DEWAN PIMPINAN PUSAT
IKATAN ALUMNI BATA-BATA

Amil Zakat Menjual Sisa Zakat Fitrah

 

Deskripsi Masalah:

Di sebuah desa, sebuah masjid besar sedang dibangun dengan perkiraan biaya 1 miliar rupiah. Untuk membantu meringankan biaya pembangunan, pengurus masjid membentuk panitia pengumpulan zakat fitrah menjelang Hari Raya Idul Fitri. Sehingga warga setempat bergegas mulai awal bulan Ramadhan hingga menjelang hari raya mengeluarkan zakat. Setelah zakat terkumpulkan lalu panitia menyalurkannya kepada mereka yang berhak. Namun panitia menyisakan sebagian zakat ( beras ) tersebut kemudian dijual setelah salat Id, dan hasil penjualannya disumbangkan ke masjid setempat. Praktik ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, karena hal tersebut

Pertanyaan:

1.Apakah boleh dan sah masyarakat menyegerakan zakat fitrah diawal bulan Ramadhan?

2.Apakah tindakan panitia zakat tersebut diperbolehkan? Bagaimana jika panitia tersebut adalah amil yang ditunjuk oleh pemerintah?

Waalaikumsalam

Jawaban

Waalaikumsalam.

  1. Masyarakat boleh dan sah menyegerakan (menunaikan) zakat fitrah diawal bulan Ramadhanmenurut mazhab (Syafi’i). Jika tidak disegerakan, maka dianjurkan untuk tidak mengakhirkan pengeluarannya dari shalat Id, dan haram mengakhirkannya dari hari Id, jika diakhirkan, maka wajib diqadha.
  2. Tindakan panitia pengumpul zakat fitrah dalam menjual sisa zakat fitrah untuk kepentingan masjid tidak dibolehkan ( haram) menurut syariat Islam

Berikut adalah penjelasan berdasarkan referensi kitab sebagaimana berikut:

Zakat Fitrah untuk Mustahik, Bukan Masjid:

Zakat fitrah adalah hak bagi fakir miskin dan golongan yang berhak menerima zakat (mustahik), bukan untuk kepentingan masjid.

Referensi dari kitab Bughyah al-Mustarsyidin (1/220) menegaskan bahwa masjid tidak berhak mendapatkan bagian dari zakat.

Panitia Hanya Bertugas Menyalurkan:

Tugas panitia zakat adalah mengumpulkan dan menyalurkan zakat kepada mustahik yang berhak, bukan untuk menjualnya.

Referensi dari kitab Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/175) menjelaskan bahwa Imam atau petugas zakat tidak boleh menjual harta zakat tanpa adanya keperluan yang mendesak.

Penjualan Zakat Tanpa Izin Tidak Sah:

Jika panitia menjual zakat tanpa izin dari mustahik, maka penjualan tersebut tidak sah dan harus dikembalikan kecuali jika zakat tersebut telah diberikan kepada mustahik terlebih dahulu, dan penjualan dilakukan atas izin mustahik. Panitia zakat yang melakukan praktik terlarang ini wajib mengganti (dhaman) harta zakat yang disalahgunakan. Hukum ini berlaku baik untuk panitia yang dibentuk oleh masyarakat (mutabarri’) maupun amil yang ditunjuk oleh pemerintah (‘âmil).

Referensi dari kitab Kasyyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’ (5/340) menjelaskan bahwa menjual zakat tanpa keperluan atau kemaslahatan dan tanpa adanya izin maka tidak sah.

Penyaluran Zakat Harus Sesuai Syariat:

Zakat harus disalurkan sesuai dengan ketentuan syariat, yaitu kepada 8 golongan yang berhak menerima zakat (asnaf).

Pemanfaatan hasil penjualan zakat untuk membangun masjid tidak termasuk dalam golongan tersebut.

Kesimpulan:
Menjual sisa zakat fitrah untuk kepentingan masjid tanpa izin tidak dibenarkan dalam syariat Islam ( tidak sah ) Tindakan yang tepat adalah menyalurkan sisa zakat tersebut kepada mustahik yang berhak.

Semoga jawaban ini memberikan pemahaman yang jelas.Wallahu a’lam bish-shawab

Referensi:


روضة الطالبين وعمدة المفتين (٢٤٩/١)
فَضْلُ الْفِطْرَةُ يَجُوزُ تَعْجِيلُهَا مِنْ أَوَّلِ شَهْرٍ رَمَضَانَ عَلَى الْمَذْهَبِ وَتَقَدَّمَ بَيَانُهُ فِي بَابِ التَّعْجِيلِ فَإِذَا لَمْ يُعَجِّلْ فَيُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُؤَخِّرَ إِخْرَاجُهَا عَنْ صَلَاةِ الْعِيدِ وَيَحْرُمُ تَأْخِيرُهَا عَنْ يَوْمِ الْعِيدِ فَإِنْ أُخْرَ قَضَى.

Raudhah at-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin (1/249)
Keutamaan fitrah (zakat fitrah), boleh menyegerakannya dari awal bulan Ramadhan menurut mazhab (Syafi’i), dan penjelasannya telah disebutkan dalam bab penyegeraan. Jika tidak disegerakan, maka dianjurkan untuk tidak mengakhirkan pengeluarannya dari shalat Id, dan haram mengakhirkannya dari hari Id, jika diakhirkan, maka wajib diqadha.


بغية المسترشدين (٢٢٠/١)
(مَسْأَلَةٌ) لَا يَسْتَحِقُ الْمَسْجِدُ شَيْئًا مِنَ الزَّكَاةِ مُطْلَقًا، إِذْ لَا يَجُوزُ صَرْفُهَا إِلَّا لِحُرٍّ مُسْلِمٍ، وَلَيْسَتِ الزَّكَاةُ كَالْوَصِيَّةِ، فِيمَا لَوْ أَوْصَى لِجِيرَانِهِ مِنْ أَنَّهُ يُعْطِي الْمَسْجِدَ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ ابْنُ حَجَرٍ فِي فَتَاوِيهِ خِلَافًا لِـ بج، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ تَصِحُّ لِنَحْوِ الْبَهِيمَةِ كَالْوَقْفِ بِخِلَافِ الزَّكَاةِ.

Bughyah al-Mustarsyidin (1/220)
(Masalah) Masjid tidak berhak mendapatkan sesuatu pun dari zakat secara mutlak, karena tidak boleh menyalurkannya kecuali kepada orang muslim yang merdeka. Zakat tidak seperti wasiat, dalam hal seseorang berwasiat kepada tetangganya bahwa ia akan memberikan (sebagian) kepada masjid, sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Hajar dalam fatwanya, berbeda dengan (pendapat) بج, karena wasiat sah untuk (diberikan kepada) selain manusia, seperti hewan, sama seperti wakaf, berbeda dengan zakat.

المجموع شرح المهذب (١٧٥/٦)
(فَرْعٌ) قَالَ أَصْحَابُنَا لَا يَجُوزُ لِلْإِمَامِ وَلَا لِلسَّاعِي بَيْعُ شَيْءٍ مِنْ مَالِ الزَّكَاةِ مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ بَلْ يُوصِلُهَا إِلَى الْمُسْتَحِقِّينَ بِأَعْيَانِهَا لِأَنَّ أَهْلَ الزَّكَاةِ أَهْلُ رُشْدٍ لَا وِلَايَةَ عَلَيْهِمْ فَلَمْ يَجُزْ بَيْعُ مَالِهِمْ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ – إِلَى أَنْ قَالَ – قَالَ أَصْحَابُنَا وَإِذَا بَاعَ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي لَا يَجُوزُ فِيهِ الْبَيْعُ فَالْبَيْعُ بَاطِلٌ وَيُسْتَرَدُّ الْمَبِيعُ فَإِنْ تَلِفَ ضَمِنَهُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (6/175)
(Cabang) Para sahabat kami berkata, “Tidak boleh bagi imam atau petugas (zakat) menjual sesuatu dari harta zakat tanpa darurat, tetapi harus menyampaikannya kepada orang-orang yang berhak dengan barangnya, karena orang-orang yang berhak menerima zakat adalah orang-orang yang baligh dan berakal, tidak ada perwalian atas mereka, maka tidak boleh menjual harta mereka tanpa izin mereka.” – hingga beliau berkata – Para sahabat kami berkata, “Jika ia menjual di tempat yang tidak boleh menjual di sana, maka jual belinya batal dan barang yang dijual harus dikembalikan, jika rusak, maka ia harus menggantinya.” Wallahu a’lam.

(كشاف القناع عن متن الإقناع ٣٤٠/٥)
(وَلَهُ) أَيْ السَّاعِي بَيْعُ الزَّكَاةِ مِنْ مَاشِيَةٍ وَغَيْرِهَا لِحَاجَةٍ كَخَوْفِ تَلَفٍ وَمُؤْنَةٍ وَمَصْلَحَةٍ لِحَدِيثِ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ وَيَأْتِي . (وَ) لَهُ (صَرْفُهُ فِي الْأَحَظِّ لِلْفُقَرَاءِ ، أَوْ حَاجَتِهِمْ ، حَتَّى فِي أَجْرَةِ مَسْكَنٍ) لِأَنَّهُ دَفَعَ الزَّكَاةَ فِي حَاجَتِهِمْ أَشْبَهَ مَا لَوْ دَفَعَهَا إِلَيْهِمْ . وَإِنْ بَاعَ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَمَصْلَحَةٍ) فَقَالَ الْقَاضِي : (لَمْ يَصِحَّ لِعَدَمِ الْإِذْنِ) أَيْ لِأَنَّهُ لَمْ يُؤْذَنَ لَهُ فِي ذَلِكَ (وَيَضْمَنُ قِيمَةَ مَا تَعَذَّرَ رَدُّهُ ، وَقِيلَ : يَصِحُّ ، قَدَّمَهُ بَعْضُهُمْ ، لِمَا رَوَى أَبُو عُبَيْدٍ فِي الْأَمْوَالِ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ أَنَّ النَّبِيَّ رَأَى فِي إِبِلِ الصَّدَقَةِ نَاقَةً كَوْمَاءَ ، فَسَأَلَ عَنْهَا الْمُصَدِّقَ فَقَالَ : إِنِّي ارْتَجَعْتُهَا بِإِبِلٍ ، فَسَكَتَ عَنْهُ ، فَلَمْ يَسْتَفْصِلُهُ وَمَعْنَى الرَّجْعَةِ أَنْ يَبِيعَهَا وَيَشْتَرِي بِثَمَنِهَا غَيْرَهَا .

(Kasyyaf al-Qina’ ‘an Matn al-Iqna’ 5/340)
(Dan baginya), yaitu petugas (zakat), menjual zakat dari hewan ternak dan selainnya karena kebutuhan, seperti takut rusak, biaya (perawatan), dan kemaslahatan, berdasarkan hadits Qais bin Abi Hazim yang akan datang. (Dan) baginya (menyalurkan zakat untuk yang paling menguntungkan bagi fakir miskin, atau kebutuhan mereka, bahkan untuk biaya tempat tinggal), karena ia telah menyerahkan zakat untuk kebutuhan mereka, serupa dengan jika ia menyerahkannya langsung kepada mereka. Jika ia menjual bukan karena kebutuhan dan kemaslahatan), maka Al-Qadhi berkata, “(Tidak sah karena tidak ada izin)”, yaitu karena ia tidak diizinkan untuk itu (dan ia menjamin nilai barang yang tidak mungkin dikembalikan). Dikatakan: Sah, sebagian ulama mendahulukannya, berdasarkan riwayat Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal dari Qais bin Abi Hazim bahwa Nabi ﷺ melihat seekor unta betina yang besar punuknya di antara unta-unta sedekah, lalu beliau bertanya kepada petugas sedekah tentangnya, dan ia berkata: “Aku telah menukarnya dengan unta (lain)”, maka beliau diam dan tidak bertanya lebih lanjut. Makna “menukar” adalah menjualnya dan membeli (unta) lain dengan harganya.Wallahu a’lam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

#TERKINI

#WARTA

#HUKUM

Ketik Pencarian