Hukum Zakat Perdagangan: Antara Barang Dagangan, Uang Tunai, dan THR
Deskripsi Masalah:
Dalam ajaran Islam, zakat perdagangan merupakan kewajiban bagi pedagang yang telah mencapai nisab dan haul (satu tahun kepemilikan). Namun, terdapat beberapa permasalahan terkait praktik pembayaran zakat perdagangan, terutama pada bulan Ramadan, ketika pedagang seringkali mengeluarkan Tunjangan Hari Raya (THR) yang diniatkan sebagai zakat. Permasalahan utama yang muncul adalah variasi dalam bentuk barang yang dikeluarkan sebagai zakat Yaitu :
1. Sebagian pedagang mengeluarkan zakat dalam bentuk barang dagangan mereka.
2. Sebagian lainnya mengeluarkan zakat dalam bentuk uang tunai (nilai dari barang dagangan).
3. Terdapat juga pedagang yang mengeluarkan zakat dalam bentuk barang yang bukan merupakan bagian dari barang dagangan mereka.
Pertanyaan:
A. Bolehkah seorang pedagang menunaikan zakat perdagangan dalam bentuk barang dagangan atau uang tunai, terutama jika pengeluaran tersebut dikaitkan dengan pemberian THR?
B. Bagaimana hukumnya jika barang yang dikeluarkan sebagai zakat bukan merupakan barang dagangan yang biasa diperjualbelikan?
Waalaikumsalam salam
Jawaban.
A. Hukum Menunaikan Zakat Perdagangan dalam Bentuk Barang Dagangan atau Uang Tunai:
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal mengelurkan zakat berupa barang dagangan atau dengan berupa harga ( uang tunai )
1️⃣ Menurut Pendapat Abu Hanifah dan salah satu pendapat Imam Syafi’i: Memberikan fleksibilitas, pedagang dapat memilih antara mengeluarkan zakat dari nilai barang dagangan dalam bentuk uang tunai, atau mengeluarkan zakat dari barang dagangan itu sendiri.
2️⃣ Menurut Pendapat Imam Ahmad dan pendapat lain dari Imam Syafi’i: Lebih menekankan pada kemaslahatan penerima, mewajibkan pengeluaran zakat dari nilai barang dagangan dalam bentuk uang tunai, bukan dari barang dagangannya.
Pendapat yang lebih dikuatkan: Mengeluarkan zakat dari nilai barang dagangan dalam bentuk uang tunai lebih dianjurkan, karena memberikan fleksibilitas dan kemudahan bagi fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan mereka.
B. Terkait dengan pengeluaran Tunjangan Hari Raya (THR) yang diniatkan sebagai zakat:
Penting untuk diketahui dan diingat bahwa zakat perdagangan memiliki syarat-syarat tertentu yang diantaranya adalah nishab haul (satu tahun kepemilikan). Jika nisabnya belum terpenuhi, maka pengeluaran THR yang diniatkan sebagai zakat tersebut tidak sah sebagai zakat, berbeda dengan haul.Artinya walau belum haul sebagian ulama’ boleh ta’jiluzzakat asalkan nisab telah terpenuhi( mendahulukan zakat) dan sebagian tidak memperbolehkan zakat sebelum haul .
Untuk menghindari kerancuan, sangat disarankan untuk mengetahui akhir tahun ( haul ) harus dihitung awal mula niat barang diperdagangkan jika pas satu tahun tepat pada bulan puasa maka THR sah sebagai zakat ,tetapi jika tidak sampai nisab atau haul, maka tidak sah sebagai zakat hanya sebagai THR. Oleh karenanya memisahkan antara pemberian THR dan pembayaran zakat lebih utama. Hal ini memastikan bahwa kedua hal tersebut ( THR sunnah dan Zakat wajib ) terpenuhi dengan jelas.
فقه الزكاة الجزء الثاني ص ٨٢٣
تقديم أداء الزكاة قبل موعدها :
الأموال الزكوية قسمان : قسم يشترط له الحول كالماشية السائمة والنقود وسلع التجارة . وقسم لا يشترط له الحول كالزروع والثمار .
فأما القسم الأول فأكثر الفقهاء على أنه : متى وجد سبب وجوب الزكاة وهو النصاب الكامل – جاز تقديم الزكاة قبل حلول الحول . بل يجوز تعجيلها الحولين أو أكثر . بخلاف ما إذا عجلها قبل مالك النصاب فلا يجوز .
وبهذا قال الحسن وسعيد بن جبير والزهري والأوزاعي وأبو حنيفة والشافعي وأحمد وإسحق وأبو عبيد ( ٥ )
Mendahulukan Pembayaran Zakat Sebelum Waktunya:
Harta zakat terbagi menjadi dua bagian: Bagian yang disyaratkan kepemilikan selama setahun (haul) seperti hewan ternak yang digembalakan, uang, dan barang dagangan. Serta bagian yang tidak disyaratkan kepemilikan selama setahun seperti hasil pertanian dan buah-buahan.
Adapun bagian pertama, mayoritas ulama berpendapat bahwa: Apabila sebab wajibnya zakat telah terpenuhi, yaitu mencapai nishab yang sempurna, maka boleh mendahulukan pembayaran zakat sebelum tiba waktu haulnya. Bahkan boleh menyegerakannya untuk dua tahun atau lebih. Berbeda halnya jika disegerakan sebelum pemilik harta memiliki nishab, maka tidak boleh.
Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Hasan, Sa’id bin Jubair, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Ubaid (5).
C. Hukum Mengeluarkan Zakat dengan Barang yang Bukan Barang Dagangan:
Pada prinsipnya, diperbolehkan dalam kondisi tertentu, terutama jika hal itu dapat memberikan kemaslahatan yang nyata bagi penerima zakat.
Beberapa pertimbangan penting yang perlu diperhatikan:
Nilai barang yang diberikan harus setara atau sesuai dengan nilai zakat yang wajib dikeluarkan.
Penerima zakat harus benar-benar membutuhkan barang tersebut. Memberikan barang yang tidak bermanfaat bagi mereka dapat menjadi beban.
Mengeluarkan zakat dalam bentuk uang tunai umumnya lebih dianjurkan, karena memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada penerima zakat, karena setelah zakat tiba ditangan mereka ( diterima) bebas dengan sesuka hati mentasharrufkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak mereka.
Kesimpulan:
Barang dagangan wajib dizakati jika memenuhi syarat nisab dan haul.
Mengeluarkan zakat dalam bentuk uang tunai lebih dianjurkan, tetapi mengeluarkan zakat dengan barang dagangan diperbolehkan dalam kondisi tertentu demi kemaslahatan fakir miskin.
Mengeluarkan zakat dengan barang selain barang dagangan juga diperbolehkan dalam kondisi tertentu, namun mengeluarkan zakat dalam bentuk uang tunai umumnya lebih disukai karena memberikan fleksibilitas yang lebih besar kepada penerima zakat.
Pemisahan antara THR dan Pembayaran zakat sangat disarankan.
Penambahan Informasi Penting:
Nisab dan Haul: Nisab zakat perdagangan setara dengan 85 gram emas, dan haul adalah kepemilikan selama satu tahun hijriah.
Perhitungan Zakat: Zakat perdagangan dihitung dari aset lancar usaha dikurangi utang jangka pendek, dengan tarif 2,5%.
Waktu Pembayaran: Meskipun sering dikaitkan dengan Ramadan, zakat perdagangan dapat dibayarkan kapan saja setelah mencapai haul.
Referensi fiqih zakat Dr.Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi juz 1
هل يخرج التاجر زكاته من عين السلعة أم من قيمتها ؟
بعد تقويم السلع التجارية ، كما ذكرنا ، بقي أن نعرف : مم يخرج التاجر زكاته ؟ هل يجوز أن يخرجها جزءاً من البضاعة التي عنده ، أم يخرجها نقوداً بقيمة الواجب ؟
في ذلك عدة أقوال :
فيرى أبو حنيفة والشافعي في أحد أقواله : أن التاجر مخير بين اخراج الزكاة من قيمة السلعة ، وبين الاخراج من عينها ؛ فإذا كان تاجر ثياب يجوز أن يخرج من الثياب نفسها ، كما يجوز أن يخرج من قيمتها نقوداً ؛ وذلك ان
Apakah pedagang mengeluarkan zakatnya dari barang dagangan itu sendiri atau dari nilainya?
Setelah menilai barang dagangan, sebagaimana telah kami sebutkan, masih perlu diketahui: dari apa pedagang mengeluarkan zakatnya? Apakah boleh mengeluarkan sebagian dari barang dagangan yang dia miliki, atau mengeluarkan uang tunai senilai yang wajib?
Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat:
Abu Hanifah dan Syafi’i dalam salah satu pendapatnya berpendapat: bahwa pedagang diberi pilihan antara mengeluarkan zakat dari nilai barang dagangan, dan mengeluarkan dari barang dagangan itu sendiri; jika dia adalah pedagang pakaian, dia boleh mengeluarkan dari pakaian itu sendiri, sebagaimana dia boleh mengeluarkan uang tunai dari nilainya; dan itu karena
السلعة تجب فيها الزكاة فجاز اخراجها من عينها ، كسائر الأموال ( ۱ )
وهناك قول ثان للشافعي : انه يجب الاخراج من العين ولا يجوز من القيمة ( ٢ ) .
وقال المزنى : ان زكاة العروض من أعيانها لا من أثمانها ( ٣ ) .
ج – وقال أحمد والشافعي – في القول الآخر – بوجوب إخراج الزكاة من قيمة السلع لا من عينها ، لأن النصاب في التجارة معتبر بالقيمة ، فكانت الزكاة منها كالعين في سائر الأموال ( ٤ )
قال في المغني : ولا نسلم أن الزكاة وجبت في المال ، وإنما وجبت في قيمته ( ٥ )
وهذا الرأي الأخير هو الذي أرجحه نظراً لمصلحة الفقير ، فإنه يستطيع بالقيمة أن يشتري ما يلزم له ، أما عين السلعة فقد لا تنفعه ، فقد يكون في غنى عنها ، فيحتاج إلى بيعها بثمن بخس ، وهذا الرأي هو المتبع ، إذا كانت الحكومة هي التي تجمع الزكاة وتصرفها ؛ لأن ذلك هو الأليق والأيسر . ويمكن العمل بالرأي الأول في حالة واحدة بصفة استثنائية : أن يكون التاجر هو الذي يخرج زكاته بنفسه ، ويعلم أن الفقير في حاجة إلى عين السلعة ، فقد تحققت منفعته بها ، والمسألة دائرة على اعتبار المصلحة وليس فيها نص .
وبعد أن رجحت هذا رأيت لشيخ الإسلام ابن تيمية في فتاويه ما يؤيد هذا الترجيح : فقد سئل عن التاجر : هل يجوز أن يخرج قيمة ما وجب عليه من بعض الأصناف عنده ؟ فذكر في الجواب عن ذلك أقوالاً :
١ – يجوز مطلقاً .
٢ – لا يجوز مطلقاً .
٣ – يجوز في بعض الصور للحاجة أو المصلحة الراجحة .
قال : وهذا القول هو أعدل الأقوال ؛ فإن كان آخذ الزكاة يريد أن يشتري بها كسوة ، فاشترى رب المال له بها كسوة وأعطاه ، فقد أحسن اليه . وأما إذا قوم هو الثياب التي عنده وأعطاها ، فقد يقومها بأكثر من السعر ، وقد يأخذ الثياب من لا يحتاج اليها ، بل يبيعها ، فيغرم اجرة المنادي ( الدلال ) وربما خسرت فيكون في ذلك ضرر على الفقراء ) ( ١ ) .
———————–
١ – المغني ج ٣ ص ٣١ .
٢ – الروضة النووي ج ٢ ص ٢٧٣ .
٣ – بداية المجتهد ج ١ ص ٢٦٠ .
٤ – المغني ج ٢ ص ٣١ والروضة – المذكور .
٥ – المغني نفسه .
Barang dagangan yang wajib dizakati, maka boleh mengeluarkan zakat dari barang itu sendiri, seperti harta lainnya (1).
Ada pendapat kedua dari Imam Syafi’i: bahwa wajib mengeluarkan dari barang itu sendiri dan tidak boleh dari nilainya (2).
Al-Muzani berkata: bahwa zakat barang dagangan dari barangnya sendiri, bukan dari harganya (3).
C – Ahmad dan Syafi’i – dalam pendapat lain – berpendapat wajib mengeluarkan zakat dari nilai barang dagangan, bukan dari barangnya sendiri, karena nishab dalam perdagangan dianggap berdasarkan nilai, maka zakat darinya seperti uang tunai pada harta lainnya (4).
Dalam kitab Al-Mughni disebutkan: Kami tidak setuju bahwa zakat wajib atas harta, tetapi wajib atas nilainya (5).
Pendapat terakhir inilah yang saya kuatkan, dengan mempertimbangkan kemaslahatan fakir miskin, karena dengan nilai, ia dapat membeli apa yang dibutuhkannya, sedangkan barang dagangan itu sendiri mungkin tidak bermanfaat baginya, mungkin ia tidak membutuhkannya, sehingga ia perlu menjualnya dengan harga murah, dan pendapat inilah yang diikuti, jika pemerintah yang mengumpulkan dan menyalurkan zakat; karena itu lebih tepat dan mudah. Pendapat pertama dapat diterapkan dalam satu kondisi sebagai pengecualian: yaitu jika pedagang sendiri yang mengeluarkan zakatnya, dan mengetahui bahwa fakir miskin membutuhkan barang dagangan itu sendiri, maka manfaatnya telah terpenuhi, dan masalahnya berkisar pada pertimbangan kemaslahatan dan tidak ada nash (teks agama) di dalamnya.
Setelah saya menguatkan pendapat ini, saya melihat dalam fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang mendukung penguatan ini: Beliau ditanya tentang pedagang: Apakah boleh mengeluarkan nilai dari sebagian jenis barang yang wajib dizakati yang ada padanya? Maka beliau menyebutkan dalam jawabannya beberapa pendapat:
1 – Boleh secara mutlak.
2 – Tidak boleh secara mutlak.
3 – Boleh dalam beberapa kondisi untuk kebutuhan atau kemaslahatan yang lebih kuat.
Beliau berkata: Pendapat ini adalah pendapat yang paling adil; jika penerima zakat ingin membeli pakaian dengannya, lalu pemilik harta membeli pakaian untuknya dan memberikannya, maka dia telah berbuat baik kepadanya. Adapun jika dia menilai sendiri pakaian yang ada padanya dan memberikannya, maka dia mungkin menilainya lebih tinggi dari harga pasar, dan mungkin dia mengambil pakaian dari orang yang tidak membutuhkannya, tetapi menjualnya, sehingga dia harus membayar upah juru lelang (perantara), dan mungkin rugi, sehingga hal itu merugikan orang-orang fakir) (1).
—————————-
1 – Al-Mughni, jilid 3, halaman 31.
2 – Ar-Raudhah An-Nawawi, jilid 2, halaman 273.
3 – Bidayatul Mujtahid, jilid 1, halaman 260.
4 – Al-Mughni, jilid 2, halaman 31, dan Ar-Raudhah – yang disebutkan.
5 – Al-Mughni, itu sendiri.
