HUKUM KEPEMILIKAN TANAMAN YANG DITANAM DITANAH ORANG LAIN:STUDI KASUS TANAH WARISAN DALAM PERSPEKTIF FIQIH

Hukum Kepemilikan Tanaman yang Ditanam di Tanah Orang Lain: Studi kasus Tanah warisan dalam Perspektif Fiqih

Assalamualaikum WR WB. Bagaimana hukum tanaman yang ditanam ditanam ditanah orang ?? Deskripsi: *Kebiasaan orang dahulu _ketika sesaudara/sekeluarga tanah yg dimiliki orang tuanya langsung ditanami pohon contoh pohon rambutan ( punya si A dan si B ) langsung ditanam asal-asalan menanam. Sehingga ketika orang tuanya meninggal dan tanah itu dipeta-petakan sesuai dg permintaan sang orang tua. Maka ada pohon rambutan punya si A ada di tanah si B dan begitu pula sebalik._* Bagaimanakah kepemilikan pohon itu ??

Waalaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kasus Pohon Rambutan yang Ditanam di Tanah Orang Lain:

Jika merujuk pada deskripsi, pohon ditanam oleh saudara di tanah milik keluarga secara asal-asalan (tanpa memperhatikan batas kepemilikan), lalu tanah dibagi setelah orang tua meninggal. Akibatnya, ada pohon milik A yang berada di tanah milik B, dan sebaliknya.

Dalam situasi ini, maka jawabannya terdapat pada kaidah-kaidah yang relevan berada di urutan No.1- 2 – 3 -5 dan no.6 adalah sebagai berikut :

1. Kaidah Pertama (Tanaman di Tanah Orang Lain Tanpa Izin Mutlak):

Hasil tanaman sebelum panen menjadi milik pemilik tanah dengan kewajiban membayar biaya tanam yang dikeluarkan oleh penanam.

Setelah panen, hasil tanaman menjadi milik penanam.

➔ Relevansi:

Jika pohon ditanam tanpa izin atau aturan jelas dari pemilik tanah (orang tua), maka hasil panennya bisa menjadi milik pemilik tanah (B), dengan kewajiban mengganti biaya tanam jika pohon belum menghasilkan.

2. Kaidah Kedua (Tanaman yang Memberikan Kerugian Lebih Besar):

Jika pohon yang ditanam merugikan pemilik tanah (misalnya mengurangi nilai tanah), status penanam dianggap seperti perampas (ghashib).

➔ Relevansi:

Jika pohon tersebut tidak menyebabkan kerugian, kaidah ini kurang relevan. Namun, jika pohon dianggap mengganggu, penanam harus bertanggung jawab atas kerugian.

3. Kaidah Kelima (Tanaman pada Tanah dengan Manfaat Tidak Berpindah):

Jika tanah dan manfaatnya tidak berpindah, penanam boleh membiarkan tanaman tersebut hingga selesai masa manfaatnya tanpa membayar.

➔ Relevansi:

Jika pohon ditanam ketika tanah masih dianggap milik bersama dan pembagian tanah belum terjadi, penanam memiliki hak untuk mempertahankan pohon hingga masa panen tanpa biaya.

4. Kaidah Keenam (Tanaman pada Tanah yang Kepemilikannya Berpindah):

Jika kepemilikan tanah dan manfaatnya berpindah, penanam tetap boleh mempertahankan tanaman hingga panen dengan membayar ujrah (sewa wajar) kepada pemilik baru.

➔ Relevansi:

Jika pohon berada di tanah yang sekarang menjadi milik B, A dapat mempertahankan haknya atas pohon tersebut dengan membayar sewa wajar kepada B.

Kesimpulan:

1. Kepemilikan pohon: Pohon tetap menjadi milik penanam (A), meskipun berada di tanah milik B.

2. Hak pemilik tanah (B): B berhak meminta kompensasi berupa:

Sewa tanah (ujrah al-mitsl) jika pohon tetap dibiarkan.

Kompensasi kerugian jika pohon dianggap merugikan (misalnya mengurangi nilai tanah).

3. Solusi terbaik: Menyesuaikan dengan kesepakatan keluarga untuk menghindari konflik, misalnya:

Penanam memindahkan pohon ke tanah miliknya sendiri.

Pemilik tanah menerima kompensasi dalam bentuk lain (sewa atau hasil panen).

Referensi

المكتبة الشاملة
كتاب شرح تحفة أهل الطلب في تجريد أصول قواعد ابن رجب
[عبد الكريم اللاحم] الحنبلي
علوم الفقه والقواعد الفقهية
ص:  ٢٥٩-٢٦٠

القاعدة الأولى: من زرع أرض غيره عدوانا محضا غير مستند إلى إذن بالكلية فالزرع بعد الحصاد له، وقبل الحصاد لمالك الأرض بنفقته (١). وقيل: بقيمته (٢). القاعدة الثانية: من زرع بأرض غيره ما هو أعظم ضررا مما أذن له فيه فهو كالغاصب (٣). القاعدة الثالثة: من زرع أرض غيره بعقد فاسد فعليه أجرة المثل للأرض، والزرع له (٤). القاعدة الرابعة: من زرع أرض غيره بعقد ممن لا ولاية له عليها ظانا ولايته فالزرع لمالك الأرض بنفقته (٥). وقيل: الزرع للزارع وعليه أجرة المثل للأرض (٦). وقيل: الزرع للزارع ومالك الأرض نصفين (٧). القاعدة الخامسة: إذا انتقلت ملكية الأرض دون منفعتها، وهي مشغولة بزرع مأذون فيه، فللزارع إبقاؤه مجانا إلى نهاية ملكه للمنفعة (٨)

Kaedah pertama:
Barang siapa menanam di tanah milik orang lain dengan melanggar hukum secara mutlak tanpa ada izin sama sekali, maka:

Hasil tanamannya setelah panen menjadi milik penanam. Sebelum panen, hasil tanaman tersebut menjadi milik pemilik tanah dengan biaya tanam yang dikeluarkan oleh penanam.
(1)

Ada pendapat lain yang mengatakan:

Hasil tanaman sebelum panen dihitung berdasarkan nilainya.
(2)

Kaedah kedua:
Barang siapa menanam di tanah milik orang lain dengan tanaman yang memberikan kerugian lebih besar daripada yang diizinkan, maka dia dihukumi sebagai perampas.
(3)

Kaedah ketiga:
Barang siapa menanam di tanah milik orang lain berdasarkan akad yang rusak (tidak sah), maka:

Dia wajib membayar upah tanah sesuai dengan nilainya. Hasil tanamannya tetap menjadi miliknya.
(4)

Kaedah keempat:
Barang siapa menanam di tanah milik orang lain berdasarkan akad dari seseorang yang tidak memiliki wewenang atas tanah tersebut, dengan menyangka bahwa ia memiliki wewenang, maka:

Hasil tanamannya menjadi milik pemilik tanah dengan biaya tanam yang ditanggung olehnya (pemilik tanah).
(5)

Ada pendapat lain yang mengatakan:

Hasil tanaman menjadi milik penanam, dan ia wajib membayar upah tanah sesuai dengan nilainya.
(6)

Pendapat lainnya mengatakan:

Hasil tanaman dibagi dua antara penanam dan pemilik tanah.
(7)

Kaedah kelima:
Apabila kepemilikan tanah berpindah tangan, tetapi manfaatnya (hak guna tanah) tidak ikut berpindah, sementara tanah tersebut ditanami dengan izin, maka:

Penanam diperbolehkan untuk membiarkan tanamannya tumbuh secara gratis hingga selesai masa manfaatnya.
(8)

القاعدة السادسة: إذا انتقلت ملكية الأرض بمنافعها، وهي مزروعة بمأذون فيه، فللزارع إبقاء الزرع إلى نهاية ملكه للمنفعة بأجرة المثل للثاني، في باقي المدة (١).

وقيل: بالأجرة السابقة، ويشترك المالك الثاني مع الأول بالنسبة من المدة الباقية (٢).

القاعدة السابعة: إذا زرعت الأرض بغير إذن صاحبها ببذر شخص آخر بغير إذنه، فهو كزرع المستأجر والمستعير (٣).

وقيل كزرع الغاصب (٤).

القاعدة الثامنة: من زرع أرض غيره بإذن غير لازم، كان له إبقاؤه مجانا إلى أوان حصاده (٥).

وقيل: بأجرة المثل من انتهاء الأذن (٦).

القاعدة التاسعة: من زرع في أرضه التي منع من التصرف فيها لحق غيره، وكان ذلك يضر صاحب الحق، فهو كالغاصب (٧)

Kaedah Keenam: Jika kepemilikan tanah beserta manfaatnya berpindah tangan, sedangkan tanah tersebut sedang ditanami dengan izin yang sah, maka penanam berhak mempertahankan tanaman tersebut hingga akhir masa manfaatnya, dengan membayar sewa sesuai nilai wajar (ujrah al-mitsl) kepada pemilik baru untuk sisa waktu yang ada (1).

Ada pula pendapat bahwa yang dibayarkan adalah sewa yang telah disepakati sebelumnya, dan pemilik baru berbagi dengan pemilik lama sesuai dengan bagian waktu yang tersisa (2).

Kaedah Ketujuh: Jika tanah ditanami tanpa izin pemiliknya, dengan benih milik orang lain tanpa izinnya pula, maka statusnya seperti tanaman milik penyewa atau peminjam tanah (3).

Ada juga pendapat bahwa statusnya seperti tanaman milik perampas (ghashib) (4).

Kaedah Kedelapan: Barang siapa menanam di tanah orang lain dengan izin yang tidak bersifat mengikat, maka ia berhak mempertahankan tanamannya tanpa membayar hingga masa panen (5).

Namun, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ia wajib membayar sewa sesuai nilai wajar (ujrah al-mitsl) setelah izin tersebut berakhir (6).

Kaedah Kesembilan: Barang siapa menanam di tanah miliknya sendiri yang tidak boleh ia pergunakan karena adanya hak pihak lain, dan perbuatan itu merugikan pemilik hak, maka statusnya seperti perampas (ghashib) (7).

