Hukum Puasa Ramadhan bagi Sopir yang Selalu dalam Keadaan Safar
Deskripsi Masalah
Allah menciptakan manusia dengan beragam bentuk, warna, dan profesi yang berbeda-beda. Ada yang ditakdirkan menjadi guru, pedagang, sopir, dan berbagai profesi lainnya. Setiap manusia mampu menjalankan pekerjaannya sesuai dengan profesinya masing-masing.
Sebagaimana kita ketahui, seorang sopir taksi terkadang harus bepergian tanpa henti untuk mengantar penumpang ke berbagai tujuan, seperti dari Sumenep ke Jakarta, Bali, Banyuwangi, Banten, dan daerah lainnya.
Pertanyaan:
Bolehkah Orang yang jadi sopir angkot yang perjalanannya melebihi dua marhalah untuk tidak puasa di bulan Ramadhan?
Waalaikum salam
Jawaban:
Orang yang selalu dalam perjalanan seperti sopir angkot atau bus antar kota, memenuhi syarat sebagai musafir, begitu juga orang yang bukan sopir yang dalam kondisi pejalanan ( musafir). Dalam kondisi ini, mereka mendapat keringanan untuk tidak berpuasa berdasarkan pendapat yang kuat.
Namun, perlu diingat bahwa tidak semua ulama memperbolehkan hal ini. Oleh karena itu, sebaiknya supir angkot ataupun bukan sopir namun masuk dalam kategori musafir hendaknya harus mempertimbangkan beberapa hal sebelum memutuskan untuk tidak berpuasa:
✔️Jarak tempuh: Pastikan perjalanan benar-benar melebihi dua marhalah (sekitar 88 km).
✔️ Kondisi fisik: Jika kuat dan mampu, berpuasa tetap lebih utama.
✔️ Niat: Niatkan untuk mengganti puasa yang ditinggalkan di hari lain
Kesimpulan:
Sopir angkot yang memenuhi syarat sebagai musafir boleh tidak berpuasa,begitu juga halnya musafir yang bukan sopir, namun tetap disarankan untuk mempertimbangkan kondisi fisik dan mengganti puasa di lain hari.
Referensi
حواشي الشرواني والعبادي (٣/ ٤٣٠)
و يباح تركه لنحو حصاد أو بناء لنفسه أو لغيره تبرعا أو بأجرة وإن لم ينحصر الأمر فيه أخذا مما يأتي في المرضعة خاف على المال إن صام وتعذر العمل ليلا أو لم يغنه فيؤدي لتلفه أو نقصه نقصا لا يتغابن به هذا هو الظاهر من كلامهم وسيأتي في إنقاذ المحترم ما يؤيده خلافا لمن أطلق في نحو الحصاد المنع ولمن أطلق الجواز ولو توقف كسبه لنحو قوته المضطر إليه هو أو ممونه على فطره فظاهر أن له الفطر لكن بقدر الضرورة و للمسافر سفرا طويلا مباحا للكتاب والسنة والإجماع ويأتي هنا جميع ما مر في القصر فحيث جاز جاز الفطر وحيث لا فلا نعم سيعلم من كلامه أن شرط الفطر في أول أيام سفره أن يفارق ما تشترط مجاوزته للقصر قبل طلوع الفجر وإلا لم يفطر ذلك اليوم ومر أنه إن تضرر بالصوم فالفطر أفضل وإلا فالصوم أفضل ولا يباح الفطر حيث لم يخش مبيح تيمم لمن قصد بسفره محض الترخص كمن سلك الطريق الأبعد للقصر ولا ينافيه قولهم لو حلف ليطأن في نهار رمضان فطريقه أن يسافر؛ لأن السفر هنا ليس لمجرد الترخص بل للتخلص من الحنث ولا لمن صام قضاء لزمه الفور فيه قال السبكي بحثا ولا لمن لا يرجو زمنا يقضي فيه لإدامته السفر أبدا وفيه نظر ظاهر فالأوجه خلافه
الشرح:
قوله ولا لمن لا يرجو زمنا يقضي فيه ينبغي أن يكون في معنى الزمن المذكور أن يفطر رمضان بقصد القضاء بعد في السفر فيجوز م راه سم.
قوله وفيه نظر ظاهر تقدم عن ع ش بيانه (قوله فالأوجه خلافه وفاقا للمغني عبارته ولا فرق في ذلك بين من يديم السفر أو لا خلافا لبعض المتأخرين اهـ.
Hasyiyah Asy-Syirwani dan Al-‘Abbadi (3/430)
Dan diperbolehkan tidak berpuasa bagi orang yang bekerja seperti memanen atau membangun untuk dirinya sendiri atau orang lain, baik secara sukarela atau dengan upah, meskipun pekerjaan tersebut tidak terbatas pada hal itu. Hal ini diambil dari penjelasan tentang wanita menyusui yang khawatir terhadap harta jika berpuasa dan tidak dapat bekerja di malam hari atau tidak mencukupi kebutuhannya, yang dapat menyebabkan kerusakan atau kekurangan yang tidak dapat diabaikan. Ini adalah pendapat yang paling jelas dari perkataan mereka dan akan datang pada pembahasan menyelamatkan orang yang dihormati yang mendukung pendapat ini, berbeda dengan orang yang berpendapat mutlak melarang dalam hal memanen dan orang yang berpendapat mutlak memperbolehkan.
Jika pencaharian seseorang untuk memenuhi kebutuhan mendesaknya atau orang yang menjadi tanggungannya bergantung pada tidak berpuasa, maka jelas bahwa ia boleh tidak berpuasa, tetapi sesuai dengan kadar kebutuhannya. Dan bagi musafir yang melakukan perjalanan jauh yang diperbolehkan, berdasarkan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ijma’. Dan akan datang di sini semua yang telah disebutkan dalam pembahasan qashar (meringkas shalat), maka di mana diperbolehkan qashar, diperbolehkan juga tidak berpuasa, dan di mana tidak diperbolehkan qashar, maka tidak diperbolehkan juga tidak berpuasa.
Ya, akan diketahui dari perkataannya bahwa syarat tidak berpuasa di hari pertama safarnya adalah ia harus meninggalkan tempat yang disyaratkan untuk melewatinya agar diperbolehkan qashar sebelum terbit fajar, jika tidak, maka ia tidak boleh tidak berpuasa pada hari itu. Dan telah disebutkan bahwa jika ia membahayakan dirinya dengan berpuasa, maka tidak berpuasa adalah lebih utama, jika tidak, maka berpuasa adalah lebih utama. Dan tidak diperbolehkan tidak berpuasa jika tidak dikhawatirkan adanya hal yang membolehkan tayamum bagi orang yang melakukan perjalanan dengan tujuan hanya untuk mencari keringanan, seperti orang yang menempuh jalan yang lebih jauh untuk qashar.
Dan tidak bertentangan dengan pendapat mereka bahwa jika seseorang bersumpah untuk berhubungan intim di siang hari Ramadhan, maka caranya adalah dengan melakukan perjalanan; karena perjalanan di sini bukan hanya untuk mencari keringanan, tetapi untuk menghindari pelanggaran sumpah. Dan juga tidak diperbolehkan bagi orang yang berpuasa qadha’ yang wajib baginya untuk segera melakukannya, kata As-Subki dalam penelitiannya. Dan juga tidak diperbolehkan bagi orang yang tidak berharap mendapatkan waktu untuk mengqadha’nya karena terus-menerus dalam perjalanan selamanya, dan dalam hal ini ada pandangan yang jelas berbeda, maka pendapat yang lebih kuat adalah kebalikannya.
Penjelasan
Perkataannya, “Dan tidak bagi orang yang tidak berharap mendapatkan waktu untuk mengqadha’nya,” hendaknya maknanya adalah bahwa ia berbuka Ramadhan dengan niat untuk mengqadha’nya setelah perjalanan, maka ini diperbolehkan.
Perkataannya, “Dan dalam hal ini ada pandangan yang jelas berbeda,” telah disebutkan penjelasannya oleh ‘A. Sy. (Perkataannya, “Maka pendapat yang lebih kuat adalah kebalikannya,” sesuai dengan pendapat Al-Mughni, yaitu tidak ada perbedaan dalam hal ini antara orang yang terus-menerus dalam perjalanan atau tidak, berbeda dengan sebagian ulama muta’akhirin).
Referensi :
حاشية قليوبي وعميرة (۲) (۸۲) و يباح تركه للمسافر سفرا طويلا ( مباحا فإن تضرر به فالفطر أفضل وإلا فالصوم أفضل كما تقدم في باب صلاة المسافر
الشرح
قوله: ( وللمسافر ) قال شيخنا الزيادي والرملي وإن أدام السفر وغلب على ظنه الموت قبل القضاء وسواء رمضان والكفارة والمنذور ولو معينا في نذر صوم ولو للدهر، أو نذر إتمامه بعد شروعه فيه أو القضاء ولو لما تعدى بفطره أو ضاق وقته، وخالف السبكي في مديم السفر وفي النذر المعين. وفي شرح شيخنا موافقته والمنقول عنه الأول وابن حجر في المضيق والمتعدي بفطره والطبلاوي في نذر صوم الدهر والعباب فيمن غلب
Hasyiyah Qalyubi dan ‘Umairah (2) (82)
Dan diperbolehkan tidak berpuasa bagi musafir yang melakukan perjalanan jauh yang diperbolehkan. Jika ia membahayakan dirinya dengan berpuasa, maka tidak berpuasa adalah lebih utama. Jika tidak, maka berpuasa adalah lebih utama, seperti yang telah dijelaskan dalam bab shalat musafir.
