Kategori
Uncategorized

HADITS KE 79 : BOLEHNYA MEMAKAI SUTERA BAGI LAKI-LAKI UNTUK BEROBAT

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB PAKAIAN

HADITS KE 79 :

وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه ( أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَخَّصَ لِعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ, وَالزُّبَيْرِ فِي قَمِيصِ الحَرِيرِ, فِي سَفَرٍ, مِنْ حَكَّةٍ كَانَتْ بِهِمَا ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memberi keringanan kepada Abdurrahman Ibnu Auf dan Zubair untuk memakai pakaian sutera dalam suatu bepergian karena penyakit gatal yang menimpa mereka. Muttafaq Alaihi.

MAKNA HADITS :

Antara toleransi Islam ialah lelaki dibolehkan memakai pakaian sutera apabila dia berpenyakit kudis atau kurap. Sedangkan wanita dibolehkan memakainya secara mutlak tanpa terkecuali.

FIQH HADITS :

Boleh memakai pakaian sutera apabila ada uzur seperti penyakit gatal, karena
kain sutera memiliki keistimewaan khusus, yaitu dapat meredam rasa gatal. Inilah
pendapat Imam al-Syafi’i dan Imam Ahmad, tetapi tidak demikian halnya dengan Imam malik dan Imam Abu Hanifah.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
Uncategorized

T045. HUKUM MENGKONSUMSI TELUR BUAYA,TELUR ULAR ,TELUR ELANG DAN TELUR PENYU

PERTANYAAN :

Assalamu’alaikum kyai, halal apa haram hukumnya telur buaya, telur ular, telur elang, telur penyu ?

JAWABAN :

Wa’alaikumussalam Warohmatullahi wabarokaatuh..

Ta’bir Raudhah dan Tuhfah adalah untuk JALLAALAH (hewan halal yang memakan kotoran manusia dan barang-barang najis) dengan catatan dagingnya berubah dari rasanya atau warnanya atau baunya. Dan yang haram bukan dagingnya saja termasuk anggota badan lainnya dan yang keluar darinya seperti susunya, telurnya dll.

– Kitab Tuhfah:

وإذا ظهر تغير لحم جلالة ) أي طعمه أو لونه أو ريحه كما ذكره الجويني واعتمده جمع متأخرون ومن اقتصر على الأخير أراد الغالب وهي آكلة الجلة بفتح الجيم أي النجاسة كالعذرة وقول الشارح وهي التي تأكل العذرة اليابسة أخذا من الجلة بفتح الجيم لا يوافق قول القاموس والجلالة البقرة تتبع النجاسات ثم قال والجلة مثلثة البعر والبعرة ا هـ . فتقييده باليابسةوقوله أخذا إلخ يحتاج فيه السند ( حرم ) أكله كسائر أجزائها وما تولد منها كلبنها وبيضها

WA IDZAA ZHAHARA TAGHAYYURU LAHMI JALLAALATIN AIY THA’MUHUU AU LAUINUHUU AU RAIHUHUU… HARUMA AKLUHUU KASAA`IRI AJZAA`IHAA WA MAA TAWAALLADA MINHAA KALABANIHAA WA BAIDHIHAA.

Adapun ta’bir kehalalan telur buaya dsb adalah sebagaimana yang ada di bawah sendiri, yaitu i’anah 1 : 87

وكذا بيض غير مأكول ويحل أكله على الأصح ، (قوله ويحل أكله) قال فى التحفة مالم يعلم ضرره

WA KADZAA BAIDHU GHAIRI MA`KUULIN WA YAHIKLLU AKLUHUU ‘ALAL ASHAHHIQAULIHUU WA YAHILLU AKLUHUU QAALA FITTUHFATI MAA LAM YU’LAM DHARARUHUU

Begitu juga dihukumi suci telur hewan yang tidak boleh dimakan, dan halal memakannya menurut qaul ashah, ucapan mushannif dan halal memakannya, berkata Imam Ibnu Hajar dalam Tuhfah selagi tidak diketahui bahayanya.

Sebagai tambahan bisa dari Nihayatuzzain, untuk menegaskan halalnya telur buaya dan elang namun menyatakan haramnya telur ular :

فائدة: إذا فسد البـيض بحيث لا يصلح للتخلق فهو نجس، وكذا بـيض الميتة وما عدا ذلك طاهر مأكول ولو من حيوان غير مأ
كول كالحدأة والغراب والعقاب والبومة والتمساح والسلحفاة ونحوها إلا بـيض الحيات

Faidah : ketika telur telah rusak, hingga tidak bisa berkembang hidup, maka hukumnya najis, demikian pula telur hewan yang telah mati (telur bangkai). Dan selain daripada itu hukumnya suci dan bisa dimakan meskipun dari hewan yang tidak bisa dimakan seperti rajawali, gagak, elang, burung hantu, buaya, kura-kura dan semisalnya kecuali telur dari golongan ular.