Referensi
الموسوعة الفقهية الكويتيه ج ٢٣ص٢٦٨-٢٧٧
ثَالِثًا: زَكَاةُ عُرُوضِ التِّجَارَةِ:
٧٧ – التِّجَارَةُ تَقْلِيبُ الْمَال بِالْبَيْعِ وَالشِّرَاءِ لِغَرَضِ تَحْصِيل الرِّبْحِ (٢) .
وَالْعَرْضُ بِسُكُونِ الرَّاءِ، هُوَ كُل مَالٍ سِوَى النَّقْدَيْنِ، قَال الْجَوْهَرِيُّ: الْعَرْضُ الْمَتَاعُ، وَكُل شَيْءٍ فَهُوَ عَرْضٌ سِوَى الدَّرَاهِمِ وَالدَّنَانِيرِ فَإِنَّهُمَا عَيْنٌ، وَقَال أَبُو عُبَيْدٍ: الْعُرُوض الأَْمْتِعَةُ الَّتِي لاَ يَدْخُلُهَا كَيْلٌ وَلاَ وَزْنٌ وَلاَ يَكُونُ حَيَوَانًا وَلاَ عَقَارًا
أَمَّا الْعَرَضُ بِفَتْحَتَيْنِ فَهُوَ شَامِلٌ لِكُل أَنْوَاعِ الْمَال، قَل أَوْ كَثُرَ، قَال أَبُو عُبَيْدَةَ: جَمِيعُ مَتَاعِ الدُّنْيَا عَرَضٌ (١) . وَفِي الْحَدِيثِ: لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ (٢) .
وَعُرُوضُ التِّجَارَةِ جَمْعُ الْعَرْضِ بِسُكُونِ الرَّاءِ، وَهِيَ فِي اصْطِلاَحِ الْفُقَهَاءِ كُل مَا أُعِدَّ لِلتِّجَارَةِ كَائِنَةً مَا كَانَتْ سَوَاءٌ مِنْ جِنْسٍ تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ الْعَيْنِ كَالإِْبِل وَالْغَنَمِ وَالْبَقَرِ، أَوْ لاَ، كَالثِّيَابِ وَالْحَمِيرِ وَالْبِغَال (٣) .
حُكْمُ الزَّكَاةِ فِي عُرُوضِ التِّجَارَةِ:
٧٨ – جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ عَلَى أَنَّ الْمُفْتَى بِهِ هُوَ وُجُوبُ الزَّكَاةِ فِي عُرُوضِ التِّجَارَةِ، وَاسْتَدَلُّوا لِذَلِكَ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ} (٤)
وَبِحَدِيثِ سَمُرَةَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نَعُدُّ لِلْبَيْعِ (٥)
وَحَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ مَرْفُوعًا: فِي الإِْبِل صَدَقَتُهَا، وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا، وَفِي الْبَزِّ صَدَقَتُهَا (١) وَقَال حَمَاسٌ: مَرَّ بِي عُمَرُ فَقَال: أَدِّ زَكَاةَ مَالِكَ. فَقُلْتُ: مَا لِي إِلاَّ جِعَابُ أُدْمٍ. فَقَال: قَوِّمْهَا ثُمَّ أَدِّ زَكَاتَهَا. وَلأَِنَّهَا مُعَدَّةٌ لِلنَّمَاءِ بِإِعْدَادِ صَاحِبِهَا فَأَشْبَهَتِ الْمُعَدَّ لِذَلِكَ خِلْقَةً كَالسَّوَائِمِ وَالنَّقْدَيْنِ.
شُرُوطُ وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الْعُرُوضِ:
الشَّرْطُ الأَْوَّل: أَنْ لاَ يَكُونَ لِزَكَاتِهَا سَبَبٌ آخَرُ غَيْرُ كَوْنِهَا عُرُوضَ تِجَارَةٍ:
Zakat Harta Perdagangan
Ketiga: Zakat Harta Perdagangan.
Perdagangan adalah memutar harta dengan jual beli untuk tujuan memperoleh keuntungan.
‘Ardh (dengan sukun ra’) adalah setiap harta selain uang tunai. Al-Jauhari berkata, “‘Ardh adalah barang dagangan, dan segala sesuatu adalah ‘aradh selain dirham dan dinar, karena keduanya adalah ‘ain (uang tunai).” Abu Ubaid berkata, “‘Urudh adalah barang-barang yang tidak termasuk takaran atau timbangan, dan bukan hewan atau properti.” Adapun ‘aradh (dengan fathahain) mencakup semua jenis harta, sedikit atau banyak. Abu Ubaidah berkata, “Semua barang dunia adalah ‘aradh.” Dalam hadits disebutkan, “Kekayaan bukanlah karena banyaknya ‘aradh.”
‘Urudh at-tijarah adalah jamak dari ‘aradh (dengan sukun ra’), dan dalam istilah fuqaha adalah segala sesuatu yang disiapkan untuk diperdagangkan, apa pun itu, baik dari jenis yang wajib dizakati ‘ain seperti unta, kambing, dan sapi, atau tidak, seperti pakaian, keledai, dan bagal.
Hukum Zakat dalam Harta Perdagangan
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa yang difatwakan adalah wajibnya zakat dalam harta perdagangan. Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.”
Dan hadits Samurah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah dari apa yang kami siapkan untuk dijual.”
Dan hadits Abu Dzar marfu’, “Pada unta ada sedekahnya, pada kambing ada sedekahnya, dan pada kain ada sedekahnya.” Hammas berkata, “Umar lewat di hadapanku dan berkata, ‘Keluarkanlah zakat hartamu.’ Aku berkata, ‘Aku tidak punya apa-apa selain kantong kulit.’ Dia berkata, ‘Takarlah nilainya, kemudian keluarkanlah zakatnya.'” Karena harta perdagangan disiapkan untuk berkembang biak dengan persiapan pemiliknya, maka ia menyerupai harta yang disiapkan untuk itu secara alami seperti hewan ternak dan uang tunai.
Syarat Wajib Zakat dalam Harta Perdagangan
*Syarat pertama* : Bahwa zakatnya tidak memiliki sebab lain selain sebagai harta perdagangan.
أ – السَّوَائِمُ الَّتِي لِلتِّجَارَةِ:
٧٩ – فَلَوْ كَانَ لَدَيْهِ سَوَائِمُ لِلتِّجَارَةِ بَلَغَتْ نِصَابًا، فَلاَ تَجْتَمِعُ زَكَاتَانِ إِجْمَاعًا، لِحَدِيثِ: لاَ ثَنْيَ فِي الصَّدَقَةِ (٢) بَل يَكُونُ فِيهَا زَكَاةُ الْعَيْنِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ فِي الْجَدِيدِ، كَأَنْ كَانَ عِنْدَهُ خَمْسٌ مِنَ الإِْبِل لِلتِّجَارَةِ فَفِيهَا شَاةٌ، وَلاَ تُعْتَبَرُ الْقِيمَةُ، فَإِنْ كَانَتْ أَقَل مِنْ خَمْسٍ فَإِنَّهَا تُقَوَّمُ فَإِنْ بَلَغَتْ نِصَابًا مِنَ الأَْثْمَانِ وَجَبَتْ فِيهَا زَكَاةُ الْقِيمَةِ.
وَإِنَّمَا قَدَّمُوا زَكَاةَ الْعَيْنِ عَلَى زَكَاةِ التِّجَارَةِ لأَِنَّ زَكَاةَ الْعَيْنِ أَقْوَى ثُبُوتًا لاِنْعِقَادِ الإِْجْمَاعِ عَلَيْهَا، وَاخْتِصَاصِ الْعَيْنِ بِهَا، فَكَانَتْ أَوْلَى.
وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهَا تُزَكَّى زَكَاةَ التِّجَارَةِ لأَِنَّهَا أَحَظُّ لِلْمَسَاكِينِ؛ لأَِنَّهَا تَجِبُ فِيمَا زَادَ بِالْحِسَابِ، لَكِنْ قَال الْحَنَابِلَةُ: إِنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ نِصَابَ سَائِمَةٍ وَلَمْ تَبْلُغْ قِيمَتُهُ نِصَابًا مِنَ الأَْثْمَانِ فَلاَ تَسْقُطُ الزَّكَاةُ، بَل تَجِبُ زَكَاةُ السَّائِمَةِ، كَمَنْ عِنْدَهُ خَمْسٌ مِنَ الإِْبِل لِلتِّجَارَةِ لَمْ تَبْلُغْ قِيمَتُهَا مِائَتَيْ دِرْهَمٍ، فَفِيهَا شَاةٌ.
وَنَظِيرُ هَذَا عِنْدَ الْفُقَهَاءِ غَلَّةُ مَال التِّجَارَةِ، كَأَنْ يَكُونَ ثَمَرًا مِمَّا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ إِنْ كَانَ الشَّجَرُ لِلتِّجَارَةِ (١) .
ب – الْحُلِيُّ وَالْمَصْنُوعَاتُ الذَّهَبِيَّةُ وَالْفِضِّيَّةُ الَّتِي لِلتِّجَارَةِ:
٨٠ – أَمَّا الْمَصُوغَاتُ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ إِنْ كَانَتْ لِلتِّجَارَةِ، فَقَدْ ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ لَيْسَ فِيهَا زَكَاةٌ إِنْ كَانَتْ أَقَل مِنْ نِصَابٍ بِالْوَزْنِ، وَلَوْ زَادَتْ قِيمَتُهَا عَنْ نِصَابٍ بِسَبَبِ الْجَوْدَةِ أَوِ الصَّنْعَةِ، وَيُزَكَّى عَلَى أَسَاسِ الْقِيمَةِ الشَّامِلَةِ أَيْضًا لِمَا فِيهِ مِنَ الْجَوَاهِرِ الْمُرَصَّعَةِ (٢) .
A. Hewan Ternak yang Diperdagangkan:
Jika seseorang memiliki hewan ternak yang diperdagangkan dan mencapai nishab, maka tidak ada penggabungan dua zakat secara ijma’. Hal ini berdasarkan hadits: “Tidak ada pengulangan dalam sedekah.” Sebaliknya, yang berlaku adalah zakat ‘ain (zakat hewan ternak itu sendiri) menurut Malikiyah dan Syafi’iyah dalam pendapat baru mereka. Misalnya, jika seseorang memiliki lima ekor unta yang diperdagangkan, maka zakatnya adalah seekor kambing, dan nilai unta tersebut tidak diperhitungkan. Jika kurang dari lima ekor, maka nilainya ditaksir, dan jika mencapai nishab dari harga, maka wajib zakat nilai.
Mereka (Malikiyah dan Syafi’iyah) mendahulukan zakat ‘ain daripada zakat perdagangan karena zakat ‘ain lebih kuat penetapannya karena adanya ijma’ atasnya dan kekhususan ‘ain dengannya, sehingga lebih utama.
Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa hewan ternak tersebut dizakati sebagai zakat perdagangan karena lebih menguntungkan bagi orang miskin, karena wajib atas kelebihan berdasarkan perhitungan. Namun, Hanabilah berkata: Jika hewan ternak tersebut mencapai nishab hewan ternak dan nilainya tidak mencapai nishab dari harga, maka zakat tidak gugur, tetapi wajib zakat hewan ternak. Misalnya, seseorang memiliki lima ekor unta yang diperdagangkan, dan nilainya tidak mencapai dua ratus dirham, maka zakatnya adalah seekor kambing.
Hal serupa dalam pandangan fuqaha adalah hasil dari harta perdagangan, seperti buah-buahan yang wajib dizakati jika pohonnya diperdagangkan.
B. Perhiasan dan Barang-barang yang Terbuat dari Emas dan Perak yang Diperdagangkan:
Adapun barang-barang yang terbuat dari emas dan perak jika diperdagangkan, maka Malikiyah berpendapat bahwa tidak ada zakat atasnya jika kurang dari nishab berdasarkan berat, meskipun nilainya melebihi nishab karena kualitas atau pengerjaan. Zakat dihitung berdasarkan nilai yang mencakup juga permata yang bertatahkan.
أَمَّا الْحَنَابِلَةُ فَقَدْ صَرَّحُوا بِأَنَّ الصِّنَاعَةَ الْمُحَرَّمَةَ لاَ تُقَوَّمُ لِعَدَمِ الاِعْتِدَادِ بِهَا شَرْعًا، أَمَّا الصَّنْعَةُ الْمُبَاحَةُ فَتَدْخُل فِي التَّقْوِيمِ إِنْ كَانَ الْحُلِيُّ لِلتِّجَارَةِ، وَيُعْتَبَرُ النِّصَابُ بِالْقِيمَةِ كَسَائِرِ أَمْوَال التِّجَارَةِ، وَيُقَوَّمُ بِنَقْدٍ آخَرَ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ، فَإِنْ كَانَ مِنْ ذَهَبٍ قُوِّمَ بِفِضَّةٍ، وَبِالْعَكْسِ، إِنْ كَانَ تَقْوِيمُهُ بِنَقْدٍ آخَرَ أَحَظَّ لِلْفُقَرَاءِ، أَوْ نَقَصَ عَنْ نِصَابِهِ، كَخَوَاتِمَ فِضَّةٍ لِتِجَارَةٍ زِنَتُهَا (مِائَةٌ وَتِسْعُونَ دِرْهَمًا) وَقِيمَتُهَا (عِشْرُونَ) مِثْقَالاً ذَهَبًا، فَيُزَكِّيهَا بِرُبُعِ عُشْرِ قِيمَتِهَا، فَإِنْ كَانَ وَزْنُهَا (مِائَتَيْ) دِرْهَمٍ، وَقِيمَتُهَا تِسْعَةَ عَشَرَ مِثْقَالاً وَجَبَ أَنْ لاَ تُقَوَّمَ، وَأَخْرَجَ رُبُعَ عُشْرِهَا (١) .
وَيَظْهَرُ مِنْ كَلاَمِ ابْنِ عَابِدِينَ أَنَّ مَذْهَبَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ الْعِبْرَةَ فِي الْحُلِيِّ وَالْمَصْنُوعِ مِنَ النَّقْدَيْنِ بِالْوَزْنِ مِنْ حَيْثُ النِّصَابُ وَمِنْ حَيْثُ قَدْرُ الْمُخْرَجِ، وَعِنْدَ زُفَرَ الْمُعْتَبَرُ الْقِيمَةُ، وَعِنْدَ مُحَمَّدٍ الأَْنْفَعُ لِلْفُقَرَاءِ (٢) .
وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ فِي مَصُوغِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ الَّذِي لِلتِّجَارَةِ هَل يُزَكَّى زَكَاةَ الْعَيْنِ أَوْ زَكَاةَ الْقِيمَةِ قَوْلاَنِ (٣) .
ج – الأَْرَاضِي الزِّرَاعِيَّةُ الَّتِي لِلتِّجَارَةِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا:
Menurut Mazhab Hanbali:
Mereka secara tegas menyatakan bahwa kerajinan yang haram tidak dinilai karena tidak diakui secara syariat.
Adapun kerajinan yang mubah (diperbolehkan), maka dimasukkan dalam penilaian jika perhiasan tersebut untuk tujuan perdagangan.
Nishab (batas minimum wajib zakat) dihitung berdasarkan nilai, seperti halnya harta perdagangan lainnya.
