Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Deskripsi Masalah
Khulu’ adalah proses pembubaran ikatan pernikahan atas permintaan istri dengan memberikan tebusan (iwadh) kepada suami sebagai ganti rugi. Biasanya, tebusan berupa uang atau barang berharga, tetapi dalam kasus tertentu, tebusan tersebut dapat berupa sesuatu yang bernilai lain, seperti donor darah .Hal ini memicu pada suatu persoalan karena adanya syarat yang diajukan berupa sesuatu yang tidak lazim dalam khulu’, yaitu menjadikan donor darah sebagai bentuk tebusan. :
Pertanyaan
Apakah sah secara syariat jika khulu’ dilakukan dengan syarat tebusan (iwadh) berupa donor darah, mengingat tebusan tersebut tidak lazim ?
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Jawaban:
Khulu’ adalah perceraian atas permintaan istri dengan kompensasi yang diberikan kepada suami. Dalam kasus khulu’ dengan kompensasi berupa donor darah, hukumnya perlu ditinjau dari perspektif syariat terkait pengganti (al-‘iwaḍ) dalam khulu’.
1. Syarat Sah Pengganti (al-‘Iwaḍ) dalam Khulu’:
Para ulama sepakat bahwa pengganti dalam khulu’ harus memenuhi beberapa kriteria:
Bernilai (mutaqawwim): Sesuatu yang dianggap bernilai menurut syariat.
Diketahui secara jelas (ma‘lum): Jenis, jumlah, dan sifatnya diketahui oleh kedua pihak.
Halal: Tidak termasuk barang atau perbuatan yang diharamkan.
Dapat diserahkan (qudrat ‘alā al-taslīm): Sesuatu yang dapat diserahterimakan.
Dalam Kitab Tuhfatul Fuqaha’ (Al-Samarqandi, Juz 2, hal. 201) dinyatakan bahwa:
“Segala sesuatu yang tidak boleh dijadikan mahar karena keharamannya, seperti khamar, babi, bangkai, darah, atau orang merdeka, juga tidak boleh dijadikan sebagai pengganti (al-‘iwaḍ) dalam khulu’.”
2. Hukum Donor Darah sebagai Pengganti dalam Khulu’:
Darah Tidak Bernilai dalam Syariat:
Dalam pandangan fiqih, darah tidak dianggap sebagai sesuatu yang bernilai (mutaqawwim), kecuali dalam keadaan darurat medis, seperti transfusi darah, walaupun memiliki nilai yang sangat tinggi bagi kehidupan manusia, namun tidak memiliki harga pasar yang pasti. Oleh karenanya, donor darah secara umum tidak termasuk harta yang sah sebagai kompensasi dalam khulu’.
Talak Tetap Sah, tetapi Syaratnya Batal:
Jika kompensasi yang disepakati adalah donor darah, maka:
Talak tetap terjadi sebagai talak bain (tidak dapat dirujuk).
Kompensasi berupa donor darah dianggap batal, karena tidak sah menurut syariat. Oleh sebab itu, istri tidak wajib melaksanakan kompensasi tersebut.
3. Pendapat Ulama Terkait Khulu’ dengan Pengganti yang Tidak Bernilai:
Dalam Kitab Kifayah al-Akhyar (Taqiyuddin al-Husni, hal. 384):
> “Apabila khulu’ dilakukan dengan pengganti yang tidak bernilai (misalnya darah), maka khulu’ tetap sah sebagai talak bain. Namun, tidak ada kewajiban bagi istri untuk menyerahkan pengganti tersebut, karena syaratnya tidak sah.”
Dalam Syarh al-Yaqut al-Nafis (Juz 2, hal. 612):
> “Jika khulu’ dilakukan dengan syarat menyerahkan sesuatu yang tidak bernilai (seperti darah), maka talaknya hanya menjadi talak raj‘i jika belum ada dua talak sebelumnya.”
