Hukum Pelaksanaan Wasiat Terkait Tempat Penguburan
Assalamualaikum
Latar Belakang
Wasiat tentang Tempat Penguburan
Wasiat adalah pesan yang disampaikan seseorang sebelum meninggal dunia agar dilaksanakan oleh ahli waris atau orang yang diberi amanah. Dalam Islam, wasiat memiliki kedudukan penting, terutama jika berkaitan dengan ibadah atau kepentingan duniawi yang sesuai syariat. Salah satu bentuk wasiat yang sering terjadi adalah permintaan terkait tempat penguburan.
Namun, pelaksanaan wasiat tersebut sering kali menghadapi kendala, seperti ketidaktersediaan lokasi pemakaman yang dimaksud, perubahan situasi setelah wasiat disampaikan, atau adanya faktor lain yang menghalangi pelaksanaan wasiat. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui batasan syar’i terkait kewajiban ahli waris dalam melaksanakan wasiat tersebut.
Pertanyaan
Wajibkah ahli waris melaksanakan wasiat tentang tempat penguburan tersebut?
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Jawaban
1. Hukum Wasiat tentang Tempat Penguburan:
Wasiat untuk dikuburkan di tempat tertentu termasuk wasiat duniawi. Pelaksanaan wasiat ini bersifat wajib selama:
Tidak bertentangan dengan syariat, tidak menyebabkan kesulitan atau mudarat bagi ahli waris, daTempat yang diminta memungkinkan untuk penguburan.
2. Kondisi Tidak Ada Kuburan di Lokasi yang Dimaksud:
Jika lokasi yang dimaksud tidak memiliki tempat pemakaman atau tidak memungkinkan untuk dikuburkan, maka ahli waris tidak wajib melaksanakan wasiat tersebut karena adanya uzur syar’i (halangan). Dalam hal ini, jenazah harus dikuburkan di tempat yang memungkinkan dan sesuai dengan adab syar’i, termasuk dikuburkan ditempat penguburan orang-orang Islam dan sunnah dikuburkan ditempat kuburan orang-orang soleh.
Dalil:
المكتبة الشاملة
كتاب شرح زاد المستقنع – الشنقيطي [محمد بن محمد المختار الشنقيطي] الفقه الحنبلي
ص: ٨٨
الكتاب الأسئلة حكم الوصية فيما لا يملك
[حكم الوصية فيما لا يملك]
السؤال
لقد توفي في بلدنا رجل وأوصى قبل موته بأن يدفن في الأرض التي ورثها هو وإخوانه من أبيه، وتصبح تلك الأرض مقبرة للمسلمين دون موافقة إخوانه؛ لأنهم لم يكونوا معه، فما حكم تلك الوصية أثابكم الله؟
الجواب
إن كانت هذه الأرض ملكاً له فإنه يجوز أن يُدفن فيها، وإذا امتنع الورثة نظر إلى قدر ما يدفن فيه من الثلث، فإن كان قد أوصى بثلثه فإنه تكون وصيته بعد الموت قد خرجت عن حد الثلث راجعةً إلى رضا الورثة، فمن برهم له أن يرضوا، وإن شاءوا صرفوه إلى المقابر العامة، فهذا من حقهم؛ لكنه يفوتهم البر.
وأما إذا أوصى بأرضٍ هي ملكٌ لغيره فإن وصيته موقوفةٌ على حكم الغير؛ لأن عمر بن الخطاب رضي الله عنه لم يستبح مكانه من حجرة أم المؤمنين رضي الله عنها إلا بعد أن استأذنها، وخشي أن تكون أذنت له في حياته حياءً وخجلاً منه رضي الله عنه وأرضاه، فأمر ابنه عبد الله أن يستأذن بعد موته، وبعد أن يصلى عليه يقف على الباب ويستأذنها حتى يزول ما يكون في حال حياته من هيبته وخشيته، فقال: إن أذنت لك فادفني مع صاحبي، وإن لم تأذن فاصرفني إلى البقيع.
