
Assalamu alaikum.wr.wb
Maaf sebelumnya kiyai mengganggu waktunya, mau bertanya.
Pertanyaannya:
Bagaimana akad nikah seorang yang dalam waktu ijab qobul penyebutan maharnya oleh orang yang meng akad nikah tidak sesuai dengan yang di minta oleh calon manten prempuan. Yang di minta oleh penganten perempuan mahar(maskawin)nya mas 2 gram ternyata oleh yang meng akad nikah menyebut 2 juta rupiah. Kemudian ada salah satu saksi menyatakan akad itu sah dengan alasan penyebutan mahar(maskawin )dalam akad nikah itu sunnah, dan manten laki-lakinya sudah paham(maklum) dengan mahar(maskawin )yang di minta oleh pihak manten perempuan. Mohon tanggapannya kiyai karena ini terjadi dengan tetangga saya.
Wassalamualaikum.
Mohon dengan ibaratnya klo ada..
Wa alaikumussalam.
Jawaban:
1)• Menurut Madzhab Imam Ahmad Bin Hanbal
Akad Nikah Sempurna tanpa menyebutkan mahar (maskawin) nya
قال ابن قدامة رحمه الله في “المغني” (7/182) :
“وَجُمْلَتُهُ أَنَّ النِّكَاحَ يَصِحُّ مِنْ غَيْرِ تَسْمِيَةِ صَدَاقٍ , فِي قَوْلِ عَامَّةِ أَهْلِ الْعِلْمِ , في قول عامة أهل العلم . وقد دل على هذا قول الله تعالى : (لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمْ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً) البقرة/236 ، وروي أن ابن مسعود سئل عن رجل تزوج امرأة , ولم يفرض لها صداقا , ولم يدخل بها حتى مات , فقال ابن مسعود : لها صداق نسائها , لا وكس ولا شطط , وعليها العدة , ولها الميراث . فقام معقل بن سنان الأشجعي , فقال : (قضى رسول الله صلى الله عليه وسلم في بروع بنت واشق , امرأة منا مثل ما قضيت) أخرجه أبو داود والترمذي , وقال : حديث حسن صحيح ” انتهى
Ibn Qudamah rahimahullah berkata dalam Al-Mughni (7/182):
“Kesimpulannya, pernikahan sah tanpa penentuan mahar menurut pendapat mayoritas ulama. Hal ini didasarkan pada firman Allah Ta’ala:
(Tidak ada dosa atas kalian jika menceraikan wanita sebelum kalian menyentuh mereka atau sebelum kalian menentukan mahar bagi mereka) – (QS. Al-Baqarah: 236).
Diriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang menikahi seorang wanita tanpa menentukan mahar, lalu ia meninggal sebelum berhubungan dengannya. Maka Ibnu Mas’ud menjawab: Wanita itu berhak mendapatkan mahar yang setara dengan mahar wanita sejenisnya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Ia juga harus menjalani masa iddah dan berhak mendapatkan warisan.
Lalu berdirilah Ma’qil bin Sinan Al-Asyja’i dan berkata: Rasulullah ﷺ telah memutuskan perkara Buru’ binti Wasyiq, seorang wanita dari kaum kami, seperti yang engkau putuskan.
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi, yang mengatakan: Hadis ini hasan sahih.”
Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisiy Al Hanbaliy rahimahullahu ta’ala mengatakan dalam kitabnya Al Mughniy :
ويستحب أن لا يعرى النكاح عن تسمية الصداق؛ لأن النبي – صلى الله عليه وسلم – كان يزوج بناته وغيرهن ويتزوج، فلم يكن يخلي ذلك من صداق…. ولأنه أقطع للنزاع وللخلاف فيه، وليس ذكره شرطا
Dianjurkan agar ketika akad nikah tidak lepas dari penyebutan mahar (maskawin ). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahkan putri-putrinya dan wanita lainnya, serta ketika beliau sendiri menikah, semuanya tidak lepas dari penyebutan mahar (maskawin)….. disamping itu, penyebutan mahar (maskawin ) akan memangkas terjadinya perselisihan dalam keluarga, meskipun itu bukan syarat.
