STANDARISASI KUTUBUL MU’TABARAH DALAM FORUM BAHTSUL MASAIL

Standarisasi Kutubul Mu’tabarah dalam Forum Bahtsul Masail

Assalamualaikum

Deskripsi Masalah:

Dalam berbagai forum bahtsul masail, baik di tingkat lokal (lingkup satu pesantren) maupun antar pesantren, sering kali muncul istilah kutubul mu’tabarah sebagai standar dalam menetapkan hukum suatu permasalahan.
Namun, ketika menghadapi problematika kontemporer, tidak jarang para peserta mengalami kesulitan dalam menemukan rujukan yang sesuai dari kitab-kitab klasik (salaf). Menariknya, setiap pesantren di wilayah Jawa-Madura memiliki standar dan metode seleksi yang berbeda dalam menentukan kitab-kitab yang dapat dijadikan landasan hukum. Sebagai contoh, beberapa kitab seperti:
Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu
Fifiq zakat Karya Dr.Yusuf Al-Qardhawi
Yas’alunak fi ad-Din wa al-Hayah
Fatawa Al-Azhar
Fatawa Asy-Syabakah Al-Islamiyyah
Fiqih Sunnah Karya Sayyid Sabiq

Di sebagian forum bahtsul masail, kitab-kitab ini ditolak dan dianggap tidak bisa dijadikan rujukan hukum. Sementara itu, di forum lain, kitab-kitab ini diterima dan digunakan sebagai dasar dalam mengambil keputusan hukum. Perbedaan standar ini menimbulkan pertanyaan tentang kriteria dan otoritas dalam menetapkan sebuah kitab sebagai kutubul mu’tabarah.

Pertanyaan:

1. Sejauh mana sebuah kitab dapat dikategorikan sebagai kutubul mu’tabarah?

2. Siapa yang berhak menentukan standar kutubul mu’tabarah seperti dalam kasus kitab-kitab di atas?

Waalaikum Salam

Jawaban:

1. Sebuah kitab dapat dikategorikan sebagai kutubul mu’tabarah selama memenuhi kriteria berikut:

a). Tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Sejalan dengan metodologi yang berkembang dalam masing-masing mazhab (madzahibul arba’ah).

b). Memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi dalam keabsahan dan otoritasnya. Diterima secara luas dalam tradisi keilmuan yang telah berkembang.

c).Tidak terlalu ringkas sehingga hanya dapat dipahami oleh kalangan tertentu saja.

2. Standarisasi kutubul mu’tabarah bergantung pada kebijakan lembaga atau organisasi yang menggunakannya. Setiap lembaga memiliki pertimbangan sendiri dalam menentukan kitab-kitab yang dianggap valid sebagai rujukan hukum.

Dalam dunia pesantren, istilah kitab mu’tabarah (kitab yang diakui) mengacu pada kitab-kitab yang dijadikan rujukan utama dalam suatu mazhab atau sistem pendidikan tertentu. Jika ada kitab yang tidak dianggap sebagai rujukan di sebagian pondok pesantren, maka alasannya bisa beragam. Berikut beberapa alasan yang sering menjadi dasar mengapa suatu kitab tidak dianggap mu’tabarah:

1. Tidak Memiliki Sanad Keilmuan yang Jelas

Dalam tradisi pesantren, sanad atau jalur periwayatan ilmu sangat penting. Kitab-kitab yang dijadikan rujukan biasanya memiliki keterkaitan dengan ulama yang sanad keilmuannya bersambung hingga kepada para imam mazhab. Jika suatu kitab tidak memiliki sanad yang kuat atau tidak dikenal dalam jaringan keilmuan tradisional, maka bisa jadi kitab tersebut tidak diterima sebagai rujukan.

2. Tidak Sesuai dengan Mazhab yang Dianut

Sebagian besar pesantren di Indonesia mengikuti Mazhab Syafi’i. Jika suatu kitab ditulis oleh seorang ulama yang berbeda mazhab, atau meskipun bermazhab Syafi’i tetapi pendapatnya menyimpang dari kaidah yang umum diterima dalam mazhab tersebut, maka kitab tersebut bisa jadi tidak dianggap mu’tabarah.

3. Kurangnya Pengakuan dari Ulama Besar

Kitab-kitab yang diakui sebagai mu’tabarah biasanya mendapatkan pengakuan atau rekomendasi dari ulama-ulama besar yang otoritatif dalam bidangnya. Jika sebuah kitab tidak mendapatkan pengakuan dari ulama besar atau tidak banyak dikutip dalam kitab-kitab utama, maka kitab tersebut bisa dianggap kurang kredibel sebagai rujukan.

4. Metode Penyusunan yang Tidak Sesuai dengan Standar Keilmuan

Sebagian kitab mungkin disusun dengan metode yang dianggap kurang sistematis atau kurang teliti dalam mengutip sumber. Kitab yang tidak merujuk kepada dalil-dalil yang kuat atau memiliki kecenderungan menyimpulkan hukum tanpa metodologi yang jelas bisa saja tidak diterima sebagai rujukan di sebagian pesantren.

