Assalamualaikum
Deskripsi Masalah:
Seorang muslim setelah baligh bertahun-tahun meninggalkan shalat, baik karena kesibukan maupun karena keimanannya yang masih lemah. Namun, ketika menginjak usia lanjut, ia mendapatkan hidayah dari Allah dan menyadari bahwa meninggalkan shalat adalah dosa besar. Ia pun berniat untuk mengqadha shalat-shalat yang telah ditinggalkan selama ini.
Pertanyaan:
Bagaimana tata cara mengqadha shalat yang telah ditinggalkan bertahun-tahun tersebut?
Wa’alaikumsalam
Jawaban
Cara mengqadha shalat yang ditinggalkan adalah dengan memperkirakan jumlah shalat yang diyakini telah ditinggalkan, berdasarkan dugaan kuat setelah melakukan penelitian yang hati-hati. Hal ini sebagaimana pendapat ulama yang diantaranya al-Imam Ghazali. Jika seseorang tidak pernah shalat sama sekali sejak kecil, maka ia wajib menghitung seluruh shalat yang ditinggalkan sejak ia baligh hingga bertobat, lalu mengqadhainya sesuai kemampuan.
Referensi
إحياء علوم الدين، ٣٧/ ٤
وَشَرْطُ صِحَّتِهَا فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَاضِي، أَنْ يُرَدَّ فِكْرَتُهُ إِلَى أَوَّلِ يَوْمٍ بَلَغَ فِيهِ بِالسِّنِّ، أَوْ الِاحْتِلَامِ، فَيُفَتِّشُ عَمَّا مَضَى مِنْ عُمْرِهِ سَنَةً سَنَةً، وَشَهْرًا شَهْرًا، وَيَوْمًا يَوْمًا، فَنَفَسًا نَفَسًا، وَيَنْظُرُ إِلَى الظَّلَمَاتِ مَا الَّذِي قَصَّرَ فِيهِ مِنْهَا، أَوْ الْمَعَاصِي، مَا الَّذِي قَارَفَهُ مِنْهَا، فَإِنْ كَانَ قَدْ تَرَكَ صَلَاةً، أَوْ صَلَاهَا فِي ثَوْبٍ نَجِسٍ، أَوْ صَلَاهَا بِبِنْيَةٍ غَيْرِ صَحِيحَةٍ، لِجَهْلِهِ، يَشْرَعْ قَضَاءَهَا مَعَ أُجْرَةٍ أُخْرَى، فَإِنْ شَكَّ فِي عَدَدِ مَا فَاتَهُ مِنْهَا، حَسَبَ مِنْ أَدْنَى مَا يُتَصَوَّرُ. فَهَذَا هُوَ قَدْرُ الِاجْتِهَادِ الَّذِي اقْتَضَتْهُ الْعَادَةُ وَقَضَى بِهِ الْبَاقِي، وَقِيلَ إِنَّهُ يَأْخُذُ فِيهِ بِغَالِبِ الظَّنِّ، وَيَصِلُ أَبَدًا عَلَى سَبِيلِ الشُّكْرِ وَالِاجْتِهَادِ. اهـ
Dan syarat sahnya (taubat dan qadha) terkait dengan kewajiban di masa lalu, hendaklah ia mengembalikan perhatiannya kepada hari pertama ia baligh, baik melalui usia maupun ihtilam. Kemudian ia meneliti (mengevaluasi) dari usia yang telah berlalu, tahun demi tahun, bulan demi bulan, hari demi hari, bahkan setiap napas yang telah ia lalui. Ia memperhatikan dosa-dosa dan kegelapan (maksiat) yang pernah ia lakukan, apakah ia meninggalkan shalat, atau shalat dengan pakaian yang najis, atau shalat dengan niat yang tidak sah karena ketidaktahuannya. Maka ia wajib mengqadha shalat itu beserta hal lainnya yang harus diganti.
Jika ia ragu terhadap jumlah shalat yang telah ia tinggalkan, maka ia memperkirakan jumlah paling sedikit yang mungkin terjadi. Demikianlah kadar ijtihad yang dituntut oleh kebiasaan, dan ia harus melakukannya secara terus-menerus sebagai bentuk syukur dan kesungguhan.
الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي ٢/١١٦١ — و الزحيلي (ت ١٤٣٦)
خامسًا – القضاء إن جهل عدد الفوائت: قال الحنفية: من عليه فوائت كثيرة لا يدري عددها، يجب عليه أن يقضي حتى يغلب على ظنه براءة ذمته. وعليه أن يعين الزمن، فينوي أول ظهر عليه أدرك وقته ولم يصله، أو ينوي آخر ظهر عليه أدرك وقته ولم يصله، وذلك تسهيلًا عليه.
`وقال المالكية والشافعية والحنابلة: يجب عليه أن يقضي حتى يتيقن براءة ذمته من الفروض، ولا يلزم تعيين الزمن، بل يكفي تعيين المنوي كالظهر أو العصر مثلًا.`
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين — البكري الدمياطي, ج ١ ص ٣١
`قال شيخنا أحمد بن حجر رحمه الله تعالى: والذي يظهر أنه يلزمه صرف جميع زمنه للقضاء ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد منه، وأنه يحرم عليه التطوع،` ويبادر به – ندبا – إن فات بعذر كنوم لم يتعد به ونسيان كذلك.
_______________
(قوله: والذي يظهر أنه) أي من عليه فوائت فاتته بغير عذر.
`(قوله: ما عدا ما يحتاج لصرفه فيما لا بد له منه) كنحو نوم، أو مؤنة من تلزمه مؤنته، أو فعل واجب آخر مضيق يخشى فوته.`
(قوله: وأنه يحرم عليه التطوع) أي مع صحته، خلافا للزركشي.
والله اعلم بالصواب
Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu oleh Wahbah Az-Zuhaili (2/1161)
Kelima: Qadha’ jika jumlah shalat yang terlewat tidak diketahui
Menurut mazhab Hanafi, seseorang yang memiliki banyak shalat yang terlewat dan tidak mengetahui jumlah pastinya wajib mengqadha hingga ia merasa yakin bahwa tanggungannya telah gugur. Ia juga harus menentukan waktu shalat tersebut, seperti berniat: “Ini adalah shalat Zuhur pertama yang saya tinggalkan waktunya dan belum saya tunaikan,” atau berniat: “Ini adalah shalat Zuhur terakhir yang saya tinggalkan waktunya dan belum saya tunaikan,” untuk mempermudah dirinya.
Adapun menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, seseorang wajib mengqadha hingga ia yakin bahwa tanggungannya telah gugur dari kewajiban shalat fardhu. Tidak diwajibkan menentukan waktu shalat tersebut, cukup dengan menentukan jenis shalat, seperti Zuhur atau Ashar.
—
I’anah Ath-Thalibin ‘Ala Hall Alfazh Fathul Mu’in karya Al-Bakri Ad-Dimyathi (Jilid 1, hlm. 31)
Pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami:
“Yang tampak jelas adalah bahwa seseorang yang memiliki shalat terlewat tanpa uzur wajib menyisihkan seluruh waktunya untuk mengqadha, kecuali waktu yang diperlukan untuk hal-hal yang sangat penting. Selain itu, ia diharamkan melaksanakan shalat sunnah.”
Penjelasan tambahan:
Ia dianjurkan untuk segera mengqadha (secara sunnah) jika shalat tersebut terlewat karena uzur seperti tidur yang tidak disengaja atau kelupaan yang tidak disengaja.
Keterangan lebih lanjut:
1. “Yang tampak jelas adalah…” merujuk pada seseorang yang meninggalkan shalat tanpa uzur.
2. “Kecuali waktu yang diperlukan untuk hal-hal yang sangat penting,” seperti tidur, memenuhi nafkah orang yang menjadi tanggungannya, atau melaksanakan kewajiban lain yang waktunya sangat sempit dan dikhawatirkan akan terlewat.
3. “Diharamkan melaksanakan shalat sunnah,” jika ia dalam kondisi sehat, berbeda dengan pendapat Az-Zarkasyi. Wallahu a’lam bish-shawab.