Kesimpulan:
1. Khulu’ tidak sah krn syarat donor darah sebagai kompensasi tidak sah dalam pandangan syariat.
2. Karena darah tidak dianggap sebagai sesuatu yang bernilai, maka istri tidak wajib melaksanakan syarat tersebut, dan tidak ada kewajiban untuk menggantinya.
3. Sebaiknya, kompensasi dalam khulu’ diganti dengan sesuatu yang sesuai syariat, seperti uang atau harta benda yang memiliki nilai.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Referensi
المكتبة الشاملة
كتاب تحفة الفقهاء
[علاء الدين السمرقندي]ج ٢ص٢٠١
ثمَّ الْخلْع جَائِز بِكُل بدل يصلح مهْرا وَيلْزم الْمَرْأَة أَدَاؤُهُ إِلَى الزَّوْج
وَمَا ذكرنَا فِي الْمهْر أَن الزَّوْج فِيهِ بِالْخِيَارِ بَين أَن يُعْطي عينه أَو قِيمَته فَفِي الْخلْع الْمَرْأَة بِالْخِيَارِ كَمَا فِي العَبْد الْوسط وَنَحْوه
وكل مَا لَا يجوز أَن يكون مهْرا لِحُرْمَتِهِ كَالْخمرِ وَالْخِنْزِير وَالْميتَة وَالدَّم وَالْحر لَا يجوز أَن يكون بَدَلا فِي الْخلْع
لَكِن إِذا قبل الزَّوْج ذَلِك فِي الْخلْع تقع الْفرْقَة بَينهمَا وَلَا شَيْء على الْمَرْأَة من الْخلْع وَلَا يجب عَلَيْهَا أَن ترد من مهرهَا شَيْئا لِأَن هَذِه الْأَشْيَاء لَا تصلح عوضا فِي حق الْمُسلمين وَالزَّوْج رَضِي بِمَا لَا قيمَة لَهُ والبضع فِي حَال الْخُرُوج عَن ملكه لَا قيمَة لَهُ حَتَّى تجب الْقيمَة فَلَا يرجع عَلَيْهَا بِشَيْء بِخِلَاف النِّكَاح فَإِن ثمَّة يجب مهر الْمثل لِأَن الْبضْع مُتَقَوّم فِي حَال الدُّخُول فِي ملك الزَّوْج
ثمَّ الطَّلَاق على المَال وَالْخلْع فِي الْأَحْكَام سَوَاء إِلَّا فِي فصل وَاحِد وَهُوَ أَن الْخلْع مَتى وَقع على عوض لَا قيمَة لَهُ لَا يجب الْعِوَض وَلَا قيمَة الْبضْع وَيكون الطَّلَاق بَائِنا لِأَن الْخلْع من كنايات الطَّلَاق وَأما الطَّلَاق بعوض لَا قيمَة لَهُ إِذا بَطل الْعِوَض فالطلاق يكون رَجْعِيًا لِأَن صَرِيح الطَّلَاق يكون رَجْعِيًا
وَإِنَّمَا ثبتَتْ الْبَيْنُونَة لأجل الْعِوَض فَإِذا بَطل الْعِوَض بَقِي مُجَرّد صَرِيح الطَّلَاق فَيكون رَجْعِيًا
Kemudian khulu‘ (talak tebus) itu diperbolehkan dengan segala bentuk tebusan yang sah dijadikan mahar, dan wajib bagi perempuan menyerahkan tebusan tersebut kepada suaminya.
Apa yang telah disebutkan mengenai mahar bahwa suami memiliki pilihan antara memberikan barangnya atau nilainya, maka dalam khulu‘, perempuan memiliki pilihan, seperti halnya dalam masalah budak yang menengah dan yang sejenisnya.
Semua hal yang tidak boleh dijadikan mahar karena keharamannya, seperti khamar, babi, bangkai, darah, dan orang yang merdeka, juga tidak boleh dijadikan sebagai tebusan dalam khulu‘.