5. Adanya Unsur Kontroversial dalam Isi Kitab

Jika suatu kitab mengandung pandangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sudah mapan dalam mazhab atau menyajikan pendapat yang dianggap kontroversial tanpa dasar yang kuat, maka kitab tersebut bisa dikesampingkan dalam kurikulum pesantren.

6. Kebijakan dan Tradisi di Pesantren Tertentu

Beberapa pesantren memiliki kebijakan dan tradisi tersendiri dalam memilih kitab rujukan. Bisa jadi ada kitab yang sebenarnya memiliki nilai ilmiah yang baik, tetapi tidak digunakan karena tradisi pesantren lebih mengandalkan kitab-kitab yang telah lama diajarkan dan diwariskan secara turun-temurun.

Kesimpulan:
Penetapan sebuah kitab sebagai kutubul mu’tabarah dalam forum bahtsul masail bergantung pada kriteria kesesuaian dengan Al-Qur’an dan Hadis, penerimaan luas dalam tradisi keilmuan, serta kelayakan metodologis dalam mazhab tertentu. Namun, standar penerimaan kitab dapat bervariasi antara pesantren atau lembaga yang berbeda, tergantung pada otoritas dan kebijakan yang mereka terapkan. Oleh karena itu, perbedaan dalam penggunaan kitab-kitab kontemporer sebagai rujukan hukum dalam bahtsul masail merupakan konsekuensi dari perbedaan metodologi dan otoritas keilmuan masing-masing lembaga.

Referensi:

كتاب الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي [وهبة الزحيلي]ج١ص٦-٧

– منهج هذا الكتاب:
– يمكن إبراز بعض مزايا هذا الكتاب في الفقه على النحو الجديد في التأليف تحقيقاً واستنباطاً وأسلوباً وتبويباً وتنظيماً وفهرسة واستدلالاً بما يأتي:

١ً – إنه كتاب فقه الشريعة الإسلامية المعتمد على الدليل الصحيح من القرآن والسنة والمعقول، لا فقه السنة وحدها، ولا فقه الرأي وحده، إذ ليس عمل المجتهد معتبراً بغير الاعتماد على القرآن والسنة. ومعرفة أحكام الشرع الفقهية التي هي مجرد أمر وصفي وبيان مسلَّمات، لاتكوِّن قناعة عقلية ولا متعة نفسية، ولا طمأنينة للعالم والمتعلم إذا جاءت من غير دليل، كما أن العلم بدليل الحكم يخرج من ربقة الجمود على التقليد المذموم في القرآن إلى الاتباع المقرون بالبصيرة الذي اشترطه الأئمة فيمن يتلقى العلم عنهم، ثم إن أدلة الأحكام هي روح الفقه، ودراستها رياضة للعقل، وتربية له، وتكوين للملكة الفقهية لدى كل متفقه.
– وبكلمة موجزة: يمتاز هذا الكتاب الشامل فقه المذاهب باعتماده ــ وهو اعتماد المذاهب الإسلامية نفسها ــ على استنباط أحكامه من مختلف مصادر التشريع الإسلامي النقلية والعقلية (الكتاب والسنة والاجتهاد بالرأي المعتمد على روح التشريع الأصلية العامة) فمن قصر الفقه الإسلامي على القرآن وحده فقد بتر أو مسخ الإسلام من جذوره، وكان أقرب لأعداء الدين، ومن حصر الفقه بالسنة وحدها فقد قصَّر وأساء، وعاش قاصر الطرف عن شؤون الحياة، وبعد عن التفاعل أو التجاوب مع متطلبات الناس، وتحقيق مصالحهم، ومن المعروف أنه حيثما وجدت المصلحة فثم شرع الله ودينه، وأن زعماء مدرسة الحديث (مالك والشافعي وأحمد) أخذوا بالمصالح المرسلة والعرف والعادة وسد الذرائع وغيرها من أدلة الاجتهاد بالرأي، كما أن زعماء مدرسة الرأي كالنخعي وربيعة الرأي وأبي حنيفة وأصحابه لم يهملوا بتاتاً سنة أو أثراً أو اجتهاداً عن السلف

Metodologi Kitab “Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu” oleh Wahbah al-Zuhaili

Kitab ini memiliki beberapa keunggulan dalam penyusunan, penggalian hukum, gaya penyampaian, sistematika, klasifikasi, referensi, dan penggunaan dalil, yang dapat dirangkum sebagai berikut:

Kitab Fiqh Syariat Islam yang Berdasarkan Dalil yang Sahih
Kitab ini tidak hanya mengandalkan fiqh berdasarkan hadis semata atau fiqh berdasarkan akal semata. Seorang mujtahid tidak dapat diterima pendapatnya tanpa bersandar pada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengetahui hukum-hukum fiqh tanpa dalil hanya menghasilkan pemahaman deskriptif yang tidak memberikan keyakinan intelektual, ketenangan jiwa, atau kepuasan bagi pencari ilmu. Sebaliknya, memahami dalil hukum menjauhkan seseorang dari taqlid buta yang tercela dalam Al-Qur’an dan membawanya kepada ittiba’ (mengikuti dengan ilmu). Dalil-dalil hukum adalah ruh fiqh, dan mempelajarinya melatih akal, mengasah pemikiran, serta membentuk kemampuan fiqh bagi setiap pencari ilmu.

Singkatnya, kitab ini merangkum fiqh dari berbagai mazhab dengan pendekatan yang diambil dari sumber-sumber syariat Islam, baik yang bersifat naqli (tekstual) maupun aqli (rasional), yakni Al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad berbasis kaidah syariat yang umum. Membatasi fiqh Islam hanya pada Al-Qur’an akan merusak Islam dari akarnya, sedangkan membatasi fiqh hanya pada Sunnah juga tidak cukup, karena akan menghambat interaksi dengan realitas kehidupan dan kebutuhan manusia. Diketahui bahwa di mana terdapat maslahat, di situlah hukum Allah berlaku. Para ulama hadis seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad pun menerima maslahat mursalah, adat istiadat, serta kaidah sadd al-dzari’ah. Begitu pula ulama ahli ra’yu seperti Ibrahim al-Nakha’i, Rabi’ah al-Ra’yi, dan Imam Abu Hanifah, yang tetap mengakui pentingnya Sunnah dan atsar dalam istinbath.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج – (ج ١ / ص ١٤٩)
(تَنْبِيهٌ) مَا أَفْهَمَهُ كَلَامُهُ مِنْ جَوَازِ النَّقْلِ مِنَ الْكُتُبِ الْمُعْتَمَدَةِ وَنِسْبَةِ مَا فِيهَا لِمُؤَلِّفِيهَا مُجْمَعٌ عَلَيْهِ وَإِنْ لَمْ يَتَّصِلْ سَنَدُ النَّاقِلِ بِمُؤَلِّفِيهَا نَعَمْ النَّقْلُ مِنْ نُسْخَةِ كِتَابٍ لَا يَجُوزُ إِلَّا إِنْ وَثِقَ بِصِحَّتِهَا أَوْ تَعَدَّدَتْ تَعَدُّدًا يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ صِحَّتُهَا أَوْ رَأَى لَفْظَهَا مُنْتَظِمًا وَهُوَ خَبِيرٌ فَطِنْ يُدْرِكُ السَّقَطَ وَالتَّحْرِيفَ فَإِنْ انْتَفَى ذَلِكَ قَالَ وَجَدْتُ كَذَا أَوْ نَحْوَهُ وَمِنْ جَوَازِ اعْتِمَادِ الْمُفْتِي مَا يَرَاهُ فِي كِتَابٍ مُعْتَمَدٍ فِيهِ تَفْصِيلٌ لَا بُدَّ مِنْهُ ، وَدَلَّ عَلَيْهِ كَلَامُ الْمَجْمُوعِ وَغَيْرِهِ وَهُوَ أَنَّ الْكُتُبَ الْمُتَقَدِّمَةَ عَلَى الشَّيْخَيْنِ لَا يُعْتَمَدُ شَيْءٌ مِنْهَا إِلَّا بَعْدَ مَزِيدِ الْفَحْصِ وَالتَّحَرِّي حَتَّى يَغْلِبَ عَلَى الظَّنِّ أَنَّهُ الْمَذْهَبُ وَلَا يُغْتَرُّ بِتَتَابُعِ كُتُبٍ مُتَعَدِّدَةٍ عَلَى حُكْمٍ وَاحِدٍ فَإِنَّ هَذِهِ الْكَثْرَةَ قَدْ تَنْتَهِي إِلَى وَاحِدٍ أَلَا تَرَى أَنَّ أَصْحَابَ الْقَفَّالِ أَوِ الشَّيْخِ أَبِي حَامِدٍ مَعَ كَثْرَتِهِمْ لَا يُفَرِّعُونَ وَيُؤَصِّلُونَ إِلَّا عَلَى طَرِيقَتِهِ غَالِبًا ، وَإِنْ خَالَفَتْ سَائِرَ الْأَصْحَابِ فَتَعَيَّنَ سَبْرُ كُتُبِهِمْ هَذَا كُلُّهُ فِي حُكْمٍ لَمْ يَتَعَرَّضْ لَهُ الشَّيْخَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا ، وَإِلَّا فَالَّذِي أَطْبَقَ عَلَيْهِ مُحَقِّقُو الْمُتَأَخِّرِينَ وَلَمْ تَزَلْ مَشَايِخُنَا يُوصُونَ بِهِ وَيَنْقُلُونَهُ عَنْ مَشَايِخِهِمْ وَهُمْ عَمَّنْ قَبْلَهُمْ.

Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj (Jilid 1, Halaman 149)

(Tanbih) Peringatan: Apa yang dipahami dari perkataannya tentang kebolehan menukil dari kitab-kitab yang diakui keabsahannya serta menisbatkan isi kitab tersebut kepada pengarangnya adalah sesuatu yang telah disepakati, meskipun sanad orang yang menukil tidak bersambung langsung kepada pengarangnya.

Namun, menukil dari sebuah naskah kitab tidak diperbolehkan kecuali jika ia meyakini kebenaran naskah tersebut atau jika terdapat beberapa naskah yang jumlahnya cukup banyak sehingga menguatkan dugaan akan kebenarannya. Atau, jika ia melihat redaksinya tersusun dengan baik, dan ia adalah orang yang ahli dan cerdas sehingga mampu mendeteksi kesalahan berupa penghilangan atau perubahan teks. Jika hal itu tidak terpenuhi, maka hendaknya ia mengatakan: “Saya menemukan dalam kitab ini demikian,” atau ungkapan lain yang serupa.

