Hukum Membayar Makanan Setelah Dikonsumsi dalam Perspektif Islam

Hukum Membayar Makanan Setelah Dikonsumsi dalam Perspektif Islam

Latar Belakang:

Dalam transaksi jual beli, salah satu prinsip dasar yang diatur dalam Islam adalah akad (kesepakatan) yang jelas antara penjual dan pembeli. Akad ini mencakup serah terima barang dan pembayaran yang dilakukan sesuai dengan kesepakatan yang tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Dalam beberapa kondisi, seperti membeli makanan di warung atau pedagang kaki lima, ada kebiasaan yang berkembang di masyarakat, yaitu pembeli mengonsumsi makanan terlebih dahulu, kemudian baru membayarnya setelah selesai.

Kondisi ini dapat menimbulkan pertanyaan dari sudut pandang fiqih, yaitu:

1. Apakah cara ini sesuai dengan prinsip syariat Islam, mengingat pembayaran dilakukan setelah barang (makanan) dikonsumsi?

Catatan :Pertanyaan ini penting untuk dijelaskan agar umat Muslim dapat menjalankan transaksi yang sesuai dengan aturan syariat dan terhindar dari keraguan (syubhat).

Jawaban:

Ditafsil

1. Dalam Islam, prinsip utama dalam jual beli adalah terpenuhinya akad (ijab qabul) secara sah dan saling ridha antara penjual dan pembeli. . Hal ini karena dalam akad jual beli, salah satu syarat sahnya adalah adanya keridhaan kedua belah pihak (رِضَا الطَّرَفَيْنِ).

Jika penjual mengizinkan pembeli untuk mengonsumsi barangnya terlebih dahulu, maka akad tersebut sah, sebab izin dari penjual tersebut menunjukkan kerelaannya. Hal ini sesuai dengan kaidah dalam fiqih:

“الأمر بالتصرف إذنٌ فيه.”

Artinya: “Perintah untuk melakukan suatu tindakan menunjukkan adanya izin di dalamnya.” Semisal ada Maklumat   bacaan menu makanan dengan harga ”  makan wajib bayar “

2.Jika sipenjual tidak ada kerelaan barang jualannya dimakan terlebih dahulu dengan tanpa izin makan dalam hal ini hukumnya haram dan tidak termasuk akad jual beli yang sah, walaupun demikian ia wajib membayar ganti rugi apa yang telah dimakan( dirusak).

Dalil yang mendasari hal ini adalah firman Allah dalam Al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

(QS. An-Nisa: 29)

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kamu.”

Dalam kitab “Al-Majmu'” karya Imam An-Nawawi, disebutkan:

وَالشُّرُوطُ فِي الْبَيْعِ أَنْ يَكُونَ عَنْ تَرَاضٍ وَأَنْ يَكُونَ الْمَبِيعُ مَمْلُوكًا لِلْبَائِعِ وَمَعْلُومًا لِلْمُشْتَرِي.

Artinya: “Di antara syarat sah jual beli adalah harus terjadi dengan keridhaan (antara penjual dan pembeli), barang yang dijual adalah milik penjual, dan diketahui oleh pembeli.”

Dalam kasus ini, jika penjual rela dengan konsumsi terlebih dahulu dan pembayaran dilakukan setelah itu, maka transaksi tersebut sah, dan tidak ada larangan dalam syariat.

Kesimpulan

Dalam kasus pembeli memakan makanan terlebih dahulu sebelum membayar, hukumnya adalah boleh, selama memenuhi syarat berikut:

1. Adanya keridhaan kedua belah pihak

Jika penjual mengizinkan pembeli memakan makanan terlebih dahulu dan pembeli berkomitmen untuk membayar setelah selesai, maka transaksi tersebut sah. Dalam hal ini, ridha dari penjual menjadi syarat utama.

2. Tidak ada unsur penipuan atau gharar

Pembeli harus jujur dalam niat untuk membayar setelah selesai makan, dan tidak ada keraguan dari pihak penjual terkait pembayaran. Jika pembayaran dilakukan dengan sengaja ditunda atau ada kemungkinan tidak dibayar, maka ini bisa menjadi haram karena mengandung unsur gharar.

3. Tidak melanggar kesepakatan

Apabila penjual menetapkan aturan bahwa pembayaran dilakukan sebelum makanan dimakan, tetapi pembeli tetap makan tanpa izin, maka hal ini tidak diperbolehkan karena melanggar akad awal.

Kesimpulan Akhir

Makan makanan ( barang jualan) terlebih dahulu lalu membayar setelah selesai hukumnya boleh, dengan syarat:

1. Penjual ridha dan mengizinkan.

2. Pembeli berniat jujur dan tidak menunda pembayaran tanpa alasan.

3. Tidak ada kesepakatan sebelumnya yang dilanggar.

Transaksi ini termasuk dalam kategori jual beli dengan kepercayaan, yang umum terjadi di masyarakat. Selama semua pihak saling ridha dan tidak ada unsur yang melanggar syariat, hal ini diperbolehkan. Tetapi sebaliknya jika tanpa adanya kerelaan dari penjual dan tanpa izin maka termasuk ghasab yang diharamkan dan wajib membayar ganti rugi. Wallahu a’lam.

