FASAKH NIKAHNYA SUAMI ISTRI YANG NIKAH SIRRI(AKAD NIKAH YANG TIDAK TERCATAT DI KUA)

FASAKH NIKAHNYA SUAMI ISTRI YANG NIKAH SIRRI(AKAD NIKAH YANG TIDAK TERCATAT DI KUA)

Deskripsi Masalah :
Pernikahan bagi masyarakat Indonesia adalah suatu hal yang sangat sakral, tak jarang mereka melaksanakan dengan begitu khidmatnya. Akan tetapi di samping itu, ada hal yang sangat disayangkan, yakni sebagian dari masyarakat kita enggan untuk melaksanakan proses pernikahan melalui KUA, sehingga pihak KUA juga enggan untuk bertanggung jawab jika nanti terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kasus yang menimpa Husna, setelah ditinggal satu tahun oleh Hasan, suaminya, tanpa ada kabar berita mengenainya, kebingunganpun mulai menghantui Husna, karena pengajuan fasakh-nya tidak ditanggapi dengan serius oleh pihak KUA dengan dalih pernikahan mereka tidak melalui prosedur pemerintah(Pernikahan diantara Hasan dan Husna itu nikah sirri dan tidak tercatat di Kantor Urusan Agama/KUA).

Pertanyaan :

  1. Bolehkah Husna men-fasakh nikahnya sendiri? Kalau boleh bagaimana caranya 

Jawaban ditafsil : 

a) Tidak Boleh, Kecuali husna menunggu suaminya datang  caranya  seorang Husna mengatakan kepada Suaminya Fasakhlah saya sedangkan suaminya menjawab  dengan ungkapan saya fasakh nikahmu , maka menurut pendapat lebih benar adalah sah. Adapun jika suami benar- benar tidak diketahui  dan hakim pun enggan untuk memberikan putusan fasakh, maka dalam hal ini hukumnya adalah :

b). Boleh fasakh sendiri  

 

Referensi fasakh.

 

كتاب البيان فى مذهب الإمام الشافعي ج.١٠ ص ١٦-١٧ وإذا قلنا: إن الخلع فسخ.. كان صريحه: الخلع والمفاداة؛ لأن الخلع وردت به السنة وثبت له عرف الاستعمال، والمفاداة ورد بها القرآن وثبت لها عرف الاستعمال. وإن قالت: فاسخني على ألف، أو افسخني بألف، فقال: فاسختك أو فسختك.. فهل هو صريح في الفسخ، أو كناية فيه؟ على وجهين: أحدهما: أنه كناية في الفسخ، فلا يقع به الفسخ حتى ينويا الفسخ؛ لأنه لم يثبت له عرف الاستعمال، ولم يرد به الشرع والثاني: أنه صريح فيه، فينفسخ النكاح من غير نية، وهو الأصح؛ لأنه حقيقة فيه ومعروف في عرف أهل اللسان. وإن قالت: خلني على ألف، أو بتني على ألف، وغير ذلك من كنايات الطلاق، فقال: خليتك أو بتتك، ولم ينويا الطلاق، فإن قلنا: إن الخلع صريح في الطلاق بدخول العوض.. صارت هذه الكنايات صريحة في الطلاق بدخول العوض فيها

