DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Status Hukum Pemanfaatan Lahan Bekas Sungai dalam Perspektif Islam dan Peraturan di Indonesia

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Di era pemerintahan Jokowi, banyak sungai yang ditutup, disatukan alirannya, dan diratakan dengan tanah. Akibat perubahan alur sungai tersebut, tidak sedikit masyarakat sekitar yang berlomba-lomba menguasai lahan bekas sungai itu untuk membangun toko dan bangunan megah. Prinsip yang berlaku di kalangan mereka adalah “Siapa cepat, dia dapat.” Cukup dengan meratakan tanah dan memberi pembatas, lahan tersebut dianggap menjadi milik orang yang lebih dulu menguasainya.

Pertanyaan yang Diajukan:

Apakah tindakan menguasai lahan bekas sungai yang telah ditutup dan diratakan dengan tanah dapat dikategorikan sebagai ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati)?

Sampai sejauh mana masyarakat diperbolehkan memanfaatkan lahan bekas sungai tersebut menurut hukum Islam dan peraturan yang berlaku?

Waalaikumsalam salam

Jawaban

Analisis Hukum Islam dan Peraturan yang Berlaku

1. Perspektif Hukum Islam: Ihya’ Al-Mawat

Dalam fikih Islam, ihya’ al-mawat (إحياء الموات) atau “menghidupkan tanah mati” adalah proses menghidupkan tanah yang tidak ada pemiliknya, tidak dimanfaatkan, dan jauh dari kepemilikan umum atau negara. Landasannya di antaranya:

Hadis Rasulullah ﷺ:

مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ

“Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ahmad)

Namun, ulama menyatakan bahwa syarat utama tanah yang boleh dihidupkan adalah bukan tanah yang sudah memiliki hak atau status tertentu dalam hukum Islam atau peraturan pemerintah.Dengan kata lain tanah yang boleh dihidupkan syaratnya harus merdeka bukan milik seseorang ataupun pemerintah.

Dengan demikian dalam kasus ini, tanah bekas sungai bukan termasuk tanah mati (al-mawat), melainkan tanah yang sebelumnya memiliki fungsi publik (al-milkiyyah al-‘ammah). Oleh karena itu, menguasainya tanpa izin otoritas yang sah tidak bisa dikategorikan sebagai ihya’ al-mawat.

Referensi:

فتح القريب المجيب في شرح ألفاظ التقريب  أو القول المختار في شرح غاية الإختصار في باب أحكام  إحياء الموات

(فصل)

: في أحكام إحياء الموات وهو كما قال الرافعي في الشرح الصغير أرض لا مالك لها، ولا ينتفع بها أحد وإحياء الموات جائز بشرطين أحدهما أن يكون المحيي مسلماً فيسن له إحياء الأرض الميتة سواء أذن له الإمام أم لا، اللهم إلا أن يتعلق بالموات حتى كأن حمى الإمام قطعة منه، فأحياها شخص فلا يملكها إلا بإذن الإمام في الأصح، أما الذمي والمعاهد والمستأمن، فليس لهم الإحياء، ولو أذن لهم الإمام.
(و)

الثاني أن تكون الأرض حرة لا يجوز عليها ملك لسه وفي بعض النسخ أن تكون الأرض حرة والمراد من كلام المصنف أن ما كان معموراً وهو الآن خراب فهو لمالكه إن عرف مسلماً كان أو ذمياً ولا يملك هذا الخراب بالإحياء فإن لم يعرف مالكه والعمارة إسلامية فهذا المعمور مال ضائع الأمر فيه لرأي الإمام في حفظه أو بيعه وحفظ ثمنه وإن كان المعمور جاهلية ملك بالإحياء

2. Hukum Pemanfaatan Lahan Bekas Sungai

Dalam Islam, sungai dan lahan yang berkaitan dengan kepentingan umum masuk dalam kategori kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah), yang tidak bisa dimiliki secara pribadi tanpa izin otoritas yang berwenang. Rasulullah ﷺ bersabda:

. قال رسول الله ﷺ:
“الناس شركاء في ثلاث: في الماء، والكلأ، والنار.” (رواه أبو داود وابن ماجه)

.
“Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Berdasarkan hadits ini, menguasai lahan bekas sungai tanpa izin dari pemerintah adalah tindakan yang tidak diperbolehkan.Dengan  demikian dapat dipahami bahwa hukum menempati sungai yang telah diratakan tanah  boleh dengan izin pemerintah dan sebaliknya

