Kategori
Hukum

Mimpi Keluar Mani tapi tidak Basah

 

Assalamualaikum.

Deskripsi Masalah.
Terlah terjadi bagi seseorang ketika tidur dia mempi keluar mani, Namun setelah bangun dia lihat sarung dan celana dalamnya (  sempaknya ) tidak basah. Lalu dia tidur kembali setelah bangun dia merasa was was akhirnya dia melihat celana dalamnya ternyata ada warna putih setelah diraba telah kering lalu dia cium, namun tidak berbau sebagai mana mani ( tidak seperti putihnya telur atau adonan kue).

Pertanyaannya.

1. Apakah saya wajib adus sebagaimana kasus pertama dalam mimpi keluar mani  namun tiada bukti setelah bangun tidur? Lalu bagaimana terkait kasus yang kedua apakah wajib adus?

Waalaikum salam.
Jawaban.
Dalam kasus yang pertama tidak wajib adus karena tidak ada bukti begitu juga halnya kasus yang kedua. Dengan demikian maka orang yang bersangkutan tidak masuk dalam kategori  hadas besar sehingga dia tidak wajib adus .

Referensi :


كفاية الأخيار في حل غاية الإختصار الجزء ١ صح ٣٧
[فرع] :

لو تنبه من نومه فلم يجد إلا الثخانة والبياض فلا غسل لأن الودي شارك المني في الثخانة والبياض بل يتخير بين جعله ودياً أو منياً على المذهب ، ولو اغتسل ثم خرجت منه بقية وجب الغسل ثانياً بلا خلاف سواء خرجت قبل البول أو بعده ، ولو رأى المني في ثوبه أو في فراش لا ينام فيه غيره ولم يذكر احتلاماً لزمه الغسل على الصحيح المنصوص الذي قطع به الجمهور . وقال المارودي : لهذا إذا كان المني في باطن الثوب فإن كان في ظاهره فلا غسل عليه لاحتمال إصابته من غيره ولو أحس بانتقال المني ونزوله فأمسك ذكره فلم يخرج منه شيء في الحال ولا علم خروجه بعده فلا غسل عليه والله أعلم . ومنها الموت ، وهو يوجب الغسل ، لما روي عن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال في المحرم الذي وقصته ناقته : اغسلوه بماء وسدر رواه الشيخان وظاهره الوجوب ، والرقص كسر العنق . الي ان فال وثلاثة تختص بها النساء وهي الحيض والنفاس والولادة من الأسباب الموجبة للغسل الحيض ، قال الله تعالى : ولا تقربوهن حتى يطهرن فإذا تطهرن فأتوهن من حيث أمركم الله نهى عن قربانهن إلى الغاية ، وعن عائشة رضي الله عنها أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إذا أقبلت الحيضة فدعي الصلاة فإذا ذهب قدرها فاغسلي عنك الدم وصلي رواه الشيخان ،وفي رواية البخاري : ثم اغتسلي وصلي والنفاس كالحيض في ذلك ،وفي معظم الأحكام .

Referensi:
Kitab Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar, Jilid 1, halaman 37
[Cabang]: Jika seseorang terbangun dari tidurnya dan tidak menemukan apa pun kecuali cairan kental dan putih, maka tidak wajib mandi. Karena wadi (cairan yang keluar setelah buang air kecil) memiliki kesamaan dengan mani dalam kekentalan dan warna putihnya. Bahkan, ia boleh memilih apakah akan menganggapnya sebagai wadi atau mani, menurut pendapat yang dipegang. Jika ia telah mandi kemudian keluar sisa mani, maka wajib mandi lagi tanpa perbedaan pendapat, baik keluarnya sebelum atau setelah buang air kecil. Jika ia melihat mani di pakaiannya atau di tempat tidur yang tidak ditempati orang lain dan ia tidak ingat pernah bermimpi basah, maka ia wajib mandi menurut pendapat yang benar dan tegas yang dipegang oleh mayoritas ulama. Imam Al-Mawardi berkata: Oleh karena itu, jika mani berada di bagian dalam pakaian, maka jika berada di bagian luarnya, ia tidak wajib mandi karena kemungkinan terkena dari orang lain. Jika ia merasa perpindahan dan keluarnya mani lalu ia menahan kemaluannya sehingga tidak keluar apa pun saat itu dan ia tidak mengetahui keluarnya setelah itu, maka ia tidak wajib mandi. Allah Maha Mengetahui. Termasuk hal-hal yang mewajibkan mandi adalah kematian, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang sedang ihram yang jatuh dari untanya dan meninggal: Mandikanlah ia dengan air dan daun bidara. Diriwayatkan oleh dua imam hadits (Bukhari dan Muslim), dan zhahirnya adalah wajib. Dan tarian mematahkan leher. Hingga ia berkata, dan tiga hal yang khusus bagi wanita adalah haid, nifas, dan melahirkan. Termasuk penyebab wajibnya mandi adalah haid. Allah Ta’ala berfirman: Janganlah kamu mendekati mereka (wanita haid) hingga mereka suci. Jika mereka telah suci, maka campurilah mereka sesuai dengan perintah Allah kepadamu. Ayat ini melarang mendekati mereka hingga batas kesucian. Dan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika haid datang, maka tinggalkanlah shalat. Jika telah selesai, maka cucilah darah darimu dan shalatlah. Diriwayatkan oleh dua imam hadits (Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat Bukhari: Kemudian mandilah dan shalatlah. Dan nifas sama dengan haid dalam hal itu, dan dalam sebagian besar hukum.”


وَعَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى الْمَرْأَةِ تَرَى فِى مَنَامِهَا مَايَرَى الرَّجُلُ – قَالَ : ( تَغْتَسِلُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

زَادَ مُسْلِمٌ: فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْم ٍ ( وَهَلْ يَكُونُ هَذَاقَالَ: نَعَمْ فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ اَلشَّبَهُ)

Anas Radliyallahu ‘Anhu berkata: Rasulallah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang perempuan yang bermimpi sebagaimana yang dimimpikan oleh laki-laki, maka sabdanya, “Ia wajib mandi.” Hadits riwayat Muttafaqun ‘Alaih

Imam Muslim menambahkan: Ummu Salamah bertanya: Adakah hal ini terjadi؟ Nabi menjawab: “Ya lalu darimana datangnya persamaan؟”

MAKNA HADITS :

Allah (s.w.t) membentuk rupa janin dalam rahim mengikut gambaran yang Dia kehendaki. Adakalanya anak itu mirip dengan ayahnya atau kakeknya dari sebelah ayahnya dan adakalanya pula mirip dengan ibunya atau neneknya dari sebelah ibunya. Air mani siapa diantara keduanya yang mampu mengalahkan yang lain, maka anak yang bakal dilahirkan akan mirip dengan mani yang menang

itu. Ini merupakan salah satu di antara mukjizat Nabi (s.a.w) kerana baginda mengetahui tentang fasa yang dialami oleh janin. Nabi (s.a.w) mewajibkan mandi kepada wanita yang mengeluarkan air mani dalam mimpi, sebagaimana ia juga diwajibkan kepada lelaki, kerana wanita pada hakekatnya merupakan belahan lelaki.

FIQH HADITS :

1. Wanitapun boleh bermimpi mengeluarkan air mani sama dengan kaum lelaki.

2. Wanita tidak diwajibkan mandi kecuali apabila dia melihat adanya air mani.

3. Pengakuan yang menyatakan bahwa anak itu adakalanya mirip dengan ayahnya atau mirip dengan ibunya. Jika air mani salah seorang di antara keduanya mendahului air mani yang lainnya, maka anaknya akan mirip dengan siapa yang mengeluarkan air mani terlebih dahulu itu.

4. Seorang wanita dibolehkan meminta fatwa mengenai perkara-perkara yang

dianggap musykil baginya dalam urusan agama.

5. Perhatian yang sangat luar biasa dimiliki oleh sahabat wanita untuk sentiasa memperdalam ilmu agama.

Wallahu a’lam bisshowab.

Kategori
Hukum

Bermakmum kepada Imam yang tidak Mampu Berdiri ketika Sholat

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:
Seorang imam shalat mengalami kecelakaan yang menyebabkan ia tidak dapat berdiri dan harus shalat dalam keadaan duduk (ngunjur). Sementara itu, makmum yang hadir dalam shalat berjamaah tersebut dalam kondisi sehat dan mampu berdiri. Muncul pertanyaan sebagaimana  berikut:

Apakah sah shalat Makmun dibelakang imam dalam kondisi  sebagaimana Deskripsi

Bagaimana sebaiknya makmum menyikapi situasi tersebut.

Waalaikumsalam

Jawaban.
Shalatnya makmum sah dibekangnya Imam yang tidak mampu berdiri atau tidak mampu duduk , namun demikian tatacara makmum mengikuti imam ulama berbeda pandang, sebagaimana Imam Nawawi menjelaskan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum shalat orang yang berdiri di belakang imam yang duduk karena udzur, atau sebaliknya dalam kitab Majmu’ Syarah Muhadzzab. Sebagaimana berikut poin-poin pentingnya:

1️⃣Pendapat Mazhab Syafi’i:

a).Boleh bagi makmum berdiri untuk shalat di belakang imam yang duduk karena udzur.

b). Tidak boleh bagi makmum yang mampu berdiri untuk shalat dengan duduk di belakang imam tersebut.

2️⃣Pendapat Ulama Lain:

a). Imam Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Al-Humaidi, dan sebagian ulama Malikiyah: sependapat dengan Mazhab Syafi’i.

b). Imam Al-Auza’i, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Al-Mundzir: Membolehkan makmum shalat dengan kondisi duduk di belakang imam yang dalam kondisi duduk, tetapi tidak membolehkan shalat dengan berdiri.

c).Imam Malik (dalam riwayat lain) dan sebagian pengikutnya: Membolehkan shalat di belakang imam yang duduk, baik dengan duduk maupun berdiri.

Dalil-dalil yang Digunakan:
Pendapat yang membolehkan shalat secara mutlak:

Berdasarkan hadits riwayat Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi dari Jabir Al-Ju’fi, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah seseorang mengimami orang lain dengan duduk setelahku.”

➡️Pendapat Imam Al-Auza’i dan Ahmad: Berdasarkan hadits Anas riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah kalian. Jika ia rukuk, maka rukuklah kalian. Jika ia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian semua dengan duduk.”

➡️Pendapat Imam Syafi’i dan pengikutnya: Berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Bukhari dan Muslim, yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan duduk, sedangkan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berdiri dan diikuti oleh makmum lainnya.

Penjelasan dan Kesimpulan:

1. Imam Syafi’i dan pengikutnya berpendapat bahwa hadits yang membolehkan makmum shalat dengan duduk di belakang imam yang duduk telah dinasakh (dihapus hukumnya) oleh hadits Aisyah.

2. Mereka juga menjelaskan bahwa hadits yang melarang imam shalat dengan duduk adalah hadits dha’if (lemah).

Kesimpulan dari mazhab syafi’i, makmum yang mampu berdiri, wajib berdiri tidak mengikuti imam yang sedang duduk karena udzur.Jadi jika mengikuti Madzhab Syafi’i makmum tidaklah harus mengikuti kondisinya Imam ( Jika imam duduk makmum tidak harus duduk melainkan harus berdiri begitu juga halnya kondisi imam berbaring maka tidak harus berbaring melainkan harus berdiri) karena imam dalam kondisi udzur ini.

Saran-saran:
Jika memungkinkan, sebaiknya imam menunjuk orang lain yang mampu berdiri untuk menggantikannya sebagai imam, sebagaimana yang telah dialami oleh Nabi Muhammad SAW ini adalah solusi terbaik untuk menghindari perbedaan pendapat di antara makmum.
Jika tidak ada yang bisa menggantikan, makmum tetap boleh shalat dengan berdiri. Namun, penting untuk menjaga kekhusyukan dan tidak mempermasalahkan perbedaan gerakan dengan imam.
Hendaknya imam yang sakit tersebut, lebih baik menjadi makmum.

Demikian Semoga penjelasan ini bermanfaat.Wallahu a’lam

المجموع شرح المهذب ج٤ص٢٦٥-٢٦٦
(فَرْعٌ)

فِي مَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ: قَدْ ذَكَرْنَا أَنَّ مَذْهَبَنَا جَوَازُ صَلَاةِ الْقَائِمِ خَلْفَ الْقَاعِدِ الْعَاجِزِ وَأَنَّهُ لَا تَجُوزُ صَلَاتُهُمْ وَرَاءَهُ قُعُودًا وَبِهَذَا قَالَ الثَّوْرِيُّ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَأَبُو ثَوْرٍ وَالْحُمَيْدِيُّ وَبَعْضُ الْمَالِكِيَّةِ وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ واحمد واسحق وَابْنُ الْمُنْذِرِ تَجُوزُ صَلَاتُهُمْ وَرَاءَهُ قُعُودًا وَلَا تَجُوزُ قِيَامًا وَقَالَ مَالِكٌ فِي رِوَايَةٍ وَبَعْضُ أصحابه تَصِحُّ الصَّلَاةُ وَرَاءَهُ قَاعِدًا مُطْلَقًا وَاحْتَجَّ لِمَنْ قال تَصِحُّ الصَّلَاةُ مُطْلَقًا بِحَدِيثٍ رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ وَالْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَا عَنْ جَابِرٍ الْجُعْفِيِّ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ” لا يَؤُمَّنَّ أَحَدٌ بَعْدِي جَالِسًا ” وَاحْتَجَّ الْأَوْزَاعِيُّ وَأَحْمَدُ بِحَدِيثِ أَنَسٍ إنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ” إنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ ” رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ عَائِشَةَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ مِثْلَهُ وَاحْتَجَّ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ بِحَدِيثِ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ” أَمَرَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ فَلَمَّا دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ وَجَدَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَفْسِهِ خِفَّةً فَقَامَ يُهَادِي بَيْنَ رَجُلَيْنِ وَرِجْلَاهُ يَخُطَّانِ فِي الْأَرْضِ فَجَاءَ فَجَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ جَالِسًا وَأَبُو بَكْرٍ قَائِمًا يَقْتَدِي أَبُو بَكْرٍ بِصَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَقْتَدِي النَّاسُ بِصَلَاةِ أَبِي بَكْرٍ ” رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ هَذَا لَفْظُ إحْدَى رِوَايَاتِ مُسْلِمٍ وَهِيَ صَرِيحَةٌ فِي أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ الْإِمَامَ لِأَنَّهُ جَلَسَ عَنْ يَسَارِ أَبِي بَكْرٍ وَلِقَوْلِهِ يُصَلِّي بِالنَّاسِ وَلِقَوْلِهِ يَقْتَدِي بِهِ أَبُو بَكْرٍ وَفِي رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ ” وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُهُمْ التَّكْبِيرَ ” وَقَوْلُهُ يُسْمِعُهُمْ التَّكْبِيرَ يَعْنِي أَنَّهُ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيرِ إذَا كَبَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنَّمَا فَعَلَهُ لِأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ ضَعِيفَ الصَّوْتِ حِينَئِذٍ بِسَبَبِ الْمَرَضِ وَفِي رِوَايَةِ الْبُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ ” أَنَّ النبي صل اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَلَسَ إلَى جَنْبِ أَبِي  بَكْرٍ فَجَعَلَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي وَهُوَ قَائِمٌ بِصَلَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالنَّاسُ يصلون بصلاة أبي بكر والنبي صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدٌ ” وَرَوَيَاهُ مِنْ طُرُقٍ كَثِيرَةٍ كُلُّهَا دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ الْإِمَامَ وَأَبُو بَكْرٍ يَقْتَدِي بِهِ وَيُسْمِعَ النَّاسَ التَّكْبِيرَ وَهَكَذَا رَوَاهُ مُعْظَمُ الرُّوَاةِ: قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ وَغَيْرُهُمْ مِنْ عُلَمَاءِ الْمُحَدِّثِينَ وَالْفُقَهَاءِ هَذِهِ الرِّوَايَاتُ صَرِيحَةٌ فِي نَسْخِ الْحَدِيثِ السَّابِقِ إنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ” وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ ” فَإِنَّ ذَلِكَ كَانَ فِي مَرَضٍ قَبْلَ هَذَا بِزَمَانٍ حِين آلَى مِنْ نِسَائِهِ وَقَدْ رُوِيَ مِنْ رِوَايَاتٍ قَلِيلَةٍ ذَكَرَهَا الْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرِهِ ” أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي مَرَضِ وَفَاتِهِ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ فَجَعَلَ أَبُو بَكْرٍ يُصَلِّي وَهُوَ قَائِمٌ بِصَلَاةِ رسول رسول الله صلى الله عليه وسلم والناس يصلون بصلاة أبي بكر والنبي صلى الله عليه وسلم قاعد ” وَرَوَيْنَاهُ مِنْ طُرُقٍ كَثِيرَةٍ: وَأَجَابَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ عَنْهَا إنْ صَحَّتْ فَإِنَّهَا كَانَتْ مَرَّتَيْنِ مَرَّةً صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَاءَ أَبِي بَكْرٍ وَمَرَّةً أَبُو بَكْرٍ وَرَاءَهُ وَيَحْصُلُ الْمَقْصُودُ وَهُوَ أَنَّ صَلَاةَ الْقَادِرِ وَرَاءَ الْقَاعِدِ لَا تَجُوزُ إلَّا قَائِمًا: وَأَمَّا الْجَوَابُ عَنْ حَدِيثِ ” لَا يُؤَمَّنَّ أَحَدٌ بَعْدِي جَالِسًا ” فَقَالَ الدارقطني وَالْبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُمَا مِنْ الْأَئِمَّةِ هُوَ مُرْسَلٌ ضَعِيفٌ وان جابر الْجُعْفِيَّ مُتَّفَقٌ عَلَى ضَعْفِهِ وَرَدِّ رِوَايَاتِهِ قَالُوا وَلَا يَرْوِيه غَيْرُ الْجُعْفِيِّ عَنْ الشَّعْبِيِّ قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ قَدْ عَلِمَ الَّذِي احْتَجَّ بِهَذَا أَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ حُجَّةٌ وَأَنَّهُ لَا يَثْبُتُ لِأَنَّهُ مُرْسَلٌ وَلِأَنَّهُ عَنْ رَجُلٍ يَرْغَبُ النَّاسُ عَنْ الرِّوَايَةِ عَنْهُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ


Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab Jilid 4, Halaman 265-266:

Dalam Mazhab Para Ulama:
Kami telah menyebutkan bahwa mazhab kami membolehkan shalat orang yang berdiri di belakang orang yang duduk karena tidak mampu, dan bahwa tidak boleh bagi mereka shalat di belakangnya dengan duduk. Pendapat ini juga dianut oleh Ats-Tsauri, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Al-Humaidi, dan sebagian ulama Malikiyah. Sementara itu, Al-Auza’i, Ahmad, Ishaq, dan Ibnu Al-Mundzir berpendapat bahwa boleh bagi mereka shalat di belakangnya dengan duduk, tetapi tidak boleh dengan berdiri. Malik, dalam sebuah riwayat dan sebagian pengikutnya, berpendapat bahwa shalat di belakangnya dengan duduk itu sah secara mutlak.
Orang-orang yang berpendapat bahwa shalat itu sah secara mutlak berargumen dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, dan lainnya dari Jabir Al-Ju’fi dari Asy-Sya’bi dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah seseorang mengimami orang lain dengan duduk setelahku.” Sementara itu, Al-Auza’i dan Ahmad berargumen dengan hadits Anas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah kalian. Jika ia rukuk, maka rukuklah kalian. Jika ia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian semua dengan duduk.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan dalam Shahihain juga diriwayatkan dari Aisyah dan Abu Hurairah yang serupa.
Asy-Syafi’i dan para pengikutnya berargumen dengan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dalam sakitnya yang menyebabkan wafatnya untuk mengimami orang-orang. Ketika Abu Bakar mulai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa lebih baik, lalu beliau bangkit dengan dipapah oleh dua orang, dan kedua kaki beliau menyeret di tanah. Beliau datang dan duduk di sebelah kiri Abu Bakar. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami orang-orang dengan duduk, dan Abu Bakar berdiri mengikuti shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang-orang mengikuti shalat Abu Bakar. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Ini adalah lafazh salah satu riwayat Muslim, yang secara jelas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah imam, karena beliau duduk di sebelah kiri Abu Bakar, dan karena perkataan beliau “mengimami orang-orang,” dan karena perkataan “Abu Bakar mengikutinya.”
“Dan dalam riwayat Muslim, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat mengimami orang-orang, dan Abu Bakar memperdengarkan takbir mereka.’ Perkataan ‘memperdengarkan takbir mereka’ berarti bahwa Abu Bakar mengeraskan suaranya saat bertakbir ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertakbir. Beliau melakukannya karena suara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat itu lemah karena sakit. Dalam riwayat Bukhari dan Muslim, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di samping Abu Bakar, lalu Abu Bakar shalat berdiri mengikuti shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang-orang shalat mengikuti shalat Abu Bakar, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk.’ Kedua hadits ini diriwayatkan melalui banyak jalur, yang semuanya menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah imam, dan Abu Bakar mengikutinya serta memperdengarkan takbir kepada orang-orang. Demikianlah yang diriwayatkan oleh sebagian besar perawi.
Asy-Syafi’i dan para pengikutnya, serta ulama ahli hadits dan ahli fiqih lainnya berkata, ‘Riwayat-riwayat ini secara jelas menasakh (menghapus) hadits sebelumnya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika ia shalat dengan duduk, maka shalatlah kalian semua dengan duduk.’ Karena hal itu terjadi pada sakit yang lebih awal, ketika beliau bersumpah untuk menjauhi istri-istrinya. Dan diriwayatkan dalam riwayat yang sedikit, yang disebutkan oleh Al-Baihaqi dan lainnya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di belakang Abu Bakar dalam sakit yang menyebabkan wafatnya, lalu Abu Bakar shalat berdiri mengikuti shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan orang-orang shalat mengikuti shalat Abu Bakar, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk.’ Dan kami meriwayatkannya melalui banyak jalur. Asy-Syafi’i dan para pengikutnya menjawab tentang riwayat ini, jika memang shahih, bahwa kejadian itu terjadi dua kali: sekali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di belakang Abu Bakar, dan sekali Abu Bakar shalat di belakangnya. Dan maksudnya adalah bahwa shalat orang yang mampu berdiri di belakang orang yang duduk tidak boleh kecuali dengan berdiri.
Adapun jawaban tentang hadits ‘Janganlah seseorang mengimami orang lain dengan duduk setelahku,’ Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, dan ulama lainnya berkata, ‘Hadits itu mursal dan dha’if (lemah), dan Jabir Al-Ju’fi disepakati kelemahannya dan riwayatnya ditolak.’ Mereka berkata, ‘Tidak ada yang meriwayatkannya selain Al-Ju’fi dari Asy-Sya’bi.’ Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, ‘Orang yang berargumen dengan hadits ini telah mengetahui bahwa hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak tsabit (kuat), karena hadits ini mursal dan diriwayatkan dari orang yang tidak disukai oleh orang-orang untuk meriwayatkan darinya.’ Wallahu a’lam.”

مغني المحتاج ص ٣٤٩ ج ١
ولو أمكنه القيام دون الركوع والسجود قام وفعلهما بقدر إمكان.
ولو أمكنه القيام متكئا على شيء أو القيام على ركبتيه لزمه ذلك ؛ لأنه ميسوره . أو أمكنه القيام ) دون الركوع والسجود ) لعلة بظهره مثلا تمنع الانحناء ( قام ) وجوبا وفعلهما بقدر إمكانه في الانحناء لهما بالصلب ، لقوله – صلى الله عليه وسلم – في الحديث الصحيح « إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم فإن عجز فبالرقبة والرأس ، فإن عجز أوماً إليهما.


حاشية الجمل على شرح المنهج ، ج . ١ / ص . ٣٤٠ ( تراث )
( وَلَوْ عَجَزَ عَنْ رُكُوعٍ وَسُجُودٍ ) دُونَ قِيَامِ ( قَامَ ) وُجُوبًا وَفَعَلَ مَا أَمْكَنَهُ فِي انْحِنَائِهِ لَهُمَا بِصُلْبِهِ فَإِنْ عَجَزَ فَبِرَقَبَتِهِ وَرَأْسِهِ فَإِنْ عَجَزَ أَوْمَا إِلَيْهِمَا
( قَوْلُهُ فَإِنْ عَجَزَ أَوْمَا إِلَيْهِمَا وَبَعْدَ الْإِيمَاءِ لِلسُّجُودِ الْأَوَّلِ يَجْلِسُ ثُمَّ يقوم وَيُومِنُ لِلسُّجُودِ الثَّانِي حَيْثُ أَمْكَنَهُ الْجُلُوسُ وَلَوْ قَدَرَ عَلَى الرُّكُوعِ فَقَط دُونَ السُّجُودِ وَالِاعْتِدَالِ كَرَّرَهُ عَنْ السُّجُودِ اهـ ح ل وَقَوْلُهُ ثُمَّ يقوم إِلَى أَنْظُرْ هَلْ الْقِيَامُ شَرْطٌ ؟ وَمَا الْمَانِعُ مِنَ الْإِيمَاءِ لِلسُّجُودِ الثَّانِي مِنْ جُلُوسٍ مَعَ أَنَّهُ أَقْرَبُ ؟ تَأَمَّلْ اهـ شَيْخُنَا .
( قَوْلُهُ أَوْمَا إِلَيْهِمَا ) أي : بِأَجْفَانِهِ فَإِنْ عَجَزَ فَبِقَلْبِهِ وَلَوْ عَجَزَ عَنْ الِاعْتِدَالِ وَأَمْكَنَهُ بِرَقَبَتِهِ وَرَأْسِهِ وَجَبَ وَإِلَّا وَجَبَ قَصْدُهُ وَسَجَدَ بَعْدَ ذَلِكَ اهـ برماوي .

Mughni al-Muhtaj, halaman 349, juz 1:

“Jika seseorang mampu berdiri tetapi tidak mampu rukuk dan sujud, maka ia tetap berdiri dan melakukan keduanya (rukuk dan sujud) sesuai kemampuannya. Jika ia mampu berdiri dengan bersandar pada sesuatu atau berdiri di atas lututnya, maka itu wajib baginya; karena itu adalah kemudahannya. Atau jika ia mampu berdiri (tetapi tidak mampu rukuk dan sujud) karena suatu penyakit di punggungnya misalnya yang menghalangi membungkuk (maka ia berdiri) wajib, dan melakukan keduanya (rukuk dan sujud) sesuai kemampuannya dalam membungkuk untuk keduanya dengan tulang punggung, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis sahih: ‘Jika aku memerintahkan kalian dengan suatu perintah, maka lakukanlah semampu kalian. Jika ia tidak mampu, maka dengan leher dan kepala, jika tidak mampu juga, maka dengan isyarat.'”

Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj, halaman 340, juz 1 (Turats):

“(Jika ia tidak mampu rukuk dan sujud) selain berdiri (maka ia berdiri) wajib, dan melakukan apa yang ia mampu dalam membungkukkan tubuhnya untuk keduanya dengan tulang punggungnya. Jika ia tidak mampu, maka dengan leher dan kepalanya, jika tidak mampu juga, maka dengan isyarat.”
“(Ucapan pengarang: ‘jika ia tidak mampu, maka dengan isyarat’) dan setelah isyarat untuk sujud pertama, ia duduk kemudian berdiri dan memberi isyarat untuk sujud kedua di mana memungkinkan untuk duduk, meskipun ia hanya mampu rukuk tanpa sujud dan i’tidal, maka ia mengulangi isyarat untuk sujud. (Ucapan pengarang: ‘kemudian berdiri’) lihatlah apakah berdiri itu syarat? Dan apa yang menghalangi isyarat untuk sujud kedua dari duduk padahal itu lebih dekat? Renungkanlah.”
   * “(Ucapan pengarang: ‘isyarat untuk keduanya’) yaitu: dengan kelopak matanya, jika ia tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan jika ia tidak mampu i’tidal dan ia mampu dengan leher dan kepalanya, maka wajib, jika tidak, maka wajib niatnya dan sujud setelah itu.” (Barmawi)

Kategori
Hukum

Talak saat Haid

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah

Ada pasangan suami istri yang pada awalnya harmonis entah sebab apa dikemudian hari suaminya dengan terpaksa mentalak istrinya dalam kondisi haid

Pertanyaan
Sahkah talak dalam kondisi haid, kalau sah sampai dimana perhitungan iddah bagi perempuan yang ditalak dalam kondisi sebagaimana Deskripsi

Waalaikumsalam.

Jawaban.

  1. Talak dalam kondisi haid hukumnya haram, namun Talaknya tetap sah

Penjelasan.

Dalam Islam, talak yang dijatuhkan saat istri sedang haid disebut talak bid’i. Hukumnya adalah haram, tetapi para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahannya. Berikut adalah penjelasan mengenai masalah ini:
Keabsahan Talak saat Haid:
Mayoritas Ulama:
Mayoritas ulama dari berbagai mazhab (termasuk mazhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali) berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan saat istri sedang haid tetap sah, meskipun haram hukumnya.
Pendapat ini didasarkan pada hadis riwayat Ibnu Umar, di mana Rasulullah SAW memerintahkan Ibnu Umar untuk merujuk istrinya yang ditalak saat haid. Perintah rujuk ini menunjukkan bahwa talak tersebut dianggap sah.
Namun, suami yang menjatuhkan talak dalam kondisi ini berdosa karena melanggar aturan syariat.
Pendapat Sebagian Ulama (terutama Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim):
Sebagian ulama berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan saat haid tidak sah. Mereka berargumen bahwa talak bid’i tidak sesuai dengan tuntunan syariat.
Pendapat ini menekankan pada tujuan syariat dalam mengatur talak, yaitu untuk memberikan kesempatan bagi suami istri untuk rujuk dan memperbaiki hubungan.

  1. Masa Iddah bagi Wanita yang Ditalak saat Haid:

Masa iddah bagi wanita yang ditalak saat haid dihitung setelah ia suci dari haid tersebut.
Secara umum, masa iddah wanita yang ditalak adalah tiga kali masa suci.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an (QS. At-Thalaq: 1): “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.”
Jadi, jika seorang wanita ditalak saat haid, maka haid yang terjadi waktu talak itu tidak di hitung, lalu dihitung setelah suci dari haid tersebut.

Saran:
Sebaiknya, pasangan suami istri yang mengalami masalah rumah tangga berusaha menyelesaikan masalah tersebut secara baik-baik, dengan melibatkan keluarga atau mediator jika perlu.
Jika talak tidak dapat dihindari, sebaiknya dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu saat istri dalam keadaan suci dan belum digauli.
Jika terjadi talak saat haid, suami sebaiknya segera bertaubat kepada Allah SWT.

Referensi:

الحاوي الكبير ج.١٠،ص.١١٥
طَلَاقُ الْبِدْعَةِ فِي حَيْضٍ أَوْ فِي طُهْرٍ مُجَامَعٍ فِيهِ. فَهُوَ مَحْظُورٌ مُحَرَّمٌ بِوِفَاقٍ. وَاخْتُلِفَ فِي وُقُوعِهِ مَعَ تَحْرِيمِهِ. فَمَذْهَبُنَا إِنَّهُ وَاقِعٌ وَإِنْ كَانَ مُحَرَّمًا. وَهُوَ قَوْلُ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَجُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ.

Kitab Al-Hawi Al-Kabir karya Imam Al-Mawardi

“Talak bid’ah adalah talak yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid atau pada saat suci yang telah dicampuri (jima’). Maka, talak seperti ini dilarang dan haram secara sepakat (ulama). Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai keabsahan talak tersebut meskipun haram. Mazhab kami (Syafi’i) berpendapat bahwa talak tersebut tetap sah meskipun haram. Ini adalah pendapat para sahabat, tabi’in, dan mayoritas ahli fiqih.”
Penjelasan:
Talak Bid’ah:
Talak bid’ah adalah talak yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat, yaitu talak yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid atau dalam keadaan suci setelah dicampuri.
Para ulama sepakat bahwa talak seperti ini hukumnya haram karena bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW.
Perbedaan Pendapat tentang Keabsahan Talak: Meskipun haram, para ulama berbeda pendapat mengenai apakah talak tersebut tetap sah atau tidak.
Mazhab Syafi’i, yang diikuti oleh penulis kitab Al-Hawi Al-Kabir, berpendapat bahwa talak tersebut tetap sah. Pendapat ini juga dipegang oleh mayoritas ulama.
Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa talak tersebut tidak sah, karena talak tersebut dilakukan dengan cara yang dilarang.
Hikmah Pelarangan Talak Bid’ah:

Pelarangan talak bid’ah bertujuan untuk menghindari tindakan cerai yang tergesa-gesa dan merugikan istri.
Talak pada saat haid dapat memperpanjang masa iddah istri, sedangkan talak pada saat suci setelah dicampuri dapat menimbulkan penyesalan jika ternyata istri sedang hamil.
Secara umum, teks tersebut menjelaskan bahwa talak bid’ah adalah perbuatan yang diharamkan, namun para ulama berbeda pendapat tentang keabsahan talak tersebut.