Namun, jika suami menerima barang-barang tersebut dalam khulu‘, maka perpisahan antara keduanya tetap sah, tetapi tidak ada kewajiban bagi perempuan untuk menyerahkan sesuatu pun sebagai tebusan khulu‘, dan ia tidak harus mengembalikan apa pun dari maharnya. Sebab, barang-barang tersebut tidak sah dijadikan pengganti menurut hukum Islam, dan suami telah rela menerima sesuatu yang tidak memiliki nilai, sedangkan hak suami atas hubungan pernikahan tersebut dalam keadaan keluar dari kepemilikannya tidak memiliki nilai hingga mengharuskan penggantian. Maka dari itu, suami tidak dapat meminta kembali apa pun, berbeda dengan nikah (biasa), di mana dalam nikah diwajibkan mahar yang sebanding (mahar mitsil), karena hak atas hubungan tersebut dianggap memiliki nilai ketika berada dalam kepemilikan suami.
Kemudian, antara talak dengan tebusan (khulu‘) dalam hukum-hukum syariat itu sama, kecuali dalam satu rincian saja, yaitu apabila khulu‘ terjadi dengan tebusan yang tidak memiliki nilai, maka tidak wajib mengganti tebusan tersebut, dan tidak ada kewajiban membayar nilai dari hubungan pernikahan tersebut. Talak tersebut tetap dianggap sebagai talak bain (tidak bisa dirujuk kembali). Hal ini karena khulu‘ termasuk kiasan talak.
Adapun talak dengan tebusan yang tidak memiliki nilai, jika tebusan tersebut batal, maka talaknya menjadi talak raj‘i (dapat dirujuk kembali). Hal ini karena talak yang diucapkan secara tegas (sharih) statusnya raj‘i.
Sesungguhnya, bain-nya status dalam khulu‘ ditetapkan karena adanya tebusan. Jika tebusan itu batal, maka yang tersisa hanyalah talak yang diucapkan secara tegas, sehingga statusnya menjadi talak raj‘i.
كفاية الأخيار في حل غاية الاختصار — تقي الدين الحصني، ص ٣٨٤*
`وضابطه أَن كل مَا جَازَ أَن يكون صَدَاقا جَازَ أَن يكون عوضا فِي الْخلْع` لعُمُوم قَوْله تَعَالَى {فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ} وَلِأَنَّهُ عقد على بضع فَأشبه النِّكَاح وَيشْتَرط فِي عوض الْخلْع أَن يكون مَعْلُوما متمولاً مَعَ سَائِر شُرُوط الأعواض كالقدرة على التَّسْلِيم واستقرار الْملك وَغير ذَلِك لِأَن الْخلْع عقد مُعَاوضَة فَأشبه البيع وَالصَّدَاق وَهَذَا صَحِيح فِي الْخلْع الصَّحِيح — الى أن قال — `وَاعْلَم أَن الْخلْع على مَا لَيْسَ بِمَال وَلَكِن قد يقْصد يَقع بِهِ الطَّلَاق بَائِنا بِمهْر الْمثل كَمَا لَو خَالعهَا على خمر أَو حر أَو مَغْصُوب بِخِلَاف مَا لَو خَالعهَا على دم فَإِنَّهُ يَقع الطَّلَاق رَجْعِيًا وَفرق بِأَن الدَّم لَا يقْصد بِحَال فَكَأَنَّهُ لم يطْمع فِي شَيْء وَالْخلْع على الْميتَة كَالْخمرِ لَا كَالدَّمِ لِأَنَّهَا قد تقصد للضَّرُورَة والجوارح.`
*شرح الياقوت النفيس، ج ٢ ص ٦١٢*
شروط العوض اربعة : كونه مقصودا ويشبه الفقهاء العوض الذي لا يقصد بالدم `فلو خالعها على ان تعطيه ملء فنجان دما لا ينعقد خلعا، وانما يكون طلاق رجعيا ان لم يسبقه طلقتان` لكن اليوم اصبح دم الادمي مقصودا ويحقن به الشخص ولكننا نمثل بالعوض الذي لا يقصد بالحشرات ويسمونه عوضا فاسدا غير مقصود وهناك عوض فاسد مقصود مثل الخمر فيقع الخلع وله عليها مهر المثل.
Kifāyah al-Akhyār fī Ḥall Ghayah al-Ikhtiṣār — Taqiyuddin al-Ḥuṣni, hal. 384
“Ketentuan tentang apa yang boleh dijadikan sebagai pengganti (al-‘iwaḍ) dalam khulu‘”:
Setiap sesuatu yang boleh dijadikan mahar (ṣadāq) juga boleh dijadikan sebagai pengganti (al-‘iwaḍ) dalam khulu‘, sesuai dengan keumuman firman Allah Ta’ala:
“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang tebusan yang diberikan oleh pihak istri” (QS. Al-Baqarah: 229).
Selain itu, khulu‘ adalah akad yang berhubungan dengan kehalalan hubungan suami istri, sehingga hukumnya menyerupai pernikahan.
Disyaratkan dalam pengganti (al-‘iwaḍ) pada khulu‘ agar:
1. Sesuatu yang diketahui.
2. Sesuatu yang bernilai (mutaqawwim).
3. Memenuhi syarat-syarat lain seperti mampu diserahkan (qudrat ‘alā al-taslīm), kepemilikan yang sah, dan sebagainya.
Hal ini karena khulu‘ adalah akad yang bersifat pertukaran (‘aqd mu‘āwaḍah), sehingga hukumnya menyerupai jual-beli dan mahar.
Ketentuan ini berlaku untuk khulu‘ yang sahih. Namun, bila khulu‘ dilakukan dengan pengganti yang tidak sah (bukan harta yang bernilai), seperti khulu‘ atas khamr, budak yang merdeka, atau barang yang dirampas, maka tetap terjadi khulu‘, tetapi talak yang terjadi adalah talak bain dengan mahar mitsil (mahar yang setara).
Namun, jika khulu‘ dilakukan dengan pengganti berupa darah (dam), maka yang terjadi adalah talak raj‘i (talak yang dapat dirujuk), bukan talak bain. Perbedaannya, darah tidak memiliki tujuan tertentu (tidak bernilai) dalam segala keadaan, sehingga dianggap seolah-olah suami tidak mengharapkan apa pun dari khulu‘ tersebut.
Adapun khulu‘ atas bangkai (maytah) disamakan hukumnya dengan khamr, bukan darah. Sebab, bangkai terkadang dianggap bernilai dalam keadaan darurat atau kebutuhan tertentu, sedangkan darah tidak pernah dianggap demikian.
Syarḥ al-Yāqūt al-Nafīs, jilid 2, hal. 612
“Syarat-syarat pengganti (al-‘iwaḍ) dalam khulu‘”:
Ada empat syarat pengganti:
1. Sesuatu yang memiliki tujuan (maqsūd).
Para ahli fiqih membandingkan pengganti yang tidak memiliki tujuan dengan darah. Misalnya, jika seorang suami melakukan khulu‘ dengan pengganti berupa “mengisi secangkir darah,” maka khulu‘ tersebut tidak sah sebagai khulu‘, melainkan hanya menjadi talak raj‘i, jika belum ada dua talak sebelumnya.
Namun, dalam konteks saat ini, darah manusia sudah dianggap bernilai karena bisa digunakan untuk transfusi darah namun bukan secara umum. Oleh karena itu, perumpamaan “pengganti yang tidak bernilai” diganti dengan benda lain, seperti serangga, yang disebut “pengganti rusak dan tidak bernilai.”
Ada juga pengganti yang rusak tetapi memiliki nilai (maqsūd), seperti khamr (minuman keras). Dalam kasus ini, khulu‘ tidak sah, tetapi istri tetap memiliki kewajiban untuk membayar mahar mitsil (mahar yang setara).Wallahu a’lam bish-shawab