HUKUM SHALATNYA IMAM DAN MAKMUM KETIKA DIKETAHUI SETELAH SHALAT IMAM INGAT HADATSNYA
Assalamualaikum.
Deskripsi masalah.
Ketika suara adzan mulai dikumandankan dimasjid atau dimusholla sang Imam rawawatib mulai berangkat menuju Masjid /musholla setelah sampai dimasjid mulailah seorang Muadzzin dengan beriqomah, semua makmum sudah berbaris dengan merapatkan shofnya dan sholat berjamaah dimulai oleh imam dengan takbir dan semua rukun-rukunnya sholat pun selesai diakhiri dengan salam. Sang Imam biasa melakukan wiridan ( dzikir) selesai dzikir ditutup dengan do’a.Kemudian sang Imam pulang begitu sampai dirumahnya ia ingat beneran bahwa dirinya tidak punya wudhu ( aku sholat tidak punya wudhu karena saya tadinya hadats keluar angin atau saya dalam kondisi junub).
Pertanyaannya. Apa yang harus sang Imam hendak lakukan terhadap dirinya dan juga terhadap orang yang bermakmum ? ( sahkah sholatnya makmum )
Waalaikum salam.
Jawaban Yang harus dilakukan seorang ( imam ) adalah mengulangi sholatnya, alasannya karena shalatnya dilakukan dalam kondisi hadats ( tidak sah ) . Sedangkan shalatnya makmum termasuk ma’dzur dihukumi sah karena mereka tidak mengetahui ( artinya shalatnya Imam batal/ tidak sah sedangkan shalatnya makmum sah ), ini menurut pendapat ulama yang kuat, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits dan juga oleh Ibnu Qudamah dan Al-Imam Nawawi rahimahullah , dalam kitabnya sebagai berikut “Kalau Imam shalat berjamaah dalam kondisi berhadas atau junub sementara dia tidak mengetahui hadatsnya, dia dan para makmumnya tidak mengetahui sampai selesai dari shalanya, maka shalat mereka sah dan shalat imam batal. Hal itu diriwayatkan dari Umar, Utsman, Ali dan Ibnu Umar radhiallahu anhum dan ini pendapat Malik dan Syafi’i. Diriwayatkan Ibnu Umar radhiallahu anhu beliau shalat subuh bersama orang-orang, kemudian didapati di bajunya bekas bermimpi, maka beliau mengulangi dan (para makmum) tidak mengulangi. Utsman radhiallahu nahu shalat subuh dengan orang-orang, ketika pagi hari dan mulai siang, ternyata ada bekas janabat, maka beliau mengulangi shalat dan tidak memerintahkan mereka mengulanginya. Dari Ali radhiallahu anhu beliau berkata, “Kalau orang junub shalat dengan kaum, kemudian telah sempurna shalatnya. Diperintahkan dia untuk mandi dan mengulangi (shalat). Dan tidak memerintahkan mereka untuk mengulanginya. Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwa beliau shalat zuhur dengan mereka, kemudian beliau teringat shalat tanpa berwudu. Maka beliau mengulangi dan mereka tidak mengulangi (shalat). Diriwayatkan oleh Atsram (Al-Mughni dengan disingkat, 1/419). Lajnah Daimah Llil Ifta’ ditanya tentang seseorang shalat menjadi imam shalat zuhur dan asar sementara dalam kondisi junub, dimana dia tidak mengetahui junubnya. Maka dijawab, “ Kamu harus mengulangi shalat zuhur dan asar setelah mandi janabat. Dan kamu harus bersegera akan hal itu. Sementara orang yang shalat di belakangmu dari beberapa shalat, mereka tidak diharuskan mengulanginya. Karena Umar radhiallahu anhu mengimami shalat dengan orang shalat fajar dalam kondisi junub karena lupa. Maka beliau mengulangi shalat fajar dan tidak menyuruh orang yang shalat di belakangnya untuk mengulanginya. Karena mereka ada uzur tidak mengetahui hadats anda.” selesai (Fatawa Lajanah Daimah, (6/266). Wallahu a’lam.
Referensi: Hadits
لا يقبَلُ اللهُ صلاةَ أحدِكم إذا أَحْدثَ حتى يتوضَّأَ
Allah tidak akan menerima shalat orang yang berhadats, sampai dia berwudhu. (HR. Bukhari 6954).
Hadis tersebut diatas menjelaskan, bahwa wudhu merupakan salah satu syarat sah shalat. Kemudian para ulama sepakat, orang yang shalat tanpa wudhu karena lupa, shalatnya batal dan wajib diulangi. Berikut beberapa keterangan mereka, Imam An-Nawawi mengatakan,
أجمع المسلمون على تحريم الصلاة على المحدث وأجمعوا على أنها لا تصح منه سواء إن كان عالما بحدثه أو جاهلا أو ناسيا لكنه إن صلى جاهلا أو ناسيا فلا إثم عليه وإن كان عالما بالحدث وتحريم الصلاة مع الحدث فقد ارتكب معصية عظيمة ولا يكفر عندنا بذلك إلا أن يستحله , وقال أبو حنيفة : يكفر لاستهزائه
Kaum muslimin sepakat keharamannya shalat bagi orang yang berhadats. Mereka juga sepakat bahwa tidak shalat shalat tanpa wudhu, baik dia tahu hadatsnya atau tidak tahu, atau lupa. Hanya saja, jika dia shalat karena tidak tahu sedang hadats atau lupa berwudhu, maka tidak ada dosa untuknya. Sebaliknya, jika dia tahu sedang hadats dan tahu terlarangnya shalat dalam keadaan hadats, berarti dia telah melakukan dosa besar, yang tidak sampai kafir menurut madzhab kami (syafiiyah), kecuali jika dia menganggap hal itu diperbolehkan. Sementara Abu Hanifah mengatakan, ‘Dia kufur karena mempermainkan agama.’ (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 2/67). Keterangan yang sama juga disampaikan Ibnu Rusyd,
واتفقوا على أنّ من صلى بغير طهارة أنّه يجب عليه الإعادة عمداً أو نسياناَ وكذلك من صلى لغير القبلة عمداَ كان ذلك أو نسيانا
Ulama sepakat bahwa orang yang shalat tanpa bersuci, dia wajib mengulang shalatnya. Baik sengaja maupun lupa. Demikian pula orang yang shalat tanpa menghadap kiblat, baik sengaja maupun lupa. (Bidayah al-Mujtahid, 1/151)
Referensi.
المغني لابن قدامة الحنبلي: ص.
أن الإمام إذا صلى بالجماعة محدثا, أو جنبا, غير عالم بحدثه , فلم يعلم هو ولا المأمومون , حتى فرغوا من الصلاة , فصلاتهم صحيحة , وصلاة الإمام باطلة. روي ذلك عن عمر , وعثمان , وعلي , وابن عمر رضي الله عنهم , وبه قال الحسن , وسعيد بن جبير , ومالك , والأوزاعي , والشافعي , وسليمان بن حرب , وأبو ثور. وعن علي أنه يعيد ويعيدون . وبه قال ابن سيرين والشعبي وأبو حنيفة , وأصحابه ; لأنه صلى بهم محدثا , أشبه ما لو علم. ولنا , إجماع الصحابة رضي الله عنهم , روي أن عمر رضي الله عنه صلى بالناس الصبح , ثم خرج إلى الجرف , فأهرق الماء , فوجد في ثوبه احتلاما , فأعاد ولم يعيدوا وعن محمد بن عمرو بن المصطلق الخزاعي , أن عثمان صلى بالناس صلاة الفجر , فلما أصبح وارتفع النهار فإذا هو بأثر الجنابة . فقال : كبرت والله , كبرت والله , فأعاد الصلاة , ولم يأمرهم أن يعيدوا . وعن علي , أنه قال : إذا صلى الجنب بالقوم فأتم بهم الصلاة آمره أن يغتسل ويعيد , ولا آمرهم أن يعيدوا . وعن ابن عمر , أنه صلى بهم الغداة , ثم ذكر أنه صلى بغير وضوء , فأعاد ولم يعيدوا . رواه كله الأثرم . وهذا في محل الشهرة , ولم ينقل خلافه , فكان إجماعا. ولم يثبت ما نقل عن علي في خلافه , وعن البراء بن عازب أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : { إذا صلى الجنب بالقوم , أعاد صلاته , وتمت للقوم صلاتهم } . أخرجه أبو سليمان محمد بن الحسن الحراني , في ” جزء ” . ولأن الحدث مما يخفى , ولا سبيل للمأموم إلى معرفته من الإمام , فكان معذورا في الاقتداء به , ويفارق ما إذا كان على الإمام حدث نفسه ; لأنه يكون مستهزئا بالصلاة فاعلا لما لا يحل . وكذلك إن علم المأموم , فإنه لا عذر له في الاقتداء
STATUS ANAK TIRI DITINGGAL MATI ORANG TUA ANGKAT , APAKAH TERMASUK YATIM?
Assalamualaikum. Ada pasangan suami istri sejak menikah hingga bertahun- tahun tidak mempunyai anak, padahal keduanya normal artinya yang laki-laki tidak impoten dan yang perempuan tidak mandul, karena tidak saking lamanya menunggu tidak punya anak akhirnya ia mengambil anak susuan , namun tidak lama selang 4 tahun bapak tirinya meninggal dunia.
Pertanyaannya.
Bagaimana status anak angkat yg di tinggal mati oleh ayah angkatnya ? Apakah termasuk yatim ?
Waalaikum salam
Jawaban Anak tiri yang ditinggal mati oleh orang tua angkatnya tidak termasuk anak Yatim, karena yang dimakan Yatim itu adalah anak yang ditinggal mati orang tua asli ( orang tua kandung ) dan belum baligh. Dan begitu juga halnya anak yang ditinggalkan oleh ibu kandungnya tidak dinamakan yatim, melainkan dinamakan piatu ( ko’ong :red ). Dan jika anak yang belum baligh ditinggalkan kedua orang tuanya ( bapak dan ibu kandungnya ) maka ia disebut Yatim piatu.
Referensi
الموسوعة الفقهية – 29895/31949
يتيم التعريف: 1 – اليتيم في اللغة: الفرد وكل شيء يعز نظيره واليتيم بضم الياء وفتحها: الانفراد أو فقدان الأب، والأنثى يتيمة والجمع أيتام ويتامى. قال ابن السكيت: اليتيم في الناس من قبل الأب، وفي البهائم من قبل الأم، ولا يقال لمن فقد الأم من الناس يتيم. (1) وفي الاصطلاح: عرف الفقهاء اليتيم بأنه من مات أبوه وهو دون البلوغ. (2) لحديث: ” لا يتم بعد احتلام ” (3) . (1) لسان العرب، والصحاح والقاموس المحيط. (2) رد المحتار على الدر المختار 5 / 440، كافية الطالب الرياني 2 / 206، ومطالب أولي النهى 4 / 361، وأسنى المطالب 3 / 88. (3) حديث: ” لا يتم بعد احتلام ” أخرجه الطبراني في الكبير (4 / 14) من حديث حنظلة بن حذيم، وقال الهيثمي في مجمع الزوائد (4 / 266) : رجاله ثقات.
Referensi
التعريفات
اليتيم: هو المنفرد عن الأب؛ لأن نفقته عليه لا على الأم
Yatim adalah orang yang ditinggal mati bapak kandungnya karena nafkahnya wajib ditanggung bapaknya, bukan ibunya. Kedua, masih belum baligh. Jika sudah baligh, meskipun bapaknya meninggal, maka tidak disebut anak yatim. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam kitab :
المجموع شرح المهذب – 9364/979
(فصل) وأما سهم اليتامى فهو لكل صغير فقير لا أب له فأما من له أب فلا حتى له فيه لان ال تيم هو الذى لا أب له وليس لبالغ فيه حق، لانه لا يسمى بعد البلوغ يتيما. والدليل عليه قوله صلى الله عليه وسلم لايتم بعد الحلم، وليس للغنى فيه حق ومن أصحابنا من قال للغنى فيه حق، لان اليتيم هو الذى لا أب له غنيا كان أو فقيرا، والمذهب الاول، لان غناه بالمال أكثر من غناه بالاب فإذا لم يكن لمن له أب فيه حق فلان لا يكون لمن له مالى أولى.
الموسوعة الفقهية – 29904/31949
أن الوصي لو أوصى ليتامى بني فلان، فإن كان يتاماهم يحصون جازت الوصية؛ لأنهم إذا كانوا يحصون وقعت الوصية لهم بأعيانهم لكونهم معلومين فأمكن إيقاعها تمليكا لهم فصحت الوصية، كما لو أوصى ليتامى هذه السكة أو هذه الدار. ويستوي في الوصية لليتامى الغني والفقير عند الحنفية والحنابلة والشافعية في أحد الوجهين، لأن اليتيم في اللغة اسم لمن مات أبوه ولم يبلغ الحلم، وهذا لا يتعرض للفقر والغنى قال الله تعالى: {إن الذين يأكلون أموال اليتامى ظلما إنما يأكلون في بطونهم نارا (1) } ، وقال عمر بن الخطاب رضي الله عنه: ” ابتغوا بأموال اليتامى، لا تأكلها الصدقة ” (2) . فقد سموا يتامى وإن كان لهم مال فكل صغير مات أبوه يدخل تحت الوصية ومن لا فلا.
Sebagaimana yang kita maklum bersama disetiap daerah perkotaan kerap terdapat tempat-tempat pariwisata tak terkecuali di Daerah kota Sumenep yang diantaranya Wisata Pantai 9 yang berada dikecamatan Giligenting, Wisata Pantai Lombang Kecamatan Batang-batang, juga ada Wisata Waterpak dikecamatan Kota Sumenep dll.) Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata yang didukung oleh berbagai layanan fasilitas yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.
Misalkan ada sebuah Wisata bernama “ANDIKA MAJU ” dan wisata itu milik pribadi yang mana didalamnya terdapat berbagai layanan fasilitas yang disediakan oleh pemilik usaha, misalkan banyak anika ragam hewan-hewan peliharaan bahkan tidak cuma itu, didalamnya terdapat kolam renang dan juga tempat kolam pemancingan dan itu merupakan satu- satunya usaha bisnis yang dilakukan atau paling yang digeluti oleh sebagian masyarakat adalah pemancingan dengan mekanisme misalkan sebagai berikut:
a) Setiap pengunjung yang masuk pada tempat Wisata / Areya pemancingan diharuskan membayar 20.000/jam
b) Ikan yang didapatkan berhak untuk dimiliki dan tidak dipungut biaya lagi
Adapun bentuk usaha yang hampir sama ada usaha penyewaan kebun apel dengan sistem seperti sebagaimana dibawah ini;
a) Bagi yang masuk perkebunan membayar Rp 14.000
b) Selama benda didalam boleh memakan apel sepuasnya c) Apel tidak boleh dibawa keluar
Dari kedua bentuk usaha contoh di atas barang yang dijadikan ( Objek) bisnis adalah ikan dan buah apel
Pertanyaannya . 1- Termasuk akad apakah bentuk usaha diatas dan bagaimana hukumnya ? 2- Jika tidak sah bagaimana solusinya?
Walaikum salam
Jawaban. No. 1
Kedua bentuk usaha diatas termasuk Akad ijarah fasidah ( sewa menyewa yang rusak/ cacat hukum). Meskipun demikian Menurut pendapat dikalangan Hanabilah ( Madzhab Ibnu Hambal) praktek usaha Wisata ( pemancingan diatas) dan Penyewaan kebun Apel diatas Hukumnya boleh dan sah.
Jawaban. No.2
÷Solusi untuk praktek yang tidak sah sebagaimana berikut:
Untuk pemilik pemancingan adalah dengan menyewakan lokasinya dan bernadzar ikannya akan menjadi milik para pemancing bila mana mereka mendapatkannya serta waktunya harus dibatasi dan diketahui. ÷Sedangkan untuk pengusaha kebun solusinya adalah dengan menyewakan kebun atau tanahnya dan mendermakan buah apelnya pada pada penyiwa serta waktunya harus dibatasi dan diketahui. Bisa juga mengikuti pendapat dari Imam Taj al-Din al-Subki yang memperbolehkan menyewakan pohon yang tujuannya untuk diambil buahnya, akan tetapi harus tetap dibatasi dengan waktu.
Penjelasan. Transaksi ijarah ( sewa-menyewa) adalah merupakan sebuah bentuk transaksi yang dimaksudkan pada pemanfaatan barang atau jasa yang disewa, dengan syarat menggantinya dengan upah . Adapun barang yang disewa ada kalanya berupa barang yang bisa dibawa atau dipindahkan , seperti sepeda motor, mobil , pakaian dan sebagainya .Ada juga yang tidak bisa dibawa atau dipindahkan seperti, tanah, pohon dan sebagainya . Diperbolehkannya transaksi ijarah merupakan kesepakatan ulama ( ijma‘) dengan berdasarkan dalil ayat;
فإن أرضعن لكم فأتوهن أجورنا
Maka apabila mau (menyewakan diri ) untuk menyusui kepada (bayi) kalian maka berikanlah upah kepada mereka ( Qs.At-Thoriq : 65:06 )
Kronologi menyusui dalam ayat tersebut diatas adalah penyusuan yang dilakukan oleh istri yang telah ditalak oleh suaminya.Karena kewajiban bayi ( anak sendiri ) adalah menjadi tanggung jawab seorang suami dalam rangka menafkahi orang-orang yang menjadi tanggungannya. Wajar apabila seorang suami mempekerjakan istri ( mantan istrinya) untuk menyusui anaknya dengan imbalan mendapatkan upah. Oleh karenanya,suami wajib menyerahkan upah tersebut kepada mantan istrinya karena telah menggunakan jasanya untuk merawat dan menyusui anaknya yang merupakan tanggung jawab seorang suami ( mantan suami).
Konsep sewa – menyewa adalah pemanfaatan barang tanpa mengurangi barang tersebut. Jika transaksi sewa menyewa tersebut tidak diperbolehkan . Hal ini dilatar belakangi karena dalam transaksi seperti ini terdapat unsur penipuan, yakni barang yang akan diambil tidak diketahui secara pasti , baik oleh penyewa atau orang yang menerima sewaan. Berbeda halnya dengan masalah menyewakan diri untuk menyusui bayi yang diperbolehkan karena adanya hadits yang menjelaskannya selain karena adanya kebutuhan ( hajat).
Dalam akad ijaroh Para ulama merumuskan ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan manfaat atau jasa yang disewa yang harus dipenuhi. Hal ini dimaksudkan agar pelaku transaksi tidak ada yang dirugikan yang disebabkan oleh adanya unsur penipuan adapun syarat-syarat tersebut adalah:
Barang sewaan ( yang di akad) murni manfaat atau jasa
Manfaat atau jasa yang disewakan menurut syariat patut dihargai , bukan barang atau jasa yang berupa najis atau barang-barang yang yang dinilai tidak berharga menut syariat .
Bentuk kadar pemanfaatannya jelas ( bisa diketahui)
Bisa diketahui oleh penyewa
Pemanfaatannya barang atau jasa yang digunakan harus tidak kurang ( mengurangi) merusak sebagian atau keseluruhan barang.
Ketika akad ijarah tidak memenuhi syarat sebagaimana yang telah disebutkan diatas maka transaksi tersebut tidak sah atau fasidah ( rusak) . Hal ini sebagaimana yang terjadi pada persoalan diatas, yang tidak memenuhi persyaratan pertama dan kelima. Praktek diatas adalah menyewa atau menyewakan kebun apel dan memancing dengan tujuan utama mengambil dan menikmati ikan dan buahnya ( apel). Selain tidak memenuhinya syarat kelima, cacat yang syarat ketiga juga terjadi pada kedua transaksi bisnis tersebut. Meskipun dalam memancing ditetapkan setiap jamnya membayar 20.000 akan tetapi aturan ini belum belum cukup untuk membatasi waktu. Hal ini dikarenakan akhir dari kegiatan memancing tidak bisa dipastikan, karena dalam kenyataannya memancing bisa menghabiskan waktu satu jam , dua jam atau bisa jadi lebih .
Namun menurut pendapatnya Imam Hambal memberikan kelonggaran dalam menerapkan syarat kelima menurut mereka praktek yang sedemikian dianggap sah karena disamakan dengan menyewa sumur orang lain yang bertujuan untuk diambil airnya. Dengan alasan karena awang-awang sumur beserta kedalamannya merupakan bentuk kemanfaatan yang dapat dinikmati dengan menjulurkan timba ( ngolor tembeh: red) kedalam sumur. Adapun airnya, karena orang yang menyewakan tahu bahwa orang yang menyewa membutuhkan air maka dengan persetujuan yang ditandai dengan adanya akad, air dalam sumur dijadikan sebagai barang ibahah (barang yang diperbolehkan untuk dimiliki secara gratis ). Sedangkan bentuk pemanfaatan dalam pemancingan adalah pergerakan dari alat pancing awang ( diatas ) dan didalam kolam, dan status ikannya adalah barang ibahah. Selanjutnya terkait dengan ketentuan tariff berupa uang sebesar Rp 20.000 per jam oleh Madzhab Hambali juga dinilai sah, dengan pertimbangan bahwa penyebutan nominal dalam jangka waktu per jam sudah cukup dikatakan sebagai hal yang maklum ( diketahui) . Selain itu, yang terpenting dari bentuk akad yang telah disebutkan adalah diketahuinya nominal pembayaran per jam, sehingga untuk per jam selanjutnya disamakan. Namun, manakala waktunya tidak genap per satu jamnya, maka pembayarannya adalah dengan UJRAH MITSLI ( Harga yang pantas menurut keumuman ).
SOLUSI UNTUK MELEGALKAN PRAKTEK SEWA MENYEWA SEBAGAIMANA DESKRIPSI
Mengikuti pendapatnya Imam Taj al-Din al-Subki yang mengatakan bahwa menyewa pohon untuk diambil buahnya hukumnya sah dalam kerangka hajat, disamping praktek ini sering terlalu dan sulit untuk dihindari. Akan tetapi, tetap harus dibatasi dengan waktu ( awal penyewaan dan akhirnya diketahui dengan pasti).
Solusi lain yang bisa digunakan dan dianggap sah menurut madzahab Syafiiyah adalah dengan menyewakan kebun atau pohonnya untuk dinikmati pemandangannya. Adapun buah apel yang terdapat dalam kebutuhan tersebut hanyalah sebagai pemberian dari orang yang menyewakan.
Sedangkan solusi yang bisa dijadikan alternatif untuk praktek pemancingan adalah dengan menyewakan lokasinya dan bernadzar bahwa ikan yang ada di kolam akan menjadi milik para pemancing bila mereka mendapatkannya. Contoh Nadzarnya adalah seperti halnya perkataan ” AKU BERNADZAR BAGI PARA PEMANCING, bahwa ikan hasil pancingan mereka bisa menjadi milik mereka ” atau ” ikan yang mereka dapatkan Kuberikan kepada mereka yang mau menyewa tanahku.
إعانة الطالبين ج٣ص ١٣٥-١٣٦
فإن قلت: صرحوا في النذر بأنه لا بد أن ينوي أنها عنه. قلت: هنا قرينة صارفة لوقوعها عما استؤجر له، ولا كذلك ثم، ومن ثم لو استؤجر هنا لمطلق القراءة وصححناه: احتاج للنية فيما يظهر أولا لمطلقها، كالقراءة بحضرته لم يحتج لها، فذكر القبر مثال، انتهى ملخصا. وبغير متضمن لاستيفاء عين ما تضمن استيفاءها، فلا يصح اكتراء بستان لثمرته، لان الاعيان لا تملك بعقد الاجارة قصدا، ونقل التاج السبكي في توشيحه اختيار والده التقي السبكي في آخر عمره، صحة إجارة الاشجار لثمرها، وصرحوا بصحة استئجار قناة أو بئر للانتفاع بمائها للحاجة. ـــــــــــــــــــــــــــــ (قوله: وبغير متضمن الخ)
معطوف على بمتقومه، أي وخرج بغير متضمن لاستيفاء عين، ما تضمن استيفاءها: أي استئجار منفعة تضمن استيفاء عين، كاستئجار الشاة للبنها، وبركة لسمكها، وشمعة لوقودها، وبستان لثمرته، فكل ذلك لا يصح. وهذا مما تعم به البلوى، ويقع كثيرا (قوله: لأن الأعيان لا تملك بعقد الإجارة قصدا) أي بخلافها تبعا، كما في اكتراء امرأة للإرضاع، فإنه يصح. لأن استيفاء اللبن تابع للمعقود عليه، وبيان ذلك: ان الإرضاع هو الحضانة الصغرى، وهي وضعه في الحجر وإلقامه الثدي، وعصره له لتوقفه عليها، فهي المعقود عليه، واللبن تابع إذا بالإجارة موضوعة للمنافع، وإنما الأعيان تتبع للضرورة. ويشترط لصحة ذلك تعيين مدة الرضاع، ومحله، من بيته، أو بيت المرضعة، وتعيين الرضيع بالرؤية، أو بالوصف، لاختلاف الأغراض باختلاف حاله، وكما يصح الاستئجار للإرضاع الذي هو الحضانة الصغرى، يصح للحضانة الكبرى، ولهما معا والحضانة الكبرى: تربية صبي بما يصلحه، كتعهده بغسل جسده، وثيابه، ودهنه، وكحله، وربطه في المهد، وتحريكه لينام، ونحوها مما يحتاجه (قوله: ونقل التاج السبكي الخ) ضعيف (قوله: صحة إجارة الخ) مفعول اختيار المضاف لفاعله (قوله: وصرحوا) أي الفقهاء. (وقوله: بصحة استئجار قناة) عبارة الروض وشرحه، ويجوز للشخص استئجار القناة، وهي الجدول المحفور للزراعة، بمائها الجاري إليها من النهر، لا إستئجار القرار منها دون الماء، بأن استأجرها ليكون أحق بمائها الذي يحصل فيها بالمطر والثلج في المستقبل، لأنه استئجار لمنفعة مستقبلة.
فإن قيل : مورد عقد الإجارة إنما هو المنافع لا الأعيان ولهذا لا يصح استئجار الطعام ليأكله والماء ليشربه وأما إجارة الظئر فعلى المنفعة وهي وضع الطفل في حجرها وإلقامه ثديها واللبن يدخل ضمنا وتبعا فهو كنقع البئر في إجارة الدار ويغتفر فيما دخل ضمنا وتبعا ما لا يغتفر في الأصول والمتبوعات قيل : الجواب عن هذا من وجوه أحدها : منع كون عقد الإجارة لا يرد إلا على منفعة فإن هذا ليس ثابتا بالكتاب ولا بالسنة ولا بالإجماع وغايته قياس محل النزاع على إجارة الخبز للأكل والماء للشرب وهذا من أفسدالأقيسة فإن الخبز تذهب عينه ولايستخلف مثله بخلاف اللبن فإنه لما كان يستخلف ويحدث شيأ فشيأ كان بمنزلة المنافع ثانيها أن الثمرة يجري مجرى المنافع والفوائد الوقف والعارية ونحوها وهذا تبرع بنماء المال وفائدته فمن دفع عقاره إلى من يسكنه فهو بمنزلة من دفع دابته إلى من يركبها أو شجرة إلى من يستثمرها وبمنزلة من دفع أرضه إلى من يزرعها وبمنزلة من دفع شاته إلى من يشرب لبنها فهذه الفوائد تدخل في عقود التبرع وكذلك تدخل في عقد الإجارة
Referensi
المجموع شرح المهذب – 4759/9792
(فرع) قال الشافعي والأصحاب لا يجوز أن يستأجر البركة لأخذ السمك منها لأن الأعيان لا تملك بالإجارة فلو استأجر البركة ليحبس فيها الماء ليجتمع فيها السمك ويصطاده فوجهان (أحدهما) لا يجوز قاله الشيخ أبو حامد (وأصحهما) عند الأصحاب جوازه وبه قطع صاحب الشامل وآخرون لأن البركة يمكن الاصطياد بها فجازت إجارتها كالشبكة قالوا وقول الشافعي لا تجوز إجارة البركة للحيتان أراد به إذا حصل فيها سمك وأجرها لأخذ ما حصل فيها وهذه الإجارة باطلة لأنها إجارة لأخذ الغير فأما البركة الفارغة (1) والله أعلم
Referensi
بغية المسترشدين ص ٢٠٤
( مسألة ي)
استأجر بستانا لأخذ ثمره لم يصح لورود الإجارة على غير مقصود إذ الأعيان لاتملك قصدا بعقد الإجارة فحينئذ يكون الثمر مِضمونا على صاحبه بأقصى القيم وأسهل الطرق إلى تصحيح هذه المعاملة أن بأجره أرض البستان بأجره معلومة وينذر له بالثمر تلك المدة إذ يصح النذر بالمجهول والمعلوم ولايتوقف على قبض إه
ولو أهدى له شيئا على أن يقضى له حاجة فلم يفعل لزمه رده ان بقى والا فبدله كما قاله الاصطخرى، فإن كان فعلها حل، أي وإن تعين عليه تخليصه بناء على الاصح أنه يجوز أخذ العوض على الواجب إذا كان فيه كلفة، خلافا لما يوهمه كلام الاذرعى وغيره هنا
Referensi
كشاف القناع الجزء الثالث ص : ٥٦٣ الحنابلة
قال ابن عقيل: يجوز إستئجار البئر ليستقى منه أياما معلومة أو يستقى منها دلاء معلومة -إلى أن قال- لأنه إنما يملك بالحيازة كما تقدم قال فى المغنى: وهذا التعليل يقتضى أنه يجوز أن يستأجر منه بركته ليصطاد منها السمك مدة معلومة إنتهى وهو واضع إذا لم تعمل للسمك لأهواء البركة وعمقها فيه نوع انتفاع بمرور آلة الصيد والسمك يؤخذ على الإباحة وأما إذا علمت للسمك فإنه يملك بحصوله فيها كما يأتى فى الصيد فلاتصح الإجارة لأخذه لكن إن أجّرها قبل حصول السمك بها لمن يصطاده منها مدة معلومة صح فإذا حصل فيها فله صيده
Referensi
شرح الكبير لابن قدامة ج٦ص٢٢ الحنابلة
– مسألة: (وإن أكْراه دابَّةً عَشَرَةَ أيام بعَشَرَةِ دَراهِمَ، فما زادَ فله بكلِّ يوم دِرْهَمٌ، فقال أحمدُ) في رِوايةِ أبي الحارِثِ (هو جائِزٌ)
ونَقَل ابنُ منصورٍ عنه في مَن اكْتَرَى دابَّةً مِن مَكةَ إلى جُدَّةَ بكذا، فإن ذَهَب إلى عَرَفاتٍ بكذا. فلا بَأسَ. ونَقَل عبدُ اللهِ عنه، لو قال: أكْرَيتُكَها (١) بعَشَرَةٍ. فما حَبَسَها فعليه في كلِّ يوم عَشَرَة، أنَّه يَجُوزُ. وهذه الرِّواياتُ تَدُلُّ على أن مَذْهَبَه، أنَّه متى قَدَّرَ لكلِّ عَمَل مَعْلُوم أجْرًا مَعْلُومًا، صَح. وتَأوَّلَ القاضِي هذا كُلَّه، على أنه يَصِح في الأوَّلِ ويَفْسُدُ في الثانِي؛ لأنَّ مُدَّتَه غيرُ مَعْلُومةٍ، فلم يَصِحَّ العَقْدُ فيه، كما لو قال: اسْتَأجَرْتُكَ لتَحْمِلَ لي هذه الصُّبْرَةَ، وهي عَشَرَةُ أقْفِزَةٍ بدِرْهَم، وما زادَ فبِحِسابِ ذلك. قال شيخُنا (٢): والظّاهِرُ عن أحمدَ خِلافُ هذا، فإنَّ قَوْلَه: فهو جائِزٌ. عادَ إلى جَمِيعِ ما ذَكَرَ (٣) قبلَه، وكذلك قولُه: لا بَأسَ. ولأنَّ لكلِّ عَمَلٍ عِوَضًا مَعْلُومًا، فَصَحَّ، كما لو اسْتَقَى له كل دَلْو بتَمْرَةٍ، وقد ثَبَت الأصْلُ بالخَبَرِ الوارِدِ فيه [على ما نَذْكُرُه] (٤). ومَسائِلُ الصُّبْرَةِ لا نَصَّ فيها عن الإمامِ، وقِياسُ نُصُوصِه صِحَّةُ الإجارَةِ، وإن سُلِّمَ فَسادُها؛ فلأنَّ القُفْزانَ التي شَرَطَ حَمْلَها (٥) غيرُ مَعْلُومةٍ بتَعْيِينٍ ولا صِفَةٍ، وهي مُخْتَلِفةٌ، فلم يَصِحَّ الْعَقْدُ؛ لجَهالتِها، بخِلافِ الأيامِ، فإنَّها مَعْلُومة.- إلى ان قال – – مسألة: (وإن سَمَّى لكل يوم شَيئًا مَعْلُومًا، فجائِزٌ) وقال الشافعي: لا يَصِحُّ؛ لأنَّ مُدَّةَ الإجارَةِ مَجْهُولةٌ. ولنا، أن عَلِيًّا، رَضِيَ الله عنه، أجَر نَفْسَه كُلَّ دَلْو بتَمْرةٍ، وكذلك الأنْصارِيُّ، فلم يُنْكِرْه النبي – صلى الله عليه وسلم – (١). ولأنَّ كلَّ يَوْم مَعْلُومٌ مُدَّتُه وأجْرُه، فصَحَّ، كما لو أجَرَه شَهْرًا كُلَّ يَوْمٍ بدِرْهم، أو اسْتَأجَرَه لنَقْلِ صُبْرَةٍ مَعْلُومَةٍ كُلَّ قَفِيز بدِرْهَمٍ إذا ثَبَت هذا، فلا بُدَّ مِن تَعْيِينِ ما يَسْتَأجرُ له، مِن رُكُوبٍ، أو حَمْلٍ مَعْلُوم (٢). ويَسْتَحِقُّ الأجْرَ المُسَمَّى لكلِّ يوم، سواء أقامَتْ أو سارَتْ؛ لأنَّ المنافِعَ ذَهَبت في مُدَّتِه، أشبَهَ ما لو اكْتَرَى دارًا وغَلَقها ولم يَسْكُنها
HUKUM MEMBAYAR ZAKAT KARENA TERKECOH ( MEMBERIKAN ZAKAT KEPADA ORANG YANG TIDAK BERHAK MENERIMA ZAKAT )
Assalamualaikum.
Deskripsi masalah Diantara 8 golongan orang orang yang berhak menerima zakat Adalah Amil zakat. Amil yaitu orang yang bertugas mengambil harta zakat dari orang-orang yang membayar zakat, orang yang menulis harta zakat yang diberikan oleh pemberi, orang yang membagikan harta zakat kepada para mustahik. Setudi kasus: Dimasyarakat terkadang ada orang kaya namun penampilannya seperti orang Miskin ( tidak menampakkan orang kaya ) dalam kondisi yang sedemikian ia menerima zakat dari Amil zakat atau dari orang yang berkewajiban mengeluarkan zakat sementara sipenerima tidak mengetahui bahwa yang diterimanya itu adalah zakat
Pertanyaannya.
Bagaimana Hukumnya penerima zakat yang tidak mengetahui bahwa yang diterima zakat.( sahkah zakatnya sebagaimana deskripsi)
Bagaimana hukumnya jika sipenerima zakat bukanlah orang yang berhak menerima zakat.
Walaikum salam.
JAWABAN. No 1
Jika seseorang menerima zakat sedangkan ia tidak tahu bahwa yang diterimanya itu adalah zakat, maka dalam hal ini zakatnya tetap sah
Referensi
إعانة الطالبين ج ٢ ص ١٦٣
يجوز دفعها لمن لايعلم أنها زكاة لان العبرة بنية المالك محله عند عدم الصارف من الآخذ، أمامعه كان قصد بالأخذ جهة الأخرى فلا، وبهذا أنه يعلم أن المكس لايجزء عن الزكاة إن أخذه الإمام أو نائبه على أنه بدل عنها باجتهاد أوتقليد صحيح مطلقا، خلافا لمن وهم فيه إه
JAWABAN. No.2
Jika zakatnya diberikan sendiri atau melalui wakilnya, maka jika saat memberikan sudah menyebutkan bahwa itu zakat, maka zakat tersebut ( atau gantinya ) boleh diminta kembali. Jika zakatnya sudah habis sementara yang menerima tidak punya pengganti, maka menurut sebagian ulama zakatnya sudah dianggap sah.
Referensi
المجموع شرح المهذب -٩٧٩٢ /٣١٤٢
{فإن دفع الامام الزكاة الي من ظاهره الفقر ثم بان انه غني لم يجزئ ذلك عن الفرض فان كان باقيا استرجع ودفع الي فقير وان كان فانيا اخذ البدل وصرفه الي فقير فان لم يكن للمدفوع إليه مال لم يجب علي رب المال ضمانه لانه قد سقط عنه الفرض بالدفع إلى الامام ولا يجب علي الامام لانه امين غير مفرط فهو كالمال الذى تلف في يد الوكيل وان كان الذى دفع رب المال فان لم يبين عند الدفع أنه زكاة لم يكن له أن يرجع لانه قد يدفع عن زكاة واجبة وعن تطوع فإذا ادعى الزكاة كان متهما فلم يقبل قوله ويخالف الامام فان الظاهر من حاله انه لا يدفع الا الزكاة فثبت له الرجوع وان كان قد بين انها زكاة رجع فيها ان كانت باقية وفي بدلها ان كانت فانية فان لم يكن للمدفوع إليه مال فهل يضمن رب المال الزكاة فيه قولان (أحدهما) لا يضمن لانه دفع بالاجتهاد فهو كالامام (والثانى) يضمن لانه كان يمكنه ان يسقط الفرض بيقين بان يدفعه إلى الامام فإذا فرق بنفسه فقد فرط فلزمه الضمان بخلاف الامام وان دفع الزكاة الي رجل ظنه مسلما فكان كافرا أو الي رجل ظنه حرا فكان عبدا فالمذهب أن حكمه حكم مالو دفع الي رجل ظنه فقيرا فكان غنيا ومن أصحابنا من قال يجب الضمان ههنا قولا واحدا لان حال الكافر والعبد لا يخفى فكان مفرطا في الدفع اليهما وحال الغنى قد يخفي فلم يكن مفرطا
{الشرح} قال أصحابنا إذا دفع رب المال الزكاة إلى الإمام ودفعها الإمام إلى من ظاهره الفقر فبان غنيا لم يجز عن الزكاة فيسترجع منه المدفوع سواء بين الإمام حال الدفع أنها زكاة أم لا والظاهر من الإمام أنه لا يدفع تطوعا ولا يدفع إلا واجبا من زكاة واجبة أو كفارة أو نذر أو غير ذلك فإن تلف فبدله ويصرف إلى غيره فإن تعذر الاسترجاع من القابض لم يجب الضمان على الإمام ولا على رب المال لما ذكره المصنف وإن بان المدفوع إليه عبدا أو كافرا أو هاشميا أو مطلبيا فلا ضمان على رب المال وهل يجب على الإمام فيه ثلاث طرق (أصحها) فيه قولان (أصحهما) لا ضمان عليه (والثاني) يضمن (والطريق الثاني) يضمن قطعا لتفريطه فإن هؤلاء لا يخفون إلا بإهمال (والثالث) لا يضمن قطعا لأنه أمين ولم يتعمد هذا كله إذا فرق الإمام فلو فرق رب المال فبان المدفوع إليه غنيا لم يجز عن الفرض فإن لم يكن بين أنها زكاة لم يرجع وإن بين رجع في عينها فإن تلفت ففي بدلها فإذا قبضه صرفه إلى فقير آخر فإن تعذر الاسترجاع فهل يجب الضمان والإخراج ثانيا على المالك فيه قولان مشهوران ذكرهما المصنف بدليلهما (أصحهما) وهو الجديد يجب (والقديم) لا يجب والقولان جاريان سواء بين وتعذر الاسترجاع ام لم يبين ومنعنا الاسترجاع ولو دفعها رب المال إلى من ظنه مستحقا فبان عبدا أو كافرا أو هاشميا أو مطلبيا وجب الاسترجاع فإن استرجع أخرجه إلى فقير آخر فإن تعذر الاسترجاع فطريقان مشهوران ذكر المصنف دليلهما (المذهب) أنها لا تجزئه ويلزمه الإخراج ثانيا ولو دفع إليه سهم الغازي والمؤلف فبان امرأة فهو كمن بان عبدا ذكره القاضي أبو الفتوح وحكاه صاحب البيان عنه قال البغوي وغيره وحكم الكفارة وزكاة الفطر فيما لو بان المدفوع إليه غير مستحق حكم الزكاة في جميع ما ذكرناه وإذا كان المدفوع إليه عبدا تعلق الغرم بذمته لا برقبته ذكره البغوي والرافعي وغيرهما لانه وجب وجب عليه برضى مستحقه والقاعدة أن ما لزمه برضى مستحقه تعلق بذمته لا برقبته والله تعالى أعلم
HUKUM MENGQODHO'(MENGGANTI) SHOLATNYA ORANG YANG MENINGGAL DUNIA
Assalamualaikum
Deskripsi Masalah
Shalat lima waktu adalah kewajiban utama bagi setiap Muslim yang mukallaf. Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit orang yang, karena kesibukan duniawi, usia lanjut, atau kondisi kesehatan, lalai atau lupa melaksanakan shalat. Ketika mereka meninggal dunia, tanggungan shalat yang belum ditunaikan ini menjadi persoalan bagi ahli warisnya, khususnya anak-anak yang ingin berbakti kepada orang tua.
Anak-anak sering bertanya apakah mereka dapat menggantikan kewajiban shalat orang tua yang telah meninggal. Beberapa ulama memberikan pandangan bahwa qadha shalat dapat dilakukan berdasarkan analogi dengan qadha puasa yang dibolehkan oleh syariat. Sementara itu, sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa shalat tidak bisa diqadha oleh orang lain karena merupakan ibadah badaniyah murni. Sebagai alternatif, mereka menganjurkan pembayaran fidyah atau amal ibadah lain untuk mempersembahkan pahala kepada orang tua.
Persoalan ini menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat, terutama dalam memahami pandangan ulama yang berbeda. Selain itu, perbedaan ini juga memengaruhi bagaimana anak-anak menjalankan niat mereka untuk berbakti kepada orang tua sesuai dengan tuntunan agama.
Pertanyaan
1. Bagaimana hukum menqadha shalat orang yang meninggal dunia /orang tua ? Jika tidak dapat diqadha, apa bentuk pengganti yang dianjurkan oleh syariat?
2. Bagaimana pandangan ulama dari mazhab fiqih utamanya madzhab Syafi’i mengenai permasalahan ini?
3. Apakah pembayaran fidyah atau amal kebaikan lain dapat menjadi solusi untuk menyelesaikan tanggungan ibadah shalat orang yang meninggal atau orang tua?
Waalaikum salam
Jawaban kami satukan sebagai berikut:
Ulama Syafi’iyah berbeda pendapat tentang shalat yang ditinggalkan oleh seseorang di masa hidup, apakah dapat diqadha’i(di ganti)oleh orang lain atau digantikan fidyah ;
Pendapat pertama menyatakan bahwa ibadah shalat mayit (orang yang sudah wafat) tidak dapat diqadha’i oleh siapa pun, serta tidak dapat digantikan dengan pembayaran fidyah berupa menyedekahkan makanan pokok
Pendapat kedua menyatakan bahwa shalat yang ditinggalkan oleh mayit semasa hidup dapat diqadha’i(di ganti). Sebagaimana uraian dalam qaul qadim Imam As-Syafi’i yakni bahwa jika mayit meninggalkan harta warisan (tirkah) maka wajib bagi wali mayit (anak, saudara, dll) untuk mengqadha’i(mengganti )shalatnya
pendapat terakhir yang banyak diikuti oleh ulama mazhab Syafi’I menyebutkan bahwa setiap shalat yang ditinggalkan oleh mayit digantikan dengan pembayaran fidyah (pemberian makanan pokok) kepada fakir miskin sebesar satu mud (6,75 gram/dibulatkan 7 ons )
NB: 1 Mud : 1⅓ Ritl Baghdad, 1 Kg Mesir : ½ Cangkir dari makanan pokok Daerahnya dan selaras dengan 675 gram
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ١/٣٣ — البكري الدمياطي (ت ١٣١٠) باب الصلاة ونص عبارته هناك: (فائدة) من مات وعليه صلاة فلا قضاء ولا فدية. وفي قول – كجمع مجتهدين – أنها تقضى عنه لخبر البخاري وغيره، ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه. ونقل ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي إن خلف تركة أن يصلى عنه، كالصوم. وفي وجه – عليه كثيرون من أصحابنا – أنه يطعم عن كل صلاة مدا. وقال المحب الطبري: يصل للميت كل عبادة تفعل، واجبة أو مندوبة.
Teks di dalamnya berbunyi: (Faedah): Barang siapa yang meninggal dunia dan meninggalkan kewajiban shalat, maka tidak ada qadha dan tidak ada fidyah atasnya. Namun, dalam pendapat lain—sebagaimana pendapat banyak mujtahid—shalat tersebut dapat diqadha berdasarkan hadis Bukhari dan lainnya. Oleh karena itu, sejumlah ulama dari kalangan kami memilih pendapat ini, dan Imam As-Subki melakukannya terhadap sebagian kerabatnya. Ibnu Burhan meriwayatkan dari pendapat lama (Imam Syafi’i) bahwa wali (ahli waris) wajib mengqadha shalat tersebut jika mayit meninggalkan harta, sebagaimana kewajiban qadha puasa. Ada pendapat lain yang dianut oleh banyak ulama dari kalangan kami, yaitu wajib memberi makan satu mud untuk setiap shalat yang ditinggalkan. Imam Al-Muhib Ath-Thabari mengatakan: “Setiap bentuk ibadah, baik wajib maupun sunnah, dapat sampai pahalanya kepada mayit.”
(Kaffarah): Dikeluarkan untuk setiap hari (puasa yang ditinggalkan) satu mud, yaitu, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, satu rathl (satuan berat) dan sepertiga dengan timbangan Irak (Baghdad), atau setara setengah qadaḥ dengan ukuran Mesir. Adapun penerima fidyah adalah fakir dan miskin saja, tidak termasuk golongan delapan lainnya yang berhak menerima zakat, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Dan atas orang-orang yang tidak mampu (berpuasa), maka wajib memberi fidyah dengan memberi makan seorang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184). Adapun fakir keadaannya lebih buruk daripada miskin. Maka jika diperbolehkan memberikannya kepada miskin, terlebih lagi fakir lebih utama. Tidak wajib membagi fidyah secara merata di antara keduanya.
Jika seseorang menunda qadha puasa dengan alasan mampu melakukannya, kemudian ia meninggal dunia setelah masuk Ramadan berikutnya sebelum mengqadha puasanya, maka ada dua pendapat masyhur yang disebutkan oleh penulis kitab ini:
1. Pendapat yang paling sahih menurut para ulama mazhab adalah wajib membayar dua mud dari harta warisannya, satu mud sebagai pengganti puasa yang ditinggalkan dan satu mud lagi sebagai pengganti keterlambatan qadha. Pendapat ini dinyatakan oleh Al-Mawardi dan menjadi mazhab Imam Syafi’i dan mayoritas ulama pengikutnya, kecuali Ibnu Suraiyij.
2. Pendapat kedua mengatakan cukup membayar satu mud saja karena kerugian (kegagalan) cukup dijamin dengan satu mud, sebagaimana pada kasus orang tua renta. Namun, Al-Mawardi menganggap pendapat ini keliru.
4. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu (3/1737) — Wahbah Az-Zuhaili (kontemporer)
Mud: Beratnya adalah satu rathl dan sepertiga menurut ukuran Baghdad, atau setara setengah qadaḥ dengan takaran Mesir. Jika diukur dalam berat modern, satu mud setara dengan 675 gram dari makanan pokok yang lazim di daerah tersebut.
Assalamu Alaikum. Pertanyaan: Demi memajukan pesantren banyak hal yang dilakukan khusus nya oleh pengurus pesantren, mulai dari peningkatan kualitas koperasi, seperti contoh ketika menjelang liburan pesantren ada yang mewajibkan para santrinya untuk membeli seperti buku,karya ilmiah dan kalender yang mana itu semua produk dari pesantren tersebut, ironisnya hal tersebut menjadi syarat pulang, terpaksa para santrinya membelinya, karena takut tidak diperbolehkan pulang.
Pertanyaan :
Bagaimana hukum transaksi sebagaimana dalam deskripsi?
Wa alaikumussalam. Jawaban Santri yang diwajibkan oleh pengurus pesantren untuk membeli buku,kalender,dan karya ilmiyah,itu bisa dibenarkan secara syariat. Alasannya ialah: Karena begitu santri itu dipasrahkan kepada pengasuh pesantren,santri itu berjanji akan mematuhi terhadap peraturan dan kebijakan pesantren. Menurut imam Al Mundziri:Santri itu wajib memenuhi janji santri itu kepada pengasuh pesantren,tapi dengan syarat jika janji itu adalah janji yang diperbolehkan oleh syariat,dan bukan janji yang diharamkan oleh syariat.
Referensi:
سراج المنير ج 3 ص 406 المسلمون على شروطهم) الجائزة شرعًا أي ثابتون عليها واقفون عندها قال العلقمي قال المنذري وهذا في الشروط الجائزة دون الفاسدة* وهو من باب ما أمر فيه بالوفاء بالعقود يعني عقود الدين وهو ما ينفذه المرء على نفسه ويشترط الوفاء من مصالحة ومواعدة وتمليك وعقد وتدبير وبيع وإجازة ومناكحة وطلاق وزاد الترمذي بعد قوله على شروطهم إلا شرط حرم حلالًا أو حلل حرامًا يعني فإنه لا يجب الوفاء به بل لا يجوز لحديث كل شرط ليس في كتاب الله فهو باطل وحديث من عمل عملًا ليس عليه أمرنا فهو رد فشرط نصرة الظالم والباغي وشن الغارات على المسلمين من الشروط الباطلة المحرمة
Berikut dalil dan hadits yang menjelaskan tentang beramal infak
Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan. (QS. At-Talaq: 7)
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkannya.” Suatu apa pun yang kamu infakkan pasti Dia akan menggantinya. Dialah sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS. Saba’: 39)
Kedua ayat al-Qur’an tersebut diatas menjelaskan kewajiban seorang suami untuk memberi nafkah; mencukupi kebutuhan keluarganya. Dijelaskan menarik oleh Syaikh Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya Al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syariah wa al-Manhaj, memberi nafkah adalah kewajiban bagi seroang suami tetapi itu disesuaikan dengan kemampuan dan kadar rizkinya. Jika ia kaya maka ia menafkahi keluarganya sesuai dengan kekayaannya, tetapi jika ia miskin ia menafkahi keluarganya sesuai dengan rizkinya. Dan nafkah disesuaikan dengan kondisi yang ada yang berlaku di masyarakat setempat. Dan tidak ada yang mengetahui kadar kemampuan seseorang dalam memberi nafkah kecuali dirinya, karena itulah ia sendiri yang bisa menyesuaikan dengan kondisinya dalam memberi nafkah kepada keluarganya. Meski memberi nafkah merupakan sebuah kewajiban, tetapi hal itu tidak perlu ditakutkan dan dirisaukan oleh seorang suami yang menjadi kepala rumah tangga. Sebab sebagaimana dijelaskan Allah swt dalam al-Qur’an surat Saba ayat 39 diatas bahwa rizki itu sudah ditentukan Allah swt; lapang dan sempitnya. Dan menariknya, Allah telah berjanji bahwa segala nafkah atau infak yang dikeluarkan akan mendapat ganti yang lebih baik dari Allah swt yang maha pemberi rezeki. Tidak hanya itu, memberi nafkah kepada keluarga merupakan infak terbaik yang dikeluarkan seseorang dari pada infak yang dikeluarkan untuk berjihad di jalan Allah.
Ketiga : Dijelaskan Rasulullah saw dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Abdurrahman Tsauban berikut
عن أبي هريرة -رضي الله عنه- قال: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: «دينار أنفقته في سبيل الله، ودينار أنفقته في رقبة، ودينار تصدقت به على مسكين، ودينار أنفقته على أهلك، أعظمها أجرًا الذي أنفقته على أهلك».
Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda,: “Dinar yang kamu infakkan di jalan Allah, dan dinar yang kamu infakkan untuk memerdekan budak, dan dinar yang kamu shadaqahkan kepada orang miskin, dan dinar yang yang kamu infakkan untuk keluargamu, yang paling besar pahalanya adalah dinar yang kamu infakkan kepada keluargamu”. (Shahih Muslim, Kitab al-Zakat Bab Fadl al-Nafaqah ‘ala al-‘Iyal, no. 995)
Keempat:
عن ثوبان – رضي الله عنه- مولى رسول الله -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: قَالَ رسولُ اللَّه -صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم-:
«َأفضل دينار ينُفِقُهُ الرجل: دينار ينفقه على عياله، ودينار ينفقه على دَابَّتِهِ في سبيل الله، ودينار ينفقه على أصحابه في سبيل الله».
Abu Abdurrahman Tsauban bin Bujdud, maula (santri dalem) Rasulullah saw meriwatkan, Rasulullah saw bersabda,: “Sebaik-baik dinar yang diinfakkan seseorang adalah dinar yang diinfakkan kepada keluarganya, dinar yang ia infakkan untuk berjuang di jalan Allah, dan dinar yang ia infakkan untuk kawan-kawan seperjuangannya di jalan Allah”. (HR. Muslim, Kitab al-Zakat Bab Fadl al-Nafaqah ‘ala al-‘Iyal, no. 994)
Adapun orang yang mampu memberi nafkah, atau orang yang tidak memberi nafkah kepada keluarganya merupakan hal yang dilarang dan mendapat dosa. Hal ini sebagaimana dijelaskan Rauslullah saw dalam hadisnya: Khaitsamah meriwayatkan, Ketika kami sedang duduk Bersama Abdullah bin Amru, datang kepadanya seorang wakilnya. Ia pun lalu masuk dan berkata,: “apakah kamu sudah memberi makan budak kalian?”. Orang yang ditanyai menjawab,: “Belum”. Abdullah bin Amru lalu berkata kepadanya,: “kembalilah dan beri mereka makanan!”. Rasulullah saw telah bersabda,: “Cukuplah seseorang berdosa jika seseorang menahan makanan (tidak memberi makanan) kepada orang yang menjadi tanggungannya”. Intinya, menafkahi keluarga merupakan perintah dari Allah yang menjadi kewajiban seorang suami atau kepala rumah tangga, dan dinilai sebagai infak terbaik yang akan mendapat pahala yang besar dari Allah serta menjadi jalan dilapangkan rezeki. Dan pastinya pemberian nafkah disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Kelima: Hadits Rasulullah
مانقص مال من صدقة بل يزدد بل يزدد
“Tidak akan berkurang harta yang disedekahkan, bahkan bertambah, bahkan bertambah.”
Sehingga menjadi sangat wajar apabila seorang yang sudah bersedekah maka Allah akan membukakan pintu rezeki yang lebih banyak. Artinya seseorang apabila sadar dan mengetahui bahwa cara dan jalan pintas untuk menjadi kaya adalah dengan bersedekah dan infak di jalan Allah.
KESIMPULAN
Santri yang diwajibkan oleh pengurus pesantren untuk membeli buku, kalender,dan karya ilmiyah, itu bisa dibenarkan secara syariat. Alasannya ialah: Karena begitu santri itu dipasrahkan kepada pengasuh pesantren, santri itu berjanji akan mematuhi terhadap peraturan dan kebijakan pesantren.
Adapun bershadaqah lewat membeli merupakan perbuatan mulia, karena jika kita memberikan uang Rp 1000 atau 2000 kepada seseorang atau penjual, kadang banyak yang minder untuk menerimanya bahkan mungkin ada yang tersinggung dan menolak atau bahkan merasa tidak ada harga diri. Muncul di pikiran, alangkah hinanya menerima Rp 1000.
Tetapi berbeda hal jika kita bershadaqah dengan membeli barangnya meski Rp 1000 atau Rp 2000 bahkan lebih dari itu pasti akan diterima. Ini merupakan siasat yang baik dalam bershadaqah.Hal ini saya coba mengutip perkataan dua ulama tanah air, yakni Syekh Abdul Ghouts (Abah Aos), seorang Mursyid Thariqah Qadiriyyah wa Naqsabandiyah di Pondok Pesantren Sirnarasa Tasik Malaya, Jawa Barat dan KH Bahauddin Nur Salim (Gus Baha), seorang kiai pengasuh pondok pesantren Tahfidul Qur’an LP3IA. Keduanya mengatakan bahwa secara tidak langsung membeli merupakan aktivitas bershadaqah, yakni shadaqahnya seorang pembeli kepada penjual.
Jadi seluruh santri, Patuhilah undang-undang Pesantren dan bantulah walau dengan cara membeli berupa buku karya ilmiya ataupun al-mana’ (Kalendir) Karena dengan cara tersebut kita secara tidak langsung telah bershadaqah kepada Pondok pesantren.
Begitu juga halnya santri membeli diKoperasi pesantren ini sangatlah membantu dalam rangka untuk mengembangkan kebutuhan-kebutuhan yang ada dipondok pesantren karena bagaimanapun juga hasil dari penjualannya akan kembali kepada lembaga itu sendiri
Demikianlah, manusia dianjurkan bershadaqah semampunya, bisa secara langsung, bisa dengan membeli karya buku ilmiyah, kalender membeli dikoprasi pesanteren , atau memberi upah jasanya dll.. Wallahu A’lam bisshowab
MEMILIH DIANTARA MELAKSANAKAN NADZAR TIDAK MEMOTONG RAMBUT SELAMA SETAHUN ATAU TIDAK MEROKOK SELAMA 40 HARI
Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh
Deskripsi masalah:
Sebutlah nama samaranya Anton wijaya suatu hari dia bernadzar dengan bersumpah Demi Allah saya tidak akan memotong rambut ( mencukur rambut ) selama masa setahun, dan misalnya dia memotong rambutnya belum sampai setahun, dia akan berhenti merokok selama 40 hari ( Anton bernadzar tidak akan memotong rambutnya 1 tahun. Selang hampir satu tahun kurang 40 hari timbul nadzar baru dia tidak mau merokok dengan ucapan Demi Allah saya potong rambutku ini dan aku tidak akan merokok 40 hari )
Seiring berjalannya waktu, dan rambut Anton wijaya mulai panjang, maka dia ingin membatalkan nadzar nya ( dengan memotong rambunya), karena ketika dia berkaca dicermin kelihatannya tidak bagus.
Pertanyaan nya…
Apa yang harus Anton lakukan ? Apakah harus berhenti merokok selama 40 hari?, atau ada kafarat lainnya?
Mohon penjelasannya para guru disertai refrensi yang kuat 🙏🏻🙏🏻
Waalaikum salam. Jawaban .
Kalau melihat dari deskripsi masalah tersebut maka Anton Wijaya dihadapkan pada dua kewajiban antara :
Anton Wijaya wajib melaksanakan Nadzar dengan tidak memotong rambutnya selama setahun
Anton bernadzar tidak mau merokok selama 40 hari,
Yang menjadi pertanyaan lagi mana yang harus didahulukan oleh Anton diantara keduanya yaitu melaksanakan Nadzar dengan tidak memotong rambut selama satu tahun dan meneruskan meninggalkan merokok selama 40 hari.? Maka dalam hal ini yang harus dihulukan oleh Anton adalah yang lebih tinggi nilai dari keutamaannya karena keduanya tidaklah mungkin bisa dilaksanakan secara bersamaan karena bertentangan terkecuali harus memilih satu diantara keduanya sehingga gugur yang lainnya misalkan Anton Wijaya memilih tidak merokok maka ia wajib membayar kafarat karena dia mengugurkan Nadzarnya dengan memotong rambutnya , dan sebaliknya jika Anton memilih tidak memotong rambut maka dia menggugurkan Nadzarnya dengan tidak memotong rambutnya , maka ia wajib membayar kafaratnya dengan sebab menggugurkan nadzarnya , hal ini berdasarkan sebuah Kaidah dan contoh -contohnya dan beberapa keterangan kitab sebagaimana berikut:
Jika seseorang dihadapkan pada dua kemaslahatan maka lakukanlah yang lebih tinggi nilai keutamaannya. Dan jika dihadapkan pada dua kerusakan maka lakukanlah yang ringan atau ambillah yang lebih ringan kerusakannya.
شرح رسالة مختصرة في أصول الفقه
قاعدة المصالح والمفاسد وَإِذَا تَزَاحَمَتْ مَصْلَحَتَانِ؛ قُدِّمَ أَعْلاَهُمَا، أَوْ مَفْسَدَتَانِ لاَ بُدَّ مِنْ فِعْلِ إِحْدَاهُمَا؛ ارْتُكِبَتْ أَخَفُّهُمَا مَفْسَدَةً. قال: (وإذا تزاحمت مصلحتان؛ قُدِّمَ أعلاهما أو مفسدتان لا بد من فعل إحداهما؛ ارْتُكِبَ أخفُّهما). هذه القاعدة تسمى عند العلماء: قاعدة المصالح والمفاسد، وقاعدة المصالح والمفاسد لها ثلاث صور، ذكر الشيخ صورتين، وترك الصورة الثالثة. الصورة الأولى: أن تتزاحم مصلحتان، والتزاحم معناه التعارض بين أمرين لا يمكن الجمع بينهما، فعندنا مصلحتان ولا يمكن الجمع بينهما، ولا بد أن نفعل مصلحة واحدة؛ فما الحكم؟! قال الشيخ: إنه يختار أعلى المصلحتين؛ مثل شخص اجتمع عليه دين ونفقة مستحبة؛ كصدقة، فقضاء الدين مصلحة، والنفقة المستحبة على الفقراء والمساكين مصلحة، فأيهما يُقَدِّمُ؟ يقدم قضاء الدين؛ لأن قضاء الدين واجب، هذا الآن تعارض بين مصلحتين إحداهما واجبة والأخرى مستحبة. طيب.. لو تعارضت مصلحتان واجبتان؛ مثل صلاة نذر وصلاة فرض، يُقدم صلاة الفرض على صلاة النذر؛ لأن الفرض ثبت بأصل الشرع، والنذر أوجبه المكلف على نفسه، وفي النفقة اللازمة للزوجات والأقارب تُقَدَّمُ نفقة الزوجات ثم الأقارب، إذا تعارض عند الزوجة أمر أبويها وأمر زوجها؛ يُقَدَّمُ أمر زوجها؛ لأنه آكد. إذا اجتمعت مصلحتان مسنونتان؛ قُدِّمَ أفضلهما، ويقدم ما فيه نفع متعدٍّ، فلو تعارض عند إنسان طلب علم وصلاة نفل؛ يقدم طلب العلم. تعليم العلم مع صلاة نفل، تعليم العلم، المقصود من هذا: أن الأعلى في المصالح يختلف من مصلحة إلى أخرى. ومن الأدلة على اختيار أعلى المصلحتين: ما ورد في الحديث الصحيح قول النبي -صلى الله عليه وسلم- كما في حديث ابن الزبير(1) عن عائشة قَالَ: «يَا عَائِشَةُ! لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ» قال ابن الزبير: بِكُفْرٍ، « لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ، فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ مِنْهُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ»(2). فهنا عندنا مصلحتان: المصلحة الأول: نقض الكعبة وجعل لها بابين، وإذا كان لها بابان يكون أخفَّ وأسهل من كون الناس يدخلون ويخرجون مع باب واحد، والمصلحة الثانية: تأليف قلوب قريش؛ لأنهم لا يزالون حدثاء عهد بكفر، فماذا قدم الرسول -صلى الله عليه وسلم- من المصلحتين؟ قدم المصلحة الثانية، وهي تأليف القلوب. الصورة الثانية: إذا اجتمعت مفسدتان؛ ارتكب أخفهما، ومن أدلة هذا وأمثلته: ما ورد في الحديث الصحيح حديث أنس -رضي الله عنه- قال: جاء أعرابي فبال في المسجد فزجره الناس، فنهاهم النبي -صلى الله عليه وسلم-، فلما قضى بوله أمر بذنوب من ماء فأريق عليه(3). البول في المسجد مفسدة، والاستمرار على البول مفسدة، والصحابة -رضي الله عنهم- أرادوا أن يقطعوا على الرجل بوله، يعني أرادوا أن لا يستمر البول. والرسول -صلى الله عليه وسلم- أراد أن يستمر البول. إذن: البول في المسجد مفسدة في حد ذاتها، واستمرار البول مفسدة، فأراد الرسول -صلى الله عليه وسلم- أن يقضوا على الاستمرار، فنَهوا هذا الرجل لأجل أن يقوم ويُكمل بوله خارجَ المسجد، لكن الرسول -صلى الله عليه وسلم- نهاهم. لماذا؟ لأن قطع البول مفسدته أعظم من مفسدة الاستمرار، والبول في المسجد، وكونه يستمر على بوله هذا أهون، وكونه يقوم ويخرج هذا أعظم، فارْتُكِبَتْ أدنى المفسدتين وأخف المفسدتين؛ لأنه إذا قام سيكون هناك ثلاث مفاسد: المفسدة الأولى: حبس البول، والإنسان إذا أراد أن يبول وحَبَسَ البول هذا مُضِرّ. المفسدة الثانية: أنه سينجس أكبر بقعة من المسجد، وبوله كانت بقعة معينة ما يعني تزيد على بضعة من السنتيمترات، لكن إذا قاموا وطردوه سيكون هناك شيء من البول يخرج هذه مفسدة ثانية. المفسدة الثالثة: أن ثيابه ستتنجس، لكن إذا بقي البول بالمسجد حصل ستتلاشى المفاسد هذه. إذن: الرسول -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا نهاهم أراد ارتكاب أدنى المفسدتين في مقابل أعلاهما. الصورة الثالثة: إذا تقابلت مصلحة ومفسدة وكانت المفسدة أعظم.. انظر الآن الصورة الأولى عندنا مصلحتان، والصورة الثانية عندنا مفسدتان، والصورة الثالثة عندنا مصلحة ومفسدة، ولكن المفسدة أعظم، فما الحكم؟ يُقدم دفع المفسدة ويُترك تحقيق المصلحة؛ لأن درء المفاسد مقدم على جلْب المصالح. ومن أدلة هذا قول الله -تعالى: ﴿ وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾(4)، سبوا آلهة المشركين هذه مصلحة، وهي تحقير دينهم وعبادتهم، وسب الله -تعالى- هذه مفسدة، ولما كان سيترتب على هذه المصلحة التي هي سب آلهة المشركين سيترتب عليها مفسدة وهي سب الله -تعالى- تُركت هذه المصلحة، قال -تعالى: ﴿ وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾. ومن الأمثلة على هذا ما ورد من زَوَّارَات القبور(5)، فزيارة القبور للنساء فيها مصلحة، وهي الاتعاظ ولكن فيها مصلحة أعظم وهي مفسدة فتنة الأحياء من جهة، وإيذاء الأموات من جهة أخرى، فقُدِّمَ درء المفسدة على جلب المصلحة. ومن الأمثلة أيضًا منْع الجار من أن يَتَصَرَّفَ في ملكه إذا أَدَّى إلى الإضرار بجاره، فكون الجار يتصرف في بيته هذه مصلحة، ولكن كونه يضر الجار هذه مفسدة. يعني لو أن إنسانا يبيع الغنم، وقال: الحوش بعيد عني، وسأجعل الغنم عندي بالبيت، فوضعهم في بيته، وبجانبه جدار جاره، كونه الآن قَرَّبَ الغنم له في بيته مصلحة له، ولكن جاره تأذى من رائحة الغنم هذه مفسدة أيهما الذي يُقَدِّمُ؟ يُقدم درء المفسدة، نكتفي بهذا القدر والله -سبحانه وتعالى- أعلم. يسأل أحد الإخوة؛ يقول: كيف نجمع بين قاعدة “الوسائل لها أحكام المقاصد” وبين قاعدة “الغاية لا تبرر الوسيلة”؟ أولا: العلماء يفرقون بين الوسيلة وبين الذريعة، وقد ذكرني السؤالُ، فقالوا: الوسيلة هي ما توصل إلى المقصود قطعا أو ظنا، والذريعة قد لا تُوصل إلى المقصود. المثال الذي يوضح: مصاحبة شخص منحرف أو مصادقة ومحبة شخص منحرف، أيهما أبلغ في التأثر؟ المصادقة والمحبة أبلغ في التأثر؛ إذن: نقول: المصادقة هذه وسيلة، ومجرد مصاحبة بطريق مثلا هذه تعتبر ذريعة. فالقول هنا بأن الغاية تبرر الوسيلة هذا عكس للقاعدة التي ذكرها العلماء؛ لأن العلماء ما يقولون: المقاصد لها أحكام الوسائل. إذن لا يُنظر إلى الغاية بحيث تبرر الوسيلة أو ما تبررها؛ وإنما يُنظر إلى الوسيلة نفسها هل تُؤدي إلى هذا المقصود أو لا. ثم إن قضية الغاية تبرر الوسيلة قد يُستدل بهذا على التطرق إلى الأمور المحرمة، بينما قضية الوسائل لها أحكام المقاصد هذه تَمنع وُلوجَ هذا الباب، هذا الفرق بينهما. يقول أيضًا: هل الوسائل لها أحكام المقاصد على إطلاقها؟ لأننا نرى أن الوفاء بنذر الطاعة واجب مع أن وسيلته -وهو النذر- مكروهة، فما توجيهكم؟ مسألة النذر هذه مسألة فيها خلاف بين العلماء، هو سأل عن النذر؟ أي نعم. هذه فيها خلاف بين العلماء هل الوفاء بالنذر واجب أو مستحب أو محرم؟ المسألة فيها خلاف بين أهل العلم، لكن على القول بأن ابتداء النذر، فالوفاء بالنذر واجب في الطاعة، لكن ابتداء النذر من أهل العلم من قال: “إنه مكروه”، ومن أهل العلم من قال: “إنه مستحب”، ومن أهل العلم من قال: “إنه محرم”. فالأقوال ثلاثة في ابتداء النذر وهذا يُشكل على هذه القاعدة فعلاً؛ لأنه على القول بأن ابتداء النذر مكروه، كيف يصير الوفاء بالنذر واجبا؟! هذا يعتبره العلماء مستثنى من القاعدة، والسبب في هذا أنه ورد أحاديث تنهى عن النذر؛ كما في حديث ابن عمر أن النبي -صلى الله عليه وسلم- نَهى عن النذر وقال: « إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ»(6)، وجاءت أدلة أخرى في المقابل توجب الوفاء بالنذر. فالحاصل من هذا أن القاعدة ليست على إطلاقها بالنسبة لمسألة النذر، ولهذا العلماء قالوا: “إن مسألة النذر تُشْكِلُ؛ كيف يُنهى عن الشيء، ثم يصير الوفاء به واجبا؟!
(1) عبد الله بن الزبير بن العوام بن خويلد بن أسد بن عبد العزي، القرشي، الأسدي. أبوه حواري رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وأمه بنت الصديق، وجدته صفية عمة رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وعمة أبيه خديجة بنت خويلد، وهو أول مولود ولد للمهاجرين بعد الهجرة. حنكه النبي -صلى الله عليه وسلم- وسماه باسم جده، وكناه بكنيته، وأحد من وَلِيَ الخلافة. قُتل -رضي الله عنه- في جمادى الأولى سنة ثلاث وسبعين من الهجرة. انظر: أسد الغابة (3/138 ترجمة 2947)، الإصابة (4/89 ترجمة 4685). (2) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب العلم، باب من ترك بعض الاختيار مخافة أن يقصر فهم بعض الناس عنه فيقعوا في أشد منه (126)، واللفظ له، مسلم: كتاب الحج ، باب نقض الكعبة وبنائها (1333). (3) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب الوضوء، باب ترك النبي والناس الأعرابي حتى فرغ من بوله في المسجد (219، 221، 6025)، ومسلم: كتاب الطهارة، باب: وجوب غسل البول وغيره من النجاسات إذا حصلت في المسجد وأن الأرض تطهر بالماء من غير حاجة إلى حفرها (284، 285) بنحوه من حديث أنس. (4) الأنعام: 108. (5) صحيح:أحمد في المسند (8449، 8452، 86 الفقه
Referensi:Kaidah dengan redaksi yang sedikit berbeda ( bentuk jama’) namun tujuannya adalah sama:
[إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى وإذا تزاحمت المفاسد ارتكبت بالأدنى ]
Jika seseorang dihadapkan pada banyak kemaslahatan maka dahulukanlah yang lebih tinggi nilai keutamaannya. Dan jika dihadapkan pada banyak kerusakan maka ambillah /lakukanlah yang lebih ringan .
كتاب شرح منظومة القواعد الفقهية للسعدي – حمد الحمد [حمد الحمد] الرئيسية أقسام الكتب علوم الفقه والقواعد الفقهية فصول الكتاب << < ج: ص: > >> مسار الصفحة الحالية: فهرس الكتاب تزاحم المصالح والمفاسد إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى + – التشكيل [إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى ] قال المصنف رحمه الله: [فإن تزاحم عدد المصالح يقدم الأعلى من المصالح] إذا تزاحمت عندنا المصالح فإنا نقدم الأعلى منها، عندنا مصلحة ومصلحة وتعارضتا عند هذا المكلف، فإما أن يفعل هذه المصلحة وإما أن يفعل المصلحة الأخرى، فيقدم الأعلى منهما. إذا أتيت إلى المسجد وقد أقيمت صلاة الصبح فهل تشرع بنافلة الصبح القبلية أو تصلي الصبح؟ نقول: تصلي الفريضة مع الإمام؛ لأن النبي عليه الصلاة والسلام قال كما في صحيح مسلم: (إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة). إذاً: نقدم الفريضة على النافلة. وإذا كانت العبادة ذات نفع متعد كالعلم، وعارضتها عبادة ذات نفع لازم كصيام التطوع؛ فإنا نقدم العبادة ذات النفع المتعدي. إذاً: نقدم الأعلى من المصالح.
إذا تزاحمت المفاسد ارتكبت الأدنى] قال المصنف رحمه الله: [وضده تزاحم المفاسد يرتكب الأدنى من المفاسد] كذلك إذا تعارضت المفاسد وتزاحمت فإنا نرتكب الأدنى منها ونجتنب الأعلى، ولذا فإن النبي عليه الصلاة والسلام كما في الصحيحين من حديث أنس بن مالك: أنه لما بال الأعرابي في المسجد فزجره الناس، نهاهم النبي عليه الصلاة والسلام، وذلك لتعارض مفسدتين، الأولى: البول في المسجد فينجس. المفسدة الثانية: أن يحبس بوله فيتضرر، يعني: يلحق بدنه الضرر، وكذلك أيضاً قد ينتشر هذا في المسجد لأنه يقوم وتنتقل النجاسة إلى مواضع أخرى من المسجد. فنهاهم النبي عليه الصلاة والسلام من باب الوقوع في المفسدة الصغرى، فإذا تعارضت عندنا مفسدتان قدمنا المفسدة الصغرى في الوقوع، فنقع في المفسدة الصغرى ونجتنب المفسدة الكبرى. ومن ذلك قول النبي عليه الصلاة والسلام: (لولا أن قومك حديثو عهد بكفر لهدمت الكعبة وبنيتها على قواعد إبراهيم)، متفق عليه. فهنا عندنا مفسدة، وهي بقاء الكعبة فيها نقص من الجهة التي فيها حجر إسماعيل، فإن قريشاً قصرت بهم النفقة فقصروا البناء من جهة حجر إسماعيل، فالنبي عليه الصلاة والسلام أراد أن يهدم الكعبة ويبنيها على قواعد إبراهيم كاملة؛ لكنه خشي مفسدة أعظم، وهي أن يرتد الناس عن الإسلام لأنهم كانوا حديثي عهد بكفر.
Dalil Hukumya Nadzar tidak boleh dibatalkan dan tidak boleh dirubah dan tidak boleh diganti pada posisi yang lain kecuali adanya dalil yang qoth’i dan dalam kondisi dloruroh sebagaimana keterangan pada ibaroh kata yang ditebalkan.
Hukum asal merokok adalah makruh dan hukumnya merokok bisa berubah menjadi wajib, sunnah, haram dan mubah disesuaikan dengan kondisi
Referensi
سبعة كتب مفيدة ص ١٥٨ إذا تقررذلك فاعلم أن المسئلة إستعمال التنباك وسعوطا من جملة أفراد الأمور المتشبهات التى فسرها العلماء رحمهم الله تعالى ماليس بواضح الحال والحرمة مما تنازعته وتجاذبته المعانى والأسباب – إلى أن قال – ومن أجل ذلك انقسم العلماء فى الكلام على حكمه ثلاثة مذاهب ، المذهب الأول مذهب من أطلق القول بتحريم استعماله – إلى أن قال- المذهب الثانى مذهب من أطلق القول بعدم تحريم استعمال التنباك المذكور – إلى أن قال – مذهب الثالث من لم ير أطلق القول بتحريم استعمال التنباك أو تحليله لأنه يرى أن المقام مقام تفصيل ، والقاعدة أن الإطلاق للحكم فى مقام التفصيل خطاء فيرى أن جميع الأحكام الشرعية الخمسة الحرمة والكراهة والوجوب والندب والإباحة تجرى فى مسئلة استعمال التنباك بحسب المشتريات الوضعية الشرعية – إلى أن قال – فاعلم أن أمثلة ذلك لاتدخل تحت الحصر ولكن لابأس بالإشارة إلى بيان ذلك فيما نحن بصدده من جميع الأحكام الخمسة ،فمن أمثلة باب الحرام أن يقال استعمال التنباك ضرر محرم يكون ذلك حكما وضعيا لحرمة استعمال التنباك فى حق من هذا صفته – إلى أن قال- ومن أمثلة باب المكروه أن يقال استعمال التنباك اختلف العلماء رحمهم الله تعالى فى حكمه واختلافهم فى الشيء حكم وضعي لكراهة اقتحام الريب قال عليه السلام دع مايريبك إلى مالا يريبك رواه النسائ والترمذي والحاكم وصححه ومن أمثلة الوجوب أن يقال دفع الضرر عن النفس إذا تعين حكم وضعي لوجوب استعمال مايقع به الدفع المفهوم قوله تعالى لَاتَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ بل لو وقعت التجربة فى أن الدفع لذلك الضرر ليس إلابتعاطى المحرم اكلا وشربا وجب لأنه مضطر فى بقاء روحه – إلى أن قال- ومن أمثلة باب الندب أن يقال دفع الضرر عن النفس من عارض الداء حكم وضعي لندب استعمال مايقع به النفع من تعاطى الدواء لتظاهر الأدلة السمعية المتكاثرة على مشروعة التداوى – إلى أن قال- وقد ذكر الأطباء المتأخرين أنه ينفع لجاع الكبد ومن الحميات الغليظة ومن المغض واليرفان ولتجفيف الرطبات وغير خوف جريان ماذكر فى التنباك سواء قلنا يجوز استعماله أو بحرمته وإن كراهة التنباك وندبه ووجوبه يطلق عليه اسم الجائز بمعنى غير الممنوع من فعلها. والله أعلم بالصواب
Tambahan Referensi
المكتبة الشاملة كتاب حاشية البجيرمي على شرح المنهج = التجريد لنفع العبيد [البجيرمي] الرئيسيةأقسام الكتب الفقه الشافعي
فصول الكتاب ج: ص: 337
مسار الصفحة الحالية: فهرس الكتاب [والنذر ضربان] [الثاني نذر التبرر]
-Jika Anton bernadzar tidak potong rambut selama setahun,maka hal ini di sebut نذر تبرر (nadzru tabarrurin) yang tidak di ta’liq(yang tidak digantungkan kepada sesuatu.seperti contoh di kitab لله علي كذا (lillaahi alayya kadzaa,artinya demi Allah,saya wajib tidak memotong rambut setahun). Maka jika Anton itu memotong rambut didalam setahun maka Anton itu wajib membayar kaffarotnya nadzar. Sedangkan persoalan merokok dikondisikan persoalan hukumnya antara makruh wajib sunnah haram atau mubah.
HUKUMNYA BERMIMPI SALAH SEORANG PARA NABI ANTARA PUNYA WUDHU’ DAN TIDAK PUNYA WUDHU ‘
Assalamu’alaikum kyai.
Deskripsi Masalah
Ada seseorang setelah datang dari perjalanan jauh ia kepayaan sehingga tertidur tanpa wudhu’ .Maka dalam tidurnya ia bermimpi salah seorang dari para Nabi .
Pertanyaan.
Kadiponapah manabi amimpe’h salah seorang nabiyullah tape dalem kondisi tidur tdk suci dari hadats kecil (tidak punya wudhu’). Ponapah mimpeh tersebut lerres(haq) ponapah punten ( mimpe dari setan kalaben arti bunga tidur)? Ben anyo’ona pamanggi jugen kadiponah je’sakengga amimpe kasebbut andi’ wudhu’ be’lerresah mimpe kanditoh ben kadiponapah ta’bir mimpeh kasebbut. Jazakallah.
Waalaikum salam. Jawaban.
Mimpi itu ada dua; Yaitu mimpi baik mimpi buruk, dan jika bermpi baik maka syukurlah dengan ucapan Allah dan berdo’,
الحمدلله رب العالمين رواه البخاري ومسلم
Artinya: “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam” (HR. Bukhari dan Muslim). Dan jika bermimpi buruk maka ber-ludahlah kearah kiri tiga kali dan berdo’a :
اللهم إني أعوذ بك من عمل الشيطان وسيئات الأحلام . رواه بن سني
Artinya: “Ya Allah sesungguhnya aku mohon perlindungan kepada-Mu, dari tingkah laku setan dan dari tingkah laku yang buruk” (HR. Hakim dan Nasa’i dari ‘Aisyah).
Mimpi baik adalah mimpi yang menggembirakan baik dalam tidurnya bahkan bisa jadi setelah bangun dari tidur nya. Karena mimpi baik itu datangnya dari Allah.Dan sebaliknya (mimpi buruk) datangnya dari syaitan.Namun demikian perlu diketahui dan dipahami bahwa keberadaan mimpi dapat dibenarkan apabila sibermimpi itu memenuhi syarat-syarat mimpi sebagaimana keterangan dalam kitab sebagaimana berikut.
المكتبة الشاملة
كتاب مقتطفات من السيرة
[عمر عبد الكافي]
الرئيسية
أقسام الكتب
السيرة النبوية
فصول الكتاب
<< < ج:
ص: > >>
مسار الصفحة الحالية:
فهرس الكتاب إرهاصات النبوة الرؤيا الصادقة
+ – التشكيل
[الرؤيا الصادقة] وقبل نزول الوحي بستة أشهر كان الرسول يرى الرؤيا فتقع كفلق الصبح، وهذه من إرهاصات النبوة، ولذلك قال صلى الله عليه وسلم: (الرؤيا الصالحة جزء من ستة وأربعين جزءاً من النبوة)؛ لأن الوحي نزل على سيدنا الحبيب ثلاثاً وعشرين سنة، والستة الأشهر بالنسبة لهذه المدة جزء من ستة وأربعين، فمن يرى رؤيا صالحة كأنه حقق من النبوة جزءاً من ستة وأربعين، ومن حفظ القرآن وعمل به فليس بينه ويبن النبوة إلا أن يوحى إليه. والرؤيا من الرحمن، والحلم من الشيطان، وليس كل رؤيا صادقة، بل شرط الصادقة أن تكون نائماً على طهارة، وأن تراها قبل الفجر، وأن يكون ذهنك غير مشغول بأمر آخر، باستثناء الاستخارة، كأن تكون مبيتاً النية على شيء، فرأيت في المنام شيئاً يتعلق به، فهذه هي الرؤيا الوحيدة التي لو حصلت تكون رؤيا صحيحة. أما ما عدا هذه فلا، كأن تنام وأنت جائع، فترى أنك تأكل، أو تنام وأنت عطشان، فترى في الليل أنهاراً وبحاراً. جاء رجل إلى ابن سيرين فقال له: رأيت أني أختم على أفواه الرجال والنساء، وأضع سترة على عوراتهم. فقال له: أنت مؤذن تؤذن للفجر في رمضان قبل الفجر، فقال له: صدقت يا ابن سيرين. والثاني قال له: يا إمام! رأيت كأن بيضاً في يدي، وأنا آخذ البياض وألقي الصفار. فقال: استدعوا لي رجلاً من الشرطة، فقال: كيف الرؤيا تأتي بالشرطة؟! قال: أنت تسرق أكفان الموتى. فوجدوه كذلك. ويروى أن مريضاً طال مرضه رأى في المنام رسول الله صلى الله لعيه وسلم، فقال له: ادع الله لي. فقال له: عليك بلا ولا، فأتى ابن سيرين فقال: رأيت رسول الله يقول لي: عليك بلا ولا، فقال له: هو زيت الزيتون، فقال: يا ابن سيرين! من أين أتيت بها؟ أكل شيء تقوله من القرآن، فقال: من قوله تعالى: {شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونِةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ} [النور:٣٥]، فالرجل أخذ زيت الزيتون فشفي بفضل الله. والرؤيا كالطائر، فكيفما فسرت وقعت، فعليك ألا تقصها إلا على من يعرف الكتاب والسنة. رأى بلال رضي الله عنه رؤيا وهو في دمشق: أنه يسلم على رسول الله والرسول لا يرد السلام، فقام مذعوراً، فذهب إلى المدينة فقص الرؤيا على عمر، فقال له: يا بلال! منذ كم أنت في دمشق؟ قال: منذ أربعة أشهر يا أمير المؤمنين. قال: لابد من أن تزور الحسن والحسين سبطي رسول الله، فذهب فزار الحسن والحسين، فقال الحسن والحسين لسيدنا عمر: يا أمير المؤمنين! نستشفع بك إلى بلال ليؤذن لصلاة الفجر؛ لأن سيدنا بلالاً بعد انتقال الرسول إلى الرفيق الأعلى امتنع عن الأذان، فقال: نعم، ثم قال: أذن لنا لصلاة الفجر، فقال: اعفني يا أمير المؤمنين. قال: أستحلفك بالله، ومن أقسم على أخيه فليبر قسمه، فصعد بلال وقال: الله أكبر الله أكبر، فالمدينة كلها تعجبت، فهذا صوت كصوت بلال، فلما قال: (أشهد أن لا إله إلا الله) هرع الناس إلى المسجد النبوي الشريف، فلما قال: (أشهد أن محمداً رسول الله) خنقته العبرة وضجت المدينة كلها بالبكاء كيوم مات رسول الله صلى الله عليه وسلم. وأبو حنيفة وله اثنا عشر عاماً رأى أنه ينبش قبر رسول الله، فقام من الرؤيا مذعوراً، فذهب إلى شيخه فقال له: رأيت رؤيا أفزعتني، وقصها عليه، فقال: أبشر يا أبا حنيفة، إنك ستنقب عن سنة الرسول فتخرجها للناس، وقد كان، وهذه منة مثل منة التفسير ومنة التأويل يمن الله بها
. Dari ibarat diatas ditarik kesimpulan bahwa jika seseorang bermimpi salah seorang dari para Nabi dalam kondisi tidak punya wudhu ‘ maka mimpinya walaupun baik belum dibenarkan. Alasannya karena tidak memenuhi syarat yaitu tidak punya wudhu ‘. Akan tetapi jika mimpi tersebut dalam kondisi punya wudhu’ maka dapat dibenarkan sedangkan takbirnya sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh IBNU SIRIIN dan disusun oleh Syaikh ABD.GHANI AN-NAABULSI. Halaman : 451 sebagai berikut:
٢٧٧٦- النبي : من رآه فى المنام دل على الولد لإستفاقه عليه من نار الدنيا والآخرة .ويدل على الأستاذ لتأديبه بآدبه .وعلى المؤدب لما يعلم من كتاب الله تعالى .وتدل على الأنبياء والمرسلين عليهم السلام على الإنذار والبشارة. وإذا ائتم بهم فى الصلاة، أو تابعهم فى الطريق أو أطعموه مأكولا أو سقوه شيأ عطرا لذيذا أو علموه علما أو أخبروه بخير فذلك دليل على حسن متابعته لهم حفظ سنتهم وبالعكس. وتدل رؤيتهم على الملوك والعلماء على ولاة الأمور كالحكام والخطباء والأئمة المحتسبين أو المؤدبين لأنهم الداعون إلى الله تعلى… ….. والله أعلم بالصواب
HUKUMYA SAUDARA SUSUAN MENJADI WALI DARI ANAK TIRI IBUNYA.
Pertanyaan: Assalamualaikum. Deskripsi masalah.
Ada PASUTRI ( Pasangan Suami Istri) sudah lama menjalin hubungan rumah tangga hingga dikaruniai 3 orang anak laki-laki, sementara kedua PASUTRI sangat menginginkan untuk mempunyai anak perempuan namun tak kunjung dikarunai, Akhirnya ia mengambil anak tiri/atau susuan. Setelah anak tiri tersebut dewasa ia ingin menikah bapak angkatnya meninggal dunia dan begitu juga bapak aslinya juga wali nasabnya sudah tidak ada sama sekali kecuali saudara susuan dari ibu tiri.
Pertanyaanya. Bolehkah saudara susuan menjadi wali nikah sebagaimana deskripsi ?
Wa alaikumussalam. Jawaban:
Hubungan mahram bisa terjalin dengan tiga sebab: hubungan nasab, penyusuan, dan karena pernikahan. Perihal mahram karena hubungan nasab dan pernikahan telah dibahas dalam edisi sebelumnya, dan bisa kunjungi di- Webset ikaba.id. Dalam edisi kali ini kami akan mengulas hubungan mahram karena sebab kedua, yaitu karena penyusuan. Namun sebelumnya kami bawakan hukum penyusuan ini secara umum untuk tambahan faedah ilmu bagi kita. Saat bayi mungil yang didamba sepasang suami istri telah lahir menghiasi hari-hari indah keduanya, seluruh anggota keluarga menyambut dengan penuh sukacita. Sang ibu mendekatkan sosok mungil itu ke dadanya maka dengan segera mulut kecilnya menempel untuk mulai menyusu karena telah mendapat putri walaupun dalam kondisi dengan mengambil/mendapatkan anak susuan dari orang lain. Demikian fitrah yang Allah subhanahu wa ta’ala ciptakan. Dengan hikmah-Nya Allah subhanahu wa ta’ala bebankan tugas menyusui itu kepada seorang ibu, setelah sebelumnya Dia Yang Mahakuasa melengkapi tubuh sang ibu dengan organ menyusui. Masalah penyusuan ini telah diatur hukum-hukumnya dalam syariat yang mulia ini[1] dan pembahasannya turut mewarnai kitab-kitab para ulama. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Tanzil-Nya yang agung,
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban bagi ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf[2]. Tidaklah satu jiwa dibebani kecuali sekadar kemampuannya. Janganlah seorang ibu mengalami kemudlaratan karena anaknya[3], demikian pula seorang ayah[4]. Dan pewaris anak itu pun memiliki kewajiban yang sama[5]. Apabila keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusukan oleh orang (wanita) lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran dengan cara yang ma’ruf. Bertakwalah kalian kepada Allah, ketahuilah bahwasanya Allah Maha Melihat terhadap apa yang kalian kerjakan.” (al-Baqarah: 233) Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini merupakan bimbingan dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anak mereka dengan penyusuan yang sempurna yaitu selama dua tahun sehingga setelah lewat dua tahun tidaklah teranggap, karena itulah Allah menyatakan, ‘Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan’.” (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, 1/290) Setelah usia dua tahun, air susu ibu bukan lagi sumber makanan bagi si anak namun ia telah berpindah kepada makanan yang lain. Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Apabila seorang anak yang menyusu telah sempurna usianya dua tahun maka berarti telah sempurna penyusuannya. Setelah itu jadilah air susu kedudukannya seperti makanan yang lainnya sehingga penyusuan setelah dua tahun tidak teranggap dalam masalah kemahraman.”[6] (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 104)
Menyusui anak selama dua tahun penuh ini bukanlah satu kemestian, sehingga boleh menyapihnya kurang dari dua tahun sebagaimana dinyatakan oleh firman Allah subhanahu wa ta’ala di atas, “Apabila keduanya (ayah dan ibu) ingin menyapih si anak sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan dengan musyawarah, tidak ada dosa atas keduanya.” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 3/107) Namun, keputusan menyapih ini harus datang dari kedua orang tua dan berdasarkan musyawarah keduanya dengan melihat maslahat (kebaikan) bagi si anak. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/291) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran dengan cara yang ma’ruf.” Dari sini kita tahu bolehnya menyusukan anak pada wanita lain. Kebiasaan menyusukan anak pada orang lain ini telah dikenal di kalangan bangsa Arab dan merupakan sesuatu yang lumrah bagi mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri memiliki beberapa ibu susu, di antaranya Halimah as-Sa’diyyah. Putra beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga disusukan pada wanita lain sebagaimana diriwayatkan al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tadi malam lahir putraku, maka aku namakan dengan nama ayahku, Ibrahim.” Kemudian beliau menyerahkan Ibrahim, putranya, kepada Ummu Saif, istri Abu Saif seorang pandai besi. (HR. al-Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315) Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu juga berkata,
“Tidak pernah aku melihat seorang pun yang paling penyayang kepada anak-anak daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adalah Ibrahim putra beliau disusui di sebuah perkampungan yang ada di Madinah. Suatu ketika beliau pergi menjenguk putranya dan kami ikut menyertai. Lalu beliau masuk ke rumah orang tua susu Ibrahim yang penuh dengan asap. Karena memang suami dari ibu susu Ibrahim seorang pandai besi. Beliau pun mengambil putranya dan menciumnya. Setelah itu beliau kembali.” (HR. Muslim no. 2316) Ketika Ibrahim meninggal dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Anakku Ibrahim meninggal dalam usia menyusui (sumber makanannya adalah air susu) dan di surga ia memiliki dua ibu susu yang akan menyempurnakan penyusuannya.” (HR. Muslim no. 2316) Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bolehnya menyusukan anak kepada orang lain.” (Syarah Shahih Muslim, 15/76) Ulama menyenangi agar wanita yang menyusui si anak adalah wanita yang baik akhlaknya karena penyusuan itu dapat mengubah tabiat. (al-Mughni, 8/155) Oleh karena itu mereka membenci bila seorang anak disusui oleh wanita kafir, fasik, jelek akhlaknya, atau menderita penyakit berbahaya/menular. (Taisirul ‘Allam, 2/379)
Mahram Karena Penyusuan.
Dengan disusukannya seorang anak (laki-laki) kepada wanita lain terjalinlah hubungan mahram antara wanita tersebut selaku ibu susu dan anak yang disusuinya (anak susu) beserta segenap keturunan dan kerabat ibu susu, sehingga haram bagi anak susu menikahi mereka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Diharamkan bagi kalian untuk menikahi ibu-ibu kalian, putri-putri kalian, saudara-saudara perempuan kalian, amah-amah (saudara perempuan ayah) kalian, khalah-khalah (saudara perempuan ibu) kalian, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki dan dari saudara perempuan (keponakan), ibu-ibu yang menyusui kalian, saudara-saudara perempuan kalian sepersusuan….” (an-Nisa: 23) Dalam ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala hanya menyebutkan dua golongan wanita yang haram dinikahi karena hubungan penyusuan, ibu susu dan saudara wanita sepersusuan. Adapun golongan wanita yang lain seperti anak perempuan karena susuan, bibi susu (saudara perempuannya ibu susu/khalah dan saudara perempuannya ayah susu/amah), anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan dan anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (keponakan susu) juga haram dinikahi dengan bersandar pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).”[8] (HR. al-Bukhari no. 5099 dan Muslim no. 1444) Dengan demikian, ibu susu,[9] saudara perempuan sepersusuan, anak perempuan susu,[10] saudara perempuannya ibu susu (bibi/khalah susu), saudara perempuannya ayah susu (bibi/amah susu), anak perempuan dari saudara laki-laki sepersusuan (keponakan susu)[11] dan anak perempuan dari saudara perempuan sepersusuan (keponakan susu) merupakan mahram bagi seorang laki-laki. Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Setiap wanita yang haram (dinikahi) karena hubungan nasab maka diharamkan pula yang semisalnya karena hubungan penyusuan. Mereka adalah para ibu, anak-anak perempuan, saudara-saudara perempuan, amah, khalah, keponakan perempuan dari saudara laki-laki, dan dari saudara perempuan dengan bentuk yang telah kami jelaskan dalam masalah nasab, berdalilkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena penyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi) Dalam riwayat lain:
الرَّضَاعُ يُحَرِّمُ مَا تُحَرِّمُ الْوِلاَدَةُ
“Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (al-Mughni, 7/87) Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah menyatakan, “Apabila seorang wanita menyusui seorang bayi laki-laki (yang bukan anaknya), wanita ini menjadi haram (dinikahi) si anak (bila telah dewasa, –pen.) karena wanita ini adalah ibunya (karena susuan), haram pula bagi anak susu ini menikahi putri ibu susunya karena merupakan saudara perempuannya, haram baginya menikahi saudara perempuan ibu susu karena dia adalah khalahnya, haram baginya ibunya ibu susu karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putrinya ayah susu (suami ibu susu yang menjadi sebab keluarnya air susu tersebut) karena dia adalah saudara perempuannya, haram baginya saudara perempuan ayah susu karena dia adalah amahnya, haram baginya ibunya ayah susu karena dia adalah neneknya, haram baginya menikahi putri-putri dari anak laki-laki ataupun anak perempuan ibu susu (cucunya ibu susu) karena mereka adalah putri-putri dari saudara laki-laki dan saudara perempuannya sepersusuan.” (al-Jami’ li Ahkamil Quran, 5/72) Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditawari oleh Ali bin Abi Thalib untuk menikahi putri pamannya, Hamzah bin Abdil Muththalib, beliau menolak dengan menyatakan,
“Putri Hamzah tidak halal bagiku, karena dia itu putri saudara sepersusuanku.”12 (HR. al-Bukhari no. 2645 dan Muslim no. 1446) Demikian pula ketika terdengar kabar bahwa beliau akan melamar Durrah bintu Abi Salamah. Beliau menyangkal dengan menyatakan bahwa Durrah tidaklah halal bagi beliau, di samping karena Durrah adalah anak tiri beliau, putri dari istri beliau, Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, juga di karenakan Durrah ini adalah putri dari saudara laki-laki beliau sepersusuan, karena beliau dan Abu Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah.13 (HR. Muslim no. 1449) Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits (dalam masalah) ini sepakat menyatakan adanya hubungan mahram karena penyusuan. Ummatpun sepakat akan pastinya hal ini antara anak susu dan ibu susu, maka jadilah anak yang disusui itu seperti anaknya sendiri hingga haram selama-lamanya bagi si anak untuk menikahi ibu susunya. Halal bagi si anak untuk melihat ibu susunya, berduaan dengannya, dan safar bersamanya.” (Syarah Shahih Muslim, 10/19) Beliau rahimahullah juga menyatakan, “Ummat sepakat pula tentang tersebarnya hubungan hurmah (kemahraman sehingga haram untuk dinikahi) antara ibu susu dengan putra-putranya (keturunan) anak susu, antara anak susu dengan anak-anaknya (keturunan) ibu susu, dengan demikian anak susu itu keberadaannya seperti anak ibu susu secara nasab.” (Syarah Shahih Muslim, 10/19) Kerabat-kerabat ibu susu merupakan kerabat bagi anak susu. Adapun kerabat anak susu selain anak turunannya, tak ada hubungan antara mereka dengan ibu susu. (Nailul Authar, 6/370, Subulus Salam, 3/337) Adapun dengan ayah susu, ulama berbeda pendapat. Ibnu ‘Umar, Ibnu Az- Zubair, Rafi‘ ibnu Khudaij, Zainab bintu Ummi Salamah, Sa’id ibnul Musayyab, ‘Atha bin Yasar, Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin Abdirrahman bin Auf dan selainnya berpendapat tidak tersebar kemahraman ini ke ayah susu namun hanya terbatas di ibu susu. Adapun jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi‘in dan fuqaha dari berbagai negeri seperti al-Auza‘i dari penduduk Syam, ats-Tsauri dan Abu Hanifah serta murid-murid keduanya dari penduduk Kufah, Ibnu Juraij dari penduduk Makkah, Malik dari penduduk Madinah, demikian pula asy-Syafi‘i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan para pengikut mereka berpendapat tersebar kemahraman kepada ayah susu dan kerabatnya. (Fathul Bari, 9/183, al-Muhalla, 10/4, Aunul Ma‘bud, 6/41, al-Mughni, 7/87) Pendapat jumhur inilah yang kuat, insya Allah, dengan didukung oleh hadits-hadits yang sahih, seperti hadits-hadits berikut ini. Ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia mendengar suara seorang lelaki minta izin masuk ke rumah Hafshah. Aisyah pun berkata, “Wahai Rasulullah, laki-laki itu minta izin untuk masuk ke rumahmu.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku lihat dia adalah si Fulan (ami/paman susunya Hafshah).” Aisyah berkata, “Wahai Rasulullah, bila Fulan masih hidup (ia menyebut nama ami/paman susunya) apakah ia boleh masuk menemuiku?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Ya. Penyusuan itu menjadikan haram apa yang haram karena hubungan kelahiran (nasab).” (HR. al-Bukhari no. 5099 dan Muslim no. 1444) Aflah, saudara laki-laki Abul Qu’ais, ayah susu Aisyah, pernah datang meminta izin untuk bertemu dengan Aisyah, ketika itu telah turun perintah berhijab dengan nonmahram. Aisyah berkata, “Demi Allah, aku tidak akan mengizinkan Aflah, hingga aku minta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena bukanlah Abul Qu’ais yang menyusuiku, melainkan istrinya.” Ketika datang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Aisyah pun berkata, “Aflah saudara Abul Qu’ais, tadi datang minta izin untuk menemuiku, namun aku tidak suka mengizinkannya sampai aku minta izin kepadamu.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Izinkan dia masuk menemuimu.” (HR. Bukhari no. 5239 dan Muslim no. 1445) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada Aisyah bahwa Aflah adalah pamannya sehingga ia tidak perlu berhijab darinya. Hadits di atas menunjukkan bahwa suami ibu susu kedudukannya seperti ayah bagi anak susu dan saudara laki-laki ayah susu kedudukannya seperti paman. Ini merupakan mazhab para imam yang empat sebagaimana pendapat jumhur sahabat, tabi‘in dan fuqaha. (Syarhu az-Zurqani ‘ala Muwaththa’ Imam Malik, 3/309) Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “(Dalam hadits Aisyah di atas menunjukkan) disyariatkannya mahram untuk minta izin bila ingin masuk menemui mahramnya.” (Fathul Bari, 9/184). Beliau rahimahullah menyebutkan bahwa saudara laki-laki dari ayah susu adalah mahram bagi anak susu. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah juga menegaskan hal ini dengan menyatakan terjalinnya hubungan mahram antara anak susu dengan ayah susunya, menurut pendapat jumhur ulama, sehingga anak susu seperti anaknya sendiri dan putra-putrinya ayah susu menjadi saudara si anak susu, saudara-saudaranya ayah susu baik laki-laki maupun perempuan menjadi paman dan bibinya anak susu, dan putra-putranya (keturunan) anak susu menjadi cucunya ayah susu. (Syarah Shahih Muslim, 10/19). Dengan demikian bila seorang laki-laki/suami memiliki dua istri atau dua budak wanita, lalu keduanya hamil, melahirkan dan menghasilkan air susu, kemudian masing-masingnya menyusui anak orang lain, misalnya yang satu anak laki-laki sedangkan yang satu anak perempuan (kedua anak ini asalnya ajnabi/bukan mahram) maka dengan penyusuan tersebut kedua anak tadi menjadi mahram, haram bagi keduanya untuk menjalin hubungan pernikahan karena keduanya telah menjadi saudara sepersusuan dari ayah susu yang sama, walaupun ibu susu mereka berbeda. (al-Muhalla, 10/2) Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa‘di rahimahullah berkata, “Tersebar pengharaman untuk menikah (karena hubungan mahram persusuan) dari sisi anak susu dan ayah susu (karena ayah susu inilah yang merupakan sebab keluarnya air susu si ibu susu dengan si ibu susu mengandung dan melahirkan anaknya) sebagaimana hal ini tersebar dalam hubungan kerabat/nasab. Adapun pada si anak susu hanya terbatas pada anak keturunannya saja.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 173) Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Bila seorang bayi menyusu pada seorang wanita dengan lima susuan dalam usia (belum lewat) dua tahun, sebelum disapih, maka bayi itu menjadi anaknya dengan kesepakatan para imam. Suami dari wanita itu (yang menjadi sebab keluarnya air susu tersebut dengan melahirkan anak si suami) menjadi ayah bagi anak susu tersebut, demikian menurut kesepakatan para imam yang masyhur. Jadilah semua anak dari ayah dan ibu susu tersebut sebagai saudara anak susu, sama saja baik anak-anak tersebut dari pihak ayah susu saja (dari istrinya yang lain), atau dari pihak ibu susu (anak ibu susu dengan suaminya yang lain) atau anak-anak yang terlahir dari pernikahan keduanya (ayah dan ibu susu). Tidak ada perbedaan, dengan kesepakatan para imam, antara anak-anak yang menyusu bersama-sama anak susu tersebut, dengan anak-anak ibu susu yang dilahirkan sebelum terjadinya penyusuan tersebut atau sesudahnya. Jadilah kerabat ibu susu sebagai kerabat anak susu. Anak-anak dari ibu susu adalah saudara-saudaranya, cucu dari ibu susu adalah keponakannya (anak-anak dari saudara sepersusuannya adalah keponakannya), orang tua ibu susu (dan seterusnya ke atas) adalah kakek dan neneknya, semua saudara laki-laki dan saudara perempuan ibu susu adalah paman (khal) dan bibinya (khalah). Demikian pula kerabat bapak susu merupakan kerabat anak susu sebagaimana terjalin kekerabatannya dengan ibu susu. Adapun kerabat anak susu dari nasab atau penyusuan, mereka adalah ajnabi (nonmahram) bagi ibu susu dan kerabat ibu susu, karena itu dibolehkan saudara laki-lakinya sepersusuan untuk menikah dengan saudara-saudara perempuannya dari hubungan nasab dan sebaliknya. Adapun anak-anak perempuan dari paman dan bibi susunya (misan karena susuan), halal untuk dinikahi oleh anak susu sebagaimana yang demikian itu halal dengan sebab nasab. Semua hal ini disepakati oleh ulama.” (Taudhihul Ahkam, Abdullah Alu Bassam, hlm. 120, al-Fatawa al-Kubra, 3/159—160) Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Setiap wanita yang menyusui seorang laki-laki maka wanita itu haram dinikahi lelaki tersebut karena wanita itu adalah ibunya dengan sebab penyusuan. Diharamkan bagi lelaki tersebut untuk menikahi anak-anak perempuan ibu susunya karena mereka adalah saudara-saudaranya sepersusuan, sama saja apakah mereka dilahirkan sebelum terjadinya penyusuan tersebut ataupun sesudahnya. Sebagaimana haram baginya menikahi saudara-saudara perempuan ibu susunya karena mereka itu adalah bibi-bibi susunya (khalah). Haram pula baginya menikahi ibu-ibu dari ibu susunya karena mereka adalah nenek-neneknya. Demikian pula saudara-saudara perempuan dari ayah susunya (suami ibu susu) karena mereka adalah bibi-bibinya (amah). Diharamkan baginya menikahi ibu-ibu dari ayah susu karena mereka adalah nenek-neneknya dari penyusuan. Diharamkan baginya menikahi setiap anak perempuan yang menyusu dari air susu istrinya karena mereka adalah putri-putrinya. Demikian pula diharamkan baginya menikahi wanita yang menyusui istrinya.” (al-Muhalla, 10/2). Kemudian bagaimana terkait pertanyaan saudara laki-laki dengan saudari sepersusuan bolehkah ia menjadi wali nikah karena sudah menjadi mahrom?.
Mari kita ikuti ulasan selanjutnya bahwa hubungan penyusuan ini berkaitan dengan pengharaman nikah dan semua perkara yang berkaitan dengan nikah, tersebarnya hubungan mahram dan keharaman untuk menikah antara anak susu dengan putra-putrinya ibu susu, dan kedudukan mereka seperti kedudukan karib kerabat dalam kebolehan memandang, khalwat (berdua-duaan), dan bolehnya bepergian jauh (safar) bersama saudara susu. (Fathul Bari, 9/170) Namun tidak semua hukum pertalian nasab berlaku dalam hubungan mahram karena penyusuan, seperti anak susu dan ibu susu tidaklah saling mewarisi, tidak wajib bagi salah satu dari dua pihak untuk menafkahi pihak yang lain, tidak gugur dari ibu susu hukuman qishash bila ia membunuh anak susunya, tidak bisa menjadi wali dalam pernikahan dan sebagainya. Sehingga dalam hukum ini keduanya seperti ajnabi (bukan mahram). (Fathul Bari, 9/170, Syarah Shahih Muslim, 10/19, Subulus Salam, 3/337)
Referensi: Lihat Halal dan haram dalam Islam Ta’lif Syaikh Yusuf Al-Qardhawi
الحلال والحرام في الإسلام ص : ٢١٨ التبني بمعنى التربية والرعاية ذلك هو التبني الذي هو أبطله الإسلام هو الذي يضم فيه الرجل طفلا إلى نفسه يعلم أنه ولد غيره ومع هذا يلحقه بنسبه وأسرته ويثبت له كل أحكام النبوة وأثارها من إباحة إحتلاط وحرمة زواج واستحقاق ميراث، وهناك نوع يظنه الناس تبنيا وليس هو بالتبني الذي حرمه الإسلام وذلك أن يضم الرجل إليه طفلا يتيما أو لقيطا ويجعله كابنه في الحنو عليه والعناية به والتربية له فيحضنه ويطعمه ويكسوه ويعلمه ويعامله كأنه إبنه من صلبه ومع هذا لم ينسبه لنفسه ولم يثبت له أحكام النبوة المذكورة فهذا أمر محمود في دين الله يستحق صاحبه عليه المثوبة في الجنة.
Pengangkatan anak dalam pengertian pendidikan dan pengasuhan adalah pengangkatan anak yang dibatalkan oleh Islam, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang laki-laki yang mengetahui bahwa anak tersebut adalah anak orang lain, namun anak tersebut mengikuti garis keturunannya. dan keluarganya, dan membuktikan kepadanya semua ketentuan kenabian dan efeknya, seperti diperbolehkannya pekerjaan (bercampur baur) dan diharamkannya pernikahan dan hak warisan. Ada jenis yang orang anggap adopsi, tetapi itu bukan adopsi. Yang dilarang oleh Islam, yaitu ketika seorang laki-laki memeluk anak yatim atau anak terlantar dan menjadikannya seperti anaknya sendiri dalam kelembutan, merawatnya, dan mengasuhnya, pahala di surga.
Dari paparan diatas dapat ditarik kesimpulan Bahwa tidak semua hukum pertalian nasab berlaku dalam hubungan mahram karena penyusuan, seperti anak susu dan ibu susu tidaklah saling mewarisi, tidak wajib bagi salah satu dari dua pihak untuk menafkahi pihak yang lain, tidak gugur dari ibu susu hukuman qishash bila ia membunuh anak susunya, tidak bisa menjadi wali dalam pernikahan dan sebagainya. Sehingga dalam hukum ini keduanya seperti ajnabi (bukan mahram).
Dengan demikian jika wali nasabnya anak susuan itu tidak ada, maka solusinya adalah anak susuan itu hendaklah dinikahkan oleh wali hakim ( Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan).Sebagamama keterangan urutan wali nikah : ayah, kakek (dari sisi ayah), saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, paman (saudara ayah sekandung), paman (saudara ayah seayah), anak laki-laki paman sekandung lalu anak laki-laki paman seayah.Jika wali nasab sudah tidak ada,maka yang berhak menikahkan adalah wali hakim(Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan).
Referensi:
[12] المفتاح في النكاح /16-17(الولي في النكاح واحق الأولياء بالتزويج)اولى اللأولياء واحقهم بالتزويج الأب ثم الجد ابو الأب وان علا ثم الأخ الشقيق ثم ثم الأخ لأب ثم ابن الأخ الشقيق ثم ابن الأخ لأب وان سفل ثم العم الشقيق ثم العم لأب ثم ابن العم الشقيق ثم ابن العم لأب وان سفل ثم عم الأب ثم ابنه وان سفل ثم عم الجد ثم ابنه وان سفل ثم عم ابي الجد ثم ابنه وان سفلوهكذا على هذه الترتيب في سائر العصبات، ويقد الشقيق منهم على من كان لأب، فاذا لم يوجد احد من عصبات النسب فالمعتق فعصبته ثم معتق المعتق ثم عصبته ثم الحاكم او نائبه
CATATAN KAKI:
[1] Diistilahkan dengan Ahkam ar-Radha’ (hukum-hukum penyusuan). [2] Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yakni wajib bagi ayah si anak untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf yaitu menurut kebiasaan wanita-wanita semisal mereka di negeri mereka tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi sesuai dengan kemampuan ayah dalam kelapangannya, pertengahan hidupnya dan kesempitannya sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Hendaklah orang yang memiliki kelapangan memberikan infak dari kelapangannya, dan siapa yang disempitkan rezekinya maka hendaklah ia menginfakkan dari apa yang Allah berikan kepadanya. Allah tidak membebani suatu jiwa kecuali sesuai dengan apa yang Allah berikan padanya.” (ath-Thalaq: 7) (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/291) [3] Kemudaratan yang diderita sang ibu bisa dengan mencegahnya untuk menyusui anaknya atau si ibu tidak diberikan haknya berupa nafkah dan pakaian atau upah menyusui. (al-Jami’ li Ahkamil Quran, 3/110, Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 104) [4] Dengan si ibu menolak untuk menyusui anaknya karena ingin memudaratkan sang ayah atau ia menuntut tambahan dari apa yang wajib diberikan kepadanya. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 3/110) [5] Bila ayah si anak telah meninggal sementara anak itu tidak memiliki harta, maka ahli waris anaklah yang menanggung kewajiban seperti kewajiban sang ayah dengan memberi nafkah dan pakaian kepada ibu yang menyusui. (Taisir al-Karimir Rahman, hlm.104) [6] Bila si anak disusui oleh wanita selain ibunya. [7] Dan penyusuan itu membolehkan (menghalalkan) apa yang halal karena hubungan nasab (Fathul Bari, 9/170) [8] Yakni bila dari sisi nasab wanita itu haram dinikahi maka demikian pula dari hubungan penyusuan, misalnya saudara perempuan ibu (khalah) haram dinikahi oleh keponakannya, maka demikian pula saudara perempuan ibu susu, haram dinikahi oleh keponakannya karena susuan. [9] Termasuk pula ibunya ibu susu (nenek susu), neneknya ibu susu, dan seterusnya ke atas. [10] Termasuk pula putrinya anak perempuan susu (cucu perempuan karena susuan) dan seterusnya ke bawah. [11] Termasuk pula cucu keponakan susu dan seterusnya ke bawah, sebagaimana ketentuan ini berlaku pada mahram karena hubungan nasab. [12] Al-Miftah finnikah Halaman 16-17
HUKUM MENIKAHI MANTAN ISTRI IPAR ATAU MANTAN ISRI PAMAN
Pertanyaan : Assalamualaikum Pak Ustadz, Saya ingin bertanya dan berharap dapat segera dijawab oleh pak ustadz.atau para kiyai Saya seorang pria katakan Nama saya IMAIL sudah berumah tangga ( dengan seorang wanita bernama Sairoh dan Sairoh punya saudara laki-laki bernama Zainal dan Zainal menikah dengan Wanita bernama Zainab.Tidak lama kemudian Zainal meninggal dunia.
Pertanyaannya Bolehkah Imail menikah dengan Zainab ( mantan istri Zainal ( ipar. Imail )?
Waalaikum salam.
Selama bukan mahram maka boleh mantan istri ipar dinikahi.Untuk lebih jelasnya maka penting kita mengetahui siapa saja sebenarnya yang menjadi mahrom sehingga haram dinikahi. Mari kita ikuti penjelasan berikut karena diantara kita terkadang belum memahami siapa saja diantara saudara atau saudari kita yang menjadi mahram kita. Karena hal ini merupakan suatu yang penting untuk diketahui dan dipahami, bahkan diharapkan kita mampu mengaplikasikan dalam kehidupan Aamien.
Sebelumnya kami jelaskan tentang muhrim. Kata “muhrim” dalam bahasa Arab berarti “orang yang sedang berihram”, sedangkan yang dimaksud oleh sebagian masyarakat dalam bahasa Arab disebut “mahram”adalah keluarga dekat dari kalangan pria yang tidak halal baginya menikahi si wanita, seperti anak laki-laki (wanita tersebut), ayahnya, saudara laki-lakinya, pamannya, dan orang yang semisal mereka. (An-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar, 1/373) * Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah membawakan definisi mahram menurut para ulama, yakni laki-laki yang diharamkan menikahi si wanita selama-lamanya dengan sebab yang mubah karena hubungan mahram. (Fathul Bari, 4/94) Dengan definisi Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah, seorang suami bukanlah mahram bagi saudara perempuan istrinya (ipar), walaupun suami tersebut haram menikahi iparnya selama ia belum bercerai dengan istrinya.
Adapun yang diharamkan selama-lamanya dalam syariat hanyalah mengumpulkan dua wanita yang bersaudara dalam pernikahan. Sedangkan keharaman menikahi ipar tidaklah berlaku selama-lamanya. Bila si suami telah berpisah dengan istrinya (cerai atau ditinggal mati) dibolehkan baginya untuk menikahi iparnya tersebut. Disebutkan dalam definisi di atas bahwa mahram itu terjalin dengan sebab yang mubah yaitu dengan pernikahan ataupun penyusuan. Dikecualikan dari definisi di atas, bekas istri yang pernah dituduh berzina oleh suaminya tanpa bukti/ saksi hingga keduanya harus mendatangkan sumpah dan mendoakan laknat untuk diri masing-masing. Bekas istri tersebut haram untuk dinikahinya selama-lamanya namun bukan karena hubungan mahram, tapi sebagai hukuman bagi keduanya. (Kitab Al-Fatawa, Al-Imam Nawawi, masalah 223)
Dari definisi di atas, dapat diketahui bahwa hubungan mahram dapat terjadi karena tiga sebab, yaitu:
Mahram sebab Keturunan.Orang-orang yang termasuk mahram sebab keturunan ada tujuh, sebagaimana firman Allah:
Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan; saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istri kamu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. an-Nisa (4): 23] Berdasarkan ayat di atas, dapat diketahui bahwa orang-orang yang termasuk mahram, yaitu yang tidak boleh dinikahi dengan sebab keturunan ada tujuh golongan, yaitu: ibu-ibumu;
anak-anakmu yang perempuan;
saudara-saudaramu yang perempuan;
saudara-saudara ayahmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan.
Anak akibat dari perzinahan termasuk mahram, dengan berdalil pada keumuman firman Allâh: “… anak-anakmu yang perempuan …” [QS. An-Nisa (4): 23]
Mahram sebab Susuan.Mahram sebab susuan ada tujuh golongan, sama seperti mahram sebab keturunan, tanpa pengecualian. Inilah pendapat yang dipilih setelah ditahqiq (ditelliti) oleh al-Hafizh ‘Imaduddin Isma’il bin Katsir [Tafsirul Qur’anil ‘Azhim, 1/511].
Artinya: Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang putri Hamzah: “Dia tidak halal bagiku, darah susuan mengharamkan seperti apa yang diharamkan oleh darah keturunan, dan dia adalah putri saudara sepersusuanku (Hamzah).” [HR. al-Bukhâri]
Al-Quran menyebutkan secara khusus dua bagian mahram sebab susuan, yaitu yang terdapat pada QS. an-Nisa (4): 23:
(1) dan ibu-ibumu yang menyusui kamu (2) dan saudara-saudara perempuan sepersusuan
Mahram sebab Perkawinan Mahram sebab perkawinan ada enam golongan, yaitu:
a. “Dan ibu-ibu istrimu (mertua)” [QS. an-Nisa (4): 23] b. “Dan istri-istri anak kandungmu (menantu)” [QS. an-Nisa (4): 23] c. “Dan anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri” [QS. an-Nisa (4): 23] Menurut jumhur ulama, termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaan seseorang mempunyai hubungan mahram dengannya. Anak tiri menjadi mahram jika ibunya telah dicampuri, tetapi jika belum dicampuri maka dibolehkan untuk menikahi anaknya setelah bercerai dengan ibunya. Sedangkan ibu dari seorang perempuan yang dinikahi menjadi mahram hanya sebab akad nikah, walaupun si putri belum dicampuri, kalau sudah akad nikah maka si ibu haram dinikahi oleh yang menikahi putrinya. d. “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri)” [QS. an-Nisa (4): 22]
Wanita yang dinikahi oleh ayah menjadi mahram bagi anak ayah dengan hanya akad nikah, walaupun belum dicampuri oleh ayah, maka anak ayah tak boleh menikahinya.
e. “Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara” [QS. an-Nisa (4): 23]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menghimpunkan dalam perkawinan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ibu, dan menghimpunkan antara perempuan dengan bibinya dari pihak ayah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tidak boleh perempuan dihimpun dalam perkawinan antara saudara perempuan dari ayah atau ibunya.” [HR. Muslim]
f. “Dan diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami” [QS. an-Nisa (4): 24]
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاء … [النساء: 24]
Mahram disebabkan keturunan dan susuan bersifat abadi, begitu pula mahram disebabkan pernikahan. Kecuali menghimpun dua perempuan bersaudara, menghimpun perempuan dengan bibinya, yaitu saudara perempuan dari pihak ayah atau ibu, bila yang satu meninggal dunia maka boleh menikah dengan yang lain, karena bukan menghimpun dalam keadaan sama-sama masih hidup. Usman bin Affan menikahi Ummu Kulsum setelah Ruqayyah wafat, kedua-duanya adalah anak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikianlah perempuan-perempuan yang termasuk mahram yang tidak boleh dinikahi oleh seorang laki-laki. Adapun perempuan-perempuan yang selain di atas adalah bukan mahram, sehingga halal dinikahi.
Artinya: “… Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina …” [QS. an-Nisa (4): 24]
المجموع شرح المهذب – 7825/9792
قال المصنف رحمه الله: (فصل) ومن حرم عليه نكاح امرأة بالنسب له أو بالمصاهرة أو بالجمع حرم عليه وطؤها بملك اليمين لانه إذا حرم النكاح فلان يحرم الوطئ وهو المقصود أولى وان ملك أختين فوطئ إحداهما حرمت عليه الاخرى حتى تحرم الموطوءة ببيع أو عتق أو كتابة أو نكاح. فان خالف ووطئها لم يعد إلى وطئها حتى تحرم الاولى، والمستحب أن لا يطأ الاولى حتى يستبرئ الثانية حتى لا يكون جامعا للماء في رحم أختين، وإن تزوج إمرأة ثم ملك أختها لم تحل له المملوكة، لان أختها على فراشه، وإن وطئ مملوكة ثم تزوج أختها حرمت المملوكة وحلت المنكوحة، لان فراش المنكوحة أقوى، لان يملك به حقوق لا تملك بفراش المملوكة من الطلاق والظهار والايلاء واللعان. فثبت الاقوى وسقط الاضعف كملك اليمين لما ملك به ما لا يملك بالنكاح من الرقبة والمنفعة إذا طرأ على النكاح ثبت وسقط النكاح.
(فصل) وما حرم النكاح والوطئ بالقرابه حرم بالرضاع، لقوله تعالى (وأمهاتكم اللاتى أرضعنكم وأخواتكم من الرضاعه) فنص على الام والاخت وقسنا عليهما من سواهما، وروت عائشة رضي الله عنها أن النبي صلى الله عليه وسلم قال (يحرم من الرضاع ما يحرم من الولادة) .
(فصل) ومن حرم عليه نكاح امرأة على التأبيد برضاع أو نكاح أو وطئ مباح صار لها محرما في جواز النظر والخلوة، لانها محرمه عليه على التأبيد بسبب غير محرم فصار محرما لها كالام والبنت، ومن حرمت عليه بوطئ شبهة لم يصر محرما لها لانها حرمت عليه بسبب غير مباح، ولم تلحق بذوات المحارم والانساب (الشرح) حديث عائشة رضى الله عنها مضى تخريجه. اما الاحكام: فان الشرع ساوى بين الامة والحرة في تحريم الجمع بين الاختين كما لا يحل له نكاحها بنسب أو رضاع أو مصاهرة، لم يحل له وطؤها واسم النكاح يقع على الوطئ، ولان المقصود بعقد النكاح هو الوطئ، فإذا حرم عقد النكاح فلان يحرم الوطئ أولى، ويسرى على الاماء تحريم الجمع بين المرأة وعمتها والمرأة وخالتها في الوطئ، وإن كان يحل في الملك، لان الاستمتاع ليس غاية للملك، وإنما المقصود بالملك المنفعة وما ذكره المصنف فعلى وجهه. (مسألة) إذا حرم عليه نكاح المرأة على التأبيد بنكاح أو رضاع أو وطئ مباح صار محرما لها في جواز النظر والخلوة، لانها محرمة عليه على التأبيد بسبب غير محرم فصار محرما لها كالام والابنة، وان حرم عليه نكاحها بوطئ شبهة فهل تصير محرما له؟ فيه قولان حكاهما الصيمري، المشهور أنها لا تصير محرما له لانها حرمت عليه بسبب غير مباح فلم يلحق بذوات الانساب. والثانى: أنها تصير محرما له لانها لما ساوت من وطئت وطئا مباحا في تحريم النكاح ولحوق النسب من هذا الوطئ ساوتها في الخلوة والنظر. (مسألة) إذا وطئ الرجل إمرأة بملك صحيح أو بشبه ملك أو بشبهة عقد نكاح أو وطئها زوجة أو أمة حرمت عليه أمهاتها وبناتها على التأبيد لانه وطئ يتعلق به لحوق النسب فتعلق به تحريم المصاهرة كالوطئ في النكاح، ولانه معنى تصير به المرأة فراشا فتعلق به تحريم المصاهرة كعقد النكاح، وهذا هو المشهور من المذهب. وحكى المسعودي قولا آخر أنه لا يتعلق به تحريم المصاهرة بوطئ شبهة، وليس بشئ عن أصحابنا منهم صاحب البيان وغيره. وإن باشر امرأة دون الفرج بشهوة في ملك أو شبهة بأن قبلها أو لمس شيئا من بدنها فهل يتعلق بذلك تحريم المصاهرة وتحرم عليه الربيبة على التأبيد؟ فيه قولان (أحدهما) يتعلق به التحريم، وبه قال ابو حنيفة ومالك. وقالا: انه روى عن عمر بن الخطاب رضي الله عنه وليس له مخالف في الصحابة، ولانه تلذذ بمباشرة فتلعق به تحريم المصاهرة والربيبة كالوطئ فقولنا: تلذذ احتراز من المباشرة بغير شهوة، وقولنا: بمباشرة احتراز من النظر.
(والثانى) لا يتعلق به تحريم المصاهرة ولا الربيبة، وبه قال احمد بن حنبل لقوله تعالى (وربائبكم اللاتى في حجوركم من نسائكم اللاتى دخلتم بهن) وهذا ليس بدخول، ولانه لمس لا يوجب الغسل فلم يتعلق بن تحريم كالمباشرة بغير شهوة وإن نظر إلى فرجها بشهوة لم يتعلق به تحريم المصاهرة ولا تحريم الربيبة. وقال الثوري وأبو حنيفة: يتعلق بها التحريم، وحكاه المسعودي قولا آخر للشافعي وليس بمشهور. دليلنا أنه نظر إلى بعض بدنها فلم يتعلق به التحريم كما لو نظر إلى وجهها.
KESIMPULAN
Dari semua dalil diatas menunjukkan bahwa mantan istri ipar atau mantan istri paman baik paman dari ayah atau dari ibu bukanlah mahrom. Dengan demikian boleh jika ada minat atau keinginan untuk menikahinya. Alasannya karena seorang wanita tidak menjadi mahram bagi kita hanya sekedar dinikahi oleh paman (baik dari ayah atau ibu), karena yang demikian tidak ada dalilnya. Adapun saudara perempuan ayah atau ibu maka termasuk mahram sebagaimana disebutkan di dalam surat An-Nisa: 23.tersebut diatas.
Berkata Al-Lajnah Ad-Daimah:
زوجة العم وزوجة الخال ليستا محارم لابن الأخ والأخت
“Istri paman dari ayah dan paman dari ibu keduanya bukan termasuk mahram bagi anak laki dari saudara laki-laki maupun saudara wanita” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 17/433)