Assalamualaikum,
Deskripsi Masalah
Seorang bernama Mahmud (nama samaran) melaksanakan ibadah aqiqah untuk anaknya atau untuk dirinya sendiri. Kambing aqiqah tersebut kemudian disedekahkan sepenuhnya (dipasrahkan) kepada seorang kyai yang tergolong fakir. Setelah itu, kambing tersebut disembelih oleh pak kyai, dimasak, dan akhirnya saya diberi satu piring dari masakan tersebut oleh pak kyai.
Pertanyaan:
Apakah saya diperbolehkan untuk memakan masakan tersebut?
Mohon jawaban dan penjelasan.
Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Jawaban dan Penjelasan
Dalam konteks ini, hukum memakan makanan tersebut dapat dianalisis berdasarkan ketentuan ibadah aqiqah dan pengelolaannya. Berikut penjelasannya:
1. Hak Kepemilikan Setelah Disedekahkan
Ketika kambing aqiqah disedekahkan sepenuhnya kepada seorang fakir (dalam hal ini, pak kyai), maka kepemilikan kambing tersebut telah berpindah sepenuhnya kepada pak kyai. Sebagai pemilik baru, pak kyai memiliki hak penuh atas kambing tersebut, termasuk menyembelih, memasak, dan memberikan sebagian kepada orang lain.
2. Hukum Memakan Pemberian
Jika pak kyai memberikan satu piring masakan kepadamu, maka statusnya adalah pemberian atau sedekah dari pak kyai, bukan dari kambing aqiqah secara langsung. Dalam hal ini, kamu diperbolehkan memakannya karena hak kepemilikan kambing sudah sepenuhnya berada pada pak kyai, dan dia berhak memberikan bagian tersebut kepada siapa saja.
Berdasarkan penjelasan diatas, setelah kambing disedekahkan, penerima memiliki hak penuh untuk mengelola harta tersebut, termasuk memberikan sebagian kepada orang lain.
Referensi
المكتبة الشاملة كتاب فتح الوهاب بشرح منهج الطلاب [زكريا الأنصاري] الفقه الشافعي ج٢ص٢٣٤
وَذِكْرُ مَنْ يَعُقُّ مِنْ زِيَادَتِي ” وَهِيَ ” أَيْ الْعَقِيقَةُ ” كَضَحِيَّةٍ ” فِي جَمِيعِ أَحْكَامِهَا مِنْ جِنْسِهَا وَسِنِّهَا وَسَلَامَتِهَا وَنِيَّتِهَا وَالْأَفْضَلِ مِنْهَا وَالْأَكْلِ وَالتَّصَدُّقِ وَحُصُولِ السُّنَّةِ بِشَاةٍ وَلَوْ عَنْ ذَكَرٍ وَغَيْرِهَا مما يأتي فِي الْعَقِيقَةِ لَكِنْ لَا يَجِبُ التَّصَدُّقُ بِلَحْمٍ مِنْهَا نِيئًا كَمَا يُعْلَمُ مِمَّا يَأْتِي فَتَعْبِيرِي بِذَلِكَ أَعَمُّ مِنْ قَوْلِهِ وَسِنُّهَا وَسَلَامَتُهَا وَالْأَكْلُ والتصدق كالأضحية ” وسن لذكر شاتان وغيره ” مِنْ أُنْثَى وَخُنْثَى ” شَاةٌ ” إنْ أُرِيدَ الْعَقُّ بِالشِّيَاهِ لِلْأَمْرِ بِذَلِكَ فِي غَيْرِ الْخُنْثَى رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقِيسَ بِالْأُنْثَى الْخُنْثَى وَإِنَّمَا كَانَا عَلَى النِّصْفِ مِنْ الذَّكَرِ لِأَنَّ الْغَرَضَ مِنْ الْعَقِيقَةِ اسْتِبْقَاءُ النَّفْسِ فَأَشْبَهَتْ الدِّيَةَ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا فِدَاءٌ لِلنَّفْسِ وَذِكْرُ الْخُنْثَى مِنْ زِيَادَتِي ” وَ ” سُنَّ ” طَبْخُهَا ” كَسَائِرِ الْوَلَائِمِ إلَّا رِجْلَهَا فَتُعْطَى نِيئَةً لِلْقَابِلَةِ لِخَبَرِ الْحَاكِمِ الْآتِي ” وَ ” سُنَّ طَبْخُهَا ” بِحُلْوٍ ” مِنْ زِيَادَتِي تَفَاؤُلًا بِحَلَاوَةِ أَخْلَاقِ الْوَلَدِ وَلِأَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُحِبُّ الْحَلْوَى وَالْعَسَلَ وَإِذَا أُهْدِي