Referensi:

فقه الإسلامي وادلته للشيخ وهبة الزحيلي ج٩ص ٦٩٢٣-٦٩٢٤

 وفي رواية عنه: «أنه طلق امرأة له وهي حائض، فذكر ذلك عمر للنبي صلّى الله عليه وسلم، فتغيَّظ فيه رسول الله صلّى الله عليه وسلم ثم قال: ليراجعْها، ثم يمسكْها حتى تطهُر، ثم تحيض فتطهر، فإن بدا له أن يطلّقها، فليطلقها قبل أن يمسها، فتلك العدة كما أمر الله تعالى». وفي لفظ: «فتلك العدة التي أمر الله أن يُطلَّق لها النساء» فهو يدل على أن الطلاق جائز حال الطهر الذي لم يجامع فيه.
وهذا متفق مع الآية القرآنية: {يا أيها النبي إذا طلقتم النساء، فطلقوهن لعدتهن} [الطلاق:١/ ٦٥] أي مستقبلات عدتهن.
والسبب هو عدم إطالة العدة على المرأة، ففي الطلاق في أثناء الحيض أو في طهر جامعها فيه ضرر بالمرأة بتطويل العدة عليها؛ لأن الحيضة التي وقع فيها الطلاق لا تحتسب من العدة، وزمان الحيض زمان النفرة، وبالجماع مرة في الطهر تفتر الرغبة.
وبه يتبين أن الطلاق البدعي يكون للمرأة التي دخل بها زوجها، وكانت ممن تحيض، أما التي لم يدخل بها الزوج أو كانت حاملاً أو لا تحيض، فلا يكون طلاقها بدعياً قبيحاً شرعاً، قال ابن عباس: الطلاق على أربعة أوجه: وجهان حلال، ووجهان حرام، فأما اللذان هما حلال: فأن يطلق الرجل امرأته طاهراً من غير جماع، أو يطلقها حاملاً مستبيناً حملها، وأما اللذان هما حرام: فأن يطلقها حائضاً أو يطلقها عند الجماع، لا يدري، اشتمل الرحم على ولد أم لا (٢).
أثر مخالفة هذا القيد: يقع الطلاق باتفاق المذاهب الأربعة في حال الحيض أو في حال الطهر الذي جامع الرجل امرأته فيه؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلم أمر ابن عمر بمراجعة

امرأته التي طلقها، وهي حائض، والمراجعة لا تكون إلا بعد وقوع الطلاق، ويؤيده رواية: «وكان عبد الله طلَّق تطليقة، فحسبت من طلاقها».
وقال الشيعة الإمامية والظاهرية وابن تيمية وابن القيم (١): يحرم الطلاق في أثناء الحيض أو النفاس أو في طهر وطئ الرجل زوجته فيه، ولا ينفذ هذا الطلاق البدعي، بدليل ما يأتي:
١ً – ما أخرجه أحمد وأبو داود والنسائي عن ابن عمر بلفظ: «طلق عبد الله ابن عمر امرأته وهي حائض، قال عبد الله: فردها علي رسول الله صلّى الله عليه وسلم ولم يرها شيئاً». وهذا الحديث صحيح كما صرح به ابن القيم وغيره.
ونوقش بأنه قد أعل هذا الحديث بمخالفة أبي الزبير لسائر الحفاظ، وقال ابن عبد البر: قوله «ولم يرها شيئاً»: منكر لم يقله غير أبي الزبير، وليس بحجة فيما خالفه فيه مثله، فكيف إذا خالفه من هو أوثق منه، ولو صح فمعناه عندي ـ والله أعلم ـ ولم يرها شيئاً مستقيماً، لكونها لم تكن على السنة.
وقال الخطابي: وقد يحتمل أن يكون معناه: ولم يرها شيئاً تحرم معه المراجعة، أو لم يرها شيئاً جائزاً في السنة.
٢ً – حديث: «من عمل عملاً ليس عليه أمرنا فهو رد» (٢) والطلاق في حال الحيض مخالف لأمر الشارع، فيكون مردوداً لا أثر له. ونوقش بأن المردود هو بسبب مخالفة ركن أو شرط من أركان أو شروط العمل. وأما المخالفة بسبب تطويل العدة أو عدم وجود الحاجة إلى الطلاق، فليس أحدهما ركناً أو شرطاً للطلاق، فلا تستوجب الرد وعدم وقوع الطلاق.

Riwayat tentang perceraian saat haid:
“Diriwayatkan bahwa Ibnu Umar menceraikan istrinya saat haid. Umar melaporkan hal itu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam marah. Kemudian beliau bersabda, ‘Suruh dia rujuk, lalu tahan dia hingga suci, kemudian haid lagi lalu suci. Jika dia ingin menceraikannya, ceraikanlah sebelum menyentuhnya. Itulah masa iddah yang diperintahkan Allah Ta’ala.’ Dalam riwayat lain disebutkan, ‘Itulah masa iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan wanita.’ Ini menunjukkan bahwa perceraian diperbolehkan saat suci yang belum digauli.”
Hal ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an: “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka ceraikanlah mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya.” (QS. At-Thalaq: 1).
Alasannya adalah agar masa iddah tidak terlalu lama bagi wanita. Perceraian saat haid atau saat suci yang telah digauli akan merugikan wanita karena memperpanjang masa iddah. Sebab, haid yang terjadi saat perceraian tidak dihitung dalam masa iddah, dan masa haid adalah masa ketidaksukaan. Selain itu, jika telah digauli sekali saat suci, keinginan (untuk rujuk) akan berkurang.
Dari sini jelas bahwa perceraian bid’ah terjadi pada wanita yang telah digauli suaminya dan mengalami haid. Sedangkan wanita yang belum digauli suaminya, wanita hamil, atau wanita yang tidak mengalami haid, perceraian mereka tidak dianggap bid’ah yang buruk secara syar’i. Ibnu Abbas berkata, “Perceraian ada empat macam: dua halal dan dua haram. Yang halal adalah jika seorang pria menceraikan istrinya saat suci tanpa digauli, atau menceraikannya saat hamil yang jelas kehamilannya. Yang haram adalah jika menceraikannya saat haid atau saat digauli, tanpa diketahui apakah rahimnya mengandung janin atau tidak.”
Dampak dari pelanggaran ketentuan ini:
Perceraian tetap sah menurut kesepakatan empat mazhab, meskipun terjadi saat haid atau saat suci yang telah digauli. Sebab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Ibnu Umar untuk rujuk dengan istrinya yang diceraikannya saat haid, dan rujuk tidak mungkin terjadi kecuali setelah perceraian terjadi. Hal ini diperkuat oleh riwayat: “Abdullah menceraikan satu talak, dan itu dihitung sebagai talaknya.”
Namun, mazhab Syi’ah Imamiyah, Zhahiriyah, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim berpendapat bahwa perceraian saat haid, nifas, atau saat suci yang telah digauli adalah haram dan tidak sah. Dalil mereka adalah:

Hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i dari Ibnu Umar: “Abdullah bin Umar menceraikan istrinya saat haid. Abdullah berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengembalikan dia kepadaku dan tidak menganggapnya sebagai apa pun.'” Hadits ini sahih menurut Ibnul Qayyim dan lainnya.
Namun, hadits ini dipermasalahkan karena Abu Zubair dianggap bertentangan dengan para hafiz hadits lainnya. Ibnu Abdil Barr berkata, “Ucapan ‘tidak menganggapnya sebagai apa pun’ adalah munkar, tidak ada yang mengatakan selain Abu Zubair, dan itu bukan hujjah jika bertentangan dengan orang yang setara dengannya, apalagi jika bertentangan dengan orang yang lebih tepercaya darinya. Jika sahih pun, maknanya menurutku—wallahu a’lam—adalah tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang lurus, karena tidak sesuai dengan sunnah.”
Al-Khaththabi berkata, “Mungkin juga maknanya adalah tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang mengharamkan rujuk, atau tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang diperbolehkan dalam sunnah.”
Hadits: “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” Perceraian saat haid bertentangan dengan perintah syariat, maka tertolak dan tidak berpengaruh.
Namun, hal ini dipermasalahkan karena yang tertolak adalah amalan yang melanggar rukun atau syaratnya. Sedangkan pelanggaran karena memperpanjang masa iddah atau tidak adanya kebutuhan untuk bercerai, bukanlah rukun atau syarat perceraian, sehingga tidak menyebabkan perceraian tertolak dan tidak sah. Wallahu a’lam

Kategori
Hukum

Amil Zakat Menjual Sisa Zakat Fitrah

 

Deskripsi Masalah:

Di sebuah desa, sebuah masjid besar sedang dibangun dengan perkiraan biaya 1 miliar rupiah. Untuk membantu meringankan biaya pembangunan, pengurus masjid membentuk panitia pengumpulan zakat fitrah menjelang Hari Raya Idul Fitri. Sehingga warga setempat bergegas mulai awal bulan Ramadhan hingga menjelang hari raya mengeluarkan zakat. Setelah zakat terkumpulkan lalu panitia menyalurkannya kepada mereka yang berhak. Namun panitia menyisakan sebagian zakat ( beras ) tersebut kemudian dijual setelah salat Id, dan hasil penjualannya disumbangkan ke masjid setempat. Praktik ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, karena hal tersebut

Pertanyaan:

1.Apakah boleh dan sah masyarakat menyegerakan zakat fitrah diawal bulan Ramadhan?

2.Apakah tindakan panitia zakat tersebut diperbolehkan? Bagaimana jika panitia tersebut adalah amil yang ditunjuk oleh pemerintah?

Waalaikumsalam

Jawaban

Waalaikumsalam.

  1. Masyarakat boleh dan sah menyegerakan (menunaikan) zakat fitrah diawal bulan Ramadhanmenurut mazhab (Syafi’i). Jika tidak disegerakan, maka dianjurkan untuk tidak mengakhirkan pengeluarannya dari shalat Id, dan haram mengakhirkannya dari hari Id, jika diakhirkan, maka wajib diqadha.
  2. Tindakan panitia pengumpul zakat fitrah dalam menjual sisa zakat fitrah untuk kepentingan masjid tidak dibolehkan ( haram) menurut syariat Islam

Berikut adalah penjelasan berdasarkan referensi kitab sebagaimana berikut:

Zakat Fitrah untuk Mustahik, Bukan Masjid:

Zakat fitrah adalah hak bagi fakir miskin dan golongan yang berhak menerima zakat (mustahik), bukan untuk kepentingan masjid.

Referensi dari kitab Bughyah al-Mustarsyidin (1/220) menegaskan bahwa masjid tidak berhak mendapatkan bagian dari zakat.

Panitia Hanya Bertugas Menyalurkan:

Tugas panitia zakat adalah mengumpulkan dan menyalurkan zakat kepada mustahik yang berhak, bukan untuk menjualnya.

Referensi dari kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/175) menjelaskan bahwa Imam atau petugas zakat tidak boleh menjual harta zakat tanpa adanya keperluan yang mendesak.

Penjualan Zakat Tanpa Izin Tidak Sah:

Jika panitia menjual zakat tanpa izin dari mustahik, maka penjualan tersebut tidak sah dan harus dikembalikan kecuali jika zakat tersebut telah diberikan kepada mustahik terlebih dahulu, dan penjualan dilakukan atas izin mustahik. Panitia zakat yang melakukan praktik terlarang ini wajib mengganti (dhaman) harta zakat yang disalahgunakan. Hukum ini berlaku baik untuk panitia yang dibentuk oleh masyarakat (mutabarri’) maupun amil yang ditunjuk oleh pemerintah (‘âmil).

Referensi dari kitab Kasyyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’ (5/340) menjelaskan bahwa menjual zakat tanpa keperluan atau kemaslahatan dan tanpa adanya izin maka tidak sah.

Penyaluran Zakat Harus Sesuai Syariat:

Zakat harus disalurkan sesuai dengan ketentuan syariat, yaitu kepada 8 golongan yang berhak menerima zakat (asnaf).

Pemanfaatan hasil penjualan zakat untuk membangun masjid tidak termasuk dalam golongan tersebut.

Kesimpulan:
Menjual sisa zakat fitrah untuk kepentingan masjid tanpa izin tidak dibenarkan dalam syariat Islam ( tidak sah ) Tindakan yang tepat adalah menyalurkan sisa zakat tersebut kepada mustahik yang berhak.

Semoga jawaban ini memberikan pemahaman yang jelas.Wallahu a’lam bish-shawab

Referensi:


روضة الطالبين وعمدة المفتين (٢٤٩/١)
فَضْلُ الْفِطْرَةُ يَجُوزُ تَعْجِيلُهَا مِنْ أَوَّلِ شَهْرٍ رَمَضَانَ عَلَى الْمَذْهَبِ وَتَقَدَّمَ بَيَانُهُ فِي بَابِ التَّعْجِيلِ فَإِذَا لَمْ يُعَجِّلْ فَيُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُؤَخِّرَ إِخْرَاجُهَا عَنْ صَلَاةِ الْعِيدِ وَيَحْرُمُ تَأْخِيرُهَا عَنْ يَوْمِ الْعِيدِ فَإِنْ أُخْرَ قَضَى.

Raudhah at-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin (1/249)
Keutamaan fitrah (zakat fitrah), boleh menyegerakannya dari awal bulan Ramadhan menurut mazhab (Syafi’i), dan penjelasannya telah disebutkan dalam bab penyegeraan. Jika tidak disegerakan, maka dianjurkan untuk tidak mengakhirkan pengeluarannya dari shalat Id, dan haram mengakhirkannya dari hari Id, jika diakhirkan, maka wajib diqadha.


بغية المسترشدين (٢٢٠/١)
(مَسْأَلَةٌ) لَا يَسْتَحِقُ الْمَسْجِدُ شَيْئًا مِنَ الزَّكَاةِ مُطْلَقًا، إِذْ لَا يَجُوزُ صَرْفُهَا إِلَّا لِحُرٍّ مُسْلِمٍ، وَلَيْسَتِ الزَّكَاةُ كَالْوَصِيَّةِ، فِيمَا لَوْ أَوْصَى لِجِيرَانِهِ مِنْ أَنَّهُ يُعْطِي الْمَسْجِدَ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ ابْنُ حَجَرٍ فِي فَتَاوِيهِ خِلَافًا لِـ بج، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ تَصِحُّ لِنَحْوِ الْبَهِيمَةِ كَالْوَقْفِ بِخِلَافِ الزَّكَاةِ.

Bughyah al-Mustarsyidin (1/220)
(Masalah) Masjid tidak berhak mendapatkan sesuatu pun dari zakat secara mutlak, karena tidak boleh menyalurkannya kecuali kepada orang muslim yang merdeka. Zakat tidak seperti wasiat, dalam hal seseorang berwasiat kepada tetangganya bahwa ia akan memberikan (sebagian) kepada masjid, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Hajar dalam fatwanya, berbeda dengan (pendapat) بج, karena wasiat sah untuk (diberikan kepada) selain manusia, seperti hewan, sama seperti wakaf, berbeda dengan zakat.

المجموع شرح المهذب (١٧٥/٦)
(فَرْعٌ) قَالَ أَصْحَابُنَا لَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ وَلَا لِلسَّاعِي بَيْعُ شَيْءٍ مِنْ مَالِ الزَّكَاةِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ بَلْ يُوصِلُهَا إِلَى الْمُسْتَحِقِّينَ بِأَعْيَانِهَا لِأَنَّ أَهْلَ الزَّكَاةِ أَهْلُ رُشْدٍ لَا وِلَايَةَ عَلَيْهِمْ فَلَمْ يَجُزْ بَيْعُ مَالِهِمْ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ – إِلَى أَنْ قَالَ – قَالَ أَصْحَابُنَا وَإِذَا بَاعَ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي لَا يَجُوزُ فِيهِ الْبَيْعُ فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ وَيُسْتَرَدُّ الْمَبِيعُ فَإِنْ تَلِفَ ضَمِنَهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/175)
(Cabang) Para sahabat kami berkata, “Tidak boleh bagi imam atau petugas (zakat) menjual sesuatu dari harta zakat tanpa darurat, tetapi harus menyampaikannya kepada orang-orang yang berhak dengan barangnya, karena orang-orang yang berhak menerima zakat adalah orang-orang yang baligh dan berakal, tidak ada perwalian atas mereka, maka tidak boleh menjual harta mereka tanpa izin mereka.” – hingga beliau berkata – Para sahabat kami berkata, “Jika ia menjual di tempat yang tidak boleh menjual di sana, maka jual belinya batal dan barang yang dijual harus dikembalikan, jika rusak, maka ia harus menggantinya.” Wallahu a’lam.

(كشاف القناع عن متن الإقناع ٣٤٠/٥)
(وَلَهُ) أَيْ السَّاعِي بَيْعُ الزَّكَاةِ مِنْ مَاشِيَةٍ وَغَيْرِهَا لِحَاجَةٍ كَخَوْفِ تَلَفٍ وَمُؤْنَةٍ وَمَصْلَحَةٍ لِحَدِيثِ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ وَيَأْتِي . (وَ) لَهُ (صَرْفُهُ فِي الْأَحَظِّ لِلْفُقَرَاءِ ، أَوْ حَاجَتِهِمْ ، حَتَّى فِي أَجْرَةِ مَسْكَنٍ) لِأَنَّهُ دَفَعَ الزَّكَاةَ فِي حَاجَتِهِمْ أَشْبَهَ مَا لَوْ دَفَعَهَا إِلَيْهِمْ . وَإِنْ بَاعَ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَمَصْلَحَةٍ) فَقَالَ الْقَاضِي : (لَمْ يَصِحَّ لِعَدَمِ الْإِذْنِ) أَيْ لِأَنَّهُ لَمْ يُؤْذَنَ لَهُ فِي ذَلِكَ (وَيَضْمَنُ قِيمَةَ مَا تَعَذَّرَ رَدُّهُ ، وَقِيلَ : يَصِحُّ ، قَدَّمَهُ بَعْضُهُمْ ، لِمَا رَوَى أَبُو عُبَيْدٍ فِي الْأَمْوَالِ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ أَنَّ النَّبِيَّ رَأَى فِي إِبِلِ الصَّدَقَةِ نَاقَةً كَوْمَاءَ ، فَسَأَلَ عَنْهَا الْمُصَدِّقَ فَقَالَ : إِنِّي ارْتَجَعْتُهَا بِإِبِلٍ ، فَسَكَتَ عَنْهُ ، فَلَمْ يَسْتَفْصِلُهُ وَمَعْنَى الرَّجْعَةِ أَنْ يَبِيعَهَا وَيَشْتَرِي بِثَمَنِهَا غَيْرَهَا .

(Kasyyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’ 5/340)
(Dan baginya), yaitu petugas (zakat), menjual zakat dari hewan ternak dan selainnya karena kebutuhan, seperti takut rusak, biaya (perawatan), dan kemaslahatan, berdasarkan hadits Qais bin Abi Hazim yang akan datang. (Dan) baginya (menyalurkan zakat untuk yang paling menguntungkan bagi fakir miskin, atau kebutuhan mereka, bahkan untuk biaya tempat tinggal), karena ia telah menyerahkan zakat untuk kebutuhan mereka, serupa dengan jika ia menyerahkannya langsung kepada mereka. Jika ia menjual bukan karena kebutuhan dan kemaslahatan), maka Al-Qadhi berkata, “(Tidak sah karena tidak ada izin)”, yaitu karena ia tidak diizinkan untuk itu (dan ia menjamin nilai barang yang tidak mungkin dikembalikan). Dikatakan: Sah, sebagian ulama mendahulukannya, berdasarkan riwayat Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal dari Qais bin Abi Hazim bahwa Nabi ﷺ melihat seekor unta betina yang besar punuknya di antara unta-unta sedekah, lalu beliau bertanya kepada petugas sedekah tentangnya, dan ia berkata: “Aku telah menukarnya dengan unta (lain)”, maka beliau diam dan tidak bertanya lebih lanjut. Makna “menukar” adalah menjualnya dan membeli (unta) lain dengan harganya.Wallahu a’lam

Kategori
Hukum

Prioritas antara Umroh dan Biaya Pendidikan Anak

 

Deskripsi Masalah:
“Dalam konteks keuangan keluarga, seringkali muncul dilema mengenai prioritas antara melaksanakan ibadah umrah dan membiayai pendidikan anak. Ibadah umrah, sebagai salah satu bentuk ibadah dalam Islam, memiliki daya tarik spiritual yang kuat bagi banyak orang. Namun, di sisi lain, pendidikan anak merupakan investasi jangka panjang yang sangat penting bagi masa depan mereka.

Pertanyaan yang muncul adalah:

Manakah yang seharusnya didahulukan: melaksanakan ibadah umrah baik dengan cara Nadzar atau tidak dengan  membiayai pendidikan anak?

Waalaikumsalam salam.
Jawaban

Dalam Islam, memenuhi kebutuhan dasar anak, termasuk pendidikan, memiliki prioritas yang lebih tinggi daripada ibadah umrah. Berikut adalah beberapa pertimbangan:
  Kewajiban Orang Tua:
  Orang tua memiliki kewajiban untuk menyediakan kebutuhan dasar anak-anak mereka, termasuk pendidikan yang layak.
Pendidikan adalah investasi jangka panjang yang akan memberikan manfaat besar bagi anak dan masyarakat.

Dalam Islam, menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim.

Prioritas dalam Islam:
Memenuhi kebutuhan dasar orang lain yang menjadi tanggungan kita, itu adalah wajib, sedangkan umroh pada dasarnya adalah sunnah, namun bisa jadi wajib jika timbul karena nadzar. Walaupun timbulnya umrah karena Nadzar sehingga benturan antara dua kewajiban  maka yang diutamakan tetap yang lebih wajib yaitu membiayai anak ( Kewajiban terhadap keluarga harus didahulukan daripada ibadah sunnah).

Dampak Jangka Panjang:

Pendidikan yang baik akan memberikan anak kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka dan meraih kesuksesan di masa depan.

Anak yang berpendidikan akan mampu memberikan manfaat yang lebih besar bagi agama, keluarga, dan masyarakat.

Pertimbangan Tambahan:

Jika kondisi keuangan memungkinkan, orang tua  dapat menabung untuk umrah setelah kebutuhan pendidikan anak terpenuhi maka dalam hal itu boleh melakukan umroh bahkan itu sangat dianjurkan.

Jika anak sudah mandiri secara finansial, maka orang tua bisa melaksanakan ibadah umroh.
Dengan demikian, memenuhi kebutuhan pendidikan anak adalah prioritas utama sebelum mempertimbangkan ibadah umrah.

Referensi:

شرح رسالة مختصرة في أصول الفقه
قاعدة المصالح والمفاسد
وَإِذَا تَزَاحَمَتْ مَصْلَحَتَانِ؛ قُدِّمَ أَعْلاَهُمَا، أَوْ مَفْسَدَتَانِ لاَ بُدَّ مِنْ فِعْلِ إِحْدَاهُمَا؛ ارْتُكِبَتْ أَخَفُّهُمَا مَفْسَدَةً.
قال: (وإذا تزاحمت مصلحتان؛ قُدِّمَ أعلاهما أو مفسدتان لا بد من فعل إحداهما؛ ارْتُكِبَ أخفُّهما).
هذه القاعدة تسمى عند العلماء: قاعدة المصالح والمفاسد، وقاعدة المصالح والمفاسد لها ثلاث صور، ذكر الشيخ صورتين، وترك الصورة الثالثة.
الصورة الأولى: أن تتزاحم مصلحتان، والتزاحم معناه التعارض بين أمرين لا يمكن الجمع بينهما، فعندنا مصلحتان ولا يمكن الجمع بينهما، ولا بد أن نفعل مصلحة واحدة؛ فما الحكم؟!
قال الشيخ: إنه يختار أعلى المصلحتين؛ مثل شخص اجتمع عليه دين ونفقة مستحبة؛ كصدقة، فقضاء الدين مصلحة، والنفقة المستحبة على الفقراء والمساكين مصلحة، فأيهما يُقَدِّمُ؟ يقدم قضاء الدين؛ لأن قضاء الدين واجب، هذا الآن تعارض بين مصلحتين إحداهما واجبة والأخرى مستحبة.
طيب.. لو تعارضت مصلحتان واجبتان؛ مثل صلاة نذر وصلاة فرض، يُقدم صلاة الفرض على صلاة النذر؛ لأن الفرض ثبت بأصل الشرع، والنذر أوجبه المكلف على نفسه، وفي النفقة اللازمة للزوجات والأقارب تُقَدَّمُ نفقة الزوجات ثم الأقارب، إذا تعارض عند الزوجة أمر أبويها وأمر زوجها؛ يُقَدَّمُ أمر زوجها؛ لأنه آكد.
إذا اجتمعت مصلحتان مسنونتان؛ قُدِّمَ أفضلهما، ويقدم ما فيه نفع متعدٍّ، فلو تعارض عند إنسان طلب علم وصلاة نفل؛ يقدم طلب العلم. تعليم العلم مع صلاة نفل، تعليم العلم، المقصود من هذا: أن الأعلى في المصالح يختلف من مصلحة إلى أخرى.
ومن الأدلة على اختيار أعلى المصلحتين: ما ورد في الحديث الصحيح قول النبي -صلى الله عليه وسلم- كما في حديث ابن الزبير(١) عن عائشة قَالَ: «يَا عَائِشَةُ! لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ» قال ابن الزبير: بِكُفْرٍ، « لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ، فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ مِنْهُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ»(٢).
فهنا عندنا مصلحتان: المصلحة الأول: نقض الكعبة وجعل لها بابين، وإذا كان لها بابان يكون أخفَّ وأسهل من كون الناس يدخلون ويخرجون مع باب واحد، والمصلحة الثانية: تأليف قلوب قريش؛ لأنهم لا يزالون حدثاء عهد بكفر، فماذا قدم الرسول -صلى الله عليه وسلم- من المصلحتين؟ قدم المصلحة الثانية، وهي تأليف القلوب.
الصورة الثانية: إذا اجتمعت مفسدتان؛ ارتكب أخفهما، ومن أدلة هذا وأمثلته: ما ورد في الحديث الصحيح حديث أنس -رضي الله عنه- قال: جاء أعرابي فبال في المسجد فزجره الناس، فنهاهم النبي -صلى الله عليه وسلم-، فلما قضى بوله أمر بذنوب من ماء فأريق عليه(٣).
البول في المسجد مفسدة، والاستمرار على البول مفسدة، والصحابة -رضي الله عنهم- أرادوا أن يقطعوا على الرجل بوله، يعني أرادوا أن لا يستمر البول. والرسول -صلى الله عليه وسلم- أراد أن يستمر البول.
إذن: البول في المسجد مفسدة في حد ذاتها، واستمرار البول مفسدة، فأراد الرسول -صلى الله عليه وسلم- أن يقضوا على الاستمرار، فنَهوا هذا الرجل لأجل أن يقوم ويُكمل بوله خارجَ المسجد، لكن الرسول -صلى الله عليه وسلم- نهاهم. لماذا؟ لأن قطع البول مفسدته أعظم من مفسدة الاستمرار، والبول في المسجد، وكونه يستمر على بوله هذا أهون، وكونه يقوم ويخرج هذا أعظم، فارْتُكِبَتْ أدنى المفسدتين وأخف المفسدتين؛ لأنه إذا قام سيكون هناك ثلاث مفاسد:
المفسدة الأولى: حبس البول، والإنسان إذا أراد أن يبول وحَبَسَ البول هذا مُضِرّ.
المفسدة الثانية: أنه سينجس أكبر بقعة من المسجد، وبوله كانت بقعة معينة ما يعني تزيد على بضعة من السنتيمترات، لكن إذا قاموا وطردوه سيكون هناك شيء من البول يخرج هذه مفسدة ثانية.
المفسدة الثالثة: أن ثيابه ستتنجس، لكن إذا بقي البول بالمسجد حصل ستتلاشى المفاسد هذه.
إذن: الرسول -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا نهاهم أراد ارتكاب أدنى المفسدتين في مقابل أعلاهما.
الصورة الثالثة: إذا تقابلت مصلحة ومفسدة وكانت المفسدة أعظم.. انظر الآن الصورة الأولى عندنا مصلحتان، والصورة الثانية عندنا مفسدتان، والصورة الثالثة عندنا مصلحة ومفسدة، ولكن المفسدة أعظم، فما الحكم؟ يُقدم دفع المفسدة ويُترك تحقيق المصلحة؛ لأن درء المفاسد مقدم على جلْب المصالح.
ومن أدلة هذا قول الله -تعالى: ﴿ وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾(4)، سبوا آلهة المشركين هذه مصلحة، وهي تحقير دينهم وعبادتهم، وسب الله -تعالى- هذه مفسدة، ولما كان سيترتب على هذه المصلحة التي هي سب آلهة المشركين سيترتب عليها مفسدة وهي سب الله -تعالى- تُركت هذه المصلحة، قال -تعالى: ﴿ وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾.
ومن الأمثلة على هذا ما ورد من زَوَّارَات القبور(5)، فزيارة القبور للنساء فيها مصلحة، وهي الاتعاظ ولكن فيها مصلحة أعظم وهي مفسدة فتنة الأحياء من جهة، وإيذاء الأموات من جهة أخرى، فقُدِّمَ درء المفسدة على جلب المصلحة.
ومن الأمثلة أيضًا منْع الجار من أن يَتَصَرَّفَ في ملكه إذا أَدَّى إلى الإضرار بجاره، فكون الجار يتصرف في بيته هذه مصلحة، ولكن كونه يضر الجار هذه مفسدة.
يعني لو أن إنسانا يبيع الغنم، وقال: الحوش بعيد عني، وسأجعل الغنم عندي بالبيت، فوضعهم في بيته، وبجانبه جدار جاره، كونه الآن قَرَّبَ الغنم له في بيته مصلحة له، ولكن جاره تأذى من رائحة الغنم هذه مفسدة أيهما الذي يُقَدِّمُ؟ يُقدم درء المفسدة، نكتفي بهذا القدر والله -سبحانه وتعالى- أعلم.
يسأل أحد الإخوة؛ يقول: كيف نجمع بين قاعدة “الوسائل لها أحكام المقاصد” وبين قاعدة “الغاية لا تبرر الوسيلة”؟
أولا: العلماء يفرقون بين الوسيلة وبين الذريعة، وقد ذكرني السؤالُ، فقالوا: الوسيلة هي ما توصل إلى المقصود قطعا أو ظنا، والذريعة قد لا تُوصل إلى المقصود.
المثال الذي يوضح: مصاحبة شخص منحرف أو مصادقة ومحبة شخص منحرف، أيهما أبلغ في التأثر؟ المصادقة والمحبة أبلغ في التأثر؛ إذن: نقول: المصادقة هذه وسيلة، ومجرد مصاحبة بطريق مثلا هذه تعتبر ذريعة.
فالقول هنا بأن الغاية تبرر الوسيلة هذا عكس للقاعدة التي ذكرها العلماء؛ لأن العلماء ما يقولون: المقاصد لها أحكام الوسائل. إذن لا يُنظر إلى الغاية بحيث تبرر الوسيلة أو ما تبررها؛ وإنما يُنظر إلى الوسيلة نفسها هل تُؤدي إلى هذا المقصود أو لا.
ثم إن قضية الغاية تبرر الوسيلة قد يُستدل بهذا على التطرق إلى الأمور المحرمة، بينما قضية الوسائل لها أحكام المقاصد هذه تَمنع وُلوجَ هذا الباب، هذا الفرق بينهما.
يقول أيضًا: هل الوسائل لها أحكام المقاصد على إطلاقها؟ لأننا نرى أن الوفاء بنذر الطاعة واجب مع أن وسيلته -وهو النذر- مكروهة، فما توجيهكم؟
مسألة النذر هذه مسألة فيها خلاف بين العلماء، هو سأل عن النذر؟
أي نعم.
هذه فيها خلاف بين العلماء هل الوفاء بالنذر واجب أو مستحب أو محرم؟
المسألة فيها خلاف بين أهل العلم، لكن على القول بأن ابتداء النذر، فالوفاء بالنذر واجب في الطاعة، لكن ابتداء النذر من أهل العلم من قال: “إنه مكروه”، ومن أهل العلم من قال: “إنه مستحب”، ومن أهل العلم من قال: “إنه محرم”.
فالأقوال ثلاثة في ابتداء النذر وهذا يُشكل على هذه القاعدة فعلاً؛ لأنه على القول بأن ابتداء النذر مكروه، كيف يصير الوفاء بالنذر واجبا؟! هذا يعتبره العلماء مستثنى من القاعدة، والسبب في هذا أنه ورد أحاديث تنهى عن النذر؛ كما في حديث ابن عمر أن النبي -صلى الله عليه وسلم- نَهى عن النذر وقال: « إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ»(٦)، وجاءت أدلة أخرى في المقابل توجب الوفاء بالنذر.
فالحاصل من هذا أن القاعدة ليست على إطلاقها بالنسبة لمسألة النذر، ولهذا العلماء قالوا: “إن مسألة النذر تُشْكِلُ؛ كيف يُنهى عن الشيء، ثم يصير الوفاء به واجبا؟!
 
(١) عبد الله بن الزبير بن العوام بن خويلد بن أسد بن عبد العزي، القرشي، الأسدي. أبوه حواري رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وأمه بنت الصديق، وجدته صفية عمة رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وعمة أبيه خديجة بنت خويلد، وهو أول مولود ولد للمهاجرين بعد الهجرة. حنكه النبي -صلى الله عليه وسلم- وسماه باسم جده، وكناه بكنيته، وأحد من وَلِيَ الخلافة. قُتل -رضي الله عنه- في جمادى الأولى سنة ثلاث وسبعين من الهجرة. انظر: أسد الغابة (٣/١٣٨ ترجمة ٢٩٤٧)، الإصابة (٤/٨٩ ترجمة ٤٦٨٥).
(٢) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب العلم، باب من ترك بعض الاختيار مخافة أن يقصر فهم بعض الناس عنه فيقعوا في أشد منه (١٢٦)، واللفظ له، مسلم: كتاب الحج ، باب نقض الكعبة وبنائها (١٣٣٣).
(٣) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب الوضوء، باب ترك النبي والناس الأعرابي حتى فرغ من بوله في المسجد (٢١٩، ٢٢١، ٦٠٢٥)، ومسلم: كتاب الطهارة، باب: وجوب غسل البول وغيره من النجاسات إذا حصلت في المسجد وأن الأرض تطهر بالماء من غير حاجة إلى حفرها (٢٨٤، ٢٨٥) بنحوه من حديث أنس.
(٤) الأنعام: ١٠٨.
(٥) صحيح:أحمد في المسند (٨٤٤٩، ٨٤٥٢، ٨٦
الفقه

Risalah ringkas tentang Ushul Fiqh, khususnya kaidah maslahah dan mafsadah:


Kaidah Maslahah dan Mafsadah
“Jika dua maslahah (kebaikan) bertentangan, maka didahulukan yang lebih tinggi. Atau jika dua mafsadah (keburukan) harus dilakukan salah satunya, maka dilakukan yang paling ringan mafsadahnya.”
Kaidah ini, yang dikenal sebagai kaidah maslahah dan mafsadah, memiliki tiga bentuk, meskipun syekh hanya menyebutkan dua.
Bentuk-bentuk Kaidah Maslahah dan Mafsadah

Pertentangan antara Dua Maslahah:

Jika dua maslahah bertentangan dan tidak dapat digabungkan, maka dipilih maslahah yang lebih tinggi.

Contoh: Seseorang memiliki utang dan ingin bersedekah. Dalam hal ini, membayar utang lebih didahulukan karena wajib, sedangkan sedekah hukumnya sunnah.

Contoh lain: Jika seseorang dihadapkan pada salat nazar dan salat fardhu, maka salat fardhu didahulukan.

contoh lain: jika seorang istri dihadapkan pada perintah orang tuanya dan perintah suaminya, maka perintah suami di dahulukan karena lebih utama.

Dalilnya adalah hadis Nabi Muhammad SAW tentang keinginan beliau membangun kembali Ka’bah dengan dua pintu, tetapi menundanya demi menjaga perasaan kaum Quraisy yang baru masuk Islam.

Pertentangan antara Dua Mafsadah:

Jika seseorang harus memilih salah satu dari dua mafsadah, maka dipilih yang paling ringan.

Contoh: ketika seorang arab badui kencing didalam masjid, para sahabat ingin menghentikannya, namun rasulullah menyuruh mereka untuk membiarkannya hingga selesai, lalu rasulullah menyuruh untuk menyiram air ditempat bekas kencingnya. Hal ini dikarenakan, jika para sahabat menghentikannya, maka akan timbul mafsadah yang lebih besar.

Dalilnya adalah hadis tentang seorang Arab Badui yang kencing di masjid. Nabi SAW melarang para sahabat untuk menghentikannya agar mafsadah yang lebih besar tidak terjadi.

Pertentangan antara Maslahah dan Mafsadah:

Jika maslahah dan mafsadah bertentangan, dan mafsadah lebih besar, maka mencegah mafsadah lebih didahulukan daripada meraih maslahah.

Dalilnya adalah firman Allah SWT: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS. Al-An’am: 108).

Contoh lain: larangan wanita berziarah kubur, karena mafsadah yang ditimbulkan lebih besar dari pada maslahah yang didapatkan.

Contoh lain: larangan seorang tetangga bertindak di propertinya, jika hal itu dapat membahayakan tetangganya.

Penjelasan Tambahan

Perbedaan antara “wasilah” (sarana) dan “dzari’ah” (jalan):

Wasilah adalah sesuatu yang pasti atau diduga kuat mengarah pada tujuan.
Dzari’ah adalah sesuatu yang mungkin atau tidak mungkin mengarah pada tujuan.

Kaidah “wasilah memiliki hukum tujuan” tidak boleh disalahartikan sebagai “tujuan menghalalkan segala cara.”

Hukum nazar, terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama.

Kaidah wasilah memiliki hukum tujuan, tidak berlaku secara mutlak.

Referensi:

كتاب شرح منظومة القواعد الفقهية للسعدي – حمد الحمد
[حمد الحمد]
علوم الفقه والقواعد الفقهية
فصول الكتاب
فهرس الكتاب  تزاحم المصالح والمفاسد  إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى

[إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى ]
قال المصنف رحمه الله: [فإن تزاحم عدد المصالح يقدم الأعلى من المصالح] إذا تزاحمت عندنا المصالح فإنا نقدم الأعلى منها، عندنا مصلحة ومصلحة وتعارضتا عند هذا المكلف، فإما أن يفعل هذه المصلحة وإما أن يفعل المصلحة الأخرى، فيقدم الأعلى منهما.
إذا أتيت إلى المسجد وقد أقيمت صلاة الصبح فهل تشرع بنافلة الصبح القبلية أو تصلي الصبح؟ نقول: تصلي الفريضة مع الإمام؛ لأن النبي عليه الصلاة والسلام قال كما في صحيح مسلم: (إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة).
إذاً: نقدم الفريضة على النافلة.
وإذا كانت العبادة ذات نفع متعد كالعلم، وعارضتها عبادة ذات نفع لازم كصيام التطوع؛ فإنا نقدم العبادة ذات النفع المتعدي.
إذاً: نقدم الأعلى من المصالح.
إذا تزاحمت المفاسد ارتكبت الأدنى]
قال المصنف رحمه الله: [وضده تزاحم المفاسد يرتكب الأدنى من المفاسد] كذلك إذا تعارضت المفاسد وتزاحمت فإنا نرتكب الأدنى منها ونجتنب الأعلى، ولذا فإن النبي عليه الصلاة والسلام كما في الصحيحين من حديث أنس بن مالك: أنه لما بال الأعرابي في المسجد فزجره الناس، نهاهم النبي عليه الصلاة والسلام، وذلك لتعارض مفسدتين، الأولى: البول في المسجد فينجس. المفسدة الثانية: أن يحبس بوله فيتضرر، يعني: يلحق بدنه الضرر، وكذلك أيضاً قد ينتشر هذا في المسجد لأنه يقوم وتنتقل النجاسة إلى مواضع أخرى من المسجد.
فنهاهم النبي عليه الصلاة والسلام من باب الوقوع في المفسدة الصغرى، فإذا تعارضت عندنا مفسدتان قدمنا المفسدة الصغرى في الوقوع، فنقع في المفسدة الصغرى ونجتنب المفسدة الكبرى.
ومن ذلك قول النبي عليه الصلاة والسلام: (لولا أن قومك حديثو عهد بكفر لهدمت الكعبة وبنيتها على قواعد إبراهيم)، متفق عليه.
فهنا عندنا مفسدة، وهي بقاء الكعبة فيها نقص من الجهة التي فيها حجر إسماعيل، فإن قريشاً قصرت بهم النفقة فقصروا البناء من جهة حجر إسماعيل، فالنبي عليه الصلاة والسلام أراد أن يهدم الكعبة ويبنيها على قواعد إبراهيم كاملة؛ لكنه خشي مفسدة أعظم، وهي أن يرتد الناس عن الإسلام لأنهم كانوا حديثي عهد بكفر.


Dalil Hukumya Nadzar tidak boleh dibatalkan dan tidak boleh dirubah dan tidak boleh diganti pada posisi yang lain kecuali adanya dalil yang qoth’i dan dalam kondisi dloruroh sebagaimana keterangan pada ibaroh kata yang ditebalkan.
Referensi:

الموسوعة الفقهية –٢٦٢٢٩/٣١٩٤

الاِتِّجَاهُ الثَّانِي: يَرَى أَنَّ مَنْ نَذَرَ الاِعْتِكَافَ فِي مَسْجِدٍ غَيْرِ الْمَسَاجِدِ الثَّلاَثَةِ فَإِنَّهُ يَتَعَيَّنُ بِالنَّذْرِ، وَلاَ يُجْزِئُ النَّاذِرَ أَنْ يَعْتَكِفَ فِي غَيْرِهِ، وَهَذَا قَوْل زُفَرَ وَوَجْهٌ فِي مَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ وَرَأْيٌ عِنْدَ الْحَنَابِلَةِ سَوَاءٌ احْتَاجَ إِلَى شَدِّ الرِّحَال أَوْ لَمْ يَحْتَجْ (١) وَاسْتَدَل هَؤُلاَءِ بِأَنَّ الاِعْتِكَافَ حَقِيقَتُهُ الاِنْكِفَافُ فِي سَائِرِ الأَْمَاكِنِ وَالتَّقَلُّبِ، كَمَا أَنَّ الصَّوْمَ انْكِفَافٌ عَنْ أَشْيَاءَ فِي زَمَانٍ مَخْصُوصٍ، فَنِسْبَةُ الاِعْتِكَافِ إِلَى الْمَكَانِ كَنِسْبَةِ الصَّوْمِ إِلَى الزَّمَانِ، وَلَوْ عَيَّنَ النَّاذِرُ يَوْمًا لِصَوْمِهِ تَعَيَّنَ عَلَى الصَّحِيحِ، فَلْيَتَعَيَّنِ الْمَسْجِدُ بِالتَّعْيِينِ أَيْضًا (٢) .
وَقَالُوا: إِنَّ مَا أَوْجَبَهُ الْعَبْدُ عَلَى نَفْسِهِ مُعْتَبَرٌ بِإِيجَابِ اللَّهِ تَعَالَى، فَإِذَا كَانَ مَا أَوْجَبَ اللَّهُ أَدَاءَهُ مُقَيَّدًا بِمَكَانٍ فَلاَ يَجُوزُ أَدَاؤُهُ فِي غَيْرِهِ، كَالنَّحْرِ فِي الْحَرَمِ، وَالطَّوَافِ بِالْبَيْتِ، وَالسَّعْيِ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ، فَكَذَلِكَ مَا أَوْجَبَهُ الْعَبْدُ عَلَى نَفْسِهِ بِالنَّذْرِ مُقَيَّدًا بِذَلِكَ (٣) .
وَأَضَافُوا: إِنَّ النَّاذِرَ قَدْ أَوْجَبَ عَلَى نَفْسِهِ اعْتِكَافًا فِي مَكَانٍ مَخْصُوصٍ، فَإِنْ أَدَّى فِي غَيْرِهِ لَمْ يَكُنْ مُؤَدِّيًا مَا عَلَيْهِ، فَلاَ يَخْرُجُ عَنْ عُهْدَةِ الْوَاجِبِ (٤) .
ثَانِيًا: نَذْرُ الاِعْتِكَافِ فِي الزَّمَانِ الْمُعَيَّنِ:
٤٥ – اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي حُكْمِ مَنْ عَيَّنَ زَمَانًا مُعَيَّنًا لاِعْتِكَافِهِ الْمَنْذُورِ، وَفِيمَا إِذَا كَانَ هَذَا الزَّمَانُ يَتَعَيَّنُ بِالتَّعْيِينِ أَمْ لاَ عَلَى اتِّجَاهَيْنِ:
الاِتِّجَاهُ الأَْوَّل: يَرَى أَنَّ الزَّمَانَ يَتَعَيَّنُ بِتَعْيِينِهِ، وَيَلْزَمُ النَّاذِرَ أَنْ يَعْتَكِفَ فِيهِ، فَلاَ يَعْتَكِفُ فِي غَيْرِهِ، وَلاَ يَجُوزُ لَهُ التَّقَدُّمُ عَلَى هَذَا الزَّمَانِ بِالاِعْتِكَافِ أَوِ التَّأَخُّرُ عَنْهُ، قَال بِهَذَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ وَزُفَرُ مِنَ الْحَنَفِيَّةِ، وَالْمَالِكِيَّةُ، وَالشَّافِعِيَّةُ فِي الصَّحِيحِ الْمَشْهُورِ عِنْدَهُمْ، وَالْحَنَابِلَةُ (١) .
وَاسْتَدَلُّوا بِأَنَّ النَّذْرَ هُوَ إِيجَابُ مَا شُرِعَ فِي الْوَقْتِ نَفْلاً، وَقَدْ أَوْجَبَ النَّاذِرُ عَلَى نَفْسِهِ الاِعْتِكَافَ فِي وَقْتٍ مَخْصُوصٍ، فَلاَ يَجِبُ عَلَيْهِ قَبْل مَجِيئِهِ، فَإِذَا جَاءَ الْوَقْتُ الْمُعَيَّنُ لِلاِعْتِكَافِ تَعَيَّنَ لِلنَّذْرِ، وَوَجَبَ الاِعْتِكَافُ فِيهِ (٢) .
وَقَالُوا كَذَلِكَ: بِأَنَّ مَا أَوْجَبَهُ الْعَبْدُ عَلَى نَفْسِهِ بِالنَّذْرِ مُعْتَبَرٌ بِإِيجَابِ اللَّهِ تَعَالَى فَإِذَا عَيَّنَ اللَّهُ سُبْحَانَهُ لِعِبَادِهِ زَمَنًا مُعَيَّنًا لِعِبَادَتِهِ فِيهِ تَعَيَّنَ هَذَا الْوَقْتُ لِلْعِبَادَةِ، فَكَذَلِكَ مَا أَوْجَبَهُ الْعَبْدُ عَلَى نَفْسِهِ بِالنَّذْرِ مِنَ اعْتِكَافٍ فِي زَمَانٍ مُعَيَّنٍ، فَإِنَّهُ يَتَعَيَّنُ كَذَلِكَ لأَِدَائِهِ (٣) .
وَأَضَافُوا: إِنَّ النَّاذِرَ قَدْ أَوْجَبَ عَلَى نَفْسِهِ الاِعْتِكَافَ فِي زَمَانٍ مُعَيَّنٍ، فَإِنِ اعْتَكَفَ فِي غَيْرِ هَذَا الزَّمَانِ فَإِنَّهُ لاَ يَكُونُ مُؤَدِّيًا مَا أَوْجَبَهُ عَلَى نَفْسِهِ بِالنَّذْرِ فَلاَ يَخْرُجُ عَنْ عُهْدَةِ الْوَاجِبِ (١) .
الاِتِّجَاهُ الثَّانِي: يَرَى أَنَّ مَنْ عَيَّنَ زَمَانًا لاِعْتِكَافِهِ الْمَنْذُورِ فَإِنَّهُ لاَ يَتَعَيَّنُ بِالنَّذْرِ، وَيُجْزِئُ النَّاذِرَ أَنْ يَعْتَكِفَ فِي زَمَانٍ غَيْرِهِ قَبْل هَذَا الزَّمَانِ الْمُعَيَّنِ أَوْ بَعْدَهُ، قَال بِهَذَا أَبُو يُوسُفَ وَهُوَ وَجْهٌ فِي مَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ (٢) .
وَاسْتَدَل أَصْحَابُ هَذَا الاِتِّجَاهِ بِأَنَّ وُجُوبَ الاِعْتِكَافِ ثَابِتٌ قَبْل الْوَقْتِ الَّذِي أُضِيفَ إِلَيْهِ النَّذْرُ، فَكَانَ أَدَاؤُهُ فِي الْوَقْتِ الْمُعَيَّنِ أَدَاءً بَعْدَ الْوُجُوبِ فَيَجُوزُ، وَالدَّلِيل عَلَى تَحَقُّقِ الْوُجُوبِ قَبْل الْوَقْتِ الْمُعَيَّنِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ الْعِبَادَاتِ وَاجِبَةٌ عَلَى الدَّوَامِ بِشَرْطِ الإِْمْكَانِ وَانْتِفَاءِ الْحَرَجِ؛ لِقَوْل الْحَقِّ سُبْحَانَهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ (٣) ؛ وَلأَِنَّ الْعِبَادَةَ وَجَبَتْ شُكْرًا لِلنِّعْمَةِ، إِلاَّ أَنَّ الشَّرْعَ رَخَّصَ لِلْعَبْدِ تَرْكَهَا فِي بَعْضِ الأَْوْقَاتِ، فَإِذَا نَذَرَ فَقَدِ اخْتَارَ الْعَزِيمَةَ وَتَرَكَ الرُّخْصَةَ، فَيَعُودُ حُكْمُ الْعَزِيمَةِ.
وَالْوَجْهُ الثَّانِي: أَنَّهُ قَدْ وُجِدَ سَبَبُ الْوُجُوبِ لِلْحَال وَهُوَ النَّذْرُ، وَإِنَّمَا الأَْجَل تَرْفِيهٌ يُتَرَفَّهُ بِهِ فِي التَّأْخِيرِ، فَإِذَا عَجَّل فَقَدْ أَحْسَنَ فِي إِسْقَاطِ الأَْجَل فَيَجُوزُ؛ وَهَذَا لأَِنَّ صِيغَةَ النَّذْرِ لِلإِْيجَابِ، وَالأَْصْل فِي كُل لَفْظٍ مَوْجُودٍ فِي زَمَانٍ اعْتِبَارُهُ فِيهِ فِيمَا يَقْتَضِيهِ فِي وَضْعِ اللُّغَةِ، وَلاَ يَجُوزُ إِبْطَالُهُ وَلاَ تَغْيِيرُهُ إِلَى غَيْرِ مَا وُضِعَ لَهُ، إِلاَّ بِدَلِيلٍ قَاطِعٍ أَوْ ضَرُورَةٍ دَاعِيَةٍ، وَلاَ ضَرُورَةَ إِلَى إِبْطَال صِيغَةِ النَّذْرِ وَلاَ إِلَى تَغْيِيرِهَا وَلاَ دَلِيل سِوَى ذِكْرِ الْوَقْتِ، وَهُوَ مُحْتَمَلٌ، فَقَدْ يُذْكَرُ لِلْوُجُوب فيه ، كَمَا فِي بَابِ الصَّلاَةِ، وَقَدْ يُذْكَرُ لِصِحَّةِ الأَْدَاءِ كَمَا فِي الْحَجِّ وَالأُْضْحِيَّةِ، وَقَدْ يُذْكَرُ لِلتَّرْفِيهِ وَالتَّوْسِعَةِ كَمَا فِي وَقْتِ الإِْقَامَةِ لِلْمُسَافِرِ وَالْحَوْل فِي بَابِ الزَّكَاةِ، فَكَانَ ذِكْرُ الْوَقْتِ فِي نَفْسِهِ مُحْتَمَلاً، فَلاَ يَجُوزُ إِبْطَال صِيغَةِ الإِْيجَابِ الْمَوْجُودَةِ لِلْحَال مَعَ الاِحْتِمَال، فَبَقِيَتِ الصِّيغَةُ مُوجِبَةً، وَذِكْرُ الْوَقْتِ لِلتَّرْفِيهِ وَالتَّوْسِعَةِ، كَيْ لاَ يُؤَدِّيَ إِلَى إِبْطَال الثَّابِتِ بِيَقِينٍ إِلَى أَمْرٍ مُحْتَمَلٍ

Referensi


المكتبة الشاملة
كتاب حاشية البجيرمي على شرح المنهج = التجريد لنفع العبيد
[البجيرمي]
الرئيسيةأقسام الكتب الفقه الشافعي
فصول الكتاب
ج: ص:٣٣٧

مسار الصفحة الحالية:
فهرس الكتاب [والنذر ضربان] [الثاني نذر التبرر]
أَوْ يُحَقِّقَ خَبَرًا غَضَبًا بِالْتِزَامِ قُرْبَةٍ) وَهَذَا الضَّابِطُ مِنْ زِيَادَتِي (كَإِنْ كَلَّمْته) أَوْ إنْ لَمْ أُكَلِّمْهُ أَوْ إنْ لَمْ يَكُنْ الْأَمْرُ كَمَا قُلْته (فَعَلَيَّ كَذَا) مِنْ نَحْوِ عِتْقٍ وَصَوْمٍ (وَفِيهِ) عِنْدَ وُجُودِ الصِّفَةِ (مَا الْتَزَمَهُ) عَمَلًا بِالْتِزَامِهِ (أَوْ كَفَّارَةُ يَمِينٍ) لِخَبَرِ مُسْلِمٍ «كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ يَمِينٍ» وَهِيَ لَا تَكْفِي فِي نَذْرِ التَّبَرُّرِ بِالِاتِّفَاقِ فَتَعَيَّنَ حَمْلُهُ عَلَى نَذْرِ اللَّجَاجِ (وَلَوْ قَالَ) إنْ كَلَّمْته (فَعَلَيَّ كَفَّارَةُ يَمِينٍ أَوْ) كَفَّارَةُ (نَذْرٍ لَزِمَتْهُ) أَيْ الْكَفَّارَةُ عِنْدَ وُجُودِ الصِّفَةِ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْيَمِينِ فِي الْأُولَى وَلِخَبَرِ مُسْلِمٍ السَّابِقِ فِي الثَّانِيَةِ وَلَوْ قَالَ فَعَلَيَّ يَمِينٌ فَلَغْوٌ أَوْ فَعَلَيَّ نَذْرٌ صَحَّ وَيَتَخَيَّرُ فِيهِ بَيْنَ قُرْبَةٍ وَكَفَّارَةِ يَمِينٍ وَنَصُّ الْبُوَيْطِيُّ يَقْتَضِي أَنَّهُ لَا يَصِحُّ وَلَا يَلْزَمُهُ شَيْءٌ فَلَوْ كَانَ ذَلِكَ فِي نَذْرِ التَّبَرُّرِ كَأَنْ قَالَ إنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضِي فَعَلَيَّ نَذْرٌ أَوْ قَالَ ابْتِدَاءً لِلَّهِ عَلَيَّ نَذْرٌ لَزِمَهُ قُرْبَةٌ مِنْ الْقُرَبِ وَالتَّعْيِينُ إلَيْهِ ذَكَرَهُ الْبُلْقِينِيُّ وَبَعْضُهُمْ قَرَّرَ كَلَامَ الْأَصْلِ عَلَى خِلَافِ مَا قَرَّرْتَهُ فَاحْذَرْهُ
(وَ) ثَانِيهِمَا (نَذْرُ تَبَرُّرٍ بِأَنْ يَلْتَزِمَ قُرْبَةً بِلَا تَعْلِيقٍ كَعَلَيَّ كَذَا) وَكَقَوْلِ مَنْ شُفِيَ مِنْ مَرَضِهِ: لِلَّهِ عَلَيَّ كَذَا لِمَا أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيَّ مِنْ شِفَائِي مِنْ مَرَضِي (أَوْ بِتَعْلِيقٍ بِحُدُوثِ نِعْمَةٍ أَوْ ذَهَابِ نِقْمَةٍ كَإِنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضِي فَعَلَيَّ كَذَا فَيَلْزَمُهُ ذَلِكَ) أَيْ مَا الْتَزَمَهُ (حَالًا) إنْ لَمْ يُعَلِّقْهُ (أَوْ عِنْدَ وُجُودِ الصِّفَةِ) إنْ عَلَّقَهُ لِلْآيَاتِ الْمَذْكُورِ بَعْضُهَا أَوَّلَ الْبَابِ (وَلَوْ نَذَرَ صَوْمَ أَيَّامٍ سُنَّ تَعْجِيلُهُ) حَيْثُ لَا عُذْرَ مُسَارَعَةً لِبَرَاءَةِ ذِمَّتِهِ (فَإِنْ قُيِّدَ بِتَفْرِيقٍ أَوْ مُوَالَاةٍ وَجَبَ) ذَلِكَ عَمَلًا بِالْتِزَامِهِ وَإِلَّا فَلَا لِحُصُولِ الْوَفَاءِ بِالتَّقْدِيرَيْنِ فَلَوْ نَذَرَ عَشَرَةَ أَيَّامٍ مُتَفَرِّقَةٍ فَصَامَهَا مُتَوَالِيَةً أَجْزَأَ مِنْهَا خَمْسَةٌ
(أَوْ) نَذَرَ صَوْمَ (سَنَةٍ مُعَيَّنَةٍ لَمْ يَدْخُلْ) فِي نَذْرِهَا (عِيدٌ وَتَشْرِيقٌ وَحَيْضٌ وَنِفَاسٌ وَرَمَضَانُ) أَيْ أَيَّامُهَا لِأَنَّ رَمَضَانَ لَا يَقْبَلُ صَوْمَ غَيْرِهِ وَمَا عَدَاهُ لَا يَقْبَلُ الصَّوْمَ أَصْلًا فَلَا يَدْخُلُ فِي نَذْرِ مَا ذُكِرَ (فَلَا قَضَاءَ) لَهَا عَنْ نَذْرِهِ لِمَا ذُكِرَ خِلَافًا لِلرَّافِعِيِّ فِيمَا وَقَعَ فِي الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ
[حاشية البجيرمي]
أَوْ غَيْرَهَا، وَقَوْلُهُ: أَوْ يُحَقِّقَ خَبَرًا أَيْ: قَالَهُ هُوَ، أَوْ غَيْرُهُ فَالْأَقْسَامُ سِتَّةٌ، وَإِنْ مَثَّلَ لِثَلَاثَةٍ فَقَطْ (قَوْلُهُ: غَضَبًا) رَاجِعٌ لِلْجَمِيعِ أَيْ: شَأْنُهُ ذَلِكَ فَلَيْسَ قَيْدًا، وَإِنَّمَا قَيَّدَ بِهِ؛ لِأَنَّهُ الْغَالِبُ ز ي وَبِرْمَاوِيٌّ م ح ل.
(قَوْلُهُ: فَعَلَى كَذَا) يَقَعُ مِنْ كَثِيرِينَ فِي حَالَةِ الْغَضَبِ الْعِتْقُ يَلْزَمُنِي، أَوْ عِتْقُ عَبْدِي فُلَانٍ يَلْزَمُنِي لَا أَفْعَلُ كَذَا، أَوْ لَأَفْعَلَنَّ كَذَا، وَهُوَ لَغْوٌ؛ حَيْثُ لَمْ يَنْوِ بِهِ التَّعْلِيقَ؛ لِأَنَّ الْعِتْقَ لَا يُحْلَفُ بِهِ، إلَّا عَلَى وَجْهِ التَّعْلِيقِ، أَوْ الِالْتِزَامِ كَإِنْ فَعَلْت كَذَا فَعَلَيَّ عِتْقٌ، أَوْ فَعَبْدِي حُرٌّ فَحِينَئِذٍ فَهُوَ عِنْدَ قَصْدِ الْحَثِّ، أَوْ الْمَنْعِ، أَوْ تَحْقِيقِ الْخَبَرِ نَذْرُ لَجَاجٍ، أَمَّا الْحَلِفُ بِنَحْوِ الْعِتْقِ، أَوْ الطَّلَاقِ بِالْجَرِّ، أَوْ غَيْرِهِ فَلَغْوٌ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ غَيْرُ يَمِينٍ كَمَا عُلِمَ مِمَّا مَرَّ شَرْحُ الْإِرْشَادِ الْكَبِيرِ ز ي، وَمِثْلُهُ شَرْحُ م ر. (قَوْلُهُ: وَهِيَ لَا تَكْفِي فِي نَذْرِ التَّبَرُّرِ) أَيْ: بَلْ يَتَعَيَّنُ عَلَيْهِ مَا الْتَزَمَهُ كَمَا سَيَذْكُرُهُ. (قَوْلُهُ: تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْيَمِينِ) أَيْ: عَلَى حُكْمِ النَّذْرِ. (قَوْلُهُ: فَلَغْوٌ) ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِصِيغَةِ نَذْرٍ وَلَا حَلِفٍ، وَالْيَمِينُ لَا تَلْتَزِمُ فِي الذِّمَّةِ شَرْحُ م ر وَمِثْلُ عَلَيَّ يَمِينٌ أَيْمَانُ الْمُسْلِمِينَ تَلْزَمُنِي إنْ فَعَلْت كَذَا إذَا أَطْلَقَ تَكُونُ لَغْوًا لَا يَلْزَمُهُ شَيْءٌ بِفِعْلِهِ كَمَا أَفْتَى بِهِ م ر الْكَبِيرُ، وَقِيلَ: إنَّهُ كِنَايَةٌ فِي الطَّلَاقِ، وَالْعِتْقِ (قَوْلُهُ: وَيَتَخَيَّرُ) مُعْتَمَدٌ.
(قَوْلُهُ: بَيْنَ قُرْبَةٍ) كَتَسْبِيحٍ، وَصَلَاةِ رَكْعَتَيْنِ، وَصَوْمِ يَوْمٍ ع ش. (قَوْلُهُ: وَالتَّعْيِينُ إلَيْهِ) أَيْ: مَوْكُولٌ إلَيْهِ. (قَوْلُهُ: وَبَعْضُهُمْ قَرَّرَ كَلَامَ الْأَصْلِ) يُعَرِّضُ بِالزَّرْكَشِيِّ، وَعِبَارَةُ الْأَصْلِ وَلَوْ قَالَ: إنْ دَخَلْت فَعَلَيَّ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، أَوْ نَذْرٌ لَزِمَتْهُ فَجَعَلَ الزَّرْكَشِيُّ قَوْلَهُ، أَوْ نَذْرٌ بِالرَّفْعِ عَطْفًا عَلَى كَفَّارَةٌ فَيُفِيدُ أَنَّهُ إذَا قَالَ: إنْ كَلَّمْته فَعَلَيَّ نَذْرٌ أَنَّهُ يَلْزَمُهُ كَفَّارَةٌ عَيْنًا، وَهُوَ ضَعِيفٌ؛ لِمَا عَلِمْت أَنَّ الْمُعْتَمَدَ أَنَّهُ يُخَيَّرُ بَيْنَهَا، وَبَيْنَ قُرْبَةٍ. وَحَاصِلُ تَقْرِيرِ الشَّارِحِ لَهُ أَنَّهُ جَعَلَهُ بِالْجَرِّ عَطْفًا عَلَى يَمِينٍ؛ حَيْثُ قَدَّرَ لَهُ الْمُضَافَ بِقَوْلِهِ: أَوْ كَفَّارَةُ نَذْرٍ فَيَقْتَضِي أَنَّ الصِّيغَةَ الَّتِي قَالَهَا النَّاذِرُ فَلِلَّهِ عَلَيَّ كَفَّارَةُ نَذْرِهِ، وَهُوَ إذَا قَالَ ذَلِكَ لَزِمَهُ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ عَيْنًا سم بِتَصَرُّفٍ
[الثَّانِي نَذْرُ التَّبَرُّر]
. (قَوْلُهُ: نَذْرُ تَبَرُّرٍ) سُمِّيَ بِهِ؛ لِأَنَّ النَّاذِرَ يَطْلُبُ الْبِرَّ، وَالتَّقَرُّبَ إلَى اللَّهِ تَعَالَى ز ي. (قَوْلُهُ: بِحُدُوثِ نِعْمَةٍ) أَيْ: تَقْتَضِي سُجُودَ الشُّكْرِ كَمَا يُومِئُ إلَيْهِ تَعْبِيرُهُمْ بِحُدُوثِ، وَمِثْلُهُ ذَهَابُ النِّقْمَةِ هَذَا مَا قَالَهُ الْإِمَامُ عَنْ وَالِدِهِ لَكِنْ رَجَّحَ قَوْلَ الْقَاضِي أَنَّهُمَا لَا يَتَقَيَّدَانِ بِذَلِكَ س ل وَمِثْلُهُ شَرْحُ م ر، وَمَعْنَى تَقْتَضِي سُجُودَ الشُّكْرِ بِأَنْ كَانَ لَهَا وَقْعٌ ع ش عَلَى م ر وَقَوْلُهُ: كَمَا يُومِئُ إلَيْهِ اُنْظُرْ وَجْهَ الْإِيمَاءِ مَعَ أَنَّ الْحُدُوثَ صَادِقٌ بِغَيْرِ الْهُجُومِ. (قَوْلُهُ: كَأَنْ شَفَى اللَّهُ مَرِيضِي) ، وَيَظْهَرُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالشِّفَاءِ زَوَالُ الْعِلَّةِ مِنْ أَصْلِهَا، وَأَنَّهُ لَا بُدَّ فِيهِ مِنْ قَوْلِ عَدْلَيْنِ. اهـ. طب أَخْذًا مِمَّا مَرَّ فِي الْمَرَضِ الْمَخُوفِ، أَوْ مَعْرِفَةُ الْمَرِيضِ وَلَوْ بِالتَّجْرِبَةِ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّ بَقَاءُ أَثَرِهِ مِنْ ضَعْفِ الْحَرَكَةِ، وَنَحْوِهِ س ل. (قَوْلُهُ: حَالًا) عِبَارَةُ شَرْحِ م ر فَيَلْزَمُهُ ذَلِكَ حَالًا وُجُوبًا مُوَسَّعًا وَلَا يَلْزَمُهُ ذَلِكَ فَوْرًا، إلَّا إنْ كَانَ لِمُعَيِّنٍ، وَطَالَبَ بِهِ. اهـ. (قَوْلُهُ: حَيْثُ لَا عُذْرَ) خَرَجَ مَا لَوْ كَانَ مُسَافِرًا يَلْحَقُهُ مَشَقَّةٌ شَدِيدَةٌ بِالصَّوْمِ فَالْأَوْلَى تَأْخِيرُهُ، وَمَا لَوْ كَانَ عَلَيْهِ كَفَّارَةٌ سَبَقَتْ النَّذْرَ فَإِنَّهُ يُسَنُّ تَقْدِيمُهَا عَلَيْهِ إنْ كَانَ عَلَى التَّرَاخِي، وَإِلَّا وَجَبَ. ذَكَرَهُ الْبُلْقِينِيُّ. (قَوْلُهُ: أَجْزَأَ مِنْهَا خَمْسَةٌ) اُنْظُرْ الْخَمْسَةَ الْبَاقِيَةَ هَلْ تَبْطُلُ مِنْ الْعَالِمِ، وَتَنْقَلِبُ نَفْلًا مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِهِ؟ سم وَعِبَارَةُ ح ل وَصَوْمُ الْخَمْسَةِ الْأُخْرَى إنْ صَامَهَا بِنِيَّةِ النَّذْرِ عَامِدًا عَالِمًا بِوُجُوبِ التَّفَرُّقِ لَغَتْ نِيَّتُهُ، وَإِلَّا كَانَ نَفْلًا مُطْلَقًا، وَإِذَا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ لَمْ يَنْوِ فِي الثَّالِثِ لَا يَقُومُ الرَّابِعُ مَقَامَهُ؛ لِأَنَّ نِيَّتَهُ عَنْ النَّذْرِ غَيْرُ مُعْتَدٍّ بِهَا. اهـ.
. (قَوْلُهُ: خِلَافًا لِلرَّافِعِيِّ فِيمَا) أَيْ: فِي الْأَيَّامِ الْوَاقِعَةِ فِي حَالَةِ الْحَيْضِ، وَالنِّفَاسِ؛ حَيْثُ قَالَ بِوُجُوبِ قَضَائِهَا