– I’anatut tholibin juz 1 halaman 87 :

( قوله وكذا بيض ) معطوف على قوله وكذا بلغمأي فهو طاهر مثل المنيوقوله غير مأكول أي من حيوان طاهروعبارة الروض وشرحه والبيض المأخوذ من حيوان طاهر ولو من غير مأكول وكذا المأخوذ من ميتة إن تصلب وبزر قز ومني غير الكلب والخنزير طاهرةوخرج بما ذكر بيض الميتة غير المتصلب ومني الكلب وما بعده وشمل إطلاقه البيض إذا استحال دمااه بحذف( قوله ويحل أكله ) قال في التحفة ما لم يعلم ضرره

Semua telur hukumnya halal dimakan selama tidak membahayakan tubuh, berdasar ibaroh I’anatut tholibin di atas.

Wallaahu A’lamu bisShowaab..

Kategori
Uncategorized

Z023. MEMAHAMI PEMBAGIAN ZAKAT FITRAH SECARA MERATA

PERTANYAAN :

Assalamu’alaikum Ustadz..

Bolehkah menyamakan pendapatan zakat bagi muallaf, fi sabilillah, dengan pendapatan fakir dan miskin dalam zakat fitrah?

JAWABAN :

Waalaikumussalam Warahmatullah Wabarokatuh

Adapun jawabannya sebagai berikut;

Zakat yang merupakan rukun Islam ketiga, ialah salah satu syari’at Islam yang menunjukkan betapa besarnya rahmat Allah yang dihadirkan di atas bumi ini. Melalui zakat, Allah menghendaki adanya hikmah yang dapat dirasakan baik bagi sang pelaku zakat itu sendiri maupun orang-orang yang berada di sekitarnya.

Dalam pensyari’atan zakat ada beberapa hikmah yang muncul, diantaranya hikmah agama (diniyyah), akhlak (khuluqiyyah), dan sosial (ijtima’iyyah). Dari segi agama, seseorang yang menunaikan zakat telah memenuhi salah satu rukun Islam yang merupakan bentuk pensucian sekaligus pendekatan diri kepada Allah. Dari segi akhlak, zakat mengajarkan adanya rasa kepedulian terhadap manusia. Sedangkan dari segi sosial, zakat mengurangi nilai kesenjangan sosial dan melahirkan adanya pemerataan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana sabda Nabi SAW riwayat Ibn Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud berikut ini;

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ، مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

‘‘Dari Ibn Abbas bahwasannya dia berkata; “Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan orang yang berkuasa dari bersenda gurau dan berkata-kata keji, dan juga memberi makan orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat (Idul Fitri) maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”

Dalam pelaksanaan zakat ada tiga elemen yang menjadi pelaku pelaksana zakat, diantaranya orang yang mengeluarkan zakat (muzakki), orang yang menerima zakat (mustahiq), dan penyalur zakat (amil). Golongan yang berhak menerima zakat terdiri dari 8 golongan, sebagaimana firman Allah dalam surat At-Taubah ayat 60 di bawah ini;

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang faqir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya untuk memerdekakan budak, orang-orang yang berhutang di jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Lalu, bagaimana tata cara pembagian zakat? Apakah disamakan atau ada klasifikasi tersendiri?

Dalam penyaluran atau pembagian zakat wajib disamakan antara golongan penerima zakat yang satu dan lainnya tanpa ada perbedaan. Dalam hal ini tidak ada perbedaan menurut kalangan madzhab Syafi’iyah. Sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab juz 1 halaman 216 berikut ini:

(الشرح) فيه مسائل (إحداها) يجب التسوية بين الاصناف فان وجدت الاصناف الثمانية وجب لكل صنف ثمن وان وجد منهم خمسة وجب لكل صنف خمس ولا يجوز تفضيل صنف علي صنف بلا خلاف عندنا سواء اتفقت حاجاتهم وعددهم أم لا ولا يستثنى من هذا إلا العامل فان حقه مقدر بأجرة عمله فان زاد سهمه أو نقص فقد سبق بيانه وإلا المؤلفة ففى قول يسقط نصيبهم كما سبق (الثانية) التسوية بين آحاد الصنف ليست واجبة سواء استوعبهم أو اقتصر علي ثلاثة منهم أو أكثر وسواء اتفقت حاجاتهم أو اختلفت لكن يستحب أن يفرق بينهم علي قدر حاجاتهم فان استوت سوى وان تفاضلت فاضل بحسب الحاجة استحبابا وفرق الاصحاب بين التسوية بين الاصناف حيث وجبت وآحاد الصنف حيث استحبت بأن الاصناف محصورون فيمكن التسوية بلا مشقة بخلاف آحاد الصنف

“Wajib menyamakan bagian di antara golongan-golongan (mustahiq zakat), dan apabila di temukan golongan yang ada 8 tersebut, maka wajib bagi setiap dari golongan mereka delapan, dan jika ditemukan dari mereka lima maka wajib bagi setiap golongan tersebut lima, dan tidak diperbolehkan melebihkan satu golongan atas yang lainnya, dalam hal ini tidak ada khilaf menurut madzhab Syafi’iyah, baik kebutuhan dan jumlahnya sama atau pun tidak. Yang kedua, menyamakan bagian di antara perorangan dari sebuah golongan itu tidak wajib, baik memberi bagian pada semua golongan atau hanya 3 golongan dari mereka, dan baik kebutuhannya sama atau berbeda, akan tetapi disunahkan untuk membagi diantara mereka sesuai dengan kebutuhannya.”