فدّل هذا على أن من أوصى أن يُدفن في أرضٍ هي ملكٌ للغير استأذن الغير؛ فإن أذن له فبها ونعمت، وإن لم يأذن له فإنه يصرف إلى مقابر المسلمين والله تعالى أعلم.
Hukum Wasiat atas Sesuatu yang Tidak Dimiliki
Pertanyaan
Seorang lelaki telah wafat di negeri kami, dan sebelum wafat dia berwasiat agar dirinya dikuburkan di tanah yang diwarisi bersama saudara-saudaranya dari ayah mereka, serta agar tanah tersebut dijadikan sebagai pemakaman kaum muslimin tanpa persetujuan saudara-saudaranya, karena mereka tidak bersamanya. Apa hukum wasiat ini? Semoga Allah memberikan pahala kepada Anda.
Jawaban
Jika tanah tersebut adalah miliknya, maka dia boleh dikuburkan di sana. Jika para ahli waris menolak, maka dilihat berapa bagian tanah yang akan digunakan untuk penguburan, apakah masih dalam batas sepertiga. Jika dia berwasiat menggunakan sepertiganya, maka wasiatnya setelah wafat telah keluar dari batas sepertiga, sehingga bergantung pada keridhaan para ahli waris. Sebagai bentuk bakti kepada almarhum, mereka dapat merelakannya. Namun, jika mereka menghendaki, tanah tersebut dapat dialihkan ke pemakaman umum. Itu adalah hak mereka, meskipun mereka akan kehilangan kesempatan untuk berbakti kepada almarhum.
Adapun jika dia berwasiat untuk menggunakan tanah yang bukan miliknya, maka wasiatnya bergantung pada persetujuan pemilik tanah. Sebagaimana Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu tidak menggunakan tempatnya di kamar Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha kecuali setelah meminta izin darinya. Umar bahkan khawatir Ummul Mukminin memberikan izin kepadanya semasa hidupnya karena rasa segan dan malu. Oleh karena itu, Umar memerintahkan putranya, Abdullah, untuk meminta izin lagi setelah wafatnya. Setelah Umar dishalatkan, Abdullah diminta berdiri di depan pintu kamar dan meminta izin kepada Aisyah, sehingga rasa segan yang mungkin ada semasa hidup Umar dapat hilang. Umar berpesan: “Jika dia mengizinkanmu, maka kuburkanlah aku bersama dua sahabatku. Jika tidak mengizinkanmu, maka kuburkanlah aku di Baqi’.”
Kisah ini menunjukkan bahwa seseorang yang berwasiat agar dikuburkan di tanah milik orang lain harus meminta izin dari pemiliknya. Jika pemilik tanah memberikan izin, maka wasiat tersebut dapat dilaksanakan. Namun, jika pemilik tanah tidak mengizinkan, jenazahnya dipindahkan ke pemakaman umum kaum muslimin. Allah Ta’ala lebih mengetahui.
Dengan demikian dapat fahami dari ibarat tersebut jika tanah milih pribadi maka hukumnya boleh namun yang utama dikuburkan ditempat penguburan kaum muslimin terlebih dikuburkan didekat kuburan orang-orang yang soleh.
Dengan demikian hukum Wasiat untuk dikuburkan ditanahnya sendiri wajib selama tidak bertentangan dengan syariat dan tidak memudharatkan baik bagi dirinya maupun orang lain, namun yang utama bahkan sunnah diletakkan ditempat kuburan orang-orang muslim yang soleh.
Nabi SAW bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh ada mudarat dan tidak boleh memudaratkan.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
3. Pendapat Ulama:
Imam Nawawi menjelaskan
Memakamkan jenazah di tanah pribadi pun juga diperbolehkan yang sunnah memakamkan jenazah di pemakaman umum bersama kaum muslimin lainnya. Imam Nawawi berkata : Dalam Majmu’ Syarah Muhadzdzab : 5/245).
المجموع شرح المهذب. ج٥ص٢٤٥
يجوز الدفن في البيت وفي المقبرة ، والمقبرة أفضل بالاتفاق
“Boleh hukumnya memakamkan jenazah di rumah boleh juga di kuburan akan tetapi memakamkan jenazah di kuburan lebih utama dengan kesepakatan para ulama.”