Referensi dari kitab-kitab fiqih:

1. Kaidah “Jika Maslahat Bertentangan, Maka Didahulukan yang Lebih Tinggi”


Penjelasan:
  Ketika dua atau lebih maslahat (kebaikan) saling bertentangan dan tidak mungkin dilakukan secara bersamaan, maka syariat memerintahkan untuk memilih maslahat yang lebih tinggi tingkatannya.
Tingkatan maslahat ditentukan oleh berbagai faktor, seperti kewajiban (wajib) dibandingkan kesunnahan (sunnah), manfaat yang luas (mutadi) dibandingkan manfaat yang terbatas (lazim), dan sebagainya.
Contoh:
Mendahulukan salat fardhu daripada salat sunnah ketika waktu keduanya bersamaan.
Mendahulukan mengajarkan ilmu (manfaat mutadi) daripada puasa sunnah (manfaat lazim).

Referensi:
Syarh Manzhumah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah li as-Sa’di – Hamad al-Hamad.

2. Kaidah “Jika Mafsadah Bertentangan, Maka Dilakukan yang Lebih Ringan”


Penjelasan:
Ketika seseorang dihadapkan pada dua atau lebih mafsadah (keburukan) yang tidak bisa dihindari semuanya, maka syariat memerintahkan untuk memilih mafsadah yang lebih ringan.
Tujuannya adalah untuk meminimalkan dampak negatif yang timbul.
Contoh:
Kisah seorang Arab Badui yang kencing di masjid. Nabi Muhammad SAW melarang para sahabat menghentikannya, karena menghentikannya akan menimbulkan mafsadah yang lebih besar.
Nabi muhammad SAW tidak jadi merobohkan ka’bah dan membangunnya kembali sesuai pondasi Nabi Ibrahim, dikarenakan takut menimbulkan mafsadah yang lebih besar yaitu kemurtadan orang orang yang baru masuk islam.

Referensi:
Syarh Manzhumah al-Qawa’id al-Fiqhiyyah li as-Sa’di – Hamad al-Hamad.

3. Hukum Nazar


Perbedaan Pendapat Ulama:
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum melaksanakan nazar.

Ada yang berpendapat wajib, ada yang berpendapat sunnah, dan ada pula yang berpendapat makruh.

Nazar dalam Tempat dan Waktu Tertentu:

Jika seseorang bernazar untuk iktikaf di masjid tertentu atau pada waktu tertentu, maka terdapat perbedaan pendapat:

Pendapat pertama: Nazar tersebut mengikat, sehingga harus dilaksanakan di tempat dan waktu yang ditentukan.

Pendapat kedua: Nazar tersebut tidak mengikat, sehingga boleh dilaksanakan di tempat atau waktu lain.

Jenis-jenis Nazar:
Nazar lajaj: nazar yang diucapkan dalam keadaan marah atau untuk memperkuat perkataan.

Nazar tabarrur: nazar yang diucapkan sebagai bentuk syukur atas nikmat atau untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Referensi:
  al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah.
  Hasyiyah al-Bujairami ala Syarh al-Manhaj = at-Tajrid li naf’ al-‘Abid.
   Al-Maktabah asy-Syamilah.

Kesimpulan
Kaidah-kaidah maslahah dan mafsadah merupakan prinsip penting dalam fiqih Islam untuk menentukan pilihan terbaik ketika dihadapkan pada situasi yang sulit. Hukum nazar memiliki rincian yang perlu diperhatikan, dan para ulama berbeda pendapat dalam beberapa aspeknya.
Semoga penjelasan ini memberikan pemahaman yang lebih komprehensif. Wallahu a’lam bisshowab

Kategori
Hukum

Suami Manfaatkan Maskawin: Bolehkah?

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Dalam konteks pernikahan, maskawin (mahar) merupakan pemberian wajib dari suami kepada istri, yang dapat berupa uang, barang berharga (seperti cincin), atau bahkan benda yang memiliki nilai religius (seperti Al-Qur’an). Secara hukum, maskawin adalah hak milik penuh istri. Namun, dalam praktik kehidupan berumah tangga, seringkali terjadi situasi di mana maskawin tersebut sebagian atau seluruhnya dimanfaatkan oleh suami, baik dengan persetujuan istri maupun tanpa persetujuan.
Permasalahan muncul ketika suami menggunakan maskawin yang telah diberikan kepada istri, baik berupa uang maupun barang, untuk keperluan pribadinya atau keperluan bersama. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang batasan dan kebolehan suami dalam memanfaatkan maskawin, serta implikasi hukumnya dalam perspektif syariah.


Fokus Permasalahan:
Hak Kepemilikan Istri:
Bagaimana hukumnya jika suami menggunakan maskawin yang jelas-jelas merupakan hak milik istri?

Waalaikum salam

Jawaban:
Mahar adalah hak istri yang seharusnya wajib dibayarkan penuh setelah akad nikah berlangsung namun demikian istri boleh menggunakan sesuka hatinya. Sedangkan suami menggunakan mahar yang telah diberikan ditafsil

  1. Boleh dengan seidzin istri atau kerelaan istri
  2. Tidak boleh tanpa adanya izin istri

Referensi :


٥/١٩٠ ، الفخر الرازي
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْئٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيَا مَرِيئًا ) : المَسْأَلَةُ الثَّامِنَةُ
دلْتُ هَذِهِ الْآيَةُ عَلَى أَمُورٍ مِنْهَا أَنَّ المَهْرَ لَهَا وَلاَحَقُّ لِلْوَلِي فِيهِ وَمِنْهَا جَوَاز هِبَتِهَا المَهْرَ لِلزَّوْجِ وَجَوَازُ أَنْ يَأْخُذَهُ الزوج لأن قَوْلَهُ فَكُلُوهُ هَنِيَا مَرِيئًا ) يَدُلُّ عَلَى الْمَعْنَيَيْنِ وَمِنْهَا جَوَاز هِبَتِها الى ان قال – قُلْنَا المُرَادُ بِقَوْلِهِ كُلُوهُ هَنِيًا مَرِيئًا لَيْسَ نَفْسَ الأكل بَلْ المُرَادُ مِنْهُ حِلُّ التَّصَرُّفَاتِ وَإِنَّمَا خُصْ الأكل بالذِّكْرِ لِأَنَّ مُعْظَمَ المَقْصُودَ مِنَ المَالِ إِنَّمَا هُوَ الْأَكْلُ وَنَظِيرُهُ قَوْلُهُ تَعَالَى إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ اليَتَامَى ظُلْمًا وَقَالَ لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بيْنَكُمْ بالباطل )

Referensi:
(Fakhruddin ar-Razi, 5/190)

“Maka jika mereka dengan senang hati memberikan kepadamu sebagian dari maskawin itu, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 4) Masalah kedelapan:
Ayat ini menunjukkan beberapa hal, di antaranya bahwa mahar adalah hak istri dan wali tidak memiliki hak di dalamnya. Di antaranya adalah bolehnya
istri menghibahkan mahar kepada suami dan bolehnya suami mengambilnya, karena firman-Nya, “maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya,”
menunjukkan dua makna tersebut. Di antaranya adalah bolehnya istri menghibahkan mahar. Hingga ia berkata, “Kami katakan, yang dimaksud dengan firman-Nya, ‘makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya,’
bukanlah makan dalam arti sebenarnya, tetapi yang dimaksud adalah kebolehan menggunakan harta tersebut. Dan penyebutan makan secara khusus hanyalah karena
sebagian besar tujuan dari harta adalah untuk makan. Dan yang serupa dengan itu adalah firman Allah Ta’ala, ‘Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,’ dan firman-Nya, ‘Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil.'”

Penjelasan Tambahan:

Teks tersebut membahas hukum penggunaan mahar oleh suami.
Suami boleh menggunakan mahar yang berupa barang, seperti Al-Qur’an mix , asalkan mendapat izin dari istri.

Referensi yang digunakan adalah kitab tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi (5/190), yang menjelaskan tafsir dari surat An-Nisa ayat 4.

Inti dari referensi tersebut menjelaskan bahwa mahar adalah hak istri sepenuhnya, namun istri diperbolehkan untuk menghibahkan atau mengizinkan suami untuk menggunakan mahar tersebut. Wallahu a’lam bisshowab

Kategori
Hukum

Zakat Perdagangan: Antara Barang Dagangan, Uang Tunai, dan THR

 

Deskripsi Masalah:
Dalam ajaran Islam, zakat perdagangan merupakan kewajiban bagi pedagang yang telah mencapai nisab dan haul (satu tahun kepemilikan). Namun, terdapat beberapa permasalahan terkait praktik pembayaran zakat perdagangan, terutama pada bulan Ramadan, ketika pedagang seringkali mengeluarkan Tunjangan Hari Raya (THR) yang diniatkan sebagai zakat. Permasalahan utama yang muncul adalah variasi dalam bentuk barang yang dikeluarkan sebagai zakat Yaitu :

  1. Sebagian pedagang mengeluarkan zakat dalam bentuk barang dagangan mereka.
  2. Sebagian lainnya mengeluarkan zakat dalam bentuk uang tunai (nilai dari barang dagangan).
  3. Terdapat juga pedagang yang mengeluarkan zakat dalam bentuk barang yang bukan merupakan bagian dari barang dagangan mereka.

Pertanyaan:

  1. Bolehkah seorang pedagang menunaikan zakat perdagangan dalam bentuk barang dagangan atau uang tunai, terutama jika pengeluaran tersebut dikaitkan dengan pemberian THR?
  2. Bagaimana hukumnya jika barang yang dikeluarkan sebagai zakat bukan merupakan barang dagangan yang biasa diperjualbelikan?

Waalaikumsalam salam

Jawaban.

A. Hukum Menunaikan Zakat Perdagangan dalam Bentuk Barang Dagangan atau Uang Tunai:

Para ulama berbeda pendapat mengenai hal mengelurkan zakat berupa barang dagangan atau dengan berupa harga ( uang tunai )

1️⃣ Menurut  Pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat Imam Syafi’i: Memberikan fleksibilitas, pedagang dapat memilih antara mengeluarkan zakat dari nilai barang dagangan dalam bentuk uang tunai, atau mengeluarkan zakat dari barang dagangan itu sendiri.

2️⃣ Menurut Pendapat Imam Ahmad dan pendapat lain dari Imam Syafi’i: Lebih menekankan pada kemaslahatan penerima, mewajibkan pengeluaran zakat dari nilai barang dagangan dalam bentuk uang tunai, bukan dari barang dagangannya.

Pendapat yang lebih dikuatkan: Mengeluarkan zakat dari nilai barang dagangan dalam bentuk uang tunai lebih dianjurkan, karena memberikan fleksibilitas dan kemudahan bagi fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka.

B. Terkait dengan pengeluaran Tunjangan Hari Raya (THR) yang diniatkan sebagai zakat:

Penting untuk diketahui dan diingat bahwa zakat perdagangan memiliki syarat-syarat tertentu yang diantaranya adalah nishab haul (satu tahun kepemilikan). Jika nisabnya belum terpenuhi, maka pengeluaran THR yang diniatkan sebagai zakat tersebut tidak sah sebagai zakat, berbeda dengan haul.Artinya walau belum haul sebagian ulama’ boleh ta’jiluzzakat asalkan nisab telah terpenuhi( mendahulukan zakat) dan sebagian tidak memperbolehkan zakat sebelum haul .

Untuk menghindari kerancuan, sangat disarankan untuk mengetahui akhir tahun ( haul ) harus dihitung awal mula niat barang diperdagangkan jika pas satu tahun tepat pada bulan puasa maka THR sah sebagai zakat ,tetapi jika tidak sampai nisab atau haul, maka tidak sah sebagai zakat hanya sebagai THR. Oleh karenanya memisahkan antara pemberian THR dan pembayaran zakat lebih utama. Hal ini memastikan bahwa kedua hal tersebut ( THR sunnah dan Zakat wajib ) terpenuhi dengan jelas.

فقه الزكاة  الجزء الثاني ص ٨٢٣
تقديم أداء الزكاة قبل موعدها :
الأموال الزكوية قسمان : قسم يشترط له الحول كالماشية السائمة والنقود وسلع التجارة . وقسم لا يشترط له الحول كالزروع والثمار .
فأما القسم الأول فأكثر الفقهاء على أنه : متى وجد سبب وجوب الزكاة وهو النصاب الكامل – جاز تقديم الزكاة قبل حلول الحول . بل يجوز تعجيلها الحولين أو أكثر . بخلاف ما إذا عجلها قبل مالك النصاب فلا يجوز .
وبهذا قال الحسن وسعيد بن جبير والزهري والأوزاعي وأبو حنيفة والشافعي وأحمد وإسحق وأبو عبيد ( ٥ )

Mendahulukan Pembayaran Zakat Sebelum Waktunya:
Harta zakat terbagi menjadi dua bagian: Bagian yang disyaratkan kepemilikan selama setahun (haul) seperti hewan ternak yang digembalakan, uang, dan barang dagangan. Serta bagian yang tidak disyaratkan kepemilikan selama setahun seperti hasil pertanian dan buah-buahan.
Adapun bagian pertama, mayoritas ulama berpendapat bahwa: Apabila sebab wajibnya zakat telah terpenuhi, yaitu mencapai nishab yang sempurna, maka boleh mendahulukan pembayaran zakat sebelum tiba waktu haulnya. Bahkan boleh menyegerakannya untuk dua tahun atau lebih. Berbeda halnya jika disegerakan sebelum pemilik harta memiliki nishab, maka tidak boleh.
Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Hasan, Sa’id bin Jubair, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Ubaid (5).

C. Hukum Mengeluarkan Zakat dengan Barang yang Bukan Barang Dagangan:

Pada prinsipnya, diperbolehkan dalam kondisi tertentu, terutama jika hal itu dapat memberikan kemaslahatan yang nyata bagi penerima zakat.

Beberapa pertimbangan penting yang perlu diperhatikan:

Nilai barang yang diberikan harus setara atau sesuai dengan nilai zakat yang wajib dikeluarkan.

Penerima zakat harus benar-benar membutuhkan barang tersebut. Memberikan barang yang tidak bermanfaat bagi mereka dapat menjadi beban.

Mengeluarkan zakat dalam bentuk uang tunai umumnya lebih dianjurkan, karena memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada penerima zakat, karena setelah zakat tiba ditangan mereka ( diterima)  bebas dengan sesuka hati  mentasharrufkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak mereka.

Kesimpulan:

Barang dagangan wajib dizakati jika memenuhi syarat nisab dan haul.

Mengeluarkan zakat dalam bentuk uang tunai lebih dianjurkan, tetapi mengeluarkan zakat dengan barang dagangan diperbolehkan dalam kondisi tertentu demi kemaslahatan fakir miskin.

Mengeluarkan zakat dengan barang selain barang dagangan juga diperbolehkan dalam kondisi tertentu, namun mengeluarkan zakat dalam bentuk uang tunai umumnya lebih disukai karena memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada penerima zakat.

Pemisahan antara THR dan Pembayaran zakat sangat disarankan.
Penambahan Informasi Penting:

Nisab dan Haul: Nisab zakat perdagangan setara dengan 85 gram emas, dan haul adalah kepemilikan selama satu tahun hijriah.

Perhitungan Zakat: Zakat perdagangan dihitung dari aset lancar usaha dikurangi utang jangka pendek, dengan tarif 2,5%.

Waktu Pembayaran: Meskipun sering dikaitkan dengan Ramadan, zakat perdagangan dapat dibayarkan kapan saja setelah mencapai haul.

Referensi  fiqih zakat Dr.Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi juz 1

هل يخرج التاجر زكاته من عين السلعة أم من قيمتها ؟
بعد تقويم السلع التجارية ، كما ذكرنا ، بقي أن نعرف : مم يخرج التاجر زكاته ؟ هل يجوز أن يخرجها جزءاً من البضاعة التي عنده ، أم يخرجها نقوداً بقيمة الواجب ؟
في ذلك عدة أقوال :
فيرى أبو حنيفة والشافعي في أحد أقواله : أن التاجر مخير بين اخراج الزكاة من قيمة السلعة ، وبين الاخراج من عينها ؛ فإذا كان تاجر ثياب يجوز أن يخرج من الثياب نفسها ، كما يجوز أن يخرج من قيمتها نقوداً ؛ وذلك ان

Apakah pedagang mengeluarkan zakatnya dari barang dagangan itu sendiri atau dari nilainya?
Setelah menilai barang dagangan, sebagaimana telah kami sebutkan, masih perlu diketahui: dari apa pedagang mengeluarkan zakatnya? Apakah boleh mengeluarkan sebagian dari barang dagangan yang dia miliki, atau mengeluarkan uang tunai senilai yang wajib?
Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat:
Abu Hanifah dan Syafi’i dalam salah satu pendapatnya berpendapat: bahwa pedagang diberi pilihan antara mengeluarkan zakat dari nilai barang dagangan, dan mengeluarkan dari barang dagangan itu sendiri; jika dia adalah pedagang pakaian, dia boleh mengeluarkan dari pakaian itu sendiri, sebagaimana dia boleh mengeluarkan uang tunai dari nilainya; dan itu karena

السلعة تجب فيها الزكاة فجاز اخراجها من عينها ، كسائر الأموال ( ۱ )
وهناك قول ثان للشافعي : انه يجب الاخراج من العين ولا يجوز من القيمة ( ٢ ) .
وقال المزنى : ان زكاة العروض من أعيانها لا من أثمانها ( ٣ ) .
ج – وقال أحمد والشافعي – في القول الآخر – بوجوب إخراج الزكاة من قيمة السلع لا من عينها ، لأن النصاب في التجارة معتبر بالقيمة ، فكانت الزكاة منها كالعين في سائر الأموال ( ٤ )
قال في المغني : ولا نسلم أن الزكاة وجبت في المال ، وإنما وجبت في قيمته ( ٥ )
وهذا الرأي الأخير هو الذي أرجحه نظراً لمصلحة الفقير ، فإنه يستطيع بالقيمة أن يشتري ما يلزم له ، أما عين السلعة فقد لا تنفعه ، فقد يكون في غنى عنها ، فيحتاج إلى بيعها بثمن بخس ، وهذا الرأي هو المتبع ، إذا كانت الحكومة هي التي تجمع الزكاة وتصرفها ؛ لأن ذلك هو الأليق والأيسر . ويمكن العمل بالرأي الأول في حالة واحدة بصفة استثنائية : أن يكون التاجر هو الذي يخرج زكاته بنفسه ، ويعلم أن الفقير في حاجة إلى عين السلعة ، فقد تحققت منفعته بها ، والمسألة دائرة على اعتبار المصلحة وليس فيها نص .
وبعد أن رجحت هذا رأيت لشيخ الإسلام ابن تيمية في فتاويه ما يؤيد هذا الترجيح : فقد سئل عن التاجر : هل يجوز أن يخرج قيمة ما وجب عليه من بعض الأصناف عنده ؟ فذكر في الجواب عن ذلك أقوالاً :
١ – يجوز مطلقاً .
٢ – لا يجوز مطلقاً .
٣ – يجوز في بعض الصور للحاجة أو المصلحة الراجحة .
قال : وهذا القول هو أعدل الأقوال ؛ فإن كان آخذ الزكاة يريد أن يشتري بها كسوة ، فاشترى رب المال له بها كسوة وأعطاه ، فقد أحسن اليه . وأما إذا قوم هو الثياب التي عنده وأعطاها ، فقد يقومها بأكثر من السعر ، وقد يأخذ الثياب من لا يحتاج اليها ، بل يبيعها ، فيغرم اجرة المنادي ( الدلال ) وربما خسرت فيكون في ذلك ضرر على الفقراء ) ( ١ ) .

———————–

١ – المغني ج ٣ ص ٣١ .
٢ – الروضة النووي ج ٢ ص ٢٧٣ .
٣ – بداية المجتهد ج ١ ص ٢٦٠ .
٤ – المغني ج ٢ ص ٣١ والروضة – المذكور .
٥ – المغني نفسه .

Barang dagangan yang wajib dizakati, maka boleh mengeluarkan zakat dari barang itu sendiri, seperti harta lainnya (1).
Ada pendapat kedua dari Imam Syafi’i: bahwa wajib mengeluarkan dari barang itu sendiri dan tidak boleh dari nilainya (2).
Al-Muzani berkata: bahwa zakat barang dagangan dari barangnya sendiri, bukan dari harganya (3).
C – Ahmad dan Syafi’i – dalam pendapat lain – berpendapat wajib mengeluarkan zakat dari nilai barang dagangan, bukan dari barangnya sendiri, karena nishab dalam perdagangan dianggap berdasarkan nilai, maka zakat darinya seperti uang tunai pada harta lainnya (4).
Dalam kitab Al-Mughni disebutkan: Kami tidak setuju bahwa zakat wajib atas harta, tetapi wajib atas nilainya (5).
Pendapat terakhir inilah yang saya kuatkan, dengan mempertimbangkan kemaslahatan fakir miskin, karena dengan nilai, ia dapat membeli apa yang dibutuhkannya, sedangkan barang dagangan itu sendiri mungkin tidak bermanfaat baginya, mungkin ia tidak membutuhkannya, sehingga ia perlu menjualnya dengan harga murah, dan pendapat inilah yang diikuti, jika pemerintah yang mengumpulkan dan menyalurkan zakat; karena itu lebih tepat dan mudah. Pendapat pertama dapat diterapkan dalam satu kondisi sebagai pengecualian: yaitu jika pedagang sendiri yang mengeluarkan zakatnya, dan mengetahui bahwa fakir miskin membutuhkan barang dagangan itu sendiri, maka manfaatnya telah terpenuhi, dan masalahnya berkisar pada pertimbangan kemaslahatan dan tidak ada nash (teks agama) di dalamnya.
Setelah saya menguatkan pendapat ini, saya melihat dalam fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mendukung penguatan ini: Beliau ditanya tentang pedagang: Apakah boleh mengeluarkan nilai dari sebagian jenis barang yang wajib dizakati yang ada padanya? Maka beliau menyebutkan dalam jawabannya beberapa pendapat:
1 – Boleh secara mutlak.
2 – Tidak boleh secara mutlak.
3 – Boleh dalam beberapa kondisi untuk kebutuhan atau kemaslahatan yang lebih kuat.
Beliau berkata: Pendapat ini adalah pendapat yang paling adil; jika penerima zakat ingin membeli pakaian dengannya, lalu pemilik harta membeli pakaian untuknya dan memberikannya, maka dia telah berbuat baik kepadanya. Adapun jika dia menilai sendiri pakaian yang ada padanya dan memberikannya, maka dia mungkin menilainya lebih tinggi dari harga pasar, dan mungkin dia mengambil pakaian dari orang yang tidak membutuhkannya, tetapi menjualnya, sehingga dia harus membayar upah juru lelang (perantara), dan mungkin rugi, sehingga hal itu merugikan orang-orang fakir) (1).
—————————-

1 – Al-Mughni, jilid 3, halaman 31.
2 – Ar-Raudhah An-Nawawi, jilid 2, halaman 273.
3 – Bidayatul Mujtahid, jilid 1, halaman 260.
4 – Al-Mughni, jilid 2, halaman 31, dan Ar-Raudhah – yang disebutkan.
5 – Al-Mughni, itu sendiri.

Referensi

الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ٢٣ص٢٦٨-٢٧٧

ثَالِثًا: زَكَاةُ عُرُوضِ التِّجَارَةِ:
٧٧ – التِّجَارَةُ تَقْلِيبُ الْمَال بِالْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ لِغَرَضِ تَحْصِيل الرِّبْحِ (٢) .
وَالْعَرْضُ بِسُكُونِ الرَّاءِ، هُوَ كُل مَالٍ سِوَى النَّقْدَيْنِ، قَال الْجَوْهَرِيُّ: الْعَرْضُ الْمَتَاعُ، وَكُل شَيْءٍ فَهُوَ عَرْضٌ سِوَى الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ فَإِنَّهُمَا عَيْنٌ، وَقَال أَبُو عُبَيْدٍ: الْعُرُوض الأَْمْتِعَةُ الَّتِي لاَ يَدْخُلُهَا كَيْلٌ وَلاَ وَزْنٌ وَلاَ يَكُونُ حَيَوَانًا وَلاَ عَقَارًا
أَمَّا الْعَرَضُ بِفَتْحَتَيْنِ فَهُوَ شَامِلٌ لِكُل أَنْوَاعِ الْمَال، قَل أَوْ كَثُرَ، قَال أَبُو عُبَيْدَةَ: جَمِيعُ مَتَاعِ الدُّنْيَا عَرَضٌ (١) . وَفِي الْحَدِيثِ: لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ (٢) .
وَعُرُوضُ التِّجَارَةِ جَمْعُ الْعَرْضِ بِسُكُونِ الرَّاءِ، وَهِيَ فِي اصْطِلاَحِ الْفُقَهَاءِ كُل مَا أُعِدَّ لِلتِّجَارَةِ كَائِنَةً مَا كَانَتْ سَوَاءٌ مِنْ جِنْسٍ تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ الْعَيْنِ كَالإِْبِل وَالْغَنَمِ وَالْبَقَرِ، أَوْ لاَ، كَالثِّيَابِ وَالْحَمِيرِ وَالْبِغَال (٣) .
حُكْمُ الزَّكَاةِ فِي عُرُوضِ التِّجَارَةِ:
٧٨ – جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ عَلَى أَنَّ الْمُفْتَى بِهِ هُوَ وُجُوبُ الزَّكَاةِ فِي عُرُوضِ التِّجَارَةِ، وَاسْتَدَلُّوا لِذَلِكَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ} (٤)
وَبِحَدِيثِ سَمُرَةَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نَعُدُّ لِلْبَيْعِ (٥)

وَحَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ مَرْفُوعًا: فِي الإِْبِل صَدَقَتُهَا، وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا، وَفِي الْبَزِّ صَدَقَتُهَا (١) وَقَال حَمَاسٌ: مَرَّ بِي عُمَرُ فَقَال: أَدِّ زَكَاةَ مَالِكَ. فَقُلْتُ: مَا لِي إِلاَّ جِعَابُ أُدْمٍ. فَقَال: قَوِّمْهَا ثُمَّ أَدِّ زَكَاتَهَا. وَلأَِنَّهَا مُعَدَّةٌ لِلنَّمَاءِ بِإِعْدَادِ صَاحِبِهَا فَأَشْبَهَتِ الْمُعَدَّ لِذَلِكَ خِلْقَةً كَالسَّوَائِمِ وَالنَّقْدَيْنِ.
شُرُوطُ وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الْعُرُوضِ:
الشَّرْطُ الأَْوَّل: أَنْ لاَ يَكُونَ لِزَكَاتِهَا سَبَبٌ آخَرُ غَيْرُ كَوْنِهَا عُرُوضَ تِجَارَةٍ:

Zakat Harta Perdagangan
Ketiga: Zakat Harta Perdagangan.

Perdagangan adalah memutar harta dengan jual beli untuk tujuan memperoleh keuntungan.
‘Ardh (dengan sukun ra’) adalah setiap harta selain uang tunai. Al-Jauhari berkata, “‘Ardh adalah barang dagangan, dan segala sesuatu adalah ‘aradh selain dirham dan dinar, karena keduanya adalah ‘ain (uang tunai).” Abu Ubaid berkata, “‘Urudh adalah barang-barang yang tidak termasuk takaran atau timbangan, dan bukan hewan atau properti.” Adapun ‘aradh (dengan fathahain) mencakup semua jenis harta, sedikit atau banyak. Abu Ubaidah berkata, “Semua barang dunia adalah ‘aradh.” Dalam hadits disebutkan, “Kekayaan bukanlah karena banyaknya ‘aradh.”
‘Urudh at-tijarah adalah jamak dari ‘aradh (dengan sukun ra’), dan dalam istilah fuqaha adalah segala sesuatu yang disiapkan untuk diperdagangkan, apa pun itu, baik dari jenis yang wajib dizakati ‘ain seperti unta, kambing, dan sapi, atau tidak, seperti pakaian, keledai, dan bagal.
Hukum Zakat dalam Harta Perdagangan
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa yang difatwakan adalah wajibnya zakat dalam harta perdagangan. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.”
Dan hadits Samurah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah dari apa yang kami siapkan untuk dijual.”
Dan hadits Abu Dzar marfu’, “Pada unta ada sedekahnya, pada kambing ada sedekahnya, dan pada kain ada sedekahnya.” Hammas berkata, “Umar lewat di hadapanku dan berkata, ‘Keluarkanlah zakat hartamu.’ Aku berkata, ‘Aku tidak punya apa-apa selain kantong kulit.’ Dia berkata, ‘Takarlah nilainya, kemudian keluarkanlah zakatnya.'” Karena harta perdagangan disiapkan untuk berkembang biak dengan persiapan pemiliknya, maka ia menyerupai harta yang disiapkan untuk itu secara alami seperti hewan ternak dan uang tunai.
Syarat Wajib Zakat dalam Harta Perdagangan

*Syarat pertama* : Bahwa zakatnya tidak memiliki sebab lain selain sebagai harta perdagangan.

