Adab dan Hukum Pemutusan Bacaan Al-Qur’an Akibat Kehabisan Napas
Pendahuluan
Dalam praktik membaca Al-Qur’an, terutama dalam kegiatan tadarus atau pembacaan bersama seperti Yasinan, sering kali terjadi pemutusan bacaan akibat kehabisan napas, kurangnya kelancaran dalam membaca, atau ketidaksempurnaan pengucapan oleh sebagian jamaah. Contohnya, dalam pembacaan Surah Yasin, seseorang membaca:
يس ، وال ” ia hanya mengucapkan “وال ” (wal) lalu napasnya terputus atau ia lupa bagian selanjutnya, kemudian ia teringat dan melanjutkan dengan ” قرآن الحكيم” (Qur’aanil Hakiim), atau bahkan tidak mengingat bagian yang tersisa lalu berpindah ke kata lain,:
“على صراط مستقيم”
(Alaa Shiraathim Mustaqiim) Maka
Permasalahan ini penting untuk dibahas karena berkaitan dengan adab membaca Al-Qur’an, ketepatan makna ayat, serta bagaimana menjaga kesempurnaan bacaan dalam praktik berjamaah.
1. Hukum Membaca Al-Qur’an dengan Pemutusan Bacaan Akibat Kehabisan Napas atau Kurang Lancar
Membaca Al-Qur’an dengan pemutusan bacaan akibat kehabisan napas atau kurang lancar tidak membatalkan bacaan, tetapi perlu diperhatikan agar tidak menyebabkan perubahan makna ayat.
Dalam ilmu tajwid, dikenal istilah waqaf qabih (berhenti yang buruk), yaitu berhenti pada tempat yang dapat mengubah atau mengaburkan makna. Jika seseorang berhenti pada tempat yang salah, maka ia berdosa.
Sebagai contoh, jika seseorang membaca:
“يس وال …..قران الحكيم”
(Yaa Siin. Wal-
Kemudian berhenti sejenak karena kehabisan napas, lalu melanjutkan Qur’anil Hakim atau dengan bacaan يس dengan:
“على صراط مستقيم”
(Alaa Shiraathim Mustaqiim)
Maka ini kurang tepat ( keliru) karena seharusnya
“وَالْقُرْآنِ الْحَكِيمِ”
(Wal-Qur’aanil Hakiim) tersambung dan terhubung dengan ayat setelahnya.
Namun, jika seseorang terpaksa berhenti karena kehabisan napas, lebih baik mengulang bacaan dari awal ayat atau dari tempat yang memiliki makna sempurna agar tidak terjadi perubahan makna.
2. Status Bacaan Jamaah Jika Ada yang Membaca Kurang Sempurna
Dalam pembacaan berjamaah, sering kali ada sebagian jamaah yang bacaannya kurang lancar, putus-putus, atau tidak sempurna. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
Jika imam atau ustadz yang memimpin membaca dengan benar, maka jamaah tetap mendapat pahala dengan cara mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan baik, sebagaimana firman Allah:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al-Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204)
Jika jamaah membaca secara serempak tetapi dengan kesalahan yang berbeda-beda, maka hal ini tidak menggugurkan pahala, tetapi tetap kurang sempurna jika tanpa bertajwid. Bisa jadi, kesalahan dalam bacaan menyebabkan perubahan makna yang dapat mengakibatkan dosa.
Syekh Al-Jazari berkata:
وَمَنْ لم يُجَوِّدِ الْقُرْآنَ فَهُوَ آثِمٌ
“Barang siapa yang tidak memperbaiki bacaan Al-Qur’an dengan bertajwid, maka ia berdosa.”
Oleh karena itu, penting bagi jamaah untuk terus memperbaiki bacaan mereka agar lebih sempurna dan sesuai dengan kaidah tajwid.
3. Solusi agar Bacaan Jamaah Tetap Sesuai dengan Adab Membaca Al-Qur’an
Agar pembacaan Al-Qur’an dalam tadarus berjamaah tetap terjaga adab dan kelancarannya, beberapa solusi dapat diterapkan:
a. Latihan Nafas dan Teknik Membaca
Jamaah disarankan untuk berlatih teknik pernapasan agar dapat membaca dalam satu tarikan napas yang cukup.
