DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Hukum Melanggar Sumpah untuk Tidak Menikah Lagi

bersumpah tidak menikah lagi

 

Assalamualaikum

Deskripsi/Latar Belakang:

Dalam kehidupan rumah tangga, terkadang seorang istri yang sangat mencintai suaminya berjanji atau bahkan bersumpah untuk tidak menikah lagi jika suaminya meninggal dunia. Sumpah semacam ini bisa diucapkan karena rasa kesetiaan, kesedihan mendalam, atau faktor emosional lainnya. Namun, seiring berjalannya waktu, keadaan bisa berubah. Kehidupan sosial, ekonomi, serta kebutuhan emosional dan spiritual dapat mendorongnya untuk mempertimbangkan kembali keputusan tersebut,akhirnya ia memilih untuk menikah lagi,dengan seorang laki-laki.

  1. Apakah dengan melanggar sumpah tersebut, ia berdosa dan wajib membayar kafarat sebagai bentuk tebusan?
  2. Bagaimana pandangan Islam terhadap sumpah yang kemudian dilanggar karena perubahan kondisi?
Jawaban

Dalam kehidupan rumah tangga, seorang istri mungkin bersumpah untuk tidak menikah lagi setelah suaminya meninggal, baik karena rasa cinta, kesetiaan, atau faktor emosional lainnya. Namun, seiring waktu, keadaan bisa berubah, dan ia mungkin mempertimbangkan kembali keputusannya.

  1. Syarat Keabsahan Sumpah

Menurut Fathul Mu’in (hlm. 150), sumpah yang sah adalah yang diucapkan dengan nama Allah atau salah satu sifat-Nya:

لاَ يَنْعَقِدُ اليَمِيْنُ إلاَّ بِاسْمٍ خَاصٍ بِاللهِ تَعاَلىَ أو صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، كَوَاللهِ وَالرَّحمَنِ وَالإلَهِ وَرَبِّ العَالَمِيْنَ وَخاَلِقِ الخَلْقِ…

“Sumpah tidak sah kecuali dengan nama khusus bagi Allah Ta’ala atau salah satu sifat-Nya, seperti ‘Demi Allah’, ‘Ar-Rahman’, ‘Al-Ilah’, ‘Rabbul ‘Alamin’, dan ‘Khalikul Khalq’…”

Jika seorang istri bersumpah untuk tidak menikah lagi dengan menyebut nama Allah atau sifat-Nya, maka sumpah tersebut sah.

  1. Konsekuensi Melanggar Sumpah

Dalam kitab yang sama disebutkan:

وَلَوْ حَلَفَ فيِ تَرْك وَاجِبٍ أو فِعْلِ حَرِامٍ عَصَى وَلَزِمَهُ حَنَثٌ وَكَفَّارَةٌ أوْ تَرْكِ مُسْتَحَبٍّ أوْ فِعْلِ مَكْرُوهٍ سُنَّ حَنَثُهُ، وَعَلَيْهِ كَفاَّرَةٌ…

“Jika seseorang bersumpah untuk meninggalkan sesuatu yang wajib atau melakukan sesuatu yang haram, maka ia berdosa dan wajib melanggar sumpahnya serta membayar kafarat. Jika ia bersumpah untuk meninggalkan sesuatu yang sunnah atau melakukan sesuatu yang makruh, maka dianjurkan baginya untuk melanggar sumpahnya dan wajib membayar kafarat.”

Menikah setelah suami meninggal adalah sesuatu yang mubah (boleh). Jika seseorang bersumpah untuk meninggalkan sesuatu yang mubah, maka menurut syariat, yang lebih utama adalah tetap memegang sumpahnya, tetapi jika melanggarnya, ia wajib membayar kafarat.

  1. Kafarat Sumpah

Berdasarkan hukum kafarat dalam Islam, ia harus memilih salah satu dari tiga hal berikut:

Membebaskan seorang budak mukmin. Memberi makan 10 orang miskin (masing-masing satu mud makanan pokok). Memberikan pakaian kepada 10 orang miskin.

Jika tidak mampu melakukan salah satu dari tiga hal di atas, maka wajib berpuasa selama tiga hari.

  1. Jika Sumpah Tidak Menggunakan Nama Allah

Menurut I’anatut Thalibin (4/359):

وَلَوْ قَالَ إنْ فَعَلْتَ كَذَا فَأناَ يَهُودِيٌّ أوْ نَصْرَانِيٌّ فَلَيْسَ بِيَمِيْنٍ ِلانْتِفَاءِ اسْمِ اللهِ أوْ صِفَتِهِ وَلاَ كَفاَّرَةَ وَإنْ حَنَثَ

“Jika seseorang berkata, ‘Jika aku melakukan ini, maka aku adalah seorang Yahudi atau Nasrani,’ maka itu bukanlah sumpah, karena tidak terdapat di dalamnya nama Allah atau sifat-Nya, dan tidak ada kafarat baginya meskipun ia melanggarnya.”

Jika seorang istri bersumpah untuk tidak menikah lagi tanpa menyebut nama Allah atau sifat-Nya, maka sumpah tersebut tidak sah, sehingga tidak ada kewajiban kafarat. Namun, tetap dianjurkan baginya untuk beristighfar karena ucapan sumpah tersebut.

Kesimpulan
  1. Jika sumpah diucapkan dengan nama Allah atau sifat-Nya, lalu ia menikah lagi, maka ia wajib membayar kafarat.
  2. Jika sumpah diucapkan tanpa menyebut nama Allah atau sifat-Nya, maka sumpah tersebut tidak mengikat, dan tidak wajib kafarat, tetapi dianjurkan untuk beristighfar.
  3. Menikah setelah kematian suami adalah perkara mubah, sehingga tidak berdosa jika sumpah tersebut dilanggar dengan membayar kafarat sesuai ketentuan syariat.

(فتح المعين، 150)

لاَ يَنْعَقِدُ اليَمِيْنُ إلاَّ بِاسْمٍ خَاصٍ بِاللهِ تَعاَلىَ أو صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ، كَوَاللهِ وَالرَّحمَنِ وَالإلَهِ وَرَبِّ العَالَمِيْنَ وَخاَلِقِ الخَلْقِ-إلى أنْ قال-وَلَوْ حَلَفَ فيِ تَرْك وَاجِبٍ أو فِعْلِ حَرِامٍ عَصَى وَلَزِمَهُ حَنَثٌ وَكَفَّارَةٌ أوْ تَرْكِ مُسْتَحَبٍّ أوْ فِعْلِ مَكْرُوهٍ سُنَّ حَنَثُهُ، وَعَلَيْهِ كَفاَّرَةٌ أوْ عَلىَ تَرْكِ مُباَحٍ أوْ فِعْلِهِ كَدُخُولِ دَارٍ أوْ أكْلِ طَعَامٍ كَلاَ آكُلُهُ أنَا فَالأفْضَلُ تَرْكُ الحَنَثِ إبْقَاءً لِتَعْظِيْمِ الإسْمِ. اهـ .

(حاشية الشرقاوي، 2/480)

قَوْلُهُ (وَيَقْطَعُ حُكْمُ اليَمِيْنِ بِانْحِلاَلِهَا) كَأنْ وُقِّتَ حَلَفًا بِمُدَّةٍ وَانْقَضَتْ أوْ بَرَّ فيِ يَمِيْنِهِ أوْ حَنَثَ فِيْهاَ أوْ إسْتَحَالَ البَرَّ كَحَلْفِهِ عَلىَ شُرْبِ مَاءِ هَذاَ الكُوزِ فَانْصَبَّ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِ. اهـ .

(إعانة الطالبين، 4/359)

وَلَوْ قَالَ إنْ فَعَلْتَ كَذَا فَأناَ يَهُودِيٌّ أوْ نَصْرَانِيٌّ فَلَيْسَ بِيَمِيْنٍ ِلانْتِفَاءِ اسْمِ اللهِ أوْ صِفَتِهِ وَلاَ كَفاَّرَةَ وَإنْ حَنَثَ. نَعَمْ يَحْرُمُ ذَلِكَ كَغَيْرِهِ وَلاَ يَكْفُرُ، بَلْ إنْ قَصَدَ تَبْعِيْدَ نَفْسِهِ عَنِ المَخْلُوفِ أوْ أطْلَقَ حَرُمَ وَيَلْزَمُهُ التَّوْبَةُ. فَإنْ عَلَّقَ أوْ أرَادَ الرِّضاَ بِذَلِكَ إنْ فَعَلَ كَفَرَ حَالاً، وَحَيْثُ لَمْ يَكْفُرْ سُنَّ لَهُ أنْ يَسْتَغْفِرَ اللهَ تَعَالىَ وَيَقُولَ لاَ إلَهَ إلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ. اهـ

(Fathul Mu’in, hlm. 150) Sumpah tidak sah kecuali dengan nama khusus bagi Allah Ta’ala atau salah satu sifat-Nya, seperti “Demi Allah”, “Ar-Rahman”, “Al-Ilah”, “Rabbul ‘Alamin”, dan “Khalikul Khalq”. – Hingga disebutkan – Jika seseorang bersumpah untuk meninggalkan sesuatu yang wajib atau melakukan sesuatu yang haram, maka ia berdosa dan wajib melanggar sumpahnya serta membayar kafarat. Jika ia bersumpah untuk meninggalkan sesuatu yang sunnah atau melakukan sesuatu yang makruh, maka dianjurkan baginya untuk melanggar sumpahnya dan wajib membayar kafarat. Sedangkan jika ia bersumpah untuk meninggalkan sesuatu yang mubah atau melakukannya, seperti memasuki suatu rumah atau memakan suatu makanan, misalnya berkata, “Saya tidak akan memakannya,” maka yang lebih utama adalah tidak melanggar sumpah tersebut demi menjaga keagungan nama Allah. (Selesai)

(Hasyiyah Asy-Syarqawi, 2/480) Ucapan beliau (Dan hukum sumpah terputus dengan berakhirnya sumpah tersebut), misalnya jika sumpah dibatasi dengan waktu tertentu lalu waktu tersebut telah berlalu, atau jika seseorang memenuhi sumpahnya, atau jika ia melanggarnya, atau jika tidak mungkin lagi untuk memenuhi sumpahnya, seperti seseorang yang bersumpah akan meminum air dari gelas ini, lalu air tersebut tumpah tanpa disengaja. (Selesai)

(I’anatut Thalibin, 4/359) Jika seseorang berkata, “Jika aku melakukan ini, maka aku adalah seorang Yahudi atau Nasrani,” maka itu bukanlah sumpah, karena tidak terdapat di dalamnya nama Allah atau sifat-Nya, dan tidak ada kafarat baginya meskipun ia melanggarnya. Namun, hal tersebut tetap diharamkan sebagaimana hal lainnya. Ia tidak menjadi kafir, tetapi jika ia berniat menjauhkan dirinya dari orang yang disebutkan (Yahudi atau Nasrani), atau ia mengatakannya secara mutlak, maka itu haram dan ia wajib bertobat. Jika ia menggantungkan sumpahnya dengan itu atau ia rela menjadi Yahudi atau Nasrani jika melakukan perbuatannya, maka ia menjadi kafir saat itu juga. Dan selama ia tidak menjadi kafir, disunnahkan baginya untuk memohon ampun kepada Allah Ta’ala dan mengucapkan, “Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah.” (Selesai)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM

Ketik Pencarian