DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Status Anak Mantan istri dengan laki-laki yang baru. Mahramkah?? (RABIBAH)

Assalamualaikum Wr. Wb. 

Deskripsi Masalah :

Zaed dan Zainab menikah dan memiliki seorang putri bernama Zaini. Setelah mereka bercerai, Zainab menikah lagi dengan Zainuddin dan dikaruniai seorang putri bernama Zulfa.

Pertanyaan :

1. Apakah Zaed dan Zulfa mahram?

2. Apakah wudu Zaed dan Zulfa batal jika bersentuhan?

Waalaikum salam

Jawaban No.1
Ya, Zaed dan Zulfa adalah mahram. Zulfa berstatus sebagai rabibah (anak tiri) bagi Zaed. Kemahraman ini terjadi karena Zaed pernah menikah dan melakukan persetubuhan (dukhul) dengan Zainab, ibu kandung Zulfa. Status rabibah ini tetap berlaku meskipun Zulfa lahir setelah perceraian Zainab dan Zaed, dari pernikahan Zainab dengan pria lain.

Jawaban No.2
Batal dan tidaknya wudu antara Zaed dan Zulfa diperinci:

1). Jika Zaed bersentuhan dengan anak perempuan dari istrinya (Zulfa) sebelum Zaed melakukan persetubuhan (dukhul) dengan ibu Zulfa (Zainab), maka wudunya batal.

2). Jika Zaed sudah melakukan persetubuhan (dukhul) dengan ibu Zulfa (Zainab), maka Zulfa menjadi mahram bagi Zaed dan persentuhan mereka tidak membatalkan wudu.

Referensi:

فتح القدیر ا بن الحمام ج۳ص۱۸۷
“وَالرَّبِيبَةُ تَحْرُمُ بِالدُّخُولِ بِالْأُمِّ سَوَاءٌ كَانَتْ فِي حِجْرِهِ أَوْ لَمْ تَكُنْ وَسَوَاءٌ كَانَتْ مَوْجُودَةً حَالَ الْعَقْدِ عَلَى الْأُمِّ أَوْ حَدَثَتْ بَعْدَهُ.”

(Fathul Qadīr, juz 3, hal. 187)
“Rabibah menjadi haram dengan terjadinya jima’ (dukhul) dengan ibu, baik anak itu berada dalam pemeliharaan suami maupun tidak, serta baik anak itu sudah ada pada saat akad dengan ibu, atau lahir setelahnya.”

حاشیة الباجوری- ج۲ص۱۰۱
“(قَوْلُهُ : وَالرَّبِيبَةُ بِنْتُ الزَّوْجَةِ الْمَدْخُولِ بِهَا) سَوَاءٌ كَانَتْ مَوْجُودَةً حَالَ الْعَقْدِ أَوْ حَدَثَتْ بَعْدَهُ فَلَا فَرْقَ فِي ذَلِكَ.”

(Hasyiyah al-Bājūrī, juz 2, hal. 101)

“Rabibah adalah anak perempuan dari istri yang telah digauli. Baik anak itu sudah ada saat akad ataupun terjadi (lahir) setelahnya, maka tidak ada perbedaan dalam hal ini.”

* عمدة المفتی والمستفتی للشیخ جمال الدین
“تَزَوَّجَ اِمْرَأَةٌ وَطَلَّقَهَا فَتَزَوَّجَتْ غَيْرَهُ فَأَتَتْ بِبِنْتٍ. حُرِّمَتْ عَلَي الزَّوْجِ اْلاَوَّلِ لِاَنَّهَا رَبِيْبَةٌ .فَالرَّبِيْبَةُ بِنْتُ الزَّوْجَةِ الْمَدْخُوْلِ بِهَا. وَلَمْ يُقَيِّدُوْا بِكَوْنِهَا مَوْجُوْدَةً قَبْلَ النِّكاَحِ اَوْ بَعْدَهُ وَالْعَمَلُ بِالْمُطْلَقِ وَاجِبٌ اِلَي اَنْ يَرُدَّ الْقَيْدُ وَلَا نَعْرِفُ لِأَحَدٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ خِلَافًا فِي ذَلِكَ.”

(Umdatul Mufti wal Mustafti — Syekh Jamaluddin al-Ahdal)

“Seseorang menikahi seorang wanita, lalu menceraikannya. Kemudian wanita itu menikah dengan pria lain dan melahirkan seorang anak perempuan. Anak perempuan tersebut haram dinikahi oleh suami pertama karena ia adalah rabibah (anak tiri). Rabibah adalah anak perempuan dari istri yang telah disetubuhi (dalam pernikahan). Para ulama tidak membatasi bahwa anak tersebut harus sudah ada sebelum pernikahan atau sesudahnya. Hukum mutlak ini wajib diikuti kecuali ada pembatasan (dari dalil lain), dan kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini.”

فقہ المنہجی ج۴ص ۲۹
[النساء اللاتي يحرم نكاحهن]

بنت الزوجة، وهي الربيبة، فهي حرام على زوج أُمها، ولكن ليس بمجرد العقد، بل لا تنشأ الحُرمة إلا بالدخول على أُمها.

