Kategori
Hukum

Asap yang keluar dari benda najis

Assalaamu alaikum werohmatullaahi weberokaatuh.

PERTANYAAN :

Izin bertanya para kyai.. Gimana hukumnya asap tai sapi (calattong) seandainya kena baju atau sarung (sholat), najis atau tidak.
monggo jawabannya beserta ibarohnya…

Waalaikumussalam warohmatullohi wabarakatuh..

JAWABAN :

Kalau asapnya merupakan hasil pembakaran, maka hukumnya najis, sedangkan baju dan nasi yang terkena asap tersebut adalah mutanajjis (benda yang terkena najis), hanya saja kalau sedikit masih di-ma’fû (ditoleransi). Kalau asap tersebut bukan hasil pembakaran, seperti asapnya kotoran yang disebabkan panas matahari, maka hukumnya tidak najis.

Rujukan

(فرع) دُخَانُ النَّجَاسَةِ نَجِسٌ يُعْفَى عَنْ قَلِيْلِهِ وَبُخَارُهَا كَذَلِكَ إِنْ تَصَاعَدَ بِوَاسِطَةِ نَارٍ لِأَنَّهُ جُزْءٌ مِنَ النَّجَاسَةِ تَفْصِلُهُ النَّارُ لِقُوَّتِهَا وَإِلَّا فَطَاهِرٌ وَعَلى هَذَا يُحْمَلُ إِطْلَاقُ مَنْ أَطْلَقَ بِنَجَاسَتِهِ أَوْ طَهَارَتِهِ إهـ (فتح الوهاب, 1/20).

(مسئلة) الفَرْقُ بَيْنَ دُخَانُ النَّجَاسَةِ وَبُخَارِهَا اَنَّ اْلاَوَّلَ اِنْفَصَلَ بِوَاسِطَة ِناَرٍ وَالثَّانِى لَا بِوَاسِطَتِهَا قَالَهُ الشَّيْخُ زَكَرِيَّا وَقَالَ أَبُوْ مَخْرَمَةَ هُمَا مُتَرَادِفَانِ فَمَا اِنْفَصَلَ بِوَاسِطَةِ ناَرٍ فَنَجِسٌ وَمَالَا فَلاَ أَمَّا نَفْسُ الشُّعْلَةِ أى لِسَانِ النَّارِ فَطَاهِرٌ قَطْعًا حَتَّى لَوِ اقْتَبَسَ مِنْهَا فِى شُمْعَةٍ لَمْ يُحْكَمْ بِنَجَاسَتِهِ إهـ (بغية المسترشدين, 13).

(فَرْعٌ) دُخَانُ النَّجَاسَةِ نَجِسٌ يُعْفَى عَنْ قَلِيْلِهِ وَعَنْ يَسِيْرِهِ عُرْفًا إلى أن قال-وَبُخَارُ النَّجَاسَةِ اِنْ تَصَاعَدَ بِوَاسِطَةِ نَارٍ نَجِسٌ لِأَنَّ أَجْزَاءَ النَّجَاسَةِ تَفْصِلُهَا النَّاُر بِقُوَّتِهَا فَيُعْفَى عَنْ قَلِيْلِهِ إهـ (مغنى المحتاج, 1/81).

 

Dalil dari kitab I‘ānatuṭ-Ṭālibīn dan Ḥāshiyah al-Bājūrī, yang merupakan rujukan dalam mazhab Syafi’i, mengenai najisnya asap dari benda najis yang dibakar, termasuk kotoran hewan.

– I‘ānatuṭ-Ṭālibīn (Juz 1, Hal. 85)

وَالدُّخَانُ النَّاشِئُ مِنَ النَّجَاسَةِ بِإِحْرَاقِهَا نَجِسٌ، لِأَنَّهُ جُزْءٌ مِنْهَا تَصَاعَدَ بِالنَّارِ، كَمَا قَالَهُ ابْنُ حَجَرٍ.

Artinya:
Asap yang muncul dari najis yang dibakar adalah najis, karena ia merupakan bagian dari najis yang naik ke atas karena api, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar.

– Ḥāshiyah al-Bājūrī ‘alā Sharḥ Ibn Qāsim (Juz 1, Hal. 87)

وَالدُّخَانُ وَاللَّهَبُ النَّاشِئَانِ مِنَ الْعَيْنِالنَّجِسَةِ نَجِسَانِ، لِأَنَّهُمَا مِنْ أَجْزَائِهَا، وَالْحُكْمُ يَدُورُ مَعَ الْعِلَّةِ وُجُودًا وَعَدَمًا.

Artinya:
Asap dan nyala api yang berasal dari benda najis adalah najis, karena keduanya termasuk bagian dari benda tersebut. Dan hukum itu berputar bersama ‘illat-nya, ada atau tidaknya.

Wallahu a’lamu..

Kategori
Hukum

Status pernikahan bila suami atau istri murtad

Pandangan Mazhab Syafi’i: Murtad dan Dampaknya terhadap Pernikahan

Dalam mazhab Syafi’i, murtad (keluar dari Islam), baik dari pihak suami maupun istri, menyebabkan batalnya akad nikah secara otomatis (fasakh), bukan talak.

Murtadnya Suami menurut Mazhab Syafi’i:

  • Jika suami murtad, maka pernikahan langsung batal (fasakh) tanpa memerlukan talak.

  • Istri tidak boleh lagi berstatus sebagai istri dari orang yang murtad.

  • Jika suami kembali masuk Islam dalam masa iddah, tetap harus dilakukan akad nikah baru untuk kembali menjadi suami-istri.

  • Tidak ada hitungan talak karena fasakh bukan talak.

  • Kaidah fiqh dalam mazhab Syafi’i:

المرتد لا تقره الشريعة على النكاح

“Al-murtad laa tuqarruhu al-syari‘ah ‘ala nikah.”
(Syariat tidak mengakui pernikahan dengan orang murtad.)

Murtadnya Istri menurut Mazhab Syafi’i:

  • Jika istri murtad, maka akad nikah juga batal (fasakh).

  • Suami tidak lagi memiliki hubungan pernikahan yang sah dengan istri murtad.

  • Jika istri kembali masuk Islam dalam masa iddah, tetap wajib dilakukan akad nikah baru untuk kembali menjadi pasangan suami-istri.

Kesimpulan menurut Mazhab Syafi’i:

  • Murtad membatalkan akad nikah secara otomatis (fasakh), baik yang murtad adalah suami maupun istri.

  • Bukan termasuk talak, sehingga tidak dihitung dalam jumlah talak.

  • Akad nikah harus diulang jika pasangan yang murtad kembali masuk Islam dalam masa iddah

Murtad bukan talak. Akan tetapi menyebabkan fasakh (pembatalan pernikahan), karena bukan niat untuk menceraikan, tetapi kehilangan status agama yang menjadi syarat keabsahan pernikahan.

– Imam an-Nawawi menjelaskan:

وَإِذَا ارْتَدَّ أَحَدُ الزَّوْجَيْنِ قَبْلَ الدُّخُولِ انْفَسَخَ النِّكَاحُ فَوْرًا، وَإِنْ كَانَ بَعْدَ الدُّخُولِ تَوَقَّفَ عَلَى انْقِضَاءِ الْعِدَّةِ، فَإِنْ رَجَعَ فِي الْعِدَّةِ فَهُوَ عَلَى نِكَاحِهِ، وَإِلَّا انْفَسَخَ.

“Jika salah satu dari suami-istri murtad sebelum terjadi hubungan suami-istri, maka pernikahan langsung batal. Jika setelah hubungan, maka ditangguhkan hingga masa iddah selesai. Jika yang murtad kembali ke Islam dalam masa iddah, maka pernikahan tetap sah. Jika tidak, maka pernikahan batal.”

– Al-Majmūʿ Syarḥ al-Muhadzdzab, jilid 17, hlm. 142.

ولو ارتد زوجان أو أحدهما قبل دخول تنجزت الفرقة بينهما أو بعده أي الدخول وقفت فان جمعهما الاسلام في العدة دام النكاح وإلا بأن لم يجمعها فالفرقة من الردة ويحرم الوطء في التوقف

Artinya: “Apabila suami istri murtad atau salah satunya saja sebelum mereka bersenggama, otomatis terjadi talak. Jika murtadnya terjadi setelah mereka pernah melakukan senggama walaupun sekali maka ikatan tali pernikahannya ditangguhkan. Kalau mereka masuk Islam lagi dalam masa iddah, pernikahan terjalin kembali lagi. Apabila masa iddah sampai habis belum masuk Islam lagi, maka terjadi talak. Selama masa pending tali pernikahan pasangan suami-istri tidak boleh melakukan senggama.” (Muhammad Az-Zuhri, As-Sirojul Wahhâj, [Darul Ma’rifah, Beirut], halaman 377).

Mirip dengan pernyataan di atas juga disebutkan dalam kitab Asnal Mathalib lil Mawardi, I‘anatuth Thalibin lis Sayyid al-Bakri, Fathul Wahhab li Zakariya al-Anshari, dan lain sebagainya.

Apabila orang yang murtad sampai habis masa iddah belum kembali pada agama Islam, maka terjadi talak. Risikonya, jika mereka ingin kembali menjalin pernikahan yang sah, selama masih dalam kurun talak raj’i (baru ditalak sekali atau dua kali), suami boleh menikahi mantan istrinya tersebut dengan akad nikah yang baru dengan syarat dan rukun sebagaimana orang nikah pada umumnya.

Yang perlu menjadi perhatian adalah, apa sebenarnya faktor orang tersebut menjadi keluar dari Islam? Apakah murni dia ikrar keluar dari Islam seraya memeluk agama lain ataukah karena tidak sengaja dengan melontarkan perkataan yang membuat dia keluar dari Islam?

Kalau seseorang dengan sengaja keluar dari Islam, jelas ia tidak melaksanakan shalat atau syahadat sama sekali dalam hidupnya. Berbeda apabila ia tanpa sengaja mengatakan sesuatu yang membuat ia murtad. Habis itu, ia melaksanakan shalat. Dalam shalat, ia membaca syahadat, berarti ia masuk Islam lagi.

Berbeda jika habis murtad tanpa sengaja, ia tidak pernah shalat sama sekali, tidak pernah tahlilan di kampung bersama-sama membaca syahadat, atau aktivitas lainnya yang berarti ia tak mengucapkan kalimat syahadat sama sekali. Apabila ini berlangsung terus menerus sampai masa iddah habis, terjadilah talak antara suami-istri.

Wallahu a’lam

Kategori
Hukum

Imam tidak mengikuti khotbah, Sahkah menjadi imam Shalat jum’at?

Implikasi Keterlambatan Imam Salat Jumat terhadap Keabsahan Salat dan Syarat Mendengarkan Khotbah

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:
Dalam praktik pelaksanaan sholat Jumat di masyarakat, terkadang terjadi pemisahan peran antara khatib dan imam. ( beda orang). Menjelang dimulainya khotbah. Sang imam yang bertugas terlambat hadir sehingga tidak sempat mendengarkan khotbah yang sedang berlangsung.

Waalaikumsalam.

Pertanyaan :

1. Apakah syarat menjadi imam sholat Jumat harus mendengarkan khotbah yang disampaikan oleh khatib.
2. Bagaimana hukumnya imam bukan khatib.

Waalaikumsalam.
Jawaban :
1. Ya, Disyaratkan bagi imam shalat jum’at mendengarkan Khotbah menurut jumhur ulama, jika imam berbeda dengan khatib. Jika tidak mendengarkan khutbah, sholat Jumat tidak sah.
2 Hukum Imam Bukan Khatib: Boleh (jaiz) tapi makruh menurut jumhur ulama.
Dengan demikian Sunah jika khatib dan imam satu orang, karena shalat dan khutbah satu paket (satu kesatuan). Menurut Mazhab Maliki wajib satu orang kecuali ada udzur.

Referensi

مرقاة صعود التصديق في شرح سلم التوفيق صـ ٣٤

(فرع) لو خطب شخص وأراد أن يقدم شخصا آخر ليصلي بالقوم، فيشترط فيمن يكون إماما أن يكون ممن سمع الخطبة وإن كان ممن فيه الأربعون وإلا بأن كان زائدا على الأربعين فلا يشترط عليه نية الجمعة إذ يجوز صلاة الجمعة خلف مصلي الظهر إنتهى

Miroqot Su’ud At-Tashdiq fi Syarhi Sullam At-Taufiq halaman 34

(Cabang) Apabila seseorang berkhotbah dan ingin mengajukan orang lain untuk mengimami shalat bagi kaum (jamaah), maka disyaratkan bagi orang yang menjadi imam tersebut untuk termasuk orang yang mendengarkan khotbah. Dan jika ia termasuk dalam bilangan empat puluh (jamaah), maka demikianlah (disyaratkan mendengar khotbah). Jika tidak demikian, yaitu jumlah jamaah lebih dari empat puluh, maka tidak disyaratkan baginya niat shalat Jumat, karena diperbolehkan shalat Jumat di belakang orang yang shalat Zuhur. Selesai.

ويكره ذلك أعني أن يكون الخطيب غير الإمام أفتى بذلك للشيخ النحرير للوذعي محمد صالح بن إبراهيم

Dan dimakruhkan hal itu, maksudku adalah khatib berbeda dengan imam. Demikianlah fatwa dari Syekh An-Nahrir Al-Ladza’i Muhammad Shalih bin Ibrahim.

الموسوعة الفقهية الكويتية : ج٢٧ص٢٠٦
اسْتِحْبَابُ كَوْنِ الْخَطِيبِ وَالإِْمَامِ وَاحِدًا:
٣٢ – يُسْتَحَبُّ أَنْ لاَ يَؤُمَّ الْقَوْمَ إِلاَّ مَنْ خَطَبَ فِيهِمْ؛ لأَِنَّ الصَّلاَةَ وَالْخُطْبَةَ كَشَيْءٍ وَاحِدٍ (٢) ، قَال فِي تَنْوِيرِ الأَْبْصَارِ: فَإِنْ فَعَل بِأَنْ خَطَبَ صَبِيٌّ بِإِذْنِ السُّلْطَانِ وَصَلَّى بَالِغٌ جَازَ (٣) ، غَيْرَ أَنَّهُ يُشْتَرَطُ فِي الإِْمَامِ حِينَئِذٍ أَنْ يَكُونَ مِمَّنْ قَدْ شَهِدَ الْخُطْبَةَ. قَال فِي الْبَدَائِعِ: وَلَوْ أَحْدَثَ الإِْمَامُ بَعْدَ الْخُطْبَةِ قَبْل الشُّرُوعِ فِي الصَّلاَةِ فَقَدَّمَ رَجُلاً يُصَلِّي بِالنَّاسِ: إِنْ كَانَ مِمَّنْ شَهِدَ الْخُطْبَةَ أَوْ شَيْئًا مِنْهَا جَازَ، وَإِنْ لَمْ يَشْهَدْ شَيْئًا مِنَ الْخُطْبَةِ لَمْ يَجُزْ، وَيُصَلِّي بِهِمُ الظُّهْرَ، وَهُوَ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ (٤) .
وَخَالَفَ فِي ذَلِكَ الْمَالِكِيَّةُ، فَذَهَبُوا إِلَى وُجُوبِ كَوْنِ الْخَطِيبِ وَالإِْمَامِ وَاحِدًا إِلاَّ لِعُذْرٍ كَمَرَضٍ، وَكَأَنْ لاَ يَقْدِرَ الإِْمَامُ عَلَى الْخُطْبَةِ، أَوْ لاَ يُحْسِنَهَا (٥) .

Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah juz 27, halaman 206:
Anjuran Agar Khatib dan Imam Adalah Satu Orang:
32 – Dianjurkan agar tidak mengimami suatu kaum kecuali orang yang berkhutbah di hadapan mereka; karena shalat dan khutbah itu seperti satu kesatuan (2). Dalam kitab Tanwir Al-Abshar disebutkan: “Jika terjadi demikian, yaitu seorang anak kecil berkhutbah dengan izin penguasa dan orang dewasa mengimami shalat, maka hukumnya boleh (3). Hanya saja, disyaratkan bagi imam saat itu untuk termasuk orang yang menyaksikan khutbah.” Dalam kitab Al-Badai’ disebutkan: “Seandainya imam berhadats setelah khutbah sebelum memulai shalat, lalu ia mengajukan seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang: jika laki-laki tersebut termasuk orang yang menyaksikan khutbah atau sebagian darinya, maka hukumnya boleh. Namun jika ia tidak menyaksikan sedikit pun dari khutbah, maka hukumnya tidak boleh, dan ia mengimami mereka shalat Zuhur. Ini adalah pendapat mayoritas fuqaha (4).”
Mazhab Malikiyah berbeda pendapat dalam hal ini. Mereka berpendapat wajibnya khatib dan imam menjadi satu orang kecuali karena udzur seperti sakit, atau imam tidak mampu berkhutbah, atau tidak mahir berkhutbah.

Wallahu a’lam bisshawab.

Kategori
Hukum

Akad Nikah Beda Bahasa

 

Assamualaikum

Deskripsi Masalah

Di tengah gemerlap kota Riyadh, Uyuuni, seorang perawat asal Indonesia,suku Madura menemukan tambatan hatinya pada Nonog Efendi, seorang pengusaha muda Saudi yang memiliki visi modern namun tetap menjunjung tinggi tradisi. Cinta mereka melampaui perbedaan budaya dan bahasa. Ketika hari pernikahan tiba, ayah Uyuuni/wakil , dengan haru, mengucapkan ijab dalam bahasa Arab yang lembut. Nonong Efendi, dengan senyum tulus, menjawab kabul dalam bahasa Madura yang fasih. Meskipun berbeda dalam lafal, cinta dan kesepahaman yang mendalam di antara mereka menjadi saksi bisu bahwa hati dapat berkomunikasi melampaui batas-batas linguistik. Para saksi dan keluarga kedua belah pihak merasakan kehangatan dan ketulusan dalam momen sakral tersebut, menyadari bahwa esensi pernikahan terletak pada komitmen dan cinta, bukan semata-mata pada keseragaman bahasa.

Pertanyaan

Sahkah akad nikah beda bahasa: Ijab Arab, Kabul Madura)?

Waalaikumsalam

Jawaban

Ulama fiqih sepakat bahwa ijab kabul dengan bahasa berbeda hukumnya sah  walaupun dengan bahasa ajami ( Madura ) yang penting jelas difahimi maksudnya. Wallahu A’lam Bisshowab.

Referensi:

[البكري الدمياطي، إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين، ٣. ٣١٨-٣١٩

(قوله: أي ترجمة أحد اللفظين) أي الإيجاب والقبول، ومثله ترجمة اللفظين معا، فقوله أحد ليس بقيد (قوله: بأي لغة) أي من لغة العجم، والمراد بها ما عدا العربية (قوله: ولو ممن يحسن العربية) غاية في الصحة: أي صحة النكاح بترجمته بما عدا لغة العرب، ولو ممن يحسن العربية.
وهي للرد، كما يفيده عبارة المغني ونصها بعد قول المنهاج: ويصح بالعجمية في الأصح، والثاني لا تصح اعتبارا باللفظ الوارد، والثالث إن عجز عن العربية صح، وإلا فلا.
والمراد بالترجمة ترجمة معناه اللغوي كالضم، فلا ينعقد بألفاظ اشتهرت في بعض الاقطار للانكاح – كما أفتى به شيخنا المحقق الزمزمي – ولو عقد القاضي النكاح بالصيغة العربية لعجمي لا يعرف معناها الاصلي بل يعرف أنها موضوعة لعقد النكاح صح – كذا أفتى به شيخنا، والشيخ عطية – وقال في شرحي الارشاد والمنهاج: أنه لا يضر لحن العامي – كفتح تاء المتكلم، وإبدال الجيم زايا، أو عكسه.
وينعقد بإشارة أخرس مفهمة وقيل
ـــــــــــــــــــــــــــــ
نفسه وكلام الآخر: سواء اتفقت لغتهما أم اختلفت، فإن فهمها ثقة دونهما وأخبرهما بمعناها: فإن كان بعد الإتيان بها لم يصح، أو قبله صح، إن لم يطل الفصل، على الأوجه

Kitab I’ānat ath-Thālibīn (3/318-319):
“(Perkataan mushannif: yaitu terjemahan salah satu dari dua lafazh) maksudnya adalah terjemahan lafazh ijab dan kabul. Demikian pula terjemahan kedua lafazh secara bersamaan. Jadi, perkataan ‘salah satu’ tidaklah menjadi pembatas.
(Perkataannya: dengan bahasa apapun) maksudnya dari bahasa ‘ajam (non-Arab). Yang dimaksud dengannya adalah bahasa selain bahasa Arab.
(Perkataannya: walaupun dari orang yang fasih berbahasa Arab) ini adalah ghayah (puncak) dalam hal keabsahan, yaitu sahnya nikah dengan terjemahannya ke dalam bahasa selain Arab, walaupun dari orang yang fasih berbahasa Arab.
Kata wa hiya lir-radd (dan ini untuk menolak), sebagaimana yang difahami dari ungkapan kitab al-Mughni dan nashnya setelah perkataan kitab al-Minhaj: ‘Dan sah (nikah) dengan bahasa ‘ajam menurut pendapat yang lebih shahih. Pendapat kedua mengatakan tidak sah, dengan pertimbangan lafazh yang warid (datang dari syara’). Pendapat ketiga mengatakan jika tidak mampu berbahasa Arab maka sah, jika mampu maka tidak sah.’
Yang dimaksud dengan terjemahan adalah terjemahan makna lughawi (bahasa) seperti kata adh-dhammu (mengumpulkan). Maka tidak sah akad nikah dengan lafazh yang masyhur di sebagian daerah untuk pernikahan – sebagaimana fatwa guru kami al-Muhaqqiq az-Zamzami –. Walaupun seorang qadhi (hakim) menikahkan dengan sighat (ucapan akad) bahasa Arab kepada orang ‘ajam yang tidak mengetahui makna aslinya, tetapi mengetahui bahwa lafazh tersebut diperuntukkan untuk akad nikah, maka sah – demikian fatwa guru kami, dan Syaikh Athiyyah –. Beliau berkata dalam syarah (penjelasan) kitab al-Irshad dan al-Minhaj: bahwa tidak mengapa lafazh yang salah dari orang awam – seperti memfathahkan ta’ mutakallim (kata ganti orang pertama), mengganti huruf jim dengan zai, atau sebaliknya.
Dan sah akad nikah dengan isyarat orang bisu yang dapat difahami, dan dikatakan…”

Dirinya sendiri dan perkataan orang lain: Baik bahasa keduanya sama maupun berbeda, maka pemahamannya adalah kepercayaan tanpa keduanya. Dan beritahukan keduanya maknanya: jika setelah mengucapkannya tidak sah, atau sebelumnya sah, jika tidak terlalu lama jedanya, menurut pendapat yang kuat.

وهبة الزحيلي، الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي،٥ ٦

الألفاظ غير العربية
الألفاظ غير العربية: اتفق أكثر الفقهاء على أن الأجنبي غير العربي العاجز عن النطق بالعربية يصح انعقاد زواجه بلغته التي يفهمها ويتكلم بها؛ لأن العبرة في العقود للمعاني، ولأنه عاجز عن العربية، فسقط عنه النطق بالعربية كالأخرس. وعليه أن يأتي بمعنى التزويج أو الإنكاح بلسانه، بحيث يشتمل على معنى اللفظ العربي.
أما إذا كان العاقد يحسن التكلم بالعربية: فيجوز عند الجمهور في الأصح عند الشافعية النطق بكل لغة يمكن التفاهم بها؛ لأن المقصود هو التعبير عن الإرادة، وذلك واقع  كل لغة، ولأنه أتى بلفظه الخاص، فانعقد به، كما ينعقد بلفظ العربية.ا. والله أعلم بالصواب

Fiqh al-Islāmi wa Adillatuh (9/6526):

Lafazh selain bahasa Arab: Mayoritas fuqaha bersepakat bahwa orang asing non-Arab yang tidak mampu mengucapkan bahasa Arab, sah akad nikahnya dengan bahasa yang ia fahami dan ia gunakan untuk berbicara; karena yang menjadi pertimbangan dalam akad adalah maknanya, dan karena ia tidak mampu berbahasa Arab, maka gugurlah kewajiban mengucapkan bahasa Arab darinya, seperti halnya orang bisu. Dan ia wajib mengucapkan lafazh yang mengandung makna tazwij (menikahkan) atau inkah (menikahkan) dalam bahasanya, sehingga mencakup makna lafazh bahasa Arab.
Adapun jika orang yang berakad mampu berbicara dengan bahasa Arab: maka menurut jumhur (mayoritas ulama) dalam pendapat yang lebih shahih menurut ulama Syafi’iyah, boleh mengucapkan dengan bahasa apapun yang dapat dipahami; karena maksudnya adalah mengungkapkan kehendak, dan hal itu terwujud dalam setiap bahasa, dan karena ia telah mengucapkan dengan lafazh khususnya, maka sah akad dengannya, sebagaimana sah dengan lafazh bahasa Arab. Wallahu a’lam bish-shawab (Hanya Allah yang lebih mengetahui kebenaran).”

Kategori
Hukum

Hukum Penggunaan Pengeras Suara dalam Mengumandangkan Adzan

Deskripsi Masalah :

Seiring perkembangan zaman dan kondisi geografis yang beragam, seperti adanya pemukiman yang berjauhan atau terhalang oleh bangunan dan kontur alam, mengumandangkan adzan tanpa pengeras suara seringkali tidak dapat menjangkau seluruh masyarakat. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai hukum penggunaan pengeras suara dalam mengumandangkan adzan pada masa kini.

Petanyaan:

Bagaimana hukumnya adzan memakai pengeras suara ?

Jawaban:

Menggunakan pengeras suara ketika adzan hukumnya Sunnah. sebagaimana hukum adzan. bahkan wajib jika tanpa pengeras suara akan banyak masyarakat yang tidak Sholat.

Adapun dzikir sesudah adzan maka dikembalikan ke urt (kebiasaan tiap-tiap daerah) jika mengganggu maka haram.

بلغة الطلاب فى فتاوى مشايخي الأنجاب( الأذان) ص ١٢٦ مانصه

( مسألة ) حكم استعمال مكبر
الصوت فيما يطلب فيه الجهر من العبادات من الامور المعهودة شرعا بل قد يكون مندوبا فحيث لم يثبت ما يجب فيه الجهر من العبادات الا باستعماله يكون استعماله واجبا لان ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب وذلك كاسماع الخطيب اربعين من اهل الجمعة اركان الخطبتين. اما اذا تاتى بدون ذلك فاستعماله مندوب لمزيد الفائدة وتمام الغرض وكذلك يندب فيه الجهر كالاذان وقد ندب في الاذان اشياء لم يكن المقصود منها الا الزيادة المبالغة في الجهر كالوقوف على مكان عال كالمنارة ووضع السباتين في الاذنين كون المؤذن صيانا وغير ذلك فمثل ذلك استعمال المكبر .
وفي الحديث الصحيح الذي رواه ابوداود وغيره عن عبدالله بن زيد قال صلى الله عليه وسلم له القه على بلال فانه أندى منك صوتا وعن ابن سعد الخدري رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال إني أراك تحب الغنم والبادية فإذا كنت في غنمك أو باديتك فأذنت للصلاة فارفع صوتك بالنداء فإنه لا يسمع مدى صوت المؤذن جن ولا إنس ولا شيء الا شهد له يوم القيامة رواه البخاري .

ملاحظات على الركن الرابع للزين بن محمد بن حسين العيدروس صـ ٣١-٣٤
المبحث الثاني ادلة النهي من استخدام المكيزوفون وبيانها وفيما يأتي سأذكر الادلة الدالة على النهي من استخدام المكيزوفون بالسماعات الخارجية للأذان. الى ان قال سادسا : في استخدام الميكروفون إيذاء للمسلمين سواء كان في عيادتهم او اعمالهم او عاداتهم وإيذاء المسلم بأي شئ حرام. ورفع الصوت بالميكروفون بسمعاته الخارجية لم يأمر به الشارع باستغناء الأذان فانه طلب المبالغة في رفع الصوت به.

(إعانة الطالبين – ١ / ١٨٠)

قوله: ولا يجهر مصل وغيره) أي كقارئ وواعظ ومدرس). (قوله: إن شوش على نحو نائم أو مصل) إلى أن قال..
. وقوله: فيكره أي التشويش على من ذكر. وقضية عبارته كراهة الجهر إذا حصل التشويش ولو في الفرائض, وليس كذلك لان ما طلب فيه الجهر – كالعشاء – لا يترك فيه الجهر لما ذكر, لانه مطلوب لذاته فلا يترك لهذا العارض

Kategori
Hukum

Membaca Basmalah Saat Melanjutkan Ayat di Rakaat Kedua setelah Fatihah

 

Assalamualaikum ustadz

Deskripsi Masalah

Saya katakanlah nama samarannya  Mahmud Asyrafiy sering shalat berjamaah dengan seorang imam yang hafal Al-Qur’an . Maka ketika dia mengimami seringkali membaca surah yg panjang  mungkin agar surat yang dihafalkan tidak mudah lupa dan tetap hafal semisal  pada rokaat pertama  setelah  membaca fatihah dia membaca surat Al Mulk, dengan dibaca separuh surat lalu ruku’ , setelah bangkit untuk rakaat kedua dia baca fatih lagi lalu membaca surat Al-Mulk lagi dengan melanjutkan sisa ayat Al-Mulk yang dibacanya

Pertanyaan :

Apakah iman harus membaca basmalah atau dianjurkan pada rokaat kedua setelah fatihah   untuk melanjutkan sisa ayat tersebut?

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh

Jawaban

Imam boleh memilih untuk membaca basmalah atau tidak saat melanjutkan sisa ayat Al-Mulk di rakaat kedua setelah membaca Al-Fatihah. Keduanya diperbolehkan karena melanjutkan ayat tidak dianggap memulai surah baru.

المكتبة الشاملة
كتاب الفقه قراءة القرآن ص٣٥- ٣٧

سورة التوبة وذلك لما انطوت عليه هذه السورة من الأمر بالأخذ والعذاب والنكال على الكفار، ولا يناسب ذلك ما تحمله البسملة من أمان ورحمة.
أما التلاوة فقد أجمع القراء على الإتيان بها أول فاتحة الكتاب وعدّها البعض آية من سورة الفاتحة كما سيأتى بيانه … كذا اتفقوا على الإتيان بها عند ابتداء القراءة بأول كل سورة ما عدا سورة التوبة (براءة)، وأما فى أجزاء السور فالقارئ مخير بين الإتيان بها من عدمه . والله أعلم بالصواب

Surah At-Taubah dinamakan demikian karena kandungan surat ini yang berisi perintah untuk bertindak tegas, memberikan azab dan siksaan kepada orang-orang kafir. Hal ini tidak sesuai dengan makna basmalah yang mengandung keamanan dan rahmat.
Adapun dalam pembacaan Al-Qur’an, para ahli qira’ah (qari) sepakat untuk membacanya di awal Surah Al-Fatihah, bahkan sebagian menganggapnya sebagai salah satu ayat dari surah tersebut, sebagaimana akan dijelaskan kemudian. Mereka juga sepakat untuk membacanya ketika memulai membaca di awal setiap surah selain Surah At-Taubah (Bara’ah). Sedangkan jika memulai membaca di tengah-tengah surah, maka pembaca diberi pilihan untuk membacanya atau tidak. Wallahu a’lam bish-shawab.

Kategori
Hukum

Hukum Mendahulukan Sabun Cair Sebelum Air dalam Mandi Wajib

Assalamualaikum Ustadz..

Deskripsi Masalah :

Lazimnya, seseorang yang melakukan mandi wajib akan membasahi seluruh tubuh dengan air terlebih dahulu. Namun, dengan adanya produk sabun cair, muncul praktek dimana seseorang mengaplikasikan sabun cair ke sebagian tubuh sebelum menggunakan air untuk meratakannya ke seluruh badan sekaligus membasahi tubuh. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai keabsahan mandi wajib dengan urutan yang tidak biasa tersebut.

Pertanyaan :

Sahkah mandi wajib dengan mendahulukan sabun cair sebelum mengalirkan air mutlak ke seluruh tubuh?

Waalaikumsalam.

Jawaban :

Mandi wajib yang sah dilakukan dengan membasahi seluruh tubuh dengan air mutlak terlebih dahulu. Penggunaan sabun sebelum membasahi seluruh tubuh dapat mengubah sifat air, sehingga mandi wajibnya tidak sah.

Jika sabun terlanjur didahulukan sebelum air ke seluruh tubuh saat mandi wajib, maka mandi wajibnya tidak sah.
Solusinya adalah:

  • Bilas seluruh tubuh hingga bersih dari sabun. Pastikan tidak ada lagi sisa-sisa sabun yang menempel.
  • Berniat (dalam hati) untuk mandi wajib (adus).
  • Mulai membasahi seluruh anggota tubuh dengan air mutlak secara merata, dimulai dari kepala hingga kaki, dan menggosok bagian-bagian yang sulit dijangkau. Pastikan air mengenai seluruh kulit dan rambut dan anggota badan lainnya.

Dengan melakukan langkah-langkah seperti ini maka mandi wajib yang benar dan sah.

Referensi :

كفاية الأخيار ج ١ ص ١٥

(والمتغير بما خالطه من الطاهرات) هذا من تتمة القسم الثالث وتقدير الكلام والماء المتغير بشيء من الطاهرات طاهر في نفسه غير مطهر كالماء المستعمل وضابطه أن كل تغير يمنع اسم الماء المطلق يسلب الطهورية وإلا فلا فلو تغير تغيرا يسيرا فالأصح أنه طهور لبقاء الاسم وقوله بما خالطه احترازا عما إذا تغير بما يجاوره ولو كان تغيرا كثيرا فإنه باق على طهوريته كما إذا تغير بدهن أو شمع وهذا هو الصحيح لبقاء اسم الماء ولا بد أن يكون الواقع في الماء مما يستغنى عنه كالزعفران والجص ونحوهما أما إذا كان التغير بما لا يستغني الماء عنه كالطين والطحلب والنورة والزرنيخ وغيرهما في مقر الماء وممره والمتغير بطول المكث فإنه طهور للعسر وبقاء اسم الماء ويكفي في التغير أحد الأوصاف الثلاثة الطعم أو اللون أو الرائحة على الصحيح وفي وجه ضعيف يشترط اجتماعها

“Dan (air yang berubah karena bercampur dengan benda-benda suci).” Ini termasuk lanjutan dari bagian ketiga. Perkiraan maksudnya adalah air yang berubah karena sesuatu yang suci adalah suci zatnya tetapi tidak menyucikan, seperti air musta’mal. Ketentuannya adalah setiap perubahan yang menghilangkan nama mutlak air, maka hilang pula sifat menyucikannya. Jika tidak, maka tidak. Jika perubahan itu sedikit, maka pendapat yang paling sahih adalah tetap suci karena nama air tetap ada. Ucapan pengarang, “karena bercampur dengannya,” adalah untuk menghindari perubahan yang disebabkan oleh sesuatu yang berada di sekitarnya, meskipun perubahannya banyak, maka air itu tetap dalam kesuciannya, seperti berubah karena minyak atau lilin. Inilah pendapat yang sahih karena nama air tetap ada. Dan yang bercampur dengan air haruslah sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh air, seperti za’faran, kapur, dan semisalnya. Adapun jika perubahannya disebabkan oleh sesuatu yang dibutuhkan oleh air, seperti lumpur, lumut, kapur tembok, warangan, dan lain-lain di tempat air berada dan alirannya, serta air yang berubah karena lama terdiam, maka air itu suci karena sulit dihindari dan nama air tetap ada. Cukup dalam perubahan itu salah satu dari tiga sifat: rasa, warna, atau bau menurut pendapat yang sahih. Ada pendapat l

Kategori
Hukum

Gadai Pohon Mati: Akibat Kelalaian Murtahin

Deskripsi Masalah

Ahmad menggadaikan (rahn) sebatang pohon berbuah atau pohon lainnya kepada Rohman. Sebagai penerima gadai (murtahin), Rohman memelihara pohon tersebut dengan memberikan pupuk dengan harapan pohon itu dapat berbuah, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan sesuai dengan akad gadai (jika ada kesepakatan demikian). Namun, karena Rohman memberikan pupuk secara berlebihan tanpa mengikuti aturan pakai, pohon tersebut menjadi mati.

Pertanyaannya

Apakah si Rohman wajib mengembalikan uang gadai nya pada si Ahmad. mohon

jawabannya🙏🙏🙏

Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.
Mengenai kasus pegadaian pohon berbuah antara Ahmad dan Rohman, di mana pohon tersebut mati karena kesalahan Rohman dalam memberikan pupuk, berikut penjelasannya berdasarkan prinsip-prinsip muamalah dalam Islam:


Analisis Situasi:

  • Akad Gadaian (Rahn): Transaksi antara Ahmad dan Rohman adalah akad rahn atau gadai. Dalam akad ini, Ahmad menyerahkan pohon berbuah sebagai marhun (barang gadai) kepada Rohman sebagai murtahin (penerima gadai) sebagai jaminan atas sejumlah uang (marhun bih).
  • Kewajiban Murtahin (Penerima Gadai): Sebagai pemegang barang gadai, Rohman memiliki kewajiban untuk menjaga dan memelihara marhun dengan baik. Kelalaian atau tindakan yang menyebabkan kerusakan atau hilangnya marhun menjadi tanggung jawab murtahin.
  • Kerusakan karena Tindakan Murtahin: Dalam kasus ini, matinya pohon disebabkan oleh pemberian pupuk yang berlebihan oleh Rohman. Ini menunjukkan adanya kelalaian atau kesalahan dari pihak Rohman dalam pemeliharaan barang gadai.
    Hukum Mengembalikan Uang Gadai:
    Berdasarkan prinsip tanggung jawab dalam akad gadai, jika marhun (barang gadai) rusak atau hilang karena kelalaian atau tindakan murtahin (penerima gadai), maka:
  • Rohman (Murtahin) wajib mengganti kerugian yang dialami Ahmad (Rahin). Kerugian dalam hal ini adalah nilai pohon yang mati.
  • Mengenai uang gadai (marhun bih) yang telah diterima Rohman, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:
  • Pendapat Pertama: Sebagian ulama berpendapat bahwa karena barang gadai telah rusak akibat kelalaian murtahin, maka murtahin tidak berhak atas uang gadai tersebut. Uang gadai harus dikembalikan sepenuhnya kepada rahin. Kerugian atas matinya pohon dianggap menggantikan hak murtahin untuk menahan barang gadai sebagai jaminan.
  • Pendapat Kedua: Sebagian ulama lain berpendapat bahwa akad gadai tetap sah meskipun barang gadai rusak atau hilang karena kelalaian murtahin. Dalam hal ini, murtahin tetap berhak atas pelunasan utang (uang gadai). Namun, murtahin wajib mengganti nilai barang gadai yang rusak kepada rahin. Setelah penggantian kerugian, sisa uang gadai (jika ada) dikembalikan kepada rahin, atau jika nilai kerugian sama atau lebih besar dari uang gadai, maka utang dianggap lunas dan murtahin mungkin masih harus membayar selisihnya.
    Pendapat yang Lebih Kuat dan Hati-hati:
    Pendapat yang lebih kuat dan lebih berhati-hati dalam kasus ini adalah pendapat pertama, yaitu Rohman wajib mengembalikan uang gadai sepenuhnya kepada Ahmad. Alasan utamanya adalah karena kerusakan marhun disebabkan oleh kelalaian Rohman sendiri. Dengan hilangnya marhun karena kesalahannya, hak Rohman untuk menahan barang sebagai jaminan menjadi gugur. Mengembalikan uang gadai dan menanggung kerugian atas matinya pohon adalah bentuk keadilan bagi kedua belah pihak.
    Kesimpulan Jawaban:
    Dalam kasus ini, Rohman wajib mengembalikan uang gadai sepenuhnya kepada Ahmad. Selain itu, Rohman juga bertanggung jawab atas kerugian yang dialami Ahmad akibat matinya pohon yang disebabkan oleh kesalahan Rohman dalam memberikan pupuk.

Berikut beberapa referensi kitab fikih yang membahas tentang tanggung jawab murtahin (penerima gadai) terhadap kerusakan marhun (barang gadai) beserta teks Arabnya. Namun, perlu diingat bahwa pembahasan spesifik mengenai kasus pohon mati karena kesalahan pemupukan mungkin tidak disebutkan secara eksplisit. Akan tetapi, prinsip umum tanggung jawab atas kerusakan karena kelalaian akan dibahas dalam bab rahn (gadai).
Dalam Kitab Al-Muwatta’ Imam Malik:
Kitab ini merupakan salah satu kitab hadis dan fikih terawal. Meskipun tidak secara detail membahas kasus di atas, prinsip tanggung jawab dalam akad gadai dapat ditemukan di dalamnya.

وَحَدَّثَنِي عَنْ مَالِكٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ؛ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ عَارِيَةٌ إِذَا هَلَكَتْ وَلَمْ يَضْمَنْهَا». قَالَ مَالِكٌ: وَالْأَمْرُ عِنْدَنَا أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ ضَمَانٌ فِي الْعَارِيَةِ إِذَا هَلَكَتْ عِنْدَهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَسَاءَ اسْتِعْمَالَهَا أَوْ تَعَدَّى فِيهَا. قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الْعَارِيَةِ وَالْوَدِيعَةِ وَالْمُضَارَبَةِ وَالْأَجِيرِ الْخَاصِّ الَّذِي يَسْتَأْجِرُهُ الرَّجُلُ عَلَى أَنْ يَعْمَلَ لَهُ عَمَلًا مُسَمًّى وَيَكُونَ الْأَجِيرُ أَمِينًا. قَالَ مَالِكٌ: وَأَمَّا الرَّاهِنُ فَهُوَ ضَامِنٌ لِرَهْنِهِ إِذَا هَلَكَ عِنْدَ الْمُرْتَهِنِ بِغَيْرِ ذَنْبٍ مِنْ الْمُرْتَهِنِ. وَإِنْ هَلَكَ بِذَنْبٍ مِنْ الْمُرْتَهِنِ فَهُوَ ضَامِنٌ لَهُ.

Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak ada tanggungan atas peminjam barang pinjaman jika ia rusak dan ia tidak menjaminnya.” Malik berkata: “Ketentuan di sisi kami adalah bahwa peminjam tidak menanggung ganti rugi atas barang pinjaman jika rusak di tangannya kecuali jika ia buruk dalam penggunaannya atau melampaui batas.” Malik berkata: “Ketentuan ini berlaku bagi barang pinjaman, titipan, mudharabah, dan pekerja khusus yang dipekerjakan seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu dan pekerja tersebut amanah.” Malik berkata: “Adapun orang yang menggadaikan, ia bertanggung jawab atas barang gadainya jika rusak di tangan penerima gadai tanpa kesalahan dari penerima gadai. Dan jika rusak karena kesalahan dari penerima gadai, maka ia bertanggung jawab atasnya.”

Penjelasan :
Imam Malik menjelaskan prinsip bahwa murtahin bertanggung jawab atas kerusakan marhun jika kerusakan tersebut disebabkan oleh kesalahannya. Kasus pemberian pupuk berlebihan yang menyebabkan kematian pohon termasuk dalam kategori “kesalahan dari penerima gadai.”

Dalam Kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi’i:
Kitab ini merupakan salah satu sumber utama mazhab Syafi’i. Pembahasan tentang rahn dan tanggung jawab murtahin terdapat di dalamnya.

Referensi

الأم ج. ٣ ص ١٧٠-١٧١

فَإِذَا رَهَنَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ شَيْئًا فَقَبَضَهُ الْمُرْتَهِنُ فَهَلَكَ الرَّهْنُ فِي يَدَيْ الْقَابِضِ فَلَا ضَمَانَ عَلَيْهِ وَالْحَقُّ ثَابِتٌ كَمَا كَانَ قَبْلَ الرَّهْنِ (قَالَ الشَّافِعِيُّ): لَا يَضْمَنُ الْمُرْتَهِنُ، وَلَا الْمَوْضُوعُ عَلَى يَدَيْهِ الرَّهْنُ مِنْ الرَّهْنِ شَيْئًا إلَّا فِيمَا يَضْمَنَانِ فِيهِ الْوَدِيعَةَ وَالْأَمَانَاتِ مِنْ التَّعَدِّي فَإِنْ تَعَدَّيَا فِيهِ فَهُمَا ضَامِنَانِ، وَمَا لَمْ يَتَعَدَّيَا فَالرَّهْنُ بِمَنْزِلَةِ الْأَمَانَةِ.
فَإِذَا دَفَعَ الرَّاهِنُ إلَى الْمُرْتَهِنِ الرَّهْنَ ثُمَّ سَأَلَهُ الرَّاهِنُ أَنْ يَرُدَّهُ إلَيْهِ فَامْتَنَعَ الْمُرْتَهِنُ فَهَلَكَ الرَّهْنُ فِي يَدَيْهِ لَمْ يَضْمَنْ شَيْئًا؛ لِأَنَّ ذَلِكَ كَانَ لَهُ. وَإِذَا قَضَى الرَّاهِنُ الْمُرْتَهِنَ الْحَقَّ أَوْ أَحَالَهُ بِهِ عَلَى غَيْرِهِ وَرَضِيَ الْمُرْتَهِنُ بِالْحَوَالَةِ أَوْ أَبْرَأَهُ الْمُرْتَهِنُ مِنْهُ بِأَيِّ وَجْهٍ كَانَ مِنْ الْبَرَاءَةِ ثُمَّ سَأَلَهُ الرَّهْنَ فَحَبَسَهُ عَنْهُ، وَهُوَ يُمْكِنُهُ أَنْ يُؤَدِّيَهُ إلَيْهِ فَهَلَكَ الرَّهْنُ فِي يَدَيْ الْمُرْتَهِنِ فَالْمُرْتَهِنُ ضَامِنٌ لِقِيمَةِ الرَّهْنِ بَالِغَةً مَا بَلَغَتْ إلَّا أَنْ يَكُونَ الرَّهْنُ كَيْلًا أَوْ وَزْنًا يُوجَدُ مِثْلُهُ فَيَضْمَنُ مِثْلَ مَا هَلَكَ فِي يَدَيْهِ؛ لِأَنَّهُ مُتَعَدٍّ بِالْحَبْسِ. وَإِنْ كَانَ رَبُّ الرَّهْنِ آجَرَهُ فَسَأَلَ الْمُرْتَهِنَ أَخْذَهُ مِنْ عِنْدِ مَنْ آجَرَهُ وَرَدَّهُ إلَيْهِ فَلَمْ يُمْكِنْهُ ذَلِكَ أَوْ كَانَ الرَّهْنُ غَائِبًا عَنْهُ بِعِلْمِ الرَّاهِنِ فَهَلَكَ فِي الْغَيْبَةِ بَعْدَ بَرَاءَةِ الرَّاهِنِ مِنْ الْحَقِّ، وَقَبْلَ تَمَكُّنِ الْمُرْتَهِنِ أَنْ يَرُدَّهُ لَمْ يَضْمَنْ.
وَكَذَلِكَ لَوْ كَانَ عَبْدًا فَأَبَقَ أَوْ جَمَلًا فَشَرَدَ ثُمَّ بَرِئَ الرَّاهِنُ مِنْ الْحَقِّ لَمْ يَضْمَنْ الْمُرْتَهِنُ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَحْبِسْهُ وَرَدُّهُ يُمْكِنُهُ، وَالصَّحِيحُ مِنْ الرَّهْنِ وَالْفَاسِدُ فِي أَنَّهُ غَيْرُ مَضْمُونٍ سَوَاءٌ كَمَا تَكُونُ الْمُضَارَبَةُ الصَّحِيحَةُ وَالْفَاسِدَةُ فِي أَنَّهَا غَيْرُ مَضْمُونَةٍ سَوَاءٌ، وَلَوْ شَرَطَ الرَّاهِنُ عَلَى الْمُرْتَهِنِ أَنَّهُ ضَامِنٌ لِلرَّهْنِ إنْ هَلَكَ كَانَ الشَّرْطُ بَاطِلًا، كَمَا لَوْ قَارَضَهُ أَوْ أَوْدَعَهُ فَشَرَطَ أَنَّهُ ضَامِنٌ كَانَ الشَّرْطُ بَاطِلًا. وَإِذَا دَفَعَ الرَّاهِنُ الرَّهْنَ عَلَى أَنَّ الْمُرْتَهِنَ ضَامِنٌ فَالرَّهْنُ فَاسِدٌ، وَهُوَ غَيْرُ مَضْمُونٍ إنْ هَلَكَ، وَكَذَلِكَ إذَا ضَارَبَهُ عَلَى أَنَّ الْمُضَارِبَ ضَامِنٌ فَالْمُضَارَبَةُ فَاسِدَةٌ غَيْرُ مَضْمُونَةٍ.
وَكَذَلِكَ لَوْ رَهَنَهُ وَشَرَطَ لَهُ إنْ لَمْ يَأْتِهِ بِالْحَقِّ إلَى كَذَا فَالرَّهْنُ لَهُ بَيْعٌ فَالرَّهْنُ فَاسِدٌ وَالرَّهْنُ لِصَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ، وَكَذَلِكَ إنْ رَهَنَهُ دَارًا بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ يَرْهَنَهُ أَجْنَبِيٌّ دَارِهِ إنْ عَجَزَتْ دَارُ فُلَانٍ عَنْ حَقِّهِ أَوْ حَدَثَ فِيهَا حَدَثٌ يُنْقِصُ حَقَّهُ؛ لِأَنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ مَرَّةً رَهْنٌ، وَمَرَّةً غَيْرُ رَهْنٍ، وَمَرْهُونَةٌ بِمَا لَا يُعْرَفُ وَيَفْسُدُ الرَّهْنُ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا زِيدَ مَعَهُ شَيْءٌ فَاسِدٌ. وَلَوْ كَانَ رَهَنَهُ دَارِهِ بِأَلْفٍ عَلَى أَنْ يَضْمَنَ لَهُ الْمُرْتَهِنُ دَارِهِ إنْ حَدَثَ فِيهَا حَدَثٌ فَالرَّهْنُ فَاسِدٌ؛ لِأَنَّ الرَّاهِنَ لَمْ يَرْضَ بِالرَّهْنِ إلَّا عَلَى أَنْ يَكُونَ لَهُ مَضْمُونًا، وَإِنْ هَلَكَتْ الدَّارُ لَمْ يَضْمَنْ الْمُرْتَهِنُ شَيْئًا.


Al-Umm Jilid 3, halaman 170-171,

Jika seseorang menggadaikan sesuatu kepada orang lain, lalu penerima gadai menerimanya dan barang gadai itu rusak di tangan penerima gadai, maka tidak ada tanggungan atas penerima gadai, dan hak tetap seperti sebelum adanya gadai.
(Imam Syafi’i berkata): Penerima gadai dan pihak yang dititipi barang gadai tidak menanggung ganti rugi atas barang gadai sedikit pun kecuali dalam hal-hal di mana mereka menanggung ganti rugi atas titipan dan amanah, yaitu karena tindakan melampaui batas. Jika mereka melampaui batas dalam hal tersebut, maka mereka berdua wajib mengganti rugi. Dan selama mereka tidak melampaui batas, maka barang gadai kedudukannya seperti amanah.
Jika pemberi gadai menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai, kemudian pemberi gadai meminta agar barang itu dikembalikan kepadanya, lalu penerima gadai menolak, kemudian barang gadai itu rusak di tangannya, maka penerima gadai tidak menanggung ganti rugi sedikit pun; karena hal itu adalah haknya (untuk menahan gadai).
Dan jika pemberi gadai telah melunasi hak penerima gadai atau mengalihkannya kepada orang lain dan penerima gadai setuju dengan pengalihan tersebut atau penerima gadai membebaskannya dari utang dengan cara apa pun, kemudian pemberi gadai meminta barang gadai tersebut lalu penerima gadai menahannya padahal ia mampu untuk mengembalikannya, kemudian barang gadai itu rusak di tangan penerima gadai, maka penerima gadai wajib mengganti nilai barang gadai tersebut berapapun nilainya, kecuali jika barang gadai itu berupa barang yang ditakar atau ditimbang yang ada persamaannya, maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa dengan apa yang rusak di tangannya; karena ia telah melampaui batas dengan menahannya.
Dan jika pemilik barang gadai menyewakannya lalu meminta penerima gadai untuk mengambilnya dari penyewa dan mengembalikannya kepadanya namun ia tidak mampu melakukannya, atau barang gadai itu tidak ada di sisinya dengan sepengetahuan pemberi gadai lalu rusak dalam ketiadaan setelah pemberi gadai bebas dari utang, dan sebelum penerima gadai mampu mengembalikannya, maka penerima gadai tidak menanggung ganti rugi.
Demikian pula jika barang gadai itu berupa budak lalu melarikan diri atau unta lalu tersesat, kemudian pemberi gadai bebas dari utang, maka penerima gadai tidak menanggung ganti rugi; karena ia tidak menahannya dan mengembalikannya adalah mungkin baginya.
Hukum gadai yang sah dan yang fasid adalah sama dalam hal tidak adanya tanggungan ganti rugi, sebagaimana mudharabah yang sah dan yang fasid adalah sama dalam hal tidak adanya tanggungan ganti rugi. Dan jika pemberi gadai mensyaratkan kepada penerima gadai bahwa ia bertanggung jawab atas barang gadai jika rusak, maka syarat tersebut batal, sebagaimana jika ia memberikan pinjaman atau titipan lalu mensyaratkan bahwa pihak yang dipinjami atau dititipi bertanggung jawab, maka syarat tersebut batal. Dan jika pemberi gadai menyerahkan barang gadai dengan syarat bahwa penerima gadai bertanggung jawab, maka gadai tersebut fasid (rusak), dan barang gadai itu tidak dijamin jika rusak. Demikian pula jika ia melakukan mudharabah dengan syarat bahwa pengelola mudharabah bertanggung jawab, maka mudharabah tersebut fasid dan tidak dijamin.
Demikian pula jika ia menggadaikan sesuatu dan mensyaratkan bahwa jika ia tidak datang dengan hak (utang) hingga waktu tertentu, maka barang gadai itu menjadi milik penerima gadai (jual beli), maka gadai tersebut fasid dan barang gadai tetap milik pemiliknya yang menggadaikannya. Demikian pula jika ia menggadaikan rumah dengan seribu (dirham) dengan syarat bahwa orang lain akan menggadaikan rumahnya jika rumah si fulan tidak mencukupi haknya atau terjadi sesuatu padanya yang mengurangi haknya; karena rumah yang lain itu terkadang menjadi gadai dan terkadang tidak, dan digadaikan dengan sesuatu yang tidak diketahui, maka gadai tersebut fasid; karena ditambahkan padanya sesuatu yang fasid. Dan jika ia menggadaikan rumahnya dengan seribu (dirham) dengan syarat bahwa penerima gadai akan menjamin rumahnya jika terjadi sesuatu padanya, maka gadai tersebut fasid; karena pemberi gadai tidak ridha dengan gadai kecuali dengan adanya jaminan, dan jika rumah itu rusak, maka penerima gadai tidak menanggung ganti rugi sedikit pun.

Referensi


الموسوعة الفقهية الكويتيه ج١٣ص٢٣٥-٢٣٦
ب – تَعَدِّي الْمُرْتَهِنِ:
٧ – ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ: إِِلَى أَنَّ الرَّهْنَ إِنْ هَلَكَ بِنَفْسِهِ فَإِِنَّهُ يَهْلِكُ مَضْمُونًا بِالدَّيْنِ، وَكَذَلِكَ لَوِ اسْتَهْلَكَهُ الْمُرْتَهِنُ؛ لأَِنَّهُ لَوْ أَتْلَفَ مَمْلُوكًا مُتَقَوِّمًا بِغَيْرِ إِذْنِ مَالِكِهِ، فَيَضْمَنُ مِثْلَهُ أَوْ قِيمَتَهُ، كَمَا لَوْ أَتْلَفَهُ أَجْنَبِيٌّ وَكَانَ رَهْنًا مَكَانَهُ.
وَفَرَّقَ الْمَالِكِيَّةُ بَيْنَ مَا يُغَابُ عَلَيْهِ: أَيْ مَا يُمْكِنُ إِخْفَاؤُهُ كَبَعْضِ الْمَنْقُولاَتِ، وَمَا لاَ يُغَابُ عَلَيْهِ، كَالْعَقَارِ وَالسَّفِينَةِ وَالْحَيَوَانِ، فَأَوْجَبُوا الضَّمَانَ فِي الأَْوَّل – دُونَ الثَّانِي بِشَرْطَيْنِ:
الأَْوَّل: أَنْ يَكُونَ بِيَدِهِ، لاَ أَنْ يَكُونَ بِيَدِ أَمِينٍ.
وَالثَّانِي: أَنْ لاَ تَشْهَدَ بَيِّنَةٌ لِلْمُرْتَهِنِ عَلَى التَّلَفِ أَوِ الضَّيَاعِ، بِغَيْرِ سَبَبِهِ، وَغَيْرِ تَفْرِيطِهِ. (٢)
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ: إِِلَى أَنَّ الرَّهْنَ أَمَانَةٌ فِي يَدِ الْمُرْتَهِنِ، وَأَنَّهُ لاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ إِنْ هَلَكَ بِيَدِهِ، إِلاَّ إِِذَا تَعَدَّى عَلَيْهِ، أَوْ فَرَّطَ فِي حِفْظِهِ. وَعَلَى هَذَا: فَالْفُقَهَاءُ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ الْمُرْتَهِنَ ضَامِنٌ لِلرَّهْنِ بِتَعَدِّيهِ عَلَيْهِ أَوْ تَفْرِيطِهِ فِي حِفْظِهِ.
ثَالِثًا: التَّعَدِّي فِي الْعَارِيَّةِ:
٨ – اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ: عَلَى أَنَّ الْعَارِيَّةَ مَضْمُونَةٌ بِالتَّعَدِّي وَالتَّفْرِيطِ مِنَ الْمُسْتَعِيرِ، لِحَدِيثِ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ (١)
أَمَّا إِِذَا هَلَكَتْ بِلاَ تَعَدٍّ وَلاَ تَفْرِيطٍ، فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي ذَلِكَ.
فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ: إِِلَى أَنَّ الْعَارِيَّةَ إِنْ هَلَكَتْ مِنْ غَيْرِ تَعَدٍّ وَلاَ تَفْرِيطٍ مِنْهُ فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ، لِقَوْل النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيرِ غَيْرِ الْمُغِل ضَمَانٌ، (٢) وَلأَِنَّهُ قَبَضَهَا بِإِِذْنِ مَالِكِهَا فَكَانَتْ أَمَانَةً كَالْوَدِيعَةِ، وَهُوَ: قَوْل الْحَسَنِ وَالنَّخَعِيِّ، وَالشَّعْبِيِّ، وَعُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَالثَّوْرِيِّ. وَالأَْوْزَاعِيِّ، وَابْنِ شُبْرُمَةَ.
وَزَادَ الْمَالِكِيَّةُ فِي تَضْمِينِ الْمُسْتَعِيرِ: مَا إِِذَا لَمْ يَظْهَرْ سَبَبُ هَلاَكِ الْعَارِيَّةِ، وَكَانَتْ مِمَّا يُغَابُ عَلَيْهِ، فَإِِنْ قَامَتْ بَيِّنَةٌ عَلَى تَلَفِهَا أَوْ ضَيَاعِهَا بِدُونِ سَبَبِهِ فَلاَ ضَمَانَ عَلَيْهِ.
وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ: إِِلَى أَنَّ الْعَارِيَّةَ مَضْمُونَةٌ مُطْلَقًا، تَعَدَّى الْمُسْتَعِيرُ، أَوْ لَمْ يَتَعَدَّ، لِحَدِيثِ سَمُرَةَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَال: عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ، (١) وَعَنْ صَفْوَانَ: أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعَارَ مِنْهُ يَوْمَ حُنَيْنٍ أَدْرَاعًا، فَقَال: أَغَصْبًا يَا مُحَمَّدُ؟ قَال: بَل عَارِيَّةً مَضْمُونَةٌ. (٢) وَهُوَ: قَوْل عَطَاءٍ، وَإِِسْحَاقَ، وَأَشْهَبَ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ، وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ. (٣)

Halaman 235-236 dari Jilid 13 dari Al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah (Ensiklopedia Fikih Kuwait) :

B. Tindakan Melampaui Batas oleh Penerima Gadai (Murtahin):

7 – Mazhab Hanafi: Berpendapat bahwa jika barang gadai musnah dengan sendirinya, maka ia musnah dalam keadaan terjamin dengan utang. Demikian pula jika penerima gadai menghabiskannya, karena jika ia merusak milik orang lain yang bernilai tanpa izin pemiliknya, maka ia wajib mengganti dengan barang yang serupa atau nilainya, sebagaimana jika dirusak oleh pihak ketiga dan menjadi pengganti barang gadai tersebut.
Mazhab Maliki membedakan antara barang yang bisa disembunyikan (yaitu barang bergerak tertentu) dan barang yang tidak bisa disembunyikan (seperti properti, kapal, dan hewan). Mereka mewajibkan ganti rugi pada jenis yang pertama dengan dua syarat:
Pertama: Barang tersebut berada di tangannya (penerima gadai), bukan di tangan seorang yang terpercaya.

Kedua: Tidak ada bukti yang mendukung penerima gadai atas kerusakan atau kehilangan barang tersebut tanpa sebab darinya dan tanpa kelalaiannya. (Catatan kaki 2)
Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Berpendapat bahwa barang gadai adalah amanah di tangan penerima gadai, dan ia tidak bertanggung jawab jika barang tersebut musnah di tangannya, kecuali jika ia melampaui batas (berbuat aniaya) atau lalai dalam menjaganya.
Berdasarkan hal ini: Para fuqaha sepakat bahwa penerima gadai bertanggung jawab atas barang gadai jika ia melampaui batas terhadapnya atau lalai dalam menjaganya.
C. Tindakan Melampaui Batas dalam Pinjaman (‘Ariyah):
8 – Para Fuqaha Sepakat: Bahwa barang pinjaman dijamin (wajib diganti) jika terjadi tindakan melampaui batas atau kelalaian dari peminjam, berdasarkan hadis Samurah bin Jundub RA bahwa Nabi SAW bersabda: “Atas tangan apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya (mengembalikannya).” (Catatan kaki 1)
Adapun jika barang pinjaman musnah tanpa adanya tindakan melampaui batas atau kelalaian, maka para fuqaha berbeda pendapat dalam hal ini.
Mazhab Hanafi dan Maliki: Berpendapat bahwa jika barang pinjaman musnah tanpa adanya tindakan melampaui batas atau kelalaian dari peminjam, maka ia tidak wajib menggantinya, berdasarkan sabda Nabi SAW: “Tidak ada kewajiban ganti rugi bagi peminjam selain dari hasil (keuntungan)nya.” (Catatan kaki 2) Dan karena peminjam menerimanya dengan izin pemiliknya, maka ia menjadi amanah seperti titipan. Ini adalah pendapat Al-Hasan, An-Nakha’i, Asy-Sya’bi, Umar bin Abdul Aziz, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, dan Ibnu Syubrumah.
Mazhab Maliki menambahkan kewajiban ganti rugi bagi peminjam jika sebab kerusakan barang pinjaman tidak jelas dan barang tersebut termasuk jenis yang bisa disembunyikan. Namun, jika ada bukti atas kerusakan atau kehilangannya tanpa sebab dari peminjam, maka ia tidak wajib menggantinya.
Mazhab Syafi’i dan Hanbali: Berpendapat bahwa barang pinjaman dijamin secara mutlak, baik peminjam melampaui batas maupun tidak, berdasarkan hadis Samurah: “Atas tangan apa yang diambilnya hingga ia menunaikannya (mengembalikannya).” (Catatan kaki 1) Dan dari Shafwan: Bahwa Nabi SAW meminjam darinya beberapa baju besi pada perang Hunain, lalu Shafwan bertanya: “Apakah ini perampasan, wahai Muhammad?” Beliau menjawab: “Bukan, tetapi pinjaman yang dijamin.” (Catatan kaki 2) Ini adalah pendapat Atha’, Ishaq, Asyhab dari mazhab Maliki, dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Abu Hurairah RA.

Demikian jawaban dan penjelasan seputar Gadai semoga bermanfaat. Wallahu A’lam

Kategori
Hukum

Keutamaan Bulan Syawal dan Amalan Shalat Utaqo’

Deskripsi Bulan Syawal:

Jembatan spiritual setelah Ramadhan
Bulan Syawal hadir sebagai jembatan spiritual yang menghubungkan kesucian bulan Ramadhan dengan sebelas bulan berikutnya. Ia adalah babak baru dalam perjalanan ibadah seorang Muslim, menjadi penanda kemenangan setelah berjibaku melawan hawa nafsu dan meningkatkan ketakwaan di bulan puasa.
Syawal bukan sekadar pergantian kalender, melainkan sebuah kesempatan emas untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan kualitas ibadah yang telah ditempa selama Ramadhan. Ia adalah ujian nyata atas kesungguhan dalam meraih predikat muttaqin (orang yang bertakwa). Apakah semangat ibadah akan surut seiring berakhirnya Ramadhan, atau justru semakin berkobar sebagai bukti cinta dan ketaatan yang hakiki?
Di awal Syawal, umat Islam merayakan Idul Fitri, sebuah hari kemenangan dan kebahagiaan setelah menunaikan ibadah puasa. Suara takbir berkumandang, saling bermaafan menjadi tradisi indah, dan silaturahmi antar keluarga dan kerabat dipererat. Suasana sukacita dan persaudaraan begitu terasa, mencerminkan keberhasilan dalam meraih ampunan dan kembali fitri (suci).
Namun, Syawal tidak berhenti pada perayaan Idul Fitri. Bulan ini juga menyimpan sunnah yang agung, yaitu puasa enam hari. Puasa Syawal bukan hanya sekadar ibadah tambahan, melainkan memiliki keutamaan yang luar biasa, menyamai pahala berpuasa selama setahun penuh. Ia menjadi bukti komitmen seorang Muslim untuk terus mendekatkan diri kepada Allah setelah Ramadhan berlalu.
Lebih dari itu, Syawal juga menjadi waktu yang baik untuk melangsungkan pernikahan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Hal ini menepis anggapan sebagian masyarakat jahiliyah yang menganggap bulan Syawal sebagai bulan yang tidak baik untuk menikah.
Secara keseluruhan, bulan Syawal adalah periode transisi yang penuh berkah. Ia adalah waktu untuk merefleksikan ibadah Ramadhan, mempertahankan semangat kebaikan, meningkatkan kualitas diri, dan mempererat tali persaudaraan. Syawal adalah peluang kedua setelah Ramadhan untuk membuktikan bahwa ibadah bukan hanya rutinitas musiman, melainkan gaya hidup seorang Muslim sejati. Ia adalah awal yang baik untuk mengarungi sebelas bulan ke depan dengan hati yang lebih bersih dan semangat ibadah yang lebih membara.

Pertanyaan.

  1. Apa saja keutamaan dan amalan dibulan syawal selain puasa enam hari sebagaimana Deskripsi?
  2. Bagaimana tata cara shalat sunnah Utaqo’?

Jawaban:

Keutamaan Bulan Syawal dan Amalan Shalat Utaqo’
Keutamaan Bulan Syawal:
Bulan Syawal memiliki beberapa keutamaan dalam Islam, di antaranya:

  • Sebagai Bulan Peningkatan Ibadah Setelah Ramadhan: Syawal menjadi momentum untuk melanjutkan dan meningkatkan kualitas ibadah setelah menjalani ibadah puasa dan amalan lainnya di bulan Ramadhan. Ini adalah waktu untuk membuktikan keteguhan dalam beribadah dan tidak kembali kepada kebiasaan buruk sebelum Ramadhan.
  • Disunnahkan Puasa Enam Hari: Rasulullah ﷺ menganjurkan umatnya untuk berpuasa enam hari di bulan Syawal. Keutamaan puasa enam hari ini sebagaimana sabda beliau:
    مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
  • Artinya: “Barang siapa berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka pahalanya seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim)
  • Waktu Pernikahan yang Baik: Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ menikahinya di bulan Syawal dan mengadakan walimah (resepsi pernikahan) juga di bulan Syawal. Aisyah berkata:
  • تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَوَّالٍ وَبَنَى بِي فِي شَوَّالٍ فَأَيُّ نِسَائِهِ كَانَ أَحْظَى عِنْدَهُ مِنِّي
  • Artinya: “Rasulullah ﷺ menikahiku di bulan Syawal dan tinggal bersamaku (sebagai suami istri) juga di bulan Syawal. Maka istri beliau mana yang lebih beliau cintai daripadaku?” (HR. Muslim)
    Hadis ini menunjukkan bahwa menikah di bulan Syawal adalah hal yang baik dan tidak ada larangan atau kesialan seperti yang dipercayai sebagian masyarakat jahiliyah.
  • Momentum Silaturahmi: Setelah merayakan Idul Fitri di awal Syawal, bulan ini menjadi waktu yang baik untuk mempererat tali silaturahmi antar keluarga, kerabat, dan teman.
  • Amalan Shalat Utaqo’ (Shalat Orang-Orang yang Dimuliakan/Dimerdekakan):
    Hadis mengenai “Shalat Utaqo'” yang disebutkan dalam pertanyaan sebelumnya (dan telah diterjemahkan) adalah hadis yang dhaif (lemah) menurut sebagian besar ulama hadis. Meskipun demikian, sebagian orang masih mengamalkannya dengan harapan mendapatkan keutamaan yang disebutkan di dalamnya, namun tanpa meyakini kepastiannya sebagai sunnah dari Rasulullah ﷺ.
    Cara Melaksanakan Shalat Utaqo’ (berdasarkan hadis dhaif tersebut):
    Berdasarkan hadis yang telah diterjemahkan, cara melaksanakan Shalat Utaqo’ adalah sebagai berikut:
  • Jumlah Rakaat: Delapan rakaat.
  • Waktu Pelaksanaan: Dapat dilakukan pada malam hari atau siang hari di bulan Syawal.
  • Bacaan Setiap Rakaat: Setelah membaca Surah Al-Fatihah, membaca Surah Al-Ikhlas (Qul Huwallahu Ahad) sebanyak lima belas kali.
  • Setelah Salam (Selesai Shalat):
  • Membaca tasbih (Subhanallah) sebanyak tujuh puluh kali.
  • Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ sebanyak tujuh puluh kali.
    Penting untuk diingat:
  • Hadis mengenai keutamaan dan tata cara Shalat Utaqo’ ini adalah dhaif (lemah). Oleh karena itu, mengamalkannya tidak bisa dianggap sebagai sunnah yang kuat dari Rasulullah ﷺ.
  • Jika seseorang ingin mengamalkannya, hendaknya dengan niat beribadah secara umum dan mengharapkan kebaikan dari Allah, tanpa meyakini bahwa tata cara dan keutamaan yang disebutkan dalam hadis tersebut pasti berasal dari Nabi ﷺ.
  • Umat Islam dianjurkan untuk memperbanyak ibadah sunnah lainnya di bulan Syawal yang memiliki dasar yang kuat dari hadis-hadis shahih, seperti puasa enam hari Syawal, shalat-shalat sunnah rawatib, shalat Dhuha, dan amalan kebaikan lainnya.
    Semoga penjelasan ini bermanfaat.

كتاب الغنية للشيخ عبد القادر بن أبي صالح الجيلاني ج٢ص٢٥٠
(فصل): في صلاة العتقاء في شوال
حدثنا أبو نصر بن البناء ووالده قالا: حدثنا أبو عبد الله الحسين بن عمر العلاف، قال: أخبرنا أبو القاسم الفاضلي، قال: حدثنا محمد بن أحمد بن صديق، قال: حدثنا يعقوب بن عبد الرحمن، قال: أنبأنا أبو بكر أحمد بن جعفر المروزي، قال: حدثنا علي ابن معروف، قال: حدثني محمد بن محمود، قال: أخبرنا يحيى بن شبيب، قال: حدثنا حميد عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله ﷺ: “من صلى في شوال ثمان ركعات ليلاً كان أو نهاراً، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب وخمس عشرة مرة ﴿قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ﴾، فإذا فرغ من صلاته سبح سبعين مرة، وصلى على النبي ﷺ سبعين مرة، قال النبي ﷺ: والذي بعثني بالحق ما من عبد يصلي هذه الصلاة إلا أتبع الله له يتابع الحكمة في قلبه وأنطق بها لسانه وأراه داء الدنيا ودواءها، والذي بعثني بالحق من صلى هذه الصلاة كما وصفت لا يرفع رأسه من آخر سجدة حتى يغفر الله له، وإن مات مات شهيداً مغفوراً له، وما من عبد صلى هذه الصلاة في السفر إلا سهل الله عليه السير والذهاب إلى موضع مراده، وإن كان مديوناً قضى الله دينه، وإن كان ذا حاجة قضى الله حوائجه، والذي بعثني بالحق ما من عبد يصلي هذه الصلاة إلا أعطاه الله تعالى بكل حرف وبكل آية مخرقة في الجنة، قيل: وما المخرقة يا رسول الله؟ قال ﷺ: بساتين في الجنة يسير الراكب في ظل شجرة من أشجارها مائة سنة ثم لا يقطعها”.

(Fasal): Tentang shalat orang-orang yang dimerdekakan di bulan Syawal
Telah menceritakan kepada kami Abu Nashr bin al-Banna dan ayahnya, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Abdillah al-Husain bin Umar al-‘Allaf, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Abul Qasim al-Fadhili, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Shadiq, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Abdurrahman, ia berkata: Telah memberitakan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin Ja’far al-Marwazi, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Ma’ruf, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Mahmud, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Yahya bin Syabib, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Humaid dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Barangsiapa shalat di bulan Syawal delapan rakaat, baik malam maupun siang hari, ia membaca pada setiap rakaat Fatihatul Kitab dan lima belas kali (surat) Qul Huwallahu Ahad. Apabila ia selesai dari shalatnya, ia bertasbih tujuh puluh kali dan bershalawat kepada Nabi ﷺ tujuh puluh kali.” Nabi ﷺ bersabda: “Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, tidaklah seorang hamba pun shalat seperti shalat ini kecuali Allah akan mengikuti hatinya dengan hikmah, melisankannya, dan memperlihatkan kepadanya penyakit dunia dan obatnya. Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, barangsiapa shalat seperti shalat ini sebagaimana yang aku sifatkan, ia tidak akan mengangkat kepalanya dari sujud terakhir hingga Allah mengampuninya, dan jika ia mati, ia mati dalam keadaan syahid dan diampuni. Tidaklah seorang hamba pun shalat seperti shalat ini dalam perjalanan kecuali Allah akan memudahkan baginya perjalanan dan kepergian menuju tempat yang ia inginkan. Jika ia memiliki hutang, Allah akan melunasi hutangnya, dan jika ia memiliki kebutuhan, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, tidaklah seorang hamba pun shalat seperti shalat ini kecuali Allah Ta’ala akan memberikannya dengan setiap huruf dan setiap ayat kemuliaan di surga.” Dikatakan: “Apa kemuliaan itu, wahai Rasulullah?” Beliau ﷺ bersabda: “Kebun-kebun di surga, seorang pengendara berjalan di bawah naungan salah satu pohonnya selama seratus tahun kemudian tidak dapat melewatinya.”

Kategori
Hukum

Dilema Shaf: Memilih antara Keutamaan dan Penghormatan kepada Guru

Assalamualaikum

Deskripsi Situasi:
Seseorang hendak melaksanakan sholat berjamaah. Ia melihat ada ruang kosong di shaf pertama, yang merupakan shaf paling utama dalam sholat berjamaah. Namun, ia juga menyadari bahwa gurunya (seorang yang dihormati dan memiliki ilmu agama) berada di shaf kedua atau belakangnya. Orang ini kemudian merasa ragu dan bimbang, manakah yang lebih utama untuk dipilih: mengisi shaf pertama yang memiliki keutamaan, atau mengedepankan adab dan penghormatan kepada guru dengan tidak mendahuluinya di shaf.

Waalaikumsalam

Pertanyaan:
Lebih utama mana antara memilih shof pertama dalam sholat atau mengedepankan guru

Waalaikumsalam.

Jawaban:

Dalam situasi ini, memilih shaf pertama adalah lebih utama dibandingkan mengedepankan guru dengan tidak mengisi shaf tersebut. Berikut adalah penjelasannya berdasarkan dalil dan kaidah fiqih:
Keutamaan Shaf Pertama:
Terdapat banyak hadis yang menunjukkan keutamaan shaf pertama dalam sholat berjamaah. Salah satunya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

“Sebaik-baik shaf bagi laki-laki adalah shaf yang pertama, dan seburuk-buruknya adalah shaf yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf bagi wanita adalah shaf yang terakhir, dan seburuk-buruknya adalah shaf yang pertama.” (HR. Muslim, No. 440)

Hadis ini secara jelas menunjukkan keunggulan dan keutamaan shaf pertama bagi laki-laki dalam sholat berjamaah.
Hukum Mengutamakan Orang Lain (Al-Itsar) dalam Ibadah:

Para ulama menjelaskan bahwa al-itsar (mengutamakan orang lain) dalam hal ibadah yang memiliki keutamaan yang jelas adalah makruh (tidak disukai). Hal ini karena dalam ibadah, setiap individu dianjurkan untuk berlomba-lomba meraih keutamaan dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengalah dari keutamaan ini dapat dianggap mengurangi kesungguhan dalam meraih pahala.

Dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah disebutkan:

أَنَّ الإِيثَارَ بِالْقُرَبِ مَكْرُوهٌ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الصَّفِّ الأَوَّل فَلَمَّا أُقِيمَتْ آثَرَ بِهِ، وَقَوَاعِدُنَا لاَ تَأْبَاهُ

“Sesungguhnya mengutamakan dalam hal ibadah adalah makruh, seperti seseorang berada di shaf pertama lalu ketika shalat akan didirikan, ia mengutamakan orang lain untuk menempati tempatnya, dan kaidah-kaidah kami tidak menolaknya.”

Syaikh Izzuddin bin Abdissalam juga menegaskan:

لاَ إِيثَارَ فِي الْقُرُبَاتِ، فَلاَ إِيثَارَ بِمَاءِ الطَّهَارَةِ، وَلاَ بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلاَ بِالصَّفِّ الأَوَّل؛ لأَنَّ الْغَرَضَ بِالْعِبَادَاتِ التَّعْظِيمُ وَالإِجْلاَل، فَمَنْ آثَرَ بِهِ فَقَدْ تَرَكَ إِجْلاَل الإِلَهِ وَتَعْظِيمَهُ.

“Tidak ada mengutamakan dalam hal ibadah, maka tidak ada mengutamakan dalam hal air bersuci, menutup aurat, dan shaf pertama; karena tujuan dari ibadah adalah pengagungan dan pemuliaan, maka barang siapa mengutamakan orang lain dalam hal ini, sungguh ia telah meninggalkan pengagungan dan pemuliaan terhadap Ilahi.”

Adab Kepada Guru:
Meskipun menghormati guru adalah suatu kebaikan dan dianjurkan dalam Islam, namun dalam konteks meraih keutamaan ibadah yang telah jelas ketentuannya, maka keutamaan ibadah didahulukan.

Mengisi shaf pertama tidak dianggap sebagai bentuk tidak sopan kepada guru yang berada di shaf belakang. Guru yang memiliki ilmu agama tentu memahami keutamaan shaf pertama dan akan mendorong muridnya untuk meraih keutamaan tersebut.

Kesimpulan:
Maka, Jika seseorang hendak melaksanakan sholat berjamaah sementara Ia melihat ada ruang kosong di shaf pertama, yang merupakan shaf paling utama dalam sholat berjamaah,maka ia lebih utama daripada mengutamakan guru yang berada dishaf kedua atau belakangnya.

Referensi:


الشاملة
كتاب الموسوعة الفقهية الكويتية ج:٣٣ ص: ١٠٣
أَنَّ الإِيثَارَ بِالْقُرَبِ مَكْرُوهٌ كَمَا لَوْ كَانَ فِي الصَّفِّ الأَوَّل فَلَمَّا أُقِيمَتْ آثَرَ بِهِ، وَقَوَاعِدُنَا لاَ تَأْبَاهُ (١) .وَقَال السُّيُوطِيُّ: الإِيثَارُ فِي الْقُرَبِ مَكْرُوهٌ، وَفِي غَيْرِهَا مَحْبُوبٌ، قَال تَعَالَى: {وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ} (٢) .قَال الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ بْنُ عَبْدِ السَّلاَمِ: لاَ إِيثَارَ فِي الْقُرُبَاتِ، فَلاَ إِيثَارَ بِمَاءِ الطَّهَارَةِ، وَلاَ بِسَتْرِ الْعَوْرَةِ وَلاَ بِالصَّفِّ الأَوَّل؛ لأَنَّ الْغَرَضَ بِالْعِبَادَاتِ التَّعْظِيمُ وَالإِجْلاَل، فَمَنْ آثَرَ بِهِ فَقَدْ تَرَكَ إِجْلاَل الإِلَهِ وَتَعْظِيمَهُ. وَقَال الإِمَامُ: لَوْ دَخَل الْوَقْتُ – وَمَعَهُ مَاءٌ يَتَوَضَّأُ بِهِ – فَوَهَبَهُ لِغَيْرِهِ لِيَتَوَضَّأَ بِهِ لَمْ يَجُزْ، لاَ أَعْرِفُ فِيهِ خِلاَفًا؛ لأَنَّ الإِيثَارَ إِنَّمَا يَكُونُ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالنُّفُوسِ، لاَ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْقُرَبِ وَالْعِبَادَاتِ. وَقَال النَّوَوِيُّ فِي بَابِ الْجُمُعَةِ: لاَ يُقَامُ أَحَدٌ مِنْ مَجْلِسِهِ لِيُجْلَسَ فِي مَوْضِعِهِ. فَإِنْ قَامَ بِاخْتِيَارِهِ لَمْ يُكْرَهْ، فَإِنِ انْتَقَل إِلَى أَبْعَدَ مِنَ الإِمَامِ كُرِهَ، قَال أَصْحَابُنَا: لأَنَّهُ آثَرَ بِالْقُرْبَةِ. وَقَال الْقَرَافِيُّ: مَنْ دَخَل عَلَيْهِ وَقْتُ الصَّلاَةِ، وَمَعَهُ مَا يَكْفِيهِ لِطَهَارَتِهِ، وَهُنَاكَ مَنْ يَحْتَاجُهُ لِلطَّهَارَةِ، لَمْ يَجُزْ لَهُ الإِيثَارُ، وَلَوْ أَرَادَ
(١) حاشية ابن عابدين ١ / ٣٨٢ – ٣٨٣.
(٢) سورة الحشر

Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah
Jilid: 33 Halaman:
Sesungguhnya mengutamakan dalam hal ibadah adalah makruh, seperti seseorang berada di shaf pertama lalu ketika shalat akan didirikan, ia mengutamakan orang lain untuk menempati tempatnya, dan kaidah-kaidah kami tidak menolaknya (1).
Imam Suyuthi berkata: Mengutamakan dalam hal ibadah adalah makruh, dan dalam hal selain ibadah adalah disukai. Allah Ta’ala berfirman: “{Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.}” (2).
Syaikh Izzuddin bin Abdissalam berkata: Tidak ada mengutamakan dalam hal ibadah, maka tidak ada mengutamakan dalam hal air bersuci, menutup aurat, dan shaf pertama; karena tujuan dari ibadah adalah pengagungan dan pemuliaan, maka barang siapa mengutamakan orang lain dalam hal ini, sungguh ia telah meninggalkan pengagungan dan pemuliaan terhadap Ilahi.
Al-Imam berkata: Jika waktu shalat telah masuk – dan seseorang memiliki air untuk berwudhu – lalu ia menghibahkannya kepada orang lain untuk berwudhu dengannya, maka tidak boleh. Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini; karena mengutamakan itu hanyalah dalam hal yang berkaitan dengan jiwa, bukan dalam hal yang berkaitan dengan ibadah.
Imam Nawawi berkata dalam Bab Jumat: Seseorang tidak boleh disuruh berdiri dari tempat duduknya agar orang lain dapat duduk di tempatnya. Jika ia berdiri atas pilihannya sendiri, maka tidak makruh. Namun, jika ia berpindah ke tempat yang lebih jauh dari imam, maka makruh, Ashab kami berkata: Karena ia telah mengutamakan orang lain dalam hal ibadah.
Al-Qarafi berkata: Barang siapa masuk waktu shalat, dan ia memiliki air yang cukup untuk bersucinya, sedangkan di sana ada orang lain yang membutuhkannya untuk bersuci, maka tidak boleh baginya untuk mengutamakan orang lain, meskipun ia menginginkannya.
(1) Hasyiyah Ibnu Abidin 1/382-383.
(2) Surah Al-Hasyr.

أسنى المطالب في شرح الروضة ج١ ص ٢٦٨
(وَيَحْرُمُ أَنْ يُقِيمَ أَحَدًا) لِيَجْلِسَ مَكَانَهُ لِخَبَرِ الصَّحِيحَيْنِ «لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ وَلَكِنْ يَقُولُ تَفَسَّحُوا أَوْ تَوَسَّعُوا فَإِنْ قَامَ الْجَالِسُ بِاخْتِيَارِهِ وَأَجْلَسَ غَيْرُهُ فَلَا كَرَاهَةَ فِي جُلُوسِ غَيْرِهِ» ، وَأَمَّا هُوَ فَإِنْ انْتَقَلَ إلَى مَكَان أَقْرَبَ إلَى الْإِمَامِ أَوْ مِثْلِهِ لَمْ يُكْرَهْ وَإِلَّا كُرِهَ إنْ لَمْ يَكُنْ عُذْرٌ؛ لِأَنَّ الْإِيثَارَ بِالْقُرْبِ مَكْرُوهٌ، وَأَمَّا قَوْله تَعَالَى {وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ} [الحشر: ٩] فَالْمُرَادُ الْإِيثَارُ فِي حُظُوظِ النُّفُوسِ (وَيَجُوزُ أَنْ يَبْعَثَ مَنْ يَقْعُدُ لَهُ) فِي مَكَان (لِيَقُومَ عَنْهُ) إذَا جَاءَ هُوَ (وَإِذَا فُرِشَ لِأَحَدٍ ثَوْبٌ) أَوْ نَحْوُهُ (فَلَهُ) أَيْ فَلِغَيْرِهِ (تَنْحِيَتُهُ) وَالصَّلَاةُ مَكَانَهُ (لَا الْجُلُوسُ عَلَيْهِ) بِغَيْرِ رِضَا صَاحِبِهِ (وَلَا يَرْفَعُهُ) بِيَدِهِ أَوْ غَيْرِهَا (فَيَضْمَنُهُ) أَيْ لِئَلَّا يَدْخُلَ فِي ضَمَانِهِ

Asnal Matholib Fisyarhrroudhoh juz.hal:
268
(Dan haram hukumnya seseorang menyuruh orang lain berdiri) agar ia bisa duduk di tempatnya, berdasarkan hadis sahih dalam kitab Shahihain: “Janganlah seseorang menyuruh orang lain berdiri dari tempat duduknya kemudian ia duduk di tempat itu. Akan tetapi, katakanlah, ‘Berlapang-lapanglah’ atau ‘Berluas-luaslah’. Jika orang yang duduk itu berdiri dengan pilihannya sendiri lalu orang lain duduk di tempatnya, maka tidak ada kemakruhan bagi orang lain itu untuk duduk.” Adapun orang yang berpindah ke tempat yang lebih dekat dengan imam atau sama dengannya, maka tidak makruh. Jika tidak demikian, maka makruh jika tidak ada uzur, karena mengutamakan orang lain dalam hal kedekatan (dengan imam) adalah makruh. Adapun firman Allah Ta’ala: “{Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesempitan.}” [QS. Al-Hasyr: 9], maka yang dimaksud adalah mengutamakan dalam hal kesenangan duniawi. (Dan boleh hukumnya seseorang mengirim orang lain untuk duduk baginya) di suatu tempat (agar orang itu berdiri darinya) ketika ia datang. (Dan jika dihamparkan untuk seseorang sehelai kain) atau yang semisalnya, (maka boleh baginya) yaitu bagi orang lain (untuk menyingkirkannya) dan shalat di tempatnya (bukan untuk duduk di atasnya) tanpa keridhaan pemiliknya (dan tidak boleh mengangkatnya) dengan tangannya atau yang lainnya (maka ia menanggungnya) yaitu agar ia tidak masuk dalam tanggungannya.

Perbaiki jawaban deskripsikan, lebih utama bagi individu tersebut untuk mengisi ruang kosong di shaf pertama karena keutamaannya yang besar dalam sholat berjamaah. Mengedepankan adab kepada guru adalah baik, namun tidak sampai pada derajat meninggalkan keutamaan ibadah yang telah ditetapkan dalam syariat. Guru yang bijak akan memahami dan bahkan mungkin mengharapkan muridnya untuk berada di shaf terdepan demi meraih pahala yang lebih besar. Wallahu a’lam bishawab