Hukum Mengambil Sisa Makanan Tamu : Vis Mengambil Foto di FB Tanpa Izin
Assalamualaikum
Deskripsi Masalah
Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda:Bahwa tamu datang bersama rezekinya:
إِذَا دَخَلَ الضَّيْفُ عَلَى الْقَوْمِ دَخَلَ بِرِزْقِهِ وَإِذَا خَرَجَ خَرَجَ بِمَغْفِرَتِهِمْ (رواه الديلمي)
Artinya:
“Jika tamu mengunjungi suatu kaum, maka ia datang dengan membawa rezekinya sendiri. Dan jika ia pergi, maka ia keluar dengan membawa pengampunan bagi mereka (kaum tersebut).” (HR. Ad-Dailami)
Hadis ini menunjukkan bahwa keberadaan tamu mendatangkan rezeki bagi tuan rumah. Sejalan dengan keyakinan ini, sebagian masyarakat meyakini bahwa sisa makanan yang ditinggalkan oleh tamu, terutama ulama ( Kiyai ) memiliki keberkahan, bahkan dianggap sebagai obat. Oleh karena itu, tidak jarang pelayan , panitia acara pernikahan atau haflah mengambil sisa makanan tersebut tanpa meminta izin terlebih dahulu dari tamu yang bersangkutan.
Studi Kasus yang serupa
Pada zaman Melinial sudah banyak aplikasi yang dapat menampilkan foto seperti messenger FP dan What App, bagi pemilik Akun FB maupun WA sering menampilkan foto dimidia sosial .Permasalahan yang muncul adalah:
Bagaimana hukum mengambil sisa makanan tamu tanpa izin? Sementara tamu meninggalkan dan pulang dengan mendapatkan ampunan , begitu juga hukum mengambil foto di FB/ WA bolehkah atau tidak ?
Waalaikum salam
Jawaban
Jika ada dugaan kuat pememiliknya ridho ( rela ) maka hukumnya boleh mengambilnya, tetapi sebaliknya jika pemiliknya tidak rela maka ia wajib menggantinya. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra berikut :
الفتاوى الفقهية الكبرى (ج٤/ص١١٦)
وسئل بما لفظه هل جواز الأخذ بعلم الرضا من كل شيء أم مخصوص بطعام الضيافة فأجاب بقوله الذي دل عليه كلامهم أنه غير مخصوص بذلك وصرحوا بأن غلبة الظن كالعلم في ذلك وحينئذ فمتى غلب على ظنه أن المالك يسمح له بأخذ شيء معين من ماله جاز له أخذه ثم إن بان خلاف ظنه لزمه ضمانه وإلا فلا
Seseorang bertanya, “Apakah kebolehan mengambil sesuatu dengan dasar mengetahui kerelaan pemiliknya berlaku untuk segala sesuatu, ataukah khusus untuk makanan jamuan?” Maka dijawab: “Keterangan para ulama menunjukkan bahwa hal ini tidak khusus untuk makanan jamuan saja. Mereka juga menyatakan bahwa ghalabatuzh zhan (dugaan kuat) setara dengan pengetahuan dalam hal ini. Oleh karena itu, jika seseorang memiliki dugaan kuat bahwa pemiliknya mengizinkan dia mengambil sesuatu dari harta miliknya, maka dibolehkan baginya untuk mengambilnya. Namun, jika ternyata dugaan tersebut keliru, maka ia wajib menggantinya. Jika tidak, maka tidak ada kewajiban mengganti.” Dalil hadits
لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan ridho pemiliknya” (HR. Ahmad 5: 72. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa hadits tersebut shahih lighoirihi).
Izin di sini boleh jadi:
(1) Izin secara langsung
(2) Izin tidak langsung (izin dalalah)
Adapun izin tidak langsung yaitu misalnya secara ‘urf (kebiasaan), hal seperti itu sudah dimaklumi tanpa ada izin lisan atau sudah diketahui ridhonya si pemilik jika barangnya dimanfaatkan.
