Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Deskripsi Masalah:
Ada seorang guru agama yang berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah sekolah dasar. Selain mengajar, ia juga seorang mubaligh yang sering diundang untuk mengisi pengajian pada jam kerja. Hal ini mengakibatkan ia sering meninggalkan tugasnya sebagai guru, meskipun mendapatkan izin dari kepala sekolah yang merasa terpaksa memberikannya. Rekan-rekan sesama guru juga merasa kurang nyaman dengan kondisi tersebut.
Kasus serupa juga terjadi pada seorang Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK yang memiliki tugas pokok menyampaikan dakwah kepada masyarakat. Namun, ia juga mengajar di sekolah/madrasah, dan sering kali jadwal mengajarnya bertabrakan dengan jadwal dakwahnya.
Pertanyaan
Bagaiman hukum menghadapi dua kewajiban seperti ini?dan terkait gaji yang dia terima , maturnuwun.
Wassalamu’alaikum Wr Wb.
Walaikum salam.
Jawaban.
Hukum Menghadapi Dua Kewajiban yang Bertabrakan
Dalam situasi ini, yang harus didahulukan adalah tugas pokok (tupoksi) sebagai PNS/PPPK. Jika seseorang berstatus sebagai guru PNS/PPPK, maka tugas utama yang harus diprioritaskan adalah mengajar. Begitu pula jika seseorang adalah Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK, maka tugas utama yang harus diutamakan adalah berdakwah kepada masyarakat sesuai dengan tupoksinya.
Prinsip ini berdasarkan perintah Allah dalam Al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya…”
(QS. An-Nisa: 58)
Amanah sebagai pegawai pemerintah adalah kewajiban yang harus dijaga. Sering meninggalkan tugas pokok tanpa alasan yang sangat mendesak dapat termasuk perbuatan yang tidak dibenarkan secara syar’i, karena mengabaikan hak orang lain, seperti hak siswa untuk mendapatkan pendidikan atau hak masyarakat untuk mendapatkan bimbingan agama.
Dakwah memang amal mulia, tetapi harus dilakukan tanpa mengorbankan kewajiban yang lebih utama. Seorang guru PNS telah memiliki kontrak kerja dengan negara, sehingga waktu kerja tersebut harus diprioritaskan. Begitu juga halnya dengan Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK. Rasulullah ﷺ bersabda:
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah pekerja upahnya sebelum kering keringatnya.”
(HR. Ibnu Majah no. 2443, dishahihkan Al-Albani)
Jika guru atau Penyuluh tersebut tetap menerima gaji penuh tetapi sering meninggalkan tugasnya, maka dia termasuk orang yang berkhianat dan korupsi.
(مرقاة صعود التصديق، ص ٧٥-٧٦).
والخيانة وهي ضد النصيحة فتشمل أي الخيانة الأفعال والأقوال والأحوال وقد يقال دلالة الحال أقوى من دلالة المقال قال الفيومي في المصباح وفرق العلماء بين الخائن والسارق والغاصب بأن الخائن هو الذي خان ما جعل عليه أمينًا والسارق من أخذ خفية من موضع كان ممنوعًا من الوصول إليه وربما قيل كل سارق خائن دون عكسه والغاصب من أخذ جهارًا معتدًا على قوته اهـ
(Sumber: Mirqāh Ṣu‘ūd at-Taṣdīq, hlm. 75-76).
Pengkhianatan adalah lawan dari nasihat, mencakup segala bentuk pengkhianatan baik dalam perbuatan, perkataan, maupun keadaan. Dikatakan bahwa indikasi keadaan (perbuatan) lebih kuat daripada indikasi ucapan.
Al-Fiymi dalam al-Mishbah menyebutkan bahwa para ulama membedakan antara pengkhianat, pencuri, dan perampas. Pengkhianat adalah orang yang berkhianat terhadap sesuatu yang ia dipercayakan untuk menjaganya.
Sedangkan pencuri adalah orang yang mengambil sesuatu secara diam-diam dari tempat yang dilarang untuk dimasuki.
Mungkin ada yang mengatakan bahwa setiap pencuri adalah pengkhianat, tetapi tidak setiap pengkhianat adalah pencuri.
Adapun perampas (ghashib) adalah orang yang mengambil sesuatu secara terang-terangan dengan menggunakan kekuatan secara zalim.