Penjelasan
Perkataannya, “(Dan bagi musafir),” guru kami Az-Zayadi dan Ar-Ramli berkata, “Meskipun ia terus-menerus dalam perjalanan dan ia sangat yakin akan kematian sebelum mengqadha’ (puasa yang tertinggal), baik itu (puasa) Ramadhan, kafarat, atau nadzar, meskipun nadzar tersebut ditentukan dalam nadzar puasa atau untuk sepanjang tahun, atau nadzar untuk menyempurnakannya setelah memulainya atau (nadzar) qadha’ meskipun ia melampaui batas dengan tidak berbuka atau waktunya sempit, dan As-Subki berbeda pendapat tentang orang yang terus-menerus dalam perjalanan dan dalam nadzar yang ditentukan. Dalam penjelasan guru kami, disebutkan persetujuannya dengan pendapat pertama dan yang diriwayatkan darinya adalah pendapat pertama. Ibnu Hajar (berpendapat) dalam (masalah) orang yang berada dalam kesulitan dan orang yang melampaui batas dengan tidak berbuka, dan Ath-Thablawi (berpendapat) dalam nadzar puasa sepanjang tahun, dan Al-‘Ubab (berpendapat) dalam masalah orang yang sangat yakin.”
كاشفا ة السجا صحـ :
وَالصَّوْمُ لِلْمُسَافِرِ أَفْضَلُ مِنَ الْفِطْرِ إِنْ لَمْ يَشُقَّ عَلَيْهِ ِلأَنَّ فِيْهِ بَرَاءَة َلذِّمَّةِ فَإِنْ شَقَّ عَلَيْهِ بِأَنْ لَحِقَهُ مِنْهُ نَحْوُ أَلَمٍ يَشُقُّ احْتِمَالُهُ عَادَةً فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ أَمَّا إذَا خَشِيَ مِنْهُ تَلَفَ مَنْفَعَةِ عُضْوٍ فَيَجِبُ الْفِطْرُ فَإِنْ صَامَ عَصَى وَأَجْزَأَهُ وَمَحَلُّ جَوَازِ الْفِطْرِ لِلْمُسَافِرِ إِذَا رَجَا إِقَامَةً يَقْضِيْ فِيْهَا وَإِلاَّ بِأَنْ كَانَ مُدِيْمًا لَهُ وَلَمْ يُرْجَ ذَلِكَ فَلاَ يَجُوْزُ لَهُ الْفِطْرُ عَلَى الْمُعْتَمَدِ ِلأَدَائِهِ إِلَى إِسْقاَطِ الْوُجُوْبِ بِالْكُلِّيَّةِ قَالَ ابْنُ حَجَرٍ بِالْجَوَازِ فَائِدَتُهُ فِيْمَا إِذَا أَفْطَرَ فِيْ أَيَّامِ الطَّوِيْلَةِ أَنْ يَّقْضِيَهُ فِيْ أَيَّامٍ أَقْصَرُ مِنْهَا إِنْتَهَى مِنَ الشَّرْقَاوِي وَالزِّيَادِي اهـ
حاشيتا قليوبي وعميرة الجزء ٢ صحـ : ٨٨ مكتبة دار إحياء الكتب العربية
كَذَا قَالَهُ شَيْخُنَا وَنَقَلَ الْعَلاَمَةُ ابْنُ قَاسِمٍ عَنْ شَيْخِنَا الرَّمْلِيِّ أَنَّهُ يَكْفِي تَمَكُّنُهُ فِي الْعَامِ اْلأَوَّلِ وَبِهَذَا عُلِمَ أَنَّهُ لاَ فِدْيَةَ عَلَى نَحْوِ الْهَرَمِ بِتَأْخِيرِ الْفِدْيَةِ لِعَدَمِ الْقَضَاءِ فِيهِ وَلاَ عَلَى مُدِيمِ السَّفَرِ لاِسْتِمْرَارِ عُذْرِهِ كَمَا مَرَّ اهـ
إعانة الطالبين الجزء الثانى صحـ : ٢٦٧ مكتبة دار الفكر
وَيسْتَثْنَى مِنْ جَوَازِ الْفِطْرِ بِالسَّفَرِ مُدِيْمُ السَّفَرِ فَلاَ يُبَاحُ لَهُ الْفِطْرُ ِلأَنَّهُ يُؤَدِّيْ إِلَى إِسْقَاطِ الْوُجُوْبِ بِالْكُلَّيَّةِ إِلاَّ أَنْ يَقْصِدَ قَضَاءً فِيْ أَيَّامٍ أَخَرَ فِيْ سَفَرِهِ وَمِثْلُهُ مَنْ عَلِمَ مَوْتَهُ عَقِبَ الْعِيْدِ فَيَجِبُ عَلَيْهِ الصَّوْمُ إِنْ كَانَ قَادِرًا فَجَوَازُ الْفِطْرِ لِلْمُسَافِرِ إِنَّمَا هُوَ فِيْمَنْ يَرْجُوْ إِقَامَةً يَقْضِيْ فِيْهَا وَهَذَا هُوَ مَا جَرَى عَلَيْهِ السُّبُكِيُّ وَاسْتَظْهَرَهُ فِي النِّهَايَةِ اهـ
الشرقاوي ١/٢٥٩
.و محل جواز الفطر للمسافر إذا رجا إقامة يقضي فيها و إلا بأن كان مديما له ولم يرج ذلك فلا يجوز له الفطر على المعتمد لأدائه إلى إسقاط الوجوب بالكلية وقال ابن حجر بالجواز و فائدته فيما إذا أفطر في الأيام الطويلة أن يقضيه في أيام
أقصر منها.
إعانة الطالبين ٢/٢٦٧
و يستثنى من جواز الفطر بالسفر مديم السفر فلا يباح له الفطر لأنه يؤدي إلى إسقاط الوجوب بالكلية إلا أن يقصد قضاء في أيام أخر في سفره.
Referensi Kasyifatussaja:
Puasa bagi Musafir Lebih Utama jika Tidak Memberatkan
Puasa bagi musafir lebih utama daripada berbuka jika tidak memberatkannya, karena dalam berpuasa terdapat pembebasan tanggungan. Namun, jika berpuasa memberatkannya, seperti menyebabkan rasa sakit yang sulit ditanggung secara umum, maka berbuka lebih utama. Jika puasa dikhawatirkan menyebabkan hilangnya fungsi anggota tubuh, maka berbuka menjadi wajib. Jika tetap berpuasa dalam kondisi ini, maka ia berdosa, tetapi puasanya tetap sah.
Ketentuan Bagi Musafir yang Berpuasa atau Berbuka
Diperbolehkannya berbuka bagi musafir berlaku jika ia mengharapkan adanya masa tinggal di mana ia bisa mengqadha puasanya. Jika tidak, seperti musafir yang terus-menerus dalam perjalanan tanpa ada harapan menetap, maka tidak diperbolehkan baginya berbuka menurut pendapat yang lebih kuat, karena hal itu akan menyebabkan gugurnya kewajiban puasa secara keseluruhan.
Ibn Hajar mengatakan bahwa kebolehan berbuka bagi musafir memiliki manfaat, yaitu jika ia berbuka pada hari-hari yang panjang, maka ia bisa mengqadha pada hari-hari yang lebih pendek. (Dikutip dari Al-Syarqawi dan Al-Ziyadi).
Hukuman Bagi Orang yang Tidak Bisa Mengqadha Puasa
Demikian juga, pendapat ini dikemukakan oleh guru kami dan dinukil oleh Al-‘Allamah Ibn Qasim dari guru kami, Al-Ramli, bahwa seseorang yang mampu mengqadha di tahun pertama sudah dianggap cukup (tidak perlu membayar fidyah). Oleh karena itu, orang yang sudah sangat tua (yang tidak bisa berpuasa) tidak wajib membayar fidyah akibat menunda pembayaran fidyahnya, karena ia memang tidak bisa mengqadha. Demikian pula, musafir yang terus-menerus dalam perjalanan tidak diwajibkan membayar fidyah karena uzurnya yang terus berlanjut.
Larangan Berbuka bagi Musafir yang Terus-Menerus Bepergian
Dikecualikan dari kebolehan berbuka karena safar adalah orang yang terus-menerus dalam perjalanan (mudîm al-safar), maka ia tidak diperbolehkan berbuka, karena hal itu akan menyebabkan gugurnya kewajiban puasa secara keseluruhan. Kecuali jika ia memang berniat untuk mengqadhanya di hari lain selama dalam safarnya.
Hal yang sama berlaku bagi seseorang yang mengetahui bahwa ia akan meninggal setelah Idulfitri, maka ia wajib berpuasa jika mampu. Oleh karena itu, kebolehan berbuka bagi musafir hanya berlaku bagi mereka yang mengharapkan adanya masa tinggal di mana ia bisa mengqadha puasanya. Pendapat ini dipegang oleh Al-Subki dan ditegaskan dalam kitab Al-Nihayah.Wallahu A’lam bisshowab