Sejak zaman primitif, manusia telah melakukan pertukaran barang melalui sistem barter. Namun, sistem ini memiliki banyak kelemahan, seperti ketidakstabilan nilai barang dan sulitnya menemukan kesepakatan dalam pertukaran. Oleh karena itu, manusia mulai menggunakan uang sebagai alat tukar yang lebih efektif. Uang mengalami perkembangan dari bentuk sederhana hingga logam mulia seperti emas dan perak.
Dalam sejarah Islam, mata uang yang digunakan pada masa Nabi Muhammad ﷺ adalah dinar emas dan dirham perak, yang berasal dari kerajaan Romawi dan Persia. Kedua logam ini memiliki sifat unik seperti kestabilan nilai, daya tahan, serta kemudahan dalam transaksi. Dalam konteks zakat, emas dan perak memiliki kewajiban zakat berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Dalil-dalil yang menjelaskan kewajiban zakat atas emas dan perak menunjukkan bahwa keduanya memiliki peran penting dalam sistem keuangan Islam.
Di Indonesia, uang kertas mulai diperkenalkan pada masa kolonial Belanda melalui De Javasche Bank, yang kemudian berkembang menjadi Bank Indonesia. Uang kertas digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk mempermudah transaksi di masyarakat modern. Namun, perbedaannya dengan emas dan perak adalah tidak memiliki nilai intrinsik, melainkan hanya berdasarkan kepercayaan dan ketetapan pemerintah.
Pertanyaan
- Bagaimana perbedaan utama antara sistem barter, uang logam, dan uang kertas dalam sejarah ekonomi?
- Apa kelebihan dan kekurangan penggunaan uang kertas dibandingkan dengan emas dan perak dalam sistem ekonomi Islam?
- Bagaimana hukum Islam dalam memandang uang kertas sebagai alat tukar yang sah apa wajib zakat? Jika wajib zakat berapa zakat yang harus dikeluarkan semisal 180 juta?
Waalaikum salam.
Jawaban
- Perbedaan Utama antara Sistem Barter, Uang Logam, dan Uang Kertas dalam Sejarah Ekonomi.
Sistem Barter: Pertukaran barang dengan barang tanpa menggunakan alat tukar. Kelemahannya adalah sulitnya menemukan kesepakatan nilai barang (double coincidence of wants) dan tidak adanya satuan nilai yang standar.
Uang Logam (Emas dan Perak): Memiliki nilai intrinsik karena bahan pembuatannya berharga. Uang ini stabil dalam jangka panjang, tetapi sulit digunakan dalam jumlah besar.
Uang Kertas: Tidak memiliki nilai intrinsik, melainkan hanya berdasarkan kepercayaan dan ketetapan pemerintah (fiat money). Mudah dibawa dan digunakan, tetapi rentan terhadap inflasi.
- Kelebihan dan Kekurangan Uang Kertas dibandingkan dengan Emas dan Perak dalam Ekonomi Islam
Kelebihan Uang Kertas:
- Praktis dan mudah digunakan dalam jumlah besar.
- Memudahkan sistem perbankan dan transaksi modern.
- Tidak bergantung pada cadangan emas dan perak.
Kekurangan Uang Kertas:
- Rentan terhadap inflasi dan depresiasi nilai.
- Bergantung pada kebijakan pemerintah, sehingga bisa mengalami ketidakstabilan ekonomi.
- Tidak memiliki nilai intrinsik seperti emas dan perak.
- Hukum Islam dalam Memandang Uang Kertas sebagai Alat Tukar yang Sah untuk Zakat
Dalam fiqih Islam, ada dua pandangan utama mengenai uang kertas:
Pandangan yang Menyamakan dengan Emas dan Perak: Karena fungsinya sebagai alat tukar, sebagian ulama berpendapat bahwa uang kertas wajib dizakati sebagaimana emas dan perak, dengan nisab setara 85 gram emas.
Pandangan yang Menganggap sebagai Barang Berbeda: Sebagian ulama klasik tidak mewajibkan zakat atas uang kertas karena tidak termasuk emas dan perak, tetapi pendapat ini kurang relevan dalam konteks ekonomi modern.
- Zakat Uang Jika Mencapai 180 Juta Rupiah
Nisab zakat uang mengikuti nisab emas, yaitu 85 gram emas. Jika harga emas saat ini Rp 1.200.000 per gram, maka nisabnya sekitar Rp 102 juta. Jika seseorang memiliki Rp 180 juta dalam setahun dan sudah memenuhi syarat haul (1 tahun), maka wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5% dari jumlah tersebut:
2,5%×180.000.000=4.500.0002,5\% \times 180.000.000 = 4.500.000
Jadi, seseorang yang memiliki uang Rp 180 juta selama satu tahun wajib mengeluarkan zakat sebesar Rp 4.500.000.
Referensi :
فقه الزكاة الجزء الأول للشيخ الدكتور يوسف القرضاوي ص ٢٧١
زكاة النقود الورقية
لم تعرف النقود الورقية إلا في العصر الحاضر، فلا نطمع أن يكون لعلماء السلف فيها حكم، وكل ما هنالك أن كثيرًا من علماء العصر يحاولون أن يجعلوا فتواهم تخريجًا على أقوال السابقين، فمنهم من نظر إلى هذه النقود نظرة فيها كثير من الحرفية والظاهرية، فلم ير هذه نقودًا: لأن النقود الشرعية إنما هي الفضة والذهب، وإذًا لا زكاة فيها.
وبهذا أفتى الشيخ عليش – مفتي المالكية في مصر في عصره، فقد استفتي في حكم «الكاغد» – الورق – الذي فيه ختم السلطان، ويتعامل به كالدراهم والدنانير فأفتى: أن لا زكاة فيه (٣).
وكذا أفتى بعض الشافعية بأن لا زكاة فيها، حتى تقبض قيمتها ذهبًا أو فضة، ويمضي على ذلك حول، بناء على أن المعاملة بها حوالة غير صحيحة.
١ – المرجع السابق ص ٦٥
٢ – المرجع السابق ص ٦٧
٣ – انظر: رسالة «التبيان في زكاة الأثمان» للشيخ محمد حسنين مخلوف العدوي ص ٣٣
Zakat Uang Kertas
Uang kertas tidak dikenal kecuali di zaman sekarang, maka kita tidak berharap bahwa para ulama terdahulu memiliki hukum tentangnya. Yang ada hanyalah bahwa banyak ulama zaman ini berusaha untuk menjadikan fatwa mereka sebagai takhrij (penjelasan) atas perkataan ulama sebelumnya. Di antara mereka ada yang melihat uang ini dengan pandangan yang penuh dengan literalitas dan zahiriyah, sehingga mereka tidak melihatnya sebagai uang: karena uang yang syar’i hanyalah perak dan emas, maka tidak ada zakat di dalamnya.
Dengan ini, Syaikh ‘Alish – Mufti Mazhab Maliki di Mesir pada masanya, telah dimintai fatwa tentang hukum “al-kaghid” – kertas – yang di dalamnya terdapat stempel sultan, dan diperlakukan seperti dirham dan dinar, lalu beliau berfatwa: tidak ada zakat di dalamnya (3).
Demikian pula, sebagian ulama Syafi’iyah berfatwa bahwa tidak ada zakat di dalamnya, sampai nilai uang tersebut dibeli dengan emas atau perak, dan berlalu satu tahun atasnya, berdasarkan bahwa transaksi dengannya adalah hawalah (pengalihan utang) yang tidak sah.
1 – Referensi sebelumnya, halaman 65
2 – Referensi sebelumnya, halaman 67
3 – Lihat: Risalah “At-Tibyan fi Zakat Al-Atsman” karya Syaikh Muhammad Hasnain Makhluf Al-Adawi, halaman 33
271
شرعاً ، لعدم الإيجاب والقبول اللفظيين (١ )
وفي كتاب : الفقه على المذاهب الأربعة ) ( ۲ ) الذي ألفته لجنة تمثل علماء هذه المذاهب في مصر نقرأ ما يأتي :
١ – الشافعية قالوا : الورق النقدي ، التعامل به من قبيل الحوالة على البنك بقيمته ، فيملك قيمته ديناً على البنك ، والبنك مليء مقر مستعد للدفع حاضر ، ومتى كان المدين بهذه الأوصاف وجبت زكاة الدين في الحال وعدم الإيجاب والقبول اللفظيين في الحوالة لا يبطلها حيث جرى العرف بذلك . على أن بعض أئمة الشافعية قال : المراد بالإيجاب والقبول كل ما . يشعر بالرضا من قول أو فعل ، والرضا هنا متحقق .
٢ – الحنفية قالوا : الأوراق المالية — البنكنوت – من قبيل الدين القوي ،
إلا أنها يمكن صرفها فضة فوراً فيجب فيها الزكاة فوراً .
٣ – المالكية قالوا : أوراق البنكنوت – وإن كانت سندات دين – إلا أنها
يمكن صرفها فضة فوراً ، وتقوم مقام الذهب في التعامل ، فيجب فيها الزكاة بشروطها .
٤ – الحنابلة قالوا : لا تجب زكاة الورق النقدي إلا إذا صرف ذهباً أو
فضة ، ووجدت فيه شروط الزكاة .
ومن هذه الأقوال المنسوبة إلى المذاهب ، نعلم أن أساسها هو اعتبار هذه الأوراق سندات دين على بنك الإصدار ، وأنها يمكن صرف قيمتها فضة فوراً ، فتجب الزكاة فيها فوراً عند المذاهب الثلاثة ، وعند الصرف فعلاً على مذهب الحنابلة . ونحن نعلم أن القانون أصبح يعفي أوراق النقد المصرفية البنكنوت ، من أن يلتزم البنك صرفها بالذهب أو الفضة ، وبهذا ينهار الأساس الذي بني عليه إيجاب الزكاة في هذه الأوراق .
١ – الفقه على المذاهب الأربعة ط ثانية .
٢ – الفقه ص ٤٨٦ ط خامسة .
Secara syar’i, karena tidak adanya ijab dan kabul secara lisan (1)
Dalam kitab: “Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah” (Fiqh Empat Mazhab) (2) yang ditulis oleh komite yang mewakili ulama dari mazhab-mazhab ini di Mesir, kami membaca sebagai berikut:
- Mazhab Syafi’i mengatakan: Uang kertas, transaksinya termasuk kategori pengalihan (hawalah) kepada bank dengan nilainya. Maka seseorang memiliki nilai tersebut sebagai utang pada bank, dan bank adalah pihak yang mampu, tempat yang siap untuk membayar tunai. Dan kapan saja si peminjam memenuhi kriteria ini, maka wajib zakat atas utang tersebut saat itu juga. Dan tidak adanya ijab dan kabul secara lisan dalam pengalihan tidak membatalkannya, karena telah menjadi kebiasaan yang berlaku.
Namun, sebagian imam mazhab Syafi’i mengatakan: Yang dimaksud dengan ijab dan kabul adalah segala sesuatu yang menunjukkan keridhaan, baik berupa ucapan maupun perbuatan, dan keridhaan di sini telah terpenuhi. - Mazhab Hanafi mengatakan: Uang kertas – banknotes – termasuk kategori utang yang kuat, hanya saja dapat ditukar dengan perak secara tunai, maka wajib zakat di dalamnya secara tunai.
- Mazhab Maliki mengatakan: Uang kertas – meskipun berupa surat utang – dapat ditukar dengan perak secara tunai, dan menggantikan posisi emas dalam transaksi, maka wajib zakat di dalamnya dengan syarat-syaratnya.
- Mazhab Hambali mengatakan: Tidak wajib zakat atas uang kertas kecuali jika ditukar dengan emas atau perak, dan terpenuhi syarat-syarat zakatnya.
Dari pendapat-pendapat yang dinisbatkan kepada mazhab-mazhab ini, kita mengetahui bahwa dasarnya adalah menganggap uang kertas ini sebagai surat utang pada bank penerbit, dan bahwa nilainya dapat ditukar dengan perak secara tunai, maka wajib zakat di dalamnya secara tunai menurut tiga mazhab, dan wajib zakat setelah ditukar secara nyata menurut mazhab Hambali. Kita juga mengetahui bahwa undang-undang telah membebaskan uang kertas bank dari kewajiban bank untuk menukarnya dengan emas atau perak, sehingga runtuhlah dasar yang dibangun di atasnya kewajiban zakat dalam uang kertas ini.
(1) Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, cetakan kedua.
(2) Al-Fiqh, halaman 486, cetakan kelima.
هذا مع أن هذه الأوراق أصبحت هي أساس التعامل بين الناس ، ولم يعد يرى الناس العملة الذهبية قط ، ولا الفضية ، إلا في المبالغ التافهة . أما عماد الثروات والمبادلات فهو هذه العملة الورقية .
إن هذه الأوراق أصبحت – باعتماد السلطات الشرعية إياها ، وجريان التعامل بها – أثمان الأشياء ، ورؤوس الأموال ، وبها يتم البيع والشراء والتعامل داخل كل دولة ، ومنها تصرف الأجور والرواتب والمكافآت وغيرها ، وعلى قدر ما يملك المرء منها يعتبر غناه ، ولها قوة الذهب والفضة في قضاء الحاجات ، وتيسير المبادلات ، وتحقيق المكاسب والأرباح ، فهي بهذا الاعتبار أموال نامية أو قابلة للنماء ، شأنها شأن الذهب والفضة .
صحيح أن الذهب والفضة لهما قيمة مالية ذاتية من حيث إنهما معدنان نفیسان ، حتى لو بطل التعامل بهما نقدين لبقيت قيمتهما المالية معدنين ، نعم هذا صحيح ، ولكن الذي يفهم من روح الشريعة ونصوصها أنها لم توجب الزكاة في الذهب والفضة لمحض ماليتهما : إذ لم توجب الزكاة في كل مال ، بل في المال المعد للنماء ، والذهب والفضة إنما اعتبرهما الشارع مالاً معداً للنماء من جهة أنهما أثمان للأشياء وقيم لها ، فالثمنية مراعاة مع المالية أيضاً ، ولهذا كان عنوان زكاة الذهب والفضة في كثير من الكتب : زكاة الأثمان ، أو زكاة و النقدين .
“Hal ini seiring dengan fakta bahwa uang kertas telah menjadi dasar transaksi di antara masyarakat, dan orang-orang tidak lagi melihat mata uang emas sama sekali, atau perak, kecuali dalam jumlah yang sangat kecil. Sedangkan inti dari kekayaan dan pertukaran adalah mata uang kertas ini.
Sesungguhnya uang kertas ini telah menjadi – dengan pengakuan otoritas hukum atasnya, dan berjalannya transaksi dengannya – nilai tukar barang-barang, modal utama, dan dengannya jual beli dan transaksi terjadi di setiap negara, dan darinya pembayaran upah, gaji, tunjangan, dan lain-lain dilakukan, dan sesuai dengan jumlah yang dimiliki seseorang, kekayaannya dipertimbangkan, dan ia memiliki kekuatan emas dan perak dalam memenuhi kebutuhan, memfasilitasi pertukaran, dan mewujudkan keuntungan dan laba, maka dengan pertimbangan ini, ia adalah harta yang berkembang atau dapat berkembang, sama seperti emas dan perak.
Benar bahwa emas dan perak memiliki nilai finansial intrinsik karena keduanya adalah logam mulia, bahkan jika transaksi dengan keduanya sebagai uang telah batal, nilai finansial keduanya sebagai logam tetap ada, benar ini benar, tetapi yang dipahami dari semangat syariah dan teks-teksnya adalah bahwa ia tidak mewajibkan zakat pada emas dan perak semata-mata karena nilai finansialnya: karena ia tidak mewajibkan zakat pada setiap harta, tetapi pada harta yang disiapkan untuk berkembang, dan emas dan perak hanyalah dianggap oleh syariat sebagai harta yang disiapkan untuk berkembang dari sisi bahwa keduanya adalah nilai tukar barang-barang dan nilai baginya, maka nilai tukar dipertimbangkan bersama dengan nilai finansial juga, dan oleh karena itu judul zakat emas dan perak dalam banyak kitab adalah: zakat nilai tukar, atau zakat dan uang tunai.”
وَمِنْ أَجْلِ هَذَا لَا يَسُوغُ أَنْ يُقَالَ لِلنَّاسِ – إِنَّ بَعْضَ الْمَذَاهِبِ لَا يَرَى إِخْرَاجَ الزَّكَاةِ عَنْ هَذِهِ الْأَوْرَاقِ ، وَيُنْسَبُ ذَلِكَ إِلَى مَذْهَبِ أَحْمَدَ أَوْ مَالِكٍ أَوْ الشَّافِعِيِّ أَوْ غَيْرِهِمْ . فَالْحَقُّ أَنَّ هَذَا أَمْرٌ مُسْتَحْدَثٌ لَيْسَ لَهُ نَظِيرٌ فِي عَصْرِ الْأَئِمَّةِ الْمُجْتَهِدِينَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ – حَتَّى يُقَاسَ عَلَيْهِ وَيُلْحَقَ بِهِ . وَالْوَاجِبُ أَنْ يُنْظَرَ إِلَيْهِ نَظْرَةً مُسْتَقِلَّةً فِي ضَوْءِ وَاقِعِنَا وَظُرُوفِ حَيَاتِنَا وَعَصْرِنَا . وَإِنِّي لَأُسَجِّلُ بِالتَّقْدِيرِ هُنَا مَا كَتَبَهُ وَأَفْتَى بِهِ الْعَلَّامَةُ الشَّيْخُ مُحَمَّدٌ حَسَنَيْنِ مَخْلُوفُ الْعَدَوِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِي رِسَالَتِهِ “التِّبْيَانُ فِي زَكَاةِ الْأَثْمَانِ” إِذْ قَالَ مُعَقِّباً عَلَى تَخْرِيجِ زَكَاةِ الْأَوْرَاقِ الْمَالِيَّةِ عَلَى زَكَاةِ الدَّيْنِ الْمَعْرُوفِ عِنْدَ
Oleh karena itu, tidaklah pantas untuk mengatakan kepada orang-orang bahwa sebagian mazhab tidak memperbolehkan mengeluarkan zakat dari kertas-kertas (uang kertas) ini, dan menghubungkan hal itu dengan mazhab Ahmad, Malik, Syafi’i, atau lainnya. Faktanya, ini adalah masalah baru yang tidak ada bandingannya di zaman para imam mujtahid -semoga Allah meridhoi mereka- sehingga bisa diqiyaskan dan disamakan dengannya.
Wajib untuk melihatnya dengan pandangan yang independen dalam terang realitas kita, kondisi kehidupan kita, dan zaman kita. Saya mencatat dengan penghargaan di sini apa yang ditulis dan difatwakan oleh ulama besar Syekh Muhammad Hasanain Makhluf al-Adawi -rahimahullah- dalam risalahnya “At-Tibyan fi Zakat al-Atsman” (Penjelasan tentang Zakat Mata Uang), ketika beliau berkomentar tentang pengeluaran zakat dari surat-surat berharga (uang kertas) dengan mengqiyaskannya pada zakat utang yang dikenal di kalangan…”
الفقهاء القدامى، واعتبار هذه الأوراق سند دين (صكاً كالكمبيالة) لا تجب تزكيته إلا على مذهب من لا يشترط القبض في تزكية الدين إذا كان على مليء مقر – قال: ولا يخفى أن تخريج زكاة الأوراق المالية على زكاة الدين – مع كونه مجحفاً بحق الفقراء على غير ما ذهب إليه الشافعية – مبني على اعتبار القيمة المضمونة بهذه الأوراق كدين حقيقي في ذمة شخص مدين، وأن هذه الأوراق كمستندات ديون حقيقية.
مع أن هناك فرقاً بين هذه الأوراق، وما هو مضمون بها، وبين الدين الحقيقي وسنده المعروف عند الفقهاء، فإن الدين ما دام في ذمة المدين لا ينمو ولا ينتفع به ربه، ولا يجري التعامل بسنده رسماً. ولذلك قيل بعدم وجوب زكاته؛ لأنه ليس مالاً حاضراً معداً للنماء، بحيث ينتفع به ربه، بخلاف قيمة هذه الأوراق، فإنها نامية منتفع بها كما ينتفع بالأموال الحاضرة، وكيف يقال: إن هذه الأوراق من قبيل مستندات الديون، ومستند الدين ما أخذ على المدين للتوثق وخشية الضياع، لا لتنمية الدين في ذمة المدين، ولا للتعامل به؟! أو يقال لا تجب الزكاة فيها حتى يقبض بدلها نقداً ذهباً أو فضة، مع أن عدم الزكاة في الدين – كما علمت انما – هو لكونه ليس معداً للنماء، ولا محفوظاً بعينه في خزانة المدين؟
Para ahli hukum Islam terdahulu, menganggap surat-surat berharga ini sebagai surat utang (cek seperti promes) tidak wajib dizakati kecuali menurut mazhab yang tidak mensyaratkan kepemilikan dalam zakat utang jika itu pada orang yang mampu membayar dan mengakui – Dia berkata: Tidaklah samar bahwa mengeluarkan zakat surat-surat berharga keuangan atas zakat utang – meskipun merugikan hak fakir miskin berbeda dengan apa yang dianut oleh Syafi’iyah – didasarkan pada pertimbangan nilai yang dijamin dari surat-surat berharga ini sebagai utang nyata di tangan seseorang yang berutang, dan bahwa surat-surat berharga ini sebagai dokumen utang nyata.
Meskipun ada perbedaan antara surat-surat berharga ini, dan apa yang dikandungnya, dan antara utang nyata dan dasarnya yang dikenal di antara para ahli hukum Islam, maka utang selama di tangan orang yang berutang tidak bertambah dan pemiliknya tidak mengambil manfaat darinya, dan tidak ada transaksi yang dilakukan dengan dasarnya secara resmi. Oleh karena itu, dikatakan tidak wajib dizakati; karena itu bukan harta yang hadir yang disiapkan untuk pertumbuhan, sehingga pemiliknya mengambil manfaat darinya, berbeda dengan nilai surat-surat berharga ini, maka ia tumbuh dan diambil manfaatnya sebagaimana harta yang hadir diambil manfaatnya, dan bagaimana dikatakan: bahwa surat-surat berharga ini termasuk dokumen utang, dan dokumen utang adalah apa yang diambil dari orang yang berutang untuk jaminan dan kekhawatiran kehilangan, bukan untuk mengembangkan utang di tangan orang yang berutang, dan bukan untuk diperdagangkan?! Atau dikatakan tidak wajib zakat di dalamnya sampai penggantinya diambil secara tunai emas atau perak, padahal tidak adanya zakat dalam utang – sebagaimana yang Anda ketahui hanyalah – karena ia tidak disiapkan untuk pertumbuhan, dan tidak disimpan persis di brankas orang yang berutang?
والفقهاء إنما حكموا بعدم زكاة الدين ما دام في ذمة المدين حتى يقبضه المالك نظراً لهذه العلة ، واستثنى الشافعية دين الموسر إذا كان حالاً ، فإنه يزكي قبل قبضه كالوديعة ، نظراً إلى أنه في حكم الحاضر المعد للنماء ، فلو فرض نماؤه كما في بدل الأوراق المالية لما كان هناك وجه لتوقف الزكاة على القبض ، ولما خالف في ذلك أحد من العلماء .
فالحق أن هذا النوع من الدين نوع آخر مستحدث لا ينطبق عليه حقيقة الدين وشروطه المعروفة عند الفقهاء ، ولا يجري فيه الخلاف الذي جرى في زكاة الدين ، بل ينبغي أن يتفق على وجوب الزكاة فيه ، لما علمت أنه كالمال الحاضر .
“Para ahli hukum Islam (fuqaha) hanya memutuskan untuk tidak mewajibkan zakat atas utang selama masih berada di tangan orang yang berutang hingga pemiliknya menerima pembayaran, dengan mempertimbangkan alasan ini. Mazhab Syafi’i mengecualikan utang dari orang yang mampu jika sudah jatuh tempo, maka zakatnya dikeluarkan sebelum diterima, seperti halnya titipan, dengan pertimbangan bahwa itu termasuk harta yang hadir dan disiapkan untuk berkembang. Seandainya pertumbuhannya diandaikan seperti dalam penggantian surat berharga, maka tidak ada alasan untuk menunda kewajiban zakat hingga diterima, dan tidak ada seorang pun dari ulama yang berbeda pendapat dalam hal ini.
Yang benar adalah bahwa jenis utang ini adalah jenis baru yang muncul dan tidak sesuai dengan hakikat utang dan syarat-syaratnya yang dikenal di kalangan ahli hukum Islam, dan tidak termasuk dalam perbedaan pendapat yang terjadi dalam zakat utang, tetapi seharusnya disepakati kewajiban zakatnya, karena telah diketahui bahwa itu sama dengan harta yang hadir.”
إلى أن قال : ولو فرض أنه ليس في البنك شيء من النقود ، ونظر إلى تلك الأوراق في ذاتها بقطع النظر عما يعادلها ، وعن التزام التعهد المرقوم بها ، واعتبر وجهة إصدار الحكومة لها ، واعتبار العلة لها أثماناً رائجة ، لكانت كالنقدين تجب زكاتها على القول بأن الزكاة في النقدين معلولة بمجرد الثمنية ولو لم تكن خلقية كما تقدم في زكاة الفلوس وقطع الجلود والكواغد . فتحصل أن الأوراق المالية يصح أن تزكى باعتبارات أربعة :
الأول : باعتبار المال المضمون بها في ذمة البنك ، وأنه كمال حاضر مقبوض ، وإن لم يكن كالدين المعروف عند الفقهاء من كل وجه .
الثاني : زكاتها باعتبار الأموال المحفوظة بخزانة البنك ، وعلى هذين الاعتبارين فالزكاة واجبة فيها اتفاقاً .
الثالث : زكاتها باعتبار قيمتها ديناً في ذمة البنك فتزكى زكاة الدين الحال على ملىء كما ذهب إليه الشافعي .
الرابع : زكاتها باعتبار قيمتها الوضعية عند جريان الرسم بها في المعاملات واتفاق الملة على اتخاذها أثماناً للمقومات ، وعلى ذلك فوجوب الزكاة فيها ثابت بالقياس كزكاة الفلوس والنحاس ، اهـ .
أقول : هذا الاعتبار الأخير هو الذي يجب أن يعول عليه ، في حكم النقود الورقية الإلزامية التي هي عمدة التبادل والتعامل الآن ، والتي لم يعد يشترط أن يقابلها رصيد معدني بالبنك ، ولا يلتزم البنك صرفها بذهب أو فضة . وربما كان الخلاف في أمر هذه الأوراق مقبولاً في بدء استعمالها ، وعدم اطمئنان الجمهور إليها ، شأن كل جديد (١) ، أما الآن فالوضع قد تغير تماماً .
١ – مثال ذلك الخلاف الذي حدث عند ظهور قهوة البن : أيحل شربها أم يحرم ( وألفت في ذلك رسائل ثم استقر الأمر على الحل ، انظر : الفواكه العديدة المنقور ، جـ ١ ص ٤١٠ – ٤١٣ وقد نقل فيها أقوال ابن حجر الهيثمي الشافعي ، والشيخين : زروق والحطاب المالكيين ، وغيرهم .
Hingga ia berkata: “Seandainya diasumsikan bahwa tidak ada uang di bank, dan dilihat dari lembaran-lembaran itu sendiri tanpa mempedulikan apa yang diwakilinya, dan tanpa mempedulikan komitmen yang tertera di dalamnya, dan mempertimbangkan tujuan penerbitan pemerintah, dan menganggap alasan di balik itu sebagai nilai tukar yang berlaku, maka itu seperti uang tunai yang wajib dizakati, dengan dasar bahwa zakat dalam uang tunai disebabkan oleh nilai tukarnya saja, meskipun tidak bersifat penciptaan seperti yang telah dijelaskan dalam zakat uang dan barang-barang kulit serta kertas. Jadi, dapat disimpulkan bahwa surat berharga dapat dizakati berdasarkan empat pertimbangan:
Pertama: Dengan mempertimbangkan harta yang dijamin di dalamnya oleh bank, dan bahwa itu adalah harta yang hadir dan dapat diambil, meskipun tidak seperti utang yang dikenal di kalangan ahli fikih dari segala sisi.
Kedua: Zakanya berdasarkan harta yang disimpan di brankas bank, dan berdasarkan kedua pertimbangan ini, zakatnya wajib disepakati.
Ketiga: Zakanya berdasarkan nilainya sebagai utang yang dijamin oleh bank, sehingga zakatnya seperti zakat utang yang jatuh tempo pada orang yang mampu, seperti yang dianut oleh Imam Syafi’i.
Keempat: Zakanya berdasarkan nilai nominalnya saat digunakan dalam transaksi dan kesepakatan umat untuk menjadikannya sebagai nilai tukar untuk kebutuhan pokok, dan berdasarkan itu, kewajiban zakatnya tetap berdasarkan qiyas seperti zakat uang dan tembaga, selesai.”
Saya katakan: “Pertimbangan terakhir ini adalah yang harus diandalkan, dalam hukum uang kertas wajib yang menjadi dasar pertukaran dan transaksi saat ini, dan yang tidak lagi mensyaratkan adanya cadangan logam di bank, dan bank tidak berkewajiban menukarkannya dengan emas atau perak. Dan mungkin perbedaan pendapat mengenai masalah lembaran-lembaran ini dapat diterima pada awal penggunaannya, dan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadapnya, seperti halnya setiap hal baru (1), namun sekarang situasinya telah berubah sepenuhnya.”
1 – Contoh perbedaan pendapat itu adalah perbedaan pendapat yang terjadi ketika kopi pertama kali muncul: apakah boleh diminum atau haram (dan risalah-risalah ditulis mengenai hal itu, kemudian masalahnya diselesaikan bahwa itu halal, 410-413. Dan di dalamnya dikutip perkataan Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, dan dua Syaikh: Zarruq dan al-Hattab al-Maliki, dan lainnya.
فقه الزكاة الجزء الأول دكتور يوسف القرضاوي ص ٢٧٦-٢٧٩
لَقَدْ أَصْبَحَتْ هَذِهِ الْأَوْرَاقُ النَّقْدِيَّةُ تُحَقِّقُ دَاخِلَ كُلِّ دَوْلَةٍ مَا تُحَقِّقُهُ النُّقُودُ الْمَعْدِنِيَّةُ، وَيَنْظُرُ الْمُجْتَمَعُ إِلَيْهَا نَظْرَتَهُ إِلَى تِلْكَ. إِنَّهَا تَدْفَعُ مَهْرًا، فَتُسْتَبَاحُ بِهَا الْفُرُوجُ شَرْعًا دُونَ أَيِّ اعْتِرَاضٍ. وَتَدْفَعُ ثَمَنًا، فَتَنْقُلُ مِلْكِيَّةَ السِّلْعَةِ إِلَى دَافِعِهَا بِلَا جِدَالٍ. وَتَدْفَعُ أَجْرًا لِلْجُهْدِ الْبَشَرِيِّ، فَلَا يَمْتَنِعُ عَامِلٌ أَوْ مُوَظَّفٌ مِنْ أَخْذِهَا جَزَاءً عَلَى عَمَلِهِ. وَتُدْفَعُ دِيَةٌ فِي الْقَتْلِ الْخَطَأِ أَوْ شِبْهِ الْعَمْدِ، فَتُبْرِئُ ذِمَّةَ الْقَاتِلِ، وَيَرْضَى أَوْلِيَاءُ الْمَقْتُولِ. وَتُسْرَقُ فَيَسْتَحِقُّ سَارِقُهَا عُقُوبَةَ السَّرِقَةِ بِلَا مِرَاءٍ مِنْ أَحَدٍ. وَتُدَّخَرُ وَتُمْلَكُ، فَيُعَدُّ مَالِكُهَا غَنِيًّا بِقَدْرِ مَا يَمْلِكُ مِنْهَا، فَكُلَّمَا كَثُرَتْ فِي يَدِهِ، عَظُمَ غِنَاهُ عِنْدَ النَّاسِ وَعِنْدَ نَفْسِهِ (١). وَمَعْنَى هَذَا كُلِّهِ: أَنَّ لَهَا وَظَائِفَ النُّقُودِ الشَّرْعِيَّةِ وَأَهَمِّيَّتَهَا وَنَظْرَةَ الْمُجْتَمَعِ إِلَيْهَا، فَكَيْفَ يَسُوغُ لَنَا أَنْ نَحْرِمَ الْفُقَرَاءَ وَالْمَسَاكِينَ وَسَائِرَ الْمُسْتَحِقِّينَ مِنَ الِانْتِفَاعِ بِهَذِهِ النُّقُودِ وَوَظَائِفِهَا الْمُتَعَدِّدَةِ الْوَفِيرَةِ؟ أَلَيْسَ النَّاسُ كُلُّ النَّاسِ يَسْعَوْنَ إِلَى تَحْصِيلِهَا جَاهِدِينَ؟ أَلَيْسَ مُلَّاكُهَا يَعُدُّونَهَا نِعْمَةً يَجِبُ أَنْ تُشْكَرَ؟ أَلَيْسَ الْفُقَرَاءُ يَتَطَلَّعُونَ إِلَيْهَا، وَيَسِيلُ لُعَابُهُمْ شَوْقًا إِلَيْهَا؟ أَلَيْسُوا يَفْرَحُونَ بِهَا إِذَا أُعْطُوا الْقَلِيلَ مِنْهَا؟ بَلَى وَاللَّهِ. وَأَخْتِمُ هَذِهِ النُّقْطَةَ بِمَا قَرَّرَهُ بَعْضُ أَسَاتِذَةِ الِاقْتِصَادِ: أَنَّهُ يُمْكِنُ الْقَوْلُ بِأَنَّ النُّقُودَ هِيَ كُلُّ مَا يُسْتَعْمَلُ مِقْيَاسًا لِلْقِيَمِ، وَوَاسِطَةً لِلتَّبَادُلِ، وَأَدَاةً لِلِادِّخَارِ. فَأَيُّ شَيْءٍ يُؤَدِّي إِلَى هَذِهِ الْوَظِيفَةِ يُعْتَبَرُ نُقُودًا، بِصَرْفِ النَّظَرِ عَنِ الْمَادَّةِ الْمَصْنُوعِ مِنْهَا، وَبِصَرْفِ النَّظَرِ عَنِ الْكَيْفِيَّةِ الَّتِي أَصْبَحَ بِهَا وَسِيلَةَ التَّعَامُلِ فِي مَبْدَأِ الْأَمْرِ. فَمَا دَامَتْ هُنَاكَ مَادَّةٌ يَقْبَلُهَا كُلُّ الْمُنْتِجِينَ فِي مُجْتَمَعٍ مَا لِلْمُبَادَلَةِ نَظِيرَ مَا يَبِيعُونَ، فَهَذِهِ الْمَادَّةُ نُقُودٌ (٢). ١- لَا مَعْنَى إِذَنْ لِمَا يَقُولُهُ بَعْضُ الْمُتَشَدِّقِينَ فِي عَصْرِنَا مِنْ أَنَّ النُّقُودَ الشَّرْعِيَّةَ هِيَ الذَّهَبُ وَالْفِضَّةُ؟ فَهِيَ الَّتِي تَجِبُ فِيهَا الزَّكَاةُ، وَهِيَ الَّتِي يَجْرِي فِيهَا الرِّبَا!! ٢- النُّظُمُ النَّقْدِيَّةُ وَالْمَصْرِفِيَّةُ ص ٩٢
Uang kertas kini telah berfungsi dalam setiap negara sebagaimana fungsi uang logam. Masyarakat memandangnya sebagaimana mereka memandang uang logam.
Uang kertas ini dapat digunakan untuk membayar mahar, sehingga dengannya hubungan suami-istri menjadi halal secara syar’i tanpa ada keberatan. Uang ini juga digunakan untuk membayar harga suatu barang, sehingga kepemilikan barang berpindah kepada pembeli tanpa ada perdebatan. Uang ini juga digunakan sebagai upah tenaga kerja, sehingga pekerja atau pegawai tidak menolak menerimanya sebagai imbalan atas pekerjaannya.
Uang kertas juga digunakan untuk membayar diyat dalam kasus pembunuhan tidak sengaja atau semi-sengaja, sehingga terbebaslah tanggungan pelaku, dan keluarga korban pun merasa puas. Jika uang ini dicuri, maka pencurinya berhak mendapatkan hukuman pencurian tanpa ada perdebatan. Uang ini juga dapat disimpan dan dimiliki, sehingga pemiliknya dianggap kaya sesuai dengan jumlah yang dimilikinya. Semakin banyak uang yang dimilikinya, semakin besar pula tingkat kekayaannya di mata orang lain dan di mata dirinya sendiri.
Semua ini menunjukkan bahwa uang kertas memiliki fungsi dan kedudukan sebagaimana uang yang sah menurut syariat, serta pandangan masyarakat terhadapnya. Maka, bagaimana mungkin kita melarang kaum fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerima manfaat dari uang ini dan berbagai fungsinya yang banyak dan melimpah? Bukankah semua orang berusaha keras untuk mendapatkannya? Bukankah para pemiliknya menganggapnya sebagai nikmat yang harus disyukuri? Bukankah kaum fakir sangat menginginkannya hingga air liur mereka menetes karena rindu akan uang ini? Bukankah mereka bergembira jika mendapatkan sedikit darinya? Demi Allah, benar adanya!
Saya akhiri pembahasan ini dengan pernyataan dari salah seorang profesor ekonomi yang mengatakan: “Dapat dikatakan bahwa uang adalah segala sesuatu yang digunakan sebagai ukuran nilai, alat tukar, dan sarana penyimpanan. Maka, apa pun yang menjalankan fungsi tersebut dianggap sebagai uang, tanpa memandang bahan pembuatannya dan tanpa memperhatikan bagaimana ia pertama kali menjadi alat transaksi. Selama ada suatu benda yang diterima oleh seluruh produsen dalam suatu masyarakat untuk pertukaran barang dagangan mereka, maka benda tersebut adalah uang.”
Catatan:
Tidak ada makna bagi perkataan sebagian orang yang terlalu ekstrem di zaman kita bahwa uang syar’i hanyalah emas dan perak! Hanya emas dan perak yang wajib dizakati, dan hanya emas dan perak yang berlaku dalam hukum riba! Al-Nuzum al-Naqdiyyah wa al-Mashrafiyyah, hlm. 29.
شروط وجوب الزكاة في النقود
لم توجب الشريعة الإسلامية الزكاة في كل مقدار من النقود، قل أو أكثر، ولا في كل حين طال أو قصر. ولا على كل مالك للنقود بغض النظر عن ظروفه وحاجاته. بل اشترطت لوجوب الزكاة في النقود شروطاً معينة، شأنها في ذلك شأن كل مال فرضت فيه الزكاة:
١ – بلوغ النصاب
وأول هذه الشروط: أن تبلغ النقود نصاباً، والنصاب – كما عرفنا – هو الحد الأدنى للغنى في الشرع، وما دونه يعتبر مالاً قليلاً معفواً عنه، وصاحبه لا يعد بامتلاكه غنياً.
وقد عرفنا من الصفحات السابقة مقدار النصاب النقدي للزكاة بالعملة المعاصرة. واخترنا أن نصاب النقود هو: ما يساوي قيمة ٨٥ جراماً من الذهب. وهي المساوية للعشرين ديناراً التي جاءت بها الآثار واستقر عليها الأمر.هل يشترط أن يكون مالك النصاب واحداً؟إذا كانت هناك شركة تضم مجموعة من الأفراد مساهمين بمقادير من النقود تبلغ بمجموعها نصاباً أو نصباً، ولكن حصة كل فرد لا تبلغ نصاباً، فهل تجب في مال الشركة الزكاة؟
اختلفوا في ذلك، فعند أبي حنيفة ومالك: أن الشريكين لا يجب على أحدهما زكاة حتى يكون لكل واحد منهما نصاب. وعند الشافعي: أن المال المشترك حكمه حكم مال واحد.وسبب اختلافهم – كما ذكر ابن رشد – الإجمال الذي في قوله – عليه الصلاة والسلام – “ليس فيما دون خمس أواق صدقة”، فإن هذا القدر
Syarat-syarat Wajib Zakat pada Uang
Syariat Islam tidak mewajibkan zakat atas setiap jumlah uang, baik sedikit maupun banyak, dan tidak setiap waktu, baik lama maupun sebentar. Tidak juga atas setiap pemilik uang tanpa memandang kondisi dan kebutuhannya. Akan tetapi, diwajibkan untuk zakat pada uang syarat-syarat tertentu, sebagaimana halnya dengan setiap harta yang diwajibkan zakat:
1 – Mencapai Nishab: Syarat pertama ini adalah: bahwa uang mencapai nishab, dan nishab – sebagaimana yang kita ketahui – adalah batas minimal kekayaan dalam syariat, dan yang di bawahnya dianggap harta yang sedikit yang dimaafkan, dan pemiliknya tidak dianggap kaya dengan kepemilikannya.
Kita telah mengetahui dari halaman-halaman sebelumnya jumlah nishab uang untuk zakat dengan mata uang kontemporer. Dan kita memilih bahwa nishab uang adalah: apa yang setara dengan nilai 85 gram emas. Yang setara dengan dua puluh dinar yang disebutkan dalam atsar dan telah disepakati.
Apakah Disyaratkan Pemilik Nishab Itu Satu Orang?
Jika ada perusahaan yang terdiri dari sekelompok individu yang menyumbang dengan jumlah uang yang mencapai total nishab atau nishab, tetapi bagian setiap individu tidak mencapai nishab, apakah wajib zakat atas harta perusahaan?
Mereka berbeda pendapat dalam hal itu, menurut Abu Hanifah dan Malik: bahwa kedua mitra tidak wajib zakat sampai masing-masing memiliki nishab.
Dan menurut Syafi’i: bahwa harta bersama hukumnya sama dengan harta satu orang.
Dan sebab perbedaan pendapat mereka – sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd – adalah keumuman yang ada dalam sabdanya – semoga shalawat dan salam tercurah kepadanya – “Tidak ada sedekah pada yang kurang dari lima uqiyah”, maka jumlah ini
يمكن أن يفهم منه أنه إنما يخصه هذا الحكم إذا كان لمالك واحد فقط ، ويمكن أن يفهم منه أنه يخصه هذا الحكم ، كان لمالك واحد أو أكثر ، إلا أنه لما كان مفهوم اشتراط النصاب إنما هو الرفق ، فواجب أن يكون النصاب من شرطه أن يكون لمالك واحد – وهو الأظهر – والله أعلم .
والشافعي كأنه شبه الشركة بالخلطة – في الماشية – ولكن تأثير الخلطة غير متفق عليه (١).
والذي يتجه إليه هنا مذهب الجمهور : أن لا عبرة بما يسمى “الشخصية الاعتبارية ” أو ” المعنوية ” للشركة ، فقد يكون أعضاء هذه الشركة مجموعة من المساهمين الفقراء ، والزكاة إنما تؤخذ من الأغنياء لترد على الفقراء ، فهؤلاء حينئذ ممن ترد عليهم الزكاة لا ممن تؤخذ منهم واشتراك جماعة في نصاب لا يجعل فقيرهم غنياً .
ولكن مذهب الشافعي أيسر في التطبيق بالنظر إلى الحكومات في عصرنا ، ويمكن لولي الأمر أن يترك نسبة معينة من الزكاة لإدارة الشركة لتوزعها على مساهميها الفقراء فتجمع بين الحسنيين (٢).
٢ – حولان الحول :
والشرط الثاني لوجوب الزكاة في النقود بعد بلوغ النصاب : أن يحول عليه الحول ، وهذا – كما ذكرنا من قبل – مجمع عليه في غير المال المستفاد . بمعنى : أن الزكاة لا تجب في النقود إلا مرة واحدة في العام ، فكل مال زكي لا تجب فيه زكاة إلا بعد مرور حول .
وعند الحنفية : يشترط كمال النصاب في طرفي الحول فقط : في الابتداء للانعقاد ، وفي الانتهاء للوجوب ، فلا يضر نقصانه بينهما . فلو هلك كله
(١) – بداية المجتهد لابن رشد ج ١ ص ٢٥٠ ط الاستقامة .
(٢) – مما قلناه هناه هنا تأكيد لما ذكرنا في خلطة السوائم أن للإدارة التي تتولى أمر الزكاة أن تنظر إلى الشركات نظرتها إلى الشخص الواحد ، إذا احتاجت إلى ذلك لتنظيم أعمالها ، وتبسيط إجراءاتها ، تقليداً لمذهب الشافعي .
Dapat dipahami dari hal ini bahwa hukum ini hanya berlaku jika pemiliknya hanya satu orang, dan dapat juga dipahami bahwa hukum ini berlaku, baik pemiliknya satu orang atau lebih, hanya saja karena konsep syarat nishab adalah untuk memberi kemudahan, maka wajib bahwa nishab menjadi syarat bagi satu pemilik – dan ini yang paling jelas – dan Allah Maha Mengetahui.
Syafi’i seolah-olah menyamakan perusahaan dengan percampuran – dalam hewan ternak – tetapi pengaruh percampuran tidak disepakati (1).
Yang lebih condong di sini adalah mazhab jumhur: bahwa tidak ada pertimbangan terhadap apa yang disebut “kepribadian hukum” atau “moral” perusahaan, karena anggota perusahaan ini bisa jadi sekelompok pemegang saham yang miskin, dan zakat hanya diambil dari orang kaya untuk dikembalikan kepada orang miskin, maka mereka ini adalah orang-orang yang berhak menerima zakat, bukan orang-orang yang diambil zakatnya dari mereka. Dan gabungan sekelompok orang dalam nishab tidak menjadikan orang miskin mereka kaya.
Tetapi mazhab Syafi’i lebih mudah diterapkan jika dilihat dari pemerintah di zaman kita, dan waliyul amri dapat menyerahkan persentase tertentu dari zakat kepada manajemen perusahaan untuk didistribusikan kepada pemegang saham mereka yang miskin, sehingga menggabungkan dua kebaikan (2).
2 – Berlalunya Satu Tahun (Haul): Syarat kedua untuk wajibnya zakat pada uang setelah mencapai nishab: adalah berlalunya satu tahun, dan ini – sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya – disepakati dalam selain harta yang diperoleh. Artinya: bahwa zakat tidak wajib pada uang kecuali sekali dalam setahun, maka setiap harta yang dizakati tidak wajib zakatnya kecuali setelah berlalunya satu tahun.
Dan menurut Hanafiyah: disyaratkan kesempurnaan nishab di kedua ujung tahun saja: pada permulaan untuk penetapan, dan pada akhir untuk kewajiban, maka tidak masalah jika nishab berkurang di antaranya. Jika seluruhnya hilang
(1) – Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd jilid 1 hal. 250 cetakan Istiqamah.
(2) – Apa yang kami katakan di sini adalah penegasan dari apa yang kami sebutkan dalam percampuran hewan ternak bahwa manajemen yang menangani urusan zakat hendaknya melihat perusahaan sebagaimana melihat seseorang, jika perlu untuk mengatur pekerjaan mereka, dan menyederhanakan prosedur mereka, mengikuti mazhab Syafi’i.
في أثناء الحول ، بطل الحول ، فإذا استفاد فيه غيره استأنف له حولاً جديداً (١).
وعند الأئمة الثلاثة : يعتبر وجود النصاب في جميع الحول . مستدلين بحديث “لا زكاة في مال حتى يحول عليه الحول” (٢) وهو يقتضي مرور الحول على جميعه ، ولأن ما اعتبر في طرفي الحول ، اعتبر في وسطه كالملك والإسلام (٣).
أما المال المستفاد من النقود (كالمرتبات والأجور والمكافآت وإيراد ذوي المهن الحرة من الأطباء والمهندسين والمحامين وغيرهم ، أو إيراد رؤوس الأموال ، الثابتة : كالعمارات السكنية الاستغلالية ، والمصانع والفنادق : وغير الثابتة : كالسيارات والطائرات ونحوها) فقد ذهب الجمهور في هذا كله إلى اشتراط الحول . وقال أبو حنيفة : يضم المستفاد إلى النقود التي عنده في الحول فيزكيهما جميعاً ، عند تمام حول المال الذي كان عنده ، إلا أن يكون المستفاد عوضاً عن مال مزكى (٤).
وصح عن بعض الصحابة خلاف ذلك ، فأوجبوا تزكية المال المستفاد عند قبضه ، دون اشتراط للحول.
وسنعود لتفصيل القول في هذه المسألة عند حديثنا عن زكاة “كسب العمل والمهن الحرة” في الفصل التاسع من هذا الباب.
٣ – الفراغ من الدين :
ويشترط أن يكون النصاب النقدي الذي تجب فيه الزكاة فارغاً من الدين ، بحيث لا يستغرق الدين النصاب أو ينقصه . وقد بينا ذلك في الفصل الأول من هذا الباب ، وذكرنا الأدلة عليه هناك .
والدين الذي يمنع وجوب الزكاة عند الحنفية هو الذي له مطالب من جهة
(١) – الدر المختار ، وحاشيته رد المحتار ج ٢ ص ٤٥ .
(٢) – تقدم : إن الحديث ضعيف وسنتكلم عنه بتفصيل في الفصل التاسع .
(٣) – المغني – مع الشرح – ج ٢ ص ٤٩٩ .
(٤) – نفسه ص ٤٩٧ .
Di tengah-tengah tahun (haul), tahun itu batal, jika dia mendapatkan (harta) lain di dalamnya, maka dia memulai tahun baru (1).
Menurut tiga imam mazhab: keberadaan nishab dihitung di sepanjang tahun. Mereka berdalil dengan hadits “Tidak ada zakat pada harta sampai berlalu satu tahun atasnya” (2), yang mengharuskan berlalunya tahun atas seluruhnya, dan karena apa yang dihitung di kedua ujung tahun, dihitung juga di tengahnya, seperti kepemilikan dan Islam (3).
Adapun harta yang diperoleh dari uang (seperti gaji dan upah, bonus, dan pendapatan dari pemilik profesi bebas seperti dokter, insinyur, pengacara, dan lainnya, atau pendapatan dari modal, yang tetap: seperti bangunan tempat tinggal komersial, pabrik, dan hotel: dan yang tidak tetap: seperti mobil, pesawat, dan lain-lain), mayoritas ulama berpendapat dalam semua ini bahwa disyaratkan berlalunya satu tahun. Abu Hanifah berkata: yang diperoleh ditambahkan ke uang yang ada padanya di tahun itu, maka keduanya dizakati bersamaan, ketika genap satu tahun dari harta yang ada padanya, kecuali jika yang diperoleh adalah pengganti dari harta yang dizakati (4).
Dan sahih dari sebagian sahabat bahwa ada perbedaan pendapat dalam hal itu, mereka mewajibkan zakat atas harta yang diperoleh ketika diterima, tanpa mensyaratkan berlalunya satu tahun.
Dan kita akan kembali untuk merinci pendapat dalam masalah ini ketika kita membahas tentang zakat “penghasilan kerja dan profesi bebas” di bab kesembilan dari kitab ini.
3 – Bebas dari Hutang: Disyaratkan bahwa nishab uang yang wajib dizakati harus bebas dari hutang, sehingga hutang tidak menghabiskan nishab atau menguranginya. Dan kami telah menjelaskan hal itu di bab pertama dari kitab ini, dan kami telah menyebutkan dalil-dalilnya di sana.
Dan hutang yang mencegah wajibnya zakat menurut Hanafiyah adalah hutang yang memiliki penagih dari pihak
(1) – Ad-Durr al-Mukhtar, dan hasyiyahnya Radd al-Muhtar jilid 2 hal. 45.
(2) – Telah disebutkan: bahwa hadits itu lemah dan kita akan membahasnya secara rinci di bab kesembilan.
(3) – Al-Mughni – beserta penjelasannya – jilid 2 hal. 499.
(4) – Ibid hal. 497.