كتاب السنن الكبرى – البيهقي – ط العلمية

[أبو بكر البيهقي]
ج:٦ص: ٢٢٥

بَابُ مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ غَيْرِهِ بِغَيْرِ إِذْنِهِ أَوْ بِإِذْنِهِ عَلَى سَبِيلِ الْمُزَارَعَةِ ١١٧٤٢ – أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو، وَأَبُو صَادِقِ بْنُ أَبِي الْفَوَارِسِ، قَالُوا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، ثنا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ عَفَّانَ، ثنا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، ثنا شَرِيكٌ، ح وَأنبأ أَبُو زَكَرِيَّا بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ الْمُزَكِّي، ثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، ثنا الْعَبَّاسُ بْنُ الْفَضْلِ الْأَسْفَاطِيُّ، ثنا أَبُو الْوَلِيدِ، ثنا شَرِيكٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ فِي الزَّرْعِ شَيْءٌ، وَتُرَدُّ عَلَيْهِ نَفَقَتُهُ ” هَذَا لَفْظُ حَدِيثِ أَبِي الْوَلِيدِ، وَفِي رِوَايَةِ يَحْيَى بْنِ آدَمَ قَالَ: يَرْفَعُهُ، وَقَالَ: ” فَلَهُ نَفَقَتُهُ، وَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ ” ١١٧٤٣ – وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللهِ الْحَافِظُ، وَأَبُو سَعِيدِ بْنُ أَبِي عَمْرٍو، وَأَبُو صَادِقٍ الْعَطَّارُ، قَالُوا: ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ، ثنا الْحَسَنُ، ثنا يَحْيَى بْنُ آدَمَ، ثنا قَيْسٌ يَعْنِي ابْنَ الرَّبِيعِ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، مِثْلَهُ ١١٧٤٤ – حَدَّثَنَا أَبُو مُحَمَّدٍ عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ الْأَصْبَهَانِيُّ، ثنا أَبُو مُحَمَّدٍ الْحَسَنُ بْنُ عِمْرَانَ الْقَاضِي، بِهُرَاةَ، ثنا أَبُو حَاتِمٍ عَبْدُ الْجَلِيلِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْهَرَوِيُّ، ثنا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُوسَى، أنبأ بُكَيْرٌ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي نُعْمٍ، أَنَّ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ زَرَعَ أَرْضًا أَخَذَهَا مِنْ بَنِي فُلَانٍ، فَمَرَّ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَسْقِي زَرْعَهُ فَسَأَلَهُ: ” لِمَنْ هَذَا؟ ” فَقَالَ: الزَّرْعُ لِي، وَهِيَ أَرْضُ بَنِي فُلَانٍ أَخَذْتُهَا، لِيَ الشَّطْرُ وَلَهُمُ الشَّطْرُ، قَالَ: فَقَالَ: ” انْفُضْ يَدَكَ مِنْ غُبَارِهَا، وَرُدَّ الْأَرْضَ إِلَى أَهْلِهَا، وَخُذْ نَفَقَتَكَ “، قَالَ: فَانْطَلَقْتُ فَأَخْبَرْتُهُمْ بِمَا قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَأَخَذَ نَفَقَتَهُ وَرَدَّ إِلَيْهِمْ أَرْضَهُمْ ١١٧٤٥ – أَخْبَرَنَا أَبُو عَلِيٍّ الرُّوذْبَارِيُّ، أنبأ أَبُو بَكْرِ بْنُ دَاسَةَ، أنبأ أَبُو دَاوُدَ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، ثنا يَحْيَى، ثنا أَبُو جَعْفَرٍ الْخَطْمِيُّ قَالَ: بَعَثَنِي عمي أَنَا وَغُلَامًا لَهُ إِلَى سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ: فَقُلْنَا لَهُ: شَيْءٌ بَلَغَنَا عَنْكَ فِي الْمُزَارَعَةِ، قَالَ: كَانَ ابْنُ عُمَرَ لَا يَرَى بِهَا بَأْسًا حَتَّى بَلَغَهُ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ فِي حَدِيثٍ، فَأَتَاهُ، فَأَخْبَرَهُ رَافِعٌ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَى بَنِي حَارِثَةَ فَرَأَى زَرْعًا فِي أَرْضِ ظُهَيْرٍ فَقَالَ: ” مَا أَحْسَنَ زَرْعَ ظُهَيْرٍ “، فَقَالُوا: لَيْسَ لِظُهَيْرٍ، قَالَ: ” ⦗٢٢٦⦘ أَلَيْسَ أَرْضَ ظُهَيْرٍ؟ ” قَالُوا: بَلَى، وَلَكِنَّهُ زَرْعُ فُلَانٍ، قَالَ: ” فَخُذُوا زَرْعَكُمْ وَرُدُّوا عَلَيْهِ النَّفَقَةَ “، قَالَ رَافِعٌ: فَأَخَذْنَا زَرْعَنَا، وَرَدَدْنَا إِلَيْهِ النَّفَقَةَ. قَالَ سَعِيدٌ: أَفْقِرْ أَخَاكَ أَوْ أَكِرْهُ بِالدَّرَاهِمِ. ظَاهِرُ هَذِهِ الْأَحَادِيثِ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الزَّرْعَ يَتْبَعُ الْأَرْضَ، وَفُقَهَاءُ الْأَمْصَارِ عَلَى أَنَّ الزَّرْعَ يَتْبَعُ الْبَذْرَ، وَلَوْ ثَبَتَ هَذِهِ الْأَحَادِيثُ لَمْ يَكُنْ لِأَحَدٍ فِي خِلَافِهَا حُجَّةٌ، إِلَّا أَنَّ الْحَدِيثَ الْأَوَّلَ يَنْفَرِدُ بِهِ شَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللهِ وَقَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ، وَقَيْسُ بْنُ الرَّبِيعِ ضَعِيفٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْحَدِيثِ، وَشَرِيكُ بْنُ عَبْدِ اللهِ مُخْتَلَفٌ فِيهِ، كَانَ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ لَا يَرْوِي عَنْهُ، وَيُضَعِّفُ حَدِيثَهُ جِدًّا، ثُمَّ هُوَ مُرْسَلٌ قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي كِتَابِ الْبُوَيْطِيِّ: الْحَدِيثُ مُنْقَطِعٌ؛ لِأَنَّهُ لَمْ يَلْقَ عَطَاءً رَافِعًا ١١٧٤٦ – أَخْبَرَنَا أَبُو سَعْدٍ الْمَالِينِيُّ، ثنا أَبُو أَحْمَدَ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَدِيٍّ الْحَافِظُ قَالَ: كُنْتُ أَظُنُّ أَنَّ عَطَاءً عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ مُرْسَلٌ، حَتَّى تَبَيَّنَ لِي أَنَّ أَبَا إِسْحَاقَ أَيْضًا عَنْ عَطَاءٍ مُرْسَلٌ، قَالَ أَبُو أَحْمَدَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ، ثنا يُوسُفُ بْنُ سَعِيدٍ، ثنا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا شَرِيكٌ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ رُفَيْعٍ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” مَنْ زَرَعَ فِي أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ، وَتُرَدُّ عَلَيْهِ قِيمَةُ نَفَقَتِهِ ” قَالَ يُوسُفُ: غَيْرُ حَجَّاجٍ لَا يَقُولُ عَبْدَ الْعَزِيزِ، يَقُولُ: عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ الشَّيْخُ: أَبُو إِسْحَاقَ كَانَ يُدَلِّسُ، وَأَهْلُ الْعِلْمِ بِالْحَدِيثِ يَقُولُونَ: عَطَاءٌ عَنْ رَافِعٍ مُنْقَطِعٌ. وَقَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ الْخَطَّابِيُّ: هَذَا الْحَدِيثُ لَا يَثْبُتُ عِنْدَ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِالْحَدِيثِ. قَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ: وَحَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ يَحْيَى عَنْ مُوسَى بْنِ هَارُونَ الْحَمَّالِ أَنَّهُ كَانَ يُنْكِرُ هَذَا الْحَدِيثَ وَيُضَعِّفُهُ وَيَقُولُ: لَمْ يَرْوِهِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ غَيْرُ شَرِيكٍ، وَلَا رَوَاهُ عَنْ عَطَاءٍ غَيْرُ أَبِي إِسْحَاقَ، وَعَطَاءٌ لَمْ يَسْمَعْ مِنْ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ شَيْئًا، قَالَ أَبُو سُلَيْمَانَ: وَضَعَّفَهُ الْبُخَارِيُّ أَيْضًا قَالَ الشَّيْخُ: وَقَدْ رَوَاهُ عُقْبَةُ بْنُ الْأَصَمِّ عَنْ عَطَاءٍ قَالَ: حَدَّثَنَا رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ، وَعُقْبَةُ ضَعِيفٌ لَا يُحْتَجُّ بِهِ، ⦗٢٢٧⦘ وَأَمَّا حَدِيثُ بُكَيْرِ بْنِ عَامِرٍ الْبَجَلِيِّ عَنِ ابْنِ أَبِي نُعْمٍ عَنْ رَافِعٍ فَبُكَيْرٌ وَإِنِ اسْتَشْهَدَ بِهِ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ فِي غَيْرِ هَذَا الْحَدِيثِ فَقَدْ ضَعَّفَهُ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ وَحَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ وَأَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَيَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، وَأَمَّا الْحَدِيثُ الثَّالِثُ فَرَوَاهُ أَبُو جَعْفَرٍ عُمَيْرُ بْنُ يَزِيدَ الْخَطْمِيُّ، وَلَمْ أَرَ الْبُخَارِيَّ وَلَا مُسْلِمًا احْتَجَّا بِهِ فِي حَدِيثٍ وَاللهُ أَعْلَمُ، وَرُوِيَ عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعِ بْنِ خَدِيجٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَعْنَاهُ، وَهُوَ مُنْقَطِعٌ

Bab: Barang siapa yang menanam di tanah orang lain tanpa izin atau dengan izin dalam bentuk kerja sama (muzara’ah).

Hadis pertama (No. 11742):
Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij, Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa menanam di tanah suatu kaum tanpa izin mereka, maka dia tidak memiliki hak atas tanaman tersebut, namun biaya yang telah dikeluarkan akan dikembalikan kepadanya.”

Riwayat lain:
Dalam riwayat lain disebutkan: “Dia berhak atas biaya yang dikeluarkan, tetapi tidak memiliki hak atas hasil tanaman.”

Hadis kedua (No. 11743):
Diriwayatkan dengan sanad lain, disebutkan hal yang sama sebagaimana hadis pertama.

Hadis ketiga (No. 11744):
Diceritakan oleh Rafi’ bin Khadij bahwa Rasulullah ﷺ melewati tanah yang sedang disirami oleh Rafi’. Ketika ditanya oleh Rasulullah, Rafi’ menjelaskan bahwa tanah tersebut milik Bani Fulan, tetapi tanaman dibagi setengah untuknya dan setengah untuk pemilik tanah. Rasulullah ﷺ memerintahkan agar Rafi’ meninggalkan tanah tersebut, mengembalikan tanah kepada pemiliknya, dan mengambil kembali biaya yang telah dikeluarkannya.