Begitu juga syaikh Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan dalam kitab Fiqhul Islam Waadillatuhu boleh menguburkan jenazah dirumah dan tidak haram namun makruh karena menguburkan jenazah dirumah hanya khusus bagi Nabi Muhammad SAW berikut: ibaratnya:
فقه الإسلامي وأدلته للزحيلي ج.٢ ص١٥٤٨
الدفن في البيوت: يجوز ولا يحرم الدفن في البيت؛ لأن النبي صلّى الله عليه وسلم دفن في حجرة عائشة رضي الله عنها (١).
لكن الدفن في البيوت لغير النبي ولو للسقط مكروه، لاختصاصه بالأنبياء عليهم الصلاة والسلام.
ويكره الدفن في القباب ونحوها من البيوت المعقودة لجماعة، لمخالفته السنة.
الدفن في البقاع الشريفة: يستحب الدفن في أفضل مقبرة: وهي التي يكثر فيها الصالحون والشهداء لتناله بركتهم، وكذلك في البقاع الشريفة، روى البخاري ومسلم أن موسى عليه السلام لما حضره الموت، سأل الله تعالى أن يدنيه إلى الأرض المقدسة رمية بحجر، قال النبي صلّى الله عليه وسلم: «لو كنتم ثَمَّ لأريتكم قبره عند الكثيب الأحمر»، ولأن عمر رضي الله عنه استأذن عائشة رضي الله عنها أن يدفن مع صاحبيه (٢): أي النبي صلّى الله عليه وسلم وأبي بكر.
جمع الأقارب في موضع واحد: يستحب أن يجمع الأقارب في موضع واحد، لأن النبي صلّى الله عليه وسلم «ترك عند رأس عثمان بن مظعون صخرة، وقال: أتعلم بها قبر أخي، وأدفن إليه من مات من أهلي» (٣)، ولأن ذلك أسهل لزيارتهم، وأكثر للترحم عليهم.
Hukum Penguburan dalam Rumah
Diperbolehkan dan tidak haram mengubur jenazah di dalam rumah, karena Nabi Muhammad ﷺ dimakamkan di kamar Aisyah radhiyallahu ‘anha (1). Namun, penguburan di dalam rumah untuk selain Nabi, bahkan untuk janin yang gugur sekalipun, hukumnya makruh, karena penguburan di rumah adalah keistimewaan khusus bagi para nabi.
Penguburan di dalam bangunan seperti kubah atau sejenisnya
Makruh hukumnya mengubur jenazah di dalam bangunan seperti kubah atau rumah yang dibangun untuk kelompok tertentu, karena hal ini bertentangan dengan sunnah.
Penguburan di tempat-tempat yang mulia
Dianjurkan mengubur jenazah di pemakaman terbaik, yaitu pemakaman yang banyak terdapat orang-orang saleh dan syuhada, agar keberkahan mereka meliputi jenazah tersebut. Demikian juga dianjurkan mengubur di tempat-tempat yang mulia. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa ketika Nabi Musa ‘alaihis salam menghadapi ajalnya, ia memohon kepada Allah agar mendekatkan dirinya ke tanah suci sejauh lemparan batu. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Jika kalian berada di sana, aku akan tunjukkan kepada kalian makamnya di dekat bukit pasir merah.” Selain itu, Umar radhiyallahu ‘anhu meminta izin kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha untuk dimakamkan bersama dua sahabatnya (2), yakni Nabi Muhammad ﷺ dan Abu Bakar.
Mengumpulkan keluarga di satu tempat pemakaman
Dianjurkan mengumpulkan jenazah keluarga di satu tempat pemakaman, karena Nabi Muhammad ﷺ meninggalkan tanda berupa batu di kepala makam Utsman bin Mazh’un dan bersabda, “Aku meletakkan tanda ini untuk mengenal makam saudaraku, dan aku akan mengubur di sini siapa saja dari keluargaku yang meninggal.” (3). Hal ini juga memudahkan ziarah kubur dan memperbanyak doa untuk mereka.
