahtsul masail, kitab-kitab ini ditolak dan dianggap tidak bisa dijadikan rujukan hukum. Sementara itu, di forum lain, kitab-kitab ini diterima dan digunakan sebagai dasar dalam mengambil keputusan hukum. Perbedaan standar ini menimbulkan pertanyaan tentang kriteria dan otoritas dalam menetapkan sebuah kitab sebagai kutubul mu’tabarah.

Pertanyaan:
  1. Sejauh mana sebuah kitab dapat dikategorikan sebagai kutubul mu’tabarah?
  2. Siapa yang berhak menentukan standar kutubul mu’tabarah seperti dalam kasus kitab-kitab di atas?

Waalaikum Salam

Jawaban:

1. Sebuah kitab dapat dikategorikan sebagai kutubul mu’tabarah selama memenuhi kriteria berikut:

a). Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Sejalan dengan metodologi yang berkembang dalam masing-masing mazhab (madzahibul arba’ah).

b). Memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dalam keabsahan dan otoritasnya. Diterima secara luas dalam tradisi keilmuan yang telah berkembang.

c).Tidak terlalu ringkas sehingga hanya dapat dipahami oleh kalangan tertentu saja.

2. Standarisasi kutubul mu’tabarah bergantung pada kebijakan lembaga atau organisasi yang menggunakannya. Setiap lembaga memiliki pertimbangan sendiri dalam menentukan kitab-kitab yang dianggap valid sebagai rujukan hukum.

Dalam dunia pesantren, istilah kitab mu’tabarah (kitab yang diakui) mengacu pada kitab-kitab yang dijadikan rujukan utama dalam suatu mazhab atau sistem pendidikan tertentu. Jika ada kitab yang tidak dianggap sebagai rujukan di sebagian pondok pesantren, maka alasannya bisa beragam. Berikut beberapa alasan yang sering menjadi dasar mengapa suatu kitab tidak dianggap mu’tabarah:

1. Tidak Memiliki Sanad Keilmuan yang Jelas

Dalam tradisi pesantren, sanad atau jalur periwayatan ilmu sangat penting. Kitab-kitab yang dijadikan rujukan biasanya memiliki keterkaitan dengan ulama yang sanad keilmuannya bersambung hingga kepada para imam mazhab. Jika suatu kitab tidak memiliki sanad yang kuat atau tidak dikenal dalam jaringan keilmuan tradisional, maka bisa jadi kitab tersebut tidak diterima sebagai rujukan.

2. Tidak Sesuai dengan Mazhab yang Dianut

Sebagian besar pesantren di Indonesia mengikuti Mazhab Syafi’i. Jika suatu kitab ditulis oleh seorang ulama yang berbeda mazhab, atau meskipun bermazhab Syafi’i tetapi pendapatnya menyimpang dari kaidah yang umum diterima dalam mazhab tersebut, maka kitab tersebut bisa jadi tidak dianggap mu’tabarah.

3. Kurangnya Pengakuan dari Ulama Besar

Kitab-kitab yang diakui sebagai mu’tabarah biasanya mendapatkan pengakuan atau rekomendasi dari ulama-ulama besar yang otoritatif dalam bidangnya. Jika sebuah kitab tidak mendapatkan pengakuan dari ulama besar atau tidak banyak dikutip dalam kitab-kitab utama, maka kitab tersebut bisa dianggap kurang kredibel sebagai rujukan.

4. Metode Penyusunan yang Tidak Sesuai dengan Standar Keilmuan

Sebagian kitab mungkin disusun dengan metode yang dianggap kurang sistematis atau kurang teliti dalam mengutip sumber. Kitab yang tidak merujuk kepada dalil-dalil yang kuat atau memiliki kecenderungan menyimpulkan hukum tanpa metodologi yang jelas bisa saja tidak diterima sebagai rujukan di sebagian pesantren.

5. Adanya Unsur Kontroversial dalam Isi Kitab

Jika suatu kitab mengandung pandangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sudah mapan dalam mazhab atau menyajikan pendapat yang dianggap kontroversial tanpa dasar yang kuat, maka kitab tersebut bisa dikesampingkan dalam kurikulum pesantren.

6. Kebijakan dan Tradisi di Pesantren Tertentu

Beberapa pesantren memiliki kebijakan dan tradisi tersendiri dalam memilih kitab rujukan. Bisa jadi ada kitab yang sebenarnya memiliki nilai ilmiah yang baik, tetapi tidak digunakan karena tradisi pesantren lebih mengandalkan kitab-kitab yang telah lama diajarkan dan diwariskan secara turun-temurun.

Kesimpulan:

Penetapan sebuah kitab sebagai kutubul mu’tabarah dalam forum bahtsul masail bergantung pada kriteria kesesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadis, penerimaan luas dalam tradisi keilmuan, serta kelayakan metodologis dalam mazhab tertentu. Namun, standar penerimaan kitab dapat bervariasi antara pesantren atau lembaga yang berbeda, tergantung pada otoritas dan kebijakan yang mereka terapkan. Oleh karena itu, perbedaan dalam penggunaan kitab-kitab kontemporer sebagai rujukan hukum dalam bahtsul masail merupakan konsekuensi dari perbedaan metodologi dan otoritas keilmuan masing-masing lembaga.

Referensi:

كتاب الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي [وهبة الزحيلي]ج١ص٦-٧

– منهج هذا الكتاب:
– يمكن إبراز بعض مزايا هذا الكتاب في الفقه على النحو الجديد في التأليف تحقيقاً واستنباطاً وأسلوباً وتبويباً وتنظيماً وفهرسة واستدلالاً بما يأتي:

١ً – إنه كتاب فقه الشريعة الإسلامية المعتمد على الدليل الصحيح من القرآن والسنة والمعقول، لا فقه السنة وحدها، ولا فقه الرأي وحده، إذ ليس عمل المجتهد معتبراً بغير الاعتماد على القرآن والسنة. ومعرفة أحكام الشرع الفقهية التي هي مجرد أمر وصفي وبيان مسلَّمات، لاتكوِّن قناعة عقلية ولا متعة نفسية، ولا طمأنينة للعالم والمتعلم إذا جاءت من غير دليل، كما أن العلم بدليل الحكم يخرج من ربقة الجمود على التقليد المذموم في القرآن إلى الاتباع المقرون بالبصيرة الذي اشترطه الأئمة فيمن يتلقى العلم عنهم، ثم إن أدلة الأحكام هي روح الفقه، ودراستها رياضة للعقل، وتربية له، وتكوين للملكة الفقهية لدى كل متفقه.
– وبكلمة موجزة: يمتاز هذا الكتاب الشامل فقه المذاهب باعتماده ــ وهو اعتماد المذاهب الإسلامية نفسها ــ على استنباط أحكامه من مختلف مصادر التشريع الإسلامي النقلية والعقلية (الكتاب والسنة والاجتهاد بالرأي المعتمد على روح التشريع الأصلية العامة) فمن قصر الفقه الإسلامي على القرآن وحده فقد بتر أو مسخ الإسلام من جذوره، وكان أقرب لأعداء الدين، ومن حصر الفقه بالسنة وحدها فقد قصَّر وأساء، وعاش قاصر الطرف عن شؤون الحياة، وبعد عن التفاعل أو التجاوب مع متطلبات الناس، وتحقيق مصالحهم، ومن المعروف أنه حيثما وجدت المصلحة فثم شرع الله ودينه، وأن زعماء مدرسة الحديث (مالك والشافعي وأحمد) أخذوا بالمصالح المرسلة والعرف والعادة وسد الذرائع وغيرها من أدلة الاجتهاد بالرأي، كما أن زعماء مدرسة الرأي كالنخعي وربيعة الرأي وأبي حنيفة وأصحابه لم يهملوا بتاتاً سنة أو أثراً أو اجتهاداً عن السلف

Metodologi Kitab “Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu” oleh Wahbah al-Zuhaili

Kitab ini memiliki beberapa keunggulan dalam penyusunan, penggalian hukum, gaya penyampaian, sistematika, klasifikasi, referensi, dan penggunaan dalil, yang dapat dirangkum sebagai berikut:

Kitab Fiqh Syariat Islam yang Berdasarkan Dalil yang Sahih
Kitab ini tidak hanya mengandalkan fiqh berdasarkan hadis semata atau fiqh berdasarkan akal semata. Seorang mujtahid tidak dapat diterima pendapatnya tanpa bersandar pada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengetahui hukum-hukum fiqh tanpa dalil hanya menghasilkan pemahaman deskriptif yang tidak memberikan keyakinan intelektual, ketenangan jiwa, atau kepuasan bagi pencari ilmu. Sebaliknya, memahami dalil hukum menjauhkan seseorang dari taqlid buta yang tercela dalam Al-Qur’an dan membawanya kepada ittiba’ (mengikuti dengan ilmu). Dalil-dalil hukum adalah ruh fiqh, dan mempelajarinya melatih akal, mengasah pemikiran, serta membentuk kemampuan fiqh bagi setiap pencari ilmu.

Singkatnya, kitab ini merangkum fiqh dari berbagai mazhab dengan pendekatan yang diambil dari sumber-sumber syariat Islam, baik yang bersifat naqli (tekstual) maupun aqli (rasional), yakni Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad berbasis kaidah syariat yang umum. Membatasi fiqh Islam hanya pada Al-Qur’an akan merusak Islam dari akarnya, sedangkan membatasi fiqh hanya pada Sunnah juga tidak cukup, karena akan menghambat interaksi dengan realitas kehidupan dan kebutuhan manusia. Diketahui bahwa di mana terdapat maslahat, di situlah hukum Allah berlaku. Para ulama hadis seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad pun menerima maslahat mursalah, adat istiadat, serta kaidah sadd al-dzari’ah. Begitu pula ulama ahli ra’yu seperti Ibrahim al-Nakha’i, Rabi’ah al-Ra’yi, dan Imam Abu Hanifah, yang tetap mengakui pentingnya Sunnah dan atsar dalam istinbath.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج ١ / ص ١٤٩)
(تَنْبِيهٌ) مَا أَفْهَمَهُ كَلَامُهُ مِنْ جَوَازِ النَّقْلِ مِنَ الْكُتُبِ الْمُعْتَمَدَةِ وَنِسْبَةِ مَا فِيهَا لِمُؤَلِّفِيهَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَتَّصِلْ سَنَدُ النَّاقِلِ بِمُؤَلِّفِيهَا نَعَمْ النَّقْلُ مِنْ نُسْخَةِ كِتَابٍ لَا يَجُوزُ إِلَّا إِنْ وَثِقَ بِصِحَّتِهَا أَوْ تَعَدَّدَتْ تَعَدُّدًا يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ صِحَّتُهَا أَوْ رَأَى لَفْظَهَا مُنْتَظِمًا وَهُوَ خَبِيرٌ فَطِنْ يُدْرِكُ السَّقَطَ وَالتَّحْرِيفَ فَإِنْ انْتَفَى ذَلِكَ قَالَ وَجَدْتُ كَذَا أَوْ نَحْوَهُ وَمِنْ جَوَازِ اعْتِمَادِ الْمُفْتِي مَا يَرَاهُ فِي كِتَابٍ مُعْتَمَدٍ فِيهِ تَفْصِيلٌ لَا بُدَّ مِنْهُ ، وَدَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُ الْمَجْمُوعِ وَغَيْرِهِ وَهُوَ أَنَّ الْكُتُبَ الْمُتَقَدِّمَةَ عَلَى الشَّيْخَيْنِ لَا يُعْتَمَدُ شَيْءٌ مِنْهَا إِلَّا بَعْدَ مَزِيدِ الْفَحْصِ وَالتَّحَرِّي حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ الْمَذْهَبُ وَلَا يُغْتَرُّ بِتَتَابُعِ كُتُبٍ مُتَعَدِّدَةٍ عَلَى حُكْمٍ وَاحِدٍ فَإِنَّ هَذِهِ الْكَثْرَةَ قَدْ تَنْتَهِي إِلَى وَاحِدٍ أَلَا تَرَى أَنَّ أَصْحَابَ الْقَفَّالِ أَوِ الشَّيْخِ أَبِي حَامِدٍ مَعَ كَثْرَتِهِمْ لَا يُفَرِّعُونَ وَيُؤَصِّلُونَ إِلَّا عَلَى طَرِيقَتِهِ غَالِبًا ، وَإِنْ خَالَفَتْ سَائِرَ الْأَصْحَابِ فَتَعَيَّنَ سَبْرُ كُتُبِهِمْ هَذَا كُلُّهُ فِي حُكْمٍ لَمْ يَتَعَرَّضْ لَهُ الشَّيْخَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا ، وَإِلَّا فَالَّذِي أَطْبَقَ عَلَيْهِ مُحَقِّقُو الْمُتَأَخِّرِينَ وَلَمْ تَزَلْ مَشَايِخُنَا يُوصُونَ بِهِ وَيَنْقُلُونَهُ عَنْ مَشَايِخِهِمْ وَهُمْ عَمَّنْ قَبْلَهُمْ.

Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj (Jilid 1, Halaman 149)

(Tanbih) Peringatan: Apa yang dipahami dari perkataannya tentang kebolehan menukil dari kitab-kitab yang diakui keabsahannya serta menisbatkan isi kitab tersebut kepada pengarangnya adalah sesuatu yang telah disepakati, meskipun sanad orang yang menukil tidak bersambung langsung kepada pengarangnya.