Bacaan dilakukan secara perlahan dan tidak terburu-buru, sebagaimana firman Allah:
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil.” (QS. Al-Muzzammil: 4)
b. Metode Bacaan Secara Bergantian (Sima’i)
Daripada membaca bersama-sama tetapi tidak serempak, lebih baik menggunakan metode sima’i (satu orang membaca, yang lain menyimak).
Setiap orang membaca secara bergantian, sehingga lebih fokus dan dapat mengurangi kesalahan bacaan.
c. Pengulangan dan Koreksi
Setelah pembacaan, ustadz atau imam mengoreksi bagian yang salah agar jamaah bisa memperbaiki bacaan mereka.
Koreksi ini dapat dilakukan dengan metode talqin (ustadz membaca, jamaah mengulangi).
d. Mengutamakan Mendengarkan jika Tidak Mampu Membaca dengan Baik
Jika ada jamaah yang merasa belum lancar membaca, lebih baik mendengarkan dengan khusyuk daripada memaksakan membaca dengan banyak kesalahan.
Jamaah yang belum lancar bisa mufaraqah (membaca sendiri-sendiri) agar lebih fokus pada perbaikan bacaan.
Menurut Ibnu Hamam madzhab hanafi makruh berpindah satu ayat keayat yang lain
Kesimpulan
Membaca Al-Qur’an dengan pemutusan akibat kehabisan napas tidak membatalkan bacaan, tetapi harus berhati-hati agar tidak mengubah makna ayat. Jika sampai mengubah makna, maka termasuk kesalahan yang dapat berdosa.
Dalam pembacaan berjamaah, kesalahan bacaan jamaah tidak otomatis tertutupi oleh bacaan imam atau ustadz yang benar, tetapi jamaah tetap mendapat pahala dengan mendengarkan.
Solusi terbaik untuk menjaga adab dan kelancaran pembacaan Al-Qur’an dalam berjamaah adalah dengan:
Berlatih teknik pernapasan agar tidak sering terputus.
Menggunakan metode sima’i (bergantian membaca) untuk mengurangi kesalahan.
Melakukan pengulangan dan koreksi bacaan secara rutin.
Mengutamakan mendengarkan jika belum lancar membaca.
✅ Boleh membaca surah tidak sesuai urutan mushaf, meskipun yang lebih utama adalah mengikuti urutan mushaf.
❌ Tidak boleh membalik susunan ayat dalam satu surah, karena bersifat taufiqi dan wajib.
Dengan menerapkan solusi ini, diharapkan pembacaan Al-Qur’an dalam tadarus berjamaah menjadi lebih tertib, sesuai adab, dan berpahala sempurna.
Referensi
1-Nihayat al-Qaul al-Mufid, hlm. 166.Muqaddimah Ibnul Jazari.
2- Al-Qur’an QS. Al-A’raf: 204 dan QS. Al-Muzzammil: 4.
3- Kitab Fatawa Al-Shabakah Al-Islamiyyah
[Kumpulan Penulis]
Jilid: 2, Halaman: 684
_____________
نهاية قول المفيذ، 166).