Adapun kebolehan seorang mufti berpegang pada apa yang ia temukan dalam kitab yang diakui keabsahannya, maka dalam hal ini terdapat perincian yang harus diperhatikan. Hal ini juga ditegaskan dalam kitab Al-Majmu’ dan lainnya, yaitu bahwa kitab-kitab yang mendahului dua imam (Imam Rafi’i dan Imam Nawawi) tidak boleh dijadikan pegangan kecuali setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan lebih lanjut hingga kuat dugaan bahwa pendapat tersebut adalah pendapat mazhab.

Jangan sampai seseorang tertipu dengan banyaknya kitab yang meriwayatkan suatu hukum yang sama, karena bisa jadi kesepakatan tersebut bersumber dari satu orang saja. Tidakkah engkau melihat bahwa murid-murid Imam Al-Qaffal atau Imam Abu Hamid, meskipun jumlah mereka banyak, mereka tetap membangun cabang hukum dan kaidah fikih berdasarkan metode guru mereka, meskipun metode tersebut bertentangan dengan mayoritas ulama mazhab? Maka, wajib dilakukan penelitian mendalam terhadap kitab-kitab mereka.

Semua ini berlaku dalam masalah yang tidak dibahas oleh dua imam (Imam Rafi’i dan Imam Nawawi) atau salah satu dari keduanya. Namun, jika mereka telah membahasnya, maka yang telah disepakati oleh para peneliti dari kalangan ulama muta’akhirin (belakangan), dan yang selalu diwasiatkan oleh para ulama kepada murid-murid mereka serta diteruskan dari generasi ke generasi, itulah yang harus dijadikan pegangan.

تبصرة الحكام في أصول الأقضية ومناهج الأحكام – (ج ١ / ص ١٧٢)
مَسْأَلَةٌ : وَمِثْلُ هَذَا مَا ذَكَرَهُ الْقَرَافِي فِي كِتَابٍ ( الْإِحْكَامُ فِي تَمْيِيزِ الْفَتَاوَى عَنْ الْأَحْكَامِ ) فَقَالَ كَانَ الْأَصْلُ يَقْتَضِي أَنْ لَا تَجُوزَ الْفُتْيَا إِلَّا بِمَا يَرْوِيهِ الْعَدْلُ عَنْ الْمُجْتَهِدِ الَّذِي يُقَلِّدُهُ الْمُفْتِي حَتَّى يَصِحَ ذَلِكَ عِنْدَ الْمُفْتِي كَمَا تَصِحُّ الْأَحَادِيثُ عِنْدَ الْمُجْتَهِدِ ؛ لِأَنَّهُ نَقُلْ لِدِينِ اللَّهِ – تَعَالَى – فِي الْمَوْضِعَيْنِ ، وَعَلَى هَذَا كَانَ يَنْبَغِي أَنْ يَحْرُمَ غَيْرُ ذَلِكَ ، غَيْرَ أَنَّ النَّاسَ تَوَسَّعُوا فِي هَذَا الْعَصْرِ فَصَارُوا يُفْتُونَ مِنْ كُتُبِ يُطَالِعُونَهَا مِنْ غَيْرِ رِوَايَةٍ ، وَهُوَ خَطَرٌ عَظِيمٌ فِي الدِّينِ ، وَخُرُوجٌ عَنْ الْقَوَاعِدِ ، غَيْرَ أَنَّ الْكُتُبَ الْمَشْهُورَةَ ؛ لأجلِ شُهْرَتِهَا بَعُدَتْ بُعْدًا شَدِيدًا عَنْ التَّحْرِيفِ وَالتَّزْوِيرِ فَاعْتَمَدَ النَّاسُ عَلَيْهَا اعْتِمَادًا عَلَى ظَاهِرِ الْحَالِ ، وَلِذَلِكَ أَيْضًا أَهْمَلَتْ رِوَايَةُ كُتُبِ النَّحْوِ وَاللُّغَةِ بِالْعَنْعَنَةِ عَنْ الْعُدُولِ بِنَاءً عَلَى بُعْدِهَا عَنْ التَّحْرِيفِ ، وَإِنْ كَانَتْ اللُّغَةُ هِيَ أَسَاسُ الشَّرْعِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ ، فَإِهْمَالُ ذَلِكَ فِي النَّحْوِ وَاللُّغَةِ وَالتَّصْرِيفِ قَدِيمًا وَحَدِيثًا يَعْضُدُ أَهْلَ الْعَصْرِ فِي إِهْمَالِ ذَلِكَ فِي كُتُبِ الْفِقْهِ بِجَامِعِ بُعْدِ الْجَمِيعِ عَنْ التَّحْرِيفِ ، وَعَلَى هَذَا تَحْرِيمُ الْفُتْيَا مِنَ الْكُتُبِ الْغَرِيبَةِ الَّتِي لَمْ تَشْتَهِرْ حَتَّى تَتَظَافَرَ عَلَيْهَا الْخَوَاطِرُ وَيُعْلَمَ صِحَّةُ مَا فِيهَا ، وَكَذَلِكَ الْكُتُبُ الْحَدِيثَةُ التَّصْنِيفِ إِذَا لَمْ يَشْتَهِرْ عَزْهُ مَا فِيهَا مِنَ الْمَنْقُولُ إِلَى الْكُتُبِ الْمَشْهُورَةِ ، أَوْ يُعْلَمُ أَنَّ مُصَنِّفَهَا كَانَ يَعْتَمِدُ هَذَا النَّوْعَ مِنْ الصِّحَّةِ وَهُوَ مَوْثُوقٌ بِعَدَالَتِهِ ، وَكَذَلِكَ حَوَاشِي الْكُتُبِ تَحْرُمُ الْفَتْوَى بِهَا ؛ لِعَدَمِ صِحَّتِهَا وَالْوُتُوقِ بِهَا انْتَهَى وَمُرَادُهُ إِنْ كَانَتْ الْحَوَاشِي غَرِيبَةَ النَّقْلِ ، وَأَمَّا إِذَا كَانَ مَا فِيهَا مَوْجُودًا فِي الْأُمَّهَاتِ أَوْ مَنْسُوبًا إِلَى مَحَلِّهِ ، وَهِيَ بِخَطِّ يَوْثُقُ بِهِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ سَائِرِ التَّصَانِيفِ وَلَمْ تَزَلْ الْعُلَمَاءُ وَأَئِمَّةُ الْمَذْهَبِ يَنْقُلُونَ مَا عَلَى حَوَاشِي كُتُبِ الْأَئِمَّةِ الْمَوْثُوقِ بِعِلْمِهِمْ بِخُطُوطِهِمْ ، وَذَلِكَ مَوْجُودٌ فِي كَلَامِ الْقَاضِي عِيَاضٍ وَالْقَاضِي أَبِي الْأَصْبَغِ بْنِ سَهْلٍ وَغَيْرِهِمَا ، إِذَا وَجَدُوا حَاشِيَةً يَعْرِفُونَ كَاتِبَهَا نَقَلُوا ذَلِكَ عَنْهُ وَنَسَبُوهَا إِلَيْهِ ، وَأَدْخَلُوا ذَلِكَ فِي مُصَنَّفَاتِهِمْ ، وَأَمَّا حَيْثُ يُجْهَلُ الْكَاتِبُ وَيَكُونُ النَّقْلُ غَرِيبًا فَلَا شَكِّ فِيمَا قَالَهُ الْقَرَافِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى ، وَمِنْ ذَلِكَ الطَّرَرُ لِأَبِي إِبْرَاهِيمَ

Masalah:

Seperti halnya yang disebutkan oleh Al-Qarafi dalam kitabnya Al-Ihkam fi Tamyiz al-Fatawa ‘an al-Ahkam, ia berkata:

“Asal hukum mengharuskan bahwa tidak boleh memberi fatwa kecuali dengan riwayat dari seorang yang adil (terpercaya) yang meriwayatkan dari mujtahid yang diikuti oleh mufti, sehingga hal tersebut menjadi sah di sisi mufti sebagaimana kesahihan hadis di sisi mujtahid. Sebab, keduanya merupakan bentuk penyampaian ajaran agama Allah Ta’ala, baik dalam fatwa maupun dalam hadis. Berdasarkan hal ini, seharusnya dilarang memberi fatwa dengan cara selain itu.

Namun, pada masa ini, manusia telah memberi kelonggaran dalam hal ini. Mereka mulai memberi fatwa hanya berdasarkan kitab-kitab yang mereka baca tanpa adanya sanad periwayatan. Ini merupakan bahaya besar dalam agama dan penyimpangan dari kaidah-kaidah yang telah ditetapkan.

Namun demikian, kitab-kitab yang sudah masyhur karena kemasyhurannya telah terhindar jauh dari penyimpangan dan pemalsuan, sehingga orang-orang pun mengandalkan kitab-kitab tersebut berdasarkan kepercayaan terhadap keadaan lahiriahnya. Oleh sebab itu, periwayatan dalam ilmu nahwu dan bahasa juga tidak lagi dilakukan dengan sistem sanad dari para perawi yang adil, karena kitab-kitab ini dianggap jauh dari kemungkinan adanya penyimpangan. Padahal, ilmu bahasa merupakan dasar utama dalam memahami syariat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

Pengabaian sistem sanad dalam ilmu nahwu, bahasa, dan sharaf sejak dahulu hingga sekarang menjadi argumen bagi orang-orang di zaman ini untuk mengabaikan sanad dalam kitab-kitab fikih. Sebab, sama-sama dianggap telah jauh dari penyimpangan.

Berdasarkan ini, haram memberi fatwa berdasarkan kitab-kitab yang asing dan belum terkenal, sampai benar-benar telah banyak yang meneliti serta memastikan kebenaran isinya. Begitu pula kitab-kitab yang baru ditulis, jika belum diketahui sumber periwayatannya dari kitab-kitab yang sudah terkenal atau tidak diketahui apakah penulisnya benar-benar mengandalkan ketelitian dalam menukil dan ia memang terpercaya dalam keadilannya.

Demikian pula, haram berfatwa dengan keterangan yang ada di pinggiran (catatan pinggir) kitab jika tidak diketahui kebenarannya dan tidak dapat dipercaya. Akan tetapi, jika keterangan dalam catatan pinggir tersebut sudah ada dalam kitab-kitab induk atau disandarkan kepada sumbernya yang terpercaya serta ditulis dengan tulisan yang bisa dipercaya, maka tidak ada perbedaan antara catatan pinggir dan kitab-kitab lainnya.

Para ulama dan imam mazhab pun senantiasa mengutip keterangan dari catatan pinggir kitab-kitab para imam yang terpercaya ilmunya dan ditulis dengan tulisan tangan mereka sendiri. Hal ini juga disebutkan dalam perkataan Qadhi Iyadh, Qadhi Abu Ashbagh bin Sahl, dan ulama lainnya. Jika mereka menemukan catatan pinggir yang diketahui penulisnya, mereka mengutipnya dan menyandarkannya kepada penulisnya, lalu memasukkannya ke dalam karya-karya mereka.

Namun, jika penulis catatan pinggir tersebut tidak diketahui dan isi kutipannya asing, maka tidak ada keraguan dalam pendapat Al-Qarafi rahimahullah tersebut. Di antara contoh kasus ini adalah catatan pinggir yang ditulis oleh Abu Ibrahim.”

أهل العصر في إهمال ذلك في كتب الفقه بجامع بعد الجميع عن التحريف وعلى هذا تحرم الفتيا من الكتب الغريبة التي لم تشتهر حتى تتظافر عليها الخواطر ويعلم صحة ما فيها وكذلك الكتب الحديثة التصنيف اذا لم تشتهر عز وما فيها من النقود إلى الكتب المشهورة أو يعلم أن مصنفها كان يعتمد هذا النوع من الصحة وهو موثوق بعد الله وكذلك حواشي الكتب تحرم الفتوى بها لعدم صحتها والوثوق بها انتهى ومراده ان كان الحواشي غريبة النقل وأما إذا كان ما فيها موجودا في الأمهات او منسوبا إلى محله وهي بخط من يوثق به فلا فرق بينها وبين سائر التصانيف (مهمة) قال شيخنا نخبر ابن شيخنا ميمون مستدركا المقر المتقدمة وبالاستقراء والتبع أننا نحتاج إلى بعض تلك الكتب الجديدة خصوصا في المسائل المستجدة التي لم تكن في العصور الأولى وقد تغير الزمان وتطور تطورا بعيد المدى في جميع النواحي والقضايا لا ينكره الا أعمى أو متعافى فيجوز عند الضرورة الاعتبار بما في بعض تلك الكتب خصوصاً إذا كان مؤلفها من أهل العلم والفقه المعترف بهم في الشرق والغرب والمتخرجين من المدارس الكبرى من مدارس أهل السنة والجماعة ذات المستوى العالي في الفقه الديني مثل الشيخ القرضاوي والشيم ومثل صاحب الفقه الاسلامي أبي زهرة فليس بفقيه وأما صاحب يسألونك وانما هو داع عظيم من دعاة الاسلام وأما صاحب فقه السنة من أهل العلم الذين ينفخون دعوى الاجتهاد ودعوى الناس إليه كما سبقهم إلى ذلك أئمتهم مثل صاحب سبل السلام ونيل الأوطار من أحمد د الحكم من أمرائهم ومن كتبهم إلا فيما وتقوية ما لدى المذاهب الأربعة أو أحدها في غير المذاهب لنا حاجة في معرفة الأدلة الحديثة

Pendapat ulama mengenai fatwa dari kitab-kitab yang kurang dikenal dan kitab-kitab modern

Para ulama pada zaman ini cenderung mengabaikan kitab-kitab yang tidak terkenal dalam fiqih, dengan alasan bahwa semua ulama telah sepakat untuk menjauh dari penyimpangan. Oleh karena itu, haram memberikan fatwa berdasarkan kitab-kitab yang asing dan tidak terkenal, kecuali jika kitab tersebut telah banyak ditelaah oleh para ulama, sehingga diketahui kebenaran isinya. Begitu pula, kitab-kitab yang baru disusun tetapi belum terkenal dan tidak memiliki hubungan dengan kitab-kitab yang sudah masyhur, atau belum diketahui bahwa penulisnya benar-benar mengandalkan validitas hukum yang kuat serta dapat dipercaya, maka fatwa berdasarkan kitab tersebut juga tidak diperbolehkan.

Demikian pula dengan hâsyiyah (catatan pinggir dalam kitab-kitab fiqih), fatwa berdasarkan hâsyiyah tersebut diharamkan jika isi dan sumbernya tidak dapat dipercaya. Akan tetapi, jika isi hâsyiyah tersebut terdapat dalam kitab-kitab induk atau dinisbatkan kepada sumbernya yang valid, serta ditulis oleh seseorang yang terpercaya, maka tidak ada perbedaan antara hâsyiyah tersebut dengan kitab-kitab lainnya dalam aspek validitas hukum.

(Catatan penting)
Syaikh kami, yang merupakan anak dari syaikh kami Maimun, menyanggah pendapat yang disebutkan di atas. Dari hasil penelitian dan observasi, kita tetap membutuhkan sebagian kitab-kitab baru, terutama dalam masalah-masalah kontemporer yang tidak ada dalam kitab-kitab klasik. Hal ini disebabkan oleh perubahan zaman yang sangat pesat dalam berbagai aspek. Hanya orang buta atau mereka yang berpura-pura tidak tahu saja yang akan menyangkal kenyataan ini.

Oleh karena itu, dalam keadaan darurat, diperbolehkan untuk merujuk pada sebagian kitab-kitab modern, khususnya jika penulisnya merupakan ulama yang diakui dalam keilmuan dan fiqih di dunia Islam, serta merupakan lulusan dari lembaga pendidikan besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memiliki standar keilmuan tinggi dalam fiqih. Misalnya, Syaikh Yusuf Al-Qaradawi, atau ulama seperti Abu Zahrah dalam kitab Al-Fiqh Al-Islami. Namun, perlu dicatat bahwa penulis kitab Yas’alunak bukanlah seorang faqih, melainkan seorang dai besar dalam dakwah Islam. Adapun penulis Fiqh As-Sunnah, termasuk ulama yang cenderung mendorong klaim ijtihad dan mengajak umat untuk berijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para pendahulu mereka, seperti penulis Subulus Salam dan Nailul Authar.

Kitab-kitab yang berasal dari kalangan yang menolak otoritas mazhab kecuali hanya untuk memperkuat pendapat yang mereka inginkan, atau yang menolak mazhab yang empat dalam hal yang tidak dibutuhkan, maka kitab-kitab tersebut tidak boleh dijadikan sandaran, kecuali untuk meneliti dalil-dalil baru yang berkaitan dengan mazhab yang diakui.

وفى كتب سبعة مفيدة.٤٨
تتمة : قد منا عن فتح القدير كيفية الافتاء مما فى الكتب فلا يجوز الافتاء مما في الكتب الغريبة وفى شرح الاشباه لشيخنا المحقق هبة الله لبعلى قال شيخنا العلامة صالح الجينينى انه لا يجوز الافتاء من الكتب المختصرة كالنهر وشرح الكنز للعينى والدر المختار شرح تنوير الابصار اما لعدم الاطلاع على حال مؤلفيها كشرح الكنز لمنلا مسكين وشرح النقاية للقهستاني او لنقل الاقوال الضعيفة فيها كالقنية للزاهدى فلا يجوز الافتاء من هذه الا اذا علم المنقول عنه وأخذه منه وهو علامة في الفقه مشهور والعهدة عليه . اهـ أقول : وينبغى الحاق الاشباه والنظائر بها فإن فيها من الايجاز في التعبير ما لا يفهم معناه الا بعد الاطلاع على ماخذه بل فيها
في مواضع كثيرة الإيجاز المحل يظهر ذلك لمن مارس مطالعاتها مع الحواشي فلا يأمن المفتى من الوقوع في الغلط اذا اقتصر عليه فلا بد له من مراجعة ما كتب عليها من الحواشي او غيرها اهـ
وفيه تبصرة الحكام اما (مسئلة) ومثل هذا ما ذكره القرافي في كتاب الاحكام في تمييز الفتاوى عن الاحكام فقال كان الاصل يقتضي ان لا تجوز الفتيا الا بما يرويه العدل عن العدول عن المجتهد الذي يقلده المفتي حتى يصح ذلك عند المفتي وعلى هذا ينبغي أن يحرم غير ذلك غير ان الناس توسعوا في هذا العصر فصاروا يفتون من كتب يطالعونها من غير رواية وهو خطر عظيم في الدين وخروج عن القواعد غير ان الكتب المشهورة لأجل شهرتها بعدت بعدا شديدا عن التحريف والتزوير فاعتمد الناس عليها اعتمادا ظاهرا للحال وعلى هذا تحرم الفتيا من الكتب الغريبة التي لم تشتهر حتى تتظافر عليها الخواطر ويعلم صحة ما فيها وكذلك الكتب الحديثية التصنيف اذا لم يشتهر عزوا فيها من النقول الى الكتب المشهورة لو لم يعلم ان مصنفها كان يعتمد هذا النوع من الصحة وهو موثوق به بعد الله وكذلك حواشي الكتب تحرم الفتوى بها لعدم صحتها والوثوق بها اهـ ومراده ان كانت الحواشي غريبة النقل واما اذا كان ما فيها موجودا في الأمهات او منسوبا الى محله وهو يوثق به فلا فرق بينها وبين التصانيف اهـ

Dalam kitab Sab‘atu Mufīdah (Tujuh Kitab yang Bermanfaat) halaman 48 disebutkan:

Tambahan:
Kami telah mengutip dari Fath al-Qadīr tentang cara berfatwa berdasarkan kitab-kitab fiqih, yaitu tidak diperbolehkan berfatwa berdasarkan kitab-kitab yang tidak terkenal. Dalam Syarh al-Asybah karya Syaikh Hibatullah al-Lub‘alī, Syaikh al-‘Allāmah Shāliḥ al-Jīnīnī berkata:

“Tidak diperbolehkan berfatwa dari kitab-kitab ringkas seperti An-Nahr dan Syarh al-Kanz karya al-‘Ainī, serta Ad-Durr al-Mukhtār (syarah Tanwīr al-Absār). Sebab, ada kitab yang tidak diketahui keadaan penulisnya, seperti Syarh al-Kanz karya Mullā Miskīn dan Syarh an-Nuqāyah karya al-Quhustānī. Ada juga kitab yang memuat pendapat-pendapat lemah, seperti Al-Qunyah karya Az-Zāhidī. Maka, tidak diperbolehkan berfatwa dari kitab-kitab tersebut kecuali jika diketahui secara jelas siapa yang menjadi rujukan dalam kitab itu, diambil langsung dari sumbernya, dan sumber tersebut merupakan ulama fiqih yang terkenal. Jika demikian, maka tanggung jawab (validitasnya) ada pada ulama tersebut.”

Saya (penulis) berkata: Seyogianya kitab Al-Asybah wa an-Nazhā’ir juga termasuk dalam kategori ini karena kitab tersebut memiliki redaksi yang sangat ringkas sehingga maknanya tidak bisa dipahami kecuali setelah menelaah sumber aslinya. Bahkan, dalam banyak bagian kitab tersebut terdapat ringkasan yang membingungkan. Hal ini dapat diketahui oleh mereka yang sering menelaah kitab ini bersama dengan ḥāsyiyah (catatan pinggir). Oleh karena itu, seorang mufti tidak akan aman dari kesalahan jika hanya merujuk kitab ini tanpa membaca ḥāsyiyah-nya atau kitab lainnya yang menjelaskan isinya.

Dalam kitab Tabṣirat al-Ḥukkām disebutkan masalah serupa. Demikian pula, Al-Qarāfī dalam kitab Al-Aḥkām fī Tamīz al-Fatāwā ‘an al-Aḥkām menyatakan:

*”Secara prinsip, tidak diperbolehkan berfatwa kecuali dengan riwayat dari seorang yang adil, yang meriwayatkan dari orang-orang adil sebelumnya, yang mengambil dari mujtahid yang diikuti oleh mufti. Sehingga, fatwa tersebut benar-benar sah di mata mufti. Berdasarkan prinsip ini, berfatwa dengan sumber lain seharusnya dilarang.

Namun, manusia pada zaman ini telah memperluas cakupan dalam hal fatwa. Mereka mulai berfatwa hanya dengan membaca kitab tanpa memiliki sanad atau riwayat yang jelas, dan ini merupakan bahaya besar dalam agama serta penyimpangan dari kaidah yang benar.

Hanya saja, kitab-kitab yang sudah terkenal, karena kemasyhurannya, telah jauh dari distorsi dan pemalsuan, sehingga orang-orang mengandalkannya dalam fatwa secara umum. Oleh karena itu, diharamkan berfatwa dari kitab-kitab yang tidak terkenal, kecuali kitab tersebut sudah banyak dikaji oleh para ulama dan telah dipastikan kebenarannya.

Begitu pula, kitab-kitab baru yang belum terkenal tidak boleh dijadikan dasar fatwa, kecuali jika dalam kitab tersebut terdapat kutipan dari kitab-kitab fiqih yang sudah terkenal. Atau jika diketahui bahwa penyusunnya memiliki standar ketelitian dalam menulis dan ia merupakan ulama terpercaya setelah Allah.

Demikian pula, ḥāsyiyah (catatan pinggir kitab-kitab fiqih) tidak boleh dijadikan dasar fatwa, karena tidak ada jaminan kebenaran dan keandalannya. Akan tetapi, jika dalam ḥāsyiyah tersebut terdapat kutipan dari kitab-kitab induk atau dinisbatkan kepada sumber aslinya yang jelas serta ditulis oleh seseorang yang terpercaya, maka tidak ada perbedaan antara ḥāsyiyah tersebut dengan kitab-kitab lainnya dalam aspek validitasnya.”Wallahu A’lam bisshowab

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Slot demo https://mooc.unesa.ac.id/usutoto-4d/ slot online slot online akurat77 Demo Slot Pg Toto 4D https://wiki.clovia.com/ Slot Gacor Gampang Maxwin Slot77 Daun77 Daun77 slot thailand Daun77 slot77 4d Usutoto situs slot gacor Usutoto Usutoto slot toto slot Daun77 Daun77 Daun77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 MBAK4D MBAK4D DWV99 DWV138 DWVGAMING METTA4D MBAK4D MBAK4D MBAK4D METTA4D DWV99 DWV99 MBAK4D MBAK4D MBAK4D SLOT RAFFI AHMAD METTA4D https://aekbilah.tapselkab.go.id/toto4d/ https://aekbilah.tapselkab.go.id/spaceman/ METTA4D METTA4D METTA4D demo slot MBAK4D METTA4D MINI1221 https://www.concept2.cz/ https://berlindonerkebab.ca/ togel malaysia sabung ayam online tototogel slot88 MBAK4D MBAK4D DWV138 METTA4D