Namun, menukil dari sebuah naskah kitab tidak diperbolehkan kecuali jika ia meyakini kebenaran naskah tersebut atau jika terdapat beberapa naskah yang jumlahnya cukup banyak sehingga menguatkan dugaan akan kebenarannya. Atau, jika ia melihat redaksinya tersusun dengan baik, dan ia adalah orang yang ahli dan cerdas sehingga mampu mendeteksi kesalahan berupa penghilangan atau perubahan teks. Jika hal itu tidak terpenuhi, maka hendaknya ia mengatakan: “Saya menemukan dalam kitab ini demikian,” atau ungkapan lain yang serupa.

Adapun kebolehan seorang mufti berpegang pada apa yang ia temukan dalam kitab yang diakui keabsahannya, maka dalam hal ini terdapat perincian yang harus diperhatikan. Hal ini juga ditegaskan dalam kitab Al-Majmu’ dan lainnya, yaitu bahwa kitab-kitab yang mendahului dua imam (Imam Rafi’i dan Imam Nawawi) tidak boleh dijadikan pegangan kecuali setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan lebih lanjut hingga kuat dugaan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat mazhab.

Jangan sampai seseorang tertipu dengan banyaknya kitab yang meriwayatkan suatu hukum yang sama, karena bisa jadi kesepakatan tersebut bersumber dari satu orang saja. Tidakkah engkau melihat bahwa murid-murid Imam Al-Qaffal atau Imam Abu Hamid, meskipun jumlah mereka banyak, mereka tetap membangun cabang hukum dan kaidah fikih berdasarkan metode guru mereka, meskipun metode tersebut bertentangan dengan mayoritas ulama mazhab? Maka, wajib dilakukan penelitian mendalam terhadap kitab-kitab mereka.

Semua ini berlaku dalam masalah yang tidak dibahas oleh dua imam (Imam Rafi’i dan Imam Nawawi) atau salah satu dari keduanya. Namun, jika mereka telah membahasnya, maka yang telah disepakati oleh para peneliti dari kalangan ulama muta’akhirin (belakangan), dan yang selalu diwasiatkan oleh para ulama kepada murid-murid mereka serta diteruskan dari generasi ke generasi, itulah yang harus dijadikan pegangan.

تبصرة الحكام في أصول الأقضية ومناهج الأحكام – (ج ١ / ص ١٧٢)
مَسْأَلَةٌ : وَمِثْلُ هَذَا مَا ذَكَرَهُ الْقَرَافِي فِي كِتَابٍ ( الْإِحْكَامُ فِي تَمْيِيزِ الْفَتَاوَى عَنْ الْأَحْكَامِ ) فَقَالَ كَانَ الْأَصْلُ يَقْتَضِي أَنْ لَا تَجُوزَ الْفُتْيَا إِلَّا بِمَا يَرْوِيهِ الْعَدْلُ عَنْ الْمُجْتَهِدِ الَّذِي يُقَلِّدُهُ الْمُفْتِي حَتَّى يَصِحَ ذَلِكَ عِنْدَ الْمُفْتِي كَمَا تَصِحُّ الْأَحَادِيثُ عِنْدَ الْمُجْتَهِدِ ؛ لِأَنَّهُ نَقُلْ لِدِينِ اللَّهِ – تَعَالَى – فِي الْمَوْضِعَيْنِ ، وَعَلَى هَذَا كَانَ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرُمَ غَيْرُ ذَلِكَ ، غَيْرَ أَنَّ النَّاسَ تَوَسَّعُوا فِي هَذَا الْعَصْرِ فَصَارُوا يُفْتُونَ مِنْ كُتُبِ يُطَالِعُونَهَا مِنْ غَيْرِ رِوَايَةٍ ، وَهُوَ خَطَرٌ عَظِيمٌ فِي الدِّينِ ، وَخُرُوجٌ عَنْ الْقَوَاعِدِ ، غَيْرَ أَنَّ الْكُتُبَ الْمَشْهُورَةَ ؛ لأجلِ شُهْرَتِهَا بَعُدَتْ بُعْدًا شَدِيدًا عَنْ التَّحْرِيفِ وَالتَّزْوِيرِ فَاعْتَمَدَ النَّاسُ عَلَيْهَا اعْتِمَادًا عَلَى ظَاهِرِ الْحَالِ ، وَلِذَلِكَ أَيْضًا أَهْمَلَتْ رِوَايَةُ كُتُبِ النَّحْوِ وَاللُّغَةِ بِالْعَنْعَنَةِ عَنْ الْعُدُولِ بِنَاءً عَلَى بُعْدِهَا عَنْ التَّحْرِيفِ ، وَإِنْ كَانَتْ اللُّغَةُ هِيَ أَسَاسُ الشَّرْعِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ ، فَإِهْمَالُ ذَلِكَ فِي النَّحْوِ وَاللُّغَةِ وَالتَّصْرِيفِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا يَعْضُدُ أَهْلَ الْعَصْرِ فِي إِهْمَالِ ذَلِكَ فِي كُتُبِ الْفِقْهِ بِجَامِعِ بُعْدِ الْجَمِيعِ عَنْ التَّحْرِيفِ ، وَعَلَى هَذَا تَحْرِيمُ الْفُتْيَا مِنَ الْكُتُبِ الْغَرِيبَةِ الَّتِي لَمْ تَشْتَهِرْ حَتَّى تَتَظَافَرَ عَلَيْهَا الْخَوَاطِرُ وَيُعْلَمَ صِحَّةُ مَا فِيهَا ، وَكَذَلِكَ الْكُتُبُ الْحَدِيثَةُ التَّصْنِيفِ إِذَا لَمْ يَشْتَهِرْ عَزْهُ مَا فِيهَا مِنَ الْمَنْقُولُ إِلَى الْكُتُبِ الْمَشْهُورَةِ ، أَوْ يُعْلَمُ أَنَّ مُصَنِّفَهَا كَانَ يَعْتَمِدُ هَذَا النَّوْعَ مِنْ الصِّحَّةِ وَهُوَ مَوْثُوقٌ بِعَدَالَتِهِ ، وَكَذَلِكَ حَوَاشِي الْكُتُبِ تَحْرُمُ الْفَتْوَى بِهَا ؛ لِعَدَمِ صِحَّتِهَا وَالْوُتُوقِ بِهَا انْتَهَى وَمُرَادُهُ إِنْ كَانَتْ الْحَوَاشِي غَرِيبَةَ النَّقْلِ ، وَأَمَّا إِذَا كَانَ مَا فِيهَا مَوْجُودًا فِي الْأُمَّهَاتِ أَوْ مَنْسُوبًا إِلَى مَحَلِّهِ ، وَهِيَ بِخَطِّ يَوْثُقُ بِهِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ سَائِرِ التَّصَانِيفِ وَلَمْ تَزَلْ الْعُلَمَاءُ وَأَئِمَّةُ الْمَذْهَبِ يَنْقُلُونَ مَا عَلَى حَوَاشِي كُتُبِ الْأَئِمَّةِ الْمَوْثُوقِ بِعِلْمِهِمْ بِخُطُوطِهِمْ ، وَذَلِكَ مَوْجُودٌ فِي كَلَامِ الْقَاضِي عِيَاضٍ وَالْقَاضِي أَبِي الْأَصْبَغِ بْنِ سَهْلٍ وَغَيْرِهِمَا ، إِذَا وَجَدُوا حَاشِيَةً يَعْرِفُونَ كَاتِبَهَا نَقَلُوا ذَلِكَ عَنْهُ وَنَسَبُوهَا إِلَيْهِ ، وَأَدْخَلُوا ذَلِكَ فِي مُصَنَّفَاتِهِمْ ، وَأَمَّا حَيْثُ يُجْهَلُ الْكَاتِبُ وَيَكُونُ النَّقْلُ غَرِيبًا فَلَا شَكِّ فِيمَا قَالَهُ الْقَرَافِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى ، وَمِنْ ذَلِكَ الطَّرَرُ لِأَبِي إِبْرَاهِيمَ

Masalah:

Seperti halnya yang disebutkan oleh Al-Qarafi dalam kitabnya Al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa ‘an al-Ahkam, ia berkata:

“Asal hukum mengharuskan bahwa tidak boleh memberi fatwa kecuali dengan riwayat dari seorang yang adil (terpercaya) yang meriwayatkan dari mujtahid yang diikuti oleh mufti, sehingga hal tersebut menjadi sah di sisi mufti sebagaimana kesahihan hadis di sisi mujtahid. Sebab, keduanya merupakan bentuk penyampaian ajaran agama Allah Ta’ala, baik dalam fatwa maupun dalam hadis. Berdasarkan hal ini, seharusnya dilarang memberi fatwa dengan cara selain itu.

Namun, pada masa ini, manusia telah memberi kelonggaran dalam hal ini. Mereka mulai memberi fatwa hanya berdasarkan kitab-kitab yang mereka baca tanpa adanya sanad periwayatan. Ini merupakan bahaya besar dalam agama dan penyimpangan dari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan.

Namun demikian, kitab-kitab yang sudah masyhur karena kemasyhurannya telah terhindar jauh dari penyimpangan dan pemalsuan, sehingga orang-orang pun mengandalkan kitab-kitab tersebut berdasarkan kepercayaan terhadap keadaan lahiriahnya. Oleh sebab itu, periwayatan dalam ilmu nahwu dan bahasa juga tidak lagi dilakukan dengan sistem sanad dari para perawi yang adil, karena kitab-kitab ini dianggap jauh dari kemungkinan adanya penyimpangan. Padahal, ilmu bahasa merupakan dasar utama dalam memahami syariat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Pengabaian sistem sanad dalam ilmu nahwu, bahasa, dan sharaf sejak dahulu hingga sekarang menjadi argumen bagi orang-orang di zaman ini untuk mengabaikan sanad dalam kitab-kitab fikih. Sebab, sama-sama dianggap telah jauh dari penyimpangan.

Berdasarkan ini, haram memberi fatwa berdasarkan kitab-kitab yang asing dan belum terkenal, sampai benar-benar telah banyak yang meneliti serta memastikan kebenaran isinya. Begitu pula kitab-kitab yang baru ditulis, jika belum diketahui sumber periwayatannya dari kitab-kitab yang sudah terkenal atau tidak diketahui apakah penulisnya benar-benar mengandalkan ketelitian dalam menukil dan ia memang terpercaya dalam keadilannya.

Demikian pula, haram berfatwa dengan keterangan yang ada di pinggiran (catatan pinggir) kitab jika tidak diketahui kebenarannya dan tidak dapat dipercaya. Akan tetapi, jika keterangan dalam catatan pinggir tersebut sudah ada dalam kitab-kitab induk atau disandarkan kepada sumbernya yang terpercaya serta ditulis dengan tulisan yang bisa dipercaya, maka tidak ada perbedaan antara catatan pinggir dan kitab-kitab lainnya.

Para ulama dan imam mazhab pun senantiasa mengutip keterangan dari catatan pinggir kitab-kitab para imam yang terpercaya ilmunya dan ditulis dengan tulisan tangan mereka sendiri. Hal ini juga disebutkan dalam perkataan Qadhi Iyadh, Qadhi Abu Ashbagh bin Sahl, dan ulama lainnya. Jika mereka menemukan catatan pinggir yang diketahui penulisnya, mereka mengutipnya dan menyandarkannya kepada penulisnya, lalu memasukkannya ke dalam karya-karya mereka.

Namun, jika penulis catatan pinggir tersebut tidak diketahui dan isi kutipannya asing, maka tidak ada keraguan dalam pendapat Al-Qarafi rahimahullah tersebut. Di antara contoh kasus ini adalah catatan pinggir yang ditulis oleh Abu Ibrahim.”

أهل العصر في إهمال ذلك في كتب الفقه بجامع بعد الجميع عن التحريف وعلى هذا تحرم الفتيا من الكتب الغريبة التي لم تشتهر حتى تتظافر عليها الخواطر ويعلم صحة ما فيها وكذلك الكتب الحديثة التصنيف اذا لم تشتهر عز وما فيها من النقود إلى الكتب المشهورة أو يعلم أن مصنفها كان يعتمد هذا النوع من الصحة وهو موثوق بعد الله وكذلك حواشي الكتب تحرم الفتوى بها لعدم صحتها والوثوق بها انتهى ومراده ان كان الحواشي غريبة النقل وأما إذا كان ما فيها موجودا في الأمهات او منسوبا إلى محله وهي بخط من يوثق به فلا فرق بينها وبين سائر التصانيف (مهمة) قال شيخنا نخبر ابن شيخنا ميمون مستدركا المقر المتقدمة وبالاستقراء والتبع أننا نحتاج إلى بعض تلك الكتب الجديدة خصوصا في المسائل المستجدة التي لم تكن في العصور الأولى وقد تغير الزمان وتطور تطورا بعيد المدى في جميع النواحي والقضايا لا ينكره الا أعمى أو متعافى فيجوز عند الضرورة الاعتبار بما في بعض تلك الكتب خصوصاً إذا كان مؤلفها من أهل العلم والفقه المعترف بهم في الشرق والغرب والمتخرجين من المدارس الكبرى من مدارس أهل السنة والجماعة ذات المستوى العالي في الفقه الديني مثل الشيخ القرضاوي والشيم ومثل صاحب الفقه الاسلامي أبي زهرة فليس بفقيه وأما صاحب يسألونك وانما هو داع عظيم من دعاة الاسلام وأما صاحب فقه السنة من أهل العلم الذين ينفخون دعوى الاجتهاد ودعوى الناس إليه كما سبقهم إلى ذلك أئمتهم مثل صاحب سبل السلام ونيل الأوطار من أحمد د الحكم من أمرائهم ومن كتبهم إلا فيما وتقوية ما لدى المذاهب الأربعة أو أحدها في غير المذاهب لنا حاجة في معرفة الأدلة الحديثة

Pendapat ulama mengenai fatwa dari kitab-kitab yang kurang dikenal dan kitab-kitab modern

Para ulama pada zaman ini cenderung mengabaikan kitab-kitab yang tidak terkenal dalam fiqih, dengan alasan bahwa semua ulama telah sepakat untuk menjauh dari penyimpangan. Oleh karena itu, haram memberikan fatwa berdasarkan kitab-kitab yang asing dan tidak terkenal, kecuali jika kitab tersebut telah banyak ditelaah oleh para ulama, sehingga diketahui kebenaran isinya. Begitu pula, kitab-kitab yang baru disusun tetapi belum terkenal dan tidak memiliki hubungan dengan kitab-kitab yang sudah masyhur, atau belum diketahui bahwa penulisnya benar-benar mengandalkan validitas hukum yang kuat serta dapat dipercaya, maka fatwa berdasarkan kitab tersebut juga tidak diperbolehkan.

Demikian pula dengan hâsyiyah (catatan pinggir dalam kitab-kitab fiqih), fatwa berdasarkan hâsyiyah tersebut diharamkan jika isi dan sumbernya tidak dapat dipercaya. Akan tetapi, jika isi hâsyiyah tersebut terdapat dalam kitab-kitab induk atau dinisbatkan kepada sumbernya yang valid, serta ditulis oleh seseorang yang terpercaya, maka tidak ada perbedaan antara hâsyiyah tersebut dengan kitab-kitab lainnya dalam aspek validitas hukum.

(Catatan penting)
Syaikh kami, yang merupakan anak dari syaikh kami Maimun, menyanggah pendapat yang disebutkan di atas. Dari hasil penelitian dan observasi, kita tetap membutuhkan sebagian kitab-kitab baru, terutama dalam masalah-masalah kontemporer yang tidak ada dalam kitab-kitab klasik. Hal ini disebabkan oleh perubahan zaman yang sangat pesat dalam berbagai aspek. Hanya orang buta atau mereka yang berpura-pura tidak tahu saja yang akan menyangkal kenyataan ini.

Oleh karena itu, dalam keadaan darurat, diperbolehkan untuk merujuk pada sebagian kitab-kitab modern, khususnya jika penulisnya merupakan ulama yang diakui dalam keilmuan dan fiqih di dunia Islam, serta merupakan lulusan dari lembaga pendidikan besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memiliki standar keilmuan tinggi dalam fiqih. Misalnya, Syaikh Yusuf Al-Qaradawi, atau ulama seperti Abu Zahrah dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami. Namun, perlu dicatat bahwa penulis kitab Yas’alunak bukanlah seorang faqih, melainkan seorang dai besar dalam dakwah Islam. Adapun penulis Fiqh As-Sunnah, termasuk ulama yang cenderung mendorong klaim ijtihad dan mengajak umat untuk berijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu mereka, seperti penulis Subulus Salam dan Nailul Authar.

Kitab-kitab yang berasal dari kalangan yang menolak otoritas mazhab kecuali hanya untuk memperkuat pendapat yang mereka inginkan, atau yang menolak mazhab yang empat dalam hal yang tidak dibutuhkan, maka kitab-kitab tersebut tidak boleh dijadikan sandaran, kecuali untuk meneliti dalil-dalil baru yang berkaitan dengan mazhab yang diakui.

وفى كتب سبعة مفيدة.٤٨

تتمة : قد منا عن فتح القدير كيفية الافتاء مما فى الكتب فلا يجوز الافتاء مما في الكتب الغريبة وفى شرح الاشباه لشيخنا المحقق هبة الله لبعلى قال شيخنا العلامة صالح الجينينى انه لا يجوز الافتاء من الكتب المختصرة كالنهر وشرح الكنز للعينى والدر المختار شرح تنوير الابصار اما لعدم الاطلاع على حال مؤلفيها كشرح الكنز لمنلا مسكين وشرح النقاية للقهستاني او لنقل الاقوال الضعيفة فيها كالقنية للزاهدى فلا يجوز الافتاء من هذه الا اذا علم المنقول عنه وأخذه منه وهو علامة في الفقه مشهور والعهدة عليه . اهـ أقول : وينبغى الحاق الاشباه والنظائر بها فإن فيها من الايجاز في التعبير ما لا يفهم معناه الا بعد الاطلاع على ماخذه بل فيها
في مواضع كثيرة الإيجاز المحل يظهر ذلك لمن مارس مطالعاتها مع الحواشي فلا يأمن المفتى من الوقوع في الغلط اذا اقتصر عليه فلا بد له من مراجعة ما كتب عليها من الحواشي او غيرها اهـ
وفيه تبصرة الحكام اما (مسئلة) ومثل هذا ما ذكره القرافي في كتاب الاحكام في تمييز الفتاوى عن الاحكام فقال كان الاصل يقتضي ان لا تجوز الفتيا الا بما يرويه العدل عن العدول عن المجتهد الذي يقلده المفتي حتى يصح ذلك عند المفتي وعلى هذا ينبغي أن يحرم غير ذلك غير ان الناس توسعوا في هذا العصر فصاروا يفتون من كتب يطالعونها من غير رواية وهو خطر عظيم في الدين وخروج عن القواعد غير ان الكتب المشهورة لأجل شهرتها بعدت بعدا شديدا عن التحريف والتزوير فاعتمد الناس عليها اعتمادا ظاهرا للحال وعلى هذا تحرم الفتيا من الكتب الغريبة التي لم تشتهر حتى تتظافر عليها الخواطر ويعلم صحة ما فيها وكذلك الكتب الحديثية التصنيف اذا لم يشتهر عزوا فيها من النقول الى الكتب المشهورة لو لم يعلم ان مصنفها كان يعتمد هذا النوع من الصحة وهو موثوق به بعد الله وكذلك حواشي الكتب تحرم الفتوى بها لعدم صحتها والوثوق بها اهـ ومراده ان كانت الحواشي غريبة النقل واما اذا كان ما فيها موجودا في الأمهات او منسوبا الى محله وهو يوثق به فلا فرق بينها وبين التصانيف اهـ

Dalam kitab Sab‘atu Mufīdah (Tujuh Kitab yang Bermanfaat) halaman 48 disebutkan:

Tambahan:

Kami telah mengutip dari Fath al-Qadīr tentang cara berfatwa berdasarkan kitab-kitab fiqih, yaitu tidak diperbolehkan berfatwa berdasarkan kitab-kitab yang tidak terkenal. Dalam Syarh al-Asybah karya Syaikh Hibatullah al-Lub‘alī, Syaikh al-‘Allāmah Shāliḥ al-Jīnīnī berkata:

“Tidak diperbolehkan berfatwa dari kitab-kitab ringkas seperti An-Nahr dan Syarh al-Kanz karya al-‘Ainī, serta Ad-Durr al-Mukhtār (syarah Tanwīr al-Absār). Sebab, ada kitab yang tidak diketahui keadaan penulisnya, seperti Syarh al-Kanz karya Mullā Miskīn dan Syarh an-Nuqāyah karya al-Quhustānī. Ada juga kitab yang memuat pendapat-pendapat lemah, seperti Al-Qunyah karya Az-Zāhidī. Maka, tidak diperbolehkan berfatwa dari kitab-kitab tersebut kecuali jika diketahui secara jelas siapa yang menjadi rujukan dalam kitab itu, diambil langsung dari sumbernya, dan sumber tersebut merupakan ulama fiqih yang terkenal. Jika demikian, maka tanggung jawab (validitasnya) ada pada ulama tersebut.”

Saya (penulis) berkata: Seyogianya kitab Al-Asybah wa an-Nazhā’ir juga termasuk dalam kategori ini karena kitab tersebut memiliki redaksi yang sangat ringkas sehingga maknanya tidak bisa dipahami kecuali setelah menelaah sumber aslinya. Bahkan, dalam banyak bagian kitab tersebut terdapat ringkasan yang membingungkan. Hal ini dapat diketahui oleh mereka yang sering menelaah kitab ini bersama dengan ḥāsyiyah (catatan pinggir). Oleh karena itu, seorang mufti tidak akan aman dari kesalahan jika hanya merujuk kitab ini tanpa membaca ḥāsyiyah-nya atau kitab lainnya yang menjelaskan isinya.

Dalam kitab Tabṣirat al-Ḥukkām disebutkan masalah serupa. Demikian pula, Al-Qarāfī dalam kitab Al-Aḥkām fī Tamīz al-Fatāwā ‘an al-Aḥkām menyatakan:

*”Secara prinsip, tidak diperbolehkan berfatwa kecuali dengan riwayat dari seorang yang adil, yang meriwayatkan dari orang-orang adil sebelumnya, yang mengambil dari mujtahid yang diikuti oleh mufti. Sehingga, fatwa tersebut benar-benar sah di mata mufti. Berdasarkan prinsip ini, berfatwa dengan sumber lain seharusnya dilarang.

Namun, manusia pada zaman ini telah memperluas cakupan dalam hal fatwa. Mereka mulai berfatwa hanya dengan membaca kitab tanpa memiliki sanad atau riwayat yang jelas, dan ini merupakan bahaya besar dalam agama serta penyimpangan dari kaidah yang benar.

Hanya saja, kitab-kitab yang sudah terkenal, karena kemasyhurannya, telah jauh dari distorsi dan pemalsuan, sehingga orang-orang mengandalkannya dalam fatwa secara umum. Oleh karena itu, diharamkan berfatwa dari kitab-kitab yang tidak terkenal, kecuali kitab tersebut sudah banyak dikaji oleh para ulama dan telah dipastikan kebenarannya.

Begitu pula, kitab-kitab baru yang belum terkenal tidak boleh dijadikan dasar fatwa, kecuali jika dalam kitab tersebut terdapat kutipan dari kitab-kitab fiqih yang sudah terkenal. Atau jika diketahui bahwa penyusunnya memiliki standar ketelitian dalam menulis dan ia merupakan ulama terpercaya setelah Allah.

Demikian pula, ḥāsyiyah (catatan pinggir kitab-kitab fiqih) tidak boleh dijadikan dasar fatwa, karena tidak ada jaminan kebenaran dan keandalannya. Akan tetapi, jika dalam ḥāsyiyah tersebut terdapat kutipan dari kitab-kitab induk atau dinisbatkan kepada sumber aslinya yang jelas serta ditulis oleh seseorang yang terpercaya, maka tidak ada perbedaan antara ḥāsyiyah tersebut dengan kitab-kitab lainnya dalam aspek validitasnya.”Wallahu A’lam bisshowab

Kategori
Hukum

Posisi Tangan Saat I’tidal: Bersedekap ataukah Lurus?

Assalamualakum

Deskripsi Masalah

Dalam pelaksanaan shalat, sebagian orang berbeda mengenai posisi tangan saat i’tidal (bangkit dari ruku’) ada sebagian kedua tangannya kembali disedekapkan seperti saat sebelum ruku’ dan ada sebagian dilepaskan di samping tubuh ( diluruskan)

Pertanyaan:

Bagaimana pandangan para ulama mengenai posisi tangan saat i’tidal ( bangkit dari ruku dalam shalat) apa lebih utama menyedekapkan tangan kembali atau melepaskannya saat i’tidal?

Waalaikum salam

Jawaban

Para ulama berbeda pendapat mengenai posisi tangan saat i’tidal (bangkit dari ruku’ dalam shalat). Perbedaan ini didasarkan pada interpretasi terhadap dalil-dalil yang ada.

1. Pendapat yang Menyatakan Tangan Kembali Disedekapkan

Sebagian ulama, seperti Imam Al-Baghawi, berpendapat bahwa mengembalikan tangan ke posisi sedekap setelah ruku’ adalah lebih utama. Beliau bahkan menyebutkan bahwa melepaskan tangan saat i’tidal adalah makruh, kecuali bagi orang yang khawatir melakukan gerakan yang berlebihan dalam shalat.

2.Pendapat yang menyatakakan tangan dilepaskan disamping tubuh ( diluruskan).

Pendapat mayoritas ulama, termasuk Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, menyatakan bahwa sunnahnya adalah melepaskan tangan setelah i’tidal. Imam Ibnu Hajar menegaskan bahwa pendapat yang menyatakan tangan kembali disedekapkan tidak memiliki dasar yang kuat.

Kesimpulan

Pendapat yang lebih kuat dalam mazhab Syafi’i adalah melepaskan tangan setelah i’tidal, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi, Imam Rafi’i, dan Imam Ibnu Hajar. Dalil-dalil yang mendukung pendapat ini lebih kuat dibandingkan pendapat yang menyatakan tangan kembali disedekapkan. Namun, karena ada perbedaan pandangan di kalangan ulama, umat Islam yang mengikuti pendapat menyedekapkan tangan kembali tetap dihormati selama memiliki dasar dari ulama yang diikuti.

Referensi :

إعانة الطالبين – (ج ١ / ص ١٣٥)

( قوله وردهما ) أي الكفين بعد رفعهما وقوله إلى تحت الصدر متعلق برد ( قوله أولى من إرسالهما إلخ ) أي لما في ذلك من زيادة الحركة قال في شرح الروض بل صرح البغوي بكراهة الإرسال لكنه محمول على من لم يأمن العبث وقوله ثم استئناق هو بالجر معطوف على إرسالهما .