(الفَصْلُ السَّادِسُ)
فِي بَيَانِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْوَقْفِ الْقَبِيْحِ هُوَ نَوْعَانِ الوَقْفُ عَلَى كَلَامٍ لَا يُفْهَمُ مِنْهُ مَعْنًى بِمَا بَعْدَهَ لَفْظًا-اِلَى اَنْ قَالَ-وَلِهَذَا قَالَ ابْنُ الْجَزَرِيُّ فِي مُقَدِّمَتِهِ: وَفِيْرٌ تَمٌّ قَبِيْحٌ وَلَهُ # يُوْقِفُ مُضْطِرًّا وَيَبْدُ اقبلة لِاَنَّ الْمَقْصُوْدَ بِعَيْنِ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى تَكْمِيْلُهَا فَالْوَقْفُ مُبَيِّنٌ وَفَاصِلُ بَعْضِهَا مِنْ بَعْضٍ وَبِذَلِكَ تَحْسُنُ التِّلَاوَةُ فَيَحِلُّ الْفَهْمُ وَالدِّرَايَةُ وَيَتَّضِحُ مِنْهَاجُ الْهِدَايَةِ وَلَنَذْكُرُ لَكَ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى فَائِدَةً للْمَوْقُوفِ الْقَبِيْحَةِ الَّتِي لَاتَجُوْزُ مِنْ هَذَا النَّوْعِ لِتَكْمِيْلِ الْفَائِدَةِ. وَاَمَّا الْحُكْمُ فِي قَطْعِ بَعْضِ الْكَلِمَةِ عَنْ بَعْضٍ بِاَنْ اَرَادَ أَنْ يَقُوْلَ الْحَمْدُ للهِ فَقَالَ أَلْ فَانْقَطَعَ نَفْسُهُ أَوْ نَسِيَ الْبَاقِيَ ثُمَّ تَذَكَّرَ فَقَالَ حَمْدُ للهِ أَوْ لَمْ يَتَذَكَّرْ فَتَرْكَ الْبَاقِيَ وَانْتَقَلَ إِلَى كَلِمَةٍ أُخْرَى فَقَدْ كَانَ الشَّيْخُ الِا مَامُ شَمْسُ الْأَئِمَّةِ الْحُلْوَانِيُّ يُفْتِي بِالْفَسَادِ فِي مِثْلِ ذَلِكَ وَعَامَّةُ الْمَشَايِخِ قَالُوا لَا تَفْسُدُ لِعُمُوْمِ الْبَلْوَى فِي انْقِطَاعِ النَّفْسِ وَالنِّسْيَانِ.
Bab Keenam: Penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan waqaf qabih (berhenti yang buruk).
Jenis pertama: Berhenti pada suatu kata yang tidak dapat dipahami maknanya tanpa melihat bagian setelahnya dalam lafaz.
Hingga dikatakan: Oleh karena itu, Ibnul Jazari berkata dalam Muqaddimah-nya:
“Ada waqaf yang sempurna namun buruk, dan hanya boleh berhenti di situ jika terpaksa, lalu melanjutkan kembali. Sebab tujuan dari kitab Allah Ta’ala adalah menyempurnakannya. Waqaf berfungsi sebagai penjelas dan pemisah antara bagian-bagian ayat. Dengan itu, bacaan menjadi lebih baik, pemahaman menjadi jelas, dan petunjuk menjadi terang.”
Kami akan menyebutkan, insya Allah Ta’ala, beberapa contoh waqaf qabih yang tidak diperbolehkan dalam kategori ini demi menyempurnakan pemahaman.
Hukum memutus sebagian kata dari sebagian lainnya:
Jika seseorang ingin mengucapkan “الحمد لله” (alhamdulillah), tetapi ia hanya mengucapkan “أل” (al) lalu napasnya terputus atau ia lupa bagian selanjutnya, kemudian ia teringat dan melanjutkan dengan “حمد لله” (hamdulillah), atau bahkan tidak mengingat bagian yang tersisa lalu berpindah ke kata lain, maka:
Syekh Imam Syamsul A’immah al-Halwani memberi fatwa bahwa dalam kasus semacam ini bacaannya menjadi rusak (fasid). Namun, mayoritas ulama menyatakan bahwa bacaannya tidak menjadi rusak, karena hal seperti ini banyak terjadi akibat kehabisan napas atau lupa, sehingga dimaafkan karena adanya ‘umum al-balwa (kesulitan yang umum terjadi).