Penilaian dilakukan dengan mata uang lain yang berbeda jenisnya. Jika berupa emas, dinilai dengan perak, dan sebaliknya, jika penilaian dengan mata uang lain lebih menguntungkan bagi fakir miskin, atau jika kurang dari nishabnya.
Contoh: Cincin perak untuk perdagangan dengan berat 190 dirham dan nilai 20 mitsqal emas, maka dizakati sebesar seperempat dari sepersepuluh nilainya.
Jika beratnya 200 dirham dan nilainya 19 mitsqal, maka tidak wajib dinilai, dan dikeluarkan seperempat dari sepersepuluhnya.
Pendapat Ibnu Abidin dari Mazhab Hanafi:
Tampak dari perkataan Ibnu Abidin bahwa mazhab Hanafi berpendapat bahwa yang menjadi patokan dalam perhiasan dan barang yang terbuat dari dua logam mulia (emas dan perak) adalah beratnya, baik dari segi nishab maupun dari segi kadar yang dikeluarkan.
Menurut Zufar, yang menjadi patokan adalah nilai.
Menurut Muhammad, yang paling bermanfaat bagi fakir miskin.
Menurut Mazhab Syafi’i:
Dalam hal barang yang terbuat dari emas dan perak yang diperdagangkan, terdapat dua pendapat mengenai apakah dizakati sebagai zakat ‘ain (barang itu sendiri) atau zakat nilai.
C. Lahan Pertanian untuk Perdagangan dan Hasilnya:
٨١ – ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي الْخَارِجِ مِنَ الأَْرْضِ الزِّرَاعِيَّةِ مِنْ ثَمَرٍ أَوْ زَرْعٍ، وَلاَ يَجِبُ الزَّكَاةُ فِي قِيمَةِ الأَْرْضِ الْعُشْرِيَّةِ وَلَوْ كَانَتْ لِلتِّجَارَةِ، وَهَذَا إِنْ كَانَ قَدْ زَرَعَ الأَْرْضَ الْعُشْرِيَّةَ فِعْلاً وَوَجَبَ فِيهَا الْعُشْرُ؛ لِئَلاَّ يَجْتَمِعَ حَقَّانِ لِلَّهِ تَعَالَى فِي مَالٍ وَاحِدٍ. فَإِنْ لَمْ يَزْرَعْهَا تَجِبُ زَكَاةُ التِّجَارَةِ فِيهَا لِعَدَمِ وُجُوبِ الْعُشْرِ، فَلَمْ يُوجَدِ الْمَانِعُ، بِخِلاَفِ الْخَرَاجِ الْمُوَظَّفِ فَإِنَّهُ يَجِبُ فِيهَا وَلَوْ عُطِّلَتْ أَيْ لأَِنَّهُ كَالأُْجْرَةِ (١)
81. Mazhab Hanafi berpendapat:
Zakat wajib dikeluarkan dari hasil bumi pertanian, baik berupa buah-buahan maupun tanaman.
Zakat tidak wajib atas nilai tanah ‘ushriyah (tanah yang dikenakan ‘ushr), meskipun tanah tersebut diperdagangkan.
Hal ini berlaku jika tanah ‘ushriyah tersebut benar-benar ditanami dan ‘ushr wajib atasnya, agar tidak terkumpul dua hak Allah Ta’ala dalam satu harta.
Jika tanah tersebut tidak ditanami, maka zakat perdagangan wajib atasnya karena ‘ushr tidak wajib, sehingga tidak ada penghalang.
Berbeda dengan kharaj (pajak tanah) yang ditetapkan, maka wajib atasnya meskipun tidak ditanami, karena ia seperti sewa.
Adapun menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali:
Zakat atas pokok tanah wajib seperti halnya barang dagangan lainnya dalam segala kondisi.
Kemudian, mayoritas ulama berbeda pendapat dalam cara menzakati hasil bumi:
Secara umum, dalam Islam, zakat hasil pertanian, seperti gandum dan kurma, dikenakan jika mencapai nishab (batas minimum). Besaran zakatnya berbeda tergantung cara pengairannya:
10% jika diairi dengan air hujan atau sungai alami.
5% jika diairi dengan alat atau biaya tambahan.
Perbedaan pendapat ini terjadi karena adanya perbedaan dalam penafsiran nash-nash yang ada, serta perbedaan dalam melihat kemaslahatan.
أَمَّا عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ فَيَجِبُ زَكَاةُ رَقَبَةِ الأَْرْضِ كَسَائِرِ عُرُوضِ التِّجَارَةِ بِكُل حَالٍ.
ثُمَّ اخْتَلَفَ الْجُمْهُورُ فِي كَيْفِيَّةِ تَزْكِيَةِ الْغَلَّةِ.
“Adapun menurut Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, zakat atas pokok tanah wajib seperti halnya barang dagangan lainnya dalam segala kondisi. Kemudian, mayoritas ulama berbeda pendapat dalam cara menzakati hasil bumi
فَمَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّ النَّاتِجَ مِنَ الأَْرْضِ الزِّرَاعِيَّةِ الَّتِي لِلتِّجَارَةِ لاَ زَكَاةَ فِي قِيمَتِهِ فِي عَامِهِ اتِّفَاقًا إِنْ كَانَتْ قَدْ وَجَبَتْ فِيهِ زَكَاةُ النَّبَاتِ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ فِيهِ لِنَقْصِهِ عَنْ نِصَابِ الزَّرْعِ أَوِ الثَّمَرِ، تَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ التِّجَارَةِ، وَكَذَا فِي عَامِهِ الثَّانِي وَمَا بَعْدَهُ (٢) .
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ عَلَى الأَْصَحِّ عِنْدَهُمْ وَالْقَاضِي مِنَ الْحَنَابِلَةِ: يُزَكَّى الْجَمِيعُ زَكَاةَ الْقِيمَةِ، لأَِنَّهُ كُلَّهُ مَال تِجَارَةٍ، فَتَجِبُ فِيهِ زَكَاةُ التِّجَارَةِ، كَالسَّائِمَةِ الْمُعَدَّةِ لِلتِّجَارَةِ. قَال الشَّافِعِيَّةُ: وَيُزَكَّى التِّبْنُ أَيْضًا وَالأَْغْصَانُ
وَالأَْوْرَاقُ وَغَيْرُهَا إِنْ كَانَ لَهَا قِيمَةٌ، كَسَائِرِ مَال التِّجَارَةِ (١) .
وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ وَأَبُو ثَوْرٍ إِلَى أَنَّهُ يَجْتَمِعُ فِي الْعُشْرِيَّةِ الْعُشْرُ وَزَكَاةُ التِّجَارَةِ، لأَِنَّ زَكَاةَ التِّجَارَةِ فِي الْقِيمَةِ، وَالْعُشْرَ فِي الْخَارِجِ، فَلَمْ يَجْتَمِعَا فِي شَيْءٍ وَاحِدٍ؛ وَلأَِنَّ زَكَاةَ الْعُشْرِ فِي الْغَلَّةِ أَحَظُّ لِلْفُقَرَاءِ مِنْ زَكَاةِ التِّجَارَةِ فَإِنَّهَا رُبُعُ الْعُشْرِ، وَمِنْ هُنَا فَارَقَتْ عِنْدَهُمْ زَكَاةَ السَّائِمَةِ الْمُتَّجَرِ بِهَا، فَإِنَّ زَكَاةَ السَّوْمِ أَقَل مِنْ زَكَاةِ التِّجَارَةِ (٢)
“Mazhab Maliki berpendapat bahwa hasil dari tanah pertanian yang diperuntukkan untuk perdagangan tidak dikenakan zakat atas nilainya pada tahun itu, secara sepakat, jika telah dikenakan zakat tanaman. Namun, jika tidak dikenakan karena kurang dari nisab tanaman atau buah, maka dikenakan zakat perdagangan, begitu pula pada tahun kedua dan seterusnya.
Mazhab Syafi’i, menurut pendapat yang paling sahih di antara mereka, dan Qadhi dari mazhab Hanbali, berpendapat: semua hasil pertanian dikenakan zakat atas nilainya, karena semuanya adalah harta perdagangan, sehingga dikenakan zakat perdagangan, seperti hewan ternak yang diperuntukkan untuk perdagangan. Mazhab Syafi’i mengatakan: jerami, ranting, daun, dan lainnya juga dikenakan zakat jika memiliki nilai, seperti halnya harta perdagangan lainnya.
Mazhab Hanbali dan Abu Tsaur berpendapat bahwa dalam tanah pertanian yang dikenakan sepersepuluh (usyur), dikenakan baik sepersepuluh maupun zakat perdagangan, karena zakat perdagangan dikenakan atas nilai, sedangkan sepersepuluh dikenakan atas hasil panen, sehingga keduanya tidak dikenakan pada hal yang sama. Selain itu, zakat sepersepuluh atas hasil panen lebih menguntungkan bagi fakir miskin daripada zakat perdagangan, yang hanya seperempat dari sepersepuluh. Dari sini, mereka membedakan dengan zakat hewan ternak yang diperdagangkan, karena zakat hewan ternak lebih sedikit daripada zakat perdagangan.”
الشَّرْطُ الثَّانِي: تَمَلُّكُ الْعَرْضِ بِمُعَاوَضَةٍ:
٨٢ – يُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ قَدْ تَمَلَّكَ الْعَرْضَ بِمُعَاوَضَةٍ كَشِرَاءٍ بِنَقْدٍ أَوْ عَرْضٍ أَوْ بِدَيْنٍ حَالٍّ أَوْ مُؤَجَّلٍ، وَكَذَا لَوْ كَانَ مَهْرًا أَوْ عِوَضَ خُلْعٍ.
وَهَذَا مَذْهَبُ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَّافِعِيَّةِ، وَمُحَمَّدٍ، فَلَوْ مَلَكَهُ بِإِرْثٍ أَوْ بِهِبَةٍ أَوِ احْتِطَابٍ أَوِ اسْتِرْدَادٍ بِعَيْبٍ وَاسْتِغْلاَل أَرْضِهِ بِالزِّرَاعَةِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ فَلاَ زَكَاةَ فِيهِ.
قَالُوا: لأَِنَّ التِّجَارَةَ كَسْبُ الْمَال بِبَدَلٍ هُوَ مَالٌ، وَقَبُول الْهِبَةِ مَثَلاً اكْتِسَابٌ بِغَيْرِ بَدَلٍ أَصْلاً.
وَعِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ فِي مُقَابِل الأَْصَحِّ أَنَّ الْمَهْرَ
وَعِوَضَ الْخُلْعِ لاَ يُزَكَّيَانِ زَكَاةَ التِّجَارَةِ.
وَقَال الْحَنَابِلَةُ وَأَبُو يُوسُفَ: الشَّرْطُ أَنْ يَكُونَ قَدْ مَلَكَهُ بِفِعْلِهِ، سَوَاءٌ كَانَ بِمُعَاوَضَةٍ أَوْ غَيْرِهَا مِنْ أَفْعَالِهِ، كَالاِحْتِطَابِ وَقَبُول الْهِبَةِ، فَإِنْ دَخَل فِي مِلْكِهِ بِغَيْرِ فِعْلِهِ، كَالْمَوْرُوثِ، أَوْ مُضِيِّ حَوْل التَّعْرِيفِ فِي اللُّقَطَةِ، فَلاَ زَكَاةَ فِيهِ.
وَفِي رِوَايَةٍ عَنْ أَحْمَدَ: لاَ يُعْتَبَرُ أَنْ يَمْلِكَ الْعَرْضَ بِفِعْلِهِ، وَلاَ أَنْ يَكُونَ فِي مُقَابَلَةِ عِوَضٍ، بَل أَيُّ عَرْضٍ نَوَاهُ لِلتِّجَارَةِ كَانَ لَهَا (١) ، لِحَدِيثِ سَمُرَةَ: أَمَرَنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِي نَعُدُّ لِلْبَيْعِ (٢)
*“Syarat Kedua:* Kepemilikan Harta Melalui Pertukaran
82 – Disyaratkan bahwa harta tersebut diperoleh melalui pertukaran, seperti pembelian dengan uang tunai, barang, atau hutang yang segera atau ditangguhkan. Demikian pula jika harta tersebut diperoleh sebagai mahar atau pengganti khulu’.
Ini adalah mazhab Maliki, Syafi’i, dan Muhammad. Jika harta tersebut diperoleh melalui warisan, hibah, hasil pemungutan kayu bakar, pengembalian karena cacat, atau pemanfaatan tanah melalui pertanian atau sejenisnya, maka tidak ada zakat atasnya.
Mereka berkata: Karena perdagangan adalah memperoleh harta dengan pengganti yang juga berupa harta, sedangkan menerima hibah, misalnya, adalah memperoleh harta tanpa pengganti sama sekali.
Menurut mazhab Syafi’i, dalam pendapat yang berlawanan dengan pendapat yang paling sahih, mahar dan pengganti khulu’ tidak dikenakan zakat perdagangan.
Mazhab Hanbali dan Abu Yusuf berpendapat: Syaratnya adalah harta tersebut diperoleh melalui perbuatannya sendiri, baik melalui pertukaran maupun perbuatan lainnya, seperti memungut kayu bakar dan menerima hibah. Jika harta tersebut masuk ke dalam kepemilikannya bukan melalui perbuatannya sendiri, seperti warisan atau berakhirnya masa pengumuman barang temuan, maka tidak ada zakat atasnya.
Dalam riwayat dari Ahmad, tidak dianggap syarat bahwa harta tersebut diperoleh melalui perbuatannya sendiri, atau bahwa harta tersebut diperoleh sebagai pengganti. Bahkan, harta apa pun yang diniatkan untuk perdagangan, maka dikenakan zakat perdagangan, berdasarkan hadis Samurah: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mengeluarkan sedekah dari apa yang kami siapkan untuk dijual.”
الشَّرْطُ الثَّالِثُ: نِيَّةُ التِّجَارَةِ:
٨٣ – اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّهُ يُشْتَرَطُ فِي زَكَاةِ مَال التِّجَارَةِ أَنْ يَكُونَ قَدْ نَوَى عِنْدَ شِرَائِهِ أَوْ تَمَلُّكِهِ أَنَّهُ لِلتِّجَارَةِ، وَالنِّيَّةُ الْمُعْتَبَرَةُ هِيَ مَا كَانَتْ مُقَارِنَةً لِدُخُولِهِ فِي مِلْكِهِ؛ لأَِنَّ التِّجَارَةَ عَمَلٌ فَيَحْتَاجُ إِلَى النِّيَّةِ مَعَ الْعَمَل، فَلَوْ مَلَكَهُ لِلْقُنْيَةِ ثُمَّ نَوَاهُ لِلتِّجَارَةِ لَمْ يَصِرْ لَهَا، وَلَوْ مَلَكَ لِلتِّجَارَةِ ثُمَّ نَوَاهُ لِلْقُنْيَةِ وَأَنْ لاَ يَكُونَ لِلتِّجَارَةِ صَارَ لِلْقُنْيَةِ، وَخَرَجَ عَنْ أَنْ يَكُونَ مَحَلًّا لِلزَّكَاةِ وَلَوْ عَادَ فَنَوَاهُ لِلتِّجَارَةِ لأَِنَّ تَرْكَ التِّجَارَةِ، مِنْ قَبِيل التُّرُوكِ، وَالتَّرْكُ يُكْتَفَى فِيهِ بِالنِّيَّةِ كَالصَّوْمِ. قَال الدُّسُوقِيُّ: وَلأَِنَّ النِّيَّةَ سَبَبٌ ضَعِيفٌ تَنْقُل إِلَى الأَْصْل وَلاَ تَنْقُل عَنْهُ، وَالأَْصْل فِي الْعُرُوضِ الْقُنْيَةُ. وَقَال ابْنُ الْهُمَامِ: لَمَّا لَمْ تَكُنِ الْعُرُوض لِلتِّجَارَةِ خِلْقَةً فَلاَ تَصِيرُ لَهَا إِلاَّ بِقَصْدِهَا فِيهِ.
وَاسْتَثْنَى الْحَنَفِيَّةُ مِمَّا يَحْتَاجُ لِلنِّيَّةِ مَا يَشْتَرِيهِ الْمُضَارِبُ، فَإِنَّهُ يَكُونُ لِلتِّجَارَةِ مُطْلَقًا؛ لأَِنَّهُ لاَ يَمْلِكُ بِمَال الْمُضَارَبَةِ غَيْرَ الْمُتَاجَرَةِ بِهِ.
وَلَوْ أَنَّهُ آجَرَ دَارَهُ الْمُشْتَرَاةَ لِلتِّجَارَةِ بِعَرْضٍ، فَعِنْدَ بَعْضِ الْحَنَفِيَّةِ لاَ يَكُونُ الْعَرْضُ لِلتِّجَارَةِ إِلاَّ بِنِيَّتِهَا، وَقَال بَعْضُهُمْ: هُوَ لِلتِّجَارَةِ بِغَيْرِ نِيَّةٍ.
قَال الْمَالِكِيَّةُ: وَلَوْ قَرَنَ بِنِيَّةِ التِّجَارَةِ نِيَّةَ اسْتِغْلاَل الْعَرْضِ، بِأَنْ يَنْوِيَ عِنْدَ شِرَائِهِ أَنْ يُكْرِيَهُ وَإِنْ وَجَدَ رِبْحًا بَاعَهُ، فَفِيهِ الزَّكَاةُ عَلَى الْمُرَجَّحِ عِنْدَهُمْ، وَكَذَا لَوْ نَوَى مَعَ التِّجَارَةِ الْقُنْيَةَ بِأَنْ يَنْوِيَ الاِنْتِفَاعَ بِالشَّيْءِ كَرُكُوبِ الدَّابَّةِ أَوْ سُكْنَى الْمَنْزِل ثُمَّ إِنْ وَجَدَ رِبْحًا بَاعَهُ.
قَالُوا: فَإِنْ مَلَكَهُ لِلْقُنْيَةِ فَقَطْ، أَوْ لِلْغَلَّةِ فَقَطْ أَوْ لَهُمَا، أَوْ بِلاَ نِيَّةٍ أَصْلاً فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ (١)
*“Syarat Ketiga:* Niat untuk Berdagang
83 – Para ahli fikih sepakat bahwa disyaratkan dalam zakat harta perdagangan agar seseorang telah berniat ketika membeli atau memiliki harta tersebut bahwa itu untuk perdagangan. Niat yang dianggap sah adalah niat yang menyertai masuknya harta ke dalam kepemilikannya. Karena perdagangan adalah tindakan, maka diperlukan niat yang menyertai tindakan tersebut. Jika seseorang memiliki harta untuk kepemilikan pribadi, kemudian berniat untuk memperdagangkannya, maka harta tersebut tidak menjadi harta perdagangan. Jika seseorang memiliki harta untuk perdagangan, kemudian berniat untuk kepemilikan pribadi dan tidak untuk perdagangan, maka harta tersebut menjadi harta kepemilikan pribadi dan keluar dari status sebagai objek zakat, meskipun kemudian ia berniat untuk memperdagangkannya lagi. Karena meninggalkan perdagangan termasuk dalam kategori tindakan yang ditinggalkan, dan dalam hal ini cukup dengan niat, seperti puasa. Imam Dasuqi berkata: Karena niat adalah sebab yang lemah, yang memindahkan harta ke asal (perdagangan) tetapi tidak memindahkannya dari asal (kepemilikan pribadi), dan asal dari barang dagangan adalah kepemilikan pribadi. Ibnu Humam berkata: Karena barang dagangan pada dasarnya bukan untuk perdagangan, maka tidak menjadi harta perdagangan kecuali dengan niat untuk itu.
Mazhab Hanafi mengecualikan dari apa yang memerlukan niat, yaitu apa yang dibeli oleh mudharib (pengelola modal), karena itu menjadi harta perdagangan secara mutlak. Karena mudharib tidak memiliki hak untuk menggunakan modal mudharabah selain untuk perdagangan.
Jika seseorang menyewakan rumahnya yang dibeli untuk perdagangan dengan barang dagangan lain, maka menurut sebagian ulama mazhab Hanafi, barang dagangan tersebut tidak menjadi harta perdagangan kecuali dengan niat. Sebagian yang lain berkata: itu menjadi harta perdagangan tanpa niat.
Mazhab Maliki berkata: Jika seseorang menggabungkan niat perdagangan dengan niat memanfaatkan barang dagangan, dengan berniat ketika membelinya untuk menyewakannya dan jika menemukan keuntungan, ia akan menjualnya, maka menurut pendapat yang kuat di antara mereka, dikenakan zakat. Demikian pula jika ia berniat untuk perdagangan sekaligus kepemilikan pribadi, dengan berniat untuk memanfaatkan barang tersebut, seperti menunggangi hewan atau tinggal di rumah, kemudian jika menemukan keuntungan, ia akan menjualnya.
Mereka berkata: Jika seseorang memiliki harta hanya untuk kepemilikan pribadi, atau hanya untuk hasil panen, atau untuk keduanya, atau tanpa niat sama sekali, maka tidak ada zakat atasnya.”
الشَّرْطُ الرَّابِعُ: بُلُوغُ النِّصَابِ:
٨٤ – وَنِصَابُ الْعُرُوضِ بِالْقِيمَةِ، وَيُقَوَّمُ بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ، فَلاَ زَكَاةَ فِي مَا يَمْلِكُهُ الإِْنْسَانُ مِنَ الْعُرُوضِ إِنْ كَانَتْ قِيمَتُهَا أَقَل مِنْ نِصَابِ الزَّكَاةِ فِي الذَّهَبِ أَوِ الْفِضَّةِ، مَا لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مِنَ الذَّهَبِ أَوِ الْفِضَّةِ نِصَابٌ أَوْ تَكْمِلَةُ نِصَابٍ.
وَتُضَمُّ الْعُرُوضُ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ فِي تَكْمِيل النِّصَابِ وَإِنِ اخْتَلَفَتْ أَجْنَاسُهَا.
وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيمَا تُقَوَّمُ بِهِ عُرُوضُ التِّجَارَةِ: بِالذَّهَبِ أَمْ بِالْفِضَّةِ.
فَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ وَأَبُو حَنِيفَةَ فِي رِوَايَةٍ عَنْهُ عَلَيْهَا الْمَذْهَبُ، إِلَى أَنَّهَا تُقَوَّمُ بِالأَْحَظِّ لِلْفُقَرَاءِ، فَإِنْ كَانَ إِذَا قَوَّمَهَا بِأَحَدِهِمَا لاَ تَبْلُغُ نِصَابًا وَبِالآْخَرِ تَبْلُغُ نِصَابًا تَعَيَّنَ عَلَيْهِ التَّقْوِيمُ بِمَا يَبْلُغُ نِصَابًا.
وَقَال أَبُو حَنِيفَةَ فِي رِوَايَةٍ عَنْهُ: يُخَيَّرُ الْمَالِكُ فِيمَا يُقَوِّمُ بِهِ لأَِنَّ الثَّمَنَيْنِ فِي تَقْدِيرِ قِيَمِ الأَْشْيَاءِ بِهِمَا سَوَاءٌ (١) .
وَقَال الشَّافِعِيَّةُ وَأَبُو يُوسُفَ: يُقَوِّمُهَا بِمَا اشْتَرَى بِهِ مِنَ النَّقْدَيْنِ، وَإِنِ اشْتَرَاهَا بِعَرْضٍ قَوَّمَهَا بِالنَّقْدِ الْغَالِبِ فِي الْبَلَدِ، وَقَال مُحَمَّدٌ: يُقَوِّمُهَا بِالنَّقْدِ الْغَالِبِ عَلَى كُل حَالٍ كَمَا فِي الْمَغْصُوبِ وَالْمُسْتَهْلَكِ.
وَلَمْ نَجِدْ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ تَعَرُّضًا لِمَا تُقَوَّمُ بِهِ السِّلَعُ، مَعَ أَنَّهُمْ قَالُوا: إِنَّهَا لاَ زَكَاةَ فِيهَا مَا لَمْ تَبْلُغْ نِصَابًا
. نَقْصُ قِيمَةِ التِّجَارَةِ فِي الْحَوْل عَنِ النِّصَابِ
*“Syarat Keempat:*
Mencapai Nisab
84 – Nisab barang dagangan dihitung berdasarkan nilai, dan dinilai dengan emas atau perak. Tidak ada zakat atas barang dagangan yang dimiliki seseorang jika nilainya kurang dari nisab zakat emas atau perak, kecuali jika ia memiliki emas atau perak yang mencapai nisab atau pelengkap nisab.
Barang dagangan digabungkan satu sama lain dalam melengkapi nisab, meskipun jenisnya berbeda.
Para ahli fikih berbeda pendapat tentang apa yang digunakan untuk menilai barang dagangan: emas atau perak.
Mazhab Hanbali dan Abu Hanifah, dalam riwayat yang menjadi dasar mazhabnya, berpendapat bahwa barang dagangan dinilai dengan yang paling menguntungkan bagi fakir miskin. Jika penilaian dengan salah satu dari keduanya tidak mencapai nisab, sedangkan dengan yang lain mencapai nisab, maka wajib baginya untuk menilai dengan yang mencapai nisab.
Abu Hanifah, dalam riwayat lain, berpendapat: Pemilik diberi pilihan dalam menilai barang dagangannya, karena kedua mata uang tersebut sama dalam perkiraan nilai barang.
Mazhab Syafi’i dan Abu Yusuf berpendapat: Barang dagangan dinilai dengan mata uang yang digunakan untuk membelinya. Jika dibeli dengan barang dagangan lain, maka dinilai dengan mata uang yang umum di negara tersebut. Muhammad berpendapat: Barang dagangan dinilai dengan mata uang yang umum dalam segala kondisi, seperti dalam kasus barang yang dirampas dan barang yang dikonsumsi.
Kami tidak menemukan dalam mazhab Maliki pembahasan tentang apa yang digunakan untuk menilai barang dagangan, meskipun mereka mengatakan bahwa tidak ada zakat atasnya kecuali jika mencapai nisab.
Penurunan Nilai Perdagangan di Tengah Tahun dari Nisab”
٨٥ – ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ عَلَى الْقَوْل الْمَنْصُوصِ إِلَى أَنَّ الْمُعْتَبَرَ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ الْقِيمَةُ فِي آخِرِ الْحَوْل، فَلَوْ كَانَتْ قِيمَةُ الْعُرُوضِ فِي أَوَّل الْحَوْل أَقَل مِنْ نِصَابٍ ثُمَّ بَلَغَتْ فِي آخِرِ الْحَوْل نِصَابًا وَجَبَتْ فِيهَا الزَّكَاةُ، وَهَذَا خِلاَفًا لِزَكَاةِ الْعَيْنِ فَلاَ بُدَّ فِيهَا عِنْدَهُمْ مِنْ وُجُودِ النِّصَابِ فِي الْحَوْل كُلِّهِ. قَالُوا: لأَِنَّ الاِعْتِبَارَ فِي الْعُرُوضِ بِالْقِيمَةِ، وَيَعْسُرُ مُرَاعَاتُهَا كُل وَقْتٍ لاِضْطِرَابِ الأَْسْعَارِ ارْتِفَاعًا وَانْخِفَاضًا فَاكْتُفِيَ بِاعْتِبَارِهَا فِي وَقْتِ الْوُجُوبِ، قَال الشَّافِعِيَّةُ: فَلَوْ تَمَّ الْحَوْل وَقِيمَةُ الْعَرْضِ أَقَل مِنْ نِصَابٍ فَإِنَّهُ يَبْطُل الْحَوْل الأَْوَّل وَيَبْتَدِئُ حَوْلٌ جَدِيدٌ.
وَقَال الْحَنَفِيَّةُ وَهُوَ قَوْلٌ ثَانٍ لِلشَّافِعِيَّةِ: الْمُعْتَبَرُ طَرَفَا الْحَوْل، لأَِنَّ التَّقْوِيمَ يَشُقُّ فِي جَمِيعِ الْحَوْل فَاعْتُبِرَ أَوَّلُهُ لِلاِنْعِقَادِ وَتَحَقُّقِ الْغِنَى، وَآخِرُهُ لِلْوُجُوبِ، وَلَوِ انْعَدَمَ بِهَلاَكِ الْكُل فِي أَثْنَاءِ الْحَوْل بَطَل حُكْمُ الْحَوْل.
وَقَال الْحَنَابِلَةُ وَهُوَ قَوْلٌ ثَالِثٌ لِلشَّافِعِيَّةِ: الْمُعْتَبَرُ كُل الْحَوْل كَمَا فِي النَّقْدَيْنِ، فَلَوْ نَقَصَتِ الْقِيمَةُ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْل لَمْ تَجِبِ الزَّكَاةُ، وَلَوْ كَانَتْ قِيمَةُ الْعَرْضِ مِنْ حِينَ مَلَكَهُ أَقَل مِنْ نِصَابٍ فَلاَ يَنْعَقِدُ الْحَوْل عَلَيْهِ حَتَّى تَتِمَّ قِيمَتُهُ نِصَابًا، وَالزِّيَادَةُ مُعْتَبَرَةٌ سَوَاءٌ كَانَتْ بِارْتِفَاعِ الأَْسْعَارِ، أَوْ بِنَمَاءِ الْعَرْضِ، أَوْ بِأَنْ بَاعَهَا بِنِصَابٍ، أَوْ مَلَكَ عَرْضًا آخَرَ أَوْ أَثْمَانًا كَمَّل بِهَا النِّصَابَ (١)
“85 – Mazhab Maliki dan Syafi’i, menurut pendapat yang dinaskan, berpendapat bahwa yang dianggap dalam kewajiban zakat adalah nilai pada akhir tahun. Jika nilai barang dagangan pada awal tahun kurang dari nisab, kemudian pada akhir tahun mencapai nisab, maka wajib zakat atasnya. Ini berbeda dengan zakat mata uang, yang menurut mereka harus ada nisab sepanjang tahun. Mereka berkata: Karena yang dianggap dalam barang dagangan adalah nilai, dan sulit untuk memperhatikannya setiap saat karena ketidakstabilan harga yang naik dan turun, maka cukup dengan memperhatikannya pada waktu wajib zakat.