Syekh Muhammad al-Ramli menyebutkan:
نهاية المحتاج .ج٣ص٣٨
قال الزركشي وغيره: “ولا ينبغي التخصيص بالثلاثة، لو كان بقرب مقابر أهل الصلاح والخير فالحكم كذلك، لأن الشخص يقصد الجار الحسن”
(Nihayah al-Muhtaj, juz 3, hal. 38)
“Al-Imam al-Zarkasyi dan lainnya mengatakan, tidak seharusnya hanya dikhususkan pada tiga tempat (Makkah, Madinah, dan Baitul Maqdis). Jika lokasi pemakaman dipindahkan ke dekat makam orang-orang saleh, maka hukumnya tetap sunnah karena seseorang menghendaki tetangga yang baik.”
إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين للشيخ البكري
الدمياطي ج ٣ص٢٥٥
ويشترط في الموصى فيه كونه تصرفا ماليا
مباحا، فلا يصح الإيصاء في تزويج نحو بنته أو ابنه، لأن هذا لا يسمى تصرفا ماليا، وأيضا غير الأب والجد لا يزوح الصغيرة والصغير، ولا في معصية، كبناء كنيسة للتعبد، لكون الإيصاء قربة، وهو تنافي المعصية
[Al-Bakri Ad-Dimyathi, I’anatuth Thalibin ‘ala Hilli Alfaz Fathil Mu’in, jilid 3, halaman 255].
“Disyaratkan dalam hal yang diwasiatkan (agar sah wasiat tersebut) adalah sesuatu yang termasuk dalam kategori tindakan finansial yang diperbolehkan. Maka tidak sah wasiat untuk menikahkan, misalnya, putrinya atau putranya, karena hal ini tidak disebut sebagai tindakan finansial. Selain itu, selain ayah dan kakek tidak boleh menikahkan anak kecil perempuan atau laki-laki. (Wasiat juga tidak sah) untuk perkara maksiat, seperti membangun gereja untuk beribadah, karena wasiat itu merupakan ibadah (yang mendekatkan diri kepada Allah), sehingga tidak sesuai dengan maksiat.”
الكتاب كتاب أذكار المرض والموت وما يتعلق بهما باب ما ينفع الميت من قول غيره
ثم أقيموا حول قبري قدر ما تنحر جزور، ويقسم لحمها أستأنس بكم، وأنظر ماذا أراجع به رسل ربي.
قلت: قوله: شنوا، روي بالسين المهملة وبالمعجمة، ومعناه: صبّوه قليلاً قليلاً.
وروينا في هذا المعنى حديث حذيفة المتقدم في ” باب إعلام أصحاب الميت بموته “، وغير ذلك من الأحاديث، وفيما ذكرناه كفاية وبالله التوفيق.
قلت: وينبغي أن لا يقلد الميتُ ويتابع في كلّ ما وصَّى به، بل يُعرض ذلك على أهل العلم، فما أباحوه فعل، وما لا فلا.
وأنا أذكر من ذلك أمثلة، فإذا أوصى بأن يدفن في موضع من مقابر بلدته، وذلك الموضع معدن الأخيار، فينبغي أن يُحافظ على وصيته، وإذا أوصى بأن يُصلِّي عليه أجنبي، فهل يُقَدَّم في الصلاة على أقارب الميت؟ فيه خلاف للعلماء، والصحيح في مذهبنا: أن القريب أولى، لكن إن كان الموصَى له ممّن يُنسب إلى الصلاح أو البراعة في العلم مع الصيانة والذكر الحسن، استحبّ للقريب الذي ليس هو في مثل حاله إيثار رعاية لحقّ الميت، وإذا أوصى بأن يُدفن في تابوت، لم تنفذ
وصيته إلا أن تكون الأرض رخوة أو نديّة يحتاج فيها إليه، فتُنفذ وصيّته فيه، ويكون من رأس المال كالكفن.