Mengenai bentuk izin jenis kedua ini kita bisa berdalil dengan kisah Khidr yang menghancurkan perahu orang miskin yang nantinya akan dirampas oleh raja. Ia sengaja menghancurkannya karena ia tahu bahwa mereka (para pemilik) ridho akan perbuatan Khidr. Allah Ta’ala berfirman,
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al Kahfi: 79).
Oleh karenanya, mengenai izin jenis kedua ini, Ibnu Taimiyah memiliki kaedah,
وَالْإِذْنُ الْعُرْفِيُّ كَالْإِذْنِ اللَّفْظِيِّ
“Izin secara ‘urf (kebiasaan) teranggap sama dengan izin secara lisan” (Majmu’
Al Fatawa, 11: 427).
Di tempat lain, beliau rahimahullah mengatakan,
وَكُلُّ مَا دَلَّ عَلَى الْإِذْنِ فَهُوَ إذْنٌ
“Segala sesuatu yang bermakna izin maka dihukumi sebagai izin” (Majmu’ Al Fatawa, 28: 272). Begitu juga halnya tamu yang pulangnya lebih dari tiga hari (bertanya lebih tiga hari) walaupun tanpa izin tidaklah berdosa karena hal tersebut termasuk sedekah.
Berdasarkan hadits
شرح النووي على مسلم ص٢٩-٣٠
(بَاب الضِّيَافَةِ وَنَحْوُهَا
[٤٨] قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ جَائِزَتَهُ قَالُوا وَمَا جَائِزَتُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ يَوْمُهُ وَلَيْلَتُهُ وَالضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامِ فَمَا كَانَ وَرَاءَ ذَلِكَ فَهُوَ صَدَقَةٌ عَلَيْهِ) وَقَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ وَفِي رِوَايَةٍ الضِّيَافَةُ ثَلَاثَةُ أَيَّامٍ وَجَائِزَتُهُ يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ وَلَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ مُسْلِمٍ أَنْ يُقِيمَ عِنْدَ أَخِيهِ حَتَّى يُؤْثِمَهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يُؤْثِمُهُ قَالَ يُقِيمُ عِنْدَهُ وَلَا شئ له يقر بِهِ وَفِي رِوَايَةٍ إِنْ نَزَلْتُمْ بِقَوْمٍ فَأَمَرُوا لَكُمْ بِمَا يَنْبَغِي لِلضَّيْفِ فَاقْبَلُوا فَإِنْ لَمْ يَفْعَلُوا فَخُذُوا مِنْهُمْ حَقَّ الضَّيْفِ الَّذِي يَنْبَغِي لَهُمْ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ مُتَظَاهِرَةٌ عَلَى الْأَمْرِ بِالضِّيَافَةِ وَالِاهْتِمَامِ بِهَا وَعَظِيمِ مَوْقِعِهَا وَقَدْ أَجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ عَلَى الضِّيَافَةِ وَأَنَّهَا مِنْ مُتَأَكِّدَاتِ الْإِسْلَامِ ثُمَّ قَالَ الشَّافِعِيُّ وَمَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ رَحِمَهُمُ اللَّهُ تعالى والجمهور هي سنة ليست بوجبة وَقَالَ اللَّيْثُ وَأَحْمَدُ هِيَ وَاجِبَةٌ يَوْمًا وَلَيْلَةً قال أَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ هِيَ وَاجِبَةٌ يَوْمًا وَلَيْلَةً عَلَى أَهْلِ الْبَادِيَةِ وَأَهْلِ)الْقُرَى
دُونَ أَهْلِ الْمُدُنِ وَتَأَوَّلَ الْجُمْهُورُ هَذِهِ الْأَحَادِيثَ وَأَشْبَاهَهَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ وَمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ وَتَأَكُّدِ حَقِّ الضَّيْفِ
Bab Keramahtamahan dan Hal-Hal yang Berkaitan Dengannya
[48] Sabda Rasulullah ﷺ:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya dengan pemberian yang pantas baginya.”