أ – السَّوَائِمُ الَّتِي لِلتِّجَارَةِ:
٧٩ – فَلَوْ كَانَ لَدَيْهِ سَوَائِمُ لِلتِّجَارَةِ بَلَغَتْ نِصَابًا، فَلاَ تَجْتَمِعُ زَكَاتَانِ إِجْمَاعًا، لِحَدِيثِ: لاَ ثَنْيَ فِي الصَّدَقَةِ (٢) بَل يَكُونُ فِيهَا زَكَاةُ الْعَيْنِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ فِي الْجَدِيدِ، كَأَنْ كَانَ عِنْدَهُ خَمْسٌ مِنَ الإِْبِل لِلتِّجَارَةِ فَفِيهَا شَاةٌ، وَلاَ تُعْتَبَرُ الْقِيمَةُ، فَإِنْ كَانَتْ أَقَل مِنْ خَمْسٍ فَإِنَّهَا تُقَوَّمُ فَإِنْ بَلَغَتْ نِصَابًا مِنَ الأَْثْمَانِ وَجَبَتْ فِيهَا زَكَاةُ الْقِيمَةِ.
وَإِنَّمَا قَدَّمُوا زَكَاةَ الْعَيْنِ عَلَى زَكَاةِ التِّجَارَةِ لأَِنَّ زَكَاةَ الْعَيْنِ أَقْوَى ثُبُوتًا لاِنْعِقَادِ الإِْجْمَاعِ عَلَيْهَا، وَاخْتِصَاصِ الْعَيْنِ بِهَا، فَكَانَتْ أَوْلَى.
وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهَا تُزَكَّى زَكَاةَ التِّجَارَةِ لأَِنَّهَا أَحَظُّ لِلْمَسَاكِينِ؛ لأَِنَّهَا تَجِبُ فِيمَا زَادَ بِالْحِسَابِ، لَكِنْ قَال الْحَنَابِلَةُ: إِنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ نِصَابَ سَائِمَةٍ وَلَمْ تَبْلُغْ قِيمَتُهُ نِصَابًا مِنَ الأَْثْمَانِ فَلاَ تَسْقُطُ الزَّكَاةُ، بَل تَجِبُ زَكَاةُ السَّائِمَةِ، كَمَنْ عِنْدَهُ خَمْسٌ مِنَ الإِْبِل لِلتِّجَارَةِ لَمْ تَبْلُغْ قِيمَتُهَا مِائَتَيْ دِرْهَمٍ، فَفِيهَا شَاةٌ.
وَنَظِيرُ هَذَا عِنْدَ الْفُقَهَاءِ غَلَّةُ مَال التِّجَارَةِ، كَأَنْ يَكُونَ ثَمَرًا مِمَّا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ إِنْ كَانَ الشَّجَرُ لِلتِّجَارَةِ (١) .
ب – الْحُلِيُّ وَالْمَصْنُوعَاتُ الذَّهَبِيَّةُ وَالْفِضِّيَّةُ الَّتِي لِلتِّجَارَةِ:
٨٠ – أَمَّا الْمَصُوغَاتُ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ إِنْ كَانَتْ لِلتِّجَارَةِ، فَقَدْ ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ لَيْسَ فِيهَا زَكَاةٌ إِنْ كَانَتْ أَقَل مِنْ نِصَابٍ بِالْوَزْنِ، وَلَوْ زَادَتْ قِيمَتُهَا عَنْ نِصَابٍ بِسَبَبِ الْجَوْدَةِ أَوِ الصَّنْعَةِ، وَيُزَكَّى عَلَى أَسَاسِ الْقِيمَةِ الشَّامِلَةِ أَيْضًا لِمَا فِيهِ مِنَ الْجَوَاهِرِ الْمُرَصَّعَةِ (٢) .

A. Hewan Ternak yang Diperdagangkan:

Jika seseorang memiliki hewan ternak yang diperdagangkan dan mencapai nishab, maka tidak ada penggabungan dua zakat secara ijma’. Hal ini berdasarkan hadits: “Tidak ada pengulangan dalam sedekah.” Sebaliknya, yang berlaku adalah zakat ‘ain (zakat hewan ternak itu sendiri) menurut Malikiyah dan Syafi’iyah dalam pendapat baru mereka. Misalnya, jika seseorang memiliki lima ekor unta yang diperdagangkan, maka zakatnya adalah seekor kambing, dan nilai unta tersebut tidak diperhitungkan. Jika kurang dari lima ekor, maka nilainya ditaksir, dan jika mencapai nishab dari harga, maka wajib zakat nilai.
Mereka (Malikiyah dan Syafi’iyah) mendahulukan zakat ‘ain daripada zakat perdagangan karena zakat ‘ain lebih kuat penetapannya karena adanya ijma’ atasnya dan kekhususan ‘ain dengannya, sehingga lebih utama.
Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hewan ternak tersebut dizakati sebagai zakat perdagangan karena lebih menguntungkan bagi orang miskin, karena wajib atas kelebihan berdasarkan perhitungan. Namun, Hanabilah berkata: Jika hewan ternak tersebut mencapai nishab hewan ternak dan nilainya tidak mencapai nishab dari harga, maka zakat tidak gugur, tetapi wajib zakat hewan ternak. Misalnya, seseorang memiliki lima ekor unta yang diperdagangkan, dan nilainya tidak mencapai dua ratus dirham, maka zakatnya adalah seekor kambing.
Hal serupa dalam pandangan fuqaha adalah hasil dari harta perdagangan, seperti buah-buahan yang wajib dizakati jika pohonnya diperdagangkan.

B. Perhiasan dan Barang-barang yang Terbuat dari Emas dan Perak yang Diperdagangkan:
Adapun barang-barang yang terbuat dari emas dan perak jika diperdagangkan, maka Malikiyah berpendapat bahwa tidak ada zakat atasnya jika kurang dari nishab berdasarkan berat, meskipun nilainya melebihi nishab karena kualitas atau pengerjaan. Zakat dihitung berdasarkan nilai yang mencakup juga permata yang bertatahkan.

أَمَّا الْحَنَابِلَةُ فَقَدْ صَرَّحُوا بِأَنَّ الصِّنَاعَةَ الْمُحَرَّمَةَ لاَ تُقَوَّمُ لِعَدَمِ الاِعْتِدَادِ بِهَا شَرْعًا، أَمَّا الصَّنْعَةُ الْمُبَاحَةُ فَتَدْخُل فِي التَّقْوِيمِ إِنْ كَانَ الْحُلِيُّ لِلتِّجَارَةِ، وَيُعْتَبَرُ النِّصَابُ بِالْقِيمَةِ كَسَائِرِ أَمْوَال التِّجَارَةِ، وَيُقَوَّمُ بِنَقْدٍ آخَرَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ، فَإِنْ كَانَ مِنْ ذَهَبٍ قُوِّمَ بِفِضَّةٍ، وَبِالْعَكْسِ، إِنْ كَانَ تَقْوِيمُهُ بِنَقْدٍ آخَرَ أَحَظَّ لِلْفُقَرَاءِ، أَوْ نَقَصَ عَنْ نِصَابِهِ، كَخَوَاتِمَ فِضَّةٍ لِتِجَارَةٍ زِنَتُهَا (مِائَةٌ وَتِسْعُونَ دِرْهَمًا) وَقِيمَتُهَا (عِشْرُونَ) مِثْقَالاً ذَهَبًا، فَيُزَكِّيهَا بِرُبُعِ عُشْرِ قِيمَتِهَا، فَإِنْ كَانَ وَزْنُهَا (مِائَتَيْ) دِرْهَمٍ، وَقِيمَتُهَا تِسْعَةَ عَشَرَ مِثْقَالاً وَجَبَ أَنْ لاَ تُقَوَّمَ، وَأَخْرَجَ رُبُعَ عُشْرِهَا (١) .
وَيَظْهَرُ مِنْ كَلاَمِ ابْنِ عَابِدِينَ أَنَّ مَذْهَبَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ الْعِبْرَةَ فِي الْحُلِيِّ وَالْمَصْنُوعِ مِنَ النَّقْدَيْنِ بِالْوَزْنِ مِنْ حَيْثُ النِّصَابُ وَمِنْ حَيْثُ قَدْرُ الْمُخْرَجِ، وَعِنْدَ زُفَرَ الْمُعْتَبَرُ الْقِيمَةُ، وَعِنْدَ مُحَمَّدٍ الأَْنْفَعُ لِلْفُقَرَاءِ (٢) .
وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ فِي مَصُوغِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الَّذِي لِلتِّجَارَةِ هَل يُزَكَّى زَكَاةَ الْعَيْنِ أَوْ زَكَاةَ الْقِيمَةِ قَوْلاَنِ (٣) .
ج – الأَْرَاضِي الزِّرَاعِيَّةُ الَّتِي لِلتِّجَارَةِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا:

Menurut Mazhab Hanbali:

Mereka secara tegas menyatakan bahwa kerajinan yang haram tidak dinilai karena tidak diakui secara syariat.

Adapun kerajinan yang mubah (diperbolehkan), maka dimasukkan dalam penilaian jika perhiasan tersebut untuk tujuan perdagangan.

Nishab (batas minimum wajib zakat) dihitung berdasarkan nilai, seperti halnya harta perdagangan lainnya.

Penilaian dilakukan dengan mata uang lain yang berbeda jenisnya. Jika berupa emas, dinilai dengan perak, dan sebaliknya, jika penilaian dengan mata uang lain lebih menguntungkan bagi fakir miskin, atau jika kurang dari nishabnya.

Contoh: Cincin perak untuk perdagangan dengan berat 190 dirham dan nilai 20 mitsqal emas, maka dizakati sebesar seperempat dari sepersepuluh nilainya.
Jika beratnya 200 dirham dan nilainya 19 mitsqal, maka tidak wajib dinilai, dan dikeluarkan seperempat dari sepersepuluhnya.
Pendapat Ibnu Abidin dari Mazhab Hanafi:
Tampak dari perkataan Ibnu Abidin bahwa mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang menjadi patokan dalam perhiasan dan barang yang terbuat dari dua logam mulia (emas dan perak) adalah beratnya, baik dari segi nishab maupun dari segi kadar yang dikeluarkan.
Menurut Zufar, yang menjadi patokan adalah nilai.
Menurut Muhammad, yang paling bermanfaat bagi fakir miskin.

Menurut Mazhab Syafi’i:

Dalam hal barang yang terbuat dari emas dan perak yang diperdagangkan, terdapat dua pendapat mengenai apakah dizakati sebagai zakat ‘ain (barang itu sendiri) atau zakat nilai.

C. Lahan Pertanian untuk Perdagangan dan Hasilnya:

٨١ – ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي الْخَارِجِ مِنَ الأَْرْضِ الزِّرَاعِيَّةِ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ، وَلاَ يَجِبُ الزَّكَاةُ فِي قِيمَةِ الأَْرْضِ الْعُشْرِيَّةِ وَلَوْ كَانَتْ لِلتِّجَارَةِ، وَهَذَا إِنْ كَانَ قَدْ زَرَعَ الأَْرْضَ الْعُشْرِيَّةَ فِعْلاً وَوَجَبَ فِيهَا الْعُشْرُ؛ لِئَلاَّ يَجْتَمِعَ حَقَّانِ لِلَّهِ تَعَالَى فِي مَالٍ وَاحِدٍ. فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا تَجِبُ زَكَاةُ التِّجَارَةِ فِيهَا لِعَدَمِ وُجُوبِ الْعُشْرِ، فَلَمْ يُوجَدِ الْمَانِعُ، بِخِلاَفِ الْخَرَاجِ الْمُوَظَّفِ فَإِنَّهُ يَجِبُ فِيهَا وَلَوْ عُطِّلَتْ أَيْ لأَِنَّهُ كَالأُْجْرَةِ (١) 

81. Mazhab Hanafi berpendapat:


Zakat wajib dikeluarkan dari hasil bumi pertanian, baik berupa buah-buahan maupun tanaman.

Zakat tidak wajib atas nilai tanah ‘ushriyah (tanah yang dikenakan ‘ushr), meskipun tanah tersebut diperdagangkan.

Hal ini berlaku jika tanah ‘ushriyah tersebut benar-benar ditanami dan ‘ushr wajib atasnya, agar tidak terkumpul dua hak Allah Ta’ala dalam satu harta.

Jika tanah tersebut tidak ditanami, maka zakat perdagangan wajib atasnya karena ‘ushr tidak wajib, sehingga tidak ada penghalang.

Berbeda dengan kharaj (pajak tanah) yang ditetapkan, maka wajib atasnya meskipun tidak ditanami, karena ia seperti sewa.

Adapun menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali:

Zakat atas pokok tanah wajib seperti halnya barang dagangan lainnya dalam segala kondisi.
Kemudian, mayoritas ulama berbeda pendapat dalam cara menzakati hasil bumi:

Secara umum, dalam Islam, zakat hasil pertanian, seperti gandum dan kurma, dikenakan jika mencapai nishab (batas minimum). Besaran zakatnya berbeda tergantung cara pengairannya:
10% jika diairi dengan air hujan atau sungai alami.
  5% jika diairi dengan alat atau biaya tambahan.
Perbedaan pendapat ini terjadi karena adanya perbedaan dalam penafsiran nash-nash yang ada, serta perbedaan dalam melihat kemaslahatan.

أَمَّا عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ فَيَجِبُ زَكَاةُ رَقَبَةِ الأَْرْضِ كَسَائِرِ عُرُوضِ التِّجَارَةِ بِكُل حَالٍ.
ثُمَّ اخْتَلَفَ الْجُمْهُورُ فِي كَيْفِيَّةِ تَزْكِيَةِ الْغَلَّةِ.

“Adapun menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, zakat atas pokok tanah wajib seperti halnya barang dagangan lainnya dalam segala kondisi. Kemudian, mayoritas ulama berbeda pendapat dalam cara menzakati hasil bumi

فَمَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّ النَّاتِجَ مِنَ الأَْرْضِ الزِّرَاعِيَّةِ الَّتِي لِلتِّجَارَةِ لاَ زَكَاةَ فِي قِيمَتِهِ فِي عَامِهِ اتِّفَاقًا إِنْ كَانَتْ قَدْ وَجَبَتْ فِيهِ زَكَاةُ النَّبَاتِ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِيهِ لِنَقْصِهِ عَنْ نِصَابِ الزَّرْعِ أَوِ الثَّمَرِ، تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ التِّجَارَةِ، وَكَذَا فِي عَامِهِ الثَّانِي وَمَا بَعْدَهُ (٢) .
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ عَلَى الأَْصَحِّ عِنْدَهُمْ وَالْقَاضِي مِنَ الْحَنَابِلَةِ: يُزَكَّى الْجَمِيعُ زَكَاةَ الْقِيمَةِ، لأَِنَّهُ كُلَّهُ مَال تِجَارَةٍ، فَتَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ التِّجَارَةِ، كَالسَّائِمَةِ الْمُعَدَّةِ لِلتِّجَارَةِ. قَال الشَّافِعِيَّةُ: وَيُزَكَّى التِّبْنُ أَيْضًا وَالأَْغْصَانُ
وَالأَْوْرَاقُ وَغَيْرُهَا إِنْ كَانَ لَهَا قِيمَةٌ، كَسَائِرِ مَال التِّجَارَةِ (١) .
وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ وَأَبُو ثَوْرٍ إِلَى أَنَّهُ يَجْتَمِعُ فِي الْعُشْرِيَّةِ الْعُشْرُ وَزَكَاةُ التِّجَارَةِ، لأَِنَّ زَكَاةَ التِّجَارَةِ فِي الْقِيمَةِ، وَالْعُشْرَ فِي الْخَارِجِ، فَلَمْ يَجْتَمِعَا فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ؛ وَلأَِنَّ زَكَاةَ الْعُشْرِ فِي الْغَلَّةِ أَحَظُّ لِلْفُقَرَاءِ مِنْ زَكَاةِ التِّجَارَةِ فَإِنَّهَا رُبُعُ الْعُشْرِ، وَمِنْ هُنَا فَارَقَتْ عِنْدَهُمْ زَكَاةَ السَّائِمَةِ الْمُتَّجَرِ بِهَا، فَإِنَّ زَكَاةَ السَّوْمِ أَقَل مِنْ زَكَاةِ التِّجَارَةِ (٢)

“Mazhab Maliki berpendapat bahwa hasil dari tanah pertanian yang diperuntukkan untuk perdagangan tidak dikenakan zakat atas nilainya pada tahun itu, secara sepakat, jika telah dikenakan zakat tanaman. Namun, jika tidak dikenakan karena kurang dari nisab tanaman atau buah, maka dikenakan zakat perdagangan, begitu pula pada tahun kedua dan seterusnya.
Mazhab Syafi’i, menurut pendapat yang paling sahih di antara mereka, dan Qadhi dari mazhab Hanbali, berpendapat: semua hasil pertanian dikenakan zakat atas nilainya, karena semuanya adalah harta perdagangan, sehingga dikenakan zakat perdagangan, seperti hewan ternak yang diperuntukkan untuk perdagangan. Mazhab Syafi’i mengatakan: jerami, ranting, daun, dan lainnya juga dikenakan zakat jika memiliki nilai, seperti halnya harta perdagangan lainnya.
Mazhab Hanbali dan Abu Tsaur berpendapat bahwa dalam tanah pertanian yang dikenakan sepersepuluh (usyur), dikenakan baik sepersepuluh maupun zakat perdagangan, karena zakat perdagangan dikenakan atas nilai, sedangkan sepersepuluh dikenakan atas hasil panen, sehingga keduanya tidak dikenakan pada hal yang sama. Selain itu, zakat sepersepuluh atas hasil panen lebih menguntungkan bagi fakir miskin daripada zakat perdagangan, yang hanya seperempat dari sepersepuluh. Dari sini, mereka membedakan dengan zakat hewan ternak yang diperdagangkan, karena zakat hewan ternak lebih sedikit daripada zakat perdagangan.”

الشَّرْطُ الثَّانِي: تَمَلُّكُ الْعَرْضِ بِمُعَاوَضَةٍ:
٨٢ – يُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ قَدْ تَمَلَّكَ الْعَرْضَ بِمُعَاوَضَةٍ كَشِرَاءٍ بِنَقْدٍ أَوْ عَرْضٍ أَوْ بِدَيْنٍ حَالٍّ أَوْ مُؤَجَّلٍ، وَكَذَا لَوْ كَانَ مَهْرًا أَوْ عِوَضَ خُلْعٍ.
وَهَذَا مَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ، وَمُحَمَّدٍ، فَلَوْ مَلَكَهُ بِإِرْثٍ أَوْ بِهِبَةٍ أَوِ احْتِطَابٍ أَوِ اسْتِرْدَادٍ بِعَيْبٍ وَاسْتِغْلاَل أَرْضِهِ بِالزِّرَاعَةِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ فَلاَ زَكَاةَ فِيهِ.
قَالُوا: لأَِنَّ التِّجَارَةَ كَسْبُ الْمَال بِبَدَلٍ هُوَ مَالٌ، وَقَبُول الْهِبَةِ مَثَلاً اكْتِسَابٌ بِغَيْرِ بَدَلٍ أَصْلاً.
وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ فِي مُقَابِل الأَْصَحِّ أَنَّ الْمَهْرَ
وَعِوَضَ الْخُلْعِ لاَ يُزَكَّيَانِ زَكَاةَ التِّجَارَةِ.
وَقَال الْحَنَابِلَةُ وَأَبُو يُوسُفَ: الشَّرْطُ أَنْ يَكُونَ قَدْ مَلَكَهُ بِفِعْلِهِ، سَوَاءٌ كَانَ بِمُعَاوَضَةٍ أَوْ غَيْرِهَا مِنْ أَفْعَالِهِ، كَالاِحْتِطَابِ وَقَبُول الْهِبَةِ، فَإِنْ دَخَل فِي مِلْكِهِ بِغَيْرِ فِعْلِهِ، كَالْمَوْرُوثِ، أَوْ مُضِيِّ حَوْل التَّعْرِيفِ فِي اللُّقَطَةِ، فَلاَ زَكَاةَ فِيهِ.
وَفِي رِوَايَةٍ عَنْ أَحْمَدَ: لاَ يُعْتَبَرُ أَنْ يَمْلِكَ الْعَرْضَ بِفِعْلِهِ، وَلاَ أَنْ يَكُونَ فِي مُقَابَلَةِ عِوَضٍ، بَل أَيُّ عَرْضٍ نَوَاهُ لِلتِّجَارَةِ كَانَ لَهَا (١) ، لِحَدِيثِ سَمُرَةَ: أَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نَعُدُّ لِلْبَيْعِ (٢) 

*“Syarat Kedua:* Kepemilikan Harta Melalui Pertukaran

82 – Disyaratkan bahwa harta tersebut diperoleh melalui pertukaran, seperti pembelian dengan uang tunai, barang, atau hutang yang segera atau ditangguhkan. Demikian pula jika harta tersebut diperoleh sebagai mahar atau pengganti khulu’.
Ini adalah mazhab Maliki, Syafi’i, dan Muhammad. Jika harta tersebut diperoleh melalui warisan, hibah, hasil pemungutan kayu bakar, pengembalian karena cacat, atau pemanfaatan tanah melalui pertanian atau sejenisnya, maka tidak ada zakat atasnya.
Mereka berkata: Karena perdagangan adalah memperoleh harta dengan pengganti yang juga berupa harta, sedangkan menerima hibah, misalnya, adalah memperoleh harta tanpa pengganti sama sekali.
Menurut mazhab Syafi’i, dalam pendapat yang berlawanan dengan pendapat yang paling sahih, mahar dan pengganti khulu’ tidak dikenakan zakat perdagangan.
Mazhab Hanbali dan Abu Yusuf berpendapat: Syaratnya adalah harta tersebut diperoleh melalui perbuatannya sendiri, baik melalui pertukaran maupun perbuatan lainnya, seperti memungut kayu bakar dan menerima hibah. Jika harta tersebut masuk ke dalam kepemilikannya bukan melalui perbuatannya sendiri, seperti warisan atau berakhirnya masa pengumuman barang temuan, maka tidak ada zakat atasnya.
Dalam riwayat dari Ahmad, tidak dianggap syarat bahwa harta tersebut diperoleh melalui perbuatannya sendiri, atau bahwa harta tersebut diperoleh sebagai pengganti. Bahkan, harta apa pun yang diniatkan untuk perdagangan, maka dikenakan zakat perdagangan, berdasarkan hadis Samurah: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah dari apa yang kami siapkan untuk dijual.”

الشَّرْطُ الثَّالِثُ: نِيَّةُ التِّجَارَةِ:
٨٣ – اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يُشْتَرَطُ فِي زَكَاةِ مَال التِّجَارَةِ أَنْ يَكُونَ قَدْ نَوَى عِنْدَ شِرَائِهِ أَوْ تَمَلُّكِهِ أَنَّهُ لِلتِّجَارَةِ، وَالنِّيَّةُ الْمُعْتَبَرَةُ هِيَ مَا كَانَتْ مُقَارِنَةً لِدُخُولِهِ فِي مِلْكِهِ؛ لأَِنَّ التِّجَارَةَ عَمَلٌ فَيَحْتَاجُ إِلَى النِّيَّةِ مَعَ الْعَمَل، فَلَوْ مَلَكَهُ لِلْقُنْيَةِ ثُمَّ نَوَاهُ لِلتِّجَارَةِ لَمْ يَصِرْ لَهَا، وَلَوْ مَلَكَ لِلتِّجَارَةِ ثُمَّ نَوَاهُ لِلْقُنْيَةِ وَأَنْ لاَ يَكُونَ لِلتِّجَارَةِ صَارَ لِلْقُنْيَةِ، وَخَرَجَ عَنْ أَنْ يَكُونَ مَحَلًّا لِلزَّكَاةِ وَلَوْ عَادَ فَنَوَاهُ لِلتِّجَارَةِ لأَِنَّ تَرْكَ التِّجَارَةِ، مِنْ قَبِيل التُّرُوكِ، وَالتَّرْكُ يُكْتَفَى فِيهِ بِالنِّيَّةِ كَالصَّوْمِ. قَال الدُّسُوقِيُّ: وَلأَِنَّ النِّيَّةَ سَبَبٌ ضَعِيفٌ تَنْقُل إِلَى الأَْصْل وَلاَ تَنْقُل عَنْهُ، وَالأَْصْل فِي الْعُرُوضِ الْقُنْيَةُ. وَقَال ابْنُ الْهُمَامِ: لَمَّا لَمْ تَكُنِ الْعُرُوض لِلتِّجَارَةِ خِلْقَةً فَلاَ تَصِيرُ لَهَا إِلاَّ بِقَصْدِهَا فِيهِ.
وَاسْتَثْنَى الْحَنَفِيَّةُ مِمَّا يَحْتَاجُ لِلنِّيَّةِ مَا يَشْتَرِيهِ الْمُضَارِبُ، فَإِنَّهُ يَكُونُ لِلتِّجَارَةِ مُطْلَقًا؛ لأَِنَّهُ لاَ يَمْلِكُ بِمَال الْمُضَارَبَةِ غَيْرَ الْمُتَاجَرَةِ بِهِ.
وَلَوْ أَنَّهُ آجَرَ دَارَهُ الْمُشْتَرَاةَ لِلتِّجَارَةِ بِعَرْضٍ، فَعِنْدَ بَعْضِ الْحَنَفِيَّةِ لاَ يَكُونُ الْعَرْضُ لِلتِّجَارَةِ إِلاَّ بِنِيَّتِهَا، وَقَال بَعْضُهُمْ: هُوَ لِلتِّجَارَةِ بِغَيْرِ نِيَّةٍ.
قَال الْمَالِكِيَّةُ: وَلَوْ قَرَنَ بِنِيَّةِ التِّجَارَةِ نِيَّةَ اسْتِغْلاَل الْعَرْضِ، بِأَنْ يَنْوِيَ عِنْدَ شِرَائِهِ أَنْ يُكْرِيَهُ وَإِنْ وَجَدَ رِبْحًا بَاعَهُ، فَفِيهِ الزَّكَاةُ عَلَى الْمُرَجَّحِ عِنْدَهُمْ، وَكَذَا لَوْ نَوَى مَعَ التِّجَارَةِ الْقُنْيَةَ بِأَنْ يَنْوِيَ الاِنْتِفَاعَ بِالشَّيْءِ كَرُكُوبِ الدَّابَّةِ أَوْ سُكْنَى الْمَنْزِل ثُمَّ إِنْ وَجَدَ رِبْحًا بَاعَهُ.
قَالُوا: فَإِنْ مَلَكَهُ لِلْقُنْيَةِ فَقَطْ، أَوْ لِلْغَلَّةِ فَقَطْ أَوْ لَهُمَا، أَوْ بِلاَ نِيَّةٍ أَصْلاً فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ (١) 

*“Syarat Ketiga:* Niat untuk Berdagang
83 – Para ahli fikih sepakat bahwa disyaratkan dalam zakat harta perdagangan agar seseorang telah berniat ketika membeli atau memiliki harta tersebut bahwa itu untuk perdagangan. Niat yang dianggap sah adalah niat yang menyertai masuknya harta ke dalam kepemilikannya. Karena perdagangan adalah tindakan, maka diperlukan niat yang menyertai tindakan tersebut. Jika seseorang memiliki harta untuk kepemilikan pribadi, kemudian berniat untuk memperdagangkannya, maka harta tersebut tidak menjadi harta perdagangan. Jika seseorang memiliki harta untuk perdagangan, kemudian berniat untuk kepemilikan pribadi dan tidak untuk perdagangan, maka harta tersebut menjadi harta kepemilikan pribadi dan keluar dari status sebagai objek zakat, meskipun kemudian ia berniat untuk memperdagangkannya lagi. Karena meninggalkan perdagangan termasuk dalam kategori tindakan yang ditinggalkan, dan dalam hal ini cukup dengan niat, seperti puasa. Imam Dasuqi berkata: Karena niat adalah sebab yang lemah, yang memindahkan harta ke asal (perdagangan) tetapi tidak memindahkannya dari asal (kepemilikan pribadi), dan asal dari barang dagangan adalah kepemilikan pribadi. Ibnu Humam berkata: Karena barang dagangan pada dasarnya bukan untuk perdagangan, maka tidak menjadi harta perdagangan kecuali dengan niat untuk itu.

Mazhab Hanafi mengecualikan dari apa yang memerlukan niat, yaitu apa yang dibeli oleh mudharib (pengelola modal), karena itu menjadi harta perdagangan secara mutlak. Karena mudharib tidak memiliki hak untuk menggunakan modal mudharabah selain untuk perdagangan.
Jika seseorang menyewakan rumahnya yang dibeli untuk perdagangan dengan barang dagangan lain, maka menurut sebagian ulama mazhab Hanafi, barang dagangan tersebut tidak menjadi harta perdagangan kecuali dengan niat. Sebagian yang lain berkata: itu menjadi harta perdagangan tanpa niat.

Mazhab Maliki berkata: Jika seseorang menggabungkan niat perdagangan dengan niat memanfaatkan barang dagangan, dengan berniat ketika membelinya untuk menyewakannya dan jika menemukan keuntungan, ia akan menjualnya, maka menurut pendapat yang kuat di antara mereka, dikenakan zakat. Demikian pula jika ia berniat untuk perdagangan sekaligus kepemilikan pribadi, dengan berniat untuk memanfaatkan barang tersebut, seperti menunggangi hewan atau tinggal di rumah, kemudian jika menemukan keuntungan, ia akan menjualnya.
Mereka berkata: Jika seseorang memiliki harta hanya untuk kepemilikan pribadi, atau hanya untuk hasil panen, atau untuk keduanya, atau tanpa niat sama sekali, maka tidak ada zakat atasnya.”

الشَّرْطُ الرَّابِعُ: بُلُوغُ النِّصَابِ:
٨٤ – وَنِصَابُ الْعُرُوضِ بِالْقِيمَةِ، وَيُقَوَّمُ بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ، فَلاَ زَكَاةَ فِي مَا يَمْلِكُهُ الإِْنْسَانُ مِنَ الْعُرُوضِ إِنْ كَانَتْ قِيمَتُهَا أَقَل مِنْ نِصَابِ الزَّكَاةِ فِي الذَّهَبِ أَوِ الْفِضَّةِ، مَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مِنَ الذَّهَبِ أَوِ الْفِضَّةِ نِصَابٌ أَوْ تَكْمِلَةُ نِصَابٍ.
وَتُضَمُّ الْعُرُوضُ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ فِي تَكْمِيل النِّصَابِ وَإِنِ اخْتَلَفَتْ أَجْنَاسُهَا.
وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيمَا تُقَوَّمُ بِهِ عُرُوضُ التِّجَارَةِ: بِالذَّهَبِ أَمْ بِالْفِضَّةِ.
فَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ وَأَبُو حَنِيفَةَ فِي رِوَايَةٍ عَنْهُ عَلَيْهَا الْمَذْهَبُ، إِلَى أَنَّهَا تُقَوَّمُ بِالأَْحَظِّ لِلْفُقَرَاءِ، فَإِنْ كَانَ إِذَا قَوَّمَهَا بِأَحَدِهِمَا لاَ تَبْلُغُ نِصَابًا وَبِالآْخَرِ تَبْلُغُ نِصَابًا تَعَيَّنَ عَلَيْهِ التَّقْوِيمُ بِمَا يَبْلُغُ نِصَابًا.
وَقَال أَبُو حَنِيفَةَ فِي رِوَايَةٍ عَنْهُ: يُخَيَّرُ الْمَالِكُ فِيمَا يُقَوِّمُ بِهِ لأَِنَّ الثَّمَنَيْنِ فِي تَقْدِيرِ قِيَمِ الأَْشْيَاءِ بِهِمَا سَوَاءٌ (١) .
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ وَأَبُو يُوسُفَ: يُقَوِّمُهَا بِمَا اشْتَرَى بِهِ مِنَ النَّقْدَيْنِ، وَإِنِ اشْتَرَاهَا بِعَرْضٍ قَوَّمَهَا بِالنَّقْدِ الْغَالِبِ فِي الْبَلَدِ، وَقَال مُحَمَّدٌ: يُقَوِّمُهَا بِالنَّقْدِ الْغَالِبِ عَلَى كُل حَالٍ كَمَا فِي الْمَغْصُوبِ وَالْمُسْتَهْلَكِ.
وَلَمْ نَجِدْ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ تَعَرُّضًا لِمَا تُقَوَّمُ بِهِ السِّلَعُ، مَعَ أَنَّهُمْ قَالُوا: إِنَّهَا لاَ زَكَاةَ فِيهَا مَا لَمْ تَبْلُغْ نِصَابًا
. نَقْصُ قِيمَةِ التِّجَارَةِ فِي الْحَوْل عَنِ النِّصَابِ

*“Syarat Keempat:*
Mencapai Nisab
84 – Nisab barang dagangan dihitung berdasarkan nilai, dan dinilai dengan emas atau perak. Tidak ada zakat atas barang dagangan yang dimiliki seseorang jika nilainya kurang dari nisab zakat emas atau perak, kecuali jika ia memiliki emas atau perak yang mencapai nisab atau pelengkap nisab.
Barang dagangan digabungkan satu sama lain dalam melengkapi nisab, meskipun jenisnya berbeda.
Para ahli fikih berbeda pendapat tentang apa yang digunakan untuk menilai barang dagangan: emas atau perak.

Mazhab Hanbali dan Abu Hanifah, dalam riwayat yang menjadi dasar mazhabnya, berpendapat bahwa barang dagangan dinilai dengan yang paling menguntungkan bagi fakir miskin. Jika penilaian dengan salah satu dari keduanya tidak mencapai nisab, sedangkan dengan yang lain mencapai nisab, maka wajib baginya untuk menilai dengan yang mencapai nisab.

Abu Hanifah, dalam riwayat lain, berpendapat: Pemilik diberi pilihan dalam menilai barang dagangannya, karena kedua mata uang tersebut sama dalam perkiraan nilai barang.

Mazhab Syafi’i dan Abu Yusuf berpendapat: Barang dagangan dinilai dengan mata uang yang digunakan untuk membelinya. Jika dibeli dengan barang dagangan lain, maka dinilai dengan mata uang yang umum di negara tersebut. Muhammad berpendapat: Barang dagangan dinilai dengan mata uang yang umum dalam segala kondisi, seperti dalam kasus barang yang dirampas dan barang yang dikonsumsi.
Kami tidak menemukan dalam mazhab Maliki pembahasan tentang apa yang digunakan untuk menilai barang dagangan, meskipun mereka mengatakan bahwa tidak ada zakat atasnya kecuali jika mencapai nisab.
Penurunan Nilai Perdagangan di Tengah Tahun dari Nisab”

٨٥ – ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ عَلَى الْقَوْل الْمَنْصُوصِ إِلَى أَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ الْقِيمَةُ فِي آخِرِ الْحَوْل، فَلَوْ كَانَتْ قِيمَةُ الْعُرُوضِ فِي أَوَّل الْحَوْل أَقَل مِنْ نِصَابٍ ثُمَّ بَلَغَتْ فِي آخِرِ الْحَوْل نِصَابًا وَجَبَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ، وَهَذَا خِلاَفًا لِزَكَاةِ الْعَيْنِ فَلاَ بُدَّ فِيهَا عِنْدَهُمْ مِنْ وُجُودِ النِّصَابِ فِي الْحَوْل كُلِّهِ. قَالُوا: لأَِنَّ الاِعْتِبَارَ فِي الْعُرُوضِ بِالْقِيمَةِ، وَيَعْسُرُ مُرَاعَاتُهَا كُل وَقْتٍ لاِضْطِرَابِ الأَْسْعَارِ ارْتِفَاعًا وَانْخِفَاضًا فَاكْتُفِيَ بِاعْتِبَارِهَا فِي وَقْتِ الْوُجُوبِ، قَال الشَّافِعِيَّةُ: فَلَوْ تَمَّ الْحَوْل وَقِيمَةُ الْعَرْضِ أَقَل مِنْ نِصَابٍ فَإِنَّهُ يَبْطُل الْحَوْل الأَْوَّل وَيَبْتَدِئُ حَوْلٌ جَدِيدٌ.
وَقَال الْحَنَفِيَّةُ وَهُوَ قَوْلٌ ثَانٍ لِلشَّافِعِيَّةِ: الْمُعْتَبَرُ طَرَفَا الْحَوْل، لأَِنَّ التَّقْوِيمَ يَشُقُّ فِي جَمِيعِ الْحَوْل فَاعْتُبِرَ أَوَّلُهُ لِلاِنْعِقَادِ وَتَحَقُّقِ الْغِنَى، وَآخِرُهُ لِلْوُجُوبِ، وَلَوِ انْعَدَمَ بِهَلاَكِ الْكُل فِي أَثْنَاءِ الْحَوْل بَطَل حُكْمُ الْحَوْل.
وَقَال الْحَنَابِلَةُ وَهُوَ قَوْلٌ ثَالِثٌ لِلشَّافِعِيَّةِ: الْمُعْتَبَرُ كُل الْحَوْل كَمَا فِي النَّقْدَيْنِ، فَلَوْ نَقَصَتِ الْقِيمَةُ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْل لَمْ تَجِبِ الزَّكَاةُ، وَلَوْ كَانَتْ قِيمَةُ الْعَرْضِ مِنْ حِينَ مَلَكَهُ أَقَل مِنْ نِصَابٍ فَلاَ يَنْعَقِدُ الْحَوْل عَلَيْهِ حَتَّى تَتِمَّ قِيمَتُهُ نِصَابًا، وَالزِّيَادَةُ مُعْتَبَرَةٌ سَوَاءٌ كَانَتْ بِارْتِفَاعِ الأَْسْعَارِ، أَوْ بِنَمَاءِ الْعَرْضِ، أَوْ بِأَنْ بَاعَهَا بِنِصَابٍ، أَوْ مَلَكَ عَرْضًا آخَرَ أَوْ أَثْمَانًا كَمَّل بِهَا النِّصَابَ (١) 

“85 – Mazhab Maliki dan Syafi’i, menurut pendapat yang dinaskan, berpendapat bahwa yang dianggap dalam kewajiban zakat adalah nilai pada akhir tahun. Jika nilai barang dagangan pada awal tahun kurang dari nisab, kemudian pada akhir tahun mencapai nisab, maka wajib zakat atasnya. Ini berbeda dengan zakat mata uang, yang menurut mereka harus ada nisab sepanjang tahun. Mereka berkata: Karena yang dianggap dalam barang dagangan adalah nilai, dan sulit untuk memperhatikannya setiap saat karena ketidakstabilan harga yang naik dan turun, maka cukup dengan memperhatikannya pada waktu wajib zakat.

Mazhab Syafi’i berkata: Jika tahun telah berakhir dan nilai barang dagangan kurang dari nisab, maka tahun pertama batal dan dimulai tahun baru.
Mazhab Hanafi, dan ini adalah pendapat kedua dari mazhab Syafi’i, berpendapat: yang dianggap adalah kedua ujung tahun, karena penilaian sulit dilakukan sepanjang tahun, maka awal tahun dianggap untuk permulaan dan terwujudnya kekayaan, dan akhir tahun dianggap untuk kewajiban. Jika nisab hilang karena seluruhnya binasa di tengah tahun, maka hukum tahun tersebut batal.

Mazhab Hanbali, dan ini adalah pendapat ketiga dari mazhab Syafi’i, berpendapat: yang dianggap adalah sepanjang tahun, seperti dalam mata uang. Jika nilai turun di tengah tahun, maka zakat tidak wajib. Jika nilai barang dagangan sejak dimiliki kurang dari nisab, maka tahun tidak dimulai atasnya sampai nilainya mencapai nisab. Kenaikan nilai dianggap, baik karena kenaikan harga, pertumbuhan barang dagangan, atau karena dijual dengan nisab, atau memiliki barang dagangan lain atau harga yang melengkapi nisab.”

الشَّرْطُ الْخَامِسُ: الْحَوْل:
٨٦ – وَالْمُرَادُ أَنْ يَحُول الْحَوْل عَلَى عُرُوضِ التِّجَارَةِ، فَمَا لَمْ يَحُل عَلَيْهَا الْحَوْل فَلاَ زَكَاةَ فِيهَا، وَهَذَا إِنْ مَلَكَهَا بِغَيْرِ مُعَاوَضَةٍ، أَوْ بِمُعَاوَضَةٍ غَيْرِ مَالِيَّةٍ كَالْخُلْعِ، عِنْدَ مَنْ قَال بِذَلِكَ، أَوِ اشْتَرَاهَا بِعَرْضِ قُنْيَةٌ، أَمَّا إِنِ اشْتَرَاهَا بِمَالٍ مِنَ الأَْثْمَانِ أَوْ بِعَرْضِ تِجَارَةٍ آخَرَ، فَإِنَّهُ يَبْنِي حَوْل الثَّانِي عَلَى حَوْل الأَْوَّل؛ لأَِنَّ مَال التِّجَارَةِ تَتَعَلَّقُ الزَّكَاةُ بِقِيمَتِهِ، وَقِيمَتُهُ هِيَ الأَْثْمَانُ نَفْسُهَا؛ وَلأَِنَّ النَّمَاءَ فِي التِّجَارَةِ يَكُونُ بِالتَّقْلِيبِ.
فَإِنْ أَبْدَل عَرْضَ التِّجَارَةِ بِعَرْضِ قُنْيَةٍ أَوْ بِسَائِمَةٍ لَمْ يَقْصِدْ بِهَا التِّجَارَةَ فَإِنَّ حَوْل زَكَاةِ التِّجَارَةِ يَنْقَطِعُ.
وَرِبْحَ التِّجَارَةِ فِي الْحَوْل يُضَمُّ إِلَى الأَْصْل فَيُزَكِّي الأَْصْل وَالرِّبْحَ عِنْدَ آخِرِ الْحَوْل (١) . فَإِذَا حَال الْحَوْل وَجَبَ عَلَى الْمَالِكِ تَقْوِيمُ عُرُوضِهِ وَإِخْرَاجُ زَكَاتِهَا عِنْدَ الْجُمْهُورِ، وَلِمَالِكٍ تَفْصِيلٌ بَيْنَ الْمُحْتَكِرِ لِتِجَارَتِهِ وَالْمُدِيرِ لَهَا يَأْتِي تَفْصِيلُهُ فِي الشَّرْطِ التَّالِي.

” *Syarat Kelima* : Haul (Satu Tahun)
86 – Yang dimaksud adalah bahwa haul harus berlalu atas barang dagangan. Jika haul belum berlalu atasnya, maka tidak ada zakat atasnya. Ini berlaku jika seseorang memilikinya bukan melalui pertukaran, atau melalui pertukaran non-finansial seperti khulu’, menurut yang berpendapat demikian, atau membelinya dengan barang kepemilikan pribadi. Namun, jika ia membelinya dengan uang dari mata uang atau dengan barang dagangan lain, maka ia membangun haul yang kedua di atas haul yang pertama. Karena harta perdagangan zakatnya berhubungan dengan nilainya, dan nilainya adalah mata uang itu sendiri. Juga, karena pertumbuhan dalam perdagangan terjadi melalui perputaran.
Jika ia menukar barang dagangan dengan barang kepemilikan pribadi atau dengan hewan ternak yang tidak dimaksudkan untuk perdagangan, maka haul zakat perdagangan terputus.
Keuntungan perdagangan dalam haul digabungkan dengan modal pokok, sehingga modal pokok dan keuntungan dizakati pada akhir haul. Jika haul telah berlalu, maka pemilik wajib menilai barang dagangannya dan mengeluarkan zakatnya menurut mayoritas ulama.

Malik memiliki rincian antara penimbun untuk perdagangannya dan pengelola perdagangannya, yang rinciannya akan dijelaskan pada syarat berikutnya.”

الشَّرْطُ السَّادِسُ: تَقْوِيمُ السِّلَعِ:
٨٧ – يَرَى الْمَالِكِيَّةُ أَنَّ التَّاجِرَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُحْتَكِرًا أَوْ مُدِيرًا، وَالْمُحْتَكِرُ هُوَ الَّذِي يَرْصُدُ بِسِلَعِهِ الأَْسْوَاقَ وَارْتِفَاعَ الأَْسْعَارِ، وَالْمُدِيرُ هُوَ مَنْ يَبِيعُ بِالسِّعْرِ الْحَاضِرِ ثُمَّ يُخْلِفُهُ بِغَيْرِهِ وَهَكَذَا، كَالْبَقَّال وَنَحْوِهِ.
فَالْمُحْتَكِرُ يُشْتَرَطُ لِوُجُوبِ الزَّكَاةِ عَلَيْهِ أَنْ يَبِيعَ بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ يَبْلُغُ نِصَابًا، وَلَوْ فِي مَرَّاتٍ، وَبَعْدَ أَنْ يَكْمُل مَا بَاعَ بِهِ نِصَابًا يُزَكِّيهِ وَيُزَكِّي مَا بَاعَ بِهِ بَعْدَ ذَلِكَ وَإِنْ قَل، فَلَوْ أَقَامَ الْعَرْضُ عِنْدَهُ سِنِينَ فَلَمْ يَبِعْ ثُمَّ بَاعَهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ فِيهِ إِلاَّ زَكَاةُ عَامٍ وَاحِدٍ يُزَكِّي ذَلِكَ الْمَال الَّذِي يَقْبِضُهُ. أَمَّا الْمُدِيرُ فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَبِيعَ بِشَيْءٍ وَلَوْ قَل، كَدِرْهَمٍ، وَعَلَى الْمُدِيرِ الَّذِي بَاعَ وَلَوْ بِدِرْهَمٍ أَنْ يُقَوِّمَ عُرُوضَ تِجَارَتِهِ آخِرَ كُل حَوْلٍ وَيُزَكِّيَ الْقِيمَةَ، كَمَا يُزَكِّي النَّقْدَ. وَإِنَّمَا فَرَّقَ مَالِكٌ بَيْنَ الْمُدِيرِ وَالْمُحْتَكِرِ لأَِنَّ الزَّكَاةَ شُرِعَتْ فِي الأَْمْوَال النَّامِيَةِ، فَلَوْ زَكَّى السِّلْعَةَ كُل عَامٍ – وَقَدْ تَكُونُ كَاسِدَةً – نَقَصَتْ عَنْ شِرَائِهَا، فَيَتَضَرَّرُ، فَإِذَا زُكِّيَتْ عِنْدَ الْبَيْعِ فَإِنْ كَانَتْ رَبِحَتْ فَالرِّبْحُ كَانَ كَامِنًا فِيهَا فَيُخْرِجُ زَكَاتَهُ؛ وَلأَِنَّهُ لَيْسَ عَلَى الْمَالِكِ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةَ مَالٍ مِنْ مَالٍ آخَرَ.
وَبِهَذَا يَتَبَيَّنُ أَنَّ تَقْوِيمَ السِّلَعِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ هُوَ لِلتَّاجِرِ الْمُدِيرِ خَاصَّةً دُونَ التَّاجِرِ الْمُحْتَكِرِ، وَأَنَّ الْمُحْتَكِرَ لَيْسَ عَلَيْهِ لِكُل حَوْلٍ زَكَاةٌ فِيمَا احْتَكَرَهُ بَل يُزَكِّيهِ لِعَامٍ وَاحِدٍ عِنْدَ بَيْعِهِ وَقَبْضِ ثَمَنِهِ.
أَمَّا عِنْدَ سَائِرِ الْعُلَمَاءِ فَإِنَّ الْمُحْتَكِرَ كَغَيْرِهِ، عَلَيْهِ لِكُل حَوْلٍ زَكَاةٌ (١) .

” *Syarat Keenam:* Penilaian Barang Dagangan
87 – Mazhab Maliki berpendapat bahwa pedagang terbagi menjadi dua jenis: penimbun dan pengelola. Penimbun adalah orang yang menunggu dengan barang dagangannya untuk melihat pasar dan kenaikan harga. Pengelola adalah orang yang menjual dengan harga saat ini, kemudian menggantinya dengan barang lain, dan seterusnya, seperti pedagang kelontong dan sejenisnya.
Penimbun disyaratkan untuk wajib zakat atasnya jika ia menjual dengan emas atau perak yang mencapai nisab, meskipun dalam beberapa kali penjualan. Setelah apa yang ia jual mencapai nisab, ia menzakatinya dan menzakati apa yang ia jual setelah itu, meskipun sedikit. Jika barang dagangan tetap bersamanya selama bertahun-tahun dan ia tidak menjualnya, kemudian ia menjualnya, maka ia hanya wajib zakat untuk satu tahun, yaitu zakat atas uang yang ia terima.

Adapun pengelola, ia tidak wajib zakat sampai ia menjual sesuatu, meskipun sedikit, seperti satu dirham. Pengelola yang telah menjual, meskipun dengan satu dirham, wajib menilai barang dagangan dagangannya pada akhir setiap haul dan menzakati nilainya, seperti menzakati uang tunai. Malik membedakan antara pengelola dan penimbun karena zakat disyariatkan atas harta yang berkembang. Jika barang dagangan dizakati setiap tahun – dan mungkin sedang lesu – maka nilainya akan berkurang dari harga pembeliannya, sehingga ia akan dirugikan. Jika dizakati saat dijual, dan jika menghasilkan keuntungan, maka keuntungan itu tersembunyi di dalamnya dan ia mengeluarkan zakatnya. Juga, karena pemilik tidak wajib mengeluarkan zakat harta dari harta lain.
Dengan ini, menjadi jelas bahwa penilaian barang dagangan menurut mazhab Maliki khusus untuk pedagang pengelola, bukan pedagang penimbun. Penimbun tidak wajib zakat setiap haul atas apa yang ia timbun, tetapi ia menzakatinya untuk satu tahun ketika ia menjualnya dan menerima harganya.
Adapun menurut ulama lainnya, penimbun sama seperti yang lain, ia wajib zakat setiap haul.

كَيْفِيَّةُ التَّقْوِيمِ وَالْحِسَابِ فِي زَكَاةِ التِّجَارَةِ:

Cara Penilaian dan Penghitungan dalam Zakat Perdagangan”

أ – مَا يُقَوَّمُ مِنَ السِّلَعِ وَمَا لاَ يُقَوَّمُ:
٨٨ – الَّذِي يُقَوَّمُ مِنَ الْعُرُوضِ هُوَ مَا يُرَادُ بَيْعُهُ دُونَ مَا لاَ يُعَدُّ لِلْبَيْعِ، فَالرُّفُوفُ الَّتِي يَضَعُ عَلَيْهَا السِّلَعَ لاَ زَكَاةَ فِيهَا.
وَمِمَّا ذَكَرَهُ الْحَنَفِيَّةُ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ تَاجِرَ الدَّوَابِّ إِنِ اشْتَرَى لَهَا مَقَاوِدَ أَوْ بَرَاذِعَ، فَإِنْ كَانَ يَبِيعُ هَذِهِ الأَْشْيَاءَ مَعَهَا فَفِيهَا الزَّكَاةُ، وَإِنْ كَانَتْ لِحِفْظِ الدَّوَابِّ بِهَا فَلاَ زَكَاةَ فِيهَا. وَكَذَلِكَ الْعَطَّارُ لَوِ اشْتَرَى قَوَارِيرَ، فَمَا كَانَ مِنَ الْقَوَارِيرِ لِحِفْظِ الْعِطْرِ عِنْدَ التَّاجِرِ فَلاَ زَكَاةَ فِيهَا، وَمَا كَانَ يُوضَعُ فِيهَا الْعِطْرُ لِلْمُشْتَرِي فَفِيهَا الزَّكَاةُ.
وَمَوَادُّ الْوَقُودِ كَالْحَطَبِ، وَنَحْوِهِ، وَمَوَادُّ التَّنْظِيفِ كَالصَّابُونِ وَنَحْوِهِ الَّتِي أَعَدَّهَا الصَّانِعُ لِيَسْتَهْلِكَهَا فِي صِنَاعَتِهِ لاَ لِيَبِيعَهَا فَلاَ زَكَاةَ فِيمَا لَدَيْهِ مِنْهَا، وَالْمَوَادُّ الَّتِي لِتَغْذِيَةِ دَوَابِّ التِّجَارَةِ لاَ تَجِبُ فِيهَا الزَّكَاةُ (٢) .
وَذَكَرَ الْمَالِكِيَّةُ أَنَّهُ لاَ زَكَاةَ فِي الأَْوَانِي الَّتِي تُدَارُ فِيهَا الْبَضَائِعُ، وَلاَ الآْلاَتِ الَّتِي تُصْنَعُ بِهَا السِّلَعُ، وَالإِْبِل الَّتِي تَحْمِلُهَا، إِلاَّ أَنْ تَجِبَ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهَا.
وَذَكَرَ الشَّافِعِيَّةُ أَنَّ الْمَوَادَّ الَّتِي لِلصِّبَاغَةِ أَوِ الدِّبَاغَةِ، وَالدُّهْنِ لِلْجُلُودِ، فِيهَا الزَّكَاةُ، بِخِلاَفِ الْمِلْحِ لِلْعَجِينِ أَوِ الصَّابُونِ لِلْغَسْل فَلاَ زَكَاةَ فِيهِمَا لِهَلاَكِ الْعَيْنِ، وَذَكَرَ الْحَنَابِلَةُ نَحْوَ ذَلِكَ (١) .

“A – Barang Dagangan yang Dinilai dan yang Tidak Dinilai:
88 – Barang dagangan yang dinilai adalah yang dimaksudkan untuk dijual, bukan yang tidak disiapkan untuk dijual. Rak-rak yang digunakan untuk meletakkan barang dagangan tidak dikenakan zakat.
Di antara contoh yang disebutkan oleh mazhab Hanafi adalah jika seorang pedagang hewan membeli tali kekang atau pelana untuk hewan-hewannya, jika ia menjual barang-barang ini bersama hewan-hewannya, maka dikenakan zakat. Namun, jika barang-barang tersebut digunakan untuk menjaga hewan-hewan tersebut, maka tidak dikenakan zakat. Demikian pula, jika seorang pedagang parfum membeli botol, botol yang digunakan untuk menyimpan parfum di toko tidak dikenakan zakat, sedangkan botol yang digunakan untuk menaruh parfum bagi pembeli dikenakan zakat.
Bahan bakar seperti kayu bakar dan sejenisnya, serta bahan pembersih seperti sabun dan sejenisnya yang disiapkan oleh produsen untuk digunakan dalam produksinya, bukan untuk dijual, tidak dikenakan zakat. Bahan-bahan yang digunakan untuk memberi makan hewan dagangan tidak dikenakan zakat.
Mazhab Maliki menyebutkan bahwa tidak ada zakat atas wadah yang digunakan untuk memindahkan barang dagangan, atau peralatan yang digunakan untuk membuat barang dagangan, atau unta yang membawanya, kecuali jika zakat wajib atas hewan-hewan tersebut secara langsung.
Mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk pewarnaan atau penyamakan, dan minyak untuk kulit, dikenakan zakat. Berbeda dengan garam untuk adonan atau sabun untuk mencuci, yang tidak dikenakan zakat karena barang-barang tersebut habis. Mazhab Hanbali menyebutkan hal serupa.

ب – تَقْوِيمُ الصَّنْعَةِ فِي الْمَوَادِّ الَّتِي يُقَوِّمُ صَاحِبُهَا بِتَصْنِيعِهَا:
٨٩ – الْمَوَادُّ الْخَامُ الَّتِي اشْتَرَاهَا الْمَالِكُ وَقَامَ بِتَصْنِيعِهَا يُسْتَفَادُ مِنْ كَلاَمِ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهَا تُقَوَّمُ عَلَى الْحَال الَّتِي اشْتَرَاهَا عَلَيْهَا صَاحِبُهَا، أَيْ قَبْل تَصْنِيعِهَا، وَذَلِكَ بَيِّنٌ، عَلَى قَوْل مَنْ يَشْتَرِطُ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الْعُرُوضِ أَنْ يَمْلِكَهَا بِمُعَاوَضَةٍ؛ لأَِنَّ هَذَا قَدْ مَلَكَهَا بِغَيْرِ مُعَاوَضَةٍ بَل بِفِعْلِهِ. وَنَصُّ الْبُنَانِيِّ ” الْحُكْمُ أَنَّ الصُّنَّاعَ يُزَكُّونَ مَا حَال عَلَى أَصْلِهِ الْحَوْل مِنْ مَصْنُوعَاتِهِمْ إِذَا كَانَ نِصَابًا وَلاَ يُقَوِّمُونَ صِنَاعَتَهُمْ ” قَال ابْنُ لُبٍّ: لأَِنَّهَا فَوَائِدُ كَسْبِهِمْ اسْتَفَادُوهَا وَقْتَ بَيْعِهِمْ (٢) .
السِّعْرُ الَّذِي تُقَوَّمُ بِهِ السِّلَعُ:
٩٠ – صَرَّحَ الْحَنَفِيَّةُ أَنَّ عُرُوضَ التِّجَارَةِ يُقَوِّمُهَا الْمَالِكُ عَلَى أَسَاسِ سِعْرِ الْبَلَدِ الَّذِي فِيهِ الْمَال، وَلَيْسَ الَّذِي فِيهِ الْمَالِكُ، أَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ لَهُ بِالْمَال عِلاَقَةٌ، وَلَوْ كَانَ فِي مَفَازَةٍ تُعْتَبَرُ قِيمَتُهُ فِي أَقْرَبِ الأَْمْصَارِ (١) .
وَتُعْتَبَرُ الْقِيمَةُ يَوْمَ الْوُجُوبِ فِي قَوْل أَبِي حَنِيفَةَ لأَِنَّهُ فِي الأَْصْل بِالْخِيَارِ بَيْنَ الإِْخْرَاجِ مِنَ الْعَيْنِ وَأَدَاءِ الْقِيمَةِ، وَيُجْبَرُ الْمُصَدِّقُ عَلَى قَبُولِهَا، فَيَسْتَنِدُ إِلَى وَقْتِ ثُبُوتِ الْخِيَارِ وَهُوَ وَقْتُ الْوُجُوبِ.
وَقَال الصَّاحِبَانِ: الْمُعْتَبَرُ الْقِيمَةُ يَوْمَ الأَْدَاءِ؛ لأَِنَّ الْوَاجِبَ عِنْدَهُمَا جُزْءٌ مِنَ الْعَيْنِ، وَلَهُ وِلاَيَةُ مَنْعِهَا إِلَى الْقِيمَةِ، فَتُعْتَبَرُ يَوْمَ الْمَنْعِ كَمَا فِي الْوَدِيعَةِ (٢) .
زِيَادَةُ سِعْرِ الْبَيْعِ عَنِ السِّعْرِ الْمُقَدَّرِ:
٩١ – إِنْ قَوَّمَ سِلْعَةً لأَِجْل الزَّكَاةِ وَأَخْرَجَهَا عَلَى أَسَاسِ ذَلِكَ، فَلَمَّا بَاعَهَا زَادَ ثَمَنُهَا عَلَى الْقِيمَةِ، فَقَدْ صَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ بِأَنَّهُ لاَ زَكَاةَ فِي هَذِهِ الزِّيَادَةِ بَل هِيَ مُلْغَاةٌ؛ لاِحْتِمَال ارْتِفَاعِ سِعْرِ السُّوقِ، أَوْ لِرَغْبَةِ الْمُشْتَرِي، أَمَّا لَوْ تَحَقَّقَ أَنَّهُ غَلِطَ فِي التَّقْوِيمِ فَإِنَّهَا لاَ تُلْغَى لِظُهُورِ الْخَطَأِ قَطْعًا.
وَكَذَا صَرَّحَ الشَّافِعِيَّةُ بِأَنَّ الزِّيَادَةَ عَنِ التَّقْوِيمِ لاَ زَكَاةَ فِيهَا عَنِ الْحَوْل السَّابِقِ (٣) .
التَّقْوِيمُ لِلسِّلَعِ الْبَائِرَةِ:
٩٢ – مُقْتَضَى مَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّهُ لاَ فَرْقَ فِي التَّقْوِيمِ، بَيْنَ السِّلَعِ الْبَائِرَةِ وَغَيْرِهَا.
أَمَّا الْمَالِكِيَّةُ فَقَدْ ذَكَرُوا أَنَّ السِّلَعَ الَّتِي لَدَى التَّاجِرِ الْمُدِيرِ إِذَا بَارَتْ فَإِنَّهُ يُدْخِلُهَا فِي التَّقْوِيمِ وَيُؤَدِّي زَكَاتَهَا كُل عَامٍ إِذَا تَمَّتِ الشُّرُوطُ؛ لأَِنَّ بَوَارَهَا لاَ يَنْقُلُهَا لِلْقُنْيَةِ وَلاَ لِلاِحْتِكَارِ، وَهَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ عِنْدَهُمْ وَهُوَ قَوْل ابْنِ الْقَاسِمِ. وَذَهَبَ ابْنُ نَافِعٍ وَسَحْنُونٌ إِلَى أَنَّ السِّلَعَ إِذَا بَارَتْ تَنْتَقِل لِلاِحْتِكَارِ، وَخَصَّ اللَّخْمِيُّ وَابْنُ يُونُسَ الْخِلاَفَ بِمَا إِذَا بَارَ الأَْقَل، أَمَّا إِذَا بَارَ النِّصْفُ أَوِ الأَْكْثَرُ فَلاَ يُقَوَّمُ اتِّفَاقًا عِنْدَهُمْ، وَمُقْتَضَى ذَلِكَ أَنْ لاَ زَكَاةَ فِيهَا إِلاَّ إِذَا بَاعَ قَدْرَ نِصَابٍ فَيُزَكِّيهِ، ثُمَّ كُلَّمَا بَاعَ شَيْئًا زَكَّاهُ كَمَا تَقَدَّمَ (١) .
التَّقْوِيمُ لِلسِّلَعِ الْمُشْتَرَاةِ الَّتِي لَمْ يَدْفَعِ التَّاجِرُ ثَمَنَهَا:

“B – Penilaian Upah dalam Bahan-bahan yang Dinilai oleh Pemiliknya Setelah Diproses:

89 – Bahan-bahan mentah yang dibeli oleh pemilik dan diproses olehnya, dapat dipahami dari perkataan mazhab Maliki bahwa bahan-bahan tersebut dinilai berdasarkan kondisi saat dibeli oleh pemiliknya, yaitu sebelum diproses. Ini jelas menurut pendapat orang yang mensyaratkan kewajiban zakat atas barang dagangan harus diperoleh melalui pertukaran. Karena orang ini memilikinya bukan melalui pertukaran, tetapi melalui perbuatannya sendiri. Teks Al-Banani, “Hukumnya adalah bahwa pengrajin menzakati apa yang telah berlalu setahun atas asalnya dari hasil produksinya jika mencapai nisab, dan mereka tidak menilai upah mereka.” Ibnu Lub berkata: Karena itu adalah keuntungan dari usaha mereka yang mereka peroleh saat menjual.
Harga yang Digunakan untuk Menilai Barang Dagangan:
90 – Mazhab Hanafi menyatakan bahwa barang dagangan dinilai oleh pemiliknya berdasarkan harga di negara tempat harta itu berada, bukan tempat pemiliknya berada, atau orang lain yang memiliki hubungan dengan harta tersebut. Jika harta itu berada di padang gurun, maka nilainya dianggap di kota terdekat.
Nilai yang dianggap adalah pada hari kewajiban zakat menurut pendapat Abu Hanifah, karena pada dasarnya ia memiliki pilihan antara mengeluarkan zakat dari barang itu sendiri atau membayar nilainya, dan pengumpul zakat dipaksa untuk menerimanya. Maka, itu merujuk pada waktu penetapan pilihan, yaitu waktu kewajiban.
Kedua sahabat Abu Hanifah berkata: Yang dianggap adalah nilai pada hari pembayaran, karena yang wajib menurut mereka adalah bagian dari barang itu sendiri, dan pemilik memiliki hak untuk menahannya sampai nilainya dibayar. Maka, itu dianggap pada hari penahanan, seperti dalam kasus titipan.
Kenaikan Harga Jual dari Harga yang Ditaksir:
91 – Jika seseorang menilai barang dagangan untuk tujuan zakat dan mengeluarkannya berdasarkan itu, kemudian ketika ia menjualnya, harganya naik melebihi nilai yang ditaksir, maka mazhab Maliki menyatakan bahwa tidak ada zakat atas kenaikan ini, tetapi itu diabaikan. Karena kemungkinan kenaikan harga pasar, atau karena keinginan pembeli. Namun, jika dipastikan bahwa ia salah dalam penilaian, maka itu tidak diabaikan karena kesalahan itu jelas.
Demikian pula, mazhab Syafi’i menyatakan bahwa kenaikan dari penilaian tidak dikenakan zakat untuk haul sebelumnya.
Penilaian Barang Dagangan yang Tidak Laku:
92 – Menurut mazhab mayoritas ulama, tidak ada perbedaan dalam penilaian antara barang dagangan yang tidak laku dan yang lainnya.
Namun, mazhab Maliki menyebutkan bahwa jika barang dagangan yang dimiliki oleh pedagang pengelola tidak laku, maka ia memasukkannya dalam penilaian dan membayar zakatnya setiap tahun jika syarat-syaratnya terpenuhi. Karena ketidaklakuannya tidak memindahkannya ke kepemilikan pribadi atau penimbunan. Ini adalah pendapat yang terkenal di antara mereka dan merupakan pendapat Ibnu Qasim. Ibnu Nafi’ dan Sahnun berpendapat bahwa jika barang dagangan tidak laku, maka itu dipindahkan ke penimbunan. Lakhmi dan Ibnu Yunus membatasi perbedaan pendapat ini pada kasus jika yang tidak laku sedikit. Namun, jika yang tidak laku setengah atau lebih, maka tidak dinilai menurut kesepakatan mereka. Menurut hal ini, tidak ada zakat atasnya kecuali jika ia menjual sejumlah nisab, maka ia menzakatinya, kemudian setiap kali ia menjual sesuatu, ia menzakatinya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Penilaian Barang Dagangan yang Dibeli yang Belum Dibayar Harganya oleh Pedagang:”

٩٣ – ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ التَّاجِرَ الْمُدِيرَ لاَ يُقَوِّمُ – لأَِجْل الزَّكَاةِ – مِنْ سِلَعِهِ إِلاَّ مَا دَفَعَ ثَمَنَهُ، أَوْ حَال عَلَيْهِ الْحَوْل عِنْدَهُ وَإِنْ لَمْ يَدْفَعْ ثَمَنَهُ، وَحُكْمُهُ فِي مَا لَمْ يَدْفَعْ ثَمَنَهُ حُكْمُ مَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَبِيَدِهِ مَالٌ. وَأَمَّا مَا لَمْ يَدْفَعْ ثَمَنَهُ وَلَمْ يَحُل عَلَيْهِ الْحَوْل عِنْدَهُ فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ فِيهِ، وَلاَ يَسْقُطُ عَنْهُ مِنْ زَكَاةِ مَا حَال حَوْلُهُ عِنْدَهُ شَيْءٌ بِسَبَبِ دَيْنِ ثَمَنِ هَذَا الْعَرْضِ الَّذِي لَمْ يَحُل حَوْلُهُ عِنْدَهُ، إِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَا يَجْعَلُهُ فِي مُقَابَلَتِهِ (٢) .0
تَقْوِيمُ دَيْنِ التَّاجِرِ النَّاشِئِ عَنِ التِّجَارَةِ:
٩٤ – مَا كَانَ لِلتَّاجِرِ مِنَ الدَّيْنِ الْمَرْجُوِّ إِنْ كَانَ سِلَعًا عَيْنِيَّةً – أَيْ مِنْ غَيْرِ النَّقْدَيْنِ – فَإِنَّهُ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ إِنْ كَانَ مُدِيرًا – لاَ مُحْتَكِرًا – يُقَوِّمُهُ بِنَقْدٍ حَالٍّ، وَلَوْ كَانَ الدَّيْنُ طَعَامَ سَلَمٍ، وَلاَ يَضُرُّ تَقْوِيمُهُ لأَِنَّهُ لَيْسَ بَيْعًا لَهُ حَتَّى يُؤَدِّيَ إِلَى بَيْعِ الطَّعَامِ قَبْل قَبْضِهِ.
وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ الْمَرْجُوُّ مِنْ أَحَدِ النَّقْدَيْنِ وَكَانَ مُؤَجَّلاً، فَإِنَّهُ يُقَوِّمُهُ بِعَرْضٍ، ثُمَّ يُقَوِّمُ الْعَرْضَ بِنَقْدٍ حَالٍّ، فَيُزَكِّي تِلْكَ الْقِيمَةَ لأَِنَّهَا الَّتِي تُمْلَكُ لَوْ قَامَ عَلَى الْمَدِينِ غُرَمَاؤُهُ.
أَمَّا الدَّيْنُ غَيْرُ الْمَرْجُوِّ فَلاَ يُقَوِّمْهُ لِيُزَكِّيَهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ، فَإِنْ قَبَضَهُ زَكَّاهُ لِعَامٍ وَاحِدٍ (١) .
وَأَمَّا عِنْدَ الْجُمْهُورِ فَلَمْ يَذْكُرُوا هَذِهِ الطَّرِيقَةَ، فَالظَّاهِرُ عِنْدَهُمْ أَنَّ الدَّيْنَ الْمُؤَجَّل يُحْسَبُ لِلزَّكَاةِ بِكَمَالِهِ إِذَا كَانَ عَلَى مَلِيءٍ مُقِرٍّ.

“93 – Mazhab Maliki berpendapat bahwa pedagang pengelola tidak menilai – untuk tujuan zakat – dari barang dagangannya kecuali yang telah dibayar harganya, atau telah berlalu setahun atasnya di sisinya meskipun belum dibayar harganya. Hukumnya dalam hal yang belum dibayar harganya sama dengan hukum orang yang memiliki hutang dan di tangannya ada harta. Adapun yang belum dibayar harganya dan belum berlalu setahun atasnya di sisinya, maka tidak ada zakat atasnya, dan tidak ada yang gugur dari zakat atas apa yang telah berlalu setahun atasnya di sisinya karena hutang harga barang dagangan ini yang belum berlalu setahun atasnya di sisinya, jika ia tidak memiliki sesuatu yang dapat ia jadikan sebagai imbalannya.
Penilaian Hutang Pedagang yang Timbul dari Perdagangan:
94 – Apa yang dimiliki pedagang dari hutang yang diharapkan, jika berupa barang dagangan – yaitu bukan dari kedua mata uang – maka menurut mazhab Maliki, jika ia seorang pengelola – bukan penimbun – ia menilainya dengan uang tunai, meskipun hutangnya berupa makanan salam (pesanan). Penilaiannya tidak merugikan karena itu bukan penjualan baginya sehingga menyebabkan penjualan makanan sebelum menerimanya.
Jika hutang yang diharapkan itu dari salah satu dari kedua mata uang dan ditangguhkan, maka ia menilainya dengan barang dagangan, kemudian menilai barang dagangan itu dengan uang tunai. Ia menzakati nilai tersebut karena itulah yang dimiliki jika para krediturnya menuntutnya.
Adapun hutang yang tidak diharapkan, maka ia tidak menilainya untuk dizakati sampai ia menerimanya. Jika ia menerimanya, ia menzakatinya untuk satu tahun.
Adapun menurut mayoritas ulama, mereka tidak menyebutkan cara ini. Menurut mereka, hutang yang ditangguhkan dihitung untuk zakat secara penuh jika itu dari orang kaya yang mengakui.”

MELUARKAN DAGANGAN ANTARA UANG TUNAI DAN BARANG DAGANGAN

إِخْرَاجُ زَكَاةِ عُرُوضِ التِّجَارَةِ نَقْدًا أَوْ مِنْ أَعْيَانِ الْمَال:
٩٥ – الأَْصْل فِي زَكَاةِ التِّجَارَةِ أَنْ يُخْرِجَهَا نَقْدًا بِنِسْبَةِ رُبُعِ الْعُشْرِ مِنْ قِيمَتِهَا، كَمَا تَقَدَّمَ، لِقَوْل عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِحَمَاسٍ: قَوِّمْهَا ثُمَّ أَدِّ زَكَاتَهَا.
فَإِنْ أَخْرَجَ زَكَاةَ الْقِيمَةِ مِنْ أَحَدِ النَّقْدَيْنِ أَجْزَأَ اتِّفَاقًا.

وَإِنْ أَخْرَجَ عُرُوضًا عَنِ الْعُرُوضِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي جَوَازِ ذَلِكَ.
فَقَال الْحَنَابِلَةُ وَهُوَ ظَاهِرُ كَلاَمِ الْمَالِكِيَّةِ وَقَوْل الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى: لاَ يُجْزِئُهُ ذَلِكَ، وَاسْتَدَلُّوا بِأَنَّ النِّصَابَ مُعْتَبَرٌ بِالْقِيمَةِ، فَكَانَتِ الزَّكَاةُ مِنَ الْقِيمَةِ، كَمَا إِنَّ الْبَقَرَ لَمَّا كَانَ نِصَابُهَا مُعْتَبَرًا بِأَعْيَانِهَا، وَجَبَتِ الزَّكَاةُ مِنْ أَعْيَانِهَا، وَكَذَا سَائِرُ الأَْمْوَال غَيْرِ التِّجَارَةِ.
وَأَمَّا عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَهُوَ قَوْلٌ ثَانٍ لِلشَّافِعِيَّةِ قَدِيمٌ: يَتَخَيَّرُ الْمَالِكُ بَيْنَ الإِْخْرَاجِ مِنَ الْعَرْضِ أَوْ مِنَ الْقِيمَةِ فَيُجْزِئُ إِخْرَاجُ عَرْضٍ بِقِيمَةِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ زَكَاةِ الْعُرُوضِ، قَال الْحَنَفِيَّةُ: وَكَذَلِكَ زَكَاةُ غَيْرِهَا مِنَ الأَْمْوَال حَتَّى النَّقْدَيْنِ وَالْمَاشِيَةِ وَلَوْ كَانَتْ لِلسَّوْمِ لاَ لِلتِّجَارَةِ، وَيَأْتِي تَفْصِيل ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
وَفِي قَوْلٍ ثَالِثٍ لِلشَّافِعِيَّةِ قَدِيمٍ: أَنَّ زَكَاةَ الْعُرُوضِ تُخْرَجُ مِنْهَا لاَ مِنْ ثَمَنِهَا، فَلَوْ أُخْرِجَ مِنَ الثَّمَنِ لَمْ يُجْزِئْ (١) .

Mengeluarkan Zakat Harta Perdagangan dalam Bentuk Uang Tunai atau dari Aset Harta Itu Sendiri:
Asal dalam zakat perdagangan adalah mengeluarkannya dalam bentuk uang tunai dengan nisbah seperempat dari sepersepuluh nilainya, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, berdasarkan perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu kepada Hammas, “Takarlah nilainya, kemudian keluarkanlah zakatnya.”
Jika ia mengeluarkan zakat nilai dari salah satu dari dua mata uang (emas atau perak), maka itu cukup secara kesepakatan.
Namun, jika ia mengeluarkan barang dagangan sebagai zakat dari barang dagangan, maka para fuqaha berbeda pendapat mengenai kebolehannya.
Hanabilah, dan ini adalah zhahir dari perkataan Malikiyah dan pendapat Asy-Syafi’i dalam pendapat barunya yang menjadi fatwa, berpendapat bahwa itu tidak cukup. Mereka berdalil bahwa nishab dihitung berdasarkan nilai, maka zakatnya adalah dari nilai, sebagaimana sapi, ketika nishabnya dihitung berdasarkan asetnya, maka zakatnya wajib dari asetnya, dan demikian pula semua harta selain perdagangan.
Adapun menurut Hanafiyah, dan ini adalah pendapat kedua dari Asy-Syafi’i dalam pendapat lamanya, pemiliknya boleh memilih antara mengeluarkan dari barang dagangan atau dari nilainya, maka cukup mengeluarkan barang dagangan dengan nilai zakat barang dagangan yang wajib atasnya. Hanafiyah berkata, “Demikian pula zakat harta lainnya, bahkan uang tunai dan hewan ternak, meskipun untuk penggembalaan bukan untuk perdagangan,” dan rinciannya akan datang, insya Allah.
Dalam pendapat ketiga dari Asy-Syafi’i dalam pendapat lamanya, zakat barang dagangan dikeluarkan darinya, bukan dari harganya. Jika dikeluarkan dari harga, maka tidak cukup.

Referensi


حاشية الجمال ٧/٤٤١
وَإِنَّمَا تَجِبُ زَكَاةُ التِّجَارَةِ بِشَرْطِ حَوْلِ وَنِصَابٍ كَغَيْرِهَا ( مُعْتَبَرًا ) أَيْ النَّصَابُ بِآخِرِهِ ) أَي بِآخِرِ الْحَوْلِ لَا بِطَرَفَيْهِ وَلَا بِجَمْعَيْهِ ؛ لِأَنَّ الْاعْتِبَارَ بِالْقِيمَةِ وَتَعْسُرُ مُرَاعَاتُهَا كُلُّ وَقْتِ لِاضْطِرَابِ الْأَسْعَارِ انْخِفَاضًا وَارْتِفَاعًا وَاكْتَفَى بِاعْتِبَارِهَا آخِرَ الْحَوْلِ ؛ لِأَنَّهُ وَقْتُ الْوُجُوبِ فَلَوْ رَدَّ ) مَالَ التَّجَارَةِ فِي أَثْنَائِهِ ) أَي الْحَوْلِ إِلَى نَقْدِ كَأَنْ بِيعَ بِهِ وَكَانَ مِمَّا يَقُومُ بِهِ آخِرُهُ ) أَي آخِرُ الْحَوْلِ ، وَهُوَ دُونَ نِصَابٍ وَاشْتُرِيَ بِهِ عَرْضٌ أَبْتُدِئَ حَوْلُهُ أَيْ الْعَرْضُ ( مِنْ ) حِينِ شِرَائِهِ ) لِتَحَقَّقِ نَقْصِ النَّصَابِ بِالتَّنْضِيضِ بِخِلَافِهِ قَبْلَهُ ، فَإِنَّهُ مَظْنُونَ أَمَّا لَوْ بَاعَهُ بِعَرْضِ أَوْ بِنَقْدِ لَا يَقُومُ بِهِ آخِرَ الْحَوْلِ كَأَنْ بَاعَهُ بِدَرَاهِمَ وَالْحَالُ يَقْتَضِي التَّقْوِيمَ بِدَنَانِيرَ أَوْ بِنَقْدِ يَقُومُ بِهِ ، وَهُوَ نِصَابٌ فَحَوْلُهُ بَاقٍ وَقَوْلِي يَقُومُ بِهِ آخِرُهُ مِنْ زِيَادَتِي قَوْلُهُ بِشَرْطِ حَوْل وَيَظْهَرُ انْعِقَادُ الْحَوْلِ بِأَوَّلِ مَتَاعٍ يُشْتَرَى بِقَصْدِهَا وَيُنْبِئُ حَوْلُ مَا يُشْتَرَى بَعْدَهُ عَلَيْهِ . اهـ . شَوْبَرِي . ( قَوْلُهُ بِآخِرِهِ الْبَاءُ فِي بِآخِرِهِ وَبِطَرَفَيْهِ وَبِجَمِيعِهِ ظَرْفِيَّةٌ أَيْ فِي آخِرِهِ لَا فِي طَرَفَيْهِ وَلَا فِي جَمِيعِهِ اهـ . بِرْمَاوِي . وَعِبَارَةُ أَصْلِهِ مَعَ شَرْحِ م ر وَفِي قَوْلِ بِطَرَفَيْهِ أَيْ فِي أَوَّلِ الْحَوْلِ ، وَفِي آخِرِهِ وَلَا يُعْتَبَرُ مَا بَيْنَهُمَا إِذْ تَقْوِيمُ الْعَرَضِ فِي كُلِّ لَحْظَةٍ يَشُقُّ وَيُحْوِجُ إِلَى مُلَازَمَةِ السُّوقِ وَمُرَاقَبَةٍ دَائِمَةٍ ، وَفِي قَوْلِ بِجَمِيعِهِ كَالْمَوَاشِي ، وَعَلَيْهِ لَوْ نَقَصَتْ قِيمَتُهُ عَنْ النَّصَابِ فِي لَحْظَةِ انْقَطَعَ الْحَوْلُ ، فَإِنْ كَمُلَ بَعْدَ ذَلِكَ اسْتَأْنَفَ الْحَوْلَ مِنْ يَوْمَئِذٍ وَهَذَانِ مَخْرَجَانِ وَالْمَنْصُوصُ الْأَوَّلُ انْتَهَتْ .


“Sesungguhnya zakat perdagangan itu wajib dengan syarat haul (satu tahun) dan nishab (batas minimal), seperti zakat lainnya. (Dianggap) maksudnya nishab pada akhirnya, yaitu pada akhir haul, bukan pada kedua sisinya (awal dan akhir) dan bukan pada keseluruhannya; karena yang dianggap adalah nilai, dan sulit untuk memperhatikannya setiap waktu karena gejolak harga yang turun naik, dan cukup dengan menganggapnya pada akhir haul; karena itu adalah waktu wajibnya. Maka jika mengembalikan (harta perdagangan di tengah-tengahnya), yaitu haul, menjadi uang tunai, seperti dijual dengannya dan termasuk yang nilainya mencapai nishab pada akhirnya), yaitu akhir haul, sedangkan nilainya di bawah nishab, dan dibeli dengannya barang dagangan, maka dimulai haulnya, yaitu barang dagangan, (dari) waktu pembeliannya), karena telah pasti kekurangan nishab dengan penunaian, berbeda dengan sebelumnya, karena itu hanya dugaan. Adapun jika menjualnya dengan barang dagangan atau uang tunai yang nilainya tidak mencapai nishab pada akhir haul, seperti menjualnya dengan dirham sedangkan keadaan menuntut penilaian dengan dinar, atau dengan uang tunai yang nilainya mencapai nishab, maka haulnya tetap. Dan perkataanku ‘nilainya mencapai nishab pada akhirnya’ adalah tambahan dariku. Perkataannya ‘dengan syarat haul’ menunjukkan bahwa awal haul dimulai dengan barang pertama yang dibeli dengan tujuan perdagangan, dan haul barang yang dibeli setelahnya mengikuti haul tersebut. Selesai. Syauhari. (Perkataannya ‘pada akhirnya’, huruf ba’ pada ‘pada akhirnya’, ‘pada kedua sisinya’, dan ‘pada keseluruhannya’ menunjukkan makna ‘di’, yaitu pada akhirnya, bukan pada kedua sisinya dan bukan pada keseluruhannya. Selesai. Burmawi. Ungkapan aslinya beserta penjelasan M.R. dan pada perkataan ‘pada kedua sisinya’ yaitu pada awal haul dan pada akhirnya, dan tidak dianggap apa yang di antara keduanya, karena menilai barang dagangan setiap saat itu sulit dan mengharuskan untuk terus berada di pasar dan mengawasi terus-menerus. Dan pada perkataan ‘pada keseluruhannya’ seperti hewan ternak, dan karenanya jika nilainya berkurang dari nishab pada suatu saat, maka haulnya terputus, dan jika setelah itu nilainya mencapai nishab, maka haul dimulai kembali dari hari itu. Dan ini adalah dua pendapat, dan yang disebutkan adalah pendapat pertama. Selesai.”

حاشية الشبراملسي نهاية المحتاج ( ٥٥/٦ )
( قَوْلُهُ : وَيَبْطُلُ الْحَوْلُ الْأَوَّلُ ( قَضِيَّتُهُ أَنَّهُ لَوْ اشْتَرَى بِبَعْضِ مَالِ الْقِنْيَةِ عَرْضًا لِلتَّجَارَةِ أَوَّلَ الْمُحَرَّمِ ، ثُمَّ بِبَاقِيهِ عَرْضًا آخَرَ أَوَّلَ صَفَرٍ أَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِذَا لَمْ تَبْلُغْ قِيمَةُ كُلِّ وَاحِدٍ نِصَابًا ؛ لِأَنَّهُ بِأَوَّلِ الْمُحَرَّمِ مِنْ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ يَنْقَطِعُ مَا اشْتَرَاهُ أَوَّلًا لِنَقْصِهِ عَنْ النَّصَابِ وَيُبْتَدَأَ لَهُ حَوْلٌ مِنْ ذَلِكَ الْوَقْتِ ، وَيُقَوَّمُ الثَّانِي أَوَّلَ صَفَرٍ مِنَ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ وَهَكَذَا ، فَلَا يَجِبُ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَكَاةً إِلَّا إِذَا بَلَغَ نِصَابًا آخَرَ ، وَلَيْسَ مُرَادًا بَلْ يُزَكِّى الْجَمِيعُ آخِرَ حَوْلِ الثَّانِي لِوُجُودِ الْجَمِيعِ فِي مِلْكِهِ مِنْ أَوَّلِ صَفَرٍ .

Hasyiyah Asy-Syabramallisi Nihayah Al-Muhtaj (6/55)
(Perkataannya: “Dan batal haul pertama”). Kesimpulannya adalah, seandainya seseorang membeli sebagian harta perolehan dengan barang dagangan pada awal Muharram, kemudian dengan sisanya membeli barang dagangan lain pada awal Safar, maka tidak ada zakat pada salah satu dari keduanya jika nilai masing-masing tidak mencapai nishab. Karena pada awal Muharram tahun kedua, apa yang dibeli pertama kali terputus karena kurang dari nishab dan dimulai haul baru untuknya dari waktu itu. Yang kedua dinilai pada awal Safar tahun kedua, dan begitu seterusnya. Maka tidak wajib zakat pada salah satunya kecuali jika mencapai nishab lain. Dan ini bukan yang dimaksud, tetapi semuanya dizakati pada akhir haul yang kedua, karena semuanya sudah dimiliki sejak awal Safar.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج ( ١٢/٣٢٤ )
فَلَوْ اشْتَرَى الْعَرْضَ بِالْمِائَةِ أَي الْمِائَةِ الدَّرْهَمِ الَّتِي مَعَهُ فَلَمَّا مَضَتْ سِتَّةُ أَشْهُرٍ اسْتَفَادَ خَمْسِينَ دِرْهَمًا مِنْ جِهَةٍ أُخْرَى فَلَمَّا تَمَّ حَوْلُ الْعَرْضِ كَانَتْ قِيمَتُهُ مِائَةً وَخَمْسِينَ فَلَا زَكَاةَ ؛ لِأَنَّ الْخَمْسِينَ لَمْ يَتِمَّ حَوْلُهَا ؛ لِأَنَّهَا وَإِنْ ضُمَّتْ إِلَى مَالِ التِّجَارَةِ فَإِنَّمَا تُضَمَّ إِلَيْهِ فِي النِّصَابِ لَا فِي الْحَوْلِ ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنَ الْعَرْضِ وَلَا مِنْ رِبْحِهِ فَإِذَا تَمَّ حَوْلُ الْخَمْسِينَ زَكَّى الْمِائَتَيْنِ وَلَوْ كَانَ مَعَهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ فَاشْتَرَى بِهَا عَرْضًا لِلتِّجَارَةِ فِي أَوَّلِ الْمُحَرَّمِ ثُمَّ اسْتَفَادَ مِائَةً أَوَّلَ صَفَرٍ فَاشْتَرَى بِهَا عَرْضًا ثُمَّ اسْتَفَادَ مِائَةً ثَالِثَةً فِي أَوَّلِ شَهْرِ رَبِيعٍ فَاشْتَرَى بِهَا عَرْضًا آخَرَ فَإِذَا تَمَّ حَوْلُ الْمِائَةِ الثَّانِيَةِ قُوْمَ عَرْضُهَا فَإِذَا بَلَغَتْ قِيمَتُهُ مَعَ الْأُولَى نِصَابًا زَكَاهُمَا وَإِنْ نَقَصَا عَنْهُ فَلَا زَكَاةَ فِي الْحَالِ فَإِذَا تَمَّ حَوْلُ الْمِائَةِ الثَّالِثَةِ فَإِنْ كَانَ الْجَمِيعُ نِصَابَا زَكَاهُ وَإِلَّا فَلَا اهـ . وَفِي الْقُوتِ مَا نَصُّهُ إِشَارَةٌ تُضَمُّ أَمْوَالُ التِّجَارَةِ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ فِي النِّصَابِ وَإِنْ اخْتَلَفَ حَوْلُهَا اهـ .

Tuhfah Al-Muhtaj dalam Syarah Al-Minhaj (12/324)
Seandainya seseorang membeli barang dagangan dengan seratus, yaitu seratus dirham yang dimilikinya, lalu setelah enam bulan ia mendapat lima puluh dirham dari arah lain, maka ketika haul barang dagangan itu sempurna, nilainya menjadi seratus lima puluh, maka tidak ada zakat. Karena yang lima puluh belum sempurna haulnya. Karena meskipun digabungkan dengan harta dagangan, penggabungannya hanya pada nishab, bukan pada haul. Karena itu bukan dari barang dagangan dan bukan dari keuntungannya. Maka jika haul yang lima puluh itu sempurna, ia menzakati yang dua ratus. Dan seandainya ia memiliki seratus dirham, lalu ia membeli barang dagangan dengannya pada awal Muharram, kemudian ia mendapat seratus pada awal Safar lalu ia membeli barang dagangan dengannya, kemudian ia mendapat seratus ketiga pada awal bulan Rabi’ lalu ia membeli barang dagangan lain dengannya, maka ketika haul yang seratus kedua sempurna, barang dagangan itu dinilai. Jika nilainya bersama yang pertama mencapai nishab, ia menzakati keduanya, dan jika kurang dari itu, maka tidak ada zakat saat itu. Maka jika haul yang seratus ketiga sempurna, jika semuanya mencapai nishab, ia menzakatinya, dan jika tidak, maka tidak. Selesai. Dalam Al-Qut disebutkan: “Isyarat, harta dagangan digabungkan sebagian dengan sebagian lainnya dalam nishab, meskipun haulnya berbeda.” Selesai.

الفقه الإسلامي وأدلته (٢٢٨/٣)
يُقَوِّمُ التَّاجِرُ الْعُرُوضَ أَوْ الْبَضَائِعَ التَّجَارِيَّةَ فِي آخِرِ كُلِّ عَامٍ بِحَسَبِ سِعْرِهَا فِي وَقْتِ إِخْرَاجِ الزَّكَاةِ، لَا بِحَسَبِ سِعْرِ شِرَائِهَا، وَيُخْرِجُ الزَّكَاةَ الْمَطْلُوبَةَ، وَتُضَمُ السِّلَعُ التِّجَارِيَّةُ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ عِنْدَ التَّقْوِيمِ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ أَجْنَاسُهَا، كَثِيَابٍ وَجُلُودٍ وَمَوَادٍ تَمْوِينِيَّةٍ، وَتَجِبُ الزَّكَاةُ بِلَا خِلَافٍ فِي قِيمَةِ الْعُرُوضِ، لَا فِي عَيْنِهَا؛ لِأَنَّ النِّصَابَ مُعْتَبَرٌ بِالْقِيمَةِ، فَكَانَتْ الزَّكَاةُ مِنْهَا، وَوَاجِبُ التِّجَارَةِ هُوَ رُبْعُ عُشْرِ الْقِيمَةِ كَالنَّقْدِ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ، قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ فِي الْعُرُوضِ الَّتِي يُرَادُ بِهَا التِّجَارَةُ: الزَّكَاةُ إِذَا حَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ.

Fiqh Islam dan Dalil-dalilnya (3/228)
Seorang pedagang menilai barang dagangannya atau barang-barang komersial di akhir setiap tahun berdasarkan harganya pada saat mengeluarkan zakat, bukan berdasarkan harga pembeliannya, dan mengeluarkan zakat yang wajib. Barang-barang komersial digabungkan satu sama lain saat penilaian, meskipun jenisnya berbeda, seperti pakaian, kulit, dan bahan makanan. Zakat wajib tanpa perbedaan pendapat pada nilai barang dagangan, bukan pada bendanya; karena nishab dihitung berdasarkan nilai, maka zakatnya diambil dari sana, dan kewajiban perdagangan adalah seperempat dari sepersepuluh nilai seperti uang tunai menurut kesepakatan para ulama. Ibnu Mundzir berkata: Para ulama telah sepakat bahwa pada barang dagangan yang dimaksudkan untuk perdagangan: zakat wajib jika telah mencapai satu tahun.

(أسنى المطالب شرح روض الطالب ١١٩/٥)
(فَرْعٌ) لَوْ اشْتَرَى عَرْضًا لِلتِّجَارَةِ بِعِشْرِينَ دِينَارًا ثُمَّ بَاعَهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ بِأَرْبَعِينَ دِينَارًا وَاشْتَرَى بِهَا عَرْضًا آخَرَ وَبَلَغَ آخِرَ الْحَوْلِ بِالتَّقْوِيمِ أَوْ بِالتَّنْضِيضِ مِائَةً زَكَّى خَمْسِينَ لِأَنَّ رَأْسَ الْمَالِ عِشْرُونَ وَنَصِيبُهَا مِنَ الرِّبْحِ ثَلَاثُونَ يُزَكِّي أَيِ الرِّبْحَ الَّذِي هُوَ ثَلَاثُونَ مَعَ أَصْلِهِ) الَّذِي هُوَ عِشْرُونَ لِأَنَّهُ حَصَلَ فِي آخِرِ الْحَوْلِ مِنْ غَيْرِ نَضُوضٍ لَهُ قَبْلَهُ ثُمَّ إِنْ كَانَ قَدْ بَاعَ الْعَرْضَ قَبْلَ حَوْلِ الْعِشْرِينَ الرِّبْحَ كَانَ بَاعَهُ آخِرَ الْحَوْلِ الْأَوَّلِ زَكَاهَا لِحَوْلِهَا أَيْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ مُضِيِّ الْأَوَّلِ وَزَكَّى رِيحَهَا) وَهُوَ ثَلَاثُونَ لِحَوْلِهِ) أَيْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ أُخْرَى فَإِنْ كَانَتِ الْخَمْسُونَ الَّتِي زَكَّى عَنْهَا أَوَّلًا بَاقِيَةً زَكَاهَا أَيْضًا لِحَوْلِ الثَّلَاثِينَ (وَإِلَّا) أَيْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ بَاعَ الْعَرْضَ قَبْلَ حَوْلِ الْعِشْرِينَ الرِّبْحَ زَكَاهُ) أَيْ رِبْحَهَا وَهُوَ الثَّلَاثُونَ (مَعَهَا) لِأَنَّهُ لَمْ يَنْضُ قَبْلَ فَرَاغِ حَوْلِهَا وَإِذَا اشْتَرَى عَرْضًا بِعَشَرَةٍ) مِنَ الدَّنَانِيرِ وَبَاعَ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ بِعِشْرِينَ مِنْهَا وَلَمْ يَشْتَرِ بِهَا عَرْضًا زَكَّى كُلًّا مِنَ الْعَشَرَتَيْنِ (لِحَوْلِهِ) بِحُكْمِ الْخُلْطَةِ وَقَدْ يَسْتَشْكِلُ زَكَاةً الْعَشَرَةِ الرِّبْحِ بِأَنَّ النِّصَابَ نَقَصَ بِالْإِخْرَاجِ عَنِ الْعَشَرَةِ الْأُخْرَى وَيُجَابُ بِمَا أَجَبْتُ بِهِ عَنْ كَلَامِ الْإِسْنَوِي فِي بَابِ الْخُلْطَةِ فِي فَرْعِ مَلَكَ أَرْبَعِينَ شَاةً.

(Asna al-Mathalib Syarh Raud al-Thalib 5/119)
(Cabang) Jika seseorang membeli barang dagangan untuk perdagangan dengan dua puluh dinar, kemudian menjualnya setelah enam bulan dengan empat puluh dinar dan membeli barang dagangan lain dengannya, dan mencapai akhir tahun dengan penilaian atau dengan penjualan seratus, maka dia wajib mengeluarkan zakat lima puluh, karena modalnya dua puluh dan bagian keuntungannya tiga puluh. Dia wajib mengeluarkan zakat, yaitu keuntungan yang tiga puluh bersama modalnya) yang dua puluh, karena itu diperoleh di akhir tahun tanpa penjualan sebelumnya. Kemudian, jika dia telah menjual barang dagangan sebelum genap satu tahun dari dua puluh, maka keuntungannya dijual di akhir tahun pertama, dia wajib mengeluarkan zakatnya untuk satu tahunnya, yaitu untuk enam bulan dari awal, dan dia wajib mengeluarkan zakat keuntungannya) yaitu tiga puluh untuk satu tahunnya) yaitu untuk enam bulan berikutnya. Jika lima puluh yang dia zakati pertama kali masih ada, dia wajib mengeluarkan zakatnya lagi untuk satu tahun dari tiga puluh (jika tidak), yaitu jika dia belum menjual barang dagangan sebelum genap satu tahun dari dua puluh keuntungan, dia wajib mengeluarkan zakatnya) yaitu keuntungannya yang tiga puluh (bersamanya), karena itu belum terjual sebelum berakhirnya satu tahunnya. Dan jika dia membeli barang dagangan dengan sepuluh) dinar dan menjualnya di tengah tahun dengan dua puluh darinya dan tidak membeli barang dagangan lain dengannya, dia wajib mengeluarkan zakat dari masing-masing sepuluh (untuk satu tahunnya) berdasarkan hukum pencampuran. Dan zakat sepuluh keuntungan mungkin bermasalah, karena nishab berkurang dengan pengeluaran dari sepuluh yang lain, dan jawabannya adalah dengan apa yang saya jawab tentang perkataan al-Isnawi di bab pencampuran dalam cabang kepemilikan empat puluh ekor kambing.

Kategori
Hukum

Waktu Shalat Tarawih menurut Empat Madzhab

Assalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

Deskripsi Masalah

Shalat tarawih adalah shalat sunnah yang dilakukan pada malam bulan Ramadhan.
Secara umum, waktu shalat tarawih adalah setelah shalat Isya dan sebelum waktu Subuh.Namun, muncul pertanyaan sebagaimana berikut:

Apakah boleh Waktu shalat tarawih dikerjakan sebelum shalat Isya.

Waalaikum salam

Jawaban :
Secara umum, mayoritas ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) sepakat bahwa waktu pelaksanaan shalat Tarawih adalah setelah shalat Isya dan sebelum waktu Subuh. Namun, terdapat sedikit perbedaan pendapat mengenai keabsahan shalat Tarawih yang dilakukan sebelum Isya. Berikut adalah rinciannya:
1️⃣ Mazhab Hanafi:
Mazhab ini memiliki pandangan yang paling fleksibel. Menurut mereka, shalat Tarawih sah dilakukan kapan saja di malam hari, baik sebelum maupun sesudah shalat Isya.
2️⃣ Mazhab Maliki:
Mazhab ini berpendapat bahwa waktu utama shalat Tarawih adalah setelah shalat Isya. Jika dilakukan sebelum Isya, maka shalat tersebut dianggap sebagai shalat sunnah biasa (nafilah), bukan shalat Tarawih.
3️⃣Mazhab Syafi’i:
Mazhab ini menegaskan bahwa shalat Tarawih tidak sah jika dilakukan sebelum shalat Isya. Mereka berpendapat bahwa waktu yang tepat untuk shalat Tarawih adalah setelah shalat Isya.
4️⃣ Mazhab Hambali:
Sama seperti Mazhab Syafi’i, Mazhab Hambali juga berpendapat bahwa shalat Tarawih tidak sah jika dilakukan sebelum shalat Isya. Waktu yang sah adalah setelah shalat Isya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama dari empat mazhab menganjurkan untuk melaksanakan shalat Tarawih setelah shalat Isya. Meskipun ada perbedaan pendapat, khususnya dalam Mazhab Hanafi, sebaiknya kita mengikuti pendapat yang lebih kuat dan sesuai dengan praktik para sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu melaksanakan shalat Tarawih setelah shalat Isya.

الموسوعة الفقهية الكويتيه.ج ٢٧ ص ١٤٥-١٤٦


وذ هب جمهور الفقهاء إلى أن وقت صلاة التراويح من بعد صلاة العشاء، وقبل الوتر إلى طلوع الفجر؛ لنقل الخلف عن السلف، ولأنها عرفت بفعل الصحابة فكان وقتها ما صلوا فيه، وهم صلوا بعد العشاء قبل الوتر؛ ولأنها سنة تبع للعشاء فكان وقتها قبل الوتر. ولو صلاها بعد المغرب وقبل العشاء
فجمهور الفقهاء وهو الأصح عند الحنفية على أنها لا تجزئ عن التراويح، وتكون نافلة عند المالكية، ومقابل الأصح عند الحنفية أنها تصح؛ لأن جميع الليل إلى طلوع الفجر قبل العشاء وبعدها وقت للتراويح؛ لأنها سميت قيام الليل فكان وقتها الليل.
وعلل الحنابلة عدم الصحة بأنها تفعل بعد مكتوبة وهي العشاء فلم تصح قبلها كسنة العشاء، وقالوا: إن التراويح تصلى بعد صلاة العشاء وبعد سنتها، قال المجد: لأن سنة العشاء يكره تأخيرها عن وقت العشاء المختار، فكان إتباعها لها أولى.
ولو صلاها بعد العشاء وبعد الوتر فالأصح عند الحنفية أنها تجزئ.
وذهب الحنفية والشافعية إلى أنه يستحب تأخير التراويح إلى ثلث الليل أو نصفه، واختلف الحنفية في أدائها بعد نصف الليل، فقيل يكره؛ لأنها تبع للعشاء كسنتها، والصحيح لا يكره لأنها من صلاة الليل والأفضل فيها آخره.

Waktu Shalat Tarawih Menurut Mazhab Fiqih
Pendapat Jumhur Ulama:
Mayoritas ulama fiqih berpendapat bahwa waktu shalat tarawih adalah setelah shalat Isya, dan sebelum shalat Witir, hingga terbit fajar.
Pendapat ini didasarkan pada praktik para sahabat Nabi Muhammad SAW, yang melaksanakan shalat tarawih setelah Isya dan sebelum Witir.
Selain itu, shalat tarawih dianggap sebagai sunnah yang mengikuti shalat Isya, sehingga waktunya pun sebelum Witir.
Shalat Tarawih Sebelum Isya:
Mayoritas ulama fiqih, dan pendapat yang paling kuat dalam mazhab Hanafi, menyatakan bahwa shalat tarawih tidak sah jika dilakukan sebelum shalat Isya.
Dalam mazhab Maliki, shalat yang dilakukan sebelum Isya dianggap sebagai shalat sunnah biasa (nafilah).
Pendapat yang berbeda dalam mazhab Hanafi menyatakan bahwa shalat tarawih sah dilakukan kapan saja di malam hari, baik sebelum maupun sesudah Isya, karena shalat tarawih termasuk dalam kategori qiyamul lail (shalat malam).
Mazhab Hambali beralasan, bahwa shalat tarawih dilakukan setelah shalat wajib yaitu isya, maka tidak sah jika dikerjakan sebelum isya sama seperti sunnah isya. Dan mereka berkata: sesungguhnya shalat tarawih dikerjakan setelah shalat isya dan setelah sunnahnya. Imam Al-Majd berkata: sesungguhnya sunnah isya dimakruhkan pengakhirannya dari waktu isya yang dipilih, maka mengikutkannya pada isya lebih utama.
Shalat Tarawih Setelah Witir:
Pendapat yang paling kuat dalam mazhab Hanafi menyatakan bahwa shalat tarawih tetap sah jika dilakukan setelah shalat Witir.
Waktu Utama Shalat Tarawih:
Mazhab Hanafi dan Syafi’i menganjurkan untuk mengakhirkan shalat tarawih hingga sepertiga atau setengah malam.
Dalam mazhab Hanafi, terdapat perbedaan pendapat mengenai pelaksanaan shalat tarawih setelah tengah malam. Ada yang mengatakan makruh, karena shalat tarawih mengikuti shalat Isya, seperti sunnahnya. Namun, pendapat yang lebih kuat menyatakan bahwa tidak makruh, karena shalat tarawih termasuk shalat malam, dan waktu malam yang paling utama adalah akhir malam.

المجموع شرح المهذب ٢٢/٤
 (فرع)
يدخل وقت التراويح بالفراغ من صلاة العشاء ذكره البغوي وغيره ويبقى إلى طلوع الفجر وليصلها ركعتين ركعتين كما هو العادة فلو صلى أربع ركعات بتسليمة لم يصح ذكره القاضي حسين في فتاويه لأنه خلاف المشروع قال ولا تصح بنية مطلقة بل ينوي سنة التراويح أو صلاة التراويح أو قيام رمضان فينوي في كل ركعتين ركعتين من صلاة التراويح

“(Cabang)
Waktu shalat Tarawih dimulai setelah selesai shalat Isya, sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baghawi dan ulama lainnya, dan berlangsung hingga terbit fajar. Sebaiknya shalat Tarawih dikerjakan dua rakaat dua rakaat, sebagaimana kebiasaannya. Jika seseorang mengerjakan empat rakaat dengan satu salam, maka tidak sah, seperti yang disebutkan oleh Qadhi Husain dalam fatwanya, karena hal itu bertentangan dengan yang disyariatkan. Beliau juga mengatakan bahwa tidak sah dengan niat mutlak (shalat sunnah biasa), tetapi harus berniat sunnah Tarawih, atau shalat Tarawih, atau qiyam Ramadhan. Jadi, berniatlah setiap dua rakaat sebagai dua rakaat dari shalat Tarawih.”
Poin-poin penting yang dapat ditarik dari teks ini:
➡️ Waktu Shalat Tarawih:
✅ Dimulai setelah shalat Isya.
✅ Berlangsung hingga terbit fajar.
➡️ Tata Cara Shalat Tarawih:
✅Dikerjakan dua rakaat dua rakaat.
✅Tidak sah jika dikerjakan empat rakaat dengan satu salam.
➡️ Niat Shalat Tarawih:
✅ Harus berniat khusus untuk shalat Tarawih, bukan niat shalat sunnah biasa.
➡️ Niat dilakukan setiap dua rakaat. Wallahu a’lam bisshowab

Kategori
Hukum

HADIAH DARI SEORANG FAQIR KEPADA ORANG KAYA DARI ZAKAT FITRAH ATAU SEDEKAH

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.

Deskripsi Masalah yang Diperbaiki:
Seseorang bernama Rofiqul A’la telah menunaikan zakat fitrah atau sedekah kepada saudaranya, Hamidi, yang tergolong fakir atau miskin. Beberapa hari kemudian, Rofiqul A’la berkunjung ke rumah Hamidi untuk bersilaturahmi. Saat berkunjung, Rofiqul A’la dihidangkan makanan yang ternyata bahan pokoknya (beras) berasal dari zakat fitrah atau sedekah yang sebelumnya ia berikan kepada Hamidi.

Pertanyaan

Apakah diperbolehkan bagi Rofiqul A’la untuk mengonsumsi hidangan yang disajikan oleh Hamidi, yang bahan pokoknya berasal dari zakat fitrah atau sedekah yang pernah ia berikan? Mohon penjelasan beserta dalil atau landasan hukumnya!

Jawaban
Hukumnya boleh Rofiqul A’la memakan hadiah makanan yang dihidangkan oleh Hamidi yang ternyata diketahui bahwa bahan pokoknya (beras) berasal dari zakat fitrah atau sedekah yang sebelumnya ia berikan kepada Hamidi. Alasannya karena zakat/sedekah Setelah diberikan, harta tersebut sepenuhnya menjadi hak milik penerima (Hamidi). Penerima berhak untuk menggunakan harta tersebut sesuai dengan kebutuhannya.

Referensi:

كتاب شرح سنن أبي داود للعباد
[عبد المحسن العباد] ج: ٢٠١ ص: ١٠

 إهداء الفقير للغني من الصدقة

[شرح حديث: (هو لها صدقة ولنا هدية)]
قال المصنف رحمه الله تعالى: [باب: الفقير يهدي للغني من الصدقة.
حدثنا عمرو بن مرزوق أخبرنا شعبة عن قتادة عن أنس رضي الله عنه (أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أتي بلحم، قال: ما هذا؟ قالوا: شيء تصدق به على بريرة، فقال: هو لها صدقة، ولنا هدية)].
قال الإمام أبو داود السجستاني رحمه الله تعالى: باب: الفقير يهدي للغني من الصدقة.
أي أن ذلك سائغ وجائز؛ لأن الصدقة إذا تصدق بها على الفقير صارت ملكا له يتصرف فيها كيف يشاء، فله أن يهديها، وله أن يدعو لأكلها، وإلى أكل طعامه الذي تصدق عليه به؛ فإن الشيء إذا تصدق به على الفقير فإنه يدخل في ملكه، وتصير ملكا له، وإذا أكلها غني بعد ذلك، أو أكلها من لا تحل له الصدقة؛ فإن ذلك لا بأس به، ولا محذور فيه، وقد سبق أن مرت بعض التراجم التي تماثل هذه الترجمة، وهنا جاءت بالنسبة للنبي صلى الله عليه وسلم، فلو كانت الترجمة: باب الفقير يهدي إلى من لا تحل له الصدقة، لكان أولى.
وسبق أن مرت بعض التراجم التي فيها أن فقيرا يهدي إلى غني، وفي بعض الأحاديث أنه يدعوه، فسواء أهدى إليه، أو دعاه لحضور وليمة، أو إلى أن يأكل من طعامه؛ فكل ذلك لا بأس به، لكن هذه الترجمة كان الأولى أن تكون كما ذكرت آنفا.
أورد أبو داود حديث أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم إليه لحم فقال: (ما هذا؟ قالوا: لحم تصدق به على بريرة، فقال عليه الصلاة والسلام: هو لها صدقة، ولنا هدية).
يعني: أنه وصل إليها عن طريق الصدقة فملكته، ثم وصل إلينا هدية، والنبي صلى الله عليه وسلم يأكل من الهدية ويقبلها، ولكنه لا يأخذ الصدقة صلى الله عليه وسلم، فوصول الصدقة إلى الفقير يصيرها ملكا له، فيتصرف فيها كيف يشاء، فإذا شاء أن يهديها إلى من لا تحل له الصدقة فله ذلك، وإن شاء أن يدعو إليها من لا تحل له الصدقة فله ذلك، فقد خرجت عن كونها صدقة؛ لكونها صارت ملكا للذي تصدق بها عليه، فيتصرف فيها كيف شاء.
ويدل هذا الحديث أيضا على سؤال الرجل عما يحصل في بيته مما يكون غريبا، فالنبي صلى الله عليه وسلم قال: (ما هذا؟)، وذلك أنه رأى اللحم، وكان حصول اللحم ليس معتادا لهم، فلما رآه عليه الصلاة والسلام سأل عنه، فأخبر عن حقيقته، وأنه تصدق به على بريرة، وأعطتهم بريرة إياه هدية، فقال عليه الصلاة والسلام: (هو لها صدقة، ولنا هدية).

Penjelasan Hadis: “Itu Sedekah untuknya, dan Hadiah untuk Kita”
Imam Abu Daud rahimahullah membuat bab: “Orang fakir memberi hadiah kepada orang kaya dari sedekah.”
Ini menunjukkan bahwa hal tersebut diperbolehkan dan dibolehkan. Karena sedekah yang diberikan kepada orang fakir menjadi miliknya, dan dia dapat menggunakannya sesuka hati. Dia boleh memberikannya sebagai hadiah, atau mengundang orang lain untuk memakannya. Jika orang kaya memakannya setelah itu, atau orang yang tidak berhak menerima sedekah memakannya, maka tidak ada masalah dan tidak ada larangan.
Sebelumnya telah disebutkan beberapa bab yang serupa dengan bab ini. Di sini, hal itu dikaitkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Alangkah lebih baiknya jika bab ini diberi judul: “Orang fakir memberi hadiah kepada orang yang tidak berhak menerima sedekah.”
Sebelumnya juga telah disebutkan beberapa bab yang menyebutkan bahwa orang fakir memberi hadiah kepada orang kaya, dan dalam beberapa hadis disebutkan bahwa dia mengundangnya. Baik dia memberinya hadiah, atau mengundangnya untuk menghadiri walimah, atau makan dari makanannya, semuanya diperbolehkan.
Abu Daud meriwayatkan hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi daging, lalu beliau bertanya: “Apa ini?” Mereka menjawab: “Daging yang disedekahkan kepada Barirah.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu sedekah untuknya, dan hadiah untuk kita.”
Artinya, daging itu sampai kepadanya melalui sedekah, sehingga dia memilikinya, lalu sampai kepada kita sebagai hadiah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memakan hadiah dan menerimanya, tetapi beliau tidak mengambil sedekah. Sedekah yang sampai kepada orang fakir menjadikannya miliknya, sehingga dia dapat menggunakannya sesuka hati. Jika dia ingin memberikannya sebagai hadiah kepada orang yang tidak berhak menerima sedekah, maka dia boleh melakukannya. Jika dia ingin mengundang orang yang tidak berhak menerima sedekah untuk memakannya, maka dia boleh melakukannya. Karena sedekah itu telah keluar dari statusnya sebagai sedekah, karena telah menjadi milik orang yang disedekahkan kepadanya, sehingga dia dapat menggunakannya sesuka hati.
Hadis ini juga menunjukkan bahwa seseorang boleh bertanya tentang hal-hal aneh yang terjadi di rumahnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa ini?” Karena beliau melihat daging itu, dan daging bukanlah sesuatu yang biasa mereka dapatkan. Ketika beliau melihatnya, beliau bertanya tentangnya, lalu diberi tahu tentang hakikatnya, yaitu bahwa daging itu disedekahkan kepada Barirah, dan Barirah memberikannya kepada mereka sebagai hadiah. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu sedekah untuknya, dan hadiah untuk kita.” Wallahu a’lam bisshowab

Kategori
Hukum

Prioritas Zakat pada Tetangga dan Keluarga Jauh

 

Assalamualaikum
Ijin nanya prioritas zakat, untuk tetangga, keluarga jauh ?
Waalaikum salam.

Jawab.

Perioritas tetangga atau keluarga yang jauh diberi zakat jika termasuk pada golongan fakir miskin atau masuk pada mustahik zakat ( masuk dari salah salah satu dari delapan golongan mustqhik zakat dan sangat membutuhkan diantara mereka ).

Kriteria Penerima Zakat
  • Zakat boleh diberikan kepada tetangga atau keluarga jauh jika mereka termasuk dalam salah satu dari delapan golongan penerima zakat (mustahik).
  • Delapan golongan tersebut adalah: fakir, miskin, amil zakat, mualaf, riqab (budak), gharimin (orang yang berutang), fisabilillah (orang yang berjuang di jalan Allah), dan ibnu sabil (musafir yang membutuhkan).
  • Keluarga Jauh:
  • Jika keluarga jauh tidak termasuk dalam tanggungan nafkah pemberi zakat, maka diperbolehkan memberikan zakat kepada mereka.
  • Keluarga Dekat:
  • Untuk keluarga dekat (orang tua, anak, saudara kandung, dll.), terdapat rincian:
    • Jika mereka berhak menerima zakat karena alasan lain (misalnya, sebagai amil zakat atau fisabilillah), maka zakat boleh diberikan.
    • Jika mereka fakir atau miskin, kebolehan pemberian zakat bergantung pada siapa yang menyalurkan zakat.
    • Jika zakat disalurkan oleh imam/pemerintah, maka boleh diberikan kepada keluarga dekat yang berhak.
    • Jika zakat di salurkan secara pribadi, maka ada baiknya di berikan kepada keluarga jauh terlebih dahulu, atau tetangga yang membutuhkan.
  • Prioritas Pemberian Zakat:
  • Secara umum, memberikan zakat kepada kerabat yang membutuhkan (jika memenuhi syarat) memiliki keutamaan karena mengandung unsur silaturahmi.
  • Tetangga yang membutuhkan juga memiliki prioritas, apalagi jika tetangga tersebut sangat membutuhkan bantuan.
  • Namun, prioritas utama tetaplah kepada mereka yang paling membutuhkan dari delapan golongan penerima zakat.
    Kesimpulan:
  • Zakat boleh diberikan kepada tetangga dan keluarga jauh jika mereka termasuk mustahik zakat.
  • Prioritas diberikan kepada yang paling membutuhkan, dengan mempertimbangkan unsur kekerabatan dan kedekatan.
  • Penting untuk memastikan bahwa penerima zakat benar-benar termasuk dalam golongan yang berhak.

فقه الزكاة الجزء الثاني ص ٧١٦

المبحث الرابع
هَلْ تُدْفَعُ الزَّكَاةُ إِلَى الزَّوْجِ وَالْوَالِدَيْنِ وَالْأَقَارِبِ؟
إِذَا كَانَ الْقَرِيبُ بَعِيدَ الْقَرَابَةِ مِمَّنْ لَا تَلْزَمُ صَاحِبَ الزَّكَاةِ نَفَقَتُهُ، فَلَا حَرَجَ فِي إِعْطَائِهِ مِنْ زَكَاةِ قَرِيبِهِ سَوَاءٌ أَعْطَاهُ الْقَرِيبُ نَفْسُهُ، أَمْ غَيْرُهُ مِنَ الْمُزَكِّينَ، أَوِ الْإِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ، أَعْنِي إِدَارَةَ تَوْزِيعِ الزَّكَاةِ، وَسَوَاءٌ أُعْطِيَ مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ أَمْ مِنْ غَيْرِهِمَا.
أَمَّا الْقَرِيبُ الْوَثِيقُ الْقَرَابَةِ – كَالْوَالِدَيْنِ وَالْأَوْلَادِ وَالْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ… إِلَخْ فَفِي جَوَازِ إِعْطَائِهِمْ مِنَ الزَّكَاةِ تَفْصِيلٌ:
فَإِذَا كَانَ الْقَرِيبُ يَسْتَحِقُّ الزَّكَاةَ لِأَنَّهُ مِنَ الْعَامِلِينَ عَلَيْهَا أَوْ فِي الرِّقَابِ أَوْ الْغَارِمِينَ أَوْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، فَلِقَرِيبِهِ أَنْ يُعْطِيَهُ مِنْ زَكَاتِهِ وَلَا حَرَجَ؛ لِأَنَّهُ يَسْتَحِقُّ الزَّكَاةَ هُنَا بِوَصْفٍ لَا تَأْثِيرَ لِلْقَرَابَةِ فِيهِ، وَلَا يَجِبُ عَلَى الْقَرِيبِ – بِاسْمِ الْقَرَابَةِ – أَنْ يُؤَدِّيَ عَنْهُ غُرْمَهُ، أَوْ يَتَحَمَّلَ عَنْهُ نَفَقَةَ غَزْوِهِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَا شَابَهَ ذَلِكَ.
وَكَذَلِكَ إِذَا كَانَ ابْنَ سَبِيلٍ يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَهُ مَئُونَةَ السَّفَرِ.
أَمَّا الْمُؤَلَّفَةُ قُلُوبُهُمْ فَلَيْسَ إِعْطَاؤُهُمْ مِنْ شَأْنِ الْأَفْرَادِ، بَلْ مِنْ شَأْنِ أُولِي الْأَمْرِ، كَمَا بَيَّنَّا ذَلِكَ مِنْ قَبْلُ.
أَمَّا إِذَا كَانَ الْقَرِيبُ الْوَثِيقُ الْقَرَابَةِ فَقِيرًا أَوْ مِسْكِينًا فَهَلْ يُعْطَى مِنْ سَهْمِ الْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ فِي الزَّكَاةِ؟ وَلِلْإِجَابَةِ عَلَى ذَلِكَ يَجِبُ أَنْ نَعْرِفَ مَنِ الْمُعْطِي؟
فَإِذَا كَانَ الَّذِي يُوَزِّعُ الزَّكَاةَ وَيُعْطِيهَا هُوَ الْإِمَامُ أَوْ نَائِبُهُ، أَوْ بِتَعْبِيرِ عَصْرِنَا إِذَا كَانَتِ الْحُكُومَةُ هِيَ الَّتِي تَتَوَلَّى جِبَايَةَ الزَّكَاةِ وَصَرْفَهَا، فَلَهَا أَنْ تُعْطِيَ مَا تَرَاهُ مِنْ أَهْلِ الْحَاجَةِ وَالِاسْتِحْقَاقِ وَلَوْ كَانَ مَنْ تُعْطِيهِ هُوَ وَلَدَ الْمُزَكِّي أَوْ وَالِدَهُ.

Pembahasan Keempat

Apakah zakat diberikan kepada suami, orang tua, dan kerabat?
Jika kerabat yang jauh kekerabatannya, yang nafkahnya tidak wajib ditanggung oleh pemilik zakat, maka tidak masalah memberikan zakat kepadanya dari zakat kerabatnya, baik kerabat itu sendiri yang memberikannya, atau orang lain dari para pemberi zakat, atau imam atau wakilnya, yaitu lembaga pengelola distribusi zakat, dan baik diberikan dari bagian fakir miskin maupun dari bagian lainnya.
Adapun kerabat dekat – seperti orang tua, anak-anak, saudara laki-laki dan perempuan, paman dan bibi… dll., maka dalam kebolehan memberikan zakat kepada mereka terdapat rincian:
Jika kerabat berhak menerima zakat karena ia termasuk orang-orang yang mengurus zakat, atau dalam pembebasan budak, atau orang-orang yang berhutang, atau di jalan Allah, maka kerabatnya boleh memberikan zakat kepadanya dan tidak masalah; karena ia berhak menerima zakat di sini dengan sifat yang tidak dipengaruhi oleh kekerabatan, dan tidak wajib bagi kerabat – atas nama kekerabatan – untuk melunasi hutangnya, atau menanggung biaya perangnya di jalan Allah, dan yang serupa dengan itu.
Demikian pula, jika ia adalah musafir (ibnu sabil), boleh memberinya bekal perjalanan.
Adapun orang-orang yang dibujuk hatinya (muallaf), maka pemberian zakat kepada mereka bukanlah wewenang individu, tetapi wewenang penguasa, sebagaimana telah kami jelaskan sebelumnya.
Adapun jika kerabat dekat itu fakir atau miskin, apakah ia diberi dari bagian fakir miskin dalam zakat? Untuk menjawab hal itu, kita harus mengetahui siapa yang memberi?
Jika yang membagikan dan memberikan zakat adalah imam atau wakilnya, atau dalam istilah zaman kita, jika pemerintah yang mengurus pengumpulan dan penyaluran zakat, maka ia boleh memberikan kepada siapa saja yang dianggap berhak dan membutuhkan, meskipun yang diberi adalah anak atau orang tua dari pemberi zakat.

Al-Bajury hlm. 282

الفقير في الزكاة هو الذي لا مال له ولا كسب يقع موقعا من حاجته أي مطعما وملبسا ومسكنا وغيرها مما لا بد منه على ما يليق بحاله وحال ممونه لعمر الغالب

Fakir, yaitu : orang yang tidak punya harta atau punya harta apabila dibagi sisa dari umur Gholib (60 th) tidak mencapai 50% dari kebutuhan primer, atau orang yang tidak punya pekerjaan layak atau punya pekerjaan namun hasilnya tidak mencapai 50% dari kebutuhan se harihari.
2)- Miskin


والثاني مسكين وهو من قدر على مال أو كسب أو عليهما معاً يسد كل منهما أومجموعهما من جوعته مسداً من حيث يبلغ النصف فأكثر ولا يكفيه كمن يحتاج إلى عشرة ولا يملك أو لا يكتسب إلا خمسة أو تسعة ولا يكفيه إلا عشرة،


Pengertian miskin yaitu orang yang memiliki harta atau pekerjaan atau memiliki dua-duanya yang masing-masing dari harta dan pekerjaannya tersebut atau gabungan dari harta dan hasil pekerjaannya tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhannya, sekiranya sudah mencapai setengah kebutuhannya atau lebih, misalnya; ia memiliki kebutuhan 10 dirham, kemudian ia tidak memiliki harta, atau tidak dapat menghasilkan dari pekerjaannya kecuali hanya 5 dirham atau 9 dirham dan tidak sampai 10 dirham.


ويمنع فقر الشخص ومسكنته كفايته بنفقة الزوج أو القريب الذي يجب الإنفاق عليه كأب وجد لا نحو عم


Seseorang tidak masuk dalam kategori fakir atau miskin jika kebutuhannya telah terpenuhi karena nafkah dari suami atau kerabat, yaitu orang-orang yang wajib memberi nafkah kepadanya, seperti ayah, kakek, bukan paman.


وكذا اشتغاله بنوافل والكسب يمنعه منها فإنه يكون غنياً


Begitu juga seseorang tidak masuk dalam kategori fakir atau miskin jika ia disibukkan dengan aktivitas ibadah-ibadah sunah yang apabila ia bekerja maka pekerjaannya tersebut akan mencegahnya melakukan aktifitas tersebut, maka ia termasuk orang yang kaya.


ولا يمنع ذلك اشتغاله بعلم شرعي أو علم آلات، والكسب يمنعه لأنه فرض كفاية إذاكان زائداً عن علم الآلات وإلا فهو فرض عين كما بين ذلك شيخنا أحمد النحراوي


Seseorang masuk dalam kategori fakir atau miskin jika ia disibukkan dengan aktifitas mencari ilmu syariat atau ilmu alat (Nahwu, Shorof, dan lain-lain) yang apabila ia bekerja maka pekerjaan tersebut akan mencegahnya melakukan aktifitas tersebut, karena kesibukan tersebut hukumnya adalah fardhu kifayah jika ia memang tidak memerlukan ilmu alat, tetapi jika ia memerlukannya maka kesibukan tersebut hukumnya fardhu ain, seperti yang dijelaskan oleh Syaikhuna Ahmad Nahrowi.


ولا يمنع ذلك أيضاً مسكنه وخادمه وثياب وكتب له يحتاجها مال له غائب بمرحلتين أومؤجل فيعطى ما يكفيه إلى أن يصل ماله أو يحل الأجل لأنه الآن فقير أو مسكين


Rumah, pembantu, pakaian, dan buku-buku yang ia butuhkan tidak mencegah seseorang dari status fakir dan miskin, artinya, ia tergolong dari fakir atau miskin. Adapun harta yang seseorang miliki, tetapi tidak ada di tempat karena berada di tempat yang jauh sekiranya membutuhkan perjalanan 2 marhalah (±81km)5 atau karena masih dalam bentuk piutang, maka tidak mencegah statusnya dari kefakiran dan kemiskinan, oleh karena itu, ia diberi harta zakat sekiranya bisa memperoleh kembali harta yang tidak ditangannya itu atau agar piutangnya segera diterima, karena statusnya sekarang ia adalah sebagai orang fakir atau miskin.
Yang maksud 2 marhalah sama dengan 16 farsakh, yakni kurang lebih 81 km, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Mustofa Daibul Bagho dalam Tadzhib Fi Adillah Matan al-Ghoyah Wa at-Taqrib. Ibarotnya adalah:


(قوله ستة عشر فرسخا) إلى أن قال وهى ستة عشر فرسخا وتساوى (٨١) كيلو مترا تقريبا

Referensi:


المسكين: وهو الذي له مال أو كسب يقع موقعا من كفايته ولا يكفيه، بأن يحصل فوق نصف ما يكفيه , مثاله: يحتاج في الشهر ٥۰۰ ريال ويحصل ٤۰۰ ريال .

Miskin adalah orang yang memiliki harta atau pekerjaan yang dapat mencukupi kebutuhannya, namun masih tidak mencukupi, gambarannya: berpenghasilan separuh dari kebutuhunnya, semisal dia butuh dalam sebulan 500 reyal sedangkan dia hanya dapat 400 riyal.

Al Fiqhul islam 3/1964:

والمسكين: هو من قدر على مال أو كسب حلال يساوي نصف ما يكفيه في العمر الغالب

Miskin, yaitu : orang yang punya pekerjaan, hasilnya tidak mencukupi kebutuhan primer, atau punya harta yang apabila dihitung untuk mencukupi kebutuhan pada sisa umur Gholib (60 th) hasilnya mencapai 50 % lebih dari kebutuhan se hari-hari.

Kriteria Faqir Miskin yang Mustahiq :

Muslim

Orang yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk bekerja, namun pendapatan nya dibawah kemampuan/ kecukupan.

Orang yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk bekerja, namun pendapatan nya dibawah kemampuan/ kecukupan

Bukan Miskin karena malas kerja ( bukan Miskin yang tidak mau bekerja dan sebenarnya kuat kerja )

 

Ketik Pencarian