Mazhab Syafi’i berkata: Jika tahun telah berakhir dan nilai barang dagangan kurang dari nisab, maka tahun pertama batal dan dimulai tahun baru.
Mazhab Hanafi, dan ini adalah pendapat kedua dari mazhab Syafi’i, berpendapat: yang dianggap adalah kedua ujung tahun, karena penilaian sulit dilakukan sepanjang tahun, maka awal tahun dianggap untuk permulaan dan terwujudnya kekayaan, dan akhir tahun dianggap untuk kewajiban. Jika nisab hilang karena seluruhnya binasa di tengah tahun, maka hukum tahun tersebut batal.
Mazhab Hanbali, dan ini adalah pendapat ketiga dari mazhab Syafi’i, berpendapat: yang dianggap adalah sepanjang tahun, seperti dalam mata uang. Jika nilai turun di tengah tahun, maka zakat tidak wajib. Jika nilai barang dagangan sejak dimiliki kurang dari nisab, maka tahun tidak dimulai atasnya sampai nilainya mencapai nisab. Kenaikan nilai dianggap, baik karena kenaikan harga, pertumbuhan barang dagangan, atau karena dijual dengan nisab, atau memiliki barang dagangan lain atau harga yang melengkapi nisab.”
الشَّرْطُ الْخَامِسُ: الْحَوْل:
٨٦ – وَالْمُرَادُ أَنْ يَحُول الْحَوْل عَلَى عُرُوضِ التِّجَارَةِ، فَمَا لَمْ يَحُل عَلَيْهَا الْحَوْل فَلاَ زَكَاةَ فِيهَا، وَهَذَا إِنْ مَلَكَهَا بِغَيْرِ مُعَاوَضَةٍ، أَوْ بِمُعَاوَضَةٍ غَيْرِ مَالِيَّةٍ كَالْخُلْعِ، عِنْدَ مَنْ قَال بِذَلِكَ، أَوِ اشْتَرَاهَا بِعَرْضِ قُنْيَةٌ، أَمَّا إِنِ اشْتَرَاهَا بِمَالٍ مِنَ الأَْثْمَانِ أَوْ بِعَرْضِ تِجَارَةٍ آخَرَ، فَإِنَّهُ يَبْنِي حَوْل الثَّانِي عَلَى حَوْل الأَْوَّل؛ لأَِنَّ مَال التِّجَارَةِ تَتَعَلَّقُ الزَّكَاةُ بِقِيمَتِهِ، وَقِيمَتُهُ هِيَ الأَْثْمَانُ نَفْسُهَا؛ وَلأَِنَّ النَّمَاءَ فِي التِّجَارَةِ يَكُونُ بِالتَّقْلِيبِ.
فَإِنْ أَبْدَل عَرْضَ التِّجَارَةِ بِعَرْضِ قُنْيَةٍ أَوْ بِسَائِمَةٍ لَمْ يَقْصِدْ بِهَا التِّجَارَةَ فَإِنَّ حَوْل زَكَاةِ التِّجَارَةِ يَنْقَطِعُ.
وَرِبْحَ التِّجَارَةِ فِي الْحَوْل يُضَمُّ إِلَى الأَْصْل فَيُزَكِّي الأَْصْل وَالرِّبْحَ عِنْدَ آخِرِ الْحَوْل (١) . فَإِذَا حَال الْحَوْل وَجَبَ عَلَى الْمَالِكِ تَقْوِيمُ عُرُوضِهِ وَإِخْرَاجُ زَكَاتِهَا عِنْدَ الْجُمْهُورِ، وَلِمَالِكٍ تَفْصِيلٌ بَيْنَ الْمُحْتَكِرِ لِتِجَارَتِهِ وَالْمُدِيرِ لَهَا يَأْتِي تَفْصِيلُهُ فِي الشَّرْطِ التَّالِي.
” *Syarat Kelima* : Haul (Satu Tahun)
86 – Yang dimaksud adalah bahwa haul harus berlalu atas barang dagangan. Jika haul belum berlalu atasnya, maka tidak ada zakat atasnya. Ini berlaku jika seseorang memilikinya bukan melalui pertukaran, atau melalui pertukaran non-finansial seperti khulu’, menurut yang berpendapat demikian, atau membelinya dengan barang kepemilikan pribadi. Namun, jika ia membelinya dengan uang dari mata uang atau dengan barang dagangan lain, maka ia membangun haul yang kedua di atas haul yang pertama. Karena harta perdagangan zakatnya berhubungan dengan nilainya, dan nilainya adalah mata uang itu sendiri. Juga, karena pertumbuhan dalam perdagangan terjadi melalui perputaran.
Jika ia menukar barang dagangan dengan barang kepemilikan pribadi atau dengan hewan ternak yang tidak dimaksudkan untuk perdagangan, maka haul zakat perdagangan terputus.
Keuntungan perdagangan dalam haul digabungkan dengan modal pokok, sehingga modal pokok dan keuntungan dizakati pada akhir haul. Jika haul telah berlalu, maka pemilik wajib menilai barang dagangannya dan mengeluarkan zakatnya menurut mayoritas ulama.
Malik memiliki rincian antara penimbun untuk perdagangannya dan pengelola perdagangannya, yang rinciannya akan dijelaskan pada syarat berikutnya.”
الشَّرْطُ السَّادِسُ: تَقْوِيمُ السِّلَعِ:
٨٧ – يَرَى الْمَالِكِيَّةُ أَنَّ التَّاجِرَ إِمَّا أَنْ يَكُونَ مُحْتَكِرًا أَوْ مُدِيرًا، وَالْمُحْتَكِرُ هُوَ الَّذِي يَرْصُدُ بِسِلَعِهِ الأَْسْوَاقَ وَارْتِفَاعَ الأَْسْعَارِ، وَالْمُدِيرُ هُوَ مَنْ يَبِيعُ بِالسِّعْرِ الْحَاضِرِ ثُمَّ يُخْلِفُهُ بِغَيْرِهِ وَهَكَذَا، كَالْبَقَّال وَنَحْوِهِ.
فَالْمُحْتَكِرُ يُشْتَرَطُ لِوُجُوبِ الزَّكَاةِ عَلَيْهِ أَنْ يَبِيعَ بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ يَبْلُغُ نِصَابًا، وَلَوْ فِي مَرَّاتٍ، وَبَعْدَ أَنْ يَكْمُل مَا بَاعَ بِهِ نِصَابًا يُزَكِّيهِ وَيُزَكِّي مَا بَاعَ بِهِ بَعْدَ ذَلِكَ وَإِنْ قَل، فَلَوْ أَقَامَ الْعَرْضُ عِنْدَهُ سِنِينَ فَلَمْ يَبِعْ ثُمَّ بَاعَهُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ فِيهِ إِلاَّ زَكَاةُ عَامٍ وَاحِدٍ يُزَكِّي ذَلِكَ الْمَال الَّذِي يَقْبِضُهُ. أَمَّا الْمُدِيرُ فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَبِيعَ بِشَيْءٍ وَلَوْ قَل، كَدِرْهَمٍ، وَعَلَى الْمُدِيرِ الَّذِي بَاعَ وَلَوْ بِدِرْهَمٍ أَنْ يُقَوِّمَ عُرُوضَ تِجَارَتِهِ آخِرَ كُل حَوْلٍ وَيُزَكِّيَ الْقِيمَةَ، كَمَا يُزَكِّي النَّقْدَ. وَإِنَّمَا فَرَّقَ مَالِكٌ بَيْنَ الْمُدِيرِ وَالْمُحْتَكِرِ لأَِنَّ الزَّكَاةَ شُرِعَتْ فِي الأَْمْوَال النَّامِيَةِ، فَلَوْ زَكَّى السِّلْعَةَ كُل عَامٍ – وَقَدْ تَكُونُ كَاسِدَةً – نَقَصَتْ عَنْ شِرَائِهَا، فَيَتَضَرَّرُ، فَإِذَا زُكِّيَتْ عِنْدَ الْبَيْعِ فَإِنْ كَانَتْ رَبِحَتْ فَالرِّبْحُ كَانَ كَامِنًا فِيهَا فَيُخْرِجُ زَكَاتَهُ؛ وَلأَِنَّهُ لَيْسَ عَلَى الْمَالِكِ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةَ مَالٍ مِنْ مَالٍ آخَرَ.
وَبِهَذَا يَتَبَيَّنُ أَنَّ تَقْوِيمَ السِّلَعِ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ هُوَ لِلتَّاجِرِ الْمُدِيرِ خَاصَّةً دُونَ التَّاجِرِ الْمُحْتَكِرِ، وَأَنَّ الْمُحْتَكِرَ لَيْسَ عَلَيْهِ لِكُل حَوْلٍ زَكَاةٌ فِيمَا احْتَكَرَهُ بَل يُزَكِّيهِ لِعَامٍ وَاحِدٍ عِنْدَ بَيْعِهِ وَقَبْضِ ثَمَنِهِ.
أَمَّا عِنْدَ سَائِرِ الْعُلَمَاءِ فَإِنَّ الْمُحْتَكِرَ كَغَيْرِهِ، عَلَيْهِ لِكُل حَوْلٍ زَكَاةٌ (١) .
” *Syarat Keenam:* Penilaian Barang Dagangan
87 – Mazhab Maliki berpendapat bahwa pedagang terbagi menjadi dua jenis: penimbun dan pengelola. Penimbun adalah orang yang menunggu dengan barang dagangannya untuk melihat pasar dan kenaikan harga. Pengelola adalah orang yang menjual dengan harga saat ini, kemudian menggantinya dengan barang lain, dan seterusnya, seperti pedagang kelontong dan sejenisnya.
Penimbun disyaratkan untuk wajib zakat atasnya jika ia menjual dengan emas atau perak yang mencapai nisab, meskipun dalam beberapa kali penjualan. Setelah apa yang ia jual mencapai nisab, ia menzakatinya dan menzakati apa yang ia jual setelah itu, meskipun sedikit. Jika barang dagangan tetap bersamanya selama bertahun-tahun dan ia tidak menjualnya, kemudian ia menjualnya, maka ia hanya wajib zakat untuk satu tahun, yaitu zakat atas uang yang ia terima.
Adapun pengelola, ia tidak wajib zakat sampai ia menjual sesuatu, meskipun sedikit, seperti satu dirham. Pengelola yang telah menjual, meskipun dengan satu dirham, wajib menilai barang dagangan dagangannya pada akhir setiap haul dan menzakati nilainya, seperti menzakati uang tunai. Malik membedakan antara pengelola dan penimbun karena zakat disyariatkan atas harta yang berkembang. Jika barang dagangan dizakati setiap tahun – dan mungkin sedang lesu – maka nilainya akan berkurang dari harga pembeliannya, sehingga ia akan dirugikan. Jika dizakati saat dijual, dan jika menghasilkan keuntungan, maka keuntungan itu tersembunyi di dalamnya dan ia mengeluarkan zakatnya. Juga, karena pemilik tidak wajib mengeluarkan zakat harta dari harta lain.
Dengan ini, menjadi jelas bahwa penilaian barang dagangan menurut mazhab Maliki khusus untuk pedagang pengelola, bukan pedagang penimbun. Penimbun tidak wajib zakat setiap haul atas apa yang ia timbun, tetapi ia menzakatinya untuk satu tahun ketika ia menjualnya dan menerima harganya.
Adapun menurut ulama lainnya, penimbun sama seperti yang lain, ia wajib zakat setiap haul.
كَيْفِيَّةُ التَّقْوِيمِ وَالْحِسَابِ فِي زَكَاةِ التِّجَارَةِ:
Cara Penilaian dan Penghitungan dalam Zakat Perdagangan”
أ – مَا يُقَوَّمُ مِنَ السِّلَعِ وَمَا لاَ يُقَوَّمُ:
٨٨ – الَّذِي يُقَوَّمُ مِنَ الْعُرُوضِ هُوَ مَا يُرَادُ بَيْعُهُ دُونَ مَا لاَ يُعَدُّ لِلْبَيْعِ، فَالرُّفُوفُ الَّتِي يَضَعُ عَلَيْهَا السِّلَعَ لاَ زَكَاةَ فِيهَا.
وَمِمَّا ذَكَرَهُ الْحَنَفِيَّةُ مِنْ ذَلِكَ أَنَّ تَاجِرَ الدَّوَابِّ إِنِ اشْتَرَى لَهَا مَقَاوِدَ أَوْ بَرَاذِعَ، فَإِنْ كَانَ يَبِيعُ هَذِهِ الأَْشْيَاءَ مَعَهَا فَفِيهَا الزَّكَاةُ، وَإِنْ كَانَتْ لِحِفْظِ الدَّوَابِّ بِهَا فَلاَ زَكَاةَ فِيهَا. وَكَذَلِكَ الْعَطَّارُ لَوِ اشْتَرَى قَوَارِيرَ، فَمَا كَانَ مِنَ الْقَوَارِيرِ لِحِفْظِ الْعِطْرِ عِنْدَ التَّاجِرِ فَلاَ زَكَاةَ فِيهَا، وَمَا كَانَ يُوضَعُ فِيهَا الْعِطْرُ لِلْمُشْتَرِي فَفِيهَا الزَّكَاةُ.
وَمَوَادُّ الْوَقُودِ كَالْحَطَبِ، وَنَحْوِهِ، وَمَوَادُّ التَّنْظِيفِ كَالصَّابُونِ وَنَحْوِهِ الَّتِي أَعَدَّهَا الصَّانِعُ لِيَسْتَهْلِكَهَا فِي صِنَاعَتِهِ لاَ لِيَبِيعَهَا فَلاَ زَكَاةَ فِيمَا لَدَيْهِ مِنْهَا، وَالْمَوَادُّ الَّتِي لِتَغْذِيَةِ دَوَابِّ التِّجَارَةِ لاَ تَجِبُ فِيهَا الزَّكَاةُ (٢) .
وَذَكَرَ الْمَالِكِيَّةُ أَنَّهُ لاَ زَكَاةَ فِي الأَْوَانِي الَّتِي تُدَارُ فِيهَا الْبَضَائِعُ، وَلاَ الآْلاَتِ الَّتِي تُصْنَعُ بِهَا السِّلَعُ، وَالإِْبِل الَّتِي تَحْمِلُهَا، إِلاَّ أَنْ تَجِبَ الزَّكَاةُ فِي عَيْنِهَا.
وَذَكَرَ الشَّافِعِيَّةُ أَنَّ الْمَوَادَّ الَّتِي لِلصِّبَاغَةِ أَوِ الدِّبَاغَةِ، وَالدُّهْنِ لِلْجُلُودِ، فِيهَا الزَّكَاةُ، بِخِلاَفِ الْمِلْحِ لِلْعَجِينِ أَوِ الصَّابُونِ لِلْغَسْل فَلاَ زَكَاةَ فِيهِمَا لِهَلاَكِ الْعَيْنِ، وَذَكَرَ الْحَنَابِلَةُ نَحْوَ ذَلِكَ (١) .
“A – Barang Dagangan yang Dinilai dan yang Tidak Dinilai:
88 – Barang dagangan yang dinilai adalah yang dimaksudkan untuk dijual, bukan yang tidak disiapkan untuk dijual. Rak-rak yang digunakan untuk meletakkan barang dagangan tidak dikenakan zakat.