لِلْغَنِيِّ مِنْهَا شَيْءٌ مَلَكَهُ بِخِلَافِهِ فِي الْأُضْحِيَّةِ كَمَا مَرَّ لِأَنَّ الْأُضْحِيَّةَ ضِيَافَةٌ عَامَّةٌ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى لِلْمُؤْمِنِينَ بِخِلَافِ الْعَقِيقَةِ ” وَأَنْ لَا يَكْسِرَ عَظْمَهَا ” تَفَاؤُلًا بِسَلَامَةِ أَعْضَاءِ الْوَلَدِ فَإِنْ كَسَرَ فَخِلَافُ الْأَوْلَى. ” وَأَنْ تُذْبَحُ سَابِعَ وِلَادَتِهِ ” أَيْ الْوَلَدِ وَبِهَا يَدْخُلُ وَقْتُ الذَّبْحِ وَلَا تَفُوتُ بِالتَّأْخِيرِ عَنْ السَّابِعِ وَإِذَا بَلَغَ بِلَا عَقٍّ سَقَطَ سُنُّ الْعَقِّ عَنْ غَيْرِهِ “
Fathul Wahhab bi Syarhi Minhajit Thullab (Zakariya al-Anshari), Juz 2, Halaman 234
Dan penyebutan siapa yang melakukan aqiqah (termasuk tambahan dari saya) “Dan ia” yaitu aqiqah, “seperti kurban” dalam semua hukumnya, dari jenisnya, usianya, kesehatannya, niatnya, mana yang lebih utama di antara jenisnya, hukum makan dan sedekah darinya, serta kesunnahan sudah tercapai dengan satu ekor kambing meskipun untuk anak laki-laki, dan lainnya sebagaimana yang akan dijelaskan dalam pembahasan aqiqah. Namun, tidak wajib bersedekah dengan dagingnya dalam keadaan mentah, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti. Oleh karena itu, ungkapanku lebih umum dibandingkan perkataannya (pengarang kitab) yang hanya menyebutkan usia hewan, kesehatannya, hukum makan, dan sedekahnya seperti kurban.
“Dan disunnahkan untuk anak laki-laki dua ekor kambing, sedangkan untuk selainnya” yaitu perempuan dan khuntsa (orang dengan kelamin ganda) “satu ekor kambing” jika aqiqah dilakukan dengan kambing, karena adanya perintah dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (dan beliau berkata: hadis ini hasan sahih). Perempuan dan khuntsa dianalogikan dengan perempuan dalam jumlah hewan aqiqahnya. Hikmah perbedaan jumlah ini adalah karena tujuan aqiqah adalah sebagai bentuk keselamatan bagi anak, sehingga aqiqah menyerupai diyat (denda dalam hukum Islam), karena keduanya sama-sama sebagai tebusan bagi jiwa. Penyebutan khuntsa dalam hukum ini adalah tambahan dari saya.
“Dan disunnahkan untuk memasaknya” seperti dalam acara jamuan lainnya, kecuali kakinya yang diberikan dalam keadaan mentah kepada bidan (yang membantu kelahiran), sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Hakim yang akan disebutkan nanti.
“Dan disunnahkan memasaknya dengan sesuatu yang manis” (tambahan dari saya) sebagai bentuk tabarruk (mengambil berkah) agar anak memiliki akhlak yang baik. Juga karena Rasulullah ﷺ menyukai makanan manis dan madu. Jika daging aqiqah dihadiahkan kepada orang kaya, maka ia berhak memilikinya, berbeda dengan daging kurban yang memiliki aturan berbeda. Hal ini karena kurban adalah bentuk jamuan umum dari Allah bagi seluruh kaum mukminin, berbeda dengan aqiqah yang merupakan jamuan khusus.
“Dan tidak boleh mematahkan tulangnya”, sebagai bentuk tabarruk agar anggota tubuh anak tetap sehat. Namun, jika tulangnya dipatahkan, maka hukumnya hanya makruh tanzih (lebih baik ditinggalkan, tetapi tidak haram).
“Dan hendaknya aqiqah disembelih pada hari ketujuh dari kelahirannya”, yaitu dihitung sejak hari lahirnya. Pada hari ketujuh ini, waktu penyembelihan aqiqah masuk dan tidak gugur jika dilakukan setelah hari ketujuh. Namun, jika seorang anak telah baligh dan belum diaqiqahi oleh orang tuanya, maka kesunnahan aqiqah tidak lagi berlaku bagi selain dirinya (tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua).
Kesimpulan:
Kamu diperbolehkan untuk memakan masakan tersebut, karena statusnya adalah pemberian dari pak kyai sebagai pemilik sah kambing yang telah disedekahkan.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Referensi:
كتاب شرح سنن أبي داود للعباد
[عبد المحسن العباد] ج: ٢٠١ ص: ١٠
إهداء الفقير للغني من الصدقة
[شرح حديث: (هو لها صدقة ولنا هدية)]
قال المصنف رحمه الله تعالى: [باب: الفقير يهدي للغني من الصدقة.
حدثنا عمرو بن مرزوق أخبرنا شعبة عن قتادة عن أنس رضي الله عنه (أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم أتي بلحم، قال: ما هذا؟ قالوا: شيء تصدق به على بريرة، فقال: هو لها صدقة، ولنا هدية)].
قال الإمام أبو داود السجستاني رحمه الله تعالى: باب: الفقير يهدي للغني من الصدقة.
أي أن ذلك سائغ وجائز؛ لأن الصدقة إذا تصدق بها على الفقير صارت ملكا له يتصرف فيها كيف يشاء، فله أن يهديها، وله أن يدعو لأكلها، وإلى أكل طعامه الذي تصدق عليه به؛ فإن الشيء إذا تصدق به على الفقير فإنه يدخل في ملكه، وتصير ملكا له، وإذا أكلها غني بعد ذلك، أو أكلها من لا تحل له الصدقة؛ فإن ذلك لا بأس به، ولا محذور فيه، وقد سبق أن مرت بعض التراجم التي تماثل هذه الترجمة، وهنا جاءت بالنسبة للنبي صلى الله عليه وسلم، فلو كانت الترجمة: باب الفقير يهدي إلى من لا تحل له الصدقة، لكان أولى.
وسبق أن مرت بعض التراجم التي فيها أن فقيرا يهدي إلى غني، وفي بعض الأحاديث أنه يدعوه، فسواء أهدى إليه، أو دعاه لحضور وليمة، أو إلى أن يأكل من طعامه؛ فكل ذلك لا بأس به، لكن هذه الترجمة كان الأولى أن تكون كما ذكرت آنفا.
أورد أبو داود حديث أنس رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قدم إليه لحم فقال: (ما هذا؟ قالوا: لحم تصدق به على بريرة، فقال عليه الصلاة والسلام: هو لها صدقة، ولنا هدية).
يعني: أنه وصل إليها عن طريق الصدقة فملكته، ثم وصل إلينا هدية، والنبي صلى الله عليه وسلم يأكل من الهدية ويقبلها، ولكنه لا يأخذ الصدقة صلى الله عليه وسلم، فوصول الصدقة إلى الفقير يصيرها ملكا له، فيتصرف فيها كيف يشاء، فإذا شاء أن يهديها إلى من لا تحل له الصدقة فله ذلك، وإن شاء أن يدعو إليها من لا تحل له الصدقة فله ذلك، فقد خرجت عن كونها صدقة؛ لكونها صارت ملكا للذي تصدق بها عليه، فيتصرف فيها كيف شاء.
ويدل هذا الحديث أيضا على سؤال الرجل عما يحصل في بيته مما يكون غريبا، فالنبي صلى الله عليه وسلم قال: (ما هذا؟)، وذلك أنه رأى اللحم، وكان حصول اللحم ليس معتادا لهم، فلما رآه عليه الصلاة والسلام سأل عنه، فأخبر عن حقيقته، وأنه تصدق به على بريرة، وأعطتهم بريرة إياه هدية، فقال عليه الصلاة والسلام: (هو لها صدقة، ولنا هدية).
Penjelasan Hadis: “Itu Sedekah untuknya, dan Hadiah untuk Kita”
Imam Abu Daud rahimahullah membuat bab: “Orang fakir memberi hadiah kepada orang kaya dari sedekah.”
Ini menunjukkan bahwa hal tersebut diperbolehkan dan dibolehkan. Karena sedekah yang diberikan kepada orang fakir menjadi miliknya, dan dia dapat menggunakannya sesuka hati. Dia boleh memberikannya sebagai hadiah, atau mengundang orang lain untuk memakannya. Jika orang kaya memakannya setelah itu, atau orang yang tidak berhak menerima sedekah memakannya, maka tidak ada masalah dan tidak ada larangan.
Sebelumnya telah disebutkan beberapa bab yang serupa dengan bab ini. Di sini, hal itu dikaitkan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Alangkah lebih baiknya jika bab ini diberi judul: “Orang fakir memberi hadiah kepada orang yang tidak berhak menerima sedekah.”
Sebelumnya juga telah disebutkan beberapa bab yang menyebutkan bahwa orang fakir memberi hadiah kepada orang kaya, dan dalam beberapa hadis disebutkan bahwa dia mengundangnya. Baik dia memberinya hadiah, atau mengundangnya untuk menghadiri walimah, atau makan dari makanannya, semuanya diperbolehkan.
Abu Daud meriwayatkan hadis dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diberi daging, lalu beliau bertanya: “Apa ini?” Mereka menjawab: “Daging yang disedekahkan kepada Barirah.” Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu sedekah untuknya, dan hadiah untuk kita.”
Artinya, daging itu sampai kepadanya melalui sedekah, sehingga dia memilikinya, lalu sampai kepada kita sebagai hadiah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memakan hadiah dan menerimanya, tetapi beliau tidak mengambil sedekah. Sedekah yang sampai kepada orang fakir menjadikannya miliknya, sehingga dia dapat menggunakannya sesuka hati. Jika dia ingin memberikannya sebagai hadiah kepada orang yang tidak berhak menerima sedekah, maka dia boleh melakukannya. Jika dia ingin mengundang orang yang tidak berhak menerima sedekah untuk memakannya, maka dia boleh melakukannya. Karena sedekah itu telah keluar dari statusnya sebagai sedekah, karena telah menjadi milik orang yang disedekahkan kepadanya, sehingga dia dapat menggunakannya sesuka hati.
Hadis ini juga menunjukkan bahwa seseorang boleh bertanya tentang hal-hal aneh yang terjadi di rumahnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apa ini?” Karena beliau melihat daging itu, dan daging bukanlah sesuatu yang biasa mereka dapatkan. Ketika beliau melihatnya, beliau bertanya tentangnya, lalu diberi tahu tentang hakikatnya, yaitu bahwa daging itu disedekahkan kepada Barirah, dan Barirah memberikannya kepada mereka sebagai hadiah. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu sedekah untuknya, dan hadiah untuk kita.” Wallahu a’lam bisshowab
__________________________
زيادة المراجع فتوى السبكي ص ٢٨٨
[كِتَابُ الضَّحَايَا]
(مَسْأَلَةٌ)
إذَا أَهْدَى الْمُضَحِّي مِنْ أُضْحِيَّةٍ إلَى غَنِيٍّ شَيْئًا هَلْ يَجُوزُ لِلْغَنِيِّ أَنْ يُهْدِيَهُ إلَى غَيْرِهِ؟ إنْ قُلْتُمْ: يَجُوزُ فَمَا مَعْنَى قَوْلِ الرَّافِعِيِّ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُمَلِّكَ الْأَغْنِيَاءَ؟
(الْجَوَابُ)
