Hukum dan Cara Mengatasi Penyakit Waswas dalam Islam
Assalamualaikum
Deskripsi Masalah
Waswas adalah kondisi keraguan yang berlebihan dalam menjalankan ibadah atau aktivitas sehari-hari. Penyakit ini bisa muncul karena dua faktor utama: pertama, sebagai akibat dari kesempurnaan iman seseorang yang membuatnya sangat berhati-hati dalam menjalankan syariat;
عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: سُئِل النبي صلى الله عليه وسلم عن الوسوسة فقال: “تلك محض الإيمان” ١٣٣ صحيح مسلم
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Nabi ﷺ pernah ditanya tentang was-was (bisikan hati yang buruk). Beliau bersabda:
“Itu adalah tanda keimanan yang murni.” (HR. Muslim, No. 133)
kedua, karena kebodohan yang menyebabkan seseorang mudah tergoda oleh bisikan setan. Kondisi ini tidak hanya mengganggu diri sendiri, tetapi juga dapat berdampak pada orang-orang di sekitarnya.
1. Bagaimana Hukum Orang yang Terkena Penyakit Waswas?
2. Adakah Cara untuk Menanggulangi Waswas?
Waalaikum salam.
Jawaban. No.1
Haram hukumnya Was was (ragu ragu) seorang ma’mum ketika membaca takbiratul ihram yang dapat mengganggu ma’mum yang lain, demikian pula membaca dengan keras yang dapat mengganggu orang yang sedang solat disampingnya.
Jawaban. No.2
Menurut Syaikh Imam Abul Hasan As-Syadzili disebutkan dalam kitab Iaanatuttholibin hendaknya seseorang yang waswas meletakkan tangan kanannya diatas dadanya sebelah kiri ( hati ) dan membaca:
سبحان الملك القدوس الخلاق الفعال ( ٣× ) ان يشاء يذهبكم وياءت بخلق جديد وما ذالك على الله بغزيز ( ٧ × )
Referensi:
(حاشية الجمل ج ١ ص ٣٣٧)
فرع قال ابن العماد لو توسوس المأموم فى تكبيرة الاحرام على وجه يشوس على غيره من المأمومين حرم عليه ذلك كمن قعد يتكلم بجوار المصلى وكذا تحرم عليه القراءة جهرا على وجه يشوس على المصلى بجواره.
Was was (ragu ragu) seorang ma’mum ketika membaca takbiratul ihram yang dapat mengganggu ma’mum yang lain hukumnya haram, demikian pula membaca dengan keras yang dapat mengganggu orang yang sedang solatdisampingnya.
Referensi
Keterangan ini dapat ditemukan pada Kitab Al-Fatawil Fiqhiyyatil Kubra, Kitab Hasyiyatul Bujairimi Alal Khatib, Kitab I‘anatut Thalibin, dan Kitab Nihayatuz Zain.
وكان الأستاذ أبو الحسن الشاذلي يعلم أصحابه لدفع الوسواس والخواطر الرديئة ويقول لهم من أحس بذلك فليضع يده اليمنى على صدره وليقل سبحان الملك القدوس الخلاق الفعال سبع مرات ثم يقل إن يشأ يذهبكم ويأت بخلق جديد وما ذلك على الله بعزيز يقول ذلك المصلي قبل الإحرام
Artinya, “Syekh Abul Hasan As-Syadzili mengajarkan para muridnya untuk mengusir was-was dan pikiran-pikiran buruk. Ia mengatakan kepada mereka, ‘Siapa saja yang merasakan demikian, hendaknya ia sebelum memulai shalat dengan takbiratul ihram ia meletakkan tangan kanan pada dadanya dan sambil membaca :
سبحان الملك القدوس الخلاق الفعال ( ٣× ) ان يشاء يذهبكم وياءت بخلق جديد وما ذالك على الله بغزيز ( ٧ × )
CARA MENGINGATKAN MAKMUM KEPADA IMAM YANG TULI DAN BUTA KARENA SEBAB LUPA DALAM RAKAAT SHALAT
Assalamualaikum.
Deskripsi Masalah Dalam shalat berjamaah seseorang yang buta dan tuli boleh menjadi imam, ketika seorang yang tuli dan buta boleh menjadi imam maka boleh juga seseorang bermakmum kepadanya, sebagaimana keterangan dalam kitab Syarkawi ‘Ala Tahrir Cet: Haramain Hal: 250
(فائدة) قال الأسنوي رجل يجوز كونه إماما لا مأموما وهو الأعمى الأصم يصح أن يكون إماما لاستقلاله بأفعاله لا مأموما إذ لا طريق له الى العلم بانتقالات الإمام الا ان كان بجنبه ثقة يعرفه بها
( Satu faidah) Syaik Asnawi berkata: Orang yang boleh menjadi imam tapi tidak boleh menjadi makmum adalah orang buta dan tuli. Orang buta dan tuli boleh menjadi imam karena imam tak perlu mengetahui keadaan shalatnya makmum.. Namun orang buta dan tuli tidak boleh menjadi makmum shalat karena makmum dituntut untuk tahu gerakan imamnya, kecuali di sampingnya ada orang yang dapat dipercaya yang memberi tahu padanya tentang gerak-geriknya imam. Namun yang menjadi musykil bagi kami adalah, jika seseorang bermakmun kepada orang tuli kemudian ditengah-tengah shalat imam yang tuli atau buta tersebut lupa.
Bagaimana cara mengingatkan imam yang lupa sebagaimana deskripsi ?
Waalaikum salam. Jawaban. Menurut keterangan hadits, jika imam lupa, maka makmum harus mengingatkan imam, dengan ucapan subhanallah, dan dalam hadits sifatnya umum tidak menyebutkan imam orang yang mendengar ataupun orang tuli, bahkan boleh makmum mengucapkan subhanallah ketika mengingatkan orang yang buta hampir memasuki sumur artinya makmum tetap punya hak untuk mengingatkan, jika makmum sudah mengingatkan tapi imam tidak menghiraukan ( ini dapat difahami tidak menghiraukannya imam kepada peringatan makmum karena tidak mendengar, ini sama dengan orang tuli, karena yang tahu gerak giriknya imam adalah makmum, maka dalam kondisi yang sedemikian makmum tidak boleh mengikuti imam, akan tetapi mufaroqoh atau menunggu imam menurut qoul mu’tamad
Referensi
موسوعة الحديث النبوية
عن أبي هريرة رضي الله عنه مرفوعًا: «التَّسْبِيحُ للرجال، والتَّصْفِيق للنساء». [صحيح] – [متفق عليه] الشرح معنى الحديث: “التَّسْبِيحُ للرجال، والتَّصْفِيق للنساء”، وفي رواية لمسلم: (في الصلاة ) والمعنى: أن مَن نَابه شيء في الصلاة، يقتضي إعلامَ غيره بشيء، مِن تنبيه إمامه على خَلَلٍ في الصَّلاة، أو رؤية أعمى يقع في بئر، أو استئذان داخل، أو كون المصلِّي يريد إعلامَ غيره بأمر -فإنَّهُ في هذه الأحوال وأمثالها يسبح، فيقول : “سبحان الله”؛ لإفهام ما يُريد التنبيهَ عليه، وهذا في حق الرَّجل، أما المرأة إذا نَابها شيء في صلاتها، فإنها تُصَفِّق، وكيفيته: أن تَضرب إحدى يديها بالأخرى بأي طريقة، وكل هذا إبعاد للصَّلاة عمَّا ليس منها مِنَ الأقوال؛ لأنَّهَا موضعُ مُنَاجَاة مع الله سبحانه وتعالى ، فلمَّا دَعت الحاجةُ إلى الكلام، شُرِعَ ما هو مِن جِنْسِ أقوال الصلاة، وهو التَّسبيح.
Referensi:
اَلْمَجْمُوْعُ شَرْحُ الْمُهَذَّبِ (4/ 238) وَاِنْ سَهَا الْاِمَامُ فيِ صَلَاتِهِ فان كان في قراءة فتح عليه المأموم لما روى أنس قال ” كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم يلقن بعضهم بعضا في الصلاة ” وإن كان في ذكر غيره جهر به المأموم ليسمعه فيقوله وَإِنْ سَهَا فِيْ فِعْلٍ سَبَّحَ بِهِ لِيُعْلِمَهُ فان لم يقع للامام أنه سها لم يعمل بقول المأموم لان من شك في فعل نفسه لم يرجع فيه الي قول غيره كالحاكم إذا نسى حكما حكم به فشهد شاهدان أنه حكم به وهو لا يذكره وَأَمَّا الْمَأْمُوْمُ فَيُنْظَرُ فِيْهِ فَاِنْ كَانَ سَهْوُ اْلِامَامِ فِيْ تَرْكِ فَرْضٍ مِثْلُ أَنْ يَقْعُدَ وَفَرْضُهُ أَنْ يَقُوْمَ أَوْ يَقُوْمَ وَفَرْضُهُ أَنْ يَقْعُدُ لَمْ يُتَابِعْهُ لِاَنَّهُ اِنَّمَا يَلْزَمُهُ مُتَابَعَتُهُ فِيْ أَفْعَالِ الصَّلَاةِ وَمَا يَأْتِي بِهِ لَيْسَ مِنْ أَفْعَالِ الصَّلاَةِ
Artinya: Jika Imam lupa di dalam bacaan shalat, maka makmum mengingatkannya ,dan jika lupa dalam gerakan maka makmum mengingatkannya dengan membaca tasbih, dan bagi makmum yang imamnya lupa dalam gerakan fardhunya, maka harus mufaroqoh (tidak boleh mengikuti imam).
Artinya: Ketika imam menambah satu rakaat maka makmum tidak boleh mengikutinya walaupun makmum masbuq atau ragu dalam hitungan rakaat akan tetapi harus mufaroqoh dan salam atau menunggunya menurut qoul mu’tamad.
Sebaiknya makmum mengingatkan imam, jika imam tidak menghiraukan maka makmum tidak boleh mengikuti Imam akan tetapi mufaroqoh atau menunggu Imam dalam posisi berdiri.
Referensi:
بُغْيَةُ الْمُسْتَرْشِدِيْنِ :ص:٥٧ ( مسألة : ك) : قام الإمام بعد السجدة الأولى انتظره المأموم في السجود لعله يتذكر ، لا في الجلوس بين السجدتين لأنه ركن قصير أو فارقه وهو أولى هنا ، ولا تجوز متابعته ، وَلَوْ تَشَهَّدَ الْإمَامُ فِيْ ثَالِثَةِ الرُّبَاعِيَّةِ سَاهِياً فَارَقَهُ الْمَأْمُوْمُ أَوِ انْتَظَرَهُ فِي الْقِيَامِ ، وأفتى الشهاب الرملي بوجوب المفارقة مطلقاً ، وجوّز سم انتظاره قائماً ، وجوز ابن حجر في الفتاوى متابعته إن لم يعلم خطأه بتيقنه أنها ثالثة
Artinya: Ketika imam melakukan tasyahud dalam keadaan lupa pada rakaat ketiga di dalam shalat yang jumlah rakaatnya empat, maka makmum harus memisahkan diri atau menunggunya dengan cara berdiri. Wallahu A’lam bisshowab
HUKUMNYA BERMAKMUM PADA ORANG YANG BISU BUTA DAN TULI DALAM SHALAT
Dalam masyarakat, terkadang kita menemukan orang yang tidak mendengar atau tuli, bahkan ada yang bisu, dalam kondisi yang sedemikian tumbuh dalam benak kita bahwa orang yang tuli adalah orang yang kurang pendengarannya, begitu juga orang yang buta orang yang tidak melihat tentunya dikarenakan banyak hal. Dalam ilmu kedokteran Tuli, disebut tunarungu atau gangguan kesehatan adalah kondisi fisik yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan seseorang untuk mendengarkan suara. kondisi ini bisa saja menimpa seseorang tanpa memandang usia, tua muda, laki laki perempuan dan juga kaya miskin, namun yang menjadi musykil bagi saya adalah orang tersebut melakukan,shalat dan terkadang juga menjadi Imam.
Pertanyaannya .
Bagaimana hukumnya orang yang buta sekaligus tuli dan bisu melakukan shalat, bahkan menjadi imam ?
Bagaimana hukumnya orang bermakmum kepada orang yang tuli dan buta atau bisu..
Jawaban:
Jika orang yang buta dan tuli bahkan bisu yang diciptakan oleh Allah dalam keadaan asli sejak lahir maka tidak wajib melakukan shalat . Alasannya karena orang tersebut tidak terkena taklif(tidak terkena kewajiban melaksanakan syariat Islam ) Seperti melaksanakan sholat, dll.
“Berbeda hukumnya bagi orang yang mengalami tunanetra dan tunarungu setelah mengetahui (hukum-hukum syara’) maka sesungguhnya ia mukallaf (diwajibkan shalat),”Hal ini ditekankan oleh Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadiin, Beirut, Darul Fikr, halaman 9).
بِخِلَاف من طَرَأَ عَلَيْهِ ذَلِك بعد الْمعرفَة فَإِنَّهُ مُكَلّف
Begitu juga jika Tuli dan buta bahkan bisu setelah tamyis maka dalam ha ini wajib melakukan shalat, Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Al-Bujairimi dalam Syarah Al-Bujairimi alal Khatib:
Artinya, “Adapun jika kondisi (tunanetra dan tunarungu) itu datang setelah tamyiz,walaupun menjelang baligh dan telah mengetahui hukum (permasalahan) sholat, maka yang bersangkutan terkena kewajiban,” ( Lihat Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairami, Al-Bujairami ala Syarhil Khatib, Beirut, Darul Fikr, 1995, halaman 408). Lalu bagaimana jika kecacatan yang ia alami terjadi sejak lahir?
Syekh Nawawi dalam Syarah Kasyifatus Saja menjelaskan bahwa orang tunanetra dan sekaligus tunarungu tidak wajib shalat.
فلا تجب الصلاة علي من خلق أصم أعمى ولو ناطقا
Artinya, “Tidak diwajibkan shalat bagi orang yang dari lahir mengalami tunanetra sekaligus tunarungu walaupun ia bisa berbicara,” (Lihat Muhammad bin Umar Al-Bantani, Kasyifatus Saja Syarah Safinatun Naja, Beirut, Daru Ibni Hazm, 2011 M, halaman 206). Dari penjelasan Syekh Nawawi di atas, secara umum dikatakan bahwa orang yang mengalami dua difabilitas tersebut tidak diwajibkan shalat.
Namun dalam kitabnya yang lain, Nihayatuz Zain, Syekh Nawawi Al-Bantani menjelaskan lebih rinci terkait alasan tidak diwajibkannya shalat bagi kaum tersebut.
وَمن نَشأ بشاهق جبل وَلم تبلغه دَعْوَة الْإِسْلَام غير مُكَلّف بِشَيْءوَكَذَا من خلق أعمى أَصمّ فَإِنَّهُ غير مُكَلّف بِشَيْء إِذْ لَا طَرِيق لَهُ إِلَى الْعلم بذلك وَلَو كَانَ ناطقا لِأَن النُّطْق بِمُجَرَّدِهِ لَا يكون طَرِيقا لمعْرِفَة الْأَحْكَام الشَّرْعِيَّة
Artinya, “Siapa yang tumbuh dan tinggal di puncak gunung dan orang tersebut tidak tersentuh dakwah Islam (karena tidak terjangkau), maka mereka tidak terkena hukum wajib. Begitu juga orang yang dilahirkanan dalam keadaan tunanetra dan tunarungu, mereka tidak terkena kewajiban karena tidak ada cara untuk menyampaikan dakwah kepadanya walaupun ia bisa berbicara karena mampu berbicara bukanlah cara untuk mengetahui hukum-hukum syara’,” (Lihat Muhammad bin Umar Al-Bantani, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadiin, Beirut, Darul Fikr, halaman 9).
Dengan demikian bisa kita ambil kesimpulan bahwa sebenarnya yang menjadikan tunanetra dan tunarungu tidak diwajibkan shalat adalah ketidakmampuannya dalam menerima dakwah lantaran difabilitas yang dialaminya. Jika ada metode atau cara lain yang mampu mengenalkan dakwah kepada penyandang difabilitas ini maka ia tetap mukallaf.
Lalu bagaimana jika keduanya orang yang buta dan tuli menjadi Imam shalat, atau orang lain bermakmum kepada salah satu diantara keduanya atau bermakmun kepada orang yang bisu ? Maka dalam hal ini ditafsil. 🅰️.Sah shalatnya orang yang bermakmum kepada orang yang tuli dan buta, karena orang yang buta dan tuli boleh menjadi imam, kebolehan orang tuli dan buta menjadi imam dikarenakan imam tidak dituntut untuk mengetahui shalatnya makmum .Namun tidak boleh orang yang tuli dan buta menjadi makmum , alasannya karena makmum dituntut untuk mengetahui gerakan imamnya, kecuali disampingnya ada orang yang dapat dipercaya untuk memberi tahu padanya tentang gerak-gerik imam.
🅱️Tidak sah orang bermakmum kepada orang bisu, alasannya karena orang yang menjadi imam dituntut untuk bisa membaca. Dengan kata lain orang bisu boleh menjadi makmum, namun tidak boleh menjadi Imam, karena tidak boleh menjadi imam maka hukumnya bermakmum pada orang bisu tidak sah.
Dengan demikian bahwa, hukumnya orang bermakmum kepada orang yang bisu tidak sah, sedangkan bermakmum kepada orang yang buta dan tuli hukumnya sah.
Dan demikian juga halnya orang yang tercipta dalam keadaan buta tuli, sungguh dia tidak tertuntut dengan apapun karena tidak ada solusi ( jalan keluar ) baginya untuk mengerti hal itu (dakwah Islam) meskipun dia bisa bicara. Karena bisa bicara saja itu bukanlah jalan untuk mengetahui hukum-hukum syari’at.
(فائدة) قال الأسنوي رجل يجوز كونه إماما لا مأموما وهو الأعمى الأصم يصح أن يكون إماما لاستقلاله بأفعاله لا مأموما إذ لا طريق له الى العلم بانتقالات الإمام الا ان كان بجنبه ثقة يعرفه بها
( Satu faidah) Orang yang boleh menjadi imam tapi tidak boleh menjadi makmum adalah orang buta dan tuli. Orang buta dan tuli boleh menjadi imam karena imam tak perlu mengetahui keadaan shalatnya makmum. Namun orang buta dan tuli tidak boleh menjadi makmum shalat karena makmum dituntut untuk tahu gerakan imamnya, kecuali di sampingnya ada orang yang dapat dipercaya yang memberi tahu padanya tentang gerak-gerik shalat imam.
Referensi kitab Hasyiyah al-Syarqawi berikut;
فإن كان احدهما أصليا دون الاخر صح اقتداء الاصلى بالطارئ دون عكسه . وان كان عارضين لم يصح اقتداء احدهما بالآخر على المعتمد ؛
Dalam kitab Bujairimi ‘ala al-Khatib disebutkan bahwa orang yang bisu tidak boleh bermakmum pada imam yang bisu. Hal ini sebagaimana disebutkan berikut;
وفى نهاية المحتاج : عدم صحة اقتداء أخرس بأخرس ولو عجز إمامه فى أثناء صلاته عن القراءة لخرس لزمه مفارقته بخلاف ما لو عجز عن القيام لأن اقتداء القائم بالقاعد صحيح
“Disebutkan dalam kitab Nihayatul Muhtaj mengenai orang bisu yang tidak sah mengikuti orang bisu. Karena itu, jika di pertengahan salat imamnya tidak bisa membaca karena bisu, maka wajib bagi makmum untuk memisahkan diri. Berbeda jika imam tidak mampu berdiri, karena orang yang mampu berdiri berjamaah pada orang yang duduk dihukumi sah.”