Di antara contoh yang disebutkan oleh mazhab Hanafi adalah jika seorang pedagang hewan membeli tali kekang atau pelana untuk hewan-hewannya, jika ia menjual barang-barang ini bersama hewan-hewannya, maka dikenakan zakat. Namun, jika barang-barang tersebut digunakan untuk menjaga hewan-hewan tersebut, maka tidak dikenakan zakat. Demikian pula, jika seorang pedagang parfum membeli botol, botol yang digunakan untuk menyimpan parfum di toko tidak dikenakan zakat, sedangkan botol yang digunakan untuk menaruh parfum bagi pembeli dikenakan zakat.
Bahan bakar seperti kayu bakar dan sejenisnya, serta bahan pembersih seperti sabun dan sejenisnya yang disiapkan oleh produsen untuk digunakan dalam produksinya, bukan untuk dijual, tidak dikenakan zakat. Bahan-bahan yang digunakan untuk memberi makan hewan dagangan tidak dikenakan zakat.
Mazhab Maliki menyebutkan bahwa tidak ada zakat atas wadah yang digunakan untuk memindahkan barang dagangan, atau peralatan yang digunakan untuk membuat barang dagangan, atau unta yang membawanya, kecuali jika zakat wajib atas hewan-hewan tersebut secara langsung.
Mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk pewarnaan atau penyamakan, dan minyak untuk kulit, dikenakan zakat. Berbeda dengan garam untuk adonan atau sabun untuk mencuci, yang tidak dikenakan zakat karena barang-barang tersebut habis. Mazhab Hanbali menyebutkan hal serupa.
ب – تَقْوِيمُ الصَّنْعَةِ فِي الْمَوَادِّ الَّتِي يُقَوِّمُ صَاحِبُهَا بِتَصْنِيعِهَا:
٨٩ – الْمَوَادُّ الْخَامُ الَّتِي اشْتَرَاهَا الْمَالِكُ وَقَامَ بِتَصْنِيعِهَا يُسْتَفَادُ مِنْ كَلاَمِ الْمَالِكِيَّةِ أَنَّهَا تُقَوَّمُ عَلَى الْحَال الَّتِي اشْتَرَاهَا عَلَيْهَا صَاحِبُهَا، أَيْ قَبْل تَصْنِيعِهَا، وَذَلِكَ بَيِّنٌ، عَلَى قَوْل مَنْ يَشْتَرِطُ فِي وُجُوبِ الزَّكَاةِ فِي الْعُرُوضِ أَنْ يَمْلِكَهَا بِمُعَاوَضَةٍ؛ لأَِنَّ هَذَا قَدْ مَلَكَهَا بِغَيْرِ مُعَاوَضَةٍ بَل بِفِعْلِهِ. وَنَصُّ الْبُنَانِيِّ ” الْحُكْمُ أَنَّ الصُّنَّاعَ يُزَكُّونَ مَا حَال عَلَى أَصْلِهِ الْحَوْل مِنْ مَصْنُوعَاتِهِمْ إِذَا كَانَ نِصَابًا وَلاَ يُقَوِّمُونَ صِنَاعَتَهُمْ ” قَال ابْنُ لُبٍّ: لأَِنَّهَا فَوَائِدُ كَسْبِهِمْ اسْتَفَادُوهَا وَقْتَ بَيْعِهِمْ (٢) .
السِّعْرُ الَّذِي تُقَوَّمُ بِهِ السِّلَعُ:
٩٠ – صَرَّحَ الْحَنَفِيَّةُ أَنَّ عُرُوضَ التِّجَارَةِ يُقَوِّمُهَا الْمَالِكُ عَلَى أَسَاسِ سِعْرِ الْبَلَدِ الَّذِي فِيهِ الْمَال، وَلَيْسَ الَّذِي فِيهِ الْمَالِكُ، أَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ لَهُ بِالْمَال عِلاَقَةٌ، وَلَوْ كَانَ فِي مَفَازَةٍ تُعْتَبَرُ قِيمَتُهُ فِي أَقْرَبِ الأَْمْصَارِ (١) .
وَتُعْتَبَرُ الْقِيمَةُ يَوْمَ الْوُجُوبِ فِي قَوْل أَبِي حَنِيفَةَ لأَِنَّهُ فِي الأَْصْل بِالْخِيَارِ بَيْنَ الإِْخْرَاجِ مِنَ الْعَيْنِ وَأَدَاءِ الْقِيمَةِ، وَيُجْبَرُ الْمُصَدِّقُ عَلَى قَبُولِهَا، فَيَسْتَنِدُ إِلَى وَقْتِ ثُبُوتِ الْخِيَارِ وَهُوَ وَقْتُ الْوُجُوبِ.
وَقَال الصَّاحِبَانِ: الْمُعْتَبَرُ الْقِيمَةُ يَوْمَ الأَْدَاءِ؛ لأَِنَّ الْوَاجِبَ عِنْدَهُمَا جُزْءٌ مِنَ الْعَيْنِ، وَلَهُ وِلاَيَةُ مَنْعِهَا إِلَى الْقِيمَةِ، فَتُعْتَبَرُ يَوْمَ الْمَنْعِ كَمَا فِي الْوَدِيعَةِ (٢) .
زِيَادَةُ سِعْرِ الْبَيْعِ عَنِ السِّعْرِ الْمُقَدَّرِ:
٩١ – إِنْ قَوَّمَ سِلْعَةً لأَِجْل الزَّكَاةِ وَأَخْرَجَهَا عَلَى أَسَاسِ ذَلِكَ، فَلَمَّا بَاعَهَا زَادَ ثَمَنُهَا عَلَى الْقِيمَةِ، فَقَدْ صَرَّحَ الْمَالِكِيَّةُ بِأَنَّهُ لاَ زَكَاةَ فِي هَذِهِ الزِّيَادَةِ بَل هِيَ مُلْغَاةٌ؛ لاِحْتِمَال ارْتِفَاعِ سِعْرِ السُّوقِ، أَوْ لِرَغْبَةِ الْمُشْتَرِي، أَمَّا لَوْ تَحَقَّقَ أَنَّهُ غَلِطَ فِي التَّقْوِيمِ فَإِنَّهَا لاَ تُلْغَى لِظُهُورِ الْخَطَأِ قَطْعًا.
وَكَذَا صَرَّحَ الشَّافِعِيَّةُ بِأَنَّ الزِّيَادَةَ عَنِ التَّقْوِيمِ لاَ زَكَاةَ فِيهَا عَنِ الْحَوْل السَّابِقِ (٣) .
التَّقْوِيمُ لِلسِّلَعِ الْبَائِرَةِ:
٩٢ – مُقْتَضَى مَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّهُ لاَ فَرْقَ فِي التَّقْوِيمِ، بَيْنَ السِّلَعِ الْبَائِرَةِ وَغَيْرِهَا.
أَمَّا الْمَالِكِيَّةُ فَقَدْ ذَكَرُوا أَنَّ السِّلَعَ الَّتِي لَدَى التَّاجِرِ الْمُدِيرِ إِذَا بَارَتْ فَإِنَّهُ يُدْخِلُهَا فِي التَّقْوِيمِ وَيُؤَدِّي زَكَاتَهَا كُل عَامٍ إِذَا تَمَّتِ الشُّرُوطُ؛ لأَِنَّ بَوَارَهَا لاَ يَنْقُلُهَا لِلْقُنْيَةِ وَلاَ لِلاِحْتِكَارِ، وَهَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ عِنْدَهُمْ وَهُوَ قَوْل ابْنِ الْقَاسِمِ. وَذَهَبَ ابْنُ نَافِعٍ وَسَحْنُونٌ إِلَى أَنَّ السِّلَعَ إِذَا بَارَتْ تَنْتَقِل لِلاِحْتِكَارِ، وَخَصَّ اللَّخْمِيُّ وَابْنُ يُونُسَ الْخِلاَفَ بِمَا إِذَا بَارَ الأَْقَل، أَمَّا إِذَا بَارَ النِّصْفُ أَوِ الأَْكْثَرُ فَلاَ يُقَوَّمُ اتِّفَاقًا عِنْدَهُمْ، وَمُقْتَضَى ذَلِكَ أَنْ لاَ زَكَاةَ فِيهَا إِلاَّ إِذَا بَاعَ قَدْرَ نِصَابٍ فَيُزَكِّيهِ، ثُمَّ كُلَّمَا بَاعَ شَيْئًا زَكَّاهُ كَمَا تَقَدَّمَ (١) .
التَّقْوِيمُ لِلسِّلَعِ الْمُشْتَرَاةِ الَّتِي لَمْ يَدْفَعِ التَّاجِرُ ثَمَنَهَا:
“B – Penilaian Upah dalam Bahan-bahan yang Dinilai oleh Pemiliknya Setelah Diproses:
89 – Bahan-bahan mentah yang dibeli oleh pemilik dan diproses olehnya, dapat dipahami dari perkataan mazhab Maliki bahwa bahan-bahan tersebut dinilai berdasarkan kondisi saat dibeli oleh pemiliknya, yaitu sebelum diproses. Ini jelas menurut pendapat orang yang mensyaratkan kewajiban zakat atas barang dagangan harus diperoleh melalui pertukaran. Karena orang ini memilikinya bukan melalui pertukaran, tetapi melalui perbuatannya sendiri. Teks Al-Banani, “Hukumnya adalah bahwa pengrajin menzakati apa yang telah berlalu setahun atas asalnya dari hasil produksinya jika mencapai nisab, dan mereka tidak menilai upah mereka.” Ibnu Lub berkata: Karena itu adalah keuntungan dari usaha mereka yang mereka peroleh saat menjual.
Harga yang Digunakan untuk Menilai Barang Dagangan:
90 – Mazhab Hanafi menyatakan bahwa barang dagangan dinilai oleh pemiliknya berdasarkan harga di negara tempat harta itu berada, bukan tempat pemiliknya berada, atau orang lain yang memiliki hubungan dengan harta tersebut. Jika harta itu berada di padang gurun, maka nilainya dianggap di kota terdekat.
Nilai yang dianggap adalah pada hari kewajiban zakat menurut pendapat Abu Hanifah, karena pada dasarnya ia memiliki pilihan antara mengeluarkan zakat dari barang itu sendiri atau membayar nilainya, dan pengumpul zakat dipaksa untuk menerimanya. Maka, itu merujuk pada waktu penetapan pilihan, yaitu waktu kewajiban.
Kedua sahabat Abu Hanifah berkata: Yang dianggap adalah nilai pada hari pembayaran, karena yang wajib menurut mereka adalah bagian dari barang itu sendiri, dan pemilik memiliki hak untuk menahannya sampai nilainya dibayar. Maka, itu dianggap pada hari penahanan, seperti dalam kasus titipan.
Kenaikan Harga Jual dari Harga yang Ditaksir:
91 – Jika seseorang menilai barang dagangan untuk tujuan zakat dan mengeluarkannya berdasarkan itu, kemudian ketika ia menjualnya, harganya naik melebihi nilai yang ditaksir, maka mazhab Maliki menyatakan bahwa tidak ada zakat atas kenaikan ini, tetapi itu diabaikan. Karena kemungkinan kenaikan harga pasar, atau karena keinginan pembeli. Namun, jika dipastikan bahwa ia salah dalam penilaian, maka itu tidak diabaikan karena kesalahan itu jelas.
Demikian pula, mazhab Syafi’i menyatakan bahwa kenaikan dari penilaian tidak dikenakan zakat untuk haul sebelumnya.
Penilaian Barang Dagangan yang Tidak Laku:
92 – Menurut mazhab mayoritas ulama, tidak ada perbedaan dalam penilaian antara barang dagangan yang tidak laku dan yang lainnya.
Namun, mazhab Maliki menyebutkan bahwa jika barang dagangan yang dimiliki oleh pedagang pengelola tidak laku, maka ia memasukkannya dalam penilaian dan membayar zakatnya setiap tahun jika syarat-syaratnya terpenuhi. Karena ketidaklakuannya tidak memindahkannya ke kepemilikan pribadi atau penimbunan. Ini adalah pendapat yang terkenal di antara mereka dan merupakan pendapat Ibnu Qasim. Ibnu Nafi’ dan Sahnun berpendapat bahwa jika barang dagangan tidak laku, maka itu dipindahkan ke penimbunan. Lakhmi dan Ibnu Yunus membatasi perbedaan pendapat ini pada kasus jika yang tidak laku sedikit. Namun, jika yang tidak laku setengah atau lebih, maka tidak dinilai menurut kesepakatan mereka. Menurut hal ini, tidak ada zakat atasnya kecuali jika ia menjual sejumlah nisab, maka ia menzakatinya, kemudian setiap kali ia menjual sesuatu, ia menzakatinya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Penilaian Barang Dagangan yang Dibeli yang Belum Dibayar Harganya oleh Pedagang:”
٩٣ – ذَهَبَ الْمَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّ التَّاجِرَ الْمُدِيرَ لاَ يُقَوِّمُ – لأَِجْل الزَّكَاةِ – مِنْ سِلَعِهِ إِلاَّ مَا دَفَعَ ثَمَنَهُ، أَوْ حَال عَلَيْهِ الْحَوْل عِنْدَهُ وَإِنْ لَمْ يَدْفَعْ ثَمَنَهُ، وَحُكْمُهُ فِي مَا لَمْ يَدْفَعْ ثَمَنَهُ حُكْمُ مَنْ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَبِيَدِهِ مَالٌ. وَأَمَّا مَا لَمْ يَدْفَعْ ثَمَنَهُ وَلَمْ يَحُل عَلَيْهِ الْحَوْل عِنْدَهُ فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ فِيهِ، وَلاَ يَسْقُطُ عَنْهُ مِنْ زَكَاةِ مَا حَال حَوْلُهُ عِنْدَهُ شَيْءٌ بِسَبَبِ دَيْنِ ثَمَنِ هَذَا الْعَرْضِ الَّذِي لَمْ يَحُل حَوْلُهُ عِنْدَهُ، إِنْ لَمْ يَكُنْ عِنْدَهُ مَا يَجْعَلُهُ فِي مُقَابَلَتِهِ (٢) .0
تَقْوِيمُ دَيْنِ التَّاجِرِ النَّاشِئِ عَنِ التِّجَارَةِ:
٩٤ – مَا كَانَ لِلتَّاجِرِ مِنَ الدَّيْنِ الْمَرْجُوِّ إِنْ كَانَ سِلَعًا عَيْنِيَّةً – أَيْ مِنْ غَيْرِ النَّقْدَيْنِ – فَإِنَّهُ عِنْدَ الْمَالِكِيَّةِ إِنْ كَانَ مُدِيرًا – لاَ مُحْتَكِرًا – يُقَوِّمُهُ بِنَقْدٍ حَالٍّ، وَلَوْ كَانَ الدَّيْنُ طَعَامَ سَلَمٍ، وَلاَ يَضُرُّ تَقْوِيمُهُ لأَِنَّهُ لَيْسَ بَيْعًا لَهُ حَتَّى يُؤَدِّيَ إِلَى بَيْعِ الطَّعَامِ قَبْل قَبْضِهِ.