1. I‘anah al-Thalibin (Jilid 1, Hal. 135)

(Ucapan “mengembalikan keduanya”) – maksudnya adalah kedua tangan setelah mengangkatnya.
(Ucapan “ke bawah dada”) – berkaitan dengan “mengembalikan” tangan.
(Ucapan “lebih utama daripada melepaskannya”) – karena dalam hal ini terdapat tambahan gerakan.
Dalam Syarh al-Raudh disebutkan bahwa al-Baghawi secara tegas menyatakan makruh melepaskan tangan, tetapi hal itu ditafsirkan bagi orang yang tidak dapat menghindari perbuatan sia-sia.
(Ucapan “kemudian istinaq”) – kata ini dalam bentuk jar, diathafkan pada “melepaskannya”.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج ٢ / ص ٦٣-٦٧  )

( فَإِذَا انْتَصَبَ ) قَائِمًا أَرْسَلَ يَدَيْهِ وَمَا قِيلَ يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ كَالْقِيَامِ يَأْتِي قَرِيبًا رَدُّهُ
ﻭﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﺳﻦ ﺭﻓﻊ ﻳﺪﻳﻪ ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ ﺍﻟﻘﻨﻮﺕ ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﺑﻌﺪﻩ ﻟﻼﺗﺒﺎﻉ ﻭﺳﻨﺪﻩ ﺻﺤﻴﺢ ﺃﻭ ﺣﺴﻦ ﻭﻓﺎﺭﻕ ﻧﺤﻮ ﺩﻋﺎﺀ ﺍﻻﻓﺘﺘﺎﺡ ﻭﺍﻟﺘﺸﻬﺪ ﺑﺄﻥ ﻟﻴﺪﻳﻪ ﻭﻇﻴﻔﺔ ﺛﻢ ﻻ ﻫﻨﺎ. ﻭﻣﻨﻪ ﻳﻌﻠﻢ ﺭﺩ ﻣﺎ ﻗﻴﻞ : ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻓﻲ ﺍﻻﻋﺘﺪﺍﻝ ﺟﻌﻞ ﻳﺪﻳﻪ ﺗﺤﺖ ﺻﺪﺭﻩ ﻛﺎﻟﻘﻴﺎﻡ

“Ketika ia berdiri tegak, maka ia melepaskan kedua tangannya.”
Pendapat yang mengatakan bahwa ia meletakkan kedua tangannya di bawah dadanya seperti dalam keadaan berdiri akan segera dibantah.
Pendapat yang kuat adalah disunnahkan mengangkat tangan dalam semua bentuk qunut, shalat, dan salam setelahnya, karena adanya ittiba‘ (mengikuti sunnah Nabi) dan sanadnya shahih atau hasan.
Hal ini berbeda dengan doa istiftah dan tasyahhud karena tangan memiliki fungsi tertentu, sehingga tidak demikian.
Dari sini dapat dipahami bantahan terhadap pendapat yang menyatakan bahwa sunnah dalam i‘tidal adalah meletakkan tangan di bawah dada seperti dalam keadaan berdiri.

ﺭﻭﺿﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ – ﻣﺤﻴﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﻨﻮﻭﻱ – ﺝ ١ – ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ : ٣٥٧

ﻭﻳﺴﺘﺤﺐ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﻋﺘﺪﺍﻝ، ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻴﺪﻳﻦ ﺣﺬﻭ ﺍﻟﻤﻨﻜﺒﻴﻦ، ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺗﻘﺪﻡ ﻣﻦ ﺻﻔﺔ ﺍﻟﺮﻓﻊ، ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺍﺑﺘﺪﺍﺀ ﺭﻓﻌﻬﻤﺎ، ﻣﻊ ﺍﺑﺘﺪﺍﺀ ﺭﻓﻊ ﺍﻟﺮﺃﺱ. ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻋﺘﺪﻝ ﻗﺎﺋﻤﺎ، ﺣﻄﻬﻤﺎ

3. Raudhah al-Talibin (Imam al-Nawawi, Jilid 1, Hal. 357)

Dianjurkan saat i‘tidal untuk mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu, sebagaimana telah dijelaskan tentang tata cara mengangkat tangan.
Mengangkat tangan dimulai bersamaan dengan mengangkat kepala.
Ketika telah berdiri tegak, maka ia menurunkan kedua tangannya

ﻓﺘﺢ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ – ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ ﺍﻟﺮﺍﻓﻌﻲ – ﺝ ٣ – ﺍﻟﺼﻔﺤﺔ :٤٠٤ – ٤٠٣
ﻭﻳﺴﺘﺤﺐ ﻋﻨﺪ ﺍﻻﻋﺘﺪﺍﻝ ﺭﻓﻊ ﺍﻟﻴﺪﻳﻦ ﺇﻟﻰ ﺣﺬﻭ ﺍﻟﻤﻨﻜﺒﻴﻦ ﻓﺈﺫﺍ ﺍﻋﺘﺪﻝ ﻗﺎﺋﻤﺎ ﺣﻄﻬﻤﺎ

4. Fath al-‘Aziz (Abdul Karim al-Rafi‘i, Jilid 3, Hal. 403-404)

Dianjurkan saat i‘tidal untuk mengangkat kedua tangan sejajar dengan bahu.
Ketika telah berdiri tegak, maka ia menurunkan kedua tangannya

نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج (٤/ ٣٩٠)

( قَوْلُهُ : وَيَحُطُّ يَدَيْهِ ) أَيْ مِنْ الرَّفْعِ الْمُتَقَدِّمِ كَبَقِيَّتِهِ عِنْدَ تَكْبِيرَةِ الْإِحْرَامِ ، وَقَوْلُهُ بَعْدَ التَّكْبِيرِ تَحْتَ صَدْرِهِ : أَيْ فِي جَمْعِ الْقِيَامِ إلَى الرُّكُوعِ خَرَجَ بِهِ زَمَنُ الِاعْتِدَالِ فَلَا يَجْعَلُهُمَا تَحْتَ صَدْرِهِ بَلْ يُرْسِلُهُمَا سَوَاءٌ كَانَ فِي ذِكْرِ الِاعْتِدَالِ أَوْ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْ الْقُنُوتِ كَمَا تَقَدَّمَتْ الْإِشَارَةُ إلَيْهِ فِي الِاعْتِدَالِ بَعْدَ قَوْلِ الْمَتْنِ فَإِذَا انْتَصَبَ إلَخْ

5. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (Jilid 4, Hal. 390)

(Ucapan: “dan ia menurunkan kedua tangannya”) – maksudnya dari angkatan sebelumnya, sebagaimana yang terjadi saat takbiratul ihram.
(Ucapan: “setelah takbir, di bawah dadanya”) – maksudnya dalam keadaan berdiri sebelum rukuk.
Hal ini tidak berlaku dalam posisi i‘tidal, sehingga ia tidak meletakkan kedua tangannya di bawah dada, tetapi melepaskannya, baik ketika sedang berdzikir dalam i‘tidal maupun setelah selesai dari qunut, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya dalam pembahasan i‘tidal setelah ucapan matan: “Ketika ia berdiri tegak

بشرى الكريم ج ١ ص ٧٤
٠(و)عند (الإعتدال) يرفع يديه ،والأكمل كونهما بهيئتهما في التحرم وكون الرفع مع ابتداء رفع رأسه إلى انتصابه ، فإذا انتصب قائما أرسل يديه ، وقيل جعلهما تحت صدره كالقيام٠

6. Busyra al-Karim (Jilid 1, Hal. 74)

Saat i‘tidal, ia mengangkat kedua tangannya, dan yang lebih sempurna adalah posisinya seperti saat takbiratul ihram, serta mengangkat tangan bersamaan dengan mengangkat kepala hingga berdiri tegak.
Ketika telah tegak berdiri, maka ia melepaskan kedua tangannya.
Sebagian pendapat menyatakan bahwa ia meletakkannya di bawah dada seperti dalam keadaan berdiri.

فتاوى الفقهية الكبرى ج١ص١٤٠

( وَسُئِلَ )

نَفَعَ اللَّهُ بِعُلُومِهِ وَمَتَّعَ بِوُجُودِهِ الْمُسْلِمِينَ هَلْ يَضَعُ الْمُصَلِّيْ يَدَيْهِ حِينَ يَأْتِيْ بِذِكْرِ اِلاعْتِدَالِ كَمَا يَضَعُهُمَا بَعْدَ التَّحَرُّمِ أَوْ يُرْسِلُهُمَا
( فَأَجَابَ )

رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِقَوْلِهِ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ كَلاَمُ النَّوَوِيِّ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ أَنَّهُ يَضَعُ يَدَيْهِ فِي اِلاعْتِدَالِ كَمَا يَضَعُهُمَا بَعْدَ التَّحَرُّمِ وَعَلَيْهِ جَرَيْتُ فِي شَرْحِيْ عَلَى اْلإِرْشَادِ وَغَيْرِهِ وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ اهـ

7. Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra (Jilid 1, Hal. 140)

Diajukan pertanyaan: Apakah seorang yang shalat meletakkan kedua tangannya ketika membaca dzikir dalam i‘tidal sebagaimana ia meletakkannya setelah takbiratul ihram, ataukah ia melepaskannya?
Maka dijawab: Pendapat yang ditunjukkan oleh ucapan Imam al-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzdzab adalah bahwa ia meletakkan kedua tangannya saat i‘tidal sebagaimana ia meletakkannya setelah takbiratul ihram. Inilah yang saya ikuti dalam Syarh al-Irsyad dan lainnya. Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala lebih mengetahui kebenaran yang tepat.” Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Shalat dengan Sarung Transparan?

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Dalam ibadah shalat, salah satu syarat sahnya adalah menutup aurat. Aurat laki-laki dalam shalat adalah antara pusar hingga lutut, sementara aurat perempuan adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Pakaian yang digunakan harus cukup tebal sehingga tidak memperlihatkan warna kulit.
Namun, terdapat kasus di mana seseorang memakai sarung yang secara kasat mata tampak transparan atau tipis, tetapi warna kulitnya tidak terlihat. Hal ini menimbulkan pertanyaan:

apakah shalat dengan sarung semacam ini tetap sah, ataukah dianggap tidak memenuhi syarat menutup aurat? Bagaimana hukum fiqih terkait masalah ini?

Waalaikum salam

Jawaban

Terkait hukum shalat dengan memakai sarung yang transparan, maka hal ini perlu ditinjau terlebih dahulu:

Jika warna kulit terlihat, maka shalatnya batal (tidak sah).

Jika warna kulit tidak terlihat, maka shalatnya tetap sah.

Adapun cara mengukur apakah warna kulit terlihat atau tidak adalah dengan meminta seseorang untuk melihatnya secara langsung. Jika orang tersebut dapat melihat warna kulit saat berhadapan, maka pakaian tersebut tidak memenuhi syarat penutup aurat dan dapat membatalkan shalat.

Referensi :

(بجيرمى على الخاطيب, ١/٣٣٩).

وَشَرْطُ السَّاتِرِ جِرْمٌ يَمْنَعُ إِدْرَاك َلَوْنِ البَشَرَةِ لاَحَجْمَهَا وَلَوْ بِطِيْنٍ وَنَحْوِ مَاءٍ كَدِرٍ. (قَوْلُهُ يَمْنَعُ إِدْرَاكَ البَشَرَةَ) أي لِمُعْتَدِلِ البَصَرِ عَادَةٍ كَمَا فِى نَظَائِرِهِ كَذَا نُقِلَ بِالدَّرْسِ عَنْ فَتَاوِى الشَّارِحِ ع ش على م ر فَلاَ يَضُرُّ رُؤْيَةُ حَدِيْدِ البَصَرِ وَكَذَا إِذَا رَآهَا فِى الشَّمْسِ دُوْنَ الظِّلِّ ع ش وَقَدَّرَ الشَّارِحُ لَوْنَ لِيُفِيْدَ الإِكْتِفَاءَ بِمَا يَمْنَعُ اللَّوْنَ وَإِنْ لَمْ يَمْنَعْ الجِرْمَ كَالسَّرَاوِيْلَ الضَيِّقَةِ لَكِنَّهُ مَكْرُوْهٌ لِلْمَرْأَةِ اهـ

1. Referensi “حاشية البجيرمي على الخطيب” (Hasyiyah al-Bujairmi ‘ala al-Khatib, 1/339):

“Syarat penutup aurat adalah sesuatu yang memiliki massa (jirm) yang dapat menghalangi penglihatan terhadap warna kulit, bukan sekadar bentuk tubuh, meskipun dengan tanah liat atau air keruh sekalipun. (Kalimat ‘menghalangi penglihatan warna kulit’) maksudnya adalah bagi orang yang memiliki penglihatan normal sebagaimana dalam kasus-kasus serupa. Hal ini sebagaimana dinukil dalam pembelajaran dari fatwa-fatwa sang pensyarah (asy-Syarih) A. Sy. atas M. R., sehingga tidaklah merugikan jika masih dapat terlihat oleh orang yang memiliki penglihatan sangat tajam. Demikian pula, jika terlihat di bawah sinar matahari namun tidak terlihat di tempat teduh (A. Sy.). Sang pensyarah (asy-Syarih) menggunakan kata ‘warna’ agar menunjukkan bahwa cukup dengan sesuatu yang dapat menghalangi warna kulit, meskipun tidak menghalangi massa, seperti celana yang ketat. Namun, pemakaian semacam itu tetaplah makruh bagi perempuan

(البيان فى مذهب الإمام الشافعي, ٢/١٢٠).