Sekian jawaban dari tim redaksi kami. Semoga bermanfaat dan menambah diri kita semakin rela dan berkurban untuk memberikan zakat guna kesejahteraan masyarakat.

Wallahu ‘alam bisshowab..

Kategori
Uncategorized

Z022. SAMAKAH MUSTAHIQ (PENERIMA) ZAKAT FITRAH DAN ZAKAT MAAL ?

PERTANYAAN :

Assalamualaikum Ustadz..

Temen temen saya lagi rame bahasan mustahik zakat, yang dibahas ialah, mustahik zakat fitrah dan mustahik zakat mal apakah sama ? mohon jawabannya.

JAWABAN :

Wa’alaikumussalam Warohmatullahi wabarokaatuh..

Sama, yaitu 8 asnaf atau golongan, sebagaimana keterangan dalam kitab Almu’tamad, bahwasanya wajib memberikan zakat mal dan fitrah ke 8 asnaf :

المعتمد للشيخ الزحيلي ج ٢ ص ١٠٥

يجب صرف زكاة المال و الفطر إلى ثمانية أصناف و الله أعلم

Ada 8 golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) baik zakat fitrah atau zakat harta, yaitu sesuai dengan firman Allah SWT :

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya : “ Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. At-taubah : 60).

Delapan golongan yang berhak menerima zakat sesuai ayat di atas adalah :

1.Orang Fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.

2.Orang Miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.

3.Pengurus Zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpilkan dan membagikan zakat.

4.Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.

5.Memerdekakan Budak: mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.

6.Orang yang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.

7.Orang yang berjuang di jalan Allah (Sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufassirin ada yang berpendapat bahwa fi sabilillah itu mancakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.

8.Orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

Ketentuan-Ketentuan Zakat Fitrah :

1.Besarnya zakat Fitrah adalah 1 sha’ yaitu 2176 gram atau 2,2 Kg beras atau makanan pokok. Dalam prakteknya jumlah ini digenapkan menjadi 2,5 Kg, karena untuk kehati-hatian. Hal ini dianggap baik oleh para ulama.

2.Menurut madzhab hanafi, diperbolehkan mengeluarkan zakat Fitrah dengan uang seharga ukuran itu, jika dianggap lebih bermanfaat bagi mustahik.

3.Waktu mengeluarkan zakat Fitrah adalah sejak awal bulan puasa Ramadhan hingga sebelum shalat ‘Idul Fitri maka dianggap sedekah sunah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

فَمَنْ أدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ وَمَنْ أدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

Artinya : “Barang siapa mengeluarkan (zakat Fitrah) sebelum shalat (‘Idul Fitri), maka zakatnya sah. Barang siapa mengeluarkannya setelah shalat maka dianggap sedekah sunah.” (HR. Ibnu Majah)

4.Zakat Fitrah boleh dikeluarkan langsung kepada mustahik atau dibayarkan melalui amil zakat.

5.Amil atau panitia zakat Fitrah boleh membagikan zakat kepada mustahik setelah shalat ‘Idul Fitri, sebelum maghrib.

6.Jika terjadi perbedaan Hari Raya, maka panitia zakat Fitrah yang berhari raya terlebih dahulu tidak boleh menerima zakat Fitrah setelah mereka mengerjakan shalat ‘Idul Fitri.

7.Panitia Zakat Fitrah hendaknya mendoakan kepada orang yang membayar zakat, agar ibadahnya selama Ramadhan diterima dan mendapat pahala. Doa yang sering dibaca oleh yang menerima zakat, diantaranya:

آجَرَكَ اللهُ فِيْمَا أعْطَيْتَ وَبَارَكَ فِيْمَا أَبْقَيْتَ وَجَعَلَهُ لَكَ طَهُوْرًا

Artinya : “Semoga Allah SWT memberikan pahala kepadamu atas apa saja yang telah Allah memberi berkah kepadamu atas semua yang masih ada padamu dan mudah-mudahan Allah menjadikan kesucian bagimu.”

Adapun orang-orang yang tidak boleh menerima zakat ada dua golongan:

1. Anak cucu keluarga Rasulullah SAW

2. Sanak Famili yang menjadi tanggungan orang yang berzakat, yaitu bisa bapak, kakek, istri, anak, cucu, dan lain-lain.

Wallohu a’lamu bisshowab..

Kategori
Uncategorized

HADITS KE 78 : BATASAN MEMAKAI SUTERA BAGI LAKI-LAKI

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB PAKAIAN

HADITS KE 78 :

وَعَنْ عُمَرَ رضي الله عنه قَالَ: ( نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عَنْ لُبْسِ الحَرِيرِ إِلَّا مَوْضِعَ إِصْبَعَيْنِ, أَوْ ثَلَاثٍ, أَوْ أَرْبَعٍ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ

Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang memakai sutera kecuali sebesar dua, tiga, atau empat jari. Muttafaq Alaihi dan lafadznya menurut Muslim.

MAKNA HADITS :

Antara tolak angsur Islam adalah memberikan keringanan kepada kaum lelaki untuk memakai pakaian yang bercampur dengan sutera selebar kain bendera, yaitu selebar empat jari tangan, baik ketika diagungkan ataupun ketika dipisahkan. Kain sutera selebar empat jari ini diberi nama tathrif atau tathriz.

Kaum wanita dibolehkan memakai kain sutera secara mutlak, baik untuk
perhiasan ataupun untuk tujuan yang lainnya.

FIQH HADITS :

Lelaki dibolehkan memakai pakaian yang bercampur dengan sedikit sutera,
misalnya selebar bendera, baik secara disatukan ataupun dipisahkan, tetapi apapun campuran tersebut dalam kadar yang sedikit.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
Uncategorized

HADITS KE 77 : LARANGAN MENGGUNAKAN WADAH DARI EMAS DAN PERAK & MEMAKAI KAIN SUTERA ASLI BAGI LAKI-LAKI

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB PAKAIAN

HADITS KE 77 :

وَعَنْ حُذَيْفَةَ رضي الله عنه قَالَ: ( نَهَى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم أَنْ نَشْرَبَ فِي آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ, وَأَنْ نَأْكُلَ فِيهَا, وَعَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ وَالدِّيبَاجِ, وَأَنْ نَجْلِسَ عَلَيْهِ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ

Hudzaifah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang kami minum dan makan dalam tempat terbuat dari emas dan perak, memakai pakaian dari sutera tipis dan tebal, serta duduk di atasnya. Riwayat Bukhari.

MAKNA HADITS :

Diharamkan memakai kain sutera tulen bagi kaum lelaki yang telah berusia baligh. Rasulullah (s.a.w) pernah menerima hadiah sehelai baju dari sutera, lalu para sahabat memegangnya sambil menaruh sikap takjub. Melihat itu, Rasulullah (s.a.w) bertanya: “Apakah kamu mengagumi kain sutera ini?” Mereka menjawab: “Ya.” Rasulullah (s.a.w) bersabda: “Sapu tangan Sa’ad ibn Mu’adz di dalam surga jauh lebih baik daripada ini.”
Peristiwa yang menjadi latar belakang hadis yang bersumber dari Huzaifah ini adalah ketika beliau berada di al-al-Mada’in, ibu kota Kerajaan Parsi, dia minta minum, lalu datanglah pemimpin kaum membawa sebuah bekas yang dibuat dari perak yang berisi air. Huzaifah membuang bekas tersebut berikut airnya, kemudian dia berkata kepada hadirin yang merasa heran dengan sikapnya itu: “Tidaklah sekali-kali aku membuangnya, melainkan kerana aku telah berkali-kali melarangnya dengan cara yang baik supaya tidak menyediakan minuman dengan bekas yang dibuat dari perak, namun terayata dia tidak mau mematuhinya. Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah (s.a.w)
bersabda: “Janganlah kamu memakai sutera tipis dan tebal, serta makan dengan menggunakan bekas yang dibuat dari perak, karena sesungguhnya barang-barang tersebut biasa digunakan oleh orang kafir di dunia. Maka bedakanlah diri kamu dengan mereka, niscaya barang-barang tersebut untuk kamu kelak di akhirat.”
Diqiyaskan dengan bekas yang digunakan untuk makan dan minum adalah bekas minyak wangi dan celak mata.

FIQH HADITS :

1. Haram makan dan minum dengan menggunakan bekas yang dibuat dari emas dan perak bagi kaum lelaki dan wanita. Lain halnya jika dijadikan perhiasan bagi kaum wanita, sehingga emas dan perak boleh dipakai oleh mereka.

2. Lelaki diharamkan memakai kain sutera. Jumhur ulama mengharamkan kaum lelaki duduk di atas hamparan kain sutera, karena berlandaskan kepada satu hadis yang mengatakan:

“Nabi (s.a.w) melarang kami (kaum lelaki) daripada memakai kain sutera yang nipis dan yang tebal, serta melarang kami daripada duduk di atasnya.”

Tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan kaum lelaki duduk di atasnya. Beliau menyanggah pendapat jumhur ulama bahawa lafaz “نهى” tidak menunjukkan hukum haram secara pasti atau larangan tersebut ditujukan kepada gabungan antara memakainya dengan duduk di atasnya, bukan hanya ditujukan kepada duduk di atasnya semata. Adapun memegang kain sutera, memperjualbelikannya dan
memanfaatkannya maka itu tidaklah diharamkan.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
Uncategorized

D054. MENINDIK TELINGA BAYI PEREMPUAN

MENINDIK TELINGA BAYI PEREMPUAN

A. HUKUM DAN HIKMAH MENINDIK

Menindik anggota tubuh selain telinga seperti hidung, lidah, pusar dan kelopak mata semua itu dihukumi haram secara mutlak, karena tindakan ekstream melubangi anggota-anggota tubuh itu tidak dianggap sebagai berhias yang di tolelir kecuali oleh segelintir kalangan saja. Beda halnya dengan apa yang dilakukan pada telinga, menggantungkan perhiasan di telinga merupakan perhiasan wanita.