وَإِنْ كَانَ الدَّيْنُ الْمَرْجُوُّ مِنْ أَحَدِ النَّقْدَيْنِ وَكَانَ مُؤَجَّلاً، فَإِنَّهُ يُقَوِّمُهُ بِعَرْضٍ، ثُمَّ يُقَوِّمُ الْعَرْضَ بِنَقْدٍ حَالٍّ، فَيُزَكِّي تِلْكَ الْقِيمَةَ لأَِنَّهَا الَّتِي تُمْلَكُ لَوْ قَامَ عَلَى الْمَدِينِ غُرَمَاؤُهُ.
أَمَّا الدَّيْنُ غَيْرُ الْمَرْجُوِّ فَلاَ يُقَوِّمْهُ لِيُزَكِّيَهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ، فَإِنْ قَبَضَهُ زَكَّاهُ لِعَامٍ وَاحِدٍ (١) .
وَأَمَّا عِنْدَ الْجُمْهُورِ فَلَمْ يَذْكُرُوا هَذِهِ الطَّرِيقَةَ، فَالظَّاهِرُ عِنْدَهُمْ أَنَّ الدَّيْنَ الْمُؤَجَّل يُحْسَبُ لِلزَّكَاةِ بِكَمَالِهِ إِذَا كَانَ عَلَى مَلِيءٍ مُقِرٍّ.
“93 – Mazhab Maliki berpendapat bahwa pedagang pengelola tidak menilai – untuk tujuan zakat – dari barang dagangannya kecuali yang telah dibayar harganya, atau telah berlalu setahun atasnya di sisinya meskipun belum dibayar harganya. Hukumnya dalam hal yang belum dibayar harganya sama dengan hukum orang yang memiliki hutang dan di tangannya ada harta. Adapun yang belum dibayar harganya dan belum berlalu setahun atasnya di sisinya, maka tidak ada zakat atasnya, dan tidak ada yang gugur dari zakat atas apa yang telah berlalu setahun atasnya di sisinya karena hutang harga barang dagangan ini yang belum berlalu setahun atasnya di sisinya, jika ia tidak memiliki sesuatu yang dapat ia jadikan sebagai imbalannya.
Penilaian Hutang Pedagang yang Timbul dari Perdagangan:
94 – Apa yang dimiliki pedagang dari hutang yang diharapkan, jika berupa barang dagangan – yaitu bukan dari kedua mata uang – maka menurut mazhab Maliki, jika ia seorang pengelola – bukan penimbun – ia menilainya dengan uang tunai, meskipun hutangnya berupa makanan salam (pesanan). Penilaiannya tidak merugikan karena itu bukan penjualan baginya sehingga menyebabkan penjualan makanan sebelum menerimanya.
Jika hutang yang diharapkan itu dari salah satu dari kedua mata uang dan ditangguhkan, maka ia menilainya dengan barang dagangan, kemudian menilai barang dagangan itu dengan uang tunai. Ia menzakati nilai tersebut karena itulah yang dimiliki jika para krediturnya menuntutnya.
Adapun hutang yang tidak diharapkan, maka ia tidak menilainya untuk dizakati sampai ia menerimanya. Jika ia menerimanya, ia menzakatinya untuk satu tahun.
Adapun menurut mayoritas ulama, mereka tidak menyebutkan cara ini. Menurut mereka, hutang yang ditangguhkan dihitung untuk zakat secara penuh jika itu dari orang kaya yang mengakui.”
MELUARKAN DAGANGAN ANTARA UANG TUNAI DAN BARANG DAGANGAN
إِخْرَاجُ زَكَاةِ عُرُوضِ التِّجَارَةِ نَقْدًا أَوْ مِنْ أَعْيَانِ الْمَال:
٩٥ – الأَْصْل فِي زَكَاةِ التِّجَارَةِ أَنْ يُخْرِجَهَا نَقْدًا بِنِسْبَةِ رُبُعِ الْعُشْرِ مِنْ قِيمَتِهَا، كَمَا تَقَدَّمَ، لِقَوْل عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِحَمَاسٍ: قَوِّمْهَا ثُمَّ أَدِّ زَكَاتَهَا.
فَإِنْ أَخْرَجَ زَكَاةَ الْقِيمَةِ مِنْ أَحَدِ النَّقْدَيْنِ أَجْزَأَ اتِّفَاقًا.
وَإِنْ أَخْرَجَ عُرُوضًا عَنِ الْعُرُوضِ فَقَدِ اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي جَوَازِ ذَلِكَ.
فَقَال الْحَنَابِلَةُ وَهُوَ ظَاهِرُ كَلاَمِ الْمَالِكِيَّةِ وَقَوْل الشَّافِعِيِّ فِي الْجَدِيدِ وَعَلَيْهِ الْفَتْوَى: لاَ يُجْزِئُهُ ذَلِكَ، وَاسْتَدَلُّوا بِأَنَّ النِّصَابَ مُعْتَبَرٌ بِالْقِيمَةِ، فَكَانَتِ الزَّكَاةُ مِنَ الْقِيمَةِ، كَمَا إِنَّ الْبَقَرَ لَمَّا كَانَ نِصَابُهَا مُعْتَبَرًا بِأَعْيَانِهَا، وَجَبَتِ الزَّكَاةُ مِنْ أَعْيَانِهَا، وَكَذَا سَائِرُ الأَْمْوَال غَيْرِ التِّجَارَةِ.
وَأَمَّا عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ وَهُوَ قَوْلٌ ثَانٍ لِلشَّافِعِيَّةِ قَدِيمٌ: يَتَخَيَّرُ الْمَالِكُ بَيْنَ الإِْخْرَاجِ مِنَ الْعَرْضِ أَوْ مِنَ الْقِيمَةِ فَيُجْزِئُ إِخْرَاجُ عَرْضٍ بِقِيمَةِ مَا وَجَبَ عَلَيْهِ مِنْ زَكَاةِ الْعُرُوضِ، قَال الْحَنَفِيَّةُ: وَكَذَلِكَ زَكَاةُ غَيْرِهَا مِنَ الأَْمْوَال حَتَّى النَّقْدَيْنِ وَالْمَاشِيَةِ وَلَوْ كَانَتْ لِلسَّوْمِ لاَ لِلتِّجَارَةِ، وَيَأْتِي تَفْصِيل ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.
وَفِي قَوْلٍ ثَالِثٍ لِلشَّافِعِيَّةِ قَدِيمٍ: أَنَّ زَكَاةَ الْعُرُوضِ تُخْرَجُ مِنْهَا لاَ مِنْ ثَمَنِهَا، فَلَوْ أُخْرِجَ مِنَ الثَّمَنِ لَمْ يُجْزِئْ (١) .
Mengeluarkan Zakat Harta Perdagangan dalam Bentuk Uang Tunai atau dari Aset Harta Itu Sendiri:
Asal dalam zakat perdagangan adalah mengeluarkannya dalam bentuk uang tunai dengan nisbah seperempat dari sepersepuluh nilainya, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, berdasarkan perkataan Umar radhiyallahu ‘anhu kepada Hammas, “Takarlah nilainya, kemudian keluarkanlah zakatnya.”
Jika ia mengeluarkan zakat nilai dari salah satu dari dua mata uang (emas atau perak), maka itu cukup secara kesepakatan.
Namun, jika ia mengeluarkan barang dagangan sebagai zakat dari barang dagangan, maka para fuqaha berbeda pendapat mengenai kebolehannya.
Hanabilah, dan ini adalah zhahir dari perkataan Malikiyah dan pendapat Asy-Syafi’i dalam pendapat barunya yang menjadi fatwa, berpendapat bahwa itu tidak cukup. Mereka berdalil bahwa nishab dihitung berdasarkan nilai, maka zakatnya adalah dari nilai, sebagaimana sapi, ketika nishabnya dihitung berdasarkan asetnya, maka zakatnya wajib dari asetnya, dan demikian pula semua harta selain perdagangan.
Adapun menurut Hanafiyah, dan ini adalah pendapat kedua dari Asy-Syafi’i dalam pendapat lamanya, pemiliknya boleh memilih antara mengeluarkan dari barang dagangan atau dari nilainya, maka cukup mengeluarkan barang dagangan dengan nilai zakat barang dagangan yang wajib atasnya. Hanafiyah berkata, “Demikian pula zakat harta lainnya, bahkan uang tunai dan hewan ternak, meskipun untuk penggembalaan bukan untuk perdagangan,” dan rinciannya akan datang, insya Allah.
Dalam pendapat ketiga dari Asy-Syafi’i dalam pendapat lamanya, zakat barang dagangan dikeluarkan darinya, bukan dari harganya. Jika dikeluarkan dari harga, maka tidak cukup.
Referensi
حاشية الجمال ٧/٤٤١
وَإِنَّمَا تَجِبُ زَكَاةُ التِّجَارَةِ بِشَرْطِ حَوْلِ وَنِصَابٍ كَغَيْرِهَا ( مُعْتَبَرًا ) أَيْ النَّصَابُ بِآخِرِهِ ) أَي بِآخِرِ الْحَوْلِ لَا بِطَرَفَيْهِ وَلَا بِجَمْعَيْهِ ؛ لِأَنَّ الْاعْتِبَارَ بِالْقِيمَةِ وَتَعْسُرُ مُرَاعَاتُهَا كُلُّ وَقْتِ لِاضْطِرَابِ الْأَسْعَارِ انْخِفَاضًا وَارْتِفَاعًا وَاكْتَفَى بِاعْتِبَارِهَا آخِرَ الْحَوْلِ ؛ لِأَنَّهُ وَقْتُ الْوُجُوبِ فَلَوْ رَدَّ ) مَالَ التَّجَارَةِ فِي أَثْنَائِهِ ) أَي الْحَوْلِ إِلَى نَقْدِ كَأَنْ بِيعَ بِهِ وَكَانَ مِمَّا يَقُومُ بِهِ آخِرُهُ ) أَي آخِرُ الْحَوْلِ ، وَهُوَ دُونَ نِصَابٍ وَاشْتُرِيَ بِهِ عَرْضٌ أَبْتُدِئَ حَوْلُهُ أَيْ الْعَرْضُ ( مِنْ ) حِينِ شِرَائِهِ ) لِتَحَقَّقِ نَقْصِ النَّصَابِ بِالتَّنْضِيضِ بِخِلَافِهِ قَبْلَهُ ، فَإِنَّهُ مَظْنُونَ أَمَّا لَوْ بَاعَهُ بِعَرْضِ أَوْ بِنَقْدِ لَا يَقُومُ بِهِ آخِرَ الْحَوْلِ كَأَنْ بَاعَهُ بِدَرَاهِمَ وَالْحَالُ يَقْتَضِي التَّقْوِيمَ بِدَنَانِيرَ أَوْ بِنَقْدِ يَقُومُ بِهِ ، وَهُوَ نِصَابٌ فَحَوْلُهُ بَاقٍ وَقَوْلِي يَقُومُ بِهِ آخِرُهُ مِنْ زِيَادَتِي قَوْلُهُ بِشَرْطِ حَوْل وَيَظْهَرُ انْعِقَادُ الْحَوْلِ بِأَوَّلِ مَتَاعٍ يُشْتَرَى بِقَصْدِهَا وَيُنْبِئُ حَوْلُ مَا يُشْتَرَى بَعْدَهُ عَلَيْهِ . اهـ . شَوْبَرِي . ( قَوْلُهُ بِآخِرِهِ الْبَاءُ فِي بِآخِرِهِ وَبِطَرَفَيْهِ وَبِجَمِيعِهِ ظَرْفِيَّةٌ أَيْ فِي آخِرِهِ لَا فِي طَرَفَيْهِ وَلَا فِي جَمِيعِهِ اهـ . بِرْمَاوِي . وَعِبَارَةُ أَصْلِهِ مَعَ شَرْحِ م ر وَفِي قَوْلِ بِطَرَفَيْهِ أَيْ فِي أَوَّلِ الْحَوْلِ ، وَفِي آخِرِهِ وَلَا يُعْتَبَرُ مَا بَيْنَهُمَا إِذْ تَقْوِيمُ الْعَرَضِ فِي كُلِّ لَحْظَةٍ يَشُقُّ وَيُحْوِجُ إِلَى مُلَازَمَةِ السُّوقِ وَمُرَاقَبَةٍ دَائِمَةٍ ، وَفِي قَوْلِ بِجَمِيعِهِ كَالْمَوَاشِي ، وَعَلَيْهِ لَوْ نَقَصَتْ قِيمَتُهُ عَنْ النَّصَابِ فِي لَحْظَةِ انْقَطَعَ الْحَوْلُ ، فَإِنْ كَمُلَ بَعْدَ ذَلِكَ اسْتَأْنَفَ الْحَوْلَ مِنْ يَوْمَئِذٍ وَهَذَانِ مَخْرَجَانِ وَالْمَنْصُوصُ الْأَوَّلُ انْتَهَتْ .
“Sesungguhnya zakat perdagangan itu wajib dengan syarat haul (satu tahun) dan nishab (batas minimal), seperti zakat lainnya. (Dianggap) maksudnya nishab pada akhirnya, yaitu pada akhir haul, bukan pada kedua sisinya (awal dan akhir) dan bukan pada keseluruhannya; karena yang dianggap adalah nilai, dan sulit untuk memperhatikannya setiap waktu karena gejolak harga yang turun naik, dan cukup dengan menganggapnya pada akhir haul; karena itu adalah waktu wajibnya. Maka jika mengembalikan (harta perdagangan di tengah-tengahnya), yaitu haul, menjadi uang tunai, seperti dijual dengannya dan termasuk yang nilainya mencapai nishab pada akhirnya), yaitu akhir haul, sedangkan nilainya di bawah nishab, dan dibeli dengannya barang dagangan, maka dimulai haulnya, yaitu barang dagangan, (dari) waktu pembeliannya), karena telah pasti kekurangan nishab dengan penunaian, berbeda dengan sebelumnya, karena itu hanya dugaan. Adapun jika menjualnya dengan barang dagangan atau uang tunai yang nilainya tidak mencapai nishab pada akhir haul, seperti menjualnya dengan dirham sedangkan keadaan menuntut penilaian dengan dinar, atau dengan uang tunai yang nilainya mencapai nishab, maka haulnya tetap. Dan perkataanku ‘nilainya mencapai nishab pada akhirnya’ adalah tambahan dariku. Perkataannya ‘dengan syarat haul’ menunjukkan bahwa awal haul dimulai dengan barang pertama yang dibeli dengan tujuan perdagangan, dan haul barang yang dibeli setelahnya mengikuti haul tersebut. Selesai. Syauhari. (Perkataannya ‘pada akhirnya’, huruf ba’ pada ‘pada akhirnya’, ‘pada kedua sisinya’, dan ‘pada keseluruhannya’ menunjukkan makna ‘di’, yaitu pada akhirnya, bukan pada kedua sisinya dan bukan pada keseluruhannya. Selesai. Burmawi. Ungkapan aslinya beserta penjelasan M.R. dan pada perkataan ‘pada kedua sisinya’ yaitu pada awal haul dan pada akhirnya, dan tidak dianggap apa yang di antara keduanya, karena menilai barang dagangan setiap saat itu sulit dan mengharuskan untuk terus berada di pasar dan mengawasi terus-menerus. Dan pada perkataan ‘pada keseluruhannya’ seperti hewan ternak, dan karenanya jika nilainya berkurang dari nishab pada suatu saat, maka haulnya terputus, dan jika setelah itu nilainya mencapai nishab, maka haul dimulai kembali dari hari itu. Dan ini adalah dua pendapat, dan yang disebutkan adalah pendapat pertama. Selesai.”