قال تعالى: {وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ} [النساء: ٢٣].
هذا ولا يشترط لحرمة الربيبة أن تكون في حجر زوج أُمها، بل هي حرام عليه، سواء كانت في حجره أو كانت تعيش بعيدة عنه.
وإنما ذكر القيد في الآية لبيان الحالة الغالبة، فإن الغالب على الربيبة أن تكون في رعاية زوج أمها وحجره وكنفه. وكذلك يحرم على المرأة زوج أمها، وزوج بنتها، وابن زوجها، وأبو زوجها

Wanita yang Haram Dinikahi (Fikih Manhaji Jilid 4, Halaman 29)

Seorang wanita yang haram dinikahi adalah anak perempuan dari istri, yang dikenal sebagai rabibah. Dia haram bagi suami dari ibunya. Namun, keharaman ini tidak serta-merta berlaku hanya dengan akad nikah, melainkan keharaman tersebut baru muncul setelah suami berhubungan intim (bersetubuh) dengan ibunya.
Allah SWT berfirman:

{وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُم مِّن نِّسَآئِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُم بِهِنَّ فَإِن لَّمْ تَكُونُواْ دَخَلْتُم بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ}

[An-Nisa: 23].
Artinya: “…dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri-istri yang telah kamu campuri; tetapi jika kamu belum campuri mereka (ibunya), maka tidak berdosa kamu (menikahi anak-anaknya itu)…”
Penting untuk dicatat bahwa keharaman rabibah tidak mensyaratkan dia harus dalam pemeliharaan (hujur) suami ibunya. Dia tetap haram bagi suami ibunya, baik dia dalam pemeliharaannya atau tinggal jauh darinya.
Penyebutan “dalam pemeliharaanmu” ( {فِي حُجُورِكُم} ) dalam ayat tersebut hanyalah untuk menjelaskan kondisi yang umum terjadi, karena pada umumnya seorang rabibah memang berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan suami ibunya.
Demikian pula, haram bagi seorang wanita untuk menikahi suami dari ibunya, suami dari anak perempuannya, anak laki-laki dari suaminya, dan ayah dari suaminya.

حاشیتا قلیوبی وعمیرة ج۱ص ۳۶-۳۷

“قَوْلُهُ: (مَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا إلَخْ) فَتَنْقُضُ بِنْتُ الزَّوْجَةِ قَبْلَ الدُّخُولِ بِأُمِّهَا، وَتَنْقُضُ أُخْتُهَا وَعَمَّتُهَا مُطْلَقًا، وَكَذَا تَنْقُضُ أُمُّ الْمَوْطُوءَةِ بِشُبْهَةٍ وَبِنْتُهَا وَإِنْ حُرِّمَتَا أَبَدًا عَلَيْهِ، لِأَنَّ وَطْءَ الشُّبْهَةِ لَا يَتَّصِفُ بِحِلٍّ وَلَا حُرْمَةٍ، فَلَا تَثْبُتُ بِهِ الْمَحْرَمِيَّةُ، بِخِلَافِ النِّكَاحِ وَمِلْكِ الْيَمِينِ، وَهُمَا الْمُرَادُ بِالسَّبَبِ الْمَذْكُورِ فِي الضَّابِطِ الْآتِي، وَيَنْقُضُ زَوْجَاتُ الْأَنْبِيَاءِ – عَلَيْهِمْ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ -، وَلِذَلِكَ ضَبَطُوا الْمَحْرَمَ بِمَنْ حَرُمَ نِكَاحُهَا عَلَى التَّأْيِيدِ بِسَبَبٍ مُبَاحٍ لِحُرْمَتِهَا.”

Perkataan Penulis: “(Orang yang haram dinikahi, dan seterusnya.) Maka, membatalkan [wudu] anak perempuan dari istri sebelum bersetubuh dengan ibunya. Dan membatalkan [wudu] saudara perempuan istri dan bibinya secara mutlak. Demikian juga membatalkan [wudu] ibu dari wanita yang disetubuhi karena syubhat dan anak perempuannya, meskipun keduanya diharamkan baginya selamanya. Karena persetubuhan syubhat itu tidak memiliki sifat halal atau haram, sehingga tidak menetapkan kemahraman [mahram]. Berbeda dengan pernikahan dan kepemilikan budak perempuan (milkul yamin), keduanya adalah yang dimaksud dengan sebab yang disebutkan dalam kaidah yang akan datang. Dan membatalkan [wudu] istri-istri para Nabi – alaihimussalatu wassalam. Oleh karena itu, mereka mendefinisikan mahram dengan orang yang haram dinikahi selamanya karena sebab yang mubah (diperbolehkan) demi keharamannya.”
Perkataan Penulis: “(Berhenti, dan seterusnya.) Jawabannya telah disebutkan sebelumnya dengan perkataan: ‘Dan secara mutlak, dan seterusnya,’ padahal ayat tersebut jelas menunjukkan laki-laki, dan yang kedua tidak membatasinya pada mereka.”
Perkataan Penulis: “(Anak kecil perempuan.) Walaupun untuk suaminya, seperti kebalikannya.”

Kesimpulan :

✔️Status Mahram: Zaed dan Zulfa adalah mahram. Zulfa adalah anak tiri (rabibah) bagi Zaed. Kemahraman ini ditetapkan karena Zaed sudah pernah berhubungan suami istri (dukhul) dengan Zainab, ibu kandung Zulfa, meskipun Zulfa lahir dari pernikahan Zainab dengan pria lain setelah perceraian dengan Zaed.

✔️Pembatalan Wudu: Wudu Zaed dan Zulfa tidak batal jika bersentuhan. Ini berlaku karena Zaed sudah melakukan dukhul dengan Zainab (ibu Zulfa). Jika dukhul belum terjadi, maka bersentuhan akan membatalkan wudu. Namun, dalam kasus ini, fakta bahwa Zaed dan Zainab memiliki putri bernama Zaini menunjukkan bahwa dukhul telah terjadi.

Wallahu A’lam bisshowab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM