Kategori
Hukum

Hukum Libur Siswa di Tahun Baru

 

Assalamualaikum
Deskripsi masalah sebagaimana ibarat berikut:

يحرم على المسلمين التشبه بالكفار بإقامة الحفلات بهذه المناسبة، أو تبادل الهدايا أو توزيع الحلوى، أو أطباق الطعام، أو تعطيل الأعمال ونحو ذلك، لقول النبي صلى الله عليه وسلم: “من تشبه بقوم فهو منهم”.

Haram bagi Muslim untuk meniru orang-orang kafir dengan mengadakan perayaan pada kesempatan seperti itu, atau bertukar hadiah atau membagikan permen, atau menyajikan makanan, atau menangguhkan pekerjaan, dan semacamnya, karena Nabi saw bersabda: “Barangsiapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka.”

Pertanyaanya:

Bagaimana hukumnya dengan siswa yg ikut libur pass tahun baru, karena setiap tahun baru kalender pasti tanggalnya merah🙏🏻🙏🏻

Waalaikum salam
jawaban

Libur pada tanggal merah saat Tahun Baru Masehi bukanlah sesuatu yang secara khusus dimaksudkan untuk merayakan perayaan agama tertentu, melainkan merupakan kebijakan pemerintah sebagai hari libur nasional. Oleh karena itu, hukum bagi siswa atau siapa pun yang memanfaatkan hari libur tersebut bukan termasuk dalam kategori tasyabbuh (menyerupai) yang diharamkan, selama niatnya bukan untuk merayakan acara keagamaan atau tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Penjelasan Ulama tentang Tasyabbuh (Menyerupai Orang Kafir)

Tasyabbuh yang dilarang adalah meniru orang kafir dalam hal yang khusus terkait agama atau simbol keagamaan mereka.

Adapun jika sesuatu sudah menjadi bagian dari kebiasaan umum (urf am), seperti libur nasional yang berlaku untuk semua orang tanpa memandang agama, maka hal itu tidak termasuk dalam tasyabbuh yang diharamkan, dan hal itu merupakan kebijakan pemerintah bagi rakyat yang berdasarkan maslahah. Sebagaimana
Dalam kaidah fiqih, disebutkan kaidah:

تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة

Artinya: “Kebijakan imam/pemerintah bagi rakyat harus berdasar maslahah,”

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan:
“Sekadar melakukan suatu perkara yang kebetulan mereka (non-Muslim) juga melakukannya, namun tidak ada maksud untuk menyerupai mereka, maka hal itu tidak termasuk dalam larangan tasyabbuh.” (Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, 1/241)

Oleh karena itu sebagai Rakyat atau bawahan harus mengikuti aturan pemerintah selama bukan hal yang maksiat sebagaimana Referensi ibarat berikut :

بغية المسترشدين ص : ٩١ دار الفكر
(مسألة ك)

يجب امتثال أمر الإمام فى كل ما له فيه ولاية كدفع زكاة المال الظاهر فإن لم تكن له فيه ولاية وهو من الحقوق الواجبة أو المندوبة جاز الدفع إليه والاستقلال بصرفه فى مصارفه وإن كان المأمور به مباحا أو مكروها أو حراما لم يجب امتثال أمره فيه كما قاله م ر وتردد فيه فى التحفة ثم مال إلى الوجوب فى كل ما أمر به الإمام ولو محرما لكن ظاهرا فقط وما عداه إن كان فيه مصلحة عامة وجب ظاهرا وباطنا وإلا فظاهرا فقط أيضا والعبرة فى المندوب والمباح بعقيدة المأمور ومعنى قولهم ظاهرا أنه لا يأثم بعدم الامتثال ومعنى باطنا أنه يأثم اهـ قلت وقال ش ق والحاصل أنه تجب طاعة الإمام فيما أمر به ظاهرا وباطنا مما ليس بحرام أو مكروه فالواجب يتأكد والمندوب يجب وكذا المباح إن كان فيه مصلحة كترك شرب التنباك إذا قلنا بكراهته لأن فيه خسة بذوى الهيآت وقد وقع أن السلطان أمر نائبه بأن ينادى بعدم شرب الناس له فى الأسواق والقهاوى فخالفوه وشربوا فهم العصاة ويحرم شربه الآن امتثالا لأمره ولو أمر الإمام بشىء ثم رجع ولو قبل التلبس به لم يسقط الوجوب اه.

(Masalah K)

Wajib menaati perintah imam dalam segala hal yang ia memiliki wewenang di dalamnya, seperti kewajiban membayar zakat harta yang tampak (zakat al-mal az-zahir). Jika imam tidak memiliki wewenang dalam hal tersebut, tetapi berkaitan dengan hak yang wajib atau sunnah, maka boleh diserahkan kepadanya atau disalurkan secara mandiri ke pos-pos yang semestinya. Jika yang diperintahkan adalah sesuatu yang mubah, makruh, atau haram, maka tidak wajib menaati perintahnya dalam hal tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Imam ar-Ramli. Namun, dalam kitab Tuhfah, terdapat keraguan mengenai hal ini. Kemudian pendapat yang lebih condong adalah wajib menaati imam dalam semua yang ia perintahkan, meskipun haram, tetapi hanya pada perkara yang tampak (zahir). Adapun selainnya, jika terdapat kemaslahatan umum, maka wajib menaati baik secara zahir maupun batin. Jika tidak, maka hanya wajib secara zahir.

Adapun patokan untuk perintah yang sunnah dan mubah adalah berdasarkan keyakinan orang yang diperintah. Makna perkataan mereka “zahir” adalah tidak berdosa jika tidak menaati perintah tersebut. Sedangkan makna “batin” adalah berdosa jika tidak menaati perintah tersebut.

Saya (penulis) berkata: Imam asy-Syarqawi menyatakan bahwa kesimpulannya adalah wajib menaati imam, baik secara zahir maupun batin, dalam perkara yang bukan haram atau makruh. Kewajiban itu semakin ditekankan dalam perkara yang wajib, sedangkan yang sunnah menjadi wajib ditaati, begitu juga yang mubah jika di dalamnya terdapat kemaslahatan. Misalnya, meninggalkan rokok tembakau (tanbak) jika dikatakan makruh karena dianggap merendahkan martabat orang-orang terhormat (dzawil hay’at).

Pernah terjadi, seorang sultan memerintahkan wakilnya untuk mengumumkan larangan merokok di pasar-pasar dan kedai-kedai kopi. Namun, masyarakat melanggarnya dan tetap merokok. Maka mereka dihukumi sebagai orang-orang yang durhaka. Saat ini, merokok menjadi haram sebagai bentuk ketaatan pada perintah imam. Jika imam memerintahkan sesuatu, lalu ia menarik kembali perintah tersebut—meskipun sebelum orang yang diperintah memulai pelaksanaannya—kewajiban untuk menaati perintah itu tidak gugur.

Referensi:

تحفة الأحوذي – (ج ٥ / ص ٢٩٨)
باب ما جاء لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
[١٧٠٧] قوله ( السمع الأولى الأمر بإجابة أقوالهم ( والطاعة ) لأوامرهم وأفعالهم ( على المرء المسلم ) أي حق وواجب عليه ( فيما أحب وكره ) أي فيما وافق غرضه أو خالفه ( ما لم يؤمر ) أي المسلم من قبل الإمام نية تكرة الإحرام دان نكبو أو نتو كوعي بمعصية ) أي بمعصية الله فإن أمر بمعصية فلا سمع عليه ولا طاعة ) يجب بل يحرم إذ لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق وفيه أن الإمام إذا أمر بمنكر أو ما وجب قال الطيبي يعني سمع كلام الحاكم وطاعته واجب على كل مسلم سواء أمر بما يوافق طبعه أو لم يوافقه بشرط أن لا يأمره بمعصية، فإن أمره بها فلا تجوز طاعته، ولكن لا يجوز له محاربة الإمام وقال النووي في شرح مسلم قال جماهير أهل السنة من الفقهاء والمحدثين والمتكلمين لا يعزل الإمام بالفسق والظلم وتعطيل الحقوق ولا يخلع ولا يجوز الخروج عليه بل يجب وعظه وتخويفه بالأحاديث الواردة في ذلك.

Tuhfat al-Ahwadzi – (Juz 5 / Halaman 298)
Bab tentang larangan menaati makhluk dalam kemaksiatan kepada Sang Pencipta.
[1707] Sabda beliau: “(As-Sam’u) yang pertama adalah perintah untuk menaati perkataan mereka (wa ath-tha’ah) dan ketaatan terhadap perintah dan tindakan mereka (ala al-mar’i al-muslim) yaitu kewajiban dan hak yang harus dipenuhi (fima ahabba wa kariha) baik yang sesuai dengan keinginannya maupun yang tidak disukainya (ma lam yu’mar) yakni selama seorang Muslim tidak diperintahkan oleh imam untuk melakukan maksiat kepada Allah. Jika ia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak ada kewajiban mendengar atau menaati, bahkan itu diharamkan. Karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Sang Pencipta. Dalam hal ini, jika seorang imam memerintahkan kemungkaran atau sesuatu yang tidak diwajibkan, Ath-Thibi berkata bahwa mendengar perkataan penguasa dan menaati perintahnya wajib bagi setiap Muslim, baik sesuai dengan keinginannya atau tidak, dengan syarat tidak diperintahkan untuk bermaksiat. Jika ia diperintahkan untuk bermaksiat, maka tidak boleh ditaati. Akan tetapi, tidak diperbolehkan memerangi imam. An-Nawawi berkata dalam syarah Shahih Muslim, bahwa mayoritas ulama Ahlus Sunnah dari kalangan fuqaha, ahli hadis, dan teolog menyatakan bahwa seorang imam tidak boleh dicopot karena kefasikan, kezaliman, atau menelantarkan hak-hak. Tidak diperbolehkan memberontak kepadanya, tetapi wajib menasihatinya dan memperingatkannya dengan hadis-hadis yang berkaitan dengan hal tersebut.

غاية البيا شرح زبد إبن رسلان ج١ ص ١٥
لم يجز في غير محض الكفر خروجنا على ولي الأمر أي يحرم الخروج على ولي الأمر وقتاله باجماع المسلمين لما يترتب على ذلك من فتن وإراقة الدماء وفساد ذات البين فتكون المفسدة في عزله أكثر منها في بقائه ولأننا تحت طاعته في أمره ونهيه ما لم يخالف حكم الشرع وإن كان جائرا قال النووي في شرح مسلم إن الخروج عليهم وقتالهم حرام باجماع المسلمين وإن كانوا فسقه ظالمين اهو هو محمول على الخروج عليهم بلا عذر ولا تأويل وخرج بقول المصنف ولى الأمر مالو طرأ عليه كفر فإنه يخرج عن حكم الولاية وتسقط طاعته ويجب على المسلمين القيام عليه وقتاله ونصب غيره إن أمكنهم ذلك ويمكن أن يستفاد هذا من قوله في غير محض الكفر بجعل ( في ) للتعليل كما في قوله تعالى { لمسكم فيما أفضتم } أي لم يجز لأجل غير محض الكفر خروجنا على ولي الأمر.

“Tidak dibolehkan keluar melawan pemimpin kecuali dalam keadaan kafir yang nyata. Artinya, keluar melawan pemimpin dan memeranginya adalah haram berdasarkan kesepakatan seluruh umat Islam. Hal ini karena akan menimbulkan fitnah, pertumpahan darah, dan kerusakan hubungan antar manusia. Kerusakan yang ditimbulkan akibat menyingkirkannya lebih besar daripada membiarkannya tetap berkuasa. Selain itu, kita berada di bawah ketaatannya dalam perintah dan larangannya selama tidak bertentangan dengan hukum syariah, meskipun ia zalim. Al-Nawawi dalam Syarh Muslim menyatakan bahwa keluar melawan mereka dan memerangi mereka adalah haram berdasarkan kesepakatan seluruh umat Islam, meskipun mereka fasik dan zalim. Kata ‘ahu’ di sini merujuk pada keluar melawan mereka tanpa alasan yang jelas dan tanpa tafsir lain. Kalimat ‘waliul amr malu thara’ alaihi kufr’ yang digunakan oleh penulis berarti apabila seorang pemimpin melakukan kekufuran, maka ia keluar dari kedudukannya sebagai pemimpin dan ketaatan kepadanya gugur. Maka, umat Islam wajib memberontak dan memeranginya serta mengangkat pemimpin lain jika mereka mampu. Hal ini dapat disimpulkan dari kalimat ‘fi ghair mahdhil kufr’ yang menggunakan kata ‘fi’ untuk menunjukkan sebab akibat, seperti dalam firman Allah ‘limaskum fi ma afadtum’. Artinya, tidak dibolehkan keluar melawan pemimpin kecuali dalam keadaan kafir yang nyata.”
Penjelasan Singkat:
Teks di atas menjelaskan tentang hukum keluar melawan pemimpin (pemberontakan) dalam Islam. Intinya adalah:
* Hukum Dasar: Keluar melawan pemimpin adalah haram kecuali jika pemimpin tersebut melakukan kekufuran yang nyata.
* Alasan: Hal ini karena akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar, seperti fitnah, pertumpahan darah, dan kerusakan hubungan sosial.
* Pengecualian: Jika pemimpin melakukan kekufuran yang jelas, maka ketaatan kepadanya gugur dan umat Islam boleh memberontak.

الفتاوى الكبرى الفقهية، ٤/٢٣٨-٢٣٩)
وسئل الإمام شهاب الدين أحمد بن حجر الهيتمي المكي رحمه الله تعالى ورضي عنه، هل يحل اللعب بالقسى الصغار التي لا تنفع، ولا تقتل صيداً، بل أعدت للعب الكفار وأكل الموز الكثير المطبوح بالشكر والباس الصبيان الثياب وإعطاء الأثواب والمصروف لهم فيه إذا كان بينه وبينهم تعلق من كون أحديهما أجيراً للآخر من قبيل تعظيم النيروز ونحوه فإن الكفار صغارهم وكبيرهم وضيعهم ورفيعهم حتى ملوكهم يعتنون بهذا القسى الصغار واللعب بها وبأكل الموز الكثير المطبوح بالشكر اعتناء كثيراً وكذلك بالباس الصبيان الثياب المصفرة وإعطاء الأثواب والمصروف لمن يتعلق بهم وليس لهم في ذلك اليوم عبادة صنم ولا غيره وذلك إذا كان القمر سعد الذابح في برج الأسد وجماعة من المسلمين إذا رأوا أفعالهم يفعلون مثلهم فهل يكفر ويأثم المسلم إذا عمل مثل عملهم من غير اعتقاد تعظيم عيدهم ولا اقتداء بهم أولاً؟
(فأجاب) نفع الله تعالى بعلومه المسلمين بقوله، لا كفر بفعل شيء من ذلك، فقد صرح أصحابنا بأن لو شد الزنار على وسطه أو وضع على رأسه فلنوسة المجوس لم يكفر بمجرد ذلك اهـ فعدم كفره بما في السؤال أولى وهو ظاهر، بل فعل شيء مما ذكر فيه لا يحرم إذا قصد به النشبه بالكفار لا من حيث الكفر، وإلا كان كافراً قطعاً. فالحاصل أنه إن فعل ذلك بقصد التشبه بهم في شعار الكفر كفر قطعاً، أو في شعار العيد مع قطع النظر عن الكفر لم يكفر، ولكنه يأثم وإن لم يقصد التشبه بهم أصلاً ورأسا فلا شيء عليه اهـ

(Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, 4/238-239)
Dan Imam Syahiduddin Ahmad bin Hajar al-Haytami al-Makki rahimahullah wa radhiyallahu ‘anhu ditanya, apakah dihalalkan bermain dengan panah-panah kecil yang tidak berguna dan tidak bisa membunuh buruan, melainkan dipersiapkan untuk permainan orang-orang kafir, dan makan pisang yang banyak ditaburi dengan jintan, serta memakaikan anak-anak pakaian dan memberi mereka pakaian dan uang saku di dalamnya, jika antara mereka ada hubungan seperti salah satunya menjadi pekerja untuk yang lain, seperti dalam rangka memuliakan perayaan Nowruz (tahun baru Persia) dan semacamnya. Karena orang-orang kafir, baik kecil maupun besar, baik rendah maupun tinggi, bahkan raja-raja mereka, sangat memperhatikan panah-panah kecil ini, bermain dengannya, dan makan pisang yang banyak ditaburi dengan jintan, begitu juga dengan memakaikan anak-anak pakaian kuning dan memberi pakaian dan uang saku kepada orang yang memiliki hubungan dengan mereka, dan mereka tidak memiliki ibadah kepada berhala atau yang lainnya pada hari itu, dan itu terjadi ketika bulan berada pada posisi bulan sabit yang memotong di rasi singa, dan sekelompok Muslim ketika melihat perbuatan mereka, mereka melakukan hal yang sama. Maka apakah seorang Muslim akan kafir dan berdosa jika dia melakukan hal yang sama seperti mereka tanpa niat memuliakan hari raya mereka atau meniru mereka pada awalnya?
(Beliau menjawab), semoga Allah Ta’ala bermanfaat bagi para Muslim dengan ilmunya, beliau berkata, “Tidak ada kekufuran dalam melakukan sesuatu hal dari itu. Karena para ulama kami telah menyatakan dengan jelas bahwa jika seseorang mengikat ikat pinggang di pinggangnya atau memakai sorban seperti Majusi, dia tidak akan kafir hanya dengan itu. Maka tidak adanya kekufuran dalam masalah yang ditanyakan lebih utama dan jelas. Bahkan melakukan sesuatu yang disebutkan di dalamnya tidak haram jika niatnya adalah menyerupai orang-orang kafir bukan dari segi kekufuran, jika tidak maka dia pasti kafir. Kesimpulannya adalah jika dia melakukan itu dengan niat menyerupai mereka dalam simbol kekufuran, maka dia pasti kafir, atau dalam simbol hari raya dengan mengabaikan kekufuran, maka dia tidak kafir, tetapi dia berdosa, meskipun dia tidak berniat menyerupai mereka pada awalnya dan secara langsung, maka tidak ada sesuatu pun padanya.”

Arti sederhana Imam Ahmad bin Hajar ditanya tentang hukum bermain dengan mainan anak-anak dan mengikuti kebiasaan orang kafir dalam merayakan hari raya mereka. Beliau menjawab bahwa melakukan hal tersebut tidak menjadikan seseorang kafir, kecuali jika niatnya adalah untuk meniru ajaran agama mereka yang sesat.

Kesimpulan Hukum Libur Tahun Baru Masehi bagi Siswa.
1. Bukan Termasuk Tasyabbuh yang Diharamkan:
Libur pada tanggal merah Tahun Baru Masehi bukanlah bentuk tasyabbuh (menyerupai orang kafir) yang diharamkan, karena libur tersebut merupakan kebijakan pemerintah sebagai hari libur nasional yang berlaku untuk semua warga negara, tanpa memandang agama.
2. Tidak Ada Niat Merayakan Hari Raya Keagamaan:
Jika siswa atau siapa pun hanya memanfaatkan hari libur untuk istirahat atau aktivitas yang mubah (diperbolehkan), tanpa adanya niat untuk merayakan Tahun Baru dengan unsur ritual atau simbol keagamaan yang bertentangan dengan Islam, maka hukumnya boleh.
3. Kebijakan Pemerintah Berdasarkan Maslahat Umum:
Berdasarkan kaidah fiqih:

“تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة”

“Kebijakan imam/pemerintah bagi rakyat harus berdasar pada kemaslahatan umum.”
Kebijakan libur nasional bertujuan untuk kemaslahatan bersama, bukan sebagai bagian dari perayaan keagamaan tertentu.
4. Penjelasan Ibnu Taimiyah:
Jika seseorang melakukan sesuatu yang kebetulan juga dilakukan oleh non-Muslim, namun tanpa maksud untuk menyerupai atau merayakan simbol agama mereka, maka hal itu tidak termasuk dalam larangan tasyabbuh (Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, 1/241).
5. Ketaatan pada Pemerintah dalam Hal yang Bukan Maksiat:
Berdasarkan kitab Bughiyah al-Mustarsyidin (hlm. 91), wajib menaati kebijakan pemerintah dalam hal yang mendatangkan maslahat dan tidak bertentangan dengan syariat.

6. Hukum Bergantung pada Niat:
Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah (4/238-239), jika tidak ada niat untuk menyerupai atau memuliakan simbol agama tertentu, maka tidak ada dosa.
Kesimpulan Akhir:
Siswa yang memanfaatkan libur pada Tahun Baru Masehi, selama tidak disertai niat merayakan simbol keagamaan atau ritual yang bertentangan dengan Islam, hukumnya diperbolehkan dan tidak termasuk dalam larangan tasyabbuh. Yang perlu dihindari adalah mengikuti perayaan dengan unsur keyakinan atau ritual agama yang bertentangan dengan Islam.Wallahu A’lam Bishawab.

Kategori
Hukum

Syarat Sah Azan: Waktu, Niat, dan Ketentuan Khusus Azan Subuh, untuk Sholat dan Puasa

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah/Latar Belakang:

Waktu sahur merupakan salah satu momen penting dalam pelaksanaan ibadah puasa, di mana umat Islam dianjurkan untuk makan dan minum sebelum datangnya waktu fajar sebagai persiapan untuk menjalankan ibadah puasa. Penanda masuknya waktu Subuh, yang juga menandai berakhirnya waktu sahur, umumnya adalah adzan Subuh. Namun, dalam praktiknya, sering terjadi perbedaan waktu antara masjid satu dengan masjid lainnya dalam mengumandangkan adzan.

Permasalahan muncul ketika seseorang yang sedang makan sahur mendengar adzan Subuh dari masjid di wilayah tetangga, sedangkan masjid di dekat rumahnya masih melantunkan sholawat (الصلاة والسلام عليك) atau belum mengumandangkan adzan. Hal ini memicu kebingungan:

Pertanyaan: Apakah adzan yang pertama kali terdengar sudah menandakan waktu Subuh dan mengharuskan orang tersebut untuk segera menghentikan makan dan minumnya, ataukah ia masih boleh melanjutkan sahur hingga masjid terdekat mengumandangkan adzan?

Masalah ini menjadi penting untuk dibahas karena berkaitan langsung dengan sah atau tidaknya puasa seseorang, serta memerlukan pemahaman yang tepat mengenai batas waktu sahur yang ditentukan oleh syariat. Mohon jawaban / penjelasan berikut dengan dalilnya.

Waalaikum salam

Jawaban: Untuk mengetahui adzan sebagai tanda masuknya waktu shalat Subuh sekaligus menandakan larangan makan dan minum bagi orang yang berpuasa, maka hendaknya melihat terbitnya fajar terlebih dahulu. Dalam syariat terdapat dua fajar, yaitu:

1. Fajar Kadzib (fajar yang salah) – waktu fajar ini muncul lebih dulu dan tidak menghalalkan shalat atau mengharamkan makan. Biasanya adzan pertama dilantunkan saat fajar kadzib untuk memberi peringatan, namun tidak mengharuskan seseorang untuk berhenti makan sahur.

2. Fajar Shadiq (fajar yang benar) – masuknya waktu Subuh, di mana adzan kedua menandakan dimulainya waktu shalat Subuh dan mengharamkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa.

Jika adzan yang terdengar adalah adzan pertama (Fajar Kadzib), maka orang yang masih makan sahur tetap diperbolehkan melanjutkan makan meskipun masjid di wilayah tetangga sudah mengumandangkan adzan. Namun, jika yang terdengar adalah adzan kedua (Fajar Shadiq), yang menandakan masuknya waktu sholat Subuh, maka tidak diperbolehkan lagi makan sahur.

Dalil Hadits: Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Fajar itu ada dua: adapun fajar yang muncul seperti ekor serigala (fajar kadzib), maka ia tidak menghalalkan shalat dan tidak mengharamkan makanan. Sedangkan fajar yang menjalar di ufuk (fajar shadiq), maka ia menghalalkan shalat dan mengharamkan makanan.” (HR. Muslim)

Adapun untuk penjelasan lebih lanjut, kitab “الفجر فجران” karya Adnan Al-Ar’ur menjelaskan bahwa waktu antara fajar kadzib dan fajar shadiq berkisar antara 1 hingga 25 menit, bergantung pada musim. Oleh karena itu, disyariatkan adanya dua adzan: pertama sebagai peringatan dan kedua sebagai tanda masuknya waktu Subuh.

Kesimpulan: Jika adzan yang terdengar adalah adzan pertama (fajar kadzib), orang yang sedang makan sahur masih diperbolehkan melanjutkan makan. Namun, jika sudah terdengar adzan kedua (fajar shadiq), maka saat itu waktu Subuh telah masuk, dan makan sahur tidak diperbolehkan lagi.

Semoga penjelasan ini bermanfaat dan memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang hukum mendengar adzan Subuh saat sahur.

Referensi:

 المكتبة الشاملة كتاب الفجر فجران
[عدنان العرعور]
مسائل فقهية ص٢
فهرس الكتاب  المسألة الأولى: الأكل والشرب حتى بعد طلوع الفجر الصادق

– وعن جابر رضي الله عنه قال: قال رسول الله – صلى الله عليه وسلم -: ((الفجر فجران؛ فأما الفجر الذي يكون كذنب السرحان، وهو الكاذب فلا يُحِل الصلاة ولا يُحرم الطعام، وأما الفجر الذي يذهب مستطيلاً في الأفق، وهو الفجر الصادق فإنه يُحل الصلاة ويُحرم الطعام)) (١).
وبهذا يُعلم أن الفجر فجران: فجر كاذب يطلع أولاً، ويظهر نوره على شكل ذنب السرحان (الذئب) – أي: عموداً في الأفق ومن الأسفل دقيقا ومن الأعلى كبيراً عريضاً – وفجر صادق، يطلع بعد الفجر الكاذب، ويكون موازياً للأفق .. وزمن ما بينهما من ١ – ٢٥ دقيقة تتفاوت حسب فصول السنة.
ولأجل هذا شُرع للفجر أذانان؛ الأول: مع الفجر الكاذب، وهو تنبيهي، ينبه على قرب طلوع الفجر الصادق، وغايته: أن يتعجل المتسحِّر، ويستيقظ النائم، ويرجع القائم، ويتجهز الناس للصلاة، وهذا الأذان لا يُحرم الطعام، ولا يُحل صلاة الفجر، ويسمى في بعض البلدان – خطأً – أذان الإمساك! إذ يلزمون الناس – غلواً – أن يمسكوا عن الطعام عند سماعة قبل الفجر الصادق، وهذا الأذان الأول هو الذي يقال فيه: (الصلاة خير من النوم).
والأذان الثاني: أذان الفجر الصادق، وهو الذي يُحرم الطعام للصائم، ويُبيح صلاة الفجر للمصلي، غير أن الشارع قد استثنى من ذلك حالة واحدة وهي: مَن كان يأكل وأذَّن المؤذِّن للفجر الصادق، فيباح له قضاء حاجته من الطعام على وجه العجلة … وذلك لقول النبي – صلى الله عليه وسلم -: ((إذا سمع أحدكم النداء، والإناء على يده، فلا يضعه، حتى يقضي حاجته منه)) (٢).
والمقصود بالأذان هاهنا: أذان الفجر الصادق لما يلي:
الأول: إباحة الرسول – صلى الله عليه وسلم – الطعام بعد الأذان الأول آذان الفجر الكاذب، ((فأما الفجر الذي يكون كذنب السرحان فلا يُحل الصلاة، ولا يُحرم الطعام))، وعلى هذا؛ فسواء كان الطعام على يده أو ليس عليها، فإنه يباح للصائم الأكل بعد الفجر الكاذب، ولذا؛ فلا معنى لحمل الحديث على الأذان الأول.
الثاني: قوله صلى الله عليه وسلم: ((إن بلالاً يؤذن بليل … ))، ومن المعلوم أن الطعام لم يحرم للصائم في الليل – بالكتاب والسنة والإجماع -.
(١) – صحيح الجامع [٤٢٧٨]
(٢) – صحيح الجامع [٦٠٧].

Kitab “الفجر فجران” (Adnan Al-Ar’ur)

Judul Bab: Masalah Pertama: Makan dan Minum Hingga Setelah Terbit Fajar Shadiq

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Fajar itu ada dua: adapun fajar yang muncul seperti ekor serigala (fajar kadzib), maka ia tidak menghalalkan shalat dan tidak mengharamkan makanan. Sedangkan fajar yang menjalar di ufuk (fajar shadiq), maka ia menghalalkan shalat dan mengharamkan makanan.” (1)

Dari sini diketahui bahwa fajar itu ada dua: fajar kadzib yang muncul lebih dahulu, cahayanya tampak seperti ekor serigala — yaitu memanjang di ufuk dengan bagian bawahnya kecil dan bagian atasnya lebih besar dan lebar. Fajar shadiq muncul setelah fajar kadzib dan cahayanya memanjang secara horizontal di ufuk. Waktu antara keduanya berkisar antara 1 hingga 25 menit, bergantung pada perbedaan musim sepanjang tahun.

Karena itulah, disyariatkan adanya dua adzan fajar:

1. Adzan pertama: Bertepatan dengan fajar kadzib, bersifat tanbihiy (peringatan). Tujuannya adalah untuk membangunkan orang yang tidur, memberi tahu orang yang makan sahur untuk menyelesaikannya, serta mempersiapkan orang-orang untuk shalat. Adzan ini tidak mengharamkan makanan bagi orang yang berpuasa dan tidak membolehkan shalat fajar. Di beberapa negara, adzan ini disebut —secara keliru— sebagai adzan imsak, yang membuat sebagian orang menahan makan lebih awal, padahal seharusnya tidak demikian. Adzan pertama inilah yang di dalamnya dikumandangkan kalimat: “Shalat lebih baik daripada tidur.”

2. Adzan kedua: Bertepatan dengan fajar shadiq. Adzan ini mengharamkan makan bagi orang yang berpuasa dan membolehkan shalat fajar. Namun, terdapat pengecualian bagi orang yang sedang makan ketika adzan fajar shadiq berkumandang. Ia diperbolehkan untuk menyelesaikan makannya dengan cepat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Jika salah seorang di antara kalian mendengar adzan, sedangkan wadah (makanan/minuman) berada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menyelesaikan kebutuhannya darinya.” (2)

Yang dimaksud adzan di sini adalah adzan fajar shadiq, dengan alasan berikut:

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan makan setelah adzan pertama (fajar kadzib). Sabda beliau: “Adapun fajar yang seperti ekor serigala, maka ia tidak menghalalkan shalat dan tidak mengharamkan makanan.” Dengan demikian, baik makanan itu berada di tangan seseorang atau tidak, maka diperbolehkan makan setelah fajar kadzib. Oleh karena itu, hadits tersebut tidak mungkin dimaknai dengan adzan pertama.

2. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di waktu malam…” Telah diketahui bahwa di malam hari, makanan tidak diharamkan bagi orang yang berpuasa, berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan ijma’ ulama.

Referensi kitab tersebut adalah Hadits:
(1) Shahih Al-Jami’ [4278]
(2) Shahih Al-Jami’ [607]

إعانة الطالبين .ج ١ص ٢٢٨
(فصل فى الآذان والإقامة ) أى فى بيان حكمهما وشروطها وسننهما ( قوله هما لغة الإعلام ) فيه أن الآذان فقط لغة الإعلام قال تعالى وأذن فى الناس بالحج أى أعلمهم به واماالإقامة فهى لغة مصدر أقام أى حصل القيام فهما مختلفان لغة كما فى التحفة والنهاية والمغنى فكان الأولى أن يزيد وتحصيل القيام ويكون على التوزيع الأول والثانى للثانى ثم رأيت فى فتح الجواد مثل ماذكره الشارح فلعله تبعه فى ذلك ولكن الايراد باق ويكون عليهما…
( قوله وشرعا) معطوف على لغة وقوله ماعرف به من الألفاظ المشهورة وهى الله أكبر الله أكبر الخ وهى كماقال القاضى عياض كلمات جامعة لعقيدة الإيمان مشتملة على نوعيه العقلية السمعية فأولها فيه إثبات ذاته تعالى وماتستحقه من الكمال بقوله الله أكبر أى أعظم من كل شيئ ثم الشهادة بالوحدانية له بقوله أشهد أن لاإله إلا الله وبالرسالة لسيدنامحمد صلى الله عليه وسلم بقوله وأشهد أن محمدا رسول الله ثم الدعاء إلى الصلاة بقوله حى على الصلاة أى أقبلوا عليها ولاتكسلوا عنها فحى إسم فعل أمر بمعنى أقبلوا ثم الدعاء إلى الفلاح بقوله حى على الفلاح أى أقبلوا على سبب الفلاح وهو الفوز والظفر بالمقصود وسببه هو الصلاة فهو تأكيد لما قبله بعد تأكيد وتكرير بعد تكرير وفيه إشعار بأمور الآخرة من البعث والجزاء لتضمن الفلاح لذلك ثم كرر التكبير لمافيه من التعظيم له تعالى وختم بكلمة التوحيد لأن مدار الأمر عليه جعلنا الله وأحييتنا عند الموت ناطقين بها عالمين بمعناها وقوله فيهما أى الآذان والإقامة واعلم أنه اختلف في الاذان هل شرع للاعلام بدخول الوقت؟ أو شرع للاعلام بالصلاة المكتوبة؟ على قولين للامام الشافعي رضي الله عنه، والراجح الثاني، وأما الأول فهو مرجوح، وينبني على القولين أنه لا يؤذن للفائتة على المرجوح لان وقتها قد فات، ويؤذن لها على الراجح لان الاذان حق للصلاة لا للوقت.(قوله: والأصل فيهما) أي الدليل على مشروعية الأذان والإقامة. وقوله: الاجماع إلخ هكذا في التحفة.
والذي في النهاية والمغنى والأسنى الأصل فيهما قبل الاجماع، قوله تعالى: * (إذا نودي للصلاة من يوم الجمعة) * وقوله تعالى: * (وإذا ناديتم إلى الصلاة) * وما صح من قوله (ص): إذاأقيمت الصلاة فليؤذن لكم أحدكم. اه‍. وقوله: المسبوق صفة للاجماع. وقوله: برؤية عبد الله إلخ فإن قيل: رؤية المنام لا يثبت بها حكم. أجيب بأنه ليس مستندا لاذان الرؤيا فقط، بل وافقها نزول الوحي. فالحكم ثبت به لا بها. ويؤيده رواية عبد الرازق وأبي داود في المراسيل، من طريق عبيد بن عمير الليثي، أحد كبار التابعين، أن عمر لما رأى الاذان جاء ليخبر النبي (ص فوجد الوحي قد ورد بذلك، فما راعه إلا أذان بلال، فقال له النبي (ص): سبقك بذلك الوحي. (قوله: ليلة تشاوروا) الظرف متعلق برؤية، وواو الجماعة عائد على النبي (ص) ومن معه من الصحابة. وقوله: فيما يجمع الناس أي في الامر الذي يكون سببا لجمع الناس للصلاة. (قوله: وهي) أي رؤية الاذان من حيث هي، بقطع النظر عن كونها صدرت من عبد الله، وإلا لحصل ركة بقوله بعد عن عبد الله. (قوله: لما أمر النبي (ص)) أي بعد اتفاقهم عليه. وكتب ع ش ما نصه: قوله: لما أمر النبي (ص) إلخ. عبارة حجر تفيد عدم أمره (ص)، ويوافقه ما في سيرة الشامي حيث قال: اهتم (ص) كيف يجمع الناس للصلاة، فاستشار الناس فقيل: انصب راية. ولم يعجبه ذلك، فذكر له القنع – وهو البوق – فقال: هو من أمر اليهود.
فذكر له الناقوس فقال: هو من أمر النصارى. فقالوا: لو رفعنا نارا؟. فقال: ذاك للمجوس. فقال عمر: أو لا تبعثون رجلا ينادي بالصلاة؟ فقال (ص): يا بلال قم فناد بالصلاة. قال النووي: هذا النداء دعاء إلى الصلاة  غيرالأذان، كأن شرع قبل الاذان. قال الحافظ ابن حجر: وكان الذي ينادي به بلال: الصلاة جامعة. اه‍. وهو كما ترى مشتمل على النهي عن الناقوس والامر بالذكر. اه‍. (قوله: بالناقوس) قال في المصباح: هو خشبة طويلة يضربها النصارى إعلاما للدخول في صلاتهم. (قوله: يعمل) أي يصنع. (قوله: ليضرب به للناس) عبارة غيره: ليضرب به الناس، بحذف لام الجر. وعليها يكون الناس فاعل يضرب، وعلى عبارة شارحنا يكون الفعل مبنيا للمجهول، وبه نائب فاعل، وللناس متعلق بالفعل. وقوله: لجمع الصلاة أي لاجتماع الناس لها. فالإضافة لأدنى ملابسة. والجار والمجرور إما بدل من الجار والمجرور قبله أو متعلق بالفعل، وتجعل اللام للتعليل، وبه يندفع ما يقال إنه يلزم عليه تعلق حرفي جر بمعنى واحد بعامل واحد. وهو لا يصح. وحاصل الدفع أن الحرفين ليسا بمعنى واحد، لان الثاني للتعليل والأول للتعدية.(قوله: طاف إلخ) جواب لما. وقوله: وأنا نائم الجملة حالية، وهي معترضة بين الفعل وفاعله وهو رجل. (قوله:فقال) أي الرجل لعبد الله. وقوله: وما تصنع به أي بالناقوس. (قوله: ثم استأخر) أي الرجل. (قوله: فقال) أي النبي (ص). وقوله: إنها أي رؤيتك يا عبد الله. وقوله: حق أي صادقة. وهو بالرفع صفة لرؤيا أو بالجر على أنه مضاف إليه ما قبله، وهي من إضافة الموصوف للصفة. (قوله: فألق عليه ما رأيت) أي لقنه ما رأيته منامك. (قوله فليؤذن به) أي فليؤذن بلال بما رأيت. وفي ع ش ما نصه: ذكر بعضهم في مناسبة اختصاصه – أي بلال – بالاذان دون غيره، كونه لما عذب ليرجع عن الاسلام فلم يرجع وجعل يقول: أحد أحد. جوزي بولاية الاذان المشتمل على التوحيد في ابتدائه وانتهائه. اه‍ حواشي المواهب لشيخنا الشوبري. (قوله: فإنه) أي بلالا. وقوله: أندى صوتا منك أي أرفع وأعلى. وقيل: أحسن وأعذب. وقيل: أبعد. (قوله: فقمت مع بلال) أي فامتثلت أمر النبي (ص) إلخ، وقمت مع بلال.
وقوله: فجعلت ألقيه أي ما رأيته. وقوله: عليه أي على بلال. (قوله: فيؤذن) أي بلال.

Kitab I‘ânah Ath-Thâlibîn, Juz 1, Halaman 228

(Bab tentang Adzan dan Iqamah) – yaitu dalam penjelasan hukum, syarat, dan sunnah keduanya. (Perkataan: “keduanya secara bahasa berarti pemberitahuan”) — Di sini terdapat catatan bahwa secara bahasa, adzan saja yang berarti pemberitahuan. Allah Ta‘ala berfirman: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji” (QS. Al-Hajj: 27), yakni beritahukanlah kepada mereka. Adapun iqamah, secara bahasa adalah bentuk mashdar dari aqaama yang berarti menegakkan atau mendirikan. Maka keduanya berbeda secara bahasa, sebagaimana disebutkan dalam kitab Tuhfah, Nihayah, dan Mughni. Oleh karena itu, lebih baik ditambahkan kata “dan mendirikan shalat” untuk membedakan keduanya. Kemudian, aku menemukan dalam kitab Fathul Jawad penjelasan yang sama dengan yang disampaikan oleh penulis. Barangkali, ia hanya mengikutinya dalam hal ini, tetapi kritik tersebut tetap ada.

(Perkataan: “dan secara syara‘”) — Ini dihubungkan dengan “secara bahasa”. (Perkataan: “adalah lafaz-lafaz yang sudah masyhur”) — yaitu “Allahu Akbar, Allahu Akbar” dan seterusnya. Menurut Qadhi Iyadh, lafaz-lafaz ini mencakup pokok-pokok aqidah iman, baik yang bersifat rasional (aqliyah) maupun yang bersifat pendengaran (sam’iyyah). Awalnya terdapat penegasan akan keberadaan Allah Ta‘ala dan kesempurnaan-Nya dengan kalimat “Allahu Akbar”, yang berarti “Allah Maha Besar dari segala sesuatu”. Kemudian, terdapat kesaksian tentang keesaan Allah dengan kalimat “Asyhadu an laa ilaaha illallah”, dan kesaksian tentang kerasulan Nabi Muhammad ﷺ dengan kalimat “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”.

Kemudian, terdapat seruan untuk melaksanakan shalat dengan kalimat “Hayya ‘ala ash-shalaah”, yang berarti “Marilah melaksanakan shalat, jangan malas!”. Kata “Hayya” adalah fi’il amar yang berarti “datangilah atau hadirilah!”. Selanjutnya, ada seruan untuk meraih keberuntungan dengan kalimat “Hayya ‘ala al-falaah”, yang berarti “Datangilah sebab keberuntungan”, yakni kemenangan dalam mencapai tujuan yang puncaknya adalah shalat. Pengulangan takbir di akhir mengandung pengagungan terhadap Allah Ta‘ala, sedangkan penutupan dengan kalimat tauhid (Laa ilaaha illallah) karena seluruh amalan berpangkal padanya. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yang mengucapkannya di akhir hayat dengan penuh kesadaran akan maknanya.

(Perkataan: “Dalam keduanya”) — yaitu adzan dan iqamah. Ketahuilah bahwa terdapat perbedaan pendapat tentang tujuan disyariatkannya adzan. Apakah untuk memberitahukan masuknya waktu shalat atau untuk memberitahukan adanya kewajiban shalat? Imam Syafi‘i memiliki dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa adzan disyariatkan untuk memberitahukan adanya kewajiban shalat, bukan sekadar masuk waktu. Konsekuensinya, menurut pendapat yang lemah, adzan tidak disyariatkan untuk shalat yang terlewatkan waktunya (shalat qadha), sedangkan menurut pendapat yang kuat, adzan tetap disyariatkan karena adzan adalah hak shalat, bukan hak waktu.

(Perkataan: “Dan dasar dari keduanya”) — yaitu dalil yang menunjukkan disyariatkannya adzan dan iqamah. (Perkataan: “Ijma‘”) — seperti yang disebutkan dalam kitab Tuhfah. Sedangkan dalam kitab Nihayah, Mughni, dan Asna, dasar keduanya sebelum ijma‘ adalah firman Allah Ta‘ala: “Apabila diserukan adzan untuk shalat pada hari Jumat” (QS. Al-Jumu‘ah: 9) dan firman Allah Ta‘ala: “Dan apabila kalian menyeru untuk shalat” (QS. Al-Ma’idah: 58). Selain itu, terdapat hadits sahih yang menyatakan: “Apabila iqamah sudah dikumandangkan, maka hendaknya salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan”.

(Perkataan: “Mimpi Abdullah”) — Jika ada yang bertanya, bukankah hukum tidak dapat ditetapkan hanya berdasarkan mimpi? Maka jawabannya adalah bahwa hukum adzan tidak hanya berdasarkan mimpi tersebut, tetapi mimpi tersebut sesuai dengan wahyu yang turun. Hal ini diperkuat dengan riwayat dari ‘Abdurrazzaq dan Abu Dawud dalam kitab Marasil, dari ‘Ubaid bin Umair Al-Laitsi, salah seorang tabi’in senior, bahwa ketika Umar melihat adzan dalam mimpinya dan hendak memberitahukan Nabi ﷺ, ternyata wahyu sudah turun terlebih dahulu mengenai hal tersebut.

(Perkataan: “Malam ketika mereka bermusyawarah”) — keterangan waktu ini terkait dengan peristiwa mimpi tersebut. (Perkataan: “Mereka bermusyawarah tentang cara mengumpulkan manusia untuk shalat”) — Nabi ﷺ dan para sahabat bermusyawarah tentang cara memanggil orang untuk shalat. Mereka mengusulkan bendera, tetapi Nabi ﷺ tidak menyukainya. Kemudian mereka mengusulkan terompet seperti Yahudi, tetapi Nabi ﷺ menolaknya. Lalu diusulkan lonceng seperti Nasrani, Nabi ﷺ pun menolaknya. Setelah itu, Umar mengusulkan: “Mengapa tidak ada seseorang yang memanggil manusia untuk shalat?” Maka Nabi ﷺ bersabda kepada Bilal: “Wahai Bilal, bangkitlah dan serulah shalat!”

Menurut Imam Nawawi, seruan pertama tersebut bukanlah adzan yang kita kenal sekarang, tetapi seruan umum untuk shalat. Ibnu Hajar menambahkan bahwa seruan tersebut adalah dengan kalimat “As-Shalaatu Jaami‘ah” (“Shalat akan dilaksanakan secara berjamaah”).

(Perkataan: “Lonceng”) — Menurut kitab Al-Mishbah, lonceng adalah kayu panjang yang dipukul oleh orang Nasrani untuk memberi tahu waktu shalat mereka.

(Perkataan: “Kemudian seseorang datang dalam mimpi”) — Abdullah bin Zaid melihat seorang laki-laki dalam mimpinya, yang mengajarkannya lafaz adzan. Nabi ﷺ kemudian bersabda: “Mimpi itu benar.” Dan beliau memerintahkan agar Bilal yang mengumandangkan adzan karena suaranya lebih nyaring dan merdu.

Inilah ringkasan dari penjelasan terkait adzan dan iqamah dalam kitab I‘ânah Ath-Thâlibîn.

Tapi salah satu syarat sahnya adzan adalah masuk waktu kyai, tentunya masjid sebelah melakukan adzan karena ada keyakinan masuknya waktu subuh.

*شرح المقدمة الحضرمية المسمى بشرى الكريم بشرح مسائل التعليم، ص ١٨٥*
`(وشرط) صحة (الأذان) -كالإقامة- دخول (الوقت) في الواقع وإن لم يظن دخوله؛ لأنهما للصلاة، ولا معنى لهما قبل طلبها، وفيه لبس قبله، ولهذا حرم قبله، فإن أمنه .. لم يحرم؛ لأنه ذكر.`
نعم؛ إن نوى به الأذان .. حرم؛ لأنه حينئذٍ تلبس بعبادة فاسدة، ويبقى جوازه ما بقي الوقت، لكن تنتهي مشروعيته بفعل الصلاة بالنسبة لمن صلاها (إلا) أذان (الصبح .. فيجوز بعد نصف الليل) كالدفع من مزدلفة، ولأن العرب تقول حينئذٍ: أنعم صباحاً؛ لخبر: “إن بلالاً يؤذن بليل، فكلوا واشربوا حتى يؤذن ابن أم مكتوم”.

(Syarat) sahnya (azan) — seperti iqamah — adalah masuknya (waktu) salat secara nyata, meskipun tidak disangka telah masuk waktunya. Hal ini karena azan dan iqamah berhubungan dengan salat, dan keduanya tidak memiliki makna sebelum waktu salat tiba. Selain itu, azan sebelum waktunya dapat menimbulkan kerancuan. Oleh karena itu, azan sebelum waktunya diharamkan. Jika aman dari kerancuan tersebut, maka tidak diharamkan karena pada dasarnya azan adalah zikir.

Namun, jika azan diniatkan sebagai ibadah (azan yang syar’i) sebelum waktunya, maka hukumnya haram. Sebab, pada saat itu ia telah melaksanakan ibadah yang rusak (tidak sah). Azan tetap diperbolehkan selama waktu salat masih ada, tetapi kemasru’annya (disyariatkan) berakhir dengan dilaksanakannya salat bagi orang yang telah menunaikannya, (kecuali) azan (subuh… maka diperbolehkan setelah tengah malam), sebagaimana diperbolehkan bertolak dari Muzdalifah setelah tengah malam. Hal ini karena bangsa Arab pada waktu itu biasa mengatakan, “An‘im shabāḥan” (selamat pagi). Hal ini berdasarkan hadis: “Sesungguhnya Bilal azan di malam hari, maka makan dan minumlah hingga azan Ibnu Ummi Maktum.

Catatan penting!!!!!

Untuk menjaga kehati-hatian maka sediakan jadwal waktu sholat lalu cocokkan dengan adzan  ( jika masuk sesuai waktu setempat maka adzan)

 Wallahu A’lam Bisshawab

Kategori
Hukum

Mengubur Surat Tanah Wakaf Bersama Jenazah

 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Menguburkan surat tanah yang telah diwakafkan bersama jenazah adalah praktik yang terkadang dilakukan oleh sebagian masyarakat. Hal ini mungkin didasari oleh keyakinan atau tradisi tertentu yang menganggap bahwa dokumen tersebut harus menyertai jenazah sebagai bukti atau simbol pemberian wakaf. Namun, praktik ini menimbulkan pertanyaan terkait keabsahan hukum dan dampaknya terhadap harta wakaf tersebut.

Apakah tindakan ini sesuai dengan prinsip syariat Islam, ataukah termasuk perbuatan yang tidak dianjurkan?

Mohon jawaban berdasarkan dalil-dalil syar’i

Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Kalau dilihat dari sisi kertas tidaklah begitu berharga andaikan dijual namun  jika dilihat dari sisi tulisan sangatlah penting dan berharga .
Dengan demikian Mengubur surat tanah wakaf bersama jenazah tidak dianjurkan alasannya karena:

  1. Surat itu terdapat keterangan penting untuk membuktikan status wakaf secara hukum.
  2. Adanya dalil ( keterangan) yang menjelaskan bahwa jika mayit dikubur bersama barang yang penting/ berharga maka wajib dibongkar agar supaya barang tersebut diambil
  3. Bisa menimbulkan masalah di kemudian hari, seperti konflik atau hilangnya manfaat wakaf.

Sebaiknya surat tanah disimpan oleh pihak yang amanah (nazir atau lembaga wakaf) untuk memastikan wakaf berjalan sesuai syariat.

Referensi
الإقناع فى حل ألفاظ أبى سجاع ١٩٤/١

قال الرافعي: والكفن الحرير أي للرجل كالمغصوب. قال النووي: وفيه نظر وينبغي أن يقطع فيه بعدم النبش انتهى. وهذا هو المعتمد لانه حق الله تعالى أو وقع في القبر مال وإن قل كخاتم فيجب نبشه وإن تغير الميت لان تركه فيه إضاعة مال

Imam ar-Rafi’i berkata: Kafan dari sutra bagi laki-laki hukumnya sama seperti kain kafan yang diambil paksa. Imam an-Nawawi berpendapat: Hal ini perlu ditinjau lebih lanjut dan lebih tepat untuk dipastikan ketidakbolehan penggaliannya, dan inilah yang dipegang sebagai pendapat yang kuat karena kafan tersebut merupakan hak Allah Ta’ala. *Namun, jika ada harta benda di dalam kubur, meskipun sedikit seperti cincin* , *maka wajib digali meskipun mayit sudah berubah, karena meninggalkannya* berarti menyia-nyiakan harta.

هامش إعانة الطالبين,ج ٢. ص ١٢١-١٢٢

وَنُبِشَ وُجُوْبًا قَبْرُ مَنْ دُفِنَ بِلاَ
طَهَارَةٍ، لِغُسْلٍ، أَوْ تَيَمُّمٍ-إِلَى أَنْ قَالَ-أَوْ سَقَطَ فِيْهِ مُتَمَوَّلٌ، وَإِنْ لَمْ يَطْلُبْهُ مَالِكُهُ اهـ

“Dan wajib dibongkar kubur seseorang yang dikuburkan tanpa disucikan (tanpa mandi jenazah atau tayamum) – hingga beliau berkata – atau jika ada barang berharga yang jatuh ke dalamnya, meskipun pemiliknya tidak meminta (untuk diambil kembali).”
(Hasyiah I’anah ath-Thalibin, Juz 2, hal. 121-122).

Syekh Salim bin Sumair Al-Hadlrami dalam kitabnya Safînatun Najâ menyebutkan 4 (empat) hal yang bisa menjadi alasan sebuah kubur boleh dibuka lagi. Dalam kitab tersebut beliau menuturkan:

ينبش الميت لأربع خصال: للغسل إذا لم يتغير ولتوجيهه إلى القبلة وللمال اذا دفن معه وللمرأة اذا دفن جنينها معها وأمكنت حياته

Artinya: “Mayit yang telah dikubur boleh digali kembali dengan empat alasan: untuk memandikannya bila kondisinya masih belum berubah, untuk menghadapkannya ke arah kiblat, karena adanya harta yang ikut terkubur bersamanya, dan bila si mayat seorang perempuan yang di dalam perutnya terdapat janin yang dimungkinkan hidup.” (lihat Salim bin Sumair Al-Hadlrami, Safînatun Najâ .” (Beirut: Darul Minhaj: 2009), hal. 53)

Berdasarkan teks dari I’anah ath-Thalibin dan kitab Safînatun Najâ tersebut, hukum menguburkan barang berharga bersama jenazah adalah tidak diperbolehkan, karena dapat menyebabkan kewajiban membongkar kubur untuk mengambil barang tersebut sehingga wajib pula untuk tidak menguburkan barang berharga bersama jenazah. Karena menguburkan barang berharga Hal ini bertentangan dengan prinsip menjaga kehormatan jenazah yang telah dikuburkan. Oleh karena itu wajib surat tersebut dipelihara sebagai amanah agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari, seperti konflik atau hilangnya manfaat wakaf.

Dalil hadits tentang menjaga amanah

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: “آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ”

(Diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Tanda orang munafik ada tiga: apabila berbicara, ia berdusta; apabila berjanji, ia mengingkari; dan apabila diberi amanah, ia berkhianat.”)
(HR. Bukhari, no. 33; Muslim, no. 59)

Hadits ini menegaskan pentingnya menjaga amanah sebagai ciri dari seorang mukmin sejati, sekaligus memperingatkan agar menjauhi sifat khianat yang menjadi tanda kemunafikan.

Dalil Al-Qur’an Surah An-Nisa’ ayat 58

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”

Ayat ini menunjukkan kewajiban menyampaikan amanah kepada yang berhak serta memberikan keputusan yang adil dalam kehidupan bermasyarakat.

Kesimpulan:

1. Mengubur surat tanah wakaf bersama jenazah tidak dianjurkan, karena surat tersebut merupakan dokumen penting yang membuktikan status wakaf secara hukum dan keberlanjutan manfaatnya bagi umat.

2. Mengubur barang berharga bersama mayit adalah penyia-nyiaan harta, sebagaimana dinyatakan dalam pendapat ulama bahwa barang berharga di kubur wajib diambil, meskipun harus membongkar kuburan, karena hal tersebut termasuk menjaga harta dari penyia-nyiaan.

3. Menitipkan surat tanah kepada pihak amanah (nazir atau lembaga wakaf) adalah tindakan yang lebih baik untuk memastikan pengelolaan wakaf sesuai syariat, menghindari konflik, dan melestarikan manfaat wakaf.

4. Dalil syar’i mendukung kewajiban menjaga amanah, sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa’ ayat 58 dan hadits Rasulullah ﷺ yang menegaskan pentingnya menjaga amanah sebagai ciri mukmin sejati dan mencegah sifat khianat. Wallahu A’lam bisshowab

Kategori
Hukum

Menerima Dana Hibah dari Gereja untuk Penelitian Keislaman

 

Assalamu alaikum

Deskripsi Masalah

Persepuluhan adalah praktik yang umum dilakukan oleh umat Kristiani, di mana 10% dari penghasilan mereka disumbangkan kepada gereja sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan. Dana yang terkumpul dari persepuluhan ini dikelola oleh gereja untuk berbagai kepentingan, termasuk kegiatan keagamaan, sosial, dan akademik. Dalam konteks keagamaan, dana ini digunakan untuk mendukung pekerjaan keimaman, sementara dalam kegiatan sosial, dana tersebut digunakan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Sedangkan dalam bidang akademik, dana gereja sering dialokasikan untuk mendukung program pendidikan dan penelitian, yang tidak terbatas hanya pada umat Kristiani, tetapi juga terbuka untuk masyarakat umum.

Topik penelitian yang dibiayai oleh dana gereja ini cukup beragam, meliputi isu-isu seperti perdamaian, lingkungan, sains, dan bahkan tema-tema keislaman. Hal ini membuat berbagai kalangan, termasuk dosen dan mahasiswa dari berbagai agama, tertarik untuk mengakses dana ini sebagai bagian dari pelaksanaan Tri Dharma perguruan tinggi.

Pertanyaan
  1. Bagaimana pandangan Islam mengenai seorang muslim yang menerima dana hibah penelitian dari gereja?
  2. Secara khusus, bagaimana hukum menerima hibah tersebut apabila topik penelitian yang diusulkan adalah tentang kajian keislaman?

Waalaikum salam.

Jawaban kami satukan

Pandangan Islam mengenai seorang muslim yang menerima dana hibah penelitian dari gereja:

Dalam Islam, menerima dana dari non-muslim termasuk gereja dibolehkan selama dana tersebut berasal dari sumber halal, tidak disertai syarat yang bertentangan dengan ajaran Islam, dan tidak mengancam aqidah penerimanya. Hal ini diperbolehkan jika tujuannya untuk kemaslahatan umum dan tidak ada unsur yang dapat merusak iman atau akhlak​​ sebagai bentuk penghormatan kepada mereka non muslim karena Nabi Muhammad SAW pernah menerima pemberian dari non Muslim.

Untuk lebih jelasnya maka penting kami jelaskan tentang definisi hadiyah atau hibah dan hukumnya menurut Imam madzhab yang empat sebagaimana berikut:

الموسوعة الفقهية الكويتية.ص ٢٧٩٢٣-٢٧٩٢٩

هَدِيَّةٌ

التَّعْرِيفُ:

أ – الْهَدِيَّةُ فِي اللُّغَةِ: هِيَ الْمَال الَّذِي أُتْحِفَ وَأُهْدِيَ لأَِحَدٍ إِكْرَامًا لَهُ، يُقَال: أَهْدَيْتُ لِلرَّجُل كَذَا: بَعَثْتُ بِهِ إِلَيْهِ إِكْرَامًا، فَالْمَال هَدِيَّةٌ

وَاصْطِلاَحًا عَرَّفَهَا الْحَنَفِيَّةُ بِأَنَّهَا: تَمْلِيكُ عَيْنٍ مَجَّانًا.

وَعَرَّفَهَا الْمَالِكِيَّةُ بِأَنَّهَا: تَمْلِيكُ مَنْ لَهُ التَّبَرُّعُ ذَاتًا تُنْقَل شَرْعًا بِلاَ عِوَضٍ لأَِهْلٍ أَوْ مَا يَدُل عَلَى التَّمْلِيكِ.

وَعَرَّفَهَا الشَّافِعِيَّةُ بِأَنَّهَا: تَمْلِيكُ عَيْنٍ بِلاَ عِوَضٍ مَعَ النَّقْل إِلَى مَكَانِ الْمَوْهُوبِ لَهُ إِكْرَامًا.

وَعَرَّفَهَا الْحَنَابِلَةُ بِأَنَّهَا: تَمْلِيكٌ فِي الْحَيَاةِ بِغَيْرِ عِوَضٍ

 

Hadiah
Definisi:

A. Hadiah dalam bahasa:

Harta yang diberikan sebagai penghormatan kepada seseorang, dikatakan: “Aku memberikan hadiah kepada seseorang,” artinya mengirimkan sesuatu kepadanya sebagai bentuk penghormatan. Maka, harta tersebut disebut hadiah.

B. Dalam istilah:

Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pemilikan suatu benda secara cuma-cuma.”

Malikiyah mendefinisikannya sebagai: “Pemilikan oleh seseorang yang memiliki wewenang untuk memberi secara sukarela, berupa sesuatu yang dapat dipindahkan secara syar’i tanpa adanya pengganti (imbalan) kepada keluarga atau sesuatu yang menunjukkan kepemilikan.”

Syafi’iyah mendefinisikannya sebagai: “Pemilikan suatu benda tanpa pengganti dengan memindahkannya ke tempat penerima sebagai bentuk penghormatan.”

Hanabilah mendefinisikannya sebagai: “Pemilikan dalam kehidupan tanpa pengganti.”

 ألْفَاظُ ذَاتُ الصِّلَةِ

الْهِبَةُ

ب – الْهِبَةُ فِي اللُّغَةِ: مِنَ الْفِعْل وَهَبَ، يُقَال: وَهَبْتُ لِزَيْدٍ مَالاً أَهَبُهُ لَهُ هِبَةً: أَعْطَيْتُهُ بِلاَ عِوَضٍ

وَهِيَ فِي الاِصْطِلاَحِ: تَمْلِيكُ عَيْنٍ بِلاَ عِوَضٍ .

فَالْهِبَةُ وَالْهَدِيَّةُ وَالصَّدَقَةُ أَنْوَاعٌ مِنَ الْبِرِّ يَجْمَعُهَا تَمْلِيكُ الْعَيْنِ بِلاَ عِوَضٍ، فَإِنْ مَلَّكَ مُحْتَاجًا لِطَلَبِ ثَوَابِ الآْخِرَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ، وَإِنْ نَقَلَهَا إِلَى مَكَانِ الْمَوْهُوبِ لَهُ إِكْرَامًا لَهُ فَهَدِيَّةٌ، وَإِنْ مَلَّكَهُ بِدُونِ طَلَبِ الثَّوَابِ وَلَمْ يَنْقُل إِلَى مَكَانِ الْمَوْهُوبِ لَهُ فَهِبَةٌ مَحْضَةٌ.

وَالصِّلَةُ أَنَّ الْهِبَةَ أَعَمُّ مِنَ الْهَدِيَّةِ وَالصَّدَقَةِ، فَكُلٌّ مِنَ الْهَدِيَّةِ وَالصَّدَقَةِ هِبَةٌ وَلاَ عَكْسَ

Lafaz yang Berkaitan:

Hibah:

Hibah dalam bahasa: Dari kata kerja wahaba, dikatakan: “Saya memberi harta kepada Zaid  sebagai hibah,” artinya saya memberinya tanpa imbalan.

Dalam istilah: Memberikan kepemilikan atas sesuatu tanpa imbalan.

Maka, hibah, dan hadiah , dan sedekah adalah jenis-jenis kebaikan yang semuanya mencakup pemberian kepemilikan atas sesuatu tanpa imbalan. Jika pemberian itu diberikan kepada orang yang membutuhkan dengan niat untuk mencari pahala akhirat, maka itu adalah sedekah. Jika pemberian itu disampaikan untuk menghormati penerima, maka itu adalah hadiah. Dan jika pemberian itu diberikan tanpa tujuan mencari pahala dan tanpa dipindahkan ke tempat penerima untuk dihormati, maka itu adalah hibah/pemberian semata.

Adapun kesimpulan bahwa pemberian (الْهِبَةُ) lebih umum daripada hadiah dan sedekah, karena setiap hadiah dan sedekah adalah hibah/ pemberian, tetapi kebalikannya tidak berlaku.

Penjelasan dan Kesimpulan:

Pada dasarnya, istilah “Hibah” dalam konteks ini mencakup berbagai jenis pemberian, namun dengan perbedaan niat dan tujuannya:

1. Hibah (الْهِبَةُ): Pemberian sesuatu tanpa imbalan, baik itu karena niat tertentu atau tidak. Ini adalah bentuk pemberian umum yang tidak tergantung pada tujuan tertentu.

2. Sedekah (الصَّدَقَةُ): Pemberian kepada yang membutuhkan dengan niat untuk mendapatkan pahala akhirat.

3. Hadiah (الْهَدِيَّةُ): hadiah atau pemberian untuk menghormati atau menghargai penerima.

Kesimpulannya, istilah hadiah (الْهِبَةُ) mencakup semua jenis pemberian ini, namun dengan niat yang berbeda. Hadiah, sedekah, dan hibah adalah bentuk-bentuk pemberian yang berbeda, namun semuanya termasuk dalam kategori hibah yang diberikan tanpa imbalan. Dengan kata lain hibah, hadiah, dan sedekah adalah jenis-jenis kebaikan yang kesemuanya mengandung pemilikan suatu benda tanpa pengganti. Jika diberikan kepada orang yang membutuhkan dengan tujuan memperoleh pahala akhirat, maka disebut sedekah. Jika dipindahkan ke tempat penerima sebagai penghormatan, maka disebut hadiah. Jika diberikan tanpa mengharapkan pahala dan tidak dipindahkan ke tempat penerima, maka disebut hibah murni.

Hubungannya adalah bahwa hibah lebih umum daripada hadiah dan sedekah. Jadi, setiap hadiah dan sedekah adalah hibah, tetapi tidak sebaliknya.

مَشْرُوعِيَّةُ الْهَدِيَّةِ:

– لاَ خِلاَفَ بَيْنِ الْفُقَهَاءِ فِي مَشْرُوعِيَّةِ الْهَدِيَّةِ، بَل وَلاَ خِلاَفَ فِي اسْتِحْبَابِهَا فِي الأَْصْل إِلاَّ لِعَارِضٍ، وَدَلِيل مَشْرُوعِيَّتِهَا الْكِتَابُ وَالسُّنَّةُ الْمُطَهَّرَةُ وَإِجْمَاعُ الْمُسْلِمِينَ.

فَمِنَ الْكِتَابِ قَوْلُهُ تَعَالَى: {فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (١) } ، وَقَوْلُهُ عَزَّ مِنْ قَائِلٍ: {وَآتَى الْمَال عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى (٢) } الآْيَةَ. وَمِنَ السُّنَّةِ الْقَوْلِيَّةِ قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ ، وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لأََجَبْتُ، وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ ، وَخَبَرُ: كَانَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَل الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا وَقَال عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ: تَهَادُوا تَحَابُّوا .

Disyariatkannya Hadiah

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai disyariatkannya memberikan hadiah. Bahkan, tidak ada perbedaan dalam menganjurkannya secara umum kecuali jika ada alasan tertentu. Dalil disyariatkannya hadiah terdapat dalam Al-Qur’an, Sunnah yang suci, dan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

Dalil dari Al-Qur’an: Firman Allah Ta’ala, “Jika mereka rela memberikan sebagian dari mahar itu kepadamu, maka terimalah dengan senang hati dan penuh kebahagiaan” . Dan firman-Nya yang mulia, “Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat dan anak-anak yatim” .

Dalil dari Sunnah Qauliyah (sabda Nabi): Nabi Muhammad SAW bersabda, “Wahai para wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan pemberian kepada tetangganya walaupun hanya sepotong kaki kambing” . Beliau juga bersabda, “Jika aku diundang untuk makan daging atau kaki kambing, niscaya aku akan memenuhi undangan tersebut. Dan jika aku diberi hadiah daging atau kaki kambing, niscaya aku akan menerimanya” . Dan diriwayatkan pula bahwa Rasulullah SAW menerima hadiah dan membalasnya . Beliau juga bersabda, “Berilah hadiah, maka kalian akan saling mencintai” .

Dalil dari Sunnah Amaliyah (perbuatan Nabi): Rasulullah SAW menerima hadiah.

وَمِنَ السُّنَّةِ الْعَمَلِيَّةِ: قَبُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةَ

لْمُقَوْقِسِ الْكَافِرِ ، وَقَبُولُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَدِيَّةَ النَّجَاشِيِّ الْمُسْلِمِ وَتَصَرُّفُهُ فِيهَا وَمُهَادَاتُهُ

وَأَجْمَعَتِ الأُْمَّةُ عَلَى مَشْرُوعِيَّتِهَا وَاسْتِحْبَابِهَا. وَصَرْفُهَا إِلَى الْجِيرَانِ وَالأَْقَارِبِ أَفْضَل مِنْهُ إِلَى غَيْرِهِمْ.

وَلاَ يَحْتَقِرُ الْمُهْدِي وَالْمُهْدَى إِلَيْهِ الْقَلِيل، فَيَمْتَنِعُ الأَْوَّل مِنْ إِهْدَائِهِ، وَالثَّانِي مِنْ قَبُولِهِ؟ لِلْخَبَرِ الْمُتَقَدِّمِ .

Dalil dari Sunnah Amaliyah (Perbuatan Nabi)

Rasulullah SAW menerima hadiah dari Muqawqis yang merupakan seorang kafir dan juga menerima hadiah dari Najasyi, seorang muslim, serta mempergunakannya dan saling bertukar hadiah dengannya .

Ijma’ (kesepakatan) umat juga menunjukkan bahwa hadiah disyariatkan dan dianjurkan. Memberikan hadiah kepada tetangga dan kerabat lebih utama daripada kepada orang lain.

Tidak sepantasnya pemberi dan penerima hadiah meremehkan hadiah yang sedikit, sehingga pemberi menahan diri dari memberi dan penerima enggan menerimanya, sebagaimana disebutkan dalam hadis sebelumnya .

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَتْ قِبْطِيَّةٌ تُهْدِي لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الشَّامِ، يَكُونُ لَهَا أَطْيَبُ شَيْءٍ، فَيُحِبُّهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يَقُولُ لِلنَّاسِ: “مَنْ أَكَلَ مِنْهُ فَلَا يُبْدِلُهُ عَلَى غَيْرِهِ”.

Hadits ini diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari.

Nabi Muhammad SAW menerima hadiah dari non-Muslim.

Dalam riwayat Abu Hurairah RA:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «أَهْدَى مُقَوْقِسُ مَلِكُ مِصْرَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَارِيَةً تُدْعَى مَارِيَةَ وَأَخَاهَا، وَبَغْلَةً تُدْعَى دُلْدُلًا، وَحُلَّةً».

“Al-Muqawqis, Raja Mesir, mengirimkan hadiah kepada Rasulullah SAW berupa seorang budak wanita bernama Mariyah dan saudara lelakinya, seekor baghal bernama Duldul, dan sebuah pakaian.” (HR. Muslim)

. Riwayat tentang Nabi SAW menerima hadiah dari Raja Heraclius:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «كَانَ كِسْرَى وَقَيْصَرُ يُهْدِيَانِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَقْبَلُهَا».

“Kisra dan Kaisar biasa memberi hadiah kepada Nabi SAW, dan beliau menerimanya.” (HR. Al-Bukhari)

Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa Nabi SAW menerima hadiah dari penguasa non-Muslim, sebagai bagian dari hubungan baik tanpa memandang perbedaan agama.

فتح الباري ٤/٤١٠ :

قوله : ( باب الشراء والبيع مع المشركين وأهل الحرب ) قال ابن بطال : معاملة الكفار جائزة ، [ ص: 479 ] إلا بيع ما يستعين به أهل الحرب على المسلمين . واختلف العلماء في مبايعة من غالب ماله الحرام ، وحجة من رخص فيه قوله – صلى الله عليه وسلم – للمشرك : ” أبيعا أم هبة ” ؟

*وفيه جواز بيع الكافر وإثبات ملكه على ما في يده ، وجواز قبول الهدية منه*

Ibnu Batthol berkata : ” Melakukan muamalah dengan orang kafir hukum nya boleh kecuali menjual perkara yang digunakan oleh kaum musyrik untuk memerangi kaum muslim. Dan ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli dengan orang yang hartanya secara umum dari penghasilan haram, Adapun dalil orang yang memperbolehkan nya ( karena ada ruhshoh dalam hal tersebut) adalah sabda Rosulullah yang bertanya kepada orang musyrik : ” Ini jual beli atau pemberian?.” Dalam hadits tersebut mengandung hukum kebolehan melakukan jual beli dengan orang kafir, dan tetap nya kepemilikan kafir atas harta yang ada ditangan nya, serta hukum kebolehan menerima hadiah dari orang kafir

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, Islam memperbolehkan seorang Muslim menerima hibah atau hadiah dari non-Muslim, termasuk dana penelitian dari gereja, selama dana tersebut bersumber dari sesuatu yang halal, tidak disertai syarat yang melanggar ajaran Islam, dan tidak membahayakan aqidah. Penggunaan dana tersebut diperbolehkan jika bertujuan untuk kebaikan bersama dan tidak ada unsur yang merusak iman atau akhlak. Dalam hal ini, hibah, hadiah, dan sedekah pada dasarnya adalah bentuk kebaikan yang sah untuk diterima dan digunakan.

Nabi Muhammad SAW pun tercatat pernah menerima hadiah dari non-Muslim seperti Muqawqis. Bahkan dalam syariat, hadiah dianjurkan dan diyakini dapat mempererat hubungan sosial, seperti yang disabdakan Nabi, “Berilah hadiah, maka kalian akan saling mencintai.” Hal ini menunjukkan bahwa penerimaan hibah bukanlah tindakan tercela jika dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik dan tidak menimbulkan konflik dengan prinsip-prinsip Islam.

Secara khusus, jika topik penelitian yang dibiayai dana tersebut adalah tentang kajian keislaman, hukumnya tetap diperbolehkan selama tidak ada unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam dalam pelaksanaannya. Bimbingan yang ketat dari pihak penerima dana diperlukan untuk memastikan penelitian tersebut membawa manfaat tanpa mengorbankan prinsip aqidah dan akhlak Islam. Wallahu a’lam bishawab

Kategori
Hukum

HUKUM MEMBANGUN MASJID BARU DALAM SATU KOTA ATAU DESA KETIKA MASJD YANG LAMA MAMPU MENAMPUNG JAMAAH

Hukum Pembangunan Masjid  Baru Dalam satu desa atau kata ketika Masjid yang  lama  Mampu Menampung Jamaah 

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Pembangunan masjid merupakan salah satu amalan yang sangat mulia dalam Islam, karena masjid berperan sebagai pusat ibadah dan kegiatan keagamaan bagi umat Muslim. Namun, ada beberapa pandangan dan pertimbangan terkait pembangunan masjid baru di suatu daerah, terutama ketika masjid yang sudah ada masih cukup untuk menampung jamaah yang ada.

Dalam beberapa kasus, pembangunan masjid baru dilakukan meskipun masjid lama masih berfungsi dengan baik dan mampu memenuhi kebutuhan jamaah. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan tujuan dari pembangunan tersebut.

  1. Bagaimana hukum pembangunan masjid baru disatu desa sementara masjid yang lama masih memuat menampung jamaah?
  2. Apa yang dimaksud Kota atau desa?

Waalikum salam

Jawaban.
Membangun masjid lebih dari satu dalam satu desa menurut pendapat yang kuat) adalah dibolehkan secara mutlak, dengan syarat jumlah jamaah di setiap masjid tidak kurang dari empat puluh orang. Jika kurang dari itu, maka mereka bergabung dengan jamaah terdekat karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengimami shalat Jumat dengan jumlah yang lebih sedikit. Begitu pula para salaf saleh setelah beliau. Dan pendapat yang mengatakan tidak boleh kecuali jika sulit berkumpul di satu tempat tidak ada dalil yang jelas atau yang mendekati jelas, baik dari nash (teks Al-Qur’an dan hadis) maupun dari qiyas (analogi). Bahkan, tujuan syariat yang ingin dicapai adalah menunjukkan kekuasaan agama Islam pada hari itu dan meninggikan suara di atas mimbar untuk menyeru kepada Allah dan memberi nasihat kepada umat Islam. Semakin banyak mimbar, semakin jelas tanda-tanda kekuasaan Islam dan semakin terangkat kejayaan agama Islam di berbagai tempat sekaligus jika setiap masjid dipenuhi oleh empat puluh orang atau lebih. Inilah yang tampak jelas bagi saya. Dan Allah-lah yang memberi taufik.

Referensi.


قرة العين فتاوى إسماعيل عثمان زين ص ٩٠-٩١

حكم تعدد الجمعة في بلدة واحدة أو قرية واحدة
مسألة:
ما قولكم في تعدد الجمعة في بلدة واحدة أو قرية واحدة مع تحقق العدد المعتبر في كل منهما مسجد من مساجدها. (١) فهل تصح جمعة الجميع أو فيه تفصيل فيما يظهر لكم ؟

Hukum Banyaknya Shalat Jumat di Satu Kota atau Desa

Pertanyaan:
Apa pendapatmu tentang banyaknya shalat Jumat di satu kota atau desa, padahal jumlah penduduk yang memenuhi syarat untuk shalat Jumat sudah terpenuhi di masing-masing masjid?

الجواب
“أما مسألة تعدد الجمعة فالظاهر جواز ذلك مطلقًا، بشرط أن لا ينقص عدد كل عن أربعين رجلاً، فإن نقص عن ذلك انضموا إلى أقرب جمعة إليهم إذ لم ينقل عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه جمع بأقل من ذلك. وكذلك السلف الصالح من بعده، والقول بعدم الجواز إلا عند تعذر الاجتماع في مكان واحد ليس عليه دليل صريح ولا ما يقرب من الصريح لا نصًا ولا شبهه، بل إن الستر المقصود بالشريعة هو في إظهار الشعار في ذلك اليوم وأن ترفع الأصوات على المنابر بالدعوة إلى الله والنصح للمسلمين. فكلما كانت المنابر أكثر كانت الشعارات أظهر وتبلوّت عزة دين الإسلام في آن واحد في أماكن متعددة إذا كان كل مسجد عامرًا بأربعين فأكثر. هذا هو الظاهر لي. والله ولي التوفيق.
تخصيص المسجد لطائفة معينة)
سؤال:
ما قولكم في بناء مسجدين أو أكثر في قرية واحدة لا لكثرة المجمعين فيها؛ بل لوقوع التشاجر والعداوة بينهم؛ ففريق منهم يمنع آخر عن أن يصلي في مسجده، وكذلك الفريق الآخر يمنعه عن أن يصلي في مسجده؟
الجواب:
والله الموفق للصواب: لا مانع من كثرة المساجد في قرية واحدة. وأما ما ذكر في السؤال من كون كل مسجد منها يختص لطائفة ويمنعون الآخرين من الصلاة فيه فهذا لا يجوز، فينبغي للعلماء المصلحين أن يعالجوا مثل هذه المشاكل بما يرفع الوحشة والبغضاء ويوجب الألفة والمودة بين المسلمين.
(1). كون إقامة الجمعة في المسجد ليس شرطًا لها عند جمهور الفقهاء الحنفية والشافعية والحنابلة خلافا للمالكية حيث يشترطون المسجد الجامع لصحة إقامتها. والله أعلم.

وأما بالنسبة لصلاة الجمعة فمذهب الشافعية أن تعدد صلاة الجمعة في قرية واحدة لا يجوز إلا لحاجة. وقد ذكروا أسباب الحاجة، وأن منها مثل ما ذكر في السؤال من الشحناء القبلية وخوف الفتنة. نسأل الله أن يهدي المسلمين أجمعين وأن يؤلف بين قلوبهم. والله سبحانه وتعالى أعلم.
مقدار المسافة التي يجب منها حضور الجمعة)
سؤال:
كم مقدار المسافة التي يجب على أهل الجمعة أن يصليها في مسجده. وهل يصح لشخص أن يصلي الجمعة في مسجد آخر؟”

“Adapun masalah banyaknya shalat Jumat, maka yang zahir (pendapat yang kuat) adalah dibolehkan secara mutlak, dengan syarat jumlah jamaah di setiap masjid tidak kurang dari empat puluh orang. Jika kurang dari itu, maka mereka bergabung dengan jamaah terdekat karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengimami shalat Jumat dengan jumlah yang lebih sedikit. Begitu pula para salaf saleh setelah beliau. Dan pendapat yang mengatakan tidak boleh kecuali jika sulit berkumpul di satu tempat tidak ada dalil yang jelas atau yang mendekati jelas, baik dari nash (teks Al-Qur’an dan hadis) maupun dari qiyas (analogi). Bahkan, tujuan syariat yang ingin dicapai adalah menunjukkan kekuasaan agama Islam pada hari itu dan meninggikan suara di atas mimbar untuk menyeru kepada Allah dan memberi nasihat kepada umat Islam. Semakin banyak mimbar, semakin jelas tanda-tanda kekuasaan Islam dan semakin terangkat kejayaan agama Islam di berbagai tempat sekaligus jika setiap masjid dipenuhi oleh empat puluh orang atau lebih. Inilah yang tampak jelas bagi saya. Dan Allah-lah yang memberi taufik.

Memperuntukkan Masjid untuk Golongan Tertentu

Pertanyaan:
Apa pendapatmu tentang membangun dua masjid atau lebih di satu desa, bukan karena banyaknya jamaah, tetapi karena adanya perselisihan dan permusuhan di antara mereka, sehingga satu kelompok melarang kelompok lain untuk shalat di masjidnya, dan begitu pula sebaliknya?
Jawaban:
Wallahu a’lam bisshawab (Hanya Allah yang mengetahui kebenaran): Tidak ada larangan untuk banyaknya masjid di satu desa. Adapun apa yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu setiap masjid diperuntukkan bagi kelompok tertentu dan mereka melarang orang lain untuk shalat di sana, maka hal ini tidak dibolehkan. Para ulama yang shalih seharusnya mengatasi masalah seperti ini dengan cara yang dapat menghilangkan permusuhan dan kebencian serta menimbulkan keakraban dan kasih sayang di antara umat Islam.
(1). Mendirikan shalat Jumat di masjid bukanlah syarat bagi sahnya shalat Jumat menurut jumhur ulama Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, berbeda dengan mazhab Maliki yang mensyaratkan masjid jami’ untuk sahnya shalat Jumat. Wallahu a’lam.
Adapun mengenai shalat Jumat, maka mazhab Syafi’i berpendapat bahwa banyaknya shalat Jumat di satu desa tidak dibolehkan kecuali karena suatu kebutuhan. Mereka telah menyebutkan beberapa sebab kebutuhan, di antaranya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, yaitu permusuhan antar suku dan kekhawatiran akan fitnah. Kita mohon kepada Allah agar menunjuki seluruh umat Islam dan menyatukan hati mereka. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui.

الميزان الكبرى (١/٢٠٩)

(وقال القرافي يحكي ونقل ذكر الكفارة في الأبدال والأوقات بحسب الداجة واختلف العلماء في جواز تعدد الجمعة في البلد الواحد فمن قال جوازها قال إنما تجوز في الضرورة ومساواة الكل – فإن كان هذا القول مقبولاً فالأولى وقوف الناس عند إمام واحد لئلا يكثر الجدل والاختلاف في الأوقات وأما من قال جواز ذلك مطلقاً فإنه لو كان كذلك لكان عندنا في كل ناحية مساجد كثيرة والناس يترددون بينها والأمر عندنا غير مقيد بعلماء بعينهم وجال ذكره ذلك وأنه في حبس واحد.

فتاوى السبكي (١٨٧-١٨٨)

واختلف مع كثير من مشايخنا في هذا المعنى فوجدت في أذهان أكثرهم أن القول بجواز التعدد مع عدم الحاجة رواية عن محمد ولقد فحصت ونقبت الكثير في كتبه فلم أر أحداً صرح بجواز التعدد عند عدم الحاجة بل بعضهم أطلق عن جواز التعدد وبعضهم قيد بالحاجة.

حاشية على مراقي الفلاح شرح نور الإيضاح، (١/٣٢٧)

ومقابل الأصح ما في البدايع أن ظاهر الرواية جوازها في موضعين فلا تجوز في أكثر من ذلك وعليه الاعتمد اه فإن المذهب الجواز مطلقاً الى ان قال – والأصح إطلاق الجواز في مواضع لا إطلاق الدليل اهـ

الإنصاف للشيخ علي بن سليمان بن أحمد المرداوي (٤٠١-٢/٤٠٠)

قال الزرقشي هو المشهور ومختار الأصحاب وأطلقها في الفائق وعنه: لا يجوز إقامتها في أكثر من موضع واحد وأطلقها في المحرر.

Al-Mīzān al-Kubrā (1/209)

“Al-Qarafi meriwayatkan dan menyebutkan tentang kafarat dalam pengganti dan waktu sesuai dengan kondisi yang berlaku. Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan mendirikan shalat Jumat di lebih dari satu tempat dalam satu kota. Sebagian ulama yang membolehkan mengatakan bahwa hal itu hanya diperbolehkan karena adanya kebutuhan mendesak dan kesetaraan di antara semua pihak. Jika pendapat ini dapat diterima, maka lebih utama jika masyarakat berkumpul di belakang satu imam agar tidak terjadi banyak perdebatan dan perselisihan terkait waktu pelaksanaan. Adapun bagi mereka yang membolehkan hal itu secara mutlak, jika demikian maka di setiap sudut kota akan terdapat banyak masjid dan orang-orang akan berpindah-pindah di antara masjid tersebut. Namun, di sisi kami, masalah ini tidak dibatasi oleh ulama tertentu dan pendapat ini diungkapkan dalam konteks tertentu.”

Fatāwā as-Subkī (187-188)

“Aku berbeda pendapat dengan banyak guru kami dalam masalah ini. Aku mendapati bahwa di benak sebagian besar dari mereka, pendapat tentang bolehnya mendirikan shalat Jumat di beberapa tempat tanpa adanya kebutuhan adalah riwayat dari Muhammad (bin Hasan as-Syaibani). Aku telah meneliti dan menelaah dengan seksama kitab-kitabnya, namun aku tidak menemukan seorang pun yang dengan jelas membolehkan pendirian shalat Jumat di beberapa tempat tanpa adanya kebutuhan. Sebagian ulama membolehkan secara umum, sedangkan sebagian lainnya membatasinya dengan adanya kebutuhan.”

Hāsyiyah ‘alā Marāqī al-Falāḥ Syarḥ Nūr al-Īdhāḥ (1/327)

“Pendapat yang berseberangan dengan yang paling shahih adalah apa yang terdapat dalam kitab al-Badā’i bahwa riwayat yang tampak adalah kebolehan mendirikan shalat Jumat di dua tempat, dan tidak diperbolehkan di lebih dari itu. Pendapat ini dipegang kuat. Pendapat yang paling shahih adalah kebolehan secara mutlak di beberapa tempat, bukan kebolehan yang bersifat umum tanpa batasan dalil.”

 

Al-Inṣāf oleh Syaikh ‘Ali bin Sulaiman bin Ahmad al-Mardāwī (2/400-401)

“Az-Zarkasyi berkata, pendapat yang masyhur dan dipilih oleh para ulama madzhab adalah kebolehan mendirikan shalat Jumat di beberapa tempat. Hal ini disebutkan secara umum dalam kitab al-Fā’iq. Disebutkan pula bahwa tidak boleh mendirikan shalat Jumat di lebih dari satu tempat, sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Muḥarrar.”

Jawaban N0.2

Para ulama berbeda pendapat mengenai definisi
kota, desa, atau perkampungan.
Diantara mereka berpendapat

Suatu kota (masr) tidak dianggap sebagai tempat yang memenuhi syarat untuk shalat Jumat jika tidak memiliki pemimpin yang sah (hakim syar’i), polisi, dan pasar. Sementara itu, sebuah desa (balad) tidak dianggap memenuhi syarat jika tidak memiliki sebagian dari fasilitas tersebut. Sedangkan sebuah perkampungan (qaryah) harus memiliki semua

Yang dimaksud dengan ‘kota’ adalah kumpulan bangunan tempat tinggal yang padat, baik itu kota, desa, atau perkampungan. Syaratnya adalah harus ada pemimpin yang sah, polisi, dan pasar. Kota adalah tempat yang memiliki sebagian dari fasilitas tersebut, sedangkan desa harus memiliki semua fasilitas tersebut.”

Referensi :

حاشية البجيرمي على المنهج ج ١ ص ٣٥٠

أن المصر ما كان فيها حاكم شرعي وشرطي وسوق والبلد ما خلت عن بعض ذلك والقرية ما خلت عن الجميع 

إعانة الطالبين ج ٢ ص ٥٩

وقوله: بمحل معدود من البلد) المراد بالبلد: أبنية أوطان المجمعين، سواء كانت بلدا أو قرية أو مصرا، وهو ما فيه حاكم شرعي، وحاكم شرطي، وأسواق للمعاملة.والبلد: ما فيه بعض ذلك.والقرية ما خلت عن ذلك كله 

تحفة المحتاج ج ٢ ص ٣٤٢

قال ابن عجيل ولو تعددت مواضع متقاربة وتميز كل باسم فلكل حكمه .ا هـ .وإنما يتجه إن عد كل مع ذلك قرية مستقلة عرفا 

كفاية الأخيار  

وَاعْلَمْ أَنَّ شَرْطَ الأَرْبَعِيْنَ الذُّكُورَةُ وَ التَّكْلِيْفُ وَالحُرِّيَّةُ وَالإِقَامَةُ عَلَى سَبِيْلِ التَّوَطُّنِ لاَيَظْعَنُونَ شِتَاءً وَلاَصَيْفًا إِلاَّ لِحَاجَةٍ فَلاَيَنْعَقِدُ بِالإِنَاثِ وَلاَ بِالصِّبْيَانِ وَلاَبِالعَبِيْدِ وَلاَ بِالمُسَافِرِيْنَ وَلاَ بِالمُسْتَوطِنِيْنَ شِتَاءً دُونَ صَيْفِ وَعَكْسُهُ 

كفاية الأخيار

إِذَا تَقَارَبَ

قَرْيَتَانِ فِى كُلٍّ مِنْهُمَا دُوْنَ أرْبَعِيْنَ بِصِفَةِ الكَمَالِ وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَبَلَغَوا أَرْبَعِيْنَ لَمْ يَنْعَقِدُ بِهَمْ الجُمْعَةُ وَإِنْ سَمِعَتْ كُلُّ قَرْيَةٍ نِدَاءَ الأُخْرَى لأَنَّ الأَرْبَعِيْنَ غَيْرُ مُقِيْمِيْنَ فىِ مَوضِعِ الجُمْعَةِ واللهُ أَعْلَمْ 

الفتاوى الفقهية الكبرى ج ٢ صـــ ٤٥٧

( وسئل )

أعاد الله علينا من بركاته لو اتصلت قريتان فهل يجوز تعدد الجمعة فيهما ؟ ( فأجاب ) بقوله الذي يظهر أنهم حيث عدوهما كالقرية الواحدة بالنسبة إلى مجاوزة عمرانهما في السفر امتنع تعددها وإلا جاز ويدل لذلك قولهم في توجيه تعدد الجمعة في بغداد أنها كانت قرى ثم اتصلت ولا فرق حيث اتصلتا الاتصال الذي ذكروه بين أن يتميز كل منهما باسم أو لا ولا بين أن يحجز بين بعض جوانبهما نهر أو لا .

مجموع فتاوى العلامة الفقيه المحقق الباحت المدقق الحبيب عبد الله بن عمر بن يحيى / ص ٥٣-٥٦

تعريف حد البلد والقرية وهي كما في الفتح وغيره الأبنية المجتمعة عرفا ولما قال في المنهاج في شروط الجمعة ((الثاني)) ان تقام في خطة ابنية (قال ابن حجر في التحفة) والمراد بالخطة كما هو ظاهر من كلامهم وصرح به جمع متقدمون محل معدود من البلد او القرية بان لم يجز لمريد السفر منها القصر فيه اهـ، ثم قال بعد كلام قال ابن عجيل ولو تعددت مواضع وتميز كل باسم فلكل حكمه اهـ وانما يتجه ان عد كل مع ذلك قرية مستقلة عرفا اهـ

فقوله ان عد الخ اي بحيث ان المسافر اذا خرج من احدهما الى جهة الاخرى يجوز له القصر قبل دخولها فهذا هو بيان العرف والاستقلال وسيأتي ما يؤيده ان شاء الله.


فكل قرية اتصل بناءها في العرف ببناء غيرها بحيث لم يتخلل بينهما شيء فهما بلدة واحدة، والمراد بالعرف الاتصال المعروف بين غالب دور البلد ومتى تخلل بينهما شيء مما ذكر او لم يتخلل لكن لم يتصل دورها الاتصال الغالب في دور البلدان فهما قريتان وهذا شيء يسير ولهذا قال في العباب والقريتان المتصلتان كالقرية لا المنفصلتان ولو يسيرا اهـ فانظر قوله يسيرا.

وقال في التحفة والقريتان ان اتصلتا عرفا فكقرية وان اختلفا اسما والا كفى مجاوزة قرية المسافر، وقول الماوردي ((ان الانفصال بذراع كاف)) في اطلاقه نظر والوجه ما ذكرته من اعتبار العرف ثم رأيت الاذرعي وغيره اعتمدوه اهـ.

فما نظر الشيخ الا في اطلاق الماوردي ان الفصل بذراع كاف من غير تقييد بان يعدهما العرف بالذراع منفصلتين فلو قيده بذلك لم يكن في كلامه نظر عند ابن حجر فتأمله بانصاف. وعلم من قوله وان اختلفا اسما الخ انه لا عبرة باتحاد الاسم ولاختلافه بل المدار على الانفصال والاتصال اتحد الاسم او تعدد.

وقال في النهاية والقريتان المتصلتان عرفا كالواحدة وان ختلف اسمها والا اكتفي بمجاوزة قرية المسافر، وقول الماوردي يكفي في الانفصال ذراع جري على الغالب والمعول عليه العرف اهـ، فالجمال الرملي موافق لابن حجر على اعتبار العرف في الانفصال والاتصال وقد جعل الفصل بالذراع الذي ذكره الماوردي هو الفصل في العرف غالبا وقد لا يكون هو الفصل في العرف في غير الغالب فليزد عليه حتى يحكم العرف بانهما منفصلتان فتدبره لتعلم به انه يحصل في العرف بشيء يسير.

وقال في فتح الجواد ولو انفصلت قريتان ولو يسيرا لم يشترط مجاوزة الاخرى اهـ. فتأمل قوله ولو يسيرا ونحوه في شرح المختصر

Ringkasan Umum
Teks-teks di atas membahas syarat-syarat berdirinya shalat Jumat dalam Islam, khususnya terkait dengan jumlah penduduk yang harus ada di suatu tempat. Para ulama berbeda pendapat mengenai definisi “tempat” atau “daerah” yang dimaksud, apakah itu sebuah kota, desa, atau perkampungan. Mereka juga membahas kriteria yang membedakan satu tempat dengan tempat lainnya, seperti adanya batas-batas fisik, jumlah penduduk, dan keberadaan fasilitas umum.

Terjemah dan Penjelasan dari beberapa referensi diatas sebagai berikut:

Hasyiah al-Bajuri:

“Suatu kota (masr) tidak dianggap sebagai tempat yang memenuhi syarat untuk shalat Jumat jika tidak memiliki pemimpin yang sah (hakim syar’i), polisi, dan pasar. Sementara itu, sebuah desa (balad) tidak dianggap memenuhi syarat jika tidak memiliki sebagian dari fasilitas tersebut. Sedangkan sebuah perkampungan (qaryah) harus memiliki semua fasilitas tersebut.”

  • Penjelasan: Teks ini memberikan syarat-syarat minimal untuk sebuah tempat agar bisa dijadikan tempat shalat Jumat.

I’anat al-Talibin:
“Yang dimaksud dengan ‘kota’ adalah kumpulan bangunan tempat tinggal yang padat, baik itu kota, desa, atau perkampungan. Syaratnya adalah harus ada pemimpin yang sah, polisi, dan pasar. Kota adalah tempat yang memiliki sebagian dari fasilitas tersebut, sedangkan desa harus memiliki semua fasilitas tersebut.”

  • Penjelasan: Teks ini memperkuat pendapat sebelumnya dan memberikan definisi yang lebih rinci tentang “kota”.
    Tahfah al-Muhtāj
    “Jika ada beberapa tempat yang berdekatan dan masing-masing memiliki nama yang berbeda, maka setiap tempat memiliki hukumnya sendiri. Namun, jika setiap tempat dianggap sebagai satu desa secara umum, maka hukumnya menjadi berbeda.”
  • Penjelasan: Teks ini membahas kasus di mana ada beberapa tempat yang berdekatan.

Kafiyat al-Akhyaar:

Teks ini membahas syarat-syarat bagi seseorang untuk dianggap sebagai bagian dari jumlah 40 orang yang diperlukan untuk menyelenggarakan shalat Jumat.

  • Penjelasan: Bagian ini tidak secara langsung membahas definisi tempat, tetapi lebih kepada syarat-syarat bagi individu yang ikut dalam shalat Jumat.
    Kafiyat al-Akhyaar (lanjutan)
    “Jika ada dua desa yang berdekatan dan masing-masing memiliki kurang dari 40 orang yang memenuhi syarat, meskipun jika digabungkan jumlahnya mencapai 40 orang, shalat Jumat tidak bisa dilaksanakan. Hal ini karena 40 orang tersebut tidak berada di tempat yang sama.”
  • Penjelasan: Teks ini membahas kasus di mana ada dua desa yang berdekatan tetapi jumlah penduduknya tidak mencukupi untuk shalat Jumat.

Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra:

Teks ini membahas kasus di mana dua desa bergabung menjadi satu.

  • Penjelasan: Bagian ini membahas apakah shalat Jumat bisa dilaksanakan di dua tempat yang sebelumnya terpisah tetapi kemudian bergabung.

Kesimpulan:

  1. Hukum Pembangunan Masjid Baru di Desa atau Kota: Membangun masjid baru di satu kota atau desa diperbolehkan, dengan syarat bahwa jumlah jamaah di setiap masjid mencapai minimal 40 orang. Jika jumlah jamaah kurang dari itu, jamaah tersebut dianjurkan untuk bergabung dengan masjid terdekat. Hal ini bertujuan agar pelaksanaan shalat Jumat dapat berlangsung sesuai dengan tuntunan syariat.
  2. Kota dan Desa dalam Konteks Syariah: Kota (masr) atau desa (balad) didefinisikan berdasarkan keberadaan pemimpin yang sah, pasar, dan fasilitas lainnya. Sebuah kota dianggap memenuhi syarat jika memiliki sebagian dari fasilitas tersebut, sedangkan sebuah desa harus memiliki semua fasilitas ini. Jika dua tempat berdekatan memiliki syarat dan jumlah jamaah yang mencukupi, maka masing-masing dapat melaksanakan shalat Jumat secara mandiri.
  3. Perbedaan Masjid Berdasarkan Golongan: Membangun masjid untuk golongan tertentu yang melarang orang lain shalat di dalamnya tidak dibolehkan. Para ulama dianjurkan untuk menyelesaikan permasalahan yang memecah belah umat Islam agar tercipta persatuan dan kasih sayang.

Secara keseluruhan, pembangunan masjid baru diizinkan selama memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan, dan pembangunan masjid tidak boleh dilakukan semata-mata untuk kepentingan golongan tertentu yang dapat memecah belah umat.Wallahu A’lam bish-shawab

Kategori
Hukum

Menjual Tembakau Campuran

Menjual Tembakau Campuran

Assalamualaikum

Deskripsi masalah

Sebagian masyarakat melakukan pengoplosan tembakau dengan mencampurnya dengan berbagai bahan seperti gula, cengkeh, klembak, saus, kemenyan, atau bahkan tembakau jenis lain. Beberapa pihak beranggapan bahwa pengoplosan, termasuk penambahan gula halus untuk fermentasi, justru meningkatkan mutu dan bahkan kadar tar serta nikotin. Mereka juga berpendapat bahwa pencampuran berbagai bahan adalah keharusan untuk mendapatkan rasa dan kualitas rokok yang maksimal.
Namun, perlu dipahami bahwa tembakau yang sudah dicampur, baik dengan tembakau lain maupun bahan tambahan, dianggap tidak murni lagi. Praktik pengoplosan ini seringkali bertujuan untuk mendapatkan keuntungan lebih dengan memperbanyak volume tembakau yang dijual. Umumnya, pengoplosan dilakukan dengan mencampurkan tembakau berkualitas tinggi dengan tembakau berkualitas rendah. Meskipun hasil campurannya bisa terlihat seperti tembakau murni setelah proses yang tepat, praktik ini sebenarnya dapat menurunkan kualitas produk secara keseluruhan. Inilah gambaran umum praktik pengoplosan tembakau yang terjadi di sebagian masyarakat.

Pertanyaannya.

  1. Bagaimana proses jual beli tembakau campuran ini jika ditinjau dari kacamata agama ?.
  2. Sudahkah terpenuhi Rukun dan Syarat yang telah digariskan agama,?

Waalaikum salam.

Jawaban ditafsil

  • Tidak boleh ( haram) Jika tembakau masih mentah ( sebelum diproses rokok), sebab terkadang pada barang yang diperdagangkan tidak dapat diketahui ada cacat cacatnya ( karena termasuk majhul dan termasuk penipuan)
  • Boleh jika keduanya /penjual dan pembeli sama-mengetahui ( Pembeli diberi tahu oleh pemiliknya).

Dengan catatan kebolehan tersebut telah memenuhi syarat dan rukunnya transaksi

Berbeda dengan tembakau yang sudah diracek oleh para ahli karena itu sudah berubah nama menjadi rokok ( rokok tembakau) walaupun didalamnya sudah beranika ragam campuran ( racekan) maka dalam hal ini tidak ada musykil.

المكتبة الشاملة 

المجموع شرح المهذب  ج٩ص٧٠٦

المجموع شرح المهذب
فرع .قال أصحابنا لايجوز بيع اللبن والخل ونحوهما إذا كان مخلوطا بالماء لأن المقصود مجهول .

Tidak boleh menjual susu dan cuka ataupun seumpamanya keduanya jika kondisinya dicampur dengan air ( tidak murni) Alasannya karena majhul ( tidak diketahui).kenapa tidak diperbolehkan karena yang dimaksudkan adalah karena bercampurnya tidak diketahui dan termasuk penipuan.

Referensi:


إسعاد الرفيق. ج ١ ص ١٣٦ الهداية سورابيا

ويحرم بيع المعيب بلا إظهار لعيبه وقد يفسد به البيع قال فى النصائح واحذر كل الحذر من الغش والخداع وكتمان عيوب المبيع فإن ذلك محرم شديد التحريم وقد يفسد به البيع من أصله وقد مر عليه الصلاة والسلام برجل يبيع طعاما فأدخل يده فيه فمست بللا فقال ياصاحب الطعام ماهذا ؟ فقال أصابته السماء يعنى المطر فقال عليه الصلاة والسلام هلّا جعلته ظاهرا حتى يراه الناس ! من غشنا فليس منا ويجب على من علم أنّ به عيبا بيانه لمن يريد شرائه وهو لايعلم إن لم يخبره البائع


” Haram menjual barang yang cacat tanpa menampakkan cacatnya, dan terkadang akad jual beli menjadi tidak sah.Al-Habib Al-Haddad berkata dalam kitab Nasho’ih : Takutilah setakut-takutnya dari menipu memperdaya, dan menutupi cacat barang yang dijual .Karena itu adalah sangat diharamkan, dan terkadang jual beli tidak sah dari awal mula. Dan sesungguhnya Nabi SAW lewat bertemu dengan seorang laki-laki yang menjual makanan, kemudian Nabipun memasukkan tangan beliau kedalamnya, lantas tangan beliau menyentuh basah-basah .Lalu beliau pun berkata: Wahai pemilik makanan, apakah ini ? Dia pun menjawab; Telah terkena air hujan .Lalu Nabi SAW bersabda: Mengapa engkau tidak menampakkan ( menjadikan tampak) sehingga dapat dilihatnya oleh manusia..? Siapa yang menipu kami maka bukanlah termasuk golongan kami . ” Wajib bagi seseorang yang mengetahui bahwa suatu barang terdapat cacat untuk menjelaskannya kepada orang yang ingin membelinya, sementara ia tidak mengetahuinya jika penjual tidak memberi tahu padanya.

Adapun mafhum mukholafah dari dua ibarah diatas hukumnya boleh jika pembeli mengetahui atau sipemilik memberitahu (sudah maklum/diketahui).

  • Bughyatul Mustarsyidin karya Sayyid Ba ‘alawi Al-Hadlromiy halaman halaman 297 Maktabah Daar El-Fikr Beirut :

ويجوز خلط الطعام الرديء بالطعام الجيد إن كان ظاهراً يعلمه المشتري، وليس ذلك من الغشّ المحرم، وإن كان الأولى اجتنابه، إذ ضابط الغشّ أن يعلم ذو السلعة فيها شيئاً لو اطلع عليه مريدها لم يأخذها بذلك المقابل فيجب إعلامه حينئذ

“Boleh mencampur jenis makanan yang kualitasnya rendah dicampur dengan makanan yang kualitasnya lebih bagus dengan catatan barang tersebut jelas yang diketahui oleh pembeli, yang demikian ini tidak termasuk al-ghasy(menipu) yang diharamkan, ini diperbolehkan walaupun yang lebih baik adalah menjauhinya, karena definisi dari al-ghasy(menipu) adalah apabila pemilik barang mengetahui terhadap cacatnya barang dagangan , yang apabila seandainya orang yang hendak membeli itu tahu bahwa barang dagangan itu ada cacatnya,maka pembeli itu tidak akan membeli terhadap barang dagangan itu, maka dalam hal ini pemilik wajib memberitahukan terhadap cacatnya barang dagangannya”

  • Hasyiyah Al-Qulyubi II / 235 :

تَنْبِيهٌ: قَالَ فِي شَرْحِ الرَّوْضِ يَجِبُ عَلَيْهِ إعْلَامُ الْمُشْتَرِي بِالْعَيْبِ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ الْعَيْبُ مُثْبِتًا لِلْخِيَارِ, وَقَالَ الْأَذْرَعِيُّ: وَقَضِيَّةُ كَلَامِهِمْ أَنَّهُ لَا بُدَّ مِنْ التَّعْيِينِ وَلَا يَكْفِي فِيهِ جَمِيعُ الْعُيُوبِ. ثُمَّ رَأَيْت فِي الْقُوتِ قَالَ الْإِمَامُ الضَّابِطُ فِيمَا يَحْرُمُ كِتْمَانُهُ أَنَّ مَنْ عَلِمَ شَيْئًا يُثْبِتُ الْخِيَارَ فَأَخْفَاهُ أَوْ سَعَى فِي تَدْلِيسٍ فِيهِ فَقَدْ فَعَلَ مُحَرَّمًا, وَإِنْ لَمْ يَكُنْ الشَّيْءُ مُثْبِتًا لِلْخِيَارِ فَتَرْكُ التَّعَرُّضِ لَهُ لَا يَكُونُ مِنْ التَّدْلِيسِ الْمُحَرَّمِ. ا ه

“Peringatan : Barkata Imam An-Nawawi dalam Kitab Ar-Raudhotut tholibin, “Wajib bagi penjual memberitahukan cacat atas barang dagangannya kepada pembeli, walaupun aib(cacat) ini bukan sesuatu yang bisa menyebabkan khiyar” , berkata Al-Adzro’iy , “Maksud dari perkataan ulama adalah wajib (bagi penjual) menjelaskan (keadaan barangnya), tidak cukup hanya dengan menjelaskan aib-aib(cacat-cacat)nya saja, kemudian aku melihat qoul yang tersebut dalam kitab Al-Quut, berkata Al-Imam: Definisi  dari aib(cacat )yang haram disembunyikan adalah barangsiapa mengetahui sesuatu aib(cacat) yang dapat menyebabkan khiyar lalu di menyembunyikannya atau dia melakukan apa yang dilarang dalam tadlis (menyembunyikan / menyamarkan aib barang dari pembeli) maka sungguh dia telah berbuat haram, namun apabila aib tersebut adalah bukan sesuatu yang menyebabkan khiyar, sedang dia tidak menjjelaskan aib itu, maka hal itu bukan termasuk tadlis yang diharamkan”.

…………………

Dari qoidah sabda Rosulullah:


(انما البيع عن تراض)


artinya:Sesungguhnya akad jual beli itu sah jika diantara penjual dan pembeli sudah saling ridho.
maka jika penjual tembakau dan pembeli tembakau itu sudah saling ridho mengenai tembakau yang dicampur dengan gula, maka akad jual belinya tembakau yang dicampur dengan gula itu hukumnya adalah sah.

Referensi:

المجموع شرح المهذب (٩/ ١٥٨)

قوله تَعَالَى (لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ) فدل على أنه إذا لم يكن عن تراض لم يحل الاكل وروي أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ إنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ (انما البيع عن تراض) فدل على أنه لا بيع عن غير تراض ولانه قول أكره عليه بغير حق فلم يصح ككلمة الكفر إذا أكره عليها

Jangan kalian memakan harta di antaramu dengan suatu yang batil kecuali harta dagang yang dari saling ridho di antara kalian. Maka jelas menunjukkan apabila bukan dari saling ridho maka tidak halal memakan. Dan Abu Said alkhudry meriwayatkan bahwa nabi saw bersabda : “sesungguhnya jual-beli itu dari saling ridho”
maka menunjukkan bahwa tidak ada penjualan yang sah tanpa adanya saling ridho.

Tapi jika jika penjual tembakau dan pembeli tembakau itu tidak saling ridho mengenai tembakau yang dicampur dengan gula,dan jika pembeli tembakau itu tidak mengetahui bahwa tembakau yang dijual oleh penjual itu sudah dicampur dengan gula,maka akad jual belinya tembakau yang dicampur dengan gula itu hukumnya adalah tidak sah dan termasuk penipuan yang diharamkan oleh Rosulullah.

الفقه المنهجي على مذهب الإمام الشافعي (٦/ ١٦)وكذلك: فإن في هذا النوع من البيع غررا، لأنه على خطر الوجود وعدمه، ولما فيه من الجهالة، وقد نهى رسول الله – صلى الله عليه وسلم – عن بيع الغرر. (مسلم: البيوع، باب: بطلان بيع الحصاة والبيع الذي فيه غرر، رقم ١٥١٣).

Demikian penjelasan buat penanya yang mulia K.H.Moh.Mawardi tentang hukum menjual tembakau campuran. Wallahu A’lam bisshowab

Kategori
Hukum

HUKUM MEMBACA BASMALAH KETIKA MEROKOK

Assalamualaikum wr wb

Deskripsi masalah

Membaca basmalah disetiap pekerjaan dianjurkan sebagaimana Rasulullah Shollallahu alaihi wasallam bersabda: Setiap pekerjaan yang baik yang tidak didahului dengan membaca basmalah maka terputus . Ahli tafsir mengartikan yang dimaksud dengan terputus adalah sedikit barakahnya . Studi kasus ada seseorang pecandu rokok dia baca basmalah sebelum merokok atau ketika merokok dan juga baca hamdalah ketika selesai merokok dikarenakan dia beranganggapan bahwa merokok itu nikmat, apalagi dibarengi dengan minum kopi dan setelah makan.

Pertanyaannya

Bagaimana hukumnya baca basmalah ketika mau mengerjakan hal yang makruh seperti merokok, dan juga makan bawang merah, dan juga membaca hamdalah setelah selesai mengerjakan hal yang makruh tersebut? Mohon jawabannya dengan referensinya

Waalaikum salam.

Jawaban.

Membaca bamalah dalam setiap pekerjaan itu memang sangat dianjurkan bahkan sunnah, namun tidak setiap perbuatan itu dianjurkan membaca basmalah, melainkan yang dianjurkan baca basmalah itu, yaitu pekerjaan yang bernilai baik secara sayariat. 

Ulama mengklasifikasikan hukum membaca basmalah menjadi Lima macam.

  1. Wajib
  2. Sunnah
  3. Haram.
  4. Makruh
  5. Mubah

Begitu juga halnya hukum merokok ulama berbeda pendapat

  1. Ulama yang berpendapat haram secara mutlak
  2. Ulama yang berpendapat halal secara mutlak
  3. Ulama menafsil/ memerinci hukum merokok tergantung situasi dan kondisinya, sebagaimana berikut;

a) Haram, jika pembelihan rokok dengan menggunakan uang yang menjadi kebutuhan nafaqoh ( belanja ) keluarga, jika bertujuanmenghambur-hamburkan uang, atau jika yakin akan menimbulkan bahaya .

b) Makruh, Jika merokok tanpa bertujuan apa-apa dan tidak berbahaya.

c) Wajib, jika punya penyakit /bahaya yang tidak bisa disembuhkan kecuali dengan merokok.

d) Sunnah, jika mempunyai penyakit yang berbahaya dan bisa sembuh dengan merokok akan tetapi masih ada obat lain.

e) Mubah

Referensi :

الباجوري ج ١ ص ٣٤٣

(قوله ولا بيع لا منفعة فيه)

 قيل منه الدخان المعروف لانه لا منفعة فيه بل يحرم استعماله لان فيه ضررا كبيرا وهذا ضعيف وكذا القول بانه مباح والمعتمد انه مكروه بل قد يعتريه الوجوب كما اذا كان يعلم الضرر بتركه وحينئذ فبيعه صحيح وقد تعتريه الحرمة كما اذا كان يشتريه بما يحتاجه لنفقة عياله او تيقن ضرره

Dikatakan bahwa termasuk dalam kategori ini adalah rokok yang dikenal, karena tidak ada manfaat padanya, bahkan haram menggunakannya karena mengandung bahaya besar. Pendapat ini lemah. Demikian pula pendapat yang mengatakan bahwa rokok itu mubah. Pendapat yang mu’tamad (kuat) adalah bahwa rokok itu makruh, bahkan bisa menjadi wajib jika seseorang mengetahui adanya bahaya jika ia meninggalkannya (misalnya, bagi orang yang sudah sangat kecanduan dan berhenti tiba-tiba bisa membahayakan kesehatannya). Ketika itu, jual belinya sah. Dan bisa juga menjadi haram, seperti jika seseorang membelinya dengan…

(إعانة الطالبين. ٩/١)
فيقال: البسملة مطلوبة في كل أمر ذي بال – أي حال – يهتم به شرعا، بحيث لا يكون محرما لذاته ولا مكروها كذلك، ولا من سفاسف الأمور – أي محقراتها – فتحرم على المحرم لذاته كالزنا، لا لعارض كالوضوء بماء مغصوب. وتكره على المكروه لذاته كالنظر لفرج زوجته، لا لعارض كأكل البصل


Maka dikatakan: Basmalah itu dituntut (disunnahkan) dalam setiap perkara yang memiliki nilai – yaitu keadaan – yang diperhatikan oleh syara’, sekira perkara tersebut tidak haram karena zatnya, tidak makruh karena zatnya, dan bukan termasuk perkara remeh – yaitu perkara yang dianggap hina – maka haram membaca basmalah atas perkara yang haram karena zatnya seperti zina, bukan karena sebab lain seperti berwudhu dengan air hasil ghasab. Dan makruh membaca basmalah atas perkara yang makruh karena zatnya seperti melihat kemaluan istrinya, bukan karena sebab lain seperti makan bawang.


كاشفة السجا على سفينة النجا
– وعملاً بحديث أبي داود وغيره كل أمر ذي بال لا يبدأ فيه ببسم اﷲ الرحمن الرحيم فهو أبتر أو أقطع أو أجذم والبال الشرف والعظمة أو الحال والشأن الذي يهتم به شرعاً. ومعنى الاهتمام به طلبه أو إباحته بأن لا يكون محرماً لذاته ولا مكروهاً لذاته لكن لاتطلب البسملة على محقات الأمور ككنس زبل ولا تطلب للذكر المحض كالتهليل


– Dan mengamalkan hadits Abu Dawud dan lainnya, setiap perkara yang memiliki nilai yang tidak dimulai dengan “Bismillahirrahmanirrahim” maka ia terputus, kurang berkah, atau cacat. Dan “al-bal” adalah kemuliaan dan keagungan, atau keadaan dan urusan yang diperhatikan oleh syara’. Makna “memperhatikan” adalah menuntutnya atau membolehkannya, dengan syarat tidak haram karena zatnya dan tidak makruh karena zatnya. Akan tetapi, basmalah tidak dituntut pada perkara-perkara yang hina seperti menyapu kotoran, dan tidak dituntut untuk dzikir murni seperti tahlil


إعانة الطالبين.ص ٣
والحاصل تعتريها الأحكام الخمسة . الوجوب كما فى الصلاة عندنا معاشر الشافعية والإستحباب عينا كما فى الوضوء والغسل والإسحباب كفاية كما فى أكل الجماعة وكما فى جماع الزوجين فتكفى تسمية أحدهما والتحريم فى المحرم الذاتي والكراهة فى المكروه الذاتى والإباحة فى المباحات التى لاشرف فيها كنقل متاع من مكان إلى آخر .


Kesimpulannya, basmalah itu memiliki lima hukum: wajib, seperti dalam shalat menurut kami golongan Syafi’iyah; sunnah ‘ain (sunnah bagi setiap individu) seperti dalam wudhu dan mandi; sunnah kifayah (sunnah yang cukup dilakukan oleh sebagian orang) seperti dalam makan berjamaah dan seperti dalam berhubungan suami istri, maka cukup dengan ucapan basmalah salah satu dari keduanya; haram pada perkara yang haram karena zatnya; makruh pada perkara yang makruh karena zatnya; dan mubah pada perkara mubah yang tidak memiliki kemuliaan seperti memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lain.

سبعة كتب مفيدة ص ١٥٨

إذا تقررذلك فاعلم أن المسئلة إستعمال التنباك وسعوطا من جملة أفراد الأمور المتشبهات التى فسرها العلماء رحمهم الله تعالى ماليس بواضح الحال والحرمة مما تنازعته وتجاذبته المعانى والأسباب – إلى أن قال – ومن أجل ذلك انقسم العلماء فى الكلام على حكمه ثلاثة مذاهب ، المذهب الأول مذهب من أطلق القول بتحريم استعماله – إلى أن قال- المذهب الثانى مذهب من أطلق القول بعدم تحريم استعمال التنباك المذكور – إلى أن قال – مذهب الثالث من لم ير أطلق القول بتحريم استعمال التنباك أو تحليله لأنه يرى أن المقام مقام تفصيل ، والقاعدة أن الإطلاق للحكم فى مقام التفصيل خطاء فيرى أن جميع الأحكام الشرعية الخمسة الحرمة والكراهة والوجوب والندب والإباحة تجرى فى مسئلة استعمال التنباك بحسب المشتريات الوضعية الشرعية – إلى أن قال – فاعلم أن أمثلة ذلك لاتدخل تحت الحصر ولكن لابأس بالإشارة إلى بيان ذلك فيما نحن بصدده من جميع الأحكام الخمسة ،فمن أمثلة باب الحرام أن يقال استعمال التنباك ضرر محرم يكون ذلك حكما وضعيا لحرمة استعمال التنباك فى حق من هذا صفته – إلى أن قال- ومن أمثلة باب المكروه أن يقال استعمال التنباك اختلف العلماء رحمهم الله تعالى فى حكمه واختلافهم فى الشيء حكم وضعي لكراهة اقتحام الريب قال عليه السلام دع مايريبك إلى مالا يريبك رواه النسائ والترمذي والحاكم وصححه ومن أمثلة الوجوب أن يقال دفع الضرر عن النفس إذا تعين حكم وضعي لوجوب استعمال مايقع به الدفع المفهوم قوله تعالى لَاتَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ بل لو وقعت التجربة فى أن الدفع لذلك الضرر ليس إلابتعاطى المحرم اكلا وشربا وجب لأنه مضطر فى بقاء روحه – إلى أن قال- ومن أمثلة باب الندب أن يقال دفع الضرر عن النفس من عارض الداء حكم وضعي لندب استعمال مايقع به النفع من تعاطى الدواء لتظاهر الأدلة السمعية المتكاثرة على مشروعة التداوى – إلى أن قال- وقد ذكر الأطباء المتأخرين أنه ينفع لجاع الكبد ومن الحميات الغليظة ومن المغض واليرفان ولتجفيف الرطبات وغير خوف جريان ماذكر فى التنباك سواء قلنا يجوز استعماله أو بحرمته وإن كراهة التنباك وندبه ووجوبه يطلق عليه اسم الجائز بمعنى غير الممنوع من فعلها. والله أعلم بالصواب

Dari referensi ditas dapat disimpulkan bahwa hukum membaca basmalah ketika merokok atau akan merokok dan membaca hamdalah setelah merokok dikondisikan hukumnya dengan hukumnya merokok antara hukum yang lima. Yakni bisa jadi hukumnya sunnah, makruh mubah, haram, selain bukan hukum yang wajib karena hukum baca basmalah itu hanya bisa dicontohkan ketika didalam sholat yaitu baca basmalah karena termasuk bagian dari surah fatihah menurut. Syafiiyah. Jadi dalam hal hukum membaca basmalah ini dikondisikan sebagaimana hukunya merokok dengan berdasarkan sebuah kaidah sebagai berikut:

الوسائل لها حكم المقاصد

Artinya “perantara atau media baginya berlaku pula hukum sebagaimana tujuanya”.

الحكم يدور مع علته وجودا وعداما

Artinya:” Hukum itu berputar ( bisa berubah) beserta illatnya ( sebabnya) ada dan tidak adanya illat itu. Wallahu A’lam bisshowab