حاشية الشبراملسي نهاية المحتاج ( ٥٥/٦ )
( قَوْلُهُ : وَيَبْطُلُ الْحَوْلُ الْأَوَّلُ ( قَضِيَّتُهُ أَنَّهُ لَوْ اشْتَرَى بِبَعْضِ مَالِ الْقِنْيَةِ عَرْضًا لِلتَّجَارَةِ أَوَّلَ الْمُحَرَّمِ ، ثُمَّ بِبَاقِيهِ عَرْضًا آخَرَ أَوَّلَ صَفَرٍ أَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا إِذَا لَمْ تَبْلُغْ قِيمَةُ كُلِّ وَاحِدٍ نِصَابًا ؛ لِأَنَّهُ بِأَوَّلِ الْمُحَرَّمِ مِنْ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ يَنْقَطِعُ مَا اشْتَرَاهُ أَوَّلًا لِنَقْصِهِ عَنْ النَّصَابِ وَيُبْتَدَأَ لَهُ حَوْلٌ مِنْ ذَلِكَ الْوَقْتِ ، وَيُقَوَّمُ الثَّانِي أَوَّلَ صَفَرٍ مِنَ السَّنَةِ الثَّانِيَةِ وَهَكَذَا ، فَلَا يَجِبُ فِي وَاحِدٍ مِنْهُمَا زَكَاةً إِلَّا إِذَا بَلَغَ نِصَابًا آخَرَ ، وَلَيْسَ مُرَادًا بَلْ يُزَكِّى الْجَمِيعُ آخِرَ حَوْلِ الثَّانِي لِوُجُودِ الْجَمِيعِ فِي مِلْكِهِ مِنْ أَوَّلِ صَفَرٍ .
Hasyiyah Asy-Syabramallisi Nihayah Al-Muhtaj (6/55)
(Perkataannya: “Dan batal haul pertama”). Kesimpulannya adalah, seandainya seseorang membeli sebagian harta perolehan dengan barang dagangan pada awal Muharram, kemudian dengan sisanya membeli barang dagangan lain pada awal Safar, maka tidak ada zakat pada salah satu dari keduanya jika nilai masing-masing tidak mencapai nishab. Karena pada awal Muharram tahun kedua, apa yang dibeli pertama kali terputus karena kurang dari nishab dan dimulai haul baru untuknya dari waktu itu. Yang kedua dinilai pada awal Safar tahun kedua, dan begitu seterusnya. Maka tidak wajib zakat pada salah satunya kecuali jika mencapai nishab lain. Dan ini bukan yang dimaksud, tetapi semuanya dizakati pada akhir haul yang kedua, karena semuanya sudah dimiliki sejak awal Safar.
تحفة المحتاج في شرح المنهاج ( ١٢/٣٢٤ )
فَلَوْ اشْتَرَى الْعَرْضَ بِالْمِائَةِ أَي الْمِائَةِ الدَّرْهَمِ الَّتِي مَعَهُ فَلَمَّا مَضَتْ سِتَّةُ أَشْهُرٍ اسْتَفَادَ خَمْسِينَ دِرْهَمًا مِنْ جِهَةٍ أُخْرَى فَلَمَّا تَمَّ حَوْلُ الْعَرْضِ كَانَتْ قِيمَتُهُ مِائَةً وَخَمْسِينَ فَلَا زَكَاةَ ؛ لِأَنَّ الْخَمْسِينَ لَمْ يَتِمَّ حَوْلُهَا ؛ لِأَنَّهَا وَإِنْ ضُمَّتْ إِلَى مَالِ التِّجَارَةِ فَإِنَّمَا تُضَمَّ إِلَيْهِ فِي النِّصَابِ لَا فِي الْحَوْلِ ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ مِنَ الْعَرْضِ وَلَا مِنْ رِبْحِهِ فَإِذَا تَمَّ حَوْلُ الْخَمْسِينَ زَكَّى الْمِائَتَيْنِ وَلَوْ كَانَ مَعَهُ مِائَةُ دِرْهَمٍ فَاشْتَرَى بِهَا عَرْضًا لِلتِّجَارَةِ فِي أَوَّلِ الْمُحَرَّمِ ثُمَّ اسْتَفَادَ مِائَةً أَوَّلَ صَفَرٍ فَاشْتَرَى بِهَا عَرْضًا ثُمَّ اسْتَفَادَ مِائَةً ثَالِثَةً فِي أَوَّلِ شَهْرِ رَبِيعٍ فَاشْتَرَى بِهَا عَرْضًا آخَرَ فَإِذَا تَمَّ حَوْلُ الْمِائَةِ الثَّانِيَةِ قُوْمَ عَرْضُهَا فَإِذَا بَلَغَتْ قِيمَتُهُ مَعَ الْأُولَى نِصَابًا زَكَاهُمَا وَإِنْ نَقَصَا عَنْهُ فَلَا زَكَاةَ فِي الْحَالِ فَإِذَا تَمَّ حَوْلُ الْمِائَةِ الثَّالِثَةِ فَإِنْ كَانَ الْجَمِيعُ نِصَابَا زَكَاهُ وَإِلَّا فَلَا اهـ . وَفِي الْقُوتِ مَا نَصُّهُ إِشَارَةٌ تُضَمُّ أَمْوَالُ التِّجَارَةِ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ فِي النِّصَابِ وَإِنْ اخْتَلَفَ حَوْلُهَا اهـ .
Tuhfah Al-Muhtaj dalam Syarah Al-Minhaj (12/324)
Seandainya seseorang membeli barang dagangan dengan seratus, yaitu seratus dirham yang dimilikinya, lalu setelah enam bulan ia mendapat lima puluh dirham dari arah lain, maka ketika haul barang dagangan itu sempurna, nilainya menjadi seratus lima puluh, maka tidak ada zakat. Karena yang lima puluh belum sempurna haulnya. Karena meskipun digabungkan dengan harta dagangan, penggabungannya hanya pada nishab, bukan pada haul. Karena itu bukan dari barang dagangan dan bukan dari keuntungannya. Maka jika haul yang lima puluh itu sempurna, ia menzakati yang dua ratus. Dan seandainya ia memiliki seratus dirham, lalu ia membeli barang dagangan dengannya pada awal Muharram, kemudian ia mendapat seratus pada awal Safar lalu ia membeli barang dagangan dengannya, kemudian ia mendapat seratus ketiga pada awal bulan Rabi’ lalu ia membeli barang dagangan lain dengannya, maka ketika haul yang seratus kedua sempurna, barang dagangan itu dinilai. Jika nilainya bersama yang pertama mencapai nishab, ia menzakati keduanya, dan jika kurang dari itu, maka tidak ada zakat saat itu. Maka jika haul yang seratus ketiga sempurna, jika semuanya mencapai nishab, ia menzakatinya, dan jika tidak, maka tidak. Selesai. Dalam Al-Qut disebutkan: “Isyarat, harta dagangan digabungkan sebagian dengan sebagian lainnya dalam nishab, meskipun haulnya berbeda.” Selesai.
الفقه الإسلامي وأدلته (٢٢٨/٣)
يُقَوِّمُ التَّاجِرُ الْعُرُوضَ أَوْ الْبَضَائِعَ التَّجَارِيَّةَ فِي آخِرِ كُلِّ عَامٍ بِحَسَبِ سِعْرِهَا فِي وَقْتِ إِخْرَاجِ الزَّكَاةِ، لَا بِحَسَبِ سِعْرِ شِرَائِهَا، وَيُخْرِجُ الزَّكَاةَ الْمَطْلُوبَةَ، وَتُضَمُ السِّلَعُ التِّجَارِيَّةُ بَعْضُهَا إِلَى بَعْضٍ عِنْدَ التَّقْوِيمِ وَلَوْ اخْتَلَفَتْ أَجْنَاسُهَا، كَثِيَابٍ وَجُلُودٍ وَمَوَادٍ تَمْوِينِيَّةٍ، وَتَجِبُ الزَّكَاةُ بِلَا خِلَافٍ فِي قِيمَةِ الْعُرُوضِ، لَا فِي عَيْنِهَا؛ لِأَنَّ النِّصَابَ مُعْتَبَرٌ بِالْقِيمَةِ، فَكَانَتْ الزَّكَاةُ مِنْهَا، وَوَاجِبُ التِّجَارَةِ هُوَ رُبْعُ عُشْرِ الْقِيمَةِ كَالنَّقْدِ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ، قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ فِي الْعُرُوضِ الَّتِي يُرَادُ بِهَا التِّجَارَةُ: الزَّكَاةُ إِذَا حَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ.
Fiqh Islam dan Dalil-dalilnya (3/228)
Seorang pedagang menilai barang dagangannya atau barang-barang komersial di akhir setiap tahun berdasarkan harganya pada saat mengeluarkan zakat, bukan berdasarkan harga pembeliannya, dan mengeluarkan zakat yang wajib. Barang-barang komersial digabungkan satu sama lain saat penilaian, meskipun jenisnya berbeda, seperti pakaian, kulit, dan bahan makanan. Zakat wajib tanpa perbedaan pendapat pada nilai barang dagangan, bukan pada bendanya; karena nishab dihitung berdasarkan nilai, maka zakatnya diambil dari sana, dan kewajiban perdagangan adalah seperempat dari sepersepuluh nilai seperti uang tunai menurut kesepakatan para ulama. Ibnu Mundzir berkata: Para ulama telah sepakat bahwa pada barang dagangan yang dimaksudkan untuk perdagangan: zakat wajib jika telah mencapai satu tahun.
(أسنى المطالب شرح روض الطالب ١١٩/٥)
(فَرْعٌ) لَوْ اشْتَرَى عَرْضًا لِلتِّجَارَةِ بِعِشْرِينَ دِينَارًا ثُمَّ بَاعَهُ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ بِأَرْبَعِينَ دِينَارًا وَاشْتَرَى بِهَا عَرْضًا آخَرَ وَبَلَغَ آخِرَ الْحَوْلِ بِالتَّقْوِيمِ أَوْ بِالتَّنْضِيضِ مِائَةً زَكَّى خَمْسِينَ لِأَنَّ رَأْسَ الْمَالِ عِشْرُونَ وَنَصِيبُهَا مِنَ الرِّبْحِ ثَلَاثُونَ يُزَكِّي أَيِ الرِّبْحَ الَّذِي هُوَ ثَلَاثُونَ مَعَ أَصْلِهِ) الَّذِي هُوَ عِشْرُونَ لِأَنَّهُ حَصَلَ فِي آخِرِ الْحَوْلِ مِنْ غَيْرِ نَضُوضٍ لَهُ قَبْلَهُ ثُمَّ إِنْ كَانَ قَدْ بَاعَ الْعَرْضَ قَبْلَ حَوْلِ الْعِشْرِينَ الرِّبْحَ كَانَ بَاعَهُ آخِرَ الْحَوْلِ الْأَوَّلِ زَكَاهَا لِحَوْلِهَا أَيْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ مِنْ مُضِيِّ الْأَوَّلِ وَزَكَّى رِيحَهَا) وَهُوَ ثَلَاثُونَ لِحَوْلِهِ) أَيْ لِسِتَّةِ أَشْهُرٍ أُخْرَى فَإِنْ كَانَتِ الْخَمْسُونَ الَّتِي زَكَّى عَنْهَا أَوَّلًا بَاقِيَةً زَكَاهَا أَيْضًا لِحَوْلِ الثَّلَاثِينَ (وَإِلَّا) أَيْ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ قَدْ بَاعَ الْعَرْضَ قَبْلَ حَوْلِ الْعِشْرِينَ الرِّبْحَ زَكَاهُ) أَيْ رِبْحَهَا وَهُوَ الثَّلَاثُونَ (مَعَهَا) لِأَنَّهُ لَمْ يَنْضُ قَبْلَ فَرَاغِ حَوْلِهَا وَإِذَا اشْتَرَى عَرْضًا بِعَشَرَةٍ) مِنَ الدَّنَانِيرِ وَبَاعَ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ بِعِشْرِينَ مِنْهَا وَلَمْ يَشْتَرِ بِهَا عَرْضًا زَكَّى كُلًّا مِنَ الْعَشَرَتَيْنِ (لِحَوْلِهِ) بِحُكْمِ الْخُلْطَةِ وَقَدْ يَسْتَشْكِلُ زَكَاةً الْعَشَرَةِ الرِّبْحِ بِأَنَّ النِّصَابَ نَقَصَ بِالْإِخْرَاجِ عَنِ الْعَشَرَةِ الْأُخْرَى وَيُجَابُ بِمَا أَجَبْتُ بِهِ عَنْ كَلَامِ الْإِسْنَوِي فِي بَابِ الْخُلْطَةِ فِي فَرْعِ مَلَكَ أَرْبَعِينَ شَاةً.
(Asna al-Mathalib Syarh Raud al-Thalib 5/119)
(Cabang) Jika seseorang membeli barang dagangan untuk perdagangan dengan dua puluh dinar, kemudian menjualnya setelah enam bulan dengan empat puluh dinar dan membeli barang dagangan lain dengannya, dan mencapai akhir tahun dengan penilaian atau dengan penjualan seratus, maka dia wajib mengeluarkan zakat lima puluh, karena modalnya dua puluh dan bagian keuntungannya tiga puluh. Dia wajib mengeluarkan zakat, yaitu keuntungan yang tiga puluh bersama modalnya) yang dua puluh, karena itu diperoleh di akhir tahun tanpa penjualan sebelumnya. Kemudian, jika dia telah menjual barang dagangan sebelum genap satu tahun dari dua puluh, maka keuntungannya dijual di akhir tahun pertama, dia wajib mengeluarkan zakatnya untuk satu tahunnya, yaitu untuk enam bulan dari awal, dan dia wajib mengeluarkan zakat keuntungannya) yaitu tiga puluh untuk satu tahunnya) yaitu untuk enam bulan berikutnya. Jika lima puluh yang dia zakati pertama kali masih ada, dia wajib mengeluarkan zakatnya lagi untuk satu tahun dari tiga puluh (jika tidak), yaitu jika dia belum menjual barang dagangan sebelum genap satu tahun dari dua puluh keuntungan, dia wajib mengeluarkan zakatnya) yaitu keuntungannya yang tiga puluh (bersamanya), karena itu belum terjual sebelum berakhirnya satu tahunnya. Dan jika dia membeli barang dagangan dengan sepuluh) dinar dan menjualnya di tengah tahun dengan dua puluh darinya dan tidak membeli barang dagangan lain dengannya, dia wajib mengeluarkan zakat dari masing-masing sepuluh (untuk satu tahunnya) berdasarkan hukum pencampuran. Dan zakat sepuluh keuntungan mungkin bermasalah, karena nishab berkurang dengan pengeluaran dari sepuluh yang lain, dan jawabannya adalah dengan apa yang saya jawab tentang perkataan al-Isnawi di bab pencampuran dalam cabang kepemilikan empat puluh ekor kambing.