Tambahan Referensi

المجموع شرح المهذب. ج٩ص١٦٤

`فَأَمَّا إذَا أَخَذَ مِنْهُ شَيْئًا وَلَمْ يُعْطِهِ شَيْئًا وَلَمْ يَتَلَفَّظَا بِبَيْعٍ بَلْ نَوَيَا أَخْذَهُ بِثَمَنِهِ الْمُعْتَادِ كَمَا يَفْعَلُهُ كَثِيرٌ مِنْ الناس فَهَذَا بَاطِلٌ بِلَا خِلَافٍ` لِأَنَّهُ لَيْسَ بِبَيْعٍ لَفْظِيٍّ وَلَا مُعَاطَاةٍ وَلَا يُعَدُّ بَيْعًا فَهُوَ بَاطِلٌ وَلْنَعْلَمْ هَذَا وَلْنَحْتَرِزْ مِنْهُ وَلَا نَغْتَرُّ بِكَثْرَةِ مَنْ يَفْعَلُهُ فَإِنَّ كَثِيرًا مِنْ النَّاسِ يَأْخُذُ الْحَوَائِجَ مِنْ الْبَيَّاعِ مَرَّةً بَعْدَ مَرَّةٍ مِنْ غَيْرِ مُبَايَعَةٍ وَلَا مُعَاطَاةٍ ثُمَّ بَعْدَ مُدَّةٍ يُحَاسِبُهُ وَيُعْطِيهِ الْعِوَضَ وَهَذَا بَاطِلٌ بِلَا خِلَافٍ لِمَا ذَكَرْنَاهُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ

Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab oleh Imam An-Nawawi, Juz 9 Halaman 164:

“Adapun jika seseorang mengambil sesuatu dari penjual tanpa memberikan sesuatu kepadanya (sebagai ganti), tanpa adanya ucapan jual-beli, tetapi hanya berniat untuk mengambil barang tersebut dengan harga yang biasa berlaku sebagaimana yang dilakukan banyak orang, maka hal ini batil tanpa ada khilaf. Sebab, hal tersebut bukan termasuk akad jual-beli yang sah secara lafadz maupun mu’athah (serah-terima). Hal ini tidak dianggap sebagai jual-beli, sehingga hukumnya batil. Maka, ketahuilah hal ini dan berhati-hatilah darinya. Jangan sampai terpedaya oleh banyaknya orang yang melakukannya. Sesungguhnya banyak orang mengambil barang-barang dari penjual berulang kali tanpa adanya akad jual-beli maupun serah-terima, kemudian setelah beberapa waktu mereka melakukan perhitungan dan memberikan harga sebagai pengganti. Hal ini hukumnya batil tanpa ada khilaf, sebagaimana yang telah dijelaskan.

[الجمل، حاشية الجمل على شرح المنهج = فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب، ٤٨١/٣]

(وَيُضْمَنُ مُتَقَوِّمٌ أُتْلِفَ بِلَا غَصْبٍ بِقِيمَتِهِ وَقْتَ تَلَفٍ)

 لِأَنَّهُ بَعْدَهُ مَعْدُومٌ وَضَمَانُ الزَّائِدِ فِي الْمَغْصُوبِ إنَّمَا كَانَ بِالْغَصْبِ، وَلَمْ يُوجَدْ هُنَا وَلَوْ أَتْلَفَ عَبْدًا مُغَنِّيًا لَزِمَهُ تَمَامُ قِيمَتِهِ أَوْ أَمَةً مُغَنِّيَةً لَمْ يَلْزَمْهُ مَا زَادَ عَلَى قِيمَتِهَا بِسَبَبِ الْغِنَاءِ عَلَى النَّصِّ الْمُخْتَارِ فِي الرَّوْضَةِ؛ لِأَنَّ اسْتِمَاعَهُ مِنْهَا مُحَرَّمٌ عِنْدَ خَوْفِ الْفِتْنَةِ وَقَضِيَّتُهُ أَنَّ الْعَبْدَ الْأَمْرَدَ كَذَلِكَ (فَإِنْ تَلِفَ بِسِرَايَةِ جِنَايَةٍ فَبِالْأَقْصَى) مِنْ الْجِنَايَةِ إلَى التَّلَفِ يَضْمَنُ لِأَنَّا إذَا اعْتَبَرْنَا الْأَقْصَى فِي الْغَصْبِ فَفِي نَفْسِ الْإِتْلَافِ أَوْلَى

[Referensi: Al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Syarh al-Minhaj (Futuhat al-Wahhab bi-Tawdih Syarh Minhaj at-Thullab), jilid 3, halaman 481.]

(“Dan sesuatu yang bernilai yang dirusakkan tanpa melalui tindakan perampasan, maka wajib diganti berdasarkan nilainya pada waktu kerusakan terjadi.”) Hal ini karena setelah rusak, barang tersebut dianggap tidak ada, dan kewajiban mengganti lebih pada barang yang dirampas hanya disebabkan oleh tindakan perampasan, yang dalam kasus ini tidak terjadi. Jika seseorang merusakkan seorang budak laki-laki yang bisa bernyanyi, maka wajib baginya mengganti nilai penuhnya. Namun, jika yang dirusakkan adalah seorang budak perempuan yang bisa bernyanyi, maka tidak wajib baginya mengganti nilai lebih yang disebabkan oleh kemampuan bernyanyinya, sesuai teks yang dipilih dalam kitab ar-Raudhah. Sebab, mendengar nyanyian darinya hukumnya haram jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Konsekuensinya adalah budak laki-laki yang berwajah tampan juga diperlakukan sama.

(“Jika barang tersebut rusak akibat menyebarnya dampak suatu tindak pidana, maka wajib diganti berdasarkan nilai tertinggi dari awal terjadinya tindak pidana hingga kerusakan terjadi.”) Hal ini karena jika kita menetapkan nilai tertinggi dalam kasus perampasan, maka lebih utama lagi untuk menetapkannya dalam kasus perusakan langsung.

Wallahu A’lam Bisshawab

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *