Salam dalam Islam dan Perspektif terhadap Salam Non Muslim
Latar Belakang
Salam adalah salah satu bentuk ibadah yang diajarkan dalam Islam dan menjadi identitas umat Muslim. Salam Islami, yaitu:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
adalah ucapan yang mengandung doa keselamatan, keberkahan, dan rahmat dari Allah SWT. Salam ini merupakan sunnah Nabi Muhammad SAW dan menjadi syiar yang membedakan umat Islam dari yang lain.
Namun, dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk, penggunaan salam dari tradisi agama lain seperti Om Swastiastu (Hindu) atau Namo Buddhaya (Buddha) sering kali muncul, khususnya dalam acara resmi yang melibatkan berbagai kelompok agama. Hal ini menimbulkan pertanyaan di kalangan umat Islam mengenai hukum menggunakan salam non-Islam, terutama terkait menjaga identitas keislaman tanpa mengurangi penghormatan terhadap keberagaman.
Pertanyaan
Bagaimana hukum mengucapkan salam dengan selain yang diajarkan dalam Islam?
Waalaikum salam
Jawaban
1. Hukum Salam Islami
Salam Islami yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW adalah:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Salam ini dianjurkan ( disunnatkan ) dalam konteks syariat sebagai bentuk penghormatan dan do’a serta identitas umat Islam dan pembeda dari ucapan agama lain. Nabi Muhammad SAW bersabda:
أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
“Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)
Salam Islami menjadi doa keselamatan, keberkahan, dan rahmat dari Allah SWT kepada sesama Muslim, sekaligus simbol syiar Islam yang wajib dijaga.
2. Hukum Menggunakan Salam Non-Islam
a. Dalam Konteks Formal untuk Menghormati Audiens Lintas Agama
Jika salam seperti Om Swastiastu, Namo Buddhaya, atau Rahayu digunakan dalam acara resmi untuk menghormati audiens lintas agama tidak termasuk salam karena tidak memenuhi syarat salam yaitu harus berharkat tanwin atau memakai awalan huruf al :
نووي الجاوي ,نهاية الزين , ٣٦١]
وصيغته الَّتِي يجب فِيهَا الرَّد السَّلَام عَلَيْكُم أَو سَلام عَلَيْكُم بتنوين سَلام وَيكرهُ عَلَيْكُم السَّلَام وَعَلَيْكُم سَلام وَإِن وَجب الرَّد فيهمَا وَلَا يَكْفِي سَلام عَلَيْكُم بترك التَّنْوِين وأل وَكَذَا لَو قَالَ وَعَلَيْكُم السَّلَام بِالْوَاو أَو اقْترن بالصيغة مَا هُوَ من تَحِيَّة الْجَاهِلِيَّة كَأَن قَالَ السَّلَام عَلَيْكُم صبحكم بِالْخَيرِ أَو صبحكم بِالْخَيرِ السَّلَام عَلَيْكُم فَلَا يجب الرَّد فِي ذَلِك وَلَو قَالَ السَّلَام عَلَيْكُم وَرَحْمَة الله وَبَرَكَاته وَجب الرَّد وَلَكِن الأولى التقليل عَن ذَلِك ليبقى للراد شَيْء يزِيد بِهِ على المبتدىء بِالسَّلَامِ كَمَا هُوَ الْأَكْمَل لَهُ والقارىء كَغَيْرِهِ فِي اسْتِحْبَاب ابْتِدَاء السَّلَام عَلَيْهِ وَوُجُوب الرَّد بِاللَّفْظِ على الْمُعْتَمد.
Kitab Nihayah al-Zain karya Nawawi al-Jawi
Dan lafaz salam yang wajib dijawab adalah: “Assalamu ‘alaikum” atau “Salamun ‘alaikum” dengan tanwin pada kata salam.
Adapun jika seseorang mengatakan, ‘Alaikum assalam atau ‘Alaikum salam, hukumnya makruh, meskipun wajib dijawab dalam kedua bentuk tersebut. Tidak cukup dengan hanya mengatakan Salamun ‘alaikum tanpa tanwin dan alif-lam (pada kata salam).
Demikian pula, jika seseorang mengatakan Wa ‘alaikum assalam dengan menggunakan huruf wawu (dan), maka itu tidak mencukupi.
Selain itu, apabila salam digabungkan dengan ungkapan dari tradisi Jahiliyah, seperti seseorang mengatakan:
“Assalamu ‘alaikum subhukum bilkhair” (Salam sejahtera atas kalian, semoga pagi kalian diberkahi dengan kebaikan)
atau “Subhukum bilkhair assalamu ‘alaikum” (Semoga pagi kalian diberkahi dengan kebaikan, salam sejahtera atas kalian), maka dalam kasus seperti ini tidak wajib menjawab salam tersebut.