وإذا أوصى بأن يُنقل إلى بلد آخر، لا تنفّذ وصيّته، فإن النقلّ حرامٌ على المذهب الصحيح المختار الذي قاله الأكثرون، وصرّح به المحققون، وقيل: مكروه.
قال الشافعي رحمه الله: إلا أن يكون بقرب مكة، أو المدينة، أو بيت المقدس، فيُنقل إليها لبركتها.
وإذا أوصى بأن يُدفَن تحته مِضربة، أو مخدة تحتَ رأسه، أو نحو ذلك، لم تُنفذ وصيّته.
وكذا إذا أوصى بأن يُكفَّن في حرير، فإن تكفينَ الرجال في الحرير حرام، وتكفينُ النساء فيه مكروهٌ، وليس بحرام، والخنثى في هذا كالرجل.
ولو أوصى بأن يُكَفَّن فيما زاد على عدد الكفن المشروع، أو في ثوب لا يَستر البدن لا تنفذ وصيّته.
ولو أوصى بأن يُقرأ عند قبره، أو يُتصدّق عنه، وغير ذلك من أنواع القرب، نفذت وصية إلا أن يقترن بها ما يمنع الشرع منها بسببه.
ولو أوصى بأن تُؤَخَّرَ جنازته زائداً على المشروع، لم تنفذ.
ولو أوصى بأن يُبنى عليه في مقبرة مسبَّلة للمسلمين، لم تنفّذ وصيته، بل ذلك حرام.
Kitab Adzkar al-Maradh wa al-Maut wa Ma Yata‘allaqu Bihima – Bab: Apa yang Bermanfaat bagi Mayit dari Ucapan Orang Lain
Kemudian, berdirilah di sekitar kuburku selama waktu yang diperlukan untuk menyembelih seekor unta dan membagi dagingnya. Aku merasa terhibur dengan keberadaan kalian dan akan melihat apa yang dapat aku persiapkan untuk menghadapi utusan Tuhanku.
Aku berkata: Ucapannya “shanwu” diriwayatkan dengan sin muhmalah dan sin mu‘jamah (huruf sin tanpa titik dan huruf shin bertitik). Maknanya adalah menuangkan sedikit demi sedikit.
Kami juga meriwayatkan dalam makna ini hadis Hudzaifah yang disebutkan sebelumnya dalam “Bab: Mengabarkan Kematian kepada Kerabat Si Mayit,” dan hadis-hadis lainnya. Dalam apa yang telah kami sebutkan terdapat kecukupan. Hanya kepada Allah kami memohon taufik.
Aku berkata: Seharusnya tidak semua wasiat mayit ditaati dan diikuti begitu saja. Sebaliknya, wasiat tersebut harus ditinjau oleh para ulama. Apa yang mereka perbolehkan, maka dilaksanakan, dan apa yang tidak, maka tidak dilaksanakan.
Aku akan menyebutkan beberapa contohnya: Jika seseorang berwasiat untuk dikuburkan di suatu tempat di pemakaman desanya, dan tempat tersebut adalah kawasan orang-orang saleh, maka wasiat tersebut sebaiknya dipertahankan. Jika ia berwasiat agar dishalati oleh orang asing, apakah ia lebih diutamakan daripada kerabat si mayit? Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pendapat yang sahih menurut mazhab kami adalah bahwa kerabat lebih berhak. Namun, jika orang yang diwasiati adalah seorang yang dikenal saleh, ahli ilmu dengan sifat yang terjaga, dan memiliki reputasi baik, maka disunnahkan bagi kerabat yang tidak memiliki kualitas serupa untuk mengutamakan hak si mayit dengan melaksanakan wasiatnya.
Jika ia berwasiat untuk dikubur dalam peti, wasiatnya tidak dilaksanakan kecuali tanah tersebut lunak atau lembap sehingga memerlukannya. Maka, wasiatnya dilaksanakan dan biayanya diambil dari harta mayit sebagaimana kain kafan.
Jika ia berwasiat agar dipindahkan ke negeri lain, wasiatnya tidak dilaksanakan. Pemindahan jenazah adalah haram menurut pendapat sahih yang dipilih oleh mayoritas ulama dan dinyatakan tegas oleh para peneliti. Sebagian mengatakan makruh.
Imam Syafi‘i rahimahullah berkata: Kecuali jika berada di dekat Makkah, Madinah, atau Baitul Maqdis, maka jenazah dipindahkan ke tempat tersebut karena keberkahannya.
Jika ia berwasiat untuk dikubur dengan alas atau bantal di bawah kepalanya, atau sejenisnya, wasiatnya tidak dilaksanakan.
Demikian pula, jika ia berwasiat untuk dikafani dengan kain sutra, maka wasiatnya tidak dilaksanakan. Mengafani laki-laki dengan sutra adalah haram, sedangkan bagi wanita hukumnya makruh, tetapi tidak haram. Untuk khuntsa (berjenis kelamin ambigu), hukumnya seperti laki-laki.
Jika ia berwasiat untuk dikafani dengan kain yang melebihi jumlah kafan yang disyariatkan, atau dengan kain yang tidak dapat menutupi tubuh, wasiatnya tidak dilaksanakan.
Jika ia berwasiat agar dibacakan Al-Qur’an di kuburnya, disedekahkan atas namanya, atau amalan lain dari jenis ibadah, maka wasiatnya dilaksanakan kecuali jika ada hal yang menyebabkan syariat melarangnya.
Jika ia berwasiat agar pemakamannya ditunda lebih lama dari waktu yang disyariatkan, wasiatnya tidak dilaksanakan.
Jika ia berwasiat agar dibangun sesuatu di atas kuburnya di pekuburan umum milik kaum muslimin, wasiatnya tidak dilaksanakan. Bahkan, hal itu haram.
كتاب المذهب في فقه الإمام الشافعي الشيرازي ص٢٥٣
فصل: دفن الميت فرض على الكفاية لأن في تركه على وجه الأرض هتكاً لحرمته ويتأذى الناس برائحته والدفن في المقبرة أفضل لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يدفن الموتى بالبقيع ولأنه يكثر الدعاء له ممن يزوره ويجوز الدفن في البيت لأن النبي صلى الله عليه وسلم دفن في حجرة عائشة رضي الله عنها فإن قال بعض الورثة يدفن في المقبرة وقال بعضهم يدفن في البيت دفن في المقبرة لأن له حقاً في البيت فلا يجوز إسقاطه ويستحب أن يدفن في أفضل مقبرة لأن عمر رضي الله عنه استأذن عائشة رضي الله عنها أن يدفن مع صاحبيه ويستحب أن تجمع الأقارب في موضع واحد لما روي أن النبي صلى الله عليه وسلم ترك عند رأس عثمان بن مظعون صخرة وقال أعلم بها على قبر أخي لأدفن إليه من مات وإن تشاح اثنان في مقبرة مسبلة قدم السابق منهما لقوله صلى الله عليه وسلم: “مني مناخ من سبق”
Fasal:
Menguburkan jenazah adalah fardhu kifayah, karena membiarkannya di atas permukaan bumi dapat merusak kehormatannya, dan orang-orang akan terganggu oleh baunya.
Mengubur di pemakaman umum lebih utama karena Nabi ﷺ menguburkan para jenazah di Baqi’. Selain itu, banyak orang yang berziarah ke pemakaman umum, sehingga lebih banyak doa yang dipanjatkan untuknya.
Namun, diperbolehkan menguburkan jenazah di dalam rumah, karena Nabi ﷺ sendiri dimakamkan di kamar Aisyah رضي الله عنها. Jika sebagian ahli waris menghendaki jenazah dimakamkan di pemakaman umum, sedangkan sebagian lainnya ingin jenazah dimakamkan di rumah, maka jenazah dimakamkan di pemakaman umum. Hal ini karena rumah adalah hak bersama ahli waris, sehingga tidak boleh mengabaikan hak mereka.
Disunnahkan untuk menguburkan jenazah di pemakaman terbaik, seperti saat Umar رضي الله عنه meminta izin kepada Aisyah رضي الله عنها agar dapat dimakamkan bersama kedua sahabatnya (Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar رضي الله عنه).
Disunnahkan juga mengumpulkan jenazah keluarga di tempat yang sama, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi ﷺ meletakkan sebuah batu di dekat kepala Utsman bin Mazh’un رضي الله عنه, seraya bersabda: “Tandailah dengan ini kubur saudaraku, agar aku dapat menguburkan di dekatnya orang yang wafat setelahnya.”
Jika dua orang berselisih mengenai tempat di pemakaman umum yang diwakafkan, maka yang berhak adalah yang lebih dahulu tiba, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: “Siapa yang lebih dahulu tiba, maka tempat itu menjadi miliknya.”
حاشية إعانة الطالبين – (٣ /٢٥٥)
(تتمة) تعرض للوصية ولم يتعرض للايصاء وقد ترجم له الفقهاء بفصل مستقل ولا بد من التعرض له تكميلاً للفائدة – فأقول حاصل الكلام عليه أن الإيصاء لغة الإيصال كالوصية وشرعاً إثبات تصرف مضاف لما بعد الموت ولو تقديراً وإن لم يكن فيه تبرع كالايصاء بالقيام على أمر أطفاله ورد ودائعه وقضاء ديونه فإنه لا تبرع في شيء من ذلك بخلاف الوصية فإنه لا بد فيها من التبرع وأركانه أربعة موصي ووصي وموصى فيه وصيغة وشرط في الموصي بقضاء الحقوق التي عليه وتنفيذ الوصايا ورد الودائع ونحوها ما تقدم في الموصي بمال من كونه مالكا بالغاً عاقلاً حراً مختاراً. وشرط في الموصي بنحو أمر طفل ومجنون ومحجور عليه بسفه مع ما مر من الشروط أن يكون له ولاية عليه ابتداء من الشرع لا بتفويض فلا يصح الإيصاء من صبي ومجنون ورقيق ومكره ولا من أم وعم لعدم الولاية عليهما ولا من الوصي لأن ولايته ليست شرعية ابتداء بل جعلية بتفويض الأب أو الجد إليه إلا إن أذن له فيه كأن قال أوص عني فأوصى عن الولي لا عن نفسه ولا يصح الإيصاء من أب على ولده والجد بصفة الولاية لأن ولايته ثابتة شرعاً ابتداء بخلاف الوصي كما علمت وشرط في الوصي الإسلام والبلوغ والعقل والحرية والعدالة والاهتداء إلى التصرف وعدم عداوة منه للمولى عليه وعدم جهالة فلا يصح الإيصاء إلى من فقد شيئاً من ذلك كصبي ومجنون وفاسق ومن به رق أو عداوة وكافر على مسلم ومن لا يكفي في التصرف لهرم أو سفه. وتعتبر الشروط المذكورة عند الموت، لا عند الإيصاء ولا بينهما لأنه وقت التسلط على القبول حتى لو أوصى لمن خلا عن الشروط أو بعضها كصبي ورقيق ثم استكملها عند الموت صح ولا يضر عمى لأن الأعمى متمكن من التوكيل فيما لا يتمكن منه ولا أنوثة لما في سنن أبي داود أن عمر رضي الله عنه أوصى إلى حفصة رضي الله عنها وإذا جمعت أم الطفل الشروط المذكورة فهي أولى من غيرها، لوفور شفقتها واستجماعها للشروط معتبر عند الإيصاء. قال في التحفة وقول غير واحد عند الموت عجيب لأن الأولوية إنما تخاطب بها الموصي، وهو لا علم بما عند الموت. اهـ.
ويشترط في الموصى فيه كونه تصرفاً مالياً مباحاً، فلا يصح الإيصاء في تزويج نحو بنته أو ابنه لأن هذا لا يسمى تصرفاً مالياً وأيضاً غير الأب والجد لا يزوج الصغيرة والصغير ولا في معصية كبناء كنيسة للعبادة لكون الإيصاء قربة وهو تنافي المعصية
(Hasyiah I’anah al-Talibin – Jilid 3, halaman 255)
(Lanjutan) Telah dibahas tentang wasiat, namun belum dibahas tentang wasiat khusus (iṣā’). Para ulama telah membahasnya dalam bab tersendiri, dan perlu kita bahas juga untuk melengkapi pembahasan.
