DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Hukum Istri Mengambil Uang Suami Tanpa Izin: Antara Hak dan Larangan dalam Islam

Hukum Istri Mengambil Uang Suami Tanpa Izin: Antara Hak dan Larangan dalam Islam

Assalamualaikum 

Deskripsi masalah.

Sebagaimana yang kita maklumi terkadang dalam kehidupan PASUTRI ( pasangan suami Istri ) istri mata duwitan sehingga diam-diam dia mengambil uang suami tanpa seidzinya ( suami ) sedangkan suami sudah menafkahi sebagaimana layaknya ( sesuai dengan kemampuannya ).

Pertanyaan.

Apakah istri termasuk korupsi dan berdosa dengan mengambil uang tanpa seidzin suami tersebut ? Mohon jawabannya sebagai tambahan ilmu Kiyai ?

Waalaikum salam 

Jawaban

Dalam Islam, mengambil harta orang lain tanpa izin merupakan tindakan yang dilarang, kecuali dalam kondisi tertentu yang dibenarkan syariat. Dalam kasus seorang istri yang mengambil uang suami tanpa izin, hukumnya tergantung pada beberapa faktor:

1. Jika Suami Tidak Mencukupi Nafkah Istri

Jika suami tidak memberikan nafkah yang cukup untuk kebutuhan dasar istri dan keluarganya, istri diperbolehkan mengambil secukupnya dari harta suami tanpa izinnya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha:

هِنْدٌ بِنْتُ عُتْبَةَ قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ، وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي، إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْ مَالِهِ بِغَيْرِ عِلْمِهِ، فَهَلْ عَلَيَّ فِي ذَلِكَ مِنْ جُنَاحٍ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ

Hindun binti ‘Utbah berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang pelit. Dia tidak memberiku nafkah yang cukup untukku dan anakku, kecuali jika aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah aku berdosa karena itu?

Rasulullah ﷺ menjawab: Ambillah dari hartanya dengan cara yang baik, sekadar untuk mencukupi kebutuhanmu dan anakmu.

(HR. Bukhari No. 5364 dan Muslim No. 1714)

Dari hadits ini, para ulama memahami bahwa seorang istri boleh mengambil harta suami tanpa izin hanya jika suami tidak mencukupi kebutuhan nafkahnya, dan itupun harus dalam jumlah yang wajar.

بغية المسترشدين ص ٢٤٢

منع الزوج أو القريب من تسليم المؤن الواجبة عليه أو سافر ولم يخلف منفقا ، جاز لزوجته وقريبه أخذها من ماله ولو بغير إذن الحاكم ، كما أن للأم وإن علت أن تأخذ للطفل من مال أبيه الممتنع أو الغائب أيضا ، لكن يتعين الأخذ من جنس الواجب فيهما إن وجد ، فإن لم يكن له مال أنفقت الأم من مالها ، أو اقترضت ورجعت على الطفل أو على من لزمته نفقته إن أذن القاضي لها في ذلك ، أو أشهدت على نية الرجوع عند فقده وإلا فلا رجوع وإن تعذر الإشهاد على الأوجه لندرته ، وكالأم فيما ذكر بقيده قريب محتاج وجد لطفل غاب أبوه أو امتنع ـ اهـ

(Bughiyatul Mustarsyidin, halaman 242)

Jika seorang suami atau kerabat menahan diri dari memberikan nafkah yang wajib atasnya atau melakukan safar (perjalanan) tanpa meninggalkan seseorang yang bertanggung jawab untuk menafkahi, maka diperbolehkan bagi istrinya atau kerabatnya untuk mengambil nafkah dari hartanya, meskipun tanpa izin hakim. Demikian pula, seorang ibu—baik ibu kandung maupun nenek—diperbolehkan mengambil harta ayah anaknya yang enggan memberi nafkah atau sedang bepergian, namun dengan syarat mengambil dalam bentuk yang sesuai dengan nafkah yang wajib diberikan, jika hartanya ada.

Apabila sang ayah tidak memiliki harta, maka ibu boleh menafkahi anaknya dari hartanya sendiri, atau berhutang dan nantinya menagih kepada anak atau kepada pihak yang wajib menafkahinya, dengan syarat mendapatkan izin dari hakim atau dengan bersaksi atas niat untuk menagih kembali ketika tidak ada hakim. Jika tidak ada izin hakim atau kesaksian, maka tidak ada hak untuk menagih kembali, kecuali dalam keadaan yang sangat sulit hingga tidak mungkin mendapatkan kesaksian.

Ketentuan ini juga berlaku bagi kerabat miskin yang mengasuh seorang anak yang ayahnya tidak ada atau menolak memberikan nafkah.

2. Jika Suami Sudah Mencukupi Nafkah

Jika suami sudah memenuhi kewajiban nafkahnya sesuai kemampuan, maka istri tidak boleh mengambil uang suami tanpa izin. Hal ini termasuk dalam kategori hianat karena tidak bisa menjaga harta suami  bahkan bisa menjadi ghasab (mengambil hak orang lain secara tidak sah), yang hukumnya haram.

Allah berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ

Dan janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil.

(QS. Al-Baqarah: 188)

Dalam fiqih Islam, mengambil sesuatu tanpa izin pemiliknya merupakan tindakan yang melanggar hak, kecuali ada alasan syar’i yang membolehkannya.

3. Apakah Ini Termasuk Korupsi?

Dalam konteks fiqih, korupsi (ghulul) umumnya terkait dengan penyalahgunaan amanah dalam jabatan publik. Namun, tindakan istri yang mengambil uang suami tanpa izin lebih dekat pada hianat  dengan ghasab dan hukumnya haram jika suami sudah memberikan nafkah yang cukup.

Jika istri melakukannya dengan sengaja dan berulang-ulang tanpa keperluan mendesak, maka ini termasuk dosa. Rasulullah ﷺ bersabda:

لَا يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا عَنْ طِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ

Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan darinya.

(HR. Ahmad No. 20172, dishahihkan oleh al-Albani)

Kesimpulan Jika suami tidak memberikan nafkah yang cukup, istri boleh mengambil secukupnya tanpa izin, sebagaimana hadits Hindun binti ‘Utbah. Jika suami sudah menafkahi sesuai kemampuannya, istri tidak boleh mengambil uangnya tanpa izin. Ini termasuk ghasab dan hukumnya haram. Jika istri melakukannya secara terus-menerus, maka ia berdosa dan wajib bertaubat serta meminta maaf kepada suami.

(مرقاة صعود التصديق، ص ٧٥-٧٦).

والخيانة وهي ضد النصيحة فتشمل أي الخيانة الأفعال والأقوال والأحوال وقد يقال دلالة الحال أقوى من دلالة المقال قال الفيومي في المصباح وفرق العلماء بين الخائن والسارق والغاصب بأن الخائن هو الذي خان ما جعل عليه أمينًا والسارق من أخذ خفية من موضع كان ممنوعًا من الوصول إليه وربما قيل كل سارق خائن دون عكسه والغاصب من أخذ جهارًا معتدًا على قوته اهـ

(Sumber: Mirqāh Ṣu‘ūd at-Taṣdīq, hlm. 75-76).

Pengkhianatan adalah lawan dari nasihat, mencakup segala bentuk pengkhianatan baik dalam perbuatan, perkataan, maupun keadaan. Dikatakan bahwa indikasi keadaan (perbuatan) lebih kuat daripada indikasi ucapan.

Al-Fiymi dalam al-Mishbah menyebutkan bahwa para ulama membedakan antara pengkhianat, pencuri, dan perampas. Pengkhianat adalah orang yang berkhianat terhadap sesuatu yang ia dipercayakan untuk menjaganya.

Sedangkan pencuri adalah orang yang mengambil sesuatu secara diam-diam dari tempat yang dilarang untuk dimasuki.

Mungkin ada yang mengatakan bahwa setiap pencuri adalah pengkhianat, tetapi tidak setiap pengkhianat adalah pencuri.

Adapun perampas (ghashib) adalah orang yang mengambil sesuatu secara terang-terangan dengan menggunakan kekuatan 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM

Ketik Pencarian