قَالَ الشَّيْخُ الْإِمَامُ – رَحِمَهُ اللَّهُ -: الْأَصْلُ الَّذِي يَنْبَغِي أَنْ يُعْتَمَدَ فِي هَذَا الْبَابِ وَلَمْ أَرَهُ مَنْقُولًا وَلَكِنِّي قَرَّرْتُهُ تَفَقُّهًا لَمَّا رَأَيْت الْمَسَائِلَ لَا تَسْتَمِرُّ إلَّا عَلَيْهِ، وَالْقَوَاعِدَ، وَالْأَدِلَّةَ تَشْهَدُ لَهُ أَنَّ أُضْحِيَّةَ التَّطَوُّعِ يَزُولُ الْمِلْكُ عَنْهَا بِالذَّبْحِ لِلَّهِ تَعَالَى، وَمَصْرِفُهَا وَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: الْفُقَرَاءُ تَمْلِيكًا، وَالثَّانِي: الْأَغْنِيَاءُ انْتِفَاعًا، وَالْمُضَحِّي أَحَدُهُمْ، وَلَهُ الْوِلَايَةُ عَلَى ذَلِكَ، وَقِسْمَتُهُ وَتَفْرِقَتُهُ، فَإِنَّ الْمُضَحِّيَ يَتَقَرَّبُ بِأُضْحِيَّتِهِ بِالذَّبْحِ، وَبِذَلِكَ تَنْتَقِلُ عَنْهُ إلَى اللَّهِ تَعَالَى، وَهَذَا مَعْنَى الْقُرْبَةِ فِيهَا، وَإِنْ جَازَ لَهُ الْأَكْلُ مِنْهَا؛ لِأَنَّهُ مَأْذُونٌ فِي ذَلِكَ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِذَا عَلِمَ ذَلِكَ
فَإِذَا أَعْطَى مِنْهَا لِلْفُقَرَاءِ كَانَ تَمْلِيكًا وَلَيْسَ الْمَعْنَى يُمَلِّكُهُمْ بَلْ يُعْطِيهِمْ كَمَا يُعْطِيهِمْ لِلزَّكَاةِ فَيَمْلِكُونَهَا مِلْكًا تَامًّا يَتَصَرَّفُونَ فِيهِ بِالْبَيْعِ وَغَيْرِهِ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّهُمْ الْمَقْصُودُ الْأَعْظَمُ بِهَا، وَلَا يَحْصُلُ لَهُمْ التَّصَرُّفُ التَّامُّ إلَّا بِالتَّمْلِيكِ التَّامِّ فِي ذَلِكَ لِيَنْتَفِعُوا بِهَا وَبِثَمَنِهَا. فَمَعْنَى قَوْلِهِ: يُمَلِّكُ الْفُقَرَاءَ أَنَّهُ يُعْطِي لَهُمْ وَيُسَلِّطُهُمْ تَسْلِيطًا تَامًّا عَلَيْهَا، وَإِذَا أَكَلَ هُوَ مِنْهَا يَأْكُلُهَا وَلَيْسَتْ عَلَى مِلْكِهِ بَلْ الْإِذْنُ مِنْ اللَّهِ تَعَالَى، وَإِذَا أَهْدَى مِنْهَا إلَى غَنِيٍّ فَقَدْ أَحَلَّ ذَلِكَ الْغَنِيَّ مَحَلَّهُ وَرَفَعَ يَدَهُ عَمَّا أَهْدَاهُ لَهُ، فَلِلْغَنِيِّ أَنْ يَأْكُلَ مِنْهُ وَيُهْدِيَ أَيْضًا، وَلَيْسَ ذَلِكَ مِنْ بَابِ الْهَدِيَّةِ الَّتِي هِيَ التَّمْلِيكُ لِمَا قَدَّمْنَاهُ أَنَّهَا لَيْسَتْ مِلْكَهُ، وَإِنَّمَا مَعْنَاهُ رَفْعُ يَدِهِ وَتَسْلِيطُ غَيْرِهِ عَلَيْهَا، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَبِيعَ لِكَوْنِهِ غَيْرَ مِلْكٍ، وَإِنَّمَا لَمْ يَمْلِكْ لِكَوْنِهِ لَيْسَ هُوَ الْمَقْصُودَ الْأَعْظَمَ مِنْهَا لِمَا قَدَّمْنَا أَنَّ الْمَقْصُودَ الْأَعْظَمَ مِنْهَا الْفُقَرَاءُ، فَمَقْصُودُ الْأُضْحِيَّةِ تَمْلِيكُ الْفُقَرَاءِ، وَالْإِبَاحَةُ لِلْمُضَحِّي، وَالْأَغْنِيَاءِ هَذِهِ حَقِيقَتُهَا
Referensi
وللفقير التصرف في المأخوذ ولو بنحو بيع المسلم لملكه ما يعطاه ، بخلاف الغني فليس له نحو البيع بل له التصرف في المهدي له بنحو أكل وتصدق وضيافة ولو لغني ، لأن غايته أنه كالمضحي نفسه ، قاله في التحفة والنهاية
Referensi
إعانة الطالبين ج٢ ص ٣٧٩
(قوله: لا تمليكهم) أي لا يجوز تمليك الأغنياء منها شيئا. ومحله إن كان ملكهم ذلك ليتصرفوا فيه بالبيع ونحوه كأن قال لهم ملكتكم هذا لتتصرفوا في بما شئتم أما إذا ملكهم إياه لا لذلك بل للأكل وحده فيجوز، ويكون هدية لهم وهم يتصرفون فيه بنحو أكل وتصدق وضيافة لغني أو فقير لا ببيع وهبة وهذا بخلاف الفقراء، فيجوز تمليكهم اللحم ليتصرفوا فيه بما شاؤا ببيع أو غيره .والله أعلم بالصواب
Fatwa Al-Subki Halaman 288 [Kitab Al-Dhahayaa]
(Masalah)
Apabila seseorang yang berkurban memberikan sebagian daging kurbannya kepada orang kaya, apakah orang kaya tersebut boleh menghadiahkan daging itu kepada orang lain? Jika diperbolehkan, apa makna dari pernyataan Imam Al-Rafi’i bahwa tidak diperkenankan bagi yang berkurban untuk “mentamlikkan” (memberikan hak kepemilikan penuh) daging kurban kepada orang kaya?
