Perbedaan Al-Qur’an, Hadis Qudsi, dan Hadis Nabawi dalam Perspektif Wahyu dan Kedudukannya
Assalamualaikum Saya bertanya dan Mohon jawaban ustadz.
Apa Perbedaan hadist Qudsi da Nabawi dan Al-Qur’an ?
Mengingat ada ayat didalam surah An-Najm
وما ينطق عن الهوى. ان هو الا وحيد يوحى
Apa yang dikatakan oleh Rasulullah bukan dari hwa nafsunya akan tetapi itu Wahyu .
Waalaikumsalam salam
Jawaban
1. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi ﷺ dengan lafaz dan maknanya sekaligus untuk dijadikan ibadah dengan membacanya, serta sebagai mukjizat yang menantang manusia agar mendatangkan sesuatu yang serupa dengan surat yang paling pendek darinya.
2. Hadits Qudsi diturunkan kepada Nabi ﷺ tanpa perantara malaikat pada umumnya, melainkan melalui ilham atau mimpi. Kadang diturunkan dengan lafaz dan maknanya sekaligus, atau hanya maknanya saja, lalu Nabi ﷺ menyampaikan dengan lafaz dari beliau sendiri namun tetap dinisbatkan kepada Allah Ta’ala. Hadits Qudsi tidak dimaksudkan untuk ibadah dalam membacanya, juga tidak dimaksudkan sebagai mukjizat.
3. Hadits Nabi hanya diwahyukan maknanya saja, kemudian Nabi ﷺ menyampaikannya dengan lafaz dari beliau sendiri, dan tidak dinisbatkan kepada Allah Ta’ala. Yang paling mulia dari semuanya adalah Al-Qur’an, kemudian hadits Qudsi.
تنوير القلوب ص ٥٥٠
تنبيه
الفرق بين الحديث القدسي والقرآن والحديث النبوي: أن القرآن أنزل على النبي ﷺ باللفظ والمعنى للتعبد بتلاوته، وإعجاز الخلق عن الإتيان بمثل أقصر سورة منه. والحديث القدسي أنزل عليه بغير واسطة الملك غالباً، بل بإلهام أو منام إما باللفظ والمعنى، وإما باللفظ فقط، ويعبر عنه النبي ﷺ بألفاظ من عنده وينسبه إليه تعالى لا للتعبد بتلاوته ولا للإعجاز. والحديث النبوي أوحي إليه معناه فقط، ويعبر عنه بألفاظ من عنده، ولا ينسبه إليه تعالى. وأشرف الكل القرآن، ثم الحديث القدسي
Adapun ayat dalam Surah An-Najm: 3-4, yang berbunyi:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Artinya: “Dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara dari hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Ayat ini menegaskan bahwa seluruh perkataan Rasulullah SAW, baik yang bersumber dari Allah secara langsung (seperti Hadis Qudsi) maupun hasil penjelasan Rasulullah (Hadis Nabawi), berada di bawah bimbingan wahyu Allah. Dengan kata lain, beliau tidak mungkin berbicara berdasarkan keinginan pribadinya saja, melainkan selalu dalam koridor petunjuk Allah SWT.
Kesimpulan:
Meski berbeda dalam aspek tertentu, baik Hadis Qudsi maupun Hadis Nabawi sama-sama berstatus sebagai sumber ajaran Islam yang harus diikuti, sesuai kedudukannya masing-masing.
Referensi Perbedaan antara Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi dapat dipahami dari beberapa sisi, sebagai berikut:
1. Sumber Wahyu: Hadis Qudsi: Isi atau maknanya berasal langsung dari Allah SWT, tetapi lafaznya (kata-kata) disampaikan oleh Rasulullah SAW. Rasulullah menyandarkan hadis ini kepada Allah dengan kalimat, “Allah berfirman…”. Hadis Nabawi: Baik makna maupun lafaznya berasal dari Rasulullah SAW, meskipun tetap di bawah bimbingan wahyu Allah.
2. Kandungan: Hadis Qudsi: Biasanya berkaitan dengan aspek keimanan, hubungan antara Allah dan hamba-Nya, seperti rahmat, ampunan, dan ancaman. Hadis Nabawi: Membahas berbagai aspek kehidupan, seperti akhlak, ibadah, muamalah, dan hukum.
3. Kedudukan: Hadis Qudsi: Tidak digunakan sebagai dasar hukum syariat yang mengikat seperti Al-Qur’an, tetapi lebih sebagai motivasi atau peringatan. Hadis Nabawi: Banyak menjadi dasar hukum syariat dalam Islam.
4. Cara Penyampaian: Hadis Qudsi: Disampaikan oleh Rasulullah SAW dengan menyebut bahwa perkataan tersebut adalah firman Allah, misalnya: “Qala Allahu ta’ala…” (Allah Ta’ala berfirman…).
Hadis Nabawi: Rasulullah SAW menyampaikannya sebagai sabdanya sendiri tanpa menyandarkan langsung kepada Allah. Adapun ayat dalam Surah An-Najm: 3-4, yang berbunyi:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَىٰ. إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَىٰ
Artinya: “Dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara dari hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Ayat ini menegaskan bahwa seluruh perkataan Rasulullah SAW, baik yang bersumber dari Allah secara langsung (seperti Hadis Qudsi) maupun hasil penjelasan Rasulullah (Hadis Nabawi), berada di bawah bimbingan wahyu Allah. Dengan kata lain, beliau tidak mungkin berbicara berdasarkan keinginan pribadinya saja, melainkan selalu dalam koridor petunjuk Allah SWT. Kesimpulan: Meski berbeda dalam aspek tertentu, baik Hadis Qudsi maupun Hadis Nabawi sama-sama berstatus sebagai sumber ajaran Islam yang harus diikuti, sesuai kedudukannya masing-masing.
شرح الدردير على قصة المعراج ص٤٩
الكلام على بعض فوائد آية الإسراء وآيات من أول سورة النجم
قوله تعالى: ( وما ينطق عن الهوى ) [النجم: ٣]، نزلت لما قالت قريش أن محمداً يقول القرآن من تلقاء نفسه، وقوله: ( وما ينطق عن الهوى ) دليل على أنه ما ضل وما غوى تقديره كيف يضل أو يغوي وهو لا ينطق عن الهوى؟! وإنما يضل من اتبع هواه، ويدل عليه قوله تعالى: ( ولا تتبع الهوى فيضلك عن سبيل الله ) [ص: ٢٦]، وقال تعالى أولاً: ما ضل وما غوى بصيغة الماضي، وقال هنا: وما ينطق بصيغة المضارع، وهو ترتيب في غاية الحسن؛ أي: ما ضل حين اعتزلكم وما تعبدون، وما غوى حين اختلي بنفسه، وما ينطق عن الهوى الآن حين أرسل إليكم، وجعل شاهدًا عليكم فلم يكن أولاً ضال ولا غاويا، وصار الآن منقذا من الضلال ومرشدا وهاديًا. ولم يقل: وما ينطق بالهوى ؛ لأن نفي نطقه عن الهوى، وأبلغ فإنه يتضمن أن نطقه لا يصدر عن هوى، وإذا لم يصدر عن هوى فكيف ينطق به؟ فتضمن نفي الأمرين نفي الهوى عن مصدر النطق ونفيه عن النطق، فنطقه بالحق ومصدره ٢٧٠ والرشاد لا الغي والضلال، فعن على ذلك على بابها، وهو أولى من جعلها بمعنى الباء؛ أي: وما ينطق بالهوى؛ أي: ما يتكلم بالباطل (١). والهوى مقصور مصدر هويته من باب تعب، وهو محبة من النفس الأمارة وإنما سمي الهوى هوى لأنه يهوي بصاحبه ، قال تعالى: ( أفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ ) [الجاثية: ٢٣]، وقال تعالى: ( ومن أضل ممن اتبع هواه بغير هدى من الله ) [القصص: ٥٠]. وقال ثَلَاتٌ مُنْجِبَاتٌ ، وَثَلَاتٌ مُهْلِكَاتٌ : فَأَمَّا الْمُنْجِيَاتُ : فَالْعَدْلُ فِي الْغَضَب (١) قال ابن عادل: أي ما يصدر عن الهوى نطقه (فعن) على بابها. وقيل: بمعنى الباء، أي: وما ينطق بالهوى يريد لا يتكلم بالباطل، وذلك أنهم قالوا: إنَّ محمداً يقول القرآن من تِلْقَاءِ نَفْسِهِ. وفي فاعل (يَنْطِقُ) وجهان: أحدهما: هو ضمير النبي وهو الظاهر. والثاني: أنه ضمير القرآن كقوله تعالى: هَذَا كِتَبْنَا يَنطِقُ عَلَيْكُم بِالْحَقِّ [الجاثية: ٢٩].والله أعلم.
Firman Allah: ‘Dan Dia tidak berbicara menurut hawa nafsu’ (An-Najm: 3), turun ketika Quraisy mengatakan bahwa Muhammad mengucapkan Al-Qur’an dari dirinya sendiri. Dan firman-Nya: ‘Dan Dia tidak berbicara menurut hawa nafsu’ adalah bukti bahwa Dia tidak sesat dan tidak melenceng. Maksudnya: bagaimana mungkin Dia sesat atau melenceng padahal Dia tidak berbicara menurut hawa nafsu? Sesungguhnya yang sesat adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya. Dan hal ini didukung oleh firman Allah: ‘Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, niscaya ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah’ (Ash-Shaffat: 26). Dan Allah telah berfirman sebelumnya: ‘Dia tidak sesat dan tidak melenceng’ dengan bentuk lampau, kemudian Dia berfirman: ‘Dan Dia tidak berbicara’ dengan bentuk sekarang. Dan ini adalah susunan yang sangat baik; artinya: Dia tidak sesat ketika menjauhkan diri dari kalian dan apa yang kalian sembah, dan Dia tidak melenceng ketika menyendiri, dan Dia tidak berbicara menurut hawa nafsu sekarang ketika Dia diutus kepada kalian dan dijadikan saksi atas kalian. Maka Dia sebelumnya tidaklah sesat dan tidak melenceng, dan sekarang Dia menjadi penyelamat dari kesesatan, pembimbing, dan penunjuk jalan. Dan Allah tidak berfirman: ‘Dan Dia tidak berbicara dengan hawa nafsu’, karena menafikan bahwa Dia berbicara menurut hawa nafsu lebih tegas. Sebab, hal itu mengandung makna bahwa ucapan-Nya tidak berasal dari hawa nafsu. Dan jika tidak berasal dari hawa nafsu, maka bagaimana mungkin Dia berbicara dengannya? Sehingga penafian kedua hal ini mencakup penafian hawa nafsu dari sumber ucapan dan penafian hawa nafsu dari ucapan itu sendiri. Maka ucapan-Nya adalah kebenaran dan sumbernya adalah petunjuk dan kebaikan, bukan kesesatan dan keburukan. Maka pendapat ini lebih utama daripada menjadikan kata ‘عن’ bermakna ‘dengan’, yaitu: ‘Dan Dia tidak berbicara dengan hawa nafsu’, artinya: ‘Dan Dia tidak berbicara dengan kebatilan’ (1). Dan hawa nafsu adalah kata benda yang berasal dari kata kerja ‘هاوى’ yang berarti ‘mencintai’, dan itu adalah kecenderungan dari jiwa yang cenderung kepada sesuatu. Dan hawa nafsu dinamakan hawa nafsu karena ia menjatuhkan pemiliknya ke dalam keburukan. Allah berfirman: ‘Maka apakah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?’ (Al-Jathiyah: 23), dan Allah berfirman: ‘Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah?’ (Al-Qashas: 50). Dan dikatakan: ‘Tiga hal yang melahirkan kebaikan, dan tiga hal yang membinasakan. Adapun yang melahirkan kebaikan adalah adil dalam marah…
____________________’
(1) Ibn ‘Adil berkata: Yaitu apa yang keluar dari hawa nafsu adalah ucapan-Nya (kata ‘عن’ pada ‘عن الهوى’ bermakna ‘dari’). Dan ada yang mengatakan: Bermakna ‘dengan’, yaitu: ‘Dan Dia tidak berbicara dengan hawa nafsu’, artinya: ‘Dan Dia tidak berbicara dengan kebatilan’. Itulah yang dikatakan oleh mereka yang mengatakan bahwa Muhammad mengucapkan Al-Qur’an dari dirinya sendiri. Dan dalam kata kerja ‘ينطق’ (berbicara) ada dua kemungkinan pelaku: Pertama: Adalah dhamir (kata ganti) yang kembali kepada Nabi, dan ini yang lebih jelas. Kedua: Adalah dhamir yang kembali kepada Al-Qur’an, seperti firman Allah: ‘Inilah kitab Kami, ia berbicara kepada kalian dengan benar’ (Al-Jathiyah: 29). Wallahu a’lam.”