مَسْأَلَةٌ (الثَّوْبُ الشَّفَافُ) وَيَجِبُ سَتْرُ العَوْرَةِ بِمَالَايَصِفُ لَوْنَ البَشَرَةِ وَهُوَ صِفَةُ جِلْدِهِ أَنَّهُ أَسْوَدُ أَوْ أَبْيَضُ وَذَلِكَ يَحْصُلُ بِالثَّوْبِ وَالجد وَمَاأَشْبَهَهُمَا اهـ

2. Referensi “البيان فى مذهب الإمام الشافعي”

(Al-Bayan fi Madzhab al-Imam asy-Syafi’i, 2/120):

“Masalah: (Kain yang transparan). Wajib menutup aurat dengan sesuatu yang tidak menampakkan warna kulit, yaitu warna asli kulitnya apakah hitam atau putih. Hal ini dapat dicapai dengan kain, kulit tebal, atau benda serupa lainnya.”
Terjemahan ini mempertahankan makna asli teks sambil tetap memperhatikan kelancaran bahasa. Jika ada bagian yang perlu diperjelas, silakan tanyakan.Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Status Kesucian Air Najis yang Telah Diolah melalui Penyulingan

 

Dalam fiqih Islam, air yang awalnya terkena najis dapat kembali menjadi air suci mensucikan jika memenuhi syarat-syarat tertentu. Salah satu syarat utama adalah hilangnya sifat-sifat najis dari air tersebut, yaitu warna, rasa, dan bau. Jika air yang najis telah mengalami perubahan total sehingga tidak lagi memiliki sifat najisnya, maka ia dihukumi kembali sebagai air suci dan dapat digunakan untuk bersuci.
Perubahan ini bisa terjadi secara alami (misalnya dengan bercampur air suci dalam jumlah besar) atau melalui proses penyaringan dan pemurnian yang efektif.

Seiring perkembangan ilmu dan teknologi, kini telah tersedia alat penyulingan yang mampu mengubah air asin menjadi air tawar dan bahkan menyaring air kotor/najis hingga menjadi air bersih yang tidak lagi berbau, berwarna, atau berasa najis.

Pertanyaan

Bagaimana status air najis berubah yang dikelola dengan alat bantu penyulingan najiskah atau suci menurut ulama’ fiqih?

Waalaikum salam

Jawaban
Hukum Air Najis yang Disucikan dengan Alat Penyulingan

Mayoritas ulama berpendapat bahwa air yang telah berubah secara total hingga kehilangan sifat najisnya, baik melalui proses alami maupun buatan (seperti penyulingan atau pemurnian), kembali menjadi air suci mensucikan. Dalam madzhab Syafi’i, air yang najis dapat menjadi suci kembali asalkan perubahan itu membuatnya kembali ke sifat asal air yang murni.
Oleh karena itu, air yang awalnya najis kemudian diproses dengan alat penyulingan hingga benar-benar bersih dan tidak lagi memiliki sifat najis, dihukumi sebagai air suci mensucikan dan dapat digunakan untuk wudhu, mandi, dan keperluan ibadah lainnya.

Namun, sebagian ulama dari madzhab Hanbali lebih ketat dalam hal ini dan menganggap bahwa meskipun air telah berubah dengan proses penyulingan, tetap tidak bisa kembali suci karena asalnya telah terkena najis. Pendapat ini lebih bersifat kehati-hatian.

Kesimpulan

Dalam pandangan mayoritas ulama, air najis yang telah disucikan dengan alat penyulingan hingga hilang sifat najisnya dianggap sebagai air suci mensucikan. Dengan demikian, air hasil pemurnian dapat digunakan untuk bersuci dan keperluan ibadah lainnya selama sudah benar-benar bersih dari najis.

Catatan Menurut Fatwa MUI kesucian air yang diolah harus memenuhi tiga syarat

ثلاث طرق لتطهير الماء النجس كما يلي:

أ. طريقة النضح

(Thariqat an-Nazh):

وهي بإزالة الماء الذي أصابته النجاسة أو الذي تغيرت صفاته، بحيث لا يبقى إلا الماء الذي لم تصبه النجاسة ولم تتغير صفاته.

Tiga cara mensucikan air najis sebagai berikut:

a.Thariqat an-Nazh: yaitu dengan cara menguras air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut; sehingga yang tersisa tinggal air yang aman dari najis dan yang tidak berubah salah satu sifatnya

b.Thariqah al-Mukatsarah: yaitu dengan cara menambahkan air suci lagi mensucikan (thahir muthahhir) pada air yang terkena najis (mutanajjis) atau yang berubah (mutaghayyir) tersebut hingga mencapai volume paling kurang dua kullah, serta unsur najis dan semua sifat yang menyebabkan air itu berubah menjadi hilang

c. Thariqah Taghyir: yaitu dengan cara mengubah air yang terkena najis atau yang telah berubah sifatnya tersebut dengan menggunakan alat bantu yang dapat mengembalikan sifat-sifat asli air itu menjadi suci lagi mensucikan (thahirmulthahhirmulthahhirmuthahhir), dengan syarat:

Volume airnya lebih dari dua kullah Alat bantu yang digunakan harus suci

ب. طريقة المكاثرة

(Thariqah al-Mukatsarah):

وهي بإضافة ماء طاهر مطهر إلى الماء المتنجس (المتنجس) أو المتغير (المتغير) حتى يصل حجمه إلى قُلَّتين على الأقل، بحيث تزول النجاسة وكل الصفات التي تسببت في تغيّر الماء.

ج. طريقة التغيير

(Thariqah at-

Taghyir): وهي باستخدام أدوات معالجة لإعادة الماء المتنجس أو المتغير إلى حالته الأصلية بحيث يصبح طاهرًا مطهرًا، بشرط:

أن يكون حجم الماء أكثر من قُلَّتين. أن تكون الأدوات المستخدمة

Referensi:

المجموع شرح المهذب ج١ص ١٣٢
(إذَا أَرَادَ تَطْهِيرَ الْمَاءِ النَّجِسِ نُظِرَ فَإِنْ كَانَتْ نَجَاسَتُهُ بِالتَّغَيُّرِ وَهُوَ أَكْثَرُ مِنْ قُلَّتَيْنِ طَهُرَ: بِأَنْ يَزُولَ التَّغَيُّرُ بِنَفْسِهِ أَوْ بِأَنْ يُضَافَ إلَيْهِ مَاءٌ آخَرُ: أَوْ بِأَنْ يُؤْخَذَ بعضه لان النجاسة
بالتغير وقد زال)

(الشرح)

 ادا زَالَ تَغَيُّرُ الْمَاءِ النَّجِسِ وَهُوَ أَكْثَرُ مِنْ قُلَّتَيْنِ نُظِرَ إنْ زَالَ بِإِضَافَةِ مَاءٍ آخَرَ إلَيْهِ طَهُرَ بِلَا خِلَافٍ سَوَاءٌ كَانَ الْمَاءُ الْمُضَافُ طَاهِرًا أَوْ نَجِسًا قَلِيلًا أَوْ كَثِيرًا وَسَوَاءٌ صُبَّ الْمَاءُ عَلَيْهِ أَوْ نَبَعَ عَلَيْهِ وَإِنْ زَالَ بِنَفْسِهِ أَيْ بِأَنْ لَمْ يَحْدُثْ فيه شيئا بَلْ زَالَ تَغَيُّرُهُ بِطُلُوعِ الشَّمْسِ أَوْ الرِّيحِ أَوْ مُرُورِ الزَّمَانِ طَهُرَ أَيْضًا عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَطَعَ الْجُمْهُورُ: وَحَكَى الْمُتَوَلِّي عَنْ أَبِي سعيد الاصطخرى أنه لا يطهر لانه شئ نجس فلا يطهر بنفسه: وهذا ليس بشئ لِأَنَّ سَبَبَ النَّجَاسَةِ التَّغَيُّرُ: فَإِذَا زَالَ طَهُرَ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَنْجَسْ وَإِنْ زَالَ بِأَخْذِ بَعْضِهِ طَهُرَ بِلَا خِلَافٍ بِشَرْطٍ أَنْ يَكُونَ الْبَاقِي بَعْدَ الْأَخْذِ قُلَّتَيْنِ: فَإِنْ بَقِيَ دُونَهُمَا لم يطهر بلا خلاف

Apabila seseorang ingin mensucikan air yang najis, maka harus dilihat terlebih dahulu. Jika kenajisannya terjadi karena adanya perubahan (warna, rasa, atau bau) dan jumlah air tersebut lebih dari dua qullah, maka air tersebut menjadi suci dengan beberapa cara:
Perubahan itu hilang dengan sendirinya Ditambahkan air lain ke dalamnya Sebagian air diambil, karena najisnya disebabkan oleh perubahan, dan perubahan itu telah hilang.
(Penjelasan) Apabila perubahan pada air yang najis telah hilang, sementara air tersebut lebih dari dua qullah, maka diperinci:
Jika perubahan itu hilang karena ditambahkan air lain, maka air itu menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat. Baik air yang ditambahkan itu suci maupun najis, baik sedikit maupun banyak, baik dituangkan ke dalam air yang najis atau mengalir ke dalamnya.
Jika perubahan itu hilang dengan sendirinya, seperti karena sinar matahari, angin, atau berlalunya waktu, maka air tersebut juga menjadi suci menurut pendapat yang dipegang dalam mazhab. Pendapat ini juga menjadi pegangan mayoritas ulama.
Namun, al-Mutawalli meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Istakhri bahwa air tersebut tidak menjadi suci, karena sesuatu yang najis tidak bisa menjadi suci dengan sendirinya. Tetapi pendapat ini tidak dapat diterima, sebab sebab utama kenajisan adalah perubahan. Jika perubahan itu hilang, maka air tersebut kembali suci, berdasarkan sabda Nabi ﷺ:
“Apabila air telah mencapai dua qullah, maka ia tidak menjadi najis.”
Jika perubahan itu hilang dengan cara mengambil sebagian airnya, maka air itu juga menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat, dengan syarat bahwa sisa air yang tertinggal setelah pengambilan masih berjumlah dua qullah. Jika jumlah yang tersisa kurang dari dua qullah, maka air tersebut tetap tidak suci tanpa ada perbedaan pendapat.

المجموع شرح المهذب ص ١٣٤

واعلم أن صُورَةَ الْمَسْأَلَةِ أَنْ يَكُونَ كَدِرًا وَلَا و تَغَيُّرَ فِيهِ أَمَّا إذَا صَفَا فَلَا يَبْقَى خِلَافٌ بَلْ إنْ كَانَ التَّغَيُّرُ مَوْجُودًا فَنَجِسٌ قَطْعًا وَإِلَّا فَطَاهِرٌ قَطْعًا كَذَا صَرَّحَ بِهِ الْمُتَوَلِّي وَغَيْرُهُ وَلَا فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَكُونَ التَّغَيُّرُ بِالطَّعْمِ أَوْ اللَّوْنِ أَوْ الرَّائِحَةِ فَفِي الْجَمِيعِ القولان هذا هو الصوب: وقال الشيخ أبو عمر وبن الصَّلَاحِ رَحِمَهُ اللَّهُ عِنْدِي أَنَّ الْقَوْلَيْنِ إذَا تَغَيَّرَ بِالرَّائِحَةِ فَأَمَّا إذَا تَغَيَّرَ بِالطَّعْمِ أَوْ اللَّوْنِ فَلَا يَطْهُرُ قَطْعًا لِأَنَّهُ يَسْتَتِرُ بِالتُّرَابِ قَالَ وَهَذَا تَحْقِيقٌ لَوْ عُرِضَ عَلَى الْأَئِمَّةِ لَقَبِلُوهُ: وَهَذَا الَّذِي قَالَهُ رَحِمَهُ اللَّهُ خِلَافُ ظَاهِرِ كَلَامِ الْأَصْحَابِ وَخِلَافُ مُقْتَضَى إطْلَاقِ مَنْ أَطْلَقَ مِنْهُمْ وَخِلَافُ تَصْرِيحِ الْبَاقِينَ فَقَدْ صَرَّحَ جَمَاعَةٌ مِنْ كِبَارِهِمْ بِأَنَّهُ لَا فَرْقَ قَالَ الْمَحَامِلِيُّ فِي التَّجْرِيدِ إنْ تَغَيَّرَ لَوْنُهُ فَوَرَدَ عليه ماله لَوْنٌ كَالْخَلِّ فَأَزَالَ تَغَيُّرَهُ أَوْ تَغَيُّرَ رِيحِهِ فَوَرَدَ عَلَيْهِ مَا لَهُ رِيحٌ كَالْكَافُورِ فَأَزَالَهُ لَمْ يَطْهُرْ بِلَا خِلَافٍ قَالَ وَإِنْ طُرِحَ عَلَيْهِ مَا لَا رِيحَ لَهُ وَلَا لَوْنَ كَالتُّرَابِ وَغَيْرِهِ فَأَزَالَهُ فَقَوْلَانِ: وَقَالَ هُوَ فِي الْمَجْمُوعِ إذَا تَغَيَّرَ طَعْمُ الْمَاءِ أَوْ لَوْنُهُ أَوْ رِيحُهُ نَجِسَ وَيَطْهُرُ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهَا وَخَامِسٍ مُخْتَلَفٌ فِيهِ فَذَكَرَ زَوَالَهُ بِنَفْسِهِ وَبِمَا يُضَافُ إلَيْهِ أَوْ يَنْبَعُ فِيهِ أَوْ يُؤْخَذُ مِنْهُ ثُمَّ قَالَ وَالْمُخْتَلَفُ فِيهِ أَنْ يَزُولَ بِالتُّرَابِ فَقَوْلَانِ ثُمَّ قَالَ وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ متى تغير طعم الماء فورد عليه ماله طعم: أو ريحه فورد عليه ماله ريح: أو لونه فورد عليه ماله لَوْنٌ لَمْ يَطْهُرْ بِلَا خِلَافٍ: وَإِنْ وَرَدَ عَلَيْهِ مَا لَا طَعْمَ لَهُ وَلَا لَوْنَ وَلَا رِيحَ فَأَزَالَ تَغَيُّرَهُ فَهَلْ يَطْهُرُ فِيهِ قَوْلَانِ هَذَا كَلَامُ الْمَحَامِلِيِّ

Ketahuilah bahwa bentuk permasalahan ini adalah jika air tersebut keruh tetapi tidak mengalami perubahan.
Adapun jika air tersebut menjadi jernih, maka tidak ada perbedaan pendapat lagi. Namun, jika perubahan tetap ada, maka air itu secara pasti menjadi najis. Jika tidak mengalami perubahan, maka tetap suci secara pasti. Hal ini telah ditegaskan oleh al-Mutawalli dan ulama lainnya.