Korupsi dalam Islam termasuk perbuatan haram karena merugikan orang lain, mengandung unsur pengkhianatan, dan memakan harta yang bukan haknya. Berikut beberapa dalil yang menjadi landasan haramnya korupsi:
1. Al-Qur’an a) Larangan Memakan Harta dengan Cara Batil
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ وَتُدْلُوا۟ بِهَآ إِلَى ٱلْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا۟ فَرِيقًۢا مِّنْ أَمْوَٰلِ ٱلنَّاسِ بِٱلْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah: 188)
Ayat ini menunjukkan bahwa memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar, termasuk suap dan korupsi, adalah perbuatan terlarang.
a) Larangan Khianat terhadap Amanah
Allah Ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَخُونُوا۟ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓا۟ أَمَٰنَٰتِكُمْ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”
(QS. Al-Anfal: 27)
Korupsi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah yang dipercayakan, baik dari negara maupun masyarakat.
2. Hadits Nabi ﷺ a) Larangan Pegawai Negara Mengambil Harta Secara Tidak Sah
Dari Abu Humaid As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ
“Hadiah bagi para pegawai negara adalah ghulul (harta curian/korupsi).”
(HR. Ahmad, no. 23605; dinilai shahih oleh Al-Albani)
Hadits ini menegaskan bahwa pejabat yang menerima hadiah terkait jabatannya termasuk dalam kategori ghulul (penggelapan harta).
b) Ancaman Bagi Pengkhianat dan Pelaku Korupsi
Dari ‘Adi bin ‘Amirah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ، فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا، فَمَا فَوْقَهُ، كَانَ غُلُولًا، يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang kami angkat menjadi pegawai, lalu dia menyembunyikan sehelai jarum atau lebih dari jabatan tersebut (tidak jujur dalam mengelola harta publik), maka itu adalah ghulul (penggelapan), dan dia akan membawanya pada hari kiamat.”
(HR. Muslim, no. 1833)
Hadits ini menunjukkan bahwa korupsi, meskipun hanya dalam jumlah kecil, tetap dianggap sebagai pengkhianatan dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
3. Ijma’ Ulama
Para ulama sepakat bahwa korupsi adalah bentuk kezaliman dan memakan harta haram. Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah menyebutkan bahwa pejabat yang menyalahgunakan jabatan untuk keuntungan pribadi termasuk orang yang berbuat zalim dan harus dihukum.
Solusi yang Dapat Dilakukan
- Mengatur Waktu dengan Baik
- Bagi Guru PNS/PPPK: Jika ingin berdakwah, sebaiknya dilakukan di luar jam kerja, seperti saat sore, malam, atau akhir pekan agar tidak mengganggu tugas mengajar.
- Bagi Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK: Jika ingin mengajar di sekolah, sebaiknya dilakukan di luar jam kerja penyuluh atau saat hari libur.
- Memanfaatkan Cuti Resmi
Jika ada pengajian penting yang tidak bisa ditinggalkan, guru atau penyuluh dapat mengajukan cuti resmi sesuai ketentuan yang berlaku. Dengan demikian, tugas pokoknya tidak terbengkalai dan tidak membebani rekan kerja lainnya. - Meminta Izin dengan Kesepakatan yang Jelas
Jika ada kebijakan yang memperbolehkan izin, maka izin tersebut harus diberikan dengan persetujuan kepala sekolah atau atasan, tanpa paksaan dan tanpa merugikan hak siswa atau masyarakat. - Fokus pada Tupoksi Masing-Masing
Jika seseorang merasa tidak mampu menjalankan kedua tugas sekaligus tanpa mengorbankan salah satunya, maka sebaiknya ia memilih salah satu yang lebih sesuai dengan kapasitas dan tanggung jawabnya.
Kesimpulan
Dalam Islam, amanah sebagai guru maupun penyuluh agama adalah tanggung jawab besar yang harus dijaga. Jika sering meninggalkan tugas utama tanpa alasan yang mendesak, maka hal itu tidak dibenarkan secara syar’i.
- Bagi Guru PNS/PPPK, berdakwah adalah kewajiban, tetapi tidak boleh mengorbankan tugas utamanya dalam mendidik siswa.
- Bagi Penyuluh Agama Islam PNS/PPPK, mengajar juga merupakan tugas mulia, tetapi tidak boleh mengorbankan amanah utamanya dalam membimbing masyarakat.
Dengan pengaturan waktu yang baik, memanfaatkan cuti, dan meminta izin sesuai aturan, kedua tugas ini dapat dijalankan dengan seimbang tanpa mengabaikan amanah utama.
Wallahu a’lam bish-shawab.
شرح رسالة مختصرة في أصول الفقه
قاعدة المصالح والمفاسد وَإِذَا تَزَاحَمَتْ مَصْلَحَتَانِ؛ قُدِّمَ أَعْلاَهُمَا، أَوْ مَفْسَدَتَانِ لاَ بُدَّ مِنْ فِعْلِ إِحْدَاهُمَا؛ ارْتُكِبَتْ أَخَفُّهُمَا مَفْسَدَةً. قال: (وإذا تزاحمت مصلحتان؛ قُدِّمَ أعلاهما أو مفسدتان لا بد من فعل إحداهما؛ ارْتُكِبَ أخفُّهما). هذه القاعدة تسمى عند العلماء: قاعدة المصالح والمفاسد، وقاعدة المصالح والمفاسد لها ثلاث صور، ذكر الشيخ صورتين، وترك الصورة الثالثة. الصورة الأولى: أن تتزاحم مصلحتان، والتزاحم معناه التعارض بين أمرين لا يمكن الجمع بينهما، فعندنا مصلحتان ولا يمكن الجمع بينهما، ولا بد أن نفعل مصلحة واحدة؛ فما الحكم؟! قال الشيخ: إنه يختار أعلى المصلحتين؛ مثل شخص اجتمع عليه دين ونفقة مستحبة؛ كصدقة، فقضاء الدين مصلحة، والنفقة المستحبة على الفقراء والمساكين مصلحة، فأيهما يُقَدِّمُ؟ يقدم قضاء الدين؛ لأن قضاء الدين واجب، هذا الآن تعارض بين مصلحتين إحداهما واجبة والأخرى مستحبة. طيب.. لو تعارضت مصلحتان واجبتان؛ مثل صلاة نذر وصلاة فرض، يُقدم صلاة الفرض على صلاة النذر؛ لأن الفرض ثبت بأصل الشرع، والنذر أوجبه المكلف على نفسه، وفي النفقة اللازمة للزوجات والأقارب تُقَدَّمُ نفقة الزوجات ثم الأقارب، إذا تعارض عند الزوجة أمر أبويها وأمر زوجها؛ يُقَدَّمُ أمر زوجها؛ لأنه آكد. إذا اجتمعت مصلحتان مسنونتان؛ قُدِّمَ أفضلهما، ويقدم ما فيه نفع متعدٍّ، فلو تعارض عند إنسان طلب علم وصلاة نفل؛ يقدم طلب العلم. تعليم العلم مع صلاة نفل، تعليم العلم، المقصود من هذا: أن الأعلى في المصالح يختلف من مصلحة إلى أخرى. ومن الأدلة على اختيار أعلى المصلحتين: ما ورد في الحديث الصحيح قول النبي -صلى الله عليه وسلم- كما في حديث ابن الزبير(١) عن عائشة قَالَ: «يَا عَائِشَةُ! لَوْلاَ قَوْمُكِ حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ» قال ابن الزبير: بِكُفْرٍ، « لَنَقَضْتُ الْكَعْبَةَ، فَجَعَلْتُ لَهَا بَابَيْنِ: بَابٌ يَدْخُلُ مِنْهُ النَّاسُ وَبَابٌ يَخْرُجُونَ»(٢) فهنا عندنا مصلحتان: المصلحة الأول: نقض الكعبة وجعل لها بابين، وإذا كان لها بابان يكون أخفَّ وأسهل من كون الناس يدخلون ويخرجون مع باب واحد، والمصلحة الثانية: تأليف قلوب قريش؛ لأنهم لا يزالون حدثاء عهد بكفر، فماذا قدم الرسول -صلى الله عليه وسلم- من المصلحتين؟ قدم المصلحة الثانية، وهي تأليف القلوب. الصورة الثانية: إذا اجتمعت مفسدتان؛ ارتكب أخفهما، ومن أدلة هذا وأمثلته: ما ورد في الحديث الصحيح حديث أنس -رضي الله عنه- قال: جاء أعرابي فبال في المسجد فزجره الناس، فنهاهم النبي -صلى الله عليه وسلم-، فلما قضى بوله أمر بذنوب من ماء فأريق عليه(٣) البول في المسجد مفسدة، والاستمرار على البول مفسدة، والصحابة -رضي الله عنهم- أرادوا أن يقطعوا على الرجل بوله، يعني أرادوا أن لا يستمر البول. والرسول -صلى الله عليه وسلم- أراد أن يستمر البول. إذن: البول في المسجد مفسدة في حد ذاتها، واستمرار البول مفسدة، فأراد الرسول -صلى الله عليه وسلم- أن يقضوا على الاستمرار، فنَهوا هذا الرجل لأجل أن يقوم ويُكمل بوله خارجَ المسجد، لكن الرسول -صلى الله عليه وسلم- نهاهم. لماذا؟ لأن قطع البول مفسدته أعظم من مفسدة الاستمرار، والبول في المسجد، وكونه يستمر على بوله هذا أهون، وكونه يقوم ويخرج هذا أعظم، فارْتُكِبَتْ أدنى المفسدتين وأخف المفسدتين؛ لأنه إذا قام سيكون هناك ثلاث مفاسد: المفسدة الأولى: حبس البول، والإنسان إذا أراد أن يبول وحَبَسَ البول هذا مُضِرّ. المفسدة الثانية: أنه سينجس أكبر بقعة من المسجد، وبوله كانت بقعة معينة ما يعني تزيد على بضعة من السنتيمترات، لكن إذا قاموا وطردوه سيكون هناك شيء من البول يخرج هذه مفسدة ثانية. المفسدة الثالثة: أن ثيابه ستتنجس، لكن إذا بقي البول بالمسجد حصل ستتلاشى المفاسد هذه. إذن: الرسول -صلى الله عليه وسلم- لَمَّا نهاهم أراد ارتكاب أدنى المفسدتين في مقابل أعلاهما. الصورة الثالثة: إذا تقابلت مصلحة ومفسدة وكانت المفسدة أعظم.. انظر الآن الصورة الأولى عندنا مصلحتان، والصورة الثانية عندنا مفسدتان، والصورة الثالثة عندنا مصلحة ومفسدة، ولكن المفسدة أعظم، فما الحكم؟ يُقدم دفع المفسدة ويُترك تحقيق المصلحة؛ لأن درء المفاسد مقدم على جلْب المصالح. ومن أدلة هذا قول الله -تعالى: ﴿ وَلاَ تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾(٤) سبوا آلهة المشركين هذه مصلحة، وهي تحقير دينهم وعبادتهم، وسب الله -تعالى- هذه مفسدة، ولما كان سيترتب على هذه المصلحة التي هي سب آلهة المشركين سيترتب عليها مفسدة وهي سب الله -تعالى- تُركت هذه المصلحة، قال -تعالى: ﴿ وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾. ومن الأمثلة على هذا ما ورد من زَوَّارَات القبور(٥) فزيارة القبور للنساء فيها مصلحة، وهي الاتعاظ ولكن فيها مصلحة أعظم وهي مفسدة فتنة الأحياء من جهة، وإيذاء الأموات من جهة أخرى، فقُدِّمَ درء المفسدة على جلب المصلحة. ومن الأمثلة أيضًا منْع الجار من أن يَتَصَرَّفَ في ملكه إذا أَدَّى إلى الإضرار بجاره، فكون الجار يتصرف في بيته هذه مصلحة، ولكن كونه يضر الجار هذه مفسدة. يعني لو أن إنسانا يبيع الغنم، وقال: الحوش بعيد عني، وسأجعل الغنم عندي بالبيت، فوضعهم في بيته، وبجانبه جدار جاره، كونه الآن قَرَّبَ الغنم له في بيته مصلحة له، ولكن جاره تأذى من رائحة الغنم هذه مفسدة أيهما الذي يُقَدِّمُ؟ يُقدم درء المفسدة، نكتفي بهذا القدر والله -سبحانه وتعالى- أعلم. يسأل أحد الإخوة؛ يقول: كيف نجمع بين قاعدة “الوسائل لها أحكام المقاصد” وبين قاعدة “الغاية لا تبرر الوسيلة”؟ أولا: العلماء يفرقون بين الوسيلة وبين الذريعة، وقد ذكرني السؤالُ، فقالوا: الوسيلة هي ما توصل إلى المقصود قطعا أو ظنا، والذريعة قد لا تُوصل إلى المقصود. المثال الذي يوضح: مصاحبة شخص منحرف أو مصادقة ومحبة شخص منحرف، أيهما أبلغ في التأثر؟ المصادقة والمحبة أبلغ في التأثر؛ إذن: نقول: المصادقة هذه وسيلة، ومجرد مصاحبة بطريق مثلا هذه تعتبر ذريعة. فالقول هنا بأن الغاية تبرر الوسيلة هذا عكس للقاعدة التي ذكرها العلماء؛ لأن العلماء ما يقولون: المقاصد لها أحكام الوسائل. إذن لا يُنظر إلى الغاية بحيث تبرر الوسيلة أو ما تبررها؛ وإنما يُنظر إلى الوسيلة نفسها هل تُؤدي إلى هذا المقصود أو لا. ثم إن قضية الغاية تبرر الوسيلة قد يُستدل بهذا على التطرق إلى الأمور المحرمة، بينما قضية الوسائل لها أحكام المقاصد هذه تَمنع وُلوجَ هذا الباب، هذا الفرق بينهما. يقول أيضًا: هل الوسائل لها أحكام المقاصد على إطلاقها؟ لأننا نرى أن الوفاء بنذر الطاعة واجب مع أن وسيلته -وهو النذر- مكروهة، فما توجيهكم؟ مسألة النذر هذه مسألة فيها خلاف بين العلماء، هو سأل عن النذر؟ أي نعم. هذه فيها خلاف بين العلماء هل الوفاء بالنذر واجب أو مستحب أو محرم؟ المسألة فيها خلاف بين أهل العلم، لكن على القول بأن ابتداء النذر، فالوفاء بالنذر واجب في الطاعة، لكن ابتداء النذر من أهل العلم من قال: “إنه مكروه”، ومن أهل العلم من قال: “إنه مستحب”، ومن أهل العلم من قال: “إنه محرم”. فالأقوال ثلاثة في ابتداء النذر وهذا يُشكل على هذه القاعدة فعلاً؛ لأنه على القول بأن ابتداء النذر مكروه، كيف يصير الوفاء بالنذر واجبا؟! هذا يعتبره العلماء مستثنى من القاعدة، والسبب في هذا أنه ورد أحاديث تنهى عن النذر؛ كما في حديث ابن عمر أن النبي -صلى الله عليه وسلم- نَهى عن النذر وقال: « إِنَّهُ لاَ يَأْتِي بِخَيْرٍ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ»(٦) وجاءت أدلة أخرى في المقابل توجب الوفاء بالنذر. فالحاصل من هذا أن القاعدة ليست على إطلاقها بالنسبة لمسألة النذر، ولهذا العلماء قالوا: “إن مسألة النذر تُشْكِلُ؛ كيف يُنهى عن الشيء، ثم يصير الوفاء به واجبا؟! ١) عبد الله بن الزبير بن العوام بن خويلد بن أسد بن عبد العزي، القرشي، الأسدي. أبوه حواري رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وأمه بنت الصديق، وجدته صفية عمة رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وعمة أبيه خديجة بنت خويلد، وهو أول مولود ولد للمهاجرين بعد الهجرة. حنكه النبي -صلى الله عليه وسلم- وسماه باسم جده، وكناه بكنيته، وأحد من وَلِيَ الخلافة. قُتل -رضي الله عنه- في جمادى الأولى سنة ثلاث وسبعين من الهجرة. انظر: أسد الغابة (3/١٣٨ ترجمة ٢٩٤٧ الإصابة (٤/٨٩ ترجمة ٤٦٨٥/ ٢) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب العلم، باب من ترك بعض الاختيار مخافة أن يقصر فهم بعض الناس عنه فيقعوا في أشد منه (١٢٦) واللفظ له، مسلم: كتاب الحج ، باب نقض الكعبة وبنائها (١٣٣٣) ٣) متفق عليه: أخرجه البخاري: كتاب الوضوء، باب ترك النبي والناس الأعرابي حتى فرغ من بوله في المسجد (٢١٩ ٢٢١ ٦٠٢٥)، ومسلم: كتاب الطهارة، باب: وجوب غسل البول وغيره من النجاسات إذا حصلت في المسجد وأن الأرض تطهر بالماء من غير حاجة إلى حفرها ٢٨٤، ٢٨٥ بنحوه من حديث أنس. (٤ الأنعام: ١٠٨. (٥) صحيح:أحمد في المسند (٨٤٤٩، ٨٤٥٢ ٨٦ الفقه
Referensi:Kaidah dengan redaksi yang sedikit berbeda ( bentuk jama’) namun tujuannya adalah sama:
[إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى وإذا تزاحمت المفاسد ارتكبت بالأدنى ]
Jika seseorang dihadapkan pada banyak kemaslahatan maka dahulukanlah yang lebih tinggi nilai keutamaannya. Dan jika dihadapkan pada banyak kerusakan maka ambillah /lakukanlah yang lebih ringan .
كتاب شرح منظومة القواعد الفقهية للسعدي – حمد الحمد [حمد الحمد] الرئيسية أقسام الكتب علوم الفقه والقواعد الفقهية فصول الكتاب << < ج: ص: > >> مسار الصفحة الحالية: فهرس الكتاب تزاحم المصالح والمفاسد إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى + – التشكيل [إذا تزاحمت المصالح قدمت الأعلى ] قال المصنف رحمه الله: [فإن تزاحم عدد المصالح يقدم الأعلى من المصالح] إذا تزاحمت عندنا المصالح فإنا نقدم الأعلى منها، عندنا مصلحة ومصلحة وتعارضتا عند هذا المكلف، فإما أن يفعل هذه المصلحة وإما أن يفعل المصلحة الأخرى، فيقدم الأعلى منهما. إذا أتيت إلى المسجد وقد أقيمت صلاة الصبح فهل تشرع بنافلة الصبح القبلية أو تصلي الصبح؟ نقول: تصلي الفريضة مع الإمام؛ لأن النبي عليه الصلاة والسلام قال كما في صحيح مسلم: (إذا أقيمت الصلاة فلا صلاة إلا المكتوبة). إذاً: نقدم الفريضة على النافلة. وإذا كانت العبادة ذات نفع متعد كالعلم، وعارضتها عبادة ذات نفع لازم كصيام التطوع؛ فإنا نقدم العبادة ذات النفع المتعدي. إذاً: نقدم الأعلى من المصالح.
إذا تزاحمت المفاسد ارتكبت الأدنى] قال المصنف رحمه الله: [وضده تزاحم المفاسد يرتكب الأدنى من المفاسد] كذلك إذا تعارضت المفاسد وتزاحمت فإنا نرتكب الأدنى منها ونجتنب الأعلى، ولذا فإن النبي عليه الصلاة والسلام كما في الصحيحين من حديث أنس بن مالك: أنه لما بال الأعرابي في المسجد فزجره الناس، نهاهم النبي عليه الصلاة والسلام، وذلك لتعارض مفسدتين، الأولى: البول في المسجد فينجس. المفسدة الثانية: أن يحبس بوله فيتضرر، يعني: يلحق بدنه الضرر، وكذلك أيضاً قد ينتشر هذا في المسجد لأنه يقوم وتنتقل النجاسة إلى مواضع أخرى من المسجد. فنهاهم النبي عليه الصلاة والسلام من باب الوقوع في المفسدة الصغرى، فإذا تعارضت عندنا مفسدتان قدمنا المفسدة الصغرى في الوقوع، فنقع في المفسدة الصغرى ونجتنب المفسدة الكبرى. ومن ذلك قول النبي عليه الصلاة والسلام: (لولا أن قومك حديثو عهد بكفر لهدمت الكعبة وبنيتها على قواعد إبراهيم)، متفق عليه. فهنا عندنا مفسدة، وهي بقاء الكعبة فيها نقص من الجهة التي فيها حجر إسماعيل، فإن قريشاً قصرت بهم النفقة فقصروا البناء من جهة حجر إسماعيل، فالنبي عليه الصلاة والسلام أراد أن يهدم الكعبة ويبنيها على قواعد إبراهيم كاملة؛ لكنه خشي مفسدة أعظم، وهي أن يرتد الناس عن الإسلام لأنهم كانوا حديثي عهد بكفر.
Penjelasan Ringkas tentang Kaidah Mashlahat dan Mafsadah dalam Ushul Fiqh
Kaidah ini berbunyi:
“Jika terjadi pertentangan antara dua kemaslahatan, maka didahulukan yang lebih tinggi. Jika terjadi pertentangan antara dua mafsadah (kerusakan) dan harus dilakukan salah satunya, maka dipilih yang lebih ringan.”
Kaidah ini memiliki tiga bentuk:
1. Jika Bertemu Dua Kemaslahatan, Pilih yang Lebih Tinggi
Ketika seseorang dihadapkan pada dua kebaikan yang tidak bisa dilakukan sekaligus, maka ia harus memilih yang memiliki manfaat lebih besar.
Contoh:
Jika seseorang memiliki kewajiban membayar utang dan ingin bersedekah, maka membayar utang lebih diutamakan karena hukumnya wajib, sedangkan sedekah sunnah. Jika seseorang memiliki kewajiban salat fardu dan salat nazar, maka salat fardu lebih diutamakan karena sudah ditetapkan oleh syariat secara langsung, sedangkan nazar adalah kewajiban yang dibuat sendiri oleh seseorang. Jika seseorang memiliki pilihan antara menuntut ilmu atau salat sunnah, maka menuntut ilmu lebih diutamakan karena manfaatnya lebih luas dan berkelanjutan.
Dalil:
Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah, Nabi ﷺ ingin membangun kembali Ka’bah sesuai dengan pondasi Ibrahim, tetapi beliau tidak melakukannya karena masyarakat Quraisy saat itu masih baru masuk Islam dan khawatir mereka akan terpengaruh negatif. Ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ lebih mengutamakan kemaslahatan dakwah daripada membangun kembali Ka’bah.
2. Jika Bertemu Dua Mafsadah, Pilih yang Lebih Ringan
Jika seseorang dihadapkan pada dua keburukan yang tidak bisa dihindari seluruhnya, maka ia harus memilih keburukan yang dampaknya lebih kecil.
Contoh:
Kisah seorang Arab Badui yang kencing di masjid. Para sahabat ingin menghentikannya, tetapi Nabi ﷺ melarang mereka. Sebab, membiarkan orang itu menyelesaikan kencingnya lebih ringan mudaratnya dibandingkan menghentikannya di tengah jalan, yang bisa menyebabkan najis tersebar lebih luas dan membuatnya merasa malu secara berlebihan. 3. Jika Bertemu antara Mashlahat dan Mafsadah, Pilih Menghindari Mafsadah Jika Lebih Besar
Jika ada satu kebaikan yang bisa dicapai tetapi dalam prosesnya menimbulkan keburukan yang lebih besar, maka menghindari keburukan lebih diutamakan.
Contoh:
Allah melarang kaum Muslimin mencela berhala orang musyrik karena dapat menyebabkan mereka membalas dengan mencela Allah. Meskipun mencela berhala itu baik karena menunjukkan kebatilan mereka, tetapi jika menyebabkan penghinaan terhadap Allah, maka lebih baik dihindari. Islam melarang wanita untuk sering berziarah ke kuburan karena meskipun ada manfaat berupa nasihat dan peringatan, tetapi lebih besar mudaratnya, seperti timbulnya fitnah dan gangguan terhadap yang hidup maupun yang telah meninggal. Perbedaan antara “Al-Wasail Lahaa Ahkam Al-Maqashid” dan “Al-Ghayah La Tubarrir Al-Wasilah” Kaidah “Al-Wasail Lahaa Ahkam Al-Maqashid” berarti bahwa hukum suatu sarana mengikuti tujuan akhirnya. Jika tujuan itu baik, maka sarananya juga baik. Sedangkan “Al-Ghayah La Tubarrir Al-Wasilah” berarti bahwa tujuan yang baik tidak membolehkan penggunaan cara yang haram untuk mencapainya.
Contoh:
Menggunakan media sosial untuk dakwah diperbolehkan karena tujuan akhirnya baik. Namun, mencuri demi menyumbangkan hasilnya ke masjid tetap tidak diperbolehkan karena cara yang digunakan haram. Kesimpulan
Kaidah ini memberikan panduan dalam mengambil keputusan berdasarkan tingkat mashlahat dan mafsadah. Prioritasnya adalah:
Mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar. Jika terpaksa menghadapi dua mafsadah, pilih yang lebih ringan. Jika bertemu antara mashlahat dan mafsadah, cegah mafsadah jika lebih besar dari mashlahatnya.
Wallahu a’lam bish-shawab