(Jawaban)
Imam besar – semoga Allah merahmatinya – menjelaskan:
Dasar yang patut dijadikan pedoman dalam hal ini, yang meskipun saya tidak menemukannya secara eksplisit dalam referensi, namun telah saya tetapkan berdasarkan analisis hukum (tafaqquh) karena berbagai masalah dalam topik ini tidak dapat dipahami kecuali dengan dasar tersebut. Kaidah-kaidah dan dalil-dalil juga mendukungnya, yaitu:
Daging kurban yang bersifat sunnah menjadi milik Allah Ta’ala setelah disembelih. Pembagian manfaatnya terbagi menjadi dua bentuk:
1. Fakir miskin (tamlik): Daging kurban diberikan kepada mereka sebagai kepemilikan penuh sehingga mereka dapat memanfaatkannya, termasuk menjualnya.
2. Orang kaya (pemanfaatan): Mereka hanya diberi manfaat dari daging kurban tersebut tanpa kepemilikan penuh.
Orang yang berkurban juga termasuk dalam kategori yang diizinkan memanfaatkannya, dengan hak untuk membagi dan mendistribusikan daging tersebut. Ketika seseorang yang berkurban menyembelih hewan kurbannya, maka ia mendekatkan diri kepada Allah dengan sembelihan tersebut. Dengan demikian, kepemilikannya beralih kepada Allah Ta’ala. Namun, ia diizinkan memakan sebagian darinya karena ada izin dari Allah.
Jika daging tersebut diberikan kepada fakir miskin, pemberian itu bersifat tamlik (kepemilikan penuh), sehingga mereka bebas memanfaatkannya, termasuk menjualnya. Hal ini karena fakir miskin adalah tujuan utama dari pelaksanaan kurban. Untuk merealisasikan manfaat ini, diperlukan tamlik sepenuhnya.
Adapun jika daging diberikan kepada orang kaya, maka pemberian itu tidak untuk tamlik. Artinya, orang kaya hanya diberi izin untuk memanfaatkannya (seperti makan, menyedekahkan, atau menjamu tamu), tetapi tidak diizinkan menjualnya. Ini berbeda dengan fakir miskin yang menjadi tujuan utama kurban. Oleh karena itu, tujuan kurban adalah tamlik bagi fakir miskin, sedangkan bagi orang kaya dan yang berkurban hanya diberikan hak pemanfaatan (ibahah).
Referensi Tambahan
1. “Tuhfatul Muhtaj” dan “Nihayatul Muhtaj”:
Fakir miskin dapat memanfaatkan daging yang diterimanya secara penuh, termasuk menjualnya karena menjadi miliknya. Sedangkan bagi orang kaya, mereka tidak boleh menjual daging tersebut. Namun, mereka boleh memanfaatkannya, seperti memakan, menyedekahkan, atau menjamu tamu, baik kepada orang kaya maupun fakir. Hal ini karena mereka hanya disamakan kedudukannya dengan yang berkurban itu sendiri.
2. “I’anah Al-Thalibin”, Juz 2 Halaman 379:
Tidak diperkenankan memberikan daging kurban kepada orang kaya dengan cara tamlik untuk tujuan seperti menjualnya. Namun, jika pemberian itu hanya untuk dimakan atau dimanfaatkan (tanpa hak kepemilikan penuh), maka diperbolehkan. Dalam hal ini, pemberian tersebut dianggap sebagai hadiah, sehingga orang kaya dapat memanfaatkannya dengan memakan, menyedekahkan, atau menjamu tamu, tetapi tidak menjualnya. Sebaliknya, fakir miskin boleh menerima daging dengan tamlik penuh, sehingga mereka bebas memanfaatkannya,sesuka hatinya termasuk menjualnya.Wallahu A’lam bish-shawab