Namun, jika seseorang mengatakan: “Assalamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh,” maka wajib menjawab salam tersebut. Akan tetapi, lebih utama untuk mengurangi tambahan dari salam tersebut agar bagi orang yang menjawab tetap memiliki sesuatu yang bisa ditambahkan dari salam yang diberikan oleh orang yang memulai, sebagaimana ini adalah bentuk yang paling sempurna baginya.
Adapun orang yang membaca (Al-Qur’an) juga dianjurkan memulai salam atasnya, dan wajib menjawab salamnya dengan lafaz yang diucapkan menurut pendapat yang kuat.
Adapun hukumnya adalah Makruh jika tidak diniatkan sebagai bentuk pengakuan terhadap ajaran agama lain.
Haram jika ada niat menyerupai, mengakui, atau meridhai ajaran agama lain.
b. Dalam Konteks Sapaan Umum
Jika salam tersebut digunakan sebagai sapaan umum tanpa niat religius, hukumnya tetap lebih baik dihindari. Hal ini karena salam tersebut tidak mengandung doa keselamatan sebagaimana salam Islami.
3. Alternatif Salam dalam Acara Formal
Dalam acara yang melibatkan audiens dari berbagai latar belakang, seorang Muslim dapat menggunakan format seperti:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، وَسَلَامًا لِمَنْ تَبِعَ الْهُدَى
“Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah Allah tercurah kepada kita semua, serta kepada mereka yang mengikuti petunjuk.”
Format ini tetap menunjukkan identitas keislaman sambil menghormati keberagaman.
4. Dalil Pendukung
1. Firman Allah:
وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ ٱلْإِسْلَـٰمِ دِينًۭا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ
“Barang siapa mencari agama selain Islam, maka tidak akan diterima darinya.” (QS. Ali Imran: 85)
2. Sabda Nabi Muhammad SAW:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Abu Dawud)
5. Penjelasan Makna Salam Non-Islam
a. Om Swastiastu
Berasal dari: Bahasa Sanskerta (tradisi Hindu).
Makna:
“Om” adalah panggilan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Swasti” berarti keselamatan atau kebaikan.
“Astu” berarti semoga.
Jadi, Om Swastiastu berarti:
“Semoga keselamatan, kebahagiaan, dan kebaikan selalu menyertai Anda.”
b. Namo Buddhaya
Berasal dari: Bahasa Pali (tradisi Buddha).
Makna:
“Namo” berarti penghormatan.
“Buddhaya” berarti kepada Buddha.
Jadi, Namo Buddhaya berarti:
“Penghormatan kepada Buddha.”
6. Kesimpulan
1. Salam Islami wajib dijaga sebagai identitas Muslim dan sarana syiar Islam.
2. Menggunakan salam non-Islam seperti Om Swastiastu atau Namo Buddhaya hukumnya:
Haram jika ada niat meridhai atau menyerupai tradisi agama lain.
Makruh jika digunakan tanpa niat religius, namun tetap lebih baik dihindari.
3. Sebagai Muslim, disarankan menggunakan salam Islami seperti:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
(“Semoga keselamatan, rahmat, dan berkah Allah tercurah kepada kalian.”)
Tambahkan Referensi:
{شرح النووي على مسلم، ج ١٤ ص ١٤٥}
ﻭاﺧﺘﻠﻒ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻓﻲ ﺭﺩ اﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﻔﺎﺭ ﻭاﺑﺘﺪاﺋﻬﻢ ﺑﻪ
Artinya : Para Ulama’ berbeda pendapat dalam hukum menjawab salam dari orang-orang kafir, dan hukum orang-orang kafir mengawali ucapan salam kepada kita.
ﻓﻤﺬﻫﺒﻨﺎ ﺗﺤﺮﻳﻢ اﺑﺘﺪاﺋﻬﻢ ﺑﻪ ﻭﻭﺟﻮﺏ ﺭﺩه ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺑﺄﻥ ﻳﻘﻮﻝ ﻭﻋﻠﻴﻜﻢ ﺃﻭ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻓﻘﻂ٠ ﻭﺩﻟﻴﻠﻨﺎ ﻓﻲ اﻻﺑﺘﺪاء ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻻﺗﺒﺪﺃﻭا اﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﻻاﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺑاﻟﺴﻼﻡ٠ ﻭﻓﻲ الرد ﻗﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﻮﻟﻮا ﻭﻋﻠﻴﻜﻢ ﻭﺑﻬﺬا اﻟﺬﻱ ﺫﻛﺮﻧﺎﻩ ﻋﻦ ﻣﺬﻫﺒﻨﺎ ﻗﺎﻝ ﺃﻛﺜﺮ اﻟﻌﻠﻤﺎء ﻭﻋﺎﻣﺔ اﻟﺴﻠﻒ
Adapun madzhab kami (Syafi’iyah) berpendapat bahwa haram hukumnya orang-orang kafir mengawali ucapan salam kepada kita, dan kita wajib menjawab salam orang-orang kafir dengan ucapan : “wa alaikum” atau “alaikum” saja. Adapun dalil kami dalam hal mengawali ucapan salam kepada orang-orang kafir adalah sabda Rosululloh : “Janganlah kalian mengawali mengucap salam kepada orang Yahudi maupun Nasrani”.
Adapun dalil menjawab salam orang kafir adalah Sabda Rosululloh SAW: ” (jika orang-orang kafir mengucapkan salam kepada kalian) maka ucapkanlah wa alaikum”. Dan pendapat madzhab kami ini merupakan pendapat kebanyakan Ulama’ serta pendapat umum Ulama’ salaf.
ﻭﺫﻫﺒﺖ ﻃﺎﺋﻔﺔ ﺇﻟﻰ ﺟﻮاﺯ اﺑﺘﺪاﺋﻨﺎ ﻟﻬﻢ ﺑﺎﻟﺴﻼﻡ ﺭﻭﻱ ﺫﻟﻚ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﻭﺃﺑﻲ ﺃﻣﺎﻣﺔ ﻭ اﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﻣﺤﻴﺮﻳﺰ ﻭﻫﻮ ﻭﺟﻪ ﻟﺒﻌﺾ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﺣﻜﺎﻩ اﻟﻤﺎﻭﺭﺩﻯ ﻟﻜﻨﻪ ﻗﺎﻝ ﻳﻘﻮﻝ اﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻴﻚ ﻭﻻﻳﻘﻮﻝ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺑﺎﻟﺠﻤﻊ ﻭاﺣﺘﺞ ﻫﺆﻻء ﺑﻌﻤﻮﻡ اﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﻭﺑﺈﻓﺸﺎء اﻟﺴﻼﻡ
ﻭﻫﻲ ﺣﺠﺔ ﺑﺎﻃﻠﺔ ﻷﻧﻪ ﻋﺎﻡ ﻣﺨﺼﻮﺹ ﺑﺤﺪﻳﺚ ﻻﺗﺒﺪﺃﻭ اﻟﻴﻬﻮﺩ ﻭﻻاﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺑﺎﻟﺴﻼﻡ
Segolongan Ulama’ berpendapat kita boleh mengawali salam kepada orang-orang kafir. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Umamah, Ibnu Abi Muhairiz, itu juga salah satu pendapat sebagian madzhab kami, hal ini diceritakan oleh Imam Mawardi, tetapi orang yang mengawali mengucapkan salam tersebut cukup mengucap “assalamualaika” dan tidak boleh mengucapkan “assalamualaikum” dengan sighot(bentuk lafal) jama’.
Berhujjah dengan dalil tersebut adalah salah, karena hadist tersebut bersifat umum yang kemudian ditakhshis(di khususkan) dengan hadist : “Janganlah kalian mengawali mengucap salam kepada orang Yahudi maupun Nasrani”.
ﻭﻗﺎﻝ ﺑﻌﺾ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻳﻜﺮﻩ اﺑﺘﺪاﺅﻫﻢ ﺑﺎﻟﺴﻼﻡ ﻭﻻﻳﺤﺮﻡ ﻭﻫﺬا ﺿﻌﻴﻒ ﺃﻳﻀﺎ ﻷﻥ اﻟﻨﻬﻲ ﻟﻠﺘﺤﺮﻳﻢ ﻓﺎﻟﺼﻮاﺏ ﺗﺤﺮﻳﻢ اﺑﺘﺪاﺋﻬﻢ
ﻭﺣﻜﻰ اﻟﻘﺎﺿﻲ ﻋﻦ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﺃﻧﻪ ﻳﺠﻮﺯ اﺑﺘﺪاﺅﻫﻢ ﺑﻪ ﻟﻠﻀﺮﻭﺭﺓ ﻭاﻟﺤﺎﺟﺔ ﺃﻭ ﺳﺒﺐ ﻭﻫﻮ ﻗﻮﻝ ﻋﻠﻘﻤﺔ ﻭاﻟﻨﺨﻌﻲ
Sebagian pengikut Madzhab Syafi’iyah berpendapat : “Orang-orang kafir mengawali mengucapkan salam kepada kita hukumnya makruh, tidak haram. Pendapat ini juga dloif karena fungsi nahi dalam hadist tersebut adalah untuk pengharaman, jadi yang benar adalah hukum orang kafir mengawali ucapan salam kepada kita adalah haram.
Qodli Husain menceritakan pendapat dari segolongan Ulama’, bahwa boleh orang -orang kafir mengawali ucapan salam kepada kita karena dlorurot, adanya hajat (keperluan)atau karena satu sebab tertentu, ini merupakan pendapat Al-Qomah dan An-Nakho’i.
Wallahu a’lam.