Hadis keempat (No. 11745):
Riwayat dari Sa’id bin Musayyib yang mengutip peristiwa di mana Rasulullah ﷺ mendapati tanaman yang ditanam di tanah milik orang lain tanpa izin. Rasulullah ﷺ memerintahkan agar tanaman diambil oleh pihak yang menanam, dan biaya pengelolaan tanah dikembalikan.

Penilaian Terhadap Kualitas Hadis:

Para ulama berbeda pendapat mengenai keabsahan hadis-hadis ini. Sebagian ulama hadis seperti Imam Bukhari, Abu Sulaiman Al-Khattabi, dan lainnya menyatakan bahwa hadis-hadis ini memiliki kelemahan dalam sanadnya. Penyebab kelemahan meliputi: Perawi hadis yang diperselisihkan, seperti Syarik bin Abdullah dan Qais bin Ar-Rabi’. Sanad yang terputus (munqathi’), karena ‘Atha’ tidak mendengar langsung dari Rafi’ bin Khadij. Perawi yang dianggap lemah, seperti ‘Uqbah bin Al-Asham dan Bukair bin ‘Amir.

Pendapat Ulama Fikih:

Mayoritas fuqaha (ulama fikih) berpendapat bahwa tanaman mengikuti benih, bukan tanah. Artinya, siapa yang menanam, dialah pemilik tanaman, meskipun di tanah orang lain. Namun, hak atas tanah tetap menjadi milik pemilik tanah. Imam Syafi’i dalam Kitab Al-Buwaiti menyatakan bahwa hadis ini munqathi’ (terputus), sehingga tidak bisa dijadikan dasar hukum.

Catatan

Hukum utama: Tidak diperbolehkan menanam di tanah orang lain tanpa izin pemiliknya. Jika terjadi: Penanam tidak memiliki hak atas hasil tanaman. Penanam berhak mendapat ganti atas biaya yang telah dikeluarkan. Keabsahan hadis: Sebagian besar hadis dalam bab ini dinilai lemah atau terputus oleh para ahli hadis, sehingga tidak bisa dijadikan hujjah yang kuat. Namun, prinsip hukum ini tetap berlaku berdasarkan kaidah umum dalam Islam terkait hak milik dan larangan mengambil hak orang lain tanpa izin.

كتاب شرح سنن أبي داود للعبادى( عبد المحسن العباد )
ص:  ٢٦

حكم من زرع في أرض غيره]
السؤال
إن لم يوافق صاحب الأرض على ما فعله ذلك الغاصب من الزرع في أرضه، فهل النفقة تكون لصاحب الأرض؟
الجواب
ورد الحديث بأن يكون للغاصب النفقة، وإذا حصلت خصومة ذهبوا إلى القاضي.

[Hukum Orang yang Menanam di Tanah Orang Lain]

Pertanyaan: Jika pemilik tanah tidak menyetujui tindakan orang yang menanam di tanahnya secara paksa, apakah biaya (yang dikeluarkan) menjadi tanggung jawab pemilik tanah?

Jawaban: Diriwayatkan dalam hadis bahwa biaya tersebut menjadi tanggung jawab si penggarap (yang menanam secara paksa). Namun, jika terjadi perselisihan, masalah ini akan dibawa kepada hakim.

روضة الطالبين وعمدة المفتين ج٤ ص

٤٤١ فَصْلٌ إِذَا حَمَلَ السَّيْلُ حَبَّاتٍ أَوْ نَوًى لِغَيْرِهِ إِلَى أَرْضِهِ، لَزِمَهُ رَدُّهَا إِلَى مَالِكِهَا إِنْ عَرَفَهُ، وَإِلَّا فَيَدْفَعُهَا إِلَى الْقَاضِي، وَلَوْ نَبَتَتْ فِي أَرْضِهِ، فَوَجْهَانِ: أَحَدُهُمَا: لَا يُجْبَرُ مَالِكُهَا عَلَى قَلْعِهَا؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مُتَعَدٍّ. فَعَلَى هَذَا، هُوَ مُسْتَعِيرٌ، فَيُنْظَرُ فِي النَّابِتِ أَهُوَ شَجَرٌ، أَمْ زَرْعٌ؟ وَيَكُونُ الْحُكْمُ عَلَى مَا سَبَقَ. وَأَصَحُّهُمَا: يُجْبَرُ؛ لِأَنَّ الْمَالِكَ لَمْ يَأْذَنْ، فَهُوَ كَمَا لَوِ انْتَشَرَتْ أَغْصَانُ شَجَرَةٍ فِي هَوَاءِ دَارِ غَيْرِهِ، فَلَهُ قَطْعُهَا. وَلَوْ حَمَلَ مَا لَا قِيمَةَ لَهُ، كَنَوَاةٍ وَاحِدَةٍ، أَوْ حَبَّةٍ، فَهَلْ هِيَ لِمَالِكِ الْأَرْضِ لِأَنَّ التَّقَوُّمَ حَصَلَ فِي مِلْكِهِ؟ أَمْ لِمَالِكِ الْحَبَّةِ لِأَنَّهَا كَانَتْ مُحَرَّمَةَ الْأَخْذِ؟ وَجْهَانِ. فَعَلَى الثَّانِي: فِي قَلْعِ النَّابِتِ، الْوَجْهَانِ. قُلْتُ: الْأَصَحُّ: كَوْنُهَا لِمَالِكِ الْحَبَّةِ، وَهَذَا فِي حَبَّةٍ وَنَوَاةٍ لَمْ يُعْرِضْ عَنْهَا مَالِكُهَا، أَمَّا إِذَا أَعْرَضَ عَنْهَا أَوْ أَلْقَاهَا، فَيَنْبَغِي الْقَطْعُ بِكَوْنِهَا لِصَاحِبِ الْأَرْضِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ. وَلَوْ قَلَعَ صَاحِبُ الشَّجَرَةِ شَجَرَتَهُ، لَزِمَهُ تَسْوِيَةُ الْأَرْضِ؛ لِأَنَّهُ لِتَخْلِيصِ مِلْكِهِ.

Fasal

Jika air bah membawa butiran biji atau biji kurma milik orang lain ke tanahnya, maka ia wajib mengembalikannya kepada pemiliknya jika ia mengetahuinya. Jika tidak, maka ia harus menyerahkannya kepada hakim. Jika biji tersebut tumbuh di tanahnya, maka terdapat dua pendapat:

Pendapat pertama menyatakan bahwa pemiliknya tidak dipaksa untuk mencabutnya, karena ia tidak melakukan pelanggaran. Berdasarkan pendapat ini, ia dianggap sebagai peminjam (pengguna tanpa izin), sehingga perlu ditinjau apakah yang tumbuh itu berupa pohon atau tanaman, dan hukumnya mengikuti ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya.

Pendapat yang lebih sahih menyatakan bahwa pemiliknya wajib mencabutnya, karena pemilik tanah tidak memberikan izin. Ini serupa dengan kasus cabang pohon yang menjulur ke udara halaman milik orang lain, sehingga pemilik halaman berhak untuk memotongnya.

Jika air bah membawa sesuatu yang tidak memiliki nilai, seperti sebutir biji kurma atau sebutir biji tanaman, maka ada dua pendapat:

Apakah ia menjadi milik pemilik tanah, karena nilai ekonominya baru muncul setelah berada di propertinya? Ataukah tetap milik pemilik biji, karena sebelumnya pengambilannya dilarang?

Berdasarkan pendapat kedua, dalam hal pencabutan tanaman yang tumbuh, terdapat dua pendapat.

Aku (Imam Nawawi) berkata: Pendapat yang lebih sahih adalah bahwa biji tersebut tetap milik pemilik aslinya, selama ia belum berpaling atau membuangnya. Namun, jika pemiliknya telah membuangnya atau tidak lagi menginginkannya, maka seharusnya dipastikan bahwa biji itu menjadi milik pemilik tanah. Wallahu a’lam.

Jika pemilik pohon mencabut pohonnya, maka ia wajib meratakan kembali tanah tersebut, karena hal itu termasuk dalam tindakan menyelamatkan kepemilikannya.

فتوى إبن صالح ج٢ص ٥٩٣

٦٩٨ – مَسْأَلَة إِذا وصل رجل غصنا من شجرته شَجَرَة غَيره فوصلته فثمرة تِلْكَ الغصنة لمن يكون

قَالَ لَا يجوز للْغَيْر أَن يَفْعَله فَإِن فعله دون إِذن مَالك الشَّجَرَة ليقلعه مجَازًا فَإِن لم يقْلع حَتَّى أثمرت فثمرة تِلْكَ الغصنة لمَالِك الغصنة لَا لمَالِك الشَّجَرَة كمن غرس فِي أَرض الْغَيْر فثمرة الشَّجَرَة لمَالِك الشَّجَرَة لَا لمَالِك الأَرْض وَإِن وصل بِإِذن الْمَالِك ثمَّ بدا لمَالِك قطع الغصنة لَيْسَ لَهُ ذَلِك مجَّانا بل يَنْبَغِي أَن تخير بَين أحد الشَّيْئَيْنِ إِمَّا أَن يقر بالإجرة أَو يقلعه بِأَرْش النُّقْصَان أما التَّمَلُّك بِالْقيمَةِ فَلَا كَمَا لَو أعَار رَأس جِدَاره من رجل فَبنى عَلَيْهِ يتَخَيَّر بَين أَن يقلعه بِأَرْش النُّقْصَان أَو يقره لاأجرة وَلَيْسَ لَهُ أَن يتَمَلَّك بِالْقيمَةِ بِخِلَاف مَا لَو غرس فِي أرضه بِإِذْنِهِ لِأَن الْغِرَاس يكون تَابعا للْأَرْض وَالْبناء لَا يكون تَابعا للْبِنَاء والغصن للشجرة

Masalah 698 – Jika seseorang menyambungkan cabang dari pohonnya ke pohon milik orang lain, lalu cabang itu tumbuh, maka buah dari cabang tersebut menjadi milik siapa?

Ibnu Utsaimin menjawab: Tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk melakukan hal ini tanpa izin pemilik pohon. Jika ia melakukannya tanpa izin, maka pemilik pohon berhak mencabutnya sebagai tindakan yang dibolehkan. Jika cabang itu tidak dicabut hingga berbuah, maka buah dari cabang tersebut menjadi milik pemilik cabang, bukan pemilik pohon. Ini serupa dengan seseorang yang menanam pohon di tanah milik orang lain; buah dari pohon tersebut tetap menjadi milik pemilik pohon, bukan pemilik tanah.

Namun, jika penyambungan dilakukan dengan izin pemilik pohon, lalu pemilik pohon ingin memotong cabang tersebut, ia tidak boleh melakukannya secara cuma-cuma. Sebaliknya, ia harus memilih salah satu dari dua opsi:

Membiarkan cabang itu tetap tumbuh dengan memberikan upah sewa. Mencabutnya dengan membayar ganti rugi atas kerusakan yang ditimbulkan.

Adapun pemilik pohon tidak boleh memiliki cabang tersebut dengan membayarnya sesuai harga (nilai cabang itu), sebagaimana dalam kasus seseorang yang meminjamkan bagian atas temboknya kepada orang lain untuk dibangun di atasnya. Dalam kasus ini, ia harus memilih antara mencabutnya dengan membayar ganti rugi atas kerusakan atau membiarkannya tanpa meminta upah.

 

Namun, berbeda dengan kasus seseorang yang menanam di tanah orang lain dengan izin pemilik tanah. Dalam hal ini, tanaman menjadi bagian dari tanah, sedangkan bangunan tidak otomatis menjadi bagian dari bangunan lain, dan cabang tetap menjadi bagian dari pohon asalnya.

Wallahu a’lam bish-shawab

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Slot demo https://mooc.unesa.ac.id/usutoto-4d/ slot online slot online akurat77 Demo Slot Pg Toto 4D https://wiki.clovia.com/ Slot Gacor Gampang Maxwin Slot77 Daun77 Daun77 slot thailand Daun77 slot77 4d Usutoto situs slot gacor Usutoto Usutoto slot toto slot Daun77 Daun77 Daun77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 Akurat77 MBAK4D MBAK4D DWV99 DWV138 DWVGAMING METTA4D MBAK4D MBAK4D MBAK4D METTA4D DWV99 DWV99 MBAK4D MBAK4D MBAK4D SLOT RAFFI AHMAD METTA4D https://aekbilah.tapselkab.go.id/toto4d/ https://aekbilah.tapselkab.go.id/spaceman/ METTA4D METTA4D METTA4D demo slot MBAK4D METTA4D MINI1221 https://www.concept2.cz/ https://berlindonerkebab.ca/ togel malaysia sabung ayam online tototogel slot88 MBAK4D MBAK4D DWV138 METTA4D