(Lihat Kitab al-Mughni, 7/210).
Oleh karena itu, mahar (maskawin ) ketika akad nikah statusnya lebih longgar. Mahar (maskawin ) boleh tidak disebutkan, atau mahar (maskawin) tidak harus disebutkan secara detail. Salah menyebut mahar ( maskawin ) tidak mempengaruhi keabsahan akad nikah. Yang penting, nikah harus ada mahar (maskawin) nya.
2)• Menurut Pengikut Madzhab Imam Asy Syafi’iy
Walaupun mahar (maskawin)wajib hukumnya namun hanya Sunnah menyebutkan mahar (maskawin) ketika akad nikah berlangsung
Al-Imam An-Nawawiy Asy Syafi’iy rahimahullah dalam kitab Rasudhatu Ath-Thalibin menyebutkan :
قَالَ الأَصْحَابُ : لَيْسَ الْمَهْرُ رُكْنًا فِي النِّكَاحِ بِخِلافِ الْمَبِيعِ وَالثَّمَنِ فِي الْبَيْعِ
Al-Ashab (Syafi’iyyah) berkata : Mahar (maskawin ) itu bukan rukun dalam nikah, berbeda dengan barang yang diperjual-belikan dan uang dalam jual-beli.
Apakah mahar (maskawin ) ini perlu disebutkan dalam akad nikah atau tidak, Syaikh Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, 2000), hal. 234 menjelaskan :
[ويستحب تسمية المهر في] عقد [النكاح] … [فإن لم يُسَمَّ] في عقد النكاح مهرٌ [صح العقد]
“DISUNNAHKAN menyebutkan mahar (maskawin )dalam akad nikah… meskipun jika mahar ( maskawin) tidak disebutkan dalam akad, akad nikahnya tetap sah.”
Hal yang sama juga disampaikan oleh Imam An-Nawawiy Asy Syafi’iy rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya Al Majmu’ Syarhu Al Muhadzab,
ويجوز من غير صداق، لقوله تعالى (لا جناح عليكم إن طلقتم النساء ما لم تمسوهن أو تفرضوا لهن فريضة) فأثبت الطلاق مع عدم الفرض
”Boleh akad nikah tanpa menyebut mahar (maskawin), berdasarkan firman Allah (yang artinya), Tidak ada dosa bagi kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur (betjima’) dengan istri-istri kamu dan sebelum kamu menentukan mahar (maskawin)nya. Allah menilai sah talak tanpa menentukan mahar.”
(Lihat Kitab al-Majmu’, 16/322)
Dan didalam kitab Fathul Mu’in disebutkan:
وينعقد النكاح بلاذكرمهر في العقد بل يسن ذكره فيه وكره اخلأه عنه
“Sah akad nikah yang tidak menyebutkan mahar (maskawin), tetapi disunnahkan menyebutkan mahar(maskawin ) dalam akad nikah dan makruh meninggalkan menyebutkan mahar (maskawin ) dalam akad nikah .”
الموسوعة الفقهية الكويتية ج٢٤ص٦٤
أ – الْمَهْرُ:
١٥ – الْمَهْرُ هُوَ الْمَال الَّذِي تَسْتَحِقُّهُ الزَّوْجَةُ عَلَى زَوْجِهَا بِالْعَقْدِ عَلَيْهَا أَوْ بِالدُّخُول بِهَا (١) . وَهُوَ حَقٌّ وَاجِبٌ لِلْمَرْأَةِ عَلَى الرَّجُل عَطِيَّةً مِنَ اللَّهِ تَعَالَى مُبْتَدَأَةً، أَوْ هَدِيَّةً أَوْجَبَهَا عَلَى الرَّجُل بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً} (٢) إِظْهَارًا لِخَطَرِ هَذَا الْعَقْدِ وَمَكَانَتِهِ، وَإِعْزَازًا لِلْمَرْأَةِ وَإِكْرَامًا لَهَا.
وَالْمَهْرُ لَيْسَ شَرْطًا فِي عَقْدِ الزَّوَاجِ وَلاَ رُكْنًا عِنْدَ جُمْهُورِ الْفُقَهَاءِ، وَإِنَّمَا هُوَ أَثَرٌ مِنْ آثَارِهِ الْمُتَرَتِّبَةِ عَلَيْهِ، فَإِذَا تَمَّ الْعَقْدُ بِدُونِ ذِكْرِ مَهْرٍ صَحَّ بِاتِّفَاقِ الْجُمْهُورِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً} (٣) فَإِبَاحَةُ الطَّلاَقِ قَبْل الْمَسِيسِ وَقَبْل فَرْضِ صَدَاقٍ يَدُل عَلَى جَوَازِ عَدَمِ تَسْمِيَةِ الْمَهْرِ فِي الْعَقْدِ. وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يَعْرَى النِّكَاحُ عَنْ تَسْمِيَةِ الصَّدَاقِ، لأَِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُزَوِّجُ بَنَاتِهِ وَغَيْرَهُنَّ، وَيَتَزَوَّجُ وَلَمْ يَكُنْ يُخَلِّي النِّكَاحَ مِنْ صَدَاقٍ.
وَقَال الْمَالِكِيَّةُ: يَفْسُدُ النِّكَاحُ إِنْ نَقَصَ صَدَاقُهُ عَنْ رُبُعِ دِينَارٍ شَرْعِيٍّ أَوْ ثَلاَثَةِ دَرَاهِمَ، وَيُتِمُّ النَّاقِصَ عَمَّا ذُكِرَ وُجُوبًا إِنْ دَخَل، وَإِنْ لَمْ مِنْهُمَا بِالآْخَرِ فَيَحِل لِلزَّوْجَةِ مِنْ زَوْجِهَا مَا يَحِل لَهُ مِنْهَا،
Mahar
15 – Mahar adalah harta yang berhak diterima oleh istri dari suaminya karena akad nikah atau karena telah terjadi hubungan suami istri. Mahar merupakan hak yang wajib diberikan kepada perempuan oleh laki-laki sebagai pemberian dari Allah Ta’ala sejak awal atau sebagai hadiah yang diwajibkan atas laki-laki, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh keikhlasan.” (QS. An-Nisa: 4)
Hal ini sebagai bentuk penghormatan terhadap kedudukan akad nikah serta untuk memuliakan dan menghargai perempuan.
Hukum Mahar dalam Pernikahan
Mahar bukanlah syarat dalam akad nikah dan bukan pula rukun menurut mayoritas ulama. Namun, ia merupakan salah satu konsekuensi yang timbul dari akad tersebut. Oleh karena itu, jika akad nikah dilakukan tanpa penyebutan mahar, maka tetap sah menurut kesepakatan mayoritas ulama, berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Tidak ada dosa bagimu jika kamu menceraikan wanita sebelum kamu menyentuh mereka atau sebelum menentukan mahar bagi mereka.” (QS. Al-Baqarah: 236)
Diperbolehkannya perceraian sebelum terjadi hubungan suami istri dan sebelum penentuan mahar menunjukkan bahwa tidak wajib menyebutkan mahar dalam akad nikah.
Namun, disunnahkan agar pernikahan tidak lepas dari penyebutan mahar, karena Nabi ﷺ biasa menikahkan putri-putrinya dan wanita lain, serta beliau sendiri menikah, dan tidak pernah meninggalkan penyebutan mahar dalam pernikahan.
Adapun menurut mazhab Maliki, pernikahan dianggap fasid (rusak) jika mahar yang diberikan kurang dari ¼ dinar syar’i atau tiga dirham. Jika suami telah berhubungan dengan istrinya, maka wajib menyempurnakan kekurangan mahar tersebut hingga mencapai batas minimal yang disebutkan. Jika belum terjadi hubungan, maka masing-masing boleh membatalkan pernikahan.
اسنى المطالب المكتبة الشاملة ص ١٢٩٧-١٢٩٨
[الْبَابُ الثَّانِي فِي حُكْمِ الصَّدَاقِ الْفَاسِدِ]
(الْبَابُ الثَّانِي فِي الصَّدَاقِ الْفَاسِدِ) (قَوْلُهُ وَلَهُ أَسْبَابٌ سِتَّةٌ) قَالَ الْبُلْقِينِيُّ بَقِيَ سَبَبٌ سَابِعٌ وَهُوَ أَنْ يُصْدِقَ الْمَحْجُورَ عَلَيْهَا مَا لَا يَبْقَى فِي مِلْكِهَا كَأَبِيهَا أَوْ أُمِّهَا.
(قَوْلُهُ أَوْ ثَوْبًا غَيْرَ مَوْصُوفٍ) أَوْ رَدَّ عَبْدِهَا الْآبِقِ أَوْ جَمَلَهَاالشَّرْطُ) بِتَفْصِيلٍ ذَكَرَهُ بِقَوْلِهِ (فَإِنْ لَمْ يَتَعَلَّقْ بِهِ غَرَضٌ) كَشَرْطِ أَنْ لَا تَأْكُلَ إلَّا كَذَا (أَوْ) تَعَلَّقَ بِهِ غَرَضٌ لَكِنَّهُ (وَافَقَ مُقْتَضَى النِّكَاحِ) كَشَرْطِ أَنْ يُنْفِقَ عَلَيْهَا أَوْ يَقْسِمَ لَهَا (لَمْ يُؤَثِّرْ) فِي النِّكَاحِ وَلَا فِي الصَّدَاقِ لِانْتِفَاءِ فَائِدَتِهِ.
(وَإِلَّا) أَيْ لَمْ يُوَافِقْ مُقْتَضَى النِّكَاحِ (فَإِنْ لَمْ يُخِلَّ بِمَقْصُودِ الْعَقْدِ كَشَرْطِ أَنْ لَا يُنْفِقَ أَوْ لَا يَتَزَوَّجَ عَلَيْهَا أَوْ لَا يُسَافِرَ بِهَا أَوْ لَا يَقْسِمَ لَهَا أَوْ أَنْ يُسْكِنَهَا مَعَ ضَرَّتِهَا انْعَقَدَ) النِّكَاحُ لِعَدَمِ الْإِخْلَالِ بِمَقْصُودِهِ وَلِأَنَّهُ لَا يَتَأَثَّرُ بِفَسَادِ الْعِوَضِ فَبِفَسَادِ الشَّرْطِ أَوْلَى (بِمَهْرِ الْمِثْلِ لَا الْمُسَمَّى) لِفَسَادِ الشَّرْطِ لِأَنَّهُ إنْ كَانَ لَهَا فَلَمْ تَرْضَ بِالْمُسَمَّى وَحْدَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهَا فَلَمْ يَرْضَ الزَّوْجُ بِبَذْلِ الْمُسَمَّى إلَّا عِنْدَ سَلَامَةِ مَا شَرَطَهُ فَإِذَا فَسَدَ الشَّرْطُ وَلَيْسَ لَهُ قِيمَةٌ يَرْجِعُ إلَيْهَا وَجَبَ الرُّجُوعُ إلَى مَهْرِ الْمِثْلِ (وَإِنْ أَخَلَّ بِهِ كَشَرْطِ أَنْ يُطَلِّقَهَا) وَلَوْ بَعْدَ الْوَطْءِ (أَوْ أَنَّ لَهُ الْخِيَارَ) فِي النِّكَاحِ (أَوْ) أَنَّهَا لَا تَرِثُهُ (أَوْ) أَنَّهُ لَا يَرِثُهَا أَوْ أَنَّهُمَا لَا يَتَوَارَثَانِ أَوْ عَلَى أَنَّ النَّفَقَةَ عَلَى غَيْرِ الزَّوْجِ (بَطَلَ الْعَقْدُ) لِلْإِخْلَالِ الْمَذْكُورِ لَكِنَّ قَوْلَهُ أَوْ لَا تَرِثُهُ إلَى آخِرِ مَا زِدْته نَقَلَهُ الْأَصْلُ عَنْ الْحَنَّاطِيِّ ثُمَّ قَالَ وَفِي قَوْلٍ يَصِحُّ وَيَبْطُلُ الشَّرْطُ قَالَ الْبُلْقِينِيُّ وَغَيْرُهُ وَهَذَا هُوَ الْأَصَحُّ وَوَجْهُهُ أَنَّ الشَّرْطَ الْمَذْكُورَ لَا يُخِلُّ بِمَقْصُودِ الْعَقْدِ (لَا بِشَرْطِهِ) أَيْ الزَّوْجِ (أَنْ لَا يَطَأَهَا) فَلَا يَبْطُلُ الْعَقْدُ (كَمَا سَبَقَ) بَيَانُهُ فِي الْكَلَامِ عَلَى التَّحْلِيلِ (فَرْعٌ) (لَوْ نَكَحَهَا بِأَلْفٍ إنْ أَقَامَ) بِهَا فِي الْبَلَدِ (وَإِلَّا فَبِأَلْفَيْنِ أَوْ زَوَّجَ أَمَتَهُ بِعَبْدٍ) لِغَيْرِهِ (عَلَى أَنَّ الْأَوْلَادَ لِلسَّيِّدَيْنِ انْعَقَدَ) النِّكَاحُ (بِمَهْرِ الْمِثْلِ) لِمَا مَرَّ قَبْلَ الْفَرْعِ.
(وَكَذَا) يَنْعَقِدُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ (إنْ شَرَطَ الْخِيَارَ فِي الصَّدَاقِ) لِأَنَّهُ لَمْ يَتَمَحَّضْ عِوَضًا بَلْ فِيهِ مَعْنَى النِّحْلَةِ فَلَا يَلِيقُ بِهِ الْخِيَارُ (أَوْ) نَكَحَهَا بِأَلْفٍ (عَلَى أَنَّ لِأَبِيهَا أَلْفًا أَوْ) عَلَى (أَنْ يُعْطِيَهُ أَلْفًا) لِأَنَّهُ إنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ الصَّدَاقِ فَهُوَ شَرْطٌ عُقِدَ فِي عَقْدٍ وَإِلَّا فَقَدْ جَعَلَ بَعْضَ مَا الْتَزَمَهُ فِي مُقَابَلَةِ الْبُضْعِ لِغَيْرِ الزَّوْجَةِ فَيَفْسُدُ كَمَا فِي الْبَيْعِ (السَّبَبُ الثَّالِثُ تَفْرِيقُ الصَّفْقَةِ) فِي الِابْتِدَاءِ كَأَنْ أَصْدَقَهَا عَبْدَهُ وَعَبْدَ غَيْرِهِ أَوْ نَكَحَ امْرَأَتَيْنِ مَعًا بِعِوَضٍ وَاحِدٍ كَمَا سَيَأْتِي فِي الْفَصْلِ الْآتِي بِخِلَافِ تَفْرِيقِهَا فِي الدَّوَامِ وَفِي اخْتِلَافِ الْأَحْكَامِ وَمِنْ تَفْرِيقِهَا فِي الْأَجِيرِ مَا ذَكَرَهُ بِقَوْلِهِ (فَإِذَا زَوَّجَهُ بِنْتَه وَمَلَّكَهُ أَلْفًا مِنْ مَالِهَا بِعَبْدٍ صَحَّ الْمُسَمَّى) لِأَنَّ ذَلِكَ جَمْعٌ بَيْنَ عَقْدَيْنِ مُخْتَلِفَيْ الْحُكْمِ فِي صَفْقَةٍ إذْ بَعْضُ الْعَبْدِ صَدَاقٌ وَبَعْضُهُ مَبِيعٌ (وَوَزَّعْنَا الْعَبْدَ عَلَى الْأَلْفِ وَمَهْرِ الْمِثْلِ فَإِنْ كَانَ) مَهْرُ الْمِثْلِ (أَلْفًا أَيْضًا وَقِيمَةُ الْعَبْدِ أَلْفَيْنِ فَنِصْفُ الْعَبْدِ مَبِيعٌ) وَنِصْفُهُ صَدَاقٌ (قُلْت رُدَّ) الْعَبْدُ عَلَى الزَّوْجِ (بِعَيْبٍ رَجَعَتْ) زَوْجَتُهُ عَلَيْهِ (بِأَلْفٍ وَلَهَا) عَلَيْهِ (مَهْرُ الْمِثْلِ وَلَوْ رَدَّتْ) عَلَيْهِ (أَحَدَ النِّصْفَيْنِ) فَقَدْ (جَازَ) لِتَعَدُّدِ الْعَقْدِ.
(فَإِنْ طَلَّقَهَا قَبْلَ الدُّخُولِ) بِهَا (رَجَعَ لِلزَّوْجِ) نِصْفُ الصَّدَاقِ وَهُوَ (رُبُعُ الْعَبْدِ فَقَطْ وَإِنْ فُسِخَ النِّكَاحُ بِعَيْبٍ) أَوْ نَحْوِهِ (رَجَعَ إلَيْهِ الصَّدَاقُ كُلُّهُ وَهُوَ نِصْفُ الْعَبْدِ وَإِنْ تَلِفَ الْعَبْدُ قَبْلَ الْقَبْضِ) لَهُ (اسْتَرَدَّتْ الْأَلْفَ وَطَالَبَتْ بِمَهْرِ الْمِثْلِ) وَلَوْ وَجَدَ الزَّوْجُ بِالثَّمَنِ عَيْبًا وَرَدَّهُ اسْتَرَدَّ الْمَبِيعَ وَهُوَ نِصْفُ الْعَبْدِ وَيَبْقَى لَهَا النِّصْفُ الْآخَرُ صَرَّحَ بِهِ الْأَصْلُ (فَإِنْ تَزَوَّجَهَا وَاشْتَرَى عَبْدَهَا بِأَلْفٍ صَحَّ) كُلٌّ مِنْ الصَّدَاقِ وَالشِّرَاءِ (وَقَسَّطَ) الْأَلْفَ عَلَى مَهْرِ الْمِثْلِ وَقِيمَةِ الْعَبْدِ فَمَا خَصَّ مَهْرَ الْمِثْلِ فَهُوَ صَدَاقٌ (فَإِنْ رَدَّ الْعَبْدَ) عَلَيْهَا (بِعَيْبٍ اسْتَرَدَّ) الزَّوْجُ (قِسْطَهُ) أَيْ قِسْطَ الْعَبْدِ مِنْ الْأَلْفِ (وَلَيْسَ لَهَا رَدُّ الْبَاقِي) وَالرُّجُوعُ إلَى مَهْرِ الْمِثْلِ لِأَنَّ الْمُسَمَّى صَحِيحٌ (هَذَا إنْ بَقِيَ النِّكَاحُ وَإِنْ) الْأَوْلَى فَإِنْ (فُسِخَ قَبْلَ الدُّخُولِ اسْتَرَدَّ) الزَّوْجُ (الْجَمِيعَ) أَيْ جَمِيعَ الْعِوَضِ (فَإِنْ خَرَجَ الْأَلْفُ مُسْتَحَقًّا اسْتَرَدَّتْ الْعَبْدَ وَوَجَبَ) لَهَا (مَهْرُ الْمِثْلِ فَإِنْ زَوَّجَهُ إيَّاهَا وَمَلَّكَهُ مِائَةَ دِرْهَمٍ لَهَا بِمِائَتَيْ دِرْهَمٍ بَطَلَ الْبَيْعُ وَالصَّدَاقُ) لِأَنَّهُ رِبًا فَإِنَّهُ مِنْ قَاعِدَةِ مُدِّ عَجْوَةٍ.
Bab Kedua: Hukum Mahar yang Fasid (Rusak)
Dalam kitab Asna Al-Mathalib disebutkan bahwa mahar yang fasid memiliki enam sebab. Al-Bulqini menyebutkan sebab ketujuh, yaitu apabila seseorang memberikan mahar kepada wanita yang berada dalam keadaan tidak memiliki hak kepemilikan penuh (mahjur ‘alaiha), seperti jika ia memberikan mahar berupa sesuatu yang bukan miliknya, misalnya milik ayah atau ibunya.
1. Mahar yang Tidak Jelas Sifatnya
Jika seseorang menetapkan mahar berupa pakaian yang tidak memiliki deskripsi jelas, mengembalikan budak yang kabur, atau unta yang tidak diketahui keberadaannya, maka hukumnya diperinci. Jika syarat yang ditetapkan dalam akad tidak memiliki pengaruh besar, seperti syarat bahwa istri hanya boleh makan makanan tertentu, maka syarat tersebut tidak berdampak pada keabsahan akad atau mahar karena tidak memiliki manfaat nyata.
2. Syarat yang Tidak Sesuai dengan Hakikat Pernikahan
Jika syarat yang diajukan tidak bertentangan dengan tujuan utama pernikahan, seperti suami tidak boleh menikah lagi, tidak boleh bepergian dengan istrinya, atau harus menyatukan istrinya dengan madunya dalam satu rumah, maka akad tetap sah. Namun, mahar yang disebutkan menjadi batal, dan wajib diganti dengan mahar mitsl (mahar yang sepadan). Hal ini karena dalam kondisi tersebut, istri tidak rela dengan mahar yang disebutkan saja, dan suami juga tidak setuju memberikan mahar tersebut tanpa terpenuhinya syarat yang ia inginkan.
3. Syarat yang Membatalkan Akad
Jika syarat yang diajukan merusak tujuan utama pernikahan, seperti syarat bahwa suami harus menceraikan istrinya setelah akad (baik sebelum atau sesudah berhubungan), atau syarat bahwa salah satu pihak tidak akan mewarisi pihak lainnya, atau syarat bahwa nafkah akan ditanggung oleh selain suami, maka akad pernikahan menjadi batal.
Namun, ada pendapat dalam Mazhab Syafi’i yang mengatakan bahwa akad tetap sah, tetapi syaratnya yang batal. Pendapat ini dinilai lebih kuat karena syarat-syarat tersebut tidak merusak inti dari akad pernikahan.
4. Mahar yang Bergantung pada Syarat
Jika seseorang menikahi seorang wanita dengan mahar 1.000 dirham dengan syarat ia harus menetap di suatu tempat, tetapi jika tidak, maka mahar menjadi 2.000 dirham, maka akadnya tetap sah, tetapi yang berlaku adalah mahar mitsl. Begitu pula jika seorang tuan menikahkan budaknya dengan budak lain dan menetapkan bahwa anak mereka nanti akan menjadi milik kedua tuan mereka, maka akad tetap sah dengan mahar mitsl.
5. Mahar yang Dicampur dengan Transaksi Lain
Jika mahar disertakan dalam transaksi jual beli atau akad lain yang bertentangan, seperti seseorang menikahi wanita dengan memberikan budaknya sebagai mahar, tetapi budak tersebut sebagian miliknya dan sebagian milik orang lain, maka akad tetap sah tetapi dengan mahar mitsl. Begitu juga jika seseorang menikahi dua wanita dalam satu akad dengan satu mahar yang sama, maka hukumnya akan dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
6. Perbedaan dalam Pembagian Mahar
Jika seseorang menikahi seorang wanita dan sebagai bagian dari akad, ia memberikan 1.000 dirham dari hartanya sendiri serta menjual budaknya kepadanya, maka mahar dan jual beli harus dipisahkan. Jika dalam perjalanan akad ini terjadi pembatalan karena cacat atau sebab lain, maka penyelesaian dilakukan berdasarkan bagian masing-masing.
7. Mahar yang Mengandung Unsur Riba
Jika seseorang menikahi seorang wanita dengan mahar berupa 100 dirham dan dalam waktu yang sama menjual sesuatu kepadanya seharga 200 dirham, maka baik akad jual beli maupun mahar menjadi batal karena mengandung unsur riba. Hal ini termasuk dalam kaidah riba yang dikenal sebagai muddu ‘ajwah (transaksi yang mengandung ketidakjelasan dan unsur riba).
Demikianlah berbagai keadaan yang menyebabkan mahar menjadi fasid atau rusak dalam hukum Islam.
Karena syarat dari pada mahar itu sama seperti syarat maqud alaih, yg dimana kalau perhiasan tersebut sudah dilihat maka itu menjadi maklum
Coba antum lihat di dobit (definisi )sodaq (definisi mahar/maskawin) di Al Yaquutun Nafis :
كل ما صح كونه مبيعا عوضا أو معوضا صح كونه صداقا
Mahar (maskawin) adalah semua barang yang sah dijadikan barang dagangan, maka barang itu juga dianggap sah sebagai maskawin.
Wallahu A’lam bisshowab