شرح زاد المشتقنع ص ١١

إذا طلبت منه امرأته الخلع، فخالعها، فإذا طلقها بعد ذلك فإن هذا الطلاق لا يقع وذلك لأنه لا يملك بضعها فهي أجنبية عنه.
إذا وقع بلفظ الخلع كأن يقول: ” خالعتك “، أو بلفظ الفسخ كأن يقول: ” فسختك “، أو الفداء بأن يقول: ” فاديتك “، ولم ينوه طلاقاً فإنه يكون فسخاً، هذا هو المشهور في المذهب وهو أحد قولي الشافعي، وأما الجمهور فقالوا: هو طلاق بائن أيضاً، ويستدلون بما تقدم ذكره في المسألة الأولى، وهو قول ضعيف كما تقدم، والراجح أنه فسخ، لما تقدم في قصة المختلعة وأن النبي – صلى الله عليه وسلم – أمرها أن تعتد بحيضة وهذا يدل على أنه ليس بطلاق بائن، إذ لو كان طلاقاً بائناً لأمرها أن تعتد بثلاثة قروء، ويدل عليه أيضاً أن الله عز وجل قال: {الطلاق مرتان فإمساك بمعروف أو تسريح بإحسان …..إلى أن قال …. فإن خفتم ألا يقيما حدود الله فلا جناح عليهما فيما افتدت به …. إلى أن قال … فإن طلقها فلا تحل له من بعد حتى تنكح زوجاً غيره} ، فذكر طلقتين أولاً، ثم ذكر الخلع، ثم ذكر طلقة، فلو كان الخلع طلاقاً لكانت الطلقة التي ذكرها في {فإن طلقها} رابعة لا ثالثة وهذا ممتنع باتفاق أهل العلم، فدل على أنه فداء وليس بطلاق، ويدل عليه أيضاً أن الله ذكره بلفظ الفداء فقال: {فيما افتدت به} ، فعلى ذلك الراجح ما ذهب إليه الحنابلة في هذه المسألة فإذا قال: فسختك أو فاديتك أو نحو ذلك من ألفاظ الخلع فإنه فسخ وليس بطلاق، وعليه فكل طلاق بعوض سواء كان بلفظ الخلع أو بلفظ الطلاق، وسواء كان بنية الخلع أو بنية الطلاق فهو فسخ وليس بطلاق بائن في الراجح من المسألتين المتقدمتين، وهوا اختيار شيخ الإسلام وتلميذه ابن القيم، وفي قوله: ” لا ينقص عدد الطلاق “، فإذا طلقها مرتين مثلاً ثم اختلعت منه فيحل له أن ينكحها بعد ذلك قبل أن تنكح زوجاً آخر، فلا تجب عليه طلقة بل هو فسخ.

Jika seorang istri meminta khul‘ dari suaminya, lalu suami menerima dan mengabulkannya, maka jika setelah itu suami menjatuhkan talak, talak tersebut tidak sah. Sebab, ia tidak lagi memiliki hubungan pernikahan dengan wanita tersebut, sehingga wanita itu menjadi orang asing baginya.

Jika perceraian terjadi dengan lafaz khul‘ seperti mengatakan, “Khala‘tuki” (Aku menceraikanmu dengan khul‘), atau dengan lafaz fasakh seperti mengatakan, “Fasaqtuki” (Aku membatalkan pernikahanmu), atau dengan lafaz fida’ seperti mengatakan, “Fadaytuki” (Aku menebus perceraianmu), dan tidak diniatkan sebagai talak, maka ini dihukumi sebagai fasakh, bukan talak. Ini adalah pendapat yang masyhur dalam mazhab Hanbali dan salah satu dari dua pendapat Imam Syafi‘i.

Adapun mayoritas ulama berpendapat bahwa khul‘ tetap dihukumi sebagai talak bain, dan mereka berdalil dengan argumentasi yang telah disebutkan dalam masalah sebelumnya. Namun, pendapat ini dianggap lemah sebagaimana telah dijelaskan.

Pendapat yang lebih kuat adalah bahwa khul‘ adalah fasakh, bukan talak. Dalilnya adalah kisah seorang wanita yang meminta khul‘ pada zaman Nabi ﷺ, di mana beliau memerintahkannya untuk menjalani masa iddah hanya satu kali haid. Jika khul‘ dianggap sebagai talak bain, seharusnya masa iddahnya tiga kali haid.

Dalil lain adalah firman Allah:

“Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik… Jika kalian khawatir mereka tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa bagi keduanya dalam hal tebusan yang diberikan… Jika ia menceraikannya (lagi), maka wanita itu tidak halal baginya hingga ia menikah dengan suami lain.” (QS. Al-Baqarah: 229-230)

Dalam ayat ini, Allah menyebutkan dua talak pertama, lalu menyebut khul‘, kemudian menyebut satu talak lagi. Jika khul‘ dihitung sebagai talak, maka talak yang disebut dalam ayat “fa in tallaqaha” (jika ia menceraikannya) seharusnya menjadi talak keempat, bukan ketiga. Ini bertentangan dengan ijma‘ ulama bahwa jumlah maksimal talak adalah tiga. Oleh karena itu, khul‘ harus dianggap sebagai fida’ (tebusan), bukan talak.

Allah juga menyebut khul‘ dengan lafaz fida’ dalam firman-Nya: “fimaa iftadat bihi” (dalam hal tebusan yang diberikan). Oleh karena itu, pendapat yang lebih kuat adalah mazhab Hanbali, yang menyatakan bahwa jika seorang suami mengatakan “Aku membatalkan pernikahanmu”, “Aku menebus perceraianmu”, atau lafaz lain yang bermakna khul‘, maka itu dianggap fasakh, bukan talak.

Berdasarkan ini, setiap perceraian dengan kompensasi (bayaran) – baik menggunakan lafaz khul‘ atau talak, serta dengan niat khul‘ maupun talak – tetap dihukumi sebagai fasakh, bukan talak bain. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim.

Pendapat ini juga menegaskan bahwa khul‘ tidak mengurangi jumlah talak. Artinya, jika seorang suami telah menjatuhkan dua talak, lalu terjadi khul‘, ia masih bisa menikahi istrinya lagi tanpa harus menunggu istrinya menikah dengan laki-laki lain. Sebab, khul‘ dihukumi sebagai fasakh, bukan bagian dari tiga talak.

Dengan demikian dapat dipahami jika seorang istri meminta khul‘, lalu suami menyetujuinya, maka suami tidak bisa lagi menjatuhkan talak setelahnya karena hubungan pernikahan telah berakhir. Mazhab Hanbali dan sebagian ulama Syafi‘iyyah menganggap khul‘ sebagai fasakh, sedangkan mayoritas ulama menganggapnya sebagai talak bain. Dalil kuat yang mendukung bahwa khul‘ adalah fasakh adalah perintah Nabi ﷺ kepada wanita yang menjalani khul‘ untuk beriddah satu kali haid, serta urutan dalam ayat Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa khul‘ bukan bagian dari tiga talak. Jika suami telah menjatuhkan dua talak, lalu terjadi khul‘, suami masih bisa menikahi mantan istrinya tanpa harus menunggu dia menikah dengan pria lain, karena khul‘ tidak mengurangi jumlah talak.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي. [ ابن حجر الهيتمي ]ج٧ ص٣٤٢

وَنَحْوُ فَسَخْت أَوْ أَزَلْت أَوْ رَفَعْت أَوْ صَرَفْت نِكَاحَك صَرِيحُ فَسْخٍ وَنَحْوُ فَسَخْتُك أَوْ صَرَفْتُكِ كِنَايَةٌ (وَالطَّلَاقُ) بِصَرِيحٍ أَوْ كِنَايَةٍ وَلَوْ مُعَلَّقًا كَأَنْ نَوَى بِالْفَسْخِ طَلَاقًا (اخْتِيَارٌ) لِلْمُطَلَّقَةِ إذْ لَا يُخَاطَبُ بِهِ إلَّا الزَّوْجَةُ فَإِنْ طَلَّقَ أَرْبَعًا تَعَيَّنَ لِلنِّكَاحِ وَانْدَفَعَ الْبَاقِي شَرْعًا وَلَا يُنَافِي مَا تَقَرَّرَ فِي الْفَسْخِ قَاعِدَةَ أَنَّ مَا كَانَ صَرِيحًا فِي بَابِهِ لِأَنَّهَا أَغْلَبِيَّةٌ وَسِرُّ اسْتِثْنَاءِ هَذَا مِنْهَا التَّوْسِعَةُ عَلَى مَنْ رَغِبَ فِي الْإِسْلَامِ وَيُوَجَّهُ بِأَنَّ قَضِيَّةَ الْقَاعِدَةِ أَنَّ نِيَّةَ الطَّلَاقِ بِالْفَسْخِ كَهُوَ فَلَا يَجُوزُ تَعْلِيقُهُ مَعَ أَنَّهُ قَدْ يَكُونُ لَهُ فِيهِ رَغْبَةٌ دُونَ التَّخْيِيرِ فَاقْتَضَتْ مُسَامَحَتُهُ بِأُمُورٍ أُخْرَى مُسَامَحَتَهُ بِالِاعْتِدَادِ بِنِيَّتِهِ حَتَّى يَجُوزَ لَهُ التَّعْلِيقُ فَلَا نَظَرَ إلَى كَوْنِ الطَّلَاقِ أَضَرَّ مِنْ الْفَسْخِ لِنَقْصِهِ الْعَدَدَ دُونَهُ فَلَا مُسَامَحَةَ لِأَنَّ الْمُسَامَحَةَ مِنْ جِهَةٍ لَا تَقْتَضِيهَا مِنْ كُلِّ جِهَةٍ.

قِيلَ: إنْ أَرَادَ لَفْظَ الطَّلَاقِ اقْتَضَى أَنْ لَا يَصِحَّ بِمَعْنَاهُ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إذْ ” فَسَخْتُ نِكَاحَكِ ” بِنِيَّةِ الطَّلَاقِ اخْتِيَارٌ لِلنِّكَاحِ وَإِنْ أَرَادَ


Ungkapan seperti “Aku telah membatalkan,” “Aku telah menghapus,” “Aku telah mencabut,” atau “Aku telah mengalihkan pernikahanmu” termasuk lafaz sharih (jelas) dalam pembatalan nikah. Sedangkan ungkapan seperti “Aku telah membatalkanmu” atau “Aku telah mengalihkanmu” termasuk kinayah (tidak langsung).

Talak, baik dengan lafaz sharih atau kinayah, bahkan jika bersifat mu‘allaq (tergantung syarat), seperti ketika seseorang berniat dengan kata “pembatalan” sebagai talak, maka itu menjadi pilihan bagi istri. Sebab, hanya istri yang dapat menjadi pihak yang diberi hak pilihan dalam hal ini. Jika seorang suami mentalaq empat istri, maka yang berhak untuk tetap dalam pernikahan adalah yang dipilihnya, sedangkan selebihnya gugur secara syar‘i.

Hal ini tidak bertentangan dengan kaidah yang menyatakan bahwa sesuatu yang sharih dalam babnya tetap diprioritaskan. Sebab, kaidah tersebut bersifat umum, sedangkan pengecualian dalam kasus ini bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi orang yang ingin masuk Islam. Kaidah tersebut dapat dijelaskan bahwa niat talak dalam lafaz “pembatalan” dianggap seperti lafaz talak itu sendiri, sehingga tidak diperbolehkan mengaitkannya dengan syarat. Namun, bisa jadi seseorang memiliki keinginan untuk bercerai tetapi tidak ingin menggunakan lafaz “pemilihan”, sehingga diberikan dispensasi dalam hal tertentu, termasuk memperhitungkan niatnya dalam kasus ini, sehingga talaknya dapat digantungkan pada syarat.

Tidak perlu mempertimbangkan bahwa talak lebih merugikan dibanding pembatalan karena talak mengurangi jumlah talak yang tersisa bagi suami, sedangkan pembatalan tidak demikian. Oleh karena itu, dispensasi yang diberikan dalam satu aspek tidak secara otomatis berarti diberikan dalam semua aspek.

Dikatakan: Jika seseorang hanya bermaksud pada lafaz talak, maka seharusnya tidak sah hanya dengan maknanya saja. Namun, kenyataannya tidak demikian. Sebab, ungkapan “Aku telah membatalkan pernikahanmu” dengan niat talak tetap dianggap sebagai pemilihan dalam pernikahan.

 

📚 بغية المسترشدين في تلخيص فتاوى بعض الأئمة المتأخرين، ص ٥١٥ (مسألة: ي): في فسخ النكاح خطر، وقد أدركنا مشايخنا العلماء وغيرهم من أئمة الدين لا يخوضون فيه، ولا يفتحون هذا الباب لكثرة نشوز نساء الزمان، وغلبة الجهل على القضاة وقبولهم الرشا، ولكن نقول: يجوز فسخ الزوجة النكاح من زوجها حضر أو غاب بتسعة شروط: إعساره بأقل النفقة، والكسوة، والمسكن لا الأدم، بأن لم يكن له كسب أصلاً، أو لا يفي بذلك، أو لم يجد من يستعمله، أو به مرض يمنعه عن الكسب ثلاثاً: أو له كسب غير لائق أبى أن يتكلفه، أو كان حراماً أو حضر هو وغاب ماله مرحلتين، أو كان عقار أو عرضاً أو ديناً مؤجلاً أو على معسر أو مغصوباً، وتعذر تحصيل النفقة من الكل في ثلاثة أيام، وثبوت ذلك عند الحاكم بشاهدين أو بعلمه، أو بيمينها المردودة إن ردّ اليمين، وحلفها مع البينة أنها تستحق النفقة، وأنه لم يترك مالاً، وملازمتها للمسكن، وعدم نشوزها، ورفع أمرها للحاكم، وضربه مهلة ثلاثة أيام لعله يأتي بالنفقة، أو يظهر للغائب مال أو نحو وديعة، وأن يصدر الفسخ بلفظ صحيح بعد وجود ما تقدم، إما من الحاكم بعد طلبها، أو منها بإذنه بعد الطلب بنحو: فسخت نكاح فلان، وأن تكون المرأة مكلفة، فلا يفسخ وليّ غيرها، ولو غاب الزوج وجهل يساره وإعساره لانقطاع خبره، ولم يكن له مال بمرحلتين فلها الفسخ أيضاً بشرطه، كما جزم به في النهاية وزكريا والمزجد والسنباطي وابن زياد و (سم) الكردي وكثيرون، وقال ابن حجر وهو متجه مدركاً لا نقلاً، بل اختار كثيرون وأفتى به ابن عجيل وابن كبن وابن الصباغ والروياني أنه لو تعذر تحصيل النفقة من الزوج في ثلاثة أيام جاز لها الفسخ حضر الزوج أو غاب، وقواه ابن الصلاح، ورجحه ابن زياد والطنبداوي والمزجد وصاحب المهذب والكافي وغيرهم، فيما إذا غاب وتعذرت النفقة منه ولو بنحو شكاية، قال (سم): وهذا أولى من غيبة ماله وحده المجوّز للفسخ، أما الفسخ بتضررها بطول الغيبة وشهوة الوقاع فلا يجوز اتفاقاً وإن خافت الزنا، فإن فقدت الحاكم أو المحكم أو عجزت عن الرفع إليه كأن قال: لا أفسخ إلا بمال وقد علمت إعساره وأنها مستحقة للنفقة استقلت بالفسخ للضرورة، كما قاله الغزالي وإمامه، ورجحه في التحفة والنهاية وغيرهما، كما لو عجزت عن بينة الإعسار وعلمت إعساره ولو بخبر من وقع في قلبها صدقه فلها الفسخ أيضاً، نقله المليباري عن ابن زياد بشرط إشهادها على الفسخ اهـ. وذكر غالب هذه الشروط في تعذر النفقة بغيبة الزوج في (ج) وفي (ش) أيضاً نحو ما مر وزاد: فحينئذ إذا قضى بالفسخ بتعذر النفقة بالغيبة والامتناع شافعي لترجيحه عنده، لكونه من أهله أو لكونه رأى تضرر المرأة نفذ ظاهراً وكذا باطناً فلا يجوز نقضه، ويجوز الإفتاء والعمل به للضرورة، إذ المشقة تجلب التيسير، وليس هذا من تتبع الرخص، نعم لو ادعى الزوج بعد أن له مالاً بالبلد خفي على بينة الإعسار، وأن الزوجة تعلمه وتقدر عليه وأقام بذلك بينة بان بطلان الفسخ إن تيسر تحصيل النفقة منه لا كعقار وعرض.

 

“Jika suami hilang dan tidak diketahui apakah ia mampu atau tidak memberikan nafkah karena kabarnya terputus, serta ia tidak memiliki harta dalam jarak dua marhalah, maka istri juga berhak melakukan fasakh dengan memenuhi syarat-syaratnya,” sebagaimana ditegaskan dalam kitab An-Nihayah, juga oleh Imam Zakariya, Al-Mazjad, As-Sanbathi, Ibnu Ziyad, dan (Syekh) Al-Kurdi serta banyak ulama lainnya.

“Ibnu Hajar berkata bahwa pendapat ini memiliki dasar yang kuat secara rasional, bukan hanya sekadar pendapat yang dinukil dari ulama sebelumnya. Bahkan, banyak ulama yang memilih dan berfatwa, seperti Ibnu ‘Ajil, Ibnu Kaban, Ibnu Shabbagh, dan Ar-Ruyani, bahwa jika istri tidak bisa mendapatkan nafkah dari suaminya dalam waktu tiga hari, maka ia berhak melakukan fasakh, baik suaminya hadir maupun tidak.” Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Ash-Shalah dan dirajihkan oleh Ibnu Ziyad, Ath-Thunbadaawi, Al-Mazjad, pengarang kitab Al-Muhadzdzab, Al-Kafi, dan ulama lainnya.

Dalam konteks jika suami hilang dan nafkah tidak bisa diperoleh darinya meskipun dengan cara mengajukan laporan, maka hak fasakh lebih kuat dibandingkan sekadar hilangnya harta suami yang menjadi sebab diperbolehkannya fasakh.

“Adapun fasakh hanya karena istri merasa terbebani dengan lamanya kepergian suami atau karena keinginan biologis (syahwat), maka tidak diperbolehkan secara ijma’, meskipun ia takut terjatuh dalam zina.”

“Jika istri tidak bisa menemukan hakim atau pihak yang bisa menjadi perantara (muḥakkam), atau ia tidak mampu mengajukan perkara kepada hakim—seperti ketika hakim mengatakan, ‘Saya tidak akan melakukan fasakh kecuali dengan pembayaran tertentu,’ sementara istri sudah mengetahui bahwa suami memang tidak mampu memberi nafkah dan ia berhak menerimanya—maka dalam kondisi darurat, istri boleh melakukan fasakh sendiri.”

Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam Al-Ghazali dan gurunya, serta dirajihkan dalam Tuhfatul Muhtaj, An-Nihayah, dan kitab-kitab lainnya.

“Begitu pula, jika istri tidak bisa mendapatkan saksi yang dapat membuktikan ketidakmampuan suami memberikan nafkah, tetapi ia yakin bahwa suaminya memang tidak mampu, meskipun hanya berdasarkan berita dari seseorang yang ia yakini kebenarannya, maka ia juga boleh melakukan fasakh.”

Pendapat ini dinukil oleh Al-Malibari dari Ibnu Ziyad dengan syarat istri melakukan fasakh dengan menghadirkan saksi atas fasakh tersebut.

Dari uraian yang panjang di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus pernikahan sirri (tidak tercatat di KUA), istri tidak dapat serta-merta memfasakh nikahnya sendiri tanpa keterlibatan suami atau keputusan hakim. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai fasakh dalam kasus suami yang hilang tanpa kabar (mafqûd):

 

Kesimpulan

  • Tidak boleh fasakh sendiri tanpa melibatkan suami 
  • Boleh fasakh sendiri jika ada kepastian tidak ada kabar tentang  kondisinya  dan  pihak hakim sudah tidak menghiraukan untuk memberikan putusan fasakh, atau bisa memberikan putusan namun dengan cara pembayaran

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Slot77 Daun77 akurat77 https://itgid.org/public/4d/ https://itgid.org/public/scatter/ slot77 slot online Demo Slot Pg https://aekbilah.tapselkab.go.id/aseng/ Slot Online Gacor https://aekbilah.tapselkab.go.id/dior/ https://www.uobam.co.id/public/assets/ Toto 4D https://wiki.clovia.com/ Slot Gacor Gampang Maxwin Slot77 Daun77 Daun77 slot thailand Daun77 slot77 4d Usutoto situs slot gacor Usutoto Usutoto slot toto slot Daun77 Daun77 Daun77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 MBAK4D MBAK4D DWV99 DWV138 DWVGAMING METTA4D MBAK4D MBAK4D MBAK4D METTA4D DWV99 DWV99 MBAK4D MBAK4D MBAK4D SLOT RAFFI AHMAD METTA4D https://aekbilah.tapselkab.go.id/toto4d/ https://aekbilah.tapselkab.go.id/spaceman/ METTA4D METTA4D METTA4D demo slot MBAK4D METTA4D MINI1221 https://www.concept2.cz/ https://berlindonerkebab.ca/ togel malaysia sabung ayam online tototogel slot88 MBAK4D MBAK4D DWV138 METTA4D