Tidak ada perbedaan apakah perubahan itu terjadi pada rasa, warna, atau bau, sehingga dalam semua kasus ini terdapat dua pendapat. Inilah pendapat yang lebih kuat (ash-shawab).

Syaikh Abu ‘Umar Ibnus Shalah rahimahullah berkata:

“Menurut saya, dua pendapat ini berlaku apabila air berubah karena bau. Namun, jika perubahan terjadi karena rasa atau warna, maka air itu secara pasti tidak menjadi suci karena perubahan tersebut dapat tersembunyi dengan tanah.”

Ia berkata lagi:

“Pendapat ini merupakan suatu penelitian mendalam yang jika dikemukakan kepada para imam, mereka pasti akan menerimanya.”

Namun, pendapat yang dikemukakan oleh beliau (Ibnus Shalah) bertentangan dengan pendapat yang tampak dari kalam (ucapan) para ulama mazhab, bertentangan dengan ketetapan dari mereka yang menyatakannya secara mutlak, dan juga bertentangan dengan pernyataan eksplisit dari para ulama lainnya.

Sejumlah ulama besar telah menegaskan bahwa tidak ada perbedaan (dalam hukum perubahan air, baik karena rasa, warna, maupun bau).

Al-Mahamili dalam kitab At-Tajrid berkata:

“Jika warna air berubah, lalu ditambahkan sesuatu yang juga memiliki warna, seperti cuka, yang kemudian menghilangkan perubahan warna tersebut, atau jika bau air berubah, lalu ditambahkan sesuatu yang juga memiliki bau, seperti kapur barus, yang kemudian menghilangkannya, maka dalam hal ini air tetap tidak menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat.”

Beliau juga berkata:

“Namun, jika air tersebut dicampur dengan sesuatu yang tidak memiliki bau atau warna, seperti tanah dan sejenisnya, lalu perubahan air tersebut hilang, maka ada dua pendapat dalam hal ini.”

Dalam kitab Al-Majmu’, disebutkan:

“Jika rasa, warna, atau bau air berubah, maka air itu menjadi najis dan dapat disucikan dengan empat cara yang disepakati serta satu cara yang masih diperselisihkan.”

Cara yang disepakati adalah:

Hilangnya perubahan dengan sendirinya, Ditambahkan sesuatu padanya, Air tersebut bersumber dari mata air, Diambil sebagian dari air itu.

Kemudian beliau berkata:

“Cara yang masih diperselisihkan adalah jika perubahan tersebut dihilangkan dengan tanah, maka dalam hal ini ada dua pendapat.”

Selanjutnya beliau menyimpulkan:

“Kesimpulannya, jika perubahan terjadi pada rasa air lalu ditambahkan sesuatu yang memiliki rasa, atau perubahan terjadi pada baunya lalu ditambahkan sesuatu yang memiliki bau, atau perubahan terjadi pada warnanya lalu ditambahkan sesuatu yang memiliki warna, maka air itu tetap tidak menjadi suci tanpa ada perbedaan pendapat. Namun, jika ditambahkan sesuatu yang tidak memiliki rasa, warna, maupun bau sehingga menghilangkan perubahan air tersebut, maka dalam hal ini terdapat dua pendapat.”

مغني المحتاج ١/٢٢ :

(أو) زال تغيره ظاهرا كأن زال ريحه (بمسك و) لونه بنحو (زعفران) وطعمه بنحو خل (فلا) يطهر، لانا لا ندري أن أوصاف النجاسة زالت أو غلب عليها المطروح فسترها، وإذا كان كذلك فالاصل بقاؤها. فإن قيل: العلة في عدم عود الطهورية احتمال أن التغير استتر ولم يزل، فكيف يعطفه المصنف على ما جزم فيه بزوال التغير ؟ وذلك تهافت. أجيب بأن المراد زواله طاهرا كما قدرته وإن أمكن استتاره باطنا، فلو طرح مسك على متغير الطعم فزال تغيره طهر، إذ المسك ليس له طعم. وكذا يقال في الباقي

Mughnī al-Muhtāj 1/22:

 

“Atau hilang perubahan (pada air) secara lahiriah, seperti hilangnya baunya dengan misik, warnanya dengan sesuatu seperti za’faran, dan rasanya dengan sesuatu seperti cuka, maka (air tersebut) tidak menjadi suci. Sebab, kita tidak mengetahui apakah sifat-sifat najis itu benar-benar hilang atau hanya tertutupi oleh sesuatu yang ditambahkan sehingga menutupinya. Jika demikian, maka hukum asalnya tetap dianggap najis.”

 

Jika dikatakan: ‘Sebab tidak kembalinya sifat menyucikan air adalah karena ada kemungkinan bahwa perubahan itu hanya tertutupi dan tidak benar-benar hilang. Lalu bagaimana mungkin penyusun kitab ini menghubungkan (mengumpamakan) hal ini dengan keadaan di mana perubahan telah dipastikan hilang? Bukankah ini merupakan kontradiksi?’

 

Dijawab bahwa yang dimaksud adalah hilangnya perubahan itu secara lahiriah, sebagaimana yang telah ditetapkan (dalam hukum), meskipun ada kemungkinan perubahan itu masih tersembunyi secara batin. Maka, jika seseorang menambahkan misik ke dalam air yang berubah rasanya lalu perubahan itu hilang, maka air tersebut menjadi suci, karena misik tidak memiliki rasa. Hal yang sama juga berlaku untuk warna dan bau.”

.نهاية المحتاج ١/٧٧-٧٨

وحاصل ذلك أن شرط إناطة الحكم بالشك في زوال التغير أو استتاره حتى يحكم ببقاء النجاسة تغليبا لاحتمال الاستتار أنه لا بد من احتمال إحالة زوال التغير على الواقع في الماء من مخالط أو مجاور ، فحيث احتمال إحالته على استتاره بالواقع فالنجاسة باقية لكوننا لم نتحقق زوال التغير المقتضي [ ص: 78 ] للنجاسة بل يحتمل زواله واستتاره والأصل بقاؤها ، وحيث لم يحتمل ذلك فهي زائلة فيحكم بطهارته ، وعلم أن رائحة المسك لو ظهرت ثم زالت وزال التغير حكمنا بالطهارة ؛ لأنها لما زالت ولم يظهر التغير علمنا أنه زال بنفسه.

Nihāyah al-Muhtāj 1/77-78:

“Kesimpulannya adalah bahwa syarat dalam menggantungkan hukum pada keraguan terhadap hilangnya perubahan atau tersembunyinya perubahan hingga dihukumi tetap najis, lebih didasarkan pada kemungkinan bahwa hilangnya perubahan itu disebabkan oleh sesuatu yang bercampur atau berdekatan dengan air tersebut.

Jika ada kemungkinan bahwa hilangnya perubahan itu hanya tertutupi oleh sesuatu yang ditambahkan ke dalam air, maka air tetap dihukumi najis, karena kita tidak dapat memastikan bahwa perubahan yang menyebabkan kenajisan benar-benar hilang. Bisa jadi perubahan itu memang hilang, tetapi bisa juga hanya tertutupi, dan hukum asalnya tetap najis.

Namun, jika kemungkinan tersebut tidak ada, maka perubahan dianggap benar-benar hilang, sehingga air dihukumi suci.

Diketahui pula bahwa jika bau misik muncul kemudian menghilang, dan perubahan air juga ikut hilang, maka air dihukumi suci. Sebab, ketika bau misik menghilang dan perubahan air tidak muncul kembali, ini menunjukkan bahwa perubahan tersebut benar-benar hilang dengan sendirinya.”

Kategori
Hukum

Pelayanan dalam Rumah Tangga antara Suami dan Istri menurut Mazhab Fikih

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Dalam kehidupan rumah tangga, sudah menjadi kebiasaan bahwa istri yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Kebiasaan ini sering kali dianggap sebagai tanggung jawab istri, bahkan dianggap sebagai bagian dari kewajibannya dalam pernikahan. Padahal, kewajiban istri adalah mentaati suami selama tidak menyalahi syariat

Pertanyaan:

Bagaimana pandangan jumhur ulama terkait kewajiban istri dalam pekerjaan rumah tangga?

Mohon jawaban beserta dalilnya

Waalaikum salam

Jawaban

Jumhur ulama, terutama dari mazhab Syafi’iyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyah, berpendapat bahwa pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah bukanlah kewajiban istri. Mereka menegaskan bahwa tanggung jawab utama istri dalam rumah tangga adalah menaati suami dalam hal-hal yang sesuai dengan syariat, bukan melakukan pekerjaan rumah secara otomatis.

الموسوعة الفقهية الكويتية ج ٢٩ص٤٣-٤٥

خِدْمَةُ الزَّوْجَةِ لِزَوْجِهَا وَعَكْسُهُ:

١٨ – لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ فِي أَنَّ الزَّوْجَةَ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَخْدُمَ زَوْجَهَا فِي الْبَيْتِ، سَوَاءٌ أَكَانَتْ مِمَّنْ تَخْدُمُ نَفْسَهَا أَوْ مِمَّنْ لاَ تَخْدُمُ نَفْسَهَا. إِلاَّ أَنَّهُمُ اخْتَلَفُوا فِي وُجُوبِ هَذِهِ الْخِدْمَةِ. فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ (الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ وَبَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ) إِلَى أَنَّ خِدْمَةَ الزَّوْجِ لاَ تَجِبُ عَلَيْهَا لَكِنَّ الأَْوْلَى لَهَا فِعْل مَا جَرَتِ الْعَادَةُ بِهِ. وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى وُجُوبِ خِدْمَةِ الْمَرْأَةِ لِزَوْجِهَا دِيَانَةً لاَ قَضَاءً، لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَسَّمَ الأَْعْمَال بَيْنَ عَلِيٍّ وَفَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَجَعَل عَمَل الدَّاخِل عَلَى فَاطِمَةَ، وَعَمَل الْخَارِجِ عَلَى عَلِيٍّ. (١) وَلِهَذَا فَلاَ يَجُوزُ لِلزَّوْجَةِ – عِنْدَهُمْ – أَنْ تَأْخُذَ مِنْ زَوْجِهَا أَجْرًا مِنْ أَجْل خِدْمَتِهَا لَهُ. وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْمَالِكِيَّةِ وَأَبُو ثَوْرٍ، وَأَبُو بَكْر بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو إِسْحَاقَ الْجُوزَجَانِيُّ، إِلَى أَنَّ عَلَى الْمَرْأَةِ خِدْمَةَ زَوْجِهَا فِي الأَْعْمَال الْبَاطِنَةِ الَّتِي جَرَتِ الْعَادَةُ بِقِيَامِ الزَّوْجَةِ بِمِثْلِهَا، لِقِصَّةِ عَلِيٍّ وَفَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، حَيْثُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى عَلَى ابْنَتِهِ فَاطِمَةَ بِخِدْمَةِ الْبَيْتِ، وَعَلَى عَلِيٍّ بِمَا كَانَ خَارِجَ الْبَيْتِ مِنَ الأَْعْمَال (٢) وَلِحَدِيثِ: لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَِحَدٍ لأََمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، وَلَوْ أَنَّ رَجُلاً أَمَرَ امْرَأَتَهُ أَنْ تَنْقُل مِنْ جَبَلٍ أَحْمَرَ إِلَى جَبَلٍ أَسْوَدَ، وَمِنْ جَبَلٍ أَسْوَدَ إِلَى جَبَلٍ أَحْمَرَ لَكَانَ نَوْلُهَا أَنْ تَفْعَل (١) قَال الْجُوزَجَانِيُّ: فَهَذِهِ طَاعَتُهُ فِيمَا لاَ مَنْفَعَةَ فِيهِ فَكَيْفَ بِمُؤْنَةِ مَعَاشِهِ؟ وَلأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ نِسَاءَهُ بِخِدْمَتِهِ فَيَقُول: يَا عَائِشَةُ أَطْعِمِينَا، يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ وَاشْحَذِيهَا بِحَجَرٍ (٢) وَقَال الطَّبَرِيُّ: إِنَّ كُل مَنْ كَانَتْ لَهَا طَاقَةٌ مِنَ النِّسَاءِ عَلَى خِدْمَةِ بَيْتِهَا فِي خَبْزٍ، أَوْ طَحْنٍ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ أَنَّ ذَلِكَ لاَ يَلْزَمُ الزَّوْجَ، إِذَا كَانَ مَعْرُوفًا أَنَّ مِثْلَهَا يَلِي ذَلِكَ بِنَفْسِهِ (٣) . ١٩ – وَبِالنِّسْبَةِ لِخِدْمَةِ الزَّوْجِ زَوْجَتَهُ، فَقَدْ ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى جَوَازِ خِدْمَةِ الرَّجُل الْحُرِّ لِزَوْجَتِهِ وَلَهَا أَنْ تَقْبَل مِنْهُ ذَلِكَ.

وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَى الزَّوْجَةِ اسْتِخْدَامُ زَوْجِهَا الْحُرِّ بِجَعْلِهِ خِدْمَتَهُ لَهَا مَهْرًا، أَمَّا لَوْ تَزَوَّجَهَا عَلَى أَنْ يَرْعَى غَنَمَهَا سَنَةً أَوْ يَزْرَعَ أَرْضَهَا فَتَسْمِيَةُ الْمَهْرِ صَحِيحَةٌ (١) . وَتَجُوزُ خِدْمَتُهُ لَهَا تَطَوُّعًا: وَقَال الْكَاسَانِيُّ: لَوِ اسْتَأْجَرَتِ الْمَرْأَةُ زَوْجَهَا لِيَخْدُمَهَا فِي الْبَيْتِ بِأَجْرٍ مُسَمًّى فَهُوَ جَائِزٌ؛ لأَِنَّ خِدْمَةَ الْبَيْتِ غَيْرُ وَاجِبَةٍ عَلَى الزَّوْجِ، فَكَانَ هَذَا اسْتِئْجَارًا عَلَى أَمْرٍ غَيْرِ وَاجِبٍ عَلَى الأَْجِيرِ

Pelayanan Istri kepada Suami dan Sebaliknya

18 – Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa istri boleh melayani suaminya di rumah, baik ia termasuk wanita yang biasa melayani dirinya sendiri maupun yang tidak. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai kewajiban layanan tersebut.

Mayoritas ulama (Syafi’iyyah, Hanabilah, dan sebagian Malikiyyah) berpendapat bahwa istri tidak wajib melayani suami, tetapi lebih utama baginya untuk melakukan pekerjaan rumah yang sudah menjadi kebiasaan umum.

Sementara itu, Hanafiyyah berpendapat bahwa pelayanan istri kepada suami hukumnya wajib secara agama (diānah), tetapi tidak dapat dipaksakan secara hukum (qaḍā’), berdasarkan kisah Nabi ﷺ yang membagi tugas antara Sayyidina Ali dan Fatimah رضي الله عنهما, di mana pekerjaan dalam rumah dibebankan kepada Fatimah dan pekerjaan di luar rumah kepada Ali. Oleh karena itu, menurut mereka, istri tidak boleh meminta upah dari suaminya karena layanan yang ia berikan kepadanya.

Mayoritas Malikiyyah, serta Abu Tsaur, Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan Abu Ishaq al-Juzajani, berpendapat bahwa istri wajib melayani suaminya dalam pekerjaan rumah tangga yang secara umum dikerjakan oleh wanita, berdasarkan kisah Ali dan Fatimah رضي الله عنهما, di mana Nabi ﷺ menetapkan Fatimah untuk mengurus rumah dan Ali untuk bekerja di luar rumah.

Mereka juga berdalil dengan hadis:

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya. Dan seandainya seorang suami menyuruh istrinya untuk memindahkan sesuatu dari gunung merah ke gunung hitam, atau dari gunung hitam ke gunung merah, maka kewajiban istri adalah menaatinya.”

Al-Juzajani berkata, “Jika ketaatan istri berlaku dalam hal yang tidak ada manfaatnya, maka bagaimana lagi dengan perkara yang berkaitan dengan nafkah suaminya?”

Selain itu, Nabi ﷺ juga memerintahkan istri-istrinya untuk melayani beliau. Beliau bersabda:

“Wahai Aisyah, berilah kami makan. Wahai Aisyah, bawakan pisau dan asahlah dengan batu.”

Menurut At-Tabari, wanita yang mampu melakukan pekerjaan rumah seperti memasak dan menggiling gandum tidak berhak menuntut suaminya untuk melakukannya, karena hal itu merupakan kebiasaan wanita pada umumnya.

19 – Pelayanan Suami kepada Istri

Mayoritas ulama (Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) membolehkan seorang suami membantu pekerjaan rumah tangga istrinya, dan istri boleh menerima bantuan tersebut.

Sedangkan Hanafiyyah berpendapat bahwa haram bagi seorang istri untuk menjadikan layanan suaminya sebagai bagian dari mahar. Namun, jika seorang suami menikahi istrinya dengan kesepakatan bahwa ia akan menggembalakan ternaknya selama setahun atau menggarap tanahnya, maka kesepakatan tersebut sah sebagai mahar.

Namun, suami boleh melayani istrinya secara sukarela. Al-Kasani berkata:

“Jika seorang istri menyewa suaminya untuk melayaninya di rumah dengan upah tertentu, maka hal itu diperbolehkan, karena pelayanan rumah tangga bukan kewajiban suami, sehingga ini dianggap sebagai akad ijarah (sewa) yang sah.”

Selain itu, dalam Khasyiyatul Jamal disebutkan bahwa seorang suami wajib memberitahu istrinya bahwa pekerjaan rumah tangga bukan kewajibannya, agar istri tidak merasa terbebani atau berpikir bahwa hak nafkahnya bergantung pada pelaksanaan pekerjaan tersebut. Jika istri melakukannya, hal itu didasarkan pada kesepakatan dan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat, bukan karena kewajiban syar’i.

Dalam Khasyiyatul Jamal juz 4 dikatakan:

وقع السؤال فى الدرس هل يجب على الرجل اعلام زوجته بأنها لاتجب عليها خدمة مما جرت به العادة من الطبخ والكنس ونحوهما مماجرت به عادتهن أم لا وأوجبنا بأن الظاهر الأول لأنها اذا لم تعلم بعدم وجوب ذلك ظنت أنه واجب وأنها لاتستحق نفقة ولاكسوة إن لم تفعله فصارت كأنهامكرهة على الفعل…

“Wajib atau tidakkah bagi suami memberitahu istrinya bahwa sang sitri tidak wajib  membantu memasak, mencuci dan sebagainya sebagaimana yang berlaku selama ini? Jawabnya adalah wajib bagi suami memberitahukan hal tersebut, karena jika tidak diberitahu seorang istri bisa menyangka hal itu sebagai kewajiban bahkan istri akan menyangka pula bahwa dirinya tidak mendapatkan nafkah bila tidak membantu (mencuci, memasak dan lainnya). Hal ini akan manjadikan istri merasa menjadi orang yang terpaksa.”

Kesimpulannya, menurut jumhur ulama, pekerjaan rumah tangga bukanlah kewajiban istri, tetapi jika istri melaksanakannya dengan kesadaran dan keikhlasan, hal itu merupakan bentuk kebaikan dalam kehidupan rumah tangga. Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Keutamaan Dzikir dan Niat dalam Amal

 

Ada sekelompok orang yang merasa kecil hati dan khawatir karena melihat diri mereka miskin, kasab dan penghasilannya pas-pasan bahkan tidak cukup untuk dirinya dan keluarganya, sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa dan ( tidak bisa beramal ) sebagaimana orang-orang yang diberi rezeki berlimpah. Mereka melihat orang kaya dapat bersedekah dan menginfakkan hartanya untuk kepentingan agama, membantu fakir miskin, serta membangun masjid dan musholla.

Pertanyaan:

Apa yang dapat dilakukan oleh orang miskin sebagai solusi agar tidak merasa kecil hati dan tetap dapat menyamai pahala orang-orang yang berderma?

Jawaban:

Seorang miskin hendaknya memperbanyak dzikir, seperti tahlil, tasbih, tahmid, dan takbir, serta melakukan amal-amal lain yang dianggap sebagai sedekah menurut agama, meskipun tidak berbentuk materi.

Referensi:

شرح الأربعين النووية لإبن دقيق العيد ص ٩١

[ذهب أهل الدثور بالأجور]

٢٥ – عن أبي ذر رضي الله عنه أيضا أن ناساً من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا للنبي صلى الله عليه وسلم: يا رسول الله ذهب أهل الدثور بالأجور: يصلون كما نصلي، ويصومون كما نصوم، ويتصدقون بفضول أموالهم. قال: “أوليس قد جعل الله لكم ما تصدقون؟ إن بكل تسبيحة صدقة، وكل تكبيرة صدقة، وكل تحميدة صدقة، وكل تهليلة صدقة، وأمر بمعروف صدقة، ونهي عن منكر صدقة، وفي بضع أحدكم صدقة”. قالوا: يا رسول الله أيأتي أحدنا شهوته ويكون له فيها أجر؟ قال: “أرأيتم لو وضعها في حرام أكان عليه وزر؟ فكذلك إذا وضعها في الحلال كان له أجر” رواه مسلم.

الدثور: بضم الدال جمع دثر بفتحها وهو المال الكثير.

وقوله: “أوليس قد جعل الله لكم ما تصدقون” الرواية فيها بتشديد الصاد والدال جميعاً ويجوز في اللغة تخفيف الصاد.

وفي هذا الحديث فضيلة التسبيح وسائر الأذكار، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وإحضار النية في المباحات وإنما تصير طاعات بالنيات الصادقات.

[ذهب أهل الدثور بالأجور]

25 – Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu juga, bahwa sekelompok sahabat Rasulullah ﷺ berkata kepada beliau:

“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya telah pergi dengan banyak pahala! Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka.”

Maka Rasulullah ﷺ bersabda:

“Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan? Sesungguhnya setiap tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf (menyuruh kepada kebaikan) adalah sedekah, nahi munkar (mencegah kemungkaran) adalah sedekah, dan pada kemaluan salah seorang di antara kalian pun terdapat sedekah.”

Para sahabat bertanya:

“Wahai Rasulullah, apakah seseorang mendatangi syahwatnya (berhubungan dengan istrinya) dan ia mendapatkan pahala darinya?”

Beliau menjawab:

“Bagaimana menurut kalian jika ia meletakkannya di tempat yang haram, apakah ia akan mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia meletakkannya di tempat yang halal, ia akan mendapatkan pahala.”

(HR. Muslim)

Keterangan:

الدثور (ad-dutsūr): Bentuk jamak dari دثر (datsar), yang berarti harta yang banyak.

“Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian sesuatu yang bisa kalian sedekahkan?”

Dalam riwayat ini, terdapat bacaan dengan tasydid pada huruf ṣād (الصاد) dan dāl (الدال). Namun, dalam bahasa Arab, diperbolehkan juga membaca dengan meringankan ṣād (الصاد).

Hadis ini menunjukkan keutamaan tasbih, dzikir, amar ma’ruf, dan nahi munkar sebagai bentuk sedekah non-materi.

Hadis ini juga menekankan pentingnya niat yang benar, karena dengan niat yang baik, perbuatan mubah pun dapat menjadi amal ibadah yang berpahala.Wallahu a’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Biogas Tinja Buat Masak: Begini Hukumnya!

 

Deskripsi Masalah

Dalam beberapa tahun terakhir, inovasi energi alternatif semakin berkembang, terutama di tengah kelangkaan dan mahalnya harga bahan bakar gas LPG. Salah satu inovasi yang muncul adalah pemanfaatan biogas dari hasil fermentasi kotoran manusia sebagai sumber energi untuk memasak. Biogas ini mengandung metana (CH₄) yang mudah terbakar dan dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif.

Pertanyaannya

Apakah asap atau nyala api yang dihasilkan dari pembakaran biogas yang berasal dari najis dapat mempengaruhi kesucian makanan yang dimasak dengannya serta status hukumnya—apakah tetap suci dan halal untuk dikonsumsi?

Walaikum salam

Jawaban

Status hukum Makanan yang dimasak dengan biogas dari kotoran manusia tetap suci dan halal dikonsumsi, karena yang terbakar adalah gas metana yang terbentuk setelah proses fermentasi, bukan zat najis itu sendiri. Berdasarkan pendapat ulama mengenai kesucian nyala api dan perbedaan antara asap dan uap, selama tidak ada partikel najis yang terbawa dalam proses pembakaran, maka tidak ada pengaruh terhadap kesucian makanan. Oleh karena itu, penggunaan biogas dari kotoran manusia sebagai bahan bakar tidak menjadikan makanan yang dimasak dengannya menjadi najis atau haram, karena bagaimanapun juga gas metana yang terbentuk setelah proses fermentasi, bukan zat najis itu sendiri dan sudah berubah menjadi api atau nyala api yang mana hakikat api adalah suci

Referensi:

اعانة الطالبين جز ١ص ٨٨

ويعفى عن يسير عرفا من دخان النجاسة وهو المتصاعد منها بواسطة النار…سمفى… بشرط ان لا توجد رطوبة فى المحل وان لا يكون بفعله والا فلا يعفى مطلقا لتنزيلهم الدخان منزلة العين

Referensi:

حاشية البجيرمي علي الخطيب ج١ ٢٩٧

قَوْلُهُ : ( وَعَنْ قَلِيلِ دُخَانٍ نَجِسٍ ) وَلَوْ مِنْ مُغَلَّظٍ ، وَقَيَّدَهُ م ر بِغَيْرِ الْمُغَلَّظِ وَبِعَدَمِ الرُّطُوبَةِ ، وَالْأَوْلَى قِرَاءَتُهُ بِالتَّنْوِينِ لِيَشْمَلَ دُخَانَ الْمُتَنَجِّسِ كَحَطَبٍ تَنَجَّسَ بِبَوْلٍ ، فَإِنَّهُ نَجِسٌ يُعْفَى عَنْ قَلِيلِهِ كَمَا قَالَهُ ز ي .

Referensi:

.(بغية المسترشدين ص.١٣)

(مسألة ب)

الفرق بين دخان النجاسة وبخارها ان الأول انفصل بواسطة نار والثانى لابواسطتها فاله الشيخ زكريا وفال ابو محرمة هما مترادفان فما انفصل بواسطة نار تنجس وما لا فلا اما نفس الشعلة اى لسان النار فطاهرة قطعا حتى لو اقتبس منها فى شمعة لم يحكم بنجاستها.