Berkenaan tindakan menindik telinga, Mayoritas Ulama merumuskan bahwa praktek penindikan telinga bayi ini diperbolehkan, karena memang praktek ini telah dilakukan oleh para wanita di zaman Rasulullah Saw tanpa adanya pengingkaran dari Beliau

صحيح البخاري ـ م م (7/ 158)

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْعِيدِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلَالٌ فَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَجَعَلَتْ الْمَرْأَةُ تُلْقِي قُرْطَهَا

“bahwa Nabi Saw melakukan shalat ‘ied dua rakaat, beliau tidak mengerjakan shalat sebelum maupun sesudahnya,lalu Beliau menemui para wanita, sahabat Bilal menyertai Beliau, kemudian baginda Nabi memerintahkan mereka untuk bersedekah, hingga para wanita banyak yang melempar anting mereka.”(HR, al-Bukhori)

Dalam hadits ini Rasulullah tidak mengingkari ketika melihat para wanita yang memakai anting dan menjadikannya sebagai sedekah. Hal ini dipahami oleh para Ulama bahwa menindik telinga dan memakai perhiasan sebagai anting-anting bagi wanita hukumnya boleh .dalam hadits lain

Ibnu hajar al-Haitami dalam menyikapi riwayat dari Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan bahwa menindik telinga bayi hukumnya sunnah, sebagaimna berikut

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 39 / ص 274)

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ : أَنَّهُ عَدَّ مِنْ السُّنَّةِ فِي الصَّبِيِّ يَوْمَ السَّابِعِ أَنْ تُثْقَبَ آذَانُهُ

“dari ibnu ‘Abbas, bahwa beliaumenyebut termasuk dari kesunnahan (tindakan terhadap) bayi laki-laki di hari ketujuh kelahirannya adalah menindik telinganya”.

Beliau berkomentar; hadits yang disampaikan oleh ath-Thobraniy, dengan perawi yang terpercaya secara jelas menunjukkan bolehnya menindik bayi laki-laki, maka untuk bayi perempuan lebih utama.

& تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج 39 / ص 274)

وَزَعَمَ أَنَّ تَأْخِيرَ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ مُمْتَنِعٌ لَا يُجْدِي هُنَا ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ فِيهِ تَأْخِيرُ ذَلِكَ إلَّا لَوْ سُئِلَ عَنْ حُكْمِ التَّثْقِيبِ أَوْ رَأَى مَنْ يَفْعَلُهُ أَوْ بَلَغَهُ ذَلِكَ فَهَذَا هُوَ وَقْتُ الْحَاجَةِ ، وَأَمَّا شَيْءٌ وَقَعَ وَانْقَضَى وَلَمْ يَعْلَمْ هَلْ فُعِلَ بَعْدُ أَوْ لَا فَلَا حَاجَةَ مَاسَّةَ لِبَيَانِهِ ، نَعَمْ خَبَرُ الطَّبَرَانِيِّ بِسَنَدٍ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ : أَنَّهُ عَدَّ مِنْ السُّنَّةِ فِي الصَّبِيِّ يَوْمَ السَّابِعِ أَنْ تُثْقَبَ آذَانُهُ

Diantara para Ulama yang berpendapat bolehnya menindik bayi wanita adalah al-Imam Abu Hanifah dan al-Imam Ahmad Bin Hanbal. Adapun dari golongan syafi’iyyah adalah Imam az-Zarkasyi dan Imam ‘Ali Syibramulisi, kesemuanya mengatakan diperbolehkan menindik bayi perempuan, sedangkan untuk bayi laki-laki menurut mayoritas Ulama tidak diperbolehkan secara mutlak (hanya saja Syaikh Syihabuddin ar-Ramli memperbolehkannya dalam satu pendapatnya) , mereka memberikan ‘ilat mengenai tidak diperbolehkannya menindik telinga bagi laki-laki sebagai berikut;

@ Pertama;karena dalam hadits riwayat imam Bukhori yang menjadi dalil diatas hanya menceritakan tentang perempuan saja

@ Kedua, Pada dasarnya penindikan ini bukan merupakan perhiasan yang dibutuhkan oleh seorang bayi laki-laki

@ Ketiga, Proses penindikan adalah hal yang menyakitkan.

Pada dasarnya melakukan perbuatan yang berdampak sakit itu tidak diperbolehkan, namun akan diperbolehkan untuk para wanita sebab terdapat faktor hajat (kepentingan) yang berorientasi kemashlahatan, maka rasa sakit yang dirasakan si bayi ketika proses penindikan itu ditolelir oleh syariat. Dan memang kenyataannya rasa sakit itu tergolong ringan dan pada umumnya bisa ditanggung, proses kesembuhannya pun cepat, jelas tidak ada mafsadah bagi si-bayi dalam penindikan trsebut. Bagi kaum wanita, menindik telinga memang sudah menjadi perhiasan yang dibutuhkan sejak zaman dahulu hingga sekarang, disamping menyimpan kemashlahatan tersendiri bagi bayi wanita nantinya, karena ketika mereka telah dewasa dan menikah bisa menjadikan mereka lebih menarik ketika memakai anting-anting di telinga, sehingga bisa menjadikan sang suami nantinya lebih sayang dan cinta kepada mereka. Selain itu, mengingat adanya keterangan bahwa diperbolehkan bagi seorang wali perempuan untuk menggunakan hartanya demi kepentingan putrinya dalam berhias, baik berupa pakaian atau lainnya guna menarik calon suaminya untuk segera melamarnya.

Beberapa faktor diatas tidak ditemukan pada bayi laki-laki sehingga hukum menindik telinga haram jika dilakukan pada bayi laki-laki.

Referensi:

@ Asnal Mathalib

تنبيه ) تثقيب أذن الصبية لتعليق الحلق جائز على الراجح خلافا للغزالي قال شيخنا ما كتبه الوالد هناهو الأوجه وإن وافق الغزالي على الحرمة في فتاويه

@ Mughny Muhtaj jilid 4 hal 296 cet. Dar Fikr

فائدة قال في الإحياء لا أدري رخصة في تثقيب أذن الصبية لأجل تعليق حلي الذهب أي أو نحوه فيها ، فإن ذلك جرح مؤلم ، ومثله موجب للقصاص ، فلا يجوز إلا لحاجة مهمة كالفصد والحجامة والختان .والتزين بالحلي غير مهم ، فهذا وإن كان معتادا فهو حرام ، والمنع منه واجب، والاستئجار عليه غير صحيح ، والأجرة المأخوذة عليه حرام ا هـ

فإن قيل في البخاري فجعلن يلقين من أقراطهن وخواتيمهن في حجر بلال ؟

أجيب بأن النبي صلى الله عليه وسلم أقر على التعليق لا على التثقيب ، وعند الحنابلة أن تثقيب آذان البنات للزينة جائز ويكره للصبيان ، وعند الحنفية لا بأس بتثقيب آذان الصبية لأنهم كانوا يفعلونه في الجاهلية ولم ينكر عليهم النبي صلى الله عليه وسلم .قال الحسن بن إسحاق بن راهويه ولد أبو إسحاق مثقوب الأذنين فمضى جدي إلى الفضل بن موسى فسأله عن ذلك فقال يكون ابنك رأسا إما في الخير وإما في الشر

@ Tuhfatul Muhtaj jilid 9 hal 228 Cet. dar Fikr

( فلو مات ) المولى ( بجائز من هذا ) الذي هو قطع السلعة أو الفصد أو الحجامة ، ومثلها ما في معناها ( فلا ضمان ) بدية ولا كفارة ( في الأصح ) ؛ لئلا يمتنع من ذلك فيتضرر المولى ، نعم صرح الغزالي وغيره بحرمة تثقيب أذن الصبي أو الصبية ؛ لأنه إيلام لم تدع إليه حاجة ، قال الغزالي إلا أن يثبت فيه من جهة النقل رخصة ولم تبلغنا

وكأنه أشار بذلك إلى رد ما قيل مما جرى عليه قاضي خان من الحنفية في فتاويه أنه لا بأس به ؛ لأنهم كانوا يفعلونه جاهلية ولم ينكر عليهم صلى الله عليه وسلم وفي الرعاية للحنابلة يجوز في الصبية لغرض الزينة ويكره في الصبي وأما ما في الحديث الصحيح { أن النساء أخذن

ما في آذانهن وألقينه في حجر بلال ، والنبي صلى الله عليه وسلم يراهن } فليس فيه دليل للجواز ؛لأن التثقيب سبق قبل ذلك فلم يلزم من سكوته عليه حله ، وزعم أن تأخير البيان عن وقت الحاجة ممتنع لا يجدي هنا ؛ لأنه ليس فيه تأخير ذلك إلا لو سئل عن حكم التثقيب أو رأى من يفعله أو بلغه ذلك فهذا هو وقت الحاجة ، وأما شيء وقع وانقضى ولم يعلم هل فعل بعد أو لا فلا حاجة ماسة لبيانه ، نعم خبر الطبراني بسند رجاله ثقات عن ابن عباس : أنه عد من السنة في الصبي يوم السابع أن تثقب آذانه صريح في الجواز في الصبي، فالصبية أولى ؛ لأن قول الصحابي من السنة كذا في حكم المرفوع وبهذا يتأيد ما ذكر عن قاضي خان والرعاية من حيث مطلق الحل ، ثم رأيت الزركشي استدل للجواز بما في حديث أم زرع في الصحيح ، وهو { قوله صلى الله عليه وسلم لعائشة : كنت لك كأبي زرع لأم زرع } مع قولها : أناس أي : ملأ من حلي أذني انتهى

وفيه نظر يتلقى مما ذكرناه في حديث النساء ؛ إذ بفرض دلالة الحديث على أن أذنيها كانتا مخرقتين وأنه صلى الله عليه وسلم ملأهما حليا هو محتمل إذ لم يدر من خرقهما ، وقد تقرر أن وجود الحلي فيهما لا يدل على حل ذلك التخريق السابق ، ويظهر في خرق الأنف بحلقة تعمل فيه من فضة أو ذهب أنه حرام مطلقا ؛ لأنه لا زينة في ذلك يغتفر لأجلها إلا عند فرقة قليلة ولا عبرة بها مع العرف العام بخلاف ما في الآذان فإنه زينة للنساء في كل محل

والحاصل أن الذي يتمشى على القواعد حرمة ذلك في الصبي مطلقا ؛ لأنه لا حاجة فيه يغتفر لأجلها ذلك التعذيب ، ولا نظر لما يتوهم أنه زينة في حقه ما دام صغيرا ؛ لأن الحق أنه لا زينة فيه بالنسبة إليه وبفرضه هو عرف خاص ، وهو لا يعتد به لا في الصبية لما عرف أنه زينة مطلوبة في حقهن قديما وحديثا ، وقد جوز صلى الله عليه وسلم اللعب لهن للمصلحة ، فكذا هذا ، وأيضا جوز الأئمة لوليها صرف مالها فيما يتعلق بزينتها لبسا وغيره مما يدعو الأزواج إلى خطبتها وإن ترتب عليه فوات مال لا في مقابل تقديما لمصلحتهاالمذكورة ، فكذا هنا ينبغي أن يغتفر هذا التعذيب ؛ لأجل ذلك على أنه تعذيب سهل محتمل وتبرأ منه سريعا ، فلم يكن في تجويزه لتلك المصلحة مفسدة بوجه فتأمل ذلك فإنه مهم

@ Ihya `Ulumiddin dan ittihaf Sadatil Muttaqin jilid 8 hal 128 Cet. Dar Kutub Ilmiyah

ولا أرى رخصة في تثقيب أذن الصبية لأجل تعليق حلق الذهب فيها فإن هذا جرح مؤلم ومثله موجب للقصاص فلا يجوز إلا لحاجة مهمة كالفصد والحجامة والختان والتزين بالحلق غير مهم بل في التقريط بتعليقه على الأذن وفي المخانق والأسورة كفاية عنه

فهذا وإن كان معتادا فهو حرام والمنع منه واجب والاستئجار عليه غير صحيح والأجرة المأخوذة عليه حرام إلا أن يثبت من جهة النقل فيه رخصة ولم يبلغنا إلى الآن فيه رخصة

(قوله فهو حرام والمنع منه واجب والاستئجار عليه غير صحيح والأجرة المأخوذة عليه حرام إلا أن يثبت من جهة النقل فيه رخصة ولم يبلغنا إلى الآن فيه رخصة) و المشهور ان السيدة سارة اماسحاق عليه السلام لما غضبت على هاجر ام اسماعليل عليه السلام حلفت لتقطعن من اطرافها فتثقبت اذنها وانفها وخفضتها لأجل اليمين فبقي ذلك سنة ولم يثبت ان النبي صلى الله عليه وسلم نهى عنه فهذا وجه الرخصة

@ Nihayatuz Zain hal 385 Cet. Dar Fikr

وحرم تثقيب أذن ) قال الزيادي والأوجه أن ثقب أذن الصغيرة لتعليق الحلق حرام لأنه لم تدع إليه حاجة وغرض الزينة لا يجوز بمثل هذا التعذيب هذا ما قاله الغزالي في الإحياء وأفتى بذلك الشيخ الرملي ورجح في موضع آخر الجواز وهو المعتمد كذا في تحفة الحبيب أما خرم أذن الصبي فحرم قطعا كما يحرم خرم الأنف ليجعل فيه حلقة من ذهب أو نحوه ولا فرق في ذلك بين الذكر والأنثى ولا عبرة باعتياد ذلك لبعض الناس في نسائهم

@ Hasyiah Bujairimy `ala Khatib jilid 2 hal 260 Cet. Dar Fikr

قال الشريف الرحماني : وخرق الأنف لما يجعل فيه من نحو حلقة نقد حرام مطلقا ، ولا عبرة باعتياد ذلك لبعض الناس في نسائهم وأذن الصبي كذلك ، ولا نظر لزينته بذلك دون الأنثى ، فيجوز خرق أذنها على المعتمد من إفتاءين للرملي متناقضين . وعبارة الرملي في شرح الزبد : وأما تثقيب آذان الصبية لتعليق الحلق فحرام لأنه جرح لم تدع إليه حاجة

صرح به الغزالي في الإحياء وبالغ فيه مبالغة شديدة ، قال : إلا أن ثبت فيه من جهة النقل رخصة ولم يبلغنا . وقوله : فحرام ضعيف ، وفي الرعاية في مذهب الإمام أحمد : يجوز تثقيب آذانالصبية للتزيين ويكره ثقب أذن الصبي اه بحروفه

@ Ghayatul Bayan Syarah Zubad ibnu Ruslan hal 40 Cet. Dar Ma`rifah

وأما تثقيب آذان الصبية لتعليق الحلق فحرام لأنه جرح لم تدع إليه حاجة صرح به الغزالى في الإحياء وبالغ فيه مبالغة شديدة قال إلا أن يثبت فيه من جهة النقل رخصة ولم تبلغنا وفي الرعاية في مذهب أحمد يجوزتثقيب آذان الصبية للزينة ويكره ثقب آذان الصبي وفي فتاوى قاضيخان من الحنفية أنه لا بأس بتثقيب آذان الصبية لأنهم كانوا يفعلونه في الجاهلية ولم ينكر عليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم

Wallahu a’lamu Bisshowab..

Kategori
Uncategorized

KAJIAN KITAB AL-HIKAM PP. MUBA

Ngaji Hikam RKH. Moh. Tohir Abdul Hamid

Silahkan buka Link berikut :

https://www.facebook.com/mambaul.ulumbatabata/videos/673188319814263/

Edisi Rabu 3 Juli 2019

Kategori
Uncategorized

HADITS KE 76 : DIHARAMKAN MEMAKAI KAIN SUTERA BAGI LAKI-LAKI

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB PAKAIAN

HADITS KE 76 :

عَنْ أَبِي عَامِرٍ اَلْأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الحِر وَالْحَرِيرَ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَأَصْلُهُ فِي الْبُخَارِيِّ

Dari Abu Amir al-Asy’ari Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya akan ada di antara umatku kaum yang menghalalkan kemaluan dan sutra.” Riwayat Abu Dawud dan asalnya dalam riwayat Bukhari.

MAKNA HADITS :

Allah (s.w.t) menganugerahkan pakaian kepada hamba-Nya, lalu dimudahkan-
Nya untuk memperolehinya. Allah (s.w.t) berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا (٢٦)

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutupi auratmu dan pakaian yang indah sebagai perhiasanmu…” (Surah al-A’raf: 26)

Pakaian itu ada dua jenis. Pertama, pakaian yang bersifat konkrit, seperti pakaian yang lazim kita pakai. Jenis ini ada dua jenis, yaitu pakaian halal dan pakaian haram. Pakaian halal seperti pakaian yang dibuat dari bahan kapas atau bahan yang lainnya yang halal. Sedangkan pakaian haram seperti pakaian yang dibuat dari sutera dan emas, khusus bagi kaum lelaki tanpa ada udzur untuk memakainya.

Kedua, jenis pakaian yang bersifat abstrak, yaitu menghiasi diri dengan akhlak
mulia dan mengerjakan perintah Allah (s.w.t) Allah (s.w.t) berfirman:

ولباس التقوى ذلك خير (٢٦)

“… Dan pakaian takwa itulah yang paling baik…” (Surah al-A’raf: 26)

Salah seorang penyair berkata:

“Jika akhlak seseorang tidak dinodai sifat tercela maka seluruh pakaian yang dipakainya indah belaka”.

Seorang bijak pandai berpesan:
“Jika seseorang tidak menghiasi dirinya dengan takwa sebagai pakaiannya, maka bererti dia sama dengan bertelanjang, sekalipun dia berpakaian secara dzahir.”

FIQH HADITS :

1. Lelaki haram memakai kain sutera, karena pakaian yang dibuat dari kain sutera merupakan pakaian miwah dan perhiasan yang hanya layak dipakai oleh kaum wanita atau pakaian sutera menunjukkan penampilan yang bongkak dan sombong atau ia dilarang sebagai perkara yang dilarang oleh Islam.

2. Haram berzina dan tidak boleh menghalalkan kemaluan wanita kecuali
setelah kawin dengannya.

3. Barang siapa yang menghalalkan perkara yang diharamkan sebagaimana yang telah dinyatakan oleh agama dengan tegas, maka sesungguhnya orang itu dianggap telah keluar dari agama dan tidak termasuk umat Islam lagi sehinggalah dia bertaubat.

Wallahu a’lam bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Kategori
Uncategorized

HADITS KE 75 : CARA MENGANGKAT TANGAN KETIKA BERDO’A

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله الرحمن الرحيم

KAJIAN KITAB IBANAH AL-AHKAM KARYA ASSAYYID ALAWI BIN ABBAS AL-MALIKI

《JILID II (DUA)》

BAB SHALAT ISTISQA’

HADITS KE 75 :

وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه ( أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اسْتَسْقَى فَأَشَارَ بِظَهْرِ كَفَّيْهِ إِلَى السَّمَاءِ ) أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ

Dari Anas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam memohon hujan, lalu beliau memberi isyarat dengan punggung kedua telapak tangannya ke langit. Dikeluarkan oleh Muslim.

MAKNA HADITS :

Dalam berdo’a disunatkan memohon agar malapetaka dijauhkan seperti memohon agar musim kemarau dihilangkan dan lain-lain sebagainya. Hendaklah seseorang mengangkat kedua tangan dan menjadikan kedua telapak tangannya menghadap ke arah langit sebagai isyarat, semoga keadaan hidup yang keras dan gersang berubah menjadi keadaan yang subur dan makmur.

Dalam berdo’a memohon kebaikan, hendaklah bagian dalam kedua
telapak tangan diarahkan ke langit. Hal ini diperkuatkan lagi dengan apa yang
disabdakan oleh Nabi (s.a.w) dalam hadis yang lain:

إذا سألتم الله فاسألوه ببطون أكفكم ولا تسألوه بظهورها

“Jika kamu memohon sesuatu kepada Allah, maka pohonlah kepada-Nya dengan menengadahkan bagian dalam telapak tangan kamu; dan janganlah kamu meminta kepada-Nya dengan bagian luar telapak tangan kamu.

FIQH HADITS :

Menjelaskan cara mengangkat kedua tangan ketika berdo’a memohon agar
malapetaka dihilangkan.

Wallahu a’lamu bisshowab..

Demikian Kajian Hadits untuk hari ini.

Semoga bermanfaat. Aamiin..

Ketik Pencarian