حاشية البجيرمي على المنهج(الجزء ج٤ص٢٣٢

قوله ( الأمر فيه إلى رأي الإمام ) ولو انحسر ماء النهر عن جانب من أرضه وصارت مكشوفة لم تخرج عما كانت عليه من كونها من حقوق النهر مستحقة لعموم المسلمين وليس للسلطان تمليكها لأحد فإنه ليس له تمليك شيء من النهر أو حريمه وإن انكشف عنه لأنه لا يخرج عما كان عليه بانكشاف الماء عنه لأنه بصدد أن يعود الماء إليه نعم له دفعها لمن يرتفق بها حيث لا يضر بالمسلمين ولو تعدى إنسان وزرعها ضمن أجرتها لمصالح المسلمين ولا يسقط عنه من الأجرة ما يخصه من المصالح كذا تحرر مع م ر في درسه بالمباحثة في ذلك وهو ظاهر وبالغ في إنكار ما نقل له عن بعضهم من أن البحر لو انحسر عن أرض بجانب قرية استحقها أهل القرية ا هـ سم وفي ق ل على الجلال أنه يسقط عنه قدر حصته إن كان له حصة في مال المصالح وعبارة م ر في شرحه وحريم النهر كالنيل ما تمس الحاجة له لتمام الانتفاع به وما يحتاج لإلقاء ما يخرج منه فيه لو أريد تنظيفه فيمتنع البناء فيه ولو مسجدا ويهدم ما يبنى فيه كما نقل عن إجماع الأئمة الأربعة ولقد عمت البلوى بذلك في عصرنا حتى ألف العلماء في ذلك لينزجر الناس فلم ينزجروا ولا يغير هذا الحكم كما أفاده الوالد رحمه الله ا هـ بحروفه

حواشي الشرواني والعبادي (٦/ ٢٠٧)

فرع: الانتفاع بحريم الانهار كحافاتها بوضع الاحمال والاثقال وجعل زريبة من قصب ونحوه لحفظ الامتعة فيها كما هو الواقع اليوم في ساحل بولاق ومصر القديم ونحوهما ينبغي أن يقال فيه إن فعله للارتفاق به ولم يضر بانتفاع غيره ولا ضيق على المارة ونحوهم ولا عطل أو نقص منفعة النهر كان جائزا ولا يجوز أخذ عوض منه على ذلك وإلا حرم ولزمته الاجرة لمصالح المسلمين وكذا يقال فيما لو انتفع بمحل انكشف عنه النهر في زرع ونحوه

3. Perspektif Peraturan yang Berlaku di Indonesia

Secara hukum positif, pengelolaan lahan bekas sungai diatur dalam berbagai peraturan, di antaranya:

UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, yang menegaskan bahwa sungai adalah bagian dari aset negara dan penggunaannya harus sesuai dengan regulasi. UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang menyatakan bahwa tanah yang berasal dari perubahan aliran sungai harus ditetapkan statusnya oleh negara sebelum bisa dimanfaatkan secara pribadi. Peraturan Menteri PUPR No. 28/PRT/M/2015 yang mengatur tata kelola dan pemanfaatan lahan bekas sungai, di mana lahan tersebut tidak serta-merta menjadi hak individu tanpa mekanisme hukum yang sah.

Dengan demikian, mengklaim lahan bekas sungai secara sepihak adalah tindakan ilegal dalam hukum negara dan tidak sesuai dengan prinsip Islam.

Kesimpulan dan Rekomendasi Menguasai lahan bekas sungai secara sepihak tidak bisa dianggap sebagai ihya’ al-mawat karena lahan tersebut bukan tanah mati, melainkan tanah yang memiliki status hukum sebagai aset publik atau negara. Dalam Islam, lahan yang sebelumnya menjadi milik umum tidak bisa dikuasai oleh individu tanpa izin resmi dari pemerintah. Menurut hukum negara, pemanfaatan lahan bekas sungai harus mengikuti regulasi yang berlaku. Masyarakat yang ingin menggunakan lahan bekas sungai sebaiknya mengajukan izin resmi ke instansi terkait agar tidak melanggar hukum dan mendapatkan hak penggunaan yang sah.

Wallahu a’lam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM

Ketik Pencarian