Para sahabat bertanya, “Apakah pemberian yang pantas itu, wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Sehari semalam, dan keramahtamahan itu (berlaku) selama tiga hari. Setelah itu, (jika lebih dari tiga hari) maka itu menjadi sedekah baginya.”
Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Keramahtamahan itu selama tiga hari, dan pemberian yang pantas baginya adalah sehari semalam. Tidak halal bagi seorang Muslim untuk menetap di tempat saudaranya hingga ia menjadikannya berdosa.”
Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang bisa menjadikannya berdosa?”
Beliau menjawab, “Ia menetap di tempat saudaranya, sementara saudaranya tidak memiliki sesuatu untuk menjamunya.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Jika kalian singgah di suatu kaum, lalu mereka memberikan apa yang seharusnya diberikan kepada tamu, maka terimalah. Tetapi jika mereka tidak melakukannya, maka ambillah hak tamu yang seharusnya diberikan kepada kalian.”
Hadis-hadis ini secara keseluruhan menunjukkan perintah untuk menjamu tamu, perhatian terhadapnya, serta kedudukan pentingnya dalam Islam. Kaum Muslimin telah sepakat bahwa menjamu tamu adalah bagian dari ajaran Islam yang sangat ditekankan.
Imam Syafi’i, Malik, Abu Hanifah, dan mayoritas ulama berpendapat bahwa menjamu tamu adalah sunnah dan tidak wajib.
Sedangkan Imam Laits dan Ahmad berpendapat bahwa menjamu tamu hukumnya wajib selama sehari semalam.
Imam Ahmad menambahkan bahwa kewajiban ini berlaku bagi penduduk pedesaan dan perkampungan, tetapi tidak berlaku bagi penduduk kota-kota besar.
Mayoritas ulama menafsirkan hadis-hadis tersebut sebagai anjuran dan bagian dari akhlak mulia serta penegasan terhadap hak tamu.
Kesimpulan
Berdasarkan keterangan di atas, hukum mengambil sisa makanan tamu tanpa izin tergantung pada dugaan kuat tentang kerelaan pemiliknya. Jika terdapat dugaan kuat bahwa tamu merelakan sisa makanannya untuk diambil, maka hal tersebut diperbolehkan. Sebaliknya, jika tamu tidak merelakan, maka orang yang mengambilnya wajib mengganti atau meminta maaf, sebagaimana kaidah dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra yang menyatakan bahwa dugaan kuat (ghalabatuzh zhan) tentang kerelaan pemilik dapat menjadi dasar kebolehan mengambil sesuatu, namun jika dugaan tersebut keliru, maka wajib menggantinya.
Dalil yang memperkuat kaidah ini adalah sabda Rasulullah ﷺ:
“Tidak halal harta seseorang kecuali dengan kerelaan pemiliknya.”
(HR. Ahmad 5:72, dinilai shahih lighairihi oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth)
Dalam hal ini, izin dapat berupa:
Izin langsung (izin secara eksplisit dari pemilik).
Izin tidak langsung (izin yang dapat dipahami berdasarkan adat kebiasaan/’urf).
Pendapat ini diperkuat oleh kaidah Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa (11:427, 28:272) yang menyatakan bahwa izin berdasarkan kebiasaan (‘urf) dapat disamakan dengan izin secara lisan.
Adapun terkait mengambil foto dari media sosial (seperti Facebook atau WhatsApp), hukumnya sama. Jika ada dugaan kuat bahwa pemilik foto merelakan fotonya untuk diambil atau digunakan, maka hal tersebut diperbolehkan. Namun, jika pemilik tidak merelakan, maka mengambilnya tanpa izin merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dan memerlukan izin terlebih dahulu.
Untuk menghindari ketidakjelasan hukum, sebaiknya selalu meminta izin secara langsung sebelum mengambil sisa makanan tamu maupun foto dari media sosial.
Wallahu A’lam bish-Shawab.