Intinya, wasiat secara bahasa berarti menyampaikan sesuatu, sama seperti wasiat. Secara syariat, wasiat adalah penetapan suatu tindakan yang berlaku setelah kematian, meskipun tidak ada unsur pemberian (hibah). Contohnya, wasiat untuk mengurus anak-anak, mengembalikan titipan, atau melunasi utang, tidak mengandung unsur pemberian. Berbeda dengan wasiat, yang harus mengandung unsur pemberian. Rukun wasiat ada empat: orang yang berwasiat, orang yang diwasiati, objek wasiat, dan kalimat wasiat. Syarat bagi orang yang berwasiat adalah telah melunasi semua hak orang lain, melaksanakan wasiat sebelumnya, dan mengembalikan titipan, seperti yang telah disebutkan sebelumnya untuk orang yang berwasiat dengan harta. Syarat bagi orang yang diwasiati untuk urusan seperti mengurus anak atau orang gila adalah memiliki wewenang secara syariat sejak awal, bukan karena pemberian wewenang. Oleh karena itu, wasiat tidak sah dari anak kecil, orang gila, budak, orang yang dipaksa, ibu, paman, atau dari wali karena wewenang wali bukan dari syariat sejak awal, melainkan karena pemberian wewenang dari ayah atau kakek, kecuali jika diizinkan oleh mereka. Wasiat dari ayah kepada anak dan kakek dengan status sebagai wali juga tidak sah karena wewenangnya sudah ada sejak awal secara syariat, berbeda dengan wali. Syarat bagi orang yang diwasiati adalah seorang muslim, baligh, berakal sehat, merdeka, adil, mampu bertindak, tidak bermusuhan dengan orang yang diwasiati, dan tidak bodoh. Oleh karena itu, wasiat tidak sah kepada orang yang tidak memenuhi salah satu syarat tersebut, seperti anak kecil, orang gila, fasik, budak, orang yang bermusuhan, kafir terhadap seorang muslim, atau orang yang tidak mampu bertindak karena tua atau bodoh. Syarat-syarat tersebut berlaku pada saat kematian, bukan pada saat membuat wasiat atau di antaranya, karena saat kematian adalah saat seseorang memiliki kekuasaan penuh untuk menerima atau menolak. Bahkan jika seseorang berwasiat kepada orang yang tidak memenuhi syarat atau sebagian syarat, kemudian orang tersebut memenuhi syarat saat kematian, maka wasiatnya tetap sah. Kebutaan tidak menjadi masalah karena orang buta bisa menunjuk wakil untuk melakukan apa yang tidak bisa dia lakukan sendiri. Begitu pula dengan perempuan, karena dalam Sunan Abi Dawud disebutkan bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu berwasiat kepada Hafsah radhiyallahu ‘anha. Jika seorang ibu memenuhi semua syarat yang disebutkan, maka dia lebih berhak daripada orang lain karena kasih sayangnya dan karena dia telah memenuhi semua syarat yang diperlukan untuk menjadi seorang wasi. Dalam kitab at-Tahfīh disebutkan, “Aneh jika ada yang mengatakan bahwa syarat berlaku pada saat kematian.” Hal ini karena syarat utama ditujukan kepada orang yang berwasiat, dan dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi saat kematian.
Syarat-syarat objek wasiat:
Objek wasiat haruslah sesuatu yang bersifat materi dan halal. Oleh karena itu, wasiat untuk menikahkan anak perempuan atau anak laki-laki tidak sah karena bukan termasuk tindakan materi, dan juga tidak sah bagi selain ayah atau kakek untuk menikahkan anak perempuan atau anak laki-laki yang masih kecil. Demikian pula, wasiat untuk melakukan perbuatan maksiat seperti membangun gereja juga tidak sah karena wasiat adalah ibadah dan bertentangan dengan perbuatan maksiat.
Wallahu a‘lam bish-shawab