Asslamualaikum.
Deskripsi masalah.
Diera sekarang ini banyak masyarakat yang berlomba-lomba ingin melakukan ibadah haji, baik haji reguler, khusus yang resmi maupun eligal.
Untuk haji yang resmi, pasti sebelum berangkat ada bimbingan Manasik haji, sehingga diharapkan haji mereka mabrur, namun demikian tak jarang sebagian dari masyarakat, setelah haji biasa-biasa saja tingkah lakunya, bahkan sebagian bila ditanyakan misalkan sedatangnya dari makkah tidak tahu Mina ataupun arofah dan hanya melihat gunung .
Pertanyaannya.
Adakah tanda-tanda orang yang melakukan ibadah haji mendapatkan predikat mabrur atau mardud….?
Waalaikum salam
Jawaban.
Haji mabrur menurut bahasa adalah haji yang baik atau yang diterima oleh Allah SWT. Sedangkan menurut istilah syar’i, haji mabrur ialah haji yang dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dengan memperhatikan berbagai syarat, rukun, dan wajib, serta menghindari hal-hal yang dilarang (muharramat) dengan penuh konsentrasi dalam niat tulus dan ikhlas yang didorong oleh iman dan semata-semata mengharap ridha Allah SWT.
Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah SAW memberikan penjelasan terkait pahala atau balasan bagi jamaah haji yang mendapatkan predikat mabrur.
الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ
Artinya, “Tidak ada balasan (yang pantas diberikan) bagi haji mabrur kecuali surga,” (HR Bukhari).
Predikat mabrur memang hak prerogatif Allah SWT untuk disematkan kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Tetapi seseorang yang dapat meraih haji mabrur pasti memiliki ciri-ciri tersendiri, begitu juga halnya dengan haji yang makbul dan mardud sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadits sebagai berikut: QS. Baqarah ayat 197:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Artinya: “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang diketahui, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berdebat di dalam masa mengerjakan haji.”Namun, dalam ayat tersebut tidak dijelaskan secara rinci apa saja perbuatan atau hal yang termasuk dalam kategori rafats, fusuq, maupun jidal.
Untuk itu, para ulama mencoba memasukkan pembahasan kategori rafats, fusuq, dan jidal dalam karya-karya mereka dengan mengutip sabda Rasulullah maupun qaul sahabat.
Abu Ja’far at-Thahawi dalam kitab Syarh Musykilul Atsar menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan rafats adalah berhubungan seks, dan hal ini merusak ibadah haji. Berbeda dari fusuq dan jidal yang tidak sampai merusak ibadah haji.
قَوْلُ اللهِ عز وجل فَلاَ رَفَثَ وَلاَ فُسُوقَ وَلاَ جِدَالَ في الْحَجِّ فَجَمَعَ اللَّهُ تَعَالَى هذه الأَشْيَاءَ في آيَةٍ وَاحِدَةٍ وَنَهَى عنها نَهْيًا وَاحِدًا وَكَانَتْ مُخْتَلِفَةً في أَحْكَامِ ما نهى عنها فيه لأَنَّ الرَّفَثَ هو الْجِمَاعُ وهو يُفْسِدُ الْحَجَّ وما سِوَى الرَّفَثِ من الْفُسُوقِ وَالْجِدَالِ لاَ يُفْسِدُ الْحَجَّ
Artinya: “Firman Allah SWT tentang larangan haji (rafats, fusuq dan jidal), Allah mengumpulkan tiga hal tersebut dalam satu ayat dan melaranganya secara bersamaan. Namun, dalam segi hukum, ketiganya berbeda. Karena rafats adalah berhubungan seks dan hal itu merusak ibadah haji. Sedangkan selain rafats, yakni fusuq dan jidal tidak merusak haji.