Referensi:

تحفة الحبيب على شرح الخطيب – (١ /١٣٦ -١٣٥)

قوله : ( وعن قليل دخان نجس ) ولو من مغلظ ، وقيده م ر بغير المغلظ وبعدم الرطوبة ، والأولى قراءته بالتنوين ليشمل دخان المتنجس كحطب تنجس ببول ، فإنه نجس يعفى عن قليله كما قاله زي ، لأنه إن قرىء بالإضافة لا يشمله ، وبه يعلم ما عمت به البلوى في الشتاء ، ولو نشف شيئاً رطباً على اللهب المجرد عن الدخان لم يتنجس وهو ظاهر ، وخرج بالدخان الهباب فظاهره أنه لا يعفى عنه كما قاله العناني ، ومال ع ش إلى طهارة اللهب الحاصل من الشمعة النجسة ولهب الجلة والحطب المتنجس الخالي عن الدخان ، ونقل بعضهم عن ابن العماد نجاسته اه برماوي . وكتب ا ج ظاهره ولو كان الدخان بفعله أو من دخان مغلظ ، وإطلاق م ر كما هنا يقتضي العفو مطلقاً ،

I‘anah at-Thalibin, Juz 1, Halaman 88 “Dimaafkan secara ‘urfi (menurut kebiasaan) sedikit asap dari benda najis yang naik karena api… Syaratnya adalah tidak ada kelembapan di tempat tersebut dan bukan disebabkan oleh perbuatannya. Jika tidak, maka tidak dimaafkan secara mutlak karena para ulama menyamakan asap dengan zat najis itu sendiri.”

Referensi:

Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khatib, Juz 1, Halaman 297 “Perkataannya: (Dan dimaafkan sedikit asap najis) meskipun berasal dari najis yang berat (mughalazhah). Mulla Ramli membatasinya hanya pada najis yang tidak berat serta dengan syarat tidak ada kelembapan. Cara baca yang lebih utama adalah dengan tanwin agar mencakup juga asap dari benda yang terkena najis, seperti kayu yang terkena air kencing, maka asapnya tetap dihukumi najis tetapi dimaafkan jika sedikit, sebagaimana dikatakan oleh Ziyadi.”

Referensi:

Bughyah al-Mustarsyidin, Halaman 13 “(Masalah B) Perbedaan antara asap najis dan uapnya adalah bahwa asap najis terbentuk karena perantara api, sedangkan uap tidak melaluinya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Syaikh Zakariya. Sedangkan menurut Abu Mahramah, keduanya adalah sinonim. Apa pun yang terbentuk melalui api maka hukumnya najis, sedangkan yang tidak, maka tidak najis. Adapun lidah api (nyala api) itu sendiri, hukumnya suci secara mutlak. Bahkan jika diambil nyala api tersebut untuk menyalakan lilin, maka lilin tersebut tidak dihukumi najis.”

Referensi:

Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khatib, Juz 1, Halaman 135-136 “Perkataannya: (Dan dimaafkan sedikit asap najis) meskipun berasal dari najis yang berat (mughalazhah). Mulla Ramli membatasinya hanya pada najis yang tidak berat serta dengan syarat tidak ada kelembapan. Cara baca yang lebih utama adalah dengan tanwin agar mencakup juga asap dari benda yang terkena najis, seperti kayu yang terkena air kencing, maka asapnya tetap dihukumi najis tetapi dimaafkan jika sedikit, sebagaimana dikatakan oleh Ziyadi. Sebab, jika dibaca dalam bentuk idhafah (tanpa tanwin), maka makna ini tidak tercakup.

Dari sini dapat diketahui bahwa kejadian yang sering terjadi di musim dingin juga termasuk dalam hukum ini. Namun, jika seseorang mengeringkan sesuatu yang lembap di atas nyala api yang tidak berasap, maka benda tersebut tidak menjadi najis, dan ini jelas.

Sedangkan yang keluar dari cakupan asap adalah jelaga (hibab), yang secara lahir tidak dimaafkan, sebagaimana dikatakan oleh al-‘Anani. Sedangkan asy-Syarqawi lebih cenderung kepada kesucian nyala api yang berasal dari lilin najis, begitu pula api yang berasal dari kotoran hewan atau kayu yang terkena najis selama tidak disertai asap. Beberapa ulama juga menukil dari Ibn al-‘Imad bahwa hal tersebut dihukumi najis.

Api itu suci bahkan barang najis yang dibakar dan berubah maka menjadi suci

الموسوعة الفقهية الكويتية ج ٢٩ص١٠٨

وَنَصَّ الْحَنَفِيَّةُ عَلَى أَنَّ مَا اسْتَحَالَتْ بِهِ النَّجَاسَةُ بِالنَّارِ، أَوْ زَال أَثَرُهَا بِهَا يَطْهُرُ. كَمَا تَطْهُرُ النَّجَاسَةُ عِنْدَهُمْ بِانْقِلاَبِ الْعَيْنِ، وَهُوَ قَوْل مُحَمَّدٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ، وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى، وَاخْتَارَهُ أَكْثَرُ الْمَشَايِخِ، خِلاَفًا لأَِبِي يُوسُفَ. وَمِنْ تَفْرِيعَاتِ ذَلِكَ مَا نَقَلَهُ ابْنُ عَابِدِينَ عَنِ الْمُجْتَبَى أَنَّهُ إِنْ جُعِل الدُّهْنُ النَّجِسُ فِي صَابُونٍ يُفْتَى بِطَهَارَتِهِ، لأَِنَّهُ تَغَيَّرَ، وَالتَّغَيُّرُ يُطَهِّرُ عِنْدَ مُحَمَّدٍ، وَيُفْتَى بِهِ لِلْبَلْوَى، وَعَلَيْهِ يَتَفَرَّعُ مَا لَوْ وَقَعَ إِنْسَانٌ أَوْ كَلْبٌ فِي قِدْرِ الصَّابُونِ فَصَارَ صَابُونًا يَكُونُ طَاهِرًا لِتَبَدُّل الْحَقِيقَةِ. قَال ابْنُ عَابِدِينَ: الْعِلَّةُ عِنْدَ مُحَمَّدٍ هِيَ التَّغَيُّرُ وَانْقِلاَبُ الْحَقِيقَةِ، وَإِنَّهُ يُفْتَى بِهِ لِلْبَلْوَى، وَمُقْتَضَاهُ: عَدَمُ اخْتِصَاصِ ذَلِكَ الْحُكْمِ بِالصَّابُونِ، فَيَدْخُل فِيهِ كُل مَا كَانَ فِيهِ تَغَيُّرٌ وَانْقِلاَبٌ حَقِيقَةً، وَكَانَ فِيهِ بَلْوَى عَامَّةٌ. كَمَا نَصَّ الْمَالِكِيَّةُ عَلَى أَنَّ الْخَمْرَ إِذَا تَحَجَّرَتْ فَإِنَّهَا تَطْهُرُ، لِزَوَال الإِْسْكَارِ مِنْهَا، وَأَنَّ رَمَادَ النَّجِسِ طَاهِرٌ؛ لأَِنَّ النَّارَ تَطْهُرُ. قَال الدُّسُوقِيُّ: سَوَاءٌ أَكَلَتِ النَّارُ النَّجَاسَةَ أَكْلاً قَوِيًّا أَوْ لاَ، فَالْخُبْزُ الْمَخْبُوزُ بِالرَّوْثِ النَّجِسِ طَاهِرٌ وَلَوْ تَعَلَّقَ بِهِ شَيْءٌ مِنَ الرَّمَادِ، وَتَصِحُّ الصَّلاَةُ قَبْل غَسْل الْفَمِ مِنْ أَكْلِهِ، وَيَجُوزُ حَمْلُهُ فِي الصَّلاَةِ (١)

Mazhab Hanafi menetapkan bahwa najis yang berubah karena api atau hilang bekasnya akibat api menjadi suci. Demikian pula, najis menjadi suci menurut mereka dengan perubahan zat (inqilāb al-‘ayn). Pendapat ini dipegang oleh Imam Muhammad dan Imam Abu Hanifah, serta menjadi fatwa yang diikuti oleh mayoritas ulama mazhab, berbeda dengan pendapat Abu Yusuf.

Salah satu cabang dari kaidah ini adalah apa yang dinukil oleh Ibnu ‘Abidīn dari kitab Al-Mujtaba, yaitu jika lemak najis dijadikan sabun, maka difatwakan kesuciannya karena zatnya telah berubah. Perubahan ini dianggap menyucikan menurut Imam Muhammad, dan fatwa tersebut diambil karena kondisi darurat (al-balwa). Atas dasar ini, jika seorang manusia atau anjing jatuh ke dalam wadah pembuatan sabun dan berubah menjadi sabun, maka sabun tersebut dianggap suci karena hakikatnya telah berubah.

Ibnu ‘Abidīn berkata: “Menurut Imam Muhammad, sebab kesucian adalah perubahan (taghayyur) dan pergantian hakikat (inqilāb al-haqīqah), serta difatwakan berdasarkan kondisi darurat. Konsekuensi dari pendapat ini adalah bahwa hukum ini tidak hanya khusus pada sabun, tetapi mencakup setiap zat yang mengalami perubahan dan pergantian hakikat serta dalam kondisi darurat yang umum.”

Mazhab Maliki juga menetapkan bahwa khamar yang membeku menjadi suci karena sifat memabukkannya telah hilang. Mereka juga berpendapat bahwa abuc dari benda najis adalah suci karena api menyucikan.

Ad-Dusuqi berkata: “Baik api membakar najis secara sempurna maupun tidak, tetap dihukumi suci. Oleh karena itu, roti yang dipanggang dengan kotoran hewan yang najis tetap dianggap suci, meskipun ada sedikit abu yang menempel padanya. Bahkan, sah melakukan salat sebelum mencuci mulut setelah memakannya, dan boleh membawanya dalam salat.” (1)

كتاب فتوى الكبرى ابن تيمية ج١ ص ٢٦٣
وَأَمَّا نَفْسُ اسْتِعْمَالِ النَّجَاسَةِ فَقَدْ تَقَدَّمَ الْكَلَامُ فِيهِ، وَالنِّزَاعُ فِي الْمَاءِ الْمُسَخَّنِ بِالنَّجَاسَةِ، فَإِنَّهُ طَاهِرٌ. لَكِنْ هَلْ يُكْرَهُ؟ عَلَى قَوْلَيْنِ هُمَا رِوَايَتَانِ عَنْ أَحْمَدَ: إحْدَاهُمَا لَا يُكْرَهُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ. وَالثَّانِي: يُكْرَهُ، وَهُوَ مَذْهَبُ مَالِكٍ، وَلِلْكَرَاهَةِ مَأْخَذَانِ.

أَحَدُهُمَا: خَشْيَةُ أَنْ يَكُونَ قَدْ وَصَلَ إلَى الْمَاءِ شَيْءٌ مِنْ النَّجَاسَةِ، فَيُكْرَهُ لِاحْتِمَالِ تَنَجُّسِهِ، فَعَلَى هَذَا إذَا كَانَ بَيْنَ الْمُوقَدِ وَبَيْنَ النَّارِ حَاجِزٌ حَصِينٌ لَمْ يُكْرَهُ، وَهَذِهِ طَرِيقَةُ الشَّرِيفِ أَبِي جَعْفَرٍ، وَابْنِ عَقِيلٍ، وَغَيْرِهِمَا.

وَالثَّانِيَةُ: أَنَّ سَبَبَ الْكَرَاهَةِ كَوْنُ اسْتِعْمَالِ النَّجَاسَةِ مَكْرُوهًا؛ وَإِنَّ السُّخُونَةَ حَصَلَتْ بِفِعْلٍ مَكْرُوهٍ. وَهَذِهِ طَرِيقَةُ الْقَاضِي أَبِي يَعْلَى، وَمِثْلُ هَذَا طَبْخُ الطَّعَامِ بِالْوَقُودِ النَّجَسِ؛ فَإِنْ نَضِجَ الطَّعَامُ كَسُخُونَةِ الْمَاءِ؛ وَالْكَرَاهَةُ فِي طَبْخِ الْفَخَّارِ بِالْوَقُودِ النَّجَسِ تُشْبِهُ تَسْخِينَ الْمَاءِ الَّذِي لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ حَاجِزٌ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.

Adapun tentang penggunaan benda najis itu sendiri, pembahasannya telah disebutkan sebelumnya. Sedangkan mengenai air yang dipanaskan dengan benda najis, maka hukumnya adalah suci. Namun, apakah penggunaannya makruh? Dalam hal ini terdapat dua pendapat yang merupakan dua riwayat dari Imam Ahmad:

Pendapat pertama: Tidak makruh, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah serta asy-Syafi’i. Pendapat kedua: Makruh, dan ini adalah mazhab Malik.

Adapun alasan kemakruhannya ada dua:

Pertama: Karena dikhawatirkan ada bagian dari najis yang sampai ke dalam air, sehingga penggunaannya dimakruhkan karena kemungkinan menjadi najis. Dengan demikian, jika antara tempat pemanasan dan api terdapat penghalang yang kuat, maka tidak dimakruhkan. Pendapat ini dipegang oleh asy-Syarif Abu Ja’far, Ibnu ‘Aqil, dan lainnya.

Kedua: Sebab kemakruhannya adalah karena penggunaan benda najis itu sendiri hukumnya makruh, sehingga pemanasan air yang terjadi dengan cara makruh ini juga menjadi makruh. Pendapat ini dikemukakan oleh al-Qadhi Abu Ya’la.

Hal yang serupa juga berlaku pada memasak makanan dengan bahan bakar najis: jika makanan tersebut sudah matang, maka hukumnya seperti air yang telah panas. Begitu juga kemakruhan dalam membakar gerabah dengan bahan bakar najis, yang serupa dengan memanaskan air tanpa adanya penghalang antara air dan api. Wallahu a‘lam.

 

Ketik Pencarian