كتاب فتح القدير للكمال بن الهمام
الفقه الحنفي ج: ١ ص: ٣٤٣
وَالِانْتِقَالُ مِنْ آيَةٍ مِنْ سُورَةٍ إلَى آيَةٍ مِنْ سُورَةٍ أُخْرَى أَوْ مِنْ هَذِهِ السُّورَةِ بَيْنَهُمَا آيَاتٌ مَكْرُوهٌ، وَكَذَا الْجَمْعُ بَيْنَ سُورَتَيْنِ بَيْنَهُمَا سُوَرٌ أَوْ سُورَةٌ فِي رَكْعَةٍ، أَمَّا فِي الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا سُوَرٌ أَوْ سُورَتَانِ لَا يُكْرَهُ، وَإِنْ كَانَ سُورَةٌ قِيلَ يُكْرَهُ، وَقِيلَ إنْ كَانَتْ طَوِيلَةً لَا يُكْرَهُ كَمَا إذَا كَانَتْ سُورَتَانِ قَصِيرَتَانِ، وَإِنْ قَرَأَ فِي رَكْعَةٍ سُورَةً وَفِي الثَّانِيَةِ مَا فَوْقَهَا أَوْ فَعَلَ ذَلِكَ فِي رَكْعَةٍ فَهُوَ مَكْرُوهٌ، وَإِنْ وَقَعَ هَذَا مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ بِأَنْ قَرَأَ فِي الْأُولَى بِ ” قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ” يَقْرَأُ فِي الثَّانِيَةِ هَذِهِ السُّورَةَ أَيْضًا.
Berpindah dari satu ayat dalam sebuah surat ke ayat lain dari surat yang berbeda, atau berpindah antar-ayat dalam surat yang sama dengan melewatkan beberapa ayat di antaranya, hukumnya makruh. Demikian pula menggabungkan dua surat yang antara keduanya terdapat satu atau lebih surat lain dalam satu rakaat, juga dianggap makruh. Namun, jika dilakukan dalam dua rakaat, maka:
Jika di antara kedua surat itu terdapat satu atau dua surat lain, maka tidak makruh.
Jika hanya ada satu surat di antara keduanya, ada pendapat yang mengatakan bahwa hal itu makruh. Ada pula yang berpendapat bahwa jika suratnya panjang, maka tidak makruh, sebagaimana jika kedua surat itu pendek.
Jika seseorang membaca satu surat dalam satu rakaat dan membaca surat yang lebih tinggi urutannya dalam rakaat berikutnya, atau melakukan hal itu dalam satu rakaat, maka hukumnya makruh. Namun, jika hal itu terjadi tanpa disengaja, seperti membaca “Qul a‘ūdzu birabbi an-nās” dalam rakaat pertama, lalu membaca surat yang sama dalam rakaat kedua, maka tidak mengapa.
كتاب فتاوى الشبكة الإسلامية
[مجموعة من المؤلفين] ج:٢ ص: ٦٨٤
فضل وآداب تلاوة القرآن وتعلمه ٧٥٤ حكم قراءة القرآن بغير ترتيب المصحف
[حكم قراءة القرآن بغير ترتيب المصحف]
[السُّؤَالُ]
ـ[/هل يجوز أن نقرأ القرآن بغير الترتيب الموجود في المصحف؟ وما هو الدليل على ذلك؟]ـ
[الفَتْوَى]
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد:
فإن الواجب في قراءة القرآن الكريم اتباع ترتيب المصحف الشريف في الآيات، لأن الترتيب في الآيات توقيفي باتفاق أهل العلم.
وأما الترتيب في السور فإنه واجب توقيفي، وقيل مستحب وهو الراجح إن شاء الله تعالى.
وذلك لما رواه مسلم في صحيحه عن حذيفة رضي الله عنه قال: صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة فافتتح البقرة … ثم افتتح النساء….
قال العلامة ابن مايابى الشنقيطي في كشف العمى عن حكم الترتيب:
وذاك في السور في القول الأحق * والقول في الآي عليه متفق
ويحرم التنكيس فيه والخبر * جاء بتنكيس قراءة السور
وعلى هذا؛ فيجوز قراءة السور من غير ترتيب المصحف، وإن كان الأولى ترتيب قراءتها كما في المصحف، أما الآيات فيجب ترتيبها ولا يجوز فيها التنكيس. ولمزيد من الفائدة نرجو الاطلاع على الفتوى رقم: ٢٢٥٧.والله أعلم.
[تَارِيخُ الْفَتْوَى]
٢١ رجب