Syekh Ahmad bin Abu Bakar bin Ismail al-Bushiri dalam karyanya berjudul Ithaf al-Khairah al-Mahrah bi Zawaid al-Masanid al-Asyrah yang merupakan salah satu kitab Zawaid dalam literatur kitab hadits, mengutip pendapat Ibnu Abbas ketika ditanya tentang rafats, fusuq, dan jidal.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ , رَضِيَ الله عَنْهُمَا , قَالَ : {فَلاَ رَفَث} ؟ قَالَ : الرَّفَثُ : الْجِمَاعُ ؟ {وَلا فُسُوقَ} ؟ قال : الْفُسُوقُ : الْمَعَاصِي ، {وَلاَ جدَالَ في الحَجِّ} ؟ قال : الْمِرَاء.
Artinya“ Dari Ibnu Abbas Ra. berkata: rafats berarti berhubungan seks, sedangkan fusuq berarti maksiat, dan jidal berarti berbantahan.” Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda;”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: “قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ حَاجًّا بِنَفَقَةٍ طَيِّبَةٍ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ، فَنَادَى: لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، نَادَاهُ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، زَادُكَ حَلَالٌ، وَرَاحِلَتُكَ حَلَالٌ، وَحَجُّكُ مَبْرُورٌ غَيْرُ مَأْزُورٍ، وَإِذَا خَرَجَ بِالنَّفَقَةِ الْخَبِيثَةِ، فَوَضَعَ رِجْلَهُ فِي الْغَرْزِ، فَنَادَى: لَبَّيْكَ، نَادَاهُ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ: لَا لَبَّيْكَ وَلَا سَعْدَيْكَ، زَادُكَ حَرَامٌ وَنَفَقَتُكَ حَرَامٌ، وَحَجُّكَ غَيْرُ مَبْرُورٍ».. أخرجه الطبراني في الأوسط.
Artinya : Dari Abu Hurairoh dia berkata: Rasulullah saw bersabda:” Apabila seseorang keluar untuk melaksanakan haji dengan nafkah yang halal dan menapakkan kakinya di atas kendaraannya kemudian berucap: Ya Allah aku datang memenuhi panggilan-Mu, memangillah malaikat dari langit: kedatanganmu diterima dan amalmu diterima. Bekalmu halal, kendaraanmu halal dan hajimu mabrur (diterima) dan mendapatkan pahala serta bukan palsu. Dan apabila seseorang keluar untuk melaksanakan haji dengan nafkah yang kotor/ haram dan menapakkan kakinya di tanah kemudian berucap: Ya Allah aku datang memenuhi panggilan-Mu, memangillah malaikat dari langit: kedatanganmu ditolak dan amalmu tidak diterima, bekalmu haram dan nafkahmu haram, maka hajimu ditolak serta tidak mabrur” (HR. Tabrani).
Dalam hadits yang lain Rasulullah aw bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya.
قالوا: يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ؟ قال: “إِطْعَامُ الطَّعَامِ، وَإِفْشَاءُ السَّلَامِ
Artinya, “Para sahabat berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasulullah menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian.’”
Walaupun hadits ini divonis munkar syibhul maudhu’ oleh Abu Hatim dalam kitab Ilal ibn Hatim, tetapi ada riwayat lain yang marfu’ dan memiliki banyak syawahid.
Bahkan divonis Shahihul Isnad oleh Al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya, walaupun Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya. Sebagaimana dikutip Imam Badrudin Al-Aini dalam Umdatul Qari-nya.
سئل النبي ما بر الحج قال إطعام الطعام وطيب الكلام وقال صحيح الإسناد ولم يخرجاه
Artinya, “Rasulullah SAW ditanya tentang haji mabrur. Rasulullah kemudian berkata, ‘Memberikan makanan dan santun dalam berkata.’ Al-Hakim berkata bahwa hadits ini sahih sanadnya tetapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.”
Dari penjelasan diatas melalui dasar al-Qur’an dan hadits secara garis besarnya dapat disimpulkan, bahwa tanda-tanda haji yang mabrur adalah:
- Ketika berangkat niat haji dengan ikhlas semata melaksanakan kewajiban untuk memperoleh ridho Allah dengan menyempurnakan pelaksanaan syarat dan rukunnya nafkah/biaya yang disediakan diperoleh dengan cara yang baik dan halal.
- Ketika melaksanakan ibadah haji tidak melakukan apa yang dilarang, seperti jima’, berbuat fasik ( maksiat ) dan berbantahan.
- Ketika pulang dari makkah mengumpulkan teman-temanya dan sanak familinya dan tetangganya dengan memberikan makanan dan menebarkan kedamaian ( salam ) dan bertambah amal ketaatan kepada Allah maupun bertambahnya kebaikan yang berhubungan dengan sesama manusia
Sedangkan Tanda-tanda haji yang mardud adalah sebaliknya.
لطائف المعارف .ص ٤١٠-٤١٧
وفى الحديث الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الحج المبرور ليس له جزاء إلا الجنة .وفى المسند ،أن النبي صلى الله عليه وسلم سئل : أى الأعمال أفضل ؟ قال: إيمان بالله وحده ثم الجهاد ،ثم حجة برّة تفضل سائر الأعمال كمابين مطلع الشمس إلى مغربها .وثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه قال : من حج هذا البيت فلم يرفث ولم يفسق خرج من ذنوبه كيوم ولدته أمه . فمغفرة الذنوب بالحج ودخول الجنة به مرتب على كون الحج مبرورا وإنما يكون مبرورا باجتماع أمرين فيه : أحدهما: الإتيان فيه باعمال البر والبر يطلق بمعنين:
أحدهما : بمعنى الإحسان على الناس ، كمايقال :البر والصلة .وضده العقوق. وفى صحيح مسلم .أن النبي سئل عن البر ، فقال البر حسن الخلق. وكان عمر رضي الله عنهما يقول : إن البر شيئ هينٌ، وجه طليق وكلام لين. وهذا يحتاج إليه فى إلحج كثيرا ، أعني معاملة الناس بالإحسان بالقول والفعل ……إلى أن قال –
وكان إبن المبارك يطعم أصحابه فى الأسفار أطيب الطعام وهو صائم ، وكان إذا أراد الحج من بلده مر وجمع أصحابه وقال : من يريد منكم الحج ؟ فيأخذ منهم نفقاتهم فيضعها عنده فى صندوق ويقفل عليه ، ثم يحملهم وينفق عليهم أوسع النفقة ، ويطعمهم أطيب الطعام ثم يشترى لهم من مكة مايريدون من الهدايا والتحف ، ثم يرجع بهم إلى بلده ، فإذا وصلوا صنع لهم طعاما ، ثم جمعهم عليه ، ودعا بالصندوق الذي فيه نفقاتهم فرد إلى كل واحد نفقته.
والمعنى الثانى : مما يراد بالبر فعل الطاعات كلها وضده الإثم ، وقد فسر الله تعالى البر بذلك فى قوله ( ولكن البر من آمن بالله واليوم الآخر والملائكة والكتاب والنبين وآتى المال على حبه ذوى القربى واليتمى والمساكين وبن السبيل والسائلين وفى الرقاب ) ..إلى أن قال
والأمر الثاني : ممايكمل به الحج إجتناب أفعال الإثم فيه ، من الرفث والفسوق والمعاصى .قال الله تعالى( فلا رفث ولافسوق ولاجدال فى الحج وما تفعلوا من خير يعلمه الله وتزودوا فإن خيرالزاد التقوى )
وفى الحديث الصحيح : ومن حج هذا البيت فلم يرفث ولم يفسق رجع كيوم ولدته أمه؛ وقد سبق حديث من لم يكن له ورع يحجزه عن معاصى الله فليس لله حاجة فى حجه .فما تزود حاج ولاغيره أفضل من زاد التقوى ولادعي للحاج عند توديعه أفضل من التقوى. والله تعالى أعلم بالصواب
Latâ’if al-Ma‘ârif (hal. 410-417)
Dalam hadis sahih, Nabi ﷺ bersabda, “Haji yang mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.” Dalam Musnad disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah ditanya: “Amal apa yang paling utama?” Beliau menjawab: “Iman kepada Allah semata, kemudian jihad, lalu haji yang mabrur. Haji yang mabrur lebih utama dari seluruh amal seperti jarak antara terbitnya matahari hingga terbenamnya.” Juga diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa yang berhaji ke Baitullah ini, lalu ia tidak berkata-kata kotor dan tidak berbuat maksiat, maka ia kembali dari dosa-dosanya seperti saat ia dilahirkan oleh ibunya.”
Maka, pengampunan dosa dalam haji dan masuknya seseorang ke surga karena haji bergantung pada haji yang mabrur. Haji disebut mabrur jika memenuhi dua hal:
Pertama: Melakukan amal-amal kebajikan
Kebajikan (al-birr) memiliki dua makna:
1.Berbuat baik kepada sesama manusia, seperti yang biasa disebutkan dalam istilah al-birr wa al-shilah (kebajikan dan silaturahmi), lawannya adalah durhaka (al-‘uquq). Dalam hadis sahih Muslim, Nabi ﷺ ditanya tentang apa itu kebajikan (al-birr), beliau menjawab: “Kebajikan adalah akhlak yang baik.” Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Kebajikan itu hal yang mudah: wajah yang ceria dan ucapan yang lembut.” Hal ini sangat diperlukan dalam pelaksanaan haji, yakni dengan memperlakukan orang lain dengan baik melalui ucapan dan perbuatan.
Imam Ibnul Mubarak, misalnya, biasa menyediakan makanan terbaik untuk para sahabatnya dalam perjalanan meskipun ia sendiri sedang berpuasa. Ketika ia hendak berhaji, ia melewati rumah para sahabatnya dan berkata: “Siapa di antara kalian yang ingin berhaji?” Ia pun mengumpulkan uang perjalanan mereka, menyimpannya dalam sebuah kotak, lalu mengunci kotak tersebut. Setelah itu, ia membawa mereka, membelanjakan uang tersebut dengan penuh kemurahan hati, menyediakan makanan terbaik, serta membeli untuk mereka hadiah-hadiah dan cenderamata dari Mekah. Ketika kembali ke kota mereka, ia mengadakan jamuan untuk mereka, lalu mengembalikan uang perjalanan mereka masing-masing yang sebelumnya disimpan.
2.Melakukan seluruh bentuk ketaatan kepada Allah, lawannya adalah dosa (al-itsm). Allah menjelaskan makna kebajikan ini dalam firman-Nya:
(“Tetapi kebajikan itu ialah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi; dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir, orang-orang yang meminta-minta, dan untuk memerdekakan budak…”) (QS. Al-Baqarah: 177).
Kedua: Menjauhi perbuatan dosa
Hal ini meliputi menghindari rafats (ucapan atau perbuatan kotor), fusuq (kemaksiatan), dan segala dosa selama haji. Allah berfirman:
(“Maka tidak boleh rafats, tidak boleh berbuat fasik, dan tidak boleh berbantah-bantahan dalam haji. Dan apa saja kebajikan yang kamu lakukan, Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.”) (QS. Al-Baqarah: 197).
Dalam hadis sahih disebutkan: “Barang siapa yang berhaji ke rumah ini, lalu ia tidak berkata-kata kotor dan tidak berbuat fasik, maka ia kembali seperti hari ia dilahirkan oleh ibunya.”
Juga disebutkan dalam hadis lain: “Barang siapa yang tidak memiliki ketakwaan yang mencegahnya dari maksiat kepada Allah, maka Allah tidak membutuhkan hajinya.” Maka, tidak ada bekal yang lebih baik bagi seorang jamaah haji maupun selainnya selain bekal ketakwaan. Tidak ada doa yang lebih utama bagi jamaah haji saat perpisahan kecuali doa untuk menjadi